crs ca sinonasal fix

55
Case Report Session KARSINOMA SINONASAL Oleh : Nadia Ventiani 0910312045 Syntia Ambelina 0910312079 Preseptor : Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP Dr. M. DJAMIL 0

Upload: osynambelina

Post on 30-Sep-2015

57 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

cxfghg

TRANSCRIPT

Case Report SessionKARSINOMA SINONASAL

Oleh :

Nadia Ventiani

0910312045

Syntia Ambelina

0910312079

Preseptor :

Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP Dr. M. DJAMIL

PADANG

2015

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa, akhirnya kami dapat menyelesaikan case ini yang berjudul Karsinoma Sinonasal. Case ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior pada bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dr. Sukri Rahman, Sp. THT-KL selaku preseptor yang telah memberikan arahan dan petunjuk serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, untuk itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Padang, Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

1

DAFTAR ISI

2

DAFTAR GAMBAR

3

BAB IPENDAHULUAN

4

1.1 Latar Belakang

4

1.2 Batasan Masalah

5

1.3 Tujuan Penulisan

5

1.4 Metode Penulisan

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

6

2.1 Anatomi

6

2.2 Karsinoma Sinonasal 10

2.2.1. Epidemiologi

10

2.2.2. Etiologi

10

2.2.3. Patofisiologi

11

2.2.4. Histopatologi

11

2.2.5. Klasifikasi

13

2.2.6. Gejala Klinis

17

2.2.7 Diagnosis

18

2.2.8.Pengobatan

20

2.2.9. Prognosis

22

2.2.10 Komplikasi

22BAB III. ILUSTRASI KASUS

25

RESUME

33

DISKUSI

34DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

7Gambar 2 Sinus paranasal

8Gambar 3. Aliran Limfatik Regio Kepala dan Leher

9

Gambar 4. Patofisiologi Karsinoma Sinus Paranasal

11

Gambar 5a. Pasien dengan tumor sinonasal

19

Gambar 5b. Gambaran CT-Scan Tumor Sinonasal

19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian keganasan hidung dan sinus paranasal tergolong rendah, akan tetapi diagnosis dini kasus ini seringkali mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan, sehingga memerlukan perhatian khusus oleh dokter umum maupun ahli Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Dari data ditemukan bahwa keganasan hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas tubuh, dan 3% dari keganasan di kepala dan leher.1,2,5,10 Dengan predileksi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), diikuti sinus etmoid dan hidung (20-30%), sedangkan sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%).1,4

Secara anatomis hidung dan sinus paranasal merupakan suatu struktur dan rongga yang berhubungan erat. Keganasan di hidung dapat lebih cepat terlihat dan menimbulkan gejala, tetapi keganasan di sinus yang merupakan rongga tersembunyi di dalam tulang-tulang pembentuk wajah, tidak mungkin terlihat hanya melalui pemeriksaan fisik biasa. Seringkali diagnosis baru ditegakkan setelah tumor sudah merusak struktur di sekitarnya sehingga asal tumor sangat sulit ditentukan.1Hidung tersumbat, epistaksis dan rinorea merupakan gejala utama yang sering dikeluhkan pasien. Gejala ini mirip dengan rhinitis dan sinusitis pada umumnya, sehingga seringkali lewat dari pengamatan dokter pemeriksa. Gejala dan tanda klinis serta beragamnya gambaran histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya. Pemeriksaan radiologik tomografi komputer (CT-Scan) atau MRI mempunyai peranan penting untuk menentukan asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.1Umumnya keganasan hidung dan sinus paranasal ditemukan sudah berada dalam stadium lanjut, sehingga penanganannya harus bersifat multidisiplin dengan bagian yang terkait.1,2

1.2 Batasan Masalah

Pembahasan tulisan ini dibatasi pada definisi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksaan karsinoma sinonasal.

1.3 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis khususnya mengenai karsinoma sinonasal.

1.4 Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi1. Hidung

Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena struktur anatomis keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang merupakan pintu masuk ke rongga hidung merupakan rongga hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang mengandung rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages) dan bagian medial, dibatasi kolumela septum.1Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi, dimulai dari daerah transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa hidung, dan ke belakang sampai ke koana. Septum nasi sebagian besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian anterior dan bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular tulang etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang vomer yang membentuk bagian bawah septum. 1,6Mukosa yang meliputi rongga hidung adalah epitel toraks berlapis semu bersilia yang mengandung kelenjar serosa yang menghasilkan mukus. Epitel olfaktorius menempati daerah yang paling superior dari rongga hidung yang langsung berhubungan dengan saluran olfaktorius di daerah kribriformis. Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh konka inferior, media dan superior. Di bawah masing-masing konka terdapat meatus. Ostium duktus nasolakrimal terdapat di meatus inferior. Bagian yang penting dari dinding lateral rongga hidung adalah konka media yang di bawahnya terdapat meatus media dengan kompleks osteomeatal dimana terdapat muara dari sinus-sinus anterior antara lain sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Konka superior yang kadang-kadang tidak terbentuk, di bagian bawah terdapat meatus superior dimana terdapat ostia sinus sfenoid dan etmoid posterior.1,62. Sinus maksila1,6,9Sinus maksila mulai berkembang pada usia 3 tahun dan berkembang cepat pada usia 7-18 tahun mencapai ukuran dewasa sebesar 34 x 33 x 23 mm atau volume rata-rata 14,75-15 mL. Sinus maksila (Antrum of Highmore) merupakan rongga sinus terbesar, terletak di dalam tulang maksila (tulang pipi), jumlah sepasang, dan umunya simetris. Sinus maksila berbentuk piramid dengan dasar dinding lateral rongga hidung, dan puncaknya ke arah prosesus zygomatikus.

Gambar 1. Anatomi sinus paranasal (lateral). Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 45

Atapnya merupakan dasar orbita, dan lantai sinus dibatasi oleh prosesus alveolar. Dinding anterior yaitu fosa kanina, memisahkan sinus maksila dengan kulit pipi. Kurang lebih 1 cm di bawah dinding orbita inferior terdapat foramen infraorbita yang mengandung pembuluh darah, dan saraf infraorbita yang memperdarahi dan mempersarafi gingiva, dentis kanina serta insisivus atas. Dinding posterior dibatasi oleh fosa infratemporal, dan pterigomaksila berhubungan dengan arteri sfenopalatina yang merupakan cabang terbesar dari arteri maksilaris interna.

3. Sinus etmoidalis

Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil, sehingga disebut juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke 3 - 4 kehidupan janin sebagai proses evaginasi dinding lateral hidung di daerah meatus media (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4 sel dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel pada usia 12 tahun, dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid terletak di pertengahan atas rongga hidung dan medial rongga orbita.

a.

b.

Gambar 2. Sinus paranasal. A. Potongan koronal. B. Potongan melintang. Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 43-4

4. Sinus frontalis1,9

Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang dari 2 tahun, dan terbentuk lengkap pada usia akhir belasan. Besar dan bentuk sinus frontal sangat bervariasi, bahkan pada 5% populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang. Ukuran dewasa rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang berjalan ke bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas infudibulum, atau bermuara langsung di meatus media. Lapisan diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan batas anterior sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh lapisan tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari fosa kranii anterior.

5. Sinus sfenoidalis

Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15 tahun, dengan ukuran 14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata 7,5ml.

Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum intersinus. Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium kecil di resesus sfenoetmoid yang berlokasi 10 mm di atas dasar sinus atau kurang-lebih 30 mm dari lantai rongga hidung. Di atas sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf optikus, sedangkan di lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan arteri karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan tulang yang tipis dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga tindakan kuret harus dilakukan sangat hati-hati karena dapat merusak struktur penting di sekitarnya.

6. Sistem Limfatik1Pembuluh limfe di sinus paranasal sangat sedikit sekali, sehingga metastasis ke kelenjar limf regional terjadi bila tumor primer sudah meluas ke struktur di sekitar sinus paranasal yang lebih banyak mengandung jaringan limfatik seperti nasofaring, mukosa pipi, palatum, kulit pipi dan rongga hidung. Aliran limfe yang berasal dari rongga hidung dan palatum terutama menuju ke sistim limfatik nasofaring selanjutnya menuju ke kelenjar limf retrofaring dan faring lateral di dasar tengkorak, sedangkan aliran limf dari sinus paranasal sendiri akan menuju ke kelenjar limf parafaring dan retrofaring, selanjutnya ke kelenjar subdigastrik.

Gambar 3. Aliran limfatik pada regio kepala dan leher. Sumber: Netter FH. Lymphatic System:Head and Neck Region. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 62.2 Karsinoma Sinonasal2.2.1 Epidemiologi Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika daripada di Amerika Serikat. Dibagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum dari kanker kepala leher. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi ada orag berusia 45 - 85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3

Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 dala 100.000 orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam putih, dan insiden ada laki - laki adalah dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir dalam dekade kelima dan keenam usia.4

2.2.2 Etiologi

Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan sinus paranasal. Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan waktu laten kurang lebih 20-30 tahun untuk dapat berkembang menjadi keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus paranasal menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga, seperti nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat organik. Bahan-bahan kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu pada industri furnitur dan penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi terjadinya adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding populasi normal.1,2,5 Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi apabila terakumulasi di mukosa dapat mengakibatkan inflamasi kronis sehingga turnover rate mukosa meningkat dan pada akhirnya memicu hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut menjadi keganasan.12 Ciri gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe intestinal (golongan non-salivary gland-type adenocarcinoma).12

Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila mempunyai latar belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi keganasan adalah 36 kali lebih besar dari orang sehat.4

2.2.3 Patofisiologi

Gambar 4. Patofisiologi Karsinoma Sinonasal2.2.4 Histopatologi Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan menjadi tumor epitel, non epitel dan metastasis tumor.

Tumor ganas epitel

Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah karsinoma sel skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), sinus etmoid 10-22%, hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar 2% dan di sinus frontal yang paling jarang ditemukan yaitu, kurang dari 1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi baik, tumbuh agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional. Adenokarsinoma dan adenosistik karsinoma yang termasuk tumor epitel yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya sekitar 10-14 %, sering ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade) dengan tingkat metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma cenderung untuk terjadi rekurensi lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien dengan high grade adencarcinoma akan disertai metastasis jauh. Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal adalah dengan membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type adenocarcinoma dan non-salivary gland-type adenocarcinoma yang kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal dan non-intestinal.11 Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi kraniofasial anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau tanpa radioterapi. Angka bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2, 28% untuk T3, dan 25% untuk lesi T4.5

Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus paranasal, paling sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1% dari seluruh keganasan di daerah ini. Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh secara limfogen dan hematogen.

Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini. Dari 400 kasus karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya ditemukan 21 kasus yang terdapat di hidung dan sinus paranasal. Tumor jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan lebih dar-i 25% telah bermetastasis jauh.1

Tumor ganas non-epitel

Tumor ganas yang berasal dari mesoderm ini hanya menempati 5% dari seluruh keganasan di hidung dan sinus paranasal. Termasuk dalam jenis ini antara lain, rabdomiosarkoma, fibrosarkoma, ameloblastoma maligna, osteogenik sarcoma, plasmasitoma, dan limfoma maligna. Secara keseluruhan tumor ganas non epitel ini sangat sulit diobati baik secara pembedahan maupun dengan radiasi ataupun dengan kemoterapi sehingga prognosisnya sangat buruk. Limfoma malignum biasanya jenis non Hodgkin's, dapat secara lokal tumbuh di hidung dan sinus paranasal atau bagian dari lesi yang bersifat sistemik.1,2

Metastasis tumor

Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan tempat metastasis jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal menimbulkan gejala yang mirip dengan tumor primer yang paling sering berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.

2.2.5 Klasifikasi

Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih kontroversial, sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid sampai saat ini belum ada sistim klasifikasi stadium yang dipakai secara luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang ditemukan.1,2,3 Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan di sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian Anteroinferior (Infrastruktur) dan Postero superior (Suprastruktur) berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus mandibula ke kantus medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor yang berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM dan menambahkan uraian daerah Onhgren. Sakai tahun 1985 mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh UICC dan AJCC. Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu berdasarkan UICC (Union Internationale Contre le Cancer) atau International Union Against Cancer edisi ke 6 tahun 2002s klasifikasi ini hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga hidung, serta harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri mengambil sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber dalam pengklasifikasian yang serupa dengan UICC dimana penilaian TNM didasari atas pemeriksaan fisik, dan penunjang antara lain nasoendoskopi, foto Rontgen, CT-Scan, MRI, ataupun modalitas pencitraan terkini lainnya.3

Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :

TTumor Primer

TXTumor primer tidak diketahui

T0Tidak terbukti adanya tumor primer

TisKarsinoma insitu

Sinus Maksila

T1Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau destruksi tulang

T2Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang, meluas ke palatum durum dan atau meatus media tanpa perluasan ke dinding posterior sinus maksila dan tulang pterigoid

T3Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding posterior sinus maksila, jaringan subkutan, dasar atau medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid

T4aTumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit pipi, os pterigoid, fosa infratemporal, kribriformis, sinus sphenoid atau frontal

T4bTumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/ intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

Rongga hidung dan Sinus etmoid

T1Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi sinus etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang

T2Tumor sudah meluas ke dua organ di rongga hidung atau ke dua sisi sinus etmoid, atau meluas ke kompleks nasoetmoid, dengan atau tanpa invasi tulang

T3Tumor sudah meluas dan menginvasi dinding medial atau lantai orbita, sinus maksila, palatum, daerah kribriformis

T4aTumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit pipi atau hidung, os pterigoid, perluasan minimal ke fosa kranii anterior, sinus sphenoid atau frontal

T4bTumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/ intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

N = Kelenjar Getah Bening Regional

Nxadanya metastasis ke KGB regional tidak dapat dinilai

N0Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

N1Metastasis ke salah satu kgb regional ipsilateral degan diameter terbesar sama dengan atau kurang dari 3 sentimeter

N2Metastasis ke salah satu kgb ipsilateral den-an diameter terbesar antara 3 cm Sampai 6 cm, atau multiple ipsilateral, atau bilateral atau kontra lateral dengan diameter terbesar kurang dari 6 crn

N2aMetastasis ke salahsatu kgb ipsilateral dengan diameter terbesar antara 3 sampai 6 cm

N2bMetastasis ke kgb multiple ipsilateral dengan diameter terbesar kurang 6 cm

N2cMetastasis ke kgb bilateral atau kontralateral dengan diameter terbesar sampai 6 cm

N3Metastasis ke kgb dengan diameter terbesar lebih dari 6 cm

M = Metastasis Jauh

MxAdanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0Tidak terdapat metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

KLASIFIKASI STADIUM TNM

Stadium 0TisN0M0

Stadium IT1N0M0

Stadium IIT2N0M0

Stadium IIIT1,T2N1M0

T3N0. N1M0

Stadium IvaT1,T2,T3N2M0

T4aNo, N1, N2M0

Stadium IvbT4bSetiap NM0

Setiap TN3M0

Stadium IvcSetiap TSetiap NM1

2.2.6Gejala Klinis 1,2,4,5,10Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari rongga hidung atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid, sebab secara anatomis daerah tersebut berhubungan. Hal yang sering dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa tumor sudah meluas mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah mengenai kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara klinis sangat sulit menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal, gejala yang timbul tergantung dari tempat asal dan perluasan tumor. Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan peradangan kronis di hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium lanjut. Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang bersifat unilateral seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis, anosmia harus dicurigai adanya keganasan. Adanya rasa nyeri dan pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh keganasan di sinus frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai tumor ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring atau sfenoetmoid.

Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di pipi yang menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke dinding sinus anterior. Lebih dari 50% keganasan di sinus maksila dan etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi atau pangkal hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan masuk rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior menyebabkan keluhan gigi-geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal, atau meluas ke posterior melalui rongga pterigomaksila, masuk ke fosa kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.

Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh perluasan tumor melalui dinding orbita inferior atau melalui lamina papirasea. Gejala yang timbul berupa, diplopia, berkurangnya visus dan eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran jarak antara kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan epifora menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis. Pada stadium lanjut terdapat gangguan neurologis karena kerusakan saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar tengkorak.

2.2.7. Diagnosis 1,2,5Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

A. Anamnesis Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal sering berupa sumbatan, rinore, epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang cukup, baik dengan alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi. Adanya asimetri wajah atau proptosis dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal. Adanya massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna, permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan apakah ada massa tumor di palatum atau sulkus gingivobukalis, bila perlu digunakan sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi tulang palatum, penonjolan atau gigi yang goyah.1,2Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior. Pemeriksaan lain yang harus dilakukan adalah, pemeriksaan telinga, adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa tumor yang menutup tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata, pemeriksaan saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun keganasan di hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening regional.

C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters atau lateral), tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60% kasus, adanya destruksi tulang dapat terlihat pada foto polos, tetapi adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas terlihat. Kadang-kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit dibedakan dengan proses peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal sudah jarang digunakan.

CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena dengan jelas dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan tumor primer ke jaringan lunak, sehingga derajat invasi tumor tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke kelenjar getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan gambaran destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke jaringan lunak lebih jelas terlihat dan lebih tidak invasif dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.

a. b. Gambar 5.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 5.b. Gambaran CT-Scan pasien 5.a. dengan keterlibatan sel tumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita. Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary Health Institution. JNMA;99:1407-10

Biopsi

Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan pengobatan. Pada umumnya pasien datang sudah dalam stadium lanjut dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan sudah menginfiltrasi kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan mudah dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Untuk kasus tumor vaskuler, diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.1,22.2.8. Pengobatan 1,4,5,6 Pembedahan

Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan modalitas utama dan lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya dilakukan untuk tumor yang sangat besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi terhadap struktur penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di hidung dan sinus paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun mempunyai variasi luas antara 19 86%.5Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat secara adekuat dengan reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek dapat langsung di rekonstruksi dengan "local flap" atau "forehead flap" pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek akan lebih mudah ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding lateral hidung dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila tumor sudah meluas ke sinus maksila atau etmoid, dilakukan maksilektomi medial dengan cara pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan lempeng kribiformis, atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial anterior.6Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior, dapat dilakukan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila telah meluas ke vestibulum, dasar rongga hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan pendekatan Weber-Fergusson atau Rinektomi total.

Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh Lizars pada tahun 1822 yang pertama kali melakukan maksilektomi.1 Beberapa modifikasi maksilektomi dapat dilakukan yaitu maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi parsial maupun total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi obita. Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus etmoid yang mengenai pula dinding medial antrum. Maksilektomi partial dilakukan untuk mengangkat tumor yang mengenai bagian superior atau inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan radikal sinus maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita. Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan diganti dengan maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya perkembangan pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan dan MRI sehingga perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat. Saat ini maksilektomi total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi orbita hanya dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar, palatum durum, daerah pterigoid atau ke rongga orbita.1Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan maksilektomi partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial degloving", sedangkan bila stadium III, harus dilakukan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasikan dengan radiasi pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita, diperlukan operasi radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi perlu dilakukan jika terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola mata,dan jelas terdapat destruksi tulang. Indikasi mutlak adalah jika tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior dan apeks orbita. 1,4Pada tumor stadium IVa , tumor masih dapat diangkat dengan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasi dengan kraniotomi anterior, pendekatan ini disebut reseksi kraniofasial. Tumor stadium IVb, masih dapat diangkat walaupun sifatnya debulking dan dilanjutkan dengan radiasi atau kombinasi dengan kemoterapi. Bila terdapat metastasis ke kgb regional seharusnya dilakukan dulu diseksi kgb leher. Pada tumor stadium IVc (lanjut), pembedahan hanya bersifat paliatif.

Tumor sinus etmoid stadium I (masih terbatas di mukosa), dapat diangkat dengan pendekatan etmoidektomi ekstranasal atau secara endoskopik intranasal. Pada stadium yang lebih lanjut, pendekatannya seperti tumor di sinus maksila.1,42.2.9. Prognosis 1,2Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan hidung dan sinus paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang dalam keadaan stadium dini. Faktor yang mempengaruhi prognosis antara lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan banyak lagi.2 Umumnya pasien datang dalam stadium lanjut, tumor sudah meluas ke seluruh struktur hidung dan sinus paranasal, sehingga asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat tumor secara "en block". Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih buruk. Sampai beberapa dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang bermakna terhadap angka bertahan hidup (survival rates) pada seluruh keganasan hidung dan sinus paranasal. Angka bertahan hidup selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila berkisar antara 20-50%, hal yang sama juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal lainnya.1 Tapi dengan pengobatan yang agresif dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5 tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

2.2.10 Komplikasi 7,9

Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan rekonstruksi.Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS, infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya.

1) PerdarahanPerdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan.Masalah ini dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan aktif dicatat sampai setelah operasi.Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan.Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan.2) CSF kebocoran

Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak.Manajemen yang tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin di mulut, tanda halo, atau tanda reservoir.Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin.Tes, seperti tes untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh beberapa hari untuk hasil untuk diproses.

Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik.Jika resolusi tidak terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit, tulang turbinate, dan mukosa hidung.Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned.Untuk kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan mengintegrasikan.3) EpiphoraEpiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada saluran keluar lacrimalis.Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta lacrimalis, karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak lanjut dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan.4) DiplopiaDiplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan kerucut orbital.Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti rekonstruksi.Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi.Konsultasi Oftalmologi adalah standar perawatan.5) RekonstruksiDalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi.Sebuah flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan.Prostesis wajah dapat ditawarkan untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim dan pasien adalah keharusan.

Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling penting dan dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar.Hasil ini harus ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan. BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIENNama

: Tn. I

Umur

: 39 tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Alamat

: BengkuluNo. MR: 890838

ANAMNESIS (Autoanamnasis)

Seorang pasien laki-laki dirawat di bangsal THT RSUP DR. M. Djamil Padang pada tanggal 27 Februari 2015 dengan

Keluhan Utama:

Keluar darah dari hidung yang semakin sering sejak 5 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Keluar darah dari hidung yang semakin sering sejak 5 bulan yang lalu, awalnya hidung berdarah mulai dialami pasien sejak 10 tahun yang lalu, frekuensi 4-5 kali pertahun, jumlah membasahi satu sapu tangan, pasien biasanya berobat ke puskesmas setiap hidung berdarah dan mendapat obat minum. Pasien mendapat keterangan bahwa keluhan hidung berdarah disebabkan karena peradangan pada sinus. Akan tetapi, sejak 5 bulan terakhir hidung berdarah semakin sering dialami pasien.

Hidung tersumbat hilang timbul sejak 10 tahun yang lalu dan dirasakan semakin tersumbat sejak 5 bulan terakhir. Hidung tersumbat terutama dirasakan pada hidung sebelah kiri. Hidung tersumbat disertai ingus encer berwarna bening yang banyak dan kadang bercampur darah.

Rasa penuh pada daerah pangkal hidung dekat sudut mata dan daerah dibawah kantong mata hilang timbul sejak 10 tahun yang lalu. Sejak 5 bulan terakhir keluhan semakin sering dirasakan.

Fungsi penciuman hilang sejak 2 tahun yang lalu, terjadi tiba-tiba setelah keluhan hidung berdarah 2 tahun yang lalu. Pasien tidak dapat membedakan aroma wangi maupun busuk.

Penglihatan kabur sejak 1 tahun yang lalu, awalnya mata kanan terasa kabur kemudian diikuti mata sebelah kiri. Dalam 3 bulan terakhir kedua mata dirasakan semakin kabur terutama mata sebelah kanan saat ini hanya bisa melihat banyangan kabur dari arah dekat. Keluhan mata kabur tidak disertai dengan penglihatan ganda.

Kedua bola mata terasa semakin menonjol sejak 1 tahun yang lalu, awalnya bola mata kanan terasa semakin menonjol dan disertai rasa nyeri hebat kemudian diikuti dengan penonjolan bola mata kiri. Pasien berobat ke Sp.M dan mendapat obat untuk keluhan matanya.

Kebas pada pipi kanan dirasakan sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat nyeri kepala hebat disangkal.

Riwayat telinga berair disangkal.

Riwayat telinga berdenging disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sudah menderita keluhan seperti ini selama 10 tahun terakhir.

Pasien tidak memiliki riwayat asma dan alergi.

Pasien tidak memiliki riwayat diabetes dan hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit tumor.Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan: Saat ini pasien bekerja sebagai petani, sebelumnya pasien bekerja di pabrik tekstil selama 12 tahun dan berhenti pada tahun 2009. Riwayat terpapar zat kimia secara langsung (potasium permanganat, dll) ada.

Riwayat merokok ada 1 bungkus perhari, telah berhenti sejak 4 bulan yang lalu.

Riwayat mengonsumsi alkohol disangkal.

Pemeriksaan Fisik

Status GeneralisKeadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: CMC

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Frekuensi nadi : 78x/menit

Frekuensi nafas: 16x/menit

Suhu

: 370C

Pemeriksaan Sistemik

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, proptosis ODS (+), visus OD 0 OS 1/

Paru: Normochest, fremitus kanan=kiri, sonor, suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung: Iktus teraba 2 jari medial midclavicula sinistra RIC V, batas jantung dalam batas normal, irama teratur, bunyi jantung murni, bising (-)

Abdomen : Tidak membuncit, supel, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal

Extremitas: Akral hangat, perfusi baik

STATUS LOKALIS THT

Telinga

PemeriksaanKelainanDekstraSinistra

Daun TelingaKel. Kongenital --

Trauma --

Radang--

Kel. Metabolik --

Nyeri tarik--

Nyeri tekan--

Dinding Liang TelingaCukup lapang (N)Cukup lapangCukup lapang

Sempit--

Hiperemi--

Edema --

Massa--

SerumenBau--

WarnaKecoklatanKecoklatan

JumlahSedikit Sedikit

JenisKeringKering

Membran Timpani

UtuhWarnaPutih mutiaraPutih mutiara

Refleks cahaya++

Bulging--

Retraksi--

Atrofi--

PerforasiJumlah perforasi--

Jenis--

Kwadran--

Pinggir--

MastoidTanda radang--

Fistel--

Sikatrik--

Nyeri tekan--

Nyeri ketok--

Tes Garpu talaRinne++

SchwabachSama dengan pemeriksaSama dengan pemeriksa

WeberTidak ada lateralisasi

KesimpulanNormal

AudiometriTidak diperiksaTidak diperiksa

Hidung

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

Hidung luarDeformitas-Ada

Kelainan congenital--

Trauma--

Radang --

Massa --

Sinus Paranasal

PemeriksaanDextraSinistra

Nyeri tekanAda (etmoid, maksila)Ada (etmoid, maksila)

Nyeri ketok--

Rinoskopi Anterior

PemeriksaanKelainanDextraSinistra

VestibulumVibrise ++

Radang --

Kavum nasiCukup lapang (N)Cukup lapang-

Sempit-Sempit

Lapang --

SekretLokasiKonka mediaKonka media

JenisSerosaSerosa

JumlahSedikitBanyak

BauTidak berbauTidak berbau

Konka inferiorUkuranEutrofiHipertrofi

WarnaMerah muda Merah muda

PermukaanRata Rata

Edema-Ada

Konka mediaUkuranEutrofi Tidak terlihat

WarnaMerah muda-

PermukaanRata -

Edema Tidak ada-

SeptumCukup lurus/deviasiCukup lurus

Permukaan LicinLicin

Warna Merah mudaMerah muda

Spina --

Krista--

Abses--

Perforasi--

MassaLokasi--

Bentuk--

Ukuran--

Permukaan--

Warna--

Konsistensi--

Mudah digoyang--

Pengaruh vasokonstriktor--

Rinoskopi PosteriorPemeriksaanKelainanDekstraSinistra

KoanaCukup lapang (N)

Sempit

Lapang Cukup lapangCukup lapang

MukosaWarnaMerah mudaMerah muda

Edem--

Jaringan granulasi--

Konka inferiorUkuranEutrofi Hipertrofi

WarnaMerah mudaMerah muda

PermukaanRataRata

Edem--

AdenoidAda/tidak--

Muara tuba eustachiusTertutup sekret--

Edem mukosa--

MassaLokasi--

Ukuran--

Bentuk--

Permukaan--

Post Nasal DripAda/tidakAdaAda

JenisSerous Serous

Orofaring dan MulutPemeriksaanKelainanDekstraSinistra

Palatum mole + Arkus faringSimetris/tidakSimetrisSimetris

WarnaMerah MudaMerah Muda

Edema--

Bercak/eksudat--

Dinding FaringWarnaMerah mudaMerah muda

PermukaanRataRata

TonsilUkuranT1T1

WarnaMerah MudaMerah Muda

PermukaanRataRata

Muara kriptiTidak melebar

Detritus--

Eksudat--

Perlengketan dengan pilar--

PeritonsilWarnaMerah Muda

Edema--

Abses--

TumorLokasi--

Bentuk--

Ukuran --

Permukaan--

Konsistensi --

GigiKaries/radiks--

KesanHigiene mulut baik

LidahWarnaMerah mudaMerah muda

BentukSimetrisSimetris

Deviasi--

Massa--

Laringoskopi IndirekPemeriksaanKelainanDekstraSinistra

EpiglotisBentukSeperti KubahSeperti Kubah

WarnaMerah MudaMerah Muda

Edema--

Pinggir rata/tidakRataRata

Massa--

AriteniodWarnaMerah mudaMerah muda

Edema--

Massa--

GerakanSimetris

Ventrikular bandWarnaMerah mudaMerah muda

Edema--

Massa--

Plica vokalisWarnaMerah mudaMerah muda

GerakanSimetris

Pingir medialRataRata

Massa--

Subglotis/trakeaMassa--

Sekret--

Sinus piriformisMassa--

Sekret--

ValekulaMassa--

Sekret ( jenisnya )-

-

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Inspeksi : Tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening

Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Diagnosis Kerja : Tumor sinonasal susp ganas

Pemeriksaan Anjuran :

Biopsi: Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal

CT-Scan Sinus

Diagnosis: Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal Std. IV BTerapi

: Kemoterapi (Cisplatin-Paclitaxel)

Anjuran : Radiasi

Prognosis Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad sanam

: dubia ad bonam

Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

RESUME (DASAR DIAGNOSIS)

Anamnesis

Keluar darah dari hidung yang semakin sering.

Hidung tersumbat hilang timbul dan disertai ingus encer berwarna bening yang banyak dan kadang bercampur darah.

Rasa penuh pada pangkal hidung dekat sudut mata dan daerah dibawah kantong mata hilang timbul.

Fungsi penciuman hilang.

Penglihatan kabur.

Kedua bola mata menonjol

Kebas pada pipi kanan Riwayat terpapar zat kimia secara langsung (potasium permanganat, dll) ada.

Pemeriksaan Fisik

Sinus: Nyeri tekan sinus etmoid dan maksila (+)

Hidung luar: Deformitas (+)

Rinoskopi anterior:

KND: Kavum nasi lapang, KI dan KM eutrofi

KNS: Kavum nasi sempit, KI hipertrofi, KM sulit dinilai, sekret serosa (+) dari meatus media.

Diagnosis Kerja : Tumor sinonasal susp ganas

Pemeriksaan Anjuran :

Biopsi: Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal

CT-Scan Sinus

Diagnosis: Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal Std. IV BTerapi

: Kemoterapi (Cisplatin-Paclitaxel)

Anjuran : Radiasi

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 39 tahun yang di diagnosis dengan Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal Std. IV B. keganasan sinonasal memiliki peringkat kedua tersering dari kanker kepala leher. Pria memiliki risiko 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita Diagnosis karsinoma sinonasal dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, gejala klinik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini dari anamnesis mengeluhkan keluar darah dari hidung yang semakin sering, hidung tersumbat hilang timbul dan disertai ingus encer berwarna bening yang banyak dan kadang bercampur darah, rasa penuh pada pangkal hidung dekat sudut mata dan daerah dibawah kantong mata yang hilang timbul, kehilangan fungsi penciuman, penglihatan kabur, bola mata menonjol, dan kebas pada pipi kanan selain itu dari pasien juga didapatkan riwayat terpapar zat kimia secara langsung dalam waktu lama.Berdasarkan literatur didapatkan bahwa paparan berulang zat kimia dan bahan industri merupakan salah satu penyebab munculnya karsinoma sinonasal. Gejala dan tanda yang muncul tergantung dari asal tumor primer serta arah perluasannya. Gejala yang muncul dapat berupa gejala nasal, orbital, oral, fasial, dan intrakranial

Pada pasien ini gejala nasal yang ditemukan berupa epistaksis berulang, obstruksi hidung dan rinore dengan sekret kadang bercampur darah, dan telah terlihat deformitas hidung. Gejala orbita yang ditemukan berupa proptosis dan gangguan visus. Gejala fasial yang ditemukan berupa parestesia muka akibat terganggunya fungsi nervus trigeminus.

Pasien dengan karsinoma sinonasal uumumnya ditemukan sudah dalam fase lanjut. Ini disebabkan karena gejala awal yang muncul mirip dengan rinitis maupun sinusitis kronis sehingga sering diabaikan pasien maupun dokter akibatnya diagnosis dan tatalaksana yang tepat terlambat diberikan.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dilakukan biopsi terhadap tumor. Berdasarkan hasil biopsi didapatkan hasil Non Keratinizing Carcinoma Sinonasal. Untuk penatalaksanaan dilakukan kemoterapi yang dikombinasi dengan radioterapi.

Prognosis bertahan hidup selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus paranasal berkisar antara 20-50%, tetapi dengan pengobatan yang agresif dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5 tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

DAFTAR PUSTAKA

1. Armiyanto. Keganasan hidung dan sinus paranasal. Dibawakan pada Satelit Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM.

2. Roezin A, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.178-81.3. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. In : Greene FL, Page DL, et al. AJCC Cancer Staging Handbook. 6th ed. Philadelphia : Lippincott-Raven, 2002. H.39.

4. Roezin A. Terapi bedah tumor ganas sinus maksila. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PERHATI. Jakarta: The Indonesian Otorhinolaringological Society, 1995: 1139-47

5. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In : Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head and neck surgery-Otolaryngology.4th ed. vol 2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h.1481-1498.

6. Rassekh CH. Nose and paranasal sinus. In : Close LG, Larson DL, Shsh JP. Essentials of head and neck oncology. New York : Thieme, 1998.h.125-134.

7. Susworo R. Radioterapi pada kasus kanker kavum nasi dan sinus paranasal. In : Dasar-Dasar Radioterapi dan Tatalaksana radioterapi penyakit Kanker. Jakarta: UI-Press, 2006; hal 64-76

8. Dhillon RS, East CA.An illustrated color text : Ear, Nose and Throat and head and neck surgery.2nd ed. Philadelphia : Churchill-Livingstone, 2000. h. 30-6

9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.145-9.

10. Shao W, Vasanth A. Malignant tumor of the nasal cavity. Diperbarui: 16 November 2007. Diunduh dari http://www.emedicine.com tanggal 1 Maret 2015.

11. Leivo I. Update on Sinonasal Adenocarcinoma: Classification and Advances in Immunophenotype and Molecular Genetic Make-Up. Diperbarui: 28 November 2007. Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 1 Maret 2015.

12. Escuredo PJ, Llorente JL, et al. Genetic and clinical aspects of wood dust related intestinal-type sinonasal adenocarcinoma: a review. Diperbarui: 17 Juni 2008. Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 1 Maret 2015.

21