copyright @ kementerian desa, pembangunan daerah...

98

Upload: phamdung

Post on 12-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang
Page 2: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Hak Cipta Dilindungi Undang Undang

Pengarah: Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP.

Penanggungjawab: Drs. Daryoto, M.ScIr. Rr. Aisyah Gamawati, MM

Koordinator Substansi: 1. Sukandar 2. Teuku Chaerul 3. Sudrajat4. Agus Wicaksono5. Diah Ratri Kushermini

Penulis: Mohamad Miqdad, Abdul Charis

Desain Grafis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

PercetakanCetakan Pertama, November, 2016

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI2016

Page 3: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

i Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

EXECUTIVE SUMMARY

Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang melekat pada bangsa Indonesia. Sejak semula-jadi, bangsa ini dipersatukan dalam keragaman tersebut, dengan meneguhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi satu. Semboyan tersebut menegaskan persatuan, bukanlah keseragaman, yang telah menjadi pengikat semangat berbangsa sekaligus sebagai afirmasi atas keberagaman masyarakat Indonesia. Namun, melampaui tiga dasawarsa, keberagaman tersebut lebih banyak tampil sebagai suplemen dalam kehidupan berbangsa, ia lebih melekat (embedded) sebagai pelengkap cita rasa budaya. Keberagaman lebih tampak sebagai sesuatu yang diidealkan dalam kehidupan berbangsa ketimbang tampil sebagai praksis hidup yang tegas dan menyeluruh. Persis bersamaan, disebabkan oleh arus modernisasi dan tindakan

Page 4: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

ii

.............................................................................................................................................................................................................

pendisiplinan atas nama persatuan, keragaman adat istiadat dan segala bentuk kearifan lokal serta atribut turunannya turut pula memudar.

Sejalan dengan proses demokratisasi yang terus berlangsung, dalam dimensi perdamaian, kelahiran Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 menandai pergeseran paradigma negara dalam pembangunan perdamaian. Undang-undang tersebut memandatkan penanganan konflik sosial mesti berlangsung partisipatif, mengutamakan kearifan lokal dan pranata adat. Perdamaian menjadi urusan semua pihak, bukan hanya terbatas pada negara. Undang-undang tersebut juga mencirikan orientasi masyarakat, tidak semata berorientasi pemerintah (government oriented). Penyelesaian konflik dilakukan melalui jalur-jalur dialogis, kanal-kanal alternatif di luar mekanisme formal maupun litigasi.

Dengan demikian, proses-proses untuk memperkuat partisipasi dan penyelesaian melalui kearifan dan pranata tertentu mensyaratkan penguatan kelembagaan-kelembagaan yang selama ini tidak memiliki tempat yang cukup signifikan. Maka, upaya ini mesti didahului oleh analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya pelemahan pranata adat dan kearifan lokal. Lokalitas daerah mesti turut diperhitungkan sebab selalu terdapat keunikan pada masing-masing komunitas beserta pranata adatnya.

Upaya untuk memperkuat pranata adat berpusar pada tiga kebutuhan utama;

Aspek kebijakan; sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat maupun daerah mesti dilakukan supaya tidak terjadi ambivalensi. Regulasi mesti dapat diturunkan secara cermat dan jelas sejak dari Undang-undang hingga beragam peraturan turunannya. Dengan demikian, untuk menjadikan kebijakan bisa bersifat operasional, maka dibutuhkan koordinasi, panduan, dan kesepahaman bersama sejak dalam tahap perencanaan pembangunan. Patut didorong agar daerah menginisiasi secara holistik upaya revitalisasi pranata adat kedalam program-program kongkret, jika dibutuhkan perlu diperkuat

Page 5: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

iii Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

dengan sejumlah regulasi yang menjadi daya dorong, meski bukan yang utama.

Aspek kelembagaan; seturut dengan penguatan melalui kebijakan, penguatan kelembagaan adat (pranata) perlu dijalankan melalui serangkaian program terukur, berdasarkan relevansi dan kebutuhan desa. Program yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan ini bisa dilakukan melalui bantuan terkait kelengkapan untuk menopang kerja lembaga adat, infra struktur lembaga adat, maupun pendampingan yang berkaitan dengan substansi seperti peningkatan kapasitas pengurus maupun anggota adat tertentu berkaitan dengan kecakapan penanganan konflik maupun kecakapan umum lainnya.

Aspek praksis; hal ini berkaitan dengan nilai maupun praktek berkaitan dengan ritus maupun seni, budaya dan ekonomi. Program yang bisa dilakukan terkait nilainya adalah dengan memperkuat pada aspek pengarus-utamaan melalui kegiatan dokumentasi, kodifikasi, serta jalur pendidikan formal dan informal. Sementara berkaitan dengan praktek, program pendampingan dapat dilakukan melalui bantuan kelengkapan ritus, pemberdayaan ekonomi, kegiatan kebudayaan dan seni dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus konflik, kegiatan-kegiatan berkaitan dengan ritus, eknomi, budaya dan seni telah secara nyata menjadi jalan penyelesaian konflik.

Page 6: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

iv

.............................................................................................................................................................................................................

Page 7: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

v Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

KATA PENGANTAR

Program “Nawacita” Presiden Republik Indonesia yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan” dan “Memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial”. Kedua program prioritas ini memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat serius berupaya mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai keragaman budaya bangsa.

Tantangan Indonesia ke depan adalah memelihara kebhinekaan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika sudah seharusnya dimaknai bahwa “Perbedaan adalah sebuah Kebutuhan”, Kebhinekaan harus dijaga

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan TransmigrasiRepublik Indonesia

Page 8: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

vi

.............................................................................................................................................................................................................

agar tetap menjadi faktor yang menginspirasi, memperkaya dan menguatkan Indonesia dalam mencapai visi pembangunan nasional. Konsolidasi demokrasi diharapkan dapat menguatkan lembaga-lembaga demokrasi yang mampu memelihara keanekaragaman menjadi berkah yang besar untuk Indonesia, bukan menjadi hambatan yang menjauhkan Indonesia dari cita-citanya.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, merupakan salah satu wujud keseriusan pemerintah dalam mendorong pembangunan yang berbasiskan adat istiadat dan kearifan lokal. Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 menegaskan bahwa upaya penanganan konflik sosial di Indonesia dilakukan melalui pendekatan pranata adat atau kearifan lokal. Sedangkan Undang-Undang Desa memberikan penegasan melalui “prinsip rekognisi dan subsidiaritas” dimana Negara memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Buku ini, memberikan penegasan bagaimana penerapan Konsep 3-RE yaitu Rekognisi, Representasi dan Redistribusi, dalam bentuk pengakuan hak-hak adat, pemberian peran dan ruang partisipasi bagi masyarakat adat dan pemberian kewenangan pengelolaan berdasarkan nilai-nilai lokal menjadi hal yang mutlak dilakukan dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan sekaligus memperkuat kontribusi budaya lokal dalam pembangunan nasional, khususnya dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan Bangsa.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki peran yang sangat strategis dalam ikut serta memperkuat nilai-nilai adat dan budaya bangsa di seluruh Indonesia, daerah-daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau terluar Indonesia. Kemendesa PDTT sadar akan peran strategis tersebut dan berkomitmen untuk secara bersama-sama membangun

Page 9: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

vii Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Indonesia yang lebih adil serta menjaga Kebhinnekaan Indonesia sebagai berkah yang besar bagi bangsa Indonesia.

Akhirnya, atas nama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, saya berterima kasih dan menyampaikan apresiasi, khususnya kepada Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu beserta seluruh jajarannya, yang telah menginisiasi penyusunan Buku Revitalisasi Pranata Adat dalam Pembangunan Perdamaian.

Besar harapan saya agar buku ini dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, khususnya pembangunan pranata adat di Indonesia dalam mendorong pembangunan perdamaian yang berkelanjutan di Indonesia.

Jakarta, November 2016

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Republik Indonesia

Eko Putro Sandjojo

Page 10: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

viii

.............................................................................................................................................................................................................

Page 11: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

ix Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY ................................................................. iKATA PENGANTAR ......................................................................... vDAFTAR ISI ..................................................................................... ixDAFTAR TABEL ................................................................................ xiDAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiiDAFTAR BOX .................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1 A. Latar Belakang .......................................................... 1 B. Definisi dan Ruang Lingkup Pranata Adat .......... 4 C. Masyarakat Adat Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan ............................................. 5

Page 12: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

x

.............................................................................................................................................................................................................

D. Masyarakat Adat Menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara ................................. 7 E. Arah Kebijakan Revitalisasi Pranata Adat ........... 8

BAB II KONTEKS DAN RELEVANSI REVITALISASI PRANATA ADAT ............................................................. 13 A. Konflik Komunal ..................................................... 13 B. Otokritik Politik Pembangunan ............................. 17 C. Kedaulatan Adat dan Demokratisasi ................... 21 D. Peran Pranata Adat Bagi Perdamaian ................. 24

BAB III PRANATA ADAT DAN PERDAMAIAN ...................... 31 A. Dilema Revitalisasi Pranata Adat .......................... 31 B. Revitalisasi Pranata Adat Dalam Konteks Pelembagaan Perdamaian Berbasis Desa ........... 44 C. Kontribusi Pranata Adat dalam Perdamaian ....... 50

BAB IV KEBUTUHAN DAN MANFAAT REVITALISASI PRANATA ADAT ............................................................. 61 A. Kontekstualisasi Program ....................................... 61 B. Model Pranata Adat Untuk Perdamaian ............. 64

BAB V PENUTUP ........................................................................ 75 A. Rangkuman Isi Buku ................................................ 75 B. Langkah-Langkah Strategis Revitalisasi Pranata Adat Untuk Pembangunan Perdamaian ............................................................... 77 C. Pemanfaatan Buku .................................................. 79DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 81

Page 13: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

xi Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Tabel 1. Isu kontestasi politik identitas ...................................... 15Tabel 2. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Agama dan EtnisYang Terjadi Selama Setahun Terakhir ....... 55Tabel 3. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Jenis Perkelahian Massal Yang Terjadi Selama Setahun Terakhir ............................................................. 55Tabel 4. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Inisiator Penyelesaian Perkelahian Massal Yang Paling Sering Terjadi Setahun Terakhir ............. 56Tabel 5. Contoh Model Penyelesaian Konflik melalui Pranata Adat .................................................................... 57Tabel 6. Peta Kebutuhan Revitalisasi Pranata Adat ................. 72

DAFTAR TABEL

Page 14: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

xii

.............................................................................................................................................................................................................

Gambar 1. Penyelesaian masalah melalui upacara adat di Aceh .............................................................. 35Gambar 2 Majelis Latupati, Lembaga adat yang menjaga Kedamian di Maluku ............................... 38Gambar 3. Mataoga, Pranata Adat Kabupaten Kepulauan Sula ........................................................ 45Gambar 4. Mosalaki, Pranata Adat Provinsi NTT Marlin Bato ............................................................... 49Gambar 5. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pranata adat, di Sigi Sulawesi Tengah........................................... 51Gambar 6. Penyelesaian Konflik Tapal Batas Desa melalui Pranata Adat di Kabupaten Donggala ................. 54

DAFTAR GAMBAR

Page 15: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

xiii Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Box 1: Penyelesaian Konflik Melalui Adat Dikalangan Masyarakat Aceh ............................................................ 33Box 2: Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi Masyarakat Hukum Adat Kecamatan Jerebu’u Kabupaten Ngada ......................................... 47Box 3: Kasus Sengketa Banjar Adat Ambengan Dengan Banjar Adat Semana Ubud Kabupaten Gianyar .............................................................................. 52

DAFTAR BOX

Page 16: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

xiv

.............................................................................................................................................................................................................

Page 17: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

1 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

PENDAHULUAN

BAB I

A. Latar BelakangKeragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

melekat pada bangsa Indonesia.Sejak semula-jadi, bangsa ini dipersatukan dalam keragaman tersebut, dengan meneguhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi satu.Semboyan tersebut menegaskan persatuan, bukanlah keseragaman, yang telah menjadi pengikat semangat berbangsa sekaligus sebagai afirmasi atas keberagaman masyarakat Indonesia. Namun, melampaui tiga dasawarsa, keberagaman tersebut lebih banyak tampil sebagai suplemen dalam kehidupan berbangsa, ia lebih melekat (embedded) sebagai pelengkap cita rasa budaya. Keberagaman lebih tampak sebagai sesuatu yang diidealkan dalam kehidupan berbangsa ketimbang tampil sebagai praksis hidup yang tegas dan menyeluruh.

Page 18: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan2

.............................................................................................................................................................................................................

Persis bersamaan, disebabkan oleh arus modernisasi dan tindakan pendisiplinan atas nama persatuan, keragaman adat istiadat dan segala bentuk kearifan lokal serta atribut turunannya turut pula memudar.

Menjelang dan beberapa saat setelah reformasi, melemahnya kontrol dan kekuatan pendisiplinan otoritas politik, justeru ditandai oleh merebaknya konflik berbasis identitas.Mulai dari berbagai kerusuhan di daerah “tapal kuda” Jawa Timur, disusul konflik berbasis etnis di Sanggau Ledo, Sampit, Sambas, hingga konflik berbasis agama di Poso dan Maluku.Transisi demokrasi diwarnai dengan menguatnya artikulasi politik identitas, yang seperti mencari jalannya, mencuat setelah sekian lama mengalami tekanan.Selain terartikulasi kedalam peristiwa konflik, identitas seringkali menjadi gerakan politik etno-nasionalisme yang tertampilkan dalam upaya pemekaran atau pembentukan wilayah administratif baru paska reformasi.

Persis juga dalam situasi konflik yang mewarnai transisi demokrasi di Indonesia tersebut, selalu ditemukan berbagai jenis kearifan lokal (produk budaya) yang menjadi peredam yang melekat pada segala jenis identitas yang dipakai untuk berseteru.Berbagai bentuk kearifan tersebut tersedia pada adat istiadat dalam berbagai komunitas di Indonesia, entah itu yang bersifat telah ada (existing) atau pula terbarukan sebagai bentuk adaptasi dari situasi konfliktual tersebut.Perdamaian yang terbangun di antara berbagai komunitas yang berkonflik tidak hanya berhasil digerakkan oleh kekuatan otoritatif Negara, melainkan juga--dan justeru lebih kuat dan berkesinambungan pada elemen budaya yang tersedia pada semua komunitas.

UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial sebagai produk perundang-undangan yang lahir dalam semangat memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan perdamaian, memberikan pengakuan dan ruang yang cukup luas dalam mendorong peran nilai-nilai lokal dalam penyelesaian konflik

Page 19: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

3 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

sosial. Penyelesaian konflik sosial melalui jalur-jalur alternatif berbasis pada nilai lokal dan pranata adat lebih dikedepankan melampaui penyelesaian melalui jalur hukum formal.

Sejalan dengan perkembangan demokratisasi di Indonesia, kebutuhan untuk merevitalisasi pranata adat telah sejalan dengan tuntunan otonomi oleh beragam komunitas adat di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 memberikan peluang yang sangat luas bagi pemenuhan hak masyarakat desa yang sebagian besarnya juga merupakan komunitas adat, dan juga kepada desa yang memang berstatus desa adat sesuai dengan pengaturan di masing-masing daerah.

Asas rekognisi, sebagaimana tuntutan awal mengenai pengakuan oleh gerakan masyarakat adat, sebelum dan sesudah reformasi, diperkuat lebih jauh dalam Undang-undang tersebut melalui asas subsidiaritas yang dalam hal ini memenuhi harapan otonomi sebagaimana yang diharapkan oleh berbagai komunitas adat.Asas rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul dan hak tradisional, sementara asas subsidiaritas lebih jauh lagi menegaskankan hak mengenai representasi dan redistribusi sebagai elemen dasar otonomi. Kedua asas tersebut diperkuat dengan asas lain yaitu keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Kelahiran Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 ini menegaskan pemenuhan hak oleh negara secara adekuat.

Mengacu pada alas pikir bahwa partisipasi masyarakat yang bertumpu pada berbagai nilai budaya lokal adalah elemen sangat penting dalam pembangunan perdamaian, maka dibutuhkan kegiatan sistematis untuk merevitalisasi pranata adat yang menjadi institusi dari pelbagai nilai lokal dan atribut turunannya, sebab adat juga tidak hanya terbatas pada norma dan hukum melainkan juga melingkupi ritual dan kebiasaan lainnya.

Page 20: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan4

.............................................................................................................................................................................................................

B. Definisi dan Ruang Lingkup Pranata AdatSebelum lebih jauh mengulas revitalisasi pranata adat, patut

diperjelas definisi dan ruang lingkup dimana pranata itu berlaku.Pranata adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleksitas kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi politik; sistem yang menata terselenggaranya proses dan kegiatan politik secara resmi.1

Pranata Adat adalah lembaga yang lahir dari nilai adat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat.Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2) disebutkan bahwa; Negara mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negaraRepublik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3), menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Definisi di atas sekaligus memberi penjelasan mengenai sifat pranata adat yang partikular, merupakan kelembagaan sistem nilai dan hukum dari masyarakat adat tertentu, sekaligus memiliki limitasi disebabkan keharusannya untuk tunduk pada perkembangan masyarakat dan prinsip negara.Patut dipahami juga bahwa sifat adat yang dinamis, memungkinkan pranata adat terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat modern.Juga harus dijelaskan bahwa tidak seluruh masyarakat Indonesia adalah bagian dari komunitas adat.Meskipun demikian, nilai-nilai universal dari beragam adat istiadat juga dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia

Page 21: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

5 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

C. Masyarakat Adat Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Sesungguhnya perhatian terhadap pentingnya pengakuan keberadaan pranata adat sudah banyak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, berbagai konvensi internasional. Selain tertuang dalam UUD 1945 dan ketetapan MPR, juga berbagai undang-undang seperti tertuang dalam uraian berikut:

1. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945: kesatuan masyarakat hukum adat diakui bila:• masih hidup• sesuai perkembangan masyarakat• sesuai dengan prinsip NKRI

2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan• masyarakat masih dalam bentuk paguyuban• ada kelembagaan adat• ada wilayah hukum yang jelas• ada pranata hukum• masih mengadakan pemungutan hasil hutan untuk

kebutuhan hidup

3. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

“Bermukim diwilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.”

4. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.“Sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum

Page 22: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan6

.............................................................................................................................................................................................................

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.”

4. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan• Masyarakat adat dalam bentuk paguyuban• ada kelembagaan adat• ada wilayah hukum yang jelas• ada pranata hukum• ada pengukuhan perda

5. Putusan Mahkamah KonstitusiKesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional

secara de-facto masih ada dan/hidup (actual existence) atau paling tidak;• memiliki perasaan kelompok• ada pranata adat• ada harta dan/atau benda adat• ada perangkat norma hukum adat

6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahKesatuan masyarakat hukum adat diakui bila:• masih hidup• sesuai perkembangan masyarakat• sesuai dengan prinsip NKRI

7. UU No. 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.”

Page 23: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

7 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

8. Peraturan Menteri Agraria/kepala BPN No. 5 Tahun 1999 “Sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”

9. Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999• berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen• pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;• pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit

dijangkau• pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-

sistem• peralatan dan teknologinya sederhana• ketergantungan pada lingkungan hidup dan SDA setempat

relatif tinggi • terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.

D. Masyarakat Adat Menurut Konggres Masyarakat Adat Nusantara

Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia yang merujuk pada empat jenis masyarakat asli yang berada di wilayah Negara-bangsa Indonesia. Pengertian masyarakat adat menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara, dimaknai sebagai:

“Kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayahnya geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (KMAN 1999).”

Definisi ini mengalami perbaikan oleh sekretariat AMAN untuk mengakomodasi kosa kata baru:

“Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang

Page 24: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan8

.............................................................................................................................................................................................................

memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”

E. Arah Kebijakan Revitalisasi Pranata AdatBuku ini bertujuan untuk mengarus-utamakan dan meng-

operasionalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembangunan perdamaian melalui revitalisasi pranata adat di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya daerah paska dan rawan konflik.2

Pengarusutamaan (maenstreaming) dilakukan melalui serangkaian kebijakan dan rumusan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga negara, salah satunya kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Upaya ini adalah salah satu buah dari Reformasi yang mendorong proses demokratisasi melalui pengakuan dan penghargaan luas terhadap seluruh entitas bangsa untuk turut serta dalam memajukan dan merasakan hasil pembangunan.

Berbagai hal terkait revitalisasi pranata adat ini kelihatan mudah untuk dibicarakan dalam retorika politik, namun mengandung kompleksitas dan kesulitannya sendiri.Tidak lama setelah Reformasi berlangsung, seiring dengan besarnya tuntutan desentralisasi dan otonomi daerah, gagasan mengenai pentingnya mengkaji kembali peran masyarakat adat bergaung dimana-mana. Hal ini disebabkan oleh represi panjang atas nama stabilitas yang berakibat pada peminggiran komunitas masyarakat adat.

Dalam rangka untuk re-orientasi kebijakan pembangunan berkenaan dengan revitalisasi pranata adat, maka terlebih dahulu kiranya diulas dinamika kebijakan politik hukum terhadap masyarakat adat di Indonesia, yang merentang dalam periode pemerintahan yang cukup panjang.Ulasan ini terutama berkenaan dengan soal pengakuan (rekognisi) yang memiliki implikasi besar pada persoalan

2 Salah satu indikator daerah rawan konflik adalah dimensi ketertinggalannya dibanding daerah lain. Hal ini sejalan dengan domain kerja Kementerian Desa PDTT.

Page 25: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

9 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

pelibatan masyarakat adat dalam penentuan kebijakan (representasi), serta yang paling utama adalah implikasinya terhadap akses dan pembagian secara adil hak atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya (redistribusi).

Sejarah panjang terpinggirnya masyarakat adat ini berlangsung sejak zaman kolonial melalui kebijakan politik hukum yang kemudian sebagian besar terwarisi setelah kemerdekaan.Berbagai kebijakan kolonial yang berkaitan dengan masyarakat adat telah secara sengaja merugikan mereka.Undang-undang Agraria (Agrarische Wet)serta berbagai undang-undang dan peraturan lainnya dalam kurun 1870-1875 yang menganut paradigma Eropa, dengan melakukan liberalisasi pada berbagai aspek termasuk penguasaan tanah, diimplementasikan di Indonesia.Padahal jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah memiliki hukum-hukum adat di wilayah berbeda-beda.Meski dalam periode Politik Etis Belanda berupaya mereduksi berbagai kebijakan diskriminatifnya, persoalan peminggiran masyarakat adat tidak pernah berlangsung sungguh serius.

Masyarakat adat mengenal hak kepemilikan tanah bersama, selain hak kepemilikan individu, sesuatu yang tidak kompatibel dengan kebijakan kolonial yang menganut liberalisme.Paradigma liberal tersebut, yang menumpukan individu dan harta benda (property right) sebagai subyek hak,3 diterapkan di Indonesia dimana masyarakat adat mengenal dan menghidupi hukumnya yang juga bersifat komunal.Akibatnya, banyak tanah ulayat yang kemudian dikuasai oleh negara (domein van de Staat) akibat secara hukum tidak bisa dibuktikan sebagai hak milik individu tertentu (eigendom).

Belum bergesernya politik hukum berkenaan dengan paradigma penguasaan negara atas tanah-tanah adatsegera setelah Indonesia merdeka, menjadikan persoalan ini mengendap sementara waktu. Patut diduga bahwa suasana paska kemerdekaan yang

3 Kebijakan semacam ini bersumber dari konsepsi negara liberal yang pada saat itu berkembang di Eropa. Pandangan semacam ini bisa dirujuk pada filsuf politik John Locke.

Page 26: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan10

.............................................................................................................................................................................................................

mengharuskan konsolidasi bangsa dengan etnis yang sangat beragam ini adalah salah satu dilema yang dihadapi; antara penguatan persatuan di satu sisi dengan menegaskan kesediaan setiap suku bangsa, termasuk masyarakat adat, untuk ambil bagian dalam kerangka pembentukan negara bangsa, dan di sisi yang lain tetap meniscayakan penghormatan dan pengakuan atas entitas masyarakat adat itu sendiri.

Lima belas tahun setelah Indonesia merdeka, diterbitkanlah Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, disusul tujuh tahun kemudian dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967, yang menggunakan istilah masyarakat hukum adat dalam rangka untuk melakukan pengaturan mengenai hak hukum bagi masyarakat adat. UUPA 1960 yang dimaksudkan untuk mengakhiri dualisme hukum pertanahan zaman kolonial, dianggap berbasiskan hukum adat.Tapi perkara pengakuan dan pengaturan hak masyarakat adat tidak lalu terang benderang. Undang-Undang Pokok Agraria tersebut mengakui beberapa macam hak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. Namun hak komunal atas tanah adat atau hak ulayat tidak termasuk di dalamnya (Moniaga; 2010).

Sementara UUPK 1967, yang terbit pada permulaan Orde Baru, hanya mengakui dua klasifikasi hutan kepemilikan; hutan negara dan hutan milik.Masalahnya, terdapat banyak masyarakat adat yang ruang hidupnya di sekitar maupun di dalam kawasan hutan.Tak pelak ini menjadi masalah yang kian menajam.UUPK 1967 dianggap sebagai modus penguasaan sumber daya alam yang semakin menyisihkan hak masyarakat adat.

Setelah reformasi, UUPK 1967 digantikan oleh Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, dengan klasifikasi baru; hutan negara dan hutan hak. Meskipun memberikan klasifikasi baru mengenai hutan adat, dengan definisi terbatas; bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.Definisi ini mengandung pengertian bahwa segala hal berkaitan dengan

Page 27: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

11 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

kontrol pemanfaatan hutan tetap dilakukan oleh negara.Definisi ini sebenarnya merupakan bentuk afirmasi terbatas terhadap masyarakat adat dan kesatuan hukumnya, namun dalam prakteknya, masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia seringkali justru mengalami peminggiran justru karena alasan penguasaan oleh negara.4Pada sektor pertambangan, banyaknya izin yang dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tanah-tanah adat termanifestasi menjadi konflik antara masyarakat adat dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Pelbagai faktor ini menjadi sedimentasi masalah terkait dengan masyarakat adat, yang berdasarkan kompleksitas dan berbagai kontradiksi regulasi tentangnya masih menuai berbagai ketegangan hingga konflik, bahkan hingga hari ini.

Salah satu tuntutan utama berkaitan dengan perjuangan masyarakat adat adalah Undang-Undang yang bersifat memaksa melakukan penyeragaman pemerintahan lokal yang didasarkan pada desa administratif, yang menegasikan ciri khas masing-masing daerah. Undang-Undang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Para wakil masyarakat adat menuduh bahwa sistem tersebut telah memecah komunitas lokal bahkan meleburnya kedalam unit-unit administrasi yang tidak punya kesamaan adat (Acciaioli; 2010).

Maka merujuk pada sejarah politik hukum terkait masyarakat adat, orientasi kebijakan revitalisasi pranata adat difokuskan untuk menjawab berbagai silang sengkarut ambivalensi negara; melampaui sekadar pengakuan, dengan pemberian akses penguasaan yang adil di sisi yang lainnya.Dalam kebijakan revitalisasi pranata adat, bagaimana mengakomodasi keberagaman komunitas adat lebih dari 500 kelompok etnolinguistik di seluruh Indonesia?

4 HuMA menyebutkan bahwa terdapat 30.000 desa berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan.Ketegangan mengenai wilayah kelola dan batas antara teritori tradisional desa dan teritori hutan negara maupun klasifikasi hutan lainnya seringkali menuai konflik.

Page 28: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pendahuluan12

.............................................................................................................................................................................................................

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi salah satu bentuk afirmasi perubahan negara yang semakin demokratis dan menjawab persoalan yang selama ini merepresentasikan politik hukum yang dianggap tidak adil bagi masyarakat adat. Undang-Undang ini sangat strategis menjawab persoalan yang selama ini cukup pelik, dimana desa—juga desa adat—menjadi unit utama pembangunan.Tuntutan mengenai rekognisi, representasi dan redistribusi bagi masyarakat adat, dan berbagai persoalan lainnya dapat diurai dari lokusnya yang paling utama; desa. Dengan demikian, dengan melakukan koordinasi dan singkronisasi kegiatan, sudah cukup jelas kearah mana kebijakan revitalisasi pranata adat ini akan ditujukan.

Page 29: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

13 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

A. Konflik KomunalBerakhirnya Orde Baru menandai babak baru politik identitas.

Mekanisme pendisiplinan untuk menjaga stabilitas sebagaimana lazimnya terjadi pada masa tersebut, segera merenggang pada awal reformasi. Transisi demokrasi juga ditandai dengan bergolaknya konflik berbasis isu identitas primordial, dimana politik dan ekonomi menjadi panggung utama pergolakan tersebut. Ketika pemilu dilaksanakan pada tahun 1999, banyak diramaikan oleh partai berbasis identitas keagamaan. Dalam masa yang berdekatan, di daerah dimana sebelumnya—baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru—politik identitas pernah menguat, konflik terjadi bersamaan dengan momentum politik. Di Poso, berakhirnya masa jabatan bupati menjadi momentum konflik antara Muslim dan

KONTEKS DAN RELEVANSI REVITALISASI PRANATA ADAT

BAB II

Page 30: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat14

.............................................................................................................................................................................................................

Kristen. Di Ambon, perhelatan pemilu 1999 menjadi momentum konflik dalam isu yang sama, meski sebelumnya dimulai dengan sentimen etnis ”BBM” (Bugis-Buton-Makassar).

Sepanjang 2010, terdapat 244 rencana pemilihan kepala daerah selama satu tahun. Sayangnya, maraknya ajang pemilihan kepala daerah langsung ini dibarengi dengan peningkatan eskalasi pada konflik politik. Peningkatan jumlah ini terjadi cukup signifikan dari seluruh insiden konflik politik tahun 2009 berjumlah 74 insiden, maka sampai pada Bulan Juni 2010 telah terjadi 117 insiden.5

Jika kita coba untuk membandingkan antara Januari hingga Juni tahun 2009 dengan bulan yang sama pada Tahun 2010, maka 51 insiden berbanding dengan 117 insiden. Jika pada setengah tahun terakhir 2009 secara otomatis semua isu politik didominasi oleh pemilu presiden dan wakil presiden, maka pada tahun 2010 semua energi politik cenderung dicurahkan secara tersebar untuk perhelatan pemilihan kepala daerah.6

5 Hasil monitoring konfik dan kekerasan di Indonesia sepanjang 2009-2010 oleh Institut Titian Perdamaian.Selengkapnya mengenai ini bisa dilihat dalam buku “Dinamika Konflik dan Kekerasan di Indonesia”, Institut Titian Perdamaian; 2012.6 Ibid.

Distribusi Konfik Politik Tahun 2009

11 10 126 8

47

1 17

25

05

1015

Janu

ari

Februa

riMare

tApri

lMei

Juni Ju

li

Agustu

s

Septem

ber

Oktobe

r

Novem

ber

Desem

ber

Page 31: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

15 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Pada tahun 2010, sekitar 244 pemilihan kepala daerah akan dilangsungkan. Mengapa konflik politik cenderung menguat sepanjang tahun 2010? Barangkali akan terdapat banyak jawaban dari pertanyaan ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemilihan kepala daerah langsung masih menjadi ajang bagi munculnya kekuatan oligarkhi lokal, ”raja-raja kecil”, dan orang kuat lokal (local strongmen) yang memanfaatkan instrumen-instrumen demokrasi sebagai basis bagi akumulasi kekuasaannya (Hadiz 2003; Harriss, Stokke, and Tornquist [ed] 2004).

Kekuatan oligarkhi tersebut cenderung memobilisasi dukungan melalui jaringan dan relasi patronase yang dibungkus oleh identitas agama, etnis, jenis kelamin dan atau kekerabatan. Kesamaan etnis, agama, ras, wilayah masih menjadi ”dagangan” utama para kandidat kepala daerah dalam berkampanye, selain identitas lain seperti jenis kelamin. Hasil dari relasi semacam ini adalah munculnya identitas komunal yang nir-demokratis sebagai basis dari pengorganisiran politik kelompok oligarkhi.

Tabel 1. Isu kontestasi politik identitasNasional Daerah

Agama; Islam vs non Islam Agama; tergantung pada komposisi pemeluk agama di sebuah daerah

Jawa vs non Jawa Orang asli vs pendatang

Laki-laki vs Perempuan Laki-laki vs perempuan

Distribusi Konflik Politik Hingga Juni 2010

21

8

25

13

2327

0

10

20

30

Januari februari Maret April Mei Juni

Page 32: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat16

.............................................................................................................................................................................................................

Kondisi semacam ini diperparah dengan absennya pendidikan politik yang demokratis yang memadai dari partai politik. Ikatan patronase inilah yang pada gilirannya juga meminggirkan aksi-aksi kewarganegaraan yang demokratis dan meminimalisir ruang bagi peranan dan partisipasi organisasi masyarakat sipil. Di beberapa daerah dimana konflik politik tinggi dan jaringan patronase kuat, maka pada umumnya kapasitas gerakan masyarakat sipilnya melemah. Di tengah koordinat semacam itulah, pilkada cenderung menjadi ajang kontestasi kekuasaan para penguasa elit lokal yang kerap melibatkan konflik dan kekerasan berbasis identitas tertentu.

Beberapa topik seperti keadilan, otonomi, desentralisasi serta perimbangan kekuasaan dan keuangan antara Pusat dan Daerahpun, seringkali juga dikerdilkan sebagai alas bagi kontestasi politik berbasis identitas. Tidak mengherankan jika berkaitan dengan berbagai hal seperti di atas, muncul istilah ”PAD” (putra asli daerah), otonomi penuh, kota syariat, kota Injili, dan lain sebagainya. Hal semacam itu merupakan artikulasi politik sebagian kelompok dalam meng-akumulasikan serta menegaskan kekuasaannya di berbagai ranah.

Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara meyakinkan mengalami pergeseran pola patronase dan solidaritas tradisional ke ikatan yang kontraktual dan dewasa.Momen-momen elektoral dalam pilkada di berbagai daerah masih banyak yang menampilkan kekerasan sebagai ekspresi konflik, hal yang menjelaskan mengapa konflik berbasis isu politik menempati rangking tinggi dalam monitoring konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Alas pikir ini pula yang dijadikan sebagian kalangan untuk mengevaluasi bahkan cenderung mengusulkan ditiadakannya pemilihan langsung kepala daerah. Persis di sini terletak dilema antara ideal demokrasi, dimana partisipasi warganya dapat terakomodasi secara langsung serta bekerjanya seluruh instrumen dan mekanisme demokrasi dengan baik, berhadapan dengan realitas konflik dan kekerasan sebagai manifestasi dari bertarungnya identitas di dalam panggung politik.

Page 33: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

17 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

B. Otokritik Politik PembangunanDemokrasi menjamin terselenggaranya mekanisme politik yang

adil untuk setiap warga politik.Bahkan negara harus menunjukan perlindungan politik yang lebih besar dalam skala perhatian dan pemihakan terhadap kelompok-kelompok sosial yang secara politik tidak berdaya. Demokrasi mewajibkan negara (pemerintah) menerapkan standar berbeda dalam persoalan hak hidup warga negara yang lemah dan tidak berdaya (afirmasi). Pemenuhan hak-hak sosial, politik dan ekonomi akan menumbuhkan kewarganegaraan yang beradab.7 Demokrasi dengan demikian memberi arah bagi pentingnya keadaban politik sebagai sebuah standar yang ideal terhadap proses berkedaulatan. Dalam hal itulah, kedaulatan menjadi layak atau tidak sebagai entitas yang diakui.

Menurut Robert Dahl, demokrasi menyediakan peluang dan kesempatan untuk menumbuhkan dan membangun kultur politik yang mendedikasikan pengabdian politik kepada kepentingan rakyat (publik, sosial). 8Pandangan pluralis Dahl sangat menekankan bahwa kekuasaan harus disebar secara luas pada pelbagai macam kelompok kepentingan, yang tujuannya agar tidak satu kelompok pun bisa mengklaim sebagai yang-paling mewakili rakyat secara keseluruhan.Di sinilah titik penting argumen Dahl yang menjelaskan bahwa fungsi sesungguhnya dari demokrasi liberal adalah sebagai poliarkhi.

Sementara itu, bagi Rousseau, oleh karena substansi negara menjadi lemah, reformasi apapun menjadi tidak mungkin. Rakyat yang tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan, tidak akan pernah pula menyalahgunakan kebebasan. Rakyat yang selalu memerintah dengan baik tidak perlu diperintah. 9Rousseau menekankan asumsinya tersebut ke arah teori kontrak sosial (social contract) yang juga menjadi basis pemikiran

7 Max Regus, “Diskursus Politik Lokal.” Hlm. 48 Ibid. Hlm. 59 Jean-Jacques Rousseau, “Kontrak Sosial.” Hlm. 69

Page 34: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat18

.............................................................................................................................................................................................................

demokrasinya.Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara.Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.Berdasarkan kedua pola pemikiran demokrasi tersebut di atas, maka antara negara dan masyarakat adat dalam hal ini pranata adat dapat menjalankan peran dan fungsi masing-masing sebagai entitas yang berdaulat. Sehingga konsolidasi demokrasi akan menuai posisi terbaiknya sebagai penentu arah kedaulatan.

Tentang vitalnya pemberdayaan masyarakat, maka model sebuah pembangunan mestilah sesuai dengan amanat desentralisasi, yakni model pembangunan yang dikonsentrasikan pada penguatan kapasitas kelembagaan adat. Hal tersebut tentu sebagai anti-tesis terhadap model pembangunan yang sentralistik. Oleh karenanya, produk pemberdayaan dalam masyarakat pun menjadi ukuran tecapainya sebuah proses revitalisasi pranata adat. Tentang itu, dapat dikemukakan beberapa alasan mengapa pemberdayaan masyarakat?Sekaligus mengenai model desentralistik pembangunan yang menandainya.

Pemberdayaan masyarakat tentunya merujuk pada penguatan eksistensi masyarakat adat melalui penguatan kapasitas kelembagaan (pranata) adat yang menghadapi masalah berkaitan dengan kerapuhan dari dalam dan benturan konflik kepentingan dengan pemerintah kabupaten beserta elite-elite yang ada di dalamnya.10

Sebagaimana dinilai secara positif sebagai agenda utama desentralisasi, pemberdayaan masyarakat kerap tidak mengunggulkan makna yang sebenarnya, melainkan hanya menjadi medium untuk memperkuat hegemoni kekuasaan pemerintahan lokal. Politisasi birokrasi di level lokal merupakan strategi mujarab untuk menekan partisipasi kritis publik. Ini bisa dimaklumi karena mesin birokrasi memiliki hubungan emosional yang besar dengan pusat-pusat

10 Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 32

Page 35: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

19 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

massa di akar rumput (Mansuri et al. 2012, dalam Regus, 2015: 30). Meski demikian, pemberdayaan masyarakat masih cenderung lebih efektif karena digerakkan oleh basis-basis masyarakat di daerah, terutama masyarakat adat di dalam pranata adatnya.

Desentralisasi adalah salah satu portofolio politik paling fenomenal selepas rezim Orde Baru.Titik krusial dalam hal ini adalah bagaimana desentralisasi politik mampu menerjemahkan nilai-nilai demokrasi dalam semua pilihan kebijakan politik publik di daerah-daerah otonom saat sekarang. 11Inklusivitas politik dalam pengertian yang lebih substansial bagi dorongan terhadap pemberdayaan masyarakat, disamping memperkuat ketahanan masyarakat itu sendiri merupakan titik berangkat dijalankannya agenda desentralisasi.

Berbeda dengan desentralisasi, model pembangunan yang sentralistik seperti yang diterapkan Orde Baru cenderung lebih menegaskan dominasi pusat terhadap daerah.Tentu yang dimaksudkan di sini, bukanlah upaya ke arah pemberdayaan masyarakat.Apalagi menyangkut penguatan kapasitas pranata adat.Sentralisasi (politik) pada masa lalu menutup kemungkinan munculnya kreatifitas lokal yang didasarkan pada pengembangan partisipasi sosial politik masyarakat.Reformasi total (1998), dengan demokrasi sebagai panduan tunggal, merupakan pemberontakan damai atas ekslusivitas politik, kekuasaan dan pembangunan di Indonesia.12

Sentralisasi kekuasaan Orde Baru didasarkan pada apa yang disebut sebagai Trilogi Pembangunan atau ideologi pembangungan. Ideologi pembangunan ini dirumuskan pada permulaan tahun 1970-an. Terdiri dari tiga program yang saling menjalin, yang diprioritaskan pemerintah dalam melaksanakan pembangunannya. Ketiga program tersebut ialah: (1) pertumbuhan ekonomi; (2) stabilitas politik; dan (3) pemerataan pendapatan. Dalam trilogi

11 Max Regus, “Diskursus Politik Lokal.” Hlm. 1212 Ibid. Hlm. 13

Page 36: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat20

.............................................................................................................................................................................................................

ini tampak bahwa demokrasi politik tidak mendapatkan prioritas. 13Sementara itu, argumentasi mengenai gagalnya developmentalisme sebagai basis epistemologis rezim pembangunan Orde Baru mempertegas alasan mengapa model sentralisasi harus dibongkar.

Tentang gagalnya teori pembangunan, Mansour Faqih pernah mengemukakan bahwa konsep pembangunan dan modernisasi yang kemudian serta merta dianut oleh berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga, pada dasarnya merupakan refleksi paradigma Barat tentang perubahan sosial.Konsep ini mempunyai akar sejarah dengan intelektualitas perubahan sosial yang berhubungan dengan revolusi industri di Eropa.Dalam masa yang sangat singkat, gagasan pembangunan dan modernisasi menjadi program besar-besaran.Selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik kepada pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak hampir setiap universitas di Barat membuka kajian baru yang dikenal dengan Development Studies. Melalui Studies di Barat ini, proses penyebar-serapan kapitalisme ke penjuru dunia dipercepat dan berlangsung mulus, yakni melalui teknokrat, intelektual dan aktivis LSM Dunia Ketiga yang menjadi pasar utama studi tersebut.14

Indonesia, bahkan beberapa tahun setelah reformasi, sebagai salah satu negara berkembang, termasuk ke dalam kelompok negara Dunia Ketiga tanpa terkecuali menjadi bagian dari proyek pembangunanisme tersebut.Bukti nyata tentang hal itu tentu melalui Trilogi Pembangunan yang telah dikemukakan sebelumnnya.Sehingga tidak mengherankan jika kurang lebih tiga dekade sentralisasi kekuasaan berjalan mulus tanpa ada hambatan.Padahal, justru menyisakan kenyataan hidup yang traumatik yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah, terutama masyarakat adat.Dengan menihilkan peran pemberdayaan masyarakat melalui pelemahan kelembagaan adat menjadi ciri sentralisme Orde Baru sebagai rezim pembangunan.

13 Bagian ulasan pengantar Arief Budiman, dalam buku “Aktor Demokrasi”, hlm. xxxv14 Dalam “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, hlm. 46 & 47

Page 37: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

21 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Padahal penguatan kapasitas pranata adat merupakan keniscayaan bagi terselenggaranya proses pemerintahan adat yang efektif. Hal demikian tentunya bergantung pada kesaling-mengakui antara negara dan masyarakat adat tentang eksistensi kedaulatan masing-masing, tanpa sama sekali menggerus semangat persatuan. Adanya bentuk pengakuan tersebut justru akan memungkinkan terjadinya konsolidasi demokrasi itu sendiri, bukan sebaliknya memunculkan kembali romantisme lokalitas dan menolak perkembangan masyarakat ke arah demokrasi. Sebab baik negara maupun pranata adat sebenarnya sama-sama memiliki peran dan fungsi strategis menjalankan proses demokratisasi.

Terkait dengan hal di atas, maka celah bagi dilakukannya revitalisasi pranata adat, khususnya bagi upaya pembangunan perdamaian pada basis-basis masyarakat adat (indegineous people) yang bekonflik dapat terbuka lebar.Tentunya agenda revitalisasi pranata adat tersebut bersifat transformatif dan lebih fokus kepada pengawalan hak otonomi adat sebagai ikhtiar untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat adat tentang konsep desentralisasi.

C. Kedaulatan Adat dan DemokratisasiMemahami konteks “kedaulatan” dalam negara dan adat

merupakan suatu hal yang paling urgen dan utama agar tidak mudah terjebak dalam ruang-ruang tekstual yang ambigu. Pada tahap ini, ide tentang revitalisasi sangat bergantung pada persoalan pemahaman akan hak dan batasan wewenang masing-masing. Sebenarnya, diakui bahwa ilmuwan politik dan cendekiawan hukum telah menyadari bahwa istilah kedaulatan semakin rancu (Rabkin, 1998:2, dalam Davidson, dkk 2010:337).

Kedaulatan dalam konsep internasional, seperti yang ada pada wacana Barat, diasiosasikan dengan gagasan mengenai “kewenangan yang paling tinggi untuk menolak segala kontrol luar” yang dimiliki oleh sebuah negara-bangsa. Selain karakternya “yang paling tinggi,”

Page 38: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat22

.............................................................................................................................................................................................................

negara-bangsa biasanya dikaitkan dengan “ekslusivitas,” terutama sebagai sumber identitas politik.Akan tetapi, di dalam kasus gerakan masyarakat adat, terminologi kedaulatan masyarakat adat tampak lebih digunakan sebagai pelengkap daripada sebagai titik ekslusif dari loyalitas komunitas yang masih berorientasi pada praktik-praktik adat lokal. Dalam beberapa publikasi AMAN, sebutan itu dihadapkan pada istilah “otonomi” dalam sebuah cara yang memberi kesan bahwa kedua istilah itu digunakan sebagai sinonim. Dalam kasus semacam itu, terimplikasi bahwa kedaulatan hanya berkaitan dengan pemerintah internal dari kontrol lokal ketimbang kewajiban pemerintah negara melawan ancaman eksternal; kedaulatan tidak memperluas hak lokal untuk membangun militer lokal, dilihat dari sudut pandang tersebut. Namun, kedaulatan masyarakat adat berarti bahwa ada hak masyarakat lokal menghadapi penetrasi ekonomi dari luar karena proses migrasi atau dampak negatif dari perusahaan (seperti perkebunan skala besar kelapa sawit) yang dimiliki pendatang, yang seringkali bermitra dengan kepentingan asing.15

Dari situ, dapat diperhatikan bahwa pemahaman tentang konteks kedaulatan antara negara dan pranata adat sebenarnya bisa memberi peluang bagi terjalinnya kesepahaman antara peran dan fungsi negara dan pranata adat untuk sama-sama hadir melindungi ancaman dan kontrol dari luar terhadap sumberdaya kehidupan yang ada, di mana negara sebagai pemegang otoritas sebagaimana ketentuan kedaulatan secara internasional yang memberikan jaminan otonomi kepada masyarakat adat untuk berorientasi pada praktik-praktik adat lokal. Pada saat tertentu, masing-masing cenderung bersifat “ekslusif” terhadap ancaman yang datang dari luar, terutama pada masyarakat adat yang (lebih sering) merasakan secara langsung dampak dari ancaman tersebut.Tapi di saat tertentu pula, masing-masing dapat menjadi “inklusif,” membina komunikasi

15 Davidson et al., “Adat Dalam Politik Indonesia.” Hlm. 337

Page 39: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

23 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

yang intens dan baik sebagai pihak-pihak yang berkepentingan atas dasar hak dan wewenang masing-masing.

Namun, kerangka ideal tersebut hanya mungkin bisa tercapai apabila hak-hak mendasar antara kedua belah pihak telah terpenuhi.Terkait dengan hak-hak mendasar, sebenarnya lebih didasarkan kepada sebuah bentuk kontrak sosial (social contract).Negara menjamin kebebasan berorientasi masyarakat adat untuk penguatan kapasitas kelembagaan adat melalui produk regulasi yang memihak kepada kepentingan masyarakat adat itu sendiri. Artinya, bentuk intervensi tidak hanya diaktualiasasi berdasarkan model hierarki (top down) semata melalui UU No. 22/1999 misalnya, tanpa adanya keterlibatan secara langsung mengukur sejauh mana penguatan kapasitas kelembagaan adat tersebut berdasarkan perspektif masyarakat adat (bottom up). Pada tahap ini, persoalan relevansi menjadi penting dengan adanya good will dari pemerintah atau negara.

Masyarakat adat melalui kelembagaan adat sebaliknya mengapresiasi bentuk intervensi negara tersebut sebagai pihak yang lebih berkompeten dalam menjalankan fungsi ketata-negaraan di mana entitas-entitas masyarakat adat itu ada.Dengan demikian, ikhtiar bagi revitalisasi pranata adat bukanlah menjadi sebuah isapan jempol belaka. Revitalisasi pranata adat justru tidak akan terhambat oleh kehadiran negara sebagai sebuah entitas kedaulatan yang harus diakui.

Perlu ditegaskan bahwa, pranata adat pada dasarnya telah berjasa sebagai organ potensial penjaga kedaulatan negara.Untuk itu, agenda revitalisasi pranata adat merupakan bagian yang strategis dalam kerangka menegaskan eksistensi kedaulatan negara itu sendiri. Revitalisasi dari institusi-institusi lokal, seperti lembaga-lembaga adat atau dewan adat telah merupakan alat utama bagi masyarakat untuk menghadapi serbuan orang yang masuk, seraya berusaha menggunakan sanksi-sanksi yang tradisional, seperti menetapkan denda berdasarkan barang-barang dengan nilai lokal

Page 40: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat24

.............................................................................................................................................................................................................

(misalnya kerbau) untuk mengontrol kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pendatang dan melindungi hak atas sumber-sumber lokal.16

D. Peran Pranata Adat Bagi PerdamaianMerebaknya konflik dan intoleransi sebagai problem bangsa dan

negara dewasa ini, bukan tidak mungkin dapat terjadi melalui begitu masifnya pembiaran terhadap urgensi pengelolaan keragaman di dalam masyarakat.Indonesia sebagai sebuah realitas keragaman merupakan identitas terberi yang inheren dengan dinamika masyarakat itu sendiri.Sehingga bentuk penegasian terhadap realitas serta urgensi pengelolaan tersebut, praktis menjadi suatu hal yang dapat berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup (bersama) berbangsa dan bernegara.

Dalam kondisi demikian, peran adat menjadi sebuah kemestian yang hadir mereduksi upaya-upaya terjadinya konflik dan intoleransi.Tentunya dengan memproyeksikan secara intens pengelolaan keragaman adat dan budaya yang ada sebagai kumpulan kearifan etika yang merekatkan, bukan sebaliknya.Adat, dalam hal ini nilai-nilai yang bersumber darinya merupakan alasan mengapa bangsa ini (tetap) ada.Tanpa adat, kebangsaan hanyalah identitas tak bermakna.

Salah satu domain penting tetapi luput dari perhatian para elit dalam penanganan konflik adalah melalui pendekatan “dari dalam” masyarakat sendiri.Masyarakat sebetulnya memiliki kemampuan dan sensivitas yang disebut “kearifan lokal” dalam menjaga kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam dan menyelesaikan konflik.Menurut Abdullah (2008: 7) memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik atau disebut dengan kearifan lokal berbasis budaya dan agama.Menurutnya, kearifan lokal mengacu pada

16 Ibid. hlm, 337

Page 41: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

25 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warga masyrakat.”

Setidaknya ada enam signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik.Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas.Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan.Ketiga kearifan lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam.Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas.Kelima, kemampuan local wisdom dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.

Rekomendasi perlunya melibatkan “orang dalam” melalui kearifan lokal sebagai alternatif resolusi konflik sebetulnya bisa digunakan untuk kasus konflik bernuansa etnik dan agama.Meskipun agama masih diperdebatkan sebagai unsur budaya atau bukan dalam konstruksi sosial masyarakat. Namun fakta historis memperlihatkan bahwa proses integrasi dan harmoni di antara keyakinan yang berbeda yang pernah hidup di Indonesia dapat berlangsung justeru karena kontribusi kearifan lokal dalam mengelola perbedaan tersebut. Hanya saja, berbagai kearifan lokal yang mungkin dikembangkan di negeri ini masih saja membutuhkan apresiasi dan penguatan dari para elit agar kearifan lokal ini bekerja (workable) secara baik.Para pemimpin tradisional adalah penggerak yang menentukan harmoni sosial pada suatu komunitas.

Pentingnya persatuan sebagai landasan berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada perangkat keras seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial, dan inklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak berupa eksistensi kebudayaan nasional. Oleh karena itu penyelesaian

Page 42: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat26

.............................................................................................................................................................................................................

konflik sosial tidak dapat selesai dengan pendekatan secara parsial akan tetapi diperlukan keterpaduan dalam penanganannya. Hal ini diupayakan oleh aktor perdamaian seperti nilai-nilai budaya dalam masyarakat (kearifan lokal) dan tokoh atau lembaga yang konsen dan peduli terhadap usaha membangun perdamaian. Pendekatan kearifan lokal ini merupakan salah satu upaya yang dapat diterima semua pihak terutama di kalangan masyarakat.

Pemerintah telah mendukung peran kearifan lokal dengan telah ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial khususnya pasal 41 ayat (1) yang menyatakan, Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui keberadaannya. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah memiliki semangat yang sangat kuat untuk mendorong dan merevitalisasi kearifan lokal menjadi kekuatan lokal atau local capacity for peace. Kearifan lokal ini menjadi modal sosial untuk menyikapi konflik kekerasan yang terjadi dan juga menjadi spirit untuk membangun Indonesia yang damai, adil dan sejahtera. Salah satu contoh, kearifan lokal yang telah diupayakan dalam menangani konflik sosial di kota Singkawang adalah dengan adanya kesepakatan damai dari pihak-pihak yang terkait konflik melalui pemuka agama, pemuka adat, pemuka masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah.

Kearifan lokal ini juga berperan dalam mewujudkan perdamaian negatif (fase berhentinya kekerasan) yang fokus kepada tidak adanya kekerasan langsung seperti perang, genocide dan ethnic cleansing (pengapusan etnik). Konsep perdamaian negatif memandang bahwa perdamaian ditemukan kapan pun ketika tidak ada perang atau bentuk-bentuk kekerasan langsung yang terorganisir sehingga yang dilakukan adalah upaya diplomasi, negosiasi, resolusi konflik dan menggunakan kekuatan militer ( Susan 2009:132)

Jauh sebelum adanya kedaulatan Negara Indonesia, kehadiran bangsa telah mendahuluinya dengan secara resmi pula sebagai

Page 43: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

27 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

identitas-identitas bangsa itu sendiri dibawah kedaulatan adat.Artinya bahwa pengakuan terhadap kedaulatan adat mestinya tidak lantas dinilai sebagai upaya penolakan terhadap Negara.Sebaliknya, melalui kedaulatan, Negara senantiasa mengapresiasi posisi adat sebagai entitas yang (mula-mula ada) telah berperan mewujudkan bangsa. Sejarah mencatat, selama tiga dekade lebih, rezim Orde Baru telah melakukan pembungkaman atau dalam istilah Roem Toppatimasang menyebutnya sebagai pemaksaan nilai-nilai (impostion of values)17

—terhadap peran adat yang justru telah menciderai keharusan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Secara historis, pun dikemukakan bahwa sudah sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindisch Compagnie), proses pemaksaan nilai-nilai terhadap masyarakat adat tersebut dilakukan.

Ketika mencapai kemerdekaan dan khususnya memasuki rezim Orde Baru, disain masyarakat adat yang dikonsepsikan oleh pemerintah kolonial dirombak tetapi tidak seluruhnya.Secara umum kelompok masyarakat adat yang berasal dari suku-suku kecil diposisikan sebagai kelompok masyarakat tradisional yang harus belajar menjadi manusia modern. Pendisiplinan menjadi manusia modern itu tidak disertai dengan pemberdayaan ekonomi.Sebaliknya, justru eksploitasi ekonomi atas sumber daya alam yang dimilikinyalah yang menjadi alas utama.Sehingga, banyak hak-hak masyarakat yang dirampas dan dipakai oleh negara untuk menjamin keberlanjutan negara dalam mendanai pembangunan ekonomi.18

Baru ketika memasuki era reformasi yang dimulai tahun 1998, masyarakat adat dapat melakukan perjuangan tanpa menghadapi represi kekerasan dari pihak negara. Gairah untuk menghidupkan kembali kedaulatannya semarak, dan berani melakukan berbagai langkah yang menekan negara.Pada Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) I tahun 1999, para peserta melantunkan gerakan “Jika Negara tidak mengakui Kami, Kami pun Tidak akan

17 Panjaitan & Topatimasang, dalam “Potret Orang-orang Kalah.” Hlm. 718 Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 28

Page 44: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat28

.............................................................................................................................................................................................................

mengakui Negara.”19

Namun dalam Konggres Masyarakat Adat Nusantara kedua pada tahun 2003, semboyan yang digemakan adalah “memperkuat posisi dan peranan masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi kerakyatan di era otonomi daerah.”Semboyan ini sekaligus merepresentasikan evaluasi sikap terhadap perubahan sistem dan atmosfir demokrasi negara yang terus berkembang semakin baik.Sikap ini juga menandai transisi gerakan dari yang semula menuntut rekognisi menuju ke berbagai hal yang melampauinya yaitu menyangkut penghormatan dan perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat adat.

Secara kontekstual, berangkat dari beberapa penjelasan di atas, maka yang mendasari permasalahan tersebut yaitu menyangkut persoalan pengakuan sebagai penegasan yang bersifat kontraktual. Tegasnya, pengakuan antara satu sama lain terhadap posisi masing-masing sebagai entitas-entitas yang berdaulat. Keberdaulatan entitas; rekognisi, representasi dan redistribusi; adalah perekat yang mengikat secara kontraktual berlangsungnya kehidupan berbangsa yang adil dan beradab, agar persatuan merupakan tujuan dan praksis hidup bersama.Dalam semangat kebersamaan itulah upaya terselenggaranya revitalisasi pranata adat dapat dimungkinkan untuk terselenggara dengan baik.Upaya ini sekaligus sebagai ikhtiar bagi terciptanya konsolidasi demokrasi seperti yang diharapkan.

Sementara itu, upaya revitalisasi pranata adat tentunya memiliki relevansi dengan persoalan good will dari pemerintah, pusat maupun daerah. Faktanya, terdapat kelemahan pemerintah dalam mempromosikan penguatan kapasitas pranata adat sebagai agenda dari desentralisasi berdasarkan amanat UU No. 22/1999, di mana pemerintah daerah dapat mengusung kembalinya pemerintahan adat yang diidamkan oleh para aktivis adat dan masyarakatnya.20

Pada hal, jika saja persoalan good will itu diterapkan secara

19 Ibid. Hlm. 2920 Ibid. Hlm. 30

Page 45: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

29 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

benar dan sesuai di setiap pemerintah daerah, maka hak otonomi pranata adat untuk memainkan peran desentralisasinya betul-betul mewakili posisinya sebagai sebuah kadaulatan yang diakui secara eksistensial.

Dengan demikian, persoalan menyangkut konteks dan relevansi bagi revitalisasi pranata adat hanya dapat terjadi jika: Pertama, dari segi konteks mengharuskan adanya pengakuan satu sama lain antara Negara dan pranata adat sebagai entitas-entitas yang berdaulat. Kedua, dari segi relevansi ialah pengarus-utamaan kecenderungan pemerintah (good will), khususnya pemerintah daerah dalam mempromosikan penguatan kapasitas pranata adat yang memiliki basis di daerah sebagai agenda dari desentralisasi dalam rangka mengembalikan hak otonomi pranata adat itu sendiri. Sehingga, kedua hal ini dinilai akan menentukan arah demokrasi yang konsolidatif-substansial. Tentunya termasuk respons positif atas tantangan semakin merebaknya intoleransi dan hambatan pembangunan perdamaian.

Page 46: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian30

.............................................................................................................................................................................................................

Page 47: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

31 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

A. Dilema Revitalisasi Pranata AdatSebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam bab

pendahuluan, bahwa baru pada saat jatuhnya rezim Orde Baru, dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, desa mendapatkan kembali hak otonomi untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya sendiri. Undang-Undang tersebut sekaligus sebagai penegasan terhadap agenda desentralisasi bagi setiap daerah untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan otonomi yang dimaksud dalam penjabaran Undang-Undang itu sendiri.Artinya, ruang pemaknaan otonomi tersebut masih cenderung bersifat arbitratif yang dengan begitu tentu memunculkan dilema. Dalam hal ini, penekanan dilema lebih diartikan sebagai sebuah kondisi yang bias tafsir terhadap apa yang disebut otonomi.

PRANATA ADAT DAN PERDAMAIAN

BAB III

Page 48: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian32

.............................................................................................................................................................................................................

Dalam konteks demokratisasi, kondisi demikian berangkat dari asumsi tentang keharusan terciptanya kontrak sosial (social contract) di satu sisi yang mewakili model demokrasi komunitarian. Sementara di lain sisi menyangkut penyebarluasan kekuasaan kepada pelbagai kelompok kepentingan melalui kontrol negara tentunya (negara sebagai ‘gagasan tertinggi’ atau ‘kekuasaan adidaya’). Asumsi tersebut mewakili model demokrasi liberal. Kedua model demokrasi ini secara praktis sebagai gambaran tentang kondisi dilema persoalan otonomi dimaksud. Sejauh perkembangan yang terjadi, dilema justru (diakui) lebih disebabkan oleh pemaknaan tentang demokrasi itu berkembang berdasarkan ‘selera’ negara (dan rezim pemerintahan).Inilah yang menjelaskan mengapa sejarah kekuasaan politik di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan kekuasaan dan bukannya oleh paham konstitusionalisme yang sesungguhnya. Sejarah negara ini sejak awal mulanya memperlihatkan bahwa hakekat kultur kekuasaan modern di Indonesia sangat sarat dengan kepentingan kekuasaan para ‘penguasa konkrit’ dan para ‘penguasa diskursus kekuasaan’. Karena itu pula hubungan antara negara dengan warga negaranya menjadi hubungan antara ‘yang dikuasai’ dengan ‘yang menguasai’, antara ‘yang diperintah’ dengan ‘yang memerintah’.21

21 Laksono & Topatimasang, “Ken Sa Faak.” Hlm. 279

Page 49: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

33 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Box 1:Penyelesaian Konflik Melalui Adat

Dikalangan Masyarakat Aceh

Eksistensi lembaga adat di Aceh telah ada sebelum Aceh masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pembentukan lembaga adat ini sangat berkaitan dengan bentuk pemerintahan yang berlaku pada zaman kesultanan Aceh.Pada masa itu unit pemerintahan otonom yang paling bawah adalah gampong.Gampong disebut sebagai “persekutuan masyarakat hukum adat” terkecil di Aceh.Setingkat diatasnya terdapat mukim yang merupakan federasi beberapa gampong.Selanjutnya unit pemerintahan uleebalang (kenegerian) merupakan federasi beberapa mukim.Sementara setingkat di atasnya adalah unit pemerintahan Sagoe yang merupakan federasi dari beberapa kenegerian. Untuk level yang paling atas terdapat pemerintahan kesultanan.

Di samping itu sistem pemerintahan Aceh pada masa kesultanan juga memiliki lembaga-Iembaga adat yang berkedudukan sebagai unit pemerintahan unsur kedinasan.Unit-unit pemerintahan ini umumnya mengatur perihal pengelolaan kegiatan unit perekonomian den sosial kemasyarakatan warganya.Lembaga-Iembaga ini bersifat otonom dan berfungsi sebagai pengatur pengelolaan sumber daya alam secara profesional.Untuk komunitas nelayan ada lembaga adat yang disebut dengan panglima laot, kelompok petani ada lembaga keujrun blang dan kaum peladang ada lembaga peutua seuneubok.Masing-masing lembaga adat ini mempunyai hak dan kewenangan untuk membuat hukum dan memantau pelaksanaannya.Selain itu masingmasing lembaga adat juga memiliki kewenangan untuk membentuk sejenis peradilan sebagai badan pelaksanaan dan penegakan hukum di wilayahnya.Hal ini menunjukkan bahwa berbagai permasalahan konflik yang timbul dalam masyarakat Aceh pada masa itu diselesaikan berdasarkan dimana sumber konflik itu muncul.

Untuk perselisihan atau konflik kecil, seperti tagihan perdata kecil dan kejahatan-kejahatan ringan yang berlangsung antara sesama warga kampung biasanya diselesaikan oleh keuchik dan teungku meunasah yang dibantu oleh tuha peut.Keuchik bertindak sebagai hakim wasit atau juru damai yang bertugas mengatur jalannya persidangan dan memutuskan jalan penyelesaian bagi para pihak yang berkonflik, Apabila ada salah satu dari para pihak yang berkonflik menolak perdamaian atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa ke pengadilan tingkat mukim.Perangkat peradilan tingkat mukim ini terdiri atas imeum mukim, keuchik, teungku imeum dan pemuka masyarakat yang terdapat dalam daerah yurisdiksinya.Pihak yang mengajukan perkara harus menyerahkan

Page 50: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian34

.............................................................................................................................................................................................................

uang jaminan (hak ganceng) sebagai ongkos perkara. Menurut Van Langen, sebagaimana yang dikutip Isa Sulaiman, biaya ongkos (hak balee) adalah satu sukee (seperempat) dari setiap empat ringgit nilai harta yang dlpersengketakan.8 Adapun aturan hukum yang dipakai oleh Iembaga-Iembaga pengadiJan adat di atas berlandaskan syariah Islam, adat Meukuta alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam dan kebiasaan adat yang berlaku. Namun demikian menurut Snouck dalam praktek hukum yang berlaku temyata keputusan yang diambil lebih berpedoman kepada hukum adat ketimbang hukum syariah.

Dengan demikian penyelesaian konflik yang dilakukan oleh lembaga adat secara berjenjang merupakan bagian dari perangkat peradilan kerajaan yang formal.Di masa itu peradilan merupakan bagian integral dari perangkat kerajaan di mana peradilan agama terintegrasi dengan peradilan adat.Hakim peradilan tersebut dipegang oleh penguasa adat secara berjenjang dari bawah hingga sultan. Dengan kata lain peradilan gampong yang diselenggarakan oleh unit pemerintahan gampong merupakan bentuk peradilan formal dan legal pada masa kesultanan Aceh berkuasa. Oleh sebab itu orang dipilih dan diangkat untuk menduduki posisi dalam pemerintahan harus diseleksi dari orang-orang yang ahli dari bidang hukum dan kemasyarakatan.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, status gampong sebagai persekutuan masyarakat hukum adat dan peradilannya tetap dipertahankan sebagai sebuah lembaga formal dalam sistem pemerintahan kolonial.Dalam hal ini peradilan gampong menggunakan Hukum Adat sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara.Namun demikian putusannya tetap bersifat perdamaian sesuai dengan prinsip-prinsip penyelesaian peradilan gampong.Bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan peradilan gampong dapat mengajukan lagi perkaranya kepada peradilan meusapat. Peradilan meusapat bukan berkedudukan pada tingkat gampong akan tetapi pada wilayah yang lebih luas di atasnya. Peradilan ini diketuai oleh konteler (kepala wilayah) bersangkutan yang berjumlah 21 buah di seluruh Aceh.Susunan anggotanya terdiri atas tiga orang hulubalang senior (termasuk panglima sagoe), seorang ulama dan seorang juru tulis.sidangan biasanya berlangsung di ibukota wilayah atau di tempat kedudukan hulubalang yang berada dalam daerah yurisdiksi bersangkutan. Pengadilan meusapat bertugas mengadili perkara diantara orang bumi putera Aceh saja.Peradilan ini juga menggunakan adat sebagai dasar pijakan hukum dalam memutuskan perkara, tetapi keputusannya dapat mengikat para pihak.

Kamaruddin, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei 2013)

Page 51: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

35 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Merebaknya konflik berbasis identitas, utamanya agama dewasa ini merepresentasikan problem toleransi yang sedang dihadapi Indonesia. Kasus antaragama seperti yang ditandai pada satu dasawarsa yang lalu, sebagaimana yang terjadi di Poso dan Ambon, juga yang dewasa ini menyeruak seperti pada kasus GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia, adalah sekelumit catatan mengenai hal tersebut. Juga dalam kategori yang lain adalah intra-agama, sebagaimana yang terjadi dalam kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah di Cikeusik, Mataram dan Kuningan, adalah catatan lain terkait problem toleransi ini.

Masalah masyarakat plural dapat menjadi stabil, menurut habermas, tidak dapat dipecahkan menurut teori liberal klasik Hobbesian tentang modus vivendi.22 Tidak pula sesuai dengan konsep kontrak sosial ala Locke yang menekankan hak individu

22 A.Sunarko, dalam majalah Basis; Agama di Ruang Publik Demokratis Indonesia, tahun ke-62, 2013

http://wangsasyailendra.org/ws/?page_id=155

Gambar 1. Penyelesaian masalah melalui upacara adat di Aceh

Page 52: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian36

.............................................................................................................................................................................................................

beserta propertinya, sebab konteks di Indonesia menekankan kuatnya hak komunal pada berbagai suku bangsa.Konflik agraria banyak berpusar pada persoalan hak tersebut, antara kuasa negara dan penghormatan terhadap hak ulayat.Barangkali konsep John Rawls mengenai overlapping consensus merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan problem tersebut. Bagi Rawls, di antara komunitas dengan tradisi dan sistem nilai berbeda masih terdapat cukup kesamaan sehingga tercapai sebuah overlapping consensus tentang tatanan dasar kehidupan bersama.23

Hal ini bukan merupakan praktek yang asing dalam tradisi bangsa Indonesia.Selain yang dipraktekkan dalam satuan komunitas yang lebih kecil yang direpresentasikan oleh beragam bangsa di Indonesia, tradisi tersebut pernah menemukan titik puncaknya pada saat penyusunan dasar negara dalam sidang PPKI.Perdebatan mengenai dasar negara pada saat itu dapat ditengahi dengan memilih Pancasila sebagai konsensus bersama dengan masing-masing pihak bersedia menanggalkan sebagian kebenarannya.

Dalam praktek pengelolaan pemerintahan Indonesia hari ini, yang terbebani dengan model pendisiplinan dan unifikasi ala Orde baru serta karut marutnya bentuk demokrasi, hal ini menjadi salah satu tantangan besar.Penekanan soal otonomi dewasa ini pada dasarnya menjadi alasan mengenai kebebasan menjalankan dan mengatur kehidupan rumah tangga sendiri.Yang dimaksud dengan rumah tangga di sini ialah entitas-entitas lokal yang telah ada mendahului negara dengan sistem kenegaraannya.Entitas-entitas tersebut ialah pranata-pranata adat yang ada pada basis masyarakat. Untuk itu, pemenuhan hak-hak sipil dan politik, seperti pemberian otonomi lokal dan desentralisasi pemerintahan yang semakin bersih dari korupsi, akan sangat banyak membantu memcahkan banyak sekali tumpukan permasalahan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya yang lama terabaikan selama ini. Kewajiban negara untuk memenuhi

23 Ibid., hlm. 8

Page 53: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

37 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

hak-hak dasar warga negaranya, tidak selalu harus diartikan bahwa negara harus diberi kekuasaan yang berlebihan kuat agar mampu melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam konvensi internasional, tugas negara sebenarnya hanya tiga: melindungi (protection), mengatur (regulation), dan memajukan (promotion). Jadi, semakin jelas bukan ‘menguasai’ dan kemudian ‘memberikan’ kembali (sebagian kecil) sebagai kebaikan hati semata.24

Akan tetapi, persoalan otonomi hingga dewasa ini masih terus menuai ketidaksesuaian makna dalam praktek desentralisasi, terhitung semenjak awal reformasi.Hal tersebut seiring dengan kebanyakan kabupaten yang berada di lingkungan masyarakat adat justru bergerak lamban dan sepertinya enggan mewujudkan kembalinya pemerintahan adat. Hudayana (2005), mengemukakan, ada beberapa dugaan yang melatarbelakangi masyarakat adat—dalam hal ini, pranata adat itu sendiri—akan menghadapi berbagai masalah untuk mewujudkan kembalinya pemerintahan asli , yakni:

Pertama, otonomi pemerintahan adat dapat mengancam pemerintahan kabupaten dalam menikmati investasi pada sumber daya alam yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan, HPH, pertambangan dan lainnya. Dengan kata lain juga, dikhawatirkan pajak-pajak perusahaan akan didistribusikan kembali ke pemerintahan adat. Di tengah kenyataan bahwa kabupaten harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk meningkatkan sumber pendapatan dalam APBD, maka kemungkinan bagi daerah untuk menolak gagasan otonomi pemerintahan adat menjadi lebih terbuka.

Kedua, munculnya tarik menarik di aras lokal antara kelompok yang pro terhadap kembali ke pemerintahan adat yang diwakili oleh para aktivis adat dengan yang tetap pro pada status quo yang diwakili oleh para pengelola desa lama. Situasi ini dapat dimanfaatkan pemerintah kabupaten untuk mengulur waktu di dalam membuat

24 Ibid. hlm. 285

Page 54: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian38

.............................................................................................................................................................................................................

keputusan yang menetapkan kembali ke pemerintahan adat.Ketiga, kolaborasi antara perusahaan dengan pemerintah

daerah untuk mencegah kembalinya pemerintahan adat, karena jika perusahaan langsung berhadapan dengan pemerintahan adat yang dapat dipastikan masyarakatnya akan melakukan renegosiasi atas investasi di daerahnya. Dengan struktur pemerintahan di desa lama, pemerintah kabupaten dapat mendiktekan kebijakannya ke desa karena kepala desa harus loyal kepada atasannya dan tanpa dikendalikan oleh institusi semacam BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22/1999.

Keempat, pemerintahan kabupaten dikuasai oleh elite-elite yang tidak mewakili masyarakat adat.Elit di tingkat kabupaten yang berkuasa telah tercerabut dari ikatan komunitasnya dan loyalitas mereka dialamatkan kepada kelas sosial dan partainya.Karena partai politik juga tidak mempunyai kontrak politik dengan masyarakat adat, maka kepentingan masyarakat adat menjadi berjarak dengan kepentingan partai politik.

Gambar 2Majelis Latupati, Lembaga adat yang menjaga Kedamian di Maluku

Page 55: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

39 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Kelima, munculnya kerenggangan-kerenggangan hubungan antar suku di aras lokal dalam mengakses politik dan ekonomi, sehingga gerakan kembali ke adat dicurigai sebagai suatu ancaman terhadap suku-suku pendatang minoritas, dan suku yang saling berseteru memperebutkan akses politik dan ekonomi di tingkat kabupaten.

Keenam, di kalangan masyarakat adat sendiri muncul keberagaman elit dengan latar belakang sosial-ekonomi dan idealisme yang membuka proses yang relatif lama untuk melakukan konsolidasi.

Ketujuh, dengan telah begitu lama eksistensi pemerintahan adat dihapus dan bahkan di banyak daerah adat, kepemimpinan adat pun tidak lagi diakui, maka diikuti pula oleh hancurnya modal sosialdan kedekatan elit dengan massanya.Akibatnya, ketika para elit mengusung perjuangan kembali ke romantisme, warganya tidak turut berpartisipasi.Mereka sepertinya harus berjuang sendiri dan melakukan konsolidasi yang panjang untuk membuahkan gerakan yang solid.25

Dari beberapa dugaan tersebut, maka jelas bahwa dilemarevitalisasi bagi pranata adat sebenarnya terletak pada persoalan (pemaknaan yang kurang substansial mengenai) otonomi.Sebab hingga dewasa ini, pun sejak dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 2014, otonomi masih menjadi persoalan yang krusial bagi kembalinya eksistensi pemerintahan adat yang sesuai.

Dengan adanya berbagai krisis tersebut diatas maka perlu ada “gerakan revitalisasi budaya”. Revitalisasi sebagai sebuah konsep diartikan bermacam-macam. Akibatnya revitalisasi juga dapat diartikan perwujudannya dalam berbagai bentuk kegiatan mulai dari kegiatan dokumentasi, pemetaan tradisi, preservasi, pemeliharaan, pemberdayaan atau penguatan kembali tradisi. Akan tetapi apapun pengertiannya, revitalisasi pertama-tama dan utamanya titik tolak

25 Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 30-31

Page 56: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian40

.............................................................................................................................................................................................................

pandangan kita pada masyarakat pendukung tradisi bersangkutan. Dari titik tolak di atas revitalisasi juga dimaksudkan sebagai sarana komunikasi interaktif lokal, nasional dan global.

Untuk mendapatkan hasil kegiatan tersebut diatas secara representatif, langkah pertama yang harus dilakukan melalui dialog. Karena bentuk-bentuk tradisi itu sangat luas dan beragam jenisnya. Jenis-jenis tradisi apa yang akan dan atau perlu direvitalisasi? Seberapa besar makna revitalisasi bagi masyarakat pendukungnya dan bagi perkembangan kebudayaan itu sendiri? Apakah dengan kegiatan revitalisasi nilai tradisional akan mampu membentuk watak bangsa yang unggul dan mampu bersaing dengan bangsa lain? Apakah krisis tersebut menyerang langsung nilai-nilai budaya tradisional masyarakat? Sejumlah pertanyaan lain dapat dideretkan sehubungan dengan kegiatan revitalisasi budaya khususnya Budaya Bali yang notabene sekarang ada dipersimpangan jalan. Kalau terbukti dan benar, maka saya menganjurkan refleksi-kultural berupa tindakan revitalisasi nilai-nilai tradisional sebagai salah satu cara untuk mengangkat krisis tatanan sosial budaya itu ke tingkat yang lebih relevan dengan konteks zaman ini.

Pertanyaan awal adalah apakah krisis tatanan sosial budaya itu terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini? krisis adalah hasil dinamika pergeseran paradigma dari sesuatu yang terus-menerus berkembang dan bahkan berlangsung dari masa ke masa. Sedangkan tatanan berarti aturan, tata tertib, atau sistem.

Dalam kaitan dengan kajian sosial budaya, krisis tatanan sosial budaya adalah hasil dinamika pergeseran paradigma sistem sosial budaya (rangkaian aktivitas dan tindakan berpola dari manusia di dalam masyarakat) yang terus-menerus berkembang dan bahkan berlangsung sangat cepat dari masa ke masa. Nah, kalau krisis adalah hasil dinamika pergeseran paradigma sistem sosial budaya, maka kita sebenarnya sedang berbicara tentang sesuatu yang senantiasa berubah dalam kebudayaan (dinamika kebudayaan). Itu berarti bahwa kebudayaan itu sesuatu yang dinamis (selalu berubah)

Page 57: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

41 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

bahkan sangat cepat, dan oleh karena itu tidak ada kebudayaan yang statis. Krisis perubahan kebudayaan itu bisa nampak dalam bentuk disorientasi kebudayaan (kita seperti kehilangan arah) atau bisa juga dalam bentuk disintegrasi kebudayaan (hancurnya tatanan-nilai lama dimana kita pernah merasa aman dan tenteram).

Dengan kata lain, aspek dinamis dari kebudayaan merupakan suatu proses yang karakteristik. Mengapa? Sebagai mahluk biopsikologis, di dalam setiap kebudayaan, setiap individu selalu memiliki kebabasan tertentu untuk memperkenalkan variasi dalam cara-cara bertingkah laku dan dalam pola bertindak yang pada akhirnya menjadi milik bersama. Tingkahlaku dan tindakan manusia ini selalu bisa berubah dari waktu ke waktu karena manusia berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan fisik geografis, tuntutan kebutuhan-kebutuhan biologis, tuntutan lingkungan sosial, dan juga tekanan-tekanan sosial. Maka tanpa masuknya pengaruh unsur budaya asing sekalipun, suatu kebudayaan lokal dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah sejalan dengan mengalirnya waktu, apalagi dalam era globalisasi dan modernisasi teknologi dewasa ini.

Maka boleh dikatakan bahwa krisis yang terjadi karena perubahan paradigmatik dalam sistem sosial budaya merupakan suatu keniscayaan transisi historis atau suatu keharusan sejarah yang niscaya terjadi. Artinya “sebagai mahluk yang kodratnya adalah bebas, manusia harus mengembangkan dirinya menuju kesempurnaan hakikat dirinya. Apa yang ada pada manusia sebagai kemungkinan (potensi) harus berkembang menjadi kenyataan, sebab manusia tidak hanya ditentukan oleh karakternya tetapi juga oleh prinsip-prinsip hakikinya yaitu kemampuan untuk berubah dan hasrat untuk meraih kesempurnaan. Oleh sebab itu krisis perubahan itu bukan malapetaka tetapi belaskasih yang mengingatkan kita akan hakikat diri kita dan hakikat kebudayaan kita. Jadi perubahan dan pembaha-ruan adalah suatu keharusan sejarah, dan oleh karena itu siapa pun tidak bisa melawan keharusan sejarah ini. Dan berbagai

Page 58: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian42

.............................................................................................................................................................................................................

bentuk krisis selalu terjadi atau timbul pada masa-masa transisi.Salah satu fenomena krisis tatanan sosial budaya yang paling

menonjol pada masyarakat dewasa ini adalah perubahan ini mengacaukan orientasi normatif pada berbagai kelas sosial yang berbeda dan membawa serta masalah hubungan antara masa lalu dan masa kini, antara masa tradisionalitas dan modernitas, dan antara homogenitas dan pluralitas. Toynbee (1972) melihat perubahan hirarki nilai dalam sejarah kebudayaan ini sebagai suatu kondisi disequilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru, karena yang sedang terjadi adalah proses interaksi antara tantangan dan tanggapan. Artinya tantangan-tantangan dari lingkungan alam dan lingkungan sosial selalu memancing tanggapan kreatif dari suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

Sering sekali terjadi ketidakseimbangan antara tantangan dengan tanggapan kreatif, sehingga kondisi ketidakseimbangan atau disequilibrium ini menjadi semacam time of trouble, yaitu suatu periode peradaban manusia dimana lembaga-lembaga sosial budaya beserta potensi-potensi aktivitasnya yang dulu merupakan pusat-pusat kreatif dari kebudayaan, kini tidak bisa berfungsi lagi. Itu berarti bahwa lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial yang dulu menjadi tumpuan dalam penyelesaian problem-problem masyarakat, dalam era time of trouble justru tidak berfungsi dan bahkan dapat menyebabkan lahirnya problem-problem baru sehingga lembaga-lembaga dan pranata-pranata ini bukannya menjamin tetapi malah mengancam integritas dan eksistensi budaya. Beberapa contoh dapat disebutkan di bawah ini:• Lemahnya fungsi lembaga-lembaga adat dan pranata-pranata

adat ketika menghadapi tantangan kehadiran lembaga-lembaga dan pranata-pranata baru bentukan negara seperti LKMD, BPD, dan lain sebagainya.

• Tata ekonomi agraris dan lembaga-lembaga agraris yang dulu relatif adil dan merata selalu kalah berha¬dapan dengan tata ekonomi global yang eksploitatif dan didukung oleh watak

Page 59: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

43 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

ekonomi koneksi antara mo¬dal pasar dengan korporatisme elit politik.

• Pranata-pranata demokrasi prose-dural yang baru selalu tidak berkutik berhadapan dengan pranata-pranata otoriter yang lama (status quo).

• Tata nilai kekeluargaan dan kebersa-maan pada masyarakat tradisional menjadi rapuh kekuatannya ber-hadapan dengan kehadiran tata nilai ekonomi yang mementingkan untung rugi di dalam masyarakat ini.Krisis tatanan sosial budaya dalam dinamika perubahan kultur

juga disebabkan oleh masalah kontak kebudayaan atau yang disebut oleh pakar Antropologi sebagai the problem of acculturation or culture contact. Akulturasi adalah perubahan kebudayaan yang terjadi apabila kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda itu bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus, sehingga kemudian menimbulkan perubahan pada pola kebudayaan yang asli dari salah satu kelompok atau pada kedua kelompok tanpa menghilangkan kepribadian kelompok atau kebudayaan tersebut. Proses akulturasi atau kontak kebu-dayaan ini menjadi sangat rumit dan menimbulkan masalah, ketika unsur-unsur kebudayaan yang saling berkontak itu sangat ditentukan oleh kedua kekuatan sikap dari masyarakat yakni: sikap yang menerima dan sikap yang menolak perubahan.

Jadi proses akulturasi pasti akan selalu dihadapkan dengan dua (2) kelompok kekuatan sikap masyarakat ini, sehingga permasalahan akulturasi itu selalu diwarnai hal-hal sebagai berikut:• Ada unsur-unsur kebudayaan pendatang yang mudah diterima

tetapi ada pula unsur-unsur kebudayaan pendatang yang ditolak oleh masyarakat penerima.

• Ada unsur-unsur kebudayaan masyarakat penerima (resipien) yang mudah berubah, tetapi ada pula unsur-unsur kebudayaan yang sulit sekali berubah.

• Ada individu-individu masyarakat resipien yang cepat menerima

Page 60: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian44

.............................................................................................................................................................................................................

unsur-unsur kebudayaan pendatang, tetapi ada pula individu-individu yang sukar sekali atau lamban menerima.

• Ada lapisan-lapisan masyarakat resipien yang sukar menerima unsur-unsur kebudayaan pendatang, tetapi pula ada lapisan-lapisan masyarakat resipien yang sukar menerima/menolak; generasi tua dengan generasi muda, kaum terpelajar dan kaum tidak berpendidikan, golongan bangsawan dengan rakyat jelata, kaum perempuan dengan kaum laki-laki.

• Ada pelbagai macam saluran yang dilewati oleh proses akulturasi dan yang paling sering tumpang tindih, seperti lewat perdagangan, lewat pendidikan, lewat politik penjajahan, lewat penyebaran agama, dan lain-lain.

Kompleksitas proses akulturasi atau kontak kebudayaan ini telah terbukti menimbulkan ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis sosial budaya di antara anggota-anggota masyarakat atau antara kelompok masyarakat.

B. Revitalisasi Pranata Adat Dalam Konteks Pelembagaan Perdamaian Berbasis Desa

Dalam masa Suharto, keragaman dikelola sebagai penyeragaman bukan persatuan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 yang bercorak sentralistik melakukan penyeragaman model pemerintahan dan administrasi desa. Secara otomatis sistem sosial dan mekanisme pemerintahan lokal yang ada sebelumnya turut tergerus. Bersama itu pula kekayaan kultural pelan-pelan mengalami degradasi. Hal ini dianggap turut berpengaruh dalam memiskinkan mekanisme penyelesaian masalah yang sebelumnya berlangsung baik di berbagai komunitas di Indonesia.

Bagaimana memaknai posisi desa dalam pembangunan perdamaian? Bagaimana menempatkannya dalam peran strategis pembangunan perdamaian dan perwujudan cita-cita kebangsaan? Pertanyaan ini adalah sekelumit dari hal yang perlu dicermati untuk

Page 61: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

45 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

membangun basis argumentasi atas pilihan dalam memfokuskan upaya pembangunan perdamaian melalui revitalisasi pranata adat.

Dalam rangka mendorong perdamaian yang lestari, sebagai pijakan bagi pencegahan konflik maupun pemulihan kondisi sosial-ekonomi paska konflik, desa adalah elemen paling berpengaruh (juga rentan terpengaruh). Terutama selain karena desa adalah basis subyek utama, dalam wacana transformasi konflik sebagaimana juga diamanatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2014, partisipasi masyarakat adalah elemen yang adekuat. Sebab menggantungkan sepenuhnya pada peran negara sama halnya dengan tidak mempercayai kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan sesuai mekanisme yang mereka bangun, di sinilah peran kuat pranata adat.

Bung Hatta mengawali ulasannya tentang pedesaan dengan membedah perbedaan antara desa dengan kota. Menurutnya, perbedaan antara desa dengan kota di Indonesia terutama disebabkan oleh pengaruh kolonialisme Belanda. Secara detail, diungkapkan oleh Hatta, kemunculan kota dalam sejarah Nusantara merupakan dampak langsung dari kolonial Belanda. Hal ini berbeda

Gambar 3.Mataoga, Pranata Adat Kabupaten Kepulauan Sula

Page 62: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian46

.............................................................................................................................................................................................................

dengan kemunculan kota dalam peradaban Eropa maupun peradaban-peradaban tua di dunia lainnya, yang disebabkan oleh kemajuan tenaga produktif masyarakat.26

Perbedaan tersebut bukan tanpa alasan menandai konteks dan arah pembangunan negara-bangsa Indonesia pada saat itu.Tentu termasuk perihal pelembagaan Desa sebagai basis pembangunan.Diakui bahwa desa sebenarnya merupakan pusat penghidupan, di mana tersedianya sumber daya kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya, selama masa kolonialisme Belanda—diawali oleh kehadiran VOC (berkisar tahun 1602-1800)—desa menjadi wilayah strategis penopang kekuatan ekonomi pemerintah kolonial. Meskipun secara terminologis, kata “desa” sendiri belum secara resmi berlaku bagi seluruh wilayah dari komunitas tertentu di seluruh Nusantara. Desa masih merupakan keterwakilan dari komunitas tertentu yang mendiaminya, yang mengatur rumah tangganya sendiri (secara otonom), termasuk penyebutan nama tempat yang mereka diami dengan menggunakan penyebutan nama lokal yang berlaku semisal Nagari di Sumatera Barat, Ohoi, Negeri atau Gam di Maluku (Tenggara, Tengah dan Utara), Temukung di NTB, Pakraman di Bali, Wanua di Sulawesi Utara atau Kampung di Papua, dan lain-lain.

Penyebutan desa dengan nama lokal bukan tidak mungkin dikarenakan oleh identitas adat yang melekat pada komunitas tertentu tersebut. Melekatnya identitas adat menjadi pokok yang paling penting dilihat sebagai kekuatan utama desa itu ada.Sehingga dalam hal ini, penyebutan desa sebenarnya lebih disesuaikan dengan identitas adat (masyarakat adat sekaligus pranata adat).Pelembagaan desa sendiri memberi pengertian yang terbuka ke arah penguatan kapasitas adat.Maka mengenai posisi revitalisasi dalam konteks pelembagaan desa justru lebih sebagai penegasan terhadap peran dan fungsi adat secara otonom untuk mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri.

26 Refi & Falahi, dalam “Desa Kosmopolitan.” Hlm. 3

Page 63: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

47 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Dengan demikian, pengertian pelembagaan desa dalam kerangka revitalisasi ialah ikhtiar untuk mengembalikan posisi desa lebih kepada konteksnya sebagai basis adat. Meski pada kenyataannya, masih ada pembedaan terhadap penyebutan desa itu sendiri secara konstitusional: antara desa dinas dan desa adat.Pembedaan tersebut kerap memunculkan ambivalensi peran dan fungsi pemerintahan desa dalam makna yang otonom.Contoh kasus di Indonesia seperti di Bali dan beberapa wilayah lainnya.

Box 2:Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi Masyarakat

Hukum Adat Kecamatan Jerebu’u Kabupaten Ngada

Pada masyarakat Ngada yang pembentukan masyarakatnya berasal dari pembentukan masyarakat hukum teritorial dan masyarakat hukum genealogis, atau yang dikenal dengan Nua (masyarakat hukum teritorial) dan Woe (masyarakat hukum genealogis) memiliki lembaga Pemangku adat yang telah ada sejak zaman dahulu, tepatnya sejak masyarakat Ngada ada, yang berfungsi menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di tengah masyarakat. Keberadaan Lembaga Pemangku Adat di masyarakat Ngada diakui oleh Pemerintah Daerah dengan dikeluarkanya Peraturan Daerah Kabupaten Ngada Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembentukan Dan Penataan Lembaga Kemasyarakatan Di Desa Dan Kelurahan.Di Kabupaten Ngada, sengketa yang terjadi sering kali bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan persoalan tanah. Hal ini dapat dipahami, karena di manapun tanah memiliki arti dan nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan lingkunganya.Ditambah lagi dengan persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat di Ngada yang masih bersifat komunal dengan hak-hak ulayatnya.Sengketa tanah yang sering terjadi di Kabupaten Ngada adalah konflik antar suku dalam suatu wilayah adat, konflik antar sesama anggota suku, konflik antara anggota suku dan desa.Meski sengketa di masyarakat terus terjadi bahkan mungkin meningkat, masyarakat tetap menghendaki terselesaikanya sengketa tersebut agar hubungan dan tatanan sosial yang sempat rusak atau terganggu oleh sengketa tersebut dapat segera dipulihkan. Penyelesaian yang dikehendaki adalah penyelesaian yang

Page 64: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian48

.............................................................................................................................................................................................................

Desa sejatinya adalah pilar utama negara, seharusnyalah desa ditempatkan sebagai basis pemberdayaan yang diutamakan, terkait dengan cita-cita kebangkitan bangsa. Pemilihan desa sebagai orientasi kebijakan revitalisasi pranata adat adalah upaya yang menyasar langsung pada kantung-kantung sosial yang senyatanya.

Dalam keterkaitan desa dengan perdamaian, persoalan penguatan desa menjadi hal yang harus menjadi prioritas. Tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan konflik terakselerasi oleh dinamika di

tuntas dan final dalam tempo singkat dengan cara sederhana dan dengan biaya murah, sehingga memuaskan semua pihak dan melahirkan keadilan.Di dalam hukum adat (terutama di Kecamatan Jerebu’u Kabupaten Ngada) tidak dikenal instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan penjara.Tugas-tugas seperti pengusutan, penuntutan, dan peradilan dilaksanakan oleh tua-tua adat dan warga adat setempat.Tua-tua adat ini biasanya adalah kepala kerabat dan atau orang-orang yang dianggap dan dihormatinya sebagai Mosa Laki. Jika terjadi konflik atau sengketa akan segera diperiksa benar dan salahnya, lalu ditentukan hukumanya dan atau dendanya.Mosa adalah Lembaga Pemangku Adat yang bersifat kolegial dan tidak otoriter.Keberadaan dan kehadiran badan pemangku adat sebagai lembaga yang dipercayakan untuk menjaga keutuhan dan kelestarian hukum adat, serta kelestarian hidup warga sekaligus sebagai mediator atau juru damai dalam penyelesaian berbagai sengketa dalam masyarakat hukum adat tetap dirasakan sebagai kebutuhan.Ada banyak kasus masyarakat lebih menginginkan penyelesaian melalui forum pemangku adat dari pada forum peradilan negara.Hasil penyelesaian lewat lembaga pemangku adat lebih sesuai dengan perkembangan zaman, serta tingkat kepatuhan warga kepada norma-norma adat masih baik.Dalam proses penyelesaian sengketa oleh Lembaga Pemangku Adat tidak jarang pula ditemukan hambatan-hambatan baik yang berasal dari para Mosalaki itu sendiri, sebagai mediator atau juru damai, terkait dengan pemahaman hukum adat dan keputusan-keputusan yang di ambil dalam penyelesaian sengketa, maupun hambatan dari Mosa sebagai Lembaga Pemangku Adat terkait dengan fungsi dan wewenangnya dalam menangani penyelesaian sengketa di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, serta kurangnya minat generasi muda saat ini dalam mempelajari dan mengembangkan kebudayaan daerah setempat.

(Serafianus Maximus Rabu Goti, Artikel Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2014)

Page 65: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

49 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

aras desa-desa. Sehingga bisa jadi konflik meluas atau menyempit, hal yang sangat bergantung pada konteks masing-masing desa. Namun secara umum, di tengah kondisi konflik yang bermula di kota-kota tertentu, paling sering terjadi konflik meluas atau terakselerasi oleh dinamika di desa-desa.

Menelaah berbagai konflik komunal massif di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari dinamika desa. Dari tinjauan ini, akan dilihat bagaimana akar konflik mendapatkan momentum peledakan masalah yang bermuara pada isu konflik tertentu. Persoalan paling merata--baik di desa maupun di kota-- yang terjadi adalah masalah ketimpangan yang bersumber dari persoalan-persoalan seputar akses. Akses adalah indikasi yang berkaitan dengan representasi dan redistribusi.

Sangat tepat untuk memilih pembangunan perdamaian melalui optimalisasi peran masyarakat desa. Pada aspek perdamaian dalam konteks pencegahan maupun pemulihan paska konflik, jaringan antardesa harus dikuatkan, sehingga desa tidak lagi dijadikan basis

http://suara-forgema.blogspot.co.id/2012/12/sindrom-kemosalakian.html

Gambar 4. Mosalaki, Pranata Adat Provinsi NTT Marlin Bato

Page 66: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian50

.............................................................................................................................................................................................................

mobilisasi massa bagi konflik antarelit di kawasan urban. Fokus pembangunan yang sudah berjalan melalui amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 pada aspek sosial-ekonomi, politik, budaya dan adat, secara timbal balik menjadikan ekonomi desa kokoh dan memungkinkan perdamaian yang berkelanjutan.

Selanjutnya, bahwa posisi revitalisasi dalam konteks pelembagaan desa sekaligus menjadi gagasan awal bagaimana membangun paradigma perdamaian (peace paradigm) yang lebih aplikatif diterapkan pada basis-basis masyarakat perdesaan ketika sewaktu-waktu terjadi konflik kepentingan di tengah-tengah mereka. Pembangunan perdamaian (peace building) sendiri sebenarnya merupakan tujuan umum dari upaya revitalisasi pranata adat melalui proses pelembagaan desa. Untuk itu, dibutuhkan instrumen atau pisau analisis yang sesuai sebagai ukuran bagi tujuan tersebut.Kemudian, sasaran analisis ini tentunya diarahkan pada beberapa pranata adat yang ada hampir di seluruh wilayah Indonesia.Terutama sebagai dasar pertimbangan menentukan arah kebijakan dan strategi pengembangan daerah tertentu, dalam hal ini adalah penanganan daerah paska konflik.Fokus kebijakannya ialah penanganan daerah paska konflik dengan rehabilitasi sosial dan ekonomi.Sementara strateginya ialah meningkatkan kapasistas pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan, rekonsiliasi dan rehabilitasi daerah paska konflik.Untuk itu, revitalisasi pranata adat dalam pembangunan perdamaian ini sekaligus merupakan salah satu dari beberapa kegiatan prioritas pemerintah dalam rangka pengembangan daerah tangguh konflik.

C. Kontribusi Pranata Adat dalam Perdamaian Berbagai komunitas masyarakat Indonesia yang beragam

masih menjalankan adat yang bersumber dari budaya lokalnya.UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, telah menjamin dan mendorong fungsi pranata adat dan/atau pranata sosial dalam pengelolaan serta penyelesaian konflik-konflik sosial.

Page 67: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

51 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Pranata adat berfungsi dalam pengelolaan konflik, agar konflik dapat diselesaikan atau tidak muncul dalam bentuk kekerasan.Penekanan pada peran pranata adat ini sebagai upaya untuk memperkuat partisipasi penyelesaian konflik serta menghindari tumpang tindih mekanisme penyelesaian konflik antara mekanisme adat yang tergolong sebagai ADR (alternative dispute resolution) dengan mekanisme formal seperti pengadilan.

Gambar 5.Penyelesaian Perselisihan Melalui Pranata adat,

di Sigi Sulawesi Tengah

Page 68: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian52

.............................................................................................................................................................................................................

Box 3:

Kasus Sengketa Banjar Adat Ambengan Dengan Banjar Adat Semana Ubud Kabupaten Gianyar

Awal terjadinya sengketa tersebut muncul pada tanggal 31 Mei 2007 yang berawal dari pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu oleh warga Banjar Adat Semana di lokasi setra yang menurut warga Banjar Adat Semana kayu tersebut akan digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati setempat yang digunakan bersama-sama, namun tindakan tersebut dilarang oleh warga Banjar Adat Ambengan. Dua Peristiwa tersebut terus berkembang hingga larangan penguburan dan bentrokan fisik hingga aksi kekerasan yang disebabkan adanya saling klaim kepemilikan atas Tanah Setra tersebut yang pada awalnya digunakan bersama diklaim sebagai milik dari salah satu pihak. Adapun jika diamati dari peristiwa terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah setra antara lain dapat berupa faktor internal (perbedaan kepentingan, batas-batas wilayah yang tidak jelas, serta kekuasaan dan hak) dan faktor eksternal (Perkembangan jaman dan globalisasi serta perkembangan dalam sektor pariwisata). Faktor-faktor tersebut menyebabkan berubahnya nilai-nilai, pola prilaku, pandangan hidup dan gaya hidup dari warga masyarakat serta perubahan pada fungsi kelembagaan masyarakat.

Penyelesaian Sengketa Tanah Setra dan Pelaksanaannya. Pada kasus sengketa tanah setra yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar Adat Semana ini dilakukan dengan cara mediasi oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar. Mediasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang mencoba menawarkan kemenangan yang sedapat mungkin diperoleh oleh para pihak serta menemukan kepentingan semua pihak yang dapat dirundingkan guna memperoleh kesatuan pandangan atau keputusan yang baik . Mediasi tersebut dilakukan dengan pertemuan-pertemuan dan perundingan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat antara kedua belah pihak. Hal tersebut sesuai dengan asas musyawarah mufakat yang dijelaskan sebagai berikut: Asas Musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam hidup bermasyarakat segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota–anggotanya atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama dan ... Asas mufakat adalah asas yang digunakan dalam menyelesaikan perbedaan perbedaan kepentingan pribadi seseorang dengan orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Dengan dilakukannya beberapa kali pertemuan, maka pada tanggal 11 Mei 2009 Badan kesbang Pol dan Linmas Kabupaten Gianyar mengeluarkan Surat Penegasan Nomor: 300/389/kespolin. Surat Penegasan tersebut menegaskan bahwa setra yang disengketakan tersebut tidak boleh digunakan oleh kedua belah pihak, sampai adanya kesepakatan penyelesaian lebih lanjut oleh kedua belah pihak.

Page 69: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

53 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Secara umum, program revitalisasi pranata adat adalah prakarsa untuk melembagakan perdamaian berkelanjutan di Indonesia melalui penguatan basis-basis utama penopang bangsa; desa beserta kekayaan budaya dan pranatanya.Kekuatan dan peluang yang dimiliki serta tersedia di desa, salah satunya pranata adat ditempatkan dalam kerangka untuk melembagakan perekat (connector) perdamaian, sekaligus sebagai ketahanan bagi faktor pembelah (divider) dalam konflik, yang juga diakibatkan oleh kelemahan dan ancaman di desa.

Surat Penegasan tertanggal 11 Mei 2009 tersebut belum dapat berjalan dengan efektif, hal tersebut ditandai dengan timbulnya bentrokan fisik yang menimbulkan korban luka-luka dan larangan penguburan. Kemudian Pemerintah Kabupaten Gianyar kembali melakukan proses mediasi dengan kedua belah pihak dan pada akhirnya tercapailah suatu kesepakatan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tangga 14 April 2011. Kesepakatan tersebut menjelaskan bahwa tanah setra yang disengketakan akan dibagi dua dan diberikan pembatas menggunakan batas buatan (tembok), dimana berdasarkan hasil pengukuran oleh BPN Provinsi Bali tanah setra yang menjadi sengketa sebesar 5,2 are disebelah barat jalan dengan batas pohon celagi keselatan, kemudian pembagian tanah masing-masing banjar adat, yaitu Banjar Adat Semana mendapat 2.6 are disebelah utara (berdempet dengan setra asal Banjar Adat Semana) sedangkan Banjar Adat Ambengan juga mendapatkan 2,6 are di sebelah selatan. Dengan kesepakatan tersebut diharapkan seiring berjalannya waktu hubungan baik antara kedua Banjar Adat ini dapat berjalan dengan harmonis dan dapat melupakan kejadian-kejadian buruk dimasa lalu dengan memperhatikan ketiga pokok pangkal titik tolak kehidupan kelompok masyarakat adat di bali, yaitu upaya umum masyarakat untuk menegakkan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri, keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan kelompok masyarakat, dan keseimbangan hubungan masyarakat secara keseluruhan dengan alam keTuhanan. Hal tersebut dikarenakan kesepakatan yang diperoleh oleh kedua belah pihak tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa sengketa tidak akan terjadi lagi, karena itu hendaknya warga masyarakat adat lebih memperhatikan filosofi ajaran Tri Hita Karana dengan tetap menjaga keharmonisan berdasarkan asas laras, rukun dan patut sehingga keadaan menjadi aman dan tentram.

(I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A Gde Oka Parwata, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana – http://www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/download/5982/4462)

Page 70: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian54

.............................................................................................................................................................................................................

Secara umum, menemukan faktor perekat (connector) dan pembelah (divider) dalam adat melalui pengindentifikasian bersama adalah juga merupakan kegiatan untuk merefleksikan secara kritis posisi pranata adat dalam konteks pembangunan perdamaian. Hasil identifikasi itu akan menjadi pokok dalam mentransformasikan nilai maupun sistem tertentu dalam adat yang berpotensi sebagai pembelah (divider) atau untuk menjadi perekat (connector) bagi perdamaian.

Peran pranata adat yang berbasis di wilayah desa menjadi penting dan relevan mengingat konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pergeseran pola dari konflik ideoligis (SARA) menjadi konflik-konflik kecil dan rutin yang terjadi di tingkat desa (konflik batas desa, tawuran antar-warga, konflik pembangunan dll).

Gambar 6.Penyelesaian Konflik Tapal Batas Desa melalui Pranata Adat di

Kabupaten Donggala

Page 71: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

55 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Tabel 2. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Agama dan EtnisYang Terjadi Selama Setahun Terakhir

Satu Agama Multi Agama Satu Etnis Multi Etnis Total38.177 44.013 23.198 58.922 82.190

Sumber: Statistik Potensi Desa 2014

Sumber: Statistik Potensi Desa 2014

Dimensi keragaman dari aspek politik, sosial dan budaya juga sangat besar di desa-desa seluruh Indonesia memberikan gambaran pentingnya melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian konflik berbasis masyarakat melalui pengembangan nilai-nilai budaya lokal.Data statistik tersebut sekaligus menunjukkan bahwa keragaman desa yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia menjadi potensi dan sekaligus ancaman bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan bila tidak dikelola dengan baik dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh masyarakat.

Disamping keragaman desa yang menunjukkan tingkat segregasi sosial yang terjadi dalam masyarakat, data statistik juga menunjukan gambaran peran tokoh masyarakat yang belum secara optimal di perankan sebagai pedoman kehidupan keseharian masyarakat desa di seluruh Indonesia.

Tabel 3. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Jenis Perkelahian Massal Yang Terjadi Selama Setahun Terakhir

Antar Kelompok

Masyarakat

Kelompok Masyarakat Antar Desa

Kelompok Masyarakat

dengan Aparat

Keamanan

Kelompok Masyarakat

dengan pemerintah

Pelajarar/Mahasiswa

Antar Suku

Total

1.404 1.128 108 99 327 70 160

Sumber: Statistik Potensi Desa 2014

Page 72: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian56

.............................................................................................................................................................................................................

Tabel 4. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Inisiator Penyelesaian Perkelahian Massal Yang Paling Sering Terjadi

Setahun TerakhirAparat

KeamananAparat

PemerintahTokoh

MasyarakatTokoh Agama

LainnyaTidak ada Inisiator

1.404 1.128 108 99 327 160

Sumber: Statistik Potensi Desa 2014

Gambaran data tersebut menunjukkan potensi kerawanan sosial di tingkat desa menunjukkan angka yang cukup tinggi di berbagai daerah di Indonesia, baik dalam bentuk perkelahian antar kelompok, perkelahian antar-desa dll.sementara disisi lain, peran tokoh masyarakat/adat masih belum berperan secara optimal dalam penyelesaian kasus-kasus konflik sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU Penanganan Konflik Sosial.Proses-proses penyelesaian masih bertumpu pada peran aparat keamanan dan pemerintah sebagai mediator penyelesaian konflik di tingkat Desa.

Oleh karenannya, peran pranata adat sebagai bagian dari Sistem Peringatan dan Respon Dini Konflik Sosial/Conflict Early Warning and Early Response System menjadi penting untuk didorong dan relevan dalam perkembangan dinamika kehidupan sosial yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Page 73: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

57 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Tabel 5. Contoh Model Penyelesaian Konflik melalui Pranata AdatWILAYAH PRANATA ADAT KASUS KONFLIK METODE PENYELESAIAN

Aceh

· Unit Pemerintahan: Gampong; Keuchik dan Tengku Meunasah dibantu Tuha Perut; Mukim; Uleebalang (kenegerian); Sagoe; Kesultanan.

· Unsur Kedinasan: Panglima Laot (komunitas nelayan); Keujrun Blang (Komunitas Petani); dan Peutua Seuneubok (Komunitas Peladang).

Konflik berskala besar maupun kecil yang terjadi di dalam masyarakat, misalnya konflik terkait persoalan sumber daya ekonomi, pelanggaran hukum, dll. Termasuk perselisihan kecil antar warga masyarakat dalam satu kampung.

Baik unit pemerintahan dari yang terendah (Gampong) hingga tertinggi (kesultanan), termasuk unsur-unsur kedinasan bekerja sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dalam kerangka kesatuan adat. Upaya-upaya penyelesaian konflik di dalam masyarakat misalnya, merupakan perihal yang inheren dengan keberadaan pemerintahan adat tersebut.

Aceh Singkil · Singkil-Hulu· Singkil-Pesisir

(tepian sungai)

· Konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan kelapa sawit, tahun 2012.

· Konflik bernuansa SARA yang terjadi pada 13 Oktober 2015: Pembakaran Huria/Gereja Kristen Indonesia (HKI) di Desa Sukamakmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil. Di samping pembongkaran sekitar 13 Gereja di beberapa Desa oleh Pemerintah setempat dikarenakan belum memilliki izin mendirikan bangunan (IMB).

Komunitas Adat Singkil-Hulu dan Singkil-Pesisir secara kelembagaan merupakan bagian dari Majelis Adat Aceh (MAA). Disebut Singkil-Hulu sebab komunitas adat tersebut secara geografis berada pada wilayah dataran tinggi (pegunungan/perbukitan). Sebaliknya Singkil-Pesisir di dataran rendah, umumnya tepian sungai. Singkil-Hulu merepresentasi golongan Nasrani, sementara Singkil-Pesisir mewakili golongan Muslim.Hubungan kekerabatan antara dua komunitas adat tersebut menjadi titik temu bagi penyelesaian konflik yang terjadi di sana. Meskipun terkadang upaya ini tidak banyak dimunculkan ke permukaan sebagai upaya non-litigasi bagi penyelesaian konflik, akan tetapi pengakuan masyarakat tentang peran dan fungsi kedua komunitas adat tersebut tetap ada.

Page 74: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian58

.............................................................................................................................................................................................................

WILAYAH PRANATA ADAT KASUS KONFLIK METODE PENYELESAIAN

Gianyar

Adat Ambengan

Adat Semana

Tri Hita Karana

Sengketa tanah setra antara lain dapat berupa faktor internal (perbedaan kepentingan, batas-batas wilayah yang tidak jelas, serta kekuasaan dan hak) dan faktor eksternal (Perkembangan jaman dan globalisasi serta perkembangan dalam sektor pariwisata), pada 31 Mei 2007.

Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui proses mediasiberhasil menghubungkan kedua belah pihak yang berkonflik untuk menuai kesepakatan damai atas sengketa yang terjadi. Terlepas dari proses mediasi yang diprakarsai oleh pemerintah, kesepakatan damai sebenarnya didorong oleh kesadaran masyarakat lokal setempat tentang ajaran filosofii Tri Hita Karana.

Ngada MosaSengketa tanah yang sering terjadi di Kabupaten Ngada adalah konflik antar suku dalam suatu wilayah adat, konflik antar sesama anggota suku, konflik antara anggota suku dan desa.

Mosa (Lembaga Pemangku Adat) merupakan subjek vital dalam proses penyelesaian konflik. Oleh karenanya, upaya bagi pembangunan perdamaian pun cenderung bergantung pada peran serta fungsi sentral Mosa.

SampangRampak Naong Baringin Korong

Konflik yang terjadi antar golongan Syi’ah dengan Sunni di Sampang, Madura.

Rampak Naong Baringin Korong menjadi sebuah mekanisme lokal yang terbukti mampu menancapkan rasa persaudaraan yang kuat di antara masyarakat, khususnya bagi orang-orang Madura. Misalnya, ketika nilai keislaman tidak dapat dijadikan penyatu, bahkan menjadi pembeda antara Sunni dengan Syiah, maka persamaan dan perasaan sebagai sesama orang Madura sebagai potensi yang paling mungkin menjadi titik persamaan atau share identity bagi pihak-pihak yang berkonflik.

Sambas, Ketapang,

Landak

Pamabakng & Mangkok Merah (mangkok jaranang: akar bergetah warna merah)

Konflik antar etnik yang terjadi di Sambas.

Pamabakng & Mangkok Merahmerupakan sebuah inisiatif lokal terhadap proses pembangunan perdamaian di dalam masyarakat, terutama di Sambas. Tentunya termasuk Ketapang, Landak, Dayak, dll.

Page 75: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

59 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

WILAYAH PRANATA ADAT KASUS KONFLIK METODE PENYELESAIAN

Sulawesi Tengah

Maromu

Masale & mosintuwu

· Konflik sumber daya ekonomi terkait kepemilikan tanah/hutan di masyarakat adat Ngata Toro.

· Konflik bernuansa SARA pada 1998.

Baik Maromu, Masale maupun Mosintuwusama-sama memiliki ketentuan yang utama terhadap proses penyelesaian konflik di dalam masyarakat. Maromu misalnya, mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Begitu pula Masale dan Mosintuwu diakui menjadi basis nilai kekerabatan (gotong royong). Beberapa bentuk kearifan lokal (local wisdom) diakui menjadi tolok ukur penyelesaian konflik.

MalukuPela gandong; Masohi; dan Ain Ni Ain/Maren.

· Konflik bernuansa SARA pada 1999 di Maluku.

· Pun termasuk konflik berlatar sumber daya alam dan ekonomi.

Sebagai sebuah sistem ikatan persaudaraan, pela gandongwajib untuk direalisasikan dalam kehidupan orang bersaudara di Maluku. Kewajiban tersebut semata-mata demi menjaga kelestarian perbedaan yang ada di masyarakat, khususnya di Maluku. Selain pela gandong, sistem lain yang masih terpelihara dengan baik sebagai sistem ikatan persaudaraan di Maluku ialah budaya Masohi dan Ain ni Ain/Maren. Kasus konflik horizontal bernuansa SARA pada 1999 misalnya, telah membuka mata kita bahwa mekanisme lokal masih terbukti mampu bekerja dengan baik mengakhiri pertikaian atau kerusuhan yang terjadi di Maluku. Beberapa mekanisme lokal tersebut, tentunya berlaku juga pada penyelesaian konflik berlatar sumberdaya alam dan ekonomi.

Page 76: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Pranata Adat dan Perdamaian60

.............................................................................................................................................................................................................

WILAYAH PRANATA ADAT KASUS KONFLIK METODE PENYELESAIAN

PapuaBakar batu

Kaneka Hagasir

· Konflik antar warga masyarakat dengan pihak perusahaan, rata-rata perusahaan tambang (misalnya: PT. Freeport).

· Konflik antar etnik, biasanya terkait urusan batas tanah, pembunuhan.

· Di samping tidak kalah massifnya peristiwa kriminal, atau kejahatan lainnya.

Pelibatan mekanisme lokal dalam kasus-kasus perusahaan besar seperti perusahaan tambang di daerah biasanya lebih sering didominasi oleh pihak perusahaan-perusahaan. Hal tersebut didasari oleh bergaining (penawaran) ekonomi-politik perusahaan yang lebih kuat ketimbang daya tahan kebudayaan lokal komunitas adat tertentu. Kasus Papua dengan PT. Freeport misalnya, dapat diakui malah lebih “mudah” terselesaikan melalui proses bergaining tersebut ketimbang melalui mekanisme lokal dimaksud. Pendeknya, konflik berlatarbelakang sumberdaya ekonomi dalam kasus Papua belum tentu dapat dipastikan terselesaikan dengan (hanya sekadar) melibatkan mekanisme lokal yang ada hampir di setiap pranata adat.Sementara konflik etnik di Papua justru dinilai lebih sesuai dengan melibatkan mekanisme lokal, misalnya Bakar Batu dan Kaneka Hagasir.

Page 77: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

61 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

A. Kontekstualisasi ProgramSifat pranata adat yang unik dan sangat lokal sekaligus memiliki

batasan terkait lokusnya, juga di sisi lainnya bisa merentang melewati batas teritori administratif.Hal ini menegaskan keterbatasan sekaligus potensi lintas batasnya.Dengan demikian, program revitalisasi pranata adat ini tidak bisa dilakukan secara serampangan dan general.Melainkan secara khusus mesti mempertimbangkan konteksnya.Meskipun demikian, tetap dapat dirumuskan beberapa aspek umum untuk menjadi program nasional.

Kebutuhan program revitalisasi pranata adat sangat berkaitan dengan konteks masing-masing wilayah yang menjadi lokus kerja. Berbagai masalah yang mengakibatkan hilangnya “vitalitas” pranata adat sebagai lembaga yang mengatur kehidupan komunitasnya, termasuk salah satunya sebagai lembaga perdamaian, berkaitan dengan pelemahan oleh kebijakan yang tidak mencirikan penghargaan

KEBUTUHAN DAN MANFAAT REVITALISASI PRANATA ADAT

BAB IV

Page 78: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat62

.............................................................................................................................................................................................................

terhadap realitas keragaman serta otonomi tertentu komunitas. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa adalah salah satu contoh kebijakan yang mempengaruhinya.

Diperlukan terobosan pemikiran untuk melakukan suatu revitalisasi pranata adat dan budaya lokal sebagai media solusi konflik dan peace building. Adapun berbagai terobosan pemikiran tentang pranata adat dan budaya lokal sebagai bagian integral di dalam agenda revitalisasi budaya lokal dimaksud yakni: 1. Diperlukan suatu perubahan cara berpikir tentang budaya

lokal dan adat secara lebih dinamis dan tidak statis. Bahwa budaya lokal pada dasarnya dapat berubah, dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Pranata lokal adalah hasil suatu proses historis, suatu konstruksi sosial dengan konteks sosio-historis tertentu. “Demitologisasi” tertentu atas pranata adat dimaksudkan agar orang terbuka menyesuaikan nilai-nilai adat/budaya lokal, serta bersedia terbuka menerima scara kritis dan hati-hati berbagai nilai-nilai baru yang sifatnya baik untuk memperkuat kehidupan sosial masyarakat kedepan. Dalam konteks visi yang dinamis ini maka posisi dan status masyarakat selaku anak adat bukan hanya sebagai penerima atau pewaris pasif dari budaya lokal kita (resipen), tetapi kita hendaknya berperan sebagai aktor, kreator dan agen-agen pembaharu aktif terhadap budaya lokal kita.

2. Agenda Revitalisasi Budaya Lokal dapat dilakukan melalui berbagai jalur. a. Jalur pendidikan akademis perlu dilakukan eksplorasi dan

indetifikasi terhadap berbagai kekayaan khazanah budaya lokal kita yang masih termuat dalam tradisi lisan, guna dilakukan kodifikasi terhadap pranata adat yang ada. Sekaligus dilakukan suatu tinjaun kritis, respektif dan refleksi terhadap nilai-nilai adat untuk menggali dan menyatakan manakah yang sesuai diterapkan dan manakah yang perlu disesuaikan lagi dengan kebutuhan masa kini.

Page 79: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

63 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

b. Termasuk didalam proses kodifikasi warisan adat tersebut yakni, diperlukan suatu pelurusan terhadap kebenaran sejarah budaya lokal didalam ragam masyarakat kita. Dalam hal ini, perlu direlavitir kecenderungan umum berpegang pada budaya yang dominan, tetapi sebaliknya haruslah terbuka terhadap beragam alternative narasi-narasi kecil sumber sejarah adat budaya yang sudah barang tertentu menyimpan pula kandungan kebenaran tertentu, perlu diperjelas tentang kedudukan dan sifat dari pranata adat yang mengatur tentang ‘Hak Milik’ dan ‘Hak Guna/Hak Makan’ atas SDA petuanan setempat (Ufi, 2007).

c. Perlu dieksplorasi dan dirumuskan kembali suatu visi kebudayaan baru yang menjadi suatu common ground/common values/common culture bagi semua masyarakat. Dengan menggunakan suatu pendekatan paralelisme dan similaritas budaya. Maksudnya dicari titik temu didalam berbagai warisan pranta adat didalam masing-masing komunitas masyarakat beragam yang mirip dan paralel makna kulturalnya. Dilakukan suatu telaah sintetis untuk mengelaborasi dan mengintegrasikan berbagai aspek dan niali adat yang mirip/parallel makna tersebut menjadi suatu nilai umum/bersama yang dapat disepakati menjadi nilai budaya lokal daerah.

d. Perlu disusun kurikulum pembelajaran adat istiadat daerah untuk diajarkan didalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi. Ini merupakan suatu media sosialisasi terhadap warisan nilai adat istiadat daerah, termasuk proses sosialisasi yang dilakukan melalui berbagai pranta pendidikan informal dan non-formal.

3. Agenda revatilisasi budaya lokal dapat dilakukan pula melalui jalur gerakan sosial, praktek sosial dan eksperimen sosial. Perlu dikonstruksi berbagai lembaga-lembaga sosio-kultural yang dapat mengembangkan dan melembagakan praktek sosial

Page 80: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat64

.............................................................................................................................................................................................................

terhadap berbagai pranta adat budaya lokal tersebut. Dan bagian penting dari gerakan sosial dimaksud selain dilakukan sosialisasi dan eksperimentasi sosial, tetapi terlebih dahulu dilakukan suatu kesepakatan bersama, suatu konsensus sampai kepada komitmen bersama untuk menerima dan memberlakukannya secara sosial didalam kehidupan segenap warga masyarakat.

4. Agenda revitalisasi budaya lokal kiranya berpuncak pada adanya komitmen politik untuk mendukung kebelakuan pranata adat melalui berbagai kebijakan publik, keputusan dan regulasi politik yang relevan. Kebijakan pubik dan regulasi dimaksud adalah untuk menyeleraskan dan mengintegrasikan antara berbagai nilai-nilai pranata adat yang baik dengan berbagai nilai hokum positif, melalui sintesa dan kombinasi yang harmonis. Misalnya, adanya kebijakan publik untuk melegitimasikan dan melegalkan peranan pranata adat didalam menjaga hutan dll. Kebijakan lain misalnya, diperlukan suatu desain format pemekaran desa-desa secara tepat yang dapat kiranya menyelaraskan antar status desa adat (yang punya kewenangan adat terhadap wilayah dan anggota masyarakat desa sebagai anak adat) dan desa administrative (yang berfungsi melayani kepentingan desa sebagai warga Negara secara formal dalam domain hidup bernegara.Ciri pembangunan pada semua aspek tersebut adalah pembukaan

wadah-wadah bagi interaksi lintas komunitas; diharapkan menjawab masalah fundamental dari agenda sehari-hari masyarakat di satu sisi, dan melakukan penataan kembali persoalan ketimpangan akses di sisi lain. Sehingga, perdamaian bisa dimaknai sebagai pijakan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Dalam semangat membangun sinergi lintas desa, pranata adat yang mungkin mengikat beberapa desa berfungsi sebagai basis etika sosial dan hukum yang arif.

B. Model Pranata Adat Untuk PerdamaianIndonesia memiliki kekayaan keragaman pranata adat yang

Page 81: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

65 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

telah tumbuh dan berkembang sejak sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia.Berbagai kekayaan tersebut muncul dan tumbuh subur sesuai dengan lingkungan kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut.Banyak pranata adat di Indonesia yang sejak dulu berkontribusi dalam pembangunan dan turut menjaga keselarasan dan harmoni antar-masyarakat diseluruh Indonesia. Diantara keragaman pranata adat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke diantaranya:

1. SINGKIL Lembaga adat gampong dan meunasah sebagai pengendalian

sosial masyarakat terhadap pelaksanaan syari’at islam di Aceh. Lembaga adat gampong memiliki peran besar terhadap keberlangsungan sistem pengendalian sosial masyarakat, sehingga hukum syari’at dan hukum adat menjadi nilai-nilai normatif yang dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat

Lembaga-lembaga adat di Aceh: Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Imeum Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbanda

Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi federasi dari beberapa gampong.

Imeum Mesjid atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah mukim.

Tuha Lapan adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga mukim anggota musyawarah mukim, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. Disebutkan angka lapan, maksudnya sebagai representasi delapan arah mata angin dari suatu daerah yang lebih luas dari gampong.

Keuchik (Kepala Desa) adalah ketua gampong (desa), yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan

Page 82: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat66

.............................................................................................................................................................................................................

gampong. Ia dipilih secara demokratis menurut vesri masyarakat gampong.

Imeum Meunasah/Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara keagamaan di gampong. Ia juga memberikan pertimbangan dan penerapan hukum syariat di gampong.

Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Angka peut (empat) ini pada mulanya merujuk sebagai representasi teritoti dari empat arah mata angin dalam gampong. Namun kemudian, sebutan peut ini tidak hanya ditujukan sebagai perwakilan teritori, melainkan juga representasi personal dalam lembaga tuha peut, yaitu ; tuha, tuho teupeu, dan teupat.

Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.

Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot.

Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan/perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.

Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu (madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.

Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.

Page 83: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

67 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi.

Alasan kemunduran pengaplikasian penyelesaian konflik dengan mekanisme lokal di Singkil Aceh adalah kurangnya kewibaan geuchik sendiri dalam memimpin gampong. Geuchik seperti ini tidak akan mampu menciptakan sistem pengendalian sosial yang utuh. Biasanya geuchik ini berada dalam gampong-gampong yang dekat dengan masyarakat perkotaan. Akibatnya nilai-nilai normatif menjadi berkurang disebabkan pengaruh globalisasi modern yang tidak mampu diaplikasikan dengan budaya lokal. Berbeda halnya dengan geuchik yang memimpin gampong-gampong di wilayah terpencil, masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai agama dan adatsehingga jarang ditemukan pelanggaran keduanya. Peran gampong di sini benar-benar menciptakan sistem pengendalian yang utuh dalam masyarakatnya, sehingga aman dan tentram dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Masyarakat pun menyambut positif terhadap pelaksanaan hukum agama dan hukum adat di wilayahnya masing-masing. Faktor lain yang menghambat peran geuchik adalah lemahnya peran geuchik sebagai lembaga yudikatif. Akibat lemahnya peran tersebut, masyarakat cenderung melaporkan ke Mahkamah Syar’iyah untuk diselesaikan.Selain faktor tersebut, diperlukan juga peningkatan kesadaran masyarakat dalam memahami pentingnya hukum syari’at dan hukum adat dalam menciptakan sistem pengendalian sosial masyarakat. Lembaga adat gampong harus merumuskan kembali bagaimana bentuk hukum adat yang berlaku di wilayah masing-masing seiring dengan semakin majunya globalisasi.

2. SAMPANGRampak naong baringin korong, yaitu persaudaraan antarorang

Madura, walaupun lebih banyak digunakan dalam konteks orang Madura di perantauan, tetapi nilai ini sebenarnya dapat menjadi penyatu bagi seluruh orang Madura.Ketika nilai keislaman tidak dapat dijadikan penyatu, bahkan menjadi pembeda antara Sunni

Page 84: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat68

.............................................................................................................................................................................................................

dengan Syiah, maka persamaan dan perasaan sebagai sesama orang Madura menjadi potensi yang paling mungkin untuk menjadi titik persamaan atau shared identity bagi pihak-pihak yang berkonflik.

Istilah Rampak naong baringin korong yang menjadi pedoman hidup ini dimaksudkan bahwa orang madura menyukai kehidupan yang damai tanpa kekerasan, diskriminasi dan persengketahan

3. SUMBAWALembaga adat tana samawa (LATS) merupakan pihak yang bisa

berperan dalam pencegahan maupun resolusi konflik di Sumbawa.Setelah lama vakum, LATS direvitalisasi melalui Musakara Adat pada 2011 lalu. Hasil Musakara Adat tersebut antara lain mengukuhkan putra Mahkota Kesultanan Sumbawa, H. Daeng Muhammad Abdurrahman Raja Dewa sebagai Sultan Sumbawa ke -17 dan memimpin LATS. Dengan modal simbolik dan kultural yang dimiliki, Sultan Sumbawa dan Lembaga Adat mempunyai kesempatan untuk memaksimalkan keberadaannya sebagai referensi warga Sumbawa.

Situasi yang terjadi di Sumbawa saat ini merupakan momentum tepat untuk menunjukkan eksistensi dan peran Lembaga Adat Tana Samawa yang sudah direvitalisasi. Kehadiran Sultan Sumbawa atau yang kerap disapa dengan Daeng Ewan untuk menenangkan massa kemarin sebaiknya diikuti dengan langkah-langkah yang lebih sistematis demi resolusi konflik yang efektif. LATS harus mampu menjalankan perannya sebagai bagian dari intermediary actors yang prima sebagaimana hasil keputusan Musakara Adat pada 8-10 Januari 2011 lalu. LATS diharapkan menjadi jembatan mediasi bila terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat.Payung hukum lewat Perda Kabupaten Sumbawa No. 23 2007 juga memberikan tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaikan perselisihan di dalam masyarakat.

4. SAMBAS, KETAPANG dan LANDAKAdat pambakang adalah suatu simbol yang digunakan

Page 85: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

69 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

sebagai solusi penyelesaian atau pencegahan konflik serta untuk membentengi diri secara pribadi maupun komunitas. Makna adat pamabakng bagi pihak pelaku (yang melakukan pelanggaran terhadap hukum adat) sebagai pernyataan bersedia untuk menyelesaikan konflik atau masalah tersebut secara adat dan bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya.

Mangkok Merah merupakan sebuah tradisi dalam adat Dayak yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama rumpun Dayak serta sebagai penghubung dengan roh nenek moyang.Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.Mangkok Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan. Mekanisme lokal cenderung lemah dalam hal pemenuhan prinsip eqiutable dan Tidak ada jaminan yang cukup kepada pihak yang mengadu untuk mendapatkan perlakuan adil dalam proses penyelesaian ketidaksepahaman.Selain itu adanya inkulturasi budaya lain seperti cina, melayu dan lain-lain dalam dayak yang juga merupakan penghambat dalam penyelesaian konflik melalui mekanisme lokal.

5. SULAWESIMapalus (Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat

Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Moposad dan Moduduran (Bolaang Mongondow-Sulawesi Utara): Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.

Maromu (Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja sama yang berlaku dalam pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat

Page 86: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat70

.............................................................................................................................................................................................................

adat Ngata Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu keluarga kepada yang lain. Pengelolaan hutan melalui beberapa tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.

Pasang Ri Kajang (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan): Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang mengandung etika dan norma, baik yang berkaitan dengan perilaku sosial, maupun perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya, maupun hubungan manusia dengan PenciptaNya. Ammatoa bertugas untuk melestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar komunitas Ammatoa tetap tundukk dan patuh kepada Pasang.Pasang merupakan pandangan yang bersifat mengatur, tidak dapat dirobah, ditambah maupun dikurangi.

6. MALUKU Pela Gandong

Pela Gandong merupakan suatu sebutan yang diberikan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “pela” dan “Gandong”. Pela berarti suatu ikatan bersatu, sedangkan Gandong berarti bersama atau bersaudara. Jadi pela gandong adalah suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. Persaudaraan di daerah lain mungkin dianggap biasa biasa saja, tetapi bagi orang Maluku, sebuah ikatan persaudaan bukanlah hal yang biasa-biasa saja, melainkan suatu hal yang wajib untuk irealisasikan dalam kehidupan orang bersaudara di Maluku. Lahirlah sebuah sistem ikatan persaudaraan yaitu Pela Gandong.

Suatu warisan budaya, seperti halnya dengan Pela dan Gandong yang dilakukan oleh negeri Batu Merah dan negri Passo

Page 87: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

71 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

yang terjadi pada zaman dahulu sampai sekarang masih ada dan msaih diimplementasikan oleh kedua negri tersebut, walaupun ada perbedaan agama antarar negri-negri tersebut. Pasca konflik Ambon 1999 ikatan Pela tersebut masih berjalan dan ada pertemuan antara tokoh-tokoh adat yang saling bekerja sama. selain itu, sikap masyarakat negri-negri adat tersebut berperan penting dalam usaha perdamaian antar umat beragama pada saat konflik Ambon.

Struktur lembaga peradilan adat di Maluku Tengah tidak berdiri sendiri akan tetapi menyatu ke dalam struktur lembaga pemerintahan negeri yaitu lembaga saniri raja pattih. Lembaga tersebut selain sebagai lembaga pemerintahan negeri juga berfungsi sebagai lembaga Peradilan dan penyelesaian sengketa. Raja dan Kepala Soa memiliki peran sebagai kepala pemerintahan juga menjadi hakim perdamaian adat (menjalankan fungsi eksekutif dan yudikatif)

7. PAPUA Bakar Batu ;Tradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi

penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama warga 1 kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya,Dekai, Yahukimo, dll. Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).

Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan suku dani untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka.

Page 88: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat72

.............................................................................................................................................................................................................

Tabe

l 6.

Pet

a Ke

butu

han

Revi

talis

asi P

rana

ta A

dat

Wila

yah

Kabu

pate

nPr

anat

a ad

atPe

ngha

mba

tRe

kom

enda

si

Wila

yah

1(S

umat

era)

Sing

kil

Lem

baga

ada

t ga

mpo

ng d

an

meu

nasa

h

- Ku

rang

nya

wib

awa

Keuc

hik

dala

m m

emim

pin

- G

loba

lisas

i men

yeba

bkan

ku

rang

nnya

nila

i2 n

orm

atif

- le

mah

nya

pera

n Ke

uchi

k da

lam

lem

baga

yud

ikati

f-

tidak

ada

pel

esta

rian

adat

-isti

adat

- M

enin

gkat

kan

kesa

dara

n m

asya

raka

t aka

n pe

nting

nya

men

gena

l ada

t dae

rah

- M

erum

uska

n ke

mba

li ba

gaim

ana

bent

uk h

ukum

ad

at y

ang

berla

ku d

i wila

yah

mas

ing2

.-

Mel

ibat

kan

Keuc

hik

dala

m

lem

baga

Yud

ikati

f

Wila

yah

2(Ja

wa,

Bal

i, N

usa

Teng

gara

)

- Si

tubo

ndo

- Ba

ngka

lan

- Sa

mpa

ng-

Lom

bok

bara

t-

Lom

bok

timur

- -L

ombo

kten

gah

- Su

mba

wa

- D

ompu

- Bi

ma

- Su

mba

wa

bara

t-

Tim

ur te

ngah

sel

atan

- Ti

mur

teng

ah u

tara

- Be

lu-

Alor

- Le

mba

ta-

Ende

- M

angg

arai

- M

angg

arai

bar

at-

sum

ba b

arat

day

a-

Nag

ekeo

- m

angg

arai

tim

ur-

Mal

aka

- Ra

mpa

k na

ong

barin

gin

koro

ng

(sam

pang

)

- Le

mba

ga a

dat

Tana

Sam

awa

(sum

baw

a)

- Se

diki

tnya

mas

yara

kat

yang

mau

ped

uli d

an

men

gena

lkan

kea

rifan

loka

l pa

da o

rang

lain

- Ag

ar a

para

tur n

egar

a le

bih

tega

s m

enga

tur s

umbe

r-su

mbe

r kon

flik

keke

rasa

n da

n m

embe

rikan

per

lindu

ngan

ke

aman

an s

erta

rasa

kea

dila

n ya

ng c

ukup

. Sel

ain

itu, p

erlu

di

piki

rkan

insti

tusi

sosia

l yan

g da

pat m

enen

gahi

kon

flik

Page 89: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

73 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Wila

yah

Kabu

pate

nPr

anat

a ad

atPe

ngha

mba

tRe

kom

enda

si

Wila

yah

3(K

alim

anta

n)Sa

mba

s

Keta

pang

Land

ak

Adat

pam

abak

ng

dan

man

gkok

m

erah

- Le

mah

nya

prin

sip

eqiu

tabl

e-

Tida

k ad

anya

jam

inan

yan

g

kuat

bag

i pen

gadu

- Pe

ngua

tan

prin

sip e

qiut

able

- M

enin

gkat

kan

rasa

per

caya

m

asya

raka

t ter

hada

p le

mba

ga

adat

Wila

yah

4(S

ulaw

esi,

Mal

uku)

Toli-

toli

Don

ggal

aPa

rigiM

auto

ngSi

gi

Jene

pont

oM

aluk

uten

gah

Kepu

laua

n bu

ruSe

ram

bag

ian

bara

tSe

ram

bag

ian

timur

Hal

mah

era

bara

t

- Le

mba

ga a

dat

mar

awol

a -

Mad

decc

eng

- M

apal

us-

Mop

osad

dan

M

odud

uran

- M

arom

u-

Pasa

ng R

i Ka

jang

- Sa

niri

nege

ri da

n sa

niri

raja

pa

tih

- Pe

la G

ando

ng

- Ku

rang

nya

peng

akua

n da

ri pe

mer

inta

h m

enge

nai

pera

dila

n ad

at-

Terg

eser

nya

pola

ke

hidu

pan

yang

trad

ision

il ke

ara

h ke

hidu

pan

yang

m

oder

n sa

at in

i

- pe

mer

inta

h da

pat m

enga

kui

pera

dila

n ad

at d

an ju

ga

berk

ontr

ibus

i kar

ena

foru

m

pera

dila

n ad

at m

embe

rikan

sin

ergi

kep

ada

pem

erin

tah

untu

k m

eneg

akka

n ke

adila

n.-

Ada

tinda

k la

njut

terh

adap

Pe

ratu

ran

Gub

ernu

r Sul

awes

i Te

ngah

Nom

or 4

2 ta

hun

2013

te

ntan

g Pe

dom

an P

erad

ilan

Adat

di S

ulaw

esi T

enga

h da

n Su

rat K

eput

usan

Gub

ernu

r de

ngan

nom

or 1

80/5

90/

RO.H

UK-

6.ST

/201

4 te

ntan

g Fo

rum

Per

adila

n Ad

at (F

PA).

- H

arus

teta

p m

eneg

akan

hu

kum

yan

g te

rmua

t dal

am

Perd

a ya

ng s

esua

i den

gan

nila

i bud

aya

yang

dia

nut d

an

kesa

dara

n m

asya

raka

t mal

uku

Teng

ah te

rhad

ap a

tura

n hu

kum

pid

ana

adat

yan

g m

asih

ada

dan

har

us te

tap

dile

star

ikan

Page 90: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat74

.............................................................................................................................................................................................................

Wila

yah

Kabu

pate

nPr

anat

a ad

atPe

ngha

mba

tRe

kom

enda

si

Wila

yah

5(P

apua

)M

erau

keN

abire

jaya

wija

yaPu

ncak

jaya

Soro

ng

- Ba

kar b

atu

- H

anek

a ha

gasir

- Pe

ratu

ran

pem

erin

tah

lebi

h do

min

an d

alam

m

engi

nter

vens

i mas

yara

kat

adat

- Ba

nyak

knya

etn

is la

in y

ang

ada

di s

oron

g m

embu

at

kear

ifan

loka

l men

jadi

se

mak

in h

ilang

.

- M

enga

plik

asik

an P

erat

uran

Bu

pati

Nom

or 3

19/2

014

tent

ang

Peng

akua

n da

n Pe

rlind

unga

n M

asya

raka

t H

ukum

Ada

t-

Hen

dakn

ya a

para

t pem

erin

tah

dan

toko

h-to

koh

agam

a da

pat

beke

rjasa

ma

dem

i te

rcip

tany

a ko

ndisi

har

mon

i di K

ota

Soro

ng, m

elal

ui re

vita

lisas

i ke

rarif

an lo

kal

Page 91: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

75 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

A. Rangkuman Isi BukuBuku ini memberikan gambaran secara komprehensif tentang

revitalisasi pranata adat dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang. Hal ini dimaksudkan agar seluruh pemangku kepentingan memahami secara utuh keragaman karakteristik dan keunikan pranata adat yang ada di Indonesia, serta berbagai masalah yang melingkupi perkembangan pranata adat di Indonesia.

Setidaknya terdapat 5 point penting yang dapat dirangkum dalam isu buku ini, diantaranya:1. Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan

Konflik Sosial memandatkan bahwa penanganan konflik sosial mesti berlangsung partisipatif, mengutamakan kearifan lokal dan pranata adat. Perdamaian menjadi urusan semua pihak,

PENUTUP

BAB V

Page 92: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Penutup76

.............................................................................................................................................................................................................

bukan hanya terbatas pada negara. Undang-undang tersebut juga mencirikan perlunya membangun perdamaian berbasis masyarakat, tidak semata berorientasi pemerintah, dimana upaya-upaya penyeleaian konflik dan pembangunan perdamaian dilakukan melalui jalur-jalur dialogis, kanal-kanal alternatif di luar mekanisme formal maupun litigasi.

2. Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang memiliki keragaman budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang turun-temurun dan diakui keberadaannya oleh masyarakat, merupakan modal sosial yang sangat strategis dalam mendorong terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai dan norma budaya yang masih eksis dan dipatuhi oleh masyarakat dalam praktek kehidupan sehari-hari dalam meyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan di berbagai daerah, merupakan pembelajaran terbaik (best practices) yang terus harus dibina dan dikembangkan sebagai kekuatan utama pembangunan.

3. Proses-proses untuk memperkuat partisipasi dan penyelesaian melalui kearifan dan pranata tertentu mensyaratkan penguatan kelembagaan-kelembagaan yang selama ini tidak memiliki tempat yang cukup signifikan. Maka, upaya ini mesti didahului oleh analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya pelemahan pranata adat dan kearifan lokal. Lokalitas daerah mesti turut diperhitungkan sebab selalu terdapat keunikan pada masing-masing komunitas beserta pranata adatnya.

4. Kebijakan revitalisasi pranata adat di Indonesia sejatinya mesti berlangsung secara serentak melalui “Gerakan Budaya” untuk perdamaian di semua wilayah di Indonesia agar pembangunan perdamaian dapat berlangsung lebih massif.

5. Menjadikan program revitalisasi pranata adat sebagai bagian strategi penanganan konflik sosial dan pembangunan perdamaian merupakan langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijakan-kebijakan pencegahan konflik yang lebih berkelanjutan dan berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Page 93: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

77 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

B. Langkah-Langkah Strategis Revitalisasi Pranata Adat Untuk Pembangunan Perdamaian

Upaya melakukan revitalisasi pranata adat dalam rangka mendukung pembangunan perdamaian di Indonesia memerlukan terobosan baru baik dari aspek kebijakan, kelembagaan maupun tindakan-tindakan operasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam satu “gerakan budaya”.

Langkah Strategis Gerakan Revitalisasi Pranata Adat

Revitalisasi pranata adat paling mungkin dilakukan melalui good will dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya pemerintah sebagaimana telah diamanatkan UU. No. 32 tahun 2014.Upaya untuk memperkuat pranata adat berpusar pada tiga kebutuhan utama;

1. Aspek kebijakana. Agenda revitalisasi pranata adat kiranya berpuncak pada

adanya komitmen politik untuk mendukung pemberlakuan pranata adat melalui berbagai kebijakan publik, keputusan dan regulasi politik yang relevan (politik rekognisi, representasi dan redistribusi). Kebijakan pubik dan regulasi dimaksud adalah untuk menyeleraskan dan mengintegrasikan antara berbagai nilai-nilai pranata adat yang baik dengan berbagai nilai hukum positif, melalui sintesa dan kombinasi yang harmonis.

Penguatan Kelembagaan

Pemberdayaan Masyarakat

Penguatan Regulasi

Politik Rekognisi, Representasi dan

Redistribusi

Kurikulum Pendidikan formal dan informal, fasilitasi kebutuhan

Penguatan Lembaga Adat, Kodifikasi budaya

dan koord pemangku kepentingan

Page 94: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Penutup78

.............................................................................................................................................................................................................

2. Aspek kelembagaana. sejalan dengan penguatan melalui kebijakan, penguatan

kelembagaan adat (pranata) perlu dijalankan melalui serangkaian program terukur, berdasarkan relevansi dan kebutuhan desa. Program yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan ini bisa dilakukan melalui bantuan terkait kelengkapan untuk menopang kerja lembaga adat, infra struktur lembaga adat, maupun pendampingan yang berkaitan dengan substansi seperti peningkatan kapasitas pengurus maupun anggota adat tertentu berkaitan dengan kecakapan penanganan konflik maupun kecakapan umum lainnya.

b. Sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat maupun daerah mesti dilakukan supaya tidak terjadi ambivalensi. Regulasi mesti dapat diturunkan secara cermat dan jelas sejak dari Undang-undang hingga beragam peraturan turunannya. Dengan demikian, untuk menjadikan kebijakan bisa bersifat operasional, maka dibutuhkan koordinasi, panduan, dan kesepahaman bersama sejak dalam tahap perencanaan pembangunan. Patut didorong agar daerah menginisiasi secara holistik upaya revitalisasi pranata adat kedalam program-program kongkret, jika dibutuhkan perlu diperkuat dengan sejumlah regulasi yang menjadi daya dorong, meski bukan yang utama.

3. Aspek Pemberdayaan Masyarakat; a. Hal ini berkaitan dengan nilai maupun praktek berkaitan

dengan ritus maupun seni, budaya dan ekonomi. Program yang bisa dilakukan terkait nilainya adalah dengan memperkuat pada aspek pengarus-utamaan melalui kegiatan dokumentasi, kodifikasi, serta jalur pendidikan formal dan informal. Sementara berkaitan dengan praktek, program pendampingan dapat dilakukan melalui bantuan kelengkapan ritus, pemberdayaan ekonomi, kegiatan kebudayaan dan seni

Page 95: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

79 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus konflik, kegiatan-kegiatan berkaitan dengan ritus, eknomi, budaya dan seni telah secara nyata menjadi jalan penyelesaian konflik.

b. Perlu disusun kurikulum pembelajaran adat istiadat daerah untuk diajarkan didalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi. Ini merupakan suatu media sosialisasi terhadap warisan nilai adat istiadat daerah, termasuk proses sosialisasi yang dilakukan melalui berbagai pranta pendidikan informal dan non-formal.

c. Agenda revatilisasi budaya lokal dapat dilakukan pula melalui jalur gerakan sosial, praktek sosial dan eksperimen sosial. Perlu dikonstruksi berbagai lembaga-lembaga sosio-kultural yang dapat mengembangkan dan melembagakan praktek sosial terhadap berbagai pranta adat budaya lokal tersebut. Dan bagian penting dari gerakan sosial dimaksud selain dilakukan sosialisasi dan eksperimentasi sosial, tetapi terlebih dahulu dilakukan suatu kesepakatan bersama, suatu konsensus sampai kepada komitmen bersama untuk menerima dan memberlakukannya secara sosial didalam kehidupan segenap warga masyarakat.

C. Pemanfaatan BukuAnalisis dan informasi terkait dengan revitalisasi pranata

adat untuk pembangunan perdamaian yang dituangkan dalam buku ini dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan tindakan-tindakan operasional, diantaranya bagi:1. Pemerintah Pusat:Buku Revitalisasi Pranata Adat ini dapat

dijadikan informasi dan rujukan bagi Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi revitalisasi pranata adat di seluruh Indonesia, serta sekaligus dapat dijadikan acuan dalam rangka pemetaan kebutuhan pengembangan pranata adat dalam pembangunan perdamaian;

Page 96: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Penutup80

.............................................................................................................................................................................................................

2. Pemerintah Daerah:analisis dan pembahasan dalam buku ini dapat dijadikan informasi awal tentang peta pranata adat di Indonesia, serta sekaligus dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan program/kegiatan revitalisasi adat dalam mendorong peran dan fungsi pranata adat dalam pembangunan perdamaian.

3. LSM, Pegiat Perdamaian dan Lembaga International.Buku ini ini dapat dijadikan basis pengetahuan terkait pengembangan pranata adat di Indonesia bagi organisasi/lembaga non-pemerintah dalam rangka merumuskan strategi advokasi, prioritas dan focus pendampingan masyarakat adat, serta pemantapan agenda-agenda program pencegahan konflik sosial di Indonesia.

4. Akademisi.Buku ini juga dapat dijadikan basis diskusi ilmiah untuk mengembangkan metode revitalisasi pranata adat, serta pengembangan model-model baru revitalisasi pranata adat yang sesuai dengan karakteristik sosial masyarakat Indonesia dan perkembangan dinamika sosial yang berkembang saat ini.

Page 97: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

81 Revitalisasi Pranata Adat

...............................................................................................................................................................................................................

Amirrachman, Alpha. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP

Budiman, Arief & Tornquist Olle. 2001. Aktor Demokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia. ISAI

Davidson, Jamie. S et al. 2010.Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV & Obor Indonesia

Faqih, Mansour. 2010. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hudayana, Bambang. 2005. Masyarakat Adat di Indonesia: Meniti Jalan Keluar Dari Jebakan Ketidakberdayaan. Yogyakarta: IRE Press

Miqdad, Mohamad. 2012. Dinamika Konflik dan Kekerasan di Indonesia.Institut Titian Perdamaian. Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Page 98: Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,pdtu.bindola.com/uploads/attachment/2017/03/1490688333.pdf · Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang

Daftar Pustaka82

.............................................................................................................................................................................................................

Panjaitan, Erwin & Topatimasang, Roem.1993. Potret Orang-Orang Kalah. Jakarta: Yayasan Sejati

Regus, Max. 2015. Diskursus Politik Lokal: Kajian Teoretik Kritis. Flores: SUNSPIRIT FOR JUSTICE AND PEACE

Refi, Wahyuni & Falahi Ziyad. 2014. Desa Cosmopolitan: Globalisasi dan Masa Depan Alam Indonesia. Jakarta: Change Publication

Rousseau, Jean-Jacques. 1989. Perihal KONTRAK SOSIAL atau Prinsip-prinsip Hukum Politik. Jakarta: Dian Rakyat.

Schrauwers, A. 2000. Colonial ‘Reformation’ in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995. University of Toronto Press. Toronto Buffalo London

Soetarto, E., Shohibuddin, M., Miqdad, M., Saleh, R., Loulembah, B. 2006.Pergeseran Bentuk Solidaritas Tradisional: Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Sulawesi Tengah. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.