8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sedimen Dasar Laut Menurut asal usul sedimen dasar laut dapat digolongkan sebagai
(Wibisono, 2005):
(1) Lithogeneous : Jenis sedimen ini berasal dari pelapukan batuan dari
daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan vulkanik.
Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.
(2) Biogenous : sedimen ini berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri
dari remah-remah tulang, gigi geligi dan cangkang-cangkang tanaman
maupun hewan mikro.
(3) Hydrogenous : sedimen ini berasal dari komponen kimia yang larut dalam
air laut dengan konsentrasi yang kelewat jenuh sehingga menjadi
pengendapan (deposisi) di dasar laut.
(4) Cosmogenous : sedimen ini berasal dari luar angkasa di mana partikel dari
benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan mengandung banyak
unsur besi sehingga mempunyai respons magnetik dan berukuran antara
10 -640 m.
Klasifikasi sedimen dapat dilakukan berdasarkan besaran butiran seperti pada
Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran butiran menurut skala Wentworth (Wibisono, 2005)
Fraksi Sedimen Partikel Ukuran Butir (mm)
Bongkahan >256 Krakal 64-256 Kerikil 4-64
Batu Butiran 2-4
Pasir sangat kasar 1 - 2 Pasir kasar 0,5 - 1 Pasir sedang 0,25 - 0,5 Pasir halus 0,125 - 0,25
Pasir
Pasir sangat halus 0,063 - 0,125 Lumpur kasar 0,031-0,063 Lumpur sedang 0,016-0,031 Lumpur halus 0,008-0,016 Lumpur
Lumpur sangat halus 0,004-0,008 Lempung kasar 0,002-0,004 Lempung sedang 0,001-0,002 Lempung halus 0,0004-0,001
Lempung Lempung sangat halus 0,0002-0,0004
9
Klasifikasi campuran sedimen dapat dilakukan berdasarkan komposisi
partikel di dalam sedimen itu sendiri. Komposisi partikel sedimen dapat
dipetakan didalam tetrahedron yang di gambarkan dalam bentuk segitiga
(Gambar 2) untuk mendapatkan campuran yang pas dari komposisi yang ada. 100 % SAND
SAND
75% 25%
SILTY CLAYEY 50 % SAND SAND 50 %
MUDDY SANDY CLAYED SANDY SILT SANDY CLAY 25 % 75 % SILT CLAYEY SILTY CLAY SILT CLAY 100 % 75 % 50 % 25 % 100 % SILT CLAY Gambar 2. Aplikasi tetrahedron untuk klasifkasi tekstur (Krumbein and Sloss,
1951, dimodifikasi)
2.2 Perikanan Demersal Secara Umum Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar
atau dekat perairan dengan ciri utama adalah : memiliki aktifitas yang relatif
rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak
terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan
ikan pelagis (Aoyama, 1973 dalam Badrudin et al, 1998). Akibat aktifitas yang
rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan ikan demersal
terhadap tekanan penangkapan relatif rendah sehingga apabila intensitas
penangkapan ditingkatkan dua kali upamanya, maka mortalitas penangkapan
(fishing mortality) akan meningkat dua kali pula. Salah satu contoh ikan cod,
ikan haddock di laut utara Norway mengalami penurunan jumlah (dalam kondisi
kritis) akibat bertambahnya armada kapal (Wigan, 1998).
10
Ikan demersal dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (1) round fish misalnya
cod, haddock, hake dan (2) flat fish yang beradaptasi lebih luas dengan
kehidupannya di atas dasar laut, misalnya plaice, sole dan halibut. Ikan yang
hidup berdekatan dengan dasar akan beradaptasi dengan baik terhadap
lingkungannya, memiliki modifikasi struktur dimana badan mereka terpipihkan
dan kedua matanya bergeser ke satu sisi dari kepalanya. Ikan plaice
(Pleuronectes platessa) adalah contoh ikan yang telah mengalami modifikasi
dalam beberapa hal seperti cara berbaring di atas dasar dengan sisi kanannya di
sebelah atas, warnanya yang menyesuaikan sehingga sama persis dengan
lingkungan, perilaku gerakan sirip-siripnya dan sebagainya. Contoh lain adalah
ikan pari dimana pemipihan terjadi pada arah yang berlawanan, dan badannya
lebih simetris.
Ikan-ikan utama yang termasuk ke dalam kelompok ikan demersal dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil. Dua
kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Namun dilihat dari nilai
ekonomisnya, ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu ikan kakap
merah, kerapu, pari, bawal putih, bawal hitam.
Tabel 2. Ikan-ikan utama yang termasuk kelompok ikan demersal
No. Sub kelompok Nama Indonesia Nama Inggris Nama Ilmiah Barramundi, Lutjanus malabaricus
L.. sanguineus Kakap merah
Giant sea perch L.. johni
Kerapu Groupers Epinephelus spp. Manyung Sea catfishes Arius spp.
Polynemus spp. Senangin
Thread fins Eleutheroneme tetradactylum
Pari Rays Trigonidae Remang Murrays Muraenesex spp. Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus Bawal hitam Black pomfret Formio niger Tiga waja Drums Scianidae Ketang-ketang Spotted Sickelfish Drepane punctata Gulamah Croackers Scianidae
1 Demersal Besar
Layur Hairtails, cutlass fishes Trichiurus spp. Pepetek Pony fishes, slip mounts Leiognathidae Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus Beloso Lizard fishes Saurida spp. Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp. Gerot-gerot Grunters, sweetlips Pomadasys spp.
2 Demersal Kecil
Sebelah Indian halibuts Psettodidae
Sumber : Boer, et al (2001)
11
Produksi ikan di Indonesia tahun 2002 menunjukkan hasil yang tinggi
dimana Ikan pelagis kecil 1.546,33 x 103 ton (46%), diikuti ikan demersal
1.085,36 x 103,ton (32%) dan ikan pelagis besar 737,18 x 103 ton (22%) Gambar
3.
Gambar 3. Produksi sumberdaya ikan demersal di perairan Indonesia
Daerah penangkapan ikan demersal di Indonesia cukup luas, antara lain
meliputi hampir seluruh perairan Paparan Sunda yaitu Selat Malaka, Laut Cina
Selatan dan Laut Jawa. Juga di Paparan Sahul yang mencakup Laut Arafura
yaitu sekitar Dolak, Tembaga Pura, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Selain itu di
perairan pantai barat Sumatera mulai dari Aceh Barat, pantai selatan Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, pantai timur Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur. Kesemuanya merupakan daerah penangkapan yang
mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa hampir semua perairan sampai dengan kedalaman 100 meter
dengan permukaan dasar relatif rata, jenis substrat lumpur dan lumpur berpasir
serta sedikit berkarang merupakan daerah penyebaran yang potensi untuk
penangkapan ikan demersal, namun menurut Ridho et al (2002) informasi
mengenai distribusi ikan demersal yang dikumpulkan dan dianalisis baru terbatas
pada sebagian perairan Paparan Sunda, yaitu Laut Jawa dan perairan Laut Cina
Selatan.
Boer et al (2001) telah melakukan pendataan pada 8 wilayah
pengelolaan untuk mengetahui potensi, pemanfaatan dan peluang
pengembangan sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. Potensi dan
pemanfaatan sumberdaya ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Produksi ikan x 103 ton
737.18
1546.33
1085.36
Ikan pelagis besar Ikan pelagis kecil Ikan demersal
12
Tabel 3. Potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal, tahun 2000
Sumber : Boer, et al. 2001
Ridho et al (2001) telah melakukan penelitian mengenai distribusi
Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Pantai Bengkulu dengan
metode swept area menunjukkan bahwa total biomassa ikan demersal di setiap
stasiun berkisar 50,8 – 2.336,8 kg/km2. Rhido et al (2002) juga melakukan
penelitian dengan judul Distribusi Biomassa Sumberdaya Ikan Demersal di
perairan Laut Cina Selatan, dengan metode swept area juga menunjukkan
biomassa ikan demersal sebesar 214,86 – 1009,46 kg/km2 pada 19 stasiun.
2.3 Perikanan Demersal di Laut Jawa dan Sekitarnya Kegiatan penelitian sumberdaya ikan demersal secara teratur di perairan
Laut Jawa telah dimulai sejak tahun 1974 melalui kerjasama Indonesia-Jerman.
Selama dasa warsa terakhir telah berkembang alat tangkap cantrang yang
digunakan secara luas untuk menangkap ikan demersal, terutama di perairan
utara Pulau Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sadhotomo (1990) telah melakukan penelitian di Laut Jawa dari perairan
sebelah utara Madura hingga Cirebon diperoleh hasil bahwa ada dua tipe
komunitas ikan demersal yaitu di sebelah Barat Tanjung Mandalika dengan
dominasi subtrat lumpur banyak tertangkap Leiognathus splendens, Sciaenidae,
Lactarius lactarius dan Anadontostoma. Di sebelah timur Tanjung Mandalika
dengan dominansi subtrat pasir atau pasir berkarang tertangkap jenis Pentaprion
longimanus, Pomadasysdae, Synodontidae dan Nemipteridae.
No. Wilayah Pengelolaan
Perikanan
Luas
sapuan
(103 km)
Densitas
(ton/km2)
Potensi
(103
ton/th)
Produksi
(103 ton)
Tingkat
Pemanfaatan
(%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Selat Malaka
Laut Cina Selatan
Laut Jawa
Selat Makasar dan Laut Flores
Laut Banda
Laut Seram sampai T. Tomini
L.Sulawesi dan S. Pasifik
Laut Arafura
Samudera Hindia
80,00
558,00
962,00
109,00
9,00
81,00
53,00
329,00
115,00
2,06
2,35
2,20
1,60
2,07
2,07
2,07
1,50
2,35
82,40
655,65
431,20
87,20
9,32
83,84
54,86
246,75
135,13
97,28
82,46
173,27
101,85
22,12
12,25
21,67
20,54
89,17
118,06
12,58
40,18
116,80
237,35
14,61
39,50
8,33
65,99
Total 1.726,00 2,07 1.786,35 620,61 34,74
13
Boer et al (2001) menyatakan bahwa potensi ikan demersal di wilayah
pengelolaan perikanan (WPP-3) yaitu perairan Laut Jawa rata-rata sebesar
178,48 x 103 ton/tahun dari tahun 1993 hingga 2000. Sumiono et al (2002)
menyatakan bahwa hasil analisis penangkapan ikan demersal melelui survei
trawl dengan kapal KM Mutiara IV pada bulan Juni 2000 di Perairan antara
Semarang – Pekalongan dan Rembang – Lasem pada kedalaman 30 meter
diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal sebesar 43,3 kg/jam dengan
kepadatan stok sebesar 0,8 ton/km2.
2.4 Habitat dan Penyebaran Ikan Demersal Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu
sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun
makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik
menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain.
Laevastu dan Hela (1981) menggambarkan bahwa mikrofauna sebagai awal
terbentuknya mata rantai makan bagi biota-biota laut lainnya. Kesuburan suatu
perairan juga ditentukan oleh mikrofauna yang berada di dalam dasar perairan.
Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung
dengan substrat dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak
mengambil makanan di substrat dasar perairan. Makanan ikan demersal berupa
bentos, moluska maupun biota kecil lainnya.
Longhurst and Pauly (1987) menyatakan bahwa ada dua grup dari
scorpaeniformes melimpah di daerah tropis, biasanya pada substrat dasar
perairan yang berpasir. Sciaenidae menyukai daerah substrat yang berlumpur
dan ikan snapper menyukai daerah yang berbatu-batu.
Hasil penelitian di perairan Peninsular Malaysia tahun 2001 (Yusof, 2002)
pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang
dari 80 m menunjukkan hasil tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan
demersal 95,40% dari seluruh hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan
tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam. Pada kedalaman perairan antara 5 -18 m
tertangkap 62 – 89 spesies dan pada kedalaman perairan lebih dari 18 m
menunjukkan jumlah spesies yang tertangkap lebih banyak yaitu 154 – 191
spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%),
Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%) dan Synodontidae
(3,18%).
14
Labropoulou dan Papaconstantinou (2004) menyatakan bahwa hasil
analisis dari 501 hasil tangkapan trawl dasar di Perairan Laut Aegean Utara dan
Laut Thrasia (Mediterranian) menunjukkan bahwa keanekaragaman dari ikan
demersal mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman perairan,
dimana hubungan antara hasil tangkapan dan kedalaman memiliki koefisien
regresi 0,89. Kelimpahan terbesar pada kedalaman 25 – 32 m untuk perairan
Laut Aegean Utara dan 16 – 28 m untuk perairan Laut Thrasia.
Hasil tangkapan nelayan trawl komersial Soviet pada musim panas
menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan demersal pada perairan dangkal (10 –
50 m) lebih besar dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam (50 – 100 m)
yaitu 56,8 % dari dan 32,1 % seluruh hasil tangkapan. Pada musim dingin
mengalami perubahan yaitu pada kedalaman perairan dangkal (10 - 50 m) 53,7%
dari total tangkapan dan pada kedalaman perairan 50 – 100 m adalah 54,0% dari
total hasil tangkapan. Ikan yang mendominasi adalah berasal dari famili
Sciaenidae ( WorldFish, 2006).
WorldFish (2006) juga menyatakan hasil dugaan stok ikan demersal di
Perairan Mozambik secara hidroakustik sebesar 350.000 – 400.000 ton lebih
tinggi dibandingkan pendugaan stok dengan alat trawl yang hanya 100.000 ton.
Hal ini menunjukkan bahwa koefisien efisiensi trawl dasar hanya 0,3.
2.5 Metode Hidroakustik Prinsip dari pengoperasian alat hidroakustik ditunjukkan pada Gambar 4.
Unit pengendali mengirimkan pulsa listrik dengan frekuensi tertentu dan
mengatur unit transmisi yang selanjutnya akan memodulasi pulsa tersebut dan
meneruskan ke transducer. Selanjutnya, transducer mengubah pulsa listrik
menjadi energi akustik yang berupa sinyal bunyi dan dipancarkan ke dalam
kolom air. Gelombang akustik tersebut akan merambat di dalam kolom air, dan
pada saat membentur sebuah sasaran target (misal ikan, plankton atau dasar
perairan) maka gelombang akustik akan dipantulkan dalam bentuk gema (echo),
kemudian diterima oleh transducer yang sama untuk kemudian mengubahnya
kembali menjadi energi listrik dan diteruskan ke unit penerima. Unit
penerima/penguat setelah menerima dan memperkuat maka pulsa listrik akan
diteruskan ke unit peraga. Unit peraga dapat menampilkan echogram.
Hasil deteksi hidroakustik berupa data echogram seperti Gambar 5 di
bawah ini dan dapat di interpretasikan berdasarkan intensitas echo, misalnya
15
sebagai dasar perairan yang berupa garis hitam (1), gerombolan ikan berupa
jejak yang berwarna coklat (2) , plankton yang berupa jejak berwarna hijau (3).
Keras atau lunaknya dasar perairan juga akan memberikan pengaruh
terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Echogram akan
menggambarkan bentuk dasar yang berbeda sesuai keras, kasarnya tipe
substrat (Gambar 6).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Geologi
Kelautan Bandung dari tahun 1999 – 1994 di sepanjang perairan Laut Jawa dari
bagian barat hingga bagian timur dengan metode pantul dangkal,
menginformasikan bahwa substrat dasar perairan sangat beragam diantaranya
lumpur, lanun, lanau pasiran, pasir, lempung, lumpur pasiran, pasir lumpuran,
lumpur kerikilan dan lain-lain. Beragamnya substrat ini dipengaruhi oleh daratan
(PPGL 1991). Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
kedalaman dan substrat dasar perairan berupa peralatan sistem akustik yaitu
peralatan yang menggunakan sinyal suara dan hasil pemantulan diamati untuk
memperoleh informasi lebih lanjut. Contoh alat yang digunakan dalam penelitian
di perairan Laut Jawa adalah Echosounder 200 KHz (Simrad EA 300 P)
Echosounder 3,5/12 KHz (Raytheon), Furuno FE 6200 (Side Scan Sonar),
maupun peralatan seismik pantul dangkal.
Gambar 4. Prinsip pengoperasian alat akustik dan pengintegrasian echo sumber : dimodifikasi dari http://www. frs-
scbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx
16
Gambar 5. Echogram hasil deteksi alat hiroakustik sumber : http://www. frs-cbtland.gov.uk/frs.web/delivery/display_standalone,aspx
Gambar 6. Proses deteksi tipe dasar perairan yang berbeda Sumber : http://www.marine.questertangent.com/m_rd_oasc
Echosounder frekuensi 200 KHz SIMRAD EA 300 P merupakan alat bantu
untuk mendapatkan informasi kedalaman perairan, sekaligus berfungsi sebagai
koreksi geometris bagi hasil rekaman seismik. Alat ini biasanya dipasang di
kedalaman dua meter dari permukaan dan memiliki tingkat ketelitian pembacaan
sampai 10 cm. Hasil dari alat ini dapat dicetak pada kertas pencatat maupun
disimpan dalam disket.
1
2
3
17
Furuno Model FE 680 merupakan alat yang dilengkapi dengan dua macam
transducer yaitu transducer keramik 200 KHz dengan lebar beam 12 derajat dan
transducer keramik 50 KHz dengan lebar beam 21-42 derajat, umumnya untuk
operasi di perairan dangkal seperti Laut Jawa digunakan transducer dengan
frekuensi 200 KHz untuk mendapatkan ketelitian yang optimum. Alat ini
memberikan informasi mengenai kedalaman perairan dengan memancarkan
daya sebesar 500 watt. Data dicetak pada kertas pencatat hingga kedalam 80
meter (Silitonga, et al 1990).
Alat seismik pantul dangkal dapat merekam hingga kedalaman 100 meter
dari dasar perairan dengan cara memancarkan energi gelombang akustik
tersebut yang terjadi pada bidang batas (reflector) antara dua lapisan sedimen
yang memiliki karakteristik yang berbeda, dan mencerminkan pola-pola reflector
tertentu. Pola-pola ini memberikan informasi tentang sebaran seismik fasies,
struktur geologi, rembesan gas, dan sebagainya.
Peralatan seismik pantul dangkal dioperasikan dengan dua buah sumber
seismic spark array EG dan G/267 dengan elektroda, uniboom dan air gun.
Spark array dibentangkan sepanjang 25 meter dibelakang buritan kapal dan
berjarak 4 meter terhadap streamer menggunakan energi 600 – 800 Joule. Air
gun menggunakan tekanan 1500 - 1.750 PSI, dengan sistem perekaman
dilakukan secara analog. Klasifikasi tipe substrat dasar perairan biasanya dianalisis dari echogram
bila menggunakan peralatan yang masih analog, namun dengan menggunakan
alat yang lebih canggih yang bersifat digital, klasifikasi dari tipe substrat dasar
perairan dapat menggunakan program pengolahan data yang dapat
menunjukkan kedalaman dan dengan signal strength relative dari dasar perairan
yang dapat diindikasikan dengan perbedaan warna.
2.6 Deteksi Ikan dengan Metode Hidroakustik Penelitian akustik umumnya digunakan untuk melakukan eksplorasi ikan
pelagis seperti yang dilakukan oleh Nugroho (2003) di Perairan Laut Jawa
dengan kedalaman dua sampai lima meter diatas dasar perairan pada bulan
Oktober 1993, Desember 1993 dan Februari 1994 dengan menggunakan
peralatan hidroakustik dual beam frekuensi 120 KHz menunjukkan kepadatan
relatif berada pada batas 100 –150 mv2. Melihat penyebaran pada malam
hari terlihat ikan cenderung terpencar pada berbagai lapisan perairan kedalaman
18
dari 20 – 60 meter, dengan peluang keberadaan siang dan malam relatif sama
(Nugroho, 2003).
Penelitian hidroakustik juga pernah dilakukan di perairan Selat Sunda
menggunakan Dual Beam sistem frekuensi 38 KHz (Pujiyati, 1996) maupun split
beam system EY-500 dan EK-500 (Pasaribu et al, 2000), dari dua penelitian ini
menunjukkan bahwa ikan umumnya berukuran kecil dan penyebarannya
berubah pada musim yang berbeda.
Penelitian akustik untuk eksplorasi ikan demersal pernah dilakukan oleh
Dickie et al (1984) untuk melihat hasil deteksi ikan demersal dengan metode
akustik dual beam system dengan transduser frekuensi 50 KHz baik di
laboratorium maupun di lapangan dengan menggunakan trawl, menunjukkan
hasil yang signifikan untuk target yang sama, baik dalam perkiraan rata panjang
ikan, rata densitas dan rata-rata dalam jumlah ikan untuk setiap penarikan
(towing).
Pengamatan Engas and Ona (1990) untuk melihat distribusi ikan cod,
haddock dan saithe dengan menggunakan Simrad FS 3300 menunjukkan bahwa
penyebaran ikan-ikan demersal ini baik siang maupun malam tidak berbeda
nyata, dimana ikan-ikan ini banyak terdapat di kolom perairan bawah dekat dasar
perairan dan pada lapisan lebih atas jumlahnya akan lebih sedikit.
Manik (2006) melakukan penelitian untuk mengobservasi habitat ikan
demersal dengan menggunakan echosounder frekuensi 38 kHz di perairan
selatan Jawa yang menunjukkan nilai scattering volume (SV) berkisar -60,00
sampai -30,00 dB.
Eksplorasi ikan demersal dengan menggunakan metode hidroakustik
dapat dikombinasikan dengan alat tangkap trawl. Siwabessy (2001) telah
melakukan penelitian pada beberapa lokasi penelitian yang berbeda dan
menunjukkan bahwa estimasi ikan demersal dengan menggunakan hidroakustik
pada frekuensi 38 KHz signifikan dengan hasil tangkapan trawl. Data hasil
tangkapan yang diperoleh dari pengoperasian alat tangkap trawl ini sebagai data
verifikasi bagi data hidroakustik. Kombinasi dari dua alat ini pada kolum perairan
dapat dibagi menjadi (1) hanya peralatan hidroakustik (2) peralatan hidroakustik
dan trawl untuk deteksi ikan pelagis (3) peralatan hidroakustik dan trawl untuk
ikan demersal (4) hanya peralatan trawl (5) tidak dilakukan sampling. Gambar 7
menggambarkan kombinasi pengoperasional trawl dan hidroakustik.
19
.
Gambar 7. Pengambilan data dengan menggunakan kombinasi peralatan hidroakustik dan trawl. Sumber : http:\cg.ensmp.fr/˜ bez/catefa/indext
20
2.7 Kondisi Umum di Daerah Penelitian
Posisi geografis Indonesia sangat unik, berada di daerah tropis dalam
posisi yang menyilang antara dua benua yaitu : Asia dan Australia dan dua
Samudera yaitu : Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Posisi di titik silang
ini menyebabkan kondisi laut di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi yang berkembang di kedua benua dan di kedua samudera tersebut.
Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson
(Monsoon). Angin muson bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu
periode, sedangkan pada satu periode lainnya angin bertiup secara mantap pula
dengan arah yang berlawanan. Nontji (1993) menyatakan bahwa di Indonesia
terbagi menjadi empat musim yaitu :
• Angin Musim Barat terjadi pada Bulan Desember – Pebruari dengan angin
bertiup dari utara melintasi katulistiwa. Di Indonesia musim hujan.
• Musim Peralihan I terjadi bulan Maret - Mei. Angin lemah dan hujan menurun
di Indonesia
• Angin Musim Timur terjadi pada Bulan Juni – Agustus. Angin dari Selatan
dan Indonesia musim kemarau.
• Peralihan II terjadi musim September – Nopember.
Sadhotomo (2006) menjelaskan bahwa pada bulan Desember hingga
Februari matahari berada di belahan bumi selatan (BBS), tekanan udara di
benua Australia rendah dan sebaliknya di benua Asia tekanan udara tinggi
sehingga angin bertiup dari belahan bumi utara (BBU) menuju belahan bumi
selatan. Akibat gaya koriolis di BBU angin dibelokkan ke kanan sehingga di
wilayah Indonesia bagian utara ekuator angin ini bergerak dari timur laut.
Setelah melewati ekuator di BBS, angin bergerak dari barat laut (muson barat
laut) sehingga di BBS sering disebut sebagai musim barat. Sebaliknya terjadi
pada bulan Juni-September, tekanan udara di Benua Australia tinggi dan di
Benua Asia rendah sehinga angin tenggara (muson tenggara) berhembus dari
BBS melawati Laut Jawa yang sering disebut sebagai musim timur. Konsekuensi
dari pertukaran muson secara jelas mempengaruhi periode pertukaran
parameter-parameter atmosferik di Laut Jawa. Selama muson barat laut
(Nopember-Februari) angin umumnya datang dari barat laut di Laut Jawa
menuju tenggara dengan udara yang lembab dari Lautan Hindia.
21
Melihat frekuensi kejadian dan arahnya, komponen angin timur dan
tenggara selama muson tenggara lebih besar dari barat dan barat laut selama
musim yang berlawanan. Selama Musim Peralihan (Maret-Mei dan Oktober-
Nopember), arah angin kelihatan lebih bervariasi sebagai indikasi dari angin lokal
yang berhembus dari dan menuju daratan. Kelihatannya angin lokal terjadi
karena perbedaan tekanan udara di atas laut dan darat, kadang-kadang lebih
penting peranannya dari angin muson. Seperti penyataan Durand dan Petit
(1995), angin daratan dapat memegang peranan penting sebagai pengatur arus
selama musim pancaroba dan muson barat laut (Gambar 8).
Gambar 8. Arah angin muson selama Januari dan Juli (Fieux, 1987 in Sadhotomo,2006)
Pergerakan arus juga diatur oleh angin muson, umumnya angin yang
menggerakkan arus menunjukkan pergerakan permukaan massa air saja. Hal ini
digambarkan oleh Wyrtki (1961). Bulan Januari yang mewakili Musim Barat,
bulan April yang mewakili Musim Peralihan I, bulan Juli mewakili Musim Timur
dan bulan Oktober yang mewakili Musim Peralihan II (Gambar 9 ).
JANUARI JULI
22
[F eb ruary ]
5 °
0 °
-5 °
-1 0 °
9 5° 1 00 ° 1 05 ° 1 10 ° 1 15 ° 120 ° 1 25 ° 1 30 ° 1 35 ° 1 40 °
95° 100° 105° 110° 115° 120° 125° 130° 135° 140°
-10°
-5°
0°
5°
[ A p r i l ]
9 5 ° 1 0 0 ° 1 0 5 ° 1 1 0 ° 1 1 5 ° 1 2 0 ° 1 2 5 ° 1 3 0 ° 1 3 5 ° 1 4 0 °
-1 0 °
-5 °
0 °
5 °
[ J u n e ]
[October]
9 5° 1 00 ° 1 05 ° 1 10 ° 1 15 ° 1 20 ° 1 25 ° 1 30 ° 1 35 ° 1 40 °
-1 0 °
-5 °
0 °
5 °
C
L e g e n d :c = c o n v e rg e n t a re aC u r re n t v e lo c ity :
1 2 c m /s e c2 5 c m /s e c 3 8 c m /s e c
5 0 c m /s e c 7 5 c m /s e c> 1 0 0 c m /s e c
Gambar 9 . Pergerakan arus permukaan di perairan Indonesia (Wyrtki, 1961)
23
Pengamatan arus di perairan Laut Jawa digambarkan sebagai berikut:
bulan-bulan Desember, Januari dan Pebruari adalah musim dingin di belahan
bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagan selatan. Pada saat
itulah terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah
di daratan Australia. Pada bulan-bulan ini arus musim bergerak dari Laut Cina
Selatan menuju Laut Jawa dan Laut Flores. Pada musim ini terjadi banyak
hujan di berbagai wilayah Indonesia bagian barat, sehingga terjadi banyak
pengenceran salinitas yang diakibatkan oleh banyaknya hujan dan sungai-sungai
yang bermuara di Laut Cina dan Laut Jawa. Pada bulan Juni, Juli dan Agustus
terjadi arus yang sebaliknya, dimana arus yang berasal dari Laut Flores masuk
ke perairan laut Jawa, arus ini membawa massa air yang bersalinitas tinggi. Air
yang bersalinitas tinggi ini mendorong air yang bersalinitas rendah kembali ke
barat. Akibatnya isohalin 33%o menyusup masuk hingga ke tengah Laut Jawa
yaitu di utara Semarang.
Adapun pergerakan arus di Selat Makasar menunjukkan sepanjang tahun
arus bergerak dari Laut Sulawesi masuk ke Selat Makasar. Meski pada Musim
Timur arus dari Laut Flores masuk ke selat namun tidak signifikan pengaruhnya.
Purwandani (2001) berdasarkan data salinitas dari JODC (Japan
Oceanographic Data Center) dan data Suhu dari NODC (National Oceanographic
Data Center) menggambarkan pergerakan arus, dan penyebaran suhu dan
salinitas permukaan di daerah penelitian. Pada Gambar 9 ditunjukkan kondisi
arus dan suhu perairan Laut Jawa. Pada Musim Barat (Januari), massa air
yang berasal dari Laut Cina Selatan memasuki Laut Jawa dan bergerak ke arah
timur dengan kecepatan arus cukup besar berkisar hingga 1- 4 m/dt dan suhu
bervariasi berkisar 27,00 -29,00 oC. Terlihat massa air dengan suhu dingin
(warna biru) mendorong massa air yang hangat di tengah perairan (utara
Semarang). Suhu Musim Peralihan I (April), terjadi perubahan dimana arus
bergerak tidak menentu arah, namun demikian kondisi perairan lebih tenang
dengan melihat kecepatan arus yang lebih kecil dibandingkan Musim barat yaitu
dengan kecepatan arus berkisar 1,00-2,00 m/dt dan suhu pada umumnya mulai
lebih hangat yaitu berkisar 29,00-30,00 oC, namun di selatan Kalimantan hingga
ke tengah perairan memiliki suhu lebih dingin yaitu berkisar 27,00 oC. Musim
Timur (Juli) terlihat massa air dari Laut Flores bergerak memasuki Laut Jawa.
Pada musim ini kecepatan arus mulai meningkat, arus bergerak ke barat dengan
24
kecepatan mencapai 5,00 m/dt. Massa air ini lebih dingin dengan suhu berkisar
28,00-29,00 oC, dan massa air dingin ini akan mendorong air hangat ke barat
menyusuri Pantai Kalimantan.
Musim Peralihan II (Oktober), arus bergerak tidak menentu dengan
kecepatan arus yang lebih kecil dibandingkan Musim Timur. Suhu perairan
berkisar 28,00-29,00 oC, dimana di selatan Kalimantan lebih dingin dibandingkan
di utara Pantai Jawa (Gambar 10).
Gambar 11 menggambarkan sebaran suhu dan arus di Selat Makasar.
Pada umumnya sepanjang tahun di Selat Makasar, arus bergerak menuju ke
arah bawah (selatan). Namun pada musim-musim tertentu terlihat massa air dari
Laut Jawa maupun Laut Flores memasuki selat dan bercampur di tengah selat.
Bulan Januari penyebaran arus dan suhu di perairan Selat Makasar tidak
berbeda dengan kondisi di perairan Laut Jawa, dimana arus bergerak memasuki
Selat Makasar dan bertemu dengan massa air dari Laut Sulawesi, dengan
kecepatan arus mencapai 4,00 m/dt. Suhu pada bagian atas dan bawah selat
lebih dingin dibandingan di tengah selat, suhu berkisar dari 28,00-29,00 oC.
Pada bulan April arus bergerak tidak menentu namun didominasi oleh
massa air dari Laut Sulawesi, dimana kecepatan yang lebih rendah dibandingkan
bulan Januari yaitu berkisar 1-3 m/dt, dan suhu lebih hangat berkisar 28,50 –
30,00 oC menyebar di seluruh perairan. Suhu di tengah-tengah selat lebih
hangat hal ini disebabkan oleh masuknya air sungai yang bermuara di pantai
Kalimantan. Saat bulan Juli massa air dari Laut Sulawesi turun ke bawah
bercampur dengan massa air dari Laut Flores bergerak menuju barat. Massa air
dari Laut Sulawesi lebih hangat dibandingkan dari Laut Flores. Kecepatan arus
meningkat dan suhu di bagian bawah selat mencapai hingga 26,00 oC. Arus
pada bulan Oktober berubah arah tidak menentu dengan kecepatan 2,00 - 4,00
m/dt dan suhu kembali menghangat hingga 30 oC meskipun masih dapat ditemui
suhu rendah 26,00 oC di kaki Pulau Sulawesi.
25
Gambar 10. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Laut Jawa (Purwandani, 2001)
26
Gambar 11. Arus dan suhu permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar (Purwandani, 2001)
27
Gambar 12 dan 13 adalah gambaran sebaran salinitas di Perairan Jawa
dan Selat Makasar. Sebaran salinitas di perairan Laut Jawa pada Musim Barat
terlihat berkisar 31,00 – 33,00 psu, dimana massa air dari Laut Cina Selatan
yang memiliki salinitas tinggi terlihat memasuki perairan Laut Jawa, di tengah
perairan Laut Jawa terlihat massa air lebih encer, hal ini diakibatkan oleh
pengenceran air hujan dan sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa.
Saat Musim peralihan I, massa air dari Laut Cina Selatan semakin jauh
memasuki perairan Laut Jawa hingga di atas kota Semarang, namun secara
umum sebaran salinitas lebih encer semakin terdorong ke arah timur hingga di
Selat Makasar yaitu berkisar 31,00-32,00 psu.
Musim Timur kondisi salinitas tinggi mendorong massa air ke arah barat,
dimana di Selat Makasar berkisar 34,00 psu sedangkan di Laut Jawa dan
sekitarnya 33,5 psu dan di perairan Belitung masih berkisar 33,00 psu. Massa
air ini berasal dari Laut Flores yang masuk ke perairan Laut Jawa. Massa air
yang bersalinitas tinggi ini akan mendorong massa air bersalinitas rendah ke
arah barat. Musim Peralihan II, salinitas berkisar 34,00 psu di Laut Jawa
maupun Selat Makasar. Namun di Selat Makasar terdapat lokasi yang tidak ada
datanya (kosong) dan di perairan Belitung berkisar 33,50 psu.
Penyebaran salinitas di Selat Makasar tidak jauh berbeda dengan Laut
Jawa. Pada Musim Barat, massa air dari Laut Sulawesi yang memiliki salinitas
33,00 psu memasuki perairan Selat Makasar, semakin ke arah selatan maka
salinitas semakin rendah. Hal ini disebabkan adanya pengenceran akibat
pasokan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di pantai Timur Kalimantan.
Pada Bulan Juni hingga Agustus, terjadi musim kemarau pada wilayah
Indonesia sehingga pengenceran sudah banyak berkurang. Air bersalinitas
tinggi lebih dari 34,00 psu yang berasal dari Laut Sulawesi akan masuk ke Selat
Makasar, hal ini diakibatkan banyak penguapan pada permukaan perairan.
Nontji (1993) menyatakan bahwa nilai rata-rata tahunan yang terendah
ditemukan di Selat Makasar, yaitu 30,00%o. Hal ini disebabkan banyak sekali
pengenceran dari sungai-sungai Kalimantan dan Malaysia.
28
Gambar 12. Sebaran salinitas pada empat musim di perairan Laut Jawa
(Purwandani, 2001)
29
Gambar 13. Salinitas permukaan pada empat musim di perairan Selat Makasar
(Purwandani, 2001)