chapter ii

18
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006). Sedangkan menurut Setiawan (2000) tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai tinggi antara 15 – 30 m. Perakarannya cukup kuat serta akar tunggangnya dalam dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Gambar 1. Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis (Lorenzi, 2007) Universitas Sumatera Utara

Upload: mnh47

Post on 06-Aug-2015

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi

dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15 – 25 m. Batang

tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di

beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke

arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama

lateks (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sedangkan menurut Setiawan (2000) tanaman karet merupakan pohon

yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai

tinggi antara 15 – 30 m. Perakarannya cukup kuat serta akar tunggangnya dalam

dengan akar cabang yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki

percabangan yang tinggi diatas.

Gambar 1. Bentuk pohon, daun, buah, biji dan kulit batang dari Hevea brasiliensis (Lorenzi, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi

kuning atau merah. Biasanya tanaman karet mempunyai “jadwal“ kerontokan

daun pada setiap musim kemarau. Di musim rontok ini kebun karet menjadi indah

karena daun – daun karet berubah warna dan jatuh berguguran (Nazarrudin dan

Paimin, 2006).

Selanjutnya Nazarrudin dan Paimin (2006) menambahkan daun karet

terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun

utama 3 – 20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 3 – 10 cm dan pada ujungnya

terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun

karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing.

Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar

tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan

besar (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sistematika

Menurut Nazarrudin dan Paimin (2006) dalam dunia tumbuhan karet

tersusun dalam sistematika sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

Kesesuaian Tempat Tumbuh Pohon Karet

Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang

beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah – daerah tropis lainnya.

Daerah tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15o Lintang Utara

sampai 10o Lintang Selatan. Walaupun daerah itu panas, sebaiknya tetap

menyimpan kelembapan yang cukup. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet

rata – rata 25 – 30o C. Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata – rata

kurang dari 20o C, maka tanaman karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut.

Pada daerah yang suhunya terlalu tinggi, pertumbuhan tanaman karet tidak

optimal (Setiawan, 2000). Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada

ketinggian antara 1 – 600 m dari permukaan laut. Curah hujan yang cukup tinggi

antara 2000 – 2500 mm setahun. Akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu

merata sepanjang tahun (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Sinar matahari yang cukup melimpah di negara – Negara tropis merupakan

syarat lain yang diinginkan tanaman karet. Dalam sehari tanaman karet

membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang cukup paling tidak selama 5

– 7 jam (Setiawan, 2000).

Tanah – tanah yang kurang subur seperti podsolik merah kuning yang

terhampar luas di Indonesia dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang

baik bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet dengan hasil yang

memuaskan. Selain jenis podsolik merah kuning, tanah latosol dan alluvial juga

bisa dikembangkan untuk penanaman karet. Tanah yang derajat keasamannya

mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman yang paling

cocok adalah 5 – 6. Batas toleransi pH tanah bagi pohon karet adalah 4 – 8. Tanah

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

yang agak masam masih lebih baik dari pada tanah yang basa. Topografi tanah

sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Akan lebih baik

apabila tanah yang dijadikan tempat tumbuhnya pohon karet datar dan tidak

berbukit – bukit (Nazarrudin dan Paimin, 2006).

Manfaat Pohon Karet (Hevea brasiliensis)

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai

sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan

ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun

pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai

prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.

Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi

kedua terbesar di dunia (Goenadi et al., 2005).

Indraty (2005, dalam Boerhendhy dan Agustina, 2006) menyebutkan

bahwa tanaman karet juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam

pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan akhir-akhir ini menjadi isu

penting mengingat kondisi sebagian besar hutan alam makin memprihatinkan.

Pada tanaman karet, energi yang dihasilkan seperti oksigen, kayu, dan biomassa

dapat digunakan untuk mendukung fungsi perbaikan lingkungan seperti

rehabilitasi lahan, pencegahan erosi dan banjir, pengaturan tata guna air bagi

tanaman lain, dan menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi. Pada daerah

kritis, daun karet yang gugur mampu menyuburkan tanah. Daur hidup tanaman

karet yang demikian akan terus berputar dan berulang selama satu siklus tanaman

karet paling tidak selama 30 tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertanaman karet

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

sangat strategis bagi kelangsungan kehidupan, karena mampu berperan sebagai

penyimpan dan sumber energi.

Hal senada dikemukakan oleh Azwar et al. (1989, dalam Boerhendhy dan

Agustina, 2006) bahwa laju pertumbuhan biomassa rata-rata tanaman karet pada

umur 3−5 tahun mencapai 35,50 ton bahan kering/ha/ tahun. Hal ini berarti

perkebunan karet dapat mengambil alih fungsi hutan yang berperan penting dalam

pengaturan tata guna air dan mengurangi peningkatan pemanasan bumi (global

warming).

Perkembangan Perkebunan Karet Di Indonesia

Perkembangan pembudidayaan karet (Hevea brasiliensis) akhir – akhir ini

mengalami kemajuan yang sangat pesat khususnya di Propinsi Sumatera Utara,

baik di perkebunan milik negara, swasta maupun yang diusahakan oleh rakyat.

Pohon karet atau disebut juga rambung banyak diusahakan oleh masyarakat baik

dengan sistem monokultur maupun secara agroforestry.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh

rakyat (91%), perkebunan negara dan perkebunan swasta (9%). Pertumbuhan

karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58% per tahun, sedangkan

areal perkebunan negara dan swasta sama yaitu 0,15% per tahun. Oleh karena itu,

tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat

(Goenadi et al., 2005).

Menurut Susila (1998, dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000) saat ini

pusat perkebunan karet terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), propinsi

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 ha) dan propinsi Sumatera

Selatan (206.000 ha).

Siklus Hidrologi

Di bumi terdapat kira – kira sejumlah 1,3 – 1,4 milyar km3 air: 97,5 %

adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada ditanah sebagai air sungai,

air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 % berbentuk uap di udara. Air di

bumi ini mengulangi secara terus – menerus sirkulasi: penguapan, presipitasi dan

pengaliran keluar (out flow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan

laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh

sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke

permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke

permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi

mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuhan dimana

sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan

– dahan ke permukaan tanah. Sirkulasi yang kontiniu antara air laut dan air

daratan berlangsung terus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi (Mori, 1993).

Dalam kawasan hutan/tegakan maka siklus hidrologi akan melalui

beberapa proses.masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui

beberapa cara, yaitu aliran batang (stemflow), air lolos (troughfall), dan air hujan

langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian dibagi menjadi air larian,

evapotranspirasi dan infiltrasi. Intersepsi sebagai salah satu komponen dalam

hidrologi mempunyai peranan yang penting dalam siklus hidrologi (Asdak, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa air secara terus menerus

mengalami sirkulasi yang disebut siklus hidrologi seperti yang terlihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Siklus Hidrologi (UNESCO, 1978)

Intersepsi

Intersepsi merupakan proses tertahannya air hujan oleh tanam – tanaman

atau permukaan lain yang kemudian diuapkan kembali (Sri Harto, 1993).

Sedangkan menurut Purbo (1987) intersepsi merupakan proses

tertangkapnya dan tertahannya air hujan oleh tumbuhan atau bangunan dan akan

diuapkan kembali tanpa mencapai permukaan tanah.

Dalam hal ini ada 3 fenomena yaitu, interception loss, troughfall dan

stemflow. Interception loss merupakan air hujan yang tertahan kemudian diuapkan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

kembali. Jumlah kehilangan ini sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan

kerapatan daun. Air lolos (Troughfall) merupakan bagian air yang baik menetes di

antara daun – daun maupun ranting dan dahan yang kemudian jatuh ke tanah.

Aliran batang (Stemflow) adalah bagian air hujan yang mengalir melalui ranting,

dahan selanjutnya ke batang dan jatuh ke tanah (Sri Harto, 1993).

Air hujan yang jatuh di atas permukaan vegetasi yang lebat terutama pada

permulaan hujan, tidak langsung mengalir ke permukaan tanah. Untuk sementara,

air tersebut akan ditampung oleh tajuk, batang, dan cabang vegetasi. Setelah

tempat – tempat tersebut jenuh dengan air, maka air hujan yang datang kemudian

akan menggantikan air hujan yang tertampung tersebut untuk selanjutnya menetes

ke tajuk, batang dan cabang vegetasi di bawahnya sebelumnya akhirnya sampai di

atas tumbuhan bawah, serasah dan permukaan tanah. Besarnya air yang

tertampung di permukaan tajuk, batang dan cabang vegetasi dinamakan kapasitas

simpan intersepsi (canopy storage capacity) dan besarnya ditentukan oleh bentuk,

kerapatan dan tekstur vegetasi (Asdak, 2004).

Secara lebih terperinci Sri Harto (1993) menjelaskan troughfall merupakan

bagian air hujan yang jatuh di sela – sela daun tanaman sampai ke permukaan

tanah. Bagian air ini dapat langsung merupakan air hujan atau bagian dari air

hujan yang tertahan pohon, akan tetapi telah melebihi kapasitas tampungan

(interception loss). Stemflow merupakan bagian air yang mengalir melalui ranting,

dahan dan selanjutnya ke batang pohon dan jatuh ke tanah. Bagian air ini

disatukan dengan troughfall. Skema intersepsi dapat dilihat pada Gambar 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Gambar 3. Skema intersepsi pada pohon (Gerrits, 2005).

Pembahasan intersepsi tidak hanya mengenai aliran batang dan air lolos.

Singh (1992) menyatakan bahwa ada beberapa defenisi lain yang harus dimengerti

dalam mempelajari intersepsi, antara lain Interception storage adalah banyaknya

air hujan atau salju yang ditahan oleh tajuk atau oleh benda lain seperti gedung,

pada waktu tertentu. Forest floor interception loss didefenisikan sebagai

banyaknya air hujan yang diintersepsi dan dievaporasikan oleh lantai hutan

sebelum terjadinya proses infiltrasi. Total interceptios loss merupakan besarnya

tingkat evaporasi dari air hujan atau salju yang mencair yang di intersepsikan oleh

benda lain atau tajuk vegetasi.

Intersepsi tajuk adalah bagian dari presipitasi yang tidak mencapai lantai

hutan; secara kuantitatif hal tersebut menyatakan perbedaan antara presipitasi,

jumlah air lolos dan aliran batang, Yaitu I = P – T – S. Dimana I adalah intersepsi

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

tajuk, P adalah presipitasi, T adalah air lolos dan S adalah aliran batang (Lee,

1990).

Jumlah troughfall bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan

hutan dan umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan

mencerminkan pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk. Intensitas rata – rata

troughfall lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah hujan, namun ukuran

tetesannya lebih besar (Lee, 1990).

Dari pernyataan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

besarnya intersepsi tidak ditemukan secara kuantitatif di lapangan, tetapi harus

melalui pengukuran dari air lolos, aliran batang dan presipitasi yang terjadi pada

waktu tertentu.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Intersepsi

Faktor Vegetasi

Faktor – faktor yang mempengaruhi intersepsi berdasarkan vegetasi yaitu

luas vegetasi hidup atau mati, bentuk daun dan cabang vegetasi serta dipengaruhi

oleh umur dari suatu vegetasi. Dalam perkembangannya bagian tanaman akan

mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan bagian tanaman yang

paling berpengaruh dalam intersepsi adalah perkembangan tajuk, batang dan

cabang pohon (Asdak, 2002).

Teklehaimanot dan Jarvis (1991) dalam Asdak (2002), menyatakan

bahwa pada hutan tanaman yang mempunyai berbagai jarak tanam yang berbeda

juga dapat mempengaruhi besar – kecilnya intersepsi. Pada tingkat kerapatan

vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing jarak tanamnya yaitu 2x2

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

m, 4x4 m, 6x6 m, dan 8x8 m memberikan hasil intersepsi yang berbeda sebesar

33 %, 24 %, 15 %, dan 9 % dari curah hujan total.

Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur

tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian – bagian

tertentu vegetasi akan mengalami pertumbuhan atau perkembangan. Pertumbuhan

bagian – bagian vegetasi yang mempunyai pengaruh terhadap besar kecilnya

intersepsi adalah perkembangan kerapatan/luas tajuk, batang dan cabang vegetasi.

Semakin luas atau rapat tajuk vegetasi semakin banyak air hujan yang dapat

ditahan sementara untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfir. Demikian juga

halnya dengan percabangan pohon. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

semakin tua, luas dan kerapatan tajuk kebanyakan vegetasi akan semakin besar.

Jumlah percabangan pohon juga semakin banyak. Oleh kombinasi kedua faktor

tersebut menyebabkan jumlah air hujan yang dapat ditahan sementara oleh

vegetasi tersebut menjadi semakin besar sehingga kesempatan untuk terjadinya

penguapan juga menjadi besar (Asdak, 2004).

Besarnya kapasitas cadangan tajuk tergantung pada luas permukaan daun

dan kulit kayu, kekasaran, orientasi, penyusunan, dan pembasahannya, serta pada

kekuatan angin dan gravitasi yang cenderung mengeluarkan partikel – partikel

presipitasi. Secara kuantitatif air lolos merupakan perbedaan antara presipitasi

dengan penjumlahan intersepsi tajuk dan aliran batang. Besarnya air lolos

bervariasi secara terbalik dengan kerapatan tegakan – tegakan hutan, dan

umumnya naik dengan jarak dari batang – batang pohon, dengan mencerminkan

pengaruh kerapatan terhadap intersepsi tajuk; pada tegakan – tegakan hutan padat

pola – pola air lolos dapat berasosiasi dengan pola – pola kandungan air tanah.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

Intensitas rata – rata air lolos lebih kecil dibandingkan dengan intensitas curah

hujan, namun ukuran – ukuran tetesannya lebih besar, dan dampak potensial

totalnya sebagai suatu kekuatan erosi adalah lebih besar. Distribusi air lolos yang

tidak merata pada lantai hutan disebabkan oleh variabilitas presipitasi berskala

kecil diatas tajuk dan oleh pengaruh mekanis dedaunan dan cabang – cabang

dalam mendistribusikan kembali tetesan – tetesan dan kepingan salju (Lee, 1990)

Besarnya intersepsi berubah – ubah sesuai dengan keragaman dari spesies,

umur dan kepadatan populasi dari suatu tegakan serta keadaan iklim di suatu

daerah. Dari total keseluruhan presipitasi, 10 – 20 % di intersepsikan kembali ke

atmosfir. Pohon pada hutan konifer mengintersepsikan air hujan lebih banyak dari

pada tipe tegakan yang menggugurkan daunnya (Chow, 1964).

Menurut Fleming (1975, dalam Sri Harto, 1993) luas bagian tanaman yang

dapat diperhitungkan berpengaruh terhadap kuantitas intersepsi adalah luas relatif

mahkota pohon (canopy), yang dinyatakan sebagai canopy density,yang

dinyatakan Dc = Av / A1; Dc adalah canopy density, Av adalah proyeksi mahkota

pohon, A1 adalah luas lahan yang mencakup Av.

Suatu kesimpulan umum yang baik tidak dapat diambil atas dasar

pengukuran intersepsi yang ada. Perbedaan ini beragam dengan komposisi jenis,

umur tanaman, kerapatan tegakan, musim dalam setahun dengan keragaman

dalam intensitas presipitasi (Seyhan, 1990).

Faktor Iklim

Selain faktor vegetasi, faktor yang mempengaruhi intersepsi adalah suhu

air, suhu udara (atmosfir), kelembapan, kecepatan angin, tekanan udara, sinar

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

matahari yang saling berhubungan. Faktor iklim termasuk jumlah dan jarak waktu

antara hujan dengan hujan lainnya, intensitas hujan dan kecepatan angin. (Mori,

2003).

Linsley et al. (1949) menambahkan angin mempengaruhi intersepsi dalam

dua cara yang berbeda. (1) angin memperbesar tingkat evaporasi dan

penyimpanan, (2) angin mengurangi jumlah penyimpanan maksimum. Pengaruh

ini terjadi secara berlawanan, dan pengaruh angin dalam meningkatkan dan

mengurangi intersepsi total, tergantung pada kecepatan angin, lamanya angin,

lamanya hujan, dan kelembapan udara. Dalam hujan yang tenang tanpa angin,

tingkat intersepsi relatif cepat sampai daya simpan penuh, dan kemudian

berkurang pada evaporasi yang lambat dalam kondisi yang tenang. Dalam hujan

dengan angin, tingkat awal intersepsi lebih banyak berkurang karena angin

menghembus air dari daun selama waktu penyimpanan menjadi penuh dan pada

saat yang sama kapasitas intersepsi berkurang. Tetapi meski setelah banyaknya air

disimpan dipermukaan vegetasi mencapai tingkat maksimum, angin menyebabkan

tingkat intersepsi jadi tinggi dengan pengaruhnya pada evaporasi.

Pengukuran Intersepsi

Pengukuran besarnya intersepsi pada skala tajuk vegetasi dapat dilakukan

melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan neraca volume (volume balance

approach) dan pendekatan neraca energi (energy balance approach). Cara yang

pertama adalah cara yang paling sederhana dan tradisional yang paling umum

dilakukan yaitu dengan mengukur curah hujan, aliran batang dan air lolos. Cara

kedua adalah perhitungan besarnya intersepsi dengan memanfaatkan persamaan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

matematis dengan memasukkan parameter – parameter meteorologi dan struktur

tajuk serta tegakan yang diperoleh di lapangan (Asdak, 2004).

Model matematika dalam perhitungan intersepsi yang diperkenalkan oleh

Rutter et al. (1971), dengan menggunakan pendekatan regresi empiris dikenal

dengan Model Rutter. Model Rutter ini mengkalkulasikan keseimbangan air pada

tajuk yang menampung air dan batang yang dialiri air. Karena banyaknya

kekurangan dalam model ini, Gash (1979) mengajukan solusinya dalam

perhitungan intersepsi yaitu Analytical Model Of Rainfall Interception. Parameter

yang digunakan dalam model ini adalah curah hujan, rata – rata evaporasi pada

tajuk, daya tampung tajuk, serta fraksi penutupan tajuk (Van Dijk dan Bruijnzeel,

2001).

(a). (b).

Gambar 4. Pengukuran intersepsi : (a) Pengukuran aliran batang (Boyle, 2001). (b) Pengkuran air lolos (Tschaplinski, 2006).

Intersepsi di daerah dengan hutan yang masih baik jelas juga relatif besar,

mengingat kerapatan pohon dan kerapatan daunnya. Besar intersepsi ini dapat

mencapai nilai rata – rata 15%. Jelas dari uraian diatas bahwa peran hutan dalam

memperkecil limpasan permukaan sangat besar, karena dengan demikian maka

debit maksimum akan diperkecil, sedangkan di lain pihak kandungan air tanah

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

akan menjadi besar sehingga aliran kecil sepanjang tahun dapat dipelihara (Sri

Harto, 1993).

Seyhan (1990) Meramalkan besarnya komponen kehilangan intersepsi

dalam persamaan neraca air adalah suatu hal yang sulit tanpa dilakukan suatu

pengukuran yang intensif. Namun beberapa pengertian umum diberikan sebagai

berikut :

1. Persentase intersepsi lebih besar untuk suatu kejadian hujan dengan jumlah

presipitasi yang kecil, yang berkisar dari 100% hingga sekitar 25% sebagai

rata – rata kebanyakan pohon.

2. Kehilangan intersepsi mungkin besar pada kawasan – kawasan dengan

evaporasi yang tinggi dan biasanya rendah pada kawasan – kawasan dimana

kehilangan tersebut dikompensasikan oleh kabut

3. Jumlah salju yang diintersepsikan pada hutan – hutan conifer beragam antara

13 hingga 27%.

Penakar – penakar presipitasi biasanya ditempatkan terbuka dan dengan

demikian tidak mengukur presipitasi yang sampai tanah dibawah suatu tajuk

vegetasi. Pengukuran intersepsi dilakukan dengan menentukan perbedaan antara

tangkapan presipitasi penakar dibawah dan didekat penutup vegetasi (Seyhan,

1990).

Penelitian Intersepsi Pada Berbagai Tegakan Hutan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwasanya pada musim pertumbuhan,

10 sampai 20% dari total jumlah hujan akan terintersepsikan. Hasil penelitian

yang lebih akhir menunjukkan bahwa besarnya air hujan yang terintersepsikan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

oleh tajuk hutan hujan tropis tidak terganggu di Kalimantan Tengah adalah

sebesar 11% (Asdak, 2004).

Menurut Kittredge (1948, dalam Asdak, 2004) menyatakan di daerah

beriklim sedang Amerika Utara pada curah hujan < 0,25 mm air terintersepsi

mencapai 100%. Sementara pada curah hujan > 1mm air hujan terintersepsi

berkurang menjadi antara 10 hingga 40%.

Hasil penelitian yang menghubungkan umur tegakan dengan perubahan

besarnya intersepsi yang terjadi menunjukkan bahwa semakin tua tegakan jumlah

intersepsi air hujan menjadi semakin besar. Dari hasil penelitiannya di Lembang,

Jawa Barat, Pudjiharta dan Sallata (1985, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa

pada tegakan Pinus merkusii dengan umur yang berbeda, masing – masing

tegakan dengan umur 10, 15, dan 20 tahun jumlah intersepsi yang dihasilkan

selama 93 kejadian hari hujan adalah 16 %, 22%, dan 31%.

Teklehaimanot dan Jarvis (1991, dalam Asdak, 2004) melaporkan bahwa

pada tingkat kerapatan vegetasi berdaun jarum yang berbeda masing – masing

dengan jarak tanam 2 x 2 m, 4 x 4 m, 6 x 6 m dan 8 x 8 m memberikan hasil

intersepsi hujan sebesar 33%, 24%, 15%, dan 9% dari curah hujan total. Tampak

bahwa semakin rapat, jumlah air hujan yang diuapkan kembali ke atmosfir

menjadi semakin besar.

Beberapa hasil penelitian mengenai intersepsi air hujan oleh tajuk dari

beberapa jenis Eucalyptus relatif kecil, contohnya pada E. saligna, E. hybrid dan

E. urophylla yaitu 12,2%; 11,65% dan 17,3% dari total curah hujan (Pujiharta,

2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ispana (2004) pada tegakan

Pinus merkusi umur 6 tahun di Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Propinsi

Sumatera Utara didapat besar aliran batang, air lolos dan intersepsi berturut – turut

yaitu 1,29%; 37,42%; 61,27% dari total curah hujan. Sedangkan besarnya

intersepsi pada hutan alam menurut Sembiring dan Mas’ud (1996) adalah 91,93%

dan pada tegakan Pinus merkusi berumur 35 tahun yaitu sebesar 91,93%.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara besarnya

intersepsi berbanding lurus dengan intensitas curah hujan. Semakin rendah

intensitas hujan maka intersepsi pada tajuk akan semakin rendah juga. Menurut

Sembiring dan Mas’ud (1996), untuk daerah dengan curah hujan yang rendah,

kehilangan air ini akibat intersepsi dapat menyebabkan semakin berkurangnya air

hujan yang mencapai tanah. Sebaliknya untuk daerah dengan curah hujan yang

tinggi dapat mencegah terjadinya banjir pada daerah tersebut.

Kegunaan intersepsi dalam bidang hidrologi tergantung pada karakteristik

iklim, fisik dan vegetasi. Pada kebanyakan studi analisis neraca air, intersepsi

dianggap penting untuk menentukan besarnya curah hujan bersih (net

precipitation) atau jumlah curah hujan yang tersedia untuk menjadi air infiltrasi,

air larian, aliran air bawah permukaan atau aliran tanah (Asdak, 2004).

Aliran batang dan air lolos mempunyai peranan yang sangat penting dalam

mendistribusikan nutrisi melalui curah hujan. Air hujan yang jatuh membawa

unsur yang diperlukan bagi tanaman. Bagian air hujan yang mengalir melalui

batang ataupun air lolos membawa unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

dengan jumlah dan konsentrasi yang berbeda yang akan dikembalikan kepada

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

tanah. Dengan demikian terjadi siklus unsur hara yang dikembalikan ke tanah

melalui guguran yang terjadi pada tanaman (Pujiharta, 2004).

Universitas Sumatera Utara