daftar isi halaman sampul dalam skripsi halaman … · pemberian kompensasi dan korban kerusuhan...

31
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM SKRIPSI…………………………… i HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM…………. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…………... iii HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI……… iv KATA PENGANTAR………………………………………………….. v SURAT PERNYATAAN KEASLIAN………………………………… ix DAFTAR ISI............................................................................................ x ABSTRAK……………………………………………………………… xiv ABSTRACT……………………………………………………………….. xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 7 1.3 Ruang Lingkup Masalah……………………………………... 8 1.4 Orisinalitas Penelitian………………………………………... 8 1.5 Tujuan Penelitian…………………………………………….. 9 1.5.1 Tujuan Umum………………………………………….. 10 1.5.2 Tujuan Khusus……………………………………….… 10 x

Upload: buidien

Post on 07-Apr-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM SKRIPSI…………………………… i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM…………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…………... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI……… iv

KATA PENGANTAR………………………………………………….. v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN………………………………… ix

DAFTAR ISI............................................................................................ x

ABSTRAK……………………………………………………………… xiv

ABSTRACT……………………………………………………………….. xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 7

1.3 Ruang Lingkup Masalah……………………………………... 8

1.4 Orisinalitas Penelitian………………………………………... 8

1.5 Tujuan Penelitian…………………………………………….. 9

1.5.1 Tujuan Umum………………………………………….. 10

1.5.2 Tujuan Khusus……………………………………….… 10

x

2

1.6 Manfaat Penelitian………………………………………….... 10

1.6.1 Manfaat Teoritis…………………………………….…... 10

1.6.2 Manfaat Praktis……………………………………….... 11

1.7 Landasan Teoritis…………………………………………..…. 12

1.7.1 Konsep Negara Hukum……………………..…….......... 12

1.7.2 Teori Kebijakan Hukum Pidana…………..……………. 15

1.7.3 Teori Perlindungan Hukum………..…………………… 17

1.7.4 Teori Perlindungan Korban……..……………………… 19

1.8 Metode Penelitian……………………..……………………… 20

1.8.1 Jenis Penelitian……………….………………………… 20

1.8.2 Jenis Pendekatan…………...…………………………… 21

1.8.3 Sumber Bahan Hukum…………….…………………… 22

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..…………………. 24

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum………..……………….. 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM,

PEMBERIAN KOMPENSASI DAN KORBAN KERUSUHAN

2.1 Tinjauan Perlindungan Hukum…………………..…………… 26

2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum……………..………… 26

2.1.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum…………..………. 31

2.2 Pengertian Korban……………………………………………. 33

2.2.1 Tipologi Korban………………………………………... 37

2.2.2 Hak-hak Korban………………………………………… 39

xi

3

2.3 Kerusuhan dan Korban Kerusuhan Dalam Perspektif Hukum

Pidana………………………………………………………… 41

2.4 Konsep Kompensasi………………………………………….. 43

BAB III PENGATURAN KOMPENSASI TERHADAP KORBAN

KERUSUHAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

3.1 Pengaturan Kompensasi Dalam Hukum Positif Indonesia…. 47

3.2 Urgensi Pemberian Kompensasi Terhadap Korban

Kerusuhan…………………………………………………… 70

3.3 Pengaturan Kompensasi Terhadap Korban Kerusuhan di

Indonesia……………………………………………………. 74

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI MASA YANG AKAN

DATANG TERKAIT PENGATURAN KOMPENSASI

TERHADAP KORBAN KERUSUHAN DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

4.1 Perbandingan Pemberian Kompensasi Terhadap Korban

di Beberapa Negara………………...…………...................... 76

4.2 Kebijakan Hukum Pidana di masa yang akan datang terkait

pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam

peraturan perundang-undangan Indonesia…………………… 91

xii

4

4.3 Konsep Hukum Mengenai Perlindungan Bagi Korban dalam

RUU KUHP………………………………………………….. 107

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan……………………………………………………. 113

5.2 Saran…………………………………………………………… 114

DAFTAR PUSTAKA

RINGKASAN SKRIPSI

5

ABSTRAK

Kedudukan korban dalam peradilan pidana selama ini masih terabaikan,kondisi yang demikian ini terlihat dari belum adanya perlindungan hukum berupapemberian kompensasi terhadap korban kejahatan khususnya korban kerusuhanakibat menjadi sasaran oleh para perusuh. Selain itu juga belum adanya instrumenperlindungan hukum atau peraturan perundang-undangan jelas memberikanperlindungan terhadap korban kerusuhan, khususnya mengenai pemberiankompensasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindunganhukum bagi korban khususnya korban kerusuhan melalui pemberian kompensasisebagai upaya perlindungan terhadap korban.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatifdikarenakan adanya kekosongan norma hukum yang berkaitan dengan pengaturanpemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan diIndonesia. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yangdiperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research).

Pasal 7 dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Pasal 2Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 mengatur bahwa kompensasi kepadakorban hanya ditujukan kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yangberat dan korban tindak pidana terorisme. Kebijakan hukum pidana di masa yangakan datang terkait kompensasi perlu adanya pengkajian mengenai konsepkompensasi. Pemberian kompensasi tidak hanya ditentukan berdasarkan jenistindak pidana saja atau berdasarkan satu atau dua tindak pidana yang berhakmemperoleh kompensasi, tetapi juga mempertimbangkan kondisi korban,terutama mereka yang menderita karena kejahatan-kejahatan yang dilakukandengan kekerasan. Negara dapat memberikan kewenangan kepada LembagaPerlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang menanganipermohonan dan sekaligus berhak memutuskan permohonan kompensasi darikorban. LPSK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan wewenang dalammemberikan perlindungan pada korban kejahatan, sebaiknya bekerja sama denganinstansi-instansi pemerintah atau swasta untuk memberikan bantuan pada korbankejahatan sebagai upaya meringankan penderitaan korban. Dipandang perlu untukmerevisi peraturan yang telah ada tentang pengaturan kompensasi terkait definisikompensasi dengan mengkaitkan kewajiban negara untuk memberikankompensasi kepada korban kejahatan. Negara berkewajiban pula untukmemberikan kompensasi kepada korban kejahatan kekerasan.

Kata Kunci: Kompensasi, Upaya, Perlindungan, Korban Kerusuhan

xiv

6

ABSTRACT

Status of victims in criminal justice today is still neglected, this conditionis evident from the lack of legal protection for the provision of compensation tovictims of crime, especially victims of the unrest as a result of being targeted bythe rioters. In addition, the absence of legal protection instruments or legislationclearly provides protection to victims of violence, in particular regarding theprovision of compensation. The purpose of this study was to determine the legalprotection for victims, especially victims of violence through the provision ofcompensation as a safeguard against the victim.

This study uses normative legal research because of the emptiness of legalnorms relating to the compensation arrangement as a safeguard against riotvictims in Indonesia. Techniques used in the collection of legal materials neededin this research is the technique library (library research).

Article 7 of the Law on Witness and Victim Protection jo. Article 2 ofGovernment Regulation No. 44 of 2008 provides that compensation to the victimintended only to victims of human rights violations are severe and criminal acts ofterrorism victims. Criminal law policy in the future related to compensationshould their assessment of the concept of compensation. The compensation is notdetermined by the type of criminal act alone or by one or two offenses are entitledto compensation, but also consider the condition of the victims, particurlarlythose who suffer because of crimes commited with violence. State may authorizethe Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) as the agency that handlesthe request and also the right to decide upon request for compensation of victims.LPSK as an institution that has the duty and authority to provide protection tovictims of crime, should cooperate with government agencies or the private sectorto provide aid to victims of crime in an effort to alleviate the suffering of victims.It is necessary to revise the existing regulations on compensation arrangementsrelated to the definition of compensation by linking the state’s obligation toprovide compensation to victims crime. Countries are also obliged to providecompensation to victims of violent crime.

Keywords: Compensation, Efforts, Protection, Riot Victims

xv

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara

kepulauan yang masing-masing pulaunya memiliki budaya tersendiri. Hal ini

menyebabkan negara ini memiliki berbagai macam suku, agama, ras, dan adat-

istiadat, maka dari itu tepat jika semboyan Negara Indonesia adalah Bhineka

Tunggal Ika yang mempunyai arti berbeda-beda tetapi satu jua. Bhinneka Tunggal

Ika merupakan dasar diakuinya kemajemukan atau pluralitas tersebut. Merupakan

suatu kebanggaan bagi rakyat Indonesia memiliki beranekaragam budaya bahkan

tidak hanya rakyat Indonesia saja yang bangga orang dari negara lain pun

berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk mempelajari atau sekedar

menikmati keanekaragaman budaya negara ini.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kemajemukan ini melahirkan

perpaduan yang indah dalam berbagai bentuk budaya yang sangat kental dengan

keanekaragaman. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku,

agama, ras dan adat-istiadat dapat hidup berdampingan dan memiliki solidaritas

yang tinggi dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak dipungkiri selain keindahan

yang dilahirkan dari keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia

tersebut keanekaragaman budaya juga menghadapkan negara yang mendapat

julukan jamrud khatulistiwa ini kepada konflik sosial berupa kerusuhan yang

dapat mengganggu ketertiban umum.

1

2

Peristiwa kerusuhan sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Kerusuhan

yang terjadi tersebut baik dalam skala besar maupun skala kecil telah membawa

korban jiwa, harta, sumber mata pencarian dan lainnya, sehingga menghancurkan

sendi-sendi kemanusian dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia. Aksi kerusuhan

ini telah menjadi gejala yang umum bagi perjalanan bangsa Indonesia ini. Aksi

kerusuhan di Indonesia dapat terjadi karena ternyata aksi kerusuhan tidak hanya

dilakukan oleh orang-orang tertentu, seperti kelompok suku tetapi juga dilakukan

oleh kelompok masyarakat yang lain diantaranya kelompok buruh, kelompok

supporter/pendukung club sepak bola dan kelompok organisasi tertentu. Masalah

yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan bisa berasal dari berbagai faktor,

diantaranya faktor sosial, fanatisme, ekonomi maupun budaya dan kesenjangan-

kesenjangan dalam masyarakat yang telah lama tidak tertangani.

Berkenaan dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Indonesia, penulis

mengambil satu aksi kerusuhan terbaru berdasarkan yang menjadi korban dan

akibat yang ditimbulkan dari kerusuhan tersebut. Peristiwa kerusuhan ini

dilakukan oleh supporter sepak bola di Indonesia yaitu pendukung kesebelasan

Persija Jakarta atau yang sering disebut The Jakmania pada 14 Oktober 2016.

Ratusan supporter beratribut oranye tersebut menganiaya setiap pengendara

sepeda motor di Jalan Alternatif Sentul, Kecamatan Cibinong, Bogor yang

menggunakan atribut berwarna biru. Akibat kejadian tersebut, seorang mengalami

luka-luka dan satu unit sepeda motor dirusak, bahkan dompet serta telepon

genggam milik korban dirampas. Korban dianiaya disangka pendukung Persib

karena korban menggunakan jaket berwarna biru, padahal korban bukan

3

pendukung Persib. Korban hanya masyarakat sipil yang kebetulan melintas dan

menggunakan jaket berwarna biru. Selain itu rombongan Jakmania yang melintas

juga melempar dan melakukan penjarahan di minimarket yang tak jauh dari lokasi

penganiayaan. Sementara itu di Jalan Tegar Beriman, seorang petugas keamanan

(satpam) dan ibu pemilik rumah makan Joglo juga dianiaya. Jakmania juga

merusak rumah makan tersebut.1

Korban kerusuhan yang dimaksud pada penelitian ini lebih ditekankan

pada korban “murni” dari kejahatan kekerasan. Artinya korban memang korban

yang sebenar-benarnya/senyatanya tidak ada kontribusi dengan kejahatan yang

terjadi. Korban tidak bersalah, dan hanya semata-mata sebagai korban yang

menderita dan dirugikan akibat dari amuk massa para perusuh. Kemungkinan

yang bersangkutan menjadi korban penyebabnya seperti ketidaktahuan,

kelemahan korban atau mungkin kesialan korban serta dapat juga terjadi akibat

kelalaian negara untuk melindungi warga negaranya.

Dalam konteks lain menurut kriminolog I.S.Susanto menyebutkan, bahwa

gerakan massa bisa juga muncul akibat dari rasa ketidakpuasan masyarakat, yang

pada dasarnya berawal dari kesenjangan sosial yang berkembang dalam

masyarakat.2 Maraknya aksi kerusuhan tidak akan pernah berakhir, karena selain

masih adanya persoalan ekonomi juga tidak kalah pentingnya yang memiliki

potensi cukup besar terhadap kemarahan masyarakat adalah semakin maraknya

praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi hampir pada semua lini

1 Achmad Sudarno, Jakmania Bikin Rusuh di Bogor, 3 Warga Jadi Korban,(http://liputan6.com/news/read/2626523/jakmania-bikin-rusuh-di-bogor-3-warga-jadi-korban/).Diakses tanggal 28 Oktober 2015

2 Adhi Wibowo, 2013, Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa Sebuah TinjauanViktimologi, Thafa Media, Padang, hlm. 4

4

birokrasi. Selain itu jika diamati secara luas dimensi dari kerusuhan, akan terlihat

adanya dimensi perlawanan di sana. Perlawanan yang pecah dari kompleksitas

problema sosial, politik dan ekonomi yang selama ini dihadapi masyarakat yang

terhegemoni dan terdominasi.3

Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan

kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.4

Sejauh ini fokus tindakan lebih diarahkan pada sisi penindakan (represif) berupa

pemulihan keadaan, khususnya sisi keamanan dan kestabilan, karena aksi

kerusuhan itu telah menimbulkan ketidaktentraman dan ketertiban dalam

masyarakat. Pada sisi lain belum ada instrumen perlindungan hukum atau

peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan perlindungan

terhadap korban kerusuhan, khususnya ganti kerugian akibat dari menjadi sasaran

para perusuh. Memberikan perlindungan kepada korban kerusuhan berarti

sekaligus juga mengandung pengertian memberikan pula perlindungan pada

masyarakat karena korban dari suatu aksi kerusuhan merupakan individu-individu

yang dalam hal ini adalah sebagai unsur pembentukan suatu masyarakat atau

dengan kata lain bahwa masyarakat adalah terdiri dari individu-individu yang

mempunyai hak dan kewajiban. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap

korban kejahatan di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-

undangan terutama dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

3 Ibid, hlm. 64 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm.15

5

jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602)

(selanjutnya disebut UU PSK) dan mengenai perlindungan terhadap korban

berupa pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan telah dijabarkan lebih lanjut

dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44

Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi

dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4860) (selanjutnya

disebut PP No. 44/2008).

Korban kerusuhan merupakan korban kejahatan yang berhak mendapat

perlindungan hukum berupa restitusi, kompensasi dan bantuan sebagaimana diatur

dalam UU PSK jo. PP No. 44/2008. Jaminan terhadap perlindungan hukum

restitusi bagi korban kerusuhan sudah mendapatkan jaminan yang kuat setelah

terbitnya UU PSK dan PP No. 44/2008 namun mengenai kompensasi dapat

dikatakan belum mendapatkan jaminan yang kuat karena kompensasi hanya

diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat dan korban tindak pidana

terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PSK jo. Pasal 2 PP No. 44/2008.

Pemberian kompensasi terhadap korban dapat ditemukan juga dalam Pasal 95-96

KUHAP. Korban dalam pasal ini adalah tersangka, terdakwa, terpidana atau pihak

lain yang mendapat perlakuan tidak baik dari aparat penegak hukum, bukan

terfokus pada korban kejahatan yang disebabkan oleh suatu tindak pidana.

Sementara restitusi juga belum tentu dapat dipenuhi oleh pelaku dalam hal dia

6

tidak mampu, seharusnya negara dapat memberikan kompensasi namun karena

pengaturan mengenai kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran

HAM berat dan korban tindak pidana terorisme maka kompensasi tidak dapat

diberikan bagi korban kejahatan kekerasan, dalam hal ini termasuk korban

kerusuhan.

Selama ini penegakan hukum pidana di Indonesia hanya berorientasi pada

pembuat kejahatan tanpa menghiraukan korbannya, hanya memfokuskan hak dan

kewajiban pembuat kejahatan tanpa memikirkan hak dan kewajiban korban.

Permasalahan ini menjadi penting mengingat kerusuhan sering terjadi di

Indonesia, kendati pihak aparat keamanan sudah sejak dini mengantisipasinya.

Sampai saat ini masih belum ada seseorang yang dihadapkan ke meja hijau akibat

ulahnya sebagai pelaku utama dalam kerusuhan maupun pelaku lain dengan

hukuman tambahan membayar ganti kerugian akibat perbuatan yang

dilakukannya.

Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah kerugian yang diderita para

korban kerusuhan, belum bisa diputuskan siapa yang harus mengganti. Fenomena

ketidakadilan yang dialami korban akan lebih jelas dan nyata, ketika dikaji dari

tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif karena pelaku kejahatan lebih

mendapatkan perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readaptasi

sosial, pemasyarakatan dan lain-lain.5 Hal ini merupakan suatu bentuk

ketidakadilan bagi korban, karena sebagai pihak yang dirugikan hanya

difungsikan sebagai sarana pembuktian saja, tidak jarang hak-hak asasi korban

5 Adhi Wibowo, Op.cit, hlm.8

7

terabaikan. Bekerjanya peradilan pidana, baik dalam lembaga dan pranata

hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan. Kedudukan korban dalam

peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan selama ini terabaikan, secara

praktis kondisi yang demikian ini berakibat masih belum adanya perlindungan

hukum berupa pemberian kompensasi terhadap korban khususnya akibat menjadi

sasaran oleh para perusuh. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam

uraian latar belakang di atas, penulis melihat dalam permasalahan ini adanya

kekosongan norma terkait pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan

terhadap korban kerusuhan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ke

dalam bentuk suatu karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul “Pemberian

Kompensasi Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kerusuhan”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1) Bagaimanakah pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam

hukum positif Indonesia?

2) Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang

dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan

perundang-undangan Indonesia?

8

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam rangka menghindari terjadinya pembahasan yang terlalu meluas

dan menyimpang dari pokok permasalahan, serta agar pembahbasannya lebih

sistematis, maka penulisan penelitian ini perlu diberikan batasan ruang

lingkupnya. Terhadap permasalahan pertama akan dibahas mengenai pengaturan

kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam hukum positif Indonesia. Terhadap

permasalahan kedua akan dibahas mengenai kebijakan hukum pidana dimasa

yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga skripsi ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Sejauh ini penelitian tentang

“Pemberian Kompensasi Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban

Kerusuhan” belum pernah dilakukan. Hal ini diperoleh dengan observasi melalui

internet dan perpustakaan seperti Ruang Koleksi Skripsi Perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Udayana. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari penelitian

ini, maka dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan

penelitian ini.. Adapun penelitian sebelumnya yang menyangkut tentang

perlindungan adalah sebagai berikut:

1. Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

YANG BERMASALAH DENGAN HUKUM DI POLTABES

DENPASAR, ditulis oleh I Dewa Ayu Listari Utami tahun 2010 dari

9

Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

1) Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum dalam tahap penyidikan?

2) Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi penyidik dalam upaya

menangani perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah

dengan hukum dan upaya apakah yang dilakukan untuk

mengatasinya?

2. Skripsi dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN

SEKSUAL,” ditulis oleh Cokorda Istri Agung Diah Astiti Mataram

tahun 2013 dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan

rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak

sebagai kekerasan seksual saat ini?

2) Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi perempuan dan

anak korban kekerasan seksual di masa yang akan datang?

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berdasarkan pemaparan latar belakang masalah dan

rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian digolongkan menjadi

dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:

10

1.5.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

dan lebih memahami mengenai perkembangan hukum di Indonesia dan

menambah pengetahuan hukum pidana mengenai pemberian kompensasi

sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan di Indonesia.

1.5.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

1) Untuk dapat mengetahui pengaturan pemberian kompensasi terhadap

korban kerusuhan dalam hukum positif Indonesia.

2) Untuk dapat mengetahui kebijakan hukum pidana dimasa yang akan

datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan

dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

1.6. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberikan manfaat kepada

berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini yang terdiri dari manfaat teoritis

dan manfaat praktis, yaitu:

1.6.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum terutama

pengembangan hukum pidana. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman teoritis mengenai pemberian kompensasi

sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan dan diharapkan

11

dapat memberikan masukan dan menambah informasi bagi pihak-pihak

yang ingin mengetahui bagaimana sebaiknya kebijakan hukum pidana

dimasa yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap

korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.

1.6.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penulisan suatu penelitian diharapkan dapat

memberikan kontribusi untuk keperluan praktek. Manfaat praktis

penulisan ini adalah:

1) Bagi pemerintah, diharapkan menjadi masukan ataupun bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran kepada pemerintah

khususnya bagi pembentuk undang-undang yakni Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), sebagai badan legislatif pembuat undang-undang di

Indonesia terkait dengan pemberian kompensasi sebagai upaya

perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya korban

kerusuhan, dimana pembaharuan hukum pidana yang dilakukan

hendaknya dapat mengakomodir hak-hak korban kerusuhan sehingga

tidak ada lagi kekaburan norma, kekosongan norma, maupun norma

konflik nantinya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat

menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga penegak hukum yang

terkait, khususnya mengenai upaya perlindungan terhadap korban

kerusuhan.

2) Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan informasi yang

konstruktif kepada masyarakat yang diharapkan peranannya dalam

12

mendukung aparat penegak hukum terkait upaya perlindungan

terhadap korban kerusuhan dalam hal pemberian kompensasi.

3) Bagi penulis adalah untuk menambah wawasan penulis berkenaan

dengan pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap

korban kerusuhan.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1. Konsep Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum

(rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Prof. R.

Djokosutomo, SH mengatakan, bahwa negara hukum menurut UUD 1945

adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum.6 Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara

hukum.” Oleh karena itu, negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya

atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada hukum.

Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan

untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang

umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum

menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu, dan agar semua

berjalan menurut hukum.7

6 C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia(Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak ProklamasiKemerdekaan 1945 Hingga Kini), cetakan I, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 86

7 Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Nusamedia dan Nuansa,Bandung, hlm. 382

13

Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini

suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum asalkan memenuhi

dua belas prinsip, yakni:

1) Supremasi Hukum (supremacy of law);2) Persamaan dalam Hukum (equality before The Law);3) Asas legalitas (due process of law);4) Pembatasan kekuasaan;5) Organ-organ eksekutif independen;6) Peradilan bebas dan tidak memihak;7) Peradilan tata usaha negara;8) Peradilan tata negara;9) Perlindungan hak asasi manusia;10) Bersifat demokratis (democratische rechtstaat);11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara

(welfare rechtstaat);12) Transparansi dan kontrol sosial.8

Philipus M. Hadjon memberikan ciri-ciri negara hukum sebagai

berikut:

1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat;2) Hubungan fungsional yang proposional di antara

kekuasaan negara;3) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, peradilan

sarana terakhir;4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.9

Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya di

berbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat

dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas

konstitusional.10 Hukum yang hendak ditegakkan dalam negara hukum

8 Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan PusatStudi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, hlm. 124

9 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara DalamMewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 45

10 Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Total Media, Yogyakarta,hlm. 44

14

agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindungi hendaklah hukum

yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat,

untuk rakyat, dan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dibuat secara

konstitusional tertentu. Dengan demikian, elemen-elemen yang penting

dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan merupakan

syarat mutlak adalah:

1) Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;2) Asas legalitas;3) Asas pembagian kekuasaan negara;4) Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak5) Asas kedaulatan rakyat6) Asas demokrasi, dan7) Asas konstitusionalitas.11

Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang

absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya konsep the rule of

law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari sisi atau kriteria

rechtsstaat dan kriteria rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu atas

sistem hukum continental yang disebut civil law, sedangkan konsep the

rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law.

Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik

common law adalah judicial.12

11 Ibid.12 Ni’ Matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Cet. 5, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, hlm. 74

15

1.7.2. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik

kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan

hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari

tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari

sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa

politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).13

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah

bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu

perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum

pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan

dan daya guna.14 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa

kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus

13Barda Nawawi Arief, 2014, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkatBarda Nawawi I) hlm. 28

14 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 153

16

seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

hukum positif dirumuskan secara lebih baik.15

Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum

pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan :

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perludiubah atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindakpidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaanpidana harus dilaksanakan.16

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukumpidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan eratdengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidanaitu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatuupaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yangsesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dansosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.17 Maknadan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untukmengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalahkemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuannasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukumpidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upayaperlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangankejahatan).

3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruanhukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upayamemperbaharui substansi hukum (legal substance) dalamrangka mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilaiPembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upayamelakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi)nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang

15 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 2716 Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hlm. 2717 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 29

17

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dansubstantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlahpembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilaidari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lamawarisan penjajah (KUHP Lama atau WvS).18

1.7.3. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum memiliki tiga (3) teori, yaitu:

1. Teori utilitasTeori yang menitikberatkan pada kemanfaatan yangterbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberianperlindungan bagi para korban kejahatan dapat diterapkansepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besardibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut,tidak juga bagi korban kejahatan tetapi juga bagi sistempenegakan hukum pidana secara keseluruhan.

2. Teori tanggung jawabPada hakikatnya subyek hukum (orang maupun kelompok)bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yangdilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan tindakpidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian(dalam arti luas) orang tersebut hrus bertanggung jawabkecuali alasan yang membebaskannya.

3. Teori ganti kerugianSebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannyaterhadap orang lain sebagai pelaku tindak pidana dibebanikewajiban untuk membayar ganti kerugian pada korban atauahli warisnya.19

Secara sederhana, kata perlindungan memiliki tiga (3) unsur,

yaitu:

1. Subyek yang melindungi;

2. Obyek yang akan dilindungi karenanya;

18 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 29-3019 Dikdik M.Arief Mansyur dan Elissatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan Antara Norma dan Realita, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 161

18

3. Alat, instrument maupun upaya yang digunakan untuk

tercapainya perlindungan tersebut.

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan

manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan

kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.20 Perlindungan

hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu

ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh

masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat

tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota

masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap

mewakili kepentingan masayarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat

agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.21

Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra bahwa hukum dapat

difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar

adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan antipatif.22

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi

hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu

20 Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnyadisingkat Satjipto Rahardjo I), hlm. 69

21 Ibid, hlm. 5422 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja

Rusdakarya, Bandung, hlm. 118

19

perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan aturan

hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang

bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka

menegakkan peraturan hukum. Hakekatnya setiap orang berhak mendapat

perlindungan dari hukum. Oleh karena terdapat banyak macam

perlindungan hukum.

Selama ini pengaturan perlindungan hukum belum menampakkan

pola yang jelas. Dalam hukum pidana positif di Indonesia, perlindungan

hukum lebih banyak merupakan perlindungan abstrak”atau perlindungan

tidak langsung. Hal tersebut artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam

peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada

perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum

dan hak asasi korban.23 Perlindungan secara tidak langsung dalam hukum

positif tersebut belum mampu memberi perlindungan secara maksimal,

karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku

secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

1.7.4. Teori Perlindungan Korban

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan

korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:

a. dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidakmenjadi korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAMatau kepentingan hukum seseorang).

23 Ibid., hlm. 120

20

b. dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperolehjaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yangtelah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan“penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupapemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbanganbathin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi(restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial),dan sebagainya.24

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,

seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan

bantuan hukum.25 Selain itu, di dalam Deklarasi Milan tentang

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse

of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk-bentuk perlindungan

yang dapat diberikan kepada korban yaitu:

1. Access to justice and fair treatment;

2. Restitution;

3. Compensation;

4. Assistance.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif

karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada,

24 Barda Nawawi Arief, 2014, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum PidanaDalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkatBarda Nawawi Arief II) hlm. 61-62

25 Dikdik M.Arief Mansyur dan Elissatris Gultom, Op.cit, hlm. 31

21

untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum

kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dalam praktek hukum.26

Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini

beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu

kekosongan norma terkait permasalahan pemberian kompensasi terhadap

korban tindak pidana khususnya korban kerusuhan. Penelitian hukum

normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dalam pemberian

kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu:

pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan kasus

(the case approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach), pendekatan analisis konsep hukum

(analitical & the conseptual approach),27 pendekatan fakta (fact

apporach) dan pendekatan frasa (words & phrase approach). Jenis

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis

pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan analisis konsep

hukum (analitical & the conseptual approach) dan pendekatan

perbandingan (comparative approach).

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu TinjauanSingkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13

27 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, hlm. 133

22

Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang

berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma

hukum/kaidah-kaidah yang berhubungan dengan pemberian kompensasi

sebagai upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya

korban kerusuhan. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan

pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep aturan yang jelas

tentang konsep kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban

tindak pidana di Indonesia khususnya korban kerusuhan. Pendekatan

perbandingan dipergunakan untuk mengetahui pengaturan tentang

pemberian kompensasi di beberapa negara, sehingga dapat

memperbandingkan dan mengambil hal-hal yang dianggap sesuai dan

cocok untuk diterapkan dalam perlindungan terhadap korban tindak pidana

khususnya korban kerusuhan di Indonesia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini berasal

dari:

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang

berkaitan, yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang

digunakan adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

23

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban;

5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban;

6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia

7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata

Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran

Hak Asasi Manusia Yang Berat;

8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi

dan Korban;

9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

10. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban

Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan;

11. RUU-KUHP Nasional Tahun 2015.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu

24

meliputi buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, literatur,

makalah, tesis, skripsi dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya

yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, disamping itu

juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui

electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy

(download) bahan hukum yang diperlukan.Kegunaan bahan hukum

sekunder adalah memberikan petunjuk untuk melangkah, baik

dalam membuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, bahkan

menentukan metode pengumpulan dan analisis bahan hukum yang

akan dibuat sebagai hasil penelitian.28

3) Sumber bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadan bahan hukum hukum primer dan

sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library

research). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card

system) yaitu dengan cara mengumpulkan beberapa buku-buku yang

terkait dengan penelitian ini kemudian mencatat dan memahami isi dari

masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan

28 Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 54

25

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian

dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penulisan skripsi ini.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat

digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi

dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang

tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau

non-hukum. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat,

setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,

keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam

bahan hukum sekunder.

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi

karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum. Pembahasan permasalahan hukum makin banyak

argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik

sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep

hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun antara yang tidak sederajat.