Download - AGAPE Natal 2014

Transcript
Page 1: AGAPE Natal 2014

gape‘’

‘’

Chri

stm

as

Edit

ion

ALLOUTforchrist

Page 2: AGAPE Natal 2014
Page 3: AGAPE Natal 2014
Page 4: AGAPE Natal 2014

2

Page 5: AGAPE Natal 2014

Tentu kita semua pernah mendengar cerita tentang seorang janda miskin yang member-ikan dua peser untuk persembahan bukan? Ya, cerita ini mungkin sering kita dengar di cerita sekolah minggu, khotbah gereja, dan renungan harian. Isinya mungkin serupa, yaitu tentang memberikan persembahan. Betul, tidak salah, bahkan sangat tepat. Kali ini, penulis pun tidak akan jauh-jauh mem-bahas tentang hal lain dari perikop Markus 12:41-44 tentang Persembahan Seorang Jan-da Miskin. Eits, tunggu dulu, jangan keburu bosan dan membalik halamannya, karena kali ini kita mau lihat mengapa sih sam-pai-sampai Tuhan Yesus memuji-muji sang Janda Miskin ini? Apakah karena dia janda? Atau karena persembahannya berupa koin perak? Atau karena hal lain? Oke, mari kita mulai. Sebelum mulai, disarankan untuk berdoa, meminta pimpinan Roh Kudus, dan membaca juga perikopnya ya.

Bagian 1: Situasi dan Kondisi

Coba kita baca baik-baik ayat 41 dan ayat 42. Kita selami dan bayangkan kira-kira seperti apa suasana pada saat itu. Adakah kata sulit? (kok kayak PBL ya?) Ya, ada-ada. Kata sulitnya menurut penulis adalah pes-er dan duit. Nah, menurut sumber-sumber yang cukup terpercaya (bukan jurnal), pes-er atau dalam bahasa Yunani disebut Lep-ton adalah mata uang terkecil pada zaman itu, besarnya 1/128 Dinar. Sementara duit atau Kodrantes adalah mata uang Romawi yang bernilai ¼ sen. Coba kita konversikan

ke dalam kehidupan kita saat ini. 1 Dinar adalah upah harian seorang pekerja. UMR DKI Jakarta 2014 adalah Rp 2.441.000,-. Berarti, 1 hari, seorang buruh di DKI Jakar-ta mendapatkan upah sekitar Rp81.366,67. Nah, jika dihitung-hitung, 1 peser itu nilainya Rp 635,68. Itu artinya, persem-bahan janda miskin ini adalah Rp1.271,35. Jumlah yang sangat kecil bukan? Apalagi dibandingkan dengan keaadaan yang ditu-liskan dalam ayat 41: “…Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar.” Patut diingat bahwa pada waktu itu, peti persembahan diletakkan di pelataran perempuan di Bait Allah, berupa 13 buah peti dengan corong seperti nafiri (terompet) tempat memasuk-kan persembahan. Berarti, semua orang dapat melihat siapa dan berapa banyak persembahan yang diberikan. Sehingga, bisa saja janda tersebut diejek atau dipan-dang sebelah mata karena persembahannya yang tidak sebanding dengan persembahan orang-orang kaya tersebut.

Bagian 2: Respon Yesus

Sekarang kita beralih ke ayat 43 dan 44. Apakah respon Yesus melihat kejadian di dua ayat sebelumnya? Apakah Yesus, yang disebut Rabi itu memuji orang-orang kaya yang memberikan persembahan besar dan melecehkan janda miskin yang memberikan sangat sedikit itu? Ternyata tidak! Bahkan sebaliknya, Ia memanggil murid-murid-Nya dan memuji janda miskin tersebut. Kata Ye-sus:

Give It All?“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka

semua memberi dari kelimpahannya, tetpai janda ini memberi dari kekuranganny-annya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” – Jesus Christ, seperti

tertulis dalam Markus 12:43-44

Dare to

3

Page 6: AGAPE Natal 2014

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetpai janda ini memberi dari kekurangannyann-ya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”

Wah, sungguh perkataan yang mengejut-kan. Secara matematis, tentu orang kaya ini memberikan lebih banyak dibandingkan janda miskin ini. Tetapi yang patut dicermati adalah tulisan yang penulis cetak tebal. Ada 3 hal yaitu: (1) memberi dari kekuranganny-annya, (2) semua yang ada padanya, yaitu (3) seluruh nafkahnya. Kita akan coba mem-bedah ketiga hal ini satu-persatu.

1. Memberi dari kekurangan

Memberi, entah itu barang atau jasa (baca: pertolongan), ketika kita sedang dalam kelimpahan, atau setidaknya, berkecukupan, itu tidak sulit. Tetapi memberi ketika kita sedang kekurangan? Memberikan pertolongan saat sebenarnya kita juga perlu dito-long? Wah, penulis pun masih sulit untuk melakukannya. Akan tetapi, hal inilah yang dilakukan oleh sang Janda Miskin ini. Patut digarisbawahi, walaupun tidak tercatat dalam Alkitab apakah motivasi dari Janda Miskin ini memberikan persembahan, tetapi persembahan merupakan wujud rasa syukur kita kepada Tuhan atas apa yang Ia telah berikan kepada kita. Ini lebih dahsyat lagi, sudah kekurangan, masih ber-syukur pula, Weleh-weleh, penulis jadi malu nih sering berkeluh-ke-sah. Padahal, belum sampai berkekurangan, malah kayaknya kelebihan nih, kelebihan lemak, hehe.

2. Semua yang ada Pada(ku)

Apa yang sekarang ada pada kita? Uang, pikiran, tenaga, wak-tu, senyum, suara, apa saja. Sudahkah kita berikan kepada Tuhan? Nah, jika pertanyaan itu ditanyakan kepada janda miskin ini, Tuhan Yesus, sebagai yang layak menerima segala persem-bahan itu berkata: Sudah (ayat 44). Bagaimana cara memberi-kannya untuk Tuhan? Mudah, Ko-lose 3:23 berbunyi: “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Yap, as simple as that. Melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, baik itu membuat LTM, Laporan Jaga, Presentasi Kasus, KKD, Diskusi Kelompok, Praktikum, bahkan sekadar men-yapa pasien atau sivitas dengan ramah, dilakukan untuk Tuhan.

3. Seluruh Nafkah

Nafkah menurut KBBI adalah belanja untuk hidup. Berarti, ke-tika Tuhan Yesus berkata bahwa sang Janda memberikan seluruh nafkahnya, itu artinya adalah seluruh yang ia punya untuk be-

4

Page 7: AGAPE Natal 2014

lanja untuk hidupnya. Bayang-kan, betapa “gila” sang janda ini. Sudah janda (tidak ada suami, tidak ada yang memberi penghas-ilan lagi), miskin, masih juga mem-berikan semua yang ia perlukan untuk kehidupannya bagi Tuhan. Apa tidak gila? Mengapa janda ini mau melakukan hal sedemiki-an? Penulis kembali diingatkan kepada 1 ayat yang Tuhan Yesus pernah katakan dalam khotbah di bukit, mengenai Hal Kekuati-ran (Matius 6: 25-34). Ya, bah-kan burung-burung yang tidak menabur, tidak menuai, dan tidak mengumpulkan bekal dalam lum-bung pun dipelihara, bagaimana mungkin Tuhan tidak memeli-hara kita? Mungkin sang Janda memiliki Iman yang sedemikian kepada Tuhan. Ini bukan berarti kita tidak perlu berusaha apapun karena Tuhan pasti mencukupkan kebutuhan kita ya, tetapi ingat, Matius 6:33 berbunyi: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Alah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada-mu.” Penulis semakin tertunduk, malu terhadap janda miskin yang sudah memiliki Iman bahwa Tu-han akan memelihara dirinya, dan menempatkan kehendak Tuhan, melakukannya di prioritas nomor 1. Ternyata, apa yang selama ini

penulis bilang beriman dan men-cari kerajaan Allah terlebih dahu-lu, belum sampai “segila” ini.

Bagian 3: Respon kita

Banyak juga ya yang kita dapatkan ya dari 4 ayat ini. Ternyata, hal persembahan jan-da miskin ini bukan sekedar nominal atau rasio persembahan-dengan-pendapatan saja. Ternyata, kita diharapkan untuk: (1) memberi dalam segala situasi, (2) memberi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tu-han (3) memberi semua yang terbaik pada kita kepada Tuhan, (4) memiliki iman bahwa Tuhan sanggup memelihara, dan (5) menem-patkan Tuhan dalam prioritas nomor 1 hidup kita. Sekarang apakah respon penulis dan saudara-saudara sekalian? Silahkan mas-ing-masing memutuskan. Untuk mengakhiri, penulis kembali diingkatkan kepada 1 ayat dari Roma 12:1

“Karena itu , saudara-saudara, demi kemura-han Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah iba-dahmu yang sejati.”- Rasul Paulus

So, Do We Dare to Give it All for Christ?

5

Page 8: AGAPE Natal 2014

6

Page 9: AGAPE Natal 2014

7

Page 10: AGAPE Natal 2014

Paris, 2014

Malam Natal kali ini terasa berbeda. Aku berkesempatan untuk mengunjungi Oma dan menghabiskan liburan Natal di Paris, Perancis. Sejak ikut, Roby, suamiku pindah ke Indonesia tujuh tahun yang lalu, aku tidak memiliki ban-yak kesempatan untuk pulang mengunjungi Oma di Paris, terutama ada Michele yang ma-sih kecil dan sulit dibawa bepergian jauh. Oma sudah berusia 85 tahun. Tidak ada yang berbe-da dengan Oma, hanya tubuhnya tidak sekuat dulu lagi seperti ketika aku masih sering ting-gal dan menghabiskan waktu bersamanya.

Oma duduk di sebelahku di Gereja. Sambil memegang lilin masing-masing, kami men-yanyikan lagu Malam Kudus diiringi paduan suara anak-anak. Ketika lagu berakhir dan lilin dipersilakan untuk dipadamkan, Oma meng-arahkan lilinnya ke depanku sambil berbisik, “Apa permintaanmu kali ini, Luna?”

Paris, 1990

“Luna, sekarang sudah mau makan? Mau makan apa?” Pertanyaan itu seperti diulang ratusan kali sejak pagi ketika Mama mengan-tarkanku ke rumah Oma. Aku masih berusia 7 tahun saat itu ketika ke dua orangtuaku terlibat dalam pertengkaran hebat. Mereka memutuskan untuk membawaku ke rumah Oma untuk sementara waktu. Aku tidak ban-yak bertemu dengan Oma sejak kecil. Paling hanya untuk menginap selama beberapa wak-tu di musim panas saja. Aku tidak terlalu sen-ang begitu Mama mengatakan aku harus ting-gal di sini selamam beberapa bulan ke depan, ditambah lagi alasanku berada di sini adalah karena kedua orang tuaku sedang bertengkar. Perasaanku sudah aneh dan tidak enak sejak masuk ke dalam mobil dan menuju ke sini.

Aku hanya melirik sebentar ke Oma dan meng-geleng.

“Kalau Luna tidak makan, nanti Oma juga ti-dak makan. Tidak enak soalnya makan sendi-rian.” Oma duduk di sebelahku di teras depan rumahnya. Oma tinggal di pinggiran Perancis yang harus ditempuh 2 jam perjalanan dari kota Paris tempatku dan kedua orangtuaku tinggal. Tepat di depan teras adalah kebun kecil milik Oma yang ia tanami tomat dan sayuran yang menjadi bahan memasaknya se-hari-hari.

“Kalau begitu, kita diam di sini saja sam-pai Luna lapar. Oma sudah petik sela-da dan tomat itu,” katanya sambil menunjuk kebun kecilnya. “Nanti Oma buatkan salad salmon yang lezat.”

Kami benar-benar diam selama beberapa jam sampai tiba-tiba perutku berbunyi. Oma terta-wa kecil dan langsung menarik tanganku masuk ke rumah. Oma menyuruhku duduk di meja makan bundar kecilnya. Setiap musim panas memang aku sering ke sini, duduk dan makan bersama Oma dan Opa, menik-mati hasil kebun mereka. Opa sudah meninggal tahun lalu karena sakit jantungnya.

“Ini. Salad salmon terlezat. Oma tambahkan salmonnya seperti kesukaan Luna.” Sepiring besar salmon segar, wangi segar sayuran, dan minyak zaitun yang mengkilap mem-buatku semakin tidak sabar untuk melahap-nya. Tadi memang aku sedang sangat kesal, hampir ingin menangis rasanya. Tetapi seka-rang rasanya perutku yang harus ditenangkan. Aku melahap makanannya disediakan sampai habis. Oma yang juga ikut makan disebelah-ku hanya tersenyum sambil menyelesaikan makannya perlahan.

Permohonan LunaCerpen

8

Page 11: AGAPE Natal 2014

“Luna mau lagi?” Aku hanya menggeleng. Bi-ngung, tidak tahu apa yang harus dilakukan selama musim panas ini jika aku harus mengh-abiskan waktuku di sini.

“Luna mau tidur saja,” sahutku. Oma men-gangguk-angguk, membereskan piringku dan mengantar ke kamar yang sudah dirapikan untukku. “Ini kamar Luna. Ini Lilin untuk Luna, untuk menerangi kalau malam. DI sini setiap malam jarang menggunakan lampu seperti yang digunakan di rumah Luna.” Oma mele-takkan lampu besar panjang di atas sebuah piring perak. “Luna juga boleh buka jendelan-ya kalau terasa panas,” tambahnya. Aku han-ya mengangguk dan langsung naik ke tempat tidur. Tidak seperti mamaku yang pasti akan langsung memarahiku, Oma justru langsung

menyelimutiku dan menutup pintu ka-mar. Aku memejamkan mata kuat-kuat, berharap keanehan perasaan yang saat

ini kurasakan segera hilang. Oh, dan kedua orang tuaku segera ber-

baikan.

Oma berlari menerjang ka-marku begitu mendengar aku

berteriak. Aku tidak ingat aku mimpi apa, tetapi sangat mengerikan dan perasaanku kembali tidak enak. Oma langsung memeluk dan men-

gusap-usap punggungku beru-saha menenangkan.

“Luna ada apa? Sudah-sudah, tadi hanya mimpi buruk,” tangisku tiba-ti-

ba pecah begitu saja bahkan aku sulit untuk mengambil napas.

“Ssh…. Ssh…. Sudah Luna sudah…” tangisku belum juga berhenti sampai Oma tiba-tiba mengambil lilin yang masih menyala di meja kecil di samping kasurku.

“Begini. Lilin ini, anggaplah seperti lilin-lilin ulang tahun Luna. Setiap kali Luna meniupnya, ucapkan permintaan apapun dan seperti ulang tahun, lilin ini akan menampung per-

mohonan Luna sehingga suatu saat akan ter-wujud.” Oma menatap lurus ke mataku. Aku tertarik dengan ide itu hingga tangisku perla-han mereda. “Bagaimana? Untuk pertama ini, mintalah supaya Luna tidak bermimpi buruk lagi,” tambahnya sambil menempatkan lilin itu di antara wajah kami.

“Tiuplah,” dengan ragu aku meniup lil-in itu. Aku sudah tidak menangis lagi, Oma tersenyum.

“Ayo, bangun, kita berjalan-jalan di kebun. Kita petik sarapan kita hari ini,” Oma menarik-ku dari tumpukkan selimut. Lucunya, seharian itu, perasaan aneh ataupun tidak enak itu su-dah hilang. Aku bermain dengan Oma seharian di kebun tanpa teringat sedikitpun alasan aku berada di sini. Semua sesuai dengan permint-aanku.

Keesokan paginya aku menunggu Oma masuk ke kamar. Aku duduk di kasur sampai terlihat Oma mengintip dari pintu yang terbuka.

“Luna sudah bangun?” Oma masuk sambil membawa segelas susu. Aku mengangguk-an-gguk semangat sambil mengangkat lilin besar itu.

“Kenapa? Luna ada permintaan lagi?”

“Iya, kemarin lilin ini berhasil mengabulkan permintaanku. Pagi ini Luna ada permintaan lagi.”

“Boleh.” Oma duduk di hadapanku, kami me-megang piring perak itu bersama.

“Luna ingin seekor kelinci untuk teman ber-main di sini.” Satu tiupan pun memadamkan nyala lilin itu.

“Nanti Luna bantu Oma bereskan kebun ya,” kataku semangat.

“Oh, hari ini Oma tidak berkebun. Oma akan mengunjung Mrs. Pieters. Oma janji akan mer-ajut bersamanya hari ini. Luna ikut bersama

9

Page 12: AGAPE Natal 2014

Oma ya.” Aku hanya mengangguk setuju.

Sepanjang perjalanan aku melihat ke kanan dan ke kiri, mengantisipasi adanya kelinci tersesat yang mungkin dapat ku bawa pulang. Di ru-mah Mrs. Pieters yang bernuansa biru ini, aku dan Oma menghabiskan waktu hingga hampir empat jam, mulai dari mengobrol, meminum teh, berkebun, hingga Oma dan Mrs. Pieters tenggelam dalam kesibukan me-rajut mereka. Mrs. Pieters sebenarnya seperti Oma, cucun-ya tinggal di Paris. Aku hanya bermain-main di taman Mrs. Pieters sendirian, mengobrol dengan boneka sambil membuat sebuah pes-ta teh kecil. Oma melarangku bermain ke luar rumah Mrs. Pieters. Aku sedikit kecewa den-gan hari ini, rasaya sudah tidak mungkin aku menemukan kelinci.

Beranjak sore, Oma dan Mrs. Pieters saling berpamitan. Mrs. Pieters memanggilku dan lalu mencubit pipiku.

“Maafkan kami, Luna… Kami sudah lama tidak bertemu rasanya sulit untuk berpisah.” Aku hanya tersenyum seadanya. Bermain di ru-mahnya sebenarnya sangat menyenangkan, tetapi lebih menyenangkan lagi jika lilin itu be-nar-benar menunjukkan keajaibannya.

“Oma Luna bercerita tadi, Luna sangat ingin kelinci rupanya?” Mataku langsung membelal-ak terlalu senang.

“Kelinciku baru saja melahirkan kemarin…. Bagaimana kalau anaknya untuk Luna saja?” Aku melompat-lompat kegirangan dan menar-ik-narik Oma memohon perizinannya. Oma tersenyum sambil mengangguk menyetujui. Aku langsung berlari mengikuti Mrs. Pieters ke taman belakangnya. Bagaimana bisa aku tidak menyadari di sana terdapat sebuah kan-dang terbuat dari kayu yang berada di pojok tamannya. Hampir seharian aku berlarian dan bermain di sana dan tidak terpikir sekalipun Mrs. Pieters memiliki kelinci. Kugendong ke-linci gemuk berbulu putih yang kunamakan Angelo dalam perjalanan pulang. Langkahku terasa sangat ringan bahkan Oma harus ber-

jalan cepat mengikutiku. Aku sungguh tidak sabar bermain dengan Angelo di kebun Oma.

Sebelum tidur, kepalaku sudah terisi penuh permintaan-permintaan yang akan aku sam-paikan pada lilin.

Pagi ini Luna berdoa supaya Mama dan Papa datang menjemput Luna dan tidak berantem lagi. Tapi Luna masih ingin di rumah Oma. Ucapku dalam hati. Lalu aku meniup nyala li-linnya sampai padam.

“Apa permintaan Luna?” Pagi itu dengan penuh harapan aku mengucapkan permohon-anku yang ketiga.

“Hmm kali ini tidak ingin Luna beritahu, biar lilin saja yang dengar.”

Oma tertawa “Baiklah. Lilinnya sudah menam-pung permintaan Luna. Ayo sekarang kita membereskan rumah. Hari ini hari Oma mem-bereskan rumah.”

Dengan semangat aku membantu Oma mera-pikan buku-bukunya yang sudah usang, mem-bersihkan debu dari piring-piring porselen koleksinya dan merapikan tempat tidurku sendiri sambil terus melihat ke pintu depan, berharap-harap Mama dan Papa datang.

Sudah menjelang sore dan tidak ada tanda keajaiban dari lilin itu akan bekerja lagi. Aku menjatuhkan tubuhku ke sofa empuk kepu-nyaan Oma dan memejamkan mata. Men-gulang permintaanku tadi pagi. Tiba-tiba tele-pon berdering dan terdengar Oma menyebut nama Louise, Mamaku. Mataku mengerjap, tubuhku menegap, dan segera berlari meng-hampiri Oma.

“Mama dimana?” Aku langsung menyambar telepon yang sedang Oma pegang.

“Mama dalam perjalanan ke rumah Oma, teta-pi mobil Papa ada yang tidak beres. Mama dan

10

Page 13: AGAPE Natal 2014

Papa harus kembali ke Paris. Weekend Mama dan Papa akan ke sana ya…”

Aku mengangguk-angguk senang seakan-akan mereka dapat melihatnya. Mung-kin aku tidak mengucapkan permintaanku dengan sung-guh-sungguh sehingga mereka hanya seten-gah jalan menuju rumah Oma. Setelah berbin-cang sejenak aku mengembalikan telepon ke Oma dan kembali membereskan rumah. Jan-tungku berdegup kencang. Tidak kusangka li-lin itu memang memiliki kekuatan. Aku tidak sabar untuk pagi segera datang kembali.

Hingga pagi yang kesepuluh di rumah Oma, kedua orang tuaku tidak pernah datang. Per-mintaan yang sama kuucapkan setiap pa-gi-nya. Namun, yang aku terima hanya telepon setiap harinya, bergantian dari Mama atau Papa, yang mengatakan bahwa ada halangan di jalan ataupun pekerjaan di Paris sehingga mereka tidak bisa ke rumah Oma. Hingga em-pat akhir pekan pun mereka lewati dan rasa percayaku akan keajaiban lilin itu hilang. Mun-gkin lilin itu tidak memiliki cukup keajaiban un-tuk membawa kedua orang tuaku ke sini.

“Pagi, Luna… Sudah bangun?” Seperti pa-gi-pagi sebelumnya, Oma masuk dan memb-awakanku segelas susu.

“Apa permintaan Luna hari ini?” Hampir satu bulan bersama Oma, aku semakin dekat den-gan Oma. Tidak kusangka, seorang yang ber-beda 70 tahun denganku lebih bisa aku ajak bermain dibandingkan kedua orangtuaku di rumah. Aku menggenggam tangan Oma sam-bil menengguk habis susu di gelas.

“Luna hari ini tidak ada permintaan. Hanya ingin bermain dengan Oma saja. Sampai sela-manya,” kataku sambil tersenyum.

“Sampai selamanya?” Oma hanya menga-cak-acak rambutku. Ia mengambil lilin yang belum kutiup dan meletakkanya di tangkanku.

“Yakin Luna tidak ingin mengucapkan permint-aan kali ini?”

“Yakin. Lagipula lilin itu sepertinya sudah tidak mampu menampung permintaan Luna. Tidak ada yang terkabul,” aku mengembalikan lilin itu ke meja dan hendak meniupnya ketika Oma tiba-tiba merebutnya dariku.

“Eh, tunggu dulu. Memang apa yang Luna minta yang tidak juga terkabul?”

“Hmm… Luna minta Mama dan Papa nggak berantem lagi dan jemput Luna di sini.”

“Oh begitu… Kenapa Luna minta itu?” Oma tampak bingung. Aku menjadi ikut bingung.

“Ya…. karena Mama dan Papa sekarang beran-tem, Luna jadi harus tinggal di sini sama Oma. Hmm ya Luna senang kok sama Oma, tapi Luna kangen Mama dan Papa juga. Makanya Luna memohon supaya Mama dan Papa jemput Luna dan bisa bareng-bareng Luna lagi.”

Oma menggenggam kedua tanganku, katan-ya, “Bukankah itu pasti terjadi, Luna? Seka-rang Mama dan Papa menyelesaikan apa yang membuat mereka bertengkar sehingga musim panas, Mama dan Papa akan menjemput Luna di sini…” Aku berusaha mencerna apa yang Oma katakan.

11

Page 14: AGAPE Natal 2014

fin.

“Lalu kenapa tidak pernah sekalipun menjen-guk aku di sini? Selalu ada halangan sehingga mereka tidak bisa datang ke sini.”

“Luna ingin Mama dan Papa hanya berkunjung atau Luna ingin pulang dengan Mama dan Papa?”

“Hmm…” untuk seorang anak usia 7 tahun aku tidak terlalu mengerti pertanyaan Oma.

“Begini…. Luna ingin pulang?” Oma mengganti pertanyaannya. Aku menggeleng ragu.

“Luna ingin bertemu Papa dan Mama lagi?” Aku mengangguk.

“Luna masih ingin di sini?” Aku mengangguk dengan lebih yakin.

“Nah, kalau begitu ada yang kurang dari per-mintaan Luna. Sekarang Oma berikan kesem-patan lagi untuk Luna menyampaikan permo-honan pada lilin ini. Setuju?” Terlalu jelas pada waktu itu, aku merasakan suatu kehangatan dan kegembiraan yang bercampur di hati. Aku tahu apa yang harus aku minta. Aku men-gangguk dan menggenggam piring perak itu bersama Oma. Aku hendak meniupnya ketika Oma menyela, “Tari napas panjang, Luna, dan katakan permohonanmu sehingga tidak hanya lilin yang mendengar, tetapi Dia yang mencip-takan nyala lilin itu,”

“Luna mohon supaya Papa dan Mama ber-henti bertengkar, supaya bisa bertemu Luna di sini, supaya bisa bermain sama Luna sama Oma di sini,” aku menatap Oma, lalu meniup lilin itu bersama. Oma mengecupku di ken-ing dan kemudian sama-sama duduk di ruang makan untuk sarapan. Tidak secepat yang aku harapkan, tetapi dua hari setelah permohon-an itu, setelah aku mendapatkan dua permo-honanku lainnya – hari yang cerah dan wortel untuk Angelo – Mama dan Papa datang untuk bermalam selama akhir pekan. Orang tuaku ti-

dak lagi bertengkar seperti dulu. Aku melihat mereka memilih diam sejenak ketika sesuatu memancing mereka untuk saling berteriak. Tidak langsung berubah, tetapi mereka lebih baik. Aku terus mengucapkan permohonanku untuk mereka setiap pagi bahkan ketika lilin Oma tidak ada di samping kasurku di Paris.

Paris, 2014

Selama 90 hari aku tinggal bersama Oma, se-bagian besar permohonanku terkabul. Namun, bukan persoalan permohonan itu yang menja-di penting. Setelah bertahun-tahun melaku-kannya, aku baru menyadari setiap tiupan li-lin yang kulakukan setiap pagi selama musim panas itu adalah doa yang kusampaikan pada Sang Pencipta nyala api. Oma dengan caranya yang unik mengajari seorang Luna kecil untuk berdoa, untuk memahami arti permohonan dalam doaku dan percaya.

Sejak saat itu, setiap pagi ketika aku datang ke-padaNya, satu tarikan napas panjang sebelum akhirnya permohonanku terucap, aku berikan kesempatan pada diriku sendiri untuk mema-hami permohonanku. Hal berharga yang saat ini aku ajarkan pada Michele, anakku.

Aku melihat ke arah Roby yang sedang tersenyum ke arahku, Michele yang sibuk bermain dengan selendang yang kupakai, dan Oma yang dengan tangan yang sama meng-genggam sebuah lilin, “Sudah, Oma. Sudah semua permohonanku terwujud.” Lalu aku meniup lilin itu.

12

Page 15: AGAPE Natal 2014

Havin

g Mary Heart in a

Martha World

Penulis: Joanna WeaverPenerbit: Pioner JayaTahun: 2009Halaman: 339 halamanUkuran Buku: 22 cm x 18 cmISBN: 978-979542304-1

Sering kali, kita sangat rindu untuk mengenal dan mengasihi Allah. Kita begitu ingin mengenal Kristus dengan sungguh-sungguh dan memiliki hubungan yang sangat intim dengan Roh Kudus. Akan tetapi, sangat sulit untuk punya kekuatan dan waktu tamba-han untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mencapai keintiman dengan Allah. Terkadang, rasanya kehidupan rohani adalah satu tugas tambahan lagi yang menuntut tanggung jawab yang sangat besar.

Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus menden-garkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan,

tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiar-kan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia memban-

tu aku.“ (Lukas 10:39b-40)

Ayat ini sudah sangat familiar di telinga. Ketika Yesus berkunjung ke rumah Maria dan Marta, Marta begitu sibuk dengan pekerjaannya, sementara Maria hanya duduk di dekat kaki Tuhan Yesus sambil mendengar-

kan perkataan-perkataan Yesus. Jauh di dalam hati, kita sebenarnya ingin menyembah seperti Maria tetapi sisi Marta di dalam diri kita senantiasa mengendalikan kita. Begitu banyak hal yang harus dikerjakan, sementara waktu yang tersedia sedemikian sedikit

Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian

yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.“ (Lukas 10:41-42)

Dengan lembut, Ia mengundang Anda untuk memilih “bagian yang terbaik”sebuah kehidupan yang penuh sukacita dari keintiman bersama-Nya yang akan men-galir secara alami menjadi sebuah pelayanan yang penuh kasih. Apakah Anda mau meresponi undangan-Nya tersebut? (Felicia 2012)

13

Page 16: AGAPE Natal 2014

Resensi Film

Judul: Pay It Forward (2000) Pemain: Haley Joel Osment, Kevin Spacey, Helen Hunt Durasi: 123 menit

Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama ini mengisahkan seorang anak dengan gerakan Pay It Forward yang dibuatnya di Kota Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Berangkat dari tugas sekolah di kelas Sosial yang diberikan gurunya, yaitu membuat suatu alat ataupun sistem yang dapat mengubah dunia menjadi lebih baik, Trev-or McKinney, salah satu murid di kelas tersebut merencanakan suatu gerakan sosial dengan prinsip perbuatan baik atau good deeds. Trevor menamakan programnya Pay It Forward. Dalam gerakan yang Trevor rencanakan ini, setiap orang harus melakukan 3 perbuatan baik kepada 3 orang lainnya. Kemudian masing-masing orang yang ditolong akan melakukan 3 perbuatan baik kepada 3 orang lain yang berbeda, dan seterusnya. Peraturan yang Trevor tetapkan dalam gerakannya ini adalah perbuatan baik atau pertolongan harus berupa sesuatu yang sangat diperlukan oleh sang penerima, yang tidak dapat ia lakukan atau dapatkan sendiri. Untuk tugasnya, 3 orang pertama yang trevor pilih adalah seorang gelandangan, ibunya, dan guru pelajaran sosialnya sendiri. Dalam film ini, kita akan melihat bagaimana Trevor berusaha menolong ketiga tokoh tersebut dan bagaimana ia berjuang ketika orang tersebut tidak menunjukkan keinginan dan kebutuhan untuk

ditolong. Trevor pun sempat putus asa melihat orang yang ditolongnya tampak sebagai suatu kegagalan dan tidak melanjutkan gerakan perbuatan baiknya ke orang lain. Trevor yang lugu hanya melihat tugas sekolahnya ini akan gagal dan akan menghentikan Pay It Forward tanpa menyadari bahwa sesungguhnya perbuatan baiknya ini akan mengungkap satu persatu kepedihan dan kebutuhan terdalam hingga pencerahan dari orang-orang yang ditolongnya, termasuk orang-orang terdekatnya. Gerakan Pay It Forward yang Trevor rencanakan pun di luar dugaan menyebar hingga keluar kota Las Vegas hingga menjadi perbincangan nasional. Kisah Pay It Forward yang luar biasa ini ditutup dengan tragis sekaligus mengharukan ketika Trevor sendiri tidak bisa menikmati keberhasilan gerakan kemanusiaan yang dimulainya untuk waktu yang lama.

“I think some people are too scared, or something. I guess it’s hard for people who are so used to things the way they are - even if they’re bad - to change. ‘Cause they kind of give up. And when they do, everybody kind of loses.” - Trevor McKinney

14

Page 17: AGAPE Natal 2014

word search!

MariaYusuf Mas

Kemenyan Mur

MesirPersia

MagdalenaYohanes

UntaMalaikat

Keturunan Daud Yesaya

Orang Majus Betlehem

Kandang Domba Kawanan Gembala

Bintang Timur

Complete the search and you have the chance to win the prize! Email the photo or scan of this page to [email protected] or

give it to any of the following: April, Irvin, Risma, Maya, Rissa

15

Page 18: AGAPE Natal 2014

16

Page 19: AGAPE Natal 2014

17

Page 20: AGAPE Natal 2014

gape‘’

‘’

Chri

stm

as

Edit

ion

ALLOUTforchrist


Top Related