disain teknis rehabilitasi lahan - jurusan · pdf filelaporan utama apabila hutan gambut...

58
229 7 DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN Technical Design for Land Rehabilitation Sufardi Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Syamaun A . Ali, dan Khairullah Program Studi Ilmu Tanah,Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Sugianto Program Studi Konservasi Sumberdaya Lahan, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh I. LATAR BELAKANG ahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah yang kaya dengan bahan organik. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut mempunyai kandungan C-organik > 18% yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa (swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0 - 5,4 ton CO 2 ha -1 tahun -1 (Agus et al., 2011). L

Upload: dangnhu

Post on 28-Feb-2018

253 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

229

7

DISAIN TEKNIS

REHABILITASI LAHAN Technical Design for Land Rehabilitation

Sufardi Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Syamaun A . Ali, dan Khairullah Program Studi Ilmu Tanah,Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Sugianto Program Studi Konservasi Sumberdaya Lahan, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

I. LATAR BELAKANG

ahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah yang kaya dengan bahan organik. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut mempunyai

kandungan C-organik > 18% yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa (swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0 - 5,4 ton CO2 ha-1 tahun-1 (Agus et al., 2011).

L

Page 2: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

230 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui pembuatan sistem drainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan mudah teroksidasi menjadi gas CO2 yang dianggap sebagai salah satu gas rumah kaca (GRK) dan mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka (Wosten et al., 1997; WWF, 2008, Hairiah et al., 2011). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan rawa bergambut menjadi areal pertanian lahan kering. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi (Widjaja-Adhi et al., 1992). Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi ekosistem hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai beberapa kali lipat dari bobotnya (Riwandi, 2003; Stevenson, 2004) dan juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah (Wahyunto et al., 2005).

Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut (Galbraith et al., 2005). Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Hooijer et al., 2006; Handayani, 2009).

Terlepas dari berbagai kendala yang ada pada lahan gambut, di Indonesia ternyata pemanfaatan lahan ini untuk areal pertanian khususnya untuk perkebunan kelapa sawit telah banyak dilakukan seperti di Kalimantan, Riau, Sumatera Selatan, dan Aceh. Di Provinsi Aceh, salah satu wilayah ekosistem rawa bergambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan dan pertanian terdapat di areal Hutan Gambut Rawa Tripa (Tripa peat swamp forest = TPSF) yang berada Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Sebelum dikonversi menjadi lahan perkebunan dan penggunaan lainnya areal TPSF ini merupakan hutan rawa yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan mengandung karbon yang cukup tinggi karena sebagian dari rawa ini terdapat bahan gambut yang banyak mengandung unsur karbon.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa kandungan C pada ekosistem hutan rawa gambut Tripa ini mencapai 50-100 juta ton (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008). Selain sebagai tempat penyimpan karbon, jika di lihat dari sudut pandang agroekologi, hutan rawa ini disamping sebagai daerah penyangga dan tempat penyimpan air bagi masyarakat dan pengatur untuk iklim lokal juga terdapat aneka satwa yang unik dan dilindungi yaitu tempat hidup satwa liar Orang utan Sumatera yang sudah masuk dalam kategori langka (WWF, 2008).

Namun dalam satu dekade terakhir ini, areal TPSF ini diperkirakan telah mengalami degradasi lahan/hutan seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat/swasta untuk melakukan ekspansi lahan hutan menjadi areal pertanian. Konversi hutan ini akan terjadi perubahan pada pola penggunaan lahan yang memberikan implikasi luas pada perubahan tata lingkungan dan pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Berdasarkan permasalahan ini maka perlu dilakukan studi terhadap dinamika perubahan ekologis pada ekosistem TPSF untuk menentukan upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi agar dampak negatif akibat degradasi lahan dapat diminimalkan.

Page 3: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 231

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

II. TUJUAN DAN LINGKUP STUDI

Studi ini bertujuan untuk melakukan : (1) Deskripsi dan analisis kondisi biofisik lahan di areal Hutan Rawa Gambut Tripa

(Tripa Peat Swamp-Forest = TPSF) untuk mendukung pelaksanaan teknis budidaya hutan (silvikultur) dan perlakuan lainnya untuk rehabilitasi lahan

(2) Analisis dan pemetaan tingkat degradasi lahan, tanaman, dan lingkungan di areal TPSF

(3) Penyusunan rencana rehabilitasi lahan dan tanaman di areal TPSF.

Ruang lingkup Disain Teknis Rehabiliatsi lahan adalah sebagai berikut : (1) Melakukan survai lapangan dan analisis laboratorium terhadap kondisi biofisik di

areal TPSF yang meliputi : a. Analisis pola penutupan lahan dan identifikasi kondisi biofisik lahan. b. Identifikasi dan analisis penyebab dan tingkat degradasi lahan dan tanaman c. Menetapkan dan pemetaan areal untuk rencana rehabilitasi d. Identifikasi vegetasi lokal yang mungkin digunakan untuk rehabilitasi e. Identifikasi ancaman yang mungkin membahayakan upaya rehabilitasi. f. Menetapkan (analisis) biaya dan jadwal rencana pelaksanaan program rehabilitasi g. Membuat rancangan dan persiapan format monitoring dan evaluasi proses

rehabilitasi. (2) Membuat deskripsi umum dan pemetaan tentang kondisi biofisik wilayah dan

penutupan lahan dan tingkat degradasi lahan di areal TPSF. (3) Perancangan dan pendekatan teknis rehabilitasi Hutan Gambut Rawa Tipa (TPSF)

Output kegiatan dari kajian ini adalah Rancangan/Disain Teknis Rehabilitasi Lahan di areal Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF).

III. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu

Kegiatan studi dilakukan di areal yang menjadi ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh yang luasnya 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (Gambar 1). Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai Maret - Agustus 2013.

C. Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan studi ini antara lain : a. Peta-peta dasar berupa peta administrasi wilayah yang menunjukkan areal ekosistem

Hutan rawa gambut Tripa sekala 1:150.000, peta jenis tanah, peta citra landsat, peta geologi, dan peta hidrologi.

b. Bahan kimia untuk uji sampel di lapangan yang meliputi larutan akuades, 0,5 N HCl, larutan Hidrogen perokasida (H2O2) 10 dan 30%, dan bahan kimia lainnya untuk analisis sampel tanah, air, dan tanaman di laboratorium.

Peralatan yang digunakan di dalam kegiatan studi ini meliputi peralatan lapangan dan peralatan laboratorium. Peralatan lapangan antara lain bor tanah, bor gambut, ring sampel, kantong sampel, soil test kits, pH meter (pH tancap), Buku Warna Tanah Munsell, altimeter, kompas, GPS, parang, pisau, cangkul, sekop, meteran, kemah, kamera, sepatu boat, mantel hujan, kantong sampel, dan alat-tulis menulis. Peralatan laboratorium yang akan digunakan untuk analisis sampel tanah, air, dan tanaman antara

Page 4: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

232 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

lain: pH meter, EC-meter, Spektrofotometer, oven, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), dan lain-lain sesuai kebutuhan analisis.

Gambar 1. Peta Lokasi Areal Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

D. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu melalui kegiatan survai dan pengamatan lapangan serta analisis laboratorium. Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan parameter utama yaitu berupa kondisi biofisik wilayah dan data ekologis yang diperoleh dengan pengukuran lapangan dan analisis laboratorium, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang berkaitan dengan kondisi iklim, hidrologi, dan sosial ekonomi budaya (sosekbud) masyarakat di dalam dan di luar Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) yang diperlukan untuk analisis dan penyusunan program rehabilitasi lahan.

Adapun parameter biofisik yang dibutuhkan dalam studi ini meliputi : a. Data iklim berupa tipe iklim, curah hujan selama 10 tahun tahun terakhir. b. Data hidrologi yang menggambarkan frekuensi banjir dan genangan, ketinggian

muka air, kualitas air, dan pola drainase. c. Keadaan dan pola penutupan lahan /hutan beserta jenis-jenis tanaman silvikultur,

kerapatan tanaman, serta satuan-satuan penggunaan lahan. d. Bentuk wilayah (kelerengan), dan peta jenis tanah serta penampang profil tanah

(morfologi) dan ketebalan gambut. e. Karakteristik sifat-sifat fisika tanah/gambut seperti tekstur tanah, struktur, warna,

konsistensi, kematangan gambut, kadar air gambut/tanah, Bobot isi, permeabilitas, porositas dan distribusi pori, dan daya pegang air.

f. Sifat-sifat kimia tanah seperti pH (dalam H2O, KCl, dan H2O2), C-organik, N-total, P-tersedia, kadar Ca-, Mg-, K-, dan Na-dapat ditukar, KTK, DHL (daya hantar listrik), dan potensi bahaya pirit.

Page 5: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 233

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

g. Data kandungan karbon (C) dari vegetasi dan emisi karbon dioksida serta kadar abu. h. Kualitas air seperti pH air, TDS (total dissolved sediment) DHL (daya hantar listrik),

dan lain-lain melalui kajian hidrologi. i. Keanekaragaman hayati (data pendukung) yang meliputi jenis tanaman hutan rawa

yang ada di areal TPSF (hasil kajian biodiversitas). j. Keadaan sosial ekonomi dan budaya yang dibutuhkan sebagai data pendukung studi

untuk penyusunan teknis rencana rehabilitasi lahan dan tanaman di areal TPSF.

E. Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan studi dibagi atas beberapa tahapan, yaitu persiapan, pra-survai, survai/pengamatan lapangan, analisis laboratorium, dan penyusunan laporan /dokumen studi. Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang keahlian. Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan.

Survai lapangan

Tahap awal (pra-survai) survai lapangan adalah melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi TPSF untuk orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian tentang rencana titik-titik pengamatan lapangan dan prediksi jumlah sampel dan/atau responden saat pelaksanaan survai utama. Kegiatan Pra-survai ini dilaksanakan selama 5 hari yaitu mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mei 2013. Survai utama dilaksanakan untuk mengamati secara langsung di lapangan sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Survai lapangan dilakukan untuk melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap kondisi biofisik wilayah TPSF (data primer) dan pengumpulan data primer dan sekunder tentang keadaan sosekbud setempat yang dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai kajian lainnya. Survai utama ini dilaksanakan pada Mei hingga Agustus 2013.

Teknik Sampling

Sesuai dengan rencana kerja survai utama, maka untuk pengambilan sampel tanah dan gambut dilaksanakan dengan menggunakan metode sampling landform system (berdasarkan satuan lahan) yang dibentuk berdasarkan overlapping peta penutupan lahan (existing), peta jenis tanah dan peta fisiografi (landform) dengan skala pemetaan 1: 150.000. Namun karena areal TPSF ini memiliki topografi seragam yaitu datar dan ketebalan gambut yang berbeda, maka penentuan dan pengambilan sampel tanah/pengeboran dilakukan dengan menggunakan sistem grid dengan intensitas sampling 1 titik untuk luas areal 500 ha. Sebanyak 42 titik pengeboran/sampling telah ditetapkan sebagai lokasi pengamatan. Satuan lahan defenitif dibedakan berdasarkan hasil pemetaan jenis tanah, ketebalan gambut, dan jenis penutupan lahan serta kondisi hidrologis setempat. Untuk mengetahui perubahan karakteristik gambut, maka dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel tanah/gambut pada berberapa tipe penggunaan lahan yang meliputi areal hutan rawa gambut, perkebunan kelapa sawit usia tanam < 3, 3 - 9 dan > 10 tahun dan pada kebun campuran usia < 9 tahun dan > 10 tahun.

Analisis Laboratorium

Analisis laboratorium dilakukan terhadap sampel-sampel tanah/gambut, air, dan tanaman yang diambil pada titik-titik pengamatan lapangan. Metode analisis warna

Page 6: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

234 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

tanah gambut dengan munsel soil chart, ketebalan gambut (cm) dan kedalaman air tanah (cm) dengan pengeboran langsung di lapangan, kematangan/komposisi gambut dengan metode cepat di lapangan (McKinzie). Pengukuran kadar air (%) dengan metode gravimetri, pH H2O, H2O2 dan KCl (1:2,5 dan 1:5) dengan pH-meter, C-organik (%) dengan metode Walkley and Black/metode gravimetrik dan kadar abu (%) dengan metode gravimetrik. Penentuan kadar pirit dalam gambut dilakukan dengan menggunakan bahan uji peroksida (H2O2) 30% yang diukur pada lapisan profil tanah gambut kedalaman 0-20 cm, dan pada kedalaman 40-60 cm. Jika hasil pengukuran pH H2O2 30% pada lapisan tanah > 60 cm menunjukkan pH < 3,5, maka tanah gambut tersebut memiliki lapisan pirit (Mansur, 2001). Karakteristik biofisik lahan gambut dianalisis secara deskriptif dan untuk melihat perubahan sifat-sifat morfologi profil dan perubahan massa bahan gambut pada berbagai tipe penggunaan lahan. Untuk lebih jelas, jenis parameter dan metode yang digunakan untuk analisis laboratorium disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Analisis Tanah/gambut dan Metode Analisisnya

Sifat-sifat yang dianalisis Metode Analisis Alat yang digunakan

A. Sifat-sifat Kimia Tanah : pH H2O (1:5) Elektrometrik pH meter pH KCl (1:5) Elektrometrik pH meter pH H2O2 (1:5) Elektrometrik pH meter Salinitas/DHL Elektrometrik EC-meter C-organik (%) Pengabuan kering &

Walkley & Black Moven/Unit destruksi N-total (%) Kjeldahl N destiller, Titrasi P tersedia (mg kg-1) Bray 1 Spektrofotometer Ca-dd. (cmol kg-1) Ektraksi 1N NH4OAc pH7 AAS/Titrasi Mg-dd. (cmol kg-1) Ektraksi 1N NH4OAc pH7 AAS/Titrasi K-dd. (cmol kg-1) Ektraksi 1N NH4OAc pH7 FES Na-dd. (cmol kg-1) Ektraksi 1N NH4OAc pH7 FES KTK (cmol kg-1) Ektraksi 1N NH4OAc pH7 Destilasi/Titrasi Kejenuhan basa (KB), %

Perhitungan B. Sifat-sifat Fisika Tanah :

Tekstur 3 fraksi (%) Penyaringan & pipet Filtrasi/shaker BV (bulk density) (Mg m-3) Volumetrik Ring sampler Porositas (%)

Gravimetrik Pressure Apparatus/Kurfa pF

Permeabilitas (cm jam-1) Gravimetrik Permeameter Kadar Air Tanah (%) Gravimetrik Oven

Sumber : Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman Unsyiah (2013)

G. Analisis Data dan Pemetaan

Data yang dikumpulkan di lapangan melalui pengamatan, analisis laboratorium, wawancara responden, dan pengumpulan data sekunder selanjutnya digunakan untuk analisis sebagai berikut : a. Mendeskripsikan kondisi biofisik dan jenis tanah, dan pola pemanfaatan ruang b. Pemetaan ketebalan dan tingkat perkembangan gambut serta penetapan satuan

peta lahan (SPL)

Page 7: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 235

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

c. Evaluasi sistem hidrologi, kualitas air dan ancaman banjir, serta kebakaran lahan d. Evaluasi kandungan karbon dari biomassa vegetasi pada permukaan tanah pada

biomassa organik tanah (gambut) dan estimasi emisi CO2. e. Penilaian Kelas Kemampuan Lahan menurut prosedur USDA, 1982. f. Penilaian Kesesuaian lahan/Tanaman untuk berbagai tipe penggunaan lahan

khususnya untuk beberapa tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi robusta, dan kemiri), tanaman semusim, dan tanaman kehutanan/rawa. Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian Tahun 2011.

g. Evaluasi dan pemetaan degradasi lahan/gambut, hutan/vegetasi dan lingkungan /ekologi dilakukan dengan membandingkan perubahan sifat-sifat tanah/gambut dari berbagai jenis tanah dan tipe penggunaan lahan dan dengan melihat laju degradasi hutan dan perubahan kualitas lahan di wilayah studi.

h. Penyusunan program dan rencana aksi rehabilitasi lahan serta sistem monitoring dan evaluasi kegiatan rehabilitasi. Penyusunan rekomendasi dan arahan rehabilitasi dan konservasi ekosistem TPSF didasarkan pada pedoman dan ketentuan yang berlaku dalam tata ruang wilayah dan tata ruang lahan perkebunan yaitu (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (2) Keppres. No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Ekosistem Lindung, (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (4) Permentan No 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. (4) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

i. Analisis kebutuhan biaya untuk program rehabilitasi lahan/tanaman.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Tanah

Hasil pengamatan profil tanah, ternyata dalam areal ekosistem Rawa Tripa bukan hanya jenis tanah gambut yang dijumpai di sana, akan tetapi juga tersebar jenis tanah lain seperti yang disajikan pada Tabel 2. sedangkan peta sebaran jenis tanah di ekosistem Hutan rawa gambut Tripa dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Sebaran Jenis Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

Page 8: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

236 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Ordo Histosol

Tanah ordo histosol yang tersebar dalam areal TPSF dapat dibedakan atas tiga great group, yaitu Typic Haplofibrist, Typic Haplohemist, dan Typic Haplosaprist, yang masing–masing setara dengan organosol fibrik, organosol hemik dan organosol saprik pada sistem Klasifikasi Tanah Nasional Indonesia 2011.

Tabel 2. Sebaran Jenis Tanah di Ekosistem Rawa Tripa (TPSF)

No

Siatem Klassifikasi Tanah Luas

Soil Taxanomi USDA SN (2011)

Ordo Great Group (ha) (%)

1 Histosol Typic Haplofibrist Organosol Fibrik 4.930,97 8,13 Typic Haplohemist Organosol Hemik 3.679,24 6,07 Typic Haplosaprist Organosol Saprik 25.941,87 42,77

2 Entisol Typic Tropopluvent Alluvial Eutrik 15.697,58 25,88 Typic Tropaquent Alluvial Gleik 3.759,97 6,20

3 Inceptisol Typic Distropepts Alluvial Distrik 6.647,66 10,96

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber: Hasil pengamatan lapangan dan identifikasi profil tanah (2013)

a. Typic Haplofibrist

Great group tanah menurut sistem klassifikasi USDA(2010) ini setara dengan jenis tanah organosol fibrik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun 2011. Ciri utama tanah ini adalah terdapat lapisan gambut pada lapisan permukaan dengan ketebalan yang lebih dari 50 cm dengan tingkat kematangan fibrik, yakni kebanyakan bahan organiknya masih berupa jaringan tanaman yang masih utuh dan masih dikenal bahan asalnya. Drainase permukaan sangat terhambat, erosi tidak ada, ancaman banjir tidak pernah dan fraksi batuan tidak ada, pH lapangan 5,8. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit.

b. Typic Haplohemist

Sama seperti tanah dalam great group Typic Haplofibrist, tanah yang setara dengan jenis organosol hemik ini juga berbahan gambut di lapisan permukaan hingga kedalaman 50 cm, hanya saja bahan gambut pada tanah ini kematangannya baru pada tingkat hemik, yakni bahan sudah melapuk, tetapi masih banyak bahan yang masih dikenal jaringan asalnya. Pada tanah ini drainase permukaan juga sangat terhambat, erosi tidak ada, ancaman banjir tidak pernah dan fraksi batuan tidak ada, pH lapangan 5,2. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit.

c. Typic Haplosaprist.

Tanah dalam great group ini setara dengan jenis organosol saprik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun 2011. Cirinya sama dengan great group lainnya dalan ordo Histosol, hanya saja kematangan bahan gambutnya pada tanah ini sudah sangat matang atau telah mencapai pada tingkat saprik atau telah melapuk sempurna dan tidak nyata lagi komponen bahan asalnya. Pada tanah ini juga terlihat bahwa

Page 9: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 237

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

drainase permukaan sangat terhambat, erosi tidak ada, fraksi batuan tidak ada, pH lapangan 4,0. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit.

Ordo Entisol

Ordo tanah ke dua yang tersebar dalam ekosistem Rawa Tripa adalah entisol, yakni tanah–tanah muda yang belum berkembang dan belum mengalami diferensiasi horizon. Ada dua great group dari ordo entisol yang ditemukan dalam wilayah studi, yaitu Typic Tropopluvent dan Typic Tropaquent.

a. Typic Tropopluvent

Tanah ini setara dengan jenis Alluvial Eutrik pada sistem klassifikasi tanah Nasional Indonesia 2011. Pada hakekatnya tanah ini berasal dari ordo histosol yang telah mengalami pengayaan bahan mineral dari endapan sungai yang sering meluap ke dalam areal ini, sehingga profil tanahnya telah memperlihatkan pelapisan antara bahan organik di lapisan bawahan dan bahan mineral di lapisan atasnya. Pada Kedalaman 0-20 cm merupakan lapisan mineral warna Tanah 10 YR 4/3 (Yellowish Brown) tekstur lapang lempung berdebu dengan konsistensi agak lekat Pada kedalaman 40-90 cm merupakan lapisan mineral dengan tekstur lapang liat berat dan licin dominan liat berdebu, konsistensi lekat warna tanah 10 YR 5/3 (Yellowish Brown). Pada kedalaman 90 -220 cm merupakan lapisan gambut kembali dengan serat yang masih kasar terdiri dari kayu dan perakaran yang belum melapuk warna tanah 10 YR 2/2 (Brownish Black). Pada kedalaman 220 merupakan lapisan mineral kembali dengan tekstur dominan fraksi pasir.

b. Typic Tropaquent

Tanah setara dengan Alluvial gleik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun 2011. Ciri utamanya adalah tanah mineral yang terendam air sepanjang tahun dengan profil yang bercirikan hidromorfik, atau perkembangan profil yang sangat sedikit akibat kedalaman air tanah yang sangat dangkal dan bersifat fluktuatif sepanjang tahun. Tanah bersolum sangat dalam (90 cm), akan tetaoi kedalaman efektif sangat dangkal akibat dangkalnya air tanah, atau bahkan terendam sepanjang tahun. Tekstur tanah lapisan atas berpasir dan semakin halus dengan kedalaman. pH tanah lapang 5,4, bebas batuan permukaan dengan perakaran yang sedikit mulai dari lapisan permukaan sampai lapisan bawah.

Ordo Inseptisol

Dalam ekosistem Rawa Tripa hanya satu great group dari ordo ini yang ditemukan, yaitu Typic Distropepts yang setara dengan Alluvial Distrik pada Sistem Klassifikasi Tanah Nasional Indonesia Tahun 2011. Ciri utama tanahnya adalah lapisan permukaan tertutup bahan organik dengan ketebalan kurang dari 40 cm, lapisan pada kedalaman > 40 cm berupa bahan mineral dengan kejenuhan basa rendah, tekstur liat berdebu, warna 4,5 YR 2/1, perakaran halus banyak hingga kedalaman 50 cm, dan kasar sedikit hingga kedalaman 50 cm. Solum tanah ini cukup dalam, namun kedalaman efektif dangkal (50 cm), karena kedalaman air tanahnya yang sangat dangkal.

B. Pemetaan Ketebalan Gambut

Pengukuran ketebalan bahan gambut dalam areal ekosistem Rawa Tripa dilakukan dengan menggunakan bor khusus yang terbuat dari pipa besi ukuran 0,5 inchi yang

Page 10: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

238 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

diukur dari permukaan tahah (gambut) hingga kedalaman dimana ditemukan lapisan bahan mineral di bawah lapisan gambut. Hasil pengukuran kedalaman gambut pada titik-titik pengamatan dalam wilayah ekosistem Rawa Tripa disajikan pada Gambar 3, sedangkan pemetaan ketebalannya disajikan pada Gambar 4.

Hasil pemetaan ketebalan gambut di areal TPSF (Tabel 3.) memperlihatkan bahwa lahan di TPSF dapat dibagi atas empat kategori yaitu lahan yang terdiri atas tanah mineral (gambut tercampur bahan mineral) seluas 26.105,20 ha, lahan dengan gambut kurang dari 200 cm seluas 2.844,46 ha, lahan dengan ketebalan gambut antara 200-300 cm seluas 19.4111,22 ha, dan lahan dengan gambut lebih dari 300 cm seluas 12.296,22 ha.

Gambar 3. Pemetaan Titik Sampling dan Pengeboran Tanah di Areal TPSF

Gambar 4. Pemetaan Ketebalan Gambut di Areal TPSF

Page 11: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 239

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 3. Kedalaman Bahan Gambut dalam Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

No Kedalaman Bahan Gambut (cm) Luas Areal

(ha) (%)

1 Kurang 50 cm 26.105,20 43,04 2 50 - 200 2.844,46 4,69 3 200– 300 19.4111,22 32,00 4 > 300 12.296,22 20,27

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber: Hasil survai lapangan (diolah) tahun 2013

Dari hasil pengamatan dan pengukuran ketebalan bahan gambut, ternyata dalam ekosistem Rawa Tripa tidak seluruh arealnya berupa tanah gambut. Akan tetapi hanya sebagian saja yang berupa tanah gambut, sedangkan sebagian lainnya sudah berupa asosiasi dengan bahan mineral hasil pengendapan dari sedimen yang berasal dari luapan beberapa sungai yang ada dalam wilayah tersebut. Sebagian lainya memang berupa tanah mineral dari proses alluviasi yang menghasilkan tahan–tanah Alluvial. Mengacu pada hasil pengukuran kedalaman bahan gambut, maka dapat dinyatakan bahwa dalam ekosistem Rawa Tripa terdapat sekitar 20,27% (12.296,22 ha) lahan yang tidak layak dijadikan sebagai areal usaha pertanian, karena ketebalan bahan gambutnya lebih dari 3 m, sedangkan 79,73 % (48.361,07 ha) lahannya sangat layak dijadikan sebagai lahan usaha pertanian, dan 24 % di antara lahan ini dapat dijadikan sebagai areal budidaya pertanian, namun pertumbuhan dan hasil tanaman yang diusahakan dapat terhambat bila tidak dibarengi dengan upaya pengelolaan yang memadai.

Hasil pengamatan dan analisis laboratorium pada setiap titik sampling juga menunjukkan bahwa lahan gambut yang ada di ekosistem Rawa Tripa memiliki tingkat kematangan yang bervariasi. Umumnya gambut tersebut telah terjadi perubahan sehingga sebagian besar mempunyai tingkat kematangan saprik. Tabel 4 memperlihatkan bahwa gambut dengan tingkat kematangan hemik-saprik (kematangan sedang hingga kematangan tinggi) lebih dominan dibandingkan dengan gambut muda (fibrik). Gambut fibrik umumnya tedapat pada lahan yang masih terdapat vegetasi hutan atau lahan yang baru dibuka.

Tabel 4. Pemetaaan Tingkat Kematangan Gambut dalam Areal Ekosistem TPSF

No Kedalaman Bahan Gambut (cm) Luas Areal

(ha) (%)

1 Gambut Campuran tanah mineral 26.105,20 43,04 2 Hemik-Saprik 26.464,65 43.63 3 Febrik 5.372,79 8,86

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber: Hasil survai lapangan (diolah) tahun 2013

Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kematangan gambut di lokasi studi cukup baik. Kematangan ini tejadi akibat perkembangan gambut yang telah mengalami dekomposisi aerobic akibat pengeringan lahan. Adapun sebaran wilayah berdasarkan perbedaan tingkat kematangan gambut disajikan pada Peta Gambar 5.

Page 12: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

240 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 5. Peta Tingkat Kematangan Gambut di Areal TPSF

C. Satuan Pemetaan Lahan (SPL)

Satuan pemetaan lahan pada lokasi studi Hutan rawa gambut Tripa (TPSF = Tripa Peat Swampt Flores) dibuat berdasarkan hasil tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta dasar seperti peta lereng/topografi, peta rupa bumi/peta penggunaan lahan, peta jenis tanah/peta tanah tinjau, dan peta geologi/landform. Karakteristik lahan pada setiap satuan peta disajikan pada Tabel 5 sedangkan sebaran wilayah berdasarkan satuan peta lahan dapat dilihat pada Gambar 6 .

Berdasarkan hasil tumpang tindih peta tersebut, maka wilayah studi ternyata hanya terdapat 4 (empat) satuan lahan yang terbentuk hanya dari empat pola penggunaan lahan, yaitu : hutan rawa, kebun campuran (kebun sawit dan tanaman lahan kering), kebun sawit (lahan perkebunan), dan lahan terbuka/alang-alang. Informasi dasar ini selanjutnya setelah dilakukan observasi dan ground check ke lapangan akan dibuat peta detail tentang sebaran litologi/bahan induk (peta litologi), jenis tanah, ketebalan dan kematangan gambut, tipe penggunaan lahan (land utilization types), dan peta satuan lahan. Berdasarkan hasil pengamatan profil tanah/gambut dan karakteristik lahan seperti ketebalan gambut, tingkat kematangan gambut, drainase di lapangan serta analisis sifat-sifat fisika dan kimia tanah di laboratorium, maka wilayah studi dapat dibagi atas 16 satuan lahan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa wilayah studi Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa memiliki karakteristik lahan yang cukup beragam setelah dilakukan pengukuran dan pengamatan di lapangan. Perbedaan satuan lahan tersebut terjadi karena adanya variasi terhadap jenis tanah, ketebalan gambut dan tingkat kematangan gambut serta sifat-sifat fisika dan kimia tanah/gambut yang diambil pada beberapa titik dan lapisan tanah/gambut. Secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah studi terbentuk atas dua formasi litologi yaitu bahan alluvial dan bahan organik sehingga membentuk dua jenis tanah utama yaitu tanah mineral dan tanah organik (gambut). Kedua asal bahan ini di dalam ekosistem rawa gambut ini ternyata bisa terjadi saling mempengaruhi sehingga menghasikan jenis tanah yang bervariasi walaupun tipologi lahan seragam yaitu rawa.

Page 13: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 241

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 5. Karakteristik Lahan pada Setiap Satuan Peta (SPL) di lokasi studi Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

No SPL

Simbol SPL

Litologi Macam/JenisTanah

(SNI/USDA)

Kete-balan

Gambut

Pemanfaatan Lahan

Luar Areal

(ha) (%)

1 1AAd1 Endapan Aluvial (A)

Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

Non gambut

Kebun Campuran 4.415,01 7,28

2 1AAe1 Endapan Aluvial (A)

Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent)

Non gambut

Kebun campuran

15.637,28 25,78

3 1AAg1 Endapan Aluvial (A)

Aluvial Gleik (Typic Tropaquent)

Non gambut

Hutan 2.478,50 4,09

4 2GHf1 Bahan Organik /Gambut

Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist)

> 3 m Hutan 2.916,00 4,81

5 2GHf2 Bahan Organik /Gambut

Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist)

2 - 3 m Hutan 1.925,28 3,17

6 2GHh1 Bahan Organik /Gambut

Organosol Hemik (Typic Haplohemiist)

> 3 m Hutan 2,566,59 4,23

7 2GHh2 Bahan Organik /Gambut

Organosol Hemik (Typic Haplohemiist)

2 - 3 m Kebun Kelapa Sawit

1.122,78 1,85

8 2GHs1 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

2 - 3 m Kebun Campuran

7.663,92 12,63

9 2GHs2 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

> 3 m Kebun Kelapa Sawit

6.034,74 9,95

10 2GHs3 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

2 - 3 m Kebun Campuran

3.488,20 5,75

11 2GHs4 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

< 2 m Kebun Kelapa Sawit

2.844,37 4,69

12 2GHs5 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

> 3 m Hutan 779,18 1,28

13 2GHs6 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

2 - 3 m Kebun Kelapa Sawit

2.028,91 3,24

14 1AAg2 Endapan Aluvial (A)

Aluvial Gleik (Typic Tropaquent)

Non Gambut

Kebun Campuran

1.368,24 2,26

15 1AAd2 Endapan Aluvial (A)

Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

Non Gambut

Kebun Kelapa Sawit

2.204,67 3,63

16 2GHs9 Bahan Organik /Gambut

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

2-3 m Kebun Kelapa Sawit

1.183,61 5,25

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Pengamatan Lapangan dan Analisis Peta (2013)

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tanah dari bahan Aluvial ini membentuk tiga macam/jenis tanah yaitu Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent), Aluvial Distrik (Typic Dystropepts), dan Aluvial Gleik (Typic Tropaquent). Dengan demikian maka berdasarkan jenis tanah tersebut, maka menurut Taksonomi Tanah USDA (2008), di areal ini terdapat tiga ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol dan Histosol.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa kualitas tanah di ekosistem TPSF berdasarkan parameter kesuburan tanah ternyata secara umum baik sampai sangat baik dengan tingkat kesuburan tanah sedang hingga sangat tinggi. Indikator yang menggambarkan kesuburan tanah dapat dilihat dari kandungan C organik, KTK dan kejenuhan basa. Ketiga parameter kimia tersebut menunjukkan nilai yang bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi sehingga tingkat kesuburan tanah secara umum bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jika di lihat dari aspek tanah, maka lahan gambut ini jika dikelola secara bijaksana dan tepat akan sangat berpotensi untuk pertanian.

Page 14: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

242 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 6. Peta Satuan Lahan di Areal TPSF

Tabel 6. Karakteristik Tanah pada setiap Satuan Peta (SPL) di lokasi Studi Hutan Rawa Gambut Tripa

No SPL Macam/JenisTanah

(SNI/USDA) Deskripsi/Sifat dan Ciri Tanah

Luar Areal

(ha) (%)

2 Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent)

Tanah mineral yang terbentuk dari bahan aluvial sungai yang telah bercampur dengan biomassa organic tanah dengan tekstur agak halus, pH 5,6-6,12 (agak asam), kejenuhan > 50 % dan berdrainase agak terhambat. BV tanah 0.97-1,12. KTK > 35 cmol kg

-1.

15.637,25 25,78

1 dan 15

Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

Tanah mineral yang terbentuk dari sedimen halus, bertekstur halus hingga agak kasar, pH 5,23-5,76 (asam), kejenuhan pada 20-50 cm dari permukaan < 50 % dan berdrainase baik hingga agak terhambat. BV tanah 0.11-1,12. KTK > 35 cmol kg

-1

6.619,68 10,91

3 dan 14

Aluvial Gleik (Typic Tropaquent)

Tanah mineral yang terbentuk dari endapan laut dan sungai dalam kondisi tergenang lama, bertekstur halus hingga agak kasar, pH 5,0-5,5 (asam), dan berwarna kelabu pada kedalaman 50-100 cm. BV tanah 0.08-1,02. KTK > 35 cmol kg

-1

3.846,74 6,35

4 dan

5

Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist)

Gambut muda berbahan fibrik, serat kasar > 75 % pada kedalaman < 80 cm, BV 0,24-0,43, dan terbentuk di atas tanah mineral pada keda-laman 2 - >5 m, pH 4,5-5,5 serta memliki drainase terhambat.

4.821,18 7,98

Page 15: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 243

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 6. (Lanjutan)

6 dan 7

Organosol Hemik (Typic Haplohemiist)

Tanah gambut dengan tingkat kematangan sedang (hemik), serat kasar 30-68 % pada lapisan < 80 cm, BV 0,46-0,68, terbentuk di atas tanah mineral pada kedalaman 3-5 m, pH 4,8-5,5 serta berdrainase terhambat. KTK > 35 cmol kg

-1

3.689,37 6,08

8, 9, 10, 11, 12, 13,

16

Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

Tanah gambut matang (saprik), serat kasar < 25 % pada lapisan < 80 cm, terjadi konsolidasi, BV 0,65-0,89, berlumpur halus, hitam pekat, berada di atas tanah mineral sedalam 1 hingga > 3 m, pH 5,2-5,8 serta berdrainase terhambat. KTK > 35 cmol kg

-1.

25.022,94 42,90

Jumlah 60.657,29 100,0

Sumber : Interpretasi Hasil Analisis Tanah (2013)

Hasil pengamatan di lapangan juga terlihat bahwa ada beberapa lahan gambut yang telah dijadikan lahan perkebunan sawit dan pertanian lahan kering, ternyata pertumbuhan tanaman sangat baik. Hal ini dapat mudah dilihat terutama pada lahan-lahan yang dikelola dengan baik. Namun, di sisi lain ada juga aspek negatif yang ditimbulkan dengan konversi lahan ini yaitu terjadinya degradasi tanah dan kualitas lingkungan. Berdasarkan Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa secara umum kualitas lahan di areal TPSF bervariasi antara jenis tanah terutama antara tanah gambut (Histosol) dengan tanah gambut yang telah mengalami perubahan menjadi tanah alluvial (Entisol dan Inceptisol).

Persoalan utamanya adalah pH tanah yang rendah (masam) kejenuhan basa yang sangat rendah hingga rendah (kecuali pada tanah Aluvial), dan BV tanah yang rendah serta drainase permukaan yang buruk. Kapasitas tukar kation tanah umumnya sangat tinggi namun jumlah kation basa sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai KTK tidak mencerminkan ketersediaan hara kation yang tinggi pada tanah gambut ini. Informasi kualitas sifat-sifat tanah selanjutnya akan dibahas lebih detail pada kajian aspek-aspek degradasi lahan/tanah. Adapun sifat-sifat kimia tanah pada setiap satuan lahan disajikan dalam Lampiran 1.

D. Penilaian Kemampuan Lahan

Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen-komponen lahan yang secara sistematis dan pengelompokannya ke dalam berbagai kategori berdasar sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan (Arsyad, 2009). Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan.

Page 16: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

244 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Klasifikasi kemampuan lahan untuk ekosistem Hutan rawa gambut Tripa dilakukan dengan menggunakan pedoman yang dikembangkan oleh Klingebel dan Montgomery (1961), seperti yang tertuang dalam USDA Agriculture Handbook (1982). Sistem klasifikasi ini mengelompokkan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan. Kelas kemampuan lahan terdiri atas 8 (delapan) kelas yaitu I sampai dengan VIII yang didasarkan kepada kriteria/faktor pembatas lahan. Ringkasan terhadap hasil penilaian kemampuan lahan di areal Hutan rawa gambut Tripa disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Penilaian Kelas Kemampuan Lahan di Areal TPSF dan Faktor Penghambat Penggunaan Lahan pada setiap Satuan Lahan

Kelas/Subkelas lahan

No SPL Faktor Penghambat

Luas Areal

ha %

III-O2 1, 3, 15 Ancaman genangan/banjir 9.098,19 15,00 IV-O3 2,8,9,10,

11,12, 13, 14, 16

Ancaman genangan/banjir 43.028,44 70,94

VII-P4 6, 7 Permeabilitas 3.689,38 6,08 VIII-P5, Fb 4, 5 Permeabilitas, kematangan

gambut 4.841,29 7,98

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Hasil penilaian kemampuan lahan pada setiap satuan peta lahan memperlihatkan bahwa areal Hutan rawa gambut Tripa dapat dibedakan atas 4 (empat) kelas kemampuan lahan, yaitu kelas III, IV, VII, dan VIII. Menurut kriteria penilaian kemampuan lahan, kelas yang sesuai untuk lahan pertanian adalah kelas I sampai IV (Arsyad, 2009). Berdasarkan hal ini, maka lahan yang layak diusahakan untuk pertanian terdapat pada SPL 1 sampai 3, kemudian SPL 8 sampai 16 dengan luas total areal adalah 52.126,63 hektar atau sekitar 85,94 persen dari total luas ekosistem Rawa Tripa. Lahan dengan kelas VII dan VIII tidak layak untuk lahan usaha pertanian dan sebaiknya harus dilakukan konservasi. Hasil penilaian menunjukkan bahwa faktor pembatas lahan pada subkelas III-O2 dan IV-O2, adalah ancaman banjir/genangan. Hal ini terjadi karena areal yang termasuk ke dalam subkelas tersebut merupakan daerah datar dan depresi yang berada di antara 4 sungai utama. Akibatnya jika terjadi hujan, acapkali menggenangi wilayah ini (Kajian Hidrologi PIU SERT Unsyiah, 2013).

Lahan dengan subkelas VII-P4 dan VIII-P5, Fb merupakan areal yang tidak layak untuk pertanian karena memiliki permeabilitas yang sangat cepat serta bergambut dengan tingkat kematangan fibrik atau mempunyai gambut yang belum matang. Lahan ini jika diusahakan untuk pertanian akan mudah terjadi subsiden dan harus dipertahankan menjadi ekosistem konservasi. Dengan demikian, lahan yang harus dipertahankan untuk areal konservasi berdasarkan pada penilaian kemampuan lahan adalah seluas 8.530,67 Hektar atau sekitar 14,01 persen dari luas ekosistem Rawa Tripa yang terdapat pada SPL 4, 5, 6, dan 7. Satuan lahan ini merupakan jenis tanah gambut atau Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist) dan Organosol Hemik (Typic Haplohemist). Lahan yang dapat diarahkan menjadi areal konservasi ini berdasarkan hasil pengamatan dan pemetaan menunjukkan bahwa lahan ini ternyata masih berupa vegetasi hutan rawa dan hanya sebagian kecil yang telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit. Dari informasi ini maka

Page 17: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 245

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

jika lahan ini dikembalikan menjadi areal konservasi, sangat memungkinkan karena masih berupa hutan. Adapun sebararan wilayah berdasarkan kelas kemampuan lahan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta Kemampuan Lahan di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

E. Penilaian Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Agus et al., 2011). Untuk Areal TPSF ini analisis kesesuaian lahan dilakukan secara actual (saat ini) pada seluruh areal yang ada dalam ekosistem yang didasarkan pada sifat-sifat/karakteristik dari setiap satuan peta lahan (SPL).

Tujuan dilakukan penilaian kesesuaian adalah untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kecocokan lahan untuk beberapa tanaman budidaya yang telah dikembangkan atau yang memungkinkan untuk dikembangkan di ekosistem TPSF ini dengan mempertimbangkan sisi kelayakan ekonomi dan lingkungan. Saat ini sebagian besar areal dalam ekosistem Tripa ini telah digunakan sebagai areal perkebunan dengan penanaman kelapa sawit, dan tanaman lainnya, baik yang dilakukan oleh perusahaan HGU maupun oleh masyarakat walaupun ekosistem ini merupakan areal hutan rawa bergambut.

Pengusahaan budidaya kelapa sawit dan tanaman pertanian lainnya berdasarkan ketentuan Menteri Pertanian (2009) masih dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu: (a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan ekosistem budidaya, (b) ketebalan lapisan

Page 18: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

246 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik, dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.

Penilaian kesesuaian lahan di wilayah survai (TPSF) dilakukan untuk melihat kelayakan lahan saat ini untuk beberapa alternatif penggunaan, yaitu : (a) Lahan usaha eksisting yang digunakan oleh pemilik lahan yaitu untuk usaha

perkebunan seperti Kelapa Sawit, Kakao, Karet, kemiri, dan Kopi serta tanaman pangan seperti jenis sayuran dan buah-buahan.

(b) Penggunaan lahan untuk tanaman kehutanan seperti untuk tanaman jabon, sentang, jati, kayu hutan (meranti, medang, jelutung, dan lain-lain) sebagai tanaman alternatif yang perlu dikembangkan dalam mendukung usaha-usaha konservasi lahan dan tanaman/hutan.

Penilaian lahan dilakukan dengan menggunakan petunjuk teknik evaluasi sumberdaya lahan yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian Tanah dan Sumberdaya Lahan Deptan (2011) dan menggunakan metode FAO/CSR (1976) dan pendekatan lainnya untuk beberapa tanaman kehutanan. Hasil penilaian dari setiap satuan lahan (SPL) selanjutnya wilayah survai dibagi kepada beberapa tipe penggunaan lahan saat ini, yaitu: (a) Hutan primer/hutan rawa, (b) Kebun campuran, (c) perkebunan kelapa sawit, dan (c) Lahan terbuka/alang-alang. 1. Kesesuaian Lahan untuk Perkebunan

Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan bahwa di areal TPSF saat ini dapat dibagi kepada 3 (tiga) kelas kesesuaian lahan yaitu S2 (cukup sesuai), S3 (agak sesuai), dan N (tidak sesuai). Adapun subkelas kesesuaian lahan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan di areal TPSF dan pada setiap Satuan Lahan untuk Tanaman Perkebunan

No Kelas/Subkelas lahan

No SPL Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. S2-fh 2, 3, 14 Bahaya banjir 19.484,00 32,12 2. S2-nr, fh 1, 15 Retensi hara, bahaya banjir 6.619,68 10,91 3. S3-rc 11 Retensi hara 2.844,37 4,69 4. N-oa, rc 4, 5 Ketersediaan oksigen, retensi

hara/ketebalan & kematangan gambut

4.842,29 7,98

5. N-rc 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16

Retensi hara/ketebalan gambut 26.866,95 44,30

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Walapun kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa hampir 80 persen ekosistem telah dikonversi menjadi lahan perkebunan atau lahan pertanian lainnya, namun hasil penilaian menunjukkan bahwa lahan yang sesuai untuk beberapa komoditi perkebunan terpilih seperti kelapa sawit, karet, kakao, kemiri, dan kopi robusta adalah sekitar 29.000 hektar dengan subkelas kesesuaian S2-fh seluas 19.484,00 ha, S2-nr, fh seluas 6.619,68 ha, dan S3-rc seluas 2.844,37 ha. Faktor pembatas pada subkelas antara lain retensi hara (pH tanah yang masam), ketersediaan hara yang rendah, dan drainase permukaan yang buruk serta bahaya banjir/genangan. Lahan yang sesuai ini terdapat pada SPL 1, 2, 3, 11,

Page 19: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 247

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

14, dan 15. Selebihnya atau ada sekitar 32.000 hektar areal ternyata tidak sesuai untuk tanaman perkebunan dengan subkelas N-rc seluas 4.842,29 ha, dan N-oa, rc, seluas 26.866,95 ha. Pembatas utama pada lahan adalah ketebalan gambut mencapai 2-3 meter dan sifat kimia tanah yang masam (pH < 5,5) serta ketersediaan oksigen yang terbatas akibat sering terjadi genangan dan drainase yang buruk /terhambat.

Tabel 9. Kesesuaian Lahan Aktual untuk Tanaman Perkebunan pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan saat ini di areal TPSF

No Penggunaan Lahan Saat ini

Subkelas Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. Hutan primer /hutan rawa

N-rc N-Oa, rc

Genangan, ketebalan gambut, dan tingkat kematangan

11.455,45 20,53

2. Kebun campuran N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Retensi hara, genangan, ketersediaan hara

30.338,15 50,02

3. Kebun Kelapa Sawit N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Ketebalan gambut, retensi hara, ketersediaan hara, genangan/banjir

15.278,58 25,09

4. Lahan terbuka S3, rc Ketebalan gambut, retensi hara

2.905,86 4,79

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Selanjutnya pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa jika dilihat tingkat kesesuaian lahan untuk setiap pola penggunaan lahan, ternyata pada seluruh areal hutan rawa, lahannya tidak sesuai untuk tanaman perkebunan, sementara pada kebun campuran dan kebun kelapa sawit, kelas kesesuian lahannya bervariasi dari S2 (cukup sesuai), S3 (agak sesuai), dan N (tidak sesuai). Pada lahan terbuka, semua lahan menyatakan cukup sesuai (S3). Adapun faktor pembatas kesesuaian lahan antara lain retensi hara, genangan atau ancaman banjir, dan ketersediaan hara untuk kelas sesuai, sedangkan untuk kelas tidak sesuai, pembatasnya adalah ketebalan gambut dan tingkat kematangannya.

Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua areal yang telah diusahakan untuk perkebunan sesuai menurut persyaratan lahan, namun telah terlanjur dibuka untuk areal kebun. Akibatnya banyak tanaman kelapa sawit yang bermasalah dengan pertumbuhan seperti terjadi kerebahan dan keracunan pada daun. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk tanaman perkebunan yang masih berupa hutan rawa/hutan luasnya sekitar 11.455,45 hektar atau sekitar 20,53 persen sedangkan pada pola kebun campuran dan kebun kelapa sawit luasnya bervariasi. Faktor hambatan yang membuat lahan ini tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah ketebalan gambut di atas 200 cm, tingkat kematangan fibrik, dan adanya genangan (darinase sangat terhambat).

2. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Semusim

Hasil penilaian kesesuaian lahan pada setiap satuan lahan (SPL) untuk beberapa tanaman semusim lahan kering seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang panjang, buah-buahan dan sayur-mayur di lokasi studi menunjukkan bahwa pola kesesuaian lahan di wilayah ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa untuk tanaman semusim lahan kering ini sama dengan tanaman perkebunan yaitu ada tingkat kesesuian lahan yaitu S2,

Page 20: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

248 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

S3, dan N. Hal ini terjadi karena faktor pembatas kesesuaian lahan relatif sama yaitu untuk kelas lahan yang tidak sesuai (N) adalah ketebalan gambut melebihi 200 cm dan tingkat kematangan gambut fibrik. Sedangkan sifat-sifat pembatas lain yang terdapat untuk kelas lahan yang sesuai (S2 dan S3) sama yaitu genangan, retensi hara dan ketersediaan hara. Demikian pula jika dilihat kesesuaian lahan untuk tanaman semusim pada masing-masing pola penggunaan lahan saat ini ternyata juga memberikan pola yang tidak berbeda dengan tanaman perkebunan. Lebih detail tentang luas lahan berdasarkan subkelas kesesuaian lahan dapat dilihat pada Tabel 10 sedangkan hubungan antara subkleas kesesuaian lahan pada setiap pola penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 11. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman semusim lahan kering dan tanaman perkebunan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 10. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan di areal TPSF pada setiap Satuan Lahan untuk Tanaman Semusim Lahan Kering

No Kelas/Subkelas lahan

No SPL Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. S2-fh 2, 3, 14 Bahaya banjir 19.484,00 32,12 2. S2-nr, fh 1, 15 Retensi hara, bahaya banjir 6.619,68 10,91 3. S3-rc 11 Retensi hara 2.844,37 4,69 4. N-oa, rc 4, 5 Ketersediaan oksigen, retensi

hara, ketebalan/kematangan gambut

4.842,29 7,98

5. N-rc 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16

Retensi hara/ketebalan gambut, Kematangan gambut

26.866,95 44,30

Total 60.657,29 100,0

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Tabel 11. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman semusim lahan kering pada berbagai pola penggunaan lahan saat ini di areal TPSF

No Penggunaan Lahan Saat ini

Subkelas Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. Hutan primer /hutan rawa

N-rc N-Oa, rc

Genangan, ketebalan gambut, dan tingkat kematangan

11.455,45 20,53

2. Kebun campuran N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Retensi hara/ketebalan gambut, genangan, ketersediaan hara

30.338,15 50,02

3. Kebun Kelapa Sawit N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Ketebalan gambut, retensi hara, ketersediaan hara, genangan/banjir

15.278,58 25,09

4. Lahan terbuka S3, rc Ketebalan gambut, retensi hara

2.905,86 4,79

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Lahan yang tidak sesuai (N) untuk tanaman perkebunan ditemukan pada lahan yang masih berupa hutan rawa/hutan. Luas lahan ini diperkirakan mencapai 11.455,45 hektar

Page 21: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 249

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

atau sekitar 20,53 persen. Faktor hambatan yang membuat lahan ini tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah ketebalan gambut di atas 200 cm, tingkat kematangan fibrik, dan adanya genangan (darinase sangat terhambat). Adanya subkelas kesesuaian lahan (N) pada beberapa satuan lahan terutama pada pola kebun campuran dan kebun kelapa sawit disebabkan karena pada kriteria evaluasi lahan yang dikeluarkan oleh Deptan (2011) melalui Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan mensyaratkan batas minimum kelayakan gambut adalah 200 cm, sehingga jika ada lahan yang mempunyai ketebalan gambut lebih dari 2 meter, maka otomatis menjadi tidak sesuai (N). Namun di dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. Tahun 2009 ketebalan gambut disyaratkan boleh 3 meter, sehingga jika digunakan kriteria ini lahan yang sebelumnya tidak sesuai bisa menjadi sesuai. Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman perkebunan menggunakan kriteria Kepmentan Tahun 2009 khususnya untuk tanaman kepala sawit disajikan pada Tabel 12.

Gambar 8. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian semusim

Lahan Kering dan Tanaman Perkebunan di areal TPSF

Tabel 12. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Perkebunan (Kelapa Sawit) berdasarkan Kriteria Kepmentan Tahun 2009 di areal TPSF

No Kelas/Subkelas lahan

No SPL Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. S2-fh 2, 3, 14 Bahaya banjir 19.484,00 32,12 2. S2-nr, fh 1, 15 Retensi hara, bahaya banjir 6.619,68 10,91 3. S3-rc 8, 10, 11,

13, 16 Retensi hara, ketebalan gambut 19.208,03 31,67

4. N-oa, rc 4, 5 Ketersediaan oksigen, retensi hara, ketebalan/kematangan gambut

4.842,29 7,98

5. N-rc 6, 7, 9, 12 Retensi hara/ketebalan gambut, Kematangan gambut

10.503,29 17,32

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil survai dan analisis peta (2013)

Page 22: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

250 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 12 memperlihatkan bahwa luas lahan yang sesuai untuk tanaman perkebunan terutama Kelapa Sawit berdasarkan kriteria Kepmentan Tahun 2010 sebagaimana juga disyaratkan dalam Kepres No 2 Tahun 1990 menjadi bertambah yaitu dari 30.000 hektar menjadi 45.319,71 hektar atau mencapai 25 persen lebih dari luas ekosistem rawa Tripa. Areal yang kelasnya meningkat dari tidak sesuai (N) menjadi seusai marjinal (S3) ini tidak termasuk wilayah hutan rawa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 13. Dengan demikian, jika menggunakan kriteria batas ketebalan gambut adalah < 3 meter, berarti pemanfaatan lahan yang telah dikonversi dari hutan menjadi lahan perkebunan di Rawa Tripa ini telah memenuhi kriteria kesesuaian lahan apabila ketebalan gambutnya kurang atau maksimal 300 cm.

Tabel 13. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman perkebunan (kelapa Sawit) pada berbagai pola penggunaan lahan saat ini di areal TPSF

No Penggunaan Lahan Saat ini

Subkelas Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. Hutan primer /hutan rawa

N-rc N-Oa, rc

Genangan, ketebalan gambut, dan tingkat kematangan

11.455,45 20,53

2. Kebun campuran N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Retensi hara/ketebalan gambut, genangan, ketersediaan hara

30.338,15 50,02

3. Kebun Kelapa Sawit N-rc S3, rc S2-nr, fh S2-fh

Ketebalan gambut, retensi hara, ketersediaan hara, genangan/banjir

15.278,58 25,09

4. Lahan terbuka S3, rc Ketebalan gambut, retensi hara

2.905,86 4,79

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

3. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Hutan/Rawa

Hasil penilaian kesesuaian lahan pada setiap satuan lahan (SPL) untuk beberapa tanaman hutan/rawa seperti jelutung, ramin, meranti, jati, jabon, medang, dan sejenisnya di lokasi studi menunjukkan bahwa seluruh areal yang saat ini terdapat di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) sesuai untuk dikembangkan menjadi areal penanaman tanaman pohon hutan/reboisasi dan/atau tanaman hutan rawa sekiranya kelak ekosistem ini ingin dikembalikan menjadi kawasan hutan (reforestasi). Penjelasan lebih lanjut terhadap kesesuaian lahan disajikan pada Tabel 14 dan Gambar 9.

Tabel 14. Penilaian kelas kesesuaian lahan di areal TPSF dan pada setiap satuan lahan untuk tanaman pohon hutan/Rawa

No Kelas/Subkelas lahan

No SPL Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. S2-fh 2, 3, 11, 14 Bahaya banjir/genangan 22.318,36 36,81 2. S2-nr, fh 1, 15 Ketersediaan hara, genangan 6.619,98 10,91 3. S2-rc, fh 4, 5, 6, 7, 8,

10, 13, 16 Retensi hara, genangan 24.895,32 41,04

4. S3-rc 9, 12 Ketersediaan oksigen, retensi hara, ketebalan/kematangan gambut

6.813,62 11,24

Total 60.657,29 100,0

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Page 23: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 251

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Hutan/Rawa di areal TPSF

Hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya ada dua kelas kesesuaian lahan di areal studi yaitu S2 (cukup sesuai) dan S3 (agak sesuai). Faktor pembatas dominan adalah ancaman banjir/genangan, ketebalan gambut, ketersediaan oksigen, dan masalah retensi hara. Hubungan antara subkelas kesesuaian lahan dan pola pemnggunaan lahan di ekosistem Rawa Tripa dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman hutan/rawa (jati, jabon, ramin, jelutung,

dan lain-lain) pada berbagai pola penggunaan lahan saat ini di areal TPSF

No Penggunaan Lahan Saat ini

Subkelas Faktor Penghambat Luas Areal

ha %

1. Hutan primer /hutan rawa

S2-fh S2-rc, fh S3-rc

Genangan, ketebalan gambut, dan tingkat kematangan

11.455,45 20,53

2. Kebun campuran S2-rc, fh S2-fh S2-nr, fh

Retensi hara/ketebalan gambut, genangan, ketersediaan hara

30.338,15 50,02

3. Kebun Kelapa Sawit S2-rc, fh S3-rc

Ketebalan gambut, retensi hara, ketersediaan hara, genangan/banjir

15.278,58 25,09

4. Lahan terbuka S2, rc, fh S2-fh

Genangan, retensi hara 2.905,86 4,79

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Tabel 15 menjelaskan bahwa semua areal yang terdapat di ekosistem Hutan Gambut Rawa Tripa saat ini sangat mungkin dikembangkan dengan tanaman pohon hutan/tumbuhan rawa, sehingga jika kelak ingin dilestarikan menjadi ekosistem hutan,

Page 24: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

252 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

maka konversi tanaman yang telah ada saat ini dari tanaman kelapa sawit dan tanaman lahan kering lainnya dengan tanaman hutan/rawa sangat dimungkinkan asalkan dikelola dengan baik dan sesuai asas-asas konservasi lahan dan tanaman.

F. Analisis Tingkat Degradasi Lahan

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dulunya merupakan areal yang ditumbuhi oleh vegetasi asli berupa hutan rawa bergambut. Namun, adanya aktivitas pembukaan lahan untuk menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran telah menyebabkan hilangnya vegetasi asli dan telah berubah menjadi lahan pertanian/perkebunan. Dengan adanya konversi lahan ini, maka jika ditinjau dari ekosistem hutan, ekosistem hutan rawa gambut Tripa telah dan akan terjadi perubahan dari kondisi awalnya. Dampak perubahan bisa bernilai negatif (degradasi) bisa juga berdampak positif. Untuk melihat seberapa jauh telah terjadi perubahan pada kualitas atau nilai tata guna lahan dan lingkungan (ekologi), maka evaluasi tingkat degradasi lahan, dibagi atas tiga aspek, yaitu : (1) aspek degradasi tanah/gambut, (2) aspek degradasi tanaman/vegetasi, dan (3) aspek degradasi lingkungan/ekologis. Penilaian degradasi tanah didasarkan pada beberapa parameter sifat fisika dan kimia tanah/gambut seperti nilai bulk density (BV), tingkat kematangan gambut, warna tanah, ketebalan gambut, daya pegang air (water holding capacity), permeabilitas, pH tanah, dan kandungan C organik tanah. Penilaian degradasi tanaman /vegetasi didasarkan pada perubahan dari pola penutupan lahan, indeks keragaman vegetasi, keragaman jenis, dan kandungan C serta biomassa tanah dan tanaman, sedangkan penilaian degradasi lingkungan (ekologis) didasarkan pada perubahan beberapa aspek lingkungan yang berkaitan dengan tata air/hidrologi, penurunan permukaan lahan (subsidensi), dan laju emisi CO2 serta aspek-aspek lingkungan lainnya.

1. Degradasi Tanah/Gambut

Aktifitas pembukaan lahan pada areal hutan rawa gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran telah menyebabkan terjadinya perubahan pada tanah/gambut. Perubahan pada tanah dapat dilihat dari profil horizon pada lahan gambut tersebut yaitu perubahan lapisan horizon dan kedalaman serta tingkat kematangan gambut. Lahan gambut yang semula berada dalam keadaan tergenang, setelah dijadikan lahan perkebunan/lahan garapan telah berubah menjadi lahan kering. Perubahan lahan dari kondisi tergenang menjadi lahan kering akibat pembuatan saluran drainase (pengeringan lahan), telah pula terjadi perubahan pada sifat-sifat atau karakteristik gambut/tanah yaitu : (1) Terjadi perubahan ketebalan dan tingkat kematangan dari gambut, (2) Terjadinya perubahan pada fisik bahan gambut yaitu pembentukan kerak gambut

akibat proses pengeringan yang bersifat tidak balik (iireversible shingkage), (3) Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia pada tanah/gambut.

Perubahan Ketebalan dan Kematangan Gambut

Hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium yang menunjukkan bahwa wilayah studi terdiri atas dua jenis bahan induk/litologi yaitu bahan alluvial dan bahan organik/gambut, maka perubahan akibat degradasi lahan antara kedua bahan induk tersebut ternyata sangat berbeda. Pada tanah yang terbentuk dari bahan mineral (Aluvial), perubahan ini tidak terjadi meskipun lahan telah digunakan dalam waktu lebih dari 10 tahun, karena Bobot isi (BV) tanah berada sekitar 1,0-1,1 Mg m-3, sehingga

Page 25: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 253

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

penyusutan tanah tidak terjadi. Hasil pengamatan lapangan juga ditemukan bahwa tumbuhan atau tanaman kelapa sawit yang ditanam pada tanah jenis mineral ini, tumbuhnya relatif tegak karena daya penyangga tanah terhadap akar tanaman cukup kuat. Kondisi seperti di atas sangat berbeda kelakuannya pada tanah yang terbentuk dari bahan organik atau gambut. Pada tanah gambut ini, hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan dari hutan rawa menjadi lahan perkebunan ternyata berpengaruh besar terhadap proses perubahan ketebalan gambut dan tingkat kematangannya (Tabel 16).

Tabel 16. Perubahan Profil Gambut di perkebunan kelapa sawit pada berbagai Tingkat Penggunaan/Pemanfaatan Lahan

Simbol Horizon

Kedalaman (cm) Uraian

a. Tipe Hutan Rawa Gambut

Oe 0 – 20 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik Oe 20 - 40 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik Oei 40 - 60 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); hemik-fibrik Oi 60 - 120 Hitam kemerahan – merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/1-2);

fibrik Oi 140 - 500 Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); -fibrik b. Lahan Gambut baru Dibuka < 3 tahun Oe 0 - 20 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), hemik Oi 20 - 40 Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); fibrik Oi 40 - 80 Merah sangat kusam (2.5 YR 2.5/2); fibrik Ao 80 - 100 Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu, masif A > 100 Kelabu kehijauan terang (10 Y 7/2), liat; masif

c. Perkebunan Kelapa Sawit/Kebun Usia 3- 9 tahun

Oe 0 – 10 Coklat kemerahan (5YR 2.5/1), hemik Oi 10 – 30 Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); hemik Oi 30 - 80 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); hemik Oi 80 – 130 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); fibrik Oi > 130 Coklat kemerahan gelap (5YR 3/2); fibrik

d. Perkebunan Kelapa Sawit /Kebun > 10 tahun Oa 0 – 33 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), safrik Ao 33 – 45 Coklat gelap (7.5 YR 3/2), hemik liat berdebu, masif

A1 45 – 100 Merah lemah – coklat olive ringan (10 R 5/4 – 2.5 Y 5/3), liat, matang

A2 > 100 Kelabu kecoklatan ringan (10 YR 6/2), liat, matang e. Kebun Campuran Usia > 10 Tahun (Non Gambut) Oa 0 – 5 Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), safrik Ao 5 – 24 Coklat gelap (7.5 YR 3/2), hemik liat berdebu, masif A1 24 – 65 Merah lemah – coklat olive ringan (10 R 5/4 – 2.5 Y 5/3), liat,

matang B1 65-80 Kelabu kecoklatan ringan (10 YR 6/2), liat, matang B2 > 80 Coklat kelabu tua, liat, matang

Sumber : Hasil Analisis Data Lapangan (2013)

Aktifitas pembukaan lahan pada perkebunan kelapa sawit juga menyebabkan terjadinya perubahan ketebalan, muka air tanah dan kadar air. Tingkat ketebalan (kedalaman) gambut bervariasi, dimana semakin ke arah kubah gambut (dome) akan semakin meningkat. Namun sebaran kubah gambut tidak secara konsisten mengikuti transek

Page 26: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

254 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

(alur) fisiografi, karena wilayah Rawa Tripa merupakan wilayah yang terbentuk dari tiga kubah gambut yang diselingi oleh tiga jalur sungai. Dengan adanya tiga kubah gambut tersebut, maka sebaran ketebalan > 3 m ditemukan pada puncak kubah dan sebaran gambut yang tebalnya < 3 meter ditemukan di sepanjang jalur sungai dan pembatas antara kubah gambut kecuali di bagian sisi kanan wilayah rawa yang didominasi oleh bahan alluvial (endapan halus).

Pada profil tanah gambut yang berada disepanjang alur sungai, ketebalannya berkisar dari 30–40 cm, gambut transisi yang berada antara jalur alluvial dan kubah memiliki ketebalan antara 40–550 cm, sedangkan pada lahan dengan vegetasi hutan rawa ketebalannya antara mencapai 500 cm. Perubahan kedalaman horizon pada gambut dengan tingkat kematangan hemik seperti yang ditemukan pada tanah Organosol Hemik (Typic Haplohemist) menjadi semakin dangkal dengan pertambahan usia perkebunan kelapa sawit atau semakin lama lahan digunakan dalam kondisi kering. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan gambut dari fibrik menuju kondisi hemik dan saprik.

Hasil pengamatan sifat-sifat gambut pada berbagai pola pemanfaatan lahan (usia pakai lahan), secara umum memperlihatkan bahwa semakin lama lahan dikelola dalam kondisi kering, ciri tanah gambut makin cepat berubah dari fribrik menjadi hemik dan saprik. Hal ini dapat dilihat dari warna gambut menjadi hitam kemerahan pada lapisan 0–35 cm dan kondisi matrik gambut menjadi lebih kompak karena telah terjadi konsolidasi. Perubahan ini terjadi karena pengeringan lahan dapat menyebabkan biomassa gambut mengalami perombakan (dekomposisi) oleh mikrobia secara aerobik (Agus et al., 2009). Di bawah kondisi tergenang, material gambut dapat bertahan lama di dalam air dan tidak mudah mengalami dekomposisi karena suasana reduktif menghambat aktivitas enzimatis dari mikrobia dekompuser (Sabiham et al., 2009). Akan tetapi jika dikeringkan, maka aktivitas perombakan akan meningkat sehingga proses dekomposisi akan berjalan dengan cepat. Akibatnya adalah sebagian besar biomassa organik akan terurai menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti asam-asam organik, gas CO2, metan (CH4), dan anion-anion yang lain seperti SO4, SO2, NO2 dan N2O (FAO, 2005).

Perubahan terhadap Kemampuan Mengikat Air

Pengeringan lahan gambut dengan pembuatan sistem drainase dapat merubah kemampuan gambut dalam penyerapan air. Hal ini terjadi karena dengan pengeringan, massa gambut akan terjadi kompak dan membentuk material yang padu (consolidated). Akibatnya porositas tanah menurun sehingga kemampuan menyimpan air berkurang. Semakin lama pembiaran tanah dalam keadaan kering atau semakin lama usia tanam perkebunan sawit akan semakin rendah kadar air pada lahan gambut tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh perubahan tingkat kematangan (dekomposisi) gambut yang terjadi pada perkebunan sawit tersebut. Kemampuan menyerap (absorbing) dan memegang (retaining) air dari gambut tergantung pada tingkat kematangannya (Noor, 2001). Kemampuan menyerap dan mengikat air pada gambut fibrik lebih besar dari gambut hemik dan saprik, sedangkan gambut hemik lebih besar dari saprik (Sabiham, 2009).

Hasil pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa dengan konversi lahan dari hutan rawa menjadi lahan pertanian ternyata secara teratur telah terjadi perubahan pada kemampuan tanah/gambut dalam mengikat air. Hal ini terjadi karena terjadinya pematangan gambut dari fibrik menjadi hemik hingga saprik. Gambut dengan tingkat fabrik ditandai dengan rendahnya nilai BV tanah yaitu kurang dari 0,5 Mg m-3. Dengan semakin matang gambut maka nilai BV ini semakin besar yaitu berkisar dari 0,35-0,55

Page 27: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 255

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

untuk hemik dan 0,5-0,75 untuk saprik. Perubahan ini diikuti dengan menurunnya kemampuan bahan gambut dalam menahan air, karena kadar air gambut fabrik bisa mencapai 2-3 kali lebih tinggi dalam menyerap air dibandingkan dengan gambut yang matang.

Berdasarkan kriteria ini maka dapat dikatakan bahwa menurunnya kemampuan mengikat air merupakan salah satu aspek dari degradasi tanah gambut, walaupun dari aspek kualitas tanah untuk pertanian mungkin sifat ini bisa dinilai menjadi lebih baik karena dengan meningkatnya nilai BV tanah maka kemampuan tanah dalam menyangga akar tanaman (bearing capacity) akan meningkat atau bertambah baik (Agus et al., 2009). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan massa bahan gambut dari kondisi fibrik menjadi saprik, di satu sisi dapat menyebabkan terjadinya degradasi lahan karena daya pegang air berkurang, namun di sisi lain memberikan nilai positip sebagai media pertumbuhan tanaman karena meningkatnya konsolidasi tanah/gambut.

Perubahan Sifat Tanah/Gambut

(a) Sifat-sifat Kimia Tanah.

Tanah gambut yang dikeringkan akan mengalami perubahan pada beberapa sifat kimia tanah. Tabel 17 memperlihatkan bahwa nilai pH tanah lapisan atas ternyata agak bervariasi antara jenis tanah dan secara umum berada pada kisaran nilai pH berada antara masam (5,07) hingga agak masam (5,64) untuk pH H2O. Untuk pH KCl nilai lebih rendah yaitu dari 4,28 hingga 5,01. Nilai-nilai pH ini sedikit berbeda dengan saat pengamatan lapangan yang menunjukkan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan analisis laboratorium sebagai akibat dari pengeringan sampel.

Tabel 17. Nilai pH tanah, C organik, N total dan kadar abu pada berbagai jenis tanah lapisan atas (0-20 cm) di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

No Macam/JenisTanah

(SN/USDA)

Sifat-sifat Kimia Tanah/Gambut

pH H2O pH KCl

pH H2O2

C-organik (%)

N total (%)

C/N Kadar Abu

(%)

1 Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent)

5,64 5,01 6,51 3,28 0,24 13,67 4,52

2 Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

5,54 5,07 5,13 3,65 0,18 20,28 4,32

3 Aluvial Gleik (Typic Tropaquent)

5,54 4,94 5,44 2,59 0,16 16,19 5,05

4 Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist)

5,15 4,68 5,27 45,21 1,42 31,84 2,19

5 Organosol Hemik (Typic Haplohemist)

5,07 4,51 4,30 47,50 1,77 26,83 3,42

6 Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

5,11 4,28 4,66 67,10 2,94 22,82 3,91

Sumber : Hasil Analisis Tanah (diolah) (2013)

Pada tanah Aluvial Eutrik nilai pH tanah berada pada kisaran pH agak masam karena tanah ini mengandung banyak bahan mineral. Pada jenis tanah gambut (Organosol), pH tanah relatif masam hingga sangat masam. Hal ini terjadi karena dengan pengeringan lahan, maka akan terjadi oksidasi beberapa senyawa organik yang menyebabkan terlepasnya beberapa gugus asam seperti karboksilat. Gugus-gugus ini membentuk asam-asam organik yang menyebabkan tanah menjadi asam. Beberapa asam ini juga dapat memberikan efek negatif pada tanaman (Agus et al., 2011). Selanjutnya hasil

Page 28: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

256 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

pengukuran pH H2O2 ternyata pada hampir semua sampel tanah lapisan olah memiliki pH antara 4,33 hingga 6,51. Demikian juga hasil pengukuran sampel pada kedalaman 60-80 cm, ternyata nilai pH umumnya berada di atas pH 4,5 dan tidak ada yang mempunyai pH ekstrim atau <3,50. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua profil tanah di areal survai tidak ada indikasi adanya bahaya pirit. Adanya pirit terindikasi jika pH H2O2 tanah pada kedalaman 60-80 cm lebih kecil atau sama dengan pH 3,50 (Mansur, 2001). Pembentukan pirit memerlukan lingkungan tanah yang anaerob, sumber sulfat terlarut, bahan organik, sumber besi dan waktu. Pirit dapat terbentuk di daerah-daerah seperti: (1) lembah pegunungan yang drainasenya kurang baik dan airnya kaya akan sulfat, (2) dasar air payau, laut dan atau danau, serta (3) tanah endapan pasang surut atau marin (Widjaja-Adhi et al., 1992).

Akumulasi lapisan pirit ini biasanya ditemukan pada rawa dangkal atau rawa pasang surut. Namun kondisi ini tidak ditemukan di lokasi studi Rawa tripa sehingga tidak ada potensi bahaya pirit sebagaimana dibuktikan dari hasil analisis tanah di laboratorium. Subagyo (1997) menyatakan bahwa kandungan pirit dalam tanah marin sangat bervariasi. Lapisan pirit umumnya terdapat pada kedalaman 50 cm, 50-150 cm, dan lebih dari 150 cm di bawah permukaan tanah. Pirit akan goyah dan labil bila lahan direklamasi, seperti pembuatan saluran-saluran drainase serta pengolahan tanah yang menyebabkan lapisan pirit terangkat ke permukaan tanah. Kondisi ini menyebabkan lingkungan pirit menjadi terbuka dan bersifat aerobik, sehingga terjadi oksidasi. Oksidasi pirit yang berlanjut akan menghasilkan asam sulfat dan terlepasnya ion H+ yang mengakibatkan pH tanah makin rendah. Ion H+ yang terlalu banyak dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat dan terlepasnya ion Al3+ dari struktur mineral yang dalam jumlah tertentu bersifat racun bagi tanaman. Pada kondisi demikian, pertumbuhan tanaman menjadi terganggu karena adanya kombinasi pH yang sangat rendah dan tidak tersedianya fosfat karena terfiksasi. Dalam proses pemasaman hara kation Ca, Mg, dan K terdesak serta tercuci dan terbawa air saat surut (Widjaja-Adhi, 1997).

Nilai pH tanah juga bervariasi pada berbagai pola penggunaan lahan dan tingkat perkembangan. Hasil tabulasi data analisis menunjukkan bahwa pH H2O dan pH KCl untuk gambut yang baru dibuka dengan gambut yang telah lama digunakan mempunyai nilai yang berbeda. Pada gambut muda di bawah vegetasi alami (hutan rawa) nilai pH sangat masam jika baru dibuka untuk pertanian lahan kering dan semakin matang gambut (saprik) dan semakin lama dipakai sebagai lahan pertanian maka nilai pH tanah cenderung meningkat sehingga semakin sesuai bagi tanaman pertanian.

Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada gambut muda pH H2O pada usia tanam sawit atau kebun campuran < 3 tahun pH tanah berkisar 4,47-4,51, usia tanaman 3–9 tahun 4,65-5,74 dan usia tanaman > 10 tahun nilai pH berkisar 5,02-5,81. Demikian juga untuk pH KCl, perubahannya cenderung mengikuti perubahan pH H2O. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian lahan yang lama pH tanah akan berubah dari masam menjadi agak masam. Fakta ini mengisyaratkan bahwa gambut yang telah lama dibuka untuk lahan pertanian, maka kondisi sifat keasamannya akan mengalami perubahan menuju pH yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Hasil pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa performan tanaman pada gambut yang telah lama dibuka/digunakan terlihat semakin membaik. Sebaliknya pada lahan dengan gambut muda yang baru dibuka pertumbuhan tanaman seperti kelapa sawit kurang baik yang ditandai dengan daunnya menguning dan mudah rebah.

Daun yang menguning ini diduga sebagai dampak dari nilai pH tanah yang ekstrim asam dan akibat pengaruh dari asam-asam organik. Kerebahan tanaman terjadi sebagai akibat

Page 29: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 257

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

rendahnya daya penyangga gambut terhadap akar tanaman. Perubahan pH tanah pada jenis tanah Aluvial yang didominasi bahan mineral relatif kecil dibandingkan dengan perubahan pH pada tanah gambut.

Tabel 18. Nilai pH tanah, C organik, dan kadar abu tanah lapisan atas (0-20 cm) pada berbagai tipe pemanfaatan lahan di Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa

Pemanfaatan Lahan Sifat-sifat kimia Tanah/Gambut

pH H2O C-organik (%) Kadar Abu (%)

Hutan Rawa 4,47-4,51 43,28-52,11 2,89-3,32 Kebun campuran > 10 tahun 5,02-5,81 2,25-13,48 4,01-4,72 Kebun campuran 3-9 tahun 5,21-5,45 2,59-46,72 3,87-4,05 Kebun sawit < 3 tahun 5,15-5,21 14,19-45,21 2,29-4,21 Kebun sawit 3-9 tahun 5,12-5,63 23,8-61,50 3,35-3,42 Kebun sawit > 10 tahun 5,42-5,78 14,69-42,14 4,19-5,41 Lahan Terbuka/alang 5,13-5,23 3,28-32,71 3,28-4,52

Sumber : Hasil Analisis Tanah, diolah (2013)

Kandungan C-organik (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar usia tanam, fisiografi lahan/jenis tanah dan hutan rawa gambut. Pada perkebunan sawit dengan fisiografi lahan gambut kandungan C-organik berkisar 14,19 – 61,50 persen. Pada lahan kelapa sawit atau kebun campuran dengan jenis tanah Aluvial, kandungan C organik relatif rendah yaitu antara 2,56–18,74% dan nilai ini bervariasi antara profil tanah. Menurut Barchia (2009) dan Riwandi (2001) kandungan C-organik pada tanah gambut termasuk tinggi berkisar antara 54,3–57,84%. Semakin lama pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian lahan kering, maka kandungan C organik semakin berkurang karena terjadi dekomposisi.

Demikian juga kadar abu (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan antar usia tanam dan tipe fisiografi lahan dan rawa gambut. Perkebunan sawit dengan jenis tanah gambut, kadar abu berkisar antara 2,29 – 5,41%. Pada lahan dengan jenis tanah Aluvial, kadar abu berkisar antara 3,78-4,56% dan pada hutan rawa gambut 3,56-4,62. Hasil penelitian Sabiham dan Ismangun (1997) menyebutkan bahwa kadar abu (%) pada lahan gambut bervariasi dari 0,94 - 5,10%. Perbedaan ini tergantung kepada komposisi bahan oragnik tanah. Pada tanah bukan gambut, kadar abu ini makin tinggi, sehingga kejenuhan basanya juga makin besar. Hasil penelitian Sabiham et al . (2007) mengemukakan bahwa ada korelasi yang bersifat linear antara ketebalan gambut (cm), kandungan C-organik (%) dan kadar abu (%) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit yang diteliti di Bengkalis. Ketebalan gambut berhubungan sangat kuat dengan kadar C-organik (R2 = 0,703), dimana semakin besar tingkat kedalaman gambut akan semakin tinggi kadar C-organik. Sebaliknya semakin tinggi ketebalan gambut pada perkebunan kelapa sawit maka semakin rendah kadar abu (R2 = 0,732). Kadar C-organik juga berhubungan terbalik dengan kadar abu, dimana semakin tinggi kadar C-organik akan semakin rendah kadar abu (R2 = 0,98) pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Informasi ini memberikan implikasi bahwa jika tanah gambut digunakan dalam jangka panjang, maka akan terjadi degradasi karbon pada lahan di bawah tanah akibat terjadinya dekomposisi bahan organik oleh mikrobia tanah terutama dalam suasana oksidatif (Stevenson, 2004; FAO, 2005).

Page 30: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

258 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Sifat-sifat Fisika Tanah.

Nilai beberapa sifat fisika tanah yang disajikan pada Tabel 19 memperlihatkan bahwa BV tanah, sebaran ukuran butir dan kadar air bahan tanah berbeda antar jenis tanah dan tingkat kematangan gambut. Nilai BV tanah mineral di wilayah studi secara umum lebih tinggi daripada nilai BV tanah gambut. Nilai BV tanah mineral berkisar dari 0,74 hingga 1,06 sedangkan pada tanah gambut bervariasi dari 0,31-0,72. Pada lahan dengan bahan tanah gambut, ternyata nilai BV paling rendah ditemukan pada jenis gambut muda yaitu Organosol fibrik/Typic Haplofibrist dengan BV < 0,51, sedangkan pada gambut yang telah berkembang nilai BV berada antara 0,53-0,71. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan rawa gambut menjadi ekosistem pertanian lahan kering akan memberikan perubahan pada sifat fisika tanah yang ditandai dengan meningkatnya BV tanah.

Tabel 19. Sifat-sifat Fisika Tanah pada berbagai Jenis Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

No Macam/JenisTanah

(SNI/USDA)

Sifat-sifat Fisika Tanah/Gambut

Bulk density /BV (Mg m

-3)

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

Kelas Tektur

Kadar air (%)

Sifat bahan

1 Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent)

0,79-1,01 23 34 43 Liat 12,3 Gambut campuran

2 Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

0,91-1,06 23 40 37 Liat Berdebu

12,3 Gambut campuran

3 Aluvial Gleik (Typic Tropaquent)

0,74-0,91 34 34 32 Lempung 12,3 Gambut campuran

4 Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist)

0,31-0,43 - - - - 323,5 Gambut

5 Organosol Hemik (Typic Haplohemist)

0,53-0,64 - - - - 292,8 Gambut

6 Organosol Saprik (Typic Haplosaprist)

0,61-0,72 - - - - 182,3 Gambut

Sumber : Hasil analisis tanah, diolah (2013)

Dari aspek lahan pertanian, peningkatan BV dan kematangan gambut ini merupakan suatu indikasi perubahan kualitas lahan gambut yang makin membaik. Lahan gambut dengan BV < 0,5 atau lebih kecil kurang sesuai untuk lahan pertanian terutama untuk tanaman keras karena daya dukung tanah rendah. Hasil pengamatan lapangan juga memperlihatkan bahwa pada lahan gambut saprik, konsolidasi tanah telah berjalan dengan baik sehingga tanah menjadi lebih kompak. Dengan meningkatnya BV ini maka daya dukung terhadap tanaman budidaya seperti kelapa sawit manjadi lebih baik. Di sisi yang lain, Tabel 19 di atas memperlihatkan terjadinya peningkatan nilai BV dari tanah gambut akan menyebabkan tanah gambut terjadi penyusutan sehingga akan menimbulkan penurunan muka tanah (subsidensi) dan secara fisik bahan juga akan mengalami penurunan kapasitas penyerapan air sebagai mana ditunjukkan dari data dalam Tabel 20.

Tabel 20 memperlihatkan bahwa semakin matang gambut, kemampuan memegang air makin rendah. Demikian pula jika dibandingkan antara tanah mineral dengan tanah gambut yang menunjukkan tanah gambut bisa memegang air 2-3 kali lipat. Nilai BV tanah juga berbeda antara tipe penggunaan lahan atau antara hutan rawa, kebun campuran/kebun sawit muda (< 3 tahun) dengan kebun sawit usia >10 tahun. Tabel 20 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai BV pada hutan rawa bergambut adalah 0,41 Mg m-3, pada kebun campuran atau kebun sawit muda < 3 tahun berkisar 0,57 Mg m-3, dan pada

Page 31: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 259

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

kebun campuran/kebun sawit > yang telah diusahakn 3-10 tahun lebih nilai BV berkisar dari 0,68-1,01 Mg m-3. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konversi lahan gambut menjadi lahan usaha pertanian, maka nilai BV tanah mengalami peningkatan dari 0,31 menjadi 1,01. Kondisi ini terjadi karena dengan penggunaan lahan akibat pengeringan akan terjadi konsolidasi pada material gambut sehingga BV (bobot volume) tanah makin tinggi. Peningkatan nilai BV dari satu sisi memberikan keuntungan pada tanaman karena dapat meningkatkan daya sanggah tanah terhadap akar tanaman (bearing capacity), namun di sisi yang lain sifat ini bisa dianggap suatu bentuk degradasi lahan karena material akan menjadi padu (compaction) dan khusus pada gambut akan terjadi penyusutan atau penurunan muka tanah (subsidence).

Tabel 20. Sifat-sifat fisika tanah lapisan atas (0-20 cm) pada berbagai tipe pemanfaatan lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa

Pemanfaatan Lahan

Sifat-sifat Fisika Tanah/Gambut

Bulk density /BV (Mg m

-3)

Pasir (%)

Debu (%)

Liat (%)

Kelas Tektur

Kadar air (%)

Sifat lainnya

Hutan Rawa 0,41 - - - - 312,5 Gambut Kebun campuran > 10 tahun

1,02 42 21 47 Liat 16,5 Mineral

Kebun campuran 3-9 tahun 0,87 34 33 23 Lempung 81,9

campuran mineral + gambutl

Kebun sawit < 3 tahun

0,57 - - - - 242,8 Gambut

Kebun sawit 3-9 tahun

0,68 - - - - 242,8 Gambut

Kebun sawit > 10 tahun 0,93 24 23 53 Liat 42,3

campuran mineral + gambutl

Lahan Terbuka /alang

1,01 62 11 23 Pasir

berliat 6,4 Mineral

Sumber : Hasil Analisis Tanah, diolah (2013)

Berdasarkan fenomena tersebut dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan lahan gambut dari kondisi rawa (wetland) menjadi lahan kering (dryland) dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat-sifat fisika tanah berupa peningkatan BV (konsolidasi material), penurunan daya pegang air, dan penyusutan muka tanah. Penyusutan bahan gambut ini bersifat perubahan yang tidak balik (unreversible) sehingga jika gambut dikeringkan maka akan sulit dikembalikan ke kondisi awalnya. Hal ini bermakna bahwa dari aspek fisika tanah, pengembalian sifat lahan gambut yang telah dikeringkan menjadi kondisi seperti awal (gambut rawa) menjadi sangat sulit dilakukan. Berdasarkan sifat-sifat tanah maka dapat dikatakan bahwa perubahan gambut akibat pengeringan memberikan peningkatan pada status kesuburan tanah namun secara ekologis dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada sifat intrinsik gambut yang berdampak pada perubahan tata hidrologis dan ekologis.

Degradasi Hutan

Degradasi hutan/vegetasi alami pada ekosistem hutan rawa gambut merupakan salah satu aspek kajian rehabilitasi lahan dan lingkungan. Hasil penelitian ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari peta penutupan lahan dan pengamatan lapangan

Page 32: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

260 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

menunjukkan bahwa Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa yang ada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya telah terjadi perubahan terhadap vegetasi alami menjadi areal perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Proses ini diawali dengan adanya aktifitas deforestasi yang dilakukan oleh masyarakat dan para pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di lokasi tersebut. Perubahan ekosistem rawa ini berdasarkan informasi masyarakat setempat telah terjadi lebih dari 20 tahun secara bertahap dan perubahan alih fungsi hutan rawa ini hingga saat ini masih terus berlanjut.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa luas Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) adalah 60.657,29 hektar. Dari seluruh areal tersebut, yang masih berupa hutan rawa gambut adalah seluas 12.834 hektar, namun sebaran hutan ini hanya terkonsentrasi di bagian selatan kubah tengah gambut dan sepanjang jalur pantai. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa hutan rawa inipun bukan lagi hutan primer karena sebagian besar vegetasi asli telah berubah akibat pengalihan fungsi hutan. Kondisi lahan saat ini adalah 80% lebih telah berubah menjadi lahan pertanian untuk perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. Dengan asumsi awal hutan ini, maka dapat dikatakan bahwa konversi hutan rawa menjadi lahan pertanian merupakan salah satu proses penurunan kualitas lahan/degradasi. Untuk mengkaji lebih lanjut terhadap proses degradasi tanaman/hutan ini dapat dilihat dari analisis kandungan karbon (C) pada biomassa tanaman atas dan kandungan C tanah/bawah, perhitungan jumlah biomassa tanaman pada berbagai tipe penggunaan lahan, dan analisis/pengukuran emisis gas karbon dioksida (CO2) yang dilakukan oleh Tim Kajian 9 (PIU SERT Unsyiah, 2013) pada tiga kubah gambut di areal TPSF.

Dari pola penutupan lahan, maka degradasi vegetasi dari tahun ke tahun yang terjadi di ekosistem TPSF akibat perubahan tipe penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 21 sedangkan secara diagram (grafik) dapat dilihat pada Gambar 10 yang memperlihatkan bahwa luas areal hutan semakin menurun sedangkan areal perkebunan semakin meningkat hingga tahun 2009. Namun terdapat hal unik terhadap areal perkebunan, yaitu menurun kembali pada tahun 2013, hal ini karena terjadi karean ada sebagian areal perkebunan telah dialihkan menjadi areal kebun campuran baik pada lahan yang dikelola oleh perusahaan maupun lahan garapan masyarakat.

Tabel 21. Perbandingan Luas Tutupan Lahan di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa dari tahun 2006 - 2013

No Tutupan lahan Luas areal (ha)/tahun

2006 2007 2008 2009 2013

1 Hutan 34.218,07 32.983,31 26.705,89 15.362,86 12.455,45

2 Perkebunan kelapa sawit

20.530,76 19.367,69 30.064,48 37.541,92 23.513,60

3 Kebun campuran 5.853,22 7.968,80 3.209,36 6.907,30 22.410,65

4 Lahan terbuka 55,24 337,49 677,56 845,21 2.277,59

Jumlah 60.657,29 60.657,29 60.657,29 60.657,29 60.657,29

Sumber : Hasil Analisis Peta Tutupan Lahan (2013)

Demikian juga halnya dengan lahan terbuka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data ini menunjukkan bahwa dari sisi vegetasi, maka berkurangnya areal hutan menjadi areal kebun sawit dan kebun campuran merupakan salah satu bentuk degradasi vegetasi karena indeks keragaman hayati dapat mengalami penurunan.

Page 33: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 261

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 10. Perubahan pola penggunaan lahan di ekosistem TPSF selama 5 tahun terakhir

Kandungan C dan Bahan Organik Tanah

Kandungan C dan bahan organic tanah berbeda antara jenis tanah dan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Kandungan C ini tergantung ketebalan bahan organik tanah/gambut dan nilai ini dipengaruhi neraca karbon di dalam tanah. Tabel 22 dapat dilihat bahwa kandungan C tanah rata-rata dari lapisan atas (0-20 cm) paling rendah ditemukan pada tanah mineral sedangkan pada tanah gambut bervariasi tergantung kepada ketebalan dan tingkat kematangan gambut. Pada gambut yang telah matang, pada tingkat ketebalan yang sama maka kandungan C tanahnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan C tanah gambut yang masih muda. Hasil analisis data pada Tabel 22 memperlihatkan bahwa pada lapisan tanah atas, ternyata kadar C tanah juga bervariasi antar jenis tanah. Tanah gambut dengan tingkat kematangan rendah (fibrik), kadar C tanahnya relatif lebih kecil daripada gambut yang telah matang dengan urutan : fibrik , hemik , dan saprik. Perbedaan densitas bahan organik antara jenis tanah terjadi karena selain tergantung pada kadar C juga tergantung pada nilai bobot isi (BV) tanah.

Tabel 22. Rata-rata kandungan C dan bahan organik tanah lapisan atas (0-20 cm) pada

berbagai jenis tanah di ekosistem hutan rawa gambut Tripa

No Macam/Jenis Tanah (SN/USDA)

C-organik tanah (t ha

-1)

Bahan Organik (t ha

-1)

1 Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent) 3,30 – 3,65 5,69 - 6.29 2 Aluvial Distrik (Typic Dystropepts) 1,17 – 3,04 2,02 – 5,24 3 Aluvial Gleik (Typic Tropaquent) 1,14 – 1,55 1,96 – 2,67 4 Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist) 42,57 – 50,06 73,39 – 86,30 5 Organosol Hemik (Typic Haplohemiist) 51,10 – 52,69 88,10 – 96,34 6 Organosol Saprik (Typic Haplosaprist) 55,88 – 56,28 96,34 – 97,03

Sumber : Hasil Analisis Tanah (2013)

Hasil penelitian ini selaras dengan hasil kajian 8 (PIU SERT Unsyiah, 2013) yang menunjukkan adanya indikasi bahwa dengan semakin lama penggunaan lahan untuk tanaman kelapa sawit, maka kandungan biomassa/bahan organik dalam tanah gambut makin berkurang karena terjadi dekomposisi. Hooijer et al. (2006) dan Handayani (2009)

Page 34: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

262 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

sebagaimana dikutip oleh Sabiham et al. (2009), menyebutkan bahwa semakin tebal gambut maka kandungan karbon (c) akan semakin meningkat dengan tingkat korelasi yang tinggi (R2=0,996). Kedalaman muka air tanah berpengaruh dengan fluks CO2 pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit. Hal senada telah pula dilaporkan oleh Sabiham et al. (2009) yang mendapatkan ada hubungan yang sangat signifikan (R2=0,898) antara pertambahan usia kelapa sawit dengan peningkatan biomassa (t ha-1).

Degradasi Lingkungan (Ekologis)

Berdasarkan penilaian terhadap perubahan biofisik lahan gambut, maka secara ekologis yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi adalah tinggi muka air tanah (water lavel). Kondisi muka air tanah akan merubah dekomposisi anaerob menjadi aerob sehingga laju perombakan bahan organik akan dipercepat. Hal ini mempengaruhi kadar air, kadar abu, pH, C-organik pada lahan gambut. Las et al. (2008) dan Sabiham (2007) menyebutkan bahwa pengaturan tata air makro maupun tata air mikro sangat mempengaruhi karakteristik lahan gambut. Tinggi muka air tanah akan mempengaruhi dekomposisi gambut (subsiden) dan kering tak balik (irreversibel drying). Kemampuan untuk mengatasi permasalahan biofisik gambut seperti kemasaman, penurunan muka tanah, dan sifat kering tak balik akan berpengaruh pada penurunan produktivitas lahan gambut.

Perubahan Muka Air Tanah

Perubahan lain akibat konversi lahan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit di areal TPSF adalah terjadinya penurunan muka air tanah. Hasil pengamatan lapangan secara umum ditemukan bahwa pembuatan saluran drainase di lokasi studi umumnya cukup dalam hingga mencapai kedalaman 2-3 meter lebih dengan lebar yang beragam. Pembuatan saluran drainase yang terlalu dalam ini di satu sisi akan mempercepat pengeringan lahan sehingga memudahkan bagi pengelola kebun untuk mengusahakan arealnya untuk penanaman kelapa sawit atau tanaman lainnya. Namun, di sisi yang lain terjadi penurunan muka air tanah akibat daya simpan air oleh gambut menjadi menurun.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tinggi muka air tanah bervariasi tergantung ketebalan gambut, tingkat kematangan, dan kedalaman serta lama umur pakai lahan untuk usaha tanaman. Akan tetapi faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan muka air adalah kedalaman saluran darinase dan usia pemakaian lahan untuk kebun. Makin dalam saluran darinase dan makin lama usia pemakaian lahan, muka air tanah semakin dalam dari permukaan tanah. Muka air tanah di lokasi studi berkisar antara 0-2 m pada wilayah dengan vegetasi hutan rawa, sedangkan pada wilayah kebun sawit muda < 3 tahun, muka air tanah berkisar antara 50 cm sampai 250 cm, sedangkan pada gambut di wilayah kebun sawit usia 3 hingga lebih dari 10 tahun muka air tanah > 300 cm.

Penurunan Permukaan Lahan (subsiden)

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan permukaan lahan gambut di areal TPSF akibat konversi hutan rawa menjadi lahan perkebunan. Penurunan muka lahan terjadi bervariasi antara jenis dan tingkat kematangan gambut dan usia pemakaian lahan. Pada lahan gambut yang kondisi lapangan saat ini belum matang (fibrik), penurunan muka lahan berkisar antara 20–80 cm dari muka tanah awal, sedangkan pada tanah gambut dengan tingkat kematangan sedang (hemik) dan saprik penurunannya lebih bisa mencapai 100-150 cm dari kondisi tanah awal. Informasi ini diperoleh berdasarkan hasil pengukuran lapangan dan informasi masyarakat setempat.

Page 35: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 263

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Indeks Keragaman Hayati

Hutan tropis merupakan habitat alam yang memiliki indeks keragaman hayati yang paling tinggi dibandingkan dengan komunitas tumbuhan lainnya, karena hutan adalah habitat makhluk hidup yang memiliki aneka ragam flora dan fauna. Jika hutan dilakukan penebangan/pembukaan untuk areal tertentu, maka indeks keragaman ini tentunya akan berubah atau mengalami penurunan atau pemunduran kualitas, sehingga aktivitas deforestasi dianggap sebagai salah satu bentuk degradasi lahan dan lingkungan.

Ekosistem hutan rawa gambut Tripa beberapa dekade yang lalu merupakan areal hutan tropis yang di bawahnya terdapat lahan gambut dengan ketebalan yang cukup tinggi dan bervariasi (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008). Hal ini bermakna bahwa dulunya ekosistem ini merupakan ekosistem yang memiliki nilai keaneka ragaman hayati yang sangat tinggi. Namun, dengan adanya konversi hutan rawa menjadi lahan perkebunan/kelapa sawit, maka indeks keragaman hayati mengalami perubahan tergantung intesitas deforestasi dan pola-pola perubahan tata guna lahan. Indeks keragaman hayati menurun drastis manakala areal hutan berubah menjadi lahan pertanian apalagi jika lahan tersebut dibiarkan terbuka. Fakta ini menunjukkan bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan untuk keperluan lainnya telah menyebabkan degradasi lingkungan yang ditandai dengan menurunnya jumlah kehidupan spesies flora dan fauna sehingga lambat atau cepat kelak akan terjadinya instabilitas atau kerawanan ekosistem (Tim Kajian 1 PIU SERT Unsyiah, 2013). Oleh sebab itu, di masa mendatang perlu dilakukan upaya-upaya yang sistemik untuk mencegah meluasnya degradasi lingkungan/hutan ini dengan menggalakkan aktifitas rehabilitasi dan konservasi.

G. Penyebab Degradasi Lahan

Berdasarkan dari berbagai kasus kerusakan lahan di areal hutan bergambut di Indonesia, maka ada beberapa penyebab terjadinya degradasi lahan gambut antara lain adanya konversi lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit (HGU), penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan gambut, pembuatan saluran atau drainase di lahan gambut yang tidak diperhitungkan dengan baik, lemah dan kurangnya kesadaran dan pengertian masyarakat akan fungsi manfaat hutan rawa gambut, masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement) serta masih lemahnya kebijakan dalam pengelolaan hutan rawa gambut. Selain itu, sifat kharakteristik hutan rawa gambut seperti adanya subsidensi lahan gambut, sifat irreversible drying dan lain-lain sehingga pengelolaan air merupakan hal yang penting yang juga menjadi penyebab degradasi lahan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, analisis situasi, dan pengumpulan data sekunder dari masyarakat serta dari media massa atau sumber-sumber lain, diperoleh informasi bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan di ekosistem hutan rawa gambut Tripa (TPSF), antara lain : (1) Konversi lahan hutan rawa untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan HGU

untuk kebun campuran oleh masyarakat. (2) Pembuatan saluran drainase oleh pengelola perkebunan untuk pengeringan lahan

secara berlebihan (over drain), (3) Penebangan hutan (deforestasi) yang dilakukan oleh masyarakat untuk pembukaan

areal pertanian/kebun, dan (4) Kebakaran hutan/lahan gambut. (5) Dorongan untuk melakukan usaha dan jasa di bidang pertanian/perkebunan.

Page 36: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

264 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Beberapa penyebab degradasi lahan/tanaman di ekosistem hutan rawa gambut Tripa tersebut terjadi secara sistematik dan sporadis. Secara sistematik karena adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang mengeluarkan izin untuk beberapa perusahaan untuk membuka lahan perkebunan di wilayah ini dengan mengeluarkan izin usaha berupa Hak Guna Usaha (HGU). Izin usaha yang diberikan oleh Pemda mungkin didasarkan kepada pertimbangan bahwa areal TPSF berstatus Areal Penggunaan Lainnya (APL), sehingga secara ketentuan tata ruang telah sesuai dengan peruntukannya. Hal ini sesuai dengan hasil kajian 3 (PIU SERT Unsyiah, 2013) yang juga menyatakan bahwa areal TPSF berstatus sebagai kawasan APL dan semua HGU yang telah beroperasi di wilayah ini telah memiliki izin (sertifikat) yang sah sehingga secara legal formal mereka telah memiliki hak untuk melaksanakan kegiatan perkebunan di areal ini. Luas areal yang telah diberikan dalam bentuk HGU ini mencapai luas hingga 35 % luas ekosistem Rawa Tripa atau sekitar 32.255 hektar.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan berkembangnya usaha perkebunan dan pertanian lainnya di areal TPSF ini telah pula memberikan dampak positif bagi pendapatan masyarakat dan perusahaan HGU di wilayah ini (Kajian 2 PIU SERT Unsyiah, 2013). Masyarakat dan pihak swasta pemegang HGU telah menikmati dampak langsung dan tidak langsung dari adanya kegiatan pertanian di wilayah ini sehingga akan makin termotivasi untuk mengembangkan areal pertanian pada lahan-lahan yang masih berupa hutan rawa (Tim kajian 4 PIU SERT, Unsyiah, 2013). Namun di sisi yang lain, perubahan areal hutan rawa menjadi lahan perkebunan memberikan dampak negatif pada kelestarian lingkungan dan ekosistem. Aktifitas pembukaan lahan perkebunan ini secara otomatis pola penutupan lahan yang sebelumnya berupa hutan rawa berubah menjadi penggunaan lain dalam bentuk tanaman monokultur yaitu kelapa sawit yang jika ditinjau dari jasa lingkungan, hal ini bisa mengurangi nilai manfaat dari suatu ekosistem (Hairiah et al., 2011). Sumber-sumber mata pencaharian yang dulu menjadi andalan masyarakat di wilayah rawa, bisa juga terjadi kehilangan yang pada gilirannya juga memberikan dampak negative kepada pendapatan dan juga nilai dari jasa-jasa ekosistem setempat (Kajian 1 PIU SERT Unsyiah, 2013).

Dampak negatif lainnya dari konversi lahan telah menurunkan indeks keragaman hayati yang berdampak kepada perubahan ekosistem ekosistem yang bisa saja mengancam kelestarian lingkungan (Kajian 1 PIU SERT, 2013). Akibat lainnya adalah berupa terganggunya habitat bagi kehidupan makhluk yaitu kehidupan flora dan fauna yang selanjutnya dapat mengakibatkan berkurangnya atau kehilangan/kepunahan terhadap jenis organisme tertentu (Egoh, 2007. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya upaya-upaya pengeringan lahan dengan membuat drainase atau kanal-kanal (Tim Kajian 5, 6, dan 7 PIU SERT Unsyiah, 2013). Tindakan ini dapat menyebabkan rusaknya sistem tata air di ekosistem TPSF ini, yaitu hilangnya fungsi rawa sebagai tempat penyimpan air (reservoir), perubahan pada formasi tanah/gambut dan subsidensi, oksidasi lahan gambut yang memacu dekomposisi dan emisi gas karbon dioksida (CO2) (Kajian 9 PIU SERT, 2013).

Dua fenomena yang ditemukan di areal yang menjadi eksosistem Hutan Rawa Gambut Tripa menjadi menarik untuk dijadikan dalam pertimbangan pengelolaan kawasan di masa yang akan datang.

Page 37: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 265

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

H. Arahan Rehabilitasi Lahan

Skenario dan Rencana Ekosistem

Berdasarkan hasil perhitungan biaya dan manfaat dengan menggunakan pendekatan manfaat langsung atau DUV yang dilakukan oleh kajian sosial ekonomi dan jasa ekosistem diperoleh nilai B/C lebih kecil dari 1 yaitu sebesar 0,7 sedangkan jika menggunakan pendekatan ekonomi total atau TEV diperoleh nilai B/C lebih dari 1 yaitu sebesar 141,3 (PIU SERT Unsyiah, 2013). Nilai B/C yang kurang dari satu, menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsung yang akan diperoleh, namun dalam jangka panjang kegiatan rehabilitasi dan konservasi akan mendapatkan manfaat lingkungan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu, wilayah yang menjadi ekosistem TPSF yang ada di Provinsi Aceh ini perlu dilakukan penataan ruang dan upaya rehabilitasi dan konservasi.

Berdasarkan hasil analisis data dan pemetaan lapangan terhadap berbagai fenomena kerusakan dan degradasi lahan/lingkungan maka skenario penataan wilayah dan rencana rehabilitasi ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dapat dibagi atas dua ekosistem utama yaitu : (a) ekosistem konservasi, dan (b) ekosistem budidaya pertanian. Peruntukan ekosistem konservasi didasarkan pada ketentuan dan peraturan yang berlaku tentang Pedoman Pengelolaan Ekosistem Lindung (Kepres No 32 Tahun 1990), Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Undang-Undang No 32 Tahun 2009) sedangkan penetapan ekosistem budidaya pertanian pada lahan Gambut didasarkan pada Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang pemanfaatan lahan gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit dan ketentuan lainnya.

Hasil penilaian kemampuan dan kesesuaian lahan serta persyaratan penggunaan lahan, maka luas areal yang dapat diarahkan untuk dijadikan sebagai ekosistem konservasi adalah seluas 19.257,53 ha atau 31,75 persen dari luar areal TPSF, sedangkan ekosistem budidaya pertanian yang meliputi wilayah pengembangan perkebunan dan pertanian lahan kering seluas 41.399,76 hektar (68,25%). Luas dan sebaran wilayah Hutan rawa gambut Tripa berdasarkan ekosistem konservasi dan budidaya pertanian disajikan pada Gambar 11. Adapun arahan rencana rehabilitasi dan konservasi areal di Ekosistem Hutan Gambut Rawa Tripa disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Arahan Tata Guna Lahan dan Konservasi Lahan di Ekosistem Hutan Gambut Rawa Tripa (TPSF)

No Arahan Tata Guna Lahan/Konservasi Luas Areal

(ha) Persen (%)

1. Areal Konservasi Hutan Rawa Gambut/ Flora dan Fauna

8.318,91 13,71

2. Areal Konservasi hutan mangrove 748,96 1,23 3. Areal Konservasi Hutan pantai dan Sempadan

Pantai 5.639,90 9,30

4. Areal Konservasi Sempadan Sungai 4.549,76 7,50 5. Areal Budidaya Pertanian/perkebunan 41.399,76 68,25

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Pengamatan dan Analisis Peta (2013)

Page 38: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

266 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Jika dilihat dari distribusi luas lahan konservasi berdasarkan peta Gambar 11 dan pola tutrupan vegetasi saat ini (Gambar 10), maka ada areal yang saat ini telah dijadikan sebagai areal usaha perkebunan/pertanian yang perlu dikeluarkan dan dikelola menjadi areal konservasi yaitu seluas 6.802.08 hektar. Areal ini akan digunakan untuk konservasi sempadan sungai, dan areal konservasi hutan rawa gambut tebal.

Gambar 11. Peta Arahan Rencana Tata Guna Lahan dan Konservasi di Areal TPSF

(a) Areal Konservasi

Areal yang mempunyai ketebalan gambut sangat dalam ( >3 meter) di areal TPSF harus segera ditetapkan dan dikukuhkan sebagai “ekosistem lindung” ataupun “ekosistem konservasi”. Ekosistem lindung atau ekosistem konservasi pada lahan gambut bertujuan untuk menjaga tata air dan carbon sink atau carbon stock di areal lahan gambut tersebut. Pembukaan lahan gambut yang sangat dalam akan berakibat sangat rentan, karena dimusim kemarau mudah sekali terbakar dan perlu dijaga untuk menahan laju emisi CO2 sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu, pembukaan lahan gambut untuk kegiatan pertanian dapat mengakibatkan banjir dan kekeringan yang sangat merugikan. Berdasarkan ciri ekologi dan keragaman lahan, maka areal yang perlu dikonservasi dibagi atas beberapa model/pola berikut :

(1). Konservasi Hutan Rawa Gambut/ Flora dan Fauna

Areal yang dimasukkan ke dalam pola konservasi alamiah adalah lahan gambut dengan ketebalan >3 meter berupa hutan alami. Lahan ini dapat difokuskan menjadi lahan konservasi secara alami. Areal ini ditandai dengan masih adanya vegetasi alami dan belum dilakukan penebangan hutan serta mempunyai sistem hidrologi rawa. Di ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) areal ini terdapat di bagian tengah ke bawah dari lokasi studi, atau tepatnya pada areal hutan rawa yang luas totalnya sekitar 8.318,91 hektar. Wilayah ini mencakup juga alokasi untuk ekosistem pelestarian flora

Page 39: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 267

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

dan fauna. Areal sebenarnya tidak hanya terbatas pada luasan yang telah ditetapkan di atas tetapi juga perlu diperluas pada koridor yang menjadi habitat luar bagi pelestarian satwa. Berdasarkan hasil kajian biodiversitas (Kajian 1), maka kombinasi areal ini dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini (PIU SERT Unsyiah, 2013), namun karena arealnya sebagian berada pada lahan perusahaan HGU, maka perlu dilakukan kerjasama dalam pengelolaan. Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik dan rentan (fragile) serta mempunyai flora dan fauna yang spesifik yang tidak terdapat di ekosistem yang lain.

Oleh karena itu penyelamatan dan konservasi keanekaragaman hayati perlu dilakukan untuk mencegah hilang dan tererosinya kekayaan plasma nutfah pada ekosistem lahan gambut. Hasil kajian Biodiversity (PIU SERT Unsyiah, 2013) ditemukan beberapa jenis flora yang bernilai ekonomis, seperti pohon ramin (Gonystylus bancanus), pohon malu tua (Eucaliptus sp) (Aceh: kayee teulhoen), Bintangur (Calohyllum spp) atau Aceh: Bak Beunot, Jelutung (Dyera sp) dan lain-lain. Sedangkan jenis fauna yang khas, diantaranya orang utan, burung rangkong (hornbill), beruang madu, macan dahan, harimau, dan bermacam-macam jenis ikan seperti lele/limbek, ikan kerling, gurami, ikan gabus, dan lain-lain. Di Ekosistem TPSF areal peruntukan lahan untuk ekosistem flora dan fauna ini dapat memanfaatkan bagian hutan dari areal hutan pesisir di luar sempadan pantai. Alokasi lahan untuk areal konservasi flora dan fauna mencakup areal konservasi hutan rawa dan areal di luar habitat aslinya sebagaimana digambarkan oleh hasil kajian Biodiversity PIU SERT Unsyiah, 2013 pada Gambar 12.

Gambar 12. Peta rencana areal konservasi satwa di Areal TPSF (Kajian 1: Biodiversity PIU SERT Unsyiah, 2013)

(2). Konservasi Hutan Mangrove

Konservasi hutan mangrove dilakukan jika di dalam suatu ekosistem terdapat ekosistem hutan mangrove. Ekosistem mangrove ini dicirikan oleh adanya hutan mangrove seperti pohon bakau, nipah, dan dan lain-lain yang harus dijadikan ekosistem lindung, karena wilayah ini merupakan tempat pemijahan ikan dan biologi perairan lainnya. Ekosistem hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, gelombang badai, intrusi air asin dan percikan garam (salt spray). Berdasarkan hasil pemetaan lapangan

Page 40: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

268 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

yang dilakukan oleh Tim Kajian 1 (Biodiversity) Universitas Syiah Kuala mendapatkan bahwa di areal TPSF ternyata ada suatu areal yang memiliki ekologi dan vegetasi hutan mangrove yaitu di bagian Selatan Timur TPSF di Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya. Areal ini terhubung dengan areal yang diarahkan sebagai konservasi sempadan pantai dan sungai yang luasnya 748,96 ha.

3). Konservasi Hutan Pesisir Pantai dan Sempadan Pantai

Di areal TPSF di bagian Selatan terdapat ekologi hutan pantai yang masih berupa hutan alam dan semak belukar. Areal ini memanjang garis pantai sekitar 40 km dalam ekosistem TPSF. Sebagian hutan ini telah ditebang oleh masyarakat sehingga telah menjadi lahan terbuka. Sesuai dengan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka areal ini harus dijadikan sebagai ekosistem lindung/konservasi karena selain menjadi bagian dari sempadan pantai, juga dapat berfungsi sebagai ekosistem hutan yang memiliki vegetasi yang spesifik yang di dalamnya juga terdapat beberapa satwa langka seperti orang utan, harimau, dan beruang serta berbagai jenis burung langka (laporan kajian 1 PIU SERT Unsyiah, 2013). Selain itu, hasil pengamatan lapangan, areal ini memiliki lapisan tanah yang di bawah 60 cm terdapat lapisan pasir kuarsa dan sedimen laut. Di lokasi ini juga terdapat jenis pohon yang unik yaitu pohon malu tua (Aceh: “Bak Teulhon)”. Jenis pohon ini akan mati jika dilakukan pengeringan lahan dan ini menjadi ciri khas di ekosistem Gambut Rawa Tripa. Walaupun hutan ini berada dekat pantai tetapi vegetasi mangrove tidak tumbuh karena tidak dipengaruhi oleh pasang surut. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka areal hutan ini bisa dimasukkan sebagai ekosistem hutan kerangas/rapuh (unik) yang perlu dikonservasi. Luas alokasi ruang untuk areal konservasi hutan pantai ini adalah 5.639,90 ha yang disebut juga dengan areal sempadan pantai.

4). Areal Sempadan Sungai

Keberadaan sungai-sungai di Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa seperti Kr. Tripa, Kr. Seneuam, Kr. Seumayam, dan Kr. Batee berfungsi untuk mengalirkan air dari bagian hulu ke muara/laut. Fungsi sungai sebagai sarana transportasi atau sebagai sumber air untuk pengairan belum digunakan, namun keberadaan sungai ini tetap menuntut untuk dipelihara dan dijaga, karena sungai-sungai ini kerap kali terjadi banjir yang menggenangi wilayah-wilayah di sekitar muara. Oleh karena itu pemeliharaan permukaan sungai, kondisi sungai, dan kondisi alam di sekitarnya harus tetap dipelihara dan dijaga dari kerusakan. Pemeliharaan dan penjagaan sungai dan kanal di ekosistem Rawa Tripa ini perlu dilakukan di sepanjang jalur dari ke empat sungai di atas dengan lebar kiri dan kanan minimal 100 meter. Luas areal dan panjang wilayah konservasi sempadan sungai adalah 4.549,76 ha.

(b) Areal Budidaya Pertanian

Sebagian besar lahan dalam kawasan rawa Tripa telah mendapat izin untuk dijadikan sebagai lahan pengembangan perkebunan, sekalipun sebagian dari lahan tersebut mempunyai ketebalan gambut lebih dari 3 m. Mengacu kepada Kepres No. 80 Tahun 1999, lahan gambut dengan ketebalan > 3 meter tidak dibenarkan untuk dikonversi sebagai lahan pertanian. Akan tetapi perizinan pembukaan lahan tersebut sudah didapatkan oleh pemegang hak konsesi jauh sebelum keluarnya Kepres tersebut, (sebelum tahun 1980), sehingga tidak ada pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan lahan tersebut sebagai areal perkebunan. Menimbang atas kondisi tersebut maka pada

Page 41: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 269

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

lahan–lahan demikian dapat diarahkan untuk kegiatan budidaya secara optimal melalui peningkatan produktifitasnya dengan menyesuaikan hasil survai sumberdaya lahan Puslitbangtanak, Departemen Pertanian (1998). Gambut tipis (50-100 cm) dapat digunakan untuk tanaman palawija, sayuran dan buah-buahan, gambut sedang (101 – 200 cm) untuk tanaman buah-buahan dan perkebunan. Gambut dalam dengan ketebalan 201 – 300 cm dapat digunakan untuk perkebunan dan kehutanan.

Berdasarkan ketentuan di atas dan dari hasil analisis kesesuaian lahan, maka beberapa rencana kegiatan rehabilitasi pada lahan gambut yang kurang dari 3 meter dan lahan yang bukan gambut, dapat diarahkan menjadi : (1) lahan pengembangan tanaman pangan dan hortikultura, (2) lahan perkebunan/kebun campuran, (3) lahan perikanan, dan (4) areal pengembangan tanaman hutan/agroforestry. Hasil pengamatan lapangan dan pemetaan wilayah (Gambar 13), ekosistem Hutan rawa gambut Tripa saat ini (2013) telah dikonversi dari hutan menjadi areal pertanian/perkebunan mencapai luas 48.500 hektar lebih (> 80 %). Luas areal yang dikonversi menjadi lahan pertanian ini terbagi kepada 5 tipe penggunaan yaitu : kebun campuran seluas 22.410 ha (36,9%), kebun sawit (perusahaan perkebunan) seluas 21.515 ha (35,5%), kebun tegalan/lahan terbuka seluas 4.100 ha (7,25%).

Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan di Areal TPSF

Sebagian dari lahan pertanian tersebut merupakan lahan gambut yang mempunyai ketebalan > 3 meter, namun lahan ini telah terlanjur dibuka dan diusahakan untuk penanaman kelapa sawit. Lahan yang sudah dikelola ini seharusnya perlu dikembalikan untuk dilakukan rehabilitasi/konservasi. Namun, melihat kondisi lapangan saat ini, upaya pengembalian lahan yang seharusnya perlu dikonversi akan sulit untuk dilaksanakan karena lahan ini telah menjadi bagian dari lahan usaha yang produktif setelah melalui beberapa persiapan lahan. Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas dan didukung pula oleh hasil kajian sosial ekonomi dan jasa lingkungan (PIU SERT 2013), maka luas areal yang diarahkan untuk budidaya pertanian berdasarkan hasil analisis peta dan

Page 42: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

270 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

pengamatan lapangan luasnya 41.399,76 hektar. Oleh karena itu, arahan rehabilitasi dan pengelolaan lahan untuk budidaya pertanian dapat diusulkan sebagai berikut :

(1). Areal Tanaman Pangan dan Hortikultura

Salah satu tujuan dari kebijakan pembukaan lahan gambut menurut ketentuan Pemerintah/Deptan adalah untuk memenuhi target pemerintah dalam rangka pengadaan lahan tanaman pangan lahan kering (padi, palawija dan hortikultura). Namun tidak seluruhnya lahan gambut yang telah dibuka dapat di kelola menjadi areal tanaman pangan, karena berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan ternyata tidak sesuai. Hasil evaluasi lahan di ekosistem TPSF menunjukkan bahwa luasan areal untuk pengembangan tanaman pangan/hortikultura mencakup seluruh areal lahan kering sehingga bisa dikembangkan di sela-sela tanaman perkebunan atau lahan yang belum terpakai di areal budidaya pertanian. Pada lahan ini dapat dikembangkan beberapa jenis tanaman seperti ubikayu, jagung, ketela, pisang, jeruk, dan buah-buahan, tetapi tidak cocok untuk padi, kedelai, dan kacang hijau.

(2). Areal Perkebunan

Kegiatan budidaya untuk pengembangan perkebunan di lahan produktif umumnya dilakukan dalam skala industri terutama untuk jenis kelapa sawit. Namun berdasarkan hasil kajian lapangan areal yang telah dikelola menjadi lahan perkebunan oleh pemegang HGU telah mencapai 21.225 hektar lebih yaitu dengan pengembangan tanaman kelapa sawit. Usaha perkebunan Kelapa saat ini telah dimulai sejak 20 tahun yang silam walaupun pada saat itu hanya sebagian kecil yang diusahakan. Selebihnya adalah lahan kebun campuran milik masyarakat yang ditanami dengan kelapa sawit, dan berbagai jenis tanaman lainnya.

Pada kebun campuran ini beberapa jenis tanaman selain kelapa sawit dapat pula dikembangkan di ekosistem TPSF, antara lain Karet, Kemiri, Kakao, dan Kopi Robusta. Tanaman ini menjadi pilihan karena sesuai dan layak secara ekonomi serta bisa juga berfungsi sebagai penyerap CO2. Pengembangan sistem perkebunan ini dapat diterapkan pada lahan seluas 32.900 hektar yang saat ini telah dibuka dan diusahakan oleh masyarakat. Agar tidak terjadi konfliks dalam pemakaian lahan, maka perlu dikembangkan juga kerjasama yang baik antara pihak perusahaan HGU dengan masyarakat yang dimediasi oleh pihak pemerintah atau lembaga Perguruan Tinggi.

3). Pengembangan Perikanan

Pengembangan perikanan masih mengharapkan adanya perbaikan tata air dan pengaturan kembali saluran-saluran dan anjir yang mungkin dapat dijadikan sebagai ekosistem perikanan produktif. Jenis ikan yang mungkin dikembangkan dengan baik adalah jenis lokal seperti patin, nila dan udang windu. Sedangkan lahan untuk pengembangan perikanan di ekosistem TPSF dapat diarahkan pada ekosistem gambut berawa atau di beberapa alur sungai yang terdapat di ekosistem ini. Pengembangan perikanan ini sangat dimungkinkan jika dibarengi dengan pengaturan kembali tata air di lokasi areal TPSF sesuai dengan arahan rehabilitasi lahan.

Page 43: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 271

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

4). Areal Budidaya Tanaman Hutan/Agroforestri

Kegiatan budidaya pengembangan sektor perhutanan dilakukan melalui pemanfatan

lahan hutan atau bekas hutan untuk tanaman hutan atau dikombinasi dengan model

agroforestri. Pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman industri ini dilakukan di sebagian

areal kebun campuran atau areal terbuka dan bekas hutan. Kegiatan ini diharapkan

dapat segera memulihkan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan yang berpotensi

menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang semakin parah. Selain itu keberadaan

areal ini nanti dapat dijadikan faktor pendukung bagi kelangsungan pengembangan

hutan tanaman/industri secara baik dan berkelanjutan. Areal pengembangan

agroforestri ini dapat diterapkan di sekitar sempadan sungai atau areal yang menjadi

penyangga di sekeliling hutan. Areal yang dapat dikembangkan sebagai pertanian sistem

agroforestri seluas 4.548,76 hektar yang berada di sekitar sempadan sungai.

Walaupun saat ini vegetasi berkayu komersial sudah tidak dijumpai lagi pada ekosistem

lahan gambut tebal, namun upaya untuk reboisasi dalam rangka mempercepat

pemulihan hutan pada lahan gambut tersebut harus dilaksanakan. Sejalan dengan hasil

evaluasi kesesuaian lahan dan mengacu pada ketentuan Kepmentan No 19/2011 maka

ekosistem TPSF yang mempunyai ketebalan gambut sangat dalam (>3 m) harus

dikonservasi. Lahan gambut yang memiliki ketebalan lebih dari 3 meter akan

dikembalikan menjadi areal hutan baik yang telah dibuka maupun yang masih berupa

vegetasi hutan (primer/sekunder). Salah satu program rehabilitasi di ekosistem TPSF ini

adalah upaya penanaman kembali lahan untuk ekosistem hutan dan non hutan melalui

kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan ini dilakukan pada areal seluas 2.713

hektar terutama pada areal bekas hutan yang telah ditebang yang di bawahnya terdapat

gambut dengan ketebalan > 3 meter dan/atau gambut dengan tingkat kematangan fibrik

tetapi memiliki ketebalan 2-3 meter. Luas areal penghijauan kembali ini ditaksir sekitar

4,549,76 hektar dan merupakan areal sempadan sungai dan areal-areal bekas hutan

yang belum ditanam.

Pengaturan Tata Air (canal blocking)

Salah satu dampak pembukaan kanal yang tidak disertai oleh perencanaan yang baik

adalah rusaknya kondisi lahan dan munculnya berbagai permasalahan yang berkaitan

dengan tata air, diantaranya adalah terjadinya kekeringan di musim kemarau dan terjadi

banjir di musim penghujan. Oleh karena itu perlu dilakukan rehabilitasi terhadap kanal-

kanal yang bermasalah dan tidak mempunyai akses vital bagi masyarakat. Penutupan

kembali kanal-kanal tersebut akan segera memulihkan lahan gambut terutama

mengurangi timbulnya titik api (hot spot ) di musim kemarau yang sampai saat ini masih

sering terjadi. Hasil pengamatan lapangan, ditemukan beberapa pembuatan saluran

(kanal) drainase yang terlalu dalam (> 2 meter). Hal ini akan membuat pengeringan

lahan terlalu berlebihan sehingga kondisi ini akan memberikan dampak yang tidak baik

terhadap kualitas lahan dan lingkungan. Dari aspek lahan gambut, pengeringan ini

menyebabkan terjadinya dekomposisi bahan organik yang memungkinkan terjadinya

peningkatan emisi CO2 dan mempercepat kehilangan bahan organik. Dari aspek

lingkungan, pengeringan ini dapat menyebabkan hilangnya sejumlah massa air yang

ditahan (retensi) oleh gambut sehingga daya simpan air di dalam tanah menjadi

Page 44: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

272 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

berkurang. Kondisi ini menyebabkan fungsi hutan rawa sebagai penyimpan air menjadi

menurun. Oleh karena itu, pengaturan saluran drainase ini penting untuk dilaksanakan

misalnya dengan membuat pintu air atau canal blocking. Di ekosistem Hutan rawa

gambut Tripa, pengaturan tata air dilakukan di seluruh areal yang telah dibuat saluran

drainase yang tidak memenuhi kaidah konservasi tanah dan air.

Pemeliharaan dan konservasi dilakukan untuk mempertahankan permukaan air tanah

pada kedalaman tertentu dari permukaan tanah sehingga dapat mendukung

pertumbuhan tanaman dan kelestarian fungsi lahan gambut. Lapisan bahan gambut

harus selalu berada di bawah permukaan air karena gambut mudah mengkerut. Atas

dasar hal dimaksud secara umum permukaan air tanah harus dipertahankan pada

kedalaman antara 60-80 cm dari permukaan tanah. Pengaturan kedalaman air juga

bermanfaat untuk memperlambat pelapukan gambut sehingga mengurangi laju

penurunan permukaan gambut sekaligus memberi zona aerob untuk perkembangan

perakaran kelapa sawit. Untuk dapat mempertahankan muka air tersebut dan

menghindari tidak teroksidasinya lapisan pirit (kedalaman air tanah tidak menjangkau

lapisan pirit), maka saluran drainase harus selalu dipenuhi dengan air pada kedalaman

yang diinginkan dari permukaan tanah. Adapun disain teknis dan titik-titik pembuatan

canal blocking dalam ekosistem hutan rawa gambut Tripa ini dapat dilihat dalam laporan

penelitian Tim Kajian 6 (PIU SERT Unsyiah, 2013).

Penyekatan parit/kanal merupakan strategi kunci dalam rehabilitasi Hutan rawa gambut Tripa (TPSF), terutama untuk penyiapan pra kondisi rehabilitasi lahan gambut yang telah terdegradasi. Tujuan penyekatan parit di di Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF), adalah :

1) Memperbaiki kondisi tata air di sekitar areal dengan cara mempertahankan kondisi air tanah di wilayah yang ditutup.

2) Mendukung program rehabilitasi dan mencegah kebakaran dengan menciptakan prakondisi yang sesuai

3) Memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar terutama dari aspek sosial ekonomi dalam pelaksanaan penyekatan parit.

Target kegiatan penyekatan parit dilakukan untuk areal yang cukup sensitif dari akses yang ada dalam hal penebangan liar, kebakaran dan kondisi lahan kritis. Kriteria pemilihan parit dilakukan penyekatan pada areal perlindungan adalah :

1) Parit yang mengarah dan atau berada di areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

2) Parit buatan dan bukan anak sungai yang tercipta secara alami.

3) Parit yang bermuara ke sungai di sekitar areal.

4) Diprioritaskan pada parit yang memiliki akses mudah untuk dijangkau.

5) Diprioritaskan pada parit yang masih berfungsi.

6) Prioritas pada parit yang berada pada areal yang direncanakan untuk direhabilitasi.

I. Program dan Rencana Rehabilitasi Lahan

Secara alamiah lahan gambut bersifat tidak balik (Irreversible) tetapi masih memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri secara suksesi (sekunder) alami. Suksesi ini

Page 45: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 273

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

biasanya ditandai dengan hadirnya jenis-jenis tumbuhan pioneer yang pada akhirnya akan membentuk vegetasi semak belukar tetapi kemunculan kembali jenis pepohonan asal sangat sulit dijumpai pada lahan gambut yang telah terdegradasi. Intervensi manusia sangat diperlukan dalam upaya memperbaiki kondisi Hutan Rawa Gambut Tripa yang telah rusak, yaitu melalui usaha-usaha restorasi lahan, melalui rahabilitasi lahan dengan penanaman kembali (replanting) serta melakukan tindakan preventif lainnya. Melalui rehabilitasi diharapkan akan terjadi perbaikan kualitas lahan dan vegetasi-vegatasi asli akan muncul kembali dan akan menjadi areal yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan keikutsertaan masyarakat lokal dan pihak perusahaan perkebunan.

Empat prinsip utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Tripa yang berbasis mayarakat adalah :

1. Aspek Tataguna Lahan mencakup antara lain rencana tata guna lahan baik dari Departemen Kehutanan maupun RTRW, pencadangan dan peruntukan areal, serta pola dan rencana penggunaan lahan untuk mata pencaharian masyarakat.

2. Aspek Sosial Ekonomi mencakup bagaimana masyarakat dan stakeholders dilibatkan dalam kegiatan, serta adanya manfaat baik langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat terutama dalam aspek sosial dan ekonomi serta peningkatan pendapatan dan mata pencaharian masyarakat.

3. Aspek Fisik Areal mencakup kondisi biofisik areal baik tipe tutupan, penyebab degradasi, klasifikasi dan luasan areal degradasi, kondisi hidrologi dan genangan, kemampuan regenerasi alam, karakteristik gambut, dan kesesuaian lahan serta jenis tanaman yang akan digunakan, termasuk juga faktor ancaman terhadap kelestarian hutan atau yang dapat menyebabkan peningkatan kerusakan hutan.

4. Aspek Pengelolaan mencakup rencana kelembagaan unit pengelolaan hutan (KPHP Lalan), rencana pengelolaan hutan berkelanjutan, zonasi areal, sumberdaya pengelolaan, serta dampak pengelolaan terhadap kelestarian hutan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Kegiatan rehabilitasi lahan Hutan Rawa Gabut Tripa harus dilandasi suatu persiapan dan perencanaan yang matangserta memperhatikan beberapa tahapan untuk menunjang keberhasilan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi :

Tahap Perencanaan :

(1) Identifikasi type dan tingkat kerusakan areal dan type intervensi yang diperlukan/metode rehabilitasi,

(2) Peta areal terdegradasi.

(3) Pengecekan rencana lokasi rehabilitasi.

(4) Pemilihan jenis tanaman yang sesuai.

Page 46: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

274 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tahap Persiapan :

(1) Sosialisasi rencana rehabilitasi dan kesepakatan kerjasama pelaksanaan kegiatan.

(2) Penyiapan pra-kondisi areal (penyekatan kanal/parit).

(3) Rencana pengadaan bibit melalui Pengembangan Persemaian Desa.

(4) Persiapan/pembersihan lahan.

Tahap Pelaksanaan :

(1) Seleksi dan pembibitan.

(2) Pengangkutan bibit.

(3) Penanaman.

(4) Pengecekan dan pengukuran areal.

Tahap Tindak Lanjut :

(1) Pemeliharaan (penyulaman, penyiangan, pemupukan, dll.).

(2) Pemantauan dan perlindungan tanaman.

Hal yang terpenting dilakukan dalam perencanaan rebilitasi TPSF yang pertama adalah penilaian terhadap areal yang akan dilakukan rehabiltasi. Kegiatan ini dilakukan untuk menilai karakteristik lokasi. Dalam penilaian ini ada dua parameter penting yang harus diperhatikan, yaitu:

(1) kondisi awal penutupan lahan oleh vegetasi, sehingga dapat ditentukan jenis tanaman yang akan dipilih untuk ditanam

(2) potensi genangan untuk menghindari terjadi genangan pada saat penanaman, karena pada umumnya tanaman tidak tahan terhadap genangan pada awal pertumbuhan evaluasi potensi genangan dapat dilakukan pada saat puncak musim penghujan, yaitu pada saat permukaan tanah tertutup air paling tinggi.

(3) pemilihan jenis tanaman yang tepat disesuaikan dengan kondisi lokasi yang akan direhabiliasi, yaitu sebaiknya jenis tanaman lokal yang pernah tumbuh pada ekosistem TPSF dan sebisa mungkin dihindari jenis tanaman asing (eksotik).

J. Panduan Teknis Rehabilitasi

Persemaian Bibit

Persemaian desa merupakan bentuk pelibatan masyarakat dalam proses pengadaan bibit, melalui pembangunan persemaian sederhana yang sesuai dengan kondisi setempat tetapi diharapkan dapat menghasilkan bibit yang berkualitas dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Maksud dari program pembuatan persemaian desa adalah untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi hutan rawa gambut yang dapat memberikan

Page 47: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 275

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

manfaat langsung bagi masyarakat melalui pelibatan secara aktif masyarakat mulai dari tahapan persiapan terutama penyediaan bibit. Manfaat langsung yang diharapkan bukan hanya sekedar manfaat material dari hasil penjualan bibit nantinya, tetapi juga manfaat yang lebih besar lagi yaitu peningkatan kapasitas masyarakat khususnya kelompok persemaian desa.

Persiapan Lahan dan Penanaman

Penyiapan lahan dalam rangka rehabilitasi hutan rawa gambut Tripa (TPSF) merupakan hal kegiatan yang sangat penting dilakukan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

(1) Persiapan lahan dilaksanakan secara manual dengan menggunakan sistem jalur. Arah jalur tanam Timur–Barat. Penebasan dengan lebar tebasan 1,5 meter pada jalur tanam yang sudah ditetapkan oleh patok jalur. Tinggi tebasan maksimal 20 cm dari permukaan tanah, hal ini penting dilakukan untuk menghindari terjadinya pengeringan gambut.

(2) Tidak melakukan penebasan dan mematikan jenis lokal pada jalur tabasan pada tingkat: pancang, tiang dan pohon.

(3) Penentuan jarak tanam, jarak tanam sebaiknya dipakai adalah 5 x 5 m atau 5 x 10 m, sementara pada ekosistem konservasi tidak memakai jarak tanam yang baku tetapi dilakukan secara acak sesuai dengan keadaan lapangan. Kemudian pada jarak tanam yang telah ditentukan dilakukan pemasangan ajir dan dilakukan pembuatan piringan pada setiap lubang tanam, dengan cara menebas gulma tanaman sampai rata dengan permukaan tanah berbentuk melingkar dengan diameter 1 meter dari ajir tanam.

(4) Pembuatan gundukan buatan (artificial mound). Pembuatan gundukan hanya dilaksanakan pada lahan yang tergenang untuk mengatasi genangan air sebelum penanaman bibit dilakukan. Tinggi gundukan harus mempertimbangkan puncak tinggi genangan pada lokasi penanaman dan lebar gundukan 50 – 100 cm dengan bentuk persegi empat. Pembuatan gundukan sebaiknya dibangun 1-2 bulan sebelum musim penghujan dan untuk mencegah turunnya gundukan maka sebaiknya diberi penyangga (dinding penahan) dari kayu.

(5) Kegiatan penanaman sebaiknya diusahakan pada saat menjelang musim penghujan, tetapi pada lokasi yang rawan genangan maka penanaman sebaiknya dilakukan ketika air mulai rendah atau menjelang akhir musim penghujan. Bibit ditanam di atas gundukan setinggi 50–100 cm di atas gundukan, maka tinggi bibit yang akan ditanam berkisar 1–2 meter.

(6) Bibit yang akan ditanam di sepanjang tepian sungai dipilih dari jenis yang lebih tahan genangan dan ukurannya sudah lebih tinggi.

(7) Pemeliharaan tanaman dilaksanakan setelah penanaman, meliputi kegiatan penyulaman, tebas jalur, pembersihan model piringan, dan pemantauan tanaman.

(8) Untuk mengganti bibit yang tidak tumbuh atau mati maka perlu dilakukan penyulaman umur satu bulan atau setelah banjir reda dengan sumber bibit yang sama

Page 48: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

276 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Rekomendasi Jenis Tanaman

Menurut Najiyati et al. (2005), jenis tanaman yang direkomendasikan dalam rehabilitasi ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) didasarkan pada jenis vegetasi alami yang pernah tumbuh pada ekosistem dimakud dan harus dihindari penggunaan/penanaman tanaman asing (eksotik). Hal ini bertujuan mengembalikan keanekaragaman hayati pada ekosistem TPSF. Jenis-jenis tanaman yang direkomendasikan untuk rehabilitasi ekosistem Hutan rawa gambut Tripa dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Jenis-jenis Tanaman yang direkomendasikan untuk rehabilitasi TPSF

No Jenis Tanaman (nama)

Lokal Indonesia Latin

1. 2. 3. 4.

Jelutung Ramin Jabon Jati

Jelutung Ramin Jabon Jati

Dyera sp Gonystylus bancanus Athocephalus cadamba Tectona grandis

5. 6. 7. 8. 9.

10. 11.

Bak Beunot Kayee Teulhon Sukoen Merantee Nyatoh Damar Pulai

Bintangur Malu Tua Sukun Meuranti Rawa Nyatoh Damar Pulai

Calohyllum spp Eucaliptus sp. Artocarpus sp shorea testymania Pallaquium spp Agathis bornensis Alstonia pnematophora

Sumber : Analisis Data Survai (2013)

K. Pola Pengembangan Usaha Rehabilitasi

1. Teknik Agroforestry

Rehabilitasi rawa gambut yang terdegradasi yang dilakukan melalui teknik Agroforestry

yaitu pembangunan hutan melalui pola campuran tanaman pokok kehutanan dan

tanaman semusim yang dilakukan pada lahan rawa gambut milik masyarakat, ekosistem

hutan produksi ataupun hutan ekosistem lindung yang telah diizinkan. Jenis tanaman

pokoknya dapat dipililih jenis pohon serbaguna seperti Sengon (Paraserianthes

falcataria), Jelutung (Dyera lowii), Pulai (Alstonia pnematophora), Sukun (Artocarpus sp)

atau tanaman kehutanan yang lain, dengan tanaman semusim pertanian yang cocok

untuk lahan gambut atau tanaman obat seperti Zingiberaceae dan lain-lain yang

diterapkan pada pola perhutanan sosial (hutan kemasyarakatan, hutan rakyat), pada

pola pembangunan hutan tanaman hasil hutan non kayu atau pada pola pembangunan

hutan tanaman kayu jenis industri. Di areal TPSF pola ini dapat diterapkan pada kebun

masyarakat atau pada tipe penggunaan kebun campuran.

2. Pola Perhutanan Sosial

Pola perhutanan sosial yang diterapkan pada areal hutan rawa gambut yang

terdegradasi baik pada hutan produksi maupun hutan ekosistem lindung yang telah

diizinkan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi. Melalui uji

coba rehabilitasi dengan menggunakan jenis asli setempat yang sesuai kondisi ekologis

setempat, yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa mengganggu fungsi

Page 49: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 277

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

ekologis. Penanaman jenis MPTS maupun jenis pohon asli maupun eksotik yang cocok

dapat diterapkan dengan teknik agroforestry.

3. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK):

Pola ini dapat diterapkan untuk rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi.

Penelitian ini dilakukan dengan Uji coba penanaman jenis asli pohon dihutan rawa

gambut penghasil hutan non kayu seperti getah (latek) pada jenis jelutung (Dyera lowii),

getah hangkang pada jenis Nyatoh (Palaquium leicocarpum), getah jernang pada getah

pada biji rotan. Selain itu jenis Gemor (Alseodhapne helophylla) kulit kayunya sebagai

bahan insektisida (obat nyamuk), Tanaman jarak pagar (Jatropha sp) ataupun jenis

nyamplung (Calophyllum innophyllum) diambil bijinya sebagai bahan minyak diesel,

Pinang (Arenga catechu) diambil bijinya sebagai bahan obat-obatan. Rotan (Calamus

spp) dan lain-lain. Penanaman Rotan dapat dilakukan dengan menggunakan jenis pohon

pemanjat asli setempat seperti gelam (Melaleuca leucadendron) atau tanah-tanah

(Combretocarpus rotundatus) dan lain-lain.

4. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Jenis Kayu Industri:

Pola ini diterapkan untuk rehabilitasi pada ekosistem hutan produksi yang pada perencanaannya bertujuan untuk hutan tanaman penghasil kayu untuk industri yang dapat dilakukan pada logged over area maupun hutan rawa gambut yang telah terdegradasi. Penanaman rehabilitasi dapat dilakukan dengan menggunakan jenis asli setempat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sesuai sifat ekologinya, seperti jenis Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti Rawa (shorea testymania, Shorea pauchiflora), Belangeran (Shorea belangeran), Kapur Naga (Calophyllum macrosarpum), Nyatoh (Pallaquium spp), atau (Dacrydium elatum), Damar (Agathis bornensis), Prupuk (Lopopethalum multinervium), Punak (Tetramerista glabra) dan lain-lain. Ataupun jenis tumbuh cepat asli setempat seperti Pulai (Alstonia pnematophora), Jelutung (Dyera lowii) maupun jenis tanaman luas (eksotik) seperti Acacia crassicarpa, Eucalyptus spp, Gmelina sp dan lain-lain.

5. Pemilihan Jenis

Pemilihan jenis pohon dan tanaman yang digunakan dalam uji coba rehabilitasi dan penanaman hutan tanaman dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa pola misalnya dengan pola MPTS (Multiple Purpose Tree Species), Jenis Pohon Hasil Hutan Bukan Kayu (HBBK), dan jenis pohon untuk kayu industri yang disesuaikan dengan habitat dan sifat ekologi di lokasi setempat baik jenis asli maupun jenis luar dan mempunyai prospek ekonomi baik untuk pohon sebagai tanaman pokoknya maupun tanaman pencampur.

6. Pengadaan Bibit

Teknologi pengadaan bibit dari jenis-jenis yang digunakan dalam pola perhutanan sosial, pola pembangunan hutan tanaman penghasil HHBK, maupun pada Pola pembangunan hutan tanaman hasil kayu industri dapat dilakukan baik secara generatif melalui biji maupun melalui stek baik batang (stem), pucuk (shoot) maupun akar (root) ataupun melalui kultur jaringan (tissue culture). Beberapa jenis bibit pohon rawa gambut telah berhasil diperbanyak melalui propagasi vegetatif seperti meranti batu (Shorea uliginosa), meranti bunga (S. Teysmanniana), punak (Tetramerista glabra), ramin

Page 50: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

278 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

(Gonystylus bancanus), para-para (Aglaia rubiginosa), prupuk (Lophopethalum multinervium), jelutung rawa (Dyera lowii) dan lain-lain (Agus et. al., 2009).

7. Teknik Penyiapan Lahan dan Penanaman

Teknologi penyiapan lahan dan penanaman merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi di lahan rawa gambut. Teknologi penyiapan lahan dilakukan dengan pengaturan drainase (water management) dengan pembuatan parit-parit irigasi untuk menjaga lokasi tanam tidak tergenang air perlu diperhitungkan dengan seksama karena sifat subsidensi dan irreversible drying (kering tidak balik) jika tidak, akan menjadikan lahan gambut tersebut menjadi kelewat kering, mudah terbakar dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Teknik lain adalah dengan cara pembuatan gundukan-gundukan tempat penanaman untuk menghindari genangan air sehingga bibit atau tanaman muda akan mati. Untuk memperoleh keberhasilan dalam penanaman di lahan rawa gambut, kondisi tingkat dekomposisi dari gambut sebagai media tanam merupakan faktor yang sangat penting karena menentukan tingkat kesuburan gambut tersebut dan menentukan teknik penanaman. Oleh karena itu, perlakuan-perlakuan pada gambut sebagai media tanam perlu dilakukan tergantung pada tingkat pelapukan (fibrik, humik maupun saprik) gambut tersebut. Pencampuran gambut dengan bahan mineral atau dicampur dengan starter mikoriza seperti endomikoriza (VAM) dan/atau ektomikoriza, dan berbagai jenis ameliorant dapat pula dilakukan untuk meningkatkan kesuburan dan pertumbuhan tanaman asalkan bahan-bahan tersebut aman terhadap lingkungan.

8. Pengaturan Drainase/Hidrologi:

Pada lahan rawa gambut, ketergenangan air/letak ketinggian air tanah sangat bervariasi. Oleh karena itu perlu suatu pengaturan dan pengelolaan tata air dengan baik, sehingga tanaman dapat berkembang dan tumbuh dengan baik. Pembuatan parit dilakukan dengan lebar dan kedalaman yang seimbang, sehingga areal tanam tidak lagi tergenang atau bahkan kekeringan karena terlalu besarnya parit dan gambut dijaga dalam keadaan basah atau lembab sehingga subsidensi dan pengeringan tak balik (irreversible drying) dapat dihindari. Keseimbangan ini merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan tanaman.

9. Teknik Pemeliharaan

Uji coba perlakuan pemeliharaan dalam pelaksanaan rehabilitasi melalui revegetasi dihutan rawa gambut meliputi teknik pemupukan, pengapuran dengan berbagai dosis baik pada waktu pengadaan bibit ataupun dalam tahap penanaman di lapangan masih perlu penelitian penyempurnaan. Pada tegakan perlu dilakukan pemangkasan dan penjarangan untuk menjamin tanaman pokok maupun tanaman pencampur tumbuh dengan baik. Tumbuhan gulma (weeds) perlu dikendalikan dengan penyiangan atau dengan pendangiran baik secara jalur maupun piringan untuk memberikan pertumbuhan yang baik bagi tanaman. Pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman juga perlu untuk dilakukan terhadap tanaman jenis pohon di lahan rawa gambut yang saat ini masih sangat terbatas. Keamanan areal terhadap bahaya kebakaran merupakan faktor yang sangat penting untuk selalu diawasi karena lahan gambut sangat mudah terbakar terutama di musim kemarau yang panjang. Pembuatan sekat bakar (green belt), maupun parit untuk sekat bakar mungkin dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya kebakaran.

Page 51: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 279

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

10. Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan

Teknik pencegahan dan pengendalian kebakaran di lahan gambut lebih spesifik dibandingkan di lahan hutan lahan kering, karena habitatnya berupa gambut yang terdiri dari bahan organik, apabila dalam keadaan kering mudah sekali terbakar. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan, dan pengalaman teknis yang spesifik dalam penanganannya. Apabila biomassa tanaman hutan gambut terbakar, maka tidak hanya biomassa tanaman saja yang akan terbakar, tetapi juga beberapa centimeter lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut ini akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Pada musim kemarau, muka air tanah menjadi lebih dalam karena penguapan sehingga lapisan atas gambut menjadi sangat kering. Dalam keadaan demikian kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm (Page et al., 2002). Dalam keadaan ekstrim ini bara api pada tanah gambut dapat bertahan berminggu-minggu, sehingga sukar dikendalikan dan dipadamkan di areal. Pengaruh kebakaran pada kehilangan C ini sangat besar. Limin (2006) memperkirakan kedalaman gambut yang terbakar sewaktu pembukaan hutan sedalam 15 cm bisa berkisar antara 30 sampai 60 kg m-3 dan akan teremisi sebanyak 75 t C ha-1 atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1. Oleh karena itu, persoalan ini perlu mendapat perhatian yang serius di dalam manajemen lahan rawa bergambut (Hairiah et al., 2011).

Metode untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran lahan gambut pada dasarnya masih sangat terbatas sehingga perlu menyempurnakan metode pengendalian kebakaran, peralatannya, manajemen serta perencanaan. Cara lain untuk mencegah kebakaran adalah melakukan pengawasan yang ketat dengan membentuk satgas pengawasan dan pengendali di lapangan oleh semua elemen yang terlibat di dalam pengelolaan ekosistem, sehingga jika terjadi kebakaran maka akan segera dapat diantisipasi. Selain itu, perlu pula dilakukan sosialisasi kepada masyarakat baik melalui perangkat desa, kelompok pelaku usaha, maupun dengan melibatkan para pihak pemerhati lingkungan, serta membuat poster-poster atau pamflet tentang bahaya kerusakan dan kebakaran gambut di lokasi Rawa Tripa (TPSF).

L. Analisis Biaya Rehabilitasi

Hasil analisis biaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem Hutan Gambut Rawa Tripa untuk setiap hektar lahan dan untuk 20.000 hektar disajikan dalam Tabel 26. Biaya untuk konservasi dan rehabilitasi lahan dan tanaman untuk satu hektar membutuhkan dana sekitar Rp 56.680.000,- dengan asumsi bahwa seluruh areal harus ditanami secara menyeluruh. Sedangkan perkiraan untuk areal seluas 20.000 hektar ditambah dengan pajak adalah sebesar Rp 933.610.000.000,- atau lebih kurang 934 miliar rupiah. Perkiraan biaya ini merupakan biaya teknis yang khusus untuk penanaman dan rehabilitasi lahan sedangkan biaya pengelolaan dan monitoring dapat disesuaikan dengan ketersediaan dana. Adapun jadwal rencana dan kebutuhan waktu pelaksaaan penanaman dan rehabilitasi disajikan pada Lampiran 2. Kebutuhan dana sebesar itu tidak mempertimbangkan kontribusi dari perusahaan yang ada di areal TPSF. Oleh karena itu, untuk mendapatkan harga yang akurat untuk pelaksanaan rehabilitasi, maka perlu dilakukan survai detail atau perencanaan DED (detail Engineering Design).

M. Jadwal Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu kunci keberhasilan di dalam usaha rehabilitasi lahan dan tanaman. Monitoring kegiatan yang perlu dilaksanakan antara lain (1) pelaksanaan penanaman yang meliputi penyediaan bibit, pengawasan mutu bibit,

Page 52: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

280 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

dan distribusi bibit, (2) penanaman yang meliputi persiapan lahan/lubang tanam, penanaman, rehabilitasi tapak penanaman/lahan, dan pemeliharaan/pemupukan, (3) pembuatan dan penataan hidrologi di areal pengembangan rehabilitasi/konservasi, (4) reklamasi dan rehabilitasi lahan/tanah, dan (5) pelaksaan sosialisasi dengan perlibatan elemen masyarakat di sekitar areal konservasi.

Kegiatan monitoring ini dapat dilaksanakan oleh lembaga khusus yang dibentuk untuk melakukan pengawasan dan evaluasi. Kegiatan ini dapat melibatkan pihak Perguruan Tinggi/para ahli atau dengan memanfaatkan kelompok masyarakat dan lembaga swadaya/LSM yang mengerti tentang kaedah-kaedah konservasi lahan dan lingkungan. Kegiatan monitoring dan evaluasi ini dilakukan secara kontinyu agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi di lapangan dapat berjalan dengan baik, lancar dan tertib serta sesuai dengan target rencana. Adapun jadwal monitoring di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 3.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dalam Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dengan luas areal 60.657,29 ha terdapat lahan bergambut seluas 34.552.09 ha, dan tanah mineral (campuran alluvial dan gambut) seluas 26.105,20 ha. Lebih dari 80 persen areal TPSF ini telah dibuka menjadi lahan pertanian /perkebunan sehingga vegetasi hutan rawa yang masih tersisa hanya sekitar 12.455,45 hektar. Penggunaan lahan saat ini adalah hutan rawa seluas 11.809,54 ha, kebun campuran 29.074,19 ha, lahan terbuka 3.216,83 ha, perkebunan kelapa sawit 16.556,72.

2. Lahan bergambut tersebut dapat dibedakan atas tiga kedalaman, yaitu kurang dari 50-200 cm seluas 2.844,46 ha, 201-300 cm seluas 19.411,40 ha, dan lebih dari 300 cm seluas 12.296,22 ha. Kondisi areal TPSF saat ini tidak ada lagi areal yang tergenang sebagai rawa karena hutan rawa yang ada telah berubah karena telah dibuat sistem drainase permukaan yang sangat intensif. Genangan hanya terjadi di tempat tertentu apabila areal tersebut mengalami banjir.

3. Konversi hutan rawa di areal TPSF menjadi lahan perkebunan/pertanian telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang ditandai dengan menurunnya ketebalan gambut dan kemampuan menambat air (water holding capacity) serta perubahan pada karakteristik biofisik gambut yaitu perubahan pada profil horizon, ketebalan, tingkat dekomposisi, kadar air, kadar abu, pH, C-organik dan biomassa tanaman serta meningkatnya emisi CO2 akibat percepatan dekomposisi bahan organik/gambut.

4. Lahan rawa gambut di TPSF yang telah lama digunakan untuk pertanian/perkebunan karakteristiknya telah terjadi perubahan yang ekstrim dari sifat aslinya sehingga sulit untuk dikembalikan kepada kondisi semula.

5. Dampak lain dari konversi rawa gambut menjadi areal budidaya adalah terjadinya degradasi hutan yang ditandai dengan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon ke atmosfir akibat dekomposisi aerobik yang sangat pesat, menurunnya permukaan air tanah dan subsidensi serta dapat membuat gambut mudah terjadi kebakaran.

6. Pengaturan muka air tanah pada lahan gambut dapat menghambat laju degradasi biofisik lahan gambut di areal TPSF khususnya pada lahan yang dikelola untuk

Page 53: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 281

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat sistem drainase yang sesuai dengan karakteristik lahan setempat misalnya dengan membuat canal blocking di areal TPSF.

B. Saran

1. Untuk mencegah meluasnya degradasi lahan dan hutan yang masih tersisa dan demi mempertahankan kelestarian habitat asli di wilayah ekosistem TPSF, maka perlu dilakukan upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem rawa pada tempat–tempat tertentu terutama pada areal yang masih memiliki vegetasi hutan rawa, dan lahan rawa yang mempunyai gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m, atau kawasan hutan tepi pantai dan kawasan mangrove serta areal sempadan pantai dan/atau sungai serta areal yang menjadi perlindungan flora dan fauna serta koridornya.

2. Perlu dilakukan penghambatan aliran dalam saluran drainase yang telah dibuat pada areal perkebunan (blocking canal) untuk menjaga agar kedalaman air tanah tidak menjadi terlalu dalam, terutama untuk menghindari kebakaran bahan gambut serta menghambat proses emisi karbon yang berlebihan.

3. Pada daerah yang dipertahankan sebagai hutan rawa gambut harus diupayakan penggenangan yang memadai seperti kondisi sebelum dilakukan pengeringan, agar ekosistem rawa gambut dapat terjaga.

4. Mengingat lahan yang sudah dikonversi menjadi lahan budidaya pertanian /perkebunan kondisi tanahnya sudah berobah sama sekali yang sifatnya dalam menyerap air dari sifat hidrofilik (menarik air) menjadi hidrofobik (menolak air) akibat pengeringan yang berlebihan, maka disarankan lahan tersebut tetap dipertahankan sebagai areal budidaya pertanian/perkebunan, hanya saja tindakan pengelolaan terhadap air permukaan dan air tanah harus dibenahi kembali hingga tata air tanah tetap terjaga kestabilannya.

5. Lahan yang diperioritaskan sebagai lahan konservasi di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dapat dibedakan atas empat subekosistem yaitu : (1) areal konservasi hutan rawa gambut dan konservasi flora dan fauna seluas 8.318,91 ha, (2) areal konservasi hutan pantai dan sempadan pantai seluas 5.639,90 ha, (3) areal konservasi hutan mangrove seluas 748,96 ha, dan (4) areal konservasi sempadan sungai seluas 4.549,76 ha. Untuk menjaga ekosistem rawa gambut, maka diperlukan tindakan penutupan saluran drainase (blocking canal) dan revegetasi dengan jenis–jenis tumbuhan yang sesuai dengan habitat lahan rawa bergambut.

6. Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan lebih akurat terhadap rencana aksi rehabilitasi dan konservasi TPSF, maka diperlukan kajian lanjut untuk penyusunan dokumen master plan dan rencana detailnya, khususnya dalam menetapkan batas-batas wilayah konservasi dan teknis pembangunan canal blocking.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., Hairiah, K., dan Mulyani, A. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor, Indonesia. 58 p.

Page 54: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

282 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Agus. F. 2009. Carbon budget in land use transitions to plantation. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29(4):119-126.

BBLSLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Sumberdaya Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Egoh, B. 2007. Integrating Ecosystem Services into Conservation Assesment: A Review. J. Ecological Economics. 63 : 714-721.

FAO. 2005. The Roles of Soil Organic Matter in Soils. FAO, Rome.

Galbraith H, P Amerasinghe and HA Lee. 2005. The Effects of Agricultural Irrigation on Wetland Ecosystems in Developing Countries: A literature review. CA Discussion Paper 1 Colombo, Sri Lanka: Comprehensive Assessment Secretariat.

Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Pengukuran cadangan karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. Edisi 2. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia dan Universitas Brawijaya. Bogor dan Malang. Indonesia.

Handayani, E. 2009. Emisi karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hooijer A, M Silvius, H Wosten and S Page. 2006. Peat-CO2. Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943.

Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya Pada Tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut. [Disertasi]. Program Pascasarjana IPB. Bogor

Las I. K. Nugroho, dan A. Hidayat. 2008. Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. J. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4): 295-298. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor

Limin, S.H. 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya. Centre for International of Tropical Peatland (CIMTROP). Universitas Palangkaraya.

Mansur. 2001. Teknik Pengamatan Pirit pada Lahan Rawa Bergambut.

Meiling L and KJ Goh. 2008. Sustainable Oil Palm Cultivation on Tropical Peatland. Trofical Peat Research Laboratory & Appleid Agricultural Resources. Kualalumpur.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut; Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta.

Page SE, Siegert F, Rieley JO, Boehm HV, Jaya A, Limin S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature (420):61-65.

Riwandi. 2003. Indikator Stabilitas Gambut Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisikokimia dan Komposisi Bahan Gambut. Jurnal Penelitian UNIB. Bengkulu.

Sabiham. S. 2007. Pengembangan Lahan Secara Berkelanjutan Sebagai Dasar Dalam Pengelolaan Gambut di Indonesia. Makalah Utama Seminar Nasional Pertanian Lahan Rawa. Kapuas 3-4 Juli 2007.

Sabiham S., dan Ismangun, M. 1997. Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Proseding Simposium Nasional dan Konggres V PERAGI. Jakarta, 25 - 27 Januari 1996

Page 55: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 283

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Stevenson. 2004. Humus Chemistry. Genesis, composition and charactization. Jophn Wiley and Sons., New York.

Wahyunto, Ritung S, Suparto, Subagjo H. 2005. Peat Land Distribution and Carbon Content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor –Indonesia.

Wahyunto, Suparto, Heryanto B, Bekti H. 2006. Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Wetland International Indonesia Programme. Bogor – Indonesia.

Wetland International. 2011. Rehabilitasi Hutan/Lahan Rawa Gambut. Seri Pengelolaan Hutan dan Rawa Gambut. Silvikultur 3.

Widjaja-Adhi et al., 1992. Lahan Rawa dan Permasalahannya di Indonesia.

Word Wild Found. 2008. How Pulp & Paper and Palm Oil from Sumatra Increase Global Climate Change and Drive Tigers and Elephants to Local Extinction. WWF Indonesia Technical Report.

Wosten JHM, Ismail AB, van Wijk ALM. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25-36.

Yayasan Ekosistem Lestari. 2008. Value of Tripa Peat Swamp Forest, Aceh. Sumatera Indonesia. www.yelweb.org.

Page 56: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

284 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Lampiran 1. Karakteristik beberapa sifat kimia tanah pada setiap satuan peta (SPL) di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

No SPL Macam/JenisTanah

(SNI/USDA) Simbol

SPL Lapisan tanah

pH H2O

pH KCl

pH H2O2 C organik N

total C/N Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd KTK P-av. DHL

------ (%) ------- ----------------- (cmol kg-1) ----------------- (%) (dS cm-1)

1 Aluvial Distrik (Typic Dystropepts)

1AAd1 0-20 cm 5,76 4,96 6,76 2,94 0.50 20.0 2,46 1,14 2,26 0,10 18,40 3,28 0,16

20-40 cm 5,23 4,83 5,13 4,21 0.12 35.1 2,14 0,76 1,66 0,15 9,60 4,11 0,05 2 Aluvial Eutrik

(Typic Tropofluvent) 1AAe1 0-20 cm 6,12 5,62 5,12 12,35 0.54 22.9 3,04 0,26 0,78 0,12 35,4 8,23 0,10

20-40 cm 5,78 4,98 5,08 11,78 0.45 26.2 9,72 2,26 1,56 0,17 32,8 4,33 0,05 3 Aluvial Gleik

(Typic Tropaquent) 1AAg1 0-20 cm 5,98 5,36 5,11 6,23 0.34 18.3 8,22 1,66 0,66 0,21 28,9 2,37 0,12

20-40 cm 4,90 3,90 5,08 8,21 0.36 22.8 4,68 0,78 0,84 0,18 18,5 1,27 0,07 4 Organosol Fibrik

(Typic Haplofibrist) 2GHf1 0-20 cm 4,35 3,35 5,15 23,45 1.04 22.5 4,35 1,56 0,50 0,11 40,8 2,68 0,20

20-40 cm 5,12 4,52 4,90 26,71 1.45 18.4 2,78 0,66 0,64 0,12 97,6 1,69 0,18 5 Organosol Fibrik

(Typic Haplofibrist) 2GHf2 0-20 cm 4,54 4,04 4,35 45,21 2.15 21.0 4,88 0,84 0,40 0.10 57,2 5,53 0,18

20-40 cm 4,78 3,98 5,12 34,65 1.87 18.5 4,02 0,50 1,22 0,14 86,4 2,67 0,12 6 Organosol Hemik

(Typic Haplohemiist) 2GHh1 0-20 cm 5,23 4,63 4,54 38,13 1.98 19.3 2,08 0,64 0,24 0,15 57.2 0,35 0.16

20-40 cm 4,87 4,37 4,78 46,11 2.03 22.7 2,62 0,40 0,61 0,19 63,2 0,87 0,14 7 Organosol Hemik

(Typic Haplohemiist) 2GHh2 0-20 cm 4,67 3,76 5,23 32,12 1.54 20.9 6,42 1,22 0,66 0,20 57,3 0,48 0,16

20-40 cm 4,78 4,28 4,78 29,77 1.44 20.7 4,74 0,24 0,48 0,12 74,2 0,34 0,13 8 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs1 0-20 cm 5,78 4,90 5,78 34,12 1.78 19.2 1,98 0,26 0,45 0,10 108,4 0,28 0,20

20-40 cm 5,98 5,24 5,08 45,54 2.04 22.3 2,74 0,16 0,34 0,16 71,2 0,35 0,19 9 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs2 0-20 cm 4,90 4,21 5,10 32,12 1.13 28.4 3,87 0,43 0,67 0,13 90,4 0,81 0,20

20-40 cm 4,35 3,85 4,90 29,77 1.34 22.2 4,12 0,61 0,42 0,14 72,7 0,40 0,18 10 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs3 0-20 cm 5,12 4,55 4,35 34,12 1.64 20.8 5,22 0,66 0,37 0,19 86,4 0,34 0,20

20-40 cm 4,54 4,54 5,12 45,54 1.45 31.4 3,72 0,48 0,49 0,17 57,2 0,58 0,14 11 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs4 0-20 cm 5,78 5,78 5,08 32,12 1.43 22.5 4,23 0,45 0,37 0,15 117,2 0,30 0,19

20-40 cm 5,98 5,98 5,14 29,77 1.37 21.7 3,46 0,34 0,49 0,11 84,0 0,07 0,12 12 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs5 0-20 cm 4,90 4,90 4,90 34,12 1.23 27.7 5,12 0,67 0,62 0,11 78,8 0,08 0,25

20-40 cm 4,35 3,75 4,35 45,54 2.09 21.8 4,22 0,42 0,51 0,12 67,3 0,31 0,11 13 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs6 0-20 cm 5,12 4,92 5,12 32,12 1.07 30.0 4,17 0,37 0,42 0,13 89,7 0,55 0,16

20-40 cm 4,54 3,54 4,54 29,77 1.44 20.7 3,89 0,41 0,37 0,19 69,1 0,05 0,14 14 Aluvial Gleik

(Typic Tropaquent) 1AAg2 0-20 cm 4,78 4,06 4,78 34,12 1.62 21.1 4,19 0,62 0,41 0,18 24,1 4,07 0,18

20-40 cm 5,23 4,83 5,23 45,54 2.23 20.4 4,22 0,51 0,69 0,23 16,8 3,05 0,13 15 Aluvial Distrik

(Typic Dystropepts) 1AAd2 0-20 cm 4,87 4,12 4,87 32,12 1.24 25.9 3,78 0,57 0,59 0,25 12,9 4,87 0,10

20-40 cm 4,67 4,01 4,67 29,77 1.29 23.1 3,24 0,35 0,57 0,21 14,6 2,48 0,05 16 Organosol Saprik

(Typic Haplosaprist) 2GHs9 0-20 cm 5,21 4,81 5,21 34,12 1.54 22.2 4,11 0,61 0,35 0,32 105,3 0,94 0,17

20-40 cm 5,32 4,82 5,32 45,54 2.07 22.0 4,21 0,45 0,42 0,17 91,2 0,96 0,17

Sumber : Hasil pengamatan lapangan dan analisis data laboratorium (2013)

Page 57: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN | 285

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Lampiran 2. Rencana Anggaran Rehabilitasi Lahan dan Tanaman di areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Jumlah Untuk

20.000 ha (Rp)

I

1 Pembuatan Rintisan (Interval 5 m) 1 ha 5,000,000 5,000,000 100,000,000,000

2 Pembuatan Gundukan dan lubang

tanam

1,000.00 lbr 10,000 10,000,000 200,000,000,000

3 Sewa Lahan seluas 2 ha 5,000,000 10,000,000 10,000,000

Jumlah (I) 25,000,000 300,010,000,000

II -

1 Keranjang Pikul 2 unit 50,000 100,000 2,000,000,000

2 Cangkul 2 unit 70,000 140,000 2,800,000,000

3 Skop 2 unit 70,000 140,000 2,800,000,000

4 Parang 2 unit 50,000 100,000 2,000,000,000

5 Pisau 2 unit 25,000 50,000 1,000,000,000

6 Suprayer/Knopsap 0.25 unit 400,000 100,000 2,000,000,000

7 Sepatu Bot 2 ps 95,000 190,000 3,800,000,000

8 Sampan 1 unit 10,000,000 10,000,000 200,000,000,000

Jumlah (II) 10,820,000 216,400,000,000

III

1 Ajir 1,000.00 btg 500 500,000 10,000,000,000

2 Kayu untuk Gundukan (1 x 1 m), 4

tingkat 1,000.00 kg 1,000 1,000,000 20,000,000,000

4 Tali Rafia 10 glg 12,000 120,000 2,400,000,000

5

Bibit Tanaman + cadangan 20 % 1,200.00 btg 10,000 12,000,000 240,000,000,000

Jumlah ( III) 13,620,000 272,400,000,000

IV -

1 Lansir Bibit ke arean tanam 1,200.00 btg 200 240,000 4,800,000,000

2 Penanaman 1,000.00 btg 1,000 1,000,000 20,000,000,000

3 Biaya perawatan 3 bln, 2 orang 6 HOB 1,000,000 6,000,000 120,000,000,000

Jumlah ( V ) 7,240,000 144,800,000,000

Jumlah Total (I + II + III + IV + V) 56,680,000 933,610,000,000

Rp 933,610,000,000.00

Jumlah (Rp)

Persiapan Lahan/Lokasi Penanaman

Peralataan

Baha-bahan

Ongkos Kerja dan Pemeliharaan

Total Kebutuhan Anggaran Rahabilitasi untuk areal 20.000 ha adalah :

No Item Kegiatan Jumlah SatuanHarga Satuan

(Rp)

Page 58: DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN - Jurusan · PDF fileLAPORAN UTAMA Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui ... maka untuk pengambilan

286 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Lampiran 3. Schedule Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan

No

Kegiatan Waktu (Bln ke…………………………….)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

1 Persiapan

2 Pengadaan Bibit

3 Pembentukan Lembaga/Badan Masyarakat Pengelola Hutan

4 Pengadaan Ajir

5 Pembuatan Rintisan

6 Pembuatan Gundukan

7 Pembuatan lubang Tanam/Pemasangan Ajir

8 Lansir bibit

9 PenanamanLapangan

10 Perawatan/Pemeliharaan

11 Penyulaman

12 Pembinaan Masyarakat Pengelola Hutan

13 Minitoring dan Evaluasi

- Tanaman

- Hidrologi

- Tanah

- Pengembangan Lembaga Masyarakat Pengelola Hutan