climate change highlights id

50
Asian Development Bank Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional INTISARI

Upload: indra7n

Post on 02-Jul-2015

336 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Climate Change Highlights Id

Asian Development Bank

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional

INTISARI

Page 2: Climate Change Highlights Id
Page 3: Climate Change Highlights Id

April 2009

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional

INTISARI

Page 4: Climate Change Highlights Id

© 2009 Asian Development Bank Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Diterbitkan 2009.

ISBN 978-971-561-788-8Stok Penerbitan No. RPT090419

Data Katalog dalam Publikasi

Asian Development Bank. Ekonomi perubahan iklim di Asia Tenggara:tinjauan regional—intisari.Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2009.

1. Perubahan iklim. 2. Asia Tenggara. I. Asian Development Bank

Pandangan yang disampaikan dalam buku ini tidak harus mencerminkan pandangan dan kebijakan Asian Development Bank (ADB) atau Dewan Gubernur ADB atau pemerintah yang disebut.

Penggunaan istilah “negara” dalam buku ini tidak menyiratkan penilaian apapun dari ADB akan status hukum atau status lainnya dari entitas teritorial manapun.

ADB tidak menjamin akurasi data yang tercakup dalam penerbitan ini dan tidak bertanggung jawab atas konsekuensi penggunaannya.

ADB menganjurkan agar pencetakan atau penggandaan informasi dari dokumen ini digunakan hanya untuk keperluan pribadi dan tidak komersial dengan sepengetahuan ADB. Dilarang memperjualbelikan, mengedarkan atau membuat karangan berdasarkan dokumen ini untuk tujuan komersial tanpa ijin tertulis tegas dari ADB.

Asian Development Bank6 ADB Avenue, Mandaluyong City1550 Metro Manila, PhilippinesTel +63 2 632 4444Fax +63 2 636 2444www.adb.org/economics

Page 5: Climate Change Highlights Id

Daftar Isi

Rangkuman Pesan-Pesan Utama v

A. Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Mengapa Penting 1 1. Perubahan Iklim telah menerpa kawasan ini 2 2. Perubahan Iklim: yang terburuk belum terjadi 4 3. Perlunya tindakan mendesak 8

B. Adaptasi Perubahan Iklim untuk Meningkatkan Ketahanan 12 1. Membangun kapasitas adaptasi 12 2. Praktik dan pilihan adaptasi berdasarkan sektor 14 3. Biaya dan manfaat adaptasi 18

C. Mitigasi Perubahan Iklim Berkontribusi terhadap Solusi Global 19 1. Sektor kehutanan 19 2. Sektor energi 20 3. Sektor pertanian 23

D. Langkah ke Depan 25 1. Perlunya solusi global 25 2. Apa yang harus dilakukan oleh Asia Tenggara? 27 (i) Adaptasi untuk peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim 27 (ii) Mitigasi menuju ekonomi rendah karbon 28 (iii) Pendanaan, alih teknologi, dan kerjasama internasional/regional 31 (iv) Memperkuat koordinasi kebijakan pemerintah 33 (v) Melakukan lebih banyak riset mengenai isu-isu yang berhubungan dengan perubahan iklim 33 (vi) Mengubah krisis ekonomi menjadi peluang 34

Referensi 36

Page 6: Climate Change Highlights Id
Page 7: Climate Change Highlights Id

Ringkasan Pesan-Pesan Utama

Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Mengapa Penting

Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan di dunia yang paling rentan terhadap perubahan iklim • karena garis pantainya yang panjang, konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi di daerah pesisir yang tinggi, dan ketergantungan yang sangat besar terhadap pertanian, sumber daya alam, dan kehutanan.

Perubahan iklim telah menerpa kawasan ini, seperti yang tampak dari peningkatan frekuensi dan • intensitas kejadian cuaca yang ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan, banjir dan topan tropis dalam beberapa dekade belakangan ini. Hal itu membuat kekurangan air kian parah, menghambat produksi pertanian dan mengancam ketahanan pangan, menyebabkan kebakaran hutan dan degradasi pesisir, serta meningkatkan resiko kesehatan.

Yang terburuk belum terjadi. Dalam skenario emisi tinggi, suhu tahunan rata-rata di empat negara—• Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—diperkirakan meningkat rata-rata 4,8°C sampai tahun 2100 dari tingkat suhu rata-rata pada tahun 1990; permukaan laut dunia rata-rata diperkirakan meningkat 70 sentimeter selama periode yang sama, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi kawasan ini; dan Indonesia, Thailand, serta Vietnam diperkirakan akan mengalami cuaca yang lebih kering dalam 2–3 dekade mendatang.

Asia Tenggara kemungkinan besar lebih menderita karena perubahan iklim daripada rata-rata global. • Biaya rata-rata perubahan iklim untuk keempat negara itu—jika dunia terus “melakukan kegiatan seperti biasanya” dan jika semua dampak pasar dan bukan pasar dan resiko bencana besar dipertimbangkan—akan sama dengan hilangnya 6,7% Produk Domesik Bruto (PDB) setiap tahunnya hingga tahun 2100. Kerugian ini lebih dari dua kali lipat kerugian rata-rata global.

Perubahan iklim bisa sangat menghambat upaya-upaya pembangunan yang berkelanjutan dan pengurangan • kemiskinan di Asia Tenggara. Guna menghadapi perubahan iklim diperlukan tindakan yang mendesak untuk adaptasi maupun mitigasi—tak ada waktu untuk menundanya.

Adaptasi Perubahan Iklim untuk Meningkatkan Ketahanan

Adaptasi merupakan kunci untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah melekat dalam sistem • iklim. Hal ini memerlukan pembangunan kapasitas untuk adaptasi dan pengambilan tindakan-tindakan teknis dan non teknis dalam sektor-sektor yang peka terhadap iklim.

Walaupun pada tingkat fundamental kemampuan adaptasi suatu negara tergantung pada tingkat • pembangunannya, dengan upaya-upaya yang lebih banyak untuk meningkatkan kesadaran publik, melakukan lebih banyak riset untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan, dan koordinasi yang lebih baik di seluruh sektor dan berbagai tingkat pemerintahan, akan sangat membantu upaya peningkatan kapasitas adaptasi di Asia Tenggara.

Page 8: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisarivi

Banyak tindakan adaptasi yang telah dilakukan di Asia Tenggara untuk sektor-sektor yang peka terhadap • iklim seperti sumber daya air, pertanian, sumber daya pesisir dan kelautan, kehutanan, dan kesehatan. Yang menjadi prioritas saat ini adalah meningkatkan upaya-upaya ini dengan mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif dan mengintegrasikan adaptasi ke dalam strategi pembangunan dan pengurangan kemiskinan.

Mitigasi Perubahan Iklim Berkontribusi terhadap Solusi Global

Asia Tenggara berkontribusi sebanyak 12% terhadap total emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2000. • Dan dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang cepat angka kontribusi ini diperkirakan akan terus meningkat. Kawasan ini mempunyai peranan penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global di masa mendatang.

Sebagai penyumbang terbesar terhadap emisi gas rumah kaca di kawasan ini (75% pada tahun 2000), • perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan berperan utama dalam keberhasilan pengurangan emisi. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi emisi akibat dari kerusakan dan degradasi hutan, mendorong penanaman hutan baru di lahan yang sebelumnya bukan merupakan kawasan hutan dan penanaman kembali hutan serta pengelolaan hutan yang lebih baik.

Sektor energi di Asia Tenggara—sebagai penyumbang emisi yang paling cepat berkembang di kawasan • ini—memiliki peluang yang luas dan belum tersentuh untuk meningkatkan efisiensi energi. Sebagai perkiraan kasar, pilihan yang menguntungkan semua pihak semacam ini memiliki potensi untuk mitigasi hingga 40% dari seluruh emisi karbon dioksida (CO2) yang berhubungan dengan energi di empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam— per tahun hingga tahun 2020. Sebanyak 40% yang lain memiliki potensi untuk dapat dimitigasi dengan menggunakan opsi-opsi berbiaya rendah secara ekonomi seperti mengganti bahan bakar dari batu bara ke gas dan energi terbarukan untuk pembangkit tenaga listrik, dengan total biaya di bawah 1% dari PDB pada tahun 2020.

Kawasan ini memiliki potensi mitigasi teknis tertinggi di bidang pertanian—melalui pengelolaan lahan dan • pertanian yang lebih baik—dibandingkan dengan kawasan manapun di dunia.

Langkah ke Depan

Mitigasi perubahan iklim merupakan barang publik global dan memerlukan solusi global berdasarkan • tanggung jawab bersama dalam porsi yang berbeda. Sebagai salah satu kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan dengan kebutuhan adaptasi yang paling besar dan potensi mitigasi yang besar, Asia Tenggara harus memainkan peran penting dalam solusi global.

Meskipun adaptasi merupakan prioritas kawasan, Asia Tenggara juga harus melakukan upaya mitigasi • yang lebih besar. Pertumbuhan dengan karbon rendah banyak membawa keuntungan bersama, dan biaya yang harus ditanggung jika tidak dilakukan tindakan apapun akan jauh melampaui biaya yang diperlukan untuk melakukan tindakan.

Page 9: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari vii

Pelaksanaan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi memerlukan, antara lain, pembangunan kerangka • kerja kebijakan yang menyeluruh, insentif bagi sektor swasta untuk melakukan tindakan, penghapusan distorsi pasar, dan sumber dana yang besar.

Pendanaan dan alih teknologi serta kerjasama internasional penting bagi keberhasilan adaptasi dan • mitigasi di Asia Tenggara. Kawasan ini harus meningkatkan kapasitasnya agar dapat menggunakan sumber pendanaan yang ada dan potensi pendanaan dengan lebih baik

Kerjasama regional menawarkan cara yang efektif untuk menangani berbagai isu lintas batas yang • berhubungan dengan perubahan iklim, seperti pengelolaan sumber daya air, pencegahan kebakaran hutan, pengelolaan bencana and resiko, dan pengendalian wabah penyakit; dan untuk pembelajaran serta berbagi pengetahuan.

Krisis ekonomi menawarkan peluang untuk memulai suatu transisi untuk mewujudkan ekonomi yang tahan • iklim dan rendah karbon di Asia Tenggara. Program-program stimulus hijau dapat sekaligus menopang ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, mengurangi emisi karbon, dan menyiapkan kawasan secara lebih baik dalam menghadapi pengaruh-pengaruh perubahan iklim yang terburuk.

Page 10: Climate Change Highlights Id
Page 11: Climate Change Highlights Id

A. Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Mengapa Penting

Gambar H1. Model Simulasi Sirkulasi Umum Atmosfir-Lautan (Atmosphere-Ocean General Circulation Model) Untuk Memperkirakan Peningkatan Suhu Rata-Rata Permukaan Bumi

Pem

anas

an p

erm

ukaa

n gl

obal

(°C)

(ºC)

-1.0

0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

1900 2000 2100

2090–20992020–2029

0

B1 A1T

B2 A1B

A2 A1FI

0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5

A2

Konsentrasi konstan tahun 2000

A2

A1B

B1

A1B B1 Abad ke-20

Catatan: B1, A1T, B2, A1B, A2, dan A1F1 melambangkan skenario-skenario emisi alternatif yang dikembangkan oleh IPCC. Rumpun skenario A1 menggambarkan dunia dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang cepat yang mencapai puncaknya pada abad pertengahan dan kemudian menurun. Di dalam rumpun A1, terdapat tiga skenario yang menggolongkan pembangunan alternatif dari teknologi energi: A1F1 (yang banyak menggunakan bahan bakar fosil), A1B (seimbang), dan A1T (didominasi oleh bahan bakar bukan fosil). Skenario B1 menggambarkan dunia dengan perubahan yang cepat dalam struktur ekonomi menuju ekonomi layanan dan informasi, pengenalan teknologi yang bersih dan hemat sumber daya, dan pola populasi yang sama seperti dalam rumpun A1. Skenario A2 menggambarkan dunia dengan pertumbuhan ekonomi per kapita yang lebih lambat, populasi yang terus menerus meningkat dengan cepat, dan alih teknologi yang lebih lambat daripada skenario lainnya. Skenario B2 menggambarkan dunia dengan pembangunan ekonomi menengah, populasi global yang terus menerus meningkat pada kecepatan yang lebih rendah daripada skenario A2, dan alih teknologi yang kurang cepat dibandingkan dengan skenario B1 (IPCC 2000).

Sumber: IPCC (2007).

Perubahan iklim hampir dapat dipastikan merupakan salah satu tantangan pembangunan paling penting yang akan dihadapi Asia Tenggara pada abad ke-21. Selama 150 tahun terakhir, menurut Panel Antar pemerintah Tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, 2007), suhu permukaan rata-rata global telah meningkat 0,76°C. Pemanasan global telah menyebabkan iklim makin labil—seperti perubahan pola curah hujan dan meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim—dan telah menyebabkan meningkatnya permukaan laut global rata-rata. Banyak diyakini bahwa perubahan iklim terutama disebabkan oleh emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia dan, jika tidak ada tindakan yang dilakukan, kemungkinan besar akan meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Dalam skenario emisi tinggi yang dikembangkan oleh IPCC (2000), hingga akhir abad ini, kenaikan suhu rata-rata global—dari tingkat suhu antara tahun 1980 hingga tahun 1999—dapat mencapai 4°C, dengan kisaran suhu dari 2,4°C sampai 6,4°C (Gambar H1). Hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang serius bagi pertumbuhan dan pembangunan di dunia.

Page 12: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari2

Tabel H1.Beberapa Indikator Ekonomi, Sosial-Demografis dan Lingkungan Indicators Asia Tenggara Asia yang Sedang

BerkembangbDunia

Ekonomi dan sosial-demografisPertumbuhan PDB, 1990-2007 (%, rata-rata per tahun) 5,5 7,0 2,9PDB per kapita, 2007 (pada harga konstan $ tahun 2000) 4.020,3 3.802,5 5.964,3Tingkat kemiskinan pada tahun 2005 (%, rasio jumlah orang)

Berdasarkan $1,25 per hari 18,8 27,1 25,2Berdasarkan $2,00 per hari 44,6 54,0 69,4

Total penduduk, 2007 (juta) 563,1 3.519,7 6.612,0Pertumbuhan penduduk, 1990-2007 (%, rata-rata per tahun) 1,9 1,5 1,4Kepadatan penduduk, 2007 (per km persegi) 781,5 901,6 51,0Pertumbuhan penduduk perkotaan, 2000-2005 (%, rata-rata per tahun) 3,5 2,6 2,1Jumlah penduduk dalam jarak tak lebih dari 100 km dari pesisir, 2005 (%) 80,2 34,3 38,0Pekerjaan dalam pertanian, 2004 (% dari total pekerjaan) 43.3a 36.8 -

LingkunganTotal areal lahan, 2007 (juta hektar) 433,0 - 13.013,5Areal hutan, 2005 (% total areal lahan) 46,9 - 30,4Perubahan luas areal hutan, 1990-2005 (%, rata-rata per tahun) -1,3 -0,2 -Panjang garis pantai (‘000 km) 173,3 274,5 1.478,7Akses terhadap sumber daya air yang ditingkatkan, 2006 (% populasi) 85,2 80,4 86,2Akses terhadap sanitasi yang ditingkatkan, 2006 (% populasi) 71,4 65,3 60,0Penggunaan nitrogen untuk pertanian, 2005 (ton per hektar) 0,05 - 0,02Pertumbuhan produksi sereal, 1990-2007 (%, rata-rata per tahun) 2,7 1,9 1,3Pertumbuhan produksi sumber daya perikanan dan kelautan, 1990-2007 (%, rata-rata per tahun)

4,7 5,1 2,4

Pertumbuhan produksi hutan, 1990-2007 (%, rata-rata per tahun)Industri kayu bulat (meter kubik) -1,3 -0,6 0,1Kertas dan papan kertas (ton) 11,7 8,8 2,8Bubur kertas dan kertas (ton) 15,2 4,5 0,8

– = data tidak tersedia.Catatan: a Tidak termasuk Brunei Darusalam, Kamboja, Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Myanmar b Negara-Negara Berkembang Anggota Bank Pembangunan Dunia. Negara-Negara Berkembang Anggota Bank Pembangunan Dunia.Sumber: Pangkalan data online Indikator Pembangunan Dunia Bank Dunia; Bank Dunia (2008); FAOSTAT (2008); FAO (2006); Program Lingkungan

PBB (2006).

Perubahan iklim merupakan masalah global dan memerlukan solusi global. Pada tahun-tahun belakangan ini, penanganan perubahan iklim mendapatkan tempat yang lebih baik dalam agenda kebijakan internasional. Sekarang terdapat konsensus bahwa, untuk mencegah pemanasan global agar tidak mencapai ting-kat yang berbahaya, diperlukan tindakan-tindakan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan menstabilkan konsentrasi mereka di atmosfir dalam kisaran 450–550 ppm (IPCC 2007). Batas yang rendah banyak dianggap sebagai sasaran yang diinginkan, sedangkan batas yang tinggi merupakan tingkat minimal yang diperlukan dalam upaya mitigasi (Stern 2007).

1. Perubahan iklim telah menerpa kawasan ini

Asia Tenggara dianggap sebagai salah satu kawasan di dunia ini yang paling rent-an terhadap dampak perubahan iklim. Asia Tenggara memiliki 563 juta penduduk, dengan jumlah populasi yang meningkat hampir sebesar 2% per tahun dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 1,4% (Tabel H1). Asia Tenggara memiliki garis pantai yang panjang; konsentrasi populasi dan aktivitas ekonomi yang tinggi di daerah pesisir; sangat tergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian, terutama bagi mereka yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan; dan ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam dan kehutanan di banyak negara. Sebagai salah satu kawasan yang paling dinamis di dunia, pertumbuhan ekonomi yang cepat selama beberapa dekade terakhir telah membantu mengangkat sejumlah besar orang keluar dari kemiskinan yang ekstrim. Tetapi tingkat kemiskinan pendapatan dan non-pendapatan masih tinggi di banyak negara, dan mencapai Tujuan Pembangunan

Page 13: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 3

Catatan: 1 Data jumlah orang yang terimbas banjir/badai tidak tersedia di Vietnam.Sumber: CRED (2008), CCFSC (2005).

Gambar H2. Tingkat Kerusakan akibat Banjir/Badai (1960-2008)

(b) Estimasi Kerusakan akibat Banjir/Badai(a) Jumlah Banjir/Badai

1960–1969

1970–1979

1980–1989

1990–1999

2000–2008

1960–1969

1970–1979

1980–1989

1990–1999

2000–2008

(d) Jumlah Orang yang Terimbas Banjir/Badai1 (c) Jumlah kematian akibat Banjir/Badai

1960–1969

1970–1979

1980–1989

1990–1999

2000–2008

1960–1969

1970–1979

1980–1989

1990–1999

2000–2008

0

40

80

20

60

100

120

Indonesia Filipina Thailand Vietnam

0

2,000

3,000

1,500

1,000

500

2,500

3,500

4,000

Mill

ion

$

0

4,000

8,000

2,000

6,000

10,000

12,000

0

20

30

15

10

5

25

35

40

Mill

ion

peop

le

Nom

or

Nom

or

Milenium (MDG) tetap merupakan tugas yang sangat berat. Perubahan iklim, jika tidak ditangani dengan baik, dapat secara serius menghambat pembangunan yang berkelanjutan dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan di kawasan ini.

Perubahan iklim sudah nyata terjadi di kawasan ini. IPCC (2007) melaporkan kencenderungan meningkatnya suhu rata-rata di Asia Tenggara selama beberapa dekade terakhir, dengan peningkatan 0,1–0,3°C per dekade yang tercatat antara tahun 1951 dan 2000. Kawasan ini juga telah mengalami kecenderungan penurunan curah hujan dan peningkatan permukaan laut (pada 1–3 mm per tahun). Frekuensi dan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim juga meningkat selama beberapa dekade terakhir ini. Termasuk di dalamnya adalah makin banyak gelombang panas (seperti peningkatan jumlah siang yang terik dan malam yang panas serta penurunan jumlah siang dan malam yang dingin); peningkatan yang signifikan dalam jumlah kejadian curah hujan yang lebat; dan peningkatan jumlah topan tropis. Perubahan iklim ini telah menyebabkan banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan di banyak bagian di kawasan ini yang menimbulkan banyak kerusakan pada properti, aset, dan kehidupan manusia (Gambar H2).

Page 14: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari4

1°C 2°C 3°C 4°C 5°C

Kehutanan dan Ekosistem

Kesehatan

Kejadian Cuaca yang Ekstrim

Berkurangnya hasil panen

Pertanian

Sumber Daya Air

Meningkatnya populasi yang kekurangan persediaan air

Menurunnya kualitas daerah resapan air dan sumber daya air tanah

Hutan tropis secara berangsur-angsur digantikan oleh savana tropis dan lahan bersemak

Hilangnya keanekaragaman hayati

Hilangnya lahan-lahan pertanian karena peningkatan permukaan laut

Meningkatnya potensi hasil panen di beberapa negara

Tertundanya jadwal penanaman saat ini

Meningkatnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pernapasan dan jantung karena meningkatnya suhu akibat perubahan iklim

Meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim (gelombang panas dan kekeringan, banjir, dan topan tropis)

Meningkatnya luberan air

Wabah penyakit yang menyebar melalui perantaraan vektor/pembawa (vektor malaria dan demam berdarah adalah nyamuk)

Hilangnya pulau-pulau kecil

Pemutihan terumbu karang

Perubahan Suhu Regional (dibandingkan dengan tahun 1990)

Figure H3. Potential Impacts of Climate Change on Key Sectors

Sumber: Tim Studi ADB, diadaptasi dari Stern (2007).

Perubahan Iklim juga memperburuk masalah kekurangan air di banyak bagian di kawasan ini, menghambat produksi pertanian dan mengancam ketahanan pangan, menyebabkan kebakaran hutan dan degradasi hutan, merusak sumber daya pesisir dan kelautan, dan meningkatkan resiko wabah penyakit menular. Kekeringan mengurangi aliran air di sungai-sungai besar dan menyebabkan makin sering terjadi keadaan dimana permintaan lebih tinggi daripada ketersediaan air dengan pasokan air anjlok dibawah 1,700 kubik meter per orang per tahun di banyak negara di Asia Tenggara (water stress), terutama selama masa-masa El Niño, yang menyebabkan kerusakan panen dan kekurangan air minum (IPCC 2007). Penurunan hasil panen padi sebesar 10% ternyata berhubungan dengan setiap 1°C kenaikan suhu. Selain itu, areal hutan yang terbakar meningkat dari sekitar 4 juta hektar pada tahun 1982–1983 menjadi 5 juta hektar pada tahun 1994 dan 10 juta hektar pada tahun 1997–1998, sementara itu sekitar 18% terumbu karang kehilangan warna sehingga kelihatan putih (bleaching) ketika terjadi El Niño pada tahun 1997–1998. Gambar H3 menjelaskan potensi dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor utama.

2. Perubahan iklim: yang terburuk belum terjadi

Perubahan iklim di Asia Tenggara diperkirakan akan semakin meningkat pada dekade-dekade mendatang, dengan naiknya frekuensi dan intensitas kejadian- kejadian cuaca yang ekstrim. Memperkirakan secara tepat tentang bagaimana perkembangan perubahan iklim merupakan hal yang sangat sulit dipastikan, dan

Page 15: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 5

hasil-hasil yang disajikan dalam studi ini harus dilihat sebagai indikasi arah dan tingkat besaran daripada sebagai sebuah perkiraan tentang masa depan. Menurut IPCC (2007), Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami peningkatan suhu rata-rata permukaan udara sebesar 3,77°C sampai akhir abad ini dibandingkan dengan periode dasar tahun 1961–1990, dan kondisi cuaca yang lebih kering selama 2–3 dekade mendatang, dalam skenario emisi tinggi. Pemanasan global juga diperkirakan akan menyebabkan peningkatan permukaan laut rata-rata global sebanyak 59 sentimeter (cm) hingga tahun 2100 dibandingkan dengan periode dasar tahun 1980–1999 dalam skenario yang sama. Peningkatan bahkan diperkirakan lebih tinggi dari 1 meter, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli iklim baru-baru ini, jika pencairan lapisan es tebal dan glasier yang cepat ikut dipertimbangkan (The Guardian 2009). Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang serius bagi Asia Tenggara seperti yang diperkirakan dalam sejumlah studi yang dikutip oleh IPCC (2007) dan studi-studi lain yang dilakukan belakangan ini:

• Hingga tahun 2070–2099, aliran maksimum Sungai Mekong per bulan dapat meningkat sebanyak 41% di daerah aliran sungai dan dan sebanyak 19% di daerah delta sungai, yang menunjukkan bahwa dapat terjadi peningkatan resiko banjir selama musim hujan. Aliran minimum per bulan akan menurun sebanyak 24% di daerah aliran sungai dan sebanyak 29% di bagian delta, yang menunjukkan meningkatnya kemungkinan kekurangan air selama musim panas (Hoanh et al. 2004).

• Perubahan iklim kemungkinan besar akan menyebabkan anjloknya potensi produksi biji-bijian di kawasan ini hingga akhir abad ini dan mengancam ketahanan pangan. Murdiyarso (2000) memperkirakan bahwa hasil panen padi akan turun sebanyak 3,8% di Asia hingga tahun 2100 karena efek gabungan dari meingkatnya pertumbuhan tanaman akibat naiknya konsentrasi CO2 pada lingkungan, meningkatnya suhu, dan kelangkaan air. Tetapi studi yang lebih baru oleh Cline (2007) memprediksikan hasil panen akan turun sebanyak lebih dari 19% tanpa fertilisasi karbon di Asia menjelang akhir abad ini, dengan penurunan antara 15% untuk Vietnam hingga 26% untuk Thailand, di antara negara-negara Asia Tenggara. Zhai dan Zhuang (2009) memperkirakan penurunan hasil panen sebesar itu akan menyebabkan penurunan 1,4% dari produk domestik bruto (PDB) riil per tahun hingga tahun 2080. Jika kemerosotan dalam perdagangan juga ikut dipertimbangkan maka penurunan PDB akan menjadi sebesar 1,7%.

• Hingga 50% dari seluruh keanekaragaman hayati di Asia bisa menghadapi resiko karena perubahan iklim. Malcolm et al. (2006) memperkirakan meningkatnya CO2 hingga dua kali lipat dapat menyebabkan punahnya 133 sampai 2.835 spesies tumbuh-tumbuhan di kawasan Indo-Myanmar.

• McMichael (2004) mencatat bahwa resiko kematian dan morbiditas karena perubahan iklim (akibat diare and kurang gizi) di beberapa bagian wilayah di Asia Tenggara sudah mencatat angka tertinggi di dunia dan dia memperkirakan kondisi ini akan tetap sama pada tahun 2030. Banjir dan naiknya permukaan laut di masa mendatang dapat menyebabkan kualitas air yang buruk yang menimbulkan lebih banyak penyakit infeksi yang berhubungan dengan air seperti radang infeksi kulit dan penyakit saluran pencernaan.

Page 16: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari6

• Wassmann et al. (2004) memperkirakan bahwa bahkan dalam skenario emisi yang paling konservatif sekalipun, naiknya permukaan laut dapat meningkatkan jumlah orang yang mengalami banjir di daerah pesisir di Asia Selatan, Tenggara dan Timur sebanyak 13 sampai 94 juta orang per tahun hingga akhir abad ini. Sekitar 20% dari peningkatan ini diperkirakan terjadi di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Tran et al. (2005) memperkirakan kenaikan permukaan laut setinggi 1 meter dapat menghancurkan 2.500 kilometer persegi (km2) hutan bakau di Asia; dan dapat menimbulkan banjir di delta Sungai Merah seluas 5.000 km2 dan di delta Sungai Mekong seluas pada 15.000–20.000 km2.

Kegiatan simulasi yang dilakukan dalam studi ini dengan menggunakan model simulasi penilaian global yang terpadu (Integrated Assessment Model/ IAM)1 dan berfokus pada empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Viet-nam—memperkuat banyak hal dari temuan-temuan ini. Secara khusus simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam skenario emisi tinggi akan terjadi hal-hal sbb:

• Suhu rata-rata tahunan di keempat negara itu diperkirakan akan meningkat rata-rata sebanyak 4,8°C hingga tahun 2100 dari angka pada tahun 1990. Bagian barat dari Asia Tenggara diperkirakan akan menjadi lebih panas dari bagian timur. Upaya-upaya mitigasi global untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat 550 ppm akan menurunkan kenaikan suhu rata-rata tahunan di empat negara tersebut menjadi 2,3°C, dan pada 450 ppm menjadi 1,8°C hingga tahun 2100 (Gambar H4).

• Indonesia, Thailand, dan Vietnam diperkirakan akan mengalami kondisi cuaca yang makin kering selama 2–3 dekade yang akan datang, walaupun tren ini diperkirakan akan berbalik pada pertengahan abad ini, dan pada tahun 2100 kemungkinan akan terjadi curah hujan yang lebih tinggi dari kondisi tahun 1990. Akan tetapi, Filipina diperkirakan akan mengalami kenaikan curah hujan selama hampir sepanjang waktu pada abad ini.

• Tinggi rata-rata permukaan laut global diperkirakan akan naik sebanyak 70 cm hingga akhir abad ini dibandingkan dengan angka tahun 1990 (Gambar H5). Tetapi, jika gas rumah kaca global stabil pada tingkat antara 450 dan 550 ppm, peningkatan tinggi rata-rata permukaan laut global diperkirakan sekitar 40 cm hingga tahun 2100 dibandingkan dengan angka tahun 1990.

Hasil-hasil simulasi ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim yang diperkirakan akan terjadi kemungkinan besar memiliki dampak yang besar pada aktivitas ekonomi dan manusia di empat negara itu selama dekade-dekade mendatang:

• Sumber Daya Air. Pemanasan global kemungkinan besar akan memperparah keadaan dimana permintaan air melebihi persediaan yang ada dengan pasokan air tahunan turun dibawah angka 1,700 kubik meter per orang per tahun di beberapa bagian kawasan Asia Tenggara, terutama di Thailand dan Vietnam selama dekade-dekade mendatang. Sekitar 3,9 juta orang di Thailand dan 8,4 juta di Vietnam diperkirakan akan mengalami masalah ini hingga tahun 2050.

1 Developed by the Research Institute of Innovative Technology for the Earth (RITE), Japan.

Page 17: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 7

Catatan: Referensi = melakukan kegiatan seperti biasa tanpa adanya tindakan; S550 = stabilisasi pada 550ppm; S450 = stabilisasi pada 450 ppm.Sumber: Tim studi ADB.

Referensi A1F1 A11 S450

0

0.2

0.4

0.8

0.6

1.2

1.0

19902000

20102020

20302040

20502060

20702080

20902100

0

0.2

0.4

0.8

0.6

1.2

1.0

19902000

20102020

20302040

20502060

20702080

20902100

Filipina Thailand Vietnam Dunia Indonesia

Pote

nsi H

asil

Pane

n (1

99

0=1

)

Pote

nsi H

asil

Pane

n (1

99

0=1

)

Gambar H6. Potensi Hasil Panen Padi di Empat Negara dan di Dunia

19902000

20102020

20302040

20502060

20702080

20902100

0

1

2

3

4

5

6

Ken

aika

n su

hu (o

C)

Referensi A1F1 A1F1 S550 A1F1 S450

Catatan: Referensi = melakukan kegiatan seperti biasa tanpa adanya tindakan; S550 = stabilisasi pada 550 ppm; S450 = stabilisasi pada 450 ppm.Sumber: Tim studi ADB.

Referensi A1F1 A1F1 S550 A1F1 S450

19902000

20102020

20302040

20502060

20702080

20902100

0

20

40

60

80

100

120

140

Ken

aika

n R

ata-

rata

Glo

bal

Perm

ukaa

n La

ut (c

m)

Gambar H5. Proyeksi Kenaikan Rata-rata Global Permukaan Laut Dibandingkan dengan Tahun 1990

Gambar H4. Proyeksi Kenaikan Suhu Tahunan Rata-Rata Dibandingkan dengan Tahun 1990 di Empat Negara

• Pertanian. Empat negara itu diperkirakan akan mengalami potensi penurunan hasil panen padi sebanyak sekitar 50% hingga tahun 2100 dibandingkan dengan rata-rata pada tahun 1990, dengan asumsi tidak dilakukan adaptasi dan tidak ada perbaikan teknis. Hasil panen padi akan menurun antara 34% di Indonesia hingga 75% di Filipina, dan diperkirakan akan mulai terjadi pada tahun 2020 di sebagian besar negara (Gambar H6). Akan tetapi, upaya-upaya stabilisasi dapat mencegah penurunan ini.

• Kehutanan. Perubahan pada distribusi biome dalam hal hilangnya hutan yang berkualitas tinggi diperkirakan akan menyebabkan banyak keanekaragaman hayati yang hilang. Sebagian besar kawasan hutan tropis yang selalu menghijau, hutan semi-gugur daun, hutan gugur daun—yang semuanya memiliki potensi yang besar dalam penyerapan karbon—diperkirakan akan berubah menjadi savana tropis dan lahan semak belukar tanaman kering tropis yang tidak memiliki atau sedikit memiliki potensi penyerapan karbon.

Page 18: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari8

Catatan: Hasil ini berdasarkan skenario referensi A2 tanpa tindakan. ‘Rata-rata’ mengindikasikan hasil rata-rata dari simulasi. ‘Moda’ mengindikasikan hasil yang kemungkinan besar akan diperoleh, dan kisaran estimasi dari persentase ke-5 sampai ke-95 ditandai dengan warna lebih tebal.

Sumber: Tim studi ADB.

2000 2020 2040 2060 2080 2100-5

-3

-4

-2

-1

0

Pers

en P

DB

ModaRata-rata 5-95% kisaran dampak

2000 2020 2040 2060 2080 2100-5

-3

-4

-2

-1

0

Pers

en P

DB

ModaRata-rata 5-95% kisaran dampak

Gambar H7. Hilangnya PDB di Empat Negara (dampak pasar saja)

Gambar H8. Hilangnya PDB Global (dampak pasar saja)

• Kesehatan manusia. Perubahan iklim juga cenderung menyebabkan lebih banyak kematian akibat penyakit-penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pernapasan karena tekanan panas dan penyakit yang menyebar melalui perantaraan vektor (malaria dan demam berdarah) di empat negara itu pada dekade-dekade mendatang.

Studi itu memperkirakan biaya ekonomi secara keseluruhan akibat perubahan iklim untuk empat negara tersebut (Boks H1). Hasilnya menunjukkan bahwa, di negara-negara ini secara keseluruhan, walaupun biaya ekonomi akibat perubahan iklim jika tidak dilakukan upaya mitigasi global relatif rendah dalam jangka menengah, setelah itu biaya ekonomi ini akan melonjak. Hingga akhir abad ini, biaya ekonomi secara keseluruhan per tahun rata-rata dapat mencapai 2,2% dari PDB jika hanya dampak pasar yang dipertimbangkan; jika dampak non pasar ikut dihitung maka bisa mencapai 5,7% dari PDB; dan bisa naik hingga 6,7% dari PDB jika resiko-resiko bencana besar ikut dihitung (Gambar H7 dan H9). Angka-angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata global (Gambar H8 dan H10). Hal ini terjadi karena keempat negara tersebut memiliki garis pantai yang relatif panjang, konsentrasi populasi yang tinggi di daerah pesisir, ketergantungan yang tinggi akan pertanian dan sumber daya alam, kapasitas adaptasi yang relatif rendah, dan kebanyakan memiliki iklim tropis diband-ing dengan negara-negara lain di dunia.

Dengan stabilisasi gas rumah kaca pada tingkat 450–550 ppm, biaya ekonomi secara keseluruhan karena pemanasan global menjadi jauh lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa biaya jika tidak melakukan tindakan, dan karenanya manfaat dari melakukan tindakan, bisa sangat besar di empat negara tersebut (Gambar H11).

3. Perlunya tindakan mendesak

Negara-negara Asia Tenggara harus mengambil tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim, membangun ketahanan, dan meminimalkan biaya akibat dampak yang tak terhindarkan dari emisi gas rumah kaca yang telah melekat dalam sistem iklim. Adaptasi, khususnya, penting untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan Millenium dan pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara. Orang miskinlah yang

Page 19: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 9

Catatan: Hasil-hasil ini berdasarkan skenario referensi A2 tanpa tindakan. Sumber: Tim studi ADB.

Gambar H9. Dampak Rata-Rata di Empat Negara Gambar H8. Dampak Rata-Rata Global

2000 2020 2040 2060 2080 2100-10

-6

-8

-4

-2

-9

-5

-7

-3

-10

Pers

en P

DB

Pasar Pasar + Bukan pasarPasar + Bukan pasar + Resiko bencana besar

2000 2020 2040 2060 2080 2100-10

-6

-8

-4

-2

-9

-5

-7

-3

-10

Pers

en P

DB

Pasar Pasar + Bukan pasarPasar + Bukan pasar + Resiko bencana besar

Catatan: Kerugian total termasuk dampak pasar, dampak bukan pasar dan resiko bencana dahsyat. Referensi = kegiatan bisnis seperti biasa tanpa tindakan; S550 = stabilisasi pada 550 ppm; S450 = stabilisasi pada 450 ppm.

Sumber: Tim studi ADB.

2000 2020 2040 2060 2080 2100-10

-6

-8

-4

-2

-9

-5

-7

-3

-10

Pers

en P

DB

Referensi A2 S450S550

Gambar H11. Total Kerugian Rata-Rata di Empat Negara dalam Skenario yang Berbeda

paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena mereka memiliki kapasitas adaptasi yang terbatas akibat penghasilan yang rendah dan buruknya akses terhadap infrastruktur, layanan, dan pendidikan. Mereka biasanya tinggal di daerah- daerah yang rentan secara geografis dan yang paling mudah terimbas bahaya alam, sementara banyak dari mereka yang dipekerjakan di sektor-sektor yang peka terhadap iklim, terutama pertanian, kehutanan, dan perikanan, dengan nyaris tanpa adanya peluang untuk mendapatkan sumber penghasilan alternatif sebagai pengganti. Jadi, membantu komunitas yang rentan untuk melakukan antisipasi dan dan beradaptasi terhadap resiko-resiko yang diakibatkan oleh perubahan iklim akan secara langsung berkontribusi untuk mencapai Tujuan-tujuan Pembangunan Millenium (MDG) di Asia Tenggara.

Karena adaptasi merupakan prioritas di Asia Tenggara, kawasan ini juga memiliki peranan penting dalam berkontribusi terhadap upaya-upaya mitigasi gas rumah kaca global dengan secara aktif mengikuti strategi pembangunan rendah karbon.

Page 20: Climate Change Highlights Id

Kebijakan Mitigasi

Cost of

Action

Kebijakan Adaptasi

• Produksi• Konsumsi• Demografi• Teknologi

Emisi dan Konsentrasi di

Atmosfir

Perubahan Iklim dan Suhu

Dampak (Hilangnya PDB)

Kotak Gambar H1. Rantai Analisa Dampak dan Kebijakan dari Model PAGE2002

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari10

Page 21: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 11

Singapura1%

Asia Tenggara lainnya 28%

Indonesia59%

Filipina 4%

Thailand6%

Vietnam 2%

Gambar H12. Emisi Gas Rumah Kaca di Asia Tenggara (2000)

Note: Total GHG emissions = 5,187 MtCO2-eq.Sources: CAIT Database, WRI (2008).

Tabel H2. Emisi Global Gas Rumah Kaca berdasarkan Sektor pada tahun 2000 (MtCO2-eq)Sektor Asia Tenggara Negara-Negara Non-

Aneks IaNegara-Negara

Aneks IbDunia

Energi 791,8 9.503,9 14.728,1 26.980,4Proses industri 50,8 722,9 628,6 1.369,4Pertanian 407,0 3.484,2 1.445,8 5.729,3Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan

3.861,0 7.887,0 -274,0 7.618,6

Limbah 76,6 695,4 473,4 1.360,5Total emisi 5.187,2 22.293,4 17.001,9 43.058,2Emisi per kapita 9,3 4,4 12,5 6,1

Catatan: a Pihak-pihak non-Aneks I kebanyakan berasal dari negara berkembang. Kelompok-kelompok tertentu dari negara berkembang diakui oleh konvensi sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang merugikan, termasuk negara dengan dataran rendah pesisir dan negara yang rentan mengalami penggurunan dan kekeringan. Negara-negara lain (misalnya negara-negara yang sangat tergantung pada penghasilan dari produksi dan perdagangan bahan bakar fosil) merasa lebih rentan terhadap potensi dampak ekonomi yang bisa ditimbulkan dari upaya-upaya untuk menanggapi perubahan iklim.

b Pihak-pihak yang masuk ke dalam Aneks I mencakup negara-negara industri yang merupakan anggota Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 1992, juga negara-negara dalam transisi di bidang ekonomi (EIT/Economices in transition), termasuk Federasi Rusia, Negara-Negara di kawasan Baltik, dan beberapa negara di Eropa Tengah dan Timur.

Sumber: Climate Analysis Indicators Tool/CAIT, WRI (2008).

Pada tahun 2000, kawasan ini berkontribusi sebanyak 12% dari emisi gas rumah kaca di dunia, sebanyak 5.187 juta ton ekuivalen karbon dioksida (MtCO2-eq) (Tabel H2). Jumlah ini merupakan peningkatan sebanyak 27% dari angka pada tahun 1990. Peningkatan ini lebih cepat daripada rata-rata global. Dilihat secara per kapita, emisi di kawasan ini termasuk lebih tinggi daripada rata-rata global, walaupun masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar dari kawasan ini pada tahun 2000, dengan kontribusi sebesar 75% dari jumlah total. Dua sumber utama lainnya adalah sektor energi sebesar 15% dan sektor pertanian sebesar 8%, dengan emisi dari sektor energi meningkat sebesar 83% antara tahun 1990–2000. Ini merupakan peningkatan tercepat di antara ketiga sumber emisi gas rumah kaca. Indonesia merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Asia Tenggara, terutama disebabkan oleh emisi akibat perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan (Gambar H12). Terdapat langkah-langkah mitigasi yang tidak hanya berkontribusi bagi solusi global perubahan iklim, tetapi juga membawa keuntungan bersama yang besar bagi Asia Tenggara.

Page 22: Climate Change Highlights Id

B. Adaptasi Perubahan Iklim untuk Meningkatkan

Ketahanan

Adaptasi merupakan penyesuaian yang dilakukan pada sistem alam atau manusia dalam menanggapi dampak perubahan iklim yang terjadi atau yang diperkirakan akan terjadi, yang mengurangi bahaya atau memanfaatkan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari dampak perubahan iklim tersebut. Oleh karena itu adaptasi mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan terhadap iklim. Tindakan adaptasi dilakukan oleh individu, rumah tangga, komunitas, kalangan bisnis, dan pemerintah. Banyak penyesuaian yang akan dilakukan sendiri secara otonom oleh para pelaku di sektor swasta untuk menanggapi perubahan iklim yang sedang terjadi tanpa intervensi kebijakan. Hal ini dikenal sebagai adaptasi yang "otonom". Banyak tindakan lain yang dilakukan sebagai hasil dari keputusan kebijakan yang diambil secara berhati-hati. Tindakan ini dikenal sebagai adaptasi yang “direncanakan” atau “didorong oleh kebijakan”. Tindakan adaptasi juga dapat bersifat "reaktif" yakni dilakukan untuk menanggapi dampak perubahan iklim yang sedang terjadi atau “proaktif" yang dilakukan untuk menanggapi perubahan iklim yang diantisipasi akan terjadi. Adaptasi juga bisa bersifat “teknis” yang sebagian besar berupa solusi rekayasa, atau “non-teknis”, yang terutama tergantung pada perubahan kebijakan, kelembagaan dan perilaku. Adaptasi dapat dilaksanakan pada dua tingkatan yang luas: membangun kapasitas adaptasi nasional dan lokal dan menawarkan tindakan adaptasi yang bersifat spesifik.

1. Membangun kapasitas adaptasi

Membangun kapasitas adaptasi berarti menciptakan informasi dan kondisi—yang berkaitan dengan peraturan, kelembagaan, manajerial, dan keuangan—yang diperlukan untuk mendukung tindakan adaptasi. Membangun kapasitas adaptasi suatu negara memerlukan upaya dari semua sektor masyarakat. Pemerintah memiliki peranan yang sungguh penting dengan membuat kebijakan dan kerang-ka kerja kelembagaan yang efektif, mengatasi kesenjangan informasi dan pengetahuan, menciptakan insentif yang tepat, dan mengalokasikan sumber daya publik yang memadai untuk adaptasi. Negara-negara di Asia Tenggara telah melakukan berbagai upaya yang mendorong peningkatan kapasitas adaptasi, tetapi diperlukan upaya-upaya yang lebih banyak lagi. Penguatan kapasitas adaptasi yang lebih lanjut di Asia Tenggara memerlukan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dalam rencana pembangunan. Ini berarti adaptasi harus dipertimbangkan sebagai suatu bagian integral dari strategi pembangunan yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan pengelolaan resiko bencana. Beberapa prioritas penting untuk negara-negara di Asia Tenggara dalam pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim yang telah diidentifikasi dalam studi ini adalah:

• Menggalakkan upaya untuk meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan iklim dan dampaknya, dengan visi membangun konsensus untuk tindakan publik dan melibatkan semua pemangku kepentingan termasuk

Page 23: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 13

rumah tangga, kalangan bisnis, badan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat madani, dan mitra-mitra pembangunan dalam memerangi perubahan iklim.

• Melakukan lebih banyak riset untuk lebih memahami: (i) perubahan iklim, dampaknya, dan adaptasi yang diperlukan pada tingkat lokal; (ii) solusi teknis dan non-teknis yang hemat biaya yang berfokus pada sistem alam (sumber daya air, produksi pertanian, kehutanan, sumber daya pesisir dan kelautan, dan lainnya); dan (iii) praktik dan strategi adaptasi yang tepat di luar sistem alam (migrasi, mekanisme perlindungan sosial, mata pencaharian para petani dan nelayan skala kecil, dan tata kelola yang baik dalam melakukan adaptasi pada semua tingkat).

• Meningkatkan upaya penyebarluasan informasi dan pengetahuan.

• Menciptakan atau meningkatkan koordinasi antar-departemen dan mekanisme perencanaan dalam mempromosikan pendekatan multi-sektor bagi adaptasi perubahan iklim, termasuk mengaitkan adaptasi perubahan iklim dengan pengelolaan resiko bencana. Mengingat bahwa perubahan iklim adalah isu yang berkaitan dengan semua bagian pemerintah—tidak hanya departemen lingkungan hidup dan dinas-dinas terkait, tapi juga departemen ekonomi dan keuangan dan sebagainya—mungkin akan lebih efektif jika koordinasi dipimpin oleh badan pemerintah yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan rencana dan strategi pembangunan.

• Menciptakan atau meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, perencanaan dan mekanisme pendanaan untuk mendorong tindakan adaptasi lokal dan otonom, dan untuk memperkuat kapasitas lokal dalam merencanakan dan melaksanakan inisiatif adaptasi.

• Mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam membangun kapasitas adaptasi kelompok dan wilayah yang rentan dan ketahanan mereka terhadap guncangan, termasuk mengembangkan kapasitas mereka dalam melakukan diversifikasi ekonomi lokal, mata pencaharian, dan strategi penanggulangan di samping penanganan sistem alam.

Pada tingkat yang lebih fundamental, kapasitas adaptasi suatu negara tergantung pada pembangunan ekonomi, sosial, dan manusia, yang berhubungan erat dengan tingkat penghasilan, ketimpangan, kemiskinan, melek huruf, dan kesenjangan antar daerah; kapasitas dan tata kelola pemerintahanan lembaga- lembaga publik dan keuangan publik; ketersediaan atau kecukupan layanan sosial termasuk pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan jaring pengaman sosial; serta kapasitas diversifikasi ekonomi, terutama pada tingkat lokal. Dalam semua aspek ini, kondisi di negara-negara di Asia Tenggara sangat beragam dan ada kesenjangan yang lebar antara Asia Tenggara secara keseluruhan dan negara-negara maju. Menghilangkan kesenjangan ini dengan cara menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap kuat dan melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan melibatkan semua pihak (inklusif) akan sangat membantu terciptanya peningkatan kapasitas adaptasi di Asia Tenggara.

Page 24: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari14

2. Praktik dan pilihan adaptasi berdasarkan sektor

Tindakan-tindakan adaptasi telah dilakukan di sejumlah sektor utama yang mengalami dampak perubahan iklim paling nyata atau merugikan di Asia Tenggara, termasuk sumber daya air, pertanian, kehutanan, sumber daya pesisir dan kelautan, serta kesehatan. Namun tindakan-tindakan ini kebanyakan bersifat reaktif dan tidak proaktif; pada banyak kasus pelaksanaannya tersebar dan tidak sistematik, dan terpisah-pisah atau tidak terpadu; dan langkah-langkah yang diambil seringkali menawarkan keuntungan jangka pendek daripada solusi jangka panjang. Asia Tenggara memerlukan pendekatan yang lebih proaktif, sistematis dan terpadu dalam melakukan adaptasi di banyak sektor utama, hemat biaya dan menawarkan solusi jangka panjang yang tahan lama.

Adaptasi memang mengalami dampak buruk akibat kegagalan pasar. Kegagalan pasar terjadi karena ketidakpastian informasi yang berhubungan dengan investasi skala besar dan jangka panjang seperti bangunan tahan iklim dan infrastruktur yang bisa terlindung dari perubahan iklim, dampak positif dan sifat barang publik dari langkah-langkah adaptasi tertentu seperti riset dan perlindungan pesisir; dan perlunya koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan. Akibatnya, pasar swasta dan tindakan otonom saja tidak akan mengarah pada adaptasi yang memadai. Banyak langkah adaptasi yang perlu digerakkan oleh kebijakan publik dan intervensi pemerintah. Langkah-langkah yang telah dipraktikkan di Asia Tenggara dan hal-hal yang harus ditingkatkan dalam sektor-sektor utama yang ditinjau dijabarkan di bawah ini.

• Pada sektor sumber daya air, untuk memperbaiki situasi kekurangan air, negara-negara di Asia Tenggara telah melakukan langkah-langkah dari sisi persediaan dan permintaan, termasuk teknologi penampungan air hujan, perbaikan fasilitas irigasi, pelatihan penggunaan air secara efisien, reklamasi kawasan pesisir, dan praktik-praktik pengelolaan air yang lebih baik (Tabel H3). Untuk seterusnya, praktik-praktik ini harus ditingkatkan, dan pengalaman dan pelajaran harus dibagi dengan lebih baik di antara masyarakat di setiap daerah, kawasan, negara, dan di antara negara- negara di kawasan ini. Pengelolaan air terpadu, termasuk skema pengendalian dan pencegahan banjir, sistem peringatan dini, perbaikan irigasi, dan pengelolaan dari sisi permintaan harus diterapkan secara lebih luas untuk memperoleh banyak manfaat.

• Pada sektor pertanian, langkah-langkah adaptasi yang paling sering digunakan di kawasan ini antara lain adalah penyesuaian terhadap waktu dan pola tanam, perubahan dalam pengelolaan dan teknik pertanian, penggunaan varietas yang dapat hidup di musim kemarau, diversifikasi pertanian, tumpang sari, dan rotasi tanaman (Tabel H4). Praktik-praktik adaptasi pada tingkat pertanian berguna dalam mengatasi perubahan iklim yang tidak bisa diramalkan, tetapi pemerintah perlu memperkuat kapasitas adaptasi lokal dengan menyediakan barang dan layanan publik, seperti informasi iklim yang lebih baik dan perbaikan dalam analisa dampak perubahan iklim, riset dan pengembangan varietas tanaman yang tahan panas, sistem peringatan dini, dan sistem irigasi yang hemat air serta teknik lainnya. Instrumen-instrumen pembagian resiko yang inovatif untuk sektor pertanian seperti skema-skema asuransi berbasis

Page 25: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 15

Tabel H3. Rangkuman Pilihan Adaptasi Utama pada Sektor Sumber Daya AirPraktik Dampak yang

BerkurangSkala Reaktif/

ProaktifTerencana/

OtonomSektor

Penerima Manfaat

Contoh

Rehabilitasi irigasi yang rusak dan fasilitas pembuangan air

Kekurangan air, kekeringan, curah hujan yang tak menentu

Lokal/Sub-regional

Reaktif Terencana Pertanian Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam

Perluasan skema irigasi skala kecil

Vietnam

Sistem peringatan banjir Kejadian-kejadian ekstrim, mis. banjir, gelombang badai

Lokal/Sub-regional

Proaktif Terencana Pertanian,pesisir, rumah tangga, industri

Vietnam

Perbaikan fasilitas kendali banjir, seperti gardu pompa, pintu air

Regional Pertanian, rumah tangga, industri

Thailand

Waduk penampung air yang memiliki banyak fungsi,bendungan, sistempenampung air

Kekeringan, banjir, pola curah hujan yang tak menentu, kekurangan air

Regional Proaktif Terencana Agriculture, Pertanian, rumah tangga, industri, pembangkit listrik

Filipina, Vietnam

Pengembangan daerah aliran sungai secara terpadu, daerah tangkapan air

Pertanian, rumah tangga, industri

Singapura, Thailand

Teknologi penampungan air hujan Kekurangan air, kekeringan, pola curah hujan yang tak menentu

Lokal Reaktif Otonomi Rumah tangga IndonesiaPenggunaan air secara bersama, pelatihan penggunaan air irigasi secara efisien

Rumah tangga, pertanian

Indonesia, Thailand, Vietnam

Pengukuran penggunaan air dan penetapan harga untuk mendukung konservasi air

Kekurangan air Lokal Reaktif Otonomi Rumah tangga Filipina, Singapura

Pemanfaatan air yang sudah digunakan

Kekurangan air Regional/ Nasional

Proaktif Terencana Rumah tangga, industri

Singapura

Tumbuhan osmosis air laut

Sumber: Boer dan Dewi (2008), Cuong (2008), Ho (2008), Jesdapipat (2008), Perez (2008).

Tabel H4. Rangkuman Pilihan Adaptasi Utama pada Sektor PertanianPraktik Skala Reaktif/Proaktif Terencana/Otonom Contoh

Penyesuaian waktu dan pola tanam

Lokal Reaktif Otonom Digunakan secara luas

Perubahan pengelolaan dan teknik pertanian

Lokal Reaktif Otonom Digunakan secara luas

Penggunaan varietas tahan panas

Lokal/ Proactive Autonomous Widely used

Diversifikasi pertanian, tumpang sari, rotasi tanaman

Lokal Proaktif Otonom Digunakan secara luas

Penggunaan SOI dalam merancang strategi penanaman

Lokal/ Proactive Planned Indonesia

Pelaksanaan asuransi berbasis indeks

Lokal/ Terencana Indonesia Thailand, Viet Nam

Pembangunan sistem peringatan dini

Lokal/ Terencana Thailand, Vietnam Philippines, Thailand, Viet Nam

Peningkatan efisiensi irigasi Lokal Reaktif Terencana Vietnam

SOI = Southern Oscillation Index (Indeks Osilasi Selatan).Sumber: Boer dan Dewi (2008), Cuong (2008), Ho (2008), Jesdapipat (2008), Perez (2008).

Page 26: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari16

Tabel H5. Rangkuman Pilihan Adaptasi Utama pada Sektor Kehutanan

Praktik Dampak yang Berkurang

Skala Reaktif/Proaktif

Terencana/Otonom

Contoh

Reforestasi, aforestasi, perbaikan pengelolaan hutan

Degradasi hutan, hilangnya keanekaragaman hayati

Lokal/ Sub-regional

Reaktif Terencana/Otonomi

Digunakan secara luas

Pembentukan jejaring peringatan dini

Kebakaran hutan Regional Proaktif Terencana Indonesia, Filipina, Vietnam

Penggunaan praktik-praktik silvikultural yang tepat

Kebakaran hutan Regional/Nasional

Reaktif Otonom Filipina, Vietnam

Peningkatan kesadaran mengenai pencegahan kebakaran hutan di antara komunitas

Kebakaran hutan Regional/Nasional

Proaktif Terencana Indonesia, Filipina, Vietnam

Pemantauan hutan-hutan yang mengalami degradasi

Degradasi hutan, hilangnya keanekaragaman hayati

Regional/Nasional

Proaktif Terencana Thailand

Sources: Boer and Dewi (2008), Cuong (2008), Ho (2008), Jesdapipat (2008), Perez (2008).

indeks sedang dikembangkan dan dicoba di Asia Tenggara, dan pengalaman serta keahlian sektor swasta harus dimasukkan untuk melengkapi upaya-upaya sektor publik.

• Pada sektor kehutanan, praktik-praktik adaptasi yang umum termasuk reforestasi, aforestasi, perbaikan pengelolaan hutan; pembentukan jejaring peringatan dini; penggunaan praktik-praktik silvikultural; meningkatkan kesadaran akan pencegahan kebakaran hutan; dan pemantauan hutan- hutan yang mengalami kerusakan (Tabel H5). Sistem peringatan dini dan program peningkatan kesadaran harus ditingkatkan bagi komunitas yang rentan agar lebih siap dalam menghadapi kebakaran hutan yang dapat lebih sering terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim. Lebih lanjut, kemitraan swasta-publik yang agresif dalam reforestasi dan aforestasi harus dibangun untuk mengimbangi hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati karena dampak-dampak perubahan iklim yang merugikan dan kejadian-kejadian iklim yang ekstrim.

• Pada sektor sumber daya pesisir dan kelautan, praktik-praktik adaptasi yang umum dilakukan mencakup: konservasi dan penanaman bakau; memperkuat dan memperkokoh dinding penahan erosi, tanggul, dan dinding penahan ombak yang ada; pemindahan tambak untuk perikanan budidaya, dan infrastruktur pesisir; memperbaiki (dan pada beberapa kasus menyesuaikan) rancangan dan standar konstruksi rumah dan kawasan industri; penyediaan informasi dan program peningkatan kesadaran; pengawasan terhadap peningkatan permukaan laut; pemompaan air untuk mengurangi banjir; dan persiapan peta-peta bahaya dan kerentanan (Tabel H6). Pelaksanaan langkah-langkah adaptasi di kawasan ini masih tersebar, dan diperlukan rencana pengelolaan zona pesisir terpadu yang mempertimbangkan resiko dan kerentanan iklim di masa mendatang. Konservasi dan penanaman bakau dan terumbu karang sangat efektif un-tuk mengurangi dampak badai dan topan tropis; praktik-praktik ini harus dipertahankan. Banyak keuntungan bersama dari tindakan ini berkaitan dengan layanan ekosistem dan mata pencaharian.

Page 27: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 17

Tabel H7. Rangkuman Pilihan Adaptasi Utama pada Sektor KesehatanPraktik Skala Reaktif/

ProaktifTerencana/

OtonomContoh

Koordinasi dengan kelompok-kelompok lain Lokal/Sub-regional

Reaktif Otonomi Digunakan secara luas

Pembangunan kembali dan pemeliharaan infrastruktur kesehatan publik

Lokal Reaktif Terencana/Otonom

Digunakan secara luas

Pembangunan daerah hijau, bersih dan indah Lokal Reaktif Otonom Digunakan secara luasMemperbaiki ramalan jangka pendek dan panjang serta sistem peringatan dan memperbaiki pengawasan (contohnya, indikator resiko, wabah penyakit menular, dll)

Lokal/ Sub-regional

Proaktif Terencana Digunakan di beberapa negara di kawasan

Pendidikan dan penyadaran (penggalakan informasi publik, pembangunan kapasitas)

Lokal/ Sub-regional

Proaktif Terencana Digunakan secara luas

Memperbaiki program pengendalian penyakit menular (vaksin, pengendalian vektor pembawa penyakit, deteksi kasus dan perawatan)

Lokal/ Sub-regional

Proaktif Terencana Digunakan secara luas

Tanggap bencana(rancangan rumah yang tahan iklim; dll)

Lokal/ Sub-regional

Proaktif Terencana Digunakan di beberapa negara di kawasan

Sumber: Boer dan Dewi (2008), Cuong (2008), Ho (2008), Jesdapipat (2008), Perez (2008).

Tabel H6. Rangkuman Pilihan Adaptasi Utama pada Sektor Sumber Daya Pesisir dan KelautanPraktik Dampak yang

BerkurangSkala Reaktif/

ProaktifTerencana/

OtonomSektor Penerima

ManfaatContoh

Konservasi dan penanaman bakau

Badai, topan, erosi pantai

Lokal Reaktif Terencana/Otonom

Pertanian, kehutanan, rumah tangga

Digunakan secara luas

Memperkuat dan memperkokoh dinding penahan erosi, tanggul, dan dinding penahan ombak yang ada dll.

Peningkatan permukaan air laut, erosi pantai

Regional Reaktif Terencana Pertanian, rumah tangga, industri

Digunakan secara luas

Relokasi tambak perikanan budidaya, infrastruktur pesisir

Peningkatan permukaan laut

Lokal Reaktif Otonom Pertanian Thailand, Vietnam

Memperbaiki rancangan dan standar untuk konstruksi rumah, kawasan industri, dan infrastruktur

Badai, topan, erosi pantai

Lokal/Sub-regional

Proaktif Terencana/Otonom

Rumah tangga, industri

Indonesia, Vietnam

Penyediaan informasi dan program peningkatan kesadaran

Badai, topan, erosi pantai, peningkatan permukaan laut

Regional/Nasional

Proaktif Terencana Pertanian, rumah tangga, industri

Filipina

Pengawasan terhadap peningkatan permukaan laut

Peningkatan permukaan laut

Regional/Nasional

Proaktif Terencana Pertanian, rumah tangga, industri

Thailand

Pemompaan air untuk mengurangi banjir

Badai, topan Lokal Reaktif Otonomi Pertanian, rumah tangga

Vietnam

Persiapan peta-peta tentang bahaya dan kerentanan

Badai, topan Lokal/Sub-regional

Proaktif Terencana Pertanian, rumah tangga

Filipina

Sumber: Boer dan Dewi (2008), Cuong (2008), Ho (2008), Jesdapipat (2008), Perez (2008).

• Pada sektor kesehatan, terdapat sejumlah langkah adaptasi yang bersifat reaktif, termasuk pembangunan kembali dan pemeliharaan infrastruktur kesehatan publik, koordinasi dengan lembaga terkait, dan pembangunan daerah hijau dan bersih. Akan tetapi, pendekatan yang lebih proaktif, seperti pembentukan sistem peringatan dini untuk wabah penyakit, pengawasan kesehatan, kampanye peningkatan kesadaran, dan program- program pengendalian penyakit menular harus diadopsi atau diperluas agar lebih dapat mengatasi dampak kesehatan dari perubahan iklim dengan lebih baik (Tabel H7).

Page 28: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari18

20002020

20402060

20802100

0.0

2.0

1.0

3.0

4.0

0.5

2.5

1.5

3.5

Manfaat Rata-rata Biaya Rata-rata

5-95% Kisaran Manfaat 5-95% Kisaran Biaya

Pers

en P

DB

Gambar H13. Biaya dan Manfaat Adaptasi

Catatan: ‘Rata-rata’ mengindikasikan hasil rata-rata dari simulasi dan kisaran estimasi dari persentase ke-5 sampai ke-95 di dalam bidang yang ditandai. Manfaat dalam hal terhindarnya kerusakan berdasarkan skenario A2.

Sumber: Tim studi ADB.

Sektor lain yang memerlukan tindakan adaptasi, tetapi kurang diperhatikan pada kebanyakan negara yang menjadi wilayah penelitian, adalah pembangkit listrik tenaga air, bangunan dan pariwisata.

3. Biaya dan manfaat adaptasi

Memahami biaya dan manfaat adaptasi penting untuk merencanakan tindakan. Dalam hal biaya, estimasi yang ada sangat bervariasi dari satu studi ke studi lainnya. UNFCCC (2007) memperkirakan biaya adaptasi dalam sektor pertanian, zona pesisir, kehutanan, perikanan, kesehatan, infrastruktur, dan persediaan air jika digabungkan dapat mencapai $44 milyar sampai $166 milyar per tahun hingga tahun 2030 untuk seluruh dunia, dan $28 milyar sampai $67 milyar untuk negara-negara berkembang. UNDP (2007) memproyeksikan biaya adaptasi untuk negara-negara berkembang sekitar $86–109 milyar per tahun hingga tahun 2015. Untuk memenuhi kebutuhan adaptasi di negara berkembang saat ini, Bank Dunia (2006) memperkirakan perlunya investasi dengan kisaran $9–41 milyar per tahun.

Kajian tentang biaya dan manfaat adaptasi untuk Asia Tenggara masih terbatas dan bidang ini harus dikaji lebih lanjut. Aktivitas (lihat Kotak H1) yang dilakukan dalam studi ini memperlihatkan bahwa, untuk empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—secara keseluruhan, biaya adaptasi untuk pertanian dan zona pesisir (terutama konstruksi dinding penahan erosi air laut dan pengembangan tanaman yang tahan kekeringan dan panas) rata-rata akan berkisar $5 milyar per tahun hingga tahun 2020. Besar kemungkinan bahwa investasi ini akan kembali nantinya: manfaat yang diperoleh setiap tahun dari terhindarnya kerusakan akibat perubahan iklim kemungkinan melebihi biaya tahunan yang harus dikeluarkan setelah tahun 2050 (Gambar H13). Hingga tahun 2100, manfaat adaptasi dapat mencapai 1,9% dari PDB, dibandingkan dengan biaya adaptasi sebesar 0,2% dari PDB. Tetapi hasil ini harus dilihat hanya sebagai tingkat besaran potensi dampak kebijakan karena ketidakpastian yang terkait dengan perubahan iklim.

Page 29: Climate Change Highlights Id

C. Mitigasi Perubahan Iklim Berkontribusi terhadap Solusi Global

Perubahan iklim mencerminkan eksternalitas global dan upaya-upaya mitigasi merupakan barang publik global. Penanganan perubahan iklim memerlukan kebijakan publik, tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi terlebih penting lagi, pada tingkat global, dan memerlukan kerjasama internasional. Meskipun berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) respon dari negara-negara penghasil terbesar emisi gas rumah kaca saat ini dan di masa mendatang menentukan keberhasilan dari solusi global, negara-negara di Asia Tenggara juga harus menjadi bagian penting dari solusi global ini. Hal ini disebabkan karena dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang cepat, emisi gas rumah kaca di kawasan ini kemungkinan besar akan terus meningkat, dan alasan lain adalah karena upaya pembangunan rendah karbon membawa banyak keuntungan bersama.

1. Sektor kehutanan

Sebagai penyumbang emisi terbesar di Asia Tenggara, sektor kehutanan memegang kunci dalam keberhasilan pengurangan emisi di kawasan ini. Upaya-upaya mitigasi yang penting di sektor kehutanan termasuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD); mendorong aforestasi dan reforestasi; memperbaiki pengelolaan hutan untuk meningkatkan kepadatan karbon pada tingkat } tegakan dan lanskap; dan meningkatkan cadangan karbon di luar lokasi (off-site) pada produksi kayu dan meningkatkan substitusi produk dan bahan bakar. Negara-negara di Asia Tenggara dalam tahun-tahun terakhir ini telah melakukan upaya-upaya yang menggembirakan dalam pelaksanaan langkah-langkah ini, tetapi masih banyak yang perlu dilakukan.

Biaya ekonomi dari mitigasi dalam sektor kehutanan tergantung pada banyak faktor termasuk hasil dari potensi penggunaan lahan alternatif (biaya peluang dari lahan); investasi di muka yang diperlukan; biaya pelaksanaan; dan faktor kebijakan, kelembagaan dan sosial, dan lain-lain. Perkiraan tentang potensi mitigasi juga tergantung dari pendekatan yang digunakan dan asumi-asumsi dasar yang dipakai. Tinjauan dari berbagai kajian yang ada menunjukkan bahwa perkiraan tentang potensi mitigasi dan biaya sangat bervariasi. Hal ini mencerminkan ketidak-pastian yang besar.

Kajian-kajian yang melakukan estimasi potensi mitigasi sektor kehutanan di Asia Tenggara masih terbatas. IPCC (2007) mengutip sebuah studi yang memberikan estimasi CO2 kumulatif yang diserap dari terhindarnya deforestasi hingga tahun 2050 berkaitan dengan wilayah-wilayah tropis termasuk Asia Tenggara, dengan beragam skenario harga karbon (Sohngen dan Sedjo 2006). Studi ini memproyeksikan

Page 30: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari20

Peny

erap

an k

arbo

n (G

tCO

2)

120

100

80

60

40

20

01.4 2.7 5.4

Harga Karbon ($/tCO2)

13.6 27

Afrika Amerika Tengah Amerika Selatan Asia Tenggara

Gambar H14. Proyeksi Kumulatif Penyerapan Karbon melalui Terhindarnya Deforestasi Sampai Tahun 2050 dalam Kasus Acuan di Kawasan Tropis dalam Beragam Skenario Harga Karbon

Sumber: Sohngen dan Sedjo (2006).

bahwa jika harga karbon sebesar $27.2 per ton karbon dioksida (tCO2), deforestasi hampir dapat dihilangkan. Selama 50 tahun berarti akan terjadi penyerapan kumulatif neto sebesar 278 gigaton karbon dioksida (GtCO2) relatif terhadap acuan (baseline) dan 422 juta hektar hutan tambahan. Pada harga tersebut Asia Tenggara diperkirakan memiliki potensi mitigasi yang terbesar yakni 109 GtCO2 , diikuti oleh Amerika Selatan, Afrika, dan Amerika Tengah (Gambar H14). Grieg-Gran (2009) mempelajari delapan negara tropis, yang secara kolektif bertanggung jawab atas 70% emisi dari penggunaan lahan pada saat ini (termasuk Indonesia), dan menemukan bahwa biaya peluang rata-rata dari terhindarnya deforestasi be-rada pada kisaran $1,2 sampai $6,7 per ton ekuivalen karbon dioksida (tCO2-eq), tergantung pada skenario yang digunakan.

Pada kasus mitigasi melalui aforestasi dan reforestasi, suatu tinjauan oleh IPCC (2007) terhadap studi yang ada mengindikasikan bahwa, jika karbon berharga hingga $20 per tCO2, Asia Tenggara kemungkinan besar memiliki potensi untuk mitigasi sekitar 300 juta ton karbon dioksida (MtCO2) per tahun sampai tahun 2040. Jika harga karbon meningkat hingga $100 per tCO2 maka potensi mitigasi akan meningkat menjadi sebesar 875 MtCO2 per tahun. Dalam hal mitigasi melalui pengelolaan hutan, Asia Tenggara juga memiliki potensi besar.

2. Sektor energi

Meskipun negara-negara di Asia Tenggara secara bersama-sama memberikan kontribusi sekitar 3,0% dari emisi CO2 yang berhubungan dengan energi pada tahun 2000, jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan pada masa mendatang, dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di dunia. Oleh karenanya pelaksanaan langkah-langkah mitigasi dalam sektor energi di negara-negara ini juga dapat berkontribusi terhadap upaya stabilisasi CO2 global pada dekade-dekade mendatang. Banyak pilihan juga memberi keuntungan bersama yang signifikan.

Asia Tenggara memiliki potensi mitigasi yang besar dalam sektor penawaran maupun permintaan energi. Pada sisi penawaran, pilihan-pilihan mitigasi utama mencakup peningkatan efisiensi pada pembangkit listrik, penggantian bahan bakar dari batu bara ke gas alam, dan penggunaan energi terbarukan termasuk sumber-

Page 31: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 21

sumber biomasa, panas matahari, angin, air dan panas-bumi. Pada sisi permintaan, sumber-sumber utama emisi gas rumah kaca adalah sektor bangunan tempat tinggal dan usaha, industri (baja, semen, bubur kertas dan kertas, dan lainnya), dan transportasi. Pilihan-pilihan mitigasi utama untuk sektor-sektor permintaan energi ini mencakup:

• Sektor bangunan tempat tinggal dan usaha: Penggunaan peralatan listrik dan pencahayaan yang lebih efisien, standar dan pemeringkatan (rating) program efisiensi energi, perbaikan insulasi, dan perubahan perilaku.

• Sektor industri: Penggunaan ketel uap, motor, dan tungku yang lebih efisien, perbaikan praktik-praktik pengelolaan seperti audit dan penentuan tolok ukur energi, daur ulang energi panas dan listrik, penggantian bahan bakar, dan daur ulang dan subtitusi material, terutama pada sektor-sektor yang padat energi, seperti sektor besi dan baja, semen, kertas dan bubur kertas, dan bahan kimia.

• Sektor transportasi: Peralihan ke bahan bakar yang lebih bersih, penggunaan kendaraan yang hemat bahan bakar, penggunaan pilihan kendaraan hibrid/ listrik untuk transportasi jalan raya, pengelolaan lalu lintas yang lebih baik, peralihan moda transportasi jalan raya dengan menggunakan transportasi kereta dan sistem transportasi publik, penggalakan transportasi tanpa motor, dan perencanaan penggunaan lahan dan transportasi.

IPCC (2007) meninjau studi yang ada mengenai potensi dan biaya dari bermacam-macam pilihan mitigasi sektor energi dan memfokuskan sebagian besar perhatian pada pilihan-pilhan mitigasi yang memerlukan biaya pengurangan emisi di bawah $100 per tCO2-eq. Hasilnya menunjukkan bahwa perkiraan biaya pengurangan emisi sangat beragam tergantung kepada asumsi dasar mengenai skenario emisi, jangka waktu, parameter biaya, spesifikasi teknologi dll. Pada kasus peralihan bahan bakar dari pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara ke gas, misalnya, biaya pengurangan emisi diperkirakan berkisar antara nol sampai $11 per tCO2

hingga tahun 2030 untuk negara-negara berkembang. Beberapa pilihan mitigasi memiliki biaya pengurangan yang lebih besar. Contohnya, biaya itu dapat meningkat hingga $50–100 atau bahkan lebih tinggi per tCO2-eq jika menggunakan pembangkit tenaga listrik tenaga surya dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).

Namun ada pilihan-pilihan mitigasi yang menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pengurangan emisi CO2 dapat dicapai dengan biaya negatif karena biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi akan terbayar dari manfaat yang diperoleh. Menurut IPCC (2007), untuk negara-negara yang sedang berkembang secara keseluruhan, bisa dilakukan mitigasi emisi sejumlah 1,5 GtCO2 dari sektor bangunan rumah tinggal dan tempat usaha hingga tahun 2020 dan dari kendaraan mobil bisa dilakukan mitigasi emisi berkisar antara 88 sampai 146 MtCO2 per tahun (tergantung pada proyeksi harga bahan bakar) hingga tahun 2030 dengan biaya negatif. Menurut McKinsey (2007), emisi berjumlah sekitar 5 GtCO2-eq per tahun dapat dimitigasi hingga tahun 2030 dengan cara yang sama secara global melalui langkah-langkah diantaranya insulasi bangunan; penggunaan peralatan (penyejuk udara dan pemanas air) dan pencahayaan pada sektor rumah tinggal dengan sangat efisien; hemat bahan bakar pada kendaraan, dan bahan bakar nabati; dan pengurangan emisi non- CO2 di sektor industri.

Page 32: Climate Change Highlights Id

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2000 2020 2050

MtC

O2

Referensi B2 S550 S450

Gambar H15. Emisi CO2 yang Berhubungan dengan Energi dari Empat Negara, dalam Skenario yang Berbeda-beda

Catatan: Referensi = melakukan kegiatan seperti biasa tanpa ada tindakan; S450 = stabilisasi pada 450 ppm; S550 = stabilisasi pada 550ppm.

Sumber: Tim studi ADB.

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari22

Sejumlah studi telah melaporkan potensi mitigasi dengan biaya yang akan terbayar oleh manfaat yang akan diperoleh pada sektor energi di negara-negara Asia Tenggara:

• Pada sisi persediaan energi, telah dilaporkan bahwa peningkatan efisiensi pada pembangkit tenaga listrik dan berkurangnya penyusutan sistim (system loss) memiliki potensi mitigasi sekitar 227 MtCO2 di Filipina selama periode 2000–2020 (ADB 1998a). Singapura telah melaksanakan mitigasi CO2 pada sektor pembangkit tenaga listriknya, dengan 80% dari listriknya dihasilkan dari gas alam. Di Vietnam, pengalihan bahan bakar untuk pembangkit listrik dari bahan bakar minyak ke gas diperkirakan memiliki potensi mitigasi sekitar 4 MtCO2 hingga tahun 2010 (MONRE 2004).

• Pada sisi permintaan energi, Thailand memiliki potensi mitigasi emisi 31 MtCO2 dari sektor bangunan tempat tinggal dan usaha selama periode 1997–2020 (ADB 1998b). Studi yang sama melaporkan bahwa Filipina dan Thailand memiliki potensi mitigasi emisi, masing-masing sejumlah 18 MtCO2 dan 89 MtCO2, selama periode hingga tahun 2020, melalui penggunaan ketel uap dan motor yang efisien di sektor industri. Filipina memiliki potensi untuk melakukan mitigasi sekitar 40 MtCO2 melalui penggunaan sistem transportasi yang sangat efisien selama periode 2000–2020; Thailand memiliki potensi untuk melakukan mitigasi sekitar 30 MtCO2 selama periode 1997–2020 melalui peningkatan efisiensi bahan bakar pada kendaraan.

Model simulasi energi yang digunakan dalam studi ini menunjukkan bahwa dalam skenario emisi medium (B2), tanpa tindakan mitigasi, empat negara— Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—kemungkinan besar akan sangat bergantung pada bahan bakar minyak dan batu bara sebagai sumber daya energi yang utama, dan batu bara untuk pembangkit listrik, karena biaya yang relatif rendah jika faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan lingkungan tidak dipertimbang-kan. Emisi diperkirakan akan meningkat empat kali lipat, atau 3% per tahun, selama tahun 2000–2050 (Gambar H15). Dengan ikut serta dalam upaya stabilisasi emisi global pada 450–550 ppm, empat negara ini secara keseluruhan diperkirakan akan beralih dari batu bara dan minyak ke gas alam dan sumber energi terbarukan; beralih dari pembangkit listrik bertenaga batu bara ke bahan bakar yang lebih bersih seperti gas alam dan sumber daya energi terbarukan; dan dari kendaraan yang saat ini

Page 33: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 23

Tabel H8. Potensi Mitigasi Yang Menguntungkan Semua Pihak di Empat Negara (2020)Pilihan Peningkatan Efisiensi Potensi Mitigasi (MtCO2)

Sektor tenaga 264Sektor konversi energi 6Sektor industri 115Sektor transportasi 51Sektor tempat tinggal 39Total 475Sumber: Tim studi ADB.

kebanyakan menggunakan bahan bakar solar ke kendaraan yang menggunakan bahan bakar yang lebih bersih dan kendaraan rendah karbon yang inovatif seperti bermacam-macam jenis kendaraan hibrid listrik.

Kegiatan simulasi ini juga menunjukkan adanya potensi yang besar untuk mengurangi CO2 yang berhubungan dengan energi untuk ke empat negara pada dekade-dekade berikutnya. Potensi total pengurangan emisi pada harga karbon hingga $50 diperkirakan akan menjadi 903 MtCO2, setara dengan 79% dari emisi CO2 yang berhubungan dengan energi di negara-negara ini pada tahun 2020 dalam skenario emisi medium. Lebih dari setengahnya, sekitar 475 MtCO2, dapat dicapai melalui pilihan-pilihan mitigasi yang menguntungkan semua pihak yang akan mengurangi CO2 dan pada saat yang bersamaan menghasilkan penghematan yang diharapkan akan lebih besar dari upaya dan sumber daya untuk mencapai penghematan tersebut (Tabel H8). Pilihan yang menguntungkan semua pihak ini kebanyakan berupa langkah-langkah peningkatan efisiensi energi, termasuk penghematan energi bahan bakar batu bara dan gas untuk sektor pembangkit listrik yang ada; penyebaran teknologi yang sangat efisien untuk industri padat energi; penggunaan kendaraan dengan mesin yang menggunakan sistem pembakaran internal yang hemat bahan bakar dan bioetanol untuk sektor transportasi; dan penggunaan beragam pilihan peralatan listrik yang sangat efisien untuk sektor tempat tinggal. Diperkirakan separo potensi mitigasi yang lain dapat dicapai dengan biaya hingga $50 per tCO2, dan untuk merealisasikan potensi mitigasi ini akan membutuhkan investasi sebesar $9,5 milyar—sekitar 0,9% dari PDB di empat negara tersebut pada tahun 2020.

3. Sektor pertanian

Asia Tenggara diperkirakan memiliki potensi teknis tertinggi di dunia untuk menyerap karbon dari sektor pertanian. Sebagai sumber emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di kawasan ini, pertanian juga memiliki banyak potensi mitigasi. Pilihan mitigasi utama pada sektor pertanian adalah perbaikan dalam pengelolaan lahan untuk tanaman pangan dan penggembalaan ternak; pemulihan tanah organik (termasuk hutan gambut) yang dikeringkan untuk produksi tanaman pangan, dan pemulihan tanah yang rusak; pengelolaan perternakan; pengelolaan pupuk kandang dan limbah padat organik, and penggunaan energi bio (IPCC 2007). Mitigasi pada sektor pertanian memiliki banyak keuntungan tambahan dalam skala lokal maupun regional, termasuk kualitas lingkungan lokal yang lebih baik dan peningkatan ketahanan pangan.

Perkiraan yang didasarkan pada pengalaman empiris tentang potensi mitigasi sektor pertanian di Asia Tenggara terbatas jumlahnya. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (2006) memperkirakan potensi ekonomi dalam mengurangi emisi neto nitrogen oksida dan karbon tanah dari lahan tanaman

Page 34: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari24

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

Pote

nsi m

itiga

si (M

tCO

2-e

q/ta

hun)

Asia Te

nggara

Amer

ika S

elatan

Asia Ti

mur

Asia S

elatan

Afrika

Timur

Federa

si Rusia

Amer

ika U

tara

Eropa B

arat

Afrika

Bara

t

Asia Te

ngah

Eropa U

tara

Afrika

Tenga

h

Eropa Ti

mur

Oseania

Eropa S

elatan

Amer

ika Te

ngah

Afrika

Uta

ra

Asia B

arat

Afrika

Selata

n

Karibia

Jepang

Polinesia

Gambar H16. Total Potensi Teknis Mitigasi pada Pertanian (semua praktik, semua Gas Rumah Kaca) berdasarkan Kawasan, 2030

Sumber: IPCC (2007).

pangan di Asia Selatan dan Tenggara tanpa mengeluarkan biaya akan mencapai 2,1 MtCO2-eq pada tahun 2010 dan 2,3 MtCO2-eq pada tahun 2020. Meningkatkan biaya karbon menjadi $30 per tCO2-eq akan menaikkan potensi ekonomi sebesar 20% pada tahun 2010 dan 35% pada tahun 2020. Studi ini juga memperkirakan bahwa potensi ekonomi di kawasan yang sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari lahan padi tanpa mengeluarkan biaya akan mencapai sekitar 60,6 MtCO2-eq pada tahun 2010 dan 72 MtCO2-eq pada tahun 2020. Meningkatkan biaya karbon menjadi $30 per tCO2-eq akan sangat menaikkan potensi ekonomi hingga sekitar 60% pada tahun 2010 dan tahun 2020.

Smith dkk. (2007) melaporkan bahwa potensi teknis untuk pengurangan emisi dengan menggunakan semua praktik yang secara teknis dapat dikerjakan dan mencakup semua gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan lainnya) bervariasi antara 550 sampai 1.300 MtCO2-eq per tahun untuk Asia Tenggara hingga tahun 2030. Ini merupakan angka yang tertinggi dibandingkan kawasan lain di dunia (Gambar H16). Studi ini juga memperkirakan bahwa hingga tahun 2030 potensi ekonomi global untuk pengurangan gas rumah kaca dari sektor pertanian dapat mencapai 28% dari total potensi teknis-nya pada harga karbon hingga $20 per tCO2-eq dan 46% pada harga karbon hingga $50 per tCO2-eq. Penerapan perbandingan ini secara kasar untuk Asia Tenggara menunjukkan bahwa hingga tahun 2030, potensi ekonomi kawasan ini untuk mitigasi gas rumah kaca pada sektor pertanian akan menjadi sekitar 152 MtCO2-eq per tahun pada harga karbon hingga $20 per tCO2-eq dan sekitar 414 MtCO2-eq per tahun pada harga karbon hingga $50 per tCO2-eq.

Page 35: Climate Change Highlights Id

D. Langkah ke Depan

Studi ini menegaskan bahwa Asia Tenggara sangatlah rentan terhadap perubahan iklim dan sudah terimbas olehnya. Hal ini terbukti dari meningkatnya suhu rata-rata, berubahnya pola curah hujan, naiknya permukaan laut, dan meningkatnya frekuensi serta intensitas kejadian cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim memperburuk kekurangan air di banyak tempat di wilayah itu, menghambat produksi pertanian, menyebabkan kebakaran dan kerusakan hutan, merusak sumber daya pesisir dan laut, serta meningkatkan resiko merebaknya wabah penyakit menular di wilayah itu. Asia Tenggara diperkirakan akan mengalami lebih banyak dampak perubahan iklim di tahun-tahun mendatang, dan dampaknya kemungkinan akan lebih parah dari dampak rata-rata secara global. Apabila tak ditangani dengan baik, perubahan iklim dapat sangat menghambat pembangunan berkelanjutan serta usaha penghapusan kemiskinan di wilayah itu.

1. Perlunya solusi global

Penanganan perubahan iklim memerlukan solusi global berdasarkan tanggung jawab yang sama namun dengan porsi yang berbeda.

Perubahan iklim adalah kegagalan pasar paling signifikan yang pernah terjadi di dunia ini. Seperti halnya kegagalan pasar lainnya, ini hanya dapat diatasi melalui intervensi kebijakan publik Pemerintah perlu: (i) menciptakan kerangka kerja kebijakan perubahan iklim nasional yang efektif; (ii) menggunakan strategi implementasi yang efektif dari sisi biaya; (iii) mengerahkan sumber dana yang cukup dari dalam maupun luar negeri termasuk dari sektor swasta dan memastikan alokasinya secara efisien; (iv) menciptakan insentif yang kuat untuk implementasi tindakan adaptasi dan mitigasi serta menghapus berbagai distorsi pasar yang menghambat tindakan- tindakan semacam itu; (v) mengatasi kesenjangan pengetahuan dan informasi; dan (vi) meningkatkan kesadaran publik mengenai mendesaknya penanganan perubahan iklim. Tetapi intervensi pemerintah saja tidaklah cukup. Keberhasilan penanganan masalah perubahan iklim memerlukan partisipasi dan tindakan dari semua pemangku kepentingan, termasuk rumah tangga, perusahaan, individu, LSM dan masyarakat madani.

Sebagai barang publik, perubahan iklim perlu ditangani bersama-sama oleh semua bangsa di dunia, bangsa yang sedang berkembang dan yang sudah maju, untuk mencapai solusi global.

Besarnya kesenjangan penghasilan di antara berbagai bagian dunia menunjukkan sangat beragamnya kapasitas dan kemampuan negara-negara di dunia untuk melakukan adaptasi dan mitgasi. Lebih lanjut, pengamatan menunjukkan bahwa perubahan iklim dan dampaknya banyak diakibatkan oleh emisi di masa lalu

Page 36: Climate Change Highlights Id

yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Pertimbangan ini memunculkan isu penting mengenai pembagian tanggung jawab secara adil. Negara-negara berkembang perlu menyadari bahwa tanpa usaha global yang memadai dalam pengurangan emisi gas rumah kaca prospek pertumbuhan pendapatan dan pengurangan kemiskinan mereka akan mengalami ancaman serius. Negara-negara maju juga harus menyadari kebutuhan serta legitimasi negara berkembang untuk mempersempit kesenjangan pendapatan antara mereka dan negara-negara maju, serta menghargai keinginan mereka untuk memastikan bahwa penanganan tantangan perubahan iklim tak boleh mengorbankan pembangunan sehingga menjadi lambat.

Dengan demikian komponen penting dari solusi global yang efektif akan meliputi pengalihan sumber-sumber dana dan pengetahuan teknis dari negara maju ke negara berkembang secara memadai.

Perkiraan kebutuhan pembiayaan bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat bervariasi. Hal ini mencerminkan ketidakpastian terkait dengan skenario potensi perubahan iklim dan dampak yang mungkin timbul. Namun perkiraan yang muncul tentang investasi tambahan yang diperlukan untuk mitigasi dan adaptasi di negara berkembang menunjukkan kekurangan dana sebesar ratusan milyar dolar per tahun selama beberapa dekade mendatang. Jumlah ini jauh melebihi sumber dana yang yang sudah dijanjikan dan dibentuk oleh negara-negara maju melalui mekanisme pembiayaan global, seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), Fasilitas Lingkungan Global (GEF), berbagai dana khusus yang lain seperti Kerangka Kerja Investasi Energi Bersih (Clean Energy Investment Framework) dan Dana Investasi Iklim (Climate Investment Fund), serta mekanisme regional dan bilateral lainnya. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang serius.

Perubahan iklim global tak dapat ditangani tanpa partisipasi negara-negara berkembang.

Ini disebabkan karena, pertama emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang diperkirakan akan tumbuh lebih cepat daripada dari negara-negara maju dalam dekade-dekade mendatang, karena pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang cepat; dan kedua, karena ada potensi yang besar untuk pengurangan emisi secara efektif dari segi biaya di negara-negara berkembang. Karenanya solusi global yang efektif mau tak mau harus melibatkan negara – negara berkembang untuk selalu memasukkan perubahan iklim sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijakan dan mengintegrasikan adaptasi serta mitigasi ke dalam strategi untuk pertumbuhan ekonomi, penghapusan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Komunitas internasional telah menyetujui Peta Jalan Bali guna mendorong upaya untuk melawan perubahan iklim.

Dalam beberapa tahun terakhir ini telah muncul konsensus tentang mendesaknya upaya penanganan perubahan iklim, yang memuncak dengan disusunnya Rencana Aksi Bali dalam Konferensi Para Pihak yang ke 13 (COP13) pada penyelenggaraan UNFCCC di bulan Desember 2007. Rencana aksi tersebut disusun untuk meningkatkan pelaksanaan UNFCCC dan memulai negosiasi untuk menciptakan kerjasama jangka panjang secara menyeluruh. Rencana Aksi Bali telah menentukan COP15 di Kopenhagen pada bulan Desember 2009 sebagai tenggat waktu untuk menyepakati ketentuan-ketentuan pengelolaan iklim internasional setelah 2012 Ketentuan-ketentuan ini akan mencakup mitigasi perubahan iklim (termasuk REDD), adaptasi, pengembangan dan alih teknologi, serta penyediaan sumber keuangan .

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari26

Page 37: Climate Change Highlights Id

untuk mendukung tindakan negara-negara berkembang. Pada bulan Juli 2008, Kelompok Delapan yang terdiri dari negara-negara kaya setuju mengadopsi tujuan untuk mengurangi paling sedikit 50% emisi global hingga tahun 2050. Mereka menyadari bahwa tantangan-tantangan global hanya dapat diatasi dengan respon di tingkat global khususnya melalui kontribusi dari semua negara-negara besar. Hal ini sejalan dengan dengan prinsip tanggung jawab yang sama namun dalam porsi yang berbeda sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

2. Apa yang harus dilakukan oleh Asia Tenggara?

Dalam beberapa tahun terakhir ini Asia Tenggara sudah mengambil tindakan-tindakan positif untuk melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan mitigasi emisi gas rumah kaca.

Setiap negara di Asia Tenggara telah mengembangkan rencana atau strategi perubahan iklim mereka sendiri, mendirikan departemen atau badan sebagai pusat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya serta melaksanakan banyak program untuk mendukung kegiatan adaptasi dan mitigasi. Tetapi diperlukan lebih banyak tindakan. Ada kebutuhan mendesak untuk: (i) meningkatkan kesadaran akan dampak perubahan iklim serta resikonya; (ii) pengarus-utamaan pertimbangan perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan; (iii) menempatkan kerangka kerja kelembagaan yang efektif guna memperbaiki koordinasi kebijakan secara lebih baik; (iv) menginvestasikan lebih banyak sumber daya dalam adaptasi dan mitigasi iklim; (v) menyediakan informasi yang memadai tentang pilihan adaptasi dan mitigasi yang menguntungkan semua pihak ; (vi) mengatasi kegagalan pasar serta menghilangkan distorsi pasar yang menghambat implementasi pilihan tersebut; (vii) memperkuat kerjasama internasional dan regional dalam alih pengetahuan, teknologi dan keuangan; (viii) melakukan lebih banyak riset dan mengatasi kesenjangan pengetahuan tentang tantangan-tantangan yang berhubungan dengan perubahan iklim serta solusinya pada tingkat lokal; dan (ix) melakukan lebih banyak upaya peningkatan kapasitas.

(i) Adaptasi menuju perbaikan ketahanan iklim

Asia Tenggara harus melanjutkan usaha untuk meningkatkan ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim dengan membangun kapasitas adaptasi serta mengambil langkah-langkah adaptasi yang bersifat teknis dan non-teknis di sektor-sektor yang sangat peka terhadap iklim.

Ketahanan suatu negara terhadap perubahan iklim tergantung pertama-tama dan yang terutama pada kapasitasnya untuk melakukan adaptasi. Pada tingkat yang lebih mendasar, kapasitas adaptasi suatu negara tergantung pada pembangunan ekonomi, sosial dan manusia, yang banyak berhubungan dengan: (i) penghasilan, ketimpangan, kemiskinan, tingkat melek huruf dan kesenjangan antar daerah; (ii) kapasitas dan tata kelola lembaga publik serta keuangan publik; (iii) ketersediaan atau kecukupan layanan publik termasuk pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta jaring pengaman sosial; dan (iv) kapasitas untuk diversifikasi ekonomi, khususnya di tingkat lokal. Dalam semua aspek ini, kondisinya sangat beragam di seluruh Asia Tenggara serta ada kesenjangan yang besar di antara kawasan itu secara keseluruhan dengan negara-negara maju. Penghapusan kesenjangan dengan cara mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan membuat pembangunan berkelanjutan serta melibatkan semua pihak akan sangat berguna dalam meningkatkan kapasitas adaptasi Asia Tenggara.

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 27

Page 38: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari28

Memperkuat kapasitas adaptasi juga memerlukan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan. Ini berarti bahwa adaptasi harus dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan dan strategi pengurangan kemiskinan. Dalam konteks ini, studi ini mengidentifikasikan beberapa prioritas yang mendesak: (i) meningkatkan upaya untuk meningkatkan kesadaran publik akan perubahan iklim dan dampaknya; (ii) melakukan lebih banyak riset untuk lebih memahami perubahan iklim, dampaknya serta solusinya, khususnya di tingkat lokal, dan meningkatkan upaya dalam penyebaran informasi dan pengetahuan; (iii) meningkatkan koordinasi kebijakan dan perencanaan di seluruh kementrian dan berbagai tingkat pemerintahan untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk mengaitkan adaptasi perubahan iklim dengan manajemen resiko bencana; (iv) mengadopsi pendekatan yang lebih bersifat holistik untuk membangun kapasitas adaptasi dari kelompok dan wilayah yang rentan serta ketahanan mereka terhadap goncangan, termasuk mengembangkan kemampuan mereka dalam diversifikasi ekonomi dan mata pencaharian lokal serta strategi penanggulangan perubahan iklim diluar penanganan sistem-sistem alam; dan (v) mengembangkan dan mengadopsi pendekatan yang lebih proaktif, sistematik dan terintegrasi bagi adaptasi di sektor-sektor utama yang efektif dari sisi biaya serta menawarkan solusi jangka panjang yang tahan lama.

Banyak sektor memiliki kebutuhan untuk beradaptasi tetapi sumber daya air, pertanian, kehutanan, pesisir dan laut, serta kesehatan memerlukan perhatian khusus. Tindakan adaptasi telah dilakukan di Asia Tenggara dalam sejumlah sektor utama yang mengalami dampak perubahan iklim paling nyata atau paling merusak. Tetapi adaptasi memang banyak terpengaruh oleh beberapa kegagalan pasar. Kegagalan pasar terjadi karena informasi yang tak menentu terkait dengan investasi skala besar dan jangka panjang seperti bangunan serta infrastuktur yang tahan perubahan iklim; dampak positif dan sifat barang publik dari langkah-langkah adaptasi tertentu seperti riset dan perlindungan pesisir; dan kebutuhan akan koordinasi di antara berbagai pemangku kepentingan. Akibatnya, pasar swasta dan tindakan otonom saja tak akan dapat mencapai tingkat adaptasi yang memadai. Banyak langkah adaptasi perlu digerakkan oleh kebijakan publik dan intervensi pemerintah. Box H2 menggambarkan bidang-bidang adapasi yang perlu ditingkatkan dalam sektor-sektor utama di Asia Tenggara.

(ii) Mitigasi menuju ekonomi rendah karbon

Asia Tenggara harus menjadi bagian penting dari solusi global untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Walaupun menurut UNFCCC tanggapan dari negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar saat ini dan di masa mendatang merupakan kunci keberhasilan solusi global, negara-negara Asia Tenggara juga harus menjadi bagian penting dari solusi global ini, karena dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang cepat, emisi gas rumah kaca di kawasan ini kemungkinan besar akan terus meningkat, dan karena arah pembangunan rendah karbon banyak membawa manfaat bersama. Studi ini menunjukkan bahwa negara Asia Tenggara memiliki potensi yang cukup besar bagi pengurangan gas rumah kaca. Berdasarkan kontribusi berbagai sektor yang berbeda, mitigasi haruslah menargetkan perubahan dalam penggunaan lahan dan sektor kehutanan, sektor energi, dan sektor pertanian.

Page 39: Climate Change Highlights Id

Kotak H2. Prioritas Adaptasi pada Sektor-Sektor Utama

Untuk sektor sumber daya air, prioritasnya adalah pemerintah perlu meningkatkan praktek-praktek yang •

baik dalam konservasi dan pengelolaan air yang ada saat ini, menerapkan secara lebih luas pengelolaan

air secara terpadu agar memperoleh beragam manfaat, termasuk pencegahan banjir, perbaikan dalam

penyimpanan dan persediaan air, dan juga pembangkit tenaga listrik yang bersih, dan untuk menginvestasikan

sistem-sistem peringatan dini untuk banjir.

Untuk sektor pertanian, prioritasnya adalah pemerintah perlu memperkuat kapasitas adaptasi di tingkat lokal •

dengan menyediakan barang dan layanan publik, seperti informasi iklim yang lebih baik, pengembangan sistem

peringatan dini, dan sistem irigasi yang efisien. Lebih lanjut, pemerintah harus mempromosikan instrumen

pembagian resiko yang inovatif, membantu mengembangkan varietas tanaman yang tahan cuaca ekstrim, dan

mempromosikan kredit mikro untuk komunitas yang rentan.

Untuk sektor kehutanan, prioritasnya adalah untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan program •

peningkatan kesadaran untuk komunitas agar dapat lebih siap dalam menghadapi kebakaran hutan, dan

untuk melaksanakan rencana reforestasi dan aforestasi yang agresif

Untuk sektor sumber daya pesisir dan kelautan, prioritasnya adalah pengenalan pengelolaan zona pesisir yang •

terpadu dengan mempertimbangkan resiko dan kerentanan iklim di masa mendatang.

Untuk sektor kesehatan, prioritasnya adalah mengarah pada pendekatan yang lebih proaktif seperti sistem •

peringatan dini untuk wabah penyakit, perbaikan dalam pemantauan kesehatan, program peningkatan

kesadaran, dan perbaikan program pengendalian penyakit menular.

Memperkuat keterkaitan antara pengelolaan resiko bencana dan program adaptasi perubahan iklim. Untuk •

sektor infrastruktur, prioritasnya adalah untuk memperkenalkan investasi dan infrastruktur yang berhubungan

dengan transportasi yang “tahan iklim”.

Sebagai penyumbang emisi terbesar di Asia, sektor kehutanan sangatlah penting bagi keberhasilan pengurangan emisi.

Langkah-langkah mitigasi utama untuk sektor kehutanan termasuk memelihara atau meningkatkan areal hutan melalui REDD; aforestasi dan reforestasi; dan meningkatkan pengelolaan hutan. Mengurangi dan/atau mencegah deforestasi adalah pilihan mitigasi dengan dampak yang paling besar dan paling cepat terhadap stok karbon. Karena REDD juga memberikan potensi manfaat yang besar berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, negara-negara di Asia Tenggara harus menanggapi penyebab dari deforestasi sesuai dengan keadaan di negara mereka masing-masing. Pembentukan mekanisme keuangan global yang efektif, dapat diprediksi, berkelanjutan, berdasarkan kinerja, dan didukung oleh sumber daya yang beraneka ragam—termasuk mekanisme pasar dan non-pasar—merupakan prioritas mendesak bagi REDD. Agar mendapat manfaat dari mekanisme global REDD di masa mendatang, kapasitas teknis dan kelembagaan kawasan ini harus diperkuat dalam melakukan inventarisasi karbon hutan dan melaksanakan kebijakan dan upaya-upaya yang berkaitan dengan kehutanan secara tepat.

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 29

Page 40: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari30

Negara-negara Asia Tenggara juga harus meningkatkan upaya dalam reforestasi dan aforestasi, dan meningkatkan sistem tata kelola pemerintahanan nasional dan lokal dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Hal yang terakhir ini memerlukan reformasi yang sesuai dengan keadaan nasional dan lokal, seperti pengawasan dan pengendalian penebangan liar, peningkatan penerimaan pemerintah dari konsesi hutan, perpanjangan jaminan untuk siklus konsesi dan penguasaan tanah, serta peningkatan kompetisi untuk mendapatkan konsesi. Karena hutan juga merupakan rumah bagi banyak komunitas adat, kebijakan harus dirancang agar dapat sepenuhnya mengetahui dan menghargai hak dan prioritas mereka, dan memastikan keikutsertaan mereka dalam merancang dan melaksanakan kebijakan REDD.

Mitigasi pada sektor energi harus mulai dengan pilihan yang menguntung-kan semua pihak dimana pengurangan emisi gas rumah kaca dapat dicapai den-gan biaya yang relatif rendah atau bahkan tanpa mengeluarkan biaya.

Walaupun negara-negara di Asia Tenggara secara bersama-sama memberikan kontribusi sekitar 3,0% dari emisi CO2 global yang berhubungan dengan energi pada tahun 2000, jumlah ini diperkirakan akan meningkat di masa mendatang, dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi yang relatif lebih tinggi, dibandingkan dengan negara lain di dunia. Asia Tenggara banyak memiliki potensi mitigasi baik pada sektor persediaan maupun permintaan energi. Pada sisi persediaan, pilihan-pilihan mitigasi utama meliputi peningkatan efisiensi pembangkit tenaga listrik, pengalihan bahan bakar dari batu bara ke gas alam, dan penggunaan energi terbarukan, termasuk sumber-sumber biomasa, tenaga matahari, angin, air dan panas bumi. Pada sisi permintaan, sumber utama emisi gas rumah kaca adalah sektor tempat tinggal dan usaha, industri (baja, semen, bubur kertas dan kertas, dan lainnya), dan transportasi.

Ada banyak pilihan mitigasi menguntungkan semua pihak di Asia Tenggara, dimana penghematan biaya dari mitigasi melebihi pengeluaran untuk melakukan mitigasi. Langkah-langkah peningkatan efisiensi energi masuk dalam kategori ini. Yang menjadi prioritas kebijakan adalah mengidentifikasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan adaptasi dari pilihan-pilihan ini. Hambatan-hambatan semacam itu diantaranya bisa meliputi kesenjangan informasi, pengetahuan, dan teknologi; distorsi pasar dan harga; hambatan kebijakan, peraturan, dan perilaku; kurangnya dana yang diperlukan untuk investasi di muka; dan biaya transaksi yang tersembunyi lainnya. Perlu dilakukan tinjauan yang seksama terhadap hambatan-hambatan yang mungkin terjadi agar bisa dihilangkan. Distorsi pasar yang menonjol pada sektor energi di banyak negara Asia Tenggara meliputi subsidi umum bagi penggunaan bahan bakar fosil. Pemerintah harus secara bertahap mengurangi subsidi umum bahan bakar dan mengalihkannya dengan sasaran mereka yang miskin dan rentan.

Dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang cepat, permintaan energi di Asia Tenggara kemungkinan besar akan terus berkembang, dan sumber permintaan energi yang baru perlu dikembangkan dalam jangka panjang. Dengan bantuan dari pendanaan internasional yang ada, alih teknologi dan mekanisme kerjasama, serta bantuan yang akan disetujui dalam waktu dekat, maka negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan upaya-upaya mereka dalam mengembangkan dan beralih ke sumber daya energi yang bersih, terbarukan, dan rendah karbon dan juga transportasi yang bersih dan berkelanjutan. Pemerintah harus mendorong pengalihan ini dengan membuat, atau lebih memperkuat, suatu kerangka kerja kebijakan yang tepat yang menciptakan insentif yang tepat, dan mendukung penelitian dan pengembangan. Investasi sektor publik di bidang energi harus memasukkan

Page 41: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 31

eksternalitas (efek samping) negatif emisi gas rumah kaca dalam analisa tentang biaya-manfaat. Asia Tenggara harus ikut serta dalam upaya-upaya global yang mengarah pada ekonomi rendah karbon.

Asia Tenggara diperkirakan memiliki potensi teknis tertinggi di dunia untuk menyerap karbon di sektor pertanian.

Sebagai sumber emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di Asia Tenggara, sektor pertanian juga memiliki potensi mitigasi yang besar. Pilihan-pilihan mitigasi utama dalam pertanian mencakup perbaikan dalam pengelolaan penanaman dan lahan penggembalaan; pemulihan tanah organik yang dikeringkan untuk produksi tanaman, dan pemulihan lahan yang mengalami kerusakan; pengelolaan ternak; pengelolaan pupuk kandang dan pupuk dari pengolahan limbah cair (bio-solids), dan penggunaan bio-energi (IPCC 2007). Langkah-langkah ini dapat menghasilkan penurunan emisi yang berhubungan dengan pupuk dan metana, emisi dari perubahan penggunaan la-han, dan meningkatkan penyerapan karbon pada ekosistem pertanian. Akan tetapi, sekarang ini kemajuan dalam melaksanakan langkah-langkah tersebut di kawasan ini tergolong lamban.

Langkah-langkah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian dapat dijajaki melalui kombinasi antara program-program berbasis pasar, upaya-upaya regulasi, kesepakatan-kesepakatan yang bersifat sukarela, dan program- program internasional. Contoh program berbasis pasar adalah pajak atas penggunaan pupuk nitrogen, dan reformasi kebijakan-kebijakan pendukung pertanian. Upaya-upaya regulasi dapat meliputi pembatasan penggunaan pupuk nitrogen dan ketaatan sektor pertanian terhadap ketentuan-ketentuan di bidang lingkungan sebagai syarat pemberian bantuan untuk sektor tersebut. Kesepakatan-kesepakatan bersifat sukarela mengenai praktik-praktik pengelolaan pertanian bisa ditingkatkan di samping pelabelan produk-produk hijau. Program-program internasional dapat mendukung alih teknologi di bidang pertanian.

(iii) Pendanaan, alih teknologi, dan kerjasama internasional /regional

Pendanaan internasional dan alih teknologi penting bagi keberhasilan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi di Asia Tenggara.

Kawasan ini harus meningkatkan kapasitas kelembagaan agar dapat menggunakan sumber pendanaan internasional yang ada dan potensi pendanaan internasional dengan lebih baik. Sumber pendanaan yang ada, meskipun tidak mencukupi mengingat besarnya pekerjaan yang harus dilakukan, menyediakan dukungan awal dan dapat digunakan sebagai katalisator untuk mengumpulkan pendanaan bersama. Asia Tenggara belum menggunakan sumber pendanaan ini secara penuh, dan perwakilannya di pasar karbon global masih terbatas. Pemerintah perlu membantu untuk mendapatkan akses terhadap sumber dana yang ada dan potensi pendanaan yang tersedia saat ini melalui penyebaran informasi dan bantuan teknis yang lebih baik. Ada kebutuhan untuk meningkatkan keberadaan kawasan ini dalam memanfaatkan CDM, mekanisme yang berhubungan dengan REDD, dan mekanisme pendanaan lainnya.

Kebutuhan teknologi sangat bervariasi di dalam dan di seluruh negara-negara Asia Tenggara. Managemen iklim internasional perlu melakukan lebih banyak hal untuk membantu alih teknologi yang telah diidentifikasi, sementara indikator kinerja

Page 42: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari32

yang utama untuk alih teknologi yang rendah karbon harus dikembangkan. Kerangka kerja regional juga harus disusun untuk mendukung kerjasama teknis selatan- selatan dan berbagi informasi di antara negara-negara tetangga di Asia Tenggara, karena kelihatannya lebih mudah menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang diperkenalkan oleh negara-negara tetangga yang telah sukses menggunakan bahan-bahan yang tersedia di wilayah tersebut dan ketrampilan pengelolaan lingkungan secara tradisional. Kesempatan untuk melakukan lompatan dalam alih teknologi, terutama pada sektor energi, infrastruktur dan pengelolaan limbah, harus dijajaki secara efektif.

Pada jangka panjang, perlu dijajaki bentuk pembiayaan yang inovatif, seperti instrumen pembagian resiko semacam obligasi bencana, produk derivatif berkaitan dengan cuaca yang digunakan perusahaan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan cuaca buruk dan tidak terduga, dan skema asuransi mikro berdasarkan indek melalui kemitraan yang melibatkan sektor swasta. Mengikuti contoh dari Fasilitas Finansial Internasional untuk Perusahaan Imunisasi, maka fasilitas finansial regional untuk mendukung inisiatif adaptasi dapat dipertimbangkan. Investasi swasta dalam bentuk modal ventura dan dana bersama yang berfokus pada teknologi rendah karbon dan hemat energi juga harus berperan dalam mendanai adaptasi dan mitigasi.

Negara-negara di Asia Tenggara juga harus mempertimbangkan pembuatan skema perdagangan emisi regional dalam jangka panjang.

Selain memanfaatkan mekanisme pendanaan internasional dan berpartisipasi dalam pasar karbon internasional melalui penggunaan secara efektif mekanisme seperti CDM berdasarkan program, dan mungkin pendekatan sektoral dan kebijakan yang kemungkinan besar akan menjadi bagian dari managemen iklim di masa mendatang, kawasan ini juga dapat mempertimbangkan pembentukan suatu skema perdagangan emisi. Skema semacam itu akan membantu mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan pengurangan emisi dan membantu penggunaan teknologi rendah karbon secara lebih cepat. Skema itu juga akan membantu menciptakan mekanisme untuk mempertimbangkan efek samping terhadap lingkungan, dengan demikian mendorong perusahaan-perusahaan padat energi agar mengadopsi teknologi rendah karbon secara bertahap. Dalam hal ini, pengalaman Republik Korea dan Hongkong, Cina dalam peluncuran skema percontohan untuk perdagangan emisi domestik, dan pengalaman India dalam mensyarakatkan pengurangan konsumsi energi secara khusus di dalam industri padat energi melalui suatu sistem perdagangan sertifikasi hemat energi di antara perusahaan- perusahaan, dapat membantu. Akan tetapi, beberapa persyaratan fungsional, termasuk sistem kelembagaan dan tata kelola, harus dicapai sebelum dimulai skema perdagangan emisi regional.

Banyak isu perubahan iklim yang dapat ditangani dengan lebih baik melalui kerjasama regional.

Karena banyak negara di kawasan ini mengalami bahaya iklim yang serupa, strategi regional kemungkinan besar akan lebih hemat biaya daripada upaya-upaya di tingkat nasional dan daerah dalam penanganan banyak isu lintas batas. Isu-isu tersebut diantaranya meliputi pengelolaan daerah aliran sungai dan sumber daya air yang terpadu, kebakaran hutan, kejadian cuaca yang ekstrim, ekosistem pesisir dan laut yang terancam dan dimiliki bersama-sama, migrasi dan pengungsian yang disebabkan oleh perubahan iklim, dan juga, wabah penyakit yang berhubungan dengan panas yang melanda kawasan regional seperti demam berdarah, malaria dan kolera.

Page 43: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 33

Kerjasama regional dapat secara efektif menanggapi beberapa tantangan mitigasi perubahan iklim, misalnya, dengan mendorong perdagangan listrik dengan cara memanfaatkan jam beban puncak listrik yang berbeda-beda di antara negara-negara yang bertetangga untuk mengurangi kebutuhan membangun kapasitas pem-bangkit listrik yang baru di masing-masing negara; mengembangkan sumber energi terbarukan; mempromosikan energi dan alih teknologi yang ramah lingkungan, dan menetapkan tolok ukur untuk praktik-praktik dan kinerja energi yang ramah lingkungan di tingkat regional.

Kerjasama regional juga memiliki peran penting untuk mendorong kebijakan dan praktik yang baik, berbagi informasi dan pengetahuan tentang isu- isu seperti pengelolaan bencana, serta mendorong dan melakukan riset dan pengembangan yang berhubungan dengan iklim di kawasan. Kerjasama regional ini penting dalam pengembangan skenario dan simulasi iklim regional untuk memantau dan mengevaluasi dampak perubahan iklim.

(iv) Memperkuat koordinasi kebijakan pemerintah

Mengingat bahwa isu perubahan iklim meliputi semua bagian pemerintah maka diperlukan koordinasi kebijakan yang kuat antar badan pemerintah.

Perubahan iklim merupakan isu yang tidak hanya melibatkan menteri lingkungan dan dinas-dinas yang terkait, tetapi juga menteri ekonomi, menteri keuangan dan lain sebagainya. Koordinasi dan perencanaan yang kuat antar departemen penting sekali agar pelaksanaan kebijakan adaptasi dan mitigasi bisa berjalan efektif. Sebagai contoh, jika menteri lingkungan berencana menaikkan pajak bahan bakar sebagai bagian dari strategi perubahan iklim secara keseluruhan, proposal ini harus didukung penuh oleh pemerintah dan tidak dihalangi oleh satu kementrian yang khawatir terhadap keberatan para produsen mobil misalnya. Dalam hal adaptasi, ada alasan kuat untuk menghubungkannya dengan pengelolaan resiko bencana. Juga ada kebutuhan untuk menciptakan atau meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, mekanisme perencanaan, dan pendanaan untuk mendorong tindakan adaptasi secara lokal dan otonom, dan untuk memperkuat kapasitas lokal dalam merencanakan dan melaksanakan inisiatif adaptasi. Agar koordinasi berjalan efektif ada alasan kuat bagi badan pemerintah yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan rencana dan strategi pembangunan untuk memegang tampuk kepemimpinan.

(v) Melakukan lebih banyak riset mengenai isu-isu yang berhubungan dengan perubahan iklim

Diperlukan lebih banyak riset untuk dapat memahami dengan lebih baik tantangan perubahan iklim dan solusi yang hemat biaya pada tingkat lokal dan mengatasi kesenjangan pengetahuan.

Meskipun dalam tahun-tahun belakangan ini makan banyak bermunculan kajian tentang perubahan iklim yang khusus tentang kawasan dan negara di Asia Tenggara tetapi kesenjangan pengetahuan tetap besar. Ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan lebih banyak riset di kawasan ini untuk lebih memahami: (i) perubahan iklim dan dampak, resiko serta kerentanan perubahan iklim, kebutuhan adaptasi, dan potensi mitigasi pada tingkat lokal; (ii) solusi adaptasi teknis dan non-teknis yang hemat biaya pada sektor-sektor utama yang peka terhadap iklim termasuk sumber daya air, produksi pertanian,

Page 44: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari34

kehutanan, sumber daya pesisir dan kelautan, seperti pola kultivasi dan penanaman yang optimal, varietas tanaman yang tahan panas, praktik-praktik yang baik dalam pengelolaan kehutanan, sistem peringatan dini untuk kejadian- kejadian cuaca yang ekstrim; (iii) praktik-praktik adaptasi yang baik dalam menanga-ni isu-isu di luar sistem alam, seperti migrasi, mekanisme perlindungan sosial, mata pencaharian petani dan nelayan kecil, dan tata kelola adaptasi yang baik pada semua tingkatan; dan (iv) langkah-langkah mitigasi yang hemat biaya, khususnya pilihan yang saling menguntungkan, serta hambatan-hambatan kebijakan, kelembagaan, perilaku, dan teknologi untuk adaptasi pilihan-pilihan tersebut.

Asia Tenggara juga perlu mengembangkan jaringan riset dan pengembangan regional untuk perubahan iklim dan memperkuat kapasitas riset iklim regional. Badan-badan regional seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dapat meningkatkan kolaborasi dengan badan-badan internasional guna memung-kinkan pembagian informasi secara lebih baik tentang teknologi rendah karbon. Kerjasama teknis dan pembagian informasi di antara negara-negara tetangga di kawasan ini harus didorong. Langkah-langkah yang mendorong penggunaan sumber energi terbarukan juga dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama regional, seperti program-program pembangunan kapasitas dan menentukan tolok ukur praktik- praktik energi yang bersih.

(vi) Mengubah krisis ekonomi menjadi peluang

Dunia mengalami pergolakan ekonomi terparah sejak terjadinya Depresi Ekonomi Hebat pada tahun 1930-an dengan berbagai krisis—bahan bakar, pangan, dan keuangan—pada tahun 2008. Dampak dari krisis ini masih terus berkembang. Perekonomian global sudah mengalami resesi. Negara-negara Asia yang sedang berkembang menghadapi melemahnya permintaan eksternal, turunnya transfer pendapatan dari para pekerja di luar negeri, investasi menurun, dan pengangguran meningkat, dengan dampak yang merugikan bagi prospek pemberantasan kemiskinan di kawasan ini. Negara-negara Asia Tenggara tidak kebal terhadap pergolakan ekonomi global. Asian Development Bank baru-baru ini memperkirakan bahwa pertumbuhan PDB Asia Tenggara kemungkinan besar akan merosot dari 4.3% pada tahun 2008 menjadi 0.7% pada tahun 2009 (ADB 2009). Hal ini mengakibatkan puluhan juta orang, yang seharusnya sudah dapat keluar dari kemiskinan, menjadi terperangkap dalam kemiskinan, dan akan membuat pencapaian MDG menjadi lebih sulit.

Kemerosotan ekonomi dapat mempersulit tugas memerangi perubahan iklim. Prioritas pembangunan pemerintah akan dialihkan untuk menanggulangi masalah stabilisasi makro ekonomi jangka pendek dan menjauh dari penanganan perubahan iklim jangka panjang dan isu-isu lingkungan lainnya. Kebijakan dan sumber daya publik untuk mengatasi resesi ekonomi mungkin dianggap lebih penting, dan inisi-atif-inisiatif perubahan iklim menjadi tertunda. Dengan adanya pengetatan kredit, maka investasi swasta dalam adaptasi dan mitigasi mungkin tidak akan terwujud.

Hal ini tidak harus terjadi. Menyadari akan mendesaknya penanggulangan krisis ekonomi global maupun krisis iklim di dunia, Program Lingkungan PBB (UNEP) telah mengajukan “Kesepakatan Baru Hijau Global”. Kesepakatan ini menghimbau negara-negara maju untuk melakukan upaya-upaya investasi “hijau” atau ramah lingkungan (meningkatkan efisiensi energi, menambah pilihan energi yang ramah lingkungan, dan mengembangkan transportasi yang berkelanjutan) yang setara

Page 45: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 35

dengan 1% PDB dalam dua tahun mendatang, sebagai stimulus fiskal. Kesepakatan ini juga menghimbau negara-negara berkembang untuk melakukan investasi di bidang air bersih dan sanitasi untuk penduduk miskin dan mengembangkan program-program jaring pengaman sosial yang tepat sasaran. Kesepakatan ini telah didukung oleh banyak pemerintahan.

Sejumlah negara, baik negara maju maupun negara berkembang, telah mencantumkan “langkah-langkah hijau” yang spesifik dalam paket-paket stimulus fiskal yang mereka usulkan atau yang telah mereka umumkan. Para pemimpin G20 pada Konferensi Tingkat Tinggi di London pada tahun 2009 sepakat untuk sedapat mungkin memanfaatkan investasi yang didanai oleh program-program stimulus fiskal untuk mencapai tujuan pemulihan ekonomi yang ramah lingkungan, kuat dan berkelanjutan, serta melakukan transisi untuk menciptakan teknologi dan infrastruktur yang bersih, inovatif, hemat sumber daya dan rendah karbon. Rencana pembangunan yang ramah lingkungan sudah masuk ke dalam agenda di banyak negara di kawasan ini, seperti Republik Rakyat Cina, Jepang, dan Republik Korea.

Di Asia Tenggara, stimulus fiskal juga digunakan di banyak negara, termasuk Indonesia, Filipina, Singapura, dan Thailand, untuk mendorong permintaan domestik melalui pemotongan pajak, investasi di bidang infrastruktur, dan meningkatkan belanja untuk program-program sosial. Tidak tertutup kemungkinan untuk memasukkan program-program “investasi hijau” yang ramah lingkungan ke dalam paket-paket stimulus semacam itu yang menggabungkan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi dengan upaya-upaya untuk mendongkrak ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengurangi kemiskinan. Krisis yang terjadi sekarang ini menawarkan peluang untuk memulai transisi menuju ekonomi yang tahan menghadapi perubahan iklim dan rendah karbon di Asia Tenggara.

Page 46: Climate Change Highlights Id

Referensi

ADB. 1998a. Asia Least-cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS)–Philippines. Asian Development Bank, Manila.

———. 1998b. Asia Least-cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS)–Thailand. Asian Development Bank, Manila.

———. 2009. Asian Development Outlook. Rebalancing Asia’s Growth. Asian Development Bank, Manila.

Boer, R., and R.G. Dewi. 2008. Indonesia Country Report—A Regional Review on the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Report submitted for RETA 6427: A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Asian Development Bank, Manila. Processed.

CCFSC. 2005. Dyke Management, Flood and Storm Control in Viet Nam, Central Committee for Flood and Storm Control. Viet Nam.

CAIT Database. 2008. Climate Analysis Indicators Tool. World Resources Institute, Washington, D.C., USA.

Cline, W. R. 2007. Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country. Center for Global Development and Peterson Institute for International Economics, Washington, DC.

CRED. 2008. EM-DAT by CRED International Disaster Database. Center for Research on the Epidemiology of Disasters. Université Catholique de Louvain, Brussels.

Cuong, N. 2008. Viet Nam Country Report—A Regional Review on the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Report submitted for RETA 6427: A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Asian Development Bank, Manila. Processed.

FAO. 2006. Global Forest Resources Assessment 2005—Progress towards Sustainable Forest Management. FAO Forestry Paper No. 147, Food and Agriculture Organization, Rome.

FAOSTAT. 2008. ResourceStat. Food and Agriculture Organization.Grieg-Gran, M. 2009. The Costs of avoided deforestation as a climate change

mitigation option; in C. Palmer and S. Engel (eds) Avoided Deforestation: Prospects for Mitigating Climate Change, Oxford: Routledge.

The Guardian. 2009. Sea Level Could Rise More than a Metre by 2100, Say Experts. Available: www.guardian.co.uk/environment/2009/mar/11/sea-level-rises-climate-change-copenhagen.

Page 47: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari 37

Hoanh, C. T., H. Guttman, P. Droogers, and J. Aerts. 2004. “Will We Produce Sufficient Food under Climate Change? Mekong Basin (South-east Asia).” In J. Aerts and P. Droogers, eds., Climate Change in Contrasting River Basins: Adaptation Strategies for Water, Food, and Environment. Wallingford: CABI Publishing.

Ho, J. 2008. Singapore Country Report—A Regional Review on the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Report submitted for RETA 6427: A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Asian Development Bank, Manila. Processed.

Hope, C. 2006. “The Marginal Impact of CO2 from PAGE2002: An Integrated Assessment Model Incorporating the IPCC’s Five Reasons for Concern”. The Integrated Assessment Journal 6(1):19–56.

IPCC 2000. Special Report on Emissions Scenarios, A Special Report of Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Working Group III, Cambridge: Cambridge University Press.

————. 2001a. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. J. J. McCarthy, O. F. Canziani, N. A. Leary, D. J. Dokken, and K. S. White, eds. Cambridge: Cambridge University Press.

————. 2001b. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. J. T. Houghton, Y. Ding, D. J. Griggs, M. Noguer, P. J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C. A. Johnson, eds. Cambridge: Cambridge University Press.

————. 2007. Climate Change 2007: Contribution of Working Groups I, II, and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, United Kingdom, and New York: Cambridge University Press.

Jesdapipat, S. 2008. Thailand Country Report—A Regional Review on the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Report submitted for RETA 6427: A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Asian Development Bank, Manila. Processed.

Malcolm, J. R., C. Liu, R. P. Nelson, L. Hansen, and L. Hannah. 2006. “Global Warming and Extinctions of Endemic Species from Biodiversity Hotspots.” ConservBio 20: 538–48.

McKinsey and Company. 2007. “A Cost Curve for Greenhouse Gas Reduction.” The McKinsey Quarterly 1:35–44.

McMichael, A. 2004. “Climate Change”. In M. Ezzati, A. Lopez, A. Rodgers, and C. Murray, eds., Comparative Quantification of Health Risks: Global and Regional Burden of Disease Due to Selected Major Risk Factors Vol. 2. World Health Organization, Geneva.

MONRE. 2004. Viet Nam National Strategy Study on Clean Development Mechanism. Ministry of Natural Resources and Environment, Hanoi.

Page 48: Climate Change Highlights Id

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari38

Murdiyarso, D. 2000. “Adaptation to Climatic Variability and Change: Asian Perspectives on Agriculture and Food Security.” Environmental Monitoring and Assessment 61(1, March):123–31.

Perez, R. 2008. Philippines Country Report—A Regional Review on the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Report submitted for RETA 6427: A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia. Asian Development Bank, Manila. Processed.

Smith, P., D. Martino, Z. Cai, D. Gwary, H. Janzen, P. Kumar, B. McCarl, S. Ogle, F. O’Mara, C. Rice, B. Scholes, and O. Sirotenko. 2007. Agriculture. In Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, USA.

Sohngen, B., and R. Sedjo. 2006. “Carbon Sequestration Costs in Global Forests.” Energy Journal Special Issue 109–26.

Stern, N. 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge: Cambridge University Press.

Tran, V. L., D. C. Hoang, and T. T. Tran. 2005. Building of Climate Change Scenario for Red River Catchments for Sustainable Development and Environmental Protection. Preprints from the Science Workshop on Hydrometeorological Change in Viet Nam and Sustainable Development, Ministry of Natural Resource and Environment, Hanoi.

UNDP. 2007. “Fighting Climate Change: Human Solidarity in a Divided World.” In Human Development Report, 2007/2008. New York: Palgrave Macmillan.

UNEP. 2006. The Geodata Portal. United Nations Environment Programme. UNFCCC. 2007. Investment and Financial Flows to Address the Climate Change.

Background paper. UNFCCC Secretariat, Bonn.US-EPA, 2006: Global Mitigation of Non-CO2 Greenhouse Gases. United States

Environmental Protection Agency, EPA 430-R-06-005, Washington, D.C.Wassmann, R., N. X. Hien, C. T. Hoanh, and T. P. Tuong. 2004. “Sea Level

Rise Affecting the Viet Namese Mekong Delta: Water Elevation in the Flood Season and Implications for Rice Production.” Climatic Change 66:89– 107.

World Bank. 2006. Investment Framework for Clean Energy and Development. Washington, DC.

————. 2008. PovcalNet Database. Available: iresearch.worldbank.org/PovcalNet/povDuplic.html.

————. Various years. WDI Online.Washington, DC. Available:www.worldbank. org/.

Zhai, F., and J. Zhuang. 2009. Agricultural Impact of Climate Change: A General Equilibrium Analysis with Special Reference to Southeast Asia. ADBI Working Paper No. 131, Asian Development Bank Institute, Tokyo.

Page 49: Climate Change Highlights Id
Page 50: Climate Change Highlights Id

Asian Development Bank6 ADB Avenue, Mandaluyong City1550 Metro Manila, Philippineswww.adb.org/economicsISBN 978-971-561-788-8Publication Stock No. RPT090419

Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional—Intisari

ini merangkum temuan-temuan utama dari laporan Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional. Dengan fokus khusus pada Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam, laporan ini menegaskan bahwa Asia Tenggara sangatlah rentan terhadap perubahan iklim, dan menunjukkan bahwa berbagai langkah adaptasi sudah mulai diterapkan, dan bahwa kawasan ini memiliki potensi yang besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca secara global. Laporan ini juga memperlihatkan bahwa biaya yang akan ditanggung kawasan ini dan juga secara global jika tidak mengambil tindakan dini untuk menghadapi perubahan iklim akan jauh melebihi biaya jika melakukan tindakan. Laporan ini mendorong Asia Tenggara untuk memainkan peran penting dalam usaha menuju solusi global terhadap perubahan iklim, dan menerapkan semua adaptasi dan langkah-langkah mitigasi yang memungkinkan dan secara ekonomi dapat dijalankan sebagai unsur-unsur kunci dalam strategi pengurangan kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan. Laporan ini juga memberikan argumentasi bahwa krisis ekonomi global yang ada saat ini menawarkan peluang bagi Asia Tenggara untuk mulai melakukan transisi menuju ekonomi yang tahan iklim dan rendah karbon dengan memperkenalkan program-program stimulus hijau yang secara bersama-sama dapat menopang ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, menurunkan emisi karbon, dan bersiap-siap menghadapi dampak terburuk perubahan iklim.

Mengenai Asian Development Bank

Visi ADB adalah kawasan Asia dan Pasifik yang bebas kemiskinan. Misinya adalah untuk membantu negara-negara berkembang yang menjadi anggotanya untuk mengurangi kemiskinan secara substansial dan meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Meskipun telah mencapai banyak kemajuan, kawasan ini masih dihuni oleh dua pertiga penduduk miskin dunia: 1,8 milyar orang yang yang berpenghasilan kurang dari $2 per hari, dengan 903 juta yang berjuang hidup dengan penghasilan kurang dari $1.25 per hari. ADB berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan dan integrasi regional. ADB yang berbasis di Manila ini dimiliki oleh 67 anggota, termasuk 48 anggota yang berasal dari kawasan ini. Instrumen utamanya dalam membantu negara-negara berkembang yang menjadi anggotanya adalah dialog kebijakan, pinjaman, penyertaan modal, jaminan, hibah dan bantuan teknis.

Printed in the Philippines