Transcript
Page 1: 25 fatwa ulama ahlus sunnah
Page 2: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH TEMPAT USAHA YANG PADANYA TERJADI CAMPUR BAUR

ANTARA PRIA DAN WANITA

(Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry hafizhahullah)

Pertanyaan:

Semoga Allah memberkahi Anda wahai syaikh kami, Di tempat kami di negeri

timur Asia terdapat rumah-rumah makan yang kebiasaannya para pengunjungnya

dari kalangan pria dan wanita sehingga seringnya terjadi ikhtilath dan sebagian

kemungkaran. Maka apakah pemilik rumah-rumah makan tersebut berdosa atasnya

dan apakah hal itu teranggap saling membantu dalam dosa dan permusuhan?

Jawaban:

Jika dia benar-benar seorang muslim maka tidak halal hal seperti ini baginya.

Hendaknya dia berusaha memisah antara pria dengan wanita, dan tidak halal

baginya untuk membiarkan mereka duduk di samping pria. Adapun berkaitan

dengan melarang maka saya kira hal itu tidak mudah baginya, karena negara-

negara kafir mengharuskan, dan barangsiapa dari kaum Muslimin yang meniru

mereka maka mereka akan mengharuskannya.

Tetapi hendaknya dia membuat tirai pembatas sebisa mungkin, dan jangan

sampai misalnya dia membiarkan orang minum khamer, menari, dan hal yang sia-

sia. Jangan sampai dia membiarkan hal ini, walaupun hal itu membuatnya terpaksa

harus menutup rumah makan tersebut. Dan hendaklah dia percaya dengan janji

Allah:

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah maka pasti Dia akan memberikan jalan

keluar bagi kesulitannya dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak dia

sangka-sangka, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia akan

mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Sumber audio dan transkripnya : http://ar.miraath.net/fatwah/10512

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8918

Page 3: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

SAHKAH MENIKAH YANG KEDUA TANPA SURAT NIKAH

(Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly rahimahullah)

Pertanyaan:

Semoga Allah senantiasa melimpahkan kebaikan-Nya kepada Anda,

penanya dari Perancis mengatakan: “Bolehkah bagi saya untuk menikah dengan istri

yang kedua dengan akad yang diakui oleh adat-istiadat saja, karena poligami

dilarang di negara saya?”

Jawaban:

Apa yang dimaksud dengan akad yang diakui oleh adat-istiadat tersebut?!

Jika hal tersebut maksudnya adalah dengan hanya mencukupkan dengan akad yang

dilakukan oleh wali si wanita dan hadirnya dua orang saksi yang adil, jika

maksudnya tersebut adalah seperti ini maka pernikahan tersebut sah dan akadnya

sah.

Namun jika maksudnya lain maka kami tidak tahu dan kami tidak bisa

menetapkan fatwa hukumnya. Hanya saja seperti ini dugaan kuatnya yaitu bahwa

yang dimaksud dengan pernikahan yang diakui oleh adat adalah yang tidak

dicatatkan di kantor pemerintah, tetapi hanya dilakukan di tengah-tengah kabilah

(suku atau masyarakat –pent) dengan kehadiran pihak yang mengurusi akad, wali,

pihak yang menikah atau perwakilannya, atau wali juga bisa diwakilkan, dan dua

orang saksi, kemudian dilaksanakan akad.

Yang semacam ini boleh dan teranggap pernikahan yang sah menurut

syari’at, walaupun tidak dicatatkan pada kantor pemerintah yang melarang apa yang

diperbolehkan dan disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8689

BOLEHKAH SHALAT DI MASJID AHLI BID’AH

(Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah)

Pertanyaan:

Semoga Allah melimpahkan kebaikannya kepada Anda, wahai syaikh kami, di

negeri kami terdapat dua masjid, salah satu dari keduanya milik Ahlus Sunnah

sedangkan yang lainnya milik ahli bid’ah, maka bolehkah bagi saya untuk

mengerjakan shalat di masjid ahli bid’ah kadang-kadang saja, tujuannya untuk

menasehati orang-orang awam? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Page 4: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jawaban:

Orang-orang awam yang ingin engkau nasehati itu –baarakallahu fiikum– jika

mereka tidak mengetahui keadaan ahli bid’ah tersebut berupa kesesatan yang ada

pada mereka dan engkau orang yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan

nasehat dan menjelaskan kebenaran kepada mereka serta mengingatkan mereka

dengan ajaran As-Sunnah, maka tidak mengapa engkau menasehati mereka jika

engkau benar-benar memiliki kemampuan untuk melakukannya, jika orang-orang

awam tersebut tidak mampu untuk membedakan dan tidak mengetahui mana yang

benar dan mana yang bathil.

Tetapi jika ahli bid’ah akan memanfaatkan keberadaanmu di masjid tersebut

sehingga jumlah mereka menjadi bertambah banyak atau mereka semakin

meramaikannya, maka keselamatan itu sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan

apapun. Jangan engkau masukkan dirimu ke dalam tempat yang membahayakan

dan jangan membingungkan dirimu dan saudara-saudaramu (sesama Ahlus Sunnah

–pent).

Siapa yang engkau kenal dari orang-orang awam tersebut maka datanglah

ke rumahnya dan nasehatilah dia! Namun jika keberadaanmu tidak akan

dimanfaatkan, mereka tidak mempedulikan dirimu, dan mereka tidak mengenal

sama sekali siapa engkau, maka demi tujuan yang mulia ini jika engkau benar-benar

memiliki kemampuan untuk menyampaikan nasehat dan engkau memiliki sebab

yang menuntut untuk menyampaikannya, maka tidak masalah in syaa Allah Ta’ala.

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=8448

APAKAH SESEORANG MENDAPATKAN PAHALA JIKA MELAKUKAN

KEBAIKAN TANPA DISERTAI NIAT KARENA ALLAH

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Seseorang terkadang melakukan kebaikan, hanya saja mungkin di dalam

lubuk hatinya tidak meniatkan kebaikan dan tidak pula keburukan, apakah dia

mendapatkan pahala atasnya?

Jawaban:

Tidak, karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

Page 5: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Hanyalah amal-amal itu diberi balasan sesuai dengan niatnya, dan setiap orang

akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang telah dia niatkan.”

Maka jika seseorang melakukan sesuatu tanpa meniatkan untuk

mendapatkan pahala dan tidak meniatkan untuk mendapatkan ganjaran, maka dia

tidak akan mendapatkan pahala.

Sumber artike : http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54411

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7892

BOLEHKAH MENJUAL BARANG LANGSUNG DARI TEMPAT MEMBELINYA

(Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)

Pertanyaan:

Sebagian pedagang membeli barang, kemudian dia tidak segera mengambil

barang tersebut dan tidak melihatnya langsung, tetapi dia akan mengambilnya

sewaktu-waktu dengan kwitansi dan tetap meletakkan barangnya tersebut di gudang

penjual yang dia membeli darinya. Kemudian dia menjualnya ke orang lain (baik

serah terima barangnya di tempat maupun dengan cara mengirimkannya ke pembeli

lain –pent) ketika barang itu masih berada di gudang penjual pertama tadi.

Bagaimana hukum hal tersebut?

Jawaban:

Tidak boleh bagi pembeli untuk menjual barang tersebut selama masih

berada pada penjual sampai pembeli tersebut menerimanya dan memindahkannya

ke rumahnya atau ke pasar. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi shallallahu alaihi

was sallam dalam hadits-hadits yang shahih tentang hal tersebut, diantaranya

adalah sabda beliau shallallahu alaihi was sallam:

“Tidak boleh hutang dan jual beli sekaligus dalam satu transaksi, dan tidak halal

menjual apa yang tidak engkau miliki.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun

kitab As-Sunan dengan sanad shahih. (Al-Albany rahimahullah berkata dalam

Shahih Sunan Abu Dawud II/374 no. 3504: “Hasan shahih.” –pent)

Juga berdasarkan sabda beliau shallallahu alaihi was sallam kepada Hakim bin

Hizam:

Page 6: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” Dikeluarkan oleh

para imam hadits yang lima kecuali Abu Dawud dengan sanad jayyid. (Al-Albany

rahimahullah berkata dalam Irwa’ul Ghalil no. 1292: “Shahih.” –pent)

Juga berdasarkan riwayat dari Zaid bin Tsabit dari Nabi shallallahu alaihi was

sallam:

“Beliau melarang menjual barang di tempat barang tersebut dibeli, sampai para

pedagang memindahkannya ke tempat mereka sendiri.” Diriwayatkan oleh Ahmad

dan Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. (Al-Albany

rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Abu Dawud II/373 no. 3499: “Hasan

berdasarkan riwayat sebelumnya.” –pent)

Jadi siapa yang membeli barang maka tidak boleh baginya untuk menjualnya

sampai dia memindahkan barang yang telah dibelinya tersebut ke rumahnya atau ke

tempat yang lain seperti pasar misalnya, hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah

disebutkan tadi.

Sumber artikel: Majmuu’ul Fataawaa, XIX/121-122

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7842

BOLEHKAH MEMBERIKAN KARTU DISKON BELANJA

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Sebagian supermarket memiliki kartu yang diberikan kepada pelanggan,

ketika berbelanja Anda akan diberi poin sesuai nilai barang yang Anda beli, dari

sana poin-poin tersebut akan diganti dengan barang yang mereka tentukan, dan

dengan kartu ini Anda bisa mendapatkan harga diskon?

Jawaban:

Ini semua termasuk perjudian sehingga tidak boleh, jika seorang pelanggan

membutuhkan barang hendaklah dia pergi ke pasar, tinggalkan cara-cara buruk

semacam ini, yaitu membeli barang dengan iming-iming siapa yang cepat atau

beruntung maka dia akan mendapat hadiah, tinggalkan karena itu merupakan

perjudian. Konsumen akan membeli ke mereka dan tidak mau membeli ke selain

mereka, jadi mereka memalingkan manusia dari tempat belanja yang lain, sehingga

mereka merugikan orang lain.

Page 7: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Nabi shallallahu alaihi was sallam melarang mencegat orang-orang yang ingin

menjual barangnya sebelum sampai ke pasar. Beliau juga melarang orang kota

menjualkan barang orang desa. Hal itu bertujuan agar keuntungan bisa didapatkan

oleh semua orang yang ada di pasar dan tidak ada seorang pun memiliki kelebihan

atas orang lain. Misalnya dengan engkau memberikan berbagai hadiah agar

manusia hanya membeli kepadamu dan engkau menyebabkan pembeli tidak mau

belanja ke orang lain.

Kemudian barang yang diterima oleh pembeli semacam ini tidak boleh

hukumnya, karena itu didapatkan tanpa mengeluarkan apapun. Dia

mendapatkannya hanya sebagai imbalan dari kartu tadi yang tujuannya untuk

mengarahkan manusia agar berbelanja ke toko mereka atau tempat jualan mereka

serta merugikan penjual yang lain. Tidak boleh merugikan orang lain sebagaimana

tidak boleh merugikan diri sendiri. Yang semacam ini tidak boleh.

Sumber audio: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54279

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7791

BOLEHKAH MENJUAL BARANG ORANG LAIN

Pertanyaan:

Seorang pelanggan datang kepada saya dan meminta barang tertentu,

namun barang yang dia inginkan itu tidak ada pada saya, tetapi barang tersebut ada

di toko lain, dan harganya di toko lain tersebut misalnya 100 Riyal. Maka orang yang

ingin membeli tersebut berkata kepada saya setelah memintanya: “Berapa

harganya?” Saya jawab: “Harganya 150 Riyal.” Lalu dia berkata kepada saya: “Tidak

masalah, bawakan barang itu kepada saya!” Jika saya membeli barang barang

tersebut seharga 100 Riyal dan saya jual kepadanya seharga 150 Riyal, apakah

semacam ini boleh?

Atau bolehkah saya meminta kepadanya agar memberi saya senilai harga

jual barang tersebut yaitu 150 Riyal, lalu saya belikan barang tersebut seharga 100

Riyal dan saya mengambil sisanya yang 50 Riyal tadi yang saya anggap keuntungan

sebagai imbalan atas keletihan dan usaha saya? Jika tidak boleh maka bagaimana

yang wajib kami lakukan, dan apakah jual beli semacam ini teranggap jual beli

barang yang tidak dimiliki oleh seseorang?

Page 8: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jawaban:

Jual beli yang sifatnya disebutkan tadi adalah jual beli apa yang tidak engkau

miliki dan yang tidak ada padamu. Maka tidak boleh memperjualbelikan barang tadi

sampai engkau mengambilnya dan memindahkannya ke tempatmu (tidak harus ke

rumah atau ke tokonya terlebih dahulu, tetapi bisa di kendaraan terus diserahkan ke

pembeli –pent). Jika engkau telah memiliki barang tersebut maka boleh bagimu

untuk menjualnya ke pembeli dengan harga yang kalian sepakati berdua dan

dengan keridhaan kalian berdua dengan keuntungan yang bisa memberi manfaat

bagi dirimu namun tidak merugikan pembeli.

Tetapi jika pembeli mewakilkan kepadamu untuk membeli barang tertentu,

maka tidak boleh bagimu untuk mengambil lebih dari harga barang tersebut, karena

orang yang diminta mewakili adalah orang yang dipercaya. Jika pembeli tersebut

memberimu sejumlah uang secara suka rela sebagai imbalan bagi keletihanmu,

maka halal bagimu untuk mengambilnya dalam keadaan seperti ini..

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Tertanda:

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Anggota:

- Abdul Aziz Alus Syaikh

Shalih Al-Fauzan

Bakr Abu Zaid

Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,

XIII/260-261, fatwa no. 19912

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7739

BOLEHKAH DALAM JUAL BELI MENENTUKAN SYARAT: “BARANG BISA

DITUKAR, TETAPI UANG TIDAK BISA DIKEMBALIKAN”

Pertanyaan:

Bagaimana menurut Anda –baarakallahu fiikum– tentang apa yang dilakukan

oleh sebagian pedagang berupa kesepakatan dengan pembeli bahwa pembeli boleh

mengembalikan barang yang dia beli jika dia menginginkan, namun dia tidak boleh

meminta kembali uang yang dibayarkan, tetapi dia boleh memilih barang lain yang

Page 9: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

ada pada penjual yang dia inginkan yang seharga dengan barang yang

dikembalikan.

Kalau dia tidak mendapatkan barang yang sesuai pada penjual, maka penjual

menulis uang pembayaran si pembeli, tujuannya jika kapan saja dia ingin membeli

sesuatu dari toko tersebut dia bisa menggunakan uang tersebut sebagai deposit?

Jawaban:

Boleh mensyaratkan untuk menentukan pilihan atau keputusan dalam jual beli

untuk jangka waktu tertentu, dan pembeli boleh mengembalikan barang yang telah

dia beli dalam waktu yang telah disepakati tersebut, dan dia boleh mengambil

kembali uang yang telah dia bayarkan kepada penjual, karena itu adalah hartanya.

Adapun pensyaratan tidak boleh meminta kembali uang yang telah

dibayarkan oleh si pembeli dan hanya boleh digunakan untuk membeli barang yang

lain kepada si penjual, maka ini merupakan syarat yang bathil dan tidak boleh

diterapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

“Semua syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah bathil, walaupun ada 100

syarat.” (HR. Al-Bukhary no. 2155 dan Muslim no. 1504 –pent)

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Tertanda

:

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Anggota:

- Abdullah bin Ghudayyan

Shalih Al-Fauzan

Abdul Aziz Alus Syaikh

Bakr Abu Zaid

Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,

XIII/199, fatwa no. 19804

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7613

Page 10: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

MUNGKINKAH MELIHAT ALLAH DALAM MIMPI

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya

ini mengatakan apakah mungkin Allah Jalla wa Ala dilihat dalam mimpi?

Jawaban:

Ya termasuk hal yang mungkin, termasuk hal yang mungkin Dia dilihat dalam

mimpi. Mimpi bukan dalam keadaan berjaga. Kita menafikan hal ini hanyalah dalam

keadaan berjaga di dunia. Adapun dalam mimpi maka hal itu mungkin terjadi bagi

siapa yang pantas untuk mendapatkannya, bagi yang memang pantas

mendapatkannya. Kalau misalnya ada seseorang dari ahli khurafat mengatakan:

“Saya telah bermimpi melihat Allah.” Maka tidak diterima ucapannya tersebut. Kalau

dia termasuk ahli iman, akidah, dan ilmu, maka mungkin saja dia bisa bermimpi

melihat Allah. Adapun jika dia termasuk ahli khurafat dan para pendusta maka

ucapannya tidak dibenarkan.

Sumber artikel:

http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54030

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7419

BOLEHKAH SYARAT “BARANG TIDAK BOLEH DIKEMBALIKAN DAN

TIDAK BISA” DITUKAR DALAM JUAL BELI

Pertanyaan:

Apa hukum syari’at menulis ungkapan “Barang yang dibeli tidak boleh

dikembalikan atau ditukar” yang ditulis oleh sebagian toko di faktur yang mereka

keluarkan, dan apakah syarat semacam ini boleh menurut syari’at, dan apa nasehat

Anda tentang perkara ini?

Jawaban:

Menjual barang dengan syarat tidak boleh dikembalikan dan tidak boleh

ditukar adalah tidak boleh, karena itu merupakan syarat yang tidak sah karena

mengandung tindakan merugikan pihak lain dan tindakan menyembunyikan cacat

barang yang dijual, juga karena tujuan dari penjual dengan membuat syarat

Page 11: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

semacam ini adalah mengharuskan pembeli untuk menerima barang walaupun

barang tersebut memiliki cacat, sementara penentuan syarat semacam ini tidak bisa

membersihkan cacat yang ada pada barang tersebut.

Jadi seandainya barang tersebut memiliki cacat, maka pembeli boleh untuk

meminta ganti dengan barang yang tidak memiliki cacat, atau dia boleh meminta

kompensasi dari cacat yang ada tersebut. Juga karena harga yang sempurna

merupakan imbalan bagi barang yang bagus kwalitasnya, dan tindakan penjual

mengambil pembayaran dalam keadaan barang yang dia jual memiliki cacat

merupakan perbuatan mengambil tanpa hak.

Dan karena syariat menegakkan syarat yang telah dikenal di tengah-tengah

manusia (seperti tidak boleh menjual barang yang cacat –pent) sama seperti syarat

yang terucap, dan hal itu tujuannya adalah agar barang yang diperjualbelikan bebas

dari cacat, sehingga boleh baginya untuk mengembalikannya jika ternyata didapati

ada cacatnya. Hal ini merupakan penerapan bagi pensyaratan bebasnya barang

yang diperjualbelikan dari cacat yang telah dikenal di tengah-tengah manusia,

walaupun syarat tersebut tidak diucapkan.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Tertanda:

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Anggota:

- Abdullah bin Ghudayyan

Shalih Al-Fauzan

Abdul Aziz Alus Syaikh

Bakr Abu Zaid

Sumber artikel: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’,

XIII/187-198, fatwa no. 13788

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=7415

BOLEHKAH MENGERASKAN BACAAN SHALAT SIRRIYAH ATAU

SEBALIKNYA DAN BIMBINGAN MENGGUNAKAN PENGERAS

SUARA DI MASJID

(Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)

Pertanyaan:

Page 12: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Pendengar yang bernama Muhammad Khair dari Suriyah mengatakan dalam

suratnya: “Apakah disyaratkan untuk mengeraskan suara pada shalat-shalat jahriyah

semuanya, dan apa hukumnya jika seseorang mengeraskan suara pada rakaat

pertama dan melirihkan pada rakaat kedua?”

Jawaban:

Melirihkan bacaan pada tempatnya dan mengeraskan bacaan pada

tempatnya ketika shalat hukumnya sunnah dan tidak wajib, karena yang wajib

adalah membaca, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

“Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” [1]

Jika seseorang mengeraskan suara pada shalat yang sunnahnya melirihkan

atau dia melirihkan pada shalat yang sunnahnya mengeraskan, jika tujuannya

tersebut adalah menyelisihi As-Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah

perkara yang haram dan sangat berbahaya. Namun jika dia melakukannya karena

tujuan yang lain, apakah semata-mata karena meremehkan As-Sunnah atau karena

sebuah sebab yang menuntut untuk melirihkan atau mengeraskan –dan situasi

kondisi yang menuntut demikian, kita tidak mampu untuk membatasinya di sini–

maka tidak mengapa.

Bahkan seandainya seseorang sengaja tidak melirihkan pada shalat yang

sunnahnya melirihkan atau tidak mengeraskan pada shalat yang sunnahnya

mengeraskan dengan syarat hal itu bukan karena membenci As-Sunnah dan

meninggalkannya, maka dia tidak berdosa. Hanya saja dia terluput dari pahala (yang

sempurna –pent).

Terdapat riwayat di dalam Ash-Shaihain yang menyebutkan bahwa

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam pada shalat sirriyah beliau terkadang

mengeraskan ayat yang beliau baca hingga para Shahabat yang menjadi ma’mum di

belakang beliau bisa mendengarnya. Jadi jika seorang imam terkadang melakukan

hal itu maka tidak masalah bagi imam. Adapun bagi para ma’mum maka mereka

tidak boleh mengeraskan bacaan, karena hal itu akan mengganggu jama’ah yang

lain. Pernah Nabi shallallahu alaihi was sallam keluar menuju para Shahabat ketika

mereka sedang membaca Al-Qur’an dan mengeraskan bacaannya. Maka beliau

shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang

lain.” [3]

Page 13: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya. Jadi kapan saja

tindakan mengeraskan suara akan mengganggu yang lain maka hal itu dilarang.

Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa sebagian orang ada yang

melakukan perbuatan yang mengganggu orang lain, padahal maksud mereka

adalah baik insya Allah. Yaitu ketika mereka melaksanakan shalat jama’ah maka

sebagian mereka ada yang menghidupkan pengeras suara yang ada di menara,

sehingga engkau jumpai mereka mengganggu masjid-masjid lain yang ada di

dekatnya dan juga orang-orang yang mengerjakan shalat di rumah (para wanita dan

orang-orang yang mendapatkan udzur –pent).

Terkadang mereka juga mengganggu orang lain yang ingin istirahat karena

mereka telah menunaikan kewajiban mereka. Jadi kita anggap misalnya di rumah-

rumah penduduk sebagian mereka ada yang sakit yang telah mengerjakan shalat

dan ingin bersitirahat, maka suara-suara dari masjid ini bisa mengganggu mereka.

Jika suara-suara ini hanya mengganggu masjid-masjid yang lain maka

sesungguhnya hadits yang telah kami isyaratkan tadi yang diriwayatkan oleh Malik

dalam Al-Muwaththa’ dan dinilai shahih oleh Ibnu Abdil Barr, tepat untuk diterapkan

pada keadaan semacam ini. Yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi was sallam:

“Janganlah sebagian kalian mengeraskan Al-Qur’an terhadap sebagian yang lain.”

Atau dalam riwayat lain jangan mengeraskan bacaannya. Kemudian

sesungguhnya mengeraskan suara di atas menara bisa menyebabkan kemalasan

dan sikap menunda-nunda, karena orang-orang yang di rumah yang mendengarnya

terkadang salah seorang dari mereka ada yang mengatakan dalam hati: “Shalat

masih berlangsung, saya masih bisa mendapatkan rakaat terakhir.” Jika perkaranya

seperti itu maka terkadang dia bisa saja tidak mendapatkan shalat berjama’ah.

Karena ketika dia mendengar suara imam, engkau jumpai dia meremehkan dan

jiwanya mengajak kepada kemalasan. Adapun jika dia tidak mendengar suara imam,

maka semuanya masih bisa mendengar adzan, sehingga seseorang akan segera

bersiap-siap menuju shalat.

Jadi menurut saya dalam masalah ini shalat jangan dikeraskan dengan

pengeras suara di atas menara, hal ini berdasarkan hadits yang telah saya sebutkan

dan juga karena sebab-sebab lain yang menuntut untuk tidak mengeraskan shalat di

atas menara. Adapun iqamah shalat dengan pengeras suara di atas menara maka

saya berharap hal ini tidak mengapa, walaupun sebagian orang ada yang

membantah dengan dalih bahwa mengeraskan iqamah di atas menara juga akan

menyebabkan kemalasan, karena jika seseorang mendengar adzan maka dia akan

menunggu dan mengatakan: “Saya tunggu sampai iqamah.”

Page 14: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Hanya saja menurut saya hal itu tidak mengapa, karena dalam sebuah hadits

shahih dari shallallahu alaihi was sallam beliau bersabda:

“Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dalam keadaan

tenang dan jangan terburu-buru.” [4]

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa iqamah pada masa Nabi

shallallahu alaihi was sallam terdengar dari luar masjid. Jika ada yang mengatakan:

“Terkadang jama’ah banyak, sementara masjidnya luas dan suara imam lemah,

sehingga tidak terdengar oleh sebagian ma’mum.” Maka kita katakan bahwa bisa

dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid saja, jadi tidak perlu dengan

yang ada di menara, karena tujuannya bisa tercapai.

Catatan kaki:

[1] Hadits Ubadah bin Ash-Shamit yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 756 dan

Muslim

no. 394, dan ini adalah lafazh Muslim. (pent)

[2] Abu Qatadah Al-Harits bin Rib’iy radhiyallahu anhu menceritakan:

“Nabi shallallahu alaihi was sallam pernah membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) dan

dua surat pada shalat Zhuhur di dua rakaat pertama, dan pada dua rakaat yang

terakhir beliau membaca Ummul Kitab dan mengeraskan bacaannya hingga kami

mendengarnya. Beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dan tidak

memanjangkannya pada rakaat kedua. Demikian juga pada shalat Ashar dan juga

pada shalat Shubuh.”

(HR. Al-Bukhary no. 776 –pent)

[3] Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 1603. (pent)

[4] HR. Al-Bukhary no. 636 dan Muslim no. 602 dan ini adalah lafazh Al-Bukhary.

(pent)

Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, Program Maktabah Asy-Syaamilah,

VIII/2

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=6941

BOLEHKAH PUASA ARAFAH JIKA BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT

(Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)

Pertanyaan:

Page 15: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Hari Arafah pernah bertepatan dengan hari Jum’at, dan saya berpuasa pada

hari Jum’at yang bertepatan dengan hari Arafah tersebut dan saya tidak berpuasa

pada hari Kamis sebelumnya. Apakah saya berdosa?

Jawaban:

Kami berharap engkau tidak berdosa, karena engkau tidak meniatkan untuk

puasa pada hari Jum’at saja. HANYA SAJA JIKA ENGKAU JUGA BERPUASA

PADA HARI KAMIS MAKA HAL ITU LEBIH HATI-HATI. Karena Rasulullah

shallallahu alaihi was sallam melarang untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan

berpuasa [1] bagi orang yang melakukan puasa nafilah (jadi tidak berlaku bagi yang

membayar hutang puasa –pent).

Engkau melakukan puasa nafilah, maka jika engkau juga berpuasa pada hari

Kamis maka akan lebih hati-hati, walaupun niatmu adalah puasa Arafah. Hanya saja

jika seorang mu’min berusaha mencocoki Nabi shallallahu alaihi was sallam dan

melaksanakan perintah beliau maka akan lebih hati-hati. Adapun jika berpuasa pada

hari Jum’at karena ingin mendapatkan keutamaan hari tersebut maka tidak boleh,

karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam melarangnya. Tetapi jika dia

berpuasa pada hari Jum’at karena bertepatan dengan hari Arafah maka kami

berharap tidak ada dosa atasnya. Hanya saja kalau lebih berhati-hati dengan

berpuasa juga pada hari Kamis maka akan lebih selamat.

Catatan Kaki:

[1] Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi was

sallam bersabda:

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at diantara malam-malam yang lain

dengan melakukan shalat, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at diantara hari-

hari yang lain dengan melakukan puasa.” (Al-Bukhary no. 1985 dan Muslim no.

1144 dan ini adalah lafazh Muslim –pent)

Sumber artikel:

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=147447

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=6918

BOLEHKAH WANITA MENYETIR

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Page 16: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Syaikh kami yang mulia, ada banyak pertanyaan seputar tema-tema dan

kejadian terkini, diantaranya pertanyaan yang sering terlontar, yaitu:

Fadhilatus Syaikhina wa Waalidina, di hari-hari beredar seruan untuk

memperbolehkan wanita menyetir, dan di sana ada sebagian dai dan orang-orang

yang dianggap baik berpendapat bahwa hal tersebut tidak mengapa, dengan dalih

bahwa hal itu jauh lebih ringan dibandingkan mempekerjakan sopir yang bukan

mahram. Maka apa bimbingan Anda, apa hukumnya secara syariat, dan apa dalil

yang menjadi sandaran mereka?

Jawaban:.

Masalah ini para ulama telah berbicara tentangnya dan mereka telah

menjawabnya dengan jawaban yang mantap walhamdulillah. Intinya bahwasanya

menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya, jika melihat maslahat yang

sifatnya hanya sebagian maka perlu diketahui bahwa padanya terdapat bahaya yang

banyak. Jadi tidak tepat dengan memandang sebagian namun mengabaikan

bahaya-bahaya yang lainnya. Karena mencegah kerusakan harus didahulukan atas

meraih maslahat, ini merupakan kaedah syari’at. Menyetirnya wanita mengandung

berbagai kerusakan.

Diantaranya, akan memaksa wanita untuk menanggalkan hijab, tidak mungkin

dia akan menyetir mobil dalam keadaan berhijab. Walaupun dia berhijab maka

hijabnya akan rawan untuk terlepas, mau nggak mau. Yang kedua diantara

kerusakannya adalah wanita tersebut akan bercampur baur dengan pria, seperti

polisi lalu lintas, terlebih lagi ketika terjadi kecelakaan, dan betapa banyaknya

kecelakaan terjadi. Dia akan campur baur dengan pria seperti pergi ke kantor polisi

dan yang lainnya.

Demikian juga jika terjadi kerusakan mobil sehingga mogok di tengah jalan,

hal itu akan memaksanya untuk meminta bantuan kepada pria, sebagaimana hal ini

pun terjadi di antara para sopir pria. Jadi wanita akan rawan mengalami campur baur

dengan pria yang hal itu merupakan penyebab fitnah. Diantara bahaya lain jika

seorang wanita dipegangi mobil maka dia akan keluar kapan saja dia mau siang dan

malam. Karena kuncinya dia pegang dan mobilnya dia bawa sehingga dia akan bisa

pergi sesukanya. Berbeda jika dia mengikuti walinya yang menyetir yang akan

bersamanya di mobil dan menemaninya.

Adapun jika urusannya ada di tangannya maka dia akan pergi sesukanya dan

kapan saja dia diminta untuk keluar oleh orang lain. Karena dia bisa saja menjalin

komunikasi dan memiliki hubungan dengan orang-orang yang rusak. Sebagaimana

kalian mengetahui komunikasi di masa sekarang demikian mudahnya terhubung di

Page 17: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

mana seorang wanita bisa dihubungi ketika dia sedang di atas tempat tidurnya, di

kamarnya atau di rumahnya.Dia akan mudah dibujuk karena wanita itu tabiatnya

lemah lalu dia pun akan pergi.

Jadi menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya yang banyak. Kalian

juga mengetahui bahwa sekarang lalu lintas sudah sangat padat di jalan raya. Maka

akan bagaimana lagi jika wanita diperbolehkan untuk menyetir mobil?! Tentu jumlah

mobil akan berlipat, akan semakin besar bahaya dan kepadatan lalu lintas akan

semakin parah. Jadi menyetirnya wanita mengandung berbagai bahaya yang

banyak. Yang terbesar adalah bahaya yang mengintai kewanitaannya,

kehormatannya, dan sifat malunya. Jadi, inilah yang enjadi sebab dilarangnya

wanita menyetir mobil.

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=1851

BOLEHKAH MENDENGARKAN BERITA YANG DIIRINGI OLEH MUSIK

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Fadhilatus Syaikh –semoga Allah memberi taufik kepada Anda– ada banyak

pertanyaan yang intinya satu tema, yaitu telah beredar pada hari-hari ini fatwa

tentang bolehnya musik yang sedikit yang mengiringi berita dan program/software

tertentu karena hal itu tidak akan mempengaruhi syahwat, bagaimana pendapat

Anda tentang fatwa semacam ini?

Jawaban:

Nabi shallallahu alaihi was sallam telah mengharamkan alat-alat musik dan

seruling dan para ulama juga telah berijmak atas perkara tersebut, sebagaimana

yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi tidak boleh seorang pun

untuk mengecualikan sedikit pun darinya dan tidak boleh juga untuk mengkhususkan

sesuatu pun dengan menganggapnya boleh. Rasul shallallahu alaihi was sallam

melarangnya dan mengharamkannya, sehingga tidak boleh hal semacam ini. Tidak

ada sedikit pun yang halal pada musik, demikian juga tidak ada sedikit pun yang

halal pada alat-alat musik dan alat-alat yang sia-sia.

Sumber audio dan transkripnya:

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142654

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=4865

Page 18: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH NADA DERING DENGAN SUARA ADZAN DAN BOLEHKAH

PROGRAM AL-QUR’AN DI HANDPHONE

(Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah)

Pertanyaan:

Apa hukum menginstall suara adzan di handphone untuk mengingatkan suara

adzan atau untuk membangunkan dari tidur dan yang semisalnya?

Jawaban:

Jangan engkau lakukan! Saya katakan: jangan lakukan hal ini! Adzan adalah

ibadah. Terkadang suara adzan muncul dan meninggi, yaitu suara di HP, padahal

engkau sedang berada di WC atau kamar kecil atau selainnya. Jika engkau ingin

bangun maka jadikanlah sesuatu untuk mengingatkanmu! Kenapa harus dengan

suara adzan?! Jelas? Ini merupakan kesalahan, baarakallahu fiikum.

Tidak semua yang berijtihad… Saya katakan: di sana ada banyak pihak yang

kalian ketahui, yaitu para pemilik HP, sampai yang menggunakannya ada yang

muslim dan yang selain muslim. Mereka menggunakan program semacam ini dan

memasukannya.

Diantaranya adalah adzan, dan diantaranya juga adalah Al-Qur’an. Benar

kan?! Ada yang mengatakan: “HP ini di dalamnya terdapat mushaf, padanya

terdapat mushaf lengkap.” Ini juga tidak sepantasnya untuk dilakukan. Bahkan yang

utama dan wajib adalah dengan menghapusnya dari HP. Karena hal itu adalah

mushaf, sama saja berada di dalam HP, di sakumu, di wadahmu, di kantongmu,

ataupun pada selainnya. Namanya apa?! Namanya mushaf. Engkau bawa keluar

masuk ke dalam WC, engkau bawa tidur, engkau letakkan di bawahmu, dan hingga

terkadang engkau lupa. Jadi pada tindakan semacam ini terdapat penghinaan

terhadap Al-Qur’an.

Beberapa ulama di masa ini diantaranya Asy-Syaikh Al-Allamah Rabi’ dan

selain beliau berpendapat tidak bolehnya melakukan hal ini, bahkan mereka

berpendapat agar menghapusnya dari HP. Dan inilah pendapat yang benar. Jadi

wajib untuk memuliakannya. Jika engkau ingin muraja’ah Al-Qur’an, engkau bisa

menggunakan mushaf dan bacalah padanya! Kenapa harus di HP?! Termasuk yang

tidak boleh adalah adzan juga.

Sepantasnya untuk menjaga kemuliaan ibadah yang dituntunkan oleh syari’ah

ini sehingga tidak boleh dihinakan. Jika engkau ingin diingatkan waktu shalat maka

jadikanlah nada dering yang lain sebelum adzan beberapa menit. Di HP-mu ada

Page 19: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

beberapa nada dering yang bisa digunakan (selain musik dan suara yang haram

lainnya –pent). Benar kan?!

Penanya juga mengatakan bagaimana jika digunakan untuk membangunkan

dari tidur? Demikian juga hukumnya. Memangnya bagaimana dahulu manusia

bangun sebelum adanya HP yang berisi adzan dan muadzinnya?! Bagaimana

mereka dahulu bisa bangun?! Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Ada 7 golongan yang Allah akan menaungi mereka di bawah naungan-Nya pada

hari ketika nanti tidak ada naungan selain naungan-Nya… diantaranya adalah

seseorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid.”

(Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 660 –pent)

Siapa yang mengetahui tingginya nilai hadits yang agung ini dan meresapinya

dengan mendalam, maka dia akan mengetahui makna naungan ini.

Sumber audio: www.youtube.com/watch?v=T-7zsmi4MNs

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=4508

BOLEHKAH BERPUASA KETIKA SAFAR

(Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah)

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah

shallallahu alaihi was sallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.” Hadits ini

dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):

“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku

Husain bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata: “Saya mendengar Jabir

menceritakan: “Nabi shallallahu alaihi was sallam melewati seseorang yang

membolak balik punggungnya karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang

keadaan orang tersebut, lalu mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi

Allah.” Maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir

menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam di atas.

Page 20: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits

ini memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-

Shahihain dan selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa’ul Ghalil no. 925. Di dalam

hadits di atas terdapat dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa

ketika safar jika hal itu akan membahayakan orang yang berpuasa.

Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu

alaihi was sallam:

“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam

Irwa’ul Ghalil no. 925: “Muttafaqun alaih.” –pent)

Juga sabdanya:

“Mereka (yang berpuasa ketika safar –pent) adalah orang-orang yang

bermaksiat.” (Shahih Muslim no. 1114 –pent)

Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang

berpuasa –pent) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa

dan jika dia menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari

hadits-hadits yang ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan diantara

hadits-hadits tersebut.

Walhamdulillah.

Sumber artikel: Silsilah Ash-Shahihah no. 2595

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3950

HUKUM JABAT TANGAN KETIKA MENINGGALKAN MAJELIS

(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)

Penanya:

Apa hukum jabat tangan ketika meninggalkan majelis?

Asy-Syaikh:

Saya tidak mengetahui dalil tentang hal ini. Jabat tangan dilakukan ketika

bertemu. Memang Nabi shallallahu alaihi was sallam ketika melepas komandan

pasukan, beliau memegang tangannya. Namun apakah itu merupakan jabat tangan

Page 21: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

atau hanya sekedar memegangi tangannya untuk berjalan sebentar bersamanya.

Karena beliau terkadang melepas orang yang akan bepergian dan berjalan sebentar

bersamanya.

Adapun melakukan hal ini secara khusus, maka saya tidak mengetahui

adanya dalil yang menunjukkannya ketika berpisah. Riwayat yang ada tentang jabat

tangan ketika bertemu adalah:

“Jika dua orang muslim bertemu lalu keduanya berjabat tangan, maka gugurlah

dosa-dosa atau kesalahan keduanya dari jari-jari mereka.” [1] Atau yang semakna

dengannya.

Penanya:

Apakah ini sampai ke batasan bid’ah?

Asy-Syaikh:

Jika hal itu dilakukan terus-menerus.

Sumber artikel:

http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=

Keterangan:

[1] Disebutkan dalam riwayat At-Tirmidzy no. 2727 dan Abu Dawud no. 5212 dan

dinilai hasan oleh Al-Albany dalm Ash-Shahihah no. 525:

“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu keduanya berjabat tangan, kecuali

keduanya mendapatkan ampunan sebelum mereka berpisah.” (pent)

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3752

BOLEHKAH MEMBACA KORAN

(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)

Pertanyaan:

Apakah hukum membaca surat kabar, koran, dan majalah dengan tujuan

untuk menyaring berita-berita yang beredar di masyarakat? Berita-berita tersebut

ada yang tentang Islam, tentang politik, dan tentang wawasan. Agar kita mengetahui

apa yang terjadi di sekitar kita.

Page 22: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jawaban:

Yang kami nasehatkan adalah agar menjauhinya. Karena mayoritas koran

dan majalah digunakan untuk kepentingan poitik, sehingga biasa berdusta demi

politik dan menyebarkan berita dajjal untuk kepentingan politik. Sedikit sekali engkau

menjumpai koran atau majalah yang memberitakan sesuai dengan fakta. Kemudian

setelah ini, umur sangat pendek sehingga seseorang seharusnya tidak memiliki

waktu lagi untuk menyia-nyiakannya dengan membaca koran dan majalah.

Isinya hanyalah hal-hal yang akan mengeruhkan hatinya dan menyebabkan

kegelisahan. Terkadang seseorang akan menjumpai celaan terhadap Islam dan

penghinaan terhadap kaum Muslimin, dan yang lainnya. Yang jelas kami tidak

mengharamkan membacanya, hanya saja kami menasehati penuntut ilmu agar

memfokuskan diri mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Adapun berita-berita yang penting sekali, maka dia tidak akan

menyembunyikan dirinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:

“Orang yang tidak engkau suruh akan datang membawa berita kepadamu”

Jadi berita-berita yang sangat penting itu tidak akan menyembunyikan dirinya.

Dia akan muncul di lapangan dalam waktu yang sangat cepat. Jika membaca

semisal majalah Al-Bayan dan majalah As-Sunnah**, maka tidak masalah membaca

semacam majalah Islam ini. Adapun majalah-majalah kafir maka seringnya

melemparkan syubhat dan hanya akan menghabiskan waktumu dengan sia-sia.

Kemudian sesungguhnya orang-orang yang bekerja di media-media dan surat kabar

tersebut mayoritasnya suka berdusta dan berbuat kemunafikan. Wallahul musta’an.

Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3542

Tanbih ** Majalah As Sunnah & Al Bayan adalah Majalah Hizbiyyah, mungkin

ketika Asy Syaikh berbicara tentang Kedua majalah ini, majalah tersebut

belum di Tahdzir

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3744

BOLEHKAH MEMBERIKAN KARANGAN BUNGA KEPADA ORANG SAKIT

(Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah)

Pertanyaan:

Page 23: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Bagaimana pendapat Anda tentang memberikan karangan bunga kepada

orang yang sakit ketika menjenguknya? Apakah hal tersebut termasuk bentuk

tasyabbuh (menyerupai orang kafir –pent)?

Jawaban:

Jika hal tersebut merupakan kekhususan atau perbuatan yang hanya

dilakukan oleh musuh-musuh Islam, maka hal tersebut merupakan sikap tasyabbuh

dengan mereka. Adapun jika tujuannya adalah untuk menghibur orang yang sakit

dan bukan menjadi kebiasaan (maka tidak masalah –pent), namun jika hal itu

dijadikan kebiasaan (atau dianggap syarat atau keharusan –pent) walaupun yang

diberikan adalah berupa buah-buahan, misalnya seperti; apel, delima, atau jeruk,

maka bisa jadi hal tersebut akan menyebabkan orang tidak mau menjenguk orang

sakit.

Sumber artikel:

http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3916

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3706

BOLEHKAH PAKAIAN ANAK-ANAK YANG BERGAMBAR MAKHLUK HIDUP

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Apakah hukum gambar dan lukisan makhluk hidup yang terdapat pada

pakaian anak-anak, di mana jarang ada pakaian anak-anak yang selamat dari

gambar semacam itu?

Jawaban:

Tidak boleh membeli pakaian yang padanya terdapat gambar dan lukisan

makhluk yang bernyawa seperti manusia atau hewan atau burung. Hal itu karena

gambar makhluk bernyawa hukumnya haram dan tidak boleh menggunakannya,

berdasarkan hadits-hadits shahih yang melarang hal tersebut dan mengancamnya

dengan ancaman yang paling keras.

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam telah melaknat orang-orang yang

menggambar [1] dan beliau mengabarkan bahwa mereka adalah manusia yang

paling keras adzabnya pada hari kiamat nanti. [2] Jadi tidak boleh memakai pakaian

yang padanya tidak gambar, dan tidak boleh memakaikannya kepada anak kecil.

Page 24: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Dan wajib untuk membeli pakaian yang bersih dari gambar, dan alhamdulillah

pakaian yang seperti itu banyak jumlahnya.

[1] Lihat: Shahih Al-Bukhary, 7/67.

[2] Lihat: Shahih Al-Bukhary, 7/64-65.

Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/339, pertanyaan no. 505

BOLEHKAH WANITA MENAMPAKKAN TELAPAK TANGANNYA

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3628

Pertanyaan:

Apakah hukum nampaknya telapak tangan wanita di pasar secara khusus?

Dan apakah boleh memakai kaos tangan hitam atau putih? Perlu diketahui bahwa

sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa tidak masalah menampakkan telapak

tangan dan menggunakan kaos tangan merupakan sikap sok agamis. Bagaimana

pendapat Anda tentang hal tersebut?

Jawaban:

Wajib atas wanita untuk menutupi wajahnya dan kedua telapak tangannya

serta seluruh anggota badannya dari pandangan pria yang bukan mahramnya. Jadi

jika seorang wanita keluar ke pasar maka hal itu lebih ditekankan lagi atasnya.

Demikian juga dia diperintahkan untuk melonggarkan pakaiannya dan

memanjangkannya agar menutupi kedua tumitnya. Maka menutup kedua telapak

tangan lebih wajib lagi, karena nampaknya telapak tangan menimbulkan fitnah.

Dan wajib atas wanita untuk menutupi telapak tangannya dari pandangan pria

yang bukan mahramnya, sama saja apakah menutupinya dengan memasukkan ke

dalam pakaiannya atau abayanya atau dengan memakai kaos tangan.

Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/315, pertanyaan no. 466

BOLEHKAH MENJUAL KOTORAN KAMBING UNTUK PUPUK

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Kami memiliki beberapa ekor kambing, kotorannya kami kumpulkan dan kami

timbun, karena kami tidak memiliki ladang untuk memanfaatkannya, maka apakah

Page 25: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

boleh menjual kotoran kambing tersebut dan apakah halal memakan hasilnya

ataukah tidak boleh?

Jawaban:

Tidak mengapa memperjualbelikan pupuk yang tidak najis, seperti pupuk dari

kotoran kambing, unta, dan sapi. Jadi kotoran hewan yang dagingnya boleh dimakan

sifatnya tidak najis, memperjualbelikannya tidak masalah, hasilnya mubah dan tidak

ada dosa padanya. Yang tidak jelas dan menjadi masalah adalah pupuk dari kotoran

yang najis atau yang dianggap najis.

Inilah yang dipermasalahkan dan ada perbedaan pendapat tentangnya.

Adapun pupuk dari kotoran yang tidak najis, maka tidak masalah menggunakannya,

dan tidak mengapa memperjualbelikan dan memakan hasilnya.

Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 3/197, pertanyaan no. 302

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3616

BOLEHKAH JUAL BELI UANG KERTAS

(Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah)

Pertanyaan:

Apa hukum membeli uang kertas dan menjualnya kembali jika nilainya naik?

Jawaban:

Muamalah dengan menjual dan membeli mata uang disebut penukaran mata

uang. Penukaran mata uang harus dilakukan dengan serah terima secara langsung

di tempat transaksi. Jika terjadi serah terima langsung di tempat transaksi maka hal

itu tidak masalah. Maksudnya jika seseorang misalnya menukar Riyal Saudi dengan

dollar Amerika maka hal ini tidak masalah, walaupun dia mengharapkan keuntungan

di masa mendatang. Hanya saja dengan syarat dia mengambil dollar yang dia beli

dan menyerahkan uang Saudi yang dia jual. Adapun tanpa serah terima secara

langsung di tempat maka hal tersebut tidak sah, dan hal itu termasuk riba nasi’ah.

Sumber artikel: Fataawaa Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 701

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3572

Page 26: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH MENGGUNAKAN PENANGGALAN MASEHI

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Apakah penanggalan menggunakan kalender Masehi teranggap sikap loyal

kepada orang-orang Nashara?

Jawaban:

Tidak teranggap sikap loyalitas, tetapi teranggap sikap tasayabbuh

(menyerupai) mereka. Pada masa Shahabat radhiyallahuanhum ada penanggalan

Masehi, namun mereka tidak menggunakannya, bahkan mereka berpaling kepada

penanggalan Hijriyah dan menggunakan penanggalan Hijriyah.

Mereka tidak menggunakan penanggalan Masehi, padahal ada di masa

mereka. Ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin wajib untuk membebaskan diri dari

budaya orang-orang kafir dan tidak membebek mereka. Terlebih lagi penanggalan

dengan kalender Masehi merupakan symbol agama mereka, karena menunjukkan

pengagungan kelahiran Al-Masih dan memperingatinya di awal tahun.

Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama Nashara, sehingga

kita tidak ikut-ikutan dengan mereka dan tidak pula menganjurkan perkara ini. Jika

kita menggunakan penanggalan kalender mereka, artinya kita melakukan

tasayabbuh dengan mereka, padahal kita memiliki penanggalan Hijriyah yang telah

dicanangkan bagi kita oleh Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu

di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan ini telah mencukupi kita.

Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, bab Aqidah, pertanyaan no.

269

Sumber Artikel : http://forumsalafy.net/?p=3564

BOLEHKAH BONEKA UNTUK MAINAN ANAK-ANAK

(Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Pertanyaan:

Page 27: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Penanya yang bernama Sulaiman mengatakan: “Saya memohon penjelasan tentang

hukum mainan anak-anak yang berupa boneka baik yang untuk anak kecil maupun yang

sudah besar, yang berbentuk pengantin atau hewan, semoga Anda mendapatkan pahala?

Asy-Syaikh:

Yang benar tidak boleh untuk memberi mainan kepada anak-anak berupa gambar

atau semacam patung makhluk yang bernyawa, terlebih lagi gambar-gambar modern yang

ada di zaman ini yang persis menyerupai manusia yang bisa bergerak dengan tenaga listrik,

dan terkadang bisa bicara atau tertawa dengan tenaga listrik dan teknologi tertentu yang

menjadikannya seakan-akan hewan atau manusia sungguhan. Jadi fitnah yang

ditimbulkannya jelas lebih besar, sehingga anak-anak dan selain mereka harus dijauhkan

darinya.

Sumber artikel: http://forumsalafy.net/?p=3098

Alih bahasa: Abu Almass

| | |

Page 28: 25 fatwa ulama ahlus sunnah
Page 29: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH BERPUASA KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah

| | |

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Tidakkah cukup bagimu dengan engkau berada di jalan Allah bersama Rasulullah

shallallahu alaihi was sallam, sampai-sampai engkau harus berpuasa.” Hadits ini

dikeluarkan oleh Ahmad (III/327):

“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al-Hubab, telah menceritakan kepadaku Husain

bin Waqid dari Abuz Zubair dia berkata: “Saya mendengar Jabir menceritakan: “Nabi

shallallahu alaihi was sallam melewati seseorang yang membolak balik punggungnya

karena perutnya sakit. Maka beliau bertanya tentang keadaan orang tersebut, lalu mereka

menjawab: “Dia sedang berpuasa, wahai nabi Allah.” Maka beliau memanggilnya dan

menyuruhnya agar berbuka.” Lalu Jabir menyebutkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi

was sallam di atas.

Ini merupakan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan hadits ini

memiliki jalan-jalan yang lain dari Jabir dengan yang semakna di dalam Ash-Shahihain dan

selainnya, dan sudah ditakhrij dalam Irwa‟ul Ghalil no. 925. Di dalam hadits di atas terdapat

dalil yang jelas menunjukkan bahwa tidak boleh berpuasa ketika safar jika hal itu akan

membahayakan orang yang berpuasa.

Hal ini juga berdasarkan makna yang dipahami dari sabda Rasulullah shallallahu

alaihi was sallam:

“Bukan termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar.” (Al-Albany berkata di dalam Irwa‟ul

Ghalil no. 925: “Muttafaqun alaih.” –pent)

Juga sabdanya:

“Mereka (yang berpuasa ketika safar –pent) adalah orang-orang yang bermaksiat.” (Shahih

Muslim no. 1114 –pent)

Adapun jika keadaannya tidak demikian (tidak membahayakan bagi yang berpuasa –

pent) maka dia diberi pilihan, jika dia menghendaki dia boleh berpuasa dan jika dia

menghendaki dia juga boleh tidak berpuasa. Ini adalah kesimpulan dari hadits-hadits yang

ada dalam bab (masalah) ini, jadi tidak ada pertentangan diantara hadits-hadits tersebut.

Walhamdulillah.

Page 30: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Sumber artikel:

Silsilah Ash-Shahihah no. 2595

Melepas Sandal Ketika Masuk Kuburan

| | |

Pertanyaan: Apakah melepas sandal waktu di kuburan itu sunnah atau bid‟ah? Jawab: Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua sandalnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu „anhu, ia mengatakan: Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi shallallahu alaihi was sallam mengatakan: “Hai pemakai dua sandal tanggalkan kedua sandal kamu!” Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud) Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang.” Penghalang yang dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu. Allah subhanahu wa ta‟ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi was sallam, keluarganya, dan para sahabatnya. Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)

MENGHITUNG TASBIH DENGAN JARI ATAUKAH DENGAN RUAS JARI

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan:

Apa hukum menghitung tasbih dengan menggunakan jari dan bukan dengan ruas

jari?

Jawaban:

Yang saya ketahui bahwasanya Nabi shallallahu alaihi was sallam menghitung tasbih

dengan tangan kanan beliau. [1]

Page 31: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Adapun hadits yang berbunyi:

“Bertasbihlah kalian wahai para wanita dengan hitunglah dengan ruas-ruas jari, karena

ruas-ruas jari tersebut akan diperintahkan untuk berbicara.”

Yang saya ketahui pada hadits ini terdapat kelemahan. Yang saya ingat padanya ada

seorang perawi yang tidak dikenal, wallahu a‟lam. [2]

Tinggal perkaranya engkau diberi pilihan untuk menghitung tasbih menggunakan jari,

engkau perhatikan mana yang mudah bagimu untuk menghitung. Jika engkau merasa lebih

mudah menghitungnya dengan cara menekuk atau melipat jari maka engkau boleh

melakukannya. Namun jika engkau merasa lebih mudah menghitungnya dengan ruas-ruas

jari maka engkau juga boleh melakukannya. Selama hadits menyebutkan secara umum,

maka engkau tidak perlu menentukan atau mempersulit dirimu.

Penanya:

Bagaimana dengan menggunakan alat penghitung tasbih?

Asy-Syaikh:

Pertanyaan yang bagus –baarakallahu fiik– Akh Ali, menggunakan alat penghitung tasbih

adalah bid‟ah.

sedangkan hadits yang berbunyi:

“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.”

Maka ini adalah hadits palsu.

Juga hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi was sallam melewati

seorang wanita yang sedang bertasbih dan menghitungnya menggunakan kerikil, lalu beliau

menyetujui hal itu, ini juga tidak shahih. Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Asy-

Syaikh Nashir Al-Albany di jilid pertama dari kitab As-Silsilah Adh-Dha‟ifah. [3]

Jadi ini adalah mengingatkan yang baik, jazakallahu khairan.

Sumber artikel:

http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3109

Keterangan:

[1] Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma menceritakan:

Page 32: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi was sallam menghitung tasbih menggunakan

tangan kanan beliau.”

Lihat: Shahih Sunan Abi Dawud no. 1346.

[2] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha‟ifah, III/48 penjelasan hadits no. 1002.

[3] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha‟ifah no. 83. (pent)

KAPANKAH WANITA HAIDH DIWAJIBKAN MENGQADHA’ SHALAT

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Fadhilatus Syaikh yang semoga diberi taufik oleh Allah, jika seorang wanita

mengalami haidh pada awal waktu Zhuhur, apakah dia harus menqadha‟ shalat?

Asy-Syaikh:

Tidak, dia hanya wajib mengqadha‟ jika mengalami haidh di akhir waktu shalat. Jika

dia mengalami haidh di akhir waktu shalat sementara dia belum mengerjakan shalat, maka

dia wajib mengqadha‟. Adapun jika dia mengalami haidh di awal waktu, sementara waktunya

panjang, dia boleh mengakhirkan shalat, namun ketika itu haidh datang di waktu yang dia

diberi keluasan untuk mengakhirkan, maka dia tidak berdosa dan tidak wajib mengqadha‟.

Sumber artikel:

http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7936

BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB, BERWUDHU SAJA JIKA AIR SANGAT DINGIN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya mengatakan: “Saya mengalami

junub, sementara saya tidak memiliki air panas, maka saya membasuh kemaluan dengan air

dingin, lalu saya berwudhu dengan air dingin tersebut dan tidak bertayamum, kemudian

saya mengerjakan shalat. Apakah perbuatan saya tersebut benar?

Asy-Syaikh:

Yang wajib adalah dengan engkau mandi dengan air, kecuali jika engkau

mengkhawatirkan bahaya karena air yang sangat dingin dan engkau tidak mampu

Page 33: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

memanaskannya, airnya sangat dingin yang engkau tidak mampu menahan rasa dinginnya,

sementara engkau tidak mampu memanaskannya, maka cukup bagimu untuk tayammum

dengan debu dan mengerjakan shalat. Adapun jika engkau mampu memanaskan air seperti

dengan kayu bakar atau gas, maka wajib untuk menggunakan air (mandi –pent).

Sumber artikel:

http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7917

BOLEHKAH MENJAMA’ SHALAT JUM’AT DAN ASHAR

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Ada beberapa orang melakukan safar, lalu mereka menjama‟ shalat Jum‟at dengan

shalat Ashar, kemudian mereka bertanya kepada salah seorang penuntut ilmu tentang hal

tersebut, maka dia menjawab: “Saya tidak mengetahui ada yang melarang hal tersebut?”

Maka hukum hal tersebut berkaitan dengannya dan dengan mereka? Apakah di sana ada

pendapat sebagian ulama yang menyatakan bolehnya hal tersebut?

Asy-Syaikh:

Ini merupakan pendapat yang lemah. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh

menjama‟ shalat Ashar dengan shalat Jum‟at. Dan tidak ada riwayat dari Salaf satu huruf

pun yang menyebutkan bahwa mereka menjama‟ shalat Jum‟at dengan Ashar, tidak ada

riwayat semacam ini. Yang ada hanya pendapat yang lemah dari sebagian pengikut

madzhab Asy-Syafi‟iy. Adapun jumhur berpendapat sebaliknya. Bahkan siapa yang

menjama‟ shalat Ashar dengan shalat Zhuhur (mungkin maksudnya Jum‟at –pent) maka dia

wajib mengulang, wajib atasnya untuk mengulang shalat Ashar.

Penanya:

Kalau telah lewat?

Asy-Syaikh:

Walaupun telah berlalu 100 tahun dia harus mengulangi shalat Ashar.

Penanya:

Kalau dia mengerjakan shalat Zhuhur dan tidak menghadiri shalat Jum‟at?

Page 34: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Asy-Syaikh:

Yang tidak ada adalah menjama‟ dengan shalat Jum‟at. Gambarannya seseorang

mengerjakan shalat Jum‟at bersama manusia, dan tatkala mereka selesai dari shalat Jum‟at

dia bangkit mengerjakan shalat Ashar.

Penanya:

(Suara kurang jelas).

Asy-Syaikh:

Tidak tepat, tidak boleh menjama‟ dan waktunya belum datang. Shalat Ashar

dikerjakan pada waktunya yaitu waktu Ashar.

Penanya:

Bagaimana dengan orang yang tidak menghadiri shalat Jum‟at apakah boleh

mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjama‟?

Asy-Syaikh:

Jika dia mengerjakan shalat Zhuhur dan Ashar di … (suara kurang jelas –pent) hal

ini mungkin, seperti seorang musafir yang tidak menghadiri shalat Jum‟at bersama orang-

orang yang mukim lalu dia mengerjakan shalat Zhuhur dan menjama‟nya dengan shalat

Ashar maka tidak mengapa. Karena pembicaraan kita berkaitan dengan menjama‟ shalat

Ashar dengan shalat Jum‟at.

Sumber artikel:

http://www.alfawzan.af.org.sa/index.php?q=node/11646

BOLEHKAH MUSAFIR UNTUK TIDAK MENGERJAKAN SHALAT DI MASJID

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Jika seorang musafir singgah di hotel atau di sebuah rumah dan di sekitarnya

terdapat masjid yang ditegakkan shalat jama‟ah padanya, bolehkah baginya untuk menjama‟

shalat di rumah, terlebih lagi jika dia membutuhkan istirahat?

Asy-Syaikh:

Page 35: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jika dia membutuhkan istirahat maka boleh baginya untuk menjama‟, atau jika dia

ingin tidur, misalnya karena dia lelah sehingga ingin tidur dan dia seorang musafir, maka

tidak masalah baginya untuk menjama‟ di hotel atau di rumah.

Adapun jika dia dalam kondisi semangat atau dia hanya duduk hingga mu‟adzin

mengumandangkan adzan untuk shalat berikutnya, maka yang afdhal dan lebih hati-hati

baginya adalah dengan pergi ke masjid untuk shalat jama‟ah.

HUKUM MENGERASKAN BASMALAH DALAM SHALAT

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

| | |

Penanya:

Di sebagian masjid bacaan basmalah dibaca dengan keras dan di sebagian yang

lain dibaca dengan lirih, bagaimana menyikapi perbedaan ini?

Jawaban:

Ini adalah perkara yang diperselisihkan bahkan oleh sebagian shahabat radhiyallahu

anhum. Adapun pendapat yang dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada adalah dengan tidak

mengeraskan bacaan basmalah. Dan siapa yang mengeraskan bacaan maka tidak boleh

diingkari lebih dari sekedar menjelaskan dalil bagi pendapat yang rajih (lebih kuat –pent).

HUKUM ADZAN BAGI WANITA

Fatwa Kewanitaan Bersama Syaikh Muqbil Bin Hadi al-Wadi‟iy rohimahulloh.

| | |

Pertanyaan:

Apakah disyariatkan adzan bagi wanita?

Jawaban:

Tidak disyariatkan, dan baginya (cukup dengan) iqomah saja karena suara wanita

adalah fitnah, dan Alloh azza wa jalla berfirman:

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada

penyakit dalam hatinya.” [Qs. Al-Ahzab: 32]

Page 36: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Dan yang berpendapat hal itu disyariatkan ialah imam Syaukani dan Muhammad

Shiddiq Hasan Khan dan keduanya berkata:

“Hukum asalnya ialah keumuman pensyariatan”.

Akan tetapi (pendapat) yang benar ialah tidak disyariatkan bagi wanita.

[Sumber: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2147]

APAKAH OBAT UNTUK MEMBERSIHKAN RIYA’ ?

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Saya bertanya tentang obat yang bisa membersihkan riya‟?

Jawaban:

Demi Allah wahai saudaraku, engkau telah menanyakan perkara yang besar.

Pertama hendaklah engkau memperbanyak doa, hendaknya engkau berdoa kepada Allah

Subhanahu wa Ta‟ala agar mengkaruniakan keikhlasan kepadamu dan membersihkan

dirimu dari bala ini. Dan setiap muslim hendaknya berdoa kepada Rabbnya Subhanahu wa

Ta‟ala agar membersihkan dirinya dari kesyirikan walaupun yang sedikit kadarnya, apalagi

yang banyak. Karena sebagaimana yang telah kita katakan pada pertemuan-pertemuan

sebelumnya, bisa jadi riya‟ tersebut akan menggugurkan amal secara keseluruhan, atau

mengurangi pahalanya. Maka wajib atas seorang hamba untuk semangat berdoa, karena

Allah Jalla wa Ala berfirman:

“Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia beramal

shalih dan jangan menyekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorang

pun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dan Nabi shallallahu alaihi was sallam telah menjelaskan bahaya syirik asghar (syirik

kecil) yaitu riya‟, dan ini merupakan perkara yang paling beliau khawatirkan akan menimpa

kita, dan dia lebih samar dibandingkan rayapan semut hitam di atas batu hitam di malam

yang gelap gulita. Jadi dia sangat tersembunyi, oleh karena itulah banyak manusia yang

tidak mewaspadainya sehingga menjalar kepada mereka.

Perkara terbesar yang bisa engkau gunakan untuk mengobatinya adalah dengan

engkau menghisab dirimu:

Apa yang bisa dilakukan untukmu oleh orang yang engkau berbuat riya‟ kepadanya dengan

amalmu itu?

Page 37: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Balasan apa yang akan dia berikan kepadamu?Ingatlah hal ini selalu dan renungkanlah!

Balasan apa yang akan diberikan kepadamu oleh orang yang engkau berbuat riya‟

kepadanya dengan amal shalihmu tersebut? Apakah dia bisa membela dirimu dari adzab

Allah sedikit saja? Ingatlah selalu firman Allah Tabaraka wa Ta‟ala kepadamu pada hari

kiamat nanti:

“Amalnya yang disertai riya‟ tersebut untuk yang dia jadikan sekutu selain Allah.” (Asal

hadits ini adalah riwayat Muslim no. 2985, namun dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu

Majah. Al-Albany rahimahullah berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah III/371 no. 3406:

“Shahih.” –pent)

Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Jika engkau merenunginya maka insya Allah hal itu akan mewariskan kepadamu

untuk berusaha mengobati hatimu, muhasabah (instropeksi), dan berusaha dengan

sungguh-sungguh untuk membebaskan diri dari bencana besar ini.

Jadi dengan selalu mengingat dan merenungkan keagungan Allah Jalla wa Ala Yang

kita ibadahi yang hanya kepada-Nya saja ibadah boleh ditujukan, merenungkan bahwa

perbuatan yang engkau lakukan karena riya‟ untuk orang tersebut akan menghancurkan

dirimu, dan engkau tidak akan menjumpai selain kecelakaan dan kebinasaan pada hari

kiamat nanti, ini semua insya Allah Ta‟ala yang akan membantumu untuk ikhlash dalam

beribadah.

Sumber artikel: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54349

BAHAYA KETENARAN

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz hafizhahullah

[Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]

| | |

Ibnu Mas‟ud radhiyallahu anhu berkata:

“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di

belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang.” (Lihat: Siyar A‟lamin Nubala‟, I/495 –

pent)

Ada orang-orang yang terkenal, sebagian mereka ada yang terkenal karena dia

seorang qari‟ Al-Qur‟an, dia terkenal karena bagusnya bacaannya dan karena kemerduan

suaranya, sehingga manusia banyak yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang

merupakan seorang ulama yang dia terkenal karena ilmu, fatwa, wara‟ dan kesalehannya,

sehingga banyak manusia yang mendatanginya.

Page 38: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Diantara mereka ada yang sebagai seorang dai yang dia terkenal karena apa yang

dia kerahkan dan dia upayakan untuk manusia, sehingga banyak dari mereka yang

mendatanginya disebabkan karena Allah memberi mereka hidayah kepada kebenaran

melalui perantaraan dia. Ada juga seseorang yang terkenal karena dia seorang yang

menunaikan amanah, ada yang terkenal karena suka melakukan amar ma‟ruf nahi mungkar,

dan seterusnya.

Ketenaran merupakan kedudukan yang sangat rawan untuk menggelincirkan

seseorang. Oleh karena inilah Ibnu Mas‟ud radhiyallahu anhu mewasiatkan untuk dirinya

sendiri yang menjelaskan keadaan beliau dan menjelaskan apa yang wajib untuk dilakukan

–katakanlah– oleh siapa saja yang memiliki pengikut, beliau mengatakan:

“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di

belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang, dan niscaya kalian akan menaburkan

debu di kepalaku.”

Wajib atas siapa saja yang memiliki ketenaran atau dia termasuk orang yang

menjadi idola manusia, untuk senantiasa menganggap rendah dirinya di tengah-tengah

mereka, dan hendaknya dia menampakkan hal itu namun bukan agar dimuliakan oleh

mereka. Tetapi dia melakukannya semata-mata agar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah

Jalla wa Ala. Dan poros dari hal itu adalah keikhlasan, karena sungguh diantara manusia

ada yang terkadang merendahkan dirinya di hadapan manusia agar dia nampak atau

menonjol (agar dianggap sebagai orang yang tawadhu‟ –pent) diantara mereka. Yang

semacam ini termasuk perbuatan syaithan.

Diantara mereka ada yang merendahkan dirinya di tengah-tengah manusia dalam

keadaan Allah Jalla wa Ala mengetahui hatinya bahwa dia jujur dalam hal tersebut. Dia

melakukannya karena takut perjumpaan dengan Allah Jalla wa Ala, dan dia takut terhadap

hari ketika apa yang tersembunyi dalam dada diberi balasan setimpal, dan hari ketika semua

yang ada di dalam hati dibongkar. Dan ketika itu tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dari

ilmu Allah.

APAKAH SESEORANG AKAN DIADZAB KARENA BERDEKATAN DENGAN ORANG

YANG SESAT

Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan hafizhahullah

| | |

Saya (Asy-Syaikh Badr bin Muhammad Al-Badr hafizhahullah –pent) bertanya

kepada guru kami Shalih Al-Luhaidan pada pagi hari Rabu 5 Muharram 1436 H tentang

firman Allah Ta‟ala:

Page 39: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Dan ingatlah pada hari ketika orang yang zhalim menggigit kedua tangannya seraya

berkata: „Duhai sekiranya aku dahulu menempuh jalan Rasul. Duhai celaka diriku,

seandainya saja aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman dekat. Sungguh dia telah

menyesatkan diriku dari Al-Qur‟an ketika telah datang kepadaku.‟ Dan syaithan tidak pernah

mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqaan: 27-29)

Juga firman-Nya:

“Ingatlah ketika orang-orang yang diikuti (kesesatannya) berlepas diri dari orang-orang yang

mengikuti mereka dan mereka telah melihat adzab serta segala hubungan telah terputus.

Dan orang-orang yang mengikuti mengatakan: „Seandainya kami dikembalikan ke dunia

agar kami bisa berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka telah berlepas diri dari kami.‟

Demikianlah Allah akan menampakkan amal perbuatan mereka sebagai penyelasan yang

mendalam atas mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari neraka.” (QS. Al-

Baqarah: 166-167)

Apakah ayat-ayat ini menunjukkan bahwa seseorang akan dihisab dan diadzab

karena dia berteman dengan orang menyimpang dan sesat?

Beliau menjawab:

Apakah ada seseorang yang ragu tentang hal ini, wahai anakku?! Tidak diragukan

lagi dia akan dihisab. Bukankah Nabi shallallahu alaihi was sallam telah mentahdzir dari

teman yang buruk, sebagaimana dalam hadits:

“Permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pembawa

minyak wangi dan peniup api atau pandai besi.” (HR. Al-Bukhary no. 5534 dan Muslim no.

2628 –pent)

Peniup api bisa membakar bajumu, dan sabda beliau ini merupakan tahdzir agar

jangan berteman dengannya.

Saya bertanya lagi:

Apakah artinya dia akan diadzab dan dihisab karena berteman dengan orang yang

menyimpang tadi, wahai syaikh kami?

Beliau menjawab:

Ya, dia juga akan diadzab.

Sumber artikel: www.bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?t=22503

Page 40: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BAGAIMANA MENJAGA DIRI DARI SYIRIK TERSEMBUNYI

Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiry hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Bagaimana saya melindungi dan menjaga diri saya dari syirik tersembunyi? Apakah

orang yang terjatuh padanya tempat tinggalnya di neraka? Dan bagaimana saya bisa

mengetahui bahwa saya terjatuh padanya?

Jawaban:

Syirik tersembunyi adalah riya‟, seperti engkau mengerjakan shalat dan

membaguskan shalatmu karena ada orang lain yang melihatmu, atau engkau bersedekah

agar manusia menyebutmu. Semacam ini merupakan syirik tersembunyi.

Untuk membebaskan diri darinya dengan cara:

Pertama: Berusaha semaksimal mungkin menundukkan jiwamu, selama engkau terus

berusaha menundukkannya dan melawannya namun engkau masih menjumpai hal itu maka

insya Allah Ta‟ala hal itu tidak akan merugikanmu.

Kedua: Jika hal ini mempengaruhi dirimu, maksudnya jika pandangan manusia

mempengaruhi dirimu ketika engkau mengerjakan amal shalih, maka bersembunyilah

semaksimal mungkin. Dan jika engkau tidak mampu maka kuatkan tekat dan jauhkanlah

was-was dari dirimu, dan saya khawatir yang menimpamu termasuk was-was.

Terakhir: Hendaklah engkau memperbanyak mengucapkan doa ini:

“Yaa Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedikit saja

dalam keadaan aku mengetahui, dan aku meminta ampunan kepada-Mu dari dosa yang

tidak aku ketahui.” (Lihat: Shahih Al-Adabul Mufrad no. 551 –pent)

Adapun apakah pelakunya akan masuk neraka, orang yang berbuat riya‟ terancam

dengan neraka. Hanya saja dengan banyak bertaubat, istighfar, dan terus menerus berdoa

dengan doa ini sebagaima yang telah saya sebutkan kepadamu tadi, dan itu adalah riwayat

yang shahih, dinilai shahih oleh Al-Albany dan ulama yang lain –semoga Allah merahmati

mereka semua– insya Allah Ta‟ala engkau akan aman dan mendapatkan taufik untuk

membersihkan dirimu dari syirik tersembunyi berupa riya‟.

Sumber artikel: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=54187

Page 41: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

ORANG YANG IKHLASH DAN JUJUR SELALU BERBAIK SANGKA KEPADA ALLAH

APAPUN YANG MENIMPANYA SELAMA DIA DI ATAS KEBENARAN

Al-Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu‟allimy Al-Yamany rahimahullah

| | |

Sebagian orang pernah bercerita kepadaku bahwa ada seseorang yang

kebiasaannya mencium kuku kedua ibu jarinya ketika dia mendengar muadzin

mengucapkan: “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kemudian dia meninggalkannya

ketika ada salah seorang ulama mengatakan kepadanya bahwa hal itu adalah perbuatan

bid‟ah dan hadits yang diriwayatkan tentang perkara tersebut dihukumi oleh para ahli hadits

sebagai riwayat dusta.

Ketika dia meninggalkan kebiasaannya tersebut maka dia ditimpa rasa sakit di kedua

matanya. Maka dia pun berusaha untuk mengobatinya dengan berbagai macam obat.

Namun berbagai macam obat tersebut tidak mempan, sampai ada sebagian orang-orang

shufi mengatakan kepadanya: “Makanya hendaknya engkau meneruskan mencium kedua

ibu jarimu ketika adzan!”

Lalu terbetiklah di dalam hatinya anggapan bahwa rasa sakit tersebut menimpanya

sebagai hukuman terhadapnya karena dia meninggalkan kebiasaan tersebut. Akhirnya dia

pun kembali melakukan bid‟ah tersebut dan ternyata rasa sakitnya pun hilang.

Maka katakanlah kepadanya di dalam menilai apa yang dia alami tersebut:

sesungguhnya Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang Dia

kehendaki dan menggiring orang-orang yang sengaja memilih kesesatan semakin jauh dari

jalan yang benar tanpa mereka sadari.

Kami telah mendengar dari beberapa orang yang menceritakan bahwa ada

seseorang yang tidak mengerjakan shalat, maka sebagian orang-orang yang suka

menasehati berusaha memotivasinya untuk mengerjakan shalat dan menakut-nakutinya

dengan hukuman yang akan menimpanya akibat meninggalkannya. Maka dia pun mulai

menjaga shalat. Setelah itu ternyata dia ditimpa berbagai musibah pada keluarga dan

hartanya. Maka dia menganggap bahwa hal itu adalah akibat shalat yang dia kerjakan

sehingga dia pun meninggalkannya.

Kami katakan: bisa saja musibah yang menimpanya adalah akibat dari shalat yang

dia kerjakan. Penjelasannya adalah hadits yang menyatakan:

“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali seuatu yang baik pula.”

(HR. Muslim no. 1015 –pent)

Page 42: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jadi termasuk sunnatullah adalah jika seorang hamba meninggalkan sebuah

kemaksiatan, maka Allah akan mengujinya agar nampak hakekatnya dan apa sebenarnya

yang mendorongnya untuk meninggalkan maksiat tersebut. Apakah karena iman atau

karena sesuatu yang lain.

Yang semisal dengannya adalah yang diceritakan oleh sebagian orang kepada saya

bahwa ada seseorang yang jika dia mengerjakan shalat wajib sendirian maka dia

merasakan hatinya lembut dan khusyuk, namun jika dia shalat berjamaah justru dia tidak

bisa khusyuk. Sebab dari apa yang menimpanya ini karena sesungguhnya syaithan

berusaha menyeretnya agar meninggalkan shalat berjamaah. Jadi syaithan membiarkannya

khusyuk jika dia mengerjakan shalat sendirian dan mengganggunya jika dia shalat

berjamaah, dengan tujuan agar orang tersebut meninggalkan shalat berjamaah dan agar

meyakini bahwa shalat sendirian lebih afdhal (karena menurutnya bisa lebih khusyuk –pent).

Sehingga keyakinan dia yang seperti ini merupakan sikap menyelisihi syari‟at yang

bahayanya lebih besar atasnya dari sekedar meninggalkan shalat berjamaah. Yang semisal

dengannya juga adalah apa yang saya jumpai sendiri. Dahulu saya pernah dalam keadaan

yang baik pada keluarga (sehat –pent) dan harta saya (berkecukupan –pent). Maka saya

menginfakkan sebagian harta saya pada salah satu jalan kebaikan. Kemudian saya ingin

melakukannya lagi, namun tiba-tiba muncul musibah yang menimpa keluarga dan harta

saya.

Namun –dengan memuji Allah semata– saya tidak terpengaruh dengan musibah

tersebut dan saya tetap melaksanakan untuk menginfakkan harta yang telah saya niatkan

sebelumnya. Bahkan kemudian saya mengulanginya untuk ketiga kalinya. Sampai sekarang

sebagian musibah tersebut belum hilang sepenuhnya. Namun nampaklah kepada saya

rahasia kenapa musibah-musibah tersebut menimpa saya. Barangkali apa yang saya

infakkan tersebut diterima di sisi Allah Azza wa Jala, lalu Allah ingin membalasnya dengan

membersihkan diri saya dari sebagian dosa-dosa yang telah saya lakukan. Dan musibah-

musibah tersebut adalah sebagian dari bentuk pembersihan dosa itu.

[Risaalah Fii Tahqqiihil Bid‟ah, hal. 28-32]

Sumber artikel: Al-Imam Abdurrahman Al-Yamany Hayaatuhu wa Aatsaaruh, hal. 57-58

HIKMAH TERJATUHNYA SEBAGIAN ORANG YANG IKHLASH DALAM KESALAHAN

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu‟allimy rahimahullah

| | |

Ketahuilah bahwasanya Allah Ta‟ala terkadang menjatuhkan sebagian orang-orang

yang ikhlash pada sebuah kesalahan sebagai ujian bagi yang lain; yaitu apakah mereka

Page 43: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

akan mengikuti kebenaran dan meninggalkan pendapat orang yang salah tersebut, ataukah

justru mereka tertipu dengan keutamaan dan kemuliaannya?

Adapun ulama yang salah tersebut mendapatkan udzur, bahkan dia mendapatkan

pahala karena ijtihadnya dan tujuannya yang baik serta tidak meremehkan usaha. Tetapi

orang yang mengikuti semata-mata karena tertipu dengan nama besarnya tanpa mau

memperhatikan hujjah-hujjah yang sesungguhnya yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah

Rasul-Nya shallallahu alaihi was sallam, maka dia tidak mendapatkan udzur, bahkan dia

berada dalam bahaya yang besar.

Ketika Ummul Mu‟minin Aisyah radhiyallahu anha pergi ke Bashrah sebelum

pecahnya Perang Jamal, Amirul Mu‟minin Ali radhiyallahu anhu menyusulkan putra beliau

Al-Hasan dan Ammar bin Yasir radhiyallahu anhuma untuk menasehati manusia. Diantara

perkataan Ammar kepada penduduk Bashrah adalah:

“Demi Allah, sesungguhnya dia adalah istri dari Nabi kalian shallallahu alaihi was sallam di

dunia dan akhirat, tetapi Allah Tabaaraka wa Ta‟aala menguji kalian untuk mengetahui

apakah kalian lebih mentaati beliau ataukah mentaatinya.” [1]

Termasuk contoh terbesar yang juga semakna dengan ini adalah tuntutan Fathimah

radhiyallahu anha agar mendapat warisan dari ayahnya shallallahu alaihi was sallam. Dan

ini merupakan ujian besar bagi Ash-Shiddiq (Abu Bakr) radhiyallahu anhu. Namun Allah

mengokohkannya menghadapi ujian ini.

[Raf‟ul Isytibaah An Ma‟nal Ibaadah wal Ilah, hal 152-153]

Catatan Kaki:

[1] HR. Al-Bukhary no. 7110. (pent) [2] Hal ini karena Abu Bakr radhiyallahu anhu mendengar sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:

“Kami tidak diwarisi, apa saja yang kami tinggalkan maka itu semuanya menjadi shadaqah.”

Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4240. (pent)

Sumber artikel: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=39521

TAUHID SEPERTI NAFAS YANG JIKA BERHENTI MAKA KITA AKAN MATI

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah

| | |

Page 44: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Wahai segenap orang-orang yang saya cintai, bab ini yaitu bab tauhid dan

membicarakannya, bagi kita kedudukannya seperti nafas, kita hidup dengannya dan jika

berhenti maka kita akan mati.

Sebagian orang didatangi oleh Iblis untuk merusaknya dengan ucapan: “Aku sudah

menjadi orang besar dan ulama, dan perkara-perkara ini diketahui oleh para pelajar di

sekolah dasar!” Tidak demikian wahai saudaraku, seandainya pandangan yang benar

adalah semacam ini, tentu Allah tidak akan memulai dari awal, menambah, dan mengulang-

ulangnya di dalam Kitab-Nya. Demikian juga tentu Rasulullah shallallahu alaihi was sallam

tidak akan menjelaskannya dan mengingatkannya dari waktu ke waktu kepada para

Shahabat beliau yang mereka adalah orang-orang mulia dan berakal serta orang-orang

yang terpilih dari bangsa Arab.

Wahai saudaraku tercinta, jika hal ini sedikit saja datang kepadamu atau muncul dari

dirimu sendiri, maka ketahuilah bahwa hal itu berasal dari Iblis yang ingin memalingkanmu

darinya agar engkau meremehkannya. Maka setelah itu ketika engkau melihat seseorang

yang terjatuh kepada kesyirikan, kulitmu tidak akan merinding. Ketika engkau melihat

seseorang yang terjatuh kepada kesyirikan, engkau tidak merasa melihat pemandangan

yang mengerikan. Orang yang seperti ini bukan mustahil setelah itu dia akan semakin parah

dengan menjadi teman duduk mereka dan bersikap basi-basi terhadap mereka.

Maka manakah sikap permusuhan terhadap orang yang menentang Allah dan

Rasulnya?! Jadi kita membutuhkan tauhid setiap detik dan bahkan pada setiap bagian yang

merupakan pecahan detik. Kita mengingatnya, kita mengingat-ingatnya, kita saling

mengingatkan urusannya dan saling mengingatkan dengannya.

Jadi perkara tauhid adalah perkara yang besar. Bagaimana tidak, sedangkan

keselamatan di hadapan Allah Jalla wa Ala nanti pondasinya adalah tauhid!! Maka harus

benar-benar mengerti tiga prinsip pokok ini dengan baik. Yaitu dengan seorang hamba

mengenal Rabbnya, mengenal agamanya, dan mengenal Nabinya shallallahu alaihi was

sallam.

Sumber artikel: www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143322

BOLEHKAH TOLERANSI DALAM MASALAH PRINSIP AGAMA DEMI MASLAHAT

UMUM

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Page 45: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, kami sering mendengar di berbagai media

di masa ini yang menyatakan bahwasanya boleh untuk toleransi pada sebagian prinsip-

prinsip pokok agama jika hal itu dilakukan untuk kepentingan umum. Maka sejauh mana

benarnya ucapan semacam ini?

Jawaban:

Ucapan ini tanggung jawabnya dikembalikan kepada yang mengatakannya. Prinsip-

prinsip pokok agama tidak ada toleransi padanya. Ini merupakan sikap mudaahanah (basa-

basi, melunak dan mengalah –pent). Tidak boleh sedikit pun mengalah dalam prinsip-prinsip

pokok agama sama sekali. Prinsip-prinsip pokok agama tidak ada toleransi padanya, karena

hal ini maknanya adalah mudaahanah.

Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan dirimu dari apa yang telah Kami

wahyukan kepadamu, agar engkau membuat kedustaan atas nama Kami dengan selainnya,

dan kalau sampai demikian maka sungguh mereka akan menjadikan dirimu sebagai sahabat

yang sangat dicintai. Kalau sampai terjadi demikian, maka sungguh Kami akan merasakan

kepadamu siksaan yang berlipat ganda di dunia ini dan yang berlipat ganda pula sesudah

mati, lalu engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al-

Isra‟ ayat 73 dan 75)

Jadi tidak boleh mengalah sedikit pun dari agama ini yang merupakan prinsip-prinsip

pokoknya yang tetap hanya karena ingin membuat ridha orang-orang kafir, karena ini

merupakan sikap mudaahanah.

Allah berfirman:

“Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak lalu mereka pun bersikap lunak pula

kepadamu.” (QS. Al-Qalam: 9)

Juga firman-Nya:

“Maka apakah kalian akan menyembunyikan isi Al-Quran ini karena takut kepada

manusia.” (QS. Al-Waqi‟ah: 81)

Maksudnya kalian akan mengalah pada sebagiannya. Yang semacam ini tidak boleh sama

sekali, karena ini adalah sikap mudaahanah. TIDAK BOLEH MENGALAH SEDIKIT PUN

DARI AGAMA KITA HANYA KARENA INGIN MEMBUAT RIDHA ORANG-ORANG KAFIR

BAGAIMANA PUN KEADAANNYA.

Page 46: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Demikian juga ketika mereka (orang-orang kafir) mengatakan kepada Rasul

shallallahu alaihi was sallam: “Kami mau menyembah sesembahanmu selama setahun

dengan syarat engkau juga mau menyembah sesembahan kami selama setahun

juga.” MEREKA MENGATAKAN HAL ITU DENGAN TUJUAN INGIN BERDAMAI. Namun

Allah Jalla wa Alaa memperingatkan dengan firman-Nya:

“Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian

sembah, dan kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah, dan aku bukan penyembah

apa yang kalian sembah, dan kalian bukan penyembah Rabb yang aku sembah, bagi kalian

agama kalian dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Maksudnya: aku berlepas diri dari agama kalian, dan kalian juga berlepas diri dari

agamaku. Jadi aku tidak akan mengalah sedikit pun dari agamaku hanya karena agar kalian

ridha kepada kami. Tidak ada sikap mencari ridha manusia, yang ada hanya mencari ridha

sang Khaliq.

Sumber audio: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/2894

Sumber transkrip: http://www.vb.noor-alyaqeen.com/t21775/

Ditranskrip oleh: Fathimah bintu Al-Badr

SIKAP TERHADAP ORANG TUA YANG JAHIL YANG MENINGGAL DI ATAS

KESYIRIKAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Fadhilatus Syaikh, semoga Allah memberi taufik kepada Anda, kami dahulu dalam

keadaan jahil dan ngawur dalam ibadah, dan sebagian ayah-ayah dan ibu-ibu kami ada

yang meyakini ibadah kepada kuburan, bertawassul dengannya, menujukan sembelihan

untuknya, dan perkara-perkara syirik yang lainnya. Ayah-ayah kami tersebut telah

meninggal, maka apakah boleh memintakan ampunan untuk mereka dan mendoakan

rahmat bagi mereka?

Jawaban:

Tidak boleh, jika mereka meninggal di atas akidah dan perbuatan semacam ini,

seperti menyembelih untuk selain Allah dan bernadzar untuk selain Allah dan mereka

meninggal di atas perkara-perkara tersebut, maka mereka adalah orang-orang musyrik yang

tidak boleh bagi kalian untuk memintakan ampunan untuk mereka dan mendoakan rahmat

bagi mereka.

Page 47: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Tidaklah sepantasnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi

orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat mereka.” (QS.

At-Taubah: 113)

Mereka itu meninggal di atas syirik, karena mereka menyembelih untuk selain Allah

dan bernadzar untuk selain Allah.

Sumber artikel: http://youtu.be/WLNlmv4KMjA

TIDAKKAH KALIAN MENGKHAWATIRKAN DIRI KALIAN SENDIRI

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

| | |

Ambilah pelajaran dari kisah Abdullah Al-Qashimy,[1] berapa banyak kitab yang

telah dia tulis dalam rangka membela dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul

Wahhab, yaitu dakwah tauhid. Kitabnya yang berjudul “Ash-Shiraa‟ Bainal Islam wal

Watsaniyyah” bisa kalian lihat. Demikian juga kitab “Al-Buruuq An-Najdiyah Fii Iktisaahizh

Zhulumaatid Dajawiyah” bisa kalian baca. Bacalah kitabnya yang lain yang dia tulis untuk

membela dakwah tauhid dan dakwah Salafiyah, dakwah yang diserukan oleh Asy-Syaikh

Muhammad bin Abdul Wahhab. Kemudian setelah itu dia murtad dan para ulama dakwah

telah berfatwa tentang kemurtadannya. Fatwa-fatwa ini terarsipkan dan tertulis dalam kitab-

kitab. [2]

Jadi dia memiliki sekian banyak tulisan-tulisan dalam membela dakwah Salafiyah,

namun setelah itu dia murtad. Wahai hamba-hamba Allah, kenapa kalian tidak

mengkhawatirkan diri kalian sendiri?! Wajib atas kita semua untuk mengkhawatirkan diri kita

sendiri. Jadi seseorang jika dia berada pada keadaan yang diridhai, maka hendaklah dia

terus memohon kekokohan kepada Allah.

Ini merupakan prinsip.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau beri hidayah

kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8)

Jadi seorang hamba terkadang hatinya menyimpang walaupun setelah mendapatkan

hidayah, karena sesungguhnya hati hamba-hamba ini –sebagaimana yang telah dikabarkan

oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam– berada diantara dua jari jemari Ar-Rahman

yang Dia bolak-balik sesuai yang Dia kehendaki. (lihat: Shahih Muslim no. 2654 –pent)

Demikian juga Rasulullah shallallahu alaihi was sallam telah mengabarkan fitnah-

fitnah yang akan terjadi di akhir zaman bahwasanya ketika itu seseorang yang pagi harinya

masih dalam keadaan beriman, sore harinya dia menjadi kafir. Yang lain pada sore harinya

Page 48: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

masih beriman, namun keesokan harinya telah menjadi kafir. Hal itu terjadi karena dia

menjual agamanya hanya karena secuil dari kesenangan dunia. (lihat: Shahih Muslim no.

118 –pent) Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Maka kenapa mereka ini pertama kali gemetar ketakutan ketika mendengar bahwa si

fulan dahulu seorang pembela As-Sunnah, kemudian dia menyimpang. Kita memohon

kekokohan kepada Allah dan kita juga memohon kepada Allah hidayah bagi orang seperti

yang disebutkan oleh penanya ini, hanya saja perlu diketahui bahwa hal ini terjadi dan telah

terjadi. Akan terus terjadi lagi selama masih ada manusia dan masih ada kehidupan. Maka

jangan merasa ngeri dan ketakutan, dan mohonlah kepada Allah kekokohan dan

keselamatan

Sumber audio: www.youtube.com/watch?v=4mD3ioqffo8

BOLEHKAH MENINGGALKAN UMROH KARENA WABAH MERS

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

.

Pertanyaan:

Saya ingin pergi ke Mekkah untuk melaksanakan umroh, hanya saya takut terhadap

penyakit MERS yang sedang mewabah. Apakah ini merupakan kelemahan iman ataukah

termasuk usaha menempuh sebab?

Jawaban:

Ini merupakan kelemahan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala.

Bertawakallah kepada Allah, pergilah untuk melaksanakan umroh, kerjakanlah shalat di Al-

Masjid Al-Haram, dan jangan takut kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala! Tetapi kalau

memang keluar larangan untuk datang ke sebuah negeri berdasarkan ketetapan secara

medis, maka tidak masalah (untuk membatalkan kepergian ke negeri tersebut –pent).

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda tentang penyakit tha‟un:

“Jika kalian mendengarnya sedang mewabah di sebuah negeri maka kalian jangan pergi ke

sana, dan yang sedang berada di negeri tersebut jangan keluar meninggalkannya.” [1]

Jadi jika keluar larangan yang berdasarkan ilmu yang benar, maka engkau jangan

pergi! Adapun selama izin masih terbuka, orang-orang yang ingin umroh dipersilahkan untuk

umroh dan mengunjungi Al-Masjid An-Nabawy, maka jangan sampai pada dirimu ada

ketakutan yang berlebihan seperti ini!

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=144403

Page 49: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

[1] Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 5728 dan Shahih Muslim no. 2219. (pent)

BOLEHKAH MENDATANGKAN ARWAH

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Apakah hukum mendatangkan arwah dan apakah hal itu termasuk jenis sihir?

Jawaban:

Tidak diragukan lagi bahwa mendatangkan arwah termasuk salah satu jenis sihir

atau termasuk perdukunan. Arwah yang didatangkan tersebut hakekatnya bukan arwah

orang-orang yang telah meninggal seperti yang mereka katakan, tetapi syetan-syetan yang

menjelma seperti orang-orang yang sudah meninggal itu dan mereka mengatakan: “Aku

adalah ruh si fulan atau aku adalah si fulan.” Padahal hakekatnya syetan. Maka perbuatan

semacam ini tidak boleh.

Arwah orang-orang yang sudah meninggal tidak mungkin dihadirkan, karena sudah

berada di genggaman Allah Subhanahu wa Ta‟ala sebagaimana firman-Nya:

“Allah memegang jiwa ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu

tidurnya; maka Dia menahan jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan

jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.” (QS. Az-Zumar: 42)

Jadi arwah itu tidak seperti yang diklaim sebagian orang, yaitu bisa datang dan pergi,

tetapi Allah saja yang mengaturnya. Jadi perbuatan mendatangkan arwah adalah bathil dan

termasuk jenis sihir dan perdukunan.

Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 2/134-135, pertanyaan no. 109

BOLEHKAH MELAKUKAN PENYEMBELIHAN UNTUK MEMINTA TURUN HUJAN DAN

MEMAKAN DAGINGNYA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Ketika hujan lama tidak turun, sebagian orang ada yang melakukan penyembelihan

untuk meminta agar hujan turun. Apakah hukum perbuatan ini dan bolehkah memakan

sembelihan tersebut ataukah tidak?

Page 50: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jawaban:

Perbuatan semacam ini tidak boleh, terlebih lagi jika sembelihan ini ditujukan untuk

orang yang telah meninggal atau untuk jin atau yang semisalnya. Karena itu merupakan

sembelihan syirik karena ditujukan untuk selain Allah Azza wa Jalla. Allah Ta‟ala berfirman:

“Diharamkan atas kalian untuk memakan bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan

yang disembelih untuk selain Allah…” (QS. Al-Maidah: 3)

Menyembelih untuk selain Allah merupakan perbuatan syirik karena hal tersebut

adalah ibadah, sedangkan ibadah wajib hanya ditujukan bagi Allah saja.

Allah Ta‟ala berfirman:

“Maka dirikanlah shalat untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Dia juga berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk

Allah Rabbul Alamin.” (QS. Al-An‟am: 162)

Kata “nusuk” dalam ayat ini maknanya adalah sembelihan. Adapun meminta hujan

yang sesuai dengan ajaran yang datang dari Nabi shallallahu alaihi was sallam adalah

dengan melakukan shalat istisqa‟, khutbah dan berdoa setelahnya di atas mimbar. Demikian

juga dengan cara berdoa di khutbah Jum‟at, yaitu dengan sang imam berdoa pada khutbah

Jum‟at agar Allah menurunkan hujan bagi kaum Muslimin.

Demikian juga terkadang dengan berdoa tanpa melakukan shalat dan khutbah

terlebih dahulu. Jadi doa meminta hujan datang dari Nabi shallallahu alaihi was sallam

dengan beberapa cara. Adapun melakukan penyembelihan untuk mengharapkan hujan

maka hal tersebut tidak ada asalnya dalam syariat.

Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, bab Aqidah, pertanyaan no. 186

BOLEHKAH MELAKUKAN PENYEMBELIHAN KETIKA MERESMIKAN BANGUNAN

BARU

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Di sebuah tempat ketika sebuah bangunan dibuka pertama kali, dilakukan

penyembelihan kambing sebagai bentuk peresmian, dan juga dilakukan pengambilan

Page 51: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

gambar oleh salah satu surat kabar, dan penyembelihan tersebut dilakukan di luar gedung

tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hukum perbuatan semacam ini?

Jawaban:

Ini merupakan kesyirikan –kita berlindung kepada Allah darinya– ini merupakan

kesyirikan terhadap Allah dan penyembelihan untuk selain Allah, karena mereka meyakini

bahwa penyembelihan ini untuk jin dan mereka melakukannya untuk menghindari kejahatan

jin. Mereka menyembelih untuk jin dengan tujuan agar jin tidak mengganggu mereka. Ini

termasuk perbuatan orang-orang di zaman Jahiliyah dan merupakan kesyirikan kepada

Allah. Kalau hal ini sampai terjadi di negeri tauhid, maka wajib melaporkannya kepada

pemerintah dan wajib untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5395

BENARKAH TIDAK BOLEH MENGELOMPOKKAN MANUSIA SESUAI GOLONGANNYA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Ada penanya yang mengatakan: “Di akhir-akhir ini telah muncul orang yang

melarang untuk menyebutkan manusia sesuai dengan kelompok yang diikutinya, dengan

dalih karena mereka semua muslim. Maka apa pendapat Anda dan bagaimana yang benar

dalam masalah tersebut?

Jawaban:

Ini tidak bisa dikatakan secara mutlak. Orang yang menyelisihi kebenaran terkadang

ada yang sampai kafir dan bukan muslim lagi, terkadang sesat dan fasik, dan terkadang

hanya pada tingkatan orang yang suka bermaksiat saja. Jadi manusia itu bertingkat-tingkat

keadaannya, diantara mereka ada yang kafir, ada yang munafik, ada yang fasik, ada yang

suka bermaksiat, dan diantara mereka juga ada yang mu‟min yang taat dan bertakwa. Maka

harus mendudukkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka, sehingga orang yang suka

bermaksiat tidak boleh didudukkan pada kedudukan orang yang taat, dan sebaliknya orang

yang taat tidak boleh didudukkan pada kedudukan orang yang suka bermaksiat.

Allah Jalla wa Ala berfirman:

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan

menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu

sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah persangkaan yang mereka

tetapkan itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)

Page 52: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Allah Ta‟ala juga berfirman:

“Maka apakah layak Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang

kafir. Bagaimanakah cara kalian menetapkan?” (QS. Al-Qalam: 35-36)

Juga firman-Nya:

“Apakah layak Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh seperti

orang-orang yang suka melakukan kerusakan di muka bumi, atau apakah layak Kami

menjadikan orang-orang yang bertakwa seperti orang-orang yang jahat.” (QS. Shaad: 28)

Jadi Allah sendiri yang memisahkan atau membeda-bedakan mereka sesuai dengan

perbuatan yang mereka kerjakan dan sesuai dengan keyakinan yang mereka yakini. Juga

sebagaimana yang pernah kalian dengar dalam hadits bahwa ummat ini terpecah menjadi

73 kelompok. Masing-masing memiliki manhaj dan jalan yang berbeda dengan kelompok

lain. Kecuali siapa saja yang kokoh di atas Al-Qur‟an dan As-Sunnah, maka jalan mereka

hanya satu dan mereka tidak berselisih. Ini adalah sesuatu yang jelas. Adapun tentang

orang yang mengatakan: “Dia ini datang hanya memecah belah manusia.” Atau

mengatakan: “Tidak boleh mengelompokkan manusia.” Maka ini semua adalah ucapan yang

muncul dari kebodohan. Allah sendiri yang mengelompokkan mereka. Juga Al-Qur‟an dan

As-Sunnah menyebut orang-orang kafir, menyebut orang-orang munafik, menyebut orang-

orang yang beriman, serta menyebut orang-orang yang suka bermaksiat dan orang-orang

fasik.

Allah telah menjelaskan di dalam Kitab-Nya:

.هو الذي خلقكم فمنكم كافر ومنكم مؤمن

“Dia-lah yang menciptakan kalian lalu diantara kalian ada yang kafir dan diantara kalian ada

yang beriman.” (QS. At-Taghabun: 2)

Lalu muncul orang yang menyatakan: “Tidak, tidak boleh mengelompokkan manusia.” Ini

merupakan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya

Sumber artikel: http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=37483

BOLEHKAH MENGATAKAN BAHWA UMAT ISLAM ADALAH UMAT YANG

TERBELAKANG

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya ini

mengatakan: “Ada orang yang mengatakan bahwa umat Islam adalah orang-orang yang

terbelakang atau mengalami kemunduran, atau menyebut mereka sebagai teroris atau

Page 53: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

orang-orang radikal, apa hukumnya bagi ucapan-ucapan semacam ini dan apa hukumnya

bagi orang yang menuduhkan sifat-sifat tersebut kepada umat Islam?”

Asy-Syaikh:

Ini adalah seperti ucapan orang-orang munafik terdahulu yang mengatakan: “Kita

tidak melihat orang-orang seperti para penghafal Al-Qur‟an kita ini yang lebih banyak

mengurusi perut, lebih dusta ucapannya, dan lebih penakut ketika bertemu musuh.” Maka

Allah menurunkan ayat:

“Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.”

(QS. At-Taubah: 66)

Jadi orang yang mengatakan ucapan ini terhadap umat Islam maka ini merupakan

kemurtadan dari agama Islam, ini merupakan kemurtadan dari agama Islam. Adapun jika dia

mengatakan bahwa umat Islam kurang memperhatikan dalam mempelajari tekhnologi dan

kurang dalam melakukan persiapan bekal atau persenjataan menghadapi orang-orang kafir,

maka ini ucapan yang benar. Namun jika dia mengatakan bahwa mereka adalah orang-

orang yang terbelakang disebabkan agama Islam, maksudnya jika dia menganggap bahwa

Islamlah yang menyebabkan mereka terbelakang, dan mereka menjadi orang-orang yang

tertinggal disebabkan agama Islam, jika ini yang dia maksudkan maka ini merupakan

kemurtadan dari agama Islam.

Beda perkaranya jika yang dia maksud adalah umat Islam kurang dalam melakukan

hal-hal yang wajib atas mereka dalam hal mempelajari tekhnologi dan melakukan persiapan

bekal atau persenjataan menghadapi orang-orang kafir. Jika seperti ini maka ini ucapan

yang benar. Faktanya umat Islam memang kurang dalam melakukannya. Jika maksudnya

seperti ini maka tidak masalah.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/8135

BOLEHKAH MENGATAKAN ORANG KAFIR SEBAGAI SAUDARA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, bagaimana pendapat Anda tentang

ucapan sebagian mufti, terkhusus yang ada di chanel-chanel televisi dengan mengatakan:

“Saudara-saudara kita orang-orang Nashara.” Atau ungkapan-ungkapan yang semisalnya,

dengan dalih bahwa semuanya beriman?

Page 54: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Asy-Syaikh:

Ini termasuk kekafiran dan kesesatan, kita berlindung kepada Allah darinya. Orang

yang menganggap bahwa Yahudi dan Nashara sebagai muslimin dan orang-orang yang

beriman serta sebagai saudara, maka ini merupakan kemurtadan dari agama Islam. Semua

yang tidak mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi was sallam maka dia kafir. Siapa saja

yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu alaihi was sallam maka dia kafir, sama saja

apakah dia seorang Yahudi atau Nashara atau selainnya. Setelah diutusnya Nabi

shallallahu alaihi was sallam tidak ada lagi agama dan keimanan kecuali dengan mengikuti

beliau shallallahu alaihi was sallam.

Jadi siapa yang mengatakan bahwa setelah diutusnya Nabi shallallahu alaihi was

sallam manusia tidak harus mentaati beliau dan mereka boleh tetap memeluk agama Yahudi

dan agama Nashara serta menyatakan bahwa itu adalah agama yang benar, maka dia kafir

dan murtad dari agama Islam. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Orang yang mengatakan bahwa Yahudi dan Nashara adalah saudara-saudara kita

dan bahwasanya mereka juga adalah orang-orang yang beriman, orang tersebut bisa jadi

dia tidak mengimani keumuman risalah Nabi shallallahu alaihi was sallam, maka ini

merupakan kekafiran. Kita berlindung kepada Allah darinya.

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian

seluruhnya, yaitu Dzat Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada yang berhak

disembah selain Dia, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kalian

kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu seorang nabi yang ummi (yang tidak mengetahui baca

tulis –pent) yang dia beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia

supaya kalian mendapat petunjuk.” (QS. Al-A‟raf: 158)

Jadi orang tersebut bisa jadi dia mengingkari keumuman risalah Nabi shallallahu

alaihi was sallam, maka ini merupakan kekafiran. Namun bisa jadi dia mengimani

keumuman risalah, hanya saja dia menganggap bahwa agama Yahudi merupakan

keimanan kepada Rasul dan agama Nashara juga merupakan keimanan kepada Rasul,

padahal mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga (trinitas –pent)! Maka

ini lebih parah kekafirannya, kita berlindung kepada Allah darinya dan memohon

keselamatan kepada-Nya.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/index.php?q=node/9657

BOLEHKAH UPAYA PENDEKATAN ANTAR AGAMA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Page 55: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Penanya:

Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya dari Libya mengatakan:

“Sebagian dai menempuh manhaj atau metode baru yang diada-adakan yang dinamakan

“Pendekatan Antar Agama” dengan dalih bahwa kita semua memiliki kitab. Apakah

semacam ini termasuk bentuk loyalitas?”

Asy-Syaikh:

Ini termasuk kekafiran, bukan sebatas loyalitas bahkan termasuk kekafiran. Jika

menganggap benar keyakinan Yahudi dan keyakinan Nashara sebagai agama yang benar

maka ini merupakan kekafiran terhadap Allah, kita berlindung kepada Allah darinya. Karena

Allah telah memastikan kekafiran Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Muhammad

shallallahu alaihi was sallam jika mereka tidak mau mengikuti beliau.

Dan semua yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu alaihi was sallam apakah

dia seorang Yahudi atau Nashara atau penyembah berhala atau makhluk apapun dia yaitu

jin dan manusia maka dia kafir dan di neraka. Rasulullah shallallahu alaihi was sallam

shallallahu alaihi was sallam:

“Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku apakah dia seorang Yahudi atau

Nashara, lalu dia tidak mau beriman dengan ajaran yang kubawa, kecuali dia pasti masuk

neraka.” (HR. Muslim no. 153 –pent)

Bagaimana mereka dikatakan sebagai orang-orang yang beriman sementara mereka

menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga (trinitas –pent)?! Apakah orang-orang

yang semacam itu beriman dalam keadaan mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga

dari yang tiga?! Mereka juga kafir atau tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi

was sallam dan menentang kerasulan beliau, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka

adalah orang-orang yang beriman. Yahudi sendiri menentang kerasulan Al-Masih Isa alaihis

salam dan mengatakan bahwa beliau adalah anak pelacur, dan juga menentang kerasulan

Muhammad shallallahu alaihi was sallam, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka adalah

orang-orang yang beriman.

Siapa yang mengatakan demikian ini?! Jadi tidak ada agama yang benar selain

agama Islam yang Muhammad shallallahu alaihi was sallam diutus dengannya. Adapun

selainnya maka bisa jadi merupakan agama yang bathil atau agama yang telah dihapus

(tidak berlaku lagi –pent), selesai sudah waktu mengamalkannya.

Page 56: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

KEBANYAKAN MANUSIA LUPA TUJUAN MEREKA DICIPTAKAN

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

| | |

Sesungguhnya setiap kali manusia semakin mewah kehidupannya dan semakin

gelamor, maka akan terbuka berbagai pintu keburukan yang akan menimpa mereka.

Sesungguhnya kemewahanlah yang akan menghancurkan manusia, karena manusia jika

dia memperhatikan kemewahan dan mengutamakan kesenangan jasadnya, maka dia akan

lalai dari melakukan hal-hal yang akan membahagiakan hatinya dan jadilah ambisi

terbesarnya memuaskan kesenangan badannya yang akan berakhir menjadi makanan

cacing tanah dan membusuk.

Ini merupakan bencana dan inilah yang membuat manusia tertipu di masa ini.

Hampir-hampir engkau tidak menjumpai seorang pun kecuali dia mengatakan: “Apa istana

kita? Apa mobil kita? Apa permadani kita? Apa makanan kita?” Sampai-sampai orang-orang

yang membaca ilmu dan mengajarkan ilmu sebagian mereka mengajar semata-mata hanya

karena ingin mendapatkan titel atau kedudukan untuk meraih kesenangan dunia. Seakan-

akan manusia tidak diciptakan untuk tujuan yang besar. Padahal dunia dan kenikmatannya

hanyalah sarana semata. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk

orang-orang yang menjadikan dunia sebagai sarana.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Sepantasnyalah seseorang

menjadikan harta sebagaimana dia menggunakan keledai sebagai tunggangan dan

sebagaimana dia menggunakan kamar kecil untuk buang air.” (Lihat: Majmu‟ul Fataawa,

10/663, terbitan Majma‟ Al-Malik Fahd –pent)

Lihatlah mereka para ulama itu mengetahui fungsi harta dan mengetahui kadarnya.

Maka jangan engkau jadikan harta sebagai ambisimu yang terbesar. Tunggangilah harta,

karena kalau engkau tidak menunggangi harta maka harta yang akan menunggangimu dan

jadilah ambisi terbesarmu dunia.

Oleh karena inilah maka kami katakan: sesungguhnya manusia semakin dunia

terbuka bagi mereka dan mereka memperhatikannya maka sesungguhnya mereka akan

merugi di akhirat sesuai keuntungan yang mereka dapatkan dari dunia.

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan akan menimpa kalian –maksudnya

aku tidak mengkhawatirkan kefakiran akan menimpa kalian karena dunia akan dibukakan–

tetapi aku mengkhawatirkan dunia akan dibukakan untuk kalian lalu akan menyebabkan

kalian berlomba-lomba meraihnya sebagaimana orang-orang sebelum kalian berlomba-

Page 57: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

lomba meraihnya, sehingga dunia pun akan membinasakan kalian sebagaimana telah

membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhary no. 3158 dan Muslim no. 2961 –pent)

Benarlah Ar-Rasul shallallahu alaihi was sallam. Inilah yang telah membinasakan

manusia pada hari ini, yaitu berlomba-lomba meraih dunia dan merasa seakan-akan mereka

diciptakan untuk dunia, bukan merasa bahwa dunia diciptakan untuk mereka, lalu mereka

pun sibuk dengan hal-hal (dunia –pent) yang diciptakan untuk mereka sehingga melalaikan

tujuan penciptaan mereka. Dan ini merupakan sikap yang terbalik. Kita memohon

keselamatan kepada Allah.

KAFIRKAH ORANG YANG MENYEMBAH KUBURAN?

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Apakah semua orang yang menyembah kuburan dan dia telah menjadi orang yang

suka beribadah di kuburan, dia bisa dianggap kafir secara personal?

Jawaban:

Apakah engkau masih ragu tentangnya?! Orang yang menyembah kuburan apakah

belum menjadi kafir?! Kalau demikian terus apa yang dimaksud dengan syirik dan apakah

kekafiran itu?! Ini adalah syubhat yang disebarkan oleh Murji‟ah di masa ini, Murji‟ah yang

telah menyebarkannya. Maka jangan sekali-kali menjadi syubhat yang menyebar di tengah-

tengah kalian!

BOLEHKAH SHALAT DI MASJID YANG DI DALAMNYA ADA KUBURAN

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

| | |

Penanya:

Apakah boleh shalat di masjid yang di dalamnya ada kuburan?

Jawaban:

Tidak sah shalat yang di dalamnya ada kuburan, terlebih lagi jika masjid tersebut dibangun

dalam rangka memuliakan kuburan tersebut.

Karena Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

Page 58: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Allah melaknat Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka

sebagai masjid.”

Jadi Rasulullah shallallahu alaihi was sallam melaknat orang-orang yang menjadikan

kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Nabi shallallahu alaihi was sallam

memperingatkan hal itu 5 malam sebelum beliau wafat sebagaimana yang disebutkan di

dalam hadits Jundub bin Abdillah (Lihat: Shahih Muslim no. 532 –pent).

Bahkan beliau masih memperingatkan hal itu tidak lama sebelum wafatnya, ketika itu

beliau menutup wajahnya dengan kain khamishah, setiap kali beliau merasakan sesak,

maka beliau membuka wajahnya seraya bersabda:

“Allah melaknat Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan para nabi mereka

sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhary no. 435 dan Muslim no. 529 –pent)

“Ketahuilah: janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku

melarang kalian melakukannya.” (HR. Muslim no. 532 –pent)

Maka berhati-hatilah wahai hamba Allah, karena musibah telah merata di banyak

negeri Muslimin dengan membangun masjid di atas kuburan. Jika masjid dibangun karena

adanya kuburan atau kuburannya diletakkan di tengah-tengahnya, maka shalat di dalamnya

tidak sah, shalat di belakang imamnya tidak sah. Adapun jika masjid tidak dibangun karena

adanya kuburan, tetapi kuburannya yang dibuat belakangan dan di letakkan di halaman

masjid bagian belakang atau yang semisalnya, maka yang seperti ini jika sang imam tidak

menyembah kuburan tersebut maka boleh, karena kita harus berhati-hati dari

ketergantungan hati dengan kuburan yang termasuk musibah terbesar yang manusia

terjatuh padanya, terkhusus banyak orang-orang yang mengaku sebagai seorang muslim di

zaman ini, dan sebagian mereka sering mengulang-ulang menyampaikan hadits palsu:

“Jika kalian tertimpa masalah, maka hendaknya kalian mendatangi para penghuni kubur.”

(Lihat: Ar-Radd Alal Bakry, karya Ibnu Taimiyyah, terbitan Maktabah Daarul Minhaj, hal. 317

–pent)

Apakah mereka bisa mengabulkan doamu?

“Dan orang-orang yang kalian seru (sembah) selain Allah mereka tidak mempunyai apa-apa

walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar

seruanmu; dan seandainya mereka mendengar, mereka tidak dapat mengabulkan

permintaanmu, dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari kesyirikanmu dan tidak

ada yang bisa memberi penjelasan kepadamu seperti penjelasan Dzat Yang Maha

Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14)

Page 59: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BANTAHAN TERHADAP MUHAMMAD QUTHUB TENTANG TAFSIR SYAHADAT

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Muhammad Quthub mengatakan di dalam kitabnya tentang penerapan syari‟at

bahwa makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada hakim selain Allah dan tidak ada pencipta

selain Allah. Apakah pendapat ini memiliki asal dan bagaimana menurut Anda?

Jawaban:

Makna “laa ilaha illallah” telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala di dalam

kitab-Nya dan juga oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam. Makna “laa ilaha

illallah” adalah tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah. Hal ini

sebagaimana firman Allah Ta‟ala:

“Dan sembahlah Allah serta jangan menyekutukan-Nya sedikitpun.” (QS. An-Nisa': 36)

Inilah makna “laa ilaha illallah.”

Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga berfirman:

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap ummat seorang rasul yang menyerukan:

“Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Inilah makna “laa ilaha illallah.”

Allah Ta‟ala juga berfirman:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan

agama hanya untuk-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Inilah makna “laa ilaha illallah.”

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:

“Aku diperintahkan agar memerangi manusia hingga mereka mengatakan laa ilaha

illallah.” (HR. Muslim no. 392 dan Muslim no. 20 –pent)

Dalam sebuah riwayat disebutkan dengan lafazh:

“Hingga mereka mentauhidkan Allah.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 7372 –pent)

Allah Ta‟ala berfirman:

Page 60: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka hanya beribadah

kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Jadi makna “laa ilaha illallah” adalah memurnikan ibadah hanya bagi Allah. Dan

termasuk padanya adalah penerapan syariat, ini masuk pada ibadah kepada Allah

Subhanahu wa Ta‟ala. Tetapi penerapan syariat bukanlah makna satu-satunya, bahkan

makna “laa ilaha illallah” lebih luas dan lebih banyak. Dan yang lebih penting dari sekedar

berhukum dengan Al-Qur‟an pada perkara-perkara yang diperselisihkan adalah

melenyapkan kesyirikan dari muka bumi dan memurnikan ibadah hanya bagi Allah

Subhanahu wa Ta‟ala.

Jadi penafsiran semacam ini adalah penafsiran yang kurang, penafsiran dengan

masalah penerapan hukum Allah semacam ini adalah penafsiran yang kurang yang tidak

memberikan makna “laa ilaha illallah” dengan semestinya.

Adapun dengan menafsirkan bahwa makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada

pencipta selain Allah, maka ini adalah penafsiran yang bathil, bukan sekedar kurang,

bahkan bathil. Karena kalimat “laa ilaha illallah” tidaklah dimaksudkan untuk menetapkan

bahwa tidak ada pencipta selain Allah. Karena hal ini sudah diakui oleh orang-orang

musyrik. Jadi seandainya makna “laa ilaha illallah” adalah tidak ada pencipta selain Allah,

tentu orang-orang musyrik sudah menjadi muwahhid (bertauhid).

“Dan seandainya engkau bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka,

niscaya mereka akan menjawab: Allah.” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Berdasarkan penafsiran semacam ini maka Abu Jahl akan dianggap bertauhid. Abu

Jahl dan Abu Lahab akan dianggap bertauhid. Maha Tinggi Allah dari penafsiran semacam

itu. Jadi ini adalah penfasiran yang bathil.

Alih bahasa: Abu Almass

Sumber Artikel : www.forumsalafy.net

| | |

Page 61: 25 fatwa ulama ahlus sunnah
Page 62: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH MENGGUNAKAN UANG RIBA DALAM KEADAAN DARURAT

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan:

Apakah hukum riba dalam keadaan darurat, seperti orang yang berdalih dengan keadaan

darurat untuk membangun tempat tinggal atau untuk biaya pengobatan orang yang sakit?

Jawaban:

Tidak ada darurat di sini, riba hukumnya tetap haram. Allah Ta‟ala berfirman:

“Allah melenyapkan riba dan mengembangkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap

orang yang kafir dan banyak berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)

Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain

dari Abu Hurairah:

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan…” [1]

Diantara yang beliau sebutkan adalah riba.

Jadi riba tidak boleh digunakan. Orang yang sakit akan disembuhkan oleh Allah Subhanahu

wa Ta‟ala, dan rumah juga akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Hanya

kepada Allah saja kita memohon pertolongan.Al-Bukhary telah meriwayatkan di dalam

Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu

alaihi was sallam bersabda:

“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi mempedulikan

dari manakah dia mendapatkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah dari sesuatu

yang haram.” [2]

Page 63: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Rasulullah shallallahu alaihi was sallam juga bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-

Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain: “Barangsiapa meninggalkan sesuatu

karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.”

Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=2655

Keterangan:

[1] HR. Al-Bukhary no. 2766 dan 6857 serta Muslim no. 89.

[2] Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 2059 dan 2083. (pent)

APAKAH MENINGGALKAN TELEVISI TERMASUK SIKAP EKSTRIM

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Sebagian orang-orang yang baik memasukkan televisi ke dalam rumahnya dan dia

mengatakan bahwa dia tidak ingin dituduh sebagai orang yang ekstrim, maka bagaimana

bimbingan Anda?

Jawaban:

Meninggalkan televisi bukan sikap ghuluw atau ekstrim, tetapi merupakan sikap

kehati-hatian untuk menjaga agama, keluarga, dan anak-anak. Jadi hal itu merupakan

upaya menjauhkan dari sebab-sebab yang akan membahayakan. Karena keberadaan

televisi akan mengakibatkan bahaya terhadap anak dan istri, bahkan juga terhadap kepala

rumah tangga. Siapa yang merasa dirinya aman dari fitnah?! Jadi semakin jauh seseorang

dari sebab-sebab fitnah, maka hal itu jelas lebih baik bagi keadaannya sekarang dan

Page 64: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

akibatnya di belakang hari. Dan meninggalkan televisi bukan termasuk sikap ekstrim, tetapi

termasuk upaya preventif atau penjagaan dan pencegahan dari keburukan.

Sumber artikel: Al-Muntaqa min Fataawa Al-Fauzan, pertanyaan no. 211

BENARKAH ORANG-ORANG YANG SEMANGAT MENJALANKAN AGAMA ADALAH

TERORIS

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Telah banyak pembicaraan tentang berbagai peristiwa (penyerangan terhadap

aparat pemerintah, pengeboman, penculikan dan semisalnya atas nama jihad dan Islam –

pent) akhir-akhir ini melalui berbagai media yang mengaitkan dengan orang-orang yang

istiqamah dan menuduh mereka sebagai teroris, juga sebagian orang tua ada yang

menekan anak-anak mereka yang istiqamah dengan dalih khawatir mereka akan menjadi

teroris. Maka bagaimana bimbingan Anda menyikapi hal-hal ini?

Jawaban:

Yang terjadi tidak diragukan lagi bahwa semua itu merupakan tindakan terorisme

dan tidak ada seorang pun yang bisa membantah dengan mengatakan bahwa hal ini bukan

tindakan terorisme, kita berlindung kepada Allah darinya. Hanya saja, mengaitkannya

dengan orang-orang yang semangat menjalankan agama maka ini yang tidak boleh.

Pernyataan semacam ini tidak akan dilontarkan kecuali oleh orang munafik (yang pura-pura

masuk Islam padahal di hatinya kafir dan berusaha menghancurkan Islam dari dalam –pent).

Orang-orang yang berpegang teguh dengan agama mereka bukanlah orang-orang yang

Page 65: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

suka melakukan tindakan terorisme, walhamdulillah. Bahkan mereka adalah orang-orang

yang mencintai dan berusaha melakukan kebaikan dan perbaikan serta perdamaian. Dan

tidak ada yang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik ini kecuali orang-orang yang

semangat menjalankan agama. Orang-orang yang berpegang teguh dengan agama tidak

akan melakukan tindakan-tindakan yang sesat dan jahat tersebut.

Adapun sikap para orang tua yang mengkhawatirkan anak-anak mereka maka

memang wajib atas seseorang untuk mengkhawatirkan anak-anaknya dan harus selalu

mengawasi mereka, jangan menelantarkan mereka, dan jangan membiarkan mereka pergi

bersama si fulan dan fulan yang tidak jelas agamanya. Karena bisa jadi di sana ada

pemikiran-pemikiran yang sesat dan menyimpang serta ajakan-ajakan yang bathil sehingga

bisa menjerat anak-anak tersebut dan menipu mereka. Jadi wajib atas para wali yang

memiliki anak-anak untuk selalu mengontrol dan menjaga mereka, dan jangan membiarkan

anak-anak muda tersebut di jalanan atau pergi ke negara lain. Apa yang akan kita raih

dengan perginya anak-anak kaum Muslimin ke negara-negara lain?! Mereka hanya akan

kembali kepada kita dengan membawa sifat yang sangat buruk ini, yaitu mengkafirkan kaum

Muslimin dan membunuh kaum Muslimin. Hal itu terjadi karena mereka ditelantarkan dan

dibiarkan bebas tanpa pengawasan sehingga mereka ditelan berbagai keburukan yang

menyeret mereka kepada pemikiran-pemikiran yang jahat ini. Akibatnya mereka kembali

hanya untuk menghancurkan dan berbuat kerusakan di negeri-negeri Kaum Muslimin. Laa

haula wa laa quwwata illa billah. Maka wajib atas para orang tua atau wali untuk menjaga

dan mengawasi anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.

Sumber artikel: Al-Ijaabaat Al-Muhimmah Fil Masyaakilil Mudlahimah, hal. 211

pertanyaan no 179

Page 66: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

APAKAH TITEL CUKUP SEBAGAI SYARAT UNTUK BERDAKWAH

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Apakah seseorang yang ingin mengajarkan perkara-perkara agama kepada manusia

cukup baginya dengan titel universitas yang dia sandang, ataukah harus ada tazkiyah

(rekomendasi) dari para ulama?

Jawaban:

Harus memiliki ilmu, tidak semua orang yang menyandang titel menjadi ulama.

Harus memiliki ilmu dan kefakihan dalam agama Allah. Semata-mata titel tidaklah

menunjukkan ilmu, karena terkadang seseorang memiliki titel padahal dia termasuk manusia

yang paling bodoh. Sebaliknya terkadang seseorang tidak memiliki titel namun dia termasuk

manusia yang paling berilmu. Apakah Asy-Syaikh Ibnu Baz memiliki titel?! Demikian juga

Asy-Syaikh Ibnu Ibrahim dan Asy-Syaikh Ibnu Humaid?! Apakah mereka memiliki titel?!

Walaupun demikian mereka menjadi para imam di masa ini. Jadi yang terpenting adalah

membicarakan apakah ilmu dan kefakihan itu ada pada seseorang. Bukan tentang titel atau

ijazah atau tazkiyah, ini semua tidak teranggap. Dan fakta nanti yang akan menyingkap

keadaan seseorang. Jika ada sebuah masalah atau muncul sebuah bencana, ketika itulah

akan nampak siapa yang benar-benar seorang ulama dan mana orang yang sok berilmu

dan jahil.”

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=114719

Page 67: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BAGAIMANA JIKA PEMERINTAH MELARANG MEMBANGUN MASJID

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Jika pemerintah melarang saya untuk membangun masjid tertentu di sebuah daerah

tertentu, apakah wajib mentaatinya?

Jawaban:

Ya, wajib mentaatinya dan jangan membangun masjid tersebut jika mereka

melarangnya. Tetapi kalau pemerintah melarang untuk membangun masjid secara umum

maka tidak boleh ditaati. Namun jika melarangnya di tempat tertentu maka larangan itu

mungkin karena pertimbangan tertentu. Jika di sebuah negeri ada banyak masjid, kaum

Muslimin bisa mengerjakan shalat di masjid-masjid tersebut. Dan jangan shalat di tempat

yang pemerintah melarang membangun masjid di sana. Kerjakan shalat di masjid-masjid

yang lain, atau pilihlah tempat selain yang dilarang untuk membangunnya itu.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/4900

APA MAKNA HADITS “BARANGSIAPA MENUTUPI AIB SEORANG MUSLIM MAKA

ALLAH AKAN MENUTUP AIBNYA”?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Penanya:

Page 68: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Apa makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi was sallam:

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya.”

(HR. Al-Bukhary no. 2442 dan Muslim no. 2580 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,

serta Muslim no. 2699 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu –pent)

Apakah tetap menutupi aibnya dalam keadaan melihatnya melakukan kemaksiatan yang

jelas?

Asy-Syaikh:

Ya, jika yang lebih utama adalah menutupi maka sepantasnya untuk menutupi.

Namun masalahnya berbeda-beda. Jika misalnya engkau melihatnya mencium seorang

wanita, atau engkau melihatnya mencuri sesuatu maka tutupilah. Jadi ini adalah perkara

yang baik. Atau engkau melihatnya melakukan perbuatan keji dan engkau menutupinya,

maka tidak mengapa. Hanya saja seseorang yang kebiasaannya adalah kebiasaan yang

buruk ini, maka tidak mengapa engkau menasehati manusia agar menjauhinya dan tidak

membiarkannya untuk masuk ke rumah mereka, karena dia tertuduh telah melakukan

perbuatan yang buruk. Ini berkaitan dengan perbuatan-perbuatan keji. Adapun masalah

menutupi perbuatan buruknya, maka mungkin dilakukan jika engkau melihat bahwa

maslahatnya adalah dengan cara menutupinya, baik yang berkaitan dengan perbuatan-

perbuatan keji ataupun selainnya.

Adapun berkaitan dengan masalah bid‟ah, jika hal itu terjadi karena ketergelinciran,

maka sepantasnya engkau menutupinya. Bahkan para ulama mengatakan: “Jika seorang

ulama tergelincir, walaupun pada perkara bid‟ah, yang sepantasnya adalah dengan

menutupinya dengan keutamaan-keutamaannya. Adapun jika dia telah menjadi seorang dai

yang menyerukan bid‟ah tersebut dan dikhawatirkan akan mempengaruhi manusia dalam

dakwahnya, maka sepantasnya engkau lantang membongkarnya dan mentahdzirnya.

Wallahul musta‟an.

Page 69: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Penanya:

Jika misalnya seseorang terkenal mencuri?

Asy-Syaikh:

Telah kami katakan, jika hal itu telah menjadi kebiasaan dan sifatnya maka

hendaknya engkau memperingatkan manusia dari bahayanya. Baarakallahu fiik.

Penanya:

Jika hal itu baru pertama kali dan pencurian yang dia lakukan terhadap penduduk

sebuah desa, jika perbuatannya tidak diketahui maka seluruh penduduk desa tersebut bisa

tertuduh. Jadi hal itu belum diketahui telah menjadi kebiasaannya, hanya saja muncul

darinya perbuatan mencuri. Jika orang-orang menutupi perbuatannya, maka seluruh

penduduk desa tersebut bisa tertuduh, sehingga mereka memandang perlu untuk

menjelaskan keadaan orang tersebut, walaupun pencuriannya itu baru pertama kali dia

lakukan, agar tuduhan tidak tertuju kepada pihak lain.

Asy-Syaikh:

Tetap engkau perhatikan maslahat. Adapun tuduhan itu sama sekali tidak akan

menetapkan sesuatu, dan tidak seorang pun yang boleh menuduh seluruh penduduk desa.

Wallahul musta‟an.

Sumber artikel: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3631

Page 70: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

HAKEKAT KITAB 1001 MALAM

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Sebagian kitab sejarah –terkhusus kitab 1001 Malam– menyebutkan bahwa Khalifah

Harun Ar-Rasyid tidak dikenal kecuali dengan perbuatan sia-sia dan minum khamr. Apakah

hal ini benar?

Jawaban:

Ini merupakan kedustaan, mengada-ada, dan sesuatu yang disusupkan ke dalam

sejarah Islam. Kitab 1001 Malam adalah kitab yang tidak ada harganya dan tidak bisa

dijadikan pegangan, dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan

waktunya dengan membacanya.

Harun Ar-Rasyid terkenal dengan kesalehan, kesungguhan dan baik dalam

mengurusi rakyat, dan beliau membagi waktunya dengan melaksanakan haji setahun dan

berjihad pada tahun berikutnya. Dan kedustaan semacam ini yang dimasukkan dalam kitab

ini tidak perlu menoleh kepadanya, dan tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk

membaca kitab kecuali yang mengandung faedah, seperti kitab-kitab sejarah yang

terpercaya, kitab tafsir, hadits, fikih, dan akidah yang dengannya seorang muslim bisa

mengerti urusan agamanya. Adapun kitab-kitab yang rusak maka tidak sepantasnya

seorang muslim –apalagi seorang penuntut ilmu– untuk menyia-nyiakan waktunya dengan

membacanya.

Sumber artikel: Al-Muntaqaa min Fataawa Al-Fauzan, 2/306, pertanyaan no. 275

Page 71: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

APA YANG DILAKUKAN JIKA MENGETAHUI ADA BAGIAN ANGGOTA WUDHU YANG

TIDAK TERKENA AIR SETELAH SHALAT

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

| | |

Pertanyaan:

Jika seseorang berwudhu ketika hendak shalat, namun setelah shalat dia mendapati

ada sedikit bagian tangannya yang tidak terkena air, maka apakah yang harus dia lakukan?

Jawaban:

Hendaknya dia mengulangi wudhu dan shalatnya, karena adanya sesuatu yang

menghalangi sampainya air ke anggota badan yang wajib disucikan, jadi anggota badan

tersebut belum suci. Allah Tabaraka wa Ta‟ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka

basuhlah wajah kalian.” (QS. Al-Maidah: 6)

Jadi jika di wajah ada sesuatu yang menghalangi sampainya air, maka ini teranggap

hanya membasuh sebagian wajahnya saja. Demikan juga hal ini berlaku pada seluruh

anggota badan yang lain. Oleh karena inilah para ulama mensyaratkan sahnya wudhu

dengan menghilangkan hal-hal yang menghalangi sampainya air, seperti adonan tepung,

minyak, gibs, dan semisalnya.

Sumber artikel: Fataawaa Nuurun Alad Darb, III/95, pertanyaan no. 1424

Page 72: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

KENAPA SIBUK MENTAHDZIR AHLI BID’AH, PADAHAL KITA MENGHADAPI ORANG

KAFIR

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Kenapa sibuk mentahdzir ahli bid’ah, padahal umat sedang menghadapi

permusuhan Yahudi dan Nashara serta orang-orang sekuler?

Jawaban:

Kaum Muslimin tidak akan mungkin mampu untuk melawan Yahudi dan Nashara

kecuali jika mereka telah mampu mengatasi berbagai bid‟ah yang ada di tengah-tengah

mereka. Jadi mereka mengobati penyakit yang ada pada diri mereka terlebih dahulu, agar

mereka mendapatkan pertolongan atas Yahudi dan Nashara. Adapun selama kaum

Muslimin masih terus menyia-nyiakan agama mereka dan suka melakukan berbagai bid‟ah

dan hal-hal yang diharamkan serta meremehkan dalam menjalankan syari‟at Allah, maka

mereka tidak akan mungkin mendapatkan pertolongan atas Yahudi dan Nashara. Hanyalah

orang-orang kafir itu dijadikan menguasai umat Islam disebabkan karena mereka menyia-

nyiakan agama mereka. Maka wajib membersihkan masyarakat dari berbagai bid‟ah dan

dari berbagai kemungkaran. Juga wajib melaksanakan perintah-perintah Allah dan perintah-

perintah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam sebelum kita memerangi Yahudi dan

Nashara. Kalau tidak demikian, maka jika kita memerangi Yahudi dan Nashara dalam

keadaan seperti ini, kita tidak akan mungkin mengalahkan mereka selama-lamanya. Justru

merekalah yang akan mengalahkan kita dengan sebab dosa-dosa yang kita lakukan.

Sumber artikel: Al-Ijaabaat Al-Muhimmah Fil Masyaakilil Mudlahimah, hal. 208-209

Page 73: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

APAKAH MENDOAKAN ORANG YANG BERSIN CUKUP SATU ORANG YANG

MENDENGARNYA SAJA

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan:

Orang yang bersin dan dia mengucapkan “alhamdulillah” apakah wajib atas siapa

saja yang mendengarkannya untuk mendoakannya?

Jawab:

Wajib, dan hukumnya tidak seperti menjawab salam yang mana satu orang sudah

mencukupi. Jika seseorang mengucapkan salam kepada kita “assalamualaikum” maka

cukup salah seorang dari kita menjawab “waalaikumussalam.” Tetapi orang yang bersin

wajib atas siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya. Wajib atas kita semua

untuk mendoakannya (dengan mengucapkan “yarhamukallah” yang artinya: semoga Allah

merahmatimu –pent) jika dia mengucapkan “alhamdulillah.”

Dalam hal ini terdapat sebuah hadits:

“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas

siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya.” [1]

Atau yang semakna.

Sumber artikel: Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H,

pertanyaan no. 201 hal. 322

Keterangan:

[1] Lihat: Dalam Shahih Al-Bukhary no. 6223 lafazhnya:

Page 74: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Jika seseorang bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas setiap muslim

yang mendengarnya untuk mendoakannya.”

Sedangkan di no. 6226 lafazhnya:

“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan „alhamdulillah‟ maka wajib atas

setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya dengan mengucapkan:

yarhamukallah.” Lihat juga: Shahih Muslim no. 2992. (pent)

APAKAH GAJI BULANAN TERKENA ZAKAT

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Penanya yang bernama Abu Khalid mengatakan: “Berkaitan dengan gaji bulanan,

jika uangnya langsung masuk rekening bank, bagaimanakah caranya agar saya bisa

mengetahui zakatnya?”

Jawaban:

Masalah ini banyak dijumpai oleh para pegawai atau karyawan dan orang-orang

yang mendapatkan pemasukan atau penghasilan bulanan. Yang akan membebaskan diri

dari tanggung jawab adalah dengan menentukan waktu tertentu setiap setahun sekali untuk

mengeluarkan zakat dengan syarat telah terkumpul jumlah yang memenuhi (nishab atau

batas minimal nilai yang terkena kewajiban zakat –pent). Dia hitung dan dia keluarkan

zakatnya. Hendaknya hal serupa dia lakukan pada tahun berikutnya. Dengan cara itu

insyaAllah dia telah membebaskan diri dari tanggung jawab.

Page 75: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13649

Faedah:

Nishab emas adalah 20 dinar. 1 dinar = 4,25 gram emas murni. Jadi nishab emas

adalah 85 gram. Sedangkan nishab perak adalah 200 dirham. 1 dirham = 2,975 gram perak

murni. Jadi nishab perak adalah 595 gram. Di situs http://www.logammulia.com/gold-bar-

id.php dan http://www.logammulia.com/industrial-gold-silver-platinum-id.php pada hari Rabu

tanggal 14 Mei 2014 pukul 07.54 WIB disebutkan bahwa harga 1 dinar adalah Rp.

2.388.925. Sedangkan harga 1 dirham adalah Rp. 91.053. Jadi sebagai contoh nishab perak

adalah Rp. 91.053 x 200 = Rp. 18.210.600. Sedangkan nishab emas adalah Rp. 2.388.925

x 20 = Rp. 47.778.500.

Untuk nishab uang para ulama menguatkan pendapat bahwa nishabnya adalah yang

paling sedikit dari nilai nishab emas dan perak. Misalnya nilai nishab emas lebih sedikit

maka nishabnya dinilai dengan emas. Sedangkan jika nilai nishab perak lebih sedikit maka

nishabnya dengan nilai perak.

Jadi untuk saat ini (karena menyesuaikan nilai perak) seseorang akan terkena

kewajiban zakat, jika dia menyimpan uang selama setahun penuh tanpa berkurang sehari

pun sesuai dengan kalender Hijriyah, senilai Rp. 18.210.600. (pent)

Sumber: Ahkaamuz Zakaah, karya Asy-Syaikh Zayid bin Husain Al-Wushaby, salah

seorang pengajar di Daarul Hadits, Ma‟bar – Yaman, hal. 166-169 dan hal 190.

KAPANKAH WANITA YANG MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN KARENA HAMIL

ATAU MENYUSUI MENGGANTI PUASANYA

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Page 76: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Pertanyaan:

Penanya menanyakan tentang wanita yang tidak mampu berpuasa Ramadhan

karena melahirkan atau hamil?

Jawab:

Yang wajib baginya adalah mengganti puasa, sebagaimana firman Allah Ta‟ala:

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak

berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari

yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Jadi dia wajib mengganti pada waktu yang dia telah mampu, bisa setahun, atau dua tahun,

atau tiga tahun setelahnya.

“Allah tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-

Baqarah: 286)

Terdapat riwayat di dalam kitab-kitab As-Sunan dari hadits (Abu Umayyah –pent) Anas bin

Malik Al-Ka‟by bahwasanya dia safar kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, maka Nabi

berkata kepadanya: “Makanlah!” Anas menjawab: “Saya sedang berpuasa.”

Maka Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta‟ala menggugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan

mengqashar yang empat raka‟at menjadi dua raka‟at) dan menggugurkan kewajiban puasa

terhadap wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” [1]

Atau yang semakna.

Yang dimaksud dengan menggugurkan di sini adalah menggugurkan yang sifatnya

sementara, yaitu berdasarkan ayat yang baru saja kalian dengar:

Page 77: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak

berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari

yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Sebagian ulama berpendapat bahwa jika telah berlalu setahun namun wanita

tersebut belum mengganti puasa Ramadhan yang pertama, maka dia wajib membayar

kaffarah di samping tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan. Atau wajib bagi orang lain

yang meninggalkan puasa karena sakit atau safar untuk membayar kaffarah di samping

tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan jika telah berlalu setahun namun dia belum

mengganti puasanya. Hanya saja pendapat ini tidak memiliki dalil dari Kitabullah maupun

dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, tetapi hanya pendapat sebagian Salaf

saja.

Sedangkan kami maka kami mengambil apa yang nampak dari ayat di atas. Dan

Allah Azza wa Jalla tidak berfirman: “Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau

dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang

ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan jika telah berlalu setahun namun dia belum

juga mengganti puasanya, maka dia wajib membayar kaffarah.”

“Dan Rabbmu sekali-kali tidak pernah lupa.” (QS. Maryam: 64)

Jadi tidak ada kewajiban atas wanita tersebut selain mengganti puasanya yang dia

tinggalkan saja jika dia telah benar-benar mampu melakukannya, walaupun telah berlalu 3

Ramadhan atau lebih. Ketika dia telah mampu setelah itu barulah dia mengganti puasanya,

hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.

Mengganti puasa juga tidak harus dilakukan berturut-turut agar tidak

memberatkannya. Jadi dia bisa berpuasa 3 hari lalu berhenti sehari, atau puasa sehari dan

berhenti sehari, sesuai dengan kemampuannya. Contohnya Aisyah radhiyallahu anha

menceritakan bahwa beliau masih memiliki kewajiban mengganti sebagian puasa

Page 78: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Ramadhan karena haidh, lalu beliau tidak menggantinya kecuali di bulan Sya‟ban. Maksud

dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya mengganti puasa tidak harus secepatnya.

Wallahul musta‟an.

Footnote:

1. HR. Ahmad (4/347 hadits ke 18568), At-Tirmidzy (715), Abu Dawud (2408), An-

Nasa‟iy (2276, 2278) dan Ibnu Majah (1667, 1668) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil

rahimahullah di dalam Al-Jami‟ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (2/438) dan di

dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (127) dengan lafazh:

“Sesungguhnya Allah Ta‟ala telah menggugurkan bagi musafir setengah shalat

(dengan mengqashar yang empat raka‟at menjadi dua raka‟at) dan menggugurkan

kewajiban puasa terhadapnya dan terhadap wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.”

(pent)

Sumber artikel: Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H,

pertanyaan no. 352 hal. 594-595

APAKAH MANDI YANG HUKUMNYA MUSTAHAB MENCUKUPI WUDHU

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Apakah mandi yang hukumnya mustahab (seperti mandi Jum’at dan dua hari raya –

pent) yang disebutkan oleh penulis rahimahullah (pertanyaan ini setelah membahas sebuah

kitab tertentu –pent) mencukupi sehingga tidak perlu berwudhu lagi, jika seseorang

meniatkan dua-duanya?

Page 79: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Jawaban:

Ya, jika dia meniatkan wudhu sudah termasuk dalam mandi yang hukumnya

mustahab tersebut, maka hal itu telah mencukupi, karena mandi tersebut termasuk bersuci

yang sesuai dengan syari‟at.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7676

DIANTARA PERTANYAAN YANG TIDAK SEPANTASNYA UNTUK DITANYAKAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Jika seorang suami yang mendapati laki-laki lain menggauli istrinya, apakah boleh

untuk membunuhnya ataukah tidak? Karena kami pernah mendengar dari salah seorang

ulama bahwa suami tersebut boleh membunuhnya?

Jawaban:

Pertanyaan semacam ini tidak boleh. Tidak boleh bertanya semacam ini, agar si

penanya tidak tertimpa dengannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika kalian ketahui justru akan menyusahkan

kalian.” (QS. Al-Maidah: 102)

Tidak boleh bertanya semacam ini yang sifatnya “seandainya terjadi”, kalau setelah kejadian

maka baru boleh ditanyakan.

Page 80: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5755

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Pertanyaan:

Fadhilatus Syaikh, semoga Allah memberi taufik kepada Anda, apakah hukumnya

jika saya membunuh istri bersama pria yang berzina dengannya, jika saya melihat mereka

semua melakukan perbuatan tersebut?

Jawaban:

Jika engkau membunuhnya karena kecemburuan yang dibenarkan oleh Allah Azza

wa Jalla dan engkau jujur dalam perkara tersebut, maka tidak ada dosa atasmu. Tetapi

disyaratkan setelah memastikan terlebih dahulu. Kalau sekedar tuduhan saja maka hal itu

tidak dibenarkan. Harus memastikan terlebih dahulu dan engkau benar-benar jujur dalam

perkara ini.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5739

BOLEHKAH MENDUKUNG ORANG-ORANG KAFIR DALAM PERTANDINGAN

OLAHRAGA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Page 81: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Pertanyaan:

Termasuk musibah yang menimpa banyak kaum Muslimin di masa ini adalah

menyaksikan pertandingan-pertandingan olahraga, menjadi suporternya, menjadi fansnya,

dan mengharapkan kemenangan untuknya. Dan seringnya yang mereka dukung untuk

adalah orang-orang kafir. Maka apakah perasaan semacam ini termasuk loyalitas kepada

kepada orang-orang kafir dan mencintai mereka?

Asy-Syaikh:

Jika dia senang orang-orang kafir yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam

permainan olahraga, maka hal ini merupakan bentuk kecintaan terhadap mereka. Jika dia

senang mereka yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam permainan olahraga,

maka hal ini merupakan bentuk loyalitas terhadap mereka.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/8156

BOLEHKAH TEPUK TANGAN DI ACARA ATAU PESTA

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

| | |

Penanya:

Apakah hukum tepuk tangan di acara atau pesta?

Asy-Syaikh:

Tepuk tangan di acara atau pesta bukan termasuk kebiasaan Salafus Shalih. Jika

mereka kagum terhadap sesuatu mereka terkadang bertasbih atau terkadang bertakbir.

Hanya saja mereka tidak bertakbir atau bertasbih secara berjamaah. Tetapi masing-masing

Page 82: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

bertakbir atau bertasbih sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suara dan cukup didengar orang

yang di dekatnya saja.

Jadi yang utama adalah tidak melakukan hal ini yaitu tepuk tangan. Hanya saja kita

tidak bisa mengatakan bahwa hal itu haram, karena perkaranya telah tersebar di tengah-

tengah kaum Muslimin di masa ini, dan manusia pun tidak menjadikannya sebagai ibadah.

Oleh karena inilah maka tidak tepat berdalil untuk menyatakan pengaharaman bertepuk

tangan ini dengan firman Allah Ta‟ala tentang orang-orang musyrik:

“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan

bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)

Jadi orang-orang musyrik menjadikan tepuk tangan di Baitullah sebagai ibadah.

Sedangkan orang-orang yang bertepuk tangan ketika mendengar atau melihat sesuatu yang

menakjubkan, mereka tidak memaksudkan hal itu sebagai ibadah. Kesimpulannya bahwa

meninggalkan tepuk tangan lebih utama dan lebih baik, hanya saja hal itu tidak sampai pada

tingkat haram.

Beliau rahimahullah juga pernah ditanya: Bagaimana pendapat Fadhilatus Syaikh

tentang sebagian pengajar yang menolak tepuk tangan di dalam kelas yang dilakukan oleh

murid-murid untuk memberi semangat teman-teman mereka, hal itu dengan alasan bahwa

tepuk tangan bukan termasuk perbuatan kaum Muslimin dan tidak boleh dilakukan?”

Jawaban:

Sesungguhnya pihak yang menganggap bahwa hal ini tidak boleh maka wajib

atasnya untuk menunjukkan dalil sebelum yang lainnya, agar kita bisa mengetahui

hukumnya berdasarkan syariat. Jika dia memiliki dalil yang memuaskan maka

sesungguhnya tidak boleh membiarkan para murid untuk melakukannya. Adapun pihak yang

menganggap bahwa hal itu tidak mengapa dan di sana ada maslahat dalam memberi

Page 83: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

semangat kepada anak-anak dan menggugah mereka, maka dia tidak boleh mengingkari

mereka.

Sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir adalah menjadikan siulan dan

tepuk sebagai pengganti shalat dan doa, dan mereka tidak melakukannya ketika kagum

atau menganggap bagus sesuatu. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa seorang muslim jika

dia bertepuk tangan ketika kagum atau menganggap bagus sesuatu dia dengan perbuatan

tersebut telah tasyabbuh dengan orang-orang kafir.

Allah Azza wa Jalla hanya berfirman:

“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan

bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)

Jadi muka‟ maknanya adalah bersiul, sedangkan tashdiyah adalah tepuk tangan.

Mereka menjadikan hal ini sebagai ibadah.

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142781

BOLEHKAH TEPUK TANGAN UNTUK MEMBERI SEMANGAT ANAK-ANAK

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

| | |

Penanya:

Apakah hukum tepuk tangan untuk memberi semangat kepada anak-anak?

Asy-Syaikh:

Page 84: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Hal itu tidak mengapa, jika seorang anak prestasinya bagus dan bisa menjawab

pertanyaan dengan baik, lalu engkau memberinya tepuk tangan, maka hal itu tidak

mengapa. Karena tepuk tangan ini bukan merupakan ibadah, tetapi hanya bertujuan

memberi semangat. Tepuk tangan yang dilarang adalah yang dijadikan sebagai ibadah.

Yaitu sebagaimana dalam firman Allah Ta‟ala:

“Dan tidaklah shalat mereka (orang-orang musyrik) di Baitullah kecuali bersiul-siul dan

bertepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)

Yaitu bersiul-siul dan bertepuk tangan. Shalat atau ibadah yang mereka lakukan semacam

ini. Ini yang terlarang. Adapun jika ada seorang anak atau anak-anak bisa menjawab

pertanyaan dengan benar dalam sebuah perlombaan, lalu engkau bertepuk tangan untuk

memberi semangat mereka, maka hal itu tidak mengapa, tidak berdosa. Demikian juga jika

engkau memberi mereka tanda bintang, atau tulisan “istimewa” atau “juara” atau

“baarakallahu fiik” maka semua itu tidak mengapa.

Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=142781

CUKUPKAH FOTO ATAU VIDEO SEBAGAI BUKTI PERZINAAN ATAU SELAINNYA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Fadhilatus Syaikh, untuk membuktikan perbuatan kriminal seperti zina ataupun yang

lainnya, apakah boleh menggunakan media-media terkini seperti gambar ataukah tidak

boleh?

Page 85: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Asy-Syaikh:

Tidak, tidak boleh menggunakannya kecuali berupa bukti yang jelas dalam bentuk

persaksian 4 orang pria (yang adil –pent) terhadap perzinaan tersebut atau pelakunya

mengakui sebanyak 4 kali (atau kehamilan pada gadis –pent), adapun bukti-bukti yang

lainnya itu hanya digunakan untuk memvonis kecurigaan saja, pihak yang tertuduh atau

dicurigai berdasarkan hal-hal tersebut berhak mendapatkan ta‟zir (hukuman selain hadd

yang ditentukan oleh pemerintah –pent), adapun hukum hadd (dalam hal ini adalah rajam

atau cambuk bagi pezina –pent) tidak bisa ditegakkan kecuali dengan bukti berupa

pengakuan dari pelaku atau persaksian 4 orang menyatakan bahwa orang tersebut telah

berzina. Adapun berbagai indikasi yang kuat dan perkara-perkara ini hanyalah sebagai

indikasi kuat saja, dia hanya bisa menetapkan kecurigaan saja.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7338

BOLEHKAH ISTRI MEMINTAI CERAI KARENA SUAMINYA MENIKAH LAGI

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Apakah seorang istri berdosa jika dia meminta cerai kepada suami karena suaminya

tersebut menikah lagi?

Asy-Syaikh:

Jika si istri ketika menikah mensyaratkan kepada suaminya agar dia tidak menikah

lagi, lalu suaminya melanggar dan menikah lagi, bagi dia berhak melakukan fasakh

(membatalkan pernikahannya –pent). Adapun jika dia tidak mensyaratkan, maka dia tidak

Page 86: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

berhak. Karena dia meminta cerai hanya gara-gara suaminya menikah lagi, padahal

suaminya tidak menzhaliminya dan bersikap adil. Dalam keadaan seperti ini maka tidak

boleh baginya untuk memintai cerai, karena itu bukan alasan yang dibenarkan, karena Allah

membolehkan bagi suaminya untuk menikah lagi. Jadi engkau sebagai istri jangan

mengingkari suamimu pada sesuatu yang diperbolehkan. Tetapi kalau suamimu melampaui

batas, berbuat zhalim kepadamu dan tidak bersikap adil, maka engkau berhak menuntut

cerai dan engkau tidak bersalah.

Sumber artikel: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/10006

BOLEHKAH WANITA MEMAKAI BAJU LENGAN PENDEK

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

| | |

Penanya:

Fadhilatus Syaikh, apakah memakai baju lengan pendek bagi wanita atau jenis baju

yang dinamakan you can see di hadapan sesama wanita haram hukumnya?

Asy-Syaikh:

Menurut saya, seorang wanita hendaknya senantiasa menjaga rasa malu dan

menjauhi penampilan yang bersifat tabarruj (tidak sopan –pent). Sesungguhnya jika wanita

dibukakan untuk mereka sesuatu yang mubah (diperbolehkan), maka hal itu bisa merembet

kepada yang haram. Jika kita memberikan keringanan bagi wanita untuk menampakkan

lengan bawahnya di hadapan sesama wanita, tentu perlahan akan merembet hingga

menampakkan lengan bagian atas, dan bisa jadi hingga menampakkan pundak atau bahu,

Page 87: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

sehingga terjadilah tabarruj yang tercela. Jadi seorang wanita wajib meneladani para wanita

di masa Ar-Rasul shallallahu alaihi was sallam, yaitu dengan mengenakan baju yang

menutupi hingga bagian telapak tangan dan hingga mata kakinya. Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwa yang seperti ini adalah sifat pakaian para

istri atau wanita di zaman Shahabat, dan cukuplah mereka sebagai panutan dan teladan.

Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/101-102 no. 5654

BOLEHKAH MEMUJI AHLI BID’AH KARENA MEREKA MASIH MEMILIKI KEBAIKAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Apakah hukumnya orang yang memuliakan ahli bid’ah, menghormati mereka dan

memuji mereka dengan menyatakan bahwa mereka masih menerapkan hukum Islam,

padahal orang yang memuji mereka ini mengetahui berbagai kebid’ahan mereka. Dan pada

suatu ketika pada sebuah pelajaran umum dia mengatakan: “Di samping tetap berhati-hati

terhadap sebagian sikap mereka.” Yang dia maksud dengan “mereka” ini adalah para

mubtadi’ itu. Atau dia mengatakan: “Kita harus menutup mata dari kesalahan-kesalahan

yang ada pada mereka.” Dan ungkapan semisalnya yang menunjukkan sikap meremehkan

bid’ah mereka. Perlu juga diketahui bahwa sebagian para mubtadi’yang dimuliakan, dipuji

dan dibela oleh orang yang mengatakan ucapan ini mereka memiliki ucapan yang tertulis

dan terekam yang mana orang yang mengatakan ucapan ini mengetahui bahwa pada

ucapan tersebut terdapat celaan terhadap As-Sunnah, menganggap para Shahabat sebagai

Page 88: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

orang-orang yang jahil, serta menyindir Nabi shallallahu alaihi was sallam. Maka apa hukum

orang yang mengatakan ini? Dan apakah boleh mentahdzir ucapan-ucapannya ini?

Asy-Syaikh:

Tidak boleh memuliakan ahli bid‟ah dan memuji mereka, walaupun pada mereka

terdapat sesuatu dari kebenaran, karena pujian dan sanjungan terhadap mereka akan

menyebabkan tersebarnya bid‟ah mereka, dan akan menjadikan para mubtadi‟ berada

dalam barisan orang-orang yang diteladani dari tokoh-tokoh ummat ini. Salaf telah

memperingatkan kita agar tidak percaya terhadap para mubtadi‟, tidak memuji mereka serta

tidak bermajelis dengan mereka. Dan diantara perkataan mereka adalah:

“Barangsiapa yang duduk bermajelis dengan seorang mubtadi‟ maka dia telah membantu

menghancurkan As-Sunnah.”

Jadi para mubtadi‟ wajib ditahdzir dan wajib menjauhi mereka, walaupun pada

mereka ada sesuatu dari kebenaran. Karena kebanyakan orang-orang sesat pasti memiliki

bagian dari kebenaran walaupun sedikit. Tetapi selama pada mereka terdapat kebid‟ahan,

penyimpangan dan pemikiran-pemikiran yang buruk, maka tidak boleh memuji mereka, tidak

boleh menyanjung mereka, dan tidak boleh menutup mata terhadap kebid‟ahan mereka.

Karena sesungguhnya pada sikap semacam ini terdapat unsur menyebarkan bid‟ah dan

menhancurkan As-Sunnah. Dengan cara semacam inilah para mubtadi‟ menampakkan diri

dan tampil menjadi para pemimpin ummat –semoga Allah tidak mentakdirkan hal itu–

sehingga wajib untuk mentahdzir mereka atau memperingatkan ummat dari bahaya mereka.

Dan para imam Ahlus Sunnah yang pada mereka tidak terdapat bid‟ah pada setiap

masa –walillahilhamdu– telah mencukupi bagi ummat dan merekalah yang pantas menjadi

teladan. Yang wajib adalah mengikuti orang-orang yang istiqamah di atas As-Sunnah yang

pada mereka tidak ada kebid‟ahan. Adapun mubtadi‟ maka wajib untuk mentahdzirnya dan

mencelanya dengan keras agar manusia mewaspadainya dan agar dia sendiri dan para

Page 89: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

pengikutnya berhenti dari kebid‟ahannya. Adapun pernyataan bahwa mereka juga memiliki

kebenaran, maka ini tidak bisa menjadi dalih untuk menjustifikasi atau membenarkan sikap

memuji mereka, karena bahaya yang timbul akibat pujian terhadap mereka lebih besar

dibandingkan maslahat pada kebenaran yang mereka miliki. Dan telah dimaklumi bahwa

diantara kaedah dalam agama adalah “mencegah kerusakan lebih didahulukan

dibandingkan meraih maslahat.”

Dan pada sikap memusuhi mubtadi‟ terdapat upaya melindungi ummat dari

kerusakan yang ini mengalahkan maslahat bagi ummat yang diklaim itu jika benar-benar

ada pada dirinya. Seandainya kita mengambil prinsip ini maka tidak akan ada seorang pun

yang dianggap sesat dan divonis sebagai mubtadi‟, karena tidak ada seorang mubtadi‟ pun

kecuali dia pasti memiliki bagian dari kebenaran dan iltizam, karena seorang mubtadi‟ bukan

orang yang kafir murni dan bukan teranggap orang yang menyelisihi syariat secara

keseluruhan, dia hanyalah seorang mubtadi‟ pada sebagian perkara atau pada kebanyakan

perkara. Apalagi kalau bid‟ahnya itu pada perkara akidah dan manhaj, maka sesungguhnya

perkaranya sangat berbahaya, karena dia dikhawatirkan akan menjadi panutan. Dari pintu

sanalah bid‟ah itu akan menyebar di tengah-tengah ummat.

Jadi orang yang memuji para mubtadi‟ ini dan melemparkan syubhat kepada

manusia bahwa mereka memiliki kebenaran, orang semacam ini ada dua kemungkinan:

1. Bisa jadi dia adalah orang yang jahil, tidak mengetahui bahaya bid‟ah, tidak

mengetahui manhaj Salaf dan sikap mereka terhadap para mubatdi‟. Maka orang yang jahil

semacam ini dia tidak boleh bicara, dan kaum Muslimin tidak boleh mendengar ucapannya.

2. Atau dia orang yang mempunyai kepentingan terselubung. Jadi sebenarnya dia

mengetahui bahaya bid‟ah dan juga mengetahui bahaya para mubtadi‟. Tetapi dia orang

yang memiliki kepentingan tersembunyi yang ingin menyebarkan bid‟ah.

Page 90: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

Yang jelas ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Ini adalah perkara yang tidak boleh.

Tidak boleh meremehkan bahaya bid‟ah dan para pengusungnya bagaimanapun

keadaannya.

Sumber audio: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=130328

BOLEHKAH MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID’AH YANG AHLI HADITS DAN FIKIH

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika seorang penuntut ilmu

mengatakan sebuah kebid’ahan dan dia menyerukannya, padahal dia seorang ahli fikih dan

hadits, maka apakah perkataan bid’ahnya berkonskwensi menjatuhkan ilmu dan haditsnya

serta tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah sama sekali?

Asy-Syaikh:

Ya, dia tidak bisa dipercaya lagi. Jika dia seorang mubtadi‟ maka dia tidak bisa

dipercaya lagi, demikian juga ilmunya. Juga tidak boleh belajar kepadanya, karena jika dia

diambil ilmunya maka sang murid akan terpengaruh dengan gurunya, terpengaruh dengan

pengajarnya. Yang wajib adalah dengan menjauh dari ahli bid‟ah. Para Salaf dahulu

melarang dari duduk bermajelis dengan para mubtadi‟, mengunjugi mereka, serta pergi

kepada mereka. Karena khawatir kejahatan mereka akan merembet kepada siapa saja yang

bermajelis dan bergaul dengan mereka.

Page 91: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH MENGAMBIL ILMU DARI AHLI BID’AH YANG AHLI HADITS DAN FIKIH

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

| | |

Penanya:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika seorang penuntut ilmu

mengatakan sebuah kebid’ahan dan dia menyerukannya, padahal dia seorang ahli fikih dan

hadits, maka apakah perkataan bid’ahnya berkonskwensi menjatuhkan ilmu dan haditsnya

serta tidak boleh menjadikannya sebagai hujjah sama sekali?

Asy-Syaikh:

Ya, dia tidak bisa dipercaya lagi. Jika dia seorang mubtadi‟ maka dia tidak bisa

dipercaya lagi, demikian juga ilmunya. Juga tidak boleh belajar kepadanya, karena jika dia

diambil ilmunya maka sang murid akan terpengaruh dengan gurunya, terpengaruh dengan

pengajarnya. Yang wajib adalah dengan menjauh dari ahli bid‟ah. Para Salaf dahulu

melarang dari duduk bermajelis dengan para mubtadi‟, mengunjugi mereka, serta pergi

kepada mereka. Karena khawatir kejahatan mereka akan merembet kepada siapa saja yang

bermajelis dan bergaul dengan mereka.

Page 92: 25 fatwa ulama ahlus sunnah

BOLEHKAH MENGGUNAKAN SAJADAH BERGAMBAR KA’BAH

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

| | |

Penanya:

Sebagian manusia mengatakan bahwa tidak boleh duduk di sajadah, karena

padanya terdapat gambar Ka’bah. Apakah pernyataan tersebut benar?

Asy-Syaikh:

Hal ini tidak masalah, jadi tidak mengapa bagimu untuk meletakkan sajadah dan

duduk di atasnya, walaupun padanya terdapat gambar Ka‟bah atau gambar makam Nabi

shallallahu alaihi was sallam. Karena orang yang duduk di atasnya tidak bermaksud untuk

menghinakan Ka‟bah atau makam Nabi shallallahu alaihi was sallam. Dan yang terdapat

pada sajadah tersebut hakekatnya bukanlah Ka‟bah atau makam Nabi shallallahu alaihi was

sallam yang sesungguhnya.

Sumber artikel: Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/105 no. 5662

Alihbahasa: Abu Almass

sumber artikel: forumsalafy.net


Top Related