20
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENANAMAN MODAL ASING DAN
KONSEP ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
ARBITRASE
2.1 Penanaman Modal Asing
Penanaman modal merupakan sektor utama yang sangat mempengaruhi
negara-negara di dunia untuk menggerakkan roda perekonomian negara. Penanaman
modal asing dapat berperan dalam pembangunan ekonomi, meningkatkan produksi,
memberi perluasan kesempatan kerja, mengolah sumber-sumber potensi ekonomi di
dalam negeri. Penanaman modal asing diharapkan dapat pula ikut berperan dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya.
Penanaman modal asing juga dipandang sebagai bidang yang sangat menguntungkan
bagi negara tuan rumah (host state), karena dengan adanya penanaman modal asing
ini, negara penerima modal asing dapat menjamin dan mengalihkan modal dalam
negeri yang tersedia untuk digunakan bagi kepentingan publik.1
Penanaman modal asing ke negara sedang berkembang pada prinsipnya
bersangkutan dengan tiga hal pokok yaitu ekonomi, politis dan hukum. Tiga faktor
tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap masuknya modal asing ke suatu negara.
Dalam praktik masuknya penanaman modal asing ke suatu negara dengan
1 M. Somarajah, 1994, The International Law on Foreign Investment, Cambridge U.P, Cambridge,
hlm. 5.
21
perhitungan ekonomis saja kadang dapat mudah dilakukan, tetapi aspek politik dan
hukum sebenarnya yang memegang peranan penting dalam efektivitas operasi modal
asing tersebut. Bagi negara sedang berkembang, hal ini disebabkan usaha menarik
modal asing ke negaranya termasuk dalam bagian dari pada rencana pembangunan
ekonomi negara tersebut.2
Kegiatan penanaman modal asing dari negara maju ke negara berkembang
sebagian besar dilakukan oleh perusahaan multinasional (multinational
Corporations). Dalam melakukan kegiatannya, perusahaan multinasional
menanamkan modalnya melalui pendirian cabang perusahaan, anak perusahaan,
usaha patungan (mayoritas atau minoritas), dan mempunyai afiliasi terbesar di
berbagai negara. Penanaman modal asing langsung dari perusahaan multinasional
dianggap sebagai strategi yang paling tepat untuk meningkatkan pembangunan
ekonomi daripada pinjaman luar negeri atau pembelian lisensi, kontrak manajemen
dan sebagainya yang harus dicari sendiri oleh perusahaan dalam negeri3
Perusahaan multinasional merupakan pendorong atau pencetus utama di balik
globalisasi. Melalui kegiatan produksinya, perdagangan dan penanaman modal,
perusahaan multinasional menyatukan negara-negara ke dalam suatu pasar global.
Perusahaan multinasional menguasai dan mengontrol serta mengawasi bahan-bahan,
akses pasar dan perkembangan teknologi baru serta perusahaan multinasional ini juga
2 Sumantoro, 1984, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal,
Binacipta, Bandung, hlm. 29.
3 Albert Widjaya, 1982, Impak Kegiatan Perusahaan Multinasional Terhadap Keadaan Sosial dan
Politk di Indonesia, Binacipta, Bandung, hlm. 221.
22
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi
pengurangan kemiskinan di dunia.
Kebanyakan pemerintah dan institusi keuangan internasional menyatakan
bahwa penanaman modal yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dipandang
sebagai salah satu kunci suksesnya integrasi menuju ekonomi global. Upaya-upaya
yang dilakukan pemerintah negara berkembang untuk menarik penanaman modal
asing dari perusahaan multinasional melalui liberalisasi, kelonggaran pajak,
menguatkan hak-hak penanam modal (investor) telah menjadi salah satu
kebijaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang. Pemerintah negara
berkembang termasuk Indonesia berusaha menarik perusahaan multinasional untuk
menanamkan modalnya karena aset-aset yang dipunyai oleh perusahaan
multinasional seperti modal, teknologi dan skill.4
Perusahaan multinasional merupakan perusahaan yang sangat penting secara
ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhi ekonomi dunia dalam beberapa
dekade hingga sekarang. Perusahaan multinasional secara historis juga mempunyai
peranan yang penting dalam perkembangan kebijakan internasional bagi penanaman
modal asing, khususnya penanaman modal asing langsung, misalnya dalam
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan dalam perundingan-
4 Oxfam, 2002, Make Trade Fair, Riggeds Rules and Double Standards, Novid Oxfarm
Netherlands, Den Haag, hlm. 175.
23
perundingan pada perjanjian-perjanjian tambahan dalam WTO mengenai ketentuan
yang berkenaan dengan penanaman modal asing secara langsung.
Perdagangan, penanaman modal, perusahaan multinasional dan kebijakan
rezim internasional merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam
proses globalisasi dan khususnya liberalisasi di bidang perdagangan dan penanaman
modal. Aktor utama dalam ekonomi global adalah perusahaan multinasional yang ada
di seluruh negara, yang merupakan perwujudan tertinggi dari kebebasan pasar yang
memperlihatkan kemampuan superiornya untuk menghasilkan paduan yang paling
efisien antara lain lahan, pekerja, modal dan teknologi.
2.1.1 Pengertian Penanaman Modal Asing
Penanaman modal asing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
pihak asing dalam rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan
untuk mendapatkan laba melalui penciptaan suatu produksi atau jasa. Undang-
undang nomor 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan
bahwa, pengertian penanaman modal dalam undang-undang ini hanyalah meliputi
penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau
berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk
menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam artian bahwa pemilik modal secara
24
langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut. Sedangkan
pengertian modal asing dalam undang-undang tersebut adalah:5
a) Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan
devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk
pembiayaan perusahaan di Indonesia.
b) Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik
orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam
wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan
devisa Indonesia.
c) Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang-undang ini
keuntungan yang diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk
membiayai perusahaan di Indonesia.
Aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk
memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai
diversifikasi usaha. Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah
meningkatnya output dan kesejahteraan dunia. Disamping peningkatan income
dan output, keuntungan bagi negara tujuan dari aliran modal asing adalah:6
5 Angelinasinaga, Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, 13 Mei 2013,
URL: https://angelinasinaga.wordpress.com/2013/05/31/penanaman-modal-asing-dan-penanaman-
modal-dalam-negeri/, diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
6 Ibid.
25
a) Investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya
keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran
teknologi yang bebas bagi perusahaan.
b) Investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya
perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable
sector) meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik,
sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.
c) Investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai
tukar dengan negara tujuan (investment gap).
Investasi asing di Indonesia dapat dilakukan dalam dua bentuk investasi, yaitu
1. Investasi Portofolio
Investasi portofolio dilakukan melalui pasar modal dengan
instrumen surat berharga seperti saham dan obligasi. Dalam investasi
portofolio, dana yang masuk ke perusahaan yang menerbitkan surat
berharga (emiten), belum tentu membuka lapangan kerja baru. Sekalipun
ada emiten yang setelah mendapat dana dari pasar modal untuk
memperluas usahanya atau membuka usaha baru, hal ini berarti pula
membuka lapangan kerja. Tidak sedikit pula dana yang masuk ke emiten
hanya untuk memperkuat struktur modal atau mungkin malah untuk
26
membayar hutang bank. Selain itu, dalam proses ini tidak terjadi alih
teknologi atau alih keterampilan manajemen
2. Investasi Langsung
Investasi langsung atau disebut juga dengan penanaman modal
asing (PMA) merupakan bentuk investasi dengan jalan membangun,
membeli total atau mengakuisisi perusahaan. Penanaman modal asing
(PMA) atau Foreign direct investment (FDI) lebih banyak mempunyai
kelebihan. Selain sifatnya yang permanen/ jangka panjang, penanaman
modal asing memberi andil dalam alih teknologi, alih keterampilan
manajemen dan membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini penting
diperhatikan, mengingat bahwa masalah menyediakan lapangan kerja
merupakan masalah yang cukup memusingkan pemerintah.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan
penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing dan modal asing.
Pengertian-pengertian ini terdapat dalam Bab 1 Pasal 1 ayat (1) yang
menyatakan bahwa penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. sedangkan yang
dimaksud dengan penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam
27
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal
dalam negeri.7
Sedangkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
memberi pengertian penanaman modal asing sebagai kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing
sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam
negeri.
Penanaman modal asing ini dapat dilakukan baik oleh perorangan
warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.8 adapun
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 memberikan pengertian apa yang
dimaksud dengan modal yaitu asset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang
bukan uang yang dimiliki oleh penanaman modal yang mempunyai nilai
ekonomis.9 Sedangkan modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara
asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum
7 Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
8 Lihat Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
9 Lihat Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
28
asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya
dimiliki oleh pihak asing.10
Batasan penanaman modal asing adalah perseorangan negara asing,
badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman
modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25
tahun 2007 tidak memperinci bidang apa yang diperbolehkan bagi penanaman
modal asing langsung. Pasal 2 menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-
undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara
Republik Indonesia. dalam penjelasan Pasal 2 tersebut dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara
Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk
penanaman modal tidak langsung atau portofolio.
Dari hal tersebut di atas, terlihat bahwa Undang-undang ini hanya
mengatur penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung.
Sedangkan mengenai bidang-bidang usaha tidak terdapat dalam Undang-
undang ini, tetapi terdapat dalam peraturan pelaksanaan yang berupa
Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang kriteria dan persyaratan
penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka
dengan persyaratan di bidang penanaman modal dan Peraturan Presiden RI
10 Lihat Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
29
Nomor 77 tahun 2007 tentang Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal serta
Peraturan Presiden RI Nomor 111 tahun 2007 tentang perubahan terhadap
Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007.
Mengenai penanaman modal asing langsung, terdapat 3 komponen
yang berbeda, yaitu:11
1. Kepemilikan modal (equity capital) yaitu pembelian sejumlah saham dari
suatu perusahaan oleh penanaman modal asing di suatu negara selain di
negaranya;
2. Penanaman modal kembali di negara tempat modal ditanam yang berasal
dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan penanam modal asing
yang seharusnya modal tersebut dikembalikan ke negara asal modal
(reinvested earning). Hal ini biasanya dilakukan oleh anak perusahaan
yang berada di negara tersebut;
3. Pinjaman antar perusahaan (intracompany loans) yaitu peminjaman
sejumlah modal baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang yang
dilakukan di lingkungan intern dari perusahaan tersebut antara induk
perusahaan dan anak perusahaan.
11 Peter Malanczuk, 2008, International Law Provisions for the Protection of Foreign Investment,
Public Lecture on Public International Law, State University of Padjajaran, Bandung, hlm. 4. Dalam
An An Chandrawulan, 2011, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 41.
30
2.1.2 Teori Penanaman Modal Asing
Hal yang penting dalam perkembangan penanaman modal asing
adalah perkembangan dari banyaknya teori-teori yag mencoba menjelaskan
mengapa perusahaan penanaman modal menjadi isu utama dalam penanaman
modal asing, mengapa perusahaan multinasional atau penanaman modal
memilih satu dari beberapa negara yang dijadikan lokasi bagi aktivitas bisnis
dan penanaman modal dan mengapa mereka menggunakan satu model khusus
untuk masuk ke suatu negara penerima modal.
Teori-teori ini juga menjelaskan mengapa beberapa negara lebih
berhasil dibandingkan negara lain dalam menarik penanaman modal asing
masuk ke negaranya. Teori-teori ini telah berperan penting dalam
pembentukan rezim hukum penanaman modal asing baik secara nasional
maupun internasional.
Sornarajah mengembangkan The Middle Path Theory atau teori jalan
tengah. Teori ini berupaya mendamaikan adanya poliniasi dua teori yang
saling bersilang, yaitu teori klasik yang berpendapat bahwa semua penanaman
modal asing baik sifatnya dan teori yang kedua yaitu teori ketergantungan
31
yang beranggapan bahwa semua penanaman modal asing bersifat
membahayakan.12
Muchammad Zaidun dalam orasi ilmiahnya, mengemukakan teori-
teori yang berkaitan dengan kepentingan negara dalam bidang investasi,
tinjauannya adalah dari sudut pandang kepentingan pembangunan ekonomi,
yaitu melihat segi kepentingan ekonomi yang menjadi dasar pertimbangan
perumusan kebijakan, lazimnya meminjam teori-teori ekonomi pembangunan
sebagai dasar pijakan kebijakan hukum investasi yang cukup populer, antara
lain:13
1. Teori Klasik dan Neo Klasik (The Classical and Neo Classical Theory
on Foreign Investment)
Teori ekonomi klasik dalam penanaman modal asing
menyatakan bahwa penanaman modal asing secara keseluruhan
menguntungkan ekonomi negara penerima modal. Terdapat beberapa
faktor yang mendukung pandangan teori klasik dan neo klasik, yaitu:
Pertama, merupakan fakta bahwa modal asing yang dibawa ke
negara pemilik modal menjamin bahwa modal nasional/domestic yang
12 M. Sornarajah, 2010, The International Law on Foreign Investment, Cambridge University
Press, Cambridge USA, hlm. 45.
13 Ardiansyah, Teori-Teori Hukum Investasi dan Penanaman Modal, 26 Juni 2014, URL:
https://customslawyer.wordpress.com/2014/06/26/teori-teori-hukum-investasi-dan-penanaman-modal/,
diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
32
tersedia dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Masuknya modal dan penanaman modal
asing kembali oleh penanaman modal asing yang berasal dari
keuntungan yang tidak dikembalikan ke negaranya, akan
meningkatkan tabungan dari negara penerima modal. Penghasilan
pemerintah melalui pajak meningkat dan pembayaran-pembayaran lain
juga akan meningkat. Lebih jauh lagi, modal asing yang masuk ke
negara penerima modal mengurangi pembatasan neraca pembayaran
dari negara penerima modal. Secara umum, penanaman modal
meningkatkan aktivitas ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.14
Kedua, Penanaman modal asing biasanya membawa serta
teknologi yang terdapat di negara pemilik modal dan menyebarkan
teknologi tersebut di dalam negara penerima modal.
Ketiga, dengan masuknya modal asing berarti terciptanya
lapangan baru. Tanpa penanaman modal asing kesempatan untuk
bekerja tidak akan didapat.
Keempat, pekerja-pekerja yang dipekerjakan pada perusahaan
penanaman modal asing akan mendapatkan keahlian sehubungan
dengan teknologi yang dibawa dan diperkenalkan oleh penanam modal
14 Ibid, hlm. 51.
33
asing. Keahlian dalam bidang manajemen dari proyek-proyek besar
akan beralih kepada tenaga ahli lokal.
Kelima, fasilitas-fasilitas infrastruktur akan dibangun baik oleh
pemerintah maupun perusahaan penanaman modal asing dan semua
fasilitas seperti transportasi, kesehatan, pendidikan yang
diperuntukkan bagi penanaman modal asing akan juga bermanfaat
bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pendapat yang sangat mendasar dari teori neo-klasik adalah
bahwa penanaman modal asing khsusnya negara berkembang,
memainkan peran sebagai tutor. Penanaman modal asing
menggantikan fungsi produksi yang lebih rendah di negara industri
yang masuk melalui alih teknologi, keahlian manajemen dan
pemasaran, informasi pasar, pengalaman organisasi, penemuan-
penemuan produk baru dan teknik produksi, serta pelatihan-pelatihan
pekerja, khusunya perusahaan multinasional yang dianggap sebagai
agen yang berguna bagi pengalihan teknologi dan ilmu pengetahuan.15
Pendukung dari teori neo-klasik ini lebih jauh lagi berpendapat
bahwa penanaman modal asing meningkatkan persaingan di bidang
industri dengan pengembangan produktivitas. Penanaman modal asing
15 An An Chandrawulan, 2011, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 58.
34
juga memperluas pasar bagi produsen negara penerima modal untuk
memasarkan barang-barangnya ke pasaran dunia, membawa pada
persaingan yang lebih besar dan kesempatan untuk pengalihan
teknologi.16
Teori neo-klasik telah memainkan peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi prinsip dasar dari hukum internasional dalam
bidang penanaman modal asing. Kebanyakan perjanjian bilateral di
bidang penanaman modal di antara negara-negara percaya bahwa
masuknya penanaman modal asing akan mendorong pembangunan
ekonomi dan membawa kemakmuran ekonomi negara mereka.17
2. Teori Kebergantungan (The Dependency Theory)
Teori ini didasari oleh banyaknya penanaman modal asing
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang
berkantor pusat di negara maju dan beroperasi melalui anak-anak
perusahaannya di negara berkembang. Teori ini menyatakan bahwa
perusahaan multinasional dalam menanamkan modalnya di negara
berkembang dengan kebijakan global hanyalah untuk kepentingan
induk perusahaan dan pemilik saham dari perusahaan multinasional
tersebut yang berada di negara penanam modal. Negara pemilik modal
16 Ibid.
17 Ibid, hlm 58-59.
35
menjadi sentral ekonomi di dunia, sedangkan negara-negara
berkembang melayani kepentingan dari negara pemilik modal.
Pembangunan menjadi tidak mungkin dalam suatu negara berkembang
sebagai pelaku ekonomi yang tidak penting kecuali dapat mengubah
situasi dengan negara berkembang menjadi pusat ekonomi melalui
penanaman modal asing.18
Menurut teori kebergantungan, penanaman modal asing di
negara berkembang tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang
berarti. Penanaman modal asing menahan pertumbuhan ekonomi dan
kenaikan pemasukan di negara penerima modal. 19 Perkembangan
ekonomi negara berkembang dirasakan lamban karena berbagai
alasan.
Pertama, penanaman modal asing langsung yang banyak
dilakukan oleh perusahaan multinasional biasanya menegakkan
kebijakan global bagi kepentingan negara-negara maju yang kantor
pusat dan pemilik sahamnya berada di negara pemilik modal. Negara
pemilik modal dari penanaman modal asing menjadi pusat ekonomi
negara penerima modal hanya sebagai pelayan ekonomi yang tidak
penting bagi pusat ekonomi
18 M. Sornarajah, Op.cit., hlm. 57.
19 Ibid, hlm. 43.
36
Kedua, masuknya atau mengalirnya modal ke negara
berkembang, terdapat ketentuan bahwa modal yang ditanam dan
keuntungan yang diperoleh di negara penerima modal asing dapat
dikembalikan ke negaranya. Berdasarkan ketentuan ini, dalam praktik
penanaman modal asing mengembalikan baik modal asal maupun
keuntungan dua kali lipat dari modal yang mereka bawa.
Ketiga, penanaman modal asing menggunakan kekayaan alam
tanpa memerhatikan kepentingan dan kebutuhan setempat, sebagai
akibatnya mereka kehilangan pekerjaan dan mengalami kebangkrutan.
Penanaman modal asing berdasarkan teori kebergantungan
hanya menguntungkan perusahaan multinasional dan membuat
kebergantungan negara berkembang dalam membangun ekonominya
bergantung kepada penanaman modal asing dan tidak bermanfaat bagi
negara penerima modal. Pada kenyataannya, di dunia saat ini dengan
dikuranginya bantuan dana resmi terhadap negara-negara berkembang,
penanaman modal menjadi sumber pendanaan yang penting bagi
pembangunan proyek-proyek besar. Lebih jauh lagi, keberadaan teori
kebergantungan dalam penanaman modal asing langsung tetap
dipertahankan di era globalisasi.20
20 An An Chandrawulan, Op.cit., hlm. 63.
37
3. Teori Penengah (The Middle Path Theory)
Teori ini muncul sebagai reaksi dari negara-negara
berkembang dalam mengubah pandangannya terhadap perusahaan
multinasional. Negara-negara berkembang mulai percaya diri dalam
menghadapi perusahaan multinasional dan perusahaan multinasional
pun meninggalkan perannya sebagai alat dari kebijakan luar negeri
negara pemilik modal.
Teori penengah dikenal juga sebagai teori yang
mengedepankan peran pemerintah atau negara dalam melakukan
strategi pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara
berkembang. Menurut teori ini, negara-negara harus merumuskan dan
menyusun serta mengikuti tujuan-tujuan yang tidak mudah
dilakukannya sebagai permintaan atau kepentingan dari kelompok-
kelompok sosial, kelas-kelas atau masyarakat dalam wilayahnya.21
2.1.3 Asas dan Tujuan Penanaman Modal Asing
Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undnag Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, penanaman modal di Indonesia diselenggarakan
berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
1. Kepastian hukum
21 Ibid, hlm. 65.
38
Asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan
peraturan perundnag-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan
tindakan dalam penanaman modal.
2. Keterbukaan
Keterbukaan berarti atas hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan
penanaman modal.
3. Akuntabilitas
Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan.
4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara.
Asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, baik antara penanaman modal dalam
negeri dan penananm modal dari suatu negara asing dan penanaman
modal dari negara asing lainnya.
5. Kebersamaan
Asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara
bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
6. Efisiensi Berkeadilan
39
Asas yang mendasari penanaman modal dengan mengedepankan
efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang
adil, kondusif dan berdaya guna.
7. Berkelanjutan
Asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses
pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan
dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan baik masa kini maupun masa
yang akan datang.
8. Berwawasan lingkungan
Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan
lingkungan hidup.
9. Kemandirian
Asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri
pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
10. Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi
wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
40
Tujuan dari penanaman modal asing antara lain menurut Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai
berikut:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Menciptakan lapangan kerja;
3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri;
8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.2 Arbitrase
Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum memiliki suatu
kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah-masalah dan sengketa-sengketa yang
timbul diantara mereka dengan cara litigasi maupun non litigasi dimana cara ini
seperti ini dirasa lebih arif dan bijaksana demi menjunjung suatu keadilan dan
kebenaran daripada mereka bertindak dengan cara main hakim sendiri dimana cara
semacam ini tidaklah mencerminkan sikap yang baik. Secara umum penyelesaian
41
sengketa yang dilakukan oleh subjek hukum lebih kental dengan cara litigasi
(Peradilan), dimana cara seperti ini dianggap lebih baik karena mempunyai kekuatan
hukum pasti yang bersifat final dengan posisi para pihak akan timbullah pihak yang
menang dan yang kalah (win lost posisition).22
Tetapi para subjek hukum seperti orang dan badan hukum yang bergerak di
bidang bisnis atau perdagangan biasanya lebih memilih untuk menyelesaikan
sengketa melalui suatu lembaga non litigasi seperti Lembaga Arbitrase. Dimana
menyelesaikan suatu sengketa dengan cara ini dirasa lebih baik untuk menjamin dan
melindungi kredibilitas dari suatu usaha yang dijalankan dimana dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini akan menghasilkan win-win solution diantara para
pihak yang bersengketa. Dari pada menggunakan penyelesaian melalui peradilan
dimana tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang
bersengketa, bahkan lembaga peradilan yang secara konkret ketika mengemban tugas
untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta
menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan dianggap sebagai tempat
menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.23
Peranan badan arbitrase komersial di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
bisnis dibidang perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini menjadi
22 Huala Adolf, 2002, Arbitrase Komersial Internasional, PR RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
12.
23 Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegaakan
Keadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, hlm. 3.
42
semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula
arbitrase, dan memang bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui
badan ini memberi keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.24
2.2.1 Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dikaitkannya
istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa
majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan
sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Tetapi hal ini
sangat bertolak belakang dimana arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang
dilakukan oleh pengadilan yang mana dapat mengambil suatu keputusan dalam
hal ini.
Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa
24 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 1.
43
para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim
yang mereka pilih. 25 Sedangkan Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa
arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara
yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan
didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.26 Selanjutnya Gatot
Semartono, mengemukan arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak,
dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil
keputusan.27
Sudikno Mertokusumo menjelaskan arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa kepada seorang wasit atau arbiter.28
Definisi lainnya tentang arbitrase adalah suatu tindakan hukum di mana
ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau
lebih ataupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang atau beberapa ahli yang
25 Dodik Setiawan, Definisi Arbitrase, URL:
https://dodiksetiawan.wordpress.com/2009/04/14/definisi-arbitrase/, diakses pada tanggal 19 Maret
2015.
26 Ibid.
27 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm. 2.
28 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta: Liberty,
hlm. 144.
44
disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final yang
mengikat. 29 Black’s Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase
sebagai berikut a method of dispute resolution involving one or more neutral third
parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is
binding.30
Dilihat dari pengertian-pengertian arbitrase di atas maka, dapat diketahui
bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah upaya menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan yang di dasarkan atas perjanjian yang telah di sepakati oleh para
pihak dalam hal ini melalui arbiter, dimana penyelesaian melalui arbitrase ini
dilakukan secara tertutup atau rahasia.
Dalam menyelesaikan suatu sengketa, arbitrase memiliki suatu lembaga
yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan suatu persengketaan yang
telah terjadi diantara pihak dimana para pihak telah menyepakatinya dengan
dituangkan dalam suatu perjanjian.
Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, lembaga arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan
29 Gatot Soemartono, Op.cit., hlm. 23.
30 Dodik Setiawan, Loc.cit.
45
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa. Sehingga lembaga arbitrase ini hampir mirip dengan
lembaga peradilan dimana lembaga ini dapat pula memutuskan suatu sengketa
tidak hanya itu saja keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini memiliki
kekuatan yang sama pula seperti lembaga peradilan dimana keputusan tersebut
bersifat final dan mengikat (final and binding).
Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan
memilih lembaga arbitrase yang dikehendaki oleh para pihak dari berbagai badan
arbitrase yang ada saat ini baik nasional maupun internasional. Sehingga dalam
hal ini penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional pun diakui dan
dianggap sah. Syarat dapat dikatakan sebagai arbitrase Internasional jika sudah
memenuhi salah satu atau lebih syarat sebagai berikut:31
1. keorganisasiannya, yaitu suatu organisasi yang para anggotanya adalah
negara-negara, sehingga bersifat internasional.
2. proses beracaranya, yaitu tata cara atau prosedur persidangannya
dilaksanakan menurut ketentuan atau peraturan, yang bebas dari sistem
hukum negara di tempat keberadaan arbitrase tersebut.
31 Gatot Soemartono, Op.cit., hlm. 29.
46
3. tempatnya, yaitu dalam kenyataannya apakah tempat arbitrase tersebut
berhubungan dengan lebih satu yurisdiksi atau apakah terdapat unsur
yurisdiksi atau apakah terdapat unsur yurisdiksi asing di dalamnya.
2.2.2 Ruang Lingkup Arbitrase
Arbitrase yang merupakan salah satu penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang di dasarkan oleh perjanjian arbitrase yang telah di sepakati oleh
para pihak bila mengalami suatu sengketa, sehingga perkara yang di tangani
dengan menggunakan penyelesaian arbitrase ini lebih cenderung bersifat privat
maupun publik tetapi dalam hal permasalahan yang berkaitan dengan pidana
penyelesaian melalui arbitrase tidak dapat dilakukan karena hal ini merupakan
kewenangan absolut dari lembaga peradilan. Menurut Komar Kantaatmadja,
arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa publik
maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih
untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). 32 Sementara sengketa
perdata dapat digolongkan menjadi:33
1. Ouality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of
fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualitikasi
teknis yang tinggi;
32 Priyatna Abdurrasyid, dkk., 2001, Prospek Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, Hal. 141.
33 Ibid.
47
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,
sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam
dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan
kontrak;
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan
hukum (question of fact and law).
Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini meliputi
beda pendapat dan sengketa di bidang perdaganganan, industri, keuangan,
korporasi, asuransi, lembaga keuangan, hak kekayaan intelektual, lisensi dan
hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, sehingga penyelesaian ini
lebih cenderung di minati oleh kalangan pengusaha pada khususnya karena
cara ini lebih serasi dengan kebutuhan dunia bisnis yang cenderung bergerak
pada bidang perdata.34
Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam hal ini, dimana syarat
ini merupakan hal yang paling penting yang mana persetujuan di antara pihak
di buat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Setiap
lembaga arbitrase, baik domestik maupun internasional dalam menyelesaikan
sengketa harus memiliki klausul yang telah disepakati dengan bentuk klausul
34 Ibid.
48
arbitrase. Di Indonesia sendiri menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menuangkan
klausul arbitrase dalam bentuk tertulis. Penyelesaian sengketa secara arbitrase
harus diperjanjikan (clausula arbitrase):35
1. Factum de compromitendo, merupakan suatu ketentuan yang
tercantum di dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa
setiap perselisihan yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan
perjanjian atau kontrak tersebut akan diserahkan pada arbitrase untuk
diputuskan.
2. Acta compromis, adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang
telah terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa
mereka agar diputuskan oleh arbitrase (pada umumnya arbitrase ad-
hoc).
Sedangkan dalam lembaga arbitrase Indonesia seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menyarankan kepada para pihak yang ingin
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase perlu membuat suatu perjanjian
yang isi perjanjiannya bahwa semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini,
akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan
35 Gatot Soemartono, Op.Cit, Hal. 32.
49
prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak
yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan terakhir.36
Sementara Perjanjian/klausula arbitrase bersifat accessoir, tetapi tidak
menjadi batal karena batalnya perjanjian pokok. Tetapi tidak hanya itu saja
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dalam bentuk tertulis untuk
suatu perjanjian, sehingga klausul arbitrase pun dapat dilakukan secara lisan
apabila perjanjian pokoknya sudah diadakan secara lisan oleh para pihak
dalam hal ini. Perjanjian tertulis harus memuat sebagai berikut:37
1. masalah yang dipersengketakan,
2. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak,
3. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase,
4. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan,
5. nama lengkap sekretaris,
6. jangka waktu penyelesaian sengketa,
7. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
8. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan bagi penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
36 Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Pendapat Yang Mengikat dan Klausula Arbitrase, URL:
http://www.bani-arb.org/bani_pendapat_ind.html, diaksea pada tanggal 20 Maret 2015.
37 Ibid, hlm. 31.
50
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas batal
demi hukum. Perjanjian untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal)
serta tertulis. Sementara klausula arbitrase mempunyai empat fungsi yang
esensial, yakni:
1. menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory
consequences) bagi para pihak;
2. mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa
para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan);
3. memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan
4. menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.
2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Arbitrase
Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa
unsur positif, yaitu:38
1. Para pihak memiliki kebebasan dalam melilih hakimnya (arbitrator)
baik secara langsung maupun tidak secara langsung (dalam hal ini
dengan bantuan pihak ke-3 misalnya pengadilan internasional) yang
menunjuk arbitrator untuk salah satu atau kedua belah pihak. Hal ini
penting, karena apabila suatu negara menyerahkan sengketanya
kepada pihak ketiga (dalam hal ini arbitrase) maka negara tersebut
38 Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
41.
51
harus mempercayakan sengketanya diputus oleh pihak ketiga tersebut,
yang sedikitnya menurut negara tersebut bisa diandalkan, dipercaya
dan memiliki kredibilitas.
2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau
persyaratan bagaimana suatu putusan akan didasarkan misalnya dalam
menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada
pokok sengketa, dan lain-lain.
3. Sifat dan putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
4. Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara
rahasia, apabila para pihak menginginkannya.
5. Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas dalam arbitrase.
6. Kecepatan dalam proses karena suatu persetujuan arbitrase harus
menetapkan jangka waktu, yaitu beberapa lama perselisihan atau
sengketa yang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para
pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, jangka waktu
penyelesaian ditentukan oleh aturan-aturan arbitrase setempat yang
dipilih.
7. Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak
diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan
yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan.
Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan
putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya.
52
Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan
arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang, misalnya
ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan
udara, laut, dan lain-lain.
Di samping unsur-unsur positif, badan arbitrase internasional publik
memiliki kekurangan sebagai berikut:
1. Pada umumnya negara masih enggan memberikan komitmennya untuk
menyerahkan sengketanya kepada badan-badan pengadilan
internasional, termasuk badan arbitrase internasional.39
2. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa
putusannya akan mengikat. Hukum internasional tidak menjamin
bahwa pihak yang kalah atau tidak puas dengan putusan yang
dikeluarkan akan melaksanakan putusan tersebut.40
3. Terkait dengan bonafidas para pihak, pelaksanaan keputusan arbitrase
membutuhkan jaminan bonafidas dalam bentuk kerelaan para pihak
untuk mentaati keputusan tersebut. Suatu keputusan arbitrase dapat
dama sekali kehilangan kekuatannya jika salah satu pihak atau pihak-
pihak yang terlibat dalam sengketa tidak memenuhi syarat bonafidas.
Jika hal demikian tidak ada, suatu forum arbitrase dapat menjadi
39 Ibid.
40 Ibid.