Download - Apresiasi puisi

Transcript
Page 1: Apresiasi puisi

APRESIASI PUISI

Seperti bentuk karya sastra lain, puisi mempunyai ciri-ciri khusus.

Pada umumnya penyair mengungkapkan gagasan dalam kalimat yang

relatif pendek-pendek serta padat, ditulis berderet-deret ke bawah

(dalam bentuk bait-bait), dan tidak jarang menggunakan

kata-kata/kalimat yang bersifat konotatif.

Kalimat yang pendek-pendek dan padat, ditambah makna

konotasi yang sering terdapat pada puisi, menyebabkan isi puisi

seringkali sulit dipahami. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah

sebagai berikut untuk mengapresiasi puisi, terutama pada puisi yang

tergolong ‘sulit’ :

1. Membaca puisi berulang kali

2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan :

- Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan

tanda baca koma.

- Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika

makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.

3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan

kata-kata yang dapat memperjelas maksud kalimat dalam puisi.

4. Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).

5. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam

bentuk prosa.

Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi

seperti tema, amanat/ pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan

Page 2: Apresiasi puisi

lebih mudah. Berikut ini diberikan sebuah contoh langkah-langkah

menganalisis puisi.

MATA PISAU

(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu tak berkejap menatapmu;

kau yang baru saja mengasahnya

berpikir : ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

Tahap I : Membaca puisi di atas berulang kali (lakukanlah!)

Tahap II : Melakukan pemenggalan

MATA PISAU

(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//

kau yang baru saja mengasahnya /

berpikir : // ia tajam untuk mengiris apel /

yang tersedia di atas meja /

sehabis makan malam //

ia berkilat / ketika terbayang olehnya urat lehermu //

Page 3: Apresiasi puisi

Tahap III : Melakukan parafrase

MATA PISAU

(Sapardi Djoko Damono)

Mata pisau itu / tak berkejap menatapmu;//

(sehingga) kau yang baru saja mengasahnya /

berpikir : // (bahwa) ia (pisau itu) tajam untuk mengiris

apel /

yang (sudah) tersedia di atas meja /

(Hal) (itu) (akan) (kau) (lakukan) sehabis makan malam //

ia (pisau itu) berkilat / ketika terbayang olehnya urat

lehermu //

Tahap IV : Menentukan makna konotatif kata/kalimat

pisau : sesuatu yang memiliki dua sisi, bisa dimanfaatkan untuk

hal-hal yang positif, bisa pula disalahgunakan sehingga

menghasilkan sesuatu yang buruk, jahat, dan

mengerikan.

apel : sesuatu yang baik dan bermanfaat.

terbayang olehnya urat lehermu : Sesuatu yang mengerikan.

Tahap V: Menceritakan kembali isi puisi

Page 4: Apresiasi puisi

Berdasarkan hasil analisis tahap I – IV di atas, maka isi puisi dapat

disimpulkan sebagai berikut :

Seseorang terobsesi oleh kilauan mata pisau. Ia bermaksud akan

menggunakannya nanti malam untuk mengiris apel. Sayang, sebelum

hal itu terlaksana, tiba-tiba terlintas bayangan yang mengerikan.

Dalam hati ia bertanya-tanya, apa jadinya jika mata pisau itu dipakai

untuk mengiris urat leher!

Dari pemahaman terhadap isi puisi tersebut, pembaca disadarkan

bahwa tajamnya pisau memang dapat digunakan untuk sesuatu yang

positif (contohnya mengiris apel), namun dapat juga dimanfaatkan

untuk hal yang negatif dan mengerikan (digambarkan mengiris urat

leher).

Dengan memperhatikan hasil kerja tahap 1 hingga 5, dapat

dikemukakan unsur-unsur intrinsik puisi “Mata Pisau” sebagai berikut :

No. Definisi “Mata Pisau”

1

Tema : Gagasan utama

penulis

yang

dituangkan dalam

karangannya.

Sesuatu hal dapat digunakan

untuk kebaikan (bersifat positif),

tetapi sering juga disalahgunakan

untuk hal-hal yang bersifat negatif.

Contoh : anggota tubuh,

kecerdasan, ilmu dan teknologi,

kekuasaan dll.

Page 5: Apresiasi puisi

2

Amanat : Pesan moral

yang ingin

disampaikan

penulis

melalui

karangannya

Hendaknya kita memanfaatkan

segala hal yang kita miliki untuk

tujuan positif supaya hidup kita

punya makna

3

Feeling : Perasaan/sikap

penyair

terhadap

pokok

persoalan yang

dikemukakan

dalam

puisi.

Penyair tidak setuju pada tindakan

seseorang yang memanfaatkan

sesuatu yang dimiliki untuk tujuan-

tujuan negatif.

4

Nada : Tone yang

dipakai

penulis

dalam

mengungkapkan

pokok pikiran.

Nada puisi “Mata Pisau”

cenderung datar, tidak nampak

luapan emosi penyairnya.

Kecuali keempat point di atas, perlu diperhatikan juga citraan

(image) dan gaya bahasa yang terdapat dalam puisi.

Page 6: Apresiasi puisi

I. PENGERTIAN PUISI

Struktur dan ragam puisi sebagai hasil karya kreatif terus-menerus

berubah. Hal ini nampak apabila kita mengkaji ciri-ciri puisi pada zaman

tertentu yang ternyata berbeda dari ke-khas-an puisi pada zaman yang

lain. Di masa lampau misalnya, penciptaan puisi harus memenuhi

ketentuan jumlah baris, ketentuan rima dan persyaratan lain. Itulah

sebabnya Wirjosoedarmo mendefinisikan puisi sebagai karangan terikat.

Definisi tersebut tentu saja tidak tepat lagi untuk masa sekarang karena

saat ini penyair sudah lebih bebas dan tidak harus tunduk pada

persyaratan-persyaratan tertentu. Hal ini mengakibatkan pembaca tidak

dapat lagi membedakan antara puisi dengan prosa hanya dengan melihat

bentuk visualnya. Misalnya sajak Sapardi Djoko Damono dan cerpen Eddy

D. Iskandar berikut ini :

AIR SELOKAN

“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung – ia hampir muntah karena bau sengit itu.

Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir : campur darah dan amis baunya.

Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

+Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan

itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu : “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu – alangkah indahnya!” Tapi kau

Page 7: Apresiasi puisi

tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

(Sapardi Djoko Damono – Perahu Kertas, 1983 : 18)

NAH

Nah, karena suatu hal, maafkan Bapak datang terlambat. Nah, mudah-mudahan kalian memaklumi akan kesibukan Bapak. Nah, tentang pembangunan masjid ini yang dibiayai oleh kalian bersama, itu sangat besar pahalanya. Nah, Tuhan pasti akan menurunkan rahmat yang berlimpah ruah. Nah, dengan berdirinya masjid ini, mereka yang melupakan Tuhan, semoga cepat tobat. Nah, sekianlah sambutan Bapak sebagai sesepuh.

(Nah, ternyata ucapan suka lain dengan tindakan. Nah, ia sendiri ternyata suka kepada uang kotor dan perempuan. Nah, bukankah ia termasuk melupakan Tuhan? Nah, ketahuan kedoknya).

[….](Eddy D. Iskandar – Horison, Th. IX, Juni 1976 : 185)

Bentuk visual kedua contoh di atas sama, padahal Sapardi

Djoko Damono memaksudkan karyanya sebagai puisi, sedangkan

Eddy D.Iskandar memaksudkan karangannya sebagai cerita pendek

(prosa). Dengan demikian mendefinisikan puisi berdasarkan bentuk

visualnya saja, pada masa sekarang tidak relevan lagi.

Karena sulitnya mendefinisikan pengertian puisi, A. Teeuw dan

Culler menyerahkan pada penilaian pembaca. Menurut mereka

pembacalah yang paling berhak menentukan suatu karya termasuk

prosa atau puisi (Teeuw, 1983 : 6; Culler, 1977 : 138). Pendapat

demikian meskipun nampaknya menyelesaikan masalah, namun untuk

Page 8: Apresiasi puisi

study keilmuan tentu sangat membingungkan karena tidak ada standar

yang pasti.

Kecuali A. Teeuw dan Culler, banyak ahli sastra dan sastrawan,

khususnya penyair romantik Inggris, yang berusaha memberikan

definisi. Berikut ini adalah beberapa pendapat mereka :

Altenbernd (1970 : 2), mendefinisikan puisi sebagai the

interpretive dramatization of experience in metrical

language (pendramaan pengalaman yang bersifat

penafsiran dalam bahasa bermetrum). Meskipun

mengandung kebenaran, namun definisi tersebut tak bisa

sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena pada

umumnya puisi Indonesia tidak memakai metrum sebagai

dasar. Jika yang dimaksud metrical adalah ‘berirama’,

maka definisi Altenbernd memang bisa diterima, tetapi

memiliki kelemahan karena prosa pun ada yang berirama.

Sebut misalnya cerpen-cerpen Danarto yang

menggunakan kekuatan irama untuk menambah keindahan

karyanya.

Samuel Taylor Coleridge berpendapat bahwa puisi adalah

kata-kata terindah dalam susunan yang terindah, sehingga

nampak seimbang, simetris, dan memiliki hubungan yang

erat antara satu unsur dengan unsur lainnya.

Carlyle mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran

yang bersifat musikal, kata-katanya disusun sedemikian

rupa, sehingga menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu

seperti musik.

Page 9: Apresiasi puisi

Wordsworth memberi pernyataan bahwa puisi adalah

ungkapan perasaan yang imajinatif atau perasaan yang

diangankan.

Dunton berpendapat bahwa puisi merupakan pemikiran

manusia secara konkret dan artistik (selaras, simetris,

pilihan kata tepat), bahasanya penuh perasaan dan

berirama seperti musik(pergantian bunyi kata-katanya

berturut-turut secara teratur).

Shelley mengatakan bahwa puisi adalah rekaman detik-

detik yang paling indah dalam hidup manusia, misalnya

hal-hal yang mengesankan dan menimbulkan keharuan,

kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan dan lain-lain.

Dengan meramu pendapat-pendapat di atas, kita dapat

mendefinisikan puisi sebagai berikut :

Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang mengekspresikan

secara padat

pemikiran dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa

yang paling

berkesan.

Setelah kita definisikan apa itu puisi, selanjutnya kita dapat

mengungkapkan perbedaan antara puisi dan prosa sebagai berikut :

PUISI PROSA

Page 10: Apresiasi puisi

1

2

3

Merupakan aktivitas jiwa yang

menangkap kesan-kesan,

kemudian kesan-kesan

tersebut dipadatkan (di-

kondensasi-kan) dan

dipusatkan.

Merupakan pencurahan jiwa

yang bersifat liris (emosional)

dan ekspresif.

Seringkali isi dan kalimat-

kalimatnya bermakna konotasi.

Merupakan aktivitas

menyebarkan (men-dispersi-

kan) ide/gagasan dalam bentuk

uraian, bahkan kadang-kadang

sampai merenik.

Merupakan pengungkapan

gagasan yang bersifat epis

atau naratif.

Pada umumnya bermakna

denotasi, walaupun memang

ada beberapa karya yang

isinya konotasi.

II. ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang

sangat kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma.

Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang

dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut :

Page 11: Apresiasi puisi

Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila

orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi

yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang.

Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya

lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang

ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun

sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang

menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca.

Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis

ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar,

pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna

implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya.

Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut

berikut diberikan sebuah contoh.

CINTAKU JAUH DI PULAU(Chairil Anwar)

Cintaku jauh di pulau,gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,di leher kukalungkan ole-ole buat si pacarAngin membantu, laut terang, tapi terasaaku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,di perasaan penghabisan segala melajuAjal bertahta, sambil berkata :“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

Page 12: Apresiasi puisi

Perahu yang bersama ‘kan merapuh!Mengapa ajal memanggil dulusebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulaukalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri

1. Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum)

Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi

yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang

dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya

pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua

ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga

pada bait kedua ada asonansi a (melancar – memancar – si pacar –

terang – terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar – bulan

memancar – laut terang – tapi terasa).

Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang

digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait

terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit

bait-bait di antaranya yang berpola rima a a – bb. Rima konsonan

memancar – si pacar dipertentangkan dengan rima terasa – padanya

yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh – merapuh (konsonan)

dipertentangkan dengan rima vokal dulu – cintaku.

Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas

berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga

menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.

Page 13: Apresiasi puisi

Asonansi Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.

Aliterasi1.Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata

yang berurutan.

2.Sajak/rima awal.

2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning)

Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi

makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan

pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah

analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi

‘Cintaku Jauh di Pulau’.

Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di

pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang

kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang

menghabiskan waktu sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.

Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan

perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat

bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan

sampai pada kekasihnya.

Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih

karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya

Page 14: Apresiasi puisi

ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : “Tujukan

perahu ke pangkuanku saja”).

Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai

kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar, bahkan perahu yang

membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan

mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya.

Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang

kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati

juga dalam penantian yang sia-sia.

Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus

sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut.

Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar

dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang

melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena

kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.

3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’

dan lain-lain)

Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang

dikemukakan, latar, pelaku, ‘dunia pengarang’, makna implisit, dan

metafisis.

Pada puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’, objek yang dikemukakan

adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut,

Page 15: Apresiasi puisi

dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut

pada malam hari yang cerah dan berangin.

Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam

puisi digabungkan, maka akan menghasilkan ‘dunia pengarang’ atau

isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam

puisinya.

Contoh, berdasarkan puisi ‘Cintaku Jauh di Pulau’ kita dapat

menuliskan ‘dunia pengarang’ sebagai berikut :

Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang

jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan

bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan

tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang,

angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada

kekasihnya itu. Pelayaran selama bertahun-tahun, bahkan sampai

perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil

karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati

kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian.

Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam

puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata ’gadis

manis’ memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik.

Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku :

senang, gelisah, kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca

berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa

ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah

Page 16: Apresiasi puisi

dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan

lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang

diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu.

Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan sia-

sia belaka.

ooo

III. ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN

FUNGSI ESTETIK

Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja.

Agar analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis

strata norma dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur

yang membangun puisi tersebut.

Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi,

sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur

puisi) diyakini mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis

puisi sampai menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu

keharusan. Kecuali itu fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga

perlu dibahas.

Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang

dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya

menyangkut masalah bunyi dan kata.

Page 17: Apresiasi puisi

1. Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk

mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga

bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus,

menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan

secara jelas.

Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga

dalam perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur

bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul

‘Ratapan Mati’, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi

‘kata-kata’ tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal

bentuk puisi mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan

bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul

puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-

bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan

daya evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :

SEPISAUPI(Sutardji Calzoum Bachri)

sepisau luka sepisau durisepikul dosa sepukau sepisepisau duka serisau dirisepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupisepisapanya sepikau sepisepisaupa sepisaupisepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

Page 18: Apresiasi puisi

sepisaupa sepisaupisepisaupa sepisaupisampai pisauNya kedalam nyanyi

Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan

bunyi belaka, namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh

Sutardji ternyata diolah dengan sangat baik, sehingga memiliki daya

evokasi.

Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung

suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.

Efoni

(euphony) :

bunyi yang

merdu dan

indah.

Vokal a, i, u, e, o

Konsonan bersuara b, d,

g, j

Bunyi liquida r, l

Bunyi sengau m, n, ng,

ny

Bunyi aspiran s, h

Suasana mesra, penuh

kasih sayang, gembira,

bahagia.

Kakofoni

(cacophony) :

bunyi yang

tidak merdu,

parau

- Dominasi bunyi-bunyi k,

p, t, s.

- Rima puisi sangat tidak

teratur

Suasana kacau, tidak

teratur, tidak

menyenangkan.

Page 19: Apresiasi puisi

Vokal e, i

Konsonan k, p, t, s, f

- Perasaan riang, kasih,

suci

- imaji : kecil, ramping,

ringan, tinggi.

Vokal a, o, u

Konsonan b, d, g, z, v, w

- Perasaan murung,

sedih,

gundah, kecewa.

- imaji : bulat, berat,

besar,

rendah.

2. Kata

Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan

mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak

Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini

masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi.

Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan

pengalaman jiwanya melalui kata-kata.

Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang

ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi,

citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang

berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi.

Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet

Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah

Page 20: Apresiasi puisi

dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya

terhadap sesuatu.

Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda

dengan bahasa sehari-hari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan

jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan

mengalami seperti apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak

Toto Sudarto Bachtiar berikut ini :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaringTetapi bukan tidur, sayangSebuah lubang peluru bundar di dadanyaSenyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan

menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan.

Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun

hakikatnya sama saja dengan kalimat …dia terbaring, tetapi bukan

tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya

memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih. Padahal

kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang

berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair

menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang

menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau

berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan

dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan.

Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair

memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin,

Page 21: Apresiasi puisi

memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan

gaya bahasa tertentu.

Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca.

Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang

ditimbulkannya. Misalnya pada salah satu bait puisi ‘Balada

Penyaliban’ karya W.S. Rendra tertulis Tiada mawar-mawar di

jalanan / tiada daun-daun palma / domba putih menyeret azab dan

dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta / dst.

Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan

seolah-olah ‘azab’ dan ‘dera’ dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu

memberi citraan penglihatan dan perasaan yang sangat dalam.

Pembaca seolah-olah melihat sendiri jalanan yang kering tanpa

tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai domba putih

yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian,

untuk ‘menghidupkan’ puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya

bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan

pilihan kata yang tepat.

Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-

hari. Hal tersebut memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya,

penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis.

Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat

menyimpulkan tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan

nada puisi (tone). Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang

disampaikan penyair melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai

yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap

penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang

‘digarapnya’ dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan

Page 22: Apresiasi puisi

lain-lain); nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya

(misalnya marah, keras, menyindir, putus asa, riang, penuh

kekaguman dan sebagainya)

000


Top Related