perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id studi tentang ... fileperpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI
(Analisis Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang
nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche
Reglement (HIR))
PENULISAN HUKUM
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
IFFAH ALMITRA
NIM E0009161
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI
(Analisis Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang
nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche
Reglement (HIR))
PENULISAN HUKUM
(SKRIPSI)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
IFFAH ALMITRA
NIM E0009161
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (Analisis
Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR))
Oleh
IFFAH ALMITRA
E0009161
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Dosen Pembimbing Skripsi
Pembimbing I Pembimbing II
Harjono, S.H.,M.H Syafrudin Yudhowibowo, S.H.,M.H
NIP 196101041986011001 NIP197805012003121002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (Analisis
Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR))
Oleh
Iffah Almitra
E0009161
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 19 Maret 2013
DEWAN PENGUJI
(1) Soehartono, S.H., M.hum
NIP. 195604251985031002 ………………………..
Ketua
(2) Syafrudin Yudhowibowo, S.H., M.H
NIP. 197805012003121002 ………………………..
Sekretaris
(3) Harjono, S.H., M.H
NIP. 196101041986011001 ………………………..
Anggota
Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H.,M.Hum
19570203 198503 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (Analisis
Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR)) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.
Surakarta,
Yang membuat pernyataan
Iffah Almitra
NIM.E0009161
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Tirulah Ilmu Padi yang Semakin berisi Semakin Merunduk”
“Kun Fayakun”
"1% talent, 99% hardwork"
"If you think you Can, It Can!"
“Sedekah adalah investasi yang sangat berharga”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Persembahan seutuhnya hanya untuk ALLAH SWT
Dan Baginda Rasullulah SAW
yang Telah Memudahkan jalanku dan Segalanya Bagiku
dan :
umi dan bapakku
serta :
yang terkasih
popip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
IFFAH ALMITRA, E0009161, STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM
PARTEM PADA PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN
NEGERI (Analisis Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-
undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene
Inlandsche Reglement (HIR))
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan asas audi et alteram
partem dalam Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan
juga untuk mengetahui pengaturan asas audi et alteram partem dalam Herziene
Inlandsche Reglement (HIR).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut : jenis penelitian normatif, sifat penelitian deskripstif, pendekatan undang-
undang dan pendekatan konseptual, pengumpulan bahan hukum dengan
mengidentifikasi peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu
tersebut, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier,
teknik analisis bahan hukum dengan metode interpretasi. Sumber bahan hukum ini
dari bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan yaitu Undang-Undang
Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR), cetakan-cetakan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim serta bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan
bahwa dalam Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum telah
mengatur norma-norma yang memuat asas audi et alteram partem. Sebagaimaan
tercantum di dalam pasal-pasal berikut : pasal 52 A ayat (1), pasal 53 ayat (1), (2) dan
(3), pasal 57 A ayat (1), (3) dan (5) ,pasal 58, pasal 59, pasal 68 A ayat (2), pasal 68
B ayat (1), pasal 68 C ayat (2) . Demikian halnya dengan Herziene Inlandsche
Reglement (HIR), pengaturan asas audi et alteram partem terdapat pada pasal 52 A
ayat (1), pasal 53 ayat (1), (2) dan (3), pasal 57 A ayat (1), (3) dan (5) ,pasal 58, pasal
59, pasal 68 A ayat (2), pasal 68 B ayat (1), pasal 68 C ayat (2) untuk undang-undang
nomor 49 tahun 2009 dan pada pasal 121 ayat (1), (2) dan (4), pasal 122, pasal 123
ayat (3), pasal 126, pasal 135, pasal 139 ayat (2) dan pasal 163 untuk Herziene
Inlandsche Reglement (HIR).
Kata Kunci : Pembuktian, Asas Audi Et Alteram Partem.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
IFFAH ALMITRA, E0009161, A STUDY ON AUDI ET ALTERAM PARTEM
PRINCIPLE IN AUTHENTICATING THE CIVIL CASE IN THE FIRST
INSTANCE COURT (An Analysis on Audi Et Alteram Partem Principle in the
Act Number 49 number 2009 about General Justice and Herziene Inlandsche
Reglement (HIR))
This research aims to find out how the regulation of audi et alteram partem
principle in the Act Number 49 of 2009 about General Justice and to find out how the
regulation of audi et alteram partem in Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
The research method used in this legal writing was as follow: normative
research type, descriptive nature of research, statute approach and conceptual
approach, law material collection through identifying the legislation concerning or
relevant to the issue, primary, secondary and tertiary law materials, law material
analysis technique with interpretation method. The law material source derived from
the primary law material consisting of legislation namely the Act Number 49 number
2009 about General Justice and Herziene Inlandsche Reglement (HIR), official prints
or treatise in legislation process and judge’s verdict as well as secondary law material
constituting all publications about law rather than official document.
Based on the result of research and discussion, it could be concluded that the
Act of Number 49 of 2009 about General Justice had governed the norms containing
the audi et alteram partem principle, as included in the following articles: Articles 52
A clause (1); 53 clauses (1), (2), and (3); 57 A clause (1), (3), and (5); 58; 59; 68 A
clause (2); 68 B clause (1), 68 C clause (2). It is just like in Herzeine Inlandsche
Reglement (HIR), in 52 A clause (1); 53 clauses (1), (2), and (3); 57 A clause (1), (3),
and (5); 58; 59; 68 A clause (2); 68 B clause (1), 68 C clause (2) for the Act Number
49 of 2009 and in articles 121 clauses (1), (2), and (4); 122; 123 clause (3); 126; 135;
139 clause (2) and 163 for Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
Keywords: Authentication, Audi Et Alteram Partem principle.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul :
STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA
PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (Analisis
Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR)). Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan,
bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Allah SWT dengan segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan kepada
penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Harjono, S.H.,M.H selaku Pembimbing I dan Bapak Syafrudin
Yudhowibowo S.H,M.H selaku Dosen Pembimbing II serta Tim penguji yang
telah menguji untuk menyempurnakan penulisan hukum ini.
4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H selaku ketua bagian Hukum Acara.
5. Bapak Agus Rianto, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Akademik.
6. Umi, bapak, mbak usy, sena, nenek, kakek, om laju, om laka dan tante nurul
yang selalu mendo’akan, memberikan dorongan, semangat dan harapan.
7. Popip yang selalu setia mendampingi dan mendengarkan segala keluh kesah
dikala senang maupun susah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
8. Semua teman-teman terdekat citra, dessy dan mardha yang selalu memberi
inspirasi dan dukungan.
9. Teman-teman kosan nefilla vanya, naris, cicis, mbak nita, memel, indri, intan,
naomi,isna dan ian yang selalu happy dan saling membantu.
10. Teman-teman seperjuangan agil, rea, memel, shinta, ipus, nisa dan juni yang
selalu setia menghibur dan memberi semangat.
11. Teman-teman kampus mia, cindy, dian jati, lusy, febry, sary, tyas, nilan,
vanya, naris, siska,yuan yang selalu bersemangat dan rajin kuliah.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat bagi
kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi, maupun
masyarakat umum.
Surakarta, 19 Maret 2013
penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
E. Metode Penelitian .............................................................................. 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori .................................................................................
1. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan
Negeri………...............................................................................
2. Pembuktian Dalam Perkara Perdata…………………………….
3. Teori Positivisme..........................................................................
4. Ajaran Realisme Hukum...............................................................
5. Asas Audi Et Alteram Partem.......................................................
12
18
35
37
38
12
B. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam undang-undang nomor
49 tahun 2009 tentang peradilan umum................................................
1. Pengaturan Asas Audi Et Alateram Partem dalam Undang-undang
Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang
Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan pertama atas Undang-
undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum...............................................................................................
2. Pengaturan Asas Audi et Alteram partem tentang Perubahan kedua
atas undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan
umum..............................................................................................
B. Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Herziene Inlandsche
Reglement (HIR)....................................................................................
42
42
46
58
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………............ 71
B. Saran……………………………………..……………………………. 74
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti memerlukan pergaulan satu sama lainnya untuk
mempertahankan hidupnya. Akan tetapi, tiap-tiap orang mempunyai kepentingan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya disetiap
negara, hubungan atau pergaulan antara satu orang dengan yang lainnya diatur
dalam suatu tata tertib atau peraturan untuk mencegah agar tidak terjadi
kekacauan. Oleh karena itu tata aturan tersebut diatur dalam undang-undang.
Hukum acara perdata bisa juga disebut dengan hukum perdata formil,
namun sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata
formil. Hukum acara perdata atau hukum perdata formil sebetulnya merupakan
bagian daripada hukum perdata. Sebab, di samping hukum perdata formil, juga ada
hukum perdata materiil. Hukum perdata materiil ini lazimnya hanya disebut
hukum perdata saja (Riduan Syahrani, 2009:1).
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, yang dikutip oleh Abdulkadir
Muhammad dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Indonesia,
hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana
pengadilan itu harus bertindak, semuanya itu untuk melaksanakan peraturan
hukum perdata (Abdulkadir Muhammad, 2008:11).
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat ada yang
melakukan pelanggaran terhadap norma/kaidah hukum perdata tersebut, maka hal
itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Untuk memulihkan hak
perdata pihak lain yang telah dirugikan ini, maka hukum perdata materiil yang
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara
mempergunakan hukum acara perdata. Jadi, pihak lain yang hak perdatanya
dirugikan karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh
memulihkan hak perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting),
tetapi harus menurut ketentuan yang termuat dalam hukum acara perdata.
Dari sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelangggaran terhadap hukum
perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup
hukum perdata. Bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata ini di dalam
negara yang berdasarkan hukum, tidak boleh dengan cara main hakim sendiri,
tetapi harus dengan cara yang diatur dalam hukum acara perdata. Oleh karena itu,
juga dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan perkara
perdata melalui badan peradilan (Riduan Syahrani, 2009:3).
Dalam buku Ari Wdhiatmo Putro yang mengutip pendapat Sudikno
Mertokusumo bahwa ada beberapa asas yang penting dalam hukum acara perdata
yaitu (Ari Widhiatmo Putro, 1999:2) :
1. Asas Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak (Audi Et Alteram
Partem);
2. Asas hakim bersifat menunggu (Nemo Yudex Sine Actore);
3. Asas Hakim bersifat pasif (Verhandlungs Maxime);
4. Asas sidang terbuka untuk umum (Openbaarheid);
5. Asas berperkara harus dengan biaya;
6. Asas berperkara tidak harus diwakilkan;
7. Asas pertimbangan hakim harus disertai dengan pertimbangan;
8. Asas pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan;
9. Asas beracara dapat dengan lisan maupun tertulis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
10. Asas untuk perkara yang sama dengan hal yang sama dan dengan pihak yang
sama pula tidak dapat diputus kedua kalinya oleh pengadilan yang sama
tingkatannya (Nebis in idem);
11. Asas kebebasan hakim terhadap pengaruh diluar kekuasaan kehakiman;
12. Asas hakim harus tidak memihak;
13. Asas pemeriksaan perkara perdata dilaksanakan dalam dua tingkatan dan
14. Asas susunan hakim majelis untuk memeriksa perkara perdata.
Dalam asas hukum acara perdata yang telah disebutkan tersebut diatas,
asas hakim harus mendengarkan kedua belah pihak (audi et alteram partem)
merupakan asas yang penting terutama bagi pihak-pihak yang berperkara. Karena
asas tersebut merupakan suatu tolak ukur bagi kinerja hakim dalam menjalankan
tugasnya sehingga hakim tidak dapat menyalahgunakan kewenangannya.
Asas ini memiliki dua aspek, yaitu mengakui adanya hak seorang tergugat
untuk membela diri, dan adanya jaminan baik langsung maupun tidak langsung
oleh ketentuan undang-undang mengenai pengakuan tentang kesamaan kedudukan
para pihak. Maksudnya adalah bahwa para pihak yang bersengketa haruslah diberi
kesempatan yang sama untuk mempertahankan hak atau kepentingannya,
singkatnya secara prosesual para pihak mempunyai kedudukan yang sama.
Mengenai masalah kesamaan kedudukan, sebenarnya hal ini akan nampak
pada saat para pihak yang bersengketa hadir dalam setiap persidangan, karena
dengan kehadiran para pihak tersebut dalam persidangan, maka sebenarnya para
pihak yang berperkara secara langsung akan dapat memberikan tanggapan ataupun
pendapatnya yang dapat berupa pengakuan atau pembenaran atas suatu peristiwa
yang terjadi, atau bahkan sebaliknya dapat berupa sanggahan atau bantahan
terhadap suatu tuduhan yang dianggap tidak benar dan tidak beralasan yang
dilontarkan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain. Dengan demikian
pemeriksaan perkara tersebut dapat diselesaikan dengan cepat, dimana dalam hal
ini sebenarnya para pihak yang bersengketa jugalah yang diuntungkan karena hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
tersebut dapat menghemat waktu, biaya, tenaga serta pikiran dalam usaha
menyelesaikan perkara yang dihadapi (Ari Widhiatmo Putro, 1999:2-3).
Dalam penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan, pembuktian
merupakan hal yang sangat berpengaruh penting bagi hakim untuk memberikan
dasar-dasar bagi pemutusan suatu perkara yang dapat berupa perintah-perintah
maupun larangan-larangan (Hari Sasangka, 2005:3). Pada dasarnya pembuktian
adalah bagian yang penting di dalam hukum acara. Baik di dalam mengadili
perkara perdata maupun perkara pidana, hakim selalu memerlukan pembuktian.
Dengan diselesaikannya suatu perkara melalui pengadilan negeri, maka akan
dicapai suatu penyelesaian yang pasti berdasarkan alat-alat pembuktian. Karena
dengan pembuktian dimaksudkan akan dapat dicapai suatu kebenaran yang
sesungguhnya yaitu kebenaran dari hubungan hukum terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Dengan jalan pembuktian, maka akan dapat diketahui siapa
sebenarnya yang salah dan siapa sebenarnya yang benar, dengan adanya
pembuktian maka akan dapat dijamin adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi
para pihak yang berperkara secara seimbang (Teguh Samudera, 1992:8-9).
Apabila hal pembuktian tersebut dihubungkan dengan asas audi et
alteram partem dalam hukum acara perdata, maka hal ini berarti bahwa hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai keterangan
yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya. Menyangkut hal pembuktian tersebut dapat diartikan
juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri
oleh kedua belah pihak. Hakim wajib menerapkan asas audi et alteram partem
dalam hal pembuktian karena pembuktian adalah kunci utama hakim dalam
membuat putusan (Sudikno Mertokusumo, 2002:14-15).
Tidak sedikit pelanggaran terhadap asas audi et alteram partem tersebut
terjadi. Salah satunya yaitu perkara yang terjadi antara PT.PERTAMINA DANA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
VENTURA d.h. PT. PERTAMINA SAVING & INVESTMENT sebagai Pemohon
Kasasi dahulu Pemohon Pailit dengan PT.EUROCAPITAL PEREGRINE
SECURITIES sebagai Termohon Kasasi dahulu Termohon Pailit dimana pada
perkara tersebut hakim telah melanggar asas audi et alteram partem yaitu hakim
tidak bersikap konsisten terhadap penetapan pada hari sidang sebelumnya, quon
non yang mengakibatkan pemohon kasasi tidak hadir pada acara sidang
pembuktian dan hakim malah mempertimbangakan jawaban Termohon Kasasi
tanpa memberi kesempatan kepada Pemohon Kasasi untuk mengajukan bantahan
atas Jawaban Termohon Kasasi a quo sehingga sangat merugikan hak dan
kepentingan Pemohon Kasasi. Bahwa seharusnya berdasarkan asas audi et alteram
partem hakim memberi kesempatan yang sama kepada Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi dalam hal pengajuan jawaban dan bantahan pada acara
persidangan (Putusan MA No. 852 K/Pdt.Sus/2010).
Adanya alat-alat pembuktian yang ditampilkan oleh para pihak dapat
menjamin bahwa hakim dalam memeriksa suatu pembuktian tidak mengada-ada
karena telah ditentukan dalam hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif
Indonesia) yaitu undang-undang. Oleh karena pentingnya asas audi et alteram
partem maka asas tersebut sebaiknya terkandung didalam hukum positif Indonesia
(undang-undang yang berlaku).
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian atau studi kasus yang lebih mendalam mengenai asas audi et alteram
partem pada pembuktian perkara perdata di Pengadilan Negeri berdasarkan
Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene
Inlandsche Reglement (HIR). Untuk itu penulis dalam penulisan hukum ini
memilih judul : “ STUDI TENTANG ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM
PADA PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI
(Analisis Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan Herziene Inlandsche Reglement
(HIR))”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disusun
rumusan masalah yaitu :
1. Apakah Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum
mengatur norma-norma yang memuat asas audi et alteram partem?
2. Bagaimana pengaturan asas audi et alteram partem dalam Herziene
Inlandsche Reglement (HIR)?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang hendak dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas
dan terarah. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah bagi pelaksanaan
penelitian agar sesuai dengan maksud dilaksanakannya penelitian tersebut. Oleh
karena itu, penelitian dan penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai
berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pengaturan asas audi et alteram partem dalam
Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum.
b. Untuk mengetahui pengaturan asas audi et alteram partem dalam
Herziene Inlandsche Reglement (HIR)
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh hasil penelitian yang nantinya digunakan penulis
dalam menyusun skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan dalam ilmu hukum .
b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan wacana, ilmu hukum serta
pemahaman penulis tentang penerapan asas audi et alteram partem
dalam pembuktian perkara perdata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Untuk meningkatkan kemampuan berfikir dan kreatifitas mahasiswa
dalam menulis.
d. Untuk mempersiapkan mahasiswa agar siap terjun di dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Salah satu aspek penting dalam kegiatan penelitian adalah menyangkut
kegunaan atau manfaat penelitian, baik kegunaan teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Merupakan bahan pengembangan hukum acara perdata pada umumnya
dan hukum pembuktian pada khususnya.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam hal pembuktian perkara
perdata di pengadilan negeri
c. Menambah dan memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam
konteks pembuktian perkara perdata di pengadilan negeri.
d. Dijadikan bahan masukan untuk pengkajian dan atau penulisan karya
ilmiah di bidang hukum pembuktian.
2. Manfaat praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diteliti.
b. Untuk menambah dan memperkaya bahan kuliah hukum acara perdata
dan hukum pembuktian.
c. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan menerapkan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum yang dipelajari penulis dalam
perkuliahan yang didapat.
d. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya tentang
pembuktian dalam sengketa perdata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
E. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting,
tidak hanya berguna untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan
penelitian dan juga untuk mempermudah dalam mengembangkan data agar
penulisan hukum dapat berjalan lancar. Oleh karena itu, metode yang digunakan
penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif atau biasa disebut
penelitian hukum doktrinal atau kepustakaan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan undang-undang (Statue
Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Istilah
pendekatan penelitian dengan metode pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2008 :
93).
3. Jenis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan
hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 141).
Dalam penulisan hukum ini, bahan hukum primer yang digunakan
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum dan
Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Sedangkan bahan hukum sekunder
yang digunakan adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan
disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.
4. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
i. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
ii. Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum;
iii. Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Buku-buku hukum termasuk skripsi,
tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum.
c. Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan peneliti
dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan
(literature research) yaitu pengumpulan dan identifikasi bahan hukum
yang didapat melalui buku referensi, karangan ilmiah, dokumen resmi,
makalah, jurnal, media massa seperti koran , internet, serta bahan-bahan
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dibuat. Kemudian
bahan hukum disusun serta dikonstruksikan dengan sistematis.
5. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum yang digunakan peneliti adalah menggunakan
metode interpretasi. Di dalam literatur, interpretasi dibedakan menjadi
interpretasi berdasarkan kata-kata undang-undang , pembuat undang-undang,
interpretasi sistematis, dan interpretasi historis (Peter Mahmud, 2005 : 106 ).
Interrpetasi berdasarkan kata undang-undang disebut juga plain
meaning atau interpretasi harfiah/literal. Interperetasi ini bermula pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
makna dari kata-kata yang tertuang di dalam undang-undang. Interpretasi
pembuat undang-undang adalah interpretasi sebagaimana tertuang didalam
penjelasan suatu undang-undang yang berdasarkan pada kehendak
pembentuk undang-undang. Interprestasi ini biasa disebut juga dengan
interpretasi gramatikal. Selanjutnya interpretasi sistematis menurut
P.W.C.Akkerman yang dikutip oleh Peter Mahmud dalam bukunya yang
berjudul Penelitian Hukum, interpretasi sistematis ialah interperetasi dengan
melihat kepada adanya hubungan saling bergantung antara aturan dalam
suatu undang-undang. Yang terakhir interpretasi historis yaitu dalam
interpretasi ini melacak makna ketentuan undang-undang dari segi lahirnya
ketentuan tersebut (Peter Mahmud, 2011 : 107-113).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh
dalam penulisan hukum ini, maka penulis membagi dalam empat bab yaitu
Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Pembahasan dan Penutup ditambah dengan
Daftar Pustaka dan Lampiran.
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan peneliatian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang landasan teori mengenai proses pemeriksaan
perkara perdata di pengadilan negeri, tinjauan tentang pembuktian dalam perkara
perdata, teori positivisme dan ajaran realisme hukum. Selain landasan teori,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
dalam bab ini juga akan dikemukakan tentang kerangka pemikiran yang berisi
rangkaian proses pemeriksaan perkara perdata.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian yang membahas mengenai
pengaturan norma-norma yang memuat asas kesamaan dalam pembuktian pada
Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 dan pengaturan norma-norma yang
memuat asas kesamaan dalam pembuktian pada Herziene Inlandsche Reglement
(HIR).
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan dilanjutkan
dengan saran-saran mengenai permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Proses Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Negeri.
Peradilan perdata hanya berlaku pada perkara yang bersifat privat antara
pribadi seorang dengan yang lainnya. Oleh karena itu tidak semua perkara dapat
diselesaikan melalui jalur peradilan perdata. Salah satu perkara yang tidak dapat
diselesaikan melalui jalur peradilan adalah suatu perkara yang mana sebelum
peristiwa tersebut terjadi, sudah ditentukan proses penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui jalur penyelesaian yang lain dalam perjanjian yang telah dibuat para pihak.
Menurut Abdulkadir Muhammad pengertian perkara perdata lebih luas daripada
pengertian sengketa perdata. Suatu sengketa adalah bagian dari perkara, sedangkan
di dalam suatu perkara belum tentu ada sengketa (Abdulkadir Muhammad, 2008 :
11).
Perkara perdata terdiri dari :
a. Permohonan (Perkara Voluntair)
Pada kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri.
Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat. Pada
prinsipnya, tujuan permohonan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon
sendiri tanpa melibatkan pihak lawan (M.Yahya Harahap, 2011: 37).
Disamping itu, peradilannya adalah peradilan tidak sesungguhnya atau
Voluntarie Yurisdictie yang juga biasa disebut peradilan sukarela.
Ciri dari permohonan atau gugatan voluntair ini adalah :
1) Gugatan yang diajukan untuk kepentingan sepihak semata;
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2) Permasalahan yang dimohonkan tanpa adanya konflik dengan pihak lain;
3) Bersifat ex-parte, oleh karena itu tidak ada pihak ketiga atau orang lain
yang ditarik sebagai lawan.
Proses pemeriksaan pada kasus permohonan ini, dilakukan hanya
secara sepihak dan dihadiri oleh pemohon atau kuasanya saja. Sedangkan
pada pembuktiannya, yang diperiksa pengadilan hanya keterangan dan bukti-
bukti pemohon saja. Lalu pada proses pemeriksaan ini, tidak semua asas
pemeriksaan persidangan ditegakkan oleh pengadilan.
Contoh permohonan (Perkara Voluntair) :
- Permohonan penetapan ahli waris;
- Permohonan akte kelahiran;
- Permohonan pengangkatan anak.
b. Sengketa Perdata
Sengketa perdata ialah suatu permasalahan diantara dua pihak atau
lebih yang mengandung sengketa atau perselisihan, dimana permasalahan
tersebut diajukan dan diminta untuk diselesaikan oleh pengadilan. Sedangkan
peradilan yang menanganinya disebut peradilan sesungguhnya atau
Contentius jurisdiksi.
Adapun ciri-ciri dari pada gugatan perdata yaitu :
1) Adanya sengketa atau konflik yang terkandung pada permasalahan yang
diajukan;
2) Miminal ada dua pihak yang terlibat pada sengketa yang terjadi tersebut;
3) Bersifat party (partai) yang terdiri dari pihak penggugat dan pihak lainnya
disebut pihak tergugat.
Apabila terjadi sengketa atau perselisihan diantara dua pihak atau
lebih, dimana sengketa tersebut ingin diselesaikan melalui pengadilan maka
pihak yang berkedudukan sebagai penggugat haruslah mengajukan gugatan ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
pengadilan. Berdasarkan kompetensi relatif yang diatur dalam pasal 118 HIR,
sebagai berikut :
a) Gugatan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis, tetapi yang paling
diutamakan adalah gugatan tertulis. Dimana gugatan tersebut harus
diajukan pada pengadilan negeri dimana tergugat bertempat tinggal.
b) Jika tergugat lebih dari satu dan bertempat tinggal pada wilayah
pengadilan negeri yang berbeda, gugatan tersebut diajukan ke pengadilan
negeri dimana salah satu tergugat berdomisili. Jika diantara tergugat
berkedudukan sebagai penjamin, gugatan tersebut diajukan ke pengadilan
negeri debiturnya.
c) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui atau tidak jelas :
1) Gugatan diserahkan atau diajukan dimana penggugat bertempat
tinggal.
2) Apabila sengketa mengenai benda tetap, diajukan ke pengadilan negeri
dimana benda tetap itu berada.
d) Jika terdapat tempat kedudukan hukum (domisili) yang ditentukan dan
disepakati dalam suatu akta maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri
dimana domisili ditentukan.
Surat gugatan tersebut harus memuat dengan lengkap identitas para
pihak, posita dan petitum yang jelas. Lalu penggugat juga harus melunansi
persekot biaya perkara. Kemudian, gugatan diajukan dan didaftarkan oleh
panitera dalam suatu daftar perkara. Setelah gugatan telah terdaftar, maka
selanjutnya diserahkan kepada ketua pengadilan negeri untuk diberitahukan
kepada ketua majelis hakim yang ditunjuk untuk memeriksa perkara tersebut.
Hakim yang ditunjuk lalu menetapkan hari persidangan dan memerintahkan
untuk membuat surat penetapan hari sidang berserta surat panggilan sidang
(relaas) yang akan digunakan oleh juru sita atau juru sita pengganti untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
memanggil para pihak agar para pihak hadir di persidangan pada hari yang
telah ditentukan.
Panggilan sidang tersebut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 390
HIR yaitu surat panggilan sidang (relaas) harus diserahkan secara langsung
dengan orang yang bersangkutan di kediamannya. Jika orang yang yang
bersangkutan tidak ada ditempat tinggal atau kediamannya maka juru sita atau
juru sita pengganti harus menyampaikan surat panggilan tersebut kepada
kepala desa, lalu kepala desa wajib dengan segera memberitahukan panggilan
itu kepada orang yang bersangkutan. Apabila orang yang bersangkutan
ternyata telah meninggal dunia, maka panggilan itu harus disampaikan kepada
ahli warisnya. Jika orang yang bersangkutan tidak diketahui tempat tinggalnya
maka surat panggilan disampaikan kepada kepala daerah dimana penggugat
bertempat tinggal untuk ditempelkan pada papan pengumuman di pengadilan
tempat perkara tersebut didaftarkan. Disamping itu, pihak tergugat juga harus
mendapatkan salinan surat gugatan (Pasal 121 HIR).
Menurut pasal 122 HIR, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari
persidangan harus mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal/kediaman
para pihak dari tempat sidang pengadilan negeri diadakan, tetapi terkecuali
dalam hal yang sangat penting dan mendesak apabila perkara itu perlu dengan
segera diperiksa, maka tenggang waktu antara hari persidangan dan panggilan
para pihak tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari kerja. Apabila pada panggilan
pertama salah satu pihak yang bersengketa tidak hadir dalam persidangan
maka surat panggilan sidang atau relas dapat dikirimkan untuk kedua kalinya.
(Pasal 126 HIR)
Pada saat hari persidangan yang telah ditentukan, para pihak baik
penggugat, tergugat atau kuasa hukumnya dipanggil masuk ke ruang sidang,
lalu ketua majelis hakim menyatakan bahwa sidang dibuka dan terbuka untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
umum. Ketua majelis hakim harus terlebih dahulu menanyakan identitas para
pihak yaitu nama, umur, pekerjaan, tempat tinggal, agama, dan seterusnya.
Setelah itu, ketua juga harus menanyakan kepada pihak tergugat atau kuasa
hukumnya sebab mengapa ia dipanggil ke muka persidangan dan apakah
turunan surat gugatan yang ditujukan kepadanya sudah diterima atau belum.
Kemudian ketua membacakan isi surat gugatan penggugat terhadap tergugat
lalu setelah selesai membacakan isi surat gugatan, ketua menawarkan kepada
para pihak untuk melakukan mediasi dan sidang ditunda untuk memberikan
waktu kepada para pihak melakukan mediasi. Apabila perdamaian tidak
tercapai, pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan gugatan dan pihak
penggugat juga diberi kesempatan untuk merubah atau bahkan mencabut
gugatan sebelum tergugat mengajukan jawaban gugatan.
Setelah mendengar gugatan yang diajukan oleh penggugat, kemudian
ketua memberikan kesempatan kepada tergugat atau kuasa hukumnya untuk
mengajukan jawaban gugatan dan dapat juga mengajukan gugat balik atau
dapat disebut rekonvensi. Kemudian penggugat diberi kesempatan untuk
memberikan tanggapannya terhadap jawaban tergugat yang disebut juga
dengan replik. Replik penggugat tersebut dapat diberikan tanggapan oleh
tergugat atau dapat disebut dengan duplik. Proses tersebut disebut dengan
proses jawab jinawab antara pihak penggugat dan tergugat yang biasanya
diberi kesempatan sampai dua kali yaitu berakhir pada tergugat.
Kemudian, selesai proses jawab jinawab ketua memberikan
kesempatan kepada penggugat untuk mengajukan pembuktian. Lalu, tergugat
juga diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas pembuktian dari
pihak tergugat dengan mengajukan pembuktian pula. Pembuktian tersebut
tidak boleh diluar dari pokok sengketa. Menurut pasal 163 HIR, yang harus
membuktikan dalam suatu perkara perdata ialah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
a) Barangsiapa yang menyatakan mempunyai sesuatu barang hak;
b) Barangsiapa yang mengatakan suatu peristiwa atau kejadian untuk
menguatkan haknya;
c) Barangsiapa yang tidak mengakui atau membantah hak orang lain.
Selanjutnya apabila hakim ketua pemeriksa perkara tersebut
menganggap proses pemeriksaan cukup, maka para pihak yang bersengketa
diberi kesempatan untuk mengajukan suatu tanggapan atas segala sesuatu
yang telah terjadi di dalam persidangan dalam bentuk kesimpulan. Bagi
majelis hakim, kesimpulan dari para pihak dianggap akan membantu untuk
menarik kesimpulan akhir. Setelah kesimpulan akhir dimusyawarahkan oleh
majelis hakim, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara itu.
Menurut Riduan Syahrani, putusan pengadilan merupakan sesuatu yang
sangat diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan
perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan
tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum
dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi (Riduan Syahrani, 2009:125).
Setelah perkara diputus dan dibacakan oleh majelis hakim, para pihak
berhak untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak merasa puas dengan
putusan hakim tersebut. Biasanya pihak yang dinyatakan kalah lebih besar
kemungkinannya untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut.
Upaya hukum ialah suatu cara atau langkah untuk memperbaki kekeliruan
yang dianggap terjadi dalam suatu putusan.
Upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum
istimewa. Upaya hukum biasa yaitu perlawanan (verset), banding dan kasasi.
Upaya hukum banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi, sedangkan upaya
hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung. Lalu upaya hukum istimewa
yaitu peninjauan kembali dan perlawanan dari pihak ketiga. Peninjauan
kembali diajukan ke Mahkamah Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Apabila para pihak telah menggunakan semua upaya hukum yang ada
maupun tidak menggunakan upaya hukum, suatu putusan terhadap perkara
perdata tersebut telah dianggap berkekuatan hukum tetap sehingga bagi pihak
yang dinyatakan kalah harus melaksanakan isi dari putusan tersebut. Maka
perkara tersebut dianggap telah selesai dengan dilaksanakannya isi putusan
tersebut secara sukarela.
2. Pembuktian Dalam Perkara Perdata
1) Pengertian Pembuktian
Pembuktian di dalam ilmu hukum itu hanya ada apabila terjadi
bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui pengadilan yang lazimnya
masalah bentrokan tersebut akhirnya disebut dengan perkara. Bentrokan
kepentingan itu dapat diakibatkan oleh sesuatu hak. Bentrokan kepentingan
melalui pengadilan tersebut yaitu bentrokan mengenai kepentingan perdata
yang semata-mata penyelesaiannya merupakan wewenang pengadilan. Hanya
pengadilanlah yang dapat memberikan penyelesaian bentrokan itu. Pengadilan
berhak menentukan pihak mana yang menang dan kalah dengan suatu
keputusan pengadilan. Tetapi sebelum ditarik suatu kesimpulan akhir yang
dituangkan dalam keputusan, dalam tugasnya pengadilan harus berpedoman
pada aturan-aturan pembuktian yang disebut dengan hukum pembuktian. Oleh
karena itu pengadilan (hakim) tidak boleh hanya bersandar pada keyakinannya
belaka akan tetapi harus pula disandarkan kepada dalil-dalil yang
dikemukakan para pihak yang bersengketa yang merupakan suatu alat bukti
(Teguh Samudera, 1992:11-12).
Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya yang berjudul Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, yang dimaksud dengan pembuktian adalah
penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang dikemukakan (H.Riduan Syahrani, 2009:83).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Pembuktian memiliki peran penting dalam mempengaruhi putusan
hakim. Para pihak diberi kesempatan untuk membuktikan kepentingannya
demi meyakinkan hakim, tetapi para pihak tidak perlu memberitahukan dan
memberikan bukti mengenai peraturan hukumnya. Karena hakim diangap
sudah mengetahui akan hukum untuk mengutus perkara yang diperiksanya.
Lalu, maksud dari membuktikan ialah memberikan kepastian kepada hakim
yang memeriksa suatu perkara dengan fakta yang sebanyak-banyaknya
tentang kebenaran dalil-dalil yang diajukan baik dari pihak penggugat maupun
pihak tergugat.
Menurut Teguh Samudera dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pembuktian dalam Acara Perdata, membuktikan berarti menjelaskan
(menyatakan) kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan
hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa
(Teguh Samudera, 1992:12).
2) Asas Pembuktian
Dalam setiap sistem hukum, pasti memiliki asas-asas hukum. Tanpa
asas hukum, suatu sistem akan kehilangan kekuatan mengikatnya. Begitu pula
dengan pembuktian yang mana pembuktian merupakan bagian dari sistem
hukum dalam hukum acara perdata, juga memiliki asas-asas sebagai sesuatu
kekuatan mengikat. Asas-asas pembuktian tersebut yaitu (Harjono,
2012;2).(Moh. Taufik Makaro, 2009;6-12):
a) Asas Audi et alteram partem
Asas audi et alteram partem bisa disebut juga dengan asas kesamaan
prosesuil dan para pihak yang berperkara. Dimana hakim harus
mendengarkan kedua belah pihak. Hakim tidak boleh menjatuhkan
putusan sebelum memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak
untuk mengajukan dan menolak bukti-bukti. Asas ini juga terkandung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 5 Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang
intinya adalah semua warga Indonesia memiliki kedudukan yang sama
dihadapan hukum dan pengadilan tidak boleh membeda-bedakan orang
dan memperlakukan kedua belah pihak dengan tidak berat sebelah
b) Asas Ius curia novit
Dalam asas ini, hakim selalu difiksikan dan dianggap mengetahui akan
hukum dari setiap perkara yang diadilinya. Oleh karena itu, dalam hukum
pembuktian asas ini berarti para pihak harus membuktikan peristiwa atau
kejadiannya, sedangkan hakim yang harus membuktikan hukumnya.
c) Asas Actor sequitor forum rei
Dalam pembuktian, asas ini bermakna bahwa penggugat harus
membuktikan kebenaran gugatannya di tempat tinggal tetap tergugat atau
dimana tergugat berdomisili.
d) Asas Actori incumbit probation
Asas ini diatur dalam pasal 163 HIR dan disebut juga dengan asas beban
pembuktian. Maksudnya yaitu apabila seseorang mengakui suatau hak
atau membantah adanya hak orang lain, maka harus membuktikannya.
e) Asas Ne ultra petita
Pada pembuktian, asas ini berarti hakim tidak boleh membebani
pembuktian lebih daripada apa yang dituntut oleh penggugat.
f) Asas Unus testis nullus testis
Dalam pembuktian, asas ini memiliki arti bahwa satu saksi bukan
merupakan bukti oleh karena itu harus ada bukti lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
g) Asas Similia similibus
Asas ini bermakna bahwa perkara dengan pembuktian yang sama
haruslah diputus sama. Dimana maksud dari sama tersebut ialah bukan
dalam arti kuantitasnya.
h) Asas Testimonium de Auditu
Yaitu suatu kesaksian yang berasal dari orang lain yang mana dimuka
persidangan, saksi yang dihadirkan memberikan keterangan yang tidak
diperolehnya secara langsung pada saat peristiwa tersebut, melainkan
berasal dari keterangan orang lain.
i) Asas Negativa non sunt probanda
Menurut asas ini, sesuatu yang bersifat negative itu sangat sulit
dibuktikan. Bersifat negatif disini dimaksudkan dengan menggunakan
perkataan “tidak”.
j) Asas Nemo testis indoneus in propia causa
Asas ini menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang boleh menjadi
saksi terhadap perkaranya sendiri. Oleh karena itu, bagi pihak penggugat
dan tergugat tidak dapat memberikan keterangan sebagai saksi atas
perkara mereka.
k) Asas Nemo plus juris transfere potest quam insehebat
Tidak ada orang yang dapat bersaksi untuk dapat mengalihkan lebih
banyak hak daripada apa yang dimilikinya.
3) Objek dan Beban Pembuktian
Objek Pembuktian yaitu :
a) Pokok sengketa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Pengertian pokok sengketa ialah segala sesuatu yang dinyatakan atau
diargumentasikan oleh salah satu pihak dan dibantah oleh pihak lain.
Hal tersebut terdapat aturannya pada pasal 163 HIR.
b) Hak yang diakui salah satu pihak
Maksud dari hak yang diakui salah satu pihak yaitu sesuatu yang
harusnya menjadi milik salah satu pihak yang timbul karena adanya
hubungan hukum.
c) Peristiwa/hubungan hukum
Pertistiwa hukum ialah pertalian atau hubungan hukum yang terjadi
antara penggugat dan tergugat yang mengakibatkan adanya sebuah
perkara. (Soedikno Mertokusumo, 2002:130-131)
Selanjutnya, dalam pembuktian hakimlah yang berhak
memerintahkan kepada para pihak yang berperkara untuk mengajukan
bukti-bukti. Oleh karena itu hakim juga lah yang membebani para
pihak yang berperkara untuk melakukan pembuktian. Akan tetapi
masalah penentuan beban pembuktian bukanlah hal yang mudah,
karena tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara tegas dan
terperinci mengenai pembagian beban pembuktian. Pengaturan
tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 163 HIR, tetapi tidak
begitu jelas dan terperinci sehingga sulit diterapkan secara tegas oleh
hakim.
Dalam hal ketentuan mengenai beban pembuktian yang ada
pada pasal 163 HIR, Abdulkadir Muhammad mencoba meneliti dan
merinci ketentuan pasal tersebut yaitu (Abdulkadir Muhammad,
2008:127-128) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
a) Suatu pihak yang menyatakan mempunyai hak, maka harus
membuktikan keabsahan haknya itu. Pada umumnya penggugat
yang biasanya menyatakan mempunyai hak, maka penggugatlah
yang harus diberi beban pembuktian terlebih dahulu.
b) Suatu pihak yang menyebutkan suatu kejadian atau peristiwa
untuk menguatkan haknya harus membuktikan adanya peristiwa
tersebut. Apabila yang menyebutkan kejadian atau peristiwa
tersebut penggugat, maka dia yang harus membuktikannya,
beban pembuktian ada pada penggugat. Tetapi, apabila yang
menyebutkan kejadian atau peristiwa tersebut tergugat, maka dia
yang harus membuktikannya, beban pembuktian ada pada
tergugat.
c) Suatu pihak yang menyebutkan suatu peristiwa untuk
membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya
peristiwa itu. Apabila pihak yang menyebutkan peristiwa
tersebut penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat.
Begitu juga apabila pihak yang menyebutkan peristiwa itu adalah
tergugat, oleh karena itu beban pembuktian ada pada tergugat.
Dengan begitu, artinya bahwa para pihak baik penggugat
maupun tergugat sama-sama dibebani pembuktian. Khususnya bagi
penggugat harus membuktikan peristiwa yang diajukannya dan
tergugat juga wajib membuktikan bantahannya.
4) Teori Penilaian Kekuatan Pembuktian
Menurut Sudikno Mertokusomo, teori pembuktian yaitu (Sudikno
Mertokusumo, 2002:133-134) :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
a) Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, oleh karena itu penilaian pembuktian seberapa dapat
diserahkan kepadanya.
b) Teori pembuktian positif
Disamping terdapat adanya larangan, teori ini menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat
memenuhi pasal 165 HIR, 1870 BW.
Adanya pendapat umum yang menghendaki teori pembuktian yang
lebih bebas. Keinginan akan adanya kebebasan dalam hukum
pembuktian tersebut dimaksudkan untuk memberi kelonggaran
wewenang kepada hakim dalam mencari suatu kebenaran.
c) Teori pembuktian negatif
Teori ini mengatur keharusan adanya ketentuan mengikat, yang
bersifat negative yaitu ketentuan ini wajib membatasi larangan kepada
hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
pembuktian.
5) Alat-Alat Bukti
Pengaturan mengenai alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam pasal
164 HIR, ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata yaitu :
a. Tulisan
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Penjelasan mengenai macam-macam alat bukti diatas adalah sebagai
berikut :
a) Tulisan
Dari urutan alat bukti tersebut, alat bukti tulisanlah yang
ditempatkan pada urutan pertama atau paling atas karena alat bukti
tulisan merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara
perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis yang
disebut juga dengan surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 2009:151)
Menurut Riduan Syahrani, alat bukti tertulis dibagi atas 2 (dua)
macam yaitu akta dan tulisan-tulisan lain bukan akta (Riduan
Syahrani, 2009:91). Sama halnya dengan pendapat Sudikno
Mertokusumo, membagi alat bukti tertulis menjadi dua yaitu surat
yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta
(Sudikno Mertokusumo, 2009:151). Sedangkan Retno Wulan
memiliki pendapat yang berbeda yaitu bukti tulisan itu terbagi
menjadi tiga, yang terdiri dari surat biasa, akta otentik dan akta
dibawah tangan (Retnowulan, 1997:64).
Menurut Riduan Syahrani, akta adalah suatu tulisan yang
dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa
atau kejadian dan ditandatangi oleh pembuatnya. Dengan demikian,
unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta
adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan
tersebut. Lalu maksud dari penandatanganan ialah membubuhkan
nama orang yang menandatangani itu, sehingga dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) pun dianggap belum
cukup. Nama itu harus ditulis sendiri dengan tangan oleh si penanda
tangan sendiri atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu tanda tangan
dengan nama orang lain dianggap tidak sah atau batal (Riduan
Syahrani, 2009:91-91).
Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa akta otentik adalah
akta yang dibuat oleh atau pejabat publik yang berwenang, yang dapat
digunakan sebagai bukti yang sempurna (lengkap) bagi para pihak
dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang
segala hal yang tertulis dalam akta itu dan bahkan tentang apa yang
tercantum didalamnya sesbagai pemberitahuan saja, sepanjang
langsung mengenai pokok dalam akta tersebut. Pejabat publik yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik
yaitu notaris, pegawai catatan sipil, panitera pengadilan dan juru sita.
Dalam melakukan pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan
terikat pada syarat dan ketentuan undang-undang sehingga merupakan
jaminan untuk memercayai keabsahan hasil pekerjaannya (Abdulkadir
Muhammad, 2008:131).
Akta otentik terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
a) Akta pejabat (acte ambtelijk) ialah akta yang dibuat oleh pejabat.
Dalam hal pembuatan akta pejabat, inisiatif untuk membuat akta
tersebut datang dari pejabatnya sendiri.
b) Akta partai (acte partij) ialah akta yang dibuat dihadapan pejabat.
Pembuatan akta partai tidak pernah berasal dari inisiatif pejabat
melainkan inisiatif dari para pihak.
Akta dibawah tangan diatur khusus dalam peraturan yang termuat
dalam Stb. 1867 nomor 29 karena akta ini tidak diatur di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
HIR. Pengertian akta dibawah tangan adalah suatu akta yang
dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan sendiri tanpa
bantuan dari pejabat umum yang berwenang.
Selain akta otentik dan akta dibawah tangan, juga terdapat
surat bukan akta. Surat bukan akta ialah surat-surat yang sengaja
dibuat oleh para pihak yang bersangkutan yang pada dasarnya tidak
dimaksudkan untuk dipakai sebagai alat pembuktian tetapi surat-surat
tersebut dapat dipakai sebagai alat bukti tambahan dan dapat pula
dikesampingkan bahkan dapat sama sekali tidak dipercaya.
b) Saksi
Pembuktian dengan saksi pada dasarnya diperbolehkan yang
mana hal tersebut diatur di dalam pasal 139 HIR yang menyebutkan
ketentuan bahwa pembuktian dengan saksi diperbolehkan dalam
segala hal, terkecuali dilarang oleh undang-undang. Kesaksian sendiri
berarti suatu fakta peristiwa yang dinyatakan secara lisan dan pribadi
oleh orang yang bukan termasuk para pihak dalam perkara guna untuk
memberikan kepastian kepada hakim dipersidangan.
Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian,
menyatakan bahwa seorang saksi itu akan menerangkan tentang apa
yang dilihatnya atau dialaminya sendiri. Dan tiap-tiap kesaksian itu
harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal
yang diterangkan itu. Seorang saksi tidak diperbolehkan memberikan
keterangan-keterangan yang berupa kesimpulan-kesimpulan, karena
dalam hal menarik kesimpulan dalam suatu perkara adalah wewenang
hakim yang mengadili perkara itu. (Subekti, 2010:38)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Menurut Teguh Samudera, saksi-saksi yang dipanggil ke muka
sidang pengadilan mempunyai kewajiban-kewajiban menurut hukum
yaitu (Teguh Samudera, 1992:60) :
a) Kewajiban untuk menghadap atau datang memenuhi panggilan di
persidangan. Dengan catatan harus dipanggil dengan patut dan
sah menurut hukum (pasal 139, 140, 141 HIR);
b) Kewajiban untuk bersumpah sebelum mengemukakan keterangan.
Dimana sumpah tersebut hendaknya dilakukan menurut agamanya
dan bagi suatu agama yang melarang bersumpah dapat diganti
dengan mengucapkan janji. (pasal 147, 148 HIR);
c) Kewajiban untuk memberikan keterangan yang sesungguhnya
atau benar (pasal 148 HIR).
Namun, sebagaimana diatur dalam pasal 145, pasal 146 HIR
atau pasal 172, pasal 173 dan pasal 174 RBg atau pasal 1909, serta
pasal 1910 BW ada beberapa orang yang tidak dapat didengar
keterangannya sebagai saksi dan yang dapat meminta dibebaskan
untuk memberi kesaksian.
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi menurut Riduan
Syahrani adalah :
a. Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut
keturunan lurus dari salah satu pihak;
b. Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
c. Anak-anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun;
d. Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang
atau sehat.
Sedangkan orang-orang yang dapat meminta dibebaskan untuk
memberi kesaksian adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan
perempuan salah satu pihak;
b. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-
laki dan perempuan dari suami atau istri dari salah satu pihak;
c. Orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya yang
sah diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya
tentang hal itu saja yang dipercayakan karena martabat,
pekerjaan dan jabatannya itu (misalnya dokter, advokat, dan
notaris) (Riduan Syahrani, 2009:101-102).
Menurut Abdulkadir Muhammad, pembuktian dengan saksi
sebaiknya menggunakan lebih dari satu saksi karena keterangan
seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya. Yang
dalam bahasa hukumnya dapat disebut juga dengan unus testis nullus
testis yaitu suatu asas yang menyatakan satu saksi dianggap bukan
saksi. Suatu peristiwa akan dianggap tidak terbukti jika hanya
didasarkan pada keterangan dari satu orang saksi saja. Oleh karena
itu agar peristiwa terbukti dengan sempurna menurut hukum,
keterangan satu orang saksi harus dilengkapi dengan alat bukti yang
lainnya, misalnya surat, pengakuan dan sumpah. (Abdulkadir
Muhammad, 2008:136)
Selain itu, menurut Riduan Syahrani yang mengutip pendapat
Wirjono Prodjodikoro di dalam bukunya yang berjudul Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata yang menyatakan bahwa dalam
pembuktian dengan alat bukti saksi juga terdapat asas testimonium de
auditu yaitu kesaksian yang sumbernya dari orang lain tidak boleh
dijadikan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan. Sebenarnya
testimonium de auditu bukan merupakkan suatu pendapat atau
persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Hanya saja penting diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi
haruslah sebuah kenyataan bahwa orang ketiga di luar sidang
pengadilan pernah mengatakan sesuatu. Tidak ada larangan untuk
menggunakan perkataan orang tersebut guna menyusun alat bukti
berupa persangkaan. (Riduan Syahrani, 2009:103).
c) Persangkaan
Persangkaan dapat disebut juga dengan praduga. Penjelasan
mengenai maksud dari persangkaan tidak dijelaskan dalam HIR, tapi
menurut Teguh Samudera penjelasan terebut terdapat dalam
KUHPerdata pada pasal 1915 yaitu : Persangkaan-persangkaan ialah
kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-undang atau oleh hakim
ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah suatu peristiwa
yang tidak terkenal. (Teguh Samudera, 1992:74)
Sedangkan menurut Riduan Syahrani, persangkaan adalah
kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang dikenal atau
dianggap terbukti, yang mana diketahui adanya suatu peristiwa yang
tidak dikenal. Jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang
maka disebut persangkaan undang-undang. Lalu jika yang menarik
kesimpulan itu hakim, disebut persangkaan hakim. (Riduan Syahrani,
2009:106)
Menurut ilmu pengetahuan hukum dalam bukunya Abdulkadir
Muhammad, persangkaan atau praduga digolongkan menjadi dua
jenis yaitu :
a. Persangkaan atau praduga menurut hukum (rechtsvermoeden,
legal conjecture)
Persangkaan atau praduga menurut hukum atau undang-undang
memiliki kekuatan pembuktian bersifat memaksa karena telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
ditentukan secara tegas dalam undang-undang yang diatur dalam
pasal 1916 KUHPdt Indonesia, oleh karena itu majelis hakim
terikat padanya. Persangkaan berdasarkan hukum terdiri dari dua
macam yaitu :
- Praesuptiones Juris et de jure ialah persangkaan berdasarkan
hukum yang tidak memberikan kemungkinan akan adanya
pembuktian dari lawan.
- Praesumptiones Juristantum ialah persangkaan berdasarkan
hukum yang memberikan kemungkinan akan adanya
pembuktian lawan. (Sudikno Mertokusumo, 2002:170-171)
b. Persangkaan atau praduga menurut kenyataan (feitelijk
vermoeden, factual conjecture).
Persangkaan atau praduga itu harus memiliki arti penting,
seksama dan tertentu juga harus ada kesesuaian satu sama lain.
Majelis hakim dilarang memutuskan suatu perkara hanya
berdasarkan pada praduga yang berdiri sendiri terlepas dari satu
sama lain dan mendasarkan putusan hanya pada satu praduga saja.
Dimana pada persangkaan atau praduga ini pembuktiannya tidak
bersifat memaksa karena dikembalikan lagi kepada majelis hakim
untuk menggunakan atau tidak.
d) Pengakuan
Pembuktian dengan menggunakan alat bukti pengakuan diatur
dalam pasal 174, pasal 175 dan pasal 178 HIR. Dimana masing-
masing bunyi pasal tersebut yaitu :
Pasal 174 :
“Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti
untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa
dikuasakan untuk itu.”
Pasal 175, yaitu :
“Maka diserahkan kepada pertimbangan dan waspadanya hakim
didalam menentukan gunanya suatu pengakuan dengan lisan, yang
dilakukan diluar hukum.”
Pasal 178 :
“Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan
segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah
pihak.”
Menurut Teguh Samudera yang mengutip pendapat A. Pitlo,
pengakuan ialah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu
perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan
atau sebahagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. (Teguh
Samudera, 1992: 83)
Riduan Syahrani dalam bukunya membagi pengakuan menjadi 2 (dua)
macam yaitu :
a. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang pengadilan.
Pengakuan bersifat membenarkan salah satu atau keseluruhan
hubungan hukum yang dinyatakan oleh penggugat. Oleh karena
itu pengakuan yang dikemukakan atau diberikan oleh tergugat
dalam perselisihan memiliki kekuatan bukti sempurna. Dimana
pengakuan tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
b. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang pengadilan.
Pengakuan diluar sidang dapat dilakukan secara lisan dan tertulis.
Kekuatan pembuktian dengan pengakuan diluar sidang pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
sepenuhnya dikembalikan lagi pada kebijaksanaan hakim. Maka
hakim memerlukan alat bukti lain seperti alat bukti saksi sehingga
dengan alat bukti saksi tersebut hakim akan dapat menilai apakah
pengakuan tersebut memiliki kekuatan bukti sempurna atau tidak.
d). Sumpah
Pengaturan alat bukti sumpah terdapat dalam Pasal 155 sampai
pasal 158 dan pasal 178 HIR. Menurut Riduan Syahrani yang
mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, sumpah pada umumnya
adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diucapkan pada waktu
memberi keterangan atau janji dengan mengingat akan sifat Maha
Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan yang
tidak sebenarnya maka akan dihukum-Nya. Jadi, pada hakikatnya
sumpah merupakan tindakan yang bersifat religious yang digunakan
dalam peradilan.
Dalam pemeriksaan perkara perdata, sumpah diucapkan oleh
salah satu pihak yang berperkara pada waktu memberi keterangan
mengenai pokok perkaranya. Oleh karena itu, berdasarakan pendapat
Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Riduan Syahrani dalam
bukunya yang berjudul Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata
bahwa sebetulnya sumpah bukanlah sebagai suatu alat bukti. Yang
sebetulnya menjadi alat bukti adalah keterangan dari salah satu pihak
yang berperkara yang dikuatkan dengan sumpah. Hukum acara perdata
menyebutkan sumpah terdiri dari 2 (dua) macam sumpah, yaitu
sumpah penambah (suppletoire eed) dan sumpah pemutus (decisoire
eed). (Riduan Syahrani, 2009:116)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Sudikno Mertokusumo menyatakan dalam bukunya yang berjudul
Hukum Acara Perdata Indonesia, bahwa HIR menyebutkan ada 3
macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :
1. Sumpah Suppletoir (Sumpah Pelengkap)
Sumpah Suppletoir atau sumpah pelengkap ialah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya pada salah satu pihak
yang berperkara guna untuk melengkapi pembuktian perstiwa yang
menjadi pokok perkara sebagai dasar dari putusannya. Sumpah ini
memiliki kekuatan pembuktian sempurna yang memungkinkan
adanya bukti lawan.
2. Sumpah Aestimatoir (Sumpah Penaksiran)
Sumpah Aestimatoir atau sumpah penaksiran adalah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat
untuk menentukan kelayakan jumlah uang pengganti kerugian.
3. Sumpah Decisoir (Sumpah Pemutus)
Sumpah Decisoir atau sumpah pemutus yaitu sumpah yang diminta
untuk dibebankan kepada salah satu pihak kepada lawannya agar
dengan sumpah itu perkara dapat diputus. Pihak yang harus
bersumpah disebut delaat sedangkan pihak yang memintakan
sumpah tersebut kepada lawannya disebut deferent. Akibat hukum
dari sumpah decisoir atau sumpah pemutus ini ialah peristiwa atau
perbuatan yang dimintakan sumpah atasnya merupakan bukti yang
menentukan. Jika peristiwa atau perbuatan yang dimintakan
sumpah itu tidak benar, hal tersebut tidak akan mempengaruhi
akibat hukum dari sumpah pemutus. Dengan sumpah pemutus,
perbuatan yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Tetapi apabila
salah satu pihak yang telah melakukan sumpah diluar pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
tersebut ternyata dikemudian hari melakukan sumpah palsu, maka
pihak yang melakukan sumpah pemutus tersebut dapat dituntut.
(Sudikno Mertokusumo, 2009:192-193)
3. Teori Positivisme
Tokoh yang pertama kali mencetuskan istilah positivisme hukum
sebagai metode dan perkembangan ke dalam arah pemikiran filsafat adalah
Saint Simon pada tahun 1760-1825. Kemudian pada tahun 1798-1857
seorang ahli filsafat Perancis yang terkemuka yaitu August Comte
mengemukakan pemikirannya berupa positivisme hukum sebagai sebuah
aliran filsafat hukum yang disebut positivisme.
Menurut Khudzaifah Dimyati yang mengutip pendapat H.L.A. Hart
membedakan arti dari positivisme yaitu :
1. Suatu anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah dari
manusia.
2. Suatu pemikiran bahwa tidak perlu adanya hubungan antara hukum
dengan moral atau hukum yang ada dengan yang seharusnya ada.
3. Suatu pemikiran bahwa analisis dari konsepsi-konsepsi hukum layak
dilanjutkan atau harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis
mengenai sebab atau asal-usul undang-undang dari penelitian-penelitian
sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala social lainnya, juga
kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau sebaliknya.
4. Suatu pemikiran bahwa system hukum merupakan suatu system logis
yang tertutup yaitu putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan
dengan cara-cara yang logis dari peratauran-peraturan hukum yang telah
ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat kebijaksanaan, norma-norma
moral, tuntutan-tuntuan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5. Suatu pemikiran bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan
atau dipertahankan, seperti halnya tentang pernyataan-pernyataan tentang
fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti (Khudzaifah
Dimyati, 2005:61).
Suatu hukum dilihat dari sudut pandang positivisme yuridis dalam
arti yang mutlak melalui positivisme. Maksudnya adalah ilmu pengetahuan
hukum yaitu undang-undang positif yang diketahui dan disusun secara
sistematis berupa bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Menurut positivisme
hukum, diperlukan adanya suatu pemisahan antara hukum yang berlaku dan
hukum yang seharusnya juga biasa disebut das sollen dan das sein. Positivis
memandang bahwa tidak ada hukum lain kecuali perintah dari penguasa.
Hampir semua aliran legisme juga menyatakan bahwa hukum itu identik
dengan undang-undang. Disamping itu, positivisme hukum juga sangat
mengutamakan hukum sebagai suatu aturan yang mekanistik dan
deterministik.
Menurut W. Friedmann salah satu pemikir teori positivisme lainnya
yaitu John Austin mendefinisikan hukum ialah peraturan yang dibuat untuk
mendidik makhluk yang berakal oleh makhluk berakal lain yang memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi. Jadi hukum secara keseluruhan dipisahkan dari
keadilan dan tidak bertumpu pada gagasan-gagasan tentang baik dan buruk,
melainkan bertumpu pada kekuasaan yang lebih tinggi. Pembagian hukum
dibagi ke dalam hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk manusia (Hukum
Tuhan) dan undang-undang yang dibuat oleh manusia untuk manusia (hukum
manusia). Hukum Tuhan dianggap hanya menjadi wadah kepercayaan
utilitarian Austin, sedangkan hukum manusia dapat dibagi ke dalam undang-
undang yang disebut hukum yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-
undang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya (W. Friedmann,
1990:149-150).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
4. Ajaran Realisme Hukum
Realisme hukum pertama kali muncul di Amerika Serikat, lahir karena
dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor hukum dan non hukum. Faktor-faktor
tersebut berupa faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dan
faktor perkembangan sosial dan politik. Aliran realisme hukum lebih faktual
dan lebih nyata dalam hal program-progamnya dibandingkan dengan aliran
yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai
dengan hidup diantara masyarakat (sociological jurisprudence). Dalam aliran
ini secara tegas terdapat perbedaan antara hukum yang hidup dengan hukum
positif. Akan tetapi salah satu tujuan hukum yang sebenarnya adalah mengatur
kepentingan masyarakat sehingga peranan hukum dalam masyarakat dianggap
penting. Oleh karena itu pengaruh hukum untuk mengatur dominasi
kekuasaan dan masyarakat merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non),
dimana hukum berkewajiban untuk mengatur dan memberi batasan mengenai
pelaksanaan kekuasaan manusia agar tidak mendiskriminasi orang lain yang
hanya sebagai golongan minoritas (M. Alpi, http://m-
alpi.blogspot.com/2012/05/realisme-hukum-by-m-alpi-syahrin-dkk.html
diakses pada 15 September 2012 pukul 15.00).
Menurut Oliver wendel Holmes dalam konsepnya menyatakan bahwa
hukum bukanlah sebuah logika melainkan sebuah pengalaman, oleh karena
itu hukum dipandang dan dinilai dari kinerja hukum yang ingin dicapai
melalui tujuan-tujuan sosial dan akibat yang timbul. Aliran realism dibagi
menjadi dua macam yaitu :
1. American Realism
Realisme Amerika Serikat yaitu sebuah pendekatan terhadap lembaga-
lembaga social secara behaviouritis dan pragmatis. Aliran tersebut
menegaskan bahwa hukum merupakan suatu law in action dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
memandang bahwa hukum itu sebagai pengalaman dan sumber
hukumnya adalah putusan hakim.
2. Scandinavian Legal Realism
Hukum hanya bisa dijelaskan dengan suatu hasil penelitian berupa fakta-
fakta, dimana studi tentang fakta tersebut merupakan ilmu pengetahuan
hukum yang sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain yang
menitikberatkan pada kejadian dan fakta hubungan sebab akibat. (M.
Alpi, http://m-alpi.blogspot.com/2012/05/realisme-hukum-by-m-alpi-
syahrin-dkk.html diakses pada 15 September 2012 pukul 15.00)
5. Asas Audi Et Alteram Partem
Asas audi et alteram partem dapat disebut juga dengan Eines Manners
Rede Ist Keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide yaitu bahwa
hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar,
apabila pihak lawan tidak didengar keterangannya atau tidak diberikan
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya. Dimana asas audi et alteram
partem ini merupakan asas yang paling utama dalam hukum pembuktian yang
juga merupakan asas kesamaan prosesuil dari para pihak yang berperkara.
Dasar dari asas ini adalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi : “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman dalam pasal 5 ayat (1) yang intinya adalah bahwa
dalam hukum acara perdata para pihak yang berperkara harus sama-sama
diperhatikan, diberi kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapatnya
dan berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan seimbang (Sudikno
Mertokusumo, 2009;14-15).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Hal tersebut berarti bahwa apabila para pihak mengajukan alat bukti,
maka harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Oleh karena itu, harus memperhatikan asas-asas beban pembuktian dan adil
dalam memberikan beban pembuktian pada para pihak yang berperkara agar
kedua belah pihak tetap mendapatkan kesempatan yang sama untuk
mempertahankan haknya. Disamping itu, asas audi et alteram partem
memiliki dua aspek yaitu pengakuan terhadap hak seorang tergugat untuk
membela diri dan pengakuan mengenai kesamaan kedudukan para pihak yang
dijamin oleh ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 baik langsung maupun
tidak langsung. Asas ini menghendaki :
1). Para pihak harus dipanggil dengan patut. Tata cara serta tenggang
waktu pemanggilan harus diusahakan hakim benar-benar ditaati
oleh para pihak.
2). Kedua belah pihak didengar kepentingannya. Dalam hal ini, kedua
belah pihak masing-masing harus mendapatkan kesempatan yang
sama dan seimbang.
3). Hakim diperbolehkan memberikan penelitian terhadap suatu alat
bukti, hanya apabila para pihak telah mengetahui atau diberitahu
mengenai adanya alat bukti tersebut serta apabila para pihak telah
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
pendiriannya terhadap alat bukti tersebut. (Setiawan, 1992:362)
Agar terjaminnya pelaksaan asas audi et alteram partem pada setiap
pemeriksaan di pengadilan, maka undang-undang telah menentukan bahwa
sidang dilakukan terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang bersifat khusus
sidang dinyatakan tertutup untuk umum yaitu dalam perkara mengenai
perceraian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
B. Kerangka Pemikiran
Skema 1. Kerangka Pemikiran
SENGKETA
GUGATAN
PENGADILAN NEGERI
PEMBUKTIAN
PENGGUGAT TERGUGAT
ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM
ALAT BUKTI ALAT BUKTI
TERGUGAT PENGGUGAT
Herziene Inlandsche
Reglement (HIR)
Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang
Peradilan Umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Penjelasan :
Perkara Perdata merupakan suatu perselisihan atau sengketa yang bersifat
pribadi atau privat antara para pihak untuk mempertahankan hak dan kepentingannya
masing-masing. Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut para pihak biasanya
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Pada pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan negeri, para pihak harus memberikan bukti terhadap sesuatu hal yang
diakuinya sebagai haknya. Dalam hal pembuktian, hakim memiliki hak penuh untuk
membebankan pembuktian kepada para pihak baik penggugat maupun tergugat. Akan
tetapi, dengan hak penuh yang dimiliki hakim tersebut, hakim juga berkewajiban
untuk menerapkan asas audi et alteram partem yaitu memberi perlakuan yang sama,
tidak memihak dan mendengarkan kedua belah pihak secara sama. Tetapi, pada
kenyataaannya masih ada hakim yang tanpa sengaja maupun sengaja melanggar asas
tersebut sehingga memberikan putusan yang merugikan salah satu pihak. Padahal
asas audi et alteram partem tersebut termasuk asas yang paling penting dalam
pemeriksaan perkara perdata dan telah diatur dalam peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku. Sehingga muncul pertanyaan apakah undang-undang nomor
49 tahun 2009 tentang peradilan umum mengatur norma-norma yang memuat asas
audi et alteram partem. Lebih lanjut lagi muncul pertanyaan besar bagaimana
penerapan asas audi et alteram partem dalam Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
Dimana hakim memang sudah seharusnya menerapkan asas audi et alteram
partem kepada para pihak baik penggugat maupun tergugat pada awal proses
pemeriksaan, jawab-jinawab, pengajuan alat-alat bukti hingga kesimpulan dari para
pihak. Oleh karena itu, hal ini menarik untuk dikaji dan dianalisis dengan terlebih
dahulu memaparkan norma-norma yang memuat asas audi et alteram partem yang
diatur dalam undang-undang nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan kemudian baru
dikaji bagaimana penerapan asas audi et alteram partem dalam Herziene Inlandsche
Reglement (HIR).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang nomor 49
tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
1. Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 8 tahun
2004 tetang Perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986
tentang Peradilan umum.
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang
peradilan umum, pengaturan tentang beracara di peradilan umum telah terlebih
dahulu diatur dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan
umum yang memiliki tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib serta menjamin persamaan kedudukan
warga negara dalam hukum diperlukannya upaya untuk menegakkan ketertiban,
keadilan, kebenaran dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat. Akan tetapi karena dianggap sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat dan ketatanegaraan
menurut Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka
Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum tersebut diubah
dan ditambahkan dengan beberapa ketentuan-ketentuan tambahan yang
dituangkan pada Undang-undang Nomor 8 tahun 2004 tentang peradilan umum
dengan masih memberlakukan undang-undang yang lama sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang yang baru tersebut.
42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Lalu, seiring dengan perkembangan pola pikir dan teknologi pada
masyarakat, maka pemerintah melakukan perubahan dan penambahan ketentuan-
ketentuan terhadap Undang-undang Nomor 8 tahun 2004 untuk disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat dengan Undang-undang
Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum. Sebagai undang-undang
perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 dan Undang-undang
Nomor 8 tahun 2004, Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan
umum ini berlaku sampai sekarang dengan tidak menghapus pemberlakuan dua
undang-undang yang diatur sebelumnya.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.
Dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum,
pengaturan tentang asas audi et alteram partem terdapat pada pasal-pasal sebagai
berikut :
a. Pasal 53 ayat (1) dan (2), yang berbunyi :
“ Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku hakim, panitera, sekretaris dan jurusita di daerah hukumnya.”
“Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap peradilan di
tingkat Pengadilan Negeri. Dan menjaga agar jalannya peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.”
Pada pasal ini, diatur mengenai pengawasan tugas hakim, panitera,
sekretaris dan jurusita pada proses persidangan, dimana pengawasan tersebut
dilakukan agar hakim, panitera, sekretaris dan jurusita tidak
menyalahgunakan tugasnya. Khususnya bagi hakim karena hakim adalah
tonggak pemutus suatu perkara dan sebagai pelaksana yang menjalankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
undang-undang agar undang-undang tersebut diterapkan dengan adil,
sehingga tugasnya perlu diawasi oleh ketua pengadilan.
Dengan adanya pengawasan terhadap tugas-tugas hakim tersebut,
maka akan terciptanya proses peradilan yang seksama dan sewajarnya sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu dilaksanakan dengan cepat,
sederhana dan dengan biaya. Lalu apabila telah tercipta proses peradilan
dengan seksama dan sewajarnya tersebut, maka secara tidak langsung hakim
telah menerapakan asas audi et alteram partem yaitu dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara hakim harus memperlakukan kedua belah pihak
dengan seimbang tanpa membeda-bedakan. Hakim juga harus
mendengarkan kedua belah pihak secara sama, khususnya pada proses
pembuktian karena dengan mendengarkan kedua belah pihak dengan sama
dan adil maka proses persidangan akan berjalan dengan lancar sehingga
penyelesaiannya cepat dan tidak memakan waktu yang lama, sederhana dan
dengan biaya yang ringan.
b. Pasal 58, yang berbunyi :
“Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera pengganti”.
Dalam pasal ini, tugas panitera sebagai penyelenggaraan administrasi
perkara sangat berperan penting, khususnya pada proses pemeriksaan
perkara. Dimana pada proses pemeriksaan perkara para pihak harus
menghadiri sidang pemeriksaan perkara tersebut dan harus memberikan
keterangan-keterangan dan pembuktian kepada hakim mengenai pokok
perkara tersebut.
Tugas penyelenggaraan administrasi perkara oleh panitera tersebut
terdiri dari penetapan biaya perkara yang diperlukan dan surat-menyurat.
Lalu dengan penetapan biaya perkara dimana biaya perkara tersebut akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
digunakan untuk membuat surat dan untuk memanggil para pihak, serta para
saksi-saksi pada proses pembuktian, maka akan memperlancar jalannya
proses persidangan. Panitera memanggil para pihak dan saksi-saksi dengan
memberikan surat panggilan (relaas) beserta salinan gugatan, sehingga para
pihak dapat hadir di persidangan pada waktu yang ditentukan dan telah
mempersiapkan keterangan-keterangannya untuk didengarkan oleh hakim.
Oleh karena itu, pengaturan mengenai tugas panitera dalam
menyelenggarakan administrasi perkara tersebut sangat penting dalam
membantu hakim untuk menerapkan asas audi et altram partem. Karena
dengan dijalankannya tugas administrassi perkara tersebut dengan baik, para
pihak akan hadir pada proses pemeriksaan perkara dan hakim dapat
mendengarkan kedua belah pihak dengan seimbang dan tanpa membeda-
bedakan.
c. Pasal 59, yang berbunyi :
“Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti bertugas
membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang
pengadilan”.
Pengaturan tugas panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera
pengganti dengan mengikuti dan mencatat jalannya suatu persidangan dalam
pasal ini merupakan salah satu hal penting karena dengan adanya catatan
mengenai jalannya proses pengadilan, maka akan memberikan evaluasi
kepada hakim apakah hakim telah mendengarkan kedua belah pihak dengan
baik.
Lalu catatan tersebut juga akan membantu hakim dalam mendengarkan
kedua belah pihak apabila hakim melakukan kelalaian pada saat melakukan
pertimbangan hukum terhadap perkara tersebut, sehingga hakim dapat
melihat catatan tersebut sekali lagi tanpa harus mengulangi proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
pemeriksaan perkara untuk mendengarkan keterangan dari para pihak.
Khususnya pada proses pembuktian, dimana diperlukan kecermatan hakim
dalam mendengarkan dan menilai pembuktian yang dipaparkan oleh para
pihak dan saksi-saksinya sehingga catatan mengenai jalannya proses
persidangan tersebut akan sangat berguna bagi hakim dalam memutus
perkara tersebut.
Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan pertama
Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum, tidak terdapat
pengaturan yang mengatur tentang asas audi et alteram partem.
2. Pengaturan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 tahun
1986 tentang Peradilan umum.
Hukum adalah segala sesuatu yang membatasi dan mengatur tingkah
laku manusia. Pembagian hukum di dalam filsafat ilmu hukum terbagi dua yaitu
hukum Tuhan dan hukum manusia. Hukum Tuhan adalah hukum yang berasal
dari perintah atau perkataan Tuhan yang apabila dilanggar tidak memperoleh
sanksi secara langsung melainkan akan mendapatkan sanksi dikemudian hari
yang disebut dengan dosa. Sedangkan hukum manusia berasal dari pemikiran
dan perintah manusia yang berwujud undang-undang. Masyarakat penganut
aliran positivisme meyakini bahwa hukum berasal dari undang-undang artinya
hukum merupakan alat untuk mengatur kehidupan manusia yang bersumber dari
undang-undang.
Dalam negara hukum, undang-undang merupakan perangkat normatif
yang merepresentasikan jiwa dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat.
Undang-undang adalah perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-
kegiatan kenegaraan, mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter
dalam dinamika politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
sistem nilai yang harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.
Sistem hukum positif menempatkan undang-undang sebagai instrumen
utama penegakan hukum. Dalam konteks ini, kodifikasi nilai-nilai moral,
budaya, sosial, dan hukum adat menjadi keniscayaan dalam upaya penataan
kehidupan masyarakat. Sebagaimana diketahui, dalam sistem hukum positif,
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak memiliki kekuatan mengikat dan
memaksa tanpa dikodifikasi dalam perundang-undangan. Nilai-nilai di
masyarakat hanyalah quasi dari hukum dan sekedar menjadi pelengkap peraturan
informal yang mandul.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut aliran
positivisme yaitu negara yang menjunjung tinggi hukum yang bersumber dari
undang-undang. Hal tersebut dapat dilihat dari sistem hukum yang digunakan di
Indonesia yaitu sistem hukum positif. Hukum positif adalah hukum yang berlaku
di suatu negara. Hukum positif selalu identik dengan undang-undang, sehingga
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum positif berusaha
mengatur dinamika kenegaraan dengan membentuk undang-undang sesuai
dengan peruntukannya. Dalam hal ini, khususnya undang-undang yang mengatur
mengenai hukum acara perdata. Terdapat lebih dari satu peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai hukum acara perdata, misalnya HIR
merupakan undang-undang tertua yang mengatur tentang hukum acara perdata,
lalu Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum juga
mengatur mengenai hukum acara perdata dan masih ada undang-undang lainnya
yang juga mengatur tentang hukum acara perdata.
Oleh karena itu Indonesia sangat menjunjung tinggi undang-undang
yang berlaku karena undang-undang merupakan perwujudan dari aturan-aturan
hukum yang dibuat oleh penguasa dan dikodifikasikan. Peraturan hukum konkrit
terbentuk dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kehidupan manusia yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Sebagai suatu sistem
hukum, dalam menegakkan hukum perdata materiil, maka hukum acara perdata
juga mengandung asas-asas yang harus diperhatikan oleh hakim. Adapun fungsi
asas hukum dalam hukum adalah melengkapi sistem hukum. Asas hukum adalah
dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. (Elisabeth
Nurhaini Butarbutar ;2009:203-408)
Dalam mengadili suatu perkara perdata di pengadilan, hakim harus
memperlakukan kedua belah pihak tanpa membeda-bedakan setiap orang. Hal
tersebut berarti bahwa pihak yang berperkara harus diperhatikan dengan sama,
memiliki hak atas perlakuan yang sama dan adil serta harus diberi kesempatan
untuk memberikan pendapatnya masing-masing yang disebut juga dengan asas
audi et alteram partem (Moh. Taufik Makaro, 2009 : 12). Asas tersebut wajib
diterapkan oleh hakim yang memeriksa perkara di pengadilan agar memberikan
putusan yang adil bagi kedua belah pihak. Oleh karena pentingnya asas audi et
alteram partem tersebut, maka sudah seharusnya asas tersebut diatur didalam
undang-undang yang berlaku. Khususnya dalam Undang-undang Nomor 49
tahun 2009 tentang peradilan umum yang bertujuan untuk menciptakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga
peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat baik secara tersirat maupun tersurat. Sebelum membahas lebih dalam
mengenai pengaturan asas audi et alteram partem dalam Undang-undang Nomor
49 tahun 2009 tentang peradilan umum, akan sedikit disinggung mengenai ciri-
ciri suatu negara hukum, dimana undang-undang yang baik adalah undang-
undang yang mencerminkan ciri-ciri suatu negara hukum.
Sebagai negara hukum, Indonesia telah memiliki banyak peraturan
perundang-undangan, dimana setiap peraturan perundang-undangan tersebut
harus mencerminkan ciri-ciri dari suatu negara hukum. Ciri-ciri tersebut ialah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
adanya pengakuan, perlindungan, dan penghargaan hak asasi manusia (human
rights) mengandung kesamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial
kultural, pendidikan, dan agama, lalu adanya peradilan bebas yang tidak
memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan/kekuatan apapun, serta adanya
legalitas dalam arti hukum dalam segala hal.
Oleh karena itu, undang-undang sebagai sumber hukum yang utama di
Indonesia memang seharusnya telah mengatur ketentuan mengenai hukum acara
perdata, terlebih lagi Indonesia telah memiliki induk peraturan yang mengatur
tentang hukum acara perdata yaitu Herziene Inlandsche Reglement (HIR).
Disamping itu, untuk lebih memperdalam dan merinci lagi peraturan yang
mengatur mengenai hukum acara perdata khususnya peradilan perdata, maka
dibuatlah Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 yang mengatur mengenai
peradilan umum.
Dalam Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum,
pengaturan tentang asas audi et alteram partem terdapat pada pasal-pasal sebagai
berikut :
a. Pasal 52 A ayat (1) yang berbunyi :
“Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses
persidangan”.
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap pengadilan haruslah terbuka
dan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi
yang seluas-luasnya berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam
proses persidangan, karena dengan terbukanya informasi yang seluas-
luasnya bagi masyarakat, masyarakat akan ikut melaksanakan dan
mengawasi kinerja pengadilan sehingga pengadilan akan bekerja dengan
baik demi terciptanya keadilan. Khususnya bagi para pihak yang bersengketa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dimana dalam menangani dan memeriksa suatu perkara, pengadilan
hendaknya bersifat transparan baik mengenai putusan maupun biaya perkara
dalam proses persidangan. Pengadilan harus terbuka kepada para pihak
terutama pihak yang mengajukan gugatan (penggugat) untuk memperoleh
informasi besarnya biaya perkara yang harus dibayar.
Besarnya biaya perkara biasanya dihitung dan ditetapkan sementara
oleh panitera, lalu diteruskan kepada bagian keuangan pengadilan untuk
dilunasi oleh penggugat demi lancarnya proses pemeriksaan perkara di
pengadilan. Karena biaya perkara dari pihak penggugat tersebut akan
digunakan untuk memberitahu dan memanggil pihak tergugat untuk hadir di
persidangan guna untuk memberikan keterangan mengenai perkara yang
sedang diperiksa. Dengan hadirnya kedua belah pihak baik penggugat dan
tergugat guna memberikan keterangan mengenai perkara yang diperiksa
maka akan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan
bagi kedua belah pihak. Kehadiran kedua belah pihak yang berperkara
tersebut dianggap penting karena apabila salah satu pihak yang bersengketa
tidak hadir di persidangan maka pihak yang tidak hadir tersebut akan
dirugikan karena tidak dapat menyampaikan keterangan untuk membela
dirinya. Sehingga hakim hanya memperoleh keterangan dan informasi dari
salah satu pihak saja tanpa mendengar keterangan dan informasi dari pihak
yang tidak hadir dan terdapat kemungkinan hakim akan memutus
berdasarkan kepastian yang diperolehnya pada saat proses persidangan saja.
Oleh karena itu, biaya perkara diperlukan untuk memberikan
keadilan bagi kedua belah pihak, karena hakim harus mendengarkan kedua
belah pihak. Keharusan bagi hakim untuk mendengarkan kedua belah pihak
tersebut biasa disebut juga dengan asas audi et alteram partem. Asas
tersebut merupakan asas yang penting dalam pembuktian perkara perdata di
pengadilan, karena dengan hadirnya kedua belah pihak pada proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pemeriksaan dipersidangan, akan membantu hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara. para pihak dapat menyampaikan keterangan masing-
masing untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya bagi mereka. Dengan
diaturnya kewajiban pengadilan untuk memberikan akses kepada masyarakat
dalam hal memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya
perkara dalam proses persidangan, maka pasal tersebut telah memuat asas
audi et alteram partem.
b. Pasal 53 ayat (3) yang berbunyi :
“Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2), ketua pengadilan tinggi di daerah hukumnya melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan negeri dan
menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.”
Dalam pasal tersebut secara implisit memuat asas audi et alteram
partem, dapat dilihat dari kandungan isi pasalnya yang menyatakan bahwa
ketua pengadilan tinggi di suatu daerah hukum tidak hanya harus melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan negeri tetapi
juga harus menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya. Kalimat peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya secara implisit menggambarkan asas audi et alteram partem.
Karena maksud dari kalimat tersebut yaitu hakim dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara harus sesuai dengan aturan-aturan yang diatur dalam
hukum acara perdata.
Hakim harus bersikap adil kepada kedua belah pihak dan tidak boleh
berat sebelah. Khususnya dalam hal pembuktian, hakim harus
menyelenggarakan peradilan dengan seksama tanpa membeda-bedakan
kedua belah pihak, memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak
untuk menyatakan pendapatnya serta dalam memeriksa perkara harus
bersikap sewajarnya dalam arti tidak berpihak kepada salah satu pihak dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
mendengarkan kedua belah pihak. Harus juga diindahkan aturan-aturan yang
menjamin keseimbangan dalam pembebanan kewjiban untuk membuktikan
hal-hal yang menjadi perselisihan itu. Pembebanan yang berat sebelah dapat
a priori menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan dan akan
menimbulkan perasaan teraniaya pada yang dikalahkan itu. Secara seksama
yaitu secara baik bagi kedua belah pihak, secara benar, secara. Secara
sewajarnya yaitu sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan, sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan sesuai dengan kepatutan pengadilan.
c. Pasal 57 A ayat (1), (3) dan (5) yang berbunyi :
“Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan umum dapat menarik biaya
perkara”.
“Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya
kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara”.
“Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh
Mahkamah Agung”
Pasal ini memiliki makna yang hampir sama dengan pasal 52 A ayat
(1) yang sebelumnya telah dibahas, dimana pasal tersebut juga mengatur
mengenai penarikan biaya perkara, akan tetapi pada pasal ini lebih dibahas
mendalam mengenai biaya perkara yaitu pengaturan tentang penarikan biaya
perkara dan pembebanan biaya perkara.
Menurut HIR dan Rbg yang dikutip oleh Hari Sasangka di dalam
bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
menyatakan bahwa biaya perkara itu meliputi beberapa hal mengenai (Hari
Sasangka, 2005:123-124):
1. Biaya materai yang diperlukan untuk dipakai dalam perkara tersebut dan
biaya kantor panitera;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
2. Biaya surat keterangan untuk keperluan perkara tersebut;
3. Biaya saksi, biaya ahli dan juru bahasa, termasuk juga biaya sumpah
para saksi, saksi ahli dan juru bahasa dengan pengertian bahwa pihak
yang meminta agar diperiksa lebih dari 5 orang saksi yang mengetahui
mengenai kejadian itu akan tetapi tidak dapat memperhitungkan
kesaksian yang lebih itu kepada pihak lawannya;
4. Biaya pemeriksaan setempat, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
hakim, dan lain-lain;
5. Gaji yang wajib diberikan kepada panitera atau pegawai lain karena
menjalankan putusan;
Seperti apa yang dikemukakan oleh Lawrence B. Solum bahwa
sistem penyelesaian sengketa pada umumnya membebankan biaya pada
pihak yang bersengketa dan masyarakat pada umumnya. “Dispute resolution
systems impose costs on the parties to the dispute and on society at large..”.
(Lawrence B. Solum, 2004:3) Oleh karena itu, biaya perkara memiliki peran
yang penting dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Biaya
perkara bertujuan untuk memanggil kedua belah pihak supaya datang dan
hakim dapat mendengar keterangan dari kedua belah pihak. Karena jika
salah satu pihak tidak hadir, hakim mungkin saja memutus perkara tersebut
dengan putusan yang tidak adil bagi pihak yang tidak hadir tersebut. Oleh
karena itu diperlukan biaya perkara untuk menghadirkan kedua belah pihak
di persidangan demi terwujudnya asas audi et alteram partem yaitu hakim
harus mendengarkan kedua belah pihak.
Biaya perkara biasanya ditetapkan oleh panitera sesaat setelah surat
gugatan diterima. Panitera menghitung perkiraan biaya perkara yang
diperlukan, lalu jumlahnya dicantumkan bersama-sama dengan disposisi
yang telah diberi tanggal dan paraf. Selanjutnya penggugat membayar biaya
perkara dengan membawa surat gugatan kepada bagian keuangan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pembayaran jumlah biaya yang telah disetujui oleh panitera serta
membukukannya ke dalam buku kas dan memberikan kuitansi kepada
penggugat.
Dengan dilunasinya biaya perkara, maka perkara dapat dilanjutkan
pada proses sidang pemeriksaan di pengadilan dan para pihak dapat
dipanggil secara patut pada proses sidang pemeriksaan tersebut. Dengan
hadirnya kedua belah pihak yang telah dipanggil secara patut tersebut, maka
hakim dapat mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak dan secara
tidak langsung hakim dapat melaksanakan asas audi et alteram partem. Oleh
karena itu dapat dinyatakan bahwa pasal ini memuat pengaturan tentang asas
audi et alteram partem.
d. Pasal 68 A ayat (2) yang berbunyi :
“Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum
yang tepat dan benar.”
Putusan pengadilan merupakan sesuatu hal yang sangat diinginkan
oleh para pihak yang berperkara untuk memberikan penyelesaian terhadap
perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan
tersebut, para pihak yang berperkara mengharapkan adanya suatu kepastian
hukum dan keadilan bagi perkara yang mereka hadapi. Riduan Syahrani
dalam bukunya yang berjudul Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata
berpendapat bahwa hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan
peradilan harus benar-benar mengetahui pokok perkara yang sebenarnya
terjadi dan penerapan peraturan hukum yang mengaturnya, baik peraturan
hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan mupun hukum yang
tidak tertulis yaitu hukum adat, untuk dapat menghasilkan putusan
pengadilan yang benar-benar menciptakan dan mencerminkan kepastian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
hukum serta keadilan bagi para pihak yang berperkara. (Riduan Syahrani,
2009:125)
Kesewenangan dan ketidakpastian hukum akan timbul apabila dalam
melaksanakan tugasnya itu, hakim diperbolehkan menyandarkan putusannya
hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat murni dan kuat. Keyakinan
hakim itu harus didasarkan pada sesuatu yang diatur di dalam undang-
undang dan dinamakan alat bukti. Dalam memeriksa alat bukti, hakim harus
berkoordinasi dan mendengarkan kedua belah pihak agar memperoleh
keterangan yang dapat membantu hakim dalam memberikan pertimbangan
terhadap perkara tersebut. Hakim harus bersikap adil dan tidak berat sebelah
dalam mendengarkan kedua belah pihak untuk memperoleh alasan dan dasar
hukum yang tepat dan benar untuk menetapkan dan memutus perkara yang
diperiksanya. Oleh karena itu pasal tersebut mencerminkan asas audi et
alteram partem.
e. Pasal 68 B ayat (1) yang berbunyi :
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
Beracara di muka pengadilan pada dasarnya dapat dilakukan secara
langsung oleh para pihak, akan tetapi didalam HIR/RBG yang merupakan
induk dari pengaturan hukum acara di Indonesia terdapat ketentuan yang
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memperoleh bantuan
hukum atau mewakilkan dirinya kepada seorang kuasa. Untuk memperoleh
bantuan hukum atau perwakilan atas dirinya, seseorang harus membuat surat
kuasa khusus yang berisi pernyataan pemberian kuasa untuk mewakili
dirinya berperkara di pengadilan. Pemberian kuasa khusus dapat dilakukan
dengan surat kuasa khusus atau dapat juga dilakukan langsung secara lisan di
persidangan dan harus memenuhi peraturan-peraturan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Menurut Moh. Taufik Makaro di dalam bukunya yang berjudul
Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa penerima kuasa
untuk beracara di pengadilan dapat dibagi menjadi tiga golongan
berdasarkan izin yang diberikan, yaitu (Moh. Taufik Makararo, 2009:24-25)
:
1. Advokat atau procureur adalah penasehat hukum resmi yang terdiri dari
sarjana hukum yang secara resmi diangkat sebagai advokat oleh
pemerintah dan bukanlah seorang pegawai negeri;
2. Pengacara praktek merupakan pembela umun atau penasihat hukum
resmi. Pengacara praktek pada awalnya terdiri dari sarjana hukum dan
bukan sarjana hukum, akan tetapi sekarang telah ada ketentuan yang
mensyaratkan bahwa mereka harus sarjana hukum dan telah diangkat
oleh pengadilan negeri setelah lulus mengikuti ujian;
3. Penasihat hukum insidental yaitu pengacara insidentil yang telah
diberikan izin oleh ketua pengadilan, yang terdiri dari siapa saja baik
sarjana hukum, pegawai negeri atau yang lainnya akan tetapi harus telah
dewasa dan memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan hukum
sehingga dapat menjadi seorang kuasa yang setiap menangani suatu
perkara harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan.
Setiap orang berhak memperoleh bantuan hukum untuk
membantunya dalam proses persidangan apalagi bagi orang-orang yang
awam akan hukum, bantuan hukum sangat diperlukan. Karena bagi orang-
orang yang awam akan hukum, bantuan hukum yaitu seorang kuasa akan
dapat membantunya memahami perkara yang sedang dihadapinya dan
mewakilinya di persidangan yang mungkin tidak dimengertinya agar tidak
salah bertindak sehingga menimbulkan kekalahan yang merugikan dirinya.
Dengan adanya bantuan hukum, maka para pihak dapat memberikan
keterangannya dengan baik tanpa keluar dari pokok perkara yang diperiksa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
sehingga hakim dapat mendengarkan kedua belah pihak dan
mempertimbangkan keterangan-keterangan para pihak dengan adil sehingga
tidak ada yang merasa tidak adil atau dirugikan.
f. Pasal 68 C ayat (2) yang berbunyi :
“Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan secara cuma-
cuma, kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam pasal 68 C ayat (2) ini dibahas mengenai bantuan hukum
seperti pada pasal 68 B ayat (1) sebelumnya, akan tetapi pasal ini lebih
khusus membahas mengenai bantuan hukum bagi orang yang kurang mampu
yang tidak dapat membayar jasa seorang pengacara atau advokat yang pada
umumnya bertugas memberi bantuan hukum sebagai seorang kuasa, oleh
karena itu pemerintah memberikan bantuan hukum secara gratis atau cuma-
cuma bagi para pihak yang berperkara tetapi tidak mampu membayar jasa
seorang pengacara atau advokat.
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut sangat
berguna bagi para pihak yang berperkara apalagi pihak yang berperkara
tersebut awam akan hukum dan juga kurang mampu, maka bantuan hukum
secara cuma-cuma dapat membantu memperlancar para pihak pada proses
pemeriksaan perkara di pengadilan sehingga para pihak yang berperkara
mendapatkan keadilan. Terlebih lagi, bantuan hukum tersebut diberikan pada
semua tingkat pengadilan bagi para pihak yang berperkara. Dengan
diperolehnya keadilan, secara tidak langsung hakim telah mendengarkan
kedua belah pihak atau menerapkan asas audi et alteram partem dimana asas
tersebut merupakan salah satu tolak ukur terciptanya keadilan pada suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Keadilan tersebut dicerminkan
pada hakim yang mendengarkan kedua belah pihak.
B. Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Herziene Inlandsche
Reglement (HIR).
Pada tanggal 1 Mei 1948 merupakan tanggal terpenting bagi sejarah
pertumbuhan hukum di Indonesia karena pada tanggal tersebut mulai berlaku
perundang-undangan baru dan hapuslah kekuatan hukum Belanda-kuno dan
hukum Roma sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dalam “Bepalingen
omtrent de invoering van-en de overgang tot de nieuwe wetgeving”. Perundang-
undangan baru tersebut adalah akibat dari perubahan perundang-undangan di
Negeri Belanda pada tahun 1838 yang menghapuskan hukum kerajaan Perancis
setelah negeri Belanda mendapatkan kembali kemerdekaannya. Berdasarkan
pada asas penyesuaian (concordantie-beginsel), maka ditetapkanlah perundang-
undangan baru di Negeri Belanda tersebut juga berlaku di Indonesia. Penetapan
tersebut ditetapkan oleh raja Belanda dengan sebuah penetapan yang biasa
disebut dengan Firman. Firman tersebut dibagi dalam 9 pasal dan isinya
diumumkan seluruhya di Indonesia dengan S. 1847 No.23. Dengan
diumumkannya Firman raja tersebut maka dimulailah lembaran baru sejarah
hukum di Indonesia. Walaupun undang-undang tersebut tidak memberi
kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh kedudukan hukum yang
layak akan tetapi dengan adanya undang-undang baru tersebut bangsa Indonesia
jadi mengenal dan mengetahui bentuk dan isi suatu undang-undang.
HIR berasal dari Inlandsche Reglement (IR) yang terdapat dalam
lembaran Negara no.16 jo 57/1848 yang judul lengkapnya Reglement op de uit
oefening van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering onder
de Inlanders en de Vremde Oosterlingen op Java en Madura (reglemen tentang
melakukan tugas kepolisian mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara
pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
(Moh. Taufik Makaro, 2009:12-13). HIR berisi peraturan mengenai acara pidana
dan acara perdata, kedua peraturan tersebut diperuntukkan bagi golongan Timur
Asing dan Bumiputera di wilayah Jawa dan Madura untuk berperkara di
pengadilan. Dimana pembagiannya yaitu bagian acara perdata terdapat pada
pasal 115 sampai 245, bagian acara pidana terdapat pada pasal 1 sampai pasal
114 dan pasal 246 sampai pasal 371, sedangkan pasal 372 sampai pasal 394
merupakan pasal yang mengatur kedua bagian tersebut yaitu acara perdata dan
acara pidana.
Dari sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa HIR merupakan peraturan
tertua sekaligus induk peraturan yang mengatur tentang acara perdata. Sebagai
induk dari peraturan yang mengatur mengenai acara perdata, sudah seharusnya di
dalam HIR terkandung salah satu asas yang sangat penting dalam proses
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yaitu asas audi et alateram partem
baik secara tersirat maupun tersurat. Karena asas audi et alteram partem
mencerminkan suatu keadilan hakim sebagai aparatur negara dalam memeriksa
dan memutus suatu perkara, dimana asas audi et alteram partem juga merupakan
asas yang mengandung makna bahwa para pihak yang berperkara pada dasarnya
memiliki kedudukan yang sama, harus diperlakukan dengan cara yang sama dan
memiliki kemungkinan yang sama untuk memenangkan perkara. Sehingga asas
tersebut harus diterapkan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu
perkara.
Dalam Herziene Inlandsche Reglement (HIR), pengaturan tentang asas
audi et alteram partem terdapat pada pasal-pasal berikut, yaitu :
a. Pasal 121 ayat (1), (2), dan (4) yang berbunyi :
“Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu
dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua
menentukan hari dan jamnya perkara itu akan diperiksa dimuka pengadilan
negeri, dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa,
dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak
dipergunakan.”
“Ketika memanggil tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan
surat gugat dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, dapat menjawab
surat gugat itu dengan surat.”
“Memasukkan ke dalam daftar seperti di dalam ayat pertama, tidak dilakukan,
kalau belum dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan
diperhitungkan kelak yang banyaknya buat sementara ditaksir oleh ketua
pengadilan negeri menurut keadaan untuk bea kantor kepaniteraan dan
ongkos melakukan segala panggilan serta pemberitahuan yang diwajibkan
kepada kedua belah pihak dan harga materai yang akan dipakai.”
Sebelum Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 mengatur mengenai
biaya perkara, HIR telah lebih dahulu mengaturnya khususnya pada pasal 121
ayat (1), (2) dan (4) ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa biaya perkara
merupakan hal yang sangat penting bagi kelancaran proses pemeriksaan
perkara di pengadilan dalam hal pemanggilan para pihak, surat-menyurat,
biaya pemanggilan saksi dan lain-lain.
Setiap perkara harus didaftarkan ke pengadilan melalui panitera,
kemudian panitera menaksir biaya perkara dan penggugat membayar biaya
tersebut ke bagian administrasi pengadilan. Akan tetapi perkara tersebut tidak
akan di daftarkan pada buku daftar yang tersedia di pengadilan apabila pihak
Penggugat belum melunasi biaya perkara tersebut. Karena apabila tidak
dibayar, maka perkara tersebut tidak bisa diteruskan pada proses selanjutnya
yaitu proses pemeriksaan di pengadilan karena pada proses pemeriksaan para
pihak harus hadir di persidangan, pemanggilan para pihak tersebut
membutuhkan biaya yaitu biaya untuk surat menyurat, biaya materai, biaya
untuk pemanggilan para pihak dan gaji panitera. Biaya perkara tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
nantinya akan digunakan untuk kepentingan para pihak sendiri yaitu akan
dipergunakan untuk membantu jalannya proses pemeriksaan perkara. Karena
kehadiran para pihak dipersidangan menggunakan dana dari pembayaran
biaya perkara.
Setelah biaya perkara dilunasi lalu panitera memanggil para pihak untuk hadir
dipersidangan pada waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya pada saat pemanggilan,
bagi pihak tergugat juga disertai pemberian salinan surat gugatan yaitu agar pihak
tergugat dapat mengetahui dan mengerti alasan dirinya dipanggil ke pengadilan dan
agar ia menyiapkan terlebih dahulu pembelaan untuk dinyatakan di pengadilan
sehingga pada proses pemeriksaan perkara tersebut tidak hanya pihak penggugat saja
yang memberikan keterangan sebagai pembelaannya kepada hakim tetapi pihak
tergugat juga dapat memberikan pembelaannya.
Dengan memanggil kedua belah pihak, maka hakim akan mengetahui
pokok perkara yang sebenarnya terjadi karena hakim perlu menggali
informasi yang sebanyak-banyaknya dari para pihak. Sehingga hakim dapat
mendengarkan kedua belah pihak secara sama, maksudnya sama dalam hal ini
adalah sama dari segi kualitasnya bukan kuantitasnya. Oleh karena itu, demi
tercapainya penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak maka para pihak
harus hadir di persidangan.
Dari ketentuan-ketentuan pada pasal tersebut intinya bahwa ketua
pengadilan memanggil para pihak berserta saksinya dengan panggilan yang
patut yaitu panitera mendatangi pihak tergugat dan memberikan lampiran
surat gugatan. Panggilan tersebut bertujuan agar pihak tergugat mengetahui
sebab dirinya dipanggil ke pengadilan, pokok perkara yang dihadapinya dan
agar tergugat mempersiapkan pembelaan yang akan dipaparkannnya pada
proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Lalu penetapan hari persidangan
oleh hakim sebelum pemanggilan para pihak, agar para pihak lebih dulu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
menyiapkan pembelaan dan saksi-saksi dengan sebaik-baiknya guna
menguatkan pembuktian mereka terhadap perkara tersebut. Sehingga para
pihak telah siap dengan pembelaannya masing-masing untuk dipaparkan di
depan persidangan kepada hakim sebagai bahan pertimbangan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Untuk melakukan hal-hal tersebut yaitu pemanggilan para pihak,
pemberian salinan gugatan dan lain-lain, maka diperlukan sejumlah biaya
untuk membayar panitera, surat-menyurat, materai dan lain-lain. Oleh karena
itu biaya perkara penting guna menghadirkan para pihak di pengadilan,
sehingga hakim dapat mendengarkan keterangan mengenai pokok perkara dari
para pihak dengan perlakuan yang sama agar dapat memberikan putusan yang
adil bagi kedua belah pihak. Dari hal tersebut diatas, mencerminkan bahwa
pasal ini telah mengatur asas audi et alteram partem.
b. Pasal 122 yang berbunyi :
“Ketika menentukan hari persidangan, ketua menimbang jarak antara tempat
diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri
bersidang dan kecuali dalam hal perlu benar perkara itu dengan segera
diperiksa, dan pemanggilan kedua belah pihak dari hari persidangan tidak
boleh kurang dari tiga hari.”
Didalam pasal ini, penentuan hari persidangan yang dilakukan oleh
ketua pengadilan negeri dengan menimbang jarak antara tempat tinggal kedua
belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang dan pemanggilan kedua
belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja
diperlukan karena apabila waktunya tidak ditentukan oleh ketua pengadilan
sedangkan pihak penggugat ingin segera memulai proses pemeriksaan perkara
tersebut sehingga waktu yang diberikan kepada tergugat terlalu singkat, maka
akan merugikan pihak tergugat. Karena mungkin saja pihak tergugat
menerima panggilannya hanya sehari sebelum waktu persidangan. Sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pihak tergugat mungkin belum mempersiapkan pembelannya berupa surat
gugatan dan saksi-saksi, apalagi apabila surat tersebut tidak sampai pada
tergugat dan telah lewat waktu persidangan yang telah ditentukan maka akan
mengakibatkan tergugat tidak hadir pada proses pemeriksaan. Padahal
kehadiran tergugat penting untuk memberikan keterangan karena hakim harus
mendengarkan kedua belah pihak dengan sama dan para pihak memiliki
kemungkinan yang sama untuk menang.
Selanjutnya pembatasan waktu pemanggilan yang batas waktunya
hanya selama tiga hari kerja agar para pihak dapat menyusun pembelaan
mereka dengan sebaik-baiknya dan proses pemeriksaan perkara lebih efektif
karena tidak memakan waktu yang terlalu lama dan berlarut-larut sehingga
hakim dapat memperoleh keterangan yang berkualitas. Dengan adanya
pemanggilan para pihak secara patut, maka para pihak akan hadir pada proses
pemeriksaan perkara tersebut dan hakim secara tidak langsung akan dapat
menerapkan asas audi et alteram partem yaitu hakim harus mendengarkan
kedua belah pihak.
c. Pasal 123 ayat (3) yang berbunyi :
“Pengadilan Negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak,
yang diwakili oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri.
Kuasa itu tidak berlaku buat Presiden.”
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa pengadilan negeri memperbolehkan
kedua belah pihak diwakili oleh kuasanya akan tetapi pengadilan negeri juga
berhak memerintahkan kedua belah pihak yang diwakili oleh kuasanya
tersebut datang menghadap sendiri pada proses persidangan. Peran seorang
kuasa akan sangat penting untuk mewakili seseorang dalam menghadapi
proses pemeriksaan perkara di pengadilan, karena mungkin saja para pihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
kurang memahami tentang pokok perkara yang disengketakan, maka kuasanya
masing-masing akan membantu untuk memahami dan menyiapkan gugatan
maupun jawaban tergugat bagi kedua belah pihak yang berperkara. Akan
tetapi, apabila hakim ingin memanggil kedua belah pihak untuk hadir
dipersidangan maka para pihak harus datang menghadap sendiri ke
persidangan tanpa diwakili oleh kuasanya.
Dimana secara tidak langsung dalam pasal ini mengatur mengenai
kekuasaan kehakiman. Salah satu prinsip dari negera hukum adalah kekuasaan
kehakiman yang merdeka atau adanya kebebasan hakim dalam menjalankan
pengadilan yang jujur dan adil. Tujuan dari kebebasan kehakiman tersebut
adalah hakim diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan memeriksa
dan mengadili perkara secara leluasa guna memberikan keadilan bagi para
pihak yang berperkara (Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2009:203-408). Seperti
yang dikemukakan oleh Stephen B. Burbank, bahwa indepensi peradilan
adalah sebuah koin dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dengan akuntabilitas
peradilan. “ Judicial independence is merely the other side of the coin from
judicial accountability..” (Stephen B. Burbank, 2007: 911). Dalam pasal ini,
hakim diberikan kewenagan untuk memanggil kedua belah pihak untuk hadir
dipersidangan tanpa diwakili oleh kuasanya.
Apabila hakim telah memanggil para pihak untuk hadir dipersidangan,
maka para pihak tidak boleh menolak untuk hadir, karena dengan
dipanggilnya kedua belah pihak untuk hadir dipersidangan tanpa diwakili oleh
kuasanya, hakim dapat mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak
secara langsung. Hakim memiliki hak untuk memanggil para pihak secara
langsung tersebut agar dapat memperoleh keterangan lebih jelas mengenai
pokok perkara yang sedang diperiksannya karena para pihak sendiri yang
secara langsung mengalami peristiwa tersebut. Juga agar informasi dan
keterangan dari kedua belah pihak yang diperoleh oleh hakim lebih akurat dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
pasti untuk membantunya dalam memberikan pertimbangan mengenai perkara
yang diperiksanya tersebut.
Sedangkan jika mendengarkan keterangan yang tidak langsung dari
kedua belah pihak melainkan hanya melalui kuasa hukum kedua belah pihak
saja, maka hakim tidak dapat memperoleh kepastian yang sesunggguhnya
karena keterangan yang diperoleh oleh hakim dari para kuasa hukum tersebut
adalah keterangan yang tidak langsung dari sumbernya. Artinya hakim
memperoleh keterangan tersebut dari kuasa hukum para pihak yang hanya
mendengarkan keterangan dari para pihaknya masing-masing. Sehingga,
terdapat kemungkinan bahwa keterangan tersebut dapat dilebih-lebihkan atau
dikurangi sehingga hakim akan kesulitan untuk mendapatkan fakta dari
peristiwa yang sebenarnya.
Oleh karena itu, pengaturan dalam pasal ini yang mengatur
kewenangan hakim untuk dapat memanggil para pihak secara langsung hadir
dipersidangan dapat mewujudkan asas audi et alteram partem yaitu hakim
dapat mendengarkan kedua belah pihak dengan baik tanpa membeda-bedakan
kedua belah pihak.
d. Pasal 126 yang berbunyi :
“Didalam hal yang tersebut pada kedua pasal diatas tadi, Pengadilan negeri
dapat, sebelum menjatuhkan keputusan memerintahkan supaya pihak yang
tidak datang dipanggil buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari
persidangan lain yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada
pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan.”
Pemanggilan untuk kedua kalinya para pihak yang tidak hadir pada
hari persidangan pertama, dapat terjadi apabila salah satu pihak atau keduanya
tidak hadir tanpa alasan pada persidangan dan tidak menyuruh orang lain
sebagai wakilnya. Dimana ketidakhadiran tersebut akan berdampak pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
gugurnya gugatan bagi penggugat dan dijatuhkannya putusan verstek bagi
penggugat. Akan tetapi, hakim dalam memerintahkan melakukan
pemanggilan untuk kedua kalinya harus dengan teliti memeriksa berita acara
pemanggilan para pihak, yang mungkin saja tidak dipanggil secara patut dan
seksama, maka setelah memeriksa hal-hal tersebut hakim berhak
memerintahkan untuk melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya bagi para
pihak.
Apabila pihak penggugat tidak hadir pada sidang pertama dan setelah
untuk kedua kalinya telah dipanggil ternyata penggugat juga tidak hadir pula
pada hari sidang berikutnya yang ditetapkan, maka hakim akan menjatuhkan
putusan menggugurkan gugatan dan menghukum penggugat untuk membayar
biaya perkara. Akan tetapi, gugatan dapat diajukan lagi oleh penggugat setelah
ia membayar biaya perkara terlebih dahulu. Begitu juga dengan pihak
tergugat, hakim akan menjatuhkan putusan verstek apabila pada sidang
pertama tergugat tidak hadir di persidangan. Akan tetapi, menurut pasal 126
HIR ini, hakim tidak harus selalu memutuskan verstek karena hakim dapat
mengambil tindakan lain yaitu memanggil sekali lagi pihak tergugat apabila
hakim memandang perkaranya sangat penting sehingga tidak layak diputus
tanpa kehadiran tergugat.
Oleh karena itu, pemanggilan para pihak untuk kedua kalinya
bertujuan agar pihak yang tidak hadir tersebut dapat diberi kesempatan sekali
lagi untuk hadir dipersidangan guna didengar keterangan dan pembelaannya
agar hakim dapat mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak secara
sama dan adil, tidak hanya mendengarkan keterangan dari pihak yang hadir
saja karena para pihak yang berperkara memiliki kedudukan yang sama dan
harus didengarkan oleh hakim dengan cara yang sama sehingga memberikan
pertimbangan dan putusan yang adil. Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan
bahwa secara eksplisit pasal ini mengatur asas audi et alteram partem.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
e. Pasal 135 yang berbunyi :
“Jika tidak ada pernyataan tidak berkuasa, atau jika ada pernyataan yang
ditimbang tidak beralasan, maka pengadilan negeri sesudah mendengar kedua
belah pihak akan dengan segera memeriksa dengan seksama dan adil
kebenaran surat gugatan yang dilawan itu dan syahnya pembelaan tentang
itu.”
Menurut pasal ini, hakim dapat memulai dengan teliti dan adil
memeriksa syah dan benarnya jawaban tergugat apabila tergugat dalam
jawaban gugatannya tidak ada perlawanan tentang wewenang hakim untuk
mengadili perkara tersebut atau perlawanan tersebut ada, akan tetapi tidak
berasalan maka hakim akan menjalankan tugasnya yaitu menjatuhkan putusan
terhadap perkara tersebut. Akan tetapi sebelum menjatuhkan putusan, hakim
haruslah mendengar keterangan dari kedua belah pihak terlebih dahulu
mengenai pokok perkara guna sebagai pertimbangan hakim dalam memutus
perkara. Dimana dalam mendengarkan keterangan dari kedua belah pihak
hakim harus memenuhi asas audi et alteram partem yaitu bersikap adil,
mengakui bahwa para pihak memiliki kedudukan yang sama, memiliki
kemungkinan yang sama untuk memenangkan perkara dan berhak
mendapatkan perlakuan yang sama dari hakim. Khususnya pada saat proses
pembuktian, hakim harus benar-benar mendengarkan keterangan dari para
pihak untuk menggali informasi mengenai pokok perkara yang diperiksanya
agar pada akhirnya hakim dapat menjalankan tugasnya dengan baik yaitu
memberikan putusan yang baik dan adil pada sengketa yang diajukan
kepadanya.
f. Pasal 139 ayat (2) yang berbunyi :
“Panggilan serupa itu dijalankan juga kepada saksi-saksi yang mesti didengar
oleh pengadilan negeri, menurut perintah oleh karena jabatannya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Pembuktian dengan menggunakan bukti saksi selalu diperkenankan
oleh pengadilan selama tidak ada ketentuan lain yang diatur oleh undang-
undang. Dalam hal ini, HIR sebagai induk dari peraturan yang mengatur
mengenai hukum acara perdata telah mengatur mengenai pembuktian dengan
menggunakan alat bukti saksi terutama pada pasal ini. Siapapun dapat menjadi
saksi apabila ia telah cakap hukum dan tidak termasuk dalam kriteria
pengecualian seorang saksi. Setiap warga negara pada dasarnya memiliki
kewajiban sebagai saksi apabila diminta untuk menjadi saksi. Karena dengan
memenuhi kewajibannya sebagai saksi dapat membantu sesama manusia dan
ikut membantu penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh
pengadilan. Apabila seorang saksi tidak memenuhi panggilan untuk menjadi
saksi dapat dikenakan sanksi berupa hukuman penyanderaan, hukuman untuk
membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya sebagai
saksi dan dibawa secara paksa menghadap ke pengadilan.
Panggilan untuk hadir dipersidangan tidak hanya dilakukan kepada
para pihak, akan tetapi dapat juga dilakukan kepada para saksi-saksi baik yang
diajukan dari pihak penggugat maupun tergugat apabila saksi-saksi tersebut
tidak datang padahal telah diminta oleh para pihak. Panggilan kepada saksi-
saksi juga harus dilakukan secara patut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tujuan dari pemanggilan saksi-saksi tersebut oleh para pihak maupun
pengadilan yang dilakukan secara patut, untuk mendengarkan kesaksian
mereka dimana kesaksian tersebut dapat menguatkan dan meneguhkan
kebenaran tentang keterangan-keterangan yang mereka nyatakan pada
pembuktian yang mereka ajukan.
Dalam kesaksian, hal yang harus diterangkan adalah pengetahuan saksi
mengenai suatu peristiwa yang didengar sendiri, sedangkan pendapat atau
pemikiran khusus yang berasal dari pikiran seorang saksi bukanlah sebuah
kesksian. Hakim harus benar-benar cermat dalam memperhatikan kesesuaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
antara saksi dengan kesaksiannya berupa keterangan yang diketahuinya, sebab
ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau
tidak. Akan tetapi walaupun ada kemungkinan bahwa seorang saksi tidak
dapat dipercaya, hakim harus tetap mendengarkan saksi-saksi dari kedua belah
pihak tersebut. Sebab mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi yang diajukan
oleh kedua belah pihak tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa
hakim telah mendengarkan kedua belah pihak secara adil dan seimbang juga
hakim telah menerapkan asas audi et alteram partem.
g. Pasal 163 yang berbunyi :
“Barangsiapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya
kejadian itu.”
Pasal ini menentukan beban pembuktian bagi para pihak. Hakim tidak
melakukan pembuktian, melainkan para pihaklah yang harus melakukan
pembuktian. Menurut pasal ini, dalil-dalil para pihak baik dari pihak
penggugat maupun pihak tergugat yang menyatakan berhak akan sesuatu
mupun membantah akan suatu hak, maka para pihak wajib membuktikannya
didepan pengadilan. Akan tetapi, tidak semua dalil-dalil yang dinyatakan para
pihak harus dibuktikan, Selain mengenai perbuatan-perbuatan dan kejadian-
kejadian yang disengketakan oleh kedua belah pihak yang berperkara, dan
juga mengenai dalil-dalil yang dibantah oleh pihak lawan satu sama lain,
mengenai hal lain diluar pokok perkara tidak harus dibuktikan. Pembagian
beban pembuktian dilakukan oleh hakim agar pembuktian dari para pihak
tidak keluar dari pokok perkara yang sedang diperiksa. Setelah beban
pembuktian dibagikan oleh hakim kepada para pihak secara adil, hakim harus
mendengarkan kedua belah pihak agar mendapatkan keterangan yang jelas
dan pasti mengenai pokok perkara yang diperiksanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Pada proses pembuktian mengharuskan hakim mendengarkan kedua
belah pihak secara seksama dan teliti demi memperoleh keterangan-
keterangan yang jelas mengenai perkara yang diperiksanya. Karena di dalam
hukum acara perdata yang dicari adalah kebenarn formil yang berarti bahwa
hakim terikat pada peristiwa yang diakui oleh tergugat atau apa yang tidak
dipersengketakan.
Lalu kemudian hakim pulalah yang menilai bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak tersebut. Hakim bagaikan robot yang menjalankan undang-
undang. Namun begitu, dalam system pembuktian ini, hakim akan berusaha
menilai dalil-dalil dalam gugatan atau dalam jawaban atas gugatan tanpa
dipengaruhi hati nuraninya, sehingga putusan yang diputusnya benar-benar
obyektif.
Dengan adanya pembuktian yang dilakukan oleh para pihak terhadap
perkara yang dihadapi, secara tidak langsung hakim menerapkan asas audi et
alteram partem. Karena dengan pembuktian tersebut para pihak dapat
didengar keterangan-keterangannya guna sebagai pertimbangan hakim dan
hakim akan dapat memutus dengan seadil-adilnya berdasarkan kepastian yang
didapatnya pada proses pembuktian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan
sebagai berikut :
1. Dalam Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum
telah terdapat pengaturan mengenai asas audi et alteram partem, baik
secara tersirat maupun tersurat. Bahkan pada Undang-undang Nomor 2
tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 8 tahun
2004 tetang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang
Peradilan umum yang mengatur mengenai peradilan umum sebelumnya,
juga terdapat pengaturan asas audi et alateram partem. Pengaturan asas
audi et alteram partem yang terdapat pada ketiga undang-undang tersebut
khususnya Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum
terdapat pada pasal-pasal sebagai berikut yaitu :
a. Pasal 52 A ayat (1) yang intinya menyatakan bahwa setiap pengadilan
haruslah terbuka dan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
memperoleh informasi yang seluas-luasnya berkaitan dengan putusan
dan biaya perkara dalam proses persidangan;
b. Pasal 53 ayat (1), (2) dan (3) yang intinya menyatakan bahwa
pengawasan tugas hakim, panitera, sekretaris dan jurusita pada proses
persidangan, dilakukan agar hakim, panitera, sekretaris dan jurusita
tidak menyalahgunakan tugasnya dan menyelenggarakan peradilan
dengan seksama dan sewajarnya;
c. Pasal 57 A ayat (1), (3) dan (5) yang intinya mengatur mengenai
penarikan biaya perkara, akan tetapi pada pasal ini lebih dibahas
71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
mendalam mengenai biaya perkara yaitu pengaturan tentang penarikan
biaya perkara dan pembebanan biaya perkara;
d. Pasal 58 yang intinya mengatur mengenai tugas panitera pengadilan
dalam menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti;
e. Pasal 59 yang intinya menyatakan bahwa panitera, wakil panitera,
panitera muda dan panitera pengganti bertugas membantu hakim
dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan;
f. Pasal 68 A ayat (2) yang intinya menyatakan bahwa Penetapan dan
putusan hakim harus memuat pertimbangan hukum yang didasarkan
pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar;
g. Pasal 68 B ayat (1) yang intinya mengatur mengenai bantuan hukum
berhak diperoleh oleh setiap orang yang tersangkut perkara;
h. Pasal 68 C ayat (2) yang intinya menyatakan bahwa bantuan hukum
diberikan secara cuma-cuma kepada setiap orang yang tersangkut
perkara, pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setiap isi dari pasal-pasal tersebut dalam pelaksanaan pengaturannya
mencerminkan adanya penerapan asas audi et alteram partem.
2. Dalam Herziene Inlandsche Reglement (HIR) yang merupakan induk dari
peraturan yang mengatur hukum acara perdata, asas audi et alteram
partem juga telah diatur secara tersirat maupun secara tersurat. Pengaturan
tersebut dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut, yaitu :
a. Pasal 121 ayat (1), (2) dan (4) pada intinya mengatur mengenai proses
pendaftaran gugatan ke pengadilan, penetapan dan pembayaran biaya
perkara dan pemanggilan para pihak.
b. Pasal 122 pada intinya mengatur mengenai penentuan hari persidangan
dan pemanggilan para pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
c. Pasal 123 ayat (3) pada intinya menyatakan bahwa Pengadilan Negeri
berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak, yang diwakili
oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri.
d. Pasal 126 pada intinya mengatur mengenai pemanggilan untuk kedua
kalinya para pihak yang tidak hadir pada hari persidangan pertama.
e. Pasal 135 pada intinya menyatakan bahwa hakim dapat memulai
dengan teliti dan adil memeriksa syah dan benarnya jawaban tergugat
apabila tergugat dalam jawaban gugatannya tidak ada perlawanan
tentang wewenang hakim untuk mengadili perkara tersebut atau
perlawanan tersebut ada, akan tetapi tidak berasalan maka hakim akan
menjalankan tugasnya yaitu menjatuhkan putusan terhadap perkara
tersebut.
f. Pasal 139 ayat (2) pada intinya mengatur mengenai pemanggilan
saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak.
g. Pasal 163 yang mengatur mengenai beban pembuktian bagi para
pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
B. Saran
Berdasarkan atas penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaturan asas audi et
alteram partem dalam Undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan
umum dan Herziene Inlandsche Reglement (HIR), maka penulis memberikan
beberapa saran yaitu :
1. Pengaturan mengenai asas audi et alteram partem perlu diatur lebih rinci
lagi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya secara
tersirat tetapi juga secara tersurat khususnya pada Undang-undang Nomor
49 tahun 2009 tentang peradilan umum dan Herziene Inlandsche
Reglement (HIR).
2. Semakin ditambah peraturan yang mengatur mengenai asas audi et
alteram partem khususnya pada Undang-undang Nomor 49 tahun 2009
dan Herziene Inlandsche Reglement (HIR) maupun undang-undang lain
yang, memandang pentingnya asas audi et alteram partem dalam proses
pembuktian perkara perdata di pengadilan sehingga dapat mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan memberikan keadilan yang
seadil-adilnya bagi masyarakat umum.
3. Perlu segera diatur mengenai peraturan yang mengatur tentang
pelanggaran asas audi et alteram partem yang dilakukan oleh hakim
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara dipersidangan sehingga
pengaturannya seimbang dan menjamin terciptanya keadilan bagi
masyarakat dalam mencari keadilan dan kepastian hukum.
4. Perlu peningkatan dalam penerapan asas audi et alteram partem
dipengadilan agar sesuai dengan peraturan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 49 tahun 2009 tentang peradilan umum dan Herziene
Inlandsche Reglement (HIR) guna menciptakan peradilan yang adil dan
jujur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
5. Peningkatan pengawasan dalam penerapan asas audi et alteram partem
pada persidangan dipengadilan dianggap perlu sebagai tolak ukur apakah
peraturan-peraturan mengenai asas audi et alteram partem telah
diterapkan dengan baik atau tidak.