crs 1 neuro 2015

40
Case Report Session SUBDURAL HEMATOM KRONIK Oleh: Rizky Loviana Roza, S.Ked BP. 1010313069 Preseptor: Prof. Dr. dr. H. Basjiruddin Ahmad, Sp.S (K) dr. Yuliani Syafrita, Sp.S

Upload: aghniajolanda

Post on 23-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

case

TRANSCRIPT

Page 1: CRS 1 neuro 2015

Case Report Session

SUBDURAL HEMATOM KRONIK

Oleh:Rizky Loviana Roza, S.Ked

BP. 1010313069

Preseptor:Prof. Dr. dr. H. Basjiruddin Ahmad, Sp.S (K)

dr. Yuliani Syafrita, Sp.S

BAGIAN/SMF NEUROLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMILPADANG

2015

Page 2: CRS 1 neuro 2015

BAB IPENDAHULUAN

Subdural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling

sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak

yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh pembungkus yang di sebut dura.

Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus  vena, dan membentuk

periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala

kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan

menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah. 1

Subdural hematom adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan

araknoid. Subdural hematom disebakan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya

vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya vena

memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Trauma kapitis

merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani. Trauma timbul

akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung menghantam kepala. Akibatnya

dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan

intrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematom.

Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal

kejadian, timbulnya kecacatan pada kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat

dapat menimbulkan kematian. 2

Page 3: CRS 1 neuro 2015

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan

araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater, Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid. 3

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat. 1

Page 4: CRS 1 neuro 2015

Gambar :Subdural hematoma(boards.medscape.com dan stonybrookphysician.adam.com)

Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma. . 1

INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGIPerdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-kira

30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. 1 Hematoma subdural akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala berat, tergantung pada studi. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin karena teknik pencitraan yang lebih baik. Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden Secara keseluruhan, hematoma subdural lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi hematoma subdural kronis. Rasio laki-perempuan telah dilaporkan menjadi 2:1. Insiden subdural hematoma kronis tampaknya tertinggi di kelima melalui dekade ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka, studi lain

Page 5: CRS 1 neuro 2015

mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79 tahun. Adhesi yang ada di ruang subdural yang absen saat lahir dan berkembang dengan penuaan, sehingga hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi pada bayi. Interhemispheric subdural hematoma sering dikaitkan dengan kekerasan terhadap anak. 3

ETIOLOGIKeadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: 3

Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi

bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural.

Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Faktor risiko untuk hematoma subdural kronis meliputi berikut ini: 3

Alkoholisme kronis Epilepsi Koagulopati Kista arachnoid Terapi antikoagulan (termasuk aspirin) Penyakit kardiovaskular (misalnya, hipertensi, arteriosclerosis) Trombositopenia Diabetes mellitus

Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang terletak antara duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah

Penyebab yang predominan pada umunya ialah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian kecildisebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut disebabkan kecelakaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki factor resiko yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan

Page 6: CRS 1 neuro 2015

lesi intracranial lainnya. 38% dari perdarahan intracranial mendapat kecelakaan selama serangan epilepsy dan 85% dari perdarahan intracranial ini adalah perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Penderita perdarahan subdural akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera kepala berat. 4

Perdarahan OtakOtak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat

arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.PATOFISIOLOGI

Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater. .5

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.5

Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala. 5

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut sebagai leptomeninges 5

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena pada tempat di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan

Page 7: CRS 1 neuro 2015

tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. 3

Gambar : lapisan pelindung otak

Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.6

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak lainnya.

Page 8: CRS 1 neuro 2015

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 4

Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 6

1. Perdarahan akutGejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.

Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.2. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.3. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh

Page 9: CRS 1 neuro 2015

darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan hematom.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

GEJALA KLINIS 7

Hematoma Subdural AkutHematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

Hematoma Subdural SubakutHematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

Hematoma Subdural KronikTimbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Page 10: CRS 1 neuro 2015

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Gambaran klinis pasien dengan hematoma subdural akut tergantung pada ukuran hematoma dan tingkat cedera otak parenkim terkait. Gejala yang berhubungan dengan hematoma subdural akut meliputi: 3

Sakit kepala Mual Kebingungan Perubahan kepribadian Penurunan tingkat kesadaran Kesulitan berbicara Perubahan lain dalam status mental Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda Kelemahan

Pemeriksaan neurologis untuk hematoma subdural kronis dapat menunjukkan salah satu dari berikut 3

Perubahan status mental Papilledema Hyperreflexia atau refleks asimetri

Page 11: CRS 1 neuro 2015

Hemianopsie Hemiparesis Disfungsi saraf kranial ketiga atau keenam

DIAGNOSIS Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting dilakukan.8

AnamnesisDari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas

dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol. 7

Pemeriksaan FisikPemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang

mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan bradipnea. 7

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

Page 12: CRS 1 neuro 2015

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Gambar. Glasgow Coma Scale(yalescientific.org)

Pemeriksaan Penunjanga. LaboratoriumPemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.b. Foto tengkorakPemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.c. CT-ScanPemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial. 9

1)Perdarahan Subdural AkutPerdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran

Page 13: CRS 1 neuro 2015

garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused.2)Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa kontras.3)Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).d. MRI (Magnetic resonance imaging)

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan. 9

Page 14: CRS 1 neuro 2015

Gambar . MRI pada SDH(unipa.it)

2.7 PENATALAKSANAANDalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu

kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. 10

Tindakan Tanpa Operasi

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional.

Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH.

Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan operasi.

Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini, tindakan

Page 15: CRS 1 neuro 2015

operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.

Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon untuk operasi. 11

Tindakan Operasi

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:

a. Evakuasi seluruh SDH

b. Merawat sumber perdarahan

c. Reseksi parenkim otak yang nonviable

d. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan

b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIKc. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan

pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit

d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixede. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Page 16: CRS 1 neuro 2015

BAB III

ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 60 tahun

Suku Bangsa : Minangkabau

Alamat : Kapalo Hilalang kayutanam Padang Pariaman

Pekerjaan : Petani

3.2 Anamnesis :

Seorang pasien laki-laki berumur 60 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan:

Keluhan Utama :

Nyeri kepala yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri kepala yang semakin meninkat sejak lebih kurag 5 hari ini. Nyeri kepala sudah dirasakan sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu, semakin lama semakin berat.

Nyeri kepala dirasakan dirasakan terutama di bagian kiri kepala, di rasakan terutama pagi hari disertai muntah proyektil

Nyeri awalnya berkurang dengan minum obat penghilang nyeri yang di beli di warung tetapi sejak 1 minggu ini nyeri semakin hebat dan tidak berkurang dengan minum obat penghilang nyeri

Keluhan disertai penglihatan ganda sejak 1 bulan ini, keluhan dirasakan apabila pasien melihat dekat, dimana pasien melihat benda menjadi dua atau ganda

Keluhan disertai lemah anggota gerak kanan sejak ± 1 minggu ini, dimana pasien masih bisa berjalan, tetapi menyeret tungkai kanan dan kesulitan memegang benda dengan tangan kanan hingga mudah terjatuh

Keluhan disertai pasien banyak diam, pasien kesulitan diajak berkomunikasi. Hanya menjawab beberapa pertanyaan

Pasien sebelumnya telah berobat ke RSUD padang pariaman 2 hari yang lalu, pasien mendapat pengobatan. Manitol 20%,

Riwayat Penyakit Dahulu

Page 17: CRS 1 neuro 2015

Riwayat trauma kepala 3 bulan yang lalu. Pasien jatuh dari motor dan kepala sebelah kiri membentur aspal. Pasien sadar setelah terjatuh, tidak ada nyeri kepala hebat, muntah. Pasien hanya berobat kebidan, tidak membawa ke dokter/puskesmas/RS.

Riwayat hipertensi (-), DM (-), stroke (-), sakit jantung (-)Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan Dan Kebiasaan

Pasien tidak bekerja, tidak ada istri dan anak Merokok 2 bungkus/hari Riwayat menggunakan obat-obat pengencer darah

3.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : sedang

Kesadaran : apatis E3 M5V4= 11

Nadi/ irama : 74x/menit, nadi teraba kuat, teratur

Pernafasan : 20x/menit, torakoabdominal, teratur

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Suhu : 37.8oC

Turgor kulit : baik

Status internus Kelenjar getah bening

Leher : tidak teraba pembesaran KGB

Aksila : tidak teraba pembesaran KGB

Inguinal : tidak teraba pembesaran KGB

Rambut : beruban, tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

pupil isokor, RC +/+, Diameter 3mm/3mm

gerak bola mata kanan terbatas

Paru Inspeksi : Simetris kiri dan kanan (statis dan dinamis)Palpasi : fremitus sama kiri dan kananPerkusi : Sonor

Page 18: CRS 1 neuro 2015

Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-Jantung

Inspeksi : ictus cordis tak terlihatPalpasi : ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC VPerkusi : batas jantung dalam batas normalAuskultasi : irama teratur,bising (-)

Abdomen Inspeksi : tidak membuncitPalpasi : hepar dan lien tak terabaPerkusi : timpaniAuskultasi : bising usus (+)

Korpus vertebraeInspeksi : deformitas (-) Palpasi : nyeri tekan (-)

Status Neurologikus GCS E3M5V4 (12)1. Tanda Rangsangan Selaput Otak

Kaku kuduk : (-)Brudzinski I : (-)Brudzinski II : (-)Tanda Kernig : (-)Tanda Lasegue : (-)

2. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial (+)Pupil : Isokor, Ø 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+Muntah proyektil (-)

3. Pemeriksaan Nervus KranialisN.I (Olfaktorius)

Penciuman Kanan Kiri

Subjektif Tidak dapat dinilai

Objektif (dengan bahan) Tidak dapat dinilai

N.II (Optikus)

Penglihatan Kanan Kiri

Tajam Penglihatan Tidak dapat dinilai

Lapangan Pandang Tidak dapat dinilai

Melihat warna Tidak dapat dinilai

Funduskopi Papil oedem

Page 19: CRS 1 neuro 2015

N.III (Okultorius)

Kanan Kiri

Bola Mata Bulat Bulat

Ptosis Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Gerakan Bulbus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Strabismus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Nistagmus Tidak dapat dinilai

Ekso/Endopthalmus Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Pupil

Bentuk Bulat Bulat

Refleks Cahaya (+) (+)

Refleks Akomodasi +

Refleks Konvergensi +

N.IV (Troklearis)

Kanan Kiri

Gerakan mata ke bawah Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Sikap bulbus Tidak dapat dinilai Tidak dapat nilai

Diplopia - -

N.VI (Abdusens)

Kanan Kiri

Gerakanmata ke lateral Tidak dapat Tidak dapat

Page 20: CRS 1 neuro 2015

dinilai dinilai

Sikap bulbus Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Diplopia - -

N.V (Trigeminus)

Kanan Kiri

Motorik

Membuka mulut Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Menggerakan rahang Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Menggigit Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Mengunyah Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Sensorik

-Divisi Oftlamika

Refleks Kornea + +

Sensibilitas + +

-Divisi Maksila Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Refleks Masseter Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Sensibilitas Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

-Divisi Mandibula

Sensibilitas Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

N.VII (Fasialis)

Page 21: CRS 1 neuro 2015

Kanan Kiri

Raut wajah Tidak dapat dinilai

Sekresi air mata Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Fisura palpebra Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Menggerakan dahi Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Menutup mata Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Mencibir/bersiul Tidak dapat dinilai

Memperlihatkan gigi Tidak dapat dinilai

Sensasi lidah 2/3 belakang Tidak dapat dinilai

Hiperakusis -

N.VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri

Suara berbisik Tidak dapat dinilai

Detik Arloji Tidak dapat dinilai

Nistagmus Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

N.IX (Glosofaringeus)

Kanan Kiri

Sensasi Lidah 1/3 belakang Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Refleks muntah (gag refleks) Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

N.X (Vagus)

Page 22: CRS 1 neuro 2015

Kanan Kiri

Arkus faring Tidak dapat dinilai

Uvula Tidak dapat dinilai

Menelan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Artikulasi Tidak dapat dinilai

Suara Tidak dapat dinilai

Nadi

N.XI (Asesorius)

Menoleh kekanan Tidak dapat dinilai

Menoleh kekiri Tidak dapat dinilai

Mengangkat bahu kanan Tidak dapat dinilai

Mengangkat bahu kiri Tidak dapat dinilai

N.XII (Hipoglosus)

Kanan Kiri

Kedudukan lidah dalam Tidak dapat dinilai

Kedudukan lidah dijulurkan Tidak dapat dinilai

Tremor Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Fasikulasi Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Atropi Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Pemeriksaan Koordinasi

Cara Berjalan Tidak dapat dinilai

Disatria Tidak dapat

Page 23: CRS 1 neuro 2015

dinilai

Romberg test Tidak dapat dinilai

Disgrafia Tidak dapat dinilai

Ataksia Tidak dapat dinilai

Supinasi-Pronasi Tidak dapat dinilai

Rebound Phenomen Tidak dapat dinilai

Tes Jari Hidung Tidak dapat dinilai

Tes Tumit Lutut Tidak dapat dinilai

Tes Hidung Jari Tidak dapat dinilai

Pemeriksaan Fungsi Motorik

A. Badan Respirasi Teratur

Duduk

B.Berdiri dan berjalan

Gerakan spontan Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Tremor Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Atetosis Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Mioklonik Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Khorea Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

C.Ekstermitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Lateralisasi ke kanan

Lateralisasi ke kanan

Lateralisasi ke kanan

Lateralisasi ke kanan

Page 24: CRS 1 neuro 2015

Kekuatan

Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

Pemeriksaan Sensibilitas

Sensibilitas taktil Tidak dapat dinilai

Sensibilitas kortikal Tidak dapat dinilai

Sensibilitas nyeri Respon menghindari nyeri

Stereognosis Tidak dapat dinilai

Sensibilitas termis Tidak dapat di nilai

Pengenalan 2 titik Tidak dapat dinilai

Sistem Refleks

A. Fisiologis Kanan Kiri

Kanan Kiri

Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)

Berbangkis Triseps (++) (++)

Laring KPR (++) (++)

Masseter APR (++) (++)

B. Patologis Kanan Kiri

Kanan Kiri

Lengan Tungkai

Hofmann Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)

Chaddoks (-) (-)

Oppenheim (-) (-)

Gordon (-) (-)

Schaeffer (-) (-)

Fungsi Otonom

Page 25: CRS 1 neuro 2015

Miksi : neurogenic bladder (-) Defekasi : tidak dapat dinilai Keringat : tidak dapat dinilai

Fungsi Luhur

Kesadaran Apatis Tanda Demensia

Reaksi bicara Tidak dapat dinilai

Refleks glabela Tidak dapat dinilai

reaksi intelek Tidak dapat dinilai

Refleks Snout Tidak dapat dinilai

Reaksi emosi Tidak dapat dinilai

Refleks Menghisap

Tidak dapat dinilai

Refleks Memegang

Tidak dapat dinilai

Refleks palmomental

Tidak dapat dinilai

Skor MMSE :

Pemeriksaan Laboratorium

Darah :Rutin : Hb : 11.1 gr/dl

Ht : 31% Leukosit : 7.000 /mm3

Trombosit : 247.000/mm3

Kimia darah : Ureum : 29 mg/dl Kreatinin : 0,7 mg/dl Na/K/Cl : 143/3.1/109 mmol/L

Pemeriksaan Anjuran

Brain CT scan tanpa kontras EEG EKG

Page 26: CRS 1 neuro 2015

Diagnosis

Diagnosa klinis : Subdural Hematom Kronik

Diagnosa topik : Ruang Subdural

Diagnose etiologi : Ruptur Bridging Vein

Diagnose sekunder :

Prognosis :

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Terapi :

UmumElevasi kepala 30Oksigen 3l/menitIVFD NaCl 0.9% 12 jam/kolfDiet MB

KhususManitol 2x1 tapp off

Ranitidin 2x 10 mg iv

Brain CT Scan

Page 27: CRS 1 neuro 2015

BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 60 tahun sejak tanggal 26 September 2015 di RSUP Dr.M. Djamil Padang dengan diagnosis klinik pada saat pasien masuk adalah Subdural Hematom Kronik. Diagnosa topik yaitu Ruang Subdural. Diagnosis etiologi Ruptur Bridging Vena. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Page 28: CRS 1 neuro 2015

Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang nyeri kepala yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dirasakan dirasakan terutama di bagian kiri kepala, di rasakan terutama pagi hari disertai muntah proyektil. Nyeri awalnya berkurang dengan minum obat penghilang nyeri yang di beli di warung tetapi sejak 1 minggu ini nyeri semakin hebat dan tidak berkurang dengan minum obat penghilang nyeri. Keluhan disertai lemah anggota gerak kanan sejak ± 1 minggu ini, dimana pasien masih bisa berjalan, tetapi menyeret tungkai kanan dan kesulitan memegang benda dengan tangan kanan hingga mudah terjatuh. Pasien diketahui pernah memiliki riwayat trauma mengenai wajah.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien apatis (GCS: E3M5V4), tanda rangsang meningeal (-) ↑ TIK (+) berupa pupil anisokor Ø 3 mm/3 mm. Dari pemeriksaan funduskopi didapatkan edema papil, Doll’s Eye Movement (+), reflek muntah (+), motorik : tes jatuh lateralisasi ke kanan. Reflex fisiologis berkurang untuk anggota gerak kanan dibandingkan anggota gerak kiri. Reflex patologis negatif pada anggota gerak atas dan bawah.

Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum adalah elevasi kepala 30o untuk mengurangi tekanan intracranial, O2 3 liter/menit, Diet MB, IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf. Penatalaksanaan khusus pada pasien ini adalah Manitol 2x1 tapp off, Ranitidin 2x 10 mg iv

BAB VKESIMPULAN

Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater, Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural, kira-kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh

Page 29: CRS 1 neuro 2015

darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. 1 Hematoma subdural akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan cedera kepala berat, tergantung pada studi. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan insiden yang lebih tinggi, mungkin karena teknik pencitraan yang lebih baik.

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Gejala klinis perdarahan subdural kronik biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.

Modalitas utama pemeriksaan pencitraan untuk mendiagnosis SDH adalah pemeriksaan barain CT-scan, sehingga hal ini penting dilakukan pada pasien dengan SDH.

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB. Terapi yang dilakukan terbagi atas terapi tanpa operasi dan terapi dengan pembedahan. Hal ini dilakukan tergantung indikasi masing-masing.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Heller, L Jacob. Subdural hematoma. Medline Plus. 20122. Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. 20043. Meagher, J Richard. Subdural hematoma. Medscape. 20134. Sastrodiningrat, A Gofar. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.

Medan : Majalah kedokteran Nusantara Volume 39 No 3. 20065. Sloane. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 20046. Brunicardi, Charles. Principles of Surgery Ninth Edition. 2004

Page 30: CRS 1 neuro 2015

7. Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 20048. Mardjono, Mahar ; Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. 9. Bullock, Ross. Surgical Management of Subdural hematom. 2006.10. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P

EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

11. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314