22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori atau Konseptual
1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
a. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
1) Hierarki Norma Hukum Negara
Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S.
(2007: 41) mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum
(Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam
arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar
(Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans
Nawiasky, yang merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. Hans
Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara (die
Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky
sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41)
berpendapat bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang-
jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar
berikut ini:
a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara), merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi
dan undang-undang dari suatu negara (Staatsverfassung),
termasuk norma pengubahannya. Ia terlebih dahulu ada sebelum
adanya konstitusi atau undang-undang dasar.
23
b) Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau
Aturan Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih
bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih
bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum
tunggal.
c) Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang ‘Formal’),
merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta
sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma
hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang
bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan
norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum
sekunder di samping norma hukum primernya. Di dalam Undang-
Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat
sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa.
d) Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan
Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan
yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.
Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi,
sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan
atribusi. Atribusi kewenangan merupakan pemberian kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh
Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (Undang-Undang)
kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara
delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan
dinyatakan dengan tegas maupun tidak.
24
Pengelompokan norma hukum menurut Hans Nawiasky dapat
digambarkan dalam sebuah piramida sebagaimana penulis sajikan
berikut ini:
Gambar 1. Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Theorie
vom Stufenordnung der Rechtsnormen).
b. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Secara normatif, hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Propinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Formell Gesetz
Staatsfundamentalnorm
m
Staatsgrundgesetz
Verordnung dan
Autonome Satzung
25
Rumusan ketentuan tersebut mencerminkan teori jenjang norma
hukum negara yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky sebagaimana dapat
disajikan dalam gambar berikut ini:
Gambar 2. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia
Teori mengenai hierarki atau tata urutan peraturan perundang-
undangan tersebut jika dikaji lebih mendalam mengandung beberapa
prinsip, di antaranya:
1) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
2) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang
tingkatnya lebih tinggi.
3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau
diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
paling tidak dengan yang sederajat.
5) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur
mengenai materi yang sama, peraturan terbaru harus diberlakukan
Staatsfundamentalnorm
m UUD NRI Tahun 1945
Ketetapan MPR
UU/Perpu
PP
Perpres
Perda (Propinsi dan
Kabupaten)
Staatsgrundgesetz
Formell Gesetz
Verordnung dan
Autonome Satzung
Pancasila
26
walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang
lama dicabut. Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus
diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum
(Bega Ragawino, 2005: 15-17).
c. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan
Roni Hanitijo Soemitro sebagaimana dikutip oleh Yudho Taruno
Muryanto dan Djuwityastuti mengemukakan bahwa dalam sinkronisasi
peraturan perundang-undangan terdapat konsepsi pokok yang harus
diperhatikan, yaitu:
Apabila sinkronisasi peraturan perundang-undangan itu ditelaah
secara vertikal, berarti akan dapat dilihat bagaimana hierarkinya.
Apabila ditelaah secara horizontal, akan terlihat sejauh mana
peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu
mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. Dengan
sinkronisasi hukum, akan diperoleh jawaban menyeluruh terkait
dengan permasalahan mengenai peraturan perundang-undangan
tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang
ada pada peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-
bidang tertentu (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti, 2014:
129).
Sinkronisasi atau penyelarasan peraturan perundang-undangan
(syncronization of law) lebih mementingkan bahwa peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan satu sama lain peraturan
perundang-undangan yang sederajat (sinkronisasi sederajat atau horizontal)
dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi (sinkronisasi vertikal) (Yohanes Suhardin, 2008: 85). Terkait
sinkronisasi peraturan perundang-undangan, Novianto M. Hantoro
menyatakan sebagai berikut:
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai
peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang
mengatur suatu bidang tertentu, dengan maksud agar substansi
yang diatur dalam produk perundang-undangan tersebut tidak
tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,
dan semakin rendah jenis pengaturannya maka akan semakin detail
dan operasional materi muatannya. Adanya kegiatan sinkronisasi
terhadap peraturan perundang-undangan akan menciptakan sebuah
27
keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan
yang lainnya, untuk mewujudkan landasan terhadap pengaturan
suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian
hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut
secara efektif dan efisien (Novianto M. Hantoro, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-20.pdf
diakses pada tanggal 25 November 2015 pukul 20.00 WIB).
Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa dalam menguji taraf
sinkronisasi peraturan perundang-undangan, selain memahami jenis,
hierarki, dan asas-asas peraturan perundang-undangan, juga perlu untuk
menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya
suatu undang-undang, landasan filosofis undang-undang, dan ratio legis
dari ketentuan undang-undang, dikarenakan undang-undang dibuat oleh
wakil-wakil rakyat yang diandaikan dibuat oleh rakyat, sedangkan regulasi
tidak lain daripada pendelegasian apa yang dikehendaki rakyat (Peter
Mahmud Marzuki, 2014: 142). Sinkronisasi peraturan perundang-
undangan dapat ditelaah baik secara vertikal maupun secara horizontal
sebagaimana akan diuraikan berikut ini:
1) Sinkronisasi Vertikal
Sinkronisasi vertikal dilakukan dengan melihat apakah suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang
kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang
lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada (Bambang Sunggono, 2011: 94).
Terlebih dahulu perlu diadakan inventarisasi terhadap peraturan
perundang-undangan berdasarkan hierarkinya dan dilakukan secara
kronologis yakni menurut saat dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan tersebut (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 85).
2) Sinkronisasi Horizontal
Peninjauan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan
yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama
(Bambang Sunggono, 2011: 96). Untuk menguji taraf sinkronisasi
peraturan perundang-undangan secara horizontal, akan diteliti sejauh
28
mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang
itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten (Amiruddin dan
Zainal Asikin, 2010: 129). Penelitian untuk taraf sinkronisasi
horizontal dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat
inventarisasi yang sejajar, yaitu menempatkan perundang-undangan
yang sederajat pada posisi yang sejajar untuk kemudian diidentifikasi
terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang, atau tinggi
(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 91).
Sinkronisasi hukum merupakan kegiatan yang tersistematisasi,
sehingga dalam pelaksanaannya memuat beberapa prosedur. Sinkronisasi
terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya dapat dilakukan
melalui 4 (empat) tahapan prosedur sebagaimana diuraikan berikut ini:
1) Inventarisasi
Inventarisasi merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui dan
memperoleh data dan informasi mengenai peraturan perundang-
undangan terkait dengan bidang tertentu. Peraturan perundang-
undangan yang telah diinventarisasi kemudian dievaluasi untuk
mendapatkan peraturan yang paling relevan atau mempunyai
keterkaitan secara teknis atau substansial terhadap bidang tertentu
yang telah ditentukan sebelumnya. Proses inventarisasi sesungguhnya
dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis serta melalui proses
klasifikasi yang logis dan tersistematis.
2) Analisa Substansi
Tahap ini diawali dengan memastikan kedudukan peraturan
perundang-undangan yang akan disinkronisasi berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, untuk selanjutnya
dilakukan pengkajian terhadapnya. Pengkajian tersebut dilakukan
terhadap substansi yang mencakup peristilahan, definisi, dan substansi.
29
3) Hasil Analisa
Berdasarkan pengkajian pada tahap analisa substansi,
selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mendapatkan hasil yang valid
dan benar, yang akan dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan
sinkronisasi. Hasil yang diharapkan dalam tahap ini meliputi:
a) Pasal-pasal yang terkait dengan identifikasi permasalahan.
b) Keterkaitan antar pasal-pasal yang telah diidentifikasi dengan
peraturan perundang-undangan di bidang tertentu.
c) Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan di bidang tertentu.
4) Pelaksanaan Sinkronisasi
Tahap ini dilakukan dengan merumuskan dan mensinkronkan
substansi peraturan perundang-undangan, serta merinci substansi
teknis peraturan perundang-undangan yang disusun (Ricky Aprian,
2010: 7-10).
d. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Asas merupakan suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya sesuatu norma hukum (Charlie Rudyat, 2013: 59). Asas
hukum bukanlah peraturan hukum, akan tetapi tidak ada hukum yang dapat
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang terkandung di
dalamnya, sehingga hukum suatu bangsa tidak dapat hanya dipahami
melalui peraturan perundang-undangannya saja, melainkan harus
menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya, karena asas hukum
memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata
hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 47). Lon. L. Fuller sebagaimana dikutip
oleh Satjipto Rahardjo (2006: 51) berpendapat bahwa suatu sistem hukum
harus mengandung suatu moralitas tertentu, sehingga diletakkanlah 8
(delapan) asas (principles of legality) sebagai parameter terhadap sistem
hukum yang baik, di antaranya:
1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Ia tidak
boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
30
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.
3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang
demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak dapat dipakai
untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan berlaku
secara surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk
berlaku bagi waktu yang akan datang.
4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti.
5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari.
Secara teoritis, A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh
Maria Farida Indrati S., menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai
berikut:
1) Asas-asas formal, dengan perincian:
a) asas tujuan yang jelas;
b) asas perlunya pengaturan;
c) asas organ atau lembaga yang tepat;
d) asas materi muatan yang tepat;
e) asas dapatnya dilaksanakan; dan
f) asas dapatnya dikenali.
2) Asas-asas material, dengan perincian:
a) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma
Fundamental Negara;
b) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
31
c) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas Hukum;
dan
d) asas sesuai dengan prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem
Konstitusi (Maria Farida Indrati S., 2007: 230).
Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hal yang sama, namun terdapat ketidaksesuaian
pengaturan materi muatannya, maka dapat dilakukan dengan menerapkan
asas hukum atau doktrin hukum sebagai berikut:
1) Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Asas ini menghendaki bahwa apabila terjadi pertentangan
antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih
rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan
yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan (Peter
Mahmud Marzuki, 2014: 139). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh
A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa apabila substansi peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi mengatur hal yang
oleh undang-undang telah ditetapkan menjadi wewenang
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, hal ini
merupakan pengecualian terhadap asas ini (A.A. Oka
Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-
harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada
tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).
2) Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan
yang secara hierarki mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi
ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-
undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara
khusus dari yang lain (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 139). Menurut
Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra, terdapat
beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis
derogat legi generali, di antaranya:
32
a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum
tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut.
b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan
ketentuan-ketentuan lex generali (Undang-Undang dengan
Undang-Undang).
c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan lex generali (A.A. Oka
Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-
harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada
tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).
Berdasarkan pada beberapa prinsip tersebut, peneliti dituntut
untuk dapat mengidentifikasi ruang lingkup materi muatan kedua
peraturan perundang-undangan, yang mana antara lex specialis dan lex
generali harus mempunyai kedudukan yang sama dalam hierarki
peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 140).
3) Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori
Terkait dengan asas ini, Peter Mahmud Marzuki berpendapat
sebagai berikut:
Asas lex posterior derogat legi priori menghendaki bahwa
peraturan perundang-undangan yang terkemudian
menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu.
Penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang dihadapkan
adalah dua peraturan perundang-undangan dalam hierarki
yang sama. Adanya asas ini dapat dipahami mengingat
peraturan perundang-undangan yang baru lebih
mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang
berlangsung. Akan tetapi, dapat pula dibayangkan sebaliknya,
yaitu peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat
ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang dihadapi.
Apabila ketentuan yang termuat di dalam peraturan
perundang-undangan yang lama tidak bertentangan dengan
landasan filosofis peraturan perundang-undangan yang baru,
ketentuan tersebut tetap berlaku melalui aturan peralihan
peraturan perundang-undangan yang baru (Peter Mahmud
Marzuki, 2014: 141-142).
33
Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra
menyatakan bahwa asas lex posterior derogat legi priori memuat
prinsip-prinsip di antaranya:
a) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari
aturan hukum yang lama.
b) Aturan hukum yang baru dan aturan hukum yang lama
mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud
mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum. Ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan
perundang-undangan dalam perspektif asas lex posterior
derogat legi priori sebenarnya tidak begitu penting. Secara
prinsip, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi
pada saat aturan hukum baru mulai berlaku (A.A. Oka
Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-
harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada
tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).
Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga
telah diatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan
asas-asas materi muatan yang baik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5
dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berikut ini:
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Pasal 6
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas:
a. pengayoman;
34
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
2. Tinjauan tentang Badan Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
Penulis menyajikan beberapa batasan pengertian pokok badan
hukum yang dikemukakan oleh beberapa sarjana sebagaimana dikutip oleh
Chidir Ali (2005: 18-21) sebagai berikut:
1) Logemann berpendapat bahwa badan hukum adalah suatu
personifikatie (personifikasi), yaitu suatu bestendigheid (perwujudan,
penjelmaan) hak dan kewajiban, yang mana hukum organisasi
(organisatierecht) menentukan innerlijkstruktuur (struktur intern) dari
personifikatie itu. Badan hukum menjamin kontinuitas, karena sebagai
pendukung hak dan kewajiban akan tetap ada dan diteruskan meskipun
pengurusnya yang menjadi wakil kontinuitas tersebut berganti-ganti.
2) E. Utrecht berpendapat bahwa badan hukum (rechtpersoon) adalah
badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi
pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum adalah
setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan
manusia. Badan hukum mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama
sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan
hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama
sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.
3) Menurut R. Subekti, badan hukum pada prinsipnya merupakan suatu
badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri,
dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
35
4) Sri Soedewi Maschun Sofwan mengutarakan bahwa manusia adalah
badan pribadi, hal tersebut adalah manusia tunggal. Selain daripada
manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai
badan pribadi kepada wujud lain yang disebut sebagai badan hukum.
Badan hukum merupakan suatu kumpulan dari orang-orang bersama-
sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta
kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu.
Berangkat pada pendapat para sarjana sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa di samping manusia
sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-badan atau
perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subjek hukum yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
manusia, badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki
kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan
pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim, singkatnya
diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia, sehingga dinamakan
rechtpersoon, yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum
(C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994: 17). Hal tersebut selaras
dengan apa yang dikemukakan oleh Salim H.S bahwasanya badan hukum
terdiri dari kumpulan-kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah
yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban
(Salim H.S., 2008: 26). Badan hukum ada karena hukum, dan memang
diperlukan keberadaannya sehingga disebut sebagai legal entity, dan dapat
pula disebut artificial persoon atau manusia buatan, atau persoon in law,
atau legal persoon, atau rechtpersoon (I.G. Rai Widjaya, 2003: 127).
Pengertian badan hukum sebagai salah satu subjek hukum mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
1) perkumpulan orang (organisasi);
2) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam
hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3) mempunyai harta kekayaan tersendiri;
36
4) mempunyai pengurus;
5) mempunyai hak dan kewajiban; dan
6) dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan (Chidir Ali, 2005:
18-21).
b. Teori Badan Hukum
Terdapat beberapa teori tentang badan hukum yang dikembangkan
oleh para ahli hukum sebagai berikut:
1) Teori Fiksi
Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusialah yang
mempunyai kehendak. Badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan
merupakan suatu hal yang konkrit. Oleh karena hanya suatu abstraksi,
maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum,
sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu
kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan
hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara.
Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang
sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam
bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Dengan kata lain, hanya
manusia yang dianggap sebagai subjek hukum, tetapi orang
menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum
diperhitungkan sama dengan manusia. Orang bersikap seolah-olah ada
subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan, melainkan yang melakukan adalah
manusia sebagai wakil-wakilnya.
2) Teori Orgaan
Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu seperti manusia
sebagai penjelmaan yang nyata dalam pergaulan hukum (‘eine
leiblichgeistige Lebensein heit’). Badan hukum membentuk
kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan
seperti para pengurus sebagaimana manusia yang mengucapkan
kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan
37
tangannya, apabila kehendak itu ditulis di atas kertas, sehingga setiap
keputusan pengurus atau organ merupakan kehendak daripada badan
hukum.
3) Teori Harta karena Jabatan (Leer van het ambtelijk vermogen)
Ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam
jabatannya (ambtelijk vermogen), yakni suatu hak yang melekat pada
suatu kualitas. Tanpa daya berkehendak (wilsvermogen) tidak ada
kedudukan sebagai subjek hukum. Untuk badan hukum, yang
berkehendak adalah para pengurus, maka pada badan hukum semua
hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus
mereka adalah berhak, sehingga disebut ambtelijk vermogen.
Konsekuensi daripada ajaran ini adalah bahwa orang yang belum
dewasa (minderjarige) dimana wali (voegd) melakukan segala
perbuatan, eigendom ada pada curatele, pihak eigenaar adalah kurator.
4) Teori Kekayaan Bersama (Propriete Collective Theory)
Teori ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya hak dan
kewajiban daripada badan hukum merupakan hak dan kewajiban para
anggota bersama sehingga kekayaan badan hukum merupakan milik
bersama seluruh anggota. Badan hukum hanya merupakan suatu
konstruksi yuridis yang abstrak. Pihak yang dapat menjadi subjek
badan hukum di antaranya:
a) Setiap orang yang secara nyata ada di belakang badan hukum.
b) Setiap anggota badan hukum.
c) Setiap pihak yang mendapatkan keuntungan dari suatu badan
hukum.
5) Teori Kekayaan Bertujuan
Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusia yang dapat
menjadi subjek hukum, badan hukum bukanlah subjek hukum dan hak-
hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak
dengan tiada subjek hukum. Kekayaan badan hukum tidak terdiri dari
hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak
38
tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari
yang memegangnya (onpersoonlijk atau subjetloos). Maka, yang
terpenting ialah bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan
tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Menurut teori ini tidak peduli
apakah manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu adalah hak-hak
yang normal atau bukan, yang terpenting adalah tujuan daripada
kekayaan tersebut.
6) Teori Kenyataan Yuridis
Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum dipersamakan
dengan manusia yang merupakan suatu realita yuridis sebagai suatu
fakta yang diciptakan oleh hukum sehingga badan hukum itu
merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba,
bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Teori ini menghendaki
bahwa dalam mempersamakan manusia dengan badan hukum terbatas
hanya pada bidang hukum (Chidir Ali, 2005: 31-38).
Teori-teori badan hukum sebagaimana telah dikemukakan tersebut,
menurut Mulhadi pada pokoknya berpusat pada dua pandangan, yaitu:
1) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud
yang nyata, artinya nyata dengan pancaindera manusia sendiri.
Akibatnya, badan hukum itu disamakan atau identik dengan manusia.
Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ yang mengurus,
karena itulah para pengurusnya oleh hukum dianggap sebagai persoon.
2) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum bukan sebagai
wujud yang nyata, tetapi badan hukum itu hanya merupakan manusia
yang berdiri di belakang badan hukum tersebut. Akibatnya, menurut
anggapan yang kedua ini jika badan hukum tersebut melakukan
kesalahan, maka itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri di
belakang badan hukum tersebut secara bersama-sama (Mulhadi, 2010:
79-80).
39
c. Penggolongan Badan Hukum
Badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macamnya,
jenisnya, dan sifatnya. Secara sistematis penggolongan badan hukum
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1) Penggolongan Badan Hukum Menurut Macamnya
Menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal 2
(dua) macam badan hukum, di antaranya (Chidir Ali, 2005: 55-57):
a) badan hukum orisinil (murni, asli), yaitu negara. Contohnya:
Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus
1945; dan
b) badan hukum yang tidak orisinil (tidak murni, tidak asli), yaitu
badan-badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan
berdasarkan ketentuan Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang mengatur mengenai zadelijk lichaam atau badan
susila. Terdapat 4 (empat) macam badan hukum yang tergolong
zadelijk lichaam, yaitu:
(1) badan hukum yang diadakan atau didirikan oleh kekuasaan
umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag ingesteld),
seperti: propinsi, kotapraja, dan bank-bank yang didirikan
oleh negara;
(2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (zadelijk
lichaam op openbaar gezag erkend) seperti: perseroan
(venootschap), gereja-gereja, waterschapen seperti subak di
Bali;
(3) badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena
diizinkan (zadelijk lichaam als geoorloofd toegelsten); dan
(4) badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan
tertentu (zadelijk lichaam op een bepald oogmerk ingelsted).
40
2) Penggolongan Badan Hukum Menurut Jenisnya
Menurut jenisnya, badan hukum dapat digolongkan ke dalam
jenis badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata) yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
a) Badan Hukum Publik
Badan hukum publik (publiek rechtpersoon) didirikan
berdasarkan hukum publik, mempunyai kekuasaan wilayah,
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan
oleh eksekutif atau pemerintah atau badan dan pengurus, untuk
menyelenggarakan kepentingan publik atau orang banyak atau
negara umumnya (C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994:
25). Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh
pihak pemerintah seperti: negara, lembaga pemerintahan, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan bank negara
(Salim H.S, 2008: 26). Dalam stelsel hukum Indonesia, kriteria
yang dapat digunakan untuk menentukan apakah badan hukum
tergolong dalam jenis badan hukum publik atau bukan antara lain:
(1) dilihat dari cara pendirian atau terjadinya, artinya badan
hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu
didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
(2) lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan
tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau
umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata,
artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan
publik atau umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum
itu merupakan badan hukum publik; dan
(3) mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang
didirikan oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk
membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat
41
umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan
hukum publik (Chidir Ali, 2005: 61-62).
b) Badan Hukum Privat (Perdata)
Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh
pihak swasta seperti perkumpulan, persekutuan, perseroan
terbatas, koperasi, dan yayasan (Salim H.S, 2008: 26). Dalam
badan hukum privat (perdata), yang terpenting adalah badan-
badan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak
dari orang-perorangan (Chidir Ali, 2005: 63).
3) Penggolongan Badan Hukum Menurut Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi
2 (dua) macam, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
a) Korporasi (corporatie)
E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh
Chidir Ali menjelaskan bahwa korporasi ialah suatu gabungan
orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama
sebagai satu subjek hukum tersendiri, suatu personifikasi (Chidir
Ali, 2005: 63-64). Korporasi adalah badan hukum yang memiliki
anggota, tetapi memiliki sejumlah hak dan kewajiban yang
terpisah dengan sejumlah hak dan kewajiban yang dimiliki
anggota badan hukum (Riduan Syahrani, 1985: 55).
b) Yayasan (stichting)
E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh
Chidir Ali menjelaskan bahwa yayasan adalah tiap kekayaan
(vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan
badan dan yang diberi tujuan tertentu (Chidir Ali, 2005: 64). Harta
kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu sehingga yayasan
hanya memiliki pengurus dan bukan anggota (Riduan Syahrani,
1985: 56).
42
d. Syarat-syarat Badan Hukum
Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa syarat-syarat suatu
badan dapat dianggap sebagai badan hukum antara lain:
1) Adanya Kekayaan yang Terpisah
Sesuai dengan Teori Kekayaan Bertujuan, setiap badan hukum
memiliki kekayaan yang bertujuan untuk digunakan bagi kepentingan
tertentu, kekayaan itu diurus dan digunakan untuk tujuan tertentu, dan
tujuan badan hukum adalah objek yang dilindungi oleh hukum. Harta
kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun dari perbuatan
pemisahan yang dilakukan seseorang atau partikelir atau pemerintah
untuk suatu tertentu. Adanya harta kekayaan itu dimaksudkan sebagai
alat untuk mencapai tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta
kekayaan itu meskipun berasal dari pemasukan anggota-anggotanya,
tetapi terpisah dari harta kekayaan pribadi anggota-anggotanya itu.
Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan
tersebut, sebaliknya perbuatan badan hukum yang diwakili
pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai Tujuan Tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun
tujuan komersil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan
hukum. Tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang
anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri
oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak
dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. Akta pendirian yang
memuat anggaran dasar setiap badan hukum harus dibuat di muka
notaris, dan mendapat pengesahan secara resmi dari pemerintah, dalam
hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status badan
hukum diperoleh sejak tanggal keputusan pengesahan Menteri.
Pengesahan status badan hukum oleh pemerintah adalah pembenaran
bahwa anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang
43
undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
3) Mempunyai Kepentingan Sendiri
Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai
kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. kepentingan-
kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari
peristiwa-peristiwa hukum. Badan hukum mempunyai kepentingan
sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak
lain dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan
hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang
pendek tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Terdapat Organisasi yang Teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Badan hukum
hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantara organnya.
Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu
bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti,
dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan
lain atau keputusan rapat anggota. Berdasarkan Teori Fiksi dan Teori
Organ, badan hukum harus mempunyai alat (organ) seperti: rapat
anggota, pengurus, dan pengawas yang bertindak untuk kepentingan
dan atas nama badan hukum. Badan hukum harus mempunyai struktur
organisasi yang teratur (Abdulkadir Muhammad, 2010: 101-128).
e. Kedudukan Hukum Badan Hukum
1) Perbuatan Hukum Badan Hukum
Badan hukum adalah subjek hukum yang tidak berjiwa seperti
manusia, sehingga badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum sendiri, melainkan diwakili oleh orang-orang
manusia biasa, namun orang-orang ini bertindak bukan untuk namanya
sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum (Neni Sri Imaniyati,
2013: 128). Hal senada juga dikemukakan oleh Chidir Ali bahwa
badan hukum berbuat dengan perantaraan orang, sebab badan hukum
44
hanya suatu pengertian (begrip), yang bertindak selalu orang-orang
(Chidir Ali, 2005: 185). Pasal 1655 KUHPerdata menentukan:
Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain dalam
akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen
berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum
itu, untuk mengikatkan badan hukum itu kepada pihak ketiga
atau sebaliknya, dan untuk bertindak dalam sidang Pengadilan
baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.
Pengurus daripada badan hukum (de bestuurders) yang disebut
sebagai organ, mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama (in
naam) badan itu, sehingga merupakan unsur terpenting dari organisasi
badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 185). Badan hukum memiliki hak
dan kewajiban untuk dapat melakukan hubungan hukum
(rechtsbetrekking atau rechtsverhouding, baik antara badan hukum
yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum
dengan orang, sehingga badan hukum dapat melakukan perbuatan
hukum di lapangan harta kekayaan seperti: mengadakan perjanjian jual
beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, dan
menjalankan berbagai kegiatan usaha lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan (Riduan Syahrani, 1985: 54).
2) Kemampuan Hukum Badan Hukum
R. Ali Rido mengemukakan kemampuan hukum dari badan
hukum sebagai berikut:
a) Kemampuan hukum atau kekuasaan hukum dari badan hukum
dalam lapangan hukum harta kekayaan pada dasarnya
menunjukkan persamaan penuh dengan manusia selain secara
tegas dikecualikan oleh undang-undang, badan hukum dapat
membuat perjanjian, mempunyai hak pakai, hak cipta, hak merek,
hak paten, dan dapat melakukan perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Badan hukum
juga dapat memakai nama. Pembatasan kemampuan hukum badan
hukum pada lapangan hukum kekayaan ialah hak pakai badan
hukum tidak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun.
45
b) Dalam hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama
sekali tidak dapat bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan
hukum dapat menjadi wali sebagaimana diatur dalam Pasal 365
KUHPerdata. Badan hukum bukan manusia, sehingga tidak
mempunyai ahli waris sebagaimana manusia (Pasal 830
KUHPerdata) dan tidak dapat membuat surat wasiat (Pasal 895
KUHPerdata).
c) Mengenai penghinaan terhadap badan hukum, Paul Scholten
berpendapat bahwa dalam hukum keperdataan mungkin saja
sejauh mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum
yang dilancarkan dengan sengaja. Karena pada akhirnya berlaku
pula bagi manusia yang dilukai dan dihina kehormatan dan nama
baiknya, yaitu pengurus dan korporasi juga anggota-anggotanya,
dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
(R. Ali Rido, 2004:18-19).
3) Pertanggungjawaban Hukum Badan Hukum
Dalam hal perbuatan melawan hukum, badan hukum memiliki
tanggung jawab hukum (aansprakelijkheid), artinya dapat digugat
untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan
oleh organnya sebagai orgaan (als zodenig door de orgaan), karena
jika seorang direksi dari suatu orgaan melakukan suatu perbuatan,
maka dia dapat berbuat sebagai orgaan yang terikat badan hukum
(Chidir Ali, 2005: 218-219). Mengenai hal tersebut, menurut Jurische
Realiteit dasarnya adalah sebagai berikut:
a) Segala perbuatan wakil atau orgaan itu dapat
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Termasuk juga
onrechtmatige daad itu dapat dipertanggungjawabkan kepada
badan hukum.
b) Setiap mempertahankan hak dari pelaksanaan suatu hak oleh
pengurus sebagai orgaan dapat dipertanggungjawabkan kepada
badan hukum, sebab dalam berbuat sampai mengakibatkan
46
onrehtmatige daad tidak untuk haknya sendiri, melainkan untuk
badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 219).
3. Tinjauan tentang Badan Usaha Milik Daerah
a. Pengertian Badan Usaha Milik Daerah
Istilah Badan Usaha Milik Daerah, yang selanjutnya disingkat
BUMD, tidak terlepas dari adanya UU Perusahaan Daerah, kendati di
dalam UU Perusahaan Daerah tidak terdapat satupun istilah mengenai
BUMD. Pasal 2 UU Perusahaan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Daerah
ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini
yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan
daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau
berdasarkan Undang-undang”. Pasal tersebut tidak secara eksplisit
menunjukkan bahwa Perusahaan Daerah merupakan BUMD. Menilik
ketentuan tersebut, istilah BUMD senantiasa dibaurkan dengan istilah
Perusahaan Daerah (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno
Muryanto, 2014: 128).
Secara teoritis, Perusahaan Daerah merupakan perusahaan sumber
penghasilan daerah, milik pemerintah daerah, yang mana pengelolaan dan
pengawasannya dilakukan oleh pemerintah daerah (Buchari Alma, 2012:
84). Perusahaan Daerah didirikan dengan suatu peraturan daerah, modal
seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan merupakan
suatu badan hukum yang disahkan oleh Presiden (bagi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta), Menteri Dalam Negeri (bagi Daerah Tingkat I), dan
Gubernur (bagi Daerah Tingkat II) (Jamal Wiwoho, 2007: 61). Salah satu
sumber penerimaan daerah yang amat potensial dan menjanjikan bagi
daerah dalam usaha meningkatkan sumber PAD-nya adalah berasal dari
sektor hasil perusahaan milik daerah (Adrian Sutedi, 2009: 216).
Keberadaan BUMD sesungguhnya terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yang ketika itu pengaturannya terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Munawar Kholil, 2009: 26). BUMD hanya disebutkan secara eksplisit
47
pada satu pasal saja, yaitu Pasal 177 yang menyatakan, “Pemerintah Daerah
dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah yang pembentukan,
penggabungan, pelepasan, kepemilikan, dan/atau pembubarannya
ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan
Perundang-undangan”. Undang-undang tersebut tidak memberikan definisi
dan pengaturan secara lebih terperinci mengenai BUMD.
Definisi BUMD secara eksplisit dapat ditemukan dalam ketentuan
Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999
tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah yang menyatakan,
“Badan Usaha Milik Daerah selanjutnya disingkat BUMD adalah
Perusahaan Daerah dan bentuk hukum lainnya dari usaha milik daerah
selain Perusahaan Daerah Air Minum, Bank Pembangunan Daerah, dan
Bank Perkreditan Rakyat”. Ketentuan tersebut masih membaurkan istilah
BUMD dengan Perusahaan Daerah. Definisi BUMD juga dapat ditemukan
dalam Pasal 1 angka 40 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan,
“Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Daerah”. Mencermati rumusan pasal tersebut, istilah BUMD mulai
dipisahkan dengan istilah Perusahaan Daerah. Terkait dengan modal, pada
prinsipnya hampir serupa dengan definisi Perusahaan Daerah sebagaimana
termuat dalam Pasal 2 UU Perusahaan Daerah, hanya saja dalam ketentuan
Pasal 2 UU Perusahaan Daerah terdapat penjelasan lebih lanjut bahwa
modal untuk sebagian dari Perusahaan Daerah berasal berasal dari
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Terkait dengan BUMD, Adrian Sutedi mengutarakan pendapatnya
sebagai berikut:
BUMD merupakan badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk
mengembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah
penghasilan daerah. Terdapat dua hal pokok, yaitu: 1) sebagai
dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu
memberikan rangsangan atau stimulus bagi berkembangnya
perekonomian daerah; dan 2) sebagai penghasil pendapatan daerah,
yaitu BUMD harus mampu memberikan manfaat ekonomis
48
sehingga ada keuntungan yang dapat disetorkan ke kas daerah
(Adrian Sutedi, 2009: 218).
b. Landasan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah
1) Landasan Filosofis
Adanya perusahaan negara merupakan pengejawantahan atas
hak menguasai negara sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 UUD
NRI Tahun 1945. Cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak
penguasaan negara menurut Bagir Manan adalah sebagai berikut:
a. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui
pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan.
c. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk
usaha-usaha tertentu (Bagir Manan, 1995: 12).
W. Friedman sebagaimana dikutip oleh Made Gde Subha
Karma Resen (2015: 97) berpendapat bahwa hak penguasaan negara
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan
rakyat, artinya jika melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya
alam kepada koperasi dan swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk
pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus agar kewajiban
negara untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap
dapat dikendalikan oleh negara. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang
berkaitan dengan public utilities dan public service, atas dasar
pertimbangan filosofis (semangat dasar perekonomian adalah usaha
bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik
(mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian
negara, ekonomi (efisiensi dan efektivitas), dan demi kesejahteraan
umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap sumber
49
daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities)
dan pelayanan umum (public service), harus dikuasai negara dan
dijalankan pemerintah sebab sumber daya alam tersebut harus dapat
dinimkati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam
suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata (J.
Ronald Mawuntu, 2012: 18). Manifesto negara sebagai penguasa dan
agent of economic and social development, negara membentuk
perusahaan negara baik BUMN maupun BUMD untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan memajukan sektor ekonomi yang bersifat
vital demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2) Landasan Sosiologis
Pendirian BUMD bukanlah suatu keharusan, akan tetapi
menjadi pertimbangan bagi daerah sebagai sarana dalam rangka
memberikan pelayanan kepada masyarakat (Made Gde Subha Karma
Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134). Keberadaan BUMD
pada dasarnya merupakan kebutuhan daerah dalam hal kegiatan atau
usaha daerah untuk meningkatkan sumber pendapatannya, di samping
dari hasil pajak dan retribusi daerah yang dinilai kurang memadai dan
berkontribusi dalam memberikan masukan bagi kas daerah (Adrian
Sutedi, 2009: 216). Pemerintah daerah suatu negara sangat antusias
melibatkan diri dalam kegiatan usaha dengan mendirikan BUMD,
dikarenakan beberapa pertimbangan sebagai berikut ini:
a) Berdasarkan pertimbangan ideologis, dalam rangka melindungi
buruh dan orang banyak dari kemungkinan pemerasan oleh
penguasa swasta atau kapitalis, sebagaimana negara-negara
sosialis yang meyakini bahwa alat-alat produksi harus dikuasai
oleh negara atau daerah.
b) Di negara-negara berkembang, kegiatan pemerintah dalam bidang
usaha dimaksudkan untuk mengisi kekosongan usahawan karena
swasta tidak atau belum mampu berperan.
50
c) Untuk melindungi kepentingan umum atau orang banyak, dengan
maksud pemerintah dapat menjalankan usaha untuk melaksanakan
pelayanan yang bersifat monopoli atau untuk memberikan saingan
kepada kegiatan swasta agar tidak terjadi monopoli. Sekurang-
kurangnya pemerintah dapat menjadi price leader.
d) Untuk mencari keuntungan, dalam rangka mencari biaya untuk
membiayai kegiatan pemerintah baik untuk kegiatan rutin maupun
untuk peningkatan pelayanan jasa publik (Adrian Sutedi, 2009:
216-217).
3) Landasan Yuridis
Landasan konstitusional pendirian BUMD dapat dicermati
dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun
1945 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,
efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dibentuknya BUMD merupakan instrumen untuk menggali
potensi asset atau sumber daya yang dimiliki daerah agar dapat
dimanfaatkan secara optimal dengan orientasi keuntungan yang
dijadikan sebagai sumber PAD dan mampu menciptakan lapangan
kerja yang banyak serta menjadi penopang pelaku ekonomi daerah
(Adrian Sutedi, 2009: 218). Otonomi daerah mendasarkan pada salah
satu prinsip yaitu hubungan pusat dan daerah (mencakup hubungan
wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
51
alam, dan sumber daya lainnya) harus dilaksanakan secara adil dan
selaras (Ni’matul Huda, 2009: 18-23). Eksistensi BUMD merupakan
pengejawantahan atas prinsip tersebut, sebagai kesatuan produksi yang
memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memenuhi
kebutuhan masyarakat bersifat regional (tidak termasuk bidang usaha
yang diselenggarakan pemerintah pusat) dalam upaya mewujudkan
pemerataan pembangunan (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho
Taruno Muryanto, 2014: 130).
Secara historis, satu-satunya undang-undang yang mengatur
BUMD adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Perusahaan
Daerah. Keberadaan UU Perusahaan Daerah dalam sejarah semula
telah dihapus dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang
Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, termasuk
menghapuskan UU Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Munawar
Kholil, 2009: 26). UU Perusahaan Daerah tersebut masih diberlakukan
dan masih menghiasi peraturan daerah di beberapa daerah yang
mengatur tentang BUMD karena belum adanya kebijakan untuk
mengganti UU Perusahaan Daerah dengan peraturan perundang-
undangan yang baru (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho
Taruno Muryanto, 2014: 127).
Istilah BUMD muncul sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perubahan Badan Usaha
Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk Perusahaan Umum Daerah Dan
Perseroan Daerah, yang konsiderannya membaurkan istilah BUMD
dengan istilah Perusahaan Daerah. Pembauran istilah BUMD dengan
istilah Perusahaan Daerah juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang
Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah yang menjelaskan, “Bentuk
52
Hukum Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa Perusahaan Daerah
(PD) atau Perseroan Terbatas (PT)”. Selama ini, istilah BUMD
memang senantiasa dibaurkan dengan istilah Perusahaan Daerah (Made
Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 128).
Landasan yuridis yang terbaru mengenai BUMD ialah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
selanjutnya disingkat UU Pemerintahan Daerah. Ketentuan daripada
UU Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai BUMD dapat
dicermati pada BAB XII yang terdiri dari 12 pasal. Pengaturan tersebut
dimulai dari Pasal 331 sampai dengan Pasal 343, serta tersebar di
beberapa pasal, seperti: Pasal 1 angka 40, Pasal 134 ayat (1) huruf c,
Pasal 188 ayat (1) huruf c, Pasal 298 ayat (5) huruf c, Pasal 304 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 320 ayat (2) huruf g, Pasal 402 ayat (2), Pasal
405, dan Pasal 409.
Pasal 409 UU Pemerintahan Daerah menyatakan dengan tegas
berikut ini:
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2387);
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Berpijak pada ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa UU
Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU
Pemerintahan Daerah. Pasca berlakunya UU Pemerintahan Daerah,
memberikan implikasi yuridis bahwa seluruh BUMD yang ada di
53
Indonesia wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Pemerintahan
Daerah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
UU Pemerintahan Daerah tersebut diundangkan (Pasal 402 ayat (2))
(Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014:
133). UU Pemerintahan Daerah berkedudukan sebagai lex posterior
yang belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 405 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Berangkat dari rumusan pasal tersebut mengandung arti bahwa
semua ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan
pelaksanaan UU Perusahaan Daerah masih dinyatakan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah.
Peraturan perundang-undangan terkait dengan pendirian dan
pengelolaan BUMD yang sampai saat ini berlaku menjadi sumber
hukumnya antara lain (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti,
2014: 128-129):
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara;
c) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
e) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 1999 tentang
Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Bank Pembangunan Daerah;
54
f) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah;
g) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang
Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah;
h) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah;
i) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang
Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah; dan
c. Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah
Secara teoritis, dalam bahasa Inggris bentuk usaha atau bentuk
hukum perusahaan disebut company atau enterprise atau corporation yang
berarti organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak
setiap jenis kegiatan usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan
(Abdulkadir Muhammad, 1999: 1). Chidir Ali berpendapat bahwa bila
ditinjau dari perspektif status yuridisnya, badan usaha dapat dibedakan
atas: 1) badan usaha yang termasuk badan hukum; dan 2) badan usaha yang
bukan badan hukum. Masing-masing bentuk badan usaha tersebut memiliki
konsekuensi bentuk hukum yang berbeda sebagaimana disajikan dalam
tabel berikut ini (Chidir Ali, 2005: 108-109):
Tabel 1. Perbedaan Bentuk Hukum Badan Usaha yang Badan
Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum
Kriteria Badan Usaha yang
Badan Hukum
Badan Usaha Bukan
Badan Hukum
Bentuk Hukum
Bentuk hukum badan
usaha berbadan hukum
antara lain:
(1) Perseroan Terbatas;
(2) Perusahaan Negara;
(3) Perusahaan Daerah;
(4) Koperasi;
(5) Perusahaan Umum;
Bentuk-bentuk badan
usaha yang bukan badan
hukum antara lain:
(1) Persekutuan Perdata;
(2) Firma; dan
(3) Comansitaire
Venootschap (CV)
55
(6) Perusahaan Jawatan;
(7) Perusahaan Sero, yaitu
PT yang modalnya
dimiliki pemerintah;
dan
(8) Yayasan.
atau Persekutuan
Komanditer.
BUMD merupakan badan hukum. Pengaturan bentuk hukum
BUMD terdapat dalam Pasal 331 UU Pemerintahan Daerah yang
menyatakan, “BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah”. Pasal 334
ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan umum
Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh suatu daerah
dan tidak terbagi atas saham”. Sementara Pasal 339 ayat (1) UU
Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Perseroan Daerah adalah
BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh satu daerah”. UU Pemerintahan Daerah mengatur
secara limitatif bahwa alternatif bentuk hukum daripada BUMD hanya
terbatas pada 2 (dua) bentuk hukum, yaitu Perusahaan umum Daerah dan
Perusahaan Perseroan Daerah, yang mana masing-masing bentuk hukum
tersebut mempunyai bentuk pengelolaan yang berbeda satu sama lain
(Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134).
Melalui instrumen hukum di tingkat daerah, bentuk hukum BUMD
berusaha untuk disejajarkan dengan bentuk hukum Badan Usaha Milik
Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN. Pijakan yuridis daripada
BUMN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat UU BUMN. UU BUMN
mengatur secara limitatif bentuk hukum BUMN, yaitu Perusahaan Umum
(Perum) dan Persero (Perseroan Terbatas) (Munawar Kholil, 2009: 26-27).
Pasal 1 angka 2 UU BUMN menjelaskan, “Perusahaan Perseroan, yang
56
selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan
Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”.
Sementara dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN dijelaskan, “Perusahaan
Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan”. Namun, BUMD memiliki peran yang berbeda
dengan BUMN, yang mana BUMD hanya sebatas pada lingkup daerah
yang tidak memiliki akses langsung ke perekonomian nasional atau
langsung menjalankan peranan negara dalam kedudukannya sebagai badan
hukum publik sebagaimana yang dapat dijalankan oleh BUMN (Made Gde
Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 130).
d. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah
Pendirian BUMD mengemban misi sebagai agent of development
yang multifungsi: perintis, pelayanan publik, carry over tugas pemerintah,
membuka lapangan pekerjaan, serta mencari laba untuk mengisi kas daerah
(Munawar Kholil, 2009: 33). BUMD harus memiliki orientasi dalam
menjalankan kegiatan usahanya, karena sebagai badan usaha yang
berbadan hukum harus memiliki tujuan tertentu, dan tujuan badan hukum
merupakan objek yang dilindungi oleh hukum (Abdulkadir Muhammad,
2010: 101). Seyogianya, BUMD memiliki tujuan bisnis, selain memiliki
tujuan sosial sebagai tujuan pemerintah daerah kepada rakyatnya di daerah
(Dijan Widijowati, 2012: 88).
Secara teoritis, Prabawa Utama sebagaimana dikutip oleh Arifiati
Dian Mayangsari mengemukakan bahwa untuk menetapkan tujuan
daripada Perusahaan Daerah dapat dicermati berdasarkan
penggolongannya sebagai berikut:
57
1) Perusahaan Daerah yang bersifat menyelenggarakan kepentingan
umum, yakni perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah
dengan prinsp pokok mencari keuntungan untuk mengisi kas daerah
akan tetapi perlu juga diperhatikan kesejahteraan dan ketentraman
penduduk dengan menjaga jangan sampai penduduk dengan adanya
perusahaan itu kian menjadi tidak tentram.
2) Perusahaan Daerah bersifat ekonomi, artinya bahwa perusahaan ini
tidak melayani kepentingan penduduk secara langsung dan
berorientasi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
(Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 22).
Secara normatif, tujuan pendirian BUMD dapat dicermati dalam
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pertama
yang mengatur ialah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Perusahaan Daerah
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang
bersifat:
a. memberi jasa;
b. menyelenggarakan kemanfaatan umum; dan
c. memupuk pendapatan.
(2) Tujuan Perusahaan Daerah ialah untuk turut serta
melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan
pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka
ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan
mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta
kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat adil
dan makmur.
Tujuan pendirian BUMD selanjutnya dapat diketahui dengan
menilik Lampiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990
tentang Perubahan Badan Usaha Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk
Perusahaan Umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
disajikan berikut ini:
A. Perusahaan Umum Daerah (Public Corporation/Service)
Disingkat Perumda.
1. Maksud tujuan dan sifat usaha adalah mengutamakan
penyelenggaraan kemanfaatan umum (public service) di
58
samping mencari keuntungan sebagai sumber pendapatan
asli daerah, dengan tetap berpegang teguh pada:
a. syarat-syarat efisiensi dan efektivitas;
b. pinsip-prinsip ekonomi perusahaan; dan
c. pelayanan yang baik kepada masyarakat.
B. Perusahaan Perseroan Daerah Disingkat Perseroda.
1. Maksud dan tujuan usahanya adalah untuk memupuk
keuntungan dalam arti baik pelayanan dan pembinaan
organisasinya harus secara efektif dan efisien dengan
orientasi bisnis.
Regulasi terbaru yang materi muatannya juga mengatur mengenai
BUMD ialah UU Pemerintahan Daerah. Tujuan pendirian BUMD menurut
Pasal 331 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk:
a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian
Daerah pada umumnya;
b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat
hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi
Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola
perusahaan yang baik; dan
c. memperoleh laba dan/atau keuntungan.
Dua bentuk hukum BUMD (Perusahaan umum Daerah dan
Perusahaan Perseroan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU
Pemerintahan Daerah memiliki semangat pendirian yang berbeda.
Perusahaan umum Daerah lebih ditekankan tujuannya untuk
memaksimalkan pelayanan publik di samping memperoleh keuntungan,
sementara Perusahaan Perseroan Daerah lebih ditujukan untuk memupuk
keuntungan (Munawar Kholil, 2009: 33). Hal yang demikian juga
dikemukakan oleh Adrian Sutedi, bahwasanya Perusahaan Perseroan
Daerah orientasi sepenuhnya ialah profit motive dan harus memberikan
kontribusi kepada pemilik dalam hal ini pemerintah daerah dalam bentuk
deviden sebagai sumber PAD, sementara Perusahaan umum Daerah
sifatnya adalah public service yang ukuran kinerjanya ditunjukkan oleh
peningkatan kualitas layanan dan pendapatan yang diperoleh harus full
recovery cost, dengan sedikit mungkin subsidi yang diberikan pemerintah,
59
namun profit bukanlah satu-satunya tujuan dalam badan hukum ini,
melainkan benefit merupakan bagian dari sasaran yang diberikan dalam
ukuran tertentu (Adrian Sutedi, 2009: 219).
4. Tinjauan tentang Bank Perkreditan Rakyat
a. Pengaturan Bank Perkreditan Rakyat
Pengaturan perbankan di Indonesia mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Hal tersebut diawali dengan diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, yang
kemudian diadakan pembaruan melalui berbagai kebijakan seperti Paket
Juni (Pakjun) 1983, Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket
Februari 1991, puncaknya pada tahun 1992 dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Djoni S. Gazali dan
Rachmadi Usman, 2012: 8). Penyempurnaan terhadap landasan
operasional perbankan yang terakhir ialah melalui Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disingkat UU Perbankan.
Secara normatif, substansi daripada UU Perbankan
menyempurnakan dan merestrukturisasi tata perbankan nasional terkait
dengan: penyederhanaan jenis bank dan ruang lingkup kegiatan usahanya,
persyaratan perizinan dan kepemilikan bank, pengawasan pemerintah atas
bank melalui kebijakan, serta meningkatkan profesionalisme atas
pengelolaan bank (Michael S. Bannett, 2014: 450). Ketentuan Pasal 5 ayat
(1) UU Perbankan membagi jenis bank menjadi Bank Umum dan BPR.
Pembagian jenis bank tersebut hanya mendasarkan pada segi fungsi bank,
dimaksudkan untuk memperjelas ruang lingkup dan batasan kegiatan yang
dapat diselenggarakan (Muhammad Djumhana, 2000: 87).
Sementara dalam tataran praktis, terdapat 2 (dua) jenis BPR yang
berkembang, yaitu BPR Konvensional dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, yang selanjutnya disingkat BPRS. Kegiatan usaha, pendirian,
kepemilikan, bentuk hukum, penggabungan usaha, dan kepengurusan BPR
Konvensional diatur dalam UU Perbankan dan beberapa peraturan
60
pelaksanaannya seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992
tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata
Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan
Rakyat dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status
Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah.
Sementara Kegiatan usaha, pendirian, kepemilikan, bentuk hukum,
penggabungan usaha, dan kepengurusan BPRS diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.
b. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menjelaskan, “Bank Perkreditan
Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Perbedaan antara
Bank Umum dengan BPR ialah pada BPR memiliki usaha yang lebih
sempit dibandingkan Bank Umum, yang mana kegiatan usaha BPR telah
diatur secara limitatif oleh UU Perbankan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi
Usman, 2012: 164). Mecermati pengertian BPR sebagaimana diatur dalam
UU Perbankan, berdasarkan jenis kegiatannya BPR dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Bank Perkreditan Rakyat Konvensional, yaitu bank yang
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional, dan
kegiatannya tidak tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
61
2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yaitu bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran (Jamal Wiwoho, 2011: 55).
Ditinjau dari kepemilikan modalnya, dikenal adanya BPR Daerah.
Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah
menjelaskan, “Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah, yang
selanjutnya disebut BPR Daerah adalah Bank Perkreditan Rakyat yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang
dipisahkan”. Pada prinsipnya, kegiatan usaha daripada BPR Daerah sama
seperti BPR sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, hanya saja yang
membedakan ialah modal daripada BPR Daerah sebagian besar dimiliki
oleh pemerintah daerah yang berasal dari kekayaan daerah yang
dipisahkan, sementara modal BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU
Perbankan dapat berasal dari Warga Negara Indonesia, badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya Warga Negara Indonesia, pemerintah
daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.
c. Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan, dengan aktivitasnya yaitu menghimpun dana dari masyarakat
luas dalam bentuk simpanan (funding), kemudian diputarkan kembali atau
dijualkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit
(lending) (Kasmir, 2004: 23-24). Sebagai lembaga keuangan bank, BPR
melaksanakan kegiatan usaha yang dirinci secara limitatif dalam UU
Perbankan. Hal tersebut dapat dicermati dalam Pasal 13 UU Perbankan
yang menyatakan sebagai berikut:
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
a. menghimpun dana dalam masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
62
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip
bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah; dan
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito,
dan/atau tabungan pada bank lain.
Kegiatan usaha daripada BPR Daerah diatur dalam Pasal 2
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah yang
dinyatakan sebagai berikut:
Kegiatan Usaha BPR Daerah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan;
b. memberikan kredit dan sekaligus melaksanakan pembinaan
terhadap pengusaha mikro kecil;
c. melakukan kerjasama antar BPR Daerah dengan lembaga
keuangan atau lembaga lainnya;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia, deposito berjangka, dan/atau tabungan di bank
lainnya;
e. membantu Pemerintah Daerah melaksanakan sebagian fungsi
pemegang kas daerah sesuai peraturan perundang-undangan;
f. menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah dengan memperhatikan Fatwa Dewan Syariah
Nasional; dan
g. menjalankan usaha perbankan lainnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Terdapat beberapa kegiatan usaha yang dilarang untuk dijalankan
oleh BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Perbankan yang
menyatakan sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat dilarang:
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu
lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan penyertaan modal;
d. melakukan usaha perasuransian; dan
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
63
d. Bentuk Hukum Bank Perkreditan Rakyat
Secara normatif, UU Perbankan mewajibkan setiap badan usaha
yang bergerak di bidang perbankan untuk memiliki bentuk hukum. Bentuk
badan hukum perlu untuk ditentukan agar dalam menjalankan kegiatan
usahanya memiliki landasan gerak yang kokoh, aman, dan pasti terutama
dalam menghadapi adanya aksi dari luar (Sunyoto, 2002: 147). Bentuk
hukum menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang
menjalankan kegiatan ekonomi, yang termuat dalam akta pendirian atau
surat izin usaha (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2001: 4). Bentuk
hukum Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat
(2) UU Perbankan adalah sebagai berikut:
Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah
satu dari:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas; atau
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bidang usaha jasa perbankan mengenal dua sistem, yaitu sistem
perbankan satuan (unit banking) dan sistem perbankan cabang (branch
banking system) (Muhammad Djumhana, 2000: 85). Adapun yang dianut
di Indonesia adalah sistem perbankan cabang, yaitu satu bank
dimungkinkan mempunyai beberapa cabang tetapi masih dalam satu
bentuk badan hukum tidak merupakan sebagai badan hukum tersendiri,
dengan kata lain organisasi, kepemilikan, dan kepengurusannya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kantor pusatnya (Muhammad Djumhana,
2000: 85). Hal tersebut termuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19 UU
Perbankan yang menyatakan, “Kantor Cabang adalah kantor bank yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang
bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor
cabang tersebut melakukan usahanya”.
64
e. Pengukuhan Badan Kredit Kecamatan menjadi Bank Perkreditan
Rakyat
Ketika industri perbankan memiliki pijakan yuridis Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dikenal
adanya bank-bank sekunder (rural bank) seperti: Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan
sejenisnya (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2010: 256). Lembaga-
lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR tersebut notabene belum
berbentuk badan hukum, namun telah banyak membantu dan masih
diperlukan masyarakat, juga karena letaknya yang tersebar di seluruh
penjuru tanah air dan persyaratan yang mudah dipenuhi oleh masyarakat
yang membutuhkan, sehingga perlu untuk diakui keberadaannya
(Muhammad Djumhana, 2000: 218). Pasca diberlakukannya UU
Perbankan memberikan landasan hukum yang jelas bagi bank-bank desa
sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum. Ketentuan Pasal 58 UU
Perbankan mengatur bahwa lembaga perkreditan desa tersebut diberikan
status sebagai BPR, yang mana persyaratan dan tata cara pemberian status
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang
Bank Perkreditan Rakyat (Jamal Wiwoho, 2011: 61). Bank-bank desa
sebagaimana dimaksud diberi keleluasaan untuk melakukan merger dengan
Bank Umum dan Bank Pembangunan, atau merger antar bank desa untuk
ditingkatkan statusnya menjadi BPR atau Bank Umum agar dapat
meningkatkan kemampuannya (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman,
2012: 52).
Seiring perkembangannya, terdapat 2 (dua) peraturan derivat yang
memberikan kejelasan status dan keseragaman dalam hal pengaturan,
pengawasan, pembinaan, dan pengembangan lembaga keuangan mikro.
Pertama, Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri,
65
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Gubernur Bank
Indonesia Nomor 351.1/KMK.010/2009; Nomor 900-639A Tahun 2009;
Nomor 01/SKB/M.KUKM/IX/2009; Nomor 11/43A/KEP.GBI/2009
tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, yang
memutuskan sebagai berikut:
Beralihnya lembaga keuangan mikro seperti: Usaha Ekonomi Desa
Simpan Pinjam (UED-SP), BKD, Badan Usaha Kredit Pedesaan
(BUKP), LPN, BKK, Kelompok Usaha Bersama (KUBE),
Kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan
Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM
Mandiri Perkotaan, Kelompok Pengembangan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK)
PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan
Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa
(UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis
Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat
(LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga
lainnya yang dipersamakan dengan itu, menjadi BPR atau
Koperasi, atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga-lembaga
keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kedua, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016
tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi
Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan
Rakyat. Berdasarkan konsiderannya dijelaskan bahwa fungsi dan peran
Badan Kredit Desa masih diperlukan keberadaannya oleh masyarakat desa
dalam rangka menciptakan sistem keuangan yang inklusif. Diperlukan
upaya penguatan kelembagaan dan pengawasan terhadap Badan Kredit
Desa. Pada awalnya Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK,
KURK, LPK, BKPD, dan/atau lembaga lain yang dipersamakan dengan itu
yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dinyatakan
sebagai BPR. Dengan karakteristik operasional BKD yang unik dan tidak
sama dengan BPR pada umumnya, BKD yang diberikan status sebagai
BPR dikecualikan dari setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku
bagi BPR. Setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, BKD
yang diberikan status sebagai BPR tidak akan dikecualikan dari setiap
66
ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Peraturan ini
berimplikasi bahwa BKD yang tidak memenuhi ketentuan sebagai BPR
akan dicabut atau diubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi
kegiatan usaha atau badan usaha lain selain BPR, yaitu dengan
bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa) atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di
desa dimana BKD berkedudukan dan menjalankan kegiatan
operasionalnya. Adapun pemenuhan ketentuan BKD untuk menjadi BPR
diatur pada Pasal 2 yang menyatakan, “BKD wajib memenuhi ketentuan
BPR mencakup antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan
dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi bagi BPR
paling lambat tanggal 31 Desember 2019”. Ruang lingkup peraturan ini
terbatas pada BKD yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan
sehingga diberikan status sebagai BPR oleh UU Perbankan.
Lembaga kredit desa atau lembaga keuangan mikro berfungsi
sebagai penghimpun dan penyalur dana dengan sasaran utama yaitu
golongan ekonomi lemah yang belum terjangkau oleh bank umum seperti:
pengusaha kecil, petani, nelayan, peternak, dan lain sebagainya, untuk
dapat mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan
kesempatan berusaha, dan pemerataan pendapatan (Jamal Wiwoho, 2011:
60). BKK sebagai salah satu lembaga perbankan mikro di desa mengemban
tugas untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat kecil yang
membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa-desa, dan dalam
perkembangannya telah menghimpun dana dari masyarakat berupa
simpanan wajib dan simpanan sukarela (Tamades) (I Gde Kajeng Baskara,
2013: 120). Adapun tujuan daripada BKK antara lain:
1) menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama
permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya, dan
pembangunan desa pada khususnya; dan
67
2) menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi pengusaha
golongan ekonomi lemah di pedesaan (Arky Dhewi Wulandari, 2010:
42-43).
Sementara itu, mengenai fungsi daripada BKK antara lain sebagai
berikut:
1) meningkatkan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah,
murah, dan mengarah pada masyarakat terutama pedesaan;
2) membentuk modal masyarakat yang diarahkan pada usaha peningkatan
produksi;
3) melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh pelepas uang (money
leaders); dan
4) membimbing masyarakat pedesaan untuk lebih mengenal dan
memahami asas-asas ekonomi dan permodalan (Arky Dhewi
Wulandari, 2010: 42-43).
Pengukuhan terhadap BKK menjadi BPR berimplikasi pada modal
minimum yang harus dimiliki BKK sesuai dengan ketentuan mengenai
modal minimum BPR (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 52).
Sebagai lembaga intermediasi kini BKK dapat menjalankan usaha yang
dijalankan oleh BPR sesuai dengan klasifikasi modalnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha Dan Wilayah Jaringan Kantor
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti sebagai berikut:
Tabel 2. Kegiatan Usaha BKK pasca Pengukuhan menjadi BPR
BPR Berdasarkan Kegiatan
Usaha (BPRKU)
Jenis Kegiatan Usaha
BPRKU 1 (Modal Inti kurang
dari Rp 15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)).
1. penghimpunan dana dalam bentuk:
a. simpanan berupa deposito
berjangka, tabungan, dan/atau
bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu; dan
b. pinjaman yang diterima;
68
2. penyaluran dana;
3. penempatan dana dalam bentuk:
a. giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, dan/atau
tabungan pada bank umum dan
bank umum syariah;
b. deposito berjangka, dan/atau
tabungan pada BPR dan BPRS;
c. Sertifikat Bank Indonesia;
4. kegiatan lainnya untuk mendukung
kegiatan usaha BPR dalam bentuk:
a. kegiatan agen layanan
keuangan tanpa kantor dalam
rangka keuangan inklusif (Laku
Pandai);
b. layanan pembayaran gaji bagi
nasabah BPR;
c. kegiatan kerjasama dalam
rangka transfer dana yang
terbatas pada penerimaan atas
pengiriman uang dari luar
negeri;
d. kegiatan pemasaran Uang
Elektronik dari penerbit lain;
e. pemindahan dana baik untuk
kepentingan sendiri maupun
kepentingan nasabah melalui
rekening BPR di bank umum;
f. kegiatan kerjasama dengan
perusahaan asuransi untuk
mereferensikan produk
69
asuransi kepada nasabah yang
terkait dengan produk BPR;
g. menerima titipan dana dalam
rangka pelayanan jasa
pembayaran tagihan seperti
tagihan pembayaran listrik,
telepon, air, dan pajak; dan
h. kegiatan sebagai penerbit kartu
ATM bagi BPRKU 1 yang
memiliki modal inti sebesar Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
BPRKU 2 (Modal Inti paling
sedikit Rp 15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)
sampai dengan kurang dari Rp
50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah)).
1. kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh BPRKU 1;
2. kegiatan usaha penukaran valuta
asing; dan
3. kegiatan lainnya untuk mendukung
kegiatan usaha BPR dalam bentuk:
a. kegiatan sebagai penerbit Kartu
Debet;
b. kegiatan sebagai penerbit Uang
Elektronik.
BPRKU 3 (Modal Inti paling
sedikit Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah)).
1. kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh BPRKU 2; dan
2. kegiatan lainnya untuk mendukung
kegiatan usaha BPR dalam bentuk:
a. penyediaan layanan Electronic
Banking; dan
b. kegiatan sebagai penyelenggara
layanan keuangan tanpa kantor
70
dalam rangka keuangan
inklusif (Laku Pandai).
Fungsi yang terpenting dari BKK adalah sebagai salah satu
kelengkapan otonomi daerah di bidang keuangan atau perbankan, dengan
tugas menjalankan usaha sebagai BPR, guna meningkatkan sumber PAD
(Moch. Husnan, 1999: 63-64). Otonomi daerah menghendaki agar daerah
mempunyai kemandirian dalam mengurus urusan rumah tangga daerah
dengan tetap berada dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Kairul Muluk M.R., 2007: 3). Salah satu upaya untuk meningkatkan
kemandirian daerah di bidang keuangan adalah mendirikan lembaga
keuangan milik daerah berbentuk Perusahaan Daerah dengan tujuan untuk
membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan
daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber PAD dalam rangka
peningkatan taraf hidup rakyat (Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 31-32).
71
B. Kerangka Pemikiran
1. Bagan Kerangka Pemikiran
Perbedaan Pengaturan
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran
Prinsiples of
Legality
Asas Lex Posterior
Derogat Legi Priori
Sinkronisasi Horizontal
Bentuk Badan Hukum
Ideal bagi PD BPR-
BKK
PD. BPR-BKK
BUMD
Bentuk Badan Hukum
Pasal 21 UU Perbankan
ayat (1)
Bentuk hukum Bank
Umum:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
ayat (2)
Bentuk hukum BPR:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
atau
d. Bentuk lain yang
ditetapkan dengan PP
Pasal 331 ayat (3) UU
Pemerintahan Daerah
Bentuk hukum BUMD
terdiri atas Perusahaan
umum Daerah dan
Perusahaan Perseroan
Daerah.
72
2. Penjelasan Kerangka Pemikiran:
Bagan kerangka pemikiran sebagaimana telah disajikan sebelumnya
merupakan penjelasan mengenai alur logika hukum penulis untuk menjawab
permasalahan penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Penulisan hukum
(skripsi) ini mengkaji mengenai sinkronisasi pengaturan bentuk badan hukum
yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Sinkronisasi atas
pengaturan mengenai bentuk badan hukum tersebut akan memberikan
preskripsi berupa alternatif bentuk badan hukum yang ideal bagi PD. BPR-BKK
agar dapat lebih optimal dalam menjalankan fungsi, pengembangan, dan
pengelolaannya.
Pasca diberlakukannya UU Perbankan, beberapa lembaga keuangan
desa yang tergolong ke dalam jenis rural bank seperti: Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan
(BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan
(LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan lembaga-lembaga lain yang
dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dengan persyaratan dan tata cara yang ditentukan dalam peraturan
pemerintah. Pengukuhan BKK menjadi BPR harus dilakukan agar dalam
menjalankan kegiatan usahanya memperoleh izin atau legalitas sebagai BPR.
BKK harus melakukan peleburan atau penggabungan diri (merger, akuisisi, atau
konsolidasi) dengan BKK atau BPR lain, atau bahkan ditingkatkan statusnya
menjadi Bank Umum, dengan maksud untuk menjamin kesatuan dan
keseragaman dalam pembinaan, pengawasan, penguatan kelembagaan, serta
struktur permodalannya. Kehadiran UU Perbankan memberikan kejelasan
status dan memperkuat struktur kelembagaan bagi berbagai lembaga perbankan
mikro di desa yang notabene memiliki permasalahan dalam aspek permodalan.
73
Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan, BKK dapat
memilih salah satu alternatif bentuk hukum yaitu: a. Perusahaan Daerah; b.
Koperasi; atau c. Perseroan Terbatas. Jika BKK tidak memiliki bentuk badan
hukum, maka BKK tidak dapat menjalankan kegiatan usaha sebagaimana yang
dijalankan BPR. Menyikapi hal tersebut, tidak sedikit BKK yang melakukan
penggabungan atau peleburan dengan BKK atau BPR lain, dan memilih
alternatif bentuk hukum Perusahaan Daerah, sehingga melahirkan suatu badan
usaha baru yaitu Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit
Kecamatan (PD. BPR-BKK). Pemilihan bentuk hukum Perusahaan Daerah
merupakan usaha pemerintah daerah sebagai personifikasi negara untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PD. BPR-BKK membentuk modal
masyarakat dengan mengandalkan simpanan wajib, juga simpanan dari
masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito untuk mengestimasikan
pembentukan koperasi-koperasi kredit desa. PD. BPR-BKK juga memberikan
kredit dengan sistem perkreditan yang mudah dan murah untuk masyarakat
pedesaan dan pasar-pasar yang diarahkan untuk peningkatan kegiatan usaha
yang produktif seperti: produksi pertanian, industri atau kerajinan rakyat,
produksi perikanan, perdagangan, dan lain sebagainya. PD. BPR-BKK
merupakan BUMD di bidang perbankan yang memang erat kaitannya dengan
usaha pemerintah daerah dalam membangun desa melalui peningkatan
perekonomian masyarakatnya.
Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk
mengurus dan mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri secara mandiri.
Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah yang
bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak dapat
dimungkiri bahwa BUMD merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan
hal tersebut. Pemerintah sebagai regulator membuat kebijakan yang
mengakomodir kelangsungan kegiatan usaha daripada BUMD, yaitu melalui
UU Pemerintahan Daerah. Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah
mengatur bahwa BUMD dapat memilih bentuk badan hukum antara lain: a.
Perusahaan Umum Daerah; atau b. Perusahaan Perseroan Daerah. Mencermati
74
rumusan ketentuan tersebut, tentunya sangat kontradiktif dengan ketentuan
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan. Artinya terdapat hubungan yang
tidak fungsional dan inkonsistensi dalam hal pengaturan bentuk badan hukum
antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Pasal UU Perbankan
mengatur bahwa pemerintah daerah dapat mendirikan dan/atau memiliki Bank
Umum atau BPR. Oleh karena badan usaha yang modalnya untuk sebagian atau
seluruhnya dimiliki oleh daerah merupakan BUMD, maka BUMD di bidang
perbankan juga terikat pada regulasi yang mengatur mengenai BUMD, yang
dalam hal ini adalah UU Pemerintahan Daerah. Perlu dilakukannya sinkronisasi
atau penyesuaian pengaturan mengenai bentuk hukum BUMD antara UU
Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah.
Sistem hukum suatu negara dapat dikatakan ideal jika memenuhi asas
(principles of legality), yang salah satunya yaitu suatu sistem tidak boleh
mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain serta harus
adanya kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari. Ketidaksesuaian pengaturan bentuk badan hukum antara UU
Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah mencerminkan kegagalan negara
dalam mewujudkan suatu sistem hukum yang ideal. Ketika terdapat dua atau
lebih aturan hukum yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan
memiliki kedudukan yang sama, mengatur mengenai hal yang sama, tetapi
terdapat perbedaan pengaturan, maka harus dilakukan sinkronisasi secara
horizontal. Sudah semestinya materi muatan mengenai bentuk badan hukum
dalam UU Perbankan disesuaikan dengan pengaturan dalam UU Pemerintahan
Daerah. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap BUMD di bidang perbankan,
termasuk PD. BPR-BKK harus menyesuaikan bentuk badan hukumnya
sebagaimana diatur oleh UU Pemerintahan Daerah, yaitu apakah berbentuk
hukum Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Setiap
BUMD termasuk PD. BPR-BKK saat ini telah banyak menghadapi tantangan
dengan kompleksitas dinamika perkembangannya. Bentuk hukum berupa
Perusahaan Daerah sebagaimana diatur dalam UU Perusahaan Daerah dan UU
Perbankan beserta segala peraturan pelaksanaannya dirasa sudah tidak relevan
75
untuk diaplikasikan kepada BUMD karena telah menimbulkan distorsi dalam
pengelolaan dan pengembangannya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian
dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai regulasi terbaru. Hal tersebut
tentunya sesuai dengan asas dalam ilmu perundang-undangan yaitu asas lex
posterior derogat legi priori. Asas tersebut menghendaki bahwa aturan hukum
yang lebih baru dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama. UU
Pemerintahan Daerah sebagai aturan hukum yang lebih baru dapat
mengesampingkan UU Perbankan sebagai undang-undang yang terdahulu.
Setelah proses sinkronisasi secara horizontal mengenai pengaturan
bentuk badan hukum dalam UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah
dilakukan, akan dianalisis formulasi bentuk badan hukum ideal bagi PD. BPR-
BKK. PD. BPR-BKK sebagai salah satu BUMD di bidang perbankan yang
memikili fungsi untuk menggali potensi-potensi ekonomi daerah guna
menunjang penerimaan bagi daerah dan menyejahterakan rakyat banyak, dalam
melangsungkan kegiatan usahanya sudah barang tentu memerlukan landasan
gerak yang kokoh. Setiap jenis bentuk badan hukum tentunya memiliki
mekanisme pengelolaan yang berbeda, sehingga menjadi sangat penting untuk
menentukan bentuk badan hukum yang tepat untuk diaplikasikan kepada PD.
BPR-BKK agar dapat mengoptimalkan pengembangan dan pengelolaannya
serta dapat memenuhi fungsinya dengan sebagaimana mestinya.