dampak poligami terhadap

21
DAMPAK POLIGAMI TERHADAP PSIKOLOGI KELUARGA A. Pendahuluan Pembahasan poligami merupakan salah satu pembahasan yang tidak pernah kehilangan peminatnya. Terlebih, baru-baru ini di Indonesia dihebohkan oleh pelaksanaan poligami oleh salah seorang mubaligh kondang Tanah Air, Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Pro dan kontra terus mengalir dalam menanggapi praktek poligami Aa’ Gym, hingga akhirnya merembet ke pembahasan untuk mempertimbangkan kembali undang- undang no:10 tahun: 1983 tentang pelarangan praktek poligami. Ternyata, berdasarkan jajak pendapat, 60% suara mengusulkan untuk merevisi kembali undang- undang pelarangan tersebut. Ini membuktikan bahwa praktek poligami tidak mungkin dilarang secara total. Karena jika dilarang secara total akan memberikan dampak yang sangat negatif didalam masyarakat, selingkuh dan hubungan di luar nikah

Upload: korprikabserang

Post on 17-Sep-2015

19 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

dampak poligami

TRANSCRIPT

DAMPAK POLIGAMI TERHADAP

DAMPAK POLIGAMI TERHADAP PSIKOLOGI KELUARGA

A. Pendahuluan

Pembahasan poligami merupakan salah satu pembahasan yang tidak pernah kehilangan peminatnya. Terlebih, baru-baru ini di Indonesia dihebohkan oleh pelaksanaan poligami oleh salah seorang mubaligh kondang Tanah Air, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Pro dan kontra terus mengalir dalam menanggapi praktek poligami Aa Gym, hingga akhirnya merembet ke pembahasan untuk mempertimbangkan kembali undang-undang no:10 tahun: 1983 tentang pelarangan praktek poligami. Ternyata, berdasarkan jajak pendapat, 60% suara mengusulkan untuk merevisi kembali undang-undang pelarangan tersebut. Ini membuktikan bahwa praktek poligami tidak mungkin dilarang secara total. Karena jika dilarang secara total akan memberikan dampak yang sangat negatif didalam masyarakat, selingkuh dan hubungan di luar nikah (zina). Itu jika kita perpegangan terhadap poling yang ada.

Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang.

Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami, maka terlihat ada ketidakkonsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki

Dan jika kita kembali menelusuri sejarah, praktek diperbolehkannya poligami, bukanlah hukum baru yang dibawa oleh Islam. Akan tetapi, poligami sudah ada sebelum datangnya agama Islam. Islam datang dengan memberikan syarat-syarat dan batasan yang lebih jelas dalam pemraktekannya. Oleh karena itu, didalam fikih, hukum poligami bukanlah hukum Tasisi melainkan hukum Imdhai.B. Dasar Teologis Poligami

Dari sisi teori mayoritas, kaum muslimin sudah mengetahui tentang hukum poligami, paling tidak pernah mendengarnya. Dibolehkannya praktek poligami merupakan salah satu hukum yang telah disahkan oleh agama Islam. Hukum ini merupakan kejelasan fikih Islam (dzaruruyaatul-fiqh) yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hanya saja, dari sisi prakteknya, mayoritas kaum Hawa termasuk kaum muslimah sendiri- merasa gerah dan keberatan. Kita selalu berharap, mudah-mudahan kebencian terhadap praktek poligami tidak mengarah kepada kebencian terhadap hukum itu sendiri. Karena jika demikian, secara tidak langsung berarti kita telah membenci terhadap Penetap hukum poligami tersebut, Allah swt.

Tentu saja anti terhadap praktek poligami yang disebabkan oleh penyalahgunaan oknum -seperti yang telah terjadi pula pada kasus nikah mutah- tidak secara otomatis meniscayakan kebencian terhadap hukum Allah. Jelas bahwa problem yang ada bukan berasal dari Islam, akan tetapi berasal dari oknum yang mengaku telah melaksanakan ajaran Islam, jelas dengan salah dalam memahami atau mempraktekannya. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus yang ada, terkadang kita terpaksa harus memisahkan antara ajaran asli agama dan pelaku penganut ajaran tersebut. Sudah seharusnya kita bersikap dewasa dalam menghadapi sebuah permasalahan, agar kita tidak terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas dalam berpikir dan berprilaku (ifrath-tafrith). Islam mengajarkan pengikutnya untuk berpikir dan bertindak secara logis dan proporsional (wajar dan pada tempatnya).

Kita sebagai manusia pengesa Tuhan (monoteis) meyakini bahwa Allah swt adalah Dzat Yang Maha Esa lagi Bijaksana. Meng-Esa-kan Allah dalam segala hal, termasuk didalamnya meyakni bahwa hanya Allah-lah yang berhak menentukan hukum, inil-hukmu illa lillah. Dia Maha pencipta, dan Dia pulalah Yang Mengetahui segala apa yang dibutuhkan oleh hasil ciptaan-Nya. Dia pun Maha Bijak, dalam arti segala prilaku-Nya berdasarkan tujuan dan hikmah. Dia tidak pernah melakukan perbuatan yang sia-sia dan tanpa dasar. Karena Dia merupakan sumber segala kesempurnaan. Tiada satupun dari ciptaan-Nya yang luput dari pantauan-Nya. Berdasarkan sifat Maha Bijaksana dan Maha Sempurna-Nya, Dia telah menetapkan dalam al-Quran- sebuah hukum yaitu diperbolehkannya berpoligami. Tiada yang berhak merubah hukum ini melainkan Allah swt sendiri. Jika ada seseorang yang mengaku muslim ingin merubahnya berdasarkan bisikan ego-emosional ataupun ego-intelektual yang bersumber dari hawa nafsunya, niscaya ia telah mempersekutukan Allah swt dengan emosi dan perasaan inteleknya. Naudzubillah min dzalik

Dalam berbagai kitab ushul-fikih dijelaskan, Allah dalam menentukan sebuah hukum pada obyek-obyeknya berlandaskan pada landasan-landasan hukum yang dilihat dari sisi maslahat dan bahaya (mafsadah)-nya. Sebagai misal, sebuah obyek hukum akan diharamkan dikarenakan terdapat dampak negatif yang sangat kuat (mafsadah syadidah). Namun sebaliknya, akan diwajibkan karena terdapat kemaslahatan yang sangat kuat (maslahah syadidah)[5], dan seterusnya berkaitan dengan hukum-hukum yag lain (mubah, mustahab/sunah dan makruh). Di saat kita meyakini bahwa Allah swt tidak mungkin menetapkan suatu hukum melainkan terdapat hikmah dibaliknya, maka hukum poligami pun berlaku hal tersebut. Artinya, disana terdapat kemaslahatan dan hikmah dibalik poligami. Ringkasnya, jika seseorang benar-benar meyakini akan sifat Maha Sempurna dan Maha Bijaksananya Allah swt, niscaya tidak akan pernah terbesit kebencian dalam hatinya atas hukum yang telah ditetapkan Tuhan-Nya, baik secara terang-terangan yang diungkapkan melalui lisan dan prilaku, ataupun hanya dipendam dalam hati yang sewaktu-waktu siap dimuntahkan keluar.C. Hukum Poligami

Dalam Islam, hukum poligami adalah diperbolehkan, bukan diwajibkan. Artinya, boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Kalau melihat zahir ayat, penggunaan bentuk perintah fankihuu yang berarti maka nikahilah, berarti di situ Allah menggunakan kalimat perintah (amr). Dimana dalam kaidah ushul fikih dijelaskan, bentuk perintah menunjukkan wajib (shighatu filil-amr tadullu alal wujub), berarti ayat itu meniscayakan suatu kewajiban. Penentuan akan hukum wajib tersebut akan terjadi jika seseorang melihat ayat tersebut secara sepenggal-sepenggal saja, tanpa memperhatikan potongan ayat sebelumnya. Padahal jika diperhatikan potongan ayat sebelumnya berupa larangan menikahi perempuan yatim[8] dan karena takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, lantas tiba-tiba Allah swt memerintahkan untuk menikahi perempuan ke-dua, ke-tiga atau ke-empat, ini akan menjadi tanda tanya buat sebagian orang. Padahal jawabannya sudah jelas, berdasarkan kaidah ushul fikih pula, jika perintah datang setelah larangan menunjukkan boleh (Jaiz), bukan wajib atau haram.

Poin lain yang menarik dari ayat tadi, ayat itu langsung mengisyaratkan tentang poligami dengan mengatakan: Nikahilah, dua, tiga, dan empat, baru hanya satu istri saja jika terdapat rasa khawatir (takut) tidak dapat berlaku adil. Sekilas, seakan yang sangat dasar dalam hukum Islam adalah ber-poligami, bukan ber-monogamy. Hal itu dikarenakan satu istri (monogami) merupakan hak semua manusia, dan tentu semua dapat menerimanya, tidak ada seorangpun yang akan menggugatnya. Oleh karenanya praktek monogami tidak dijelaskan kembali dalam ayat al-Quran tersebut, karena sudah badihi [aksiomatis].D. Syarat-Syarat Poligami

Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:a. adanya persetujuan dari istri;b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).

Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan

Terdapat dua ayat dalam-Quran yang menjelaskan tentang poligami, dalam ayat 3 dan ayat 129 yang keduanya terdapat dalam surat an-Nisa. Dalam ayat ke-3 dijelaskan tentang syarat poligami dengan menyatakan: jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, hendaknya nikahilah seorang saja,. Jadi, berdasarkan ayat di atas, syarat poligami adalah; jika dapat berlaku adil. Dalam tafsir al-Mizan, Allamah Thabathai ra menjelaskan; Allah swt telah melarang orang untuk poligami di saat takut (baca: khawatir) tidak dapat berlaku adil, bukan atas dasar tahu (memiliki pengetahuan)[9]. Ini menunjukkan betapa sensitifnya keadilan tersebut. Namun ini tidak berarti hal itu (berlaku adil) bersifat mustahil. Sedang, dalam ayat ke-129, Allah swt menyatakan bahwa seorang suami tidak akan pernah dapat berlaku adil. Atau dengan bahasa lain, seorang lelaki mustahil dapat berlaku adil: Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Lantas, bukankah ini paradoks? Mungkinkah Allah swt menetapkan sesuatu akan tetapi sesuatu tersebut di luar batas kemampuan seluruh lelaki (taklif bimaa laa yuthoq)? Bukankah hal itu berarti Allah swt telah melakukan perbutan sia-sia dan tidak proposional (zalim) terhadap kaum lelaki? Tentu jawabannya sudah sangat jelas, Allah swt tidak mungkin melakukan hal tersebut. Lantas, keadilan yang bagaimana yang disyaratkan dalam praktek poligami, dan keadilan mana yang sama sekali diluar batas kemampuan manusia? Keadilan yang telah disyaratkan dalam poligami adalah keadilan yang bersifat lahiriyah, seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan lainnya yang bersifat primer maupun sekunder. Namun harus diingat bahwa keadilan bukan berarti harus sama.

Dalam banyak kasus hal itu terbukti kebenarannya. Karena tidak mungkin menyamakan fasilitas hidup istri yang memiliki tiga anak dengan istri yang hanya memiliki satu anak.

Adil adalah memberikan haknya sesuai dengan kelayakan penerimanya atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sementara keadilan yang mustahil dapat diberlakukan diantara para istri ialah keadilan yang bersifat batiniyah, yang berkaitan dengan urusan hati. Itu semua karena prilaku dan urusan hati tidak dapat dikontrol secara penuh (diluar sadar). Inilah yang dimaksudkan oleh ayat ke-129 tadi. Dalam sejarah dijelaskan, ketika imam Ali as memiliki dua istri, beliau tidak melakukan sesuatu di tempat istri yang bukan gilirannya, meskipun hanya untuk berwudlu.E. Analisa Dampak Poligami Bagi Keluarga

Terlepas dari status kita sebagai makhluk agamis, siapapun dan apapun agamanya, jika kita dihadapkan pertanyaan semacam diatas itu, lantas apakah jawaban kita; dapatkah poligami dilarang secara total? Apa dampak sosial dan moral jika poligami dihapuskan? Apakah selamanya istri muda selalu disebut sebagai perebut suami dan perusak rumahtangga orang? Apakah seorang wanita membutuhkan seorang lelaki (suami) hanya terbatas pada masalah pemenuhan kebutuhan biologis atau materi saja? Bukankah perempuan pada usia tertentu dapat mengalami monopouse sementara tidak ada istilah manupause pada lelaki, lantas siapakah yang akan memenuhi kebutuhan seorang lelaki ketika istri telah mengalami manupouse? Lantas apakah solusinya jika poligami dilarang?

Sebagian wanita mengatakan: Saya tidak dapat menerima poligami karena saya merasa cemburu, dan bukankah Tuhan sendiri yang telah memberikan rasa cemburu kepada saya?. Benar, Tuhan jualah yang telah menganugrahkan rasa cemburu. Hal itu karena rasa cemburu merupakan salah satu perwujudan rasa cinta, kasih dan sayang. Akan tetapi, rasa cemburu yang mana dan yang bagaimana? Apakah cemburu yang berlebihan yang membuat mata kita buta sehingga tidak dapat menerima hukum Tuhan -walaupun dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh-Nya sehingga kita menyangka bisa dijadikan sebagai tameng menentang hukum Tuhan- pun termasuk anugerah Tuhan? Hanya rasa cemburu yang sesuai dengan kadarnya (sesuai dengan ajaran akal sehat) saja yang anugerah Tuhan, bukan semua semua cemburu. Atas dasar itu imam Ali as pernah bersabda: Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedang kecumburuan seorang lelaki adalah keimanan[12]. Hanya cemburu yang wajar saja yang merupakan anugerah Ilahi. Hal itu sesuai hadis Imam Musa Kadzim as berkata :Sebaik-baiknya perkara ialah pertengahan.

Walau tanpa melakukan sensus secara ilmiyah, namun secara umum realitas yang ada, kebanyakan dari pasangan suami istri yang lebih dahulu meninggal adalah suami, bukan istri. Hal itu karena salah satu sebab adalah pekerjaan mereka (suami) lebih keras dan sulit dibanding perempuan, belum lagi dengan adanya peperangan yang lebih banyak melibatkan kaum lelaki. Selain itu, menurut medis, daya tahan tubuh perempuan lebih kuat dibanding laki-laki dalam menghadapi berbagai penyakit. Lantas bagaimana nasib para janda yang ditinggal oleh suaminya, serta serta anak-anak yatim yang diasuhnya? Mungkin dan boleh jadi kita akan mengatakan; Asuh saja anak yatimnya, urusan akan selesai!?. Sekali lagi, apakah kebutuhan seorang janda akan suami hanya terbatas pada memenuhi kebutuhan materi (baca: harta) saja sehingga akan selesai dengan mengasuh anaknya yang yatim? Jadi ungkapan seseorang yang mengatakan: Toch menolong bukan berarti harus menikahinya. Berikan saja bantuan dana untuk mencukupi kehidupannya, ini contoh dari ungkapan yang egois. Coba kita tanyakan kembali kepadanya; apakah kasih sayang seorang ayah dapat diganti dengan uang (harta)? Apakah anda perlu terhadap seorang suami karena masalah biologis dan materi saja? Jawabannya mari kita kembalikan kepada diri kita masing-masing.

Kita akan senang jika fungsi suami tidak hanya sekedar itu, akan tetapi suami berfungsi sekaligus sebagai teman hidup, tempat curhat (dard-e-del), pelindung dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita membutuhkan keberadaan akan suami hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja atau hanya untuk memenuhi kebutuhan materi saja, ataukah lebih dari sekedar itu?

Kita juga harus melihat, bagaimana nasib seorang gadis yang karena alasan tertentu tidak dapat cepat mendapat pasangan hidup, sementara ia tidak bisa mendapatkan yang sama-sama single (bujang). Padahal ia juga punya hak untuk memiliki pasangan dan teman hidup? Bukankah memiliki pasangan hidup merupakan hak setiap wanita? Namun karena berbagai alasan seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian wanita tidak sampai kepada haknya tersebut, melainkan dengan status bukan istri pertama. Coba kta dibayangkan jika perempuan itu adalah kita !? Jika kita tetap gelap mata dan besikeras untuk tetap menolak hukum dan pelaksanaan hukum Allah tersebut oleh pribadi-pribadi yang telah merasa mampu untuk berlaku adil, lantas masihkah kita marah jika disebut egois? Tidakkah kita layak disebut egois ketika kita ingin memiliki teman hidup, teman curhat, dan sekaligus pelindung, sementara wanita lain dilarang untuk mendapatkan hak-haknya tersebut, walau melalui cara poligami yang diperbolehkan Allah swt, Tuhan kita semua?

Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDSF. Penutup

Praktek poligami tidak mungkin dilarang. Berdasarkan hikmah Ilahi, pasti akan terdapat efek samping yang lebih bahaya dari sekedar pelarangan tersebut. Dengan ditiadakan poligami niscaya akan muncul problem sosial dan praktek mesum illegal.

Penyalahgunaan hukum, pada dasarnya yang salah bukan hukum itu sendiri, akan tetapi oknumnya. Islam dengan jelas telah membolehkan poligami, dengan syarat-syarat yang tertentu. Masalah syarat berlaku adil sangat ditekankan sekali bahkan syarat utama dalam ber-poligami. Syahid Ayatullah Muthahari ra menuliskan; terdapat sabda Rasul saww -yang telah disepakati oleh semua mazhab dimana beliau bersabda: Barang siapa yang memiliki dua istri sedangkan ia tidak berlaku adil diantara keduanya, maka di hari kiamat ia akan dibangkitkan dalam keadaan sebelah badannya terseret sampai masuk ke dalam api neraka. Sebaiknya, bahkan seharusnya, riwayat-riwayat semacam inipun harus dijadikan bahan renungan dan pertimbangan bagi para suami yang ingin dan berencana untuk berpoligami. Jangan sampai mereka hanya melihat satu sisi enaknya. Dan jangan sampai prilaku mereka dalam berpoligami menjadi penyebab tercorengnya Islam dan hukum Islam. Apalagi jika praktek poligami menyebabkan ia melupakan istri tua, tidak mengindahkan hak-hak istri muda, tidak berlaku adil di antara beberapa istri atau menyebabkan terputusnya hubungan silaturahmi antar sesama muslim. Jika itu terjadi maka celakalah lelaki yang berpoligami semacam ini. Celaka di dunia sebelum merasakan celaka di akherat kelak