dialektika inisiatif damai ala jogja.pdf
TRANSCRIPT
DIALEKTIKA KONFLIK & INISIATIF DAMAI ALA JOGJA:
STUDI KASUS KEKERASAN YANG DIALAMI JULIUS FELICIANUS
DAN INISIATIF DAMAI FORUM PERSAUDARAAN UMAT BERIMAN (FPUB)
LAPORAN FIELD TRIP
“Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Oleh:Dalila Eka Surma (PP. Aji Mahasiswa Al-Musin)
Idris Ahmad Rifai (PP. Lingkar Studi Alquran)
Muhammad Rafiq Wildan (PP. Al-Baidhawi)
Toipah (PP. Sunan Pandanaran)
Zaki Romdhon Muhabib (PP. Luqmaniyah)
Editor:
Rita Pranawati, MA.
Pesantren for Peace (PFP):A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to
Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
A. PENDAHULUAN
Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai kota yang memiliki
keragaman. Semua jenis etnis, agama, dan paham mulai dari yang paling
kiri hingga yang paling kanan ada di Yogyakarta. Salah satu
keanekaragaman penduduk Yogyakarta terlihat di kalangan pelajar dan
mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Yogyakarta dikenal sebagai
kota pelajar dan kota budaya dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
siapapun untuk memilih hidup di Yogyakarta. Dengan penduduk hampir
tiga setengah juta jiwa, Yogyakarta merupakan miniatur Indonesia yang
masyarakatnya sangat beragam.
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Itulah pepatah yang
paling tepat untuk menggambarkan bagaimana pendatang seharusnya
beradaptasi. Pendatang di Yogyakarta dapat diterima oleh masyarakat
setempat ketika mereka menghargai prinsip saling menghormati dan
menjaga kerukunan. Ketika pendatang menghargai nilai-nilai lokal, maka
mereka akan lebih mudah untuk berbaur dengan masyarakat Yogyakarta.
Diantaranya adalah budaya sopan santun yang sangat kental dan
menghormati yang tua serta ramah yang ada dimiliki penduduk
Yogyakarta (disingkat Jogja).
Kepemimpinan memegang kunci penting menjaga Jogja tetap
aman dan damai. Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono ke X yang
mengutamakan kedamaian Jogja menjadi salah satu kunci Jogja tetap
damai. Setiap orang harus menjaga perdamaian di Jogja dan dilarang
keras melakukan kekerasan. Pada masa era reformasi 98 dimana kota Solo
terbakar, Jogja masih berhasil menjaga kedamaian. Simbol Keraton Jogja
masih kuat menjaga Jogja yang damai. Oleh karenanya Jogja sering
dianggap sebagai barometer Indonesia, jika Jogja bisa diobrak abrik maka
tak bisa dibayangkan kondisi Indonesia.
Bukan hal yang mudah untuk tetap konsisten menjaga perdamaian
di Yogyakarta karena banyaknya perbedaan dalam berperilaku, pemikiran,
corak dan kebudayaan yang ada. Perbedaan yang ada masih dapat
dikendalikan dengan mencari persamaan tujuan. Menurut KH Abdul
Muhaimin, ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), Jogja dapat
menjaga perdamaian dengan baik diantaranya karena tiga hal. Pertama,
peran keraton sangat kuat dan masih eksis sebagai center of culture atau
pusat budaya. Kedua, masyarakat Jogja merupaka masyarakat terdidik
yang lebih mudah memahami dengan baik dan tidak mudah terprovokasi
dibanding daerah lain. Ketiga, komunikasi yang baik antar warga dan para
pemangku kepentingan yang ada di Yogyakarta.
Dinamika pembangunan dan perkembangan sosial budaya juga
turut mempengaruhi dinamika damai di Jogja. Pertumbuhan hotel yang
sangat masif di Jogja misalnya sedikit banyak mempengaruhi relasi warga
dengan warga maupun dengan pemerintah setempat. Upaya meningkatkan
pendapatan daerah melalui pembangunan hotel ternyata dianggap tidak
sejalan dengan harapan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar
pembangunan hotel mengalami kekurangan air. Contoh lain dari dinamika
damai di Jogja adalah dinamika interaksi antar penduduk yang beragam
kadang menimbulkan masalah. Persoalaan antara individu dapat menjadi
persoalan kelompok dengan kelompok. Artinya, ada eskalasi konflik yang
terjadi dari konflik personal menjadi konflik kelompok.
Damai yang aktif bukanlah tiadanya konflik. Damai yang aktif
adalah kondisi masyarakat yang dapat hidup berdampingan secara damai,
terjadi interaksi dan kerjasama, serta dapat menyelesaikan konflik jika
terjadi. Jika sebelumnya Jogya sering disebut sebagai city of tolerance
dengan segala perdamaian yang ada dengan penduduk yang sangat multi
budaya, the Wahid Institute pada tahun 2014 menempatkan Yogyakarta
sebagai propinsi intoleran kedua se-Indonesia setelah Jawa Barat.1
Tercatat terjadi 21 kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama
sepanjang tahun 2014 di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tulisan ini akan mendalami dialektika konflik dan inisiatif damai
yang terjadi di Yogyakarta. Model penyelesaian konflik yang akan didalami
adalah penyelesaian konflik yang menimpa Julius Felicianus, Direktur
Galang Press, yang mengalami penyerangan dirumahnya oleh sekelompok
orang tak dikenal. Sedangkan inisiatif damai akan mengulas upaya-upaya
1http://citizendaily.net/wahid-institue-diy-urutan-kedua-kasus-intoleransi-sepanjang-2014/, Diakses pada 28 Oktober 2015. Pukul 21.30
bina damai yang dilakukan oleh FPUB (Forum Persaudaraan Umat
Beriman) di Yogyakarta.
B. MENDALAMI KONFLIK KEKERASAN YANG MENIMPA JULIUS
FELICIANUS DAN KASUS-KASUS INTOLERANSI YANG TERJADI
DI YOGYAKARTA
Menghormati agama lain dan menghormati mereka melakukan
ibadah adalah hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk penghargaan
terhadap hak asasi manusia (HAM). Kebebasan beragama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya dilindungi oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28 E. Seorang pemeluk
agama lain tidak dapat melarang orang lain menjalankan ibadahnya.
Perbedaan agama pun dilindungi dalam UUD dan menghormati pemeluk
agama lain merupakan upaya perwujudan damai.
Penyerangan rumah Julius Felicianus terjadi pada tanggal 29 Mei
2014 malam pada saat istri dan kerabat pak Julius melakukan doa
Rosario.2 Doa Rosario dilakukan jelang Isa Almasih dan dilakukan selama
sebulan. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak
tahun-tahun sebelumnya. Penyerangan ini terjadi pada hari ke -29
pemanjatan doa Rosario kurang lebih jam 10 malam. Rumah pak Julius
yang beralamat di perum YKPN Tanjung Sari, desa Sukoharjo, kecamatan
Ngaglik, Sleman diserang oleh 8-10 orang berjubah atau sering dikenal
dengan sebutan katok congklang (kacong) tanpa sebab yang jelas.
Para penyerang melakukan kekerasan kepada jemaat doa Rosario
yang ada di rumah Pak Julius. Mereka mengobrak abrik seluruh ruangan
termasuk para melakukan kekerasan kepada jemaat yang sedang berdoa.
Serentak para jamaat yang mayoritas adalah ibu-ibu dan sebagian anak-
anak terkejut dengan kedatangan para kocong yang berteriak kafir-kafir
2 Banyak umat Non-Katolik dan termasuk juga sebagian umat Katolik mengira bahwadoa rosario adalah doa kepada Maria. Sesungguhnya doa rosario adalah doa kepada TuhanYesus, dengan meneladani intersesi (bantuan doa) Bunda Maria. Didalam doa RosarioBunda Maria menemani didalam doa, merenungkan peristiwa kelahiran, penderitaan, dankemuliaan Putranya. Doa Rosario menuntuk suasana yang tenang dimana misterikehidupan Yesus dapat direnungkan dengan sepenuh hati.
http://www.ekaristi.org/doa/dokumen.php?subaction=showfull&id=1140104989&archive&start_from&ucat=1, Diakses 1 Desember 2015.
pada mereka. Michael Ariawan yang merupakan jurnalis Kompas TV, ikut
menjadi korban dalam peristiwa tersebut.3 Padahal saat berlangsungnya
kejadian ia telah menunjukan identitas dirinya sebagai jurnalis. Ia
didatangi salah satu dari penyerang yang kemudian merampas kamera
yang ada ditangannya.
Mendengar kabar dari anaknya bahwa rumahnya diserang, Julius
yang pada saat itu sedang berada di kantor, segera pulang menuju rumah
dengan ditemani oleh empat temannya. Sesampainya dirumah, kelompok
kacong pun kembali ke rumah Julius dan melakukan penyerangan kedua.
Seketika itu pula, mereka langsung menyerbu dan menganiaya Julius
hingga kepalanya berdarah dan bahu sebelah kirinya patah akibat dipukul
dengan batako, pot bunga dan besi.
Dampak yang ditimbulkan paska penyerangan tersebut sangat
banyak. Penyerangan tersebut tidak hanya mengakibatkan luka fisik bagi
jemaat Katolik gereja Santo Fransiskus Agung Gereja yang sedang berdoa
Rosario. Namun juga trauma yang mendalam bagi semua jemaat yang
menjadi korban tindakan kekerasan tersebut terlebih bagi anak-anak.
Bagi pak Julius sendiri, ia pun trauma dengan lafadz “Allahu akbar”.
Menurut Julius, sebelum terjadinya penyerangan kalimat itu mampu
menyejukkan hatinya, namun paska penyerangan kalimat tersebut
membuatnya takut dan selalu mengingatkan pada peristiwa penyerangan
tersebut.
Kejadian penyerangan juga membuat suasana desa menjadi tidak
setentram dan seramai dulu. Sikap antar warga berubah setelah kejadian
penyerangan ini padahal sebelumnya harmonis. Kondisi psikologis
masyarakat berubah dan hal ini ditunjukkan berubahnya sikap warga
kepada kelurga pak Julius. Seni jatilan dan kentrung yang berjalan meriah
sebelum kejadian dan sering manggung ke berbagai tempat menjadi mati
total setelah kejadian kekerasan tersebut. Masjid pun yang dahulu dibiayai
oleh warga pembangunannya menjadi berubah karena infiltrasi kelompok
garis keras dan meninggalkan eksistensi warga setempat.
3http://regional.kompas.com/read/2014/05/30/0537391/Wartawan.Kompas.TV.Turut.Jadi.Korban.Pemukulan.di.Rumah.Bos.Galang.Press, diakses pada tanggal 2 Desember2015
Selain kekerasan yang dialami Julius Felicianus, beberapa
kekerasan juga pernah terjadi pada awal tahun 2012 di Yogyakarta. Pada
awal tahun 2012 terjadi kekerasan di SMA PIRI yang dianggap pengikut
Islam sesat karena mereka Ahmadiyah. Ada pula kasus perusakan
terhadap kantor LKIS ketika LKIS akan menyelenggarakan diskusi dengan
pembicara Irshad Manji. Beberapa kasus Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
untuk pendirian gereja juga menimbulkan konflik diantaranya di Pangukan
Bantul. Selain itu, “kekerasan” terhadap individu juga masih terjadi. Sikap
eksklusivitas individu juga sering menolak kehadiran orang lain dengan
identitas agama yang berbeda. Hal ini pernah dialami Romo Yatno,
seorang aktivis FPUB, sebagai pemeluk Katolik yang “didiamkan” oleh
seorang kacong. Kacong sangat eksklusif dan tidak mau bergaul oleh
orang yang berbeda agama sekalipun hanya untuk bertegur sapa. Bahkan
suatu ketika si kacong sedang berjalan kaki di jalan yang panas, Romo
Yatno berniat memboncengkannya dengan sepeda motornya pun
ditolaknya.
Dari deskripsi kasus diatas, ada pelanggaran yang terjadi pada
kasus-kasus tersebut. Misalnya hak untuk hidup secara damai, hak untuk
beragama dan beribadah sesuai dengan agamanya, serta hak untuk
mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Ketentraman warga dan
keluarga pak Julius tercerabut karena tindakan penyerangan yang
dilakukan kacong dan telah membuat warga, jemaat, dan khususnya
keluarga pak Julius mengalami kerugian moral dan material. Selain itu,
hak untuk mengemukakan pendapat menjadi tidak leluasa lagi untuk
dilakukan dengan kejadian-kejadian intoleransi yang disebutkan di atas.
C. UPAYA RESOLUSI KONFLIK YANG DILAKUKAN
Apapun motif di belakang tindak kekerasan yang terjadi tetaplah
tidak dapat dibenarkan. Menurut pengakuan Julius, jika dirunut lebih
dalam, ada indikasi motif penyerangan tersebut sesungguhnya adalah
karena pilihan politik yang berbeda. Julius merupakan tim sukses salah
satu pasangan presiden pada pemilu presiden 2014 lalu. Lebih jauh,
penyerangan yang terjadi di rumahnya disebabkan bukan hanya karena
gesekan antar ideologi dan keyakinan semata, melainkan berpijak pada
kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Namun demikian, motif
agama menjadi motif yang terlihat di permukaan walaupun banyak indikasi
menunjukkan adanya kepentingan politik yang berlindung atas nama
agama. Kekerasan atas nama agama sekali pun tidak dapat dibenarkan
dan tidak ada satu agama pun yang mengajarkan melakukan kekerasan
terhadap pihak lain.
Apa yang dilakukan Julius terhadap kekerasan yang dialaminya?
Dan apa kunci kekerasan ini tidak melebar? Pengendalian diri menjadi
kunci utama penyelesaian kasus yang dialami Julius Felicianus. Julius
menyelesaikan konflik dengan mengupayakan perdamaian yang berawal
dengan memandang positif terhadap konflik itu sendiri. Julius memandang
konflik sebagai musibah atau sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan
sehingga dapat menekan rasa dendam dan berusaha untuk memaafkan
apa yang telah dilakukan pihak pelaku. Sikap yang ditunjukkan Julius
Felicianus merupakan sikap yang menunjang upaya bina damai dan
mencegah pelanggaran HAM yang berkelanjutan. Memilih untuk
memaafkan meskipun beliau memiliki komunitas yang bersedia melakukan
penyerangan balik ke kelompok kacong adalah sikap integritas diri yang
luar biasa yang sangat tidak mudah dilakukan ketika seseorang
mengalaminya.
Julius menuturkan bahwa setelah kejadian yang dapat ditenangkan
1 jam kemudian, banyak dari orang-orang yang ada disekelilingnya
menuntut untuk membalas dendam atas kejadian tersebut. Sanak
keluarga dan beberapa organisasi yang diketuainya pun menuntut agar
membalas apa yang telah mereka alami. Lanjutnya, beruntung “mukjizat”
seolah-olah menjadi petunjuk yang ia dapatkan saat itu. Pada saat darah
bercucuran dari atas kepala, hanya dua perkataan yang didengarnya, dan
ia yakin bahwa perkataan tersebut adalah sebuah dialog setan dan
malaikat yang berkecamuk dibenaknya, “membalas atau memaafkan”
ujarnya.
Banyak orang yang telah merayu dan bersikukuh untuk segera
membawanya ke rumah sakit sebab tidak tega melihat Julius yang terkulai
lemah di sofa dengan bersimbah darah. Namun justru Julius menjawab
“Saya tidak akan berangkat ke rumah sakit sebelum saya bisa benar-benar
memaafkan orang-orang yang telah melukai dan memukuli saya”.
Memang tidak mudah dan sangat berat sekali untuk memaafkan dengan
sepenuh hati dalam jangka waktu hanya dua jam Julius Felicianus pun
berhasil meredam kemarahannya dan menekan egonya. Kondisi yang
sulit ini pun berhasil ia lewati dengan cara mengendalikan diri. Julius
menyadari betul bahwa jika ia tidak dapat mengendalikan diri, kerusuhan
yang lebih besar dapat terjadi dan membuat kedamaian di Jogja
khususnya dan Indonesia umumnya yang sedang akan berpesta memilih
presiden terganggu ketentramannya.
Tantangan terhadap pengendalian diri ini tidak berakhir disini.
Setelah Julius berhasil meredam kemarahannya, kemarahan orang-orang
yang berada disekitarnya masih terus berlanjut. Terutama sanak keluarga
dan kerabat gerejanya yang kebetulan juga mengetahui dan mengalami
kejadian tersebut. Mereka siap membantu jika Julius menginstruksikan
untuk menyerang balik. Pada saat perjalanan menuju ke rumah sakit, para
kerabat dan teman-teman yang berada satu mobil dengan pak Julius
masih mengenduskan kemarahan untuk membalas dendam kepada para
kacong. Hati dan pikiran pak Julius lebih bijaksana dalam membaca situasi
yang akan terjadi ke depannya. Julius benar-benar memiliki jiwa yang
besar. Ia tetap tidak terprovokasi dan lebih memilih memaafkan dengan
berupaya memahamkan kepada seluruh teman-teman, kerabat dan
simpatisannya tentang mengapa ia lebih memilih untuk memaafkan. Julius
telah memilih jalan damai dan mengajak keluarga dan teman-temannya
untuk memaafkan atas kejadian tersebut.
Jika kita hubungkan dengan nilai-nilai Islam, sesungguhnya apa
yang dilakukan oleh Julius mengingatkan kita kepada sosok Nabi
Muhammad dengan kemuliaan akhlak dan suri tauladannya dalam
menciptakan perdamaian. Tentu kita masih ingat dalam sejarah Islam,
setiap hari Nabi selalu dilempari kotoran unta oleh kafir Quraisy ketika
hendak berangkat ke masjid. Sikap Nabi sama sekali tidak membalas.
Bahkan suatu saat, ketika beberapa hari orang kafir tersebut tidak lagi
melempari Nabi dengan kotoran unta, justru Nabi menanyakannya kondisi
orang tersebut. Ternyata orang yang biasa melempari Nabi sedang sakit
dan Nabi pun malah menjenguknya tanpa perasaan dendam sedikitpun.
Seketika itu pula orang kafir tersebut menangis dan masuk Islam.
Dalam QS. Al-Baqarah 263 pun terkandung upaya mengendalikan
diri dengan memaafkan.
Artinya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripadasedekah yang diiringi tindakan yang penyakiti. Allah Maha kaya, Mahapenyantun”
Apa yang dilakukan Julius Felicianus sesuai dengan pernyataan
Rene Descartes, “…penting dalam penekanan dan pengendalian hasrat-
hasrat dalam badan kita. Sehingga jiwa semakin menguasai tingkah-
tingkah kita, dengan cara itu manusia menjadi makhluk yang memiliki
kebebasan spiritual, hasrat atau nafsu dimengerti sebagai keadaan pasif
dari jiwa”.4 Ia pun mengamalkan ajaran tasawuf yang menurut Imam Al-
Junaid membersihkan hati, meninggalkan hawa nafsu dan perilaku buruk
sifat kemanusian.5
Dari aspek hukum, penegakan hukum terhadap tindak kekerasan
ini belum maksimal. Pelaku tindak kekerasan penyerangan rumah pada
saat peribadatan di rumah Julius Felicianus hanya 1 orang saja yaitu AK
yang notabene seorang mualaf. Ia ditangkap dan kemudian di vonis 6
bulan penjara. Padahal pelaku kekerasan lebih dari 5 orang. Sementara
pelaku lainnya kakak beradik yang berinisial HB dan AH masih belum
tertangkap sampai saat ini. Namun akhirnya pengusutan kasus dihentikan
karena para pelaku dan korban lebih memilih jalan damai dalam
menyelesaikannya.
4Suhadi, Silabus & Bahan Bacaan Matakuliah Filsafat Umum, Yogyakarta: STAI SunanPandanaran, 2013, hlm. 214.
5M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2011,hlm. 15.
Pihak kacong yang diwakili kelompok JUT mengajukan perdamaian
ke pemerintah daerah kabupaten Sleman. Julius sendiri tidak terlalu
tertarik dengan perdamaian yang sifatnya formal karena baginya
memaafkan sudah menjadi titik awal dirinya berdamai dengan keadaan. Ia
pun sedang berada di luar negeri ketika proses perdamaian dibuat. Dari
pihak Julius diwakili oleh Gereja Katolik dan dan dari JUT menandatangani
ikrar damai disaksikan langsung oleh Polda dan pemerintah kabupaten
Sleman.
Untuk kasus-kasus lain selain kasus Julius, kehadiran Forum
Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) 6 meminimalisir konflik yang terjadi.
FPUB pada awalnya lahir sebagai jawaban atas munculnya persoalan
bangsa ketika bangsa Indonesia baru saja memasuki gejolak masa
perubahan dari era orde lama ke era reformasi. Saat itu nilai-nilai
persaudaraan terkoyak-koyak dan berada dalam kondisi yang
mengkhawatirkan. FPUB didirikan pada tanggal 27 Februari 1997 oleh
beberapa tokoh elemen bangsa yang ada di Yogyakarta dengan tujuan
membangun nilai-nilai spiritualitas bangsa serta mewujudkan
persaudaraan sejati. Usaha membangun perdamaian tentu tidak semulus
yang dibayangkan. Sepak terjang FPUB pun mengalami kendala dan
tantangan sekaligus selama menjalankan misinya.
Dalam beberapa kasus FPUB bertindak sebagai mediator dalam
menyelesaikan konflik antar agama maupun inter agama (aliran-aliran).
Salah satu upaya FPUB misalnya pada kasus pendirian gereja yang
awalnya ditolak oleh masyarakat sekitar. Sebagian besar kasus tersebut
dapat diselesaikan. Salah satu yang gagal diantaranya karena pendeta di
gereja tersebut berasal dari luar Jawa dan sulit beradaptasi dengan
6 Penggunaan kata “Umat Beriman”, bukan Umat Beragama pada ForumPersaudaraan Umat Beriman (FPUB) karena kelompok ini berpandangan bahwapersaudaraan tidak dibatasi oleh lima agama, melainkan siapa saja dan dari mana sajayang berkehendak baik dan menyembah Tuhan. FPUB sangat menaruh hormat kepadasemua orang yang beragama dan berkepercayaan yang menyembah Tuhan dengan tulusdan berlaku jujur. FPUB berusaha mewujudkan visinya yaitu “Terwujudnya komunitasantariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan atau keyakinan yang kuat kepadaTuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hak‑hak asasi manusia”.FPUB bekerjasama dengan Dian Intierfidie dan juga FKUB dalam mewujudkan damai. LihatImam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama” dalam Jurnal Pendidikan Islam,Vol. II, No. 1, Juni 2013, hlm. 51-52.
penduduk sekitar sehingga masyarakat sulit untuk menerima
keberadaanya. Selain itu, FPUB juga membantu penyelesaian kasus yang
terjadi pada anak-anak Papua yang sedang mabuk dan terjadi perkelahian
dan menelan korban. Kasus tersebut difasilitasi oleh FPUB sehingga
menemukan jalan keluar.
Pada kasus individu yang eksklusif misalnya, Romo Yatno mencoba
memahami kondisi orang yang terlihat eksklusif. Ternyata si kacong
berbisnis lele. Romo Yatno mengajak relawan FPUB yang Muslim untuk
bersama-sama membeli bibit lele. Dari situlah relawan FPUB melakukan
pendekatan dengan menanyakan tentang perawatan anak lele dan si
kacong mulai memberi penjelasan. Terjadilah komunikasi terbuka dan
lancar. Kecurigaan-kecurigaan mulai luntur dan kebersamaan mulai
terjadi.
Dari proses resolusi konflik yang dilakukan Julius Felicianus dan
usaha resolusi konflik yang dilakukan oleh FPUB, terlihat bahwa
pengendalian diri dari pribadi yang berintegritas merupakan pangkal upaya
resolusi konflik. Kesadaran mengutamakan kepentingan orang banyak dari
pada diri sendiri sangat penting. Metode meyakinkan misi damai kepada
orang lain menjadi strategi Julius meredam potensi konflik yang lebih
besar. Selain itu, mediasi, negosiasi, dialog diupayakan oleh FPUB untuk
membuka ruang diskusi, sehingga saling memahami dan bekerjasama
dapat dijalani.
D. INISIATIF DAMAI ALA JOGJA
Konflik merupakan persoalan yang umum dalam kehidupan
bermasyarakat. Kehidupan sosial pasti tidak akan terlepas dari konflik
dengan beragam kepentingan. Konflik akan menjadi potensi yang berguna
mendinamiskan masyarakat jika dikelola dengan baik. Bukan hanya
meningkatkan kerukunan saja, tetapi juga meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam menciptakan damai.7 Beberapa inisiatif damai
diantaranya dengan mengenal pemeluk agama lain, membangun
7 Albert Fiadjoe, Alternative Dispute Resolution: Developing Word Perspective,London: Covendish Publishing Limited, 2004, hlm. 9.
komitmen individu, mediasi dan negosiasi, pendidikan damai, mewujudkan
damai dalam nilai kemanusian, serta berkomunikasi, bersinergi dan
berkolaborasi.
Inisiatif damai dapat diawali dengan memberikan pengalaman
mengenal pemeluk agama lain. Problem toleransi terkadang sepele, orang
tidak pernah mengerti bagaimana agama lain karena mereka tidak pernah
bertemu. Bagaimana mereka akan saling memahami jika bertemu saja
tidak pernah. Persepsi satu pihak kepada pihak lain lebih sering tercipta
karena asumsi dan omongan dari pihak lain. Usaha-usaha tersebut telah
dilakukan misalnya oleh FPUB dengan youth camp dan satuan tugas dialog
FPUB yang dilakukan di rumah-rumah ibadah dengan mempertemukan
pemeluk antar agama.
Pendekatan mengenal pemeluk agama lain dilakukan Romo Yatno.
Hanya dengan mengajak ngobrol soal lele saja, karena merupakan mata
pencharian si kacong, telah membuka komunikasi dan rasa percaya si
kacong kepada Romo Yatno. Stimulus Romo Yatno telah mengubah
persepsi si kacong tentang umat agama lain. Bahkan si kacong pun
berbaur dengan Romo Yatno di acara mertibumi. Mertibumi adalah
perayaan syukuran semua anggota masyarakat tanpa kecuali. Kisah ketua
RT yang memarahi umat Muslim karena tidak segera menguburkan
jenasah pada hari Jumat membuat kagum para mahasiswa KKN. Ketua RT
yang Kristen memahami betul bahwa muslim memiliki kewajiban sholat
Jumat sehingga jika tidak menyegarakan mengubur maka sholat Jumat
terganggu. Komitmen pak RT menunjukkan pak RT yang biasa bersama
dengan warga dan memahami dengan baik ajaran agama lain yang biasa
ia lihat. Kita tidak perlu menegur atau menceramahi orang yang memiliki
aliran lain tetapi kita perlu memperlihatkan kondisi yang bisa membuka
mata hatinya.
Dari kasus Julius terlihat bahwa inisitif damai harus lahir dari
komitmen individu. Julius yang taat beragama berkomitmen untuk tetap
menebarkan cinta kasih seperti yang diajarkan agama Katolik.
Sesungguhnya menebar kasih sayang pun dikenal dalam setiap tradisi
agama dan budaya. Dalam keyakinan Katolik, memaafkan jika disakiti
disebut dalam Al-Kitab “Jika kamu ditampar pipi kanan maka serahkan lah
pipi kirimu”. Hal ini bermakna memandang positif pada peristiwa yang
sedang dihadapinya, sebagaimana sikap pemeluk agama Katolik dalam
memandang positif penderitaan yang sedang dialami.
Mediasi dan negosiasi adalah upaya menyelesaikan konflik dengan
cara yang damai. FPUB, khususnya KH Abdul Muhaimin, sering terlibat
dalam penyelesaian konflik dengan menggunakan metode negoisasi dan
mediasi. Mediasi dan negosiasi mensyaratkan para pihak untuk
menurunkan ego, menyamakan persepsi dan mencari jalan keluar. Hal
yang paling awal dan mendasar yang menjadi kendalanya adalah
persoalan ego masing-masing kelompok. Hal ini karena setiap kelompok
memiliki kepentingan masing-masing, ada yang merasa sakit hati, ada
yang merasa belum puas, dan ada juga yang merasa tidak adil. Pihak-
pihak yang bersengketa harus melepaskan ego dan kepentingannya untuk
menyelaraskan pandangan berfikir. Mencari titik temu adalah hal yang
diperlukan. Mediator dan negosiator harus memiliki pandangan yang netral
dan bersedia mengutamakan kepentingan yang lebih besar daripada
kepentingan kelompok dan individu.
Melakukan upaya pendidikan perdamaian adalah mengajarkan
pengormatan terhadap perbedaan. Upaya yang dilakukan FPUB
diantaranya dengan meningkatkan rasa empati khususnya generasi muda
yang merupakan asset masa depan bangsa melalui youth camp. Nilai lain
yang perlu diajarkan adalah membiasakan memandang sesuatu dari sisi
positifnya dan meminimalisir dari sisi negatifnya. Pendidikan damai
mengajarkan perbedaan adalah kekuatan bukan ancaman semata. Selain
itu, mengajarkan bahwa persaudaraan penting untuk diutamakan sehingga
generasi muda akan lebih banyak mencari saudara daripada mencari
musuh. Mengajarkan cara berkomunikasi yang baik dengan tutur kata
yang baik, pemilihan kata yang tepat, dan menghindari kata-kata yang
bersifat menghakimi misalnya kafir. Pembiasaan-pembiasaan tersebut
penting diajarkan sejak dini.
Inisiatif damai dilakukan sebagai mewujudkan nilai-nilai
kemanusian seperti tolong menolong. FPUB banyak melakukan aktivitas
menolong sebagai perwujudan nilai-nilai kemanusian dengan menolong
sesama tanpa memandang agamanya. FPUB misalnya yang terdiri dari
beberapa agama dan keyakinan membantu mendirikan rumah untuk
korban gempa, membangun sumber air, melakukan penghijauan lereng
merapi dengan reboisasi serta menyantuni pengungsi korban bencana
alam.
Kaum kristiani juga memperbolehkan korban bencana untuk
mengungsi di gereja dengan difasilitasi FPUB. FPUB mencarikan bantuan
mukena dan sarung, serta hewan kurban untuk kaum muslimin merayakan
Idul Adha. Dibawah bimbingan Kyai Muhaimin, umat Islam yang tinggal di
gereja selama mengungsi mendapatkan bimbingan rohani. Para pengungsi
ini pun merayakan Idul Adha mulai dari takbiran, sholat Idul Adha, dan
penyembelihan di lingkungan gereja. Hal tersebut tidak akan mungkin
terjadi jika tidak ada jalinan persaudaraan yang kuat terhadap tokoh-tokoh
agama kedua belah pihak. Pak Julius sendiri misalnya menyadari bahwa
membantu sesama manusia sangat penting dilakukan sebagai perwujudan
dari nilai-nilai kemanusian. Ia turut menyumbang dan membantu pada
saat warga mendirikan masjid dan menyantuni guru-guru TPA yang aktif di
masjid belakang rumahnya. Pak Julius membantu guru-guru ini bukan
untuk mempengaruhi keimanan mereka tetapi semata-mata persaudaraan
kemanusiaan tanpa mempengaruhi keimanan.
Berkomunkasi, bersinergi dan berkolaborasi adalah upaya inisiatif
damai yang sangat penting. FPUB dan Julius Felicianus adalah contoh
organisasi maupun individu yang melakukan komunikasi kultural dengan
tokoh agama lain dalam rangka memupuk persaudaraan. Pak Julius
menjalin hubungan harmonis dengan para kyai pesantren, dan tokoh-
tokoh agama lainnya. Begitu juga dengan FPUB yang terdiri dari berbagai
unsur, mereka saling menghargai satu sama lain dan menjalin komunikasi.
Beberapa kolaborasi yang terjadi antar anggota FPUB antara lain misalnya
SAGA (Santri Gadungan) mereka berperan dalam usaha keamanan pada
malam perayaan natalan. Training jurnalistik dan pembagian buku gratis
kepada pesantren juga dilakukan oleh Pak Julius kepada santri-santri di
pesantren. Kolaborasi mencerdaskan santri ini merupakan perwujudan dari
nilai-nilai kemanusian yang sudah sangat paripurna. Berkolaborasi
merupakan puncak toleransi paling tinggi karena tanpa saling percaya,
saling memahami, saling mengkomunikasikan tidak akan pernah ada
kerjasama.
Inisiatif damai tidak selalu mulus bahkan banyak tantangannya.
Ada empat kendala inisiatif damai. Kendala pertama adalah dalam ruang
lingkup teologis. Yakni kecenderungan memahami agama dengan
pemahaman keagamaan yang eksklusif dan kaku sehingga menutup ruang
dialog aktif konstruktif dalam memahami keberagaman yang ada. Kedua,
kendala ketegangan batin atau psikis. Yaitu masih adanya perasaan
khawatir terhadap pemeluk agama lain ketika melakukan interaksi, dialog,
atau kerjasama. Ketiga, adanya prasangka di kalangan pemeluk agama
terhadap gerakan dialog antar agama. Keempat, adanya kecurigaan bahwa
ada kepentingan atau agenda tersembunyi sebagai ajang pertarungan
kepentingan atas nama agama dalam melakukan dialog antar umat.8
Sekelas ketua FPUB pun masih mengalami pengucilan karena dianggap
Kyai yang aneh, bahkan ada yang mengkafirkan beliau karena Kyai ini
biasa berteman dan bekerjasama dengan umat beragam agama dan
keyakinan.
E. REKOMENDASI UNTUK PESANTREN MEMBANGUN INISIATIF
DAMAI
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam khas dan
asli Indonesia. Kehadirannya sejak jaman sebelum Indonesia merdeka
sudah turut mencerdaskan anak bangsa. Jumlah pesantren terus
bertambah dan terus berkembang, serta tidak pernah surut dan termakan
zaman yang menurut catatan resmi Kementerian Agama, saat ini terdapat
sekitar 13 ribu pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada era
modern ini, pesantren menjadi salah satu pilar yang sangat penting bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.9 Pesantren menjadi salah satu pilar
penting bagi bangsa ini sebab selain mencerdaskan secara intelektualitas,
8 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama” dalam JurnalPendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013, hlm. 60-61.
9 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2011, hlm. 41.
pesantren juga memiliki misi untuk mencerdaskan secara spiritualitas.
Tidak hanya menekankan kecerdasan akal, tetapi juga mencerdaskan
secara karakter.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang kuantitas dan kualitasnya
telah memberikan sumbangsih bagi perkembangan masyarakat Indonesia,
pesantren memiliki tugas yang besar dalam menjaga perdamaian. Misi
perdamaian ini sesungguhnya sejak awal munculnya pesantren telah
diterapkan oleh para Kyai, baik melalui kurikulum maupun tingkah laku
sehari-hari. Para santri yang tinggal bersama kyai selama 24 jam akan
mencontoh sikap Kyai yang menjunjung nilai-nilai damai. Maka sebenarnya
pesantren hanya perlu meningkatkan dan menjaga tradisi yang sudah ada
sejak berabad-abad lalu. Pesantren benar-benar memiliki tugas besar
untuk menanamkan dalam diri para santri untuk selalu menjaga
perdamaian.
Memperjuangkan perdamaian artinya memperjuangkan salah satu
tujuan Islam hadir. Sudah selayaknya kedamaian dan keindahan Islam
tidak hanya dinikmati oleh pemeluk Islam itu sendiri, namun juga dapat
dirasakan oleh para pemeluk agama selain Islam. Muslim yang baik adalah
muslim yang tidak melukai saudaranya melalui tangan maupun lisannya.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sudah seharusnya menebar
misi “rahmatan lil alamin”, menjadi rahmat bagi semua melalui gerakan
pendidikan, ekonomi, social dan budaya. Pesantren tidak hanya menebar
kemaslahatan untuk santrinya saja tetapi juga bagi masyarakat dan
pemeluk agama selain Islam.
Banyak nilai Islam yang menjunjung perdamaian diajarkan di
pesantren. Karakteristik Islam yang ditampilkan oleh para ulama
pemangku pesantren sebagaimana Nabi saw adalah penanaman dan
pengembangan nilai-nilai infitah (inklusif), tawassuth (moderat), musawah
(persamaan), dan tawazun (seimbang). Nilai keseimbangan tidak hanya
pada cara berfikir tetapi juga perilaku yang tercermin dalam pola hidup
yang sederhana. Selain itu juga menunjung tinggi Hak Asasi Manusia
(HAM) yang telah diajarkan melalui kuliyatul khoms.
Peran pesantren dalam pembudayaan nilai, norma, sekaligus
pesan-pesan keagamaan yang sarat dengan harmoni, kerukunan,
persatuan dan kedamaian sangat penting. Termasuk didalamnya
melestarikan budaya lokal dan memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial
yang harmonis disekelilingnya.10 Dalam pendidikan formal dan non formal
santri perlu dibangun kesadarannya tentang keragaman dan toleransi.
Selain itu, para santri perlu memiliki pengalaman bertemu secara langsung
dengan keragaman itu sendiri. Para santri diterjunkan ke lapangan
langsung untuk bisa berbaur dengan masyarakat yang multicultural. Hal ini
akan meningkatan pengetahuan, pemahaman dan kerja sama yang
melibatkan peserta dari semua golongan maupun agama. Hal ini akan
menimbulkan proses sosialisasi yang baik dan akan terbantuk santri yang
berkarakter inklusif.
Pondok pesantren secara istiqamah harus tetap mempertahankan
tradisi kedamaian, keseimbangan, dan keharmonisan lingkungan.
Pesantren secara doktrinal tetap mengembangkan prinsip ukhuwah
islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah dalam upaya
memperkokoh tatanan masyarakat di dalam pesantren, masyarakat sekitar
pesantren, masyarakat umum, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10 Nunu Ahmad an-Nahidil, “Pesantren dan Dinamika Pesan Damai” dalam Edukasi,Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol.4 No.3, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agamadan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006, hlm. 18.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad an-Nahidil, Nunu, “Pesantren dan Dinamika Pesan Damai” dalamEdukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol.4 No.3,Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, BadanLitbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2011.Fiadjoe, Albert, Alternative Dispute Resolution: Developing Word
Perspective, London: Covendish Publishing Limited, 2004.Machali, Imam, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama” dalam Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013.Solihin, M, dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2011.Suhadi, Silabus & Bahan Bacaan Matakuliah Filsafat Umum, Yogyakarta:
STAI Sunan Pandanaran, 2013.http://citizendaily.net/wahid-institue-diy-urutan-kedua-kasus-intoleransi-
sepanjang-2014/, Diakses pada 28 Oktober 2015. Pukul 21.30http://www.ekaristi.org/doa/dokumen.php?subaction=showfull&id=114010
4989&archive&start_from&ucat=1, Diakses 1 Desember 2015.http://regional.kompas.com/read/2014/05/30/0537391/Wartawan.Kompas
.TV.Turut.Jadi.Korban.Pemukulan.di.Rumah.Bos.Galang.Press,diakses pada tanggal 2 Desember 2015