dakwah dan spirit reformis islam: reformulasi dan

31
AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 1 Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan Reaktualisasi Islam di Era Masyarakat Pasca-Kebenaran Firdausi Nuzula Email: [email protected] Institut Agama Islam Nurul Hakim Nusa Tenggara Barat Abstrak Perkembangan teknologi dan new media telah memberi ruang bagi hadirnya agama di ruang publik termasuk Islam. Menyampaikan nilai agama (dakwah) tidak lagi di batasi oleh ruang dan komunitas tertentu saja. Melainkan, dakwah di era pasca- kebenaran menyediakan ruang tanpa batas untuk menyampaikan agama hingga pada level lintas keyakinan. Fenomena baru yang lahir dari masyarakat pasca-kebenaran dalam arti positifnya adalah hadirnya identitas Islam di ruang publik, dan memperkuat posisi Islam sebagai agama yang reformatif dan berkelindan dengan realitas zaman. Fenomena tersebut juga memberi angin segar untuk mengulas kembali upaya tajdid atau pembaharuan dalam Islam untuk melihat kembali bagaimana hubungan relasional antara Islam dan instrumen modernitas. Proyek tajdid dalam Islam ingin mengembalikan Islam ke tampuk peradaban sebagaimana yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah Islam. Intinya, Islam merupakan agama paripurna, terbuka dengan kemajuan dan pembaharuan dan terjalin dinamisasi antara dogma dan kebutuhan zaman. Kata Kunci: Dakwah, Post-truth dan Tajdid. Pendahuluan Dalam kontek historis, Islam lahir pada sebuah peradaban yang telah mapan 1 sekaligus menjadi agama penyempurna dari agama samawi pendahulu yaitu Yahudi dan Nasrani. Kesempurnaan Islam tidak lain disebabkan karena mengandung 1 Pada abad ke-6 dan ke-7 Islam, Dataran Arabia yang menjadi tempat kelahiran Islam diapit oleh dua kekuatan utama yaitu kekaisaran Bizantium yang merepresentasikan kekuatan Kristen yang kuat dan tegas tetapi secara internal menghadapi dua masalah utama yaitu posisi Kristen sebagai agama negara yang menyebabkan terjadinya perselisihan teologis yang tidak stabil. Sementara kekaisaran Persia yang membentang luas mencakup aliran sungai Eufrat dan Tigris hingga ke Iran dan wilayah Timur yang mewakili agama dan sistem kepercayaan paganisme. Dua kekaisaran ini selama berabad-abad berkonfrontasi untuk memperluas cengkraman wilayah politiknya. Namun di satu sisi, konflik Bizantium-Persia membuat iklim perdaganagan karavan yang datang dari Asia Timur melalui jalur pedagang mengembangkan rute alternatif yang menguntungkan Arabia sebagai penghubung komersial dan menjadi salah satu ritus tradisional masyarakat Arab politeistik. Lihat.Peter. R. Demant, Islam Vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World, (United Satate: Preager Publisher, 2006), h.3- 4.

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 1

Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

Reaktualisasi Islam di Era Masyarakat Pasca-Kebenaran

Firdausi Nuzula

Email: [email protected]

Institut Agama Islam Nurul Hakim Nusa Tenggara Barat

Abstrak

Perkembangan teknologi dan new media telah memberi ruang bagi hadirnya agama di

ruang publik termasuk Islam. Menyampaikan nilai agama (dakwah) tidak lagi di

batasi oleh ruang dan komunitas tertentu saja. Melainkan, dakwah di era pasca-

kebenaran menyediakan ruang tanpa batas untuk menyampaikan agama hingga pada

level lintas keyakinan. Fenomena baru yang lahir dari masyarakat pasca-kebenaran

dalam arti positifnya adalah hadirnya identitas Islam di ruang publik, dan

memperkuat posisi Islam sebagai agama yang reformatif dan berkelindan dengan

realitas zaman. Fenomena tersebut juga memberi angin segar untuk mengulas

kembali upaya tajdid atau pembaharuan dalam Islam untuk melihat kembali

bagaimana hubungan relasional antara Islam dan instrumen modernitas. Proyek tajdid

dalam Islam ingin mengembalikan Islam ke tampuk peradaban sebagaimana yang

pernah tercatat dalam lembaran sejarah Islam. Intinya, Islam merupakan agama

paripurna, terbuka dengan kemajuan dan pembaharuan dan terjalin dinamisasi antara

dogma dan kebutuhan zaman.

Kata Kunci: Dakwah, Post-truth dan Tajdid.

Pendahuluan

Dalam kontek historis, Islam lahir pada sebuah peradaban yang telah mapan1

sekaligus menjadi agama penyempurna dari agama samawi pendahulu yaitu Yahudi

dan Nasrani. Kesempurnaan Islam tidak lain disebabkan karena mengandung

1 Pada abad ke-6 dan ke-7 Islam, Dataran Arabia yang menjadi tempat kelahiran Islam diapit

oleh dua kekuatan utama yaitu kekaisaran Bizantium yang merepresentasikan kekuatan Kristen yang

kuat dan tegas tetapi secara internal menghadapi dua masalah utama yaitu posisi Kristen sebagai

agama negara yang menyebabkan terjadinya perselisihan teologis yang tidak stabil. Sementara

kekaisaran Persia yang membentang luas mencakup aliran sungai Eufrat dan Tigris hingga ke Iran dan

wilayah Timur yang mewakili agama dan sistem kepercayaan paganisme. Dua kekaisaran ini selama

berabad-abad berkonfrontasi untuk memperluas cengkraman wilayah politiknya. Namun di satu sisi,

konflik Bizantium-Persia membuat iklim perdaganagan karavan yang datang dari Asia Timur melalui

jalur pedagang mengembangkan rute alternatif yang menguntungkan Arabia sebagai penghubung

komersial dan menjadi salah satu ritus tradisional masyarakat Arab politeistik. Lihat.Peter. R. Demant,

Islam Vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World, (United Satate: Preager Publisher, 2006), h.3-

4.

Page 2: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 2

seperangkat aturan tentang bagaimana hubungan antara hamba dengan Tuhan

(tauhid) dan berisi aturan sosial yang harus dijalankan. Lebih jauh, Islam tidak lagi

membatasi diri dalam pengertian agama yang mencakup aturan dan peraturan

transenden dan aturan sosial dan lingkupnya, melainkan Islam merepresentasikan diri

sebagai sebuah peradaban yang besar dan mendasari semangat hadirnya peradaban

modern. Representasi Islam dalam kancah peradaban dunia, dapat dibuktikan dengan

proses akulturasi sosial dan pembentukan institusi di wilayah Timur Tengah, Eropa

dan Asia yang diorganisir dalam pola-pola konsep Islam di mana kalangan elit

keagamaan Muslim dari kalangan ilmuan dan ulama membentuk institusi pendidikan

Islam dan hukum-hukum.2

Akulturasi budaya Islam ke dalam institusi sosial masyarakat terdiri dari

struktur sosial multi-kultural dan multi-religius, membentuk masyarakat yang hidup

dalam pluralitas. Islam menyerap budaya dan peradaban lain dan kemudian

memodifikasi dan berinovasi dengan ide-ide baru yang menjadi salah satu ciri dari

bangunan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan pada Islam berada

pada puncaknya dengan hadirnya gerakan penerjemahan yang dimulai secara

perlahan di masa kekhalifahan Al-Mahdi (775-786 M) dan Harun Al-Rasyid (786-

809 M) di mana manuskrip-manuskrip kuno dari Yunani, Persia, India dan China

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.3

Menurut Muzaffar Iqbal, embriologis dari ilmu pengetahuan pada Islam itu

terlihat bahkan sejak zaman Nabi Muhammad Saw di Madinah. Kehidupan Nabi dan

pengikutnya selalu berhubungan erat dengan kesehatan, penyakit, kebersihan dan cara

pengobatannya yang disusun dan disistematisasi oleh generasi Muslim masa

selanjutnya. Literatur ini kemudian memberikan landasan bagi cabang ilmu

kedokteran dalam Islam yang dikenal dengan Al-Tibb Al-Nabwi atau pengobatan

profetik. Banyak referensi kemudian disimpan dan menjadi catatan awal tentang

bagaimana cabang kedokteran ini muncul tetapi juga menjadi diskusi teoretis yang

2 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2000), h.373. 3 Ehsan Masood, A History Science and Islam, (United Kingdom: Icon Books, 2009), h.44.

Page 3: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 3

berkaitan dengan keseharan dan kedokteran Islam.4 Bangunan Islam dalam formulasi

peradaban dapat digambarkan melalui pandangan Al-Qur’an tentang alam dan

hubungannya dengan Tuhan dan kemanusiaan yang bertumpu pada manifestasi sifat-

sifat ketuhanan yaitu perintah Tuhan, adanya qadr dan mizan yang terkait dengan

dunia material. Ketiga konsep ini tidak hanya penting bagi ajaran Islam, tetapi juga

penting untuk memahami pertautan antara Islam dan sains.

Abad kesembilan hingga ketigabelas menandai era perkembangan ilmiah,

agama dan filsafat serta budaya yang skala perkembangannya belum pernah terlihat

dalam sejarah dunia sebelum dan sesudahnya. Meskipun lahir di dataran tandus Arab,

peradaban Islam mencerminkan budaya, agama dan tradisi intelektual yang beragam

dari dataran Spanyol hingga India.5 Dan hasil konkret dari pencapaian peradaban

Islam adalah lahirnya era yang tidak hanya berfungsi sebagai jembatan antara

pengetahuan kuno dan kebangkitan Eropa (renaisans) tetapi telah meletakkan dasar

bagi dunia ilmiah modern.

Islam sebagai agama yang lahir di Mekah yang konsep dasarnya menekankan

pada kesatuan transendental secara tegas memberikan identitas peradaban yang

dibangunnya. Islam memainkan peran penting bagi kemajuan komunitasnya di mana

Islam telah berhasil mengaktifkan semua faktor perkembangan ke arah yang positif,

Islam memberi kekuatan kepada aspek humanitas, yang merupakan kekuatan utama

di balik tegaknya sebuah peradaban di masyarakat. Islam memberi aturan bagi

pemeluknya agar menjadi lebih berkualitas, dan melakukan reformasi secara

menyeluruh dalam sistem sosialnya. Dengan kata lain, Islam berupaya untuk

mengangkat martabat manusia secara moral dan material, menyeimbangkan aspek

material dan spiritual.6Tidak hanya itu, Islam juga memberikan kesakralan makna

hidup, kehormatan idividu dan harta benda, memberi dorongan bagi pengetahuan

sains, dan Islam memberi posisi yang terhormat dan memerintahkan untuk saling

menghormati dan menghargai.

4 Muzaffar Iqbal, Science and Islam, (London: Greeenwood Press, 2007), h.9. 5 Firas Al-Khateeb, Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilization From The Past,

(United Kingdom: C. Hurst, 2014), h.54. 6 Umma Farida, Umer Chapra Contribution in Building Muslim Civilization, Journal ADDIN,

Vol 11, No.2, (2017), h. 272.

Page 4: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 4

Menurut Tijani, ada enam faktor kebangkitan peradaban Islam7; pertama,

kekuatan spiritual (spiritual powers), berupa dorongan kuat yang diberikan oleh

kaum Muslim dalam mengeksplorasi aspek kehidupan melalui ijtihad dan melakukan

pengamatan pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dengan tujuan menyebarkan

firman Tuhan. Kedua, kemampuan umat Islam dalam mentransformasikan ide dan

konsep Al-Qur’an dalam perilaku. Al-Qur’an merupakan sumber etika dan moralitas

dan sumber kebangkitan peradaban Islam, dibarengi kemampuan komunitas Muslim

dalam mengubah pesan teoretis Al-Qur’an menjadi pesan praktis. Ketiga, Kebebasan

intelektual (intelectual freedom) yaitu membebaskan akal dari mitos dan berupaya

mencari klaim wahyu dalam memahami fenomena alam. Kelima, kebebasan politik,

di mana umat Islam menyadari aspek ketidakadilan, despotisme dan tirani yang

menjadi keruntuhan suatu bangsa. Maka, umat Islam berusaha menjaga rasa keadilan,

saling musyawarah, kebebasan berbicara dan berekspresi menurut norma syariah

yang selalu dijunjung tinggi bersama. Keenam, Semangat dalam mencari ilmu

pengetahuan, dalam Islam, Al-Qur’an secara tegas memberikan sebuah konsep bahwa

manusia diberikan seperangkat akal yang dapat membantu untuk mencapai

kesimpulan logis.

Selain itu, keberhasilan Islam dalam membangun eksistensi peradabannya

tidak lepas dari bagaimana dakwah sebagai alat untuk membentuk karakter pribadi

yang menjadi unit terkecil dari sebuah struktur sosial. Dakwah secara sederhana

bermakna seruan menjadi dorongan (impulsi) untuk mendorong kesadaran spiritual,

emosional dan intelektual secara keseluruhan. Keberhasilan umat Islam dalam

membangun tatanan sosialnya menghadirkan para ulama yang mewakili ilmuan,

filsuf dan fuqaha sekaligus. Seorang ulama, melekat pada dirinya pakar sains, ahli

filsafat dan ekspert dalam persoalan agama.

Pada abad ke-sembilan belas peradaban Islam berhenti dengan adanya

intervensi bangsa Eropa dengan membawa modernisasi yang dipandang sebagai

proses perubahan universal yang merusak keseimbangan institusi yang telah

7 Tijani Ahmad Ashimi, “Islamic Civilization: Factors Behind Its Glory and Decline”,

International Journal of Business Economics, Vol 9, (2016). Bisa diakses melalui: http://ijbel.com/wp-

content/uploads/2016/06/KLiISC.

Page 5: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 5

membentuk sistem masyarakat Muslim di seluruh penjuru dunia.8Selanjutnya

intervensi Eropa tersebut mengubah keseluruhan sistem institusi umat Islam dan

memaksa untuk menerima sistem baru berupa konsep negara-bangsa. Islam yang

sebelumnya merepresentasikan suatu imperium yang utuh dan bertahan selama lebih

dari seribu tahun, runtuh akibat dari kolonialisme Eropa9, Islam selanjutnya

mengalami stagnasi bahkan mundur disebabkan melemahnya kekuatan politik dan

pecahnya umat Islam secara internal serta hilangnya formulasi pemikiran untuk

membangun peradaban. Struktur sosial dan ekonomi di dunia Islam menghadapi

tantangan yang semakin berat, terjadi ketegangan dan perubahan dalam struktur yang

berakibat pada semakin surutnya dan tersingkirkan Islam di tengah didominasi

peradaban Barat.10

Imperialisme Barat terhadap Islam dan segala agenda sosial dan politik yang

dibawanya, melahirkan berbagai reaksi dari umat Islam terutama dalam upaya untuk

membangun kembali identitas umat Islam. Reaksi umat Islam dalam melihat produk

Barat berupa modernisme dapat dipetakan menjadi tiga aliran pemikiran, pertama;

Islam tradisonalis yang cenderung meyakini bahwa pengetahuan melalui teks adalah

paripurna sehingga modernitas tidak memiliki makna pentingnya ketika berhadapan

dengan konsep paripurna yang tidak mungkin dilampaui.11 Sebab kehidupan umat

Islam sejak awal terbingkai dalam kehadiran teks suci dan berkesinambungan. Bagi

Islam tradisional, semua pengetahuan berhubungan erat dengan prinsip-prinsip

wahyu. Prinsip ini menegaskan otoritas, bahwa kebenaran tidak terdapat di dunia,

8 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial...., h. 3-10. 9 Karena terdesak oleh kebutuhan industri, negara-negara Eropa pasca Perang Dunia pertama

berupaya untuk mencari sumber daya baru untuk memenuhi kebutuhan perang. Wilayah Timur Tengah

secara dominan dikuasai oleh kekaisaran Utsmaniyah pada hingga akhir abad kedelapan belas dan

awal abad kesembilan belas, kekuatan Utsmaniyah mulai melemah disebabkan perpecahan intern

keluarga kerajaan. Utsmaniyah merupakan cerminan dari kekuasaan Islam yang bertahan selama

beberapa abad. Timur Tengah menarik perhatian diplomat dan politisi Barat dan menjadi arena

persaingan great game bagi kekuatan Eropa dan Islam, hingga akhirnya pada tahun 1924 kekaisaan

Utsmaniyah runtuh dan imperialisme Barat mengubah struktur sosial sekaligus sejak saat itu Islam

mengalami pengunduran. Lihat. David Fromkin, The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of

the Modern Middle East, (New York: Henry Hold and Company, 2001), h.24-25. 10 Muhammad Rusydy, Modernitas dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban Islam, Tajdid,

Vol.17, No.1. (2018), h.91. 11 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Penterj. Khoiran Nahdiyyin

(Yogyakarta: LkiS, 2012), h.xIii.

Page 6: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 6

manusia atau alam, tetapi ada dalam teks, pemahaman terhadap realitas harus sejalan

dengan teks dan pandangan ini anti kritik yang menekankan pemikiran dogmatis.

12Kedua, Islam reformatif yang berangkat dari tidak adanya pengetahuan di masa

lampau yang memungkinkan diganti dengan mengambil sesuatu untuk pemikiran dan

pengetahuan tertentu terutama yang dibawa oleh modernitas. Islam reformatif melihat

bahwa Islam dalam pemikiran selalu mengikuti perubahan zaman sehingga cara

untuk mengembalikan identitas Islam yaitu dengan berupaya mengambil yang baik

dari produk modern dan memformulasikannya ke dalam norma-norma Islam.13

Ketiga, Islam sekular yang beranggapan bahwa pengetahuan dan spiritual mustinya

dipisahkan, sebab otoritas atau teks menjadi salah satu penghambat laju sebuah

peradaban, sehingga dalam pandangan sekular, pengetahuan dan dogma agama

adalah dua entitas yang terpisah. Dengan kata lain, untuk kemajuan, umat Islam harus

meminjam peradaban Barat secara keseluruhan.14

Bagi penulis, fenomena modernitas sebagai produk dari Barat sebenarnya

memberi peluang bagi Islam untuk mencari posisinya dalam peradaban. Dalam

beberapa tahun belakangan, Islam mulai meranjak kembali sebagai sebuah identitas

di ruang publik (public sphare), sebuah potret Islamis di ruang-ruang terbuka sebagai

suatu strategi dalam menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah dominasi modernitas.

Islam tampaknya makin berkembang, ia tidak lagi sebatas pada ruang-ruang atau

komunitas kecil, melainkan telah melampaui batas-batas wilayah dan spiritual

sebagai wadah dakwah. Terlebih, dengan hadirnya era pasca-kebenaran (post-truth)

yang ditandai dengan hadirnya media baru yang membuka peluang tanpa batas bagi

instrumen ulama dalam menyampaikan pesan dakwahnya melalui media baru.

Oleh sebab itu, tulisan ini menganalisis bagaimana upaya pemikiran alternatif

Islam dalam menyikapi menemukan formulasi peradabannya? Serta bagaimana Islam

berupaya membangun kembali identitasnya di tengah arus modernitas? Dan

12 Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka,

1994), h. 131. 13 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran....., h.xIv. 14 Muhammedi, Pemikiran Sosial dan Keagamaan Nurcholish Madjid, Jurnal Tarbiyah,

Vol.24, No.2, (2017). h,358.

Page 7: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 7

bagaimana trend dakwah virtual Islam membangun kesadaran spiritual dan

pengetahuan di era masyarakat pasca kebenaran (post-truth)?.

Kerangka Konseptual

Reformis Islam dan Dasar Pemikirannya

Dalam merespon modernitas, sebagian kalangan Muslim menekankan tradisi

dan interpretasi tekstual Islam sebagai platform ideologisnya di mana mereka

menekankan ketaatan pada teks-teks dasar Al-Qur’an, namun pada gilirannya

digunakan sebagai alat untuk membenarkan agenda politik. Bahkan, kalangan radikal

memanfaatkan teks atau dalil agama untuk melegitimasi seruan dalam melakukan

sebuah kekerasan.15 Sayid Qutb, masih menjadi ideolog Islam paling berpengaruh

yang melakukan pendekatan terhadap tradisi Islam dengan mengambil bentuk

reifikasi Islam sebagai tiruan yang tepat dari ajaran dan praktik komunitas Muslim

awal. Qutb meyakini bahwa penyebab ketidakstabilan politik dan dekandensi moral

yang dirasakan umat Islam disebabkan pada rendahnya internalisasi nilai-nilai Islam

pada umat Islam sekaligus rendahnya kesadaran untuk menjaga persatuan umat.

Oleh sebab itu, salah satu wacana sentral yang digaungkan oleh para ulama

dalam diskursus Islam dan modernitas yaitu berupaya untuk mengartikulasikan

kembali makna reformasi (islah) sebuah konsep untuk memahami kembali peran

umat Islam dalam kehidupan publik. Secara semantis, islah beresonansi dengan nilai-

nilai positif yang memiliki konotasi perdamaian dan rekonsiliasi (sulh), apa yang

benar dan pantas atau berbudi luhur (salih). Bahkan, nash Al-Qur’an menyelaraskan

islah erat dengan misi misi Nabi di mana para Nabi diutus untuk

mengimplementasikan islah atas nama Tuhan.16 Aspek relasional antara islah dan

tajdid ingin menghadirkan dialektika-humanis antara agama dan realitas zaman dan

menentang status quo agama, budaya dan intelektual. Disamping itu, diskursus islah

dan tajdid dalam sejarah Islam lahir dari konsensus yang berkembang dan upaya

15 Nelly Lahoud, Political Thought in Islam: A Study in Intellectual Bounderies, (New York:

ReutledgeCurzon, 2005), h.13. 16 Branon D. Ingram, Revival from Below: The Deoband Movement and Global Islam,

(California: University of California Press, 2018), h.17-18.

Page 8: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 8

menetapkan batas-batas ortodoksi. Pada saat yang sama, diakui bahwa pemikiran

Islam abad kedua puluh tidak lagi dihasilkan secara internal, tetapi secara substansial

dipengaruhi oleh, atau terdiri dari reaksi terhadap tantangan eksternal dari gagasan

dan doktrin Barat dan non-Barat.17

Menurut Abdullah Saed, pembaharuan atau revivalisme (tajdid) selalu

menjadi bagian dari tradisi Islam.18 Proses pembaharuan Islam melalui ide persatuan

yang erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai yaitu menentang atau

mendobrak imperialisme Barat. Islam akan tetap mengalami kemunduran apabila rasa

persatuan dalam umat Islam runtuh. Selain itu, umat Islam saat ini berada dalam

kemunduran di segala bidang disebabkan kejumudan atau tidak menghendaki adanya

perubahan.19 Sehingga pembaharuan (tajdid) diperlukan untuk mengimplementasikan

ajaran Islam sesuai dengan tantangan dan perkembangan kehidupan dan

mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan seperti yang pernah digapai

oleh umat Islam pada abad pertengahan.20

Pemikiran pembaharu dalam Islam berupaya mendamaikan nilai-nilai modern

seperti konstitualisme, penyelidikan ilmiah, metode pendidikan modern, hak-hak

perempuan, kebangkitan budaya dengan nilai-nilai Islam. Sehingga, fenomena

kebangkitan kembali Islam bertujuan untuk memperkuat hubungan antara

pembaharuan (tajdid) dengan berpedoman kepada kitab suci. Alasan dasar dari

pembaharuan Islam tidak lain disebabkan karena modernitas Barat yang menekan

nilai-nilai Islam, berkembangnya nasionalisme dan ideologi sekular selama pasca-

kolonial serta pergumulan antara gerakan Islam dan pemerintah di berbagai negara

Muslim.21

Ada beberapa alasan, pembaharuan (tajdid) dalam Islam perlu dilakukan

disebabkan beberapa alasan: Pertama, keterbukaan ijtihad dengan memadukan unsur

17 Mohammad Hasyim Kamali, Tajdid, Islam and Islamisational Renewal in Islam, ICR,

Vol.5, No.1, (2014), h.393. bisa diakses melalui: https://icrjournal.org/index.php/icr/article. 18 Abdullah Saeed, Islamic Thought; An Introduction, (New York: Routledge, 2006), h.129. 19 Syamsul Bahri, Oktariadi, Konsep Pembaharuan dalam Perspektif Pemikiran Muhammad

Abduh, Al-Murshalah, Vol2, (2016). h.35-36. 20 Akhirudin, Dakwah dan Pembaharuan Pemahaman Islam, Kordinat, Vol.XVII, No.2, 2018.

h.401. 21 Muhammad Hasyim Kamali, Tajdid, Islah....,h.500.

Page 9: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 9

skriptural (teks suci) dan rasionalitas secara bersamaan. Kedua, Islamisasi

pengetahuan (islamiyat al-ma’rifat) yaitu sebuah gerakan reformasi epistemologis

yang berupaya untuk mengatasi krisis peradaban melalui inovasi dan reformasi

metodologis. Artinya reformasi metodologi dalam wacana kelompok ini bersumber

pada bacaan kitab suci yang dipadukan dengan pembacaan realitas ekstensial dengan

tetap mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Ketiga, pembaharuan versus globalisasi

(tajdid cum globalization) dengan memberikan pemahaman lebih luas yang tidak

terikat pada suatu metodologi atau kerangka kerja tertentu, tetapi berupaya untuk

mengatasi tantangan modernitas. Keempat, gerakan pembaharuan ini berorientasi

pada pada upaya untuk mengatasi masalah-masalah baru melalui ijtihad di mana

gerakan pembaharu ini mengkaitkan posisi tajdid berdasarkan preseden yang tidak

hanya dipahami hanya berdasarkan pada teks dan kitab suci, tetapi juga madzhab dan

para ulama di masa lalu yang lebih condong kepada taklid tapi kelompok ini secara

terbatas masih terbuka.22

Sementara Hasan Hanafi berupaya untuk melakukan rekonstruksi dengan

mendorong terlaksananya revolusi kultural untuk melawan kolonialisme dan

keterbelakangan, berjuang untuk mewujudkan kebebasan, keadilan sosial dan

menyatukan dunia Islam. Menurutnya, khazanah peradaban Islam harus didasarkan

pada wahyu ilahiyah seperti digambarkan dalam Al-Qur’an. Dari sini, umat Islam

harus berupaya untuk menginterpretasi muatan nash Al-Qur’an dengan

mempertimbangkan perbedaan sosio-kultural zaman. Melalui konsep tradisi dan

pembaharuan (turats wal hadatsah) di mana dalam masyarakat Islam, tradisi

mempunyai peranan penting dan menjadi sumber inspirasi dan sistem nilai. Dengan

demikian, umat Islam mustinya menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang

untuk bisa dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masa kini.23

Upaya pembaharuan umat Islam mengingat kegagalan Barat untuk

mewujudkan pencerahan bagi umat manusia serta goyahnya usaha Islam berbasis

gerakan dalam proses mencapai tujuannya. Refleksi atas visi Islam secara

22 Ibid, h.502-503. 23 Din Wahid, Kiri Islam: Studi atas Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam Hassan Hanafi,

Refleksi, Vol.II. No.2, (2000). h.41-43.

Page 10: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 10

keseluruhan mengarah pada sebuah kesimpulan yaitu visi itu sendiri adalah hal yang

paling sulit untuk ditemukan secara ideal, dan konsekuensinya di sinilah reformasi

Islam perlu dilakukan.24 Dengan demikian, penting bagi umat Islam untuk

merumuskan proyeksi Islam yang terintegrasi dalam menghadapi krisis peradaban

dengan memfokuskan pada reformasi pemikiran dan berupaya melakukan kristalisasi

pengetahuan Islam. Sehingga, projek ini bisa dijadikan sebagai mata rantai upaya

reformasi dan meminimalisir kesenjangan antara Barat dan Islam. Akibatnya, umat

Islam harus memperbaharui pemikirannya dan membentuk struktur pemikiran dengan

konseptualisasi Islam tentang kehidupan dan manusia.

Upaya Pembaharu Islam: Diskursus dalam Wacana Modernitas

Selama tiga dekade terakhir, perkembangan sosial dan politik dalam literatur

Barat terhadap Islam didominasi dua tema utama yaitu radikalisme Islam dan

ketidakmampuan Islam bersinergi dengan modernitas dan demokratsasi. Kekurangan

negara-negara Islam ini dikaitkan dengan kekhasan Islam terutama fusi agama dan

politiknya yang dianggap tidak memberi ruang bagi rasionalitas. Kecenderungan

penilaian Barat terhadap Islam tersebut terutama berasal dari dua faktor yaitu

pengaruh orientalisme yang terus-menerus dan meluas serta gagasan berlebihan

tentang ancaman Islam terhadap peradaban Barat. Akibatnya, para sarjana Barat lebih

memperhatikan wacana radikalisme Islam daripada proses moderasi dan reformasi

pemikiran dalam Islam. Parahnya, akibat dari sikap ini adalah kemiskinan kerangka

konseptual dan teoretis dalam diskursus studi Islam dan masyarakat Muslim dan

hubungannya dengan Barat.25

Meskipun demikian, terlepas perbedaan antara Neo-orientalis dan Muslim,

baik reformis, tradisionalis dan radikal menyepakati satu hal bahwa dunia Islam

mengalami penurunan hampir selama tiga abad dan saat ini mengalami stagnasi.

Dalam konteks ini, isu sentralnya adalah modernitas dan perannya terhadap

24 Taha Jabir Al-Alwani, “Major Features of the Reform of Islamic Thought and the

Islamization of Knowledge”, International Institut of Islamic Thought di akses melalui:

https://www.jstor.org/stable/pdf/j.ctvkc67q1.10.pdf. 25 Shireen T. Hunter (Editor), Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and Modernity,

(New York: M.E Sharpe, 2008), h.132.

Page 11: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 11

kebangkitan Barat dan bagaimana umat Islam menanggapinya. Dinamika dan respon

terhadap modernitas inilah yang membangkitkan gagasan pembaharu Islam yang

digagas oleh pemikir Muslim untuk menemukan formulasi tepat dalam upaya untuk

menandingi kemajuan Barat dengan berusaha memulihkan jiwa rasionalis Islam

melalui ijtihad, penafsiran independen atas sumber-sumber kitab suci dan hukum

Islam. Para reformis Islam mulai membentuk gerakan dan organisasi untuk

menyebarkan ide dan mempromosikan reformasi untuk mencari dan merekonstruksi

identitas umat Islam.26

Tajdid atau modernisme Islam dipahami sebagai upaya untuk menyelaraskan

paham-paham keagamaan Islam dengan dinamika dan perkembangan baru yang

ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Upaya tajdid

dalam Islam yaitu usaha untuk menyesuaikan penafsiran, penjabaran dan cara-cara

pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang

sedang dan akan dihadapi. Dengan demikian, pembaharuan dalam Islam merupakan

suatu tuntutan untuk menghentikan proses degenerasi umat Islam dalam semua segi

kehidupan dan untuk menutup dan mempersempit kesenjangan antara Islam

konseptual dan Islam dalam tatanan praktis.27 Para reformis percaya bahwa dunia

Islam membutuhkan zaman pencerahan (al-Islam al-Munawwar) yang dimaknai

sebagai gairah untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan saintifik

dengan metodologi ilmu pengetahuan modern dan berupaya untuk membatasi ruang

gerak ortodoksi Islam di mana selama delapan abad menjadi penyebab terhalangnya

keterbukaan pikiran umat Islam tentang relasi Islam dan segala atribut modernitas.

Dalam pandangan Jamaluddin Al-Afghani, Islam mencakup seperangkat nilai

ideal bagi kehidupan, didalamnya terbangun norma toleransi dan semangat ilmiah dan

menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan yang menjadi karakter dari modernitas. Jadi,

kemunduran umat Islam bukan disebabkan ketidaksesuaian Islam dan perkembangan

zaman dan perubahan kondisi, melainkan dipengaruhi oleh taqlid, sikap fatalis dan

melupakan ilmu pengetahuan. Islam pada dasarnya membuka peluang bagi perubahan

26 Ibid, 132-133. 27 Supriadi, Konsep Pebaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad Abduh,

Kordinat, Vol.XV, No.1, (2016), h. 32-33.

Page 12: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 12

dan transformasi pemikiran, Islam menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis,

bukan fatalis, berpegang teguh pada akhlak tinggi serta mencintai ilmu

pengetahuan.28

Kesuksesan umat Islam dalam satu milinium terakhir dapat dilihat dari

beberapa aspek; Pertama, historis-Islam sebagai sebuah gambaran ideal Islam yang

mewakili zaman Nabi dan Khulafa’ Rasyidun yang telah sukes membangun ummah

dan memperluas teritorial kekuasaan. Kedua, perkembangan gagasan atau pemikiran

melalui filsafat Islam, dimensi tekstual dalam Islam koheren dengan ilmu

pengetahuan. Sehingga perkembangan pengetahuan modern dapat sejalan dan

beriringan dengan teks Al-Qur’an. Ketiga, Membuka kembali pintu tafsir hukum dan

doktrin (ijtihad) dikombinasikan dengan dalil-dalil pada Al-Qur’an.29 Selain itu,

Afghani juga memberi perhatian besar terhadap persatuan (unity) yang sebagian besar

lahir dari kelemahan negara-negara Muslim berhadapan dengan Barat termasuk

melakukan propaganda politik yang menarik elemen sosial untuk melakukan

perubahan secara radikal.

Agak berbeda dengan Afghani, Muhammad Iqbal mencoba memadukan

filsafat dan pemikiran Muslim modern untuk memahami dampak modernitas

terhadap Islam, Iqbal menyadari sepenuhnya bahwa gagasan dan kehidupan dunia

yang dihuni manusia tidak diberikan, melainkan dibangun secara konstan di mana

masyarakat dibekali melalui seperangkat gagasan dan teknologi yang secara konstan

direkonstruksi seiring dengan imajinasi dan spirit individu.30Iqbal berupaya

mengungkap kembali semangat penyelidikan dengan menemukan kembali makna

konsepsi Al-Qur’an yang mengajak kita untuk berpikir dalam kerangka kehidupan

yang tak terbatas. Selain itu, umat Islam harus bergerak untuk memajukan peradaban,

28 Sulaiman Kurdi, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh: Tokoh Pemikir dan

Aktivis Politik di Dunia Modern, Syariah, Vol.15, No.1, (2015), h.34-35. 29 Nikki R Keddie, An Islamic Respons to Imperialism: Political and Rligious Writings of

Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani, (Los Angles: University of California Press, 1968), h.38-39. 30 H.C Hillier & Basit Bilal Koshul (Editor), Muhammad Iqbal: Essays on the Reconstruction

of Modern Muslim Thought, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2015), h.12-13.

Page 13: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 13

dengan menyesuaikan diri dengan peradaban atau modernitas dengan memahami

kembali sejarah Islam dan proses pembentukan peradaban yang dimilikinya.31

Muhammad Iqbal juga menekankan hubungan antara spiritual dan material.

Spiritual menuntut ketundukaan dari dunia metrial dengan tujuan menjadikannya

dorongan dalam proses perkembangan diri, sementara dunia material adalah cerminan

realitas kehidupan yang terus bergerak. Dengan keduanya, manusia mampu mengasah

kecerdasannya dan membangun budaya dan peradaban maju. Selain itu, dalam

sebuah peradaban, masyarakat berkembang mulai dari unit terkecil dari masyarakat

yaitu diri (self) yang dapat mencapai aktualisasi diri (self-actualization). Dengan

demikian, komponen diri (self) adalah aspek internal dan masyarakat merupakan

bagian eksternal merupakan manifestasi dari peradaban manusia. Terwujudnya

masyarakat ideal dalam pandangan Iqbal, apabila masyarakat memiliki pondasi dasar

yang disebutnya dengan tauhid. Baginya, tauhid adalah ruh masyarakat karena dapat

melahirkan kesatuan pikiran dan perbuatan dalam diri individu yang diikat bersama

oleh masyarakat.32 Struktur masyarakat ideal selanjutnya adalah keyakinan kepada

Nabi, di mana struktur dan kekuatan masyarakat Muslim terletak pada ketaatan

kepada aturan-aturan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Masyarakat

Muslim juga harus memiliki tujuan yang harus diperjuangkan yaitu melestarikan dan

menyebarkan prinsip-prinsip tauhid.

Diri (self) dalam gagasan Iqbal dibangun di atas keyakinan bahwa dimensi

fundamental dari kehidupan manusia adalah kesadaran. Bahkan, tujuan dari eksistensi

kosmosis alam jagat raya merupakan wadah untuk mencapai kesempurnaan diri. Ia

juga menegaskan bahwa manusia menentukan takdirnya sendiri dan kuncinya terletak

pada karakter individu.33 Terkait dengan pemikiran umat Islam, Iqbal mengkritik

dengan tegas ortodoksi yang mengantarkan Islam makin terpuruk dalam laju zaman.

Baginya, krisis pemikiran Islam terus berlanjut sehingga perlu pembaharuan dan

31 Souleymane Bachir Diagne, Islam and Open Society: Fidelity and Movement in the

Philosophy of Muhammad Iqbal, (Afrika: CODESRIA, 2010), h.51-52. 32 Adibah Binti Abdul Rahim, The Spirit of Muslim Culture According to Muhammad Iqbal,

International Journal of Social Science and Humanity, Vol.5, No.8, 2015. h.725-726. Dapat diakses

melalui: http://www.ijssh.org/papers/547-K015.pdf. 33 Shireen T. Hunter (Editor), Reformist Voices......., h.166.

Page 14: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 14

rekonstruksi dengan menarik gagasan profetik yang diharapkan mampu membantu

umat Islam menemukan titik temu atau jalan membangun kembali peradabannya.34

Landasan pemikiran Iqbal terletak pada sebuah kebutuhan untuk menyadari

sejarah dan memahami nilai spiritnya, dengan berupaya memahami bagaimana

sebuah peradaban mempertahankan dan melanjutkan titah kemajuannya selama

beradab-abad. Salah satu dimensi eksistensial dari peradaban adalah tradisi pemikiran

filosofis yang dipadukan dengan nilai wahyu dan nubuwwah. Menurutnya, manusia

adalah entitas yang mengandalkan intuisi, yang menjadi inti sebuah naluri dan nalar

yang memungkinkan lahirnya perilaku transgresif dan memahami norma-norma yang

sudah mapan yang diharapkan mampu membuka jalan untuk menyadari potensi

pribadi manusia di zaman dan membuat manusia dapat dipahami dalam kaitannya

dengan suatu tradisi. Adapun titik tumpu dari intuisi manusia terletak pada keyakinan

monoteistik dan sekaligus menjadi sintesis dari kesatuan.35 Gagasan rekonstruksi

filosofis Iqbal untuk menguraikan tentang bagaimana jiwa terhubung dengan nilai-

nilai Al-Qur’an dan pikiran yang terbuka terhadap inovasi ilmu pengetahuan saintifik

modern. Ia merujuk pada argumen kosmologis, teleologis dan ontologis tentang

eksistensi Tuhan.

Tokoh reformis Islam lain yang fokus pada pembangunan sosial Islam adalah

Muhammad Khatami yang fokus pada dua diskursus utama dalam Islam yaitu dialog

antar peradaban dan masyarakat sipil. Melalui dialog antar peradaban, dia menyoroti

pentingnya budaya Islam dan hubungannya dengan budaya diluarnya sebagai sebuah

paradigma baru. Pemikiran Khatami juga memberi perhatian pada konsep masyarakat

sipil (sipil society) berisi dimensi praktis yaitu bagaimana masyarakat dapat

mewujudkan cita-cita masyarakat sipil dalam politik dan sosialnya dengan

memperluas hak kewarganegaraan dan partisipasi publik. Sementara dimensi teoretis,

34 H.C. Hillier & Bashit Bilal Koshul, Muhammad Iqbal.......,h.22. 35 Ibid, 27.

Page 15: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 15

mengkaji bagaimana Islam sesuai dengan konsep kebebasan, rasionalitas,

pembangunan dan hak asasi manusia.36

Khatami melihat bagaimana hubungan antara agama, kebebasan dan

demokrasi agama serta tantangan yang ditimbulkan oleh modernitas masyarakat

Muslim, sejauh mana Islam boleh mengadopsi dari Barat serta upaya untuk

membangun dialog peradaban. Landasan filosofis dari pemikiran Khatami pada

hubungan antara Tuhan dan manusia serta penekanannya pada konsep rasionalitas

dan keadilan. Ia melihat rasionalitas dan keadilan harus menjadi pedoman bagi

pemikiran dan tindakan manusia, termasuk menafsirkan sumber-sumber agama dan

menyerukan Islam rasionalis. Meskipun demikian, kehendak bebas manusia harus

diimbangi oleh spiritualitas dan digunakan untuk melayani Tuhan dan ciptaan-Nya.

Menurutnya, agama tanpa rasionalitas akan melahirkan takhayyul, dan akal tanpa

agama dan spiritualitas mengarah pada dehumanisasi dan menjadi sumber

ketidakadilan. Sehingga, untuk mencapai kebahagiaan individu dan kolektif, manusia

membutuhkan akal dan spiritualitas.37 Selain itu, Khatami memiliki pandangan

tentang hubungan antara kebebasan dan agama. dia percaya bahwa agama tanpa

kebebasan menghasilkan kejumudan sebab mencegah pertumbuhan intelektual.

Sementara, kebebasan tanpa agama mengarah pada materialisme dan individualisme

yang berlebihan yang menjadi sumber penyakit sosial.

Pasca periode Nabi Saw, umat Islam menciptakan peradaban baru atas dasar

ajaran Islam, Al-Qur’an dan apa yang generasi masa itu pelajari dari peradaban Persia

dan Yunani. Namun, fakta bahwa masa keemasan peradaban Islam yang telah berlalu

bukan berarti bahwa Islam pun telah layu. Sebaliknya, setiap Muslim harus

mempertahankan iman kepada Al-Qur’an dan Islam otentik sekaligus mecari jawaban

baru atas pertanyaan hari ini berpatokan pada agama. Khatami mengungkapkan

bahwa penyebab stagnasi dalam tubuh umat Islam disebabkan kaum tradisionalis

yang memiliki jargon kembali pada masa lalu. Sedangkan, kaum sekuler-liberal

36 Sayyid Muhammad Khatami, “Islam, Dialogue and Civil Society”, diakses melalui:

https://www.al-islam.org/islam-dialogue-and-civil-society-khatami/dialogue-among-civilizations-and-

world-islam. 37 Ibid, h.60.

Page 16: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 16

merespon Islam mustinya melebur dengan Barat dan berdampak pada makin

tergerusnya budaya Islam sesungguhnya. Yang musti dilakukan umat Islam adalah

mengadopsi semua pencapaian positif Barat tetapi pencapaian tersebut dikaitkan

dengan warisan Islam sehingga umat Islam dapat mengisi kekurangannya.38

Sementara Hassan Hanafi berupaya untuk menjawab tiga tesis yang dihadapi

umat Islam untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yakni sikap umat Islam

terhadap tradisi Islam, sikap terhadap tradisi Barat dan sikap umat Islam terhadap

realitas kekinian. Ketiga persoalan ini, pada gilirannya menjadi poros perbincangan

dan perdebatan dalam upaya menggali otentisitas tradisi yang dijadikan sebagai spirit

dalam menghadapi realitas kekinian umat Islam (al-ashalah wa al-mu’asarah).

Dalam pandangannya, masyarakat tradisional yang kesadaran nasionalnya senantiasa

terbuka oleh tradisi terdahulu (qudama) yang merepresentasikan otoritas dalam

kesadaran realistis dengan menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, pandangan terhadap dunia senantiasa berangkat dari tradisi.39Sedangkan dalam

sejarahnya terhadap tradisi Barat, terus-menerus hadir dan berdialogis dan tidak ada

pemisah kecuali atas reaksi dari kalangan salaf dan gerakan kritik terhadap Barat

sebatas pada paradigma retorika atau dialog, bukan paradigma kritis dan logika

demonstratif. Sedangkan, realitas merupakan sumber pengetahuan yang mengarahkan

pada kepentingan, kebutuhan dan pilihan-pilihan hidup manusia.

Dua sikap kultural pertama memiliki arti harfiah, yaitu biasanya sikap

tersebut berinteraksi dengan budaya-budaya baku dan didominasi oleh tradisi

penerjemahan dengan memalingkan pandangan dari sumbernya baik ilmu-ilmu

terdahulu (qudama) maupun ilmu modern. Hanya sikap yang ketika yang

berhubungan dengan sikap ilmu pengetahuan baik keilmuan klasik dan modern.

Biasanya ketiga sikap umat Islam ini tidak berimbang, terkadang sikap kultural hanya

fokus pada tradisi klasik, dari sini kultur dan gerakan keagamaan, pendidikan

38 Sayyid Muhammad Khatimi, “Reason and Religion” diakses melalui: https://www.al-

islam.org. 39 Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1: Pembacaan atas Tradisi Islam Kontemporer, (Yogyakarta:

LkiS, 2015), h.3-5.

Page 17: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 17

tradisional, serta sistem berkembang tanpa orientasi.40Terkadang sikap kultural umat

Islam fokus pada tradisi Barat yang bersifat ilmiah rasional, pendidikan reformatif

yang secara optimistis menyokong kepentingan penguasa. Ketidakseimbangan di

dalam sikap kultural inilah yang menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (Wahdah

Asy-Syakhsiyah) yang melahirkan sistem pendidikan, aliran politik dan sistem sosial

saling berbenturan dan identitas umat Islam menjadi berantakan.

Islam dalam kaitannya dengan realitas berarti membedakan antara Islam

sebagai religiusitas, spiritual dan manifestasi konteks historis tertentu. Islam dari

sudut pandang tradisional merupakan agama yang akarnya terkandung dalam Al-

Qur’an dan tradisi kenabian baik tertulis dan lisan yang pada ujungnya tidak sebatas

menghasilkan hukum-hukum (syariah) tetapi juga teologi, filsafat, ilmu pegetahuan

saintifik serta sistem pendidikan, sistem politik, ekonomi dan sosial serta norma etika

dan moral. Islam tetap menjadi realitas trans-historis panjang yang menghubungkan

setiap generasi dari waktu ke waktu, terhubung secara spiritual melalui ritus serta

dapat diakses hingga detik ini.41 Namun, dengan hadirnya nasionalisme sekuler,

rasialisme dan humanisme gaya Barat, realitas trans-historis ini terputus dengan

berbagai macam ritual dan pemahaman umat Islam yang berbeda-beda. Ada Muslim

dengan semaksimal mungkin menjalankan syari’ah dan meyakini cara mereka

mengikuti Islam sebagai satu-satunya cara. Muslim lain tidak mengikuti perintah

syari’ah namun menganggap diri mereka sudah pasti Muslim. Dan bahkan ada orang

lain yang tidak melakukan apapun kecuali mengikuti etika humanistik yang senapas

dengan Islam tetap menyebut diri sebagai Muslim sejati. Dan ada pula kelompok

Muslim yang melaksanakan ritus Islam dengan cermat namun banyak melanggar

perintah moral syari’ah.

Perlu dipahami tradisi dalam gagasan reformis Islam merupakan pemaknaan

historis yang merefleksikan penyesuaian dengan keadaan zaman. Berbeda dengan

konsep “tradisi” dalam pemikiran Barat mendefinisikan tradisi sebagai keadaan statis,

40 Ibid, h.5-6. 41 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, (New York: Columbia

University Press, 1994), h.75-77.

Page 18: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 18

menyimpang dan tidak lengkap.42 Dalam pandangan intelektual Barat, terdapat

kesenjangan antara tradisi yang sifatnya ritual keagamaan yang bersifat transendental

sebatas bagaimana hubungan antara hamba dengan Tuhan atau ajaran Islam yang

kaku. Realitasnya, konsep Islam paling fundamental yaitu tauhid merupakan aturan

yang langsung berhubungan dengan keyakinan yang harus di taati. Sebaliknya, tradisi

dalam Islam mengalami perubahan mengikuti keadaan suatu masyarakat. Sehingga,

Tradisi dalam Islam tidak bersifat kaku, tetapi terus berkembang, menyesuaikan diri

dengan sosial masyarakatnya. Adapun, gagasan orientalis yang menuding bahwa

reformis menerima modernitas dengan makna yang terbatas dengan merangkul

inovasi Barat yang mencakup infrastruktur dan pandangan budaya dan filsafatnya

tidak seluruhnya benar, dalam Islam terdapat kaidah atau norma yang menjadi filter

dari budaya masyarakat, melalui proses sublimasi ini, Islam menyerap sekaligus

mendorong mana spirit budaya dan tradisi Barat yang dapat dimanfaatkan untuk

membangun komunitas Muslim yang kuat.

Bagi Hassan Hanafi, Untuk mengembalikan peradaban, upaya yang bisa

dilakukan oleh umat Islam adalah melalui interpretasi tradisi yang menciptakan

paradigma kesadaran bagi manusia. Melalui interpretasi umat Islam dapat membaca

masa kini dan masa lampau dan melakukan analisis komparatif serta mendalam

terhadap perkembangan pengetahuan. Tradisi tidak mempunyai makna objektif dalam

teks maupun dalam pengalaman, tetapi tradisi membawa tuntutan objektif aktual yang

diderivasikan kepadanya. Selain itu, tradisi terkait erat dengan tuntutan dan

kepentingan zaman, ketika zaman menuntut rasionalisme, maka lahirlah tradisi

rasional, ketika tradisi menuntut ilmiah, maka lahirlah tradisi ilmiah dan begitu

seterusnya.43Umat Islam juga dituntut untuk memikirkan jalur alternatif atau

melakukan seleksi ulang sesuai dengan tuntutan zaman seperti menguatkan tradisi

nalar, aql dan naql, teori dan praktis, atau dengan mengembangkan tradisi interpretasi

alegori dan lain sebagainya. Dengan kata lain, perlu mengubah perangkat konseptual

tradisional sesuai dengan perubahan konteks sosial yang telah berlangsung. Perlu

42 Safdar Ahmed, Reform and Modernity in Islam: The Philosophical, Cultural and Political

Discourses among Muslim Reformers, (New York: I.B Taurus & Co.Ltd, 2013), h.17. 43 Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1.......,h.73-74.

Page 19: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 19

adanya rekonstruksi dalam pemikiran umat Islam untuk mewujudkan harapan akan

kemerdekaan, penyatuan kembali identitas, dan kesamaan sosial.44

Untuk mewujudkan kembangkitan Islam, Hassan Hanafi membangun proyek

peradaban dengan fokus pada tiga aspek utama yaitu merepresentasikan hubungan

dialektis antara subjek diri, bagaimana hubungan antara umat Islam dengan tradisi di

luarnya serta bagaimana Barat dalam suatu proses sejarah tertentu.45 Pandangannya

terhadap upaya mewujudkan peradaban Islam dituangkan dalam konsepnya tentang

kiri Islam yang bertujuan untuk memperkuat umat Islam dari dalam dan menjaga

tradisinya untuk melawan arus budaya Barat yang tujuannya melenyapkan

kebudayaan dan hegemoni atas Islam. Dan tugas kiri Islam adalah mengatasi

kemiskinan dengan melakukan redistribusi kekayaan kepada kaum Muslimin dengan

seadil-adilnya serta kiri Islam berjuang untuk mewujudkan hak yang sama untuk

bebas dari keterbelakangan.

Diskursus penting yang diperbincangkan dalam kaitannya Islam dan

modernitas adalah melihat hubungan antara Islam dan demokrasi. Demokrasi

merupakan produk dari modernitas untuk menciptakan kesamaan hak, kebebasan

berpendapat dan partisipasi politik di ruang publik. Lahirnya demokrasi sejalan

dengan konsepsi negara-bangsa yang membelah entitas umat Muslim ke dalam skat-

skat sistem kenegaraan yang berbeda-beda. Intinya, demokrasi memberi peluang bagi

kebebasan berpendapat, partisipasi politik dan hak-hak asasi manusia serta

kesepakatan umum merupakan nilai tertinggi atau dengan kata lain, suara rakyat

adalah kebenaran tertinggi merupakan prinsip dasar dari demokrasi. Dengan hadirnya

sistem demokrasi para reformis Islam berupaya untuk menjawab seputar apakah

Islam kompatibel dengan demokrasi dan hak asasi manusia sebab bagi Islam

demokrasi masih bersifat aksiomatis.46

Sekilas hubungan antara agama dan demokrasi tampak bersifat kontradiktif

dan konfliktual di mana kedua konsep ini berbicara tentang aspek berbeda dari

44 Aisyah, Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaruannya, Sulesna, Vol.6, No.2. (2011), h.64-65. 45 H. Ahmad Munir, Hassan Hanafi: Kiri Islam dan Proyek At-Turats Wa Tajdid, dapat

diakses melalui: ejournal.unisba.ac.id

46 Sayed Khatab, Gary D. Bouma, Democracy in Islam, (New York: Routledge, 2007), h.1-3.

Page 20: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 20

kondisi manusia. Agama adalah sistem kepercayaan dan ritual terkait dengan yang

ilahiah dan secret sedangkan dunia metafisik menjadi orientasi telos-nya. Sedangkan

demokrasi jelas-jelas bersifat profan (duniawi), sekuler dan egaliter dan menyiratkan

persamaan hak dan perlakuan di depan hukum bagi semua warga negara tanpa

diskriminasi. Sistem demokrasi diarahkan pada suatu pengelolaan tanpa kekerasan

untuk menciptakan kehidupan yang baik. Tetapi, justru sifat inklusif demokrasi

sebenarnya memisahkan agama dan sistem politik yang berbasis teologis.47Titik

gesekan antara agama dan demokrasi terletak pada upaya masyarakat dalam

menyisipkan hubungan vertikal dengan Tuhan ke dalam ruang publik horizontal

sebagai cara untuk mengatur hubungan sosial. Dengan kata lain, ketika landasan

moral otoritas publik yang sah tidak lagi semata-mata didasarkan pada sumbu

horizontal (popular sovereighty) tetapi bergeser ke arah sumbu vertikal (divine

sovereighty). Inilah, kenapa dalam pandangan banyak ulama dan intelektual

mengklaim religius politik bertentangan dengan demokrasi sebab pemerintah

demokrasi pada akhirnya bersikeras memisahkan antara agama dan politik.

Setelah satu abad modernisasi, para ahli teori sosial mencoba membedakan

antara fenomena religius (the religious) dan lebih religius (more religious) di mana

Islamisme dalam narasi Barat dipahami dengan terma fundamentalisme, revivalisme,

konservatisme, fanatisme dan ekstremisme yang kesemuanya bernada negatif

khususnya terjadi pada masyarakat Muslim. Ada dua terminologi yang digunakan

untuk menggambarkan konsep masyarakat Islam yaitu dunia Islam (Islamic World)

dan masyarakat Islam (Islamic Society). Dunia Islam merefleksikan sistem tatanan

hukum yang baku dan diterapkan pada wilayah kekuasaan atau pemerintahan secara

universal. Sedangkan, masyarakat Islam merefleksikan suatu entitas yang plural dan

konkret, memunginkan mayoritas Muslim yang memiliki kesadaran diri untuk

mendefinisikan realitas mereka sendiri dengan cara berbeda dan dinamis. Artinya,

masyarakat Muslim yang di dalamnya mencakup budaya atau tradisi dipahami bukan

47 Nader Hashemi, Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a Democratic Theory

for Muslim Societies, (New York: Oxford University Press, 2009), h.9.

Page 21: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 21

sebagai seperangkat kode dan perilaku statis tetapi sebagai serangkaian proses yang

selalu berubah dan fleksibel.48

Dalam merespon hubungan antara agama dan politik, masyarakat Muslim

terbelah menjadi tiga pandangan, pertama mereka yang memandang Islam hanya

sebagai agama tanpa hak untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Namun, yang lain

memandang Islam merupakan sistem dan tatanan sosal yang mencakup semua bidang

kehidupan termasuk hukum dan sistem pemerintahan. Pandangan ini, merujuk pada

konotasi politik dari banyak terminologi yang digunakan dalam Al-Qur’an yaitu mulk

(pemimpin), ummah (bangsa), sulthan, hakim yang berulang kali disebutkan dalam

Al-Qur’an yang berkonotasi pada otoritas dan pemerintahan dan terminologi tersebut

telah dipakai sejak awal Islam.49 Agama Islam dalam melihat hubungan antara agama

dan masyarakat tidak terbatas pada ritual, dan tidak ada dikotomi antara keduanya.

Agama pada hakikatnya dilengkapi dengan aturan untuk membangun masyarakat dan

menjadi pedoman hidup manusia untuk kebaikan dan kesejahteraan. Agama datang

untuk hidup dalam masyarakat, tidak terkungkung dan diisolir oleh realitas. Jelas,

bahwa agama datang dengan visi etis tentang kebaikan, termasuk di dalamnya tentang

aturan, pandangan untuk mengembangkan denyut nadi kehidupan, politik dan

lainnya. Adanya perbedaan antara pola-pola yang dikembangkan oleh suatu agama

tidak berarti bahwa agama itu kaku dan harus mutlak mengikuti konsep modern.

Agama Islam hadir dengan membawa wawasan etis dan visi abadi untuk

mengoreksi dan menyelaraskan denyut nadi masyarakat. Bagaimanapun, hukum

Islam tidak memisahkan antara agama dari kehidupan sehari-hari, tidak memisahkan

antara agama dan politik, politik dan moral atau moral dan negara. Dalam Islam,

aktivitas individu dan hubungannya dengan negara memiliki landasan metafisik dan

religius. Islam adalah sistem kehidupan praktis manusia dalam segala aspeknya.

Islam menganut konsep ideal dan meyakinkan rasionalitas dalam menguraikan

hubungan antara sang pencipta, alam semesta dan semua aspek kehidupan manusia.

48 Asef Bayat, What Is The Real Question, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007),

h.6. 49 Ibid, 8.

Page 22: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 22

Dan dapat menjelaskan bagaimana posisi umat manusia di alam semesta serta tujuan

akhir dari kehidupan manusia.50

Islam memiliki konsepsi yang menjelaskan bahwa kehidupan merupakan

harmonisasi antara tubuh dan jiwa. Maka, masuk akal apabila antara agama dan

poltik telah terjalin hubungan erat. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk

intelektual yang berbeda dengan idealisme, positivisme dan gagasan lain yang tidak

memiliki realitas praktis. Islam memandang manusia tidak sebatas roh dan materi

semata, atau bukanlah pikiran murni, tetapi makhluk fisik, mental dan spiritual yang

terintegrasi, membentuk satu kesatuan yang utuh dan fungsional.51 Tatanan sosial

Islam didasarkan pada prinsip universal ukhuwwah dan berupaya untuk menjamin

kemakmuran, kebaikan bagi individu dan masyarakat. Dalam pandangan Muhammad

Khalid, Islam memiliki kewajiban hukum dan pemerintahan yaitu mengatur

kehidupan dan mengatur urusan manusia melalui negara Islam yang harus didirikan

dan harus tetap ada. Islam sebagai keyakinan, tidak hanya mengandung ajaran nurani

tetapi mengandung norma yang memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakatnya

melalui kekuasaan.

Masyarakat Muslim tidak terbatas pada dimensi spiritual belaka, budaya

nasional, pengalaman sejarah, lintasan politik dan afiliasi dan praktik keagamaan

seringkali menghasilkan budaya dan sub-budaya Islam yang berbeda. Setiap Muslim

di berbagai negara terdiri dari berbagai afiliasi keagamaan sekaligus merefleksikan

proses globalisasi yang cenderung menghasilkan tidak hanya diferensiasi, tetapi telah

mengubah struktur dan proses paralel antara negara-negara Muslim di berbagai

belahan dunia.52 Media dan intelektual Barat memandang Islam adalah akar dari

pemerintahan otoriter. Bagi Barat, Islam itu melanggengkan patriarkal dan tidak

memiliki konsep kewarganegaraan dan kebebasan, karena percaya hanya pada

kedaulatan Tuhan dan mengurangi kekuatan rakyat. Islam dalam pandangan Barat

tidak memiliki nilai kebebasan, keterbukaan dan kreativitas. Rachid Ghanoushi

berusaha untuk mengubah gambaran Barat tersebut dengan melihat titik temu dan

50 Ibid. 51 Ibid. 52 Asef Bayat, What Is The......,h.7.

Page 23: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 23

memastikan kompatibilitas antara Islam dengan demokrasi di mana Islam

menyiratkan nilai-nilai seperti kesetaraan ras dan gender serta kehendak bebas.53

Begitu juga dengan demokrasi, Umat Islam di berbagai belahan dunia

menguji keterhubungan dengan sistem demokrasi. Bahkan, satu abad yang lalu,

ketika kekaisaran Utsmaniyah memulai reformasi demorasi pada kuartal terakhir abad

kesembilan belas. Dilanjutkan dengan beberapa negara termasuk mulai memberikan

hak pilih kepada perempuan di mana anggota parlemen dipilih berdasarkan

perwakilan yang proporsional dan menyediakan ruang bagi etnis minoritas.54 Pada

fase kedua demokratisasi pasca berakhirnya perang dunia kedua, beberapa negara

Islam melaksanakan parlemen pertama dan mengadakan pemilihan legislatif. Namun,

beberapa dekade akhir ini, semakin banyak kelompok dan partai Islam yang

bergabung dalam proses demokrasi, di mana partai Islam seperti Ikhwan al-

Mmuslimin dan partai Islam di berbagai negara berpartisipasi dalam pemilihan

legislatif.

Menurut Fadzlul Rahman, prinsip demokrasi dan Islam berjalan berkelindan.

Bahkan proses demokratisasi dalam sejarah Islam dilaksanakan pasca-Nabi Saw

wafat di mana Abu Bakar As-Shiddiq dipilih oleh umat Islam pasca-sepeninggal

Rasul. Di dalam Islam, mangandung etos egaliter dan menerapkan prinsip

persaudaraan dan kebebasan. Rasa solidaritas antara individu dan kelompok; antara

penguasa dan masyarakat dapat meminimalisir konflik kepentingan dan mengurangi

cengkraman orang yang memiliki hak istimewa.55 Ide dasar dari hukum Islam

umumnya terdiri dari dua kategori pertama aturan yang berkaitan dengan dimensi

spiritual yang mencakup ibadah dan aspek keyakinan. Kedua, aturan hukum yang

mengatur hubungan antara individu dan komunitasnya di dalamnya berisi aturan

tentang hukum pidana, hukum sipil. Islam dengan tegas menghubungkan kedua

kategori ini secara harmonis sehingga Islam sebagai sebuah agama bertujuan untuk

53 Ibid, h.8. 54 Emmanuele Karagianis, The New Political Islam: Human Right, Democracy, and Justice,

(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2018), h.77. 55 Sayed Khatab, Gary D. Bouma, Democracy....,h.101.

Page 24: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 24

menggapai kebahagiaan di dunia dan kehidupan setelahnya. Karenanya, semua

aktivitas manusia memiliki keterkaitan satu sama lain.

Intinya, Islam merupakan agama yang menghubungkan antara manusia

dengan Tuhannya (transenden) yang mencakup bagaimana peribadatan dan

keyakinan seorang hamba, juga mengatur bagaimana hubungan antara manusia

dengan manusia yang lain (mu’amalah) dan hubungan antara manusia dengan

lingkungan (environmental ethics). Basik Islam terkait mu’amalah yang di dalamnya

berisi aturan hukum, sosial dan politik. Apabila dikaitkan dengan dimensi demokrasi

kultural, Islam tetap kompatibel dengan demokrasi sebab Islam melindungi hak-hak

warga negara, memberikan kebebasan dan memberi ruang bagi perempuan. Konsep

syura bahkan dalam Islam mencerminkan bagaimana partisipasi dan pendapat

dihargai dan kesepakatan adalah kebenaran tertinggi.

Dakwah dan Realitas Zaman: Peran di Era Masyarakat Post-Truth

Fenomen post-truth telah mejadi perhatian publik setelah Donald Trump dan

masalah Brexit di Inggris. Frase post-truth menjadi frase yang familiar yang

berkonotasi pengabaian standar bukti dalam penalaran. Pasca-Kebenaran (post-truth)

menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam

pembentukan opini daripada menarik emosi dan keyakinan pribadi. Artinya,

kebenaran telah dikalahkan dan tidak relevan lagi. Diskursus tentang kebenaran sejak

lama menjadi perhatian para filsuf termasuk Plato memperingatkan bahaya klaim

palsu atas pengetahuan dan mengancam keangkuhan yang berpikir mengetahui

kebenaran cukup untuk bertindak atas kebohongan. Sehingga Aristoteles

mengatakan “mengatakan tentang apa yang bukan, atau apa yang bukan adalah

salah.56 Kaitannya dengan diskurus post-truth dengan agama khususnya umat Islam

yang terkadang kehilangan objektifitas dalam melihat kebenaran, arus informasi

menghadirkan berbagai dampak sosial terutama pada kurangnya kemampuan

mencerna informasi secara benar. Kredibilitas media arus utama yang selalu

digerogoti kepentingan secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk mencari

56 Lee Mcintyre, Post-Truth, (London: The MIT Press, 2018), h.1-6.

Page 25: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 25

informasi alternatif.57 Post-truth juga berpengaruh pada bagaimana citra media Barat

terhadap Islam yang identik radikalisme dan ekstremisme serta berbenturan dengan

budaya lain dan cenderung terjadi konflik kekerasan, media-media Barat memberi

imajinasi yang sangat negatif dan memiliki tendensi dan kepentingan politik dan

ekonomi.58

Meskipun demikian, fenomena yang terjadi di berbagai dunia saat ini adalah

dengan makin menguatnya identitas Islam dalam ruang publik. Keadaan ini kemudian

disebut dengan post-sekulerisme yang mengandaikan bahwa agama memiliki peranan

penting dalam kehidupan masyarakat. Bukti dari pentingnya agama di ruang publik

adalah terletak pada aspek moralnya. Moralitas publik tidak lagi bisa digantikan

dengan rasionalitas dunia modern sebab moralitas merupakan unsur tradisionalis

yang lahir dari kesadaran masyarakat yang meyakini bahwa nilai Islam perlu

disebarluaskan di ruang publik.59Salah satu kelompok yang berperan penting dalam

menyebarluaskan Islam di ruang-ruang publik adalah kelompk Muslim kelas

menengah Muslim dengan proyek meningkatkan kesalehan dalam beragama dan

membentuk identitas kolektif.

Sikap dan perilaku kesalehan masyarakat Muslim di ruang-ruang publik

merupakan proses dari Islamisasi, mulai dari Islamisasi televisi yang berisi televisi

dan menyebarkannya ke media-media sosial. Agenda Islamisasi di ruang publik

semakin menjamur ketika internet dan media sosial mulai banyak digunakan, para

Da’i yang sebelumnya telah sering muncul di televisi disebarkan di media lainnya

seperti youtube, instagram dan media sosial lainnya. Meningkatnya pengaruh media

dalam mengkonstruksi masyarakat inilah disebut dengan fenomena post-truth di

mana di era pasca-kebenaran, media memiliki peranan penting dalam mengkonstruksi

pemahaman agama pada masyarakat modern.60 Keterhubungan antara individu dalam

network society bersifat cair di mana satu individu dapat berinteraksi dengan berbagai

57 Kharisma Dimas Syuhada, Etika Media di Era Ppost-Truth, Jurnal Komunikasi Indonesia,

Vol 5, No.1, (2017), h. 75. 58 Zuly Qodir, Imagination of Religion and Politics in Media Post Truth Era, Profetik Jurnal

Komunikasi, Vol.13, No.1, (2020), h.155. 59 M. Mujibuddin, Rina Zuliana, Post-Sekulersime Islam Populis di Indonesia, Jurnal

Sosiologi Walisongo, Vol.3, No.1, (2019), h. 4-5. 60 Ibid.

Page 26: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 26

sumber. Ruang publik virtual menyimpan potensi positif dan optimistis dengan

keyakinan bahwa publik virtual mampu membuka kemungkinan luas terbangunnya

kemunikasi dan interaksi bagi setiap warga negara tanpa skat ideologi sekaligus

sebagai wadah untuk menyebarkan ideologi tanpa batas madzhab dan melewati batas

keyakinan.61

Bagi kaum Muslimin, fenomena hadirnya Islam di tengah ruang publik dan

dibarengi dengan lahirnya media alternatif dalam mentransfer pengetahuan memberi

harapan optimis dalam upaya untuk mengoptimlisasi peran dan fungsi dakwah di era

modern. Dakwah tidak lagi terbatas pada skat-skat tradisional yang hanya di tempat

terbatas dan jumlah audience yang terbatas pula. Dengan adanya media baru, seorang

pendakwah dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, dapat diakses oleh semua

elemen masyarakat sekaligus sebagai wadah untuk menambah wawasan agama.

Dalam Islam, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk

menyampaikan dan menyebarkan kebaikan, dasar agama yang memuat perihal

kewajiban untuk menyeru manusia kepada kebaikan terdapat dalam Al-Qur’an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk.62

Dalam konteks nilai profetik, dakwah memiliki tiga pilar yaitu dalam rangka

membentuk khoirul ummah seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu “kamu adalah

umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan, kepada

yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Dalam

ayat lainnya, disebutkan bahwa dakwah terkait dengan amar ma’ruf yaitu

humanisasi, liberasi dan transendensi yaitu aspek relasional antara hamba kepada

Tuhan.63 Sehingga aktivisme dakwah di media sosial sebagai upaya domestikasi

61 Abdulloh Fuadi, Gerakan Sosial Bbaru di Ruang Publik Virtual, Hanifia, Vol.1, No.1

(2018), h. 55-56. 62 Surat An-Nahl ayat 125. 63 Alfiana Yuniar Rahmawati, Menghidupkan Dakwah Profetik Di Era Millenial, Vol.14,

No.1 (2020), h.52.

Page 27: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 27

agama, yaitu menjadikan teknologi sebagai alat untuk penyebaran nilai-nilai agama.

Selain itu, aktivisme dakwah di era pasca-kebenaran sebagai upaya rekonstruksi

identitas agama. Artinya, bahwa dakwah menjadi usaha strategis dalam membangun

identitas melalui simbol-simbol keagamaan dan memperjelas perbedaan identitas

Islam dengan kelompok-kelompok lainnya.64 Dakwah Islam di media sosial

merupakan bentuk aksi sosial keumatan sebagai bentuk upaya pembelaan umat Islam

terhadap fenomena mainstream yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam serta

sebagai tindakan antisipasi atas informasi yang merugikan umat Islam.

64 Qurrota A’yuni, Membumikan Dakwah Berbasis Komunikasi Profetik Di Era Media Baru,

Mumtaz, Vol.2, No.2, (2018), h. 296-299.

Page 28: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 28

Kesimpulan

Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia pada abad pertengahan,

peradaban Islam dibangun atas teks atau dimensi transendental yang menjadi

pondasinya. Melalui transendensi Islam tersebut lahirnya komunitas Muslim yang

mampu bertahan selama lebih dari satu milenium. Namun, semenjak hancurnya

imperium Utsmaniyah, Peradaban Islam mengalami stagnasi dan bahkan

kemunduran. Untuk membangun peradaban Islam di zaman modernisme saat ini,

Islam kembali berupaya menemukan kembali posisinya untuk melawan dominasi

Barat melalui projek tajdid atau dikenal dengan pembaharu Islam dengan melihat

pertalian antara Islam dan atribut dari modernitas. Fenomena kebangkitan Islam

mulai tanpak setelah hadirnya ruang publik sebagai bentuk identitas baru yang

didominasi oleh kalangan agamis termasuk Islam. public sphere merupakan bentuk

lain dari optimisme Islam dalam membangun identitas Muslimnya dengan

memanfaatkan teknologi dan media Baru sebagai alat untuk menyebaran dakwah dan

pengetahuan tentang Islam. Islam di era masyarakat pasca-kebenaran telah melewati

batas ideologi atau keyakinan untuk menyebarkan kebenaran kepada umat manusia.

Page 29: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 29

Daftar Pustaka

Adonis. 2012. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Penterj. Khoiran Nahdiyyin

Yogyakarta: LkiS.

Ahmed, Safdar. 2013. Reform and Modernity in Islam: The Philosophical, Cultural

and Political Discourses among Muslim Reformers, New York: I.B Taurus &

Co.Ltd.

Aisyah. 2011. Hassan Hanafi dan Gagasan Pembaruannya, Sulesna, Vol.6, No.2.

Akhirudin 2018. Dakwah dan Pembaharuan Pemhaman Islam, Kordinat, Vol.XVII,

No.2.

Al-Alwani, Taha Jabir. “Major Features of the Reform of Islamic Thought and the

Islamization of Knowledge”, International Institut of Islamic Thought di akses

melalui: https://www.jstor.org/stable/pdf/j.ctvkc67q1.10.pdf.

Al-Khateeb, Firas.2014. Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilization From

The Past, United Kingdom: C. Hurst.

Ashimi, Tijani Ahmad. 2016. Islamic Civilization: Factors Behind Its Glory and

Decline, International Journa of Business Economics, Vol 9, (2016). Bisa diakses

melalui: http://ijbel.com/wp-content/uploads/2016/06/KLiISC.

A’yuni, Qurrota. 2018. Membumikan Dakwah Berbasis Komunikasi Profetik Di Era

Media Baru, Mumtaz, Vol.2, No.2.

Bahri, Syamsul Oktariadi. 2016. Konsep Pembaharuan dalam Perspektif Pemikiran

Muhammad Abduh, Al-Murshalah, Vol 2.

Bayat, Asef. 2007. What Is The Real Question, Amsterdam: Amsterdam University

Press.

Demant, Peter. R. 2006. Islam Vs Islamism: The Dilemma of the Muslim World,

United Satate: Preager Publisher.

Diagne, Souleymane Bachir. 2010. Islam and Open Society: Fidelity and Movement

in the Philosophy of Muhammad Iqbal, Afrika: CODESRIA.

Farida, Umma. 2017. Umer Chapra Contribution in Building Muslim Civilization

Journal ADDIN, Vol 11, No.2.

Fuadi, Abdulloh. 2018. Gerakan Sosial Bbaru di Ruang Publik Virtual, Hanifia,

Vol.1, No.1.

Page 30: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 30

Fromkin, David. 2001. The Fall of the Ottoman Empire and the Creation of the

Modern Middle East, New York: Henry Hold and Company.

Hanafi, Hassan. 2015. Studi Filsafat 1: Pembacaan atas Tradisi Islam Kontemporer,

Yogyakarta: LkiS.

Hashemi, Nader. 2009. Islam, Secularism, and Liberal Democracy: Toward a

Democratic Theory for Muslim Societies, New York: Oxford University Press.

Hunter , Shireen T. 2008. (Editor), Reformist Voices of Islam: Mediating Islam and

Modernity, New York: M.E Sharpe.

Ingram, Branon D. 2018. Revival from Below: The Deoband Movement and Global

Islam, California: University of California Press.

Iqbal, Muzaffar.2007. Science and Islam, London: Greeenwood Press.

Lapidus, Ira M.2000. Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid I & II, Jakarta: RajaGrafindo

Persada

Masood, Ehsan. 2009. A History Science and Islam, United Kingdom: Icon Books.

Rusydy, Muhammad. 2018. Modernitas dan Globalisasi: Tantangan Bagi Peradaban

Islam, Tajdid, Vol.17, No.1.

Nasr, Sayyed Hossein. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,

Bandung: Pustaka.

Muhammedi. 2017. Pemikiran Sosial dan Keagamaan Nurcholish Madjid, Jurnal

Tarbiyah, Vol.24, No.2.

Lahoud, Nelly. 2005. Political Thought in Islam: A Study in Intellectual Bounderies,

New York: ReutledgeCurzon.

Kamali, Mohammad Hasyim. 2014. Tajdid, Islam and Islamisational Renewal in

Islam, ICR, Vol.5, No.1, h.393. bisa diakses melalui:

https://icrjournal.org/index.php/icr/article.

Karagianis, Emmanuele. 2018. The New Political Islam: Human Right, Democracy,

and Justice, Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Keddie, Nikki R. 1968. An Islamic Respons to Imperialism: Political and Rligious

Writings of Sayyid Jamal ad-Din al-Afghani, (Los Angles: University of California

Press.

Khatami, Sayyid Muhammad. “Islam, Dialogue and Civil Society”, diakses melalui:

https://www.al-islam.org/islam-dialogue-and-civil-society-khatami/dialogue-

among-civilizations-and-world-islam

Page 31: Dakwah dan Spirit Reformis Islam: Reformulasi dan

AL-INSAN Vol 1 No. 1, November 2020 31

Khatimi, Sayyid Muhammad, “Reason and Religion” diakses melalui:

https://www.al-islam.org.

Khatab, Sayed Gary D. Bouma. 2007. Democracy in Islam, New York: Routledge.

Koshul, H.C Hillier & Basit Bilal (Editor). 2015. Muhammad Iqbal: Essays on the

Reconstruction of Modern Muslim Thought, Edinburgh: Edinburgh University

Press.

Kurdi, Sulaiman. 2015. Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh: Tokoh

Pemikir dan Aktivis Politik di Dunia Modern, Syariah, Vol.15, No.1.

Mcintyre. 2018. Lee Post-Truth, London: The MIT Press.

Munir, H. Ahmad. Hassan Hanafi: Kiri Islam dan Proyek At-Turats Wa Tajdid, dapat

diakses melalui: ejournal.unisba.ac.id

Mujibuddin, M. Rina Zuliana. 2019. Post-Sekulersime Islam Populis di Indonesia,

Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol.3, No.1.

Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Traditional Islam in the Modern World, New York:

Columbia University Press.

Saeed, Abdullah. 2006. Islamic Thought; An Introduction, New York: Routledge.

Rahim, Adibah Binti Abdul. 2015. The Spirit of Muslim Culture According to

Muhammad Iqbal, International Journal of Social Science and Humanity, Vol.5,

No.8,. Dapat diakses melalui: http://www.ijssh.org/papers/547-K015.pdf.

Rahmawati, Alfiana Yuniar. 2020. Menghidupkan Dakwah Profetik Di Era Millenial,

Vol.14, No.1.

Supriadi. 2016. Konsep Pebaruan Sistem Pendidikan Islam Menurut Muhammad

‘Abduh, Kordinat, Vol.XV, No.1.

Syuhada, Kharisma Dimas. 2017. Etika Media di Era Ppost-Truth, Jurnal Komunikasi

Indonesia, Vol 5, No.1.

Qodir, Zuly. 2020. Imagination of Religion and Politics in Media Post Truth Era,

Profetik Jurnal Komunikasi, Vol.13, No.1.

Wahid, Din. 2000. Kiri Islam: Studi atas Gagasan Pembaruan Pemikiran Islam

Hassan Hanafi, Refleksi, Vol.II. No.2.