chapter ii

34
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Brotowali 2.1.1.Morfologi Tumbuhan Brotowali Brotowali merupakan tumbuhan merambat dengan panjang mencapai 2,5 m atau lebih, biasa tumbuh liar dihutan,ladang atau ditanam dihalaman dekat pagar dan biasanya ditanam sebagai tumbuhan obat. Batang sebesar jari kelingking, berbintil- bintil rapat,dan rasanya pahit. Daun tunggal,bertangkai dan berbentuk seperti jantung atau agak membundar, berujung lancip dengan panjang 7-12 cm dan lebar 5-10 cm. Bunga kecil, berwarna hijau muda atau putih kehijauan. Brotowali menyebar merata hampir diseluruh wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India. Brotowali tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar didaerah tropis. Cara perbanyakan tnaman ini sangat mudah yaitu dengan stek batang. 2.1.2. Sistematika Tumbuhan Brotowali Dalam dunia ilmiah,brotowali diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Dicotyledon Ordo : Ranunculales Famili : Menispermaceae Genus : Tinospora Species : Tinospora crispa(L.)MIERS.

Upload: jim-colins

Post on 09-Dec-2014

21 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

et

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tumbuhan Brotowali

2.1.1.Morfologi Tumbuhan Brotowali

Brotowali merupakan tumbuhan merambat dengan panjang mencapai 2,5 m atau lebih,

biasa tumbuh liar dihutan,ladang atau ditanam dihalaman dekat pagar dan biasanya

ditanam sebagai tumbuhan obat. Batang sebesar jari kelingking, berbintil- bintil rapat,dan

rasanya pahit. Daun tunggal,bertangkai dan berbentuk seperti jantung atau agak

membundar, berujung lancip dengan panjang 7-12 cm dan lebar 5-10 cm. Bunga kecil,

berwarna hijau muda atau putih kehijauan. Brotowali menyebar merata hampir diseluruh

wilayah Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara dan India. Brotowali

tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar didaerah tropis. Cara perbanyakan

tnaman ini sangat mudah yaitu dengan stek batang.

2.1.2. Sistematika Tumbuhan Brotowali

Dalam dunia ilmiah,brotowali diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledon

Ordo : Ranunculales

Famili : Menispermaceae

Genus : Tinospora

Species : Tinospora crispa(L.)MIERS.

2.1.3.Manfaat dan Kandungan Kimia Tumbuhan Brotowali

Brotowali (Tinospora crispa(L.)MIERS.) merupakan tumbuhan obat dari famili

menispermaceae yang serbaguna karena dapat digunakan untuk obat berbagai penyakit

seperti rematrik, kencing manis, sakit kuning, dan beberapa penyakit lainnya.

Masyarakat sudah biasa mnenggunakan tanaman ini untuk pengobatan berbagai

macam penyakit. Batangnya digunakan untuk pengobatan rematik, memar, demam,

merangsang nafsu makan, sakit kuning, cacingan, dan batuk. Air rebusan daun brotowali

dimanfaatkan untuk mencuci luka atau penyakit kulit seperti kudis dan gatal- gatal;

sedangkan air rebusan daun dan batang untuk penyakit kencing manis. Seluruh bagian

tanaman ini bisa digunakan untuk penyakit kolera

Banyaknya manfaat tumbuhan ini mungkin berkaitan dengan banyaknya jenis

senyawa kimia yang dikandungnya, antara lain, alkaloida, damar lunak, pati, glikosida,

zat pahit, pikroretin, harsa, barberin, palmatin, kolumbin, dan jatrorhize. Zat pahit

pikroretin merangsang kerja urat saraf sehingga alat pernafasan dapat bekerja dengan

baik. Kandungan alkaloid berberin berguna untuk membunuh bakteri pada luka. Selain

itu brotowali juga bermanfaat untuk menambah nafsu makan dan menurunkan kadar gula.

(www.medikaholistik.com).

Orang – orang kuno di desa – desa biasa memelihara tanaman brotowali.

Tanaman yang merambat dan rasanya sangat pahit itu banyak manfaatnya terutama untuk

mengobati beberapa penyakit. Dikenal juga sebagai tanaman obat, sehingga hampir

semua industri jamu memiliki kebun brotowali.

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium tanaman ini memngan dung pati, alkaloid

yang terdiri dari N-asetil-nornuciferin, N-formil-annonain, dan N-formilnornuceferin.

Disamping itu ditemukan pula suatu glikosida furanoditerpen yang berasa pahit. Pada

akar tanaman juga terdapat alkaloid berberin.

Sebagai obat tradisional air rebusan batang atau ranting brotowali manjur untuk

mengobati penyakit malaria, demam, penyakit kulit, serta membersihkn ginjal dan

menyembuhkan luka. Batang brotowali penuh ditutupi dengan kutil dan mengandung

banyak air. Rebusan batang brotowali juga merangsang kerja pernapasan dan

menggiatkan pertukaran zat sehingga dapat menurunkan panas.

Kandungan berberin untuk membunuh bakteri pada luka. Kandungan bahan yang

lain dimanfaatkan untuk menambah nafsu makan maupun menurunkan kadar gula darah.

Batang brotowali juga digunakan untuk pengobatan penyakit kuning, kencing manis dan

nyeri perut. Pada pemakaian sebagai obat luar, rendaman batang brotowali bisa

digunakan untuk membersihakan luka atau kudis.

Karena rasanya yang pahit, mungkin darah pemakai brotowali juga berasa pahit.

”Terbukti nyamuk pun tak mau menggigit”, kata Albertus Soetjipto yang biasa

mengkonsumsi brotowali. Ia mengaku dirumahnya kampung Manggarai, Jakarta, ia

menanam brotowali hingga tumbuh subur bahkan menjalar kemana – mana sampai keatas

genting.

Menanam brotowali sangatlah mudah. Hanya dengan memotong batangnya lalu

ditancapkan ditanah (stek), bisa hidup. Potongan batang yang akan ditanamtidak perlu

panjang, cukup satu jengkal saja bisa hidup, namun tanaman ini lebih suka ditanah yang

gembur dan ada perlindungan.(www.suaramerdeka.com).

2.2.Senyawa Organik Bahan Alam

Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat- sifat yang

dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi senyawa organik bahan alam, yaitu:

1. Klasifkasi berdasarkan Struktur Kimiawi

Klasifikasi ini didasarkan pada kerangka molekul dari senyawa yang bersangkutan.

Menurut sistem ini, ada 4 kelas senyawa organik bahan alam, yaitu:

a. Senyawa alifatik rantai terbuka atau lemak dan minyak

Contoh : asam- asam lemak, gula dana asam- asam amino pada umumnya

b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik

Contoh : Terpenoid, steroida

c. Senyawa aromatik atau benzenoid

Contoh : Golongan fenolat, golongan kuinon

d. Senyawa heterosiklik

Contoh : alkaloida, flavonoida

2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik

Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin, penisilin dan

prostaglandin, maka perhatian para ahli sering ditujukan terhadap isolasi dan penentuan

fungsi fisiologis dari senyawa-senyawa organik bahan alam tertentu.

Hampir separuh dari obat-obatan yang kita gunakan sehari-hari merupakan bahan-

alam, misalnya alkaloida dan antibiotik. Oleh karena itu senyawa organik bahan alam

dapat juga diklasifikasikan dari segi aktivitas fisiologik dari bahan alam yang

bersangkutan. Misalnya : kelas hormon, vitamin, antibiotik dan mikotoksin (racun yang

dihasilkan oleh jamur). Meskipun senyawa-senyawa dalam satu kelas mempunyai

struktur dan asal-usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat

korelasi yang dekat antara aspek-aspek tersebut dengan kegiatannya.

3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi

Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh-

tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme,

metabolit terakhir biasanya dibuang keluar tubuh, sedang pada tumbuh-tumbuhan,

metabolit tersimpan di dalam tubuh tumbuhan itu sendiri.

Pada mulanya beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuhan tertentu.

Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan

ternyata banyak konstituen tumbuhan tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang

dapat diisolasi dari spesies, genus, suku atau famili tumbuhan tertentu. Malah dalam satu

spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat

satu sama lain. Misalnya, “opium” dari Papaver somniferum mengandung dua puluhan

alkaloida termasuk alkaloida morfin, tebain, kodein dan narkotin yang kesemuanya

dibiosintesis dari prekusor yaitu 1-benzilisokuinolin melalui penggandengan/coupling

secara oksidasi. Oleh karena itu alkaloida - alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu

sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.

4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis

Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam mikroorganisme melalui

reaksi- reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. Dalam hal ini sumber utama dari karbon

biasanya adalah glukosa, yang dibiosintesis dalam tumbuhan hijau atau yang diperoleh

dari lingkungan dalam organisme.

Beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa

organik bahan alam yang berlangsung dalam mikroorganisme hidup. Basis dari teori ini

adalah keteraturan struktural yang teramati sejak awal sampai akhir reaksi. Teori yang

paling menonjol adalah “aturan isoprena” yang diusulkan oleh Ruzicka. Dia menyatakan

semua senyawa terpenoid terbentuk dari “unit isoprena” C5

.

Dari kesemua teori biogenesis ini dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa

organik bahan alam, yakni :

(a) Poliketida (asetogenin)

(b) Fenolat (fenilpropanoid)

(c) Isoprenoid

(d) Alkaloida

( Nakanishi, 1974).

2.2.1. Senyawa Alkaloida

Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen (biasanya dalam bentuk

siklik) dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam dunia tumbuh- tumbuhan dan

banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologi yang kuat. Beberapa dari efek

tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum ilmu kimia

organik berkembang.

Alkaloida “Cinchona” yang terkandung dalam kulit pohon Cinchona dan Remijia

misalnya telah dikenal oleh penduduk asli di pegunungan Andes. Quinin yang merupakan

salah satu konstituen utama dari ekstrak kulit kayu dilaporkan telah dikenal sebagai anti

malaria yang efektif sejak tahun 1633. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta

keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, sebenarnya dunia alkaloida

memerlukan satu bidang tersendiri (Tobing,1989).

Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal. Kebanyakan

alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kematian seperti

strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama beberapa abad dan

juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa jenis unggas.

Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang lama-kelamaan dapat

menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum digunakan oleh orang-orang

Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah pemimpin Yunani yang sering

menggunakannya. Beberapa alkaloida dapat menyebabkan halusinasi seperti grup opium

di dalam Papaver somniferum, turunan-turunan dari asam lisergis dalam tumbuhan

Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan parasit ( Torssell, 1983 ).

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan

lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam

tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium

sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas,

berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan,

dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning).

Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang

dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada

kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain

mengandung enantiomernya.

Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis

alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan - turunan dari pirimidin, purin dan

pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia. Semua

alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa asam

mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat memberikan

sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan menghasilkan

suatu senyawa.

Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari alkaloida

dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk morfologinya. Alkaloida

juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan biogenetik dibandingkan dengan

beberapa jenis asam amino yang merupakan pembentuk alkaloida, seperti glisin (di dalam

pembentuk N-heterosiklik), asam glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan dan

asam antralin. Kebanyakan alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis tumbuhan,

dari tumbuhan tingkat tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida dapat

ditemukan dalam hewan, dan alkaloida juga dapat ditemukan di dalam biota laut (

Robinson, 1995 ).

2.2.2.Klasifikasi alkaloida

Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak

diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida

sesesungguhnya, (b) protoalkaloida (c) pseudoalkaloida.

(a) Alkaloida Sesungguhnya.

Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas

fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen

dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman

sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin

dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan

alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.

(b) Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam

amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan

biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering

digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, N-

dimetiltriptamin .

(c) Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya

bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloida

stereoidal (konessin, purin dan kaffein ). ( Sastrohamijojo, 1996).

Senyawa alkaloid dapat diklasifikasikan dari segi sumber atau dari segi gugus

fungsi yang dikandungnya. Klasifikasi berdasarkan gugus fungsi adalah sebagai berikut:

1. Alkaloida feniletilamin, misalnya efedrin, dimana struktur dasar alkaloida

feniletilamin yaitu:

NH

2

2. Alkaloida pirolidin, misalnya higrin dari koka. Struktur dasar alkaloida

pirolidin yaitu:

N

3. Alkaloida piridin, misalnya asam nikotinat. Struktur dasar alkaloida piridin

yaitu:

N

4. Alkaloida perpaduan pirolidin dan piridin, misalnya nikotin. Struktur dasar

alkaloida pirolidin yaitu:

N

N

5. Alkaloida kuinolin, misalnya kinin. Struktur dasar alkaloida kuinolin yaitu:

N

6. Alkaloida isokuinolin, misalnya papaverin. Struktur dasar alkaloida

isokuinolin yaitu:

N

7. Alkaloida fenantren, misalnya morfin. Struktur dasar alkaloida fenantren

yaitu: N CH3

8. Alkaloida indole yang masih dapat digolong- golongkan menjadi:

a. Alkaloida sederhana, misalnya triptamin

b. Alkaloida ergot, misalnya serotonin

c. Alkaloida Harmala, misalnya ß-karbolin

d. Alkaloida Yohimbe, misalnya reserpin

e. Alkaloida Strychnos, misalnya brusin dan striknin.

(Tobing, 1989).

Ada juga yang mengklasifikasikan alkaloid berdasarkan bentuk inti dari

molekulnya yeng terdapat di alam, terbagi atas beberapa kelompok, yaitu :

1. Kelompok Feniletilamin

2. Kelompok Pirolidin

3. Kelompok piridin

1. Kelompok quinolin

5. Kelompok isoquinolin

6. Kelompok pirrolidin- piridin

7. Kelompok penantren (Finar,1983)

Dari beberapa alkaloida yang telah ditemukan, kita dapat melihat letak dari atom

Nitrogen yang membuat alkaloida bersifat basa. Ada beberapa alkaloida yang

mempunyai atom Nitrogen lebih dari satu, dan ada juga pengecualian yang diberikan

pada beberapa senyawa alkaloida yang mempunyai fungsi yang khas, dan juga jika

elemen penyusun alkaloida yang lainnya khas, seperti alkaloida steroidal, terpena,

spermidina, spermina, alkaloida peptide. Berdasarkan hal diatas maka kita dapat

membuat suatu klasifikasi dari alkaloida, yaitu :

1. Alkaloida Heterosiklik, dimana pada alkaloida jenis ini atom Nitrogen berada

pada cincin hetrosikliknya. Contohnya: Alkaloida pirolidin, Alkaloida indole,

Alkaloida Piperidine, alkaloida pyridine, alkaloida Tropane, Histiane, Imidazole

dan juga alkaloida isokuinolin.

2. Alkaloida dengan atom Nitrogen eksosiklik (atom Nitrogen berada diluar cincin

heterosiklis dan alkaloida Spermine). Contohnya: Casseine, Epehedrine,

Capsaicine, Uvariosamine.

3. Alkaloida Putrescina, Alkaloida Spermidina dan Alkaloida Spermine, ketiga jenis

alkaloida ini merupakan amina biogenetik, akan tetapi turunan-turunannya

(kebanyakan mengandung residu asam lemak atau asam sinamat) merupakan suatu

alkaloida. Contohnya Paucino yang merupakan turunan dari Pentaclethra sp, dan

Inandenine yang merupakan turunan dari Oncinotis sp

4. Alkaloida peptide, merupakan suatu bagian grup peptide yang bersifat basa, yang

telah dianggap merupakan suatu jenis alkaloida, misalnya ergot, integerrine, yang

mengandung asam amino triptopan.

5. Alkaloida diterpen, dimana alkaloida monoterpen dan seskuiterpen telah dianggap

sebagai alkaloida pirolidin, pipridine. Contoh alkaloida diterpen adalah Veatchine,

Atisine, Aeonitine, Heteratisine.

6. Alkaloida Steroidal, merupakan jenis alkaloida dengan bentuk cincin seperti

steroida dengan atom Nitrogen yang bergabung. Alkaloida steroidal dapat berada

baik pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Samandarino merupakan alkaloida

yang berasal dari hewan. Contoh alkaloida steroidaal yaitu : Paravallarine,

Terminaline, Conessine, Solasodine ( Manfred, 1995) .

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa – senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan

menjadi :

1. Alisiklik alkaloida, terdiri dari :

- Lupinin alkaloida

- Tropane alkaloida

2. Fenilalanin alkaloida, terdiri dari :

- Papaverin

- Morfin

- Amarilis alkaloida

3. Indole Alkaloida, terdiri dari :

- Caly canthin

- Quinin

- Vindolin

-Ajmalin dan Mitrphilin

- Reserpin

- Ibogaine

Dari klasifikasi diatas dapat disimpulkan bahwa belum ada keseragaman dalam

pengklsifikasian senyawa alkaloida (Hendrikson,1965).

2.2.3.Sifat- Sifat Alkaloida

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain

berdasarkan sifat basanya (kation). Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam

tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering ditangani di laboratorium

sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloid bebas

yang terdapat di alam, berupa senyawa padat berbentuk kristal tidak berwarna. Ada

beberapa alkaloid berupa cairan dan ada juga alkaloid yang berwarna yaitu berberina dan

serpentina berwarna kuning. Alkaloid pada umumnya bersifat optis aktif, dan biasanya

hanya satu dari isomer optik alkaloid yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa

kasus dikenal campuran rasemat; dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu

isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya (Robinson,1995).

Secara umum, golongan senyawa alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut

:

1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut

Dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti : eter, etanol dan juga

koroform. Beberapa alkaloida (seperti koniin dan nikotin) berwujud cair dan

larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning).

2. Bersifat basa; pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek.

3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam

fosfomolibdat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari

endapan-endapan ini, banyak juga yang memiliki bentuk kristal yang khusus

sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya (Tobing,1989)

2.2.4. Identifikasi, isolasi dan pemurnian alkaloida

2.2.4.1.Identifikasi alkaloida

Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, maka tidak dapat

diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal.

Pada umumnya sukar mengidentifikasi alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa

mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan

tersebut.

Di samping itu, karena kelarutan dan sifat alkaloida sangat berbeda-beda, cara

penyaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak akan berhasil

mendeteksi senyawa khas.

Sebagai basa, alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol

yang bersifat asam lemah ( HCl 1M atau asam asetat 10% ), kemudian diendapkan

dengan amonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari bahan tumbuhan lainnya

dapat diulang, atau pemurnian selanjutnya dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut

(ekstraksi cair- cair). Adanya alkaloida pada ekstrak nisbih kasar yang demikian dapat

diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Tetapi sebaiknya dilakukan

kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis dalam beberapa pengembang umum

yang dapat digunakan, dan kemudian kertas serta pelat disemprot dengan penampak

bercak untuk alkaloid. (Harborne, 1987 ).

Metode yang banyak digunakan untuk mendeteksi tanaman yang mengandung

alkaloida yaitu prosedur Wall, yang meliputi ekstraksi sekitar 20 gram bahan kering yang

direfluks dengan etnol 80 %. Kumpulan filtrat diuapkan, residunya dilarutkan dengan air,

disaring kemudian diasamkan dengan HCl 1 %. Lalu diuji dengan pereksi Meyer atau

dengan silikotungstat. Bila hasil positif larutan tersebut dibasakan dan diekstraksi dengan

pelarut organik dan diekstraksi kembali kedalam larutan asam. Jika larutan asam ini

menghasilkan endapan dengan pereksi alkaloida berarti tanaman ini mengandung

alkaloida. Fasa berair juga harus diteliti untuk menetukan adanya alkaloid kuartener.

Metode lain yaitu Kiang – Douglas, dimana bahan tanaman kering diubah

menjadi basa bebas dengan larutan amonia. Hasil yang diperoleh diekstraksi dengan

kloroform. Ekstrak dipekatkan dan diasamkan dengan cara menambahkan HCl 2 N.

Filtratnya diuji dengan pereksi alkaloida yaitu pereaksi Meyer, Wagner, Dragendorf, dan

Bouchardat. Perkiraaan kandungan alkaloida yang potensial dapat diperoleh dengan

menggunakan larutan encer standard alkaloida. (Geoffrey,1981)

Pereaksi deteksi yang paling umum dipakai untuk menyemprot kromatogram

pereaksi ini beberapa nonalkaloid meskipun kepekaan terhadap alkaloid sekitar sepuluh

kalinya, beberapa pereaksi lain untuk mendeteksi alkaloid adalah flouresamina dan

7,7,8,8-tetra sianokuinondimetana. Keuntungannya adalah bahwa pereaksi ini bereaksi

secara berlainan dengan jenis struktur yang berbeda. Alkaloid yang mengandung gugus

fenol dapat dideteksi dengan pereaksi khusus fenol. (Robinson, T . 1995)

Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisahkan jenis alkaloid.

Pereaksi ini sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam

yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismut, yodium. Pereaksi Mayer

mengandung kalium yodida dan merkuri klorida. Pereaksi Dragendroff mengandung

bismut nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrit berair. Pereaksi Bouchardat mirip

dengan pereaksi Wagner dan mengandung kalium yodida dan yodium. Berbagai pereaksi

tersebut menunjukkan perbedaan yang besar dalam hal sensitifitas terhadap gugus

alkaloid yang berbeda. (Sastrohamidjojo, 1996

2.2.4.2.Isolasi senyawa alkaloida

Senyawa alkaloida dapat diisolasi dalam larutan asam berair ( umumnya asam

hidroklorida, sitrat, atau tartarat ) dan komponen netral atau bersifat asam, yang

dipisahkan dengan ekstraksi pelarut. Setelah larutan berair dibasakan, maka alkaloida

yang diperoleh dapat diekstraksi dengan pelarut yang sesuai.

Metode lain yang umum digunakan untuk mengekstraksi yaitu dengn

penambahan amonia pada bahan tanaman,untuk mengubah garam alkaloida menjadi basa

bebas yang kemudian diekstraksi dengan pelarut organik yang cocok. Setiap alkaloida

kuartener yang terdapat pada bahan tanaman dapat dipisahkan dengan cara ini, tapi

dengan cara mengekstraksinya dengan alkohol.(Geoffrey,1981)

Pada umumnya alkaloid diekstraksi dari tumbuhan/ sumbernya melalui proses

sebagai berikut:

1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit dan/atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan

2. Alkaloid diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol,

kemudian pelarutnya diuapkan.

3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam

ammonium kuartener; kemudian diekstraksikan kembali

4. Garam N+

5. Campuran alkaloid- alkaloid yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai

cara, misalnya dengan metode kromatografi.

yang diperoleh direaksikan dnegan Natrium Karbonat (sehingga

menghasilkan alkaloid- alkaloid yang bebas) kemudian diekstraksi dengan pelarut

tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.

Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloid diperoleh dari tumbuh- tumbuhan namun, ada

juga yang dibuat sintesis, misalnya efedrin dan papaverin.

(Tobing, 1989).

Isolasi alkaloida menurut metode Hess

Sampel tumbuh – tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan

eter selama tiga hari dalam alat soklet, lalu endapan alkaloida dilarutkan dengan amonia.

Endapan diekstraksi lagi dengan pelarut lain misalnya kloroform, kemudian

dipisahkan melalui kromatografi kolom dengan adsorben silika gel dan benzen –

kloroform sebagai pengelusi.

Isolasi alkaloida menurut metode BT. Cromwell

Sampel tumbuh – tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan

HCl 0,2 M dalam etanol, biarkan kira – kira 10 jam pada temperatur 60 0

C, kemudian

saring dalam keadaan panas, ampas dicuci kembali dengan pelarut yang sama sampai

menunjukkan test negatif terhadap pereaksi alkaloida.

Ekstrak yang diperoleh didinginkan dan dibiarkan selama 12 jam, kemudian

disaring dan filtrat yang diperoleh ditambahkan NH4OH(p)

sampai pH 10, kemudian

didinginkan selama 24 jam pada temperatur kamar.

Endapan dipisahkan kemudian dilarutkan dalam kloroform lalu disaring. Ekstrak

yang diperoleh dipekatkan dan residunya dipisahkan untuk memperoleh alkaloida dengan

kromatografi.

Isolasi alkaloida menurut metode Harborne

Sampel tumbuh – tumbuhan dikeringakn dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan

pelarut metanol panas sampai menunjukkan test .negatif terhadap pereaksi alkaloida.

Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan alat rotari evaporator pada suhu

60 0C.sampai kepekatan menjadi 0,5 dari larutan seluruhnya. Ekstrak yang diperoleh

didinginkan kemudian diserbukkan dengan spent powder, MgO + Al2O3 ( 70 – 230

Mesh) dengan perbandingan 100 : 200 g/g, kemudian dikeringakn dalam oven pada suhu

60 0C.

Serbuk kering yang diperoleh diekstraksi kembali dengan kloroform, kemudian

ditest dengan pereaksi alkaloida. Ekstrak kloroform dipekatkan dengan alat rotavapor

sehingga diperoleh residu. Residu direkristalisasi sehingga diperoleh senyawa

alkaloida.(Harborne,1987)

2.2.4.3.Pemurnian senyawa alkaloida

Ekstrak alkaloida kompleks yang masih kotor dipisahkan menjadi komponen –

komponennya. Sejumlah metode konvensional dipakai untuk memurnikan campuran

alkaloida, hal ini tergantung pada campuran alkaloida yang diperoleh.

a. Kristalisasi langsung

Meskipun cara ini cukup sederhana, tetapi jarang memberikan hasil yang memuaskan

untuk pemisahan alkaloida murni, kecuali bila suatu alkaloida yang terdapat dalam bahan

tidak larut. Beberapa kombinasi pelarut yang sering digunakan untuk kristalisasi

alkaloida meliputi metanol, etanol berair, metanol – kloroform, metanol – eter, metnol –

aseton, dan etanol – aseton.

b. Metode gradien pH

Metode ini ditemukan oleh Svodoba untuk mengisolasi alkaloida anti leukimia

Catharantus roseus. Cara ini didasarkan pada kenyataan bahwa alkaloida indol dengan

struktur bervariasi yang terdapat pada tanaman mempunyai sifat basa yang sangat

berbeda. Campuran alkaloida kotor dilarutkan dalam larutan asam tartarat 2 % dan

diekstraksi dengan benzena atau etil asetat. Fraksi I akan mengandung alkaloida netral

ata;u bersifat basa lemah. Kemudian pH larutan dinaikkan dengan bilangan 0,5 lalu pH

dinaikkan hingga 9,0 dan diekstraksi dengan pelarut organik. Perbedaan pH

memungkinkan pemisahan secara bertahap antara alkaloida basa lemah dan alkaloida

basa kuat dari media basa. Alkaloida yang bersifat basa kuat diekstraksi terakhir

kali.(Geoffrey,1981)

2.2.5.Biosintesis alkaloida

Prekusor alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya,

biosintesis alkaloid lebih rumit. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan

heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama.

Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina, yaitu racun kulit

Strychnos. Amina tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa purina dan pirimidina

(misalnya kafeina) kadang- kadang digolongkan sebagai alkaloid dalam arti umum,

(Manito,1992).

Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya (misalnya solanina,

alkaloid-steroid kentang, Solanum Tuberosum) sebaiknya ditinjau dari segi biosintesis

sebagai terpenoid termodifikasi. Yang lainnya terutama berupa senyawa aromatik

(misalnya kolkhisina, alkaloid-tropolon umbi ‘crocus musim gugur’) yang mengandung

gugus basa sebagai gugus rantai samping. Banyak sekali alkaloid yang khas pada suatu

suku tumbuhan atau beberapa tumbuhan sekerabat. Jadi, nama alkaloid sering kali

diturunkan dari sumber tumbuhan penghasilnya, misalnya alkaloid Atropa atau alkaloid

tropana dan sebagainya. (Harborne,1987)

2.3.Metode Pemisahan

2.3.1.Kromatografi

Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett,

seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia mengumumkan

pemerian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Larutan eter

petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujung atas tabung gelas sempit

yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke dalam kolom itu dituangi eter

petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu terpisah dalam beberapa daerah.

Setiap daerah berwarna itu diisolasi dan diidentifikasi senyawa penyusunnya. Adanya

pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama kromatografi yang berasal dari bahasa

Yunani kromatos yang berarti warna dan graphos yang berarti menulis. (Sudjadi, 1986 ).

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di

laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami, mulai dari cara yang

sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, metode ini dapat dipakai

untuk setiap jenis senyawa. Kata kromatografi mengandung makna warna namun tidak

ada hubungannya langsung karena senyawa pertama yang dipisahkan dengan cara ini

adalah pigmen hijau tumbuhan.

Metode kromatografi, karena pemanfaatannya yang leluasa, dipakai secara luas

untuk pemisahan analitik dan preparatif. Hampir setiap campuran kimia, mulai dari bobot

molekul rendah sampai tinggi, dapat dipisahkan menjadi komponen-komponennya

dengan beberapa metode kromatgrafi. Jenis pemisahan analitik atau preparatif, tidak

ditentukan oleh ukuran cuplikan, melainkan lebih oleh keperluan khusus. Biasanya

kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan

kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran.

Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung

beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah:

1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)

2. Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi,

penjerapan)

3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)

Pada kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan

sedemikian rupa, sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga

sifat tersebut. Ini mungkin melibatkan dua sifat yang berlainan, misalnya penjerapan dan

kelarutan, atau mungkin melibatkan satu sifat pada dua lingkungan. Misalnya kelarutan

didalam dua cairan yang tidak bercampur. (Gritter, 1991).

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan

berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam), misalnya

kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya berdasarkan

mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi sebagian

dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan

pada mekanisme pada distribusi fasa.

Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh Tswett dan

dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan sangat luas untuk

analisis organik dan biokima. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silika gel atau

alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar.

Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka pemilihannya sangat terbatas.

Keterbatasan yang lebih nyata pada kenyataan bahwa koefisien distribusi untuk serapan

kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan menyebabkan pemisahan tidak

sempurna.

Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin dan

Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam terdiri

atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang berpori-pori.

Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan sehingga metode ini sangat

berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak tergantung pada kadar,

memberikan pemisahan yang lebih tajam.

Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas.

Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama seperti

halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam fasa padat

baru memperluas penggunaan teknik ini.

Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien dan

serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak

dikenalkan pertama kali oleh James dan Martin pada 1952. Hambatan yang paling utama

adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr pada

suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda pilihan

dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka ( Sudjadi,

1986 ).

Kromatografi adalah suatu tekhnik pemisahan tertentu dengan menggunakan dua

fasa yaitu fasa diam dan fasa gerak. Pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua

fasa ini. Cara- cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat- sifat dari fasa

gerak, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa tetap berupa zat padat maka

cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption chromatography) dan jika

zat cair maka kromatografi tersebut dikenal dengan kromatografi partisi (partition

chromatography).

Berbagai metode kromatografi memberikan cara pemisahan paling kuat di

laboratorium kimia. Gagasan dasarnya sederhana untuk dipahami; caranya beragam,

mulai dari cara yang sederhana sampai yang agak rumit dari segi kerja dan peralatan, dan

metode ini dapat dipakai untuk setiap jenis senyawa (Sastrohamidjojo,1985).

2.3.1.1. Kromatografi Kertas

Satu keuntungan utama kromatografi kertas ialah kemudahan dan kesederhanaannya pada

pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai

medium pemisahan dan juga penyangga. Keuntungan lain ialah keterulangan bilangan Rf

yang besar pada kertas sehingga penggukuran Rf merupakan parameter yang berharga

dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru.

Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau

penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang

sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol) dan dalam air.

Sebaliknya gaya jerap merupakan salah satu ciri utama kromatogarafi kertas dalam

pengembang air. Air murni ialah pengembang kromatografi yang sungguh-sungguh serba

guna dan dapat digunakan untuk memisahkan purina dan pirimidina biasa, dan secara

umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida tumbuhan. (Harbone,1987).

2.3.1.2.Kromatografi Lapisan Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan pemisahan komponen komponen berdasrkan adsorpsi

atau partisi oleh fasa diam dibawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut

pengembang campuran. Pemilihan pelarut pengembang atau pelarut pengembang

campuran sangat dipengaruhi oleh macam polaritas zat – zat kimia yang dipissahkan.

Fasa diam yang umum dan banyak dipakai adalah silika gel yang dicampur dengan

CaSO4

untuk menambah daya lengket partikel silika gel.(Mulja,1995)

Teknik ini dikembangkan tahun 1939 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorbent

dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fasa diam. Fasa

bergerak akan merayap sepanjang fasa diam dan terbentuklah kromatogram. Biasanya

yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adaqlah silika gel, tetapi kadangkala

bubuk selulosa dan tanah diatomae, kieselguhr dapat juga digunakan. Pemilihan sistem

pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan

digunakan. Sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi plat kromatografi (sebanyak

0,01 - 10µg zat).

Zat-zat bewarna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan reagen

penyemprot untuk melihat bercak suatu noda. Untuk menempatkan posisi suatu zat,

reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja. Bagian yang lain dapat diperoleh

kembali tanpa pengotoran dari reagen dengan pengerokan setelah pemisahan selesai.

Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap serta terlalu

labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT ( Khopkar, 2002 ).

Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) dapat dipakai dengan dua tujuan. Yang

pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif

dan preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang

akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.

Pada hakikatnya Kromatografi Lapisan Tipis melibatkan dua peubah: sifat fasa

diam atau sifat lapisan dan sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fasa

diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap

(kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair

(kromatografi cair- cair). Fasa diam pada KLT sering disebut penyerap, walaupun sering

berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair di dalam sistem kromatografi cair-

cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap pada KLT, yaitu:

silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome), dan

selulosa. Fasa gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut.

(Gritter,1991)

Pelarut-pelarut

Pemilihan pertama dari pelarut ialah bagaimana sifat kelarutnnya. Tetapi sering lebih

baik untuk memilih suatu pelarut yang tak tergantung daripada kekeuatan elusi sehingga

zat-zat elusi yang lebih kuat dapat dicoba. Yang dimaksud dengan kekuatan dari zat elusi

adalah daya penyerapan pada penyerap dalam kolom. Biasanya untuk penyerap-penyerap

yang polar seperti alumina dan silika gel, maka kekuatan penyerap naik dengan kenaikan

polaritas dari zat yang diserap. Menurut TRAPPE, kekuatan elusi dari dari deret-deret

pelarut untuk senyawa-senyawa dalam kolm dengan menggunakan silika gel akan

diturunkan dalam urutan sebagai berikut : airmurni < metanol < etanol < propanol <

aseton < etil-asetat < dietil-eter < kloroform < metilena klorida < benzena < toluena <

trikloroetilena < karbontetraklorida < sikloheksana < heksana.

Kekuatan dari pelarut-pelarut yang berbeda menurut WILLIAMS, pada karbon

aktif dalam kolom untuk asam-asam amino dan sakarida-sakarida diturunkan dalam

urutan : etil asetat < dietil eter < propanol < aseton < etanol < metanol < air murni.

Urutan ini adalah dari kenaikan polaritas atau penurunan panjang rantai dari

homolog. Sedangkan untuk alumina dan silika gel urutannya ada sebaliknya. Kemurnian

dari pelarut-pelarut harus setinggi mungkin.

Kemungkinan yang paling populer dan biasanya digunakan sebagai penyerap

adalah alumina, tetapi hal ini tak berarti bahwa yang lain tak dapat digunakan.

Suatu pengertian yang digunakan dalam hubungannya dengan penyerap-penyerap

adalah aktifas. Kadang-kadang ia dihubungkan dengan luas permukaaan spesifik dari zat

padat, yaitu luas permukaan yang diukur dalam meter persegi tiap gram, dalam hal

karbon, silika gel dan alumina dapat dibuat menjadi menjadi aktif dengan memiliki

permukaan spesifik beratus-ratus meter persegi.

Sedangkan seperti kalsium karbonat dan kalsium hidroksida, mempunyai

permukaan spesifik yang mempunyai ukuran dalam puluhan meter persegi atau kurang

sehingga mereka dikategorikan relatif tak aktif. Pada keadaan lain, pengertian ”aktifitas”

sering digunakan untuk menyatakan kekuatan dari serapan dan ini yang biasa digunakan

dalam kromatografi. Aktifitas kromatografi adalah spesifik yang mempunyai pengertian

zat padat dengan luas permukaan yang besar menyerap dengan kuat. Telah diketahui

bahwa kekuatan serapan dari gugus polar pada senyawa-senyawa polar naik dalam urutan

:

-COOR, = C = 0,

-NH2

Banyak penyerap seperti alumina, silika gel, karbon aktif, dan magnesium silikat

dapat diperoleh dalam perdagangan. Mereka sering memerlukan aktivasi sebelum

dipakai; hal ini dapat dikerjakan dengan pemanasan, mungkin dengan pengurangan

tekanan. Suhu optimum untuk aktvasi aluminium biasanya sekitar 400

, -OH, -COOH.

oC dan waktu

pemanasan cukup selama 4 jam. Untuk kebanyakan zat-zat padat, dengan tak ada

keterangan lebih lanjut pemanasan pada suhu 200oC selama 2 jam.

Zat-zat aktif yang digunakan sebagai penyerap dalam kromatografi kolom

merupakan katalisator yang baik; ini merupakan bahaya yang perlu mendapat perhatian.

Alumina, terutama bila bersifat alkali, sering menyebabkan perubahan kimia dan

menimbulkan reaksi-reaksi; sebagai misal, ia dapat menyebabkan kondensasi dari

aldehida-aldehida dan keton-keton, hingga bila hal ini terjadi, maka harus menggunakan

alumina yang bersifat netral. Silika gel dapat menyebabkan isomerisasi dari berbagai

senyawa-senyawa seperti terpen dan sterol (Sastrohamidjojo, 1985).

2.3.1.3.Kromatografi Kolom

Ada empat jenis kromatografi yang dapat dimasukkan dalam kromatografi kolom, yaitu

kromatografi adsorbsi, kromatografi pertukaran ion, kromatografi partisi, dan

kromatografi filtrasi gel. Secara umum dapat digambarkan,bahwa kromatografi tersebut

dilaksanakan dalam suatu kolom yang diisi dengan fase stasioner yang porous. Cairan

dipakai sebagai fase mobil untuk mengelusi komponen sampel keluar melalui kolom.

Dalam kromatografi adsorbsi, komponen yang dipisahkan secara selektif

teradsorbsi pada permukaan adsorben yang dipakai untuk bahan isian kolom. Dalam

kromatografi partisi komponen yang dipisahkan secara selektif mengalami partisi antara

lapisan cairan tipis pada penyangga padat yang bertindak sebagai fase stasioner dan eluen

yang bertindak sebagai fase gerak. Kromatografi pertukaran ion memisahkan komponen

yang berbentuk ion. Komponen-komponen ion tersebut yang terikat pada penukar ion

sebagai fase stasioner secara selektif akan terlepas atau terelusi oleh fase gerak. Dalam

kromatografi filtrasi gel, kolom diisi dengan gel yang permiabel sebagai fase stasioner.

Pemisahan berlangsung seperti proses pengayakan, yang didasarkan atas ukuran molekul

dari komponen yang dipisahkan. (Adnan,1997)

Kolom kromatografi atau tabung untuk pengaliran karena gaya tarik bumi

(grafitasi) atau sistem bertekanan rendah biasanya terbuat dari kaca yang dilengkapi

dengan keran jenis tertentu pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut. Ukuran

keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya sekurang- kurangnya

10 kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100 kali.

Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita

pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam atau

bahkan tabung plastik. Pelarut (fasa gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena

aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong oleh tekanan. Pita senyawa linarut

bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa

fraksi ketika keluar dari alas kolom.

Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama

dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar tercipta

kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan biasanya pompa

mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang halus. Ini perlu karena

ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan kromatografi lebih cepat, jadi

memperkecil difusi. Ketiga detektor telah dikembangkan sehingga diperoleh analisis

senyawa yang bersinambungan ketika senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini

dapat dipakai untuk membagi- bagi fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan

tepat, dapat memberikan data kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada.

Akhirnya penyerap baru dan cara pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga

memungkinkan derajat daya pisah yang tinggi tercapai. ( Gritter, 1991 ).

Pemilihan pertama dari pelarut untuk kromatografi kolom ialah bagaimana sifat

kelarutannya. Tetapi lebih baik untuk memilih suatu pelarut bergantung pada kekuatan

elusinya sehingga zat – zat elusi yang lebih kuat dapat dicoba. Yang dimaksudkan dengan

kekuatan elusi ialah daya penyerapan pada penyerap dalam kolom. Biasanya pada

penyerap – penyerap yang polar seperti alumina dan silika gel, maka kekuatan

penyerapan baik dengan naiknya polaritas zat yang diserap. Menurut TRAPPE, kekuatan

elusi dari deret – deret pelarut untuk senyawa – senyawa elusi dalam kolom dengan

menggunakan silika gel akan diturunkan dalam urutan sebagai berikut.

Air murni, methanol, etanol, propanol, aseton, etil asetat, dietil eter, kloroform, metilena

klorida, benzene, toluene, trikloroetilena, karbon tetraklorida, sikloheksana,

heksana.(Stahl,1990).

2.4. Teknik Spektroskopi

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi

cahaya atau elektromagnet dapat menyerupai gelombang. Beberapa sifat fisika cahaya

paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan

dengan sifat partikel. (Creswell,1982).

Pada zaman awal kimia organik, penetapan struktur senyawa baru sering

merupakan tugas yang berat. Tetapi sejak tahun 1940-an, munculnya bermacam-macam

jenis spektroskopi sangat membantu menyederhanakan masalah ini. Metode spektroskopi

mempunyai banyak keuntungan. Biasanya hanya diperlukan sejumlah kecil untuk

analisis. Dan kadang-kadang jumlah itupun dapat diperoleh kembali (tidak musnah atau

rusak). Pengerjaannya cepat, biasanya hanya diperlukan beberapa menit saja. Sering

sekali diperoleh informasi struktur yang lebih banyak dari spektra dibandingkan dengan

metode laboratorium biasa. (Hart,Harold.1983).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus

fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi tentang

bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi yang

menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen.

Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap dari

molekul yang tidak diketahui. ( Pavia, 1979 ).

2.4.1. Spektrofotometri Inframerah ( FT-IR )

Spektrum infra merah suatu senyawa memberikan gambaran menegenai berbagai gugus

fungsional dalam sebuah molekul organik, tetapi hanya memberikan petunjuk mengenai

bagian hidrokarbon molekul.

Sinar infra merah ialah bagian spektrum elektromagnetik yang berada diantara

daerah tampak dan daerah mikro. Bagi ilmuwan organik sebagian besar kegunaannya

terbats pada frekwensi antara 4000 dan 666 cm-1. Daerah radiasi spektroskopi infra

merah atau infra red spectroscopy (IR) berkisar pada bilangan gelombang 12800 – 10

cm-1

Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam daerah

atau pada panang gelombang 0,78 – 1000 m.

a. IR dekat (12800 – 4000 cm-1 ; 3,8 – 1,2 x 1014

b. IR tengah ( 4000 – 200 cm

Hz ; 0,78 – 2,5 m) -1 ; 0,0121 – 6 x 1014

c. IR jauh ( 200 – 10 cm

Hz ; 2,5 – 50 m) -1 ; 60 – 3 x 1011

daerah yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan praktis adalah daerah IR

tengah.

Hz ; 50 – 1000 m)

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi

getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100 cm-1

(panjang gelombang lebih daripada 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan

diubah menjadi putaran energi molekul. Penyerapan ini tercantum, namun spektrum

getaran terlihat bukan sebagai garis – garis melainkan berupa pita – pita. Hal ini

disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi

putaran. Pita energi putaran yang penting terletak antara 4000 – 600 cm-1

Untuk menganalisa suatu senyawa yang belum diketahui, perhatian harus

dipusatkan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional utama seperti

C=O ; C-H ; C-O ; C=C dan NO

.

2

Beberapa syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam menafsirkan sebuah

spektrum infra merah :

.

a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai.

b. Spektrum harus dibuata dari senyawa yang cukup rumit.

c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sebagai pita akan teramati pada kerapatan atau

panjanggelombang yang semestinya. Kalibrasi yang benar dapat dilakukan

dengan baku – baku yang dapat dipercaya, misalnya polistiren.

d. Metode penanganan cuplikan.( Silverstein, 1984 ).

Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang

(stretching) dan vibrasi lentur (bending vibrations).

1. Vibrasi Regang

Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara terus-

menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak

simetris.

2. Vibrasi Lentur

Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi lentur

yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi luar bidang

(waging dan twisting) ( Noerdin, 1999 ).

Vibrasi spektrum Infra merah dari amina primer dan sekunder yang sangat khas

dapat dihubungkan dengan adanya ikatan N-H. Keduanya dalam bentuk alkil dan aril

amina primer dapat ditunjukkan dengan adanya dua buah vibrasi N-H yang merupakan

sebuah ikatan stretching yang asimetrik ditunjukkan pada panjang gelombang 3490 cm-1

dan juga sebuah ikatan stretching simetrik pada panjang gelombang mendekati 3400 cm-1

. Serapan pada bagian ini dapat terjadi karena adanya ikatan hidrogen, akan tetapi

pengaruh dari ikatan hidrogen ini pada N-H tidak sama dengan pengaruh ikatan hydrogen

0-H pada vibrasi molekulnya. Dimana ketika ikatan hidrogen intra molekul terjadi, maka

akan membentuk sebuah kompleks yang menyebabkan serapan panjang gelombang pada

3300-3000 cm-1

. ( Silverstain, 1986 ).

Vibrasi regang N-H juga dipengaruhi oleh ikatan hidrogen, tetapi pengruhnya

terhadap pergeseran frekuensi vibrasi lebih kecil. Pada amin tersier, tidak mungkin terjadi

ikatan hidrogen. Pada amin primer puncak serapan berupa doblet yang disebabkan regang

N-H tak simetris dan regang N-H simetris. Kedua doblet ini terpisah satu sama lain

sebesar 100 cm-1

dan besarnya pemisahan ini tidak tergantung pada konsentrsi.

Serapan vibrasi regang N-H dalam amin sekunder pada umumnya hanya

memberikan satu puncak tunggal, kecuali bila tejadi ikatan hidrogen intra atau antar

molekul. Salah satu puncak dari amin sekunder itu berasal dari N-H bebas dan N-H yang

melakukan ikatan hidrogen. Puncak yang berasal dari N-H yang berikatan hidrogen akan

hilang, bila konsentrasi larutan diperkecil. Jadi dalam larutan sangat encer, puncak

serapannya singlet atau tunggal, dan frekwensi vibrasinya jauh lebih besar dari frekwensi

dalam larutan pekat. Puncak doblet juga akan terjadi bila gugusan N-H atau O-H suatu

molekul jumlahnya masing – masing dua. Vibrasi lentur N-H dari amin primer biasanya

memberikan puncak serapan antara 1580 – 1650cm

(Noerdin,1999)

-1

Amina sekunder memberikan satu vibrasi molekul N-H pada panjang gelombang

3450-3300 cm-1 . Sebuah frekuensi serapan yang tinggi biasanya menunjukkan sebuah

aril dan alkil sekunder, ketika sebuah serapan terjadi pada panjang gelombang 3350-3300

cm-1

menunjukkan sebuah alkil amina sekunder, akan tetapi amina tersier tidak

menunjukkan adanya vibrasi molekul N-H.

Vibrasi C-N dari amina akan terjadi dengan vibrasi molekul sama dengan yang

dimiliki oleh ikatan C-C dan C-0 ( biasanya mendekati panjang gelombang 1350-1200

cm-1 ) dan data ini tidak cocok dalam penentuan strukturnya. N-metil amina hadir dengan

vibrasi molekul mendekati 2750 ±50 cm-1

.(Ternau,J.R.1979).

Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama

saja yang teramati di dalam inframerah. Medan listrik yang berganti-ganti, yang

dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran menjodohkan

getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang berayun ( Silverstain,

1986 ).

2.4.2. Spektrometri Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1

H-NMR )

Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan

alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan

informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR

memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom

hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap

atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ).

Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang ditunjukkan

pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada δ 0,5 sampai 3 ppm,

sedangkan serapan amina aromatik berada pada δ 3,0 sampai 5,0 ppm. Sebagai hasil dari

adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer maka pergeseran

kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini tergantung pada pelarut,

konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan alkohol. Sama juga dengan

alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari N-H dengan menggunakan

deuterium yaitu D2

O. Serapan proton dari N-H juga dapat dengan mudah diketahui

dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan kontaminan yang mendekati

peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air ( Alan, 1981 ).

Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu :

1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum

puncak tunggal yang kuat.

CH

H3

3C Si CH

CH3

2. TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke dalam

larutan sampel dalam pelarut CDCl

3

3 atau CCl4

Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan terhadap

TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektro positif dibandingkan atom C.

.

TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H2

O ataupun air

berat ( Muldja, 1995 ).

Efek Perisai ( Shielding Effect )

Proton yang akan ditentukan dengan spektrometer RMI berada didalam lingkungan atom

– atom yang lain. Momen magnet setiap inti didalam atom berbeda – beda besarnya.

Sebagai contoh µH > µF >µP. Agar terjadi resonansi pada ketiga atom tersebut maka

atom P memerlukan H0 yang lebih besar. Demikian pengaruh elektron yang mengelilingi

inti akan menghasilkan medan magnet sekunder yang mentang H0. seolah –olah elektron

yang mengelilingi inti bertindak seperti perisai yang melindungi medan magnet inti

terhadap pengaruh H0, sebagai contoh CH4 yang keempat protonnya lebih terlindungi

oleh awan elektron, sedangkan H –

tidak mempunyai awan elektron.

Karena setiap proton dalam molekul zat organik beranekaragam, maka setiap

proton didalam molekul zat organik membrikan tetapan perisai ( δ ) yang berbeda. Ada

dua hal yng sangat berpengaruh terhadap tetapan perisai yang menunjukkan kerapatan

elektron terhadap proton yaitu adanya efek polar dan efek induksi. (Mulja,1995)

Pergeseran Kimia

Spektroskopi NMR dalam kimia tidak didasarkan pada kemmpuannya untuk membeda –

bedakan unsur dalam suatu senyawa, tetapi didasarkan pada kemampuannya untuk

mengetahui inti tertentu dengan memperhatikan lingkungannya dalam molekul.

Frekuensi resonansi individu intidipengaruhi oleh distribusi elektron pada ikatan kimia

dalam molekul, dengan demikian harga frekwensi resonansi suatu inti tertentu tergantung

pada struktur molekul.

Untuk memberikan gambaran NMR sebagai gambaran inti adalah proton,sebagai

benzil asetat akan menghasilkan tiga sinyal NMR yang berbeda yaitu masing – masing

untuk satu proton fenil, metilen, dan gugus metil. Hal ini dihasilkan oleh pengaruh

lingkungan kimia yang berbeda pada suatu proton tersebut dalam molekul, keadaan ini

dikenal dengan pergeseran kimiafrekwensi resonansi atau lebih sederhana sebagai

pergeseran kimia.

Tetrametil silan (TMS) merupakan senyawa yang memenuhi persyaratan yang

dimaksud. Sinyal TMS sangat jelas dan pergeseran kimianya berbeda terhadap

kebanyakan resonansi proton lain. Sehingga sinyal resonansi cuplikan jarang teramati

saling tindih dengan TMS. Senyawa TMS memiliki sifat inert, mudah menguap,

merupakan pelarut yang baik untuk senyawa organik sehingga mudah dipisahkan setelah

cuplikan selesai dibuat spektrum. Jadi skala δ resonansi magnetik proton didasarkan

pada standar ini (TMS). (Sastrohamidjojo,1996)

Resonansi magnetik inti memiliki kegunaan yang besar karena tidak setiap proton

dalam molekul beresonansi pada frekwensi yang identik sama. Ini disebabkan oleh

kenyataan bahwa berbagai proton dalam molekkul dikelilingi elektron dan menunjukkan

sedikit perbedaan lingkungan elektronik dari suatu proton dengan proton lainnya. Proton

– proton ini dilindungi oleh elektron – elektron yang mengelilinginya.

Didalam medan magnet, perputaran elektron – elektron valensi dari proton

menghsailkan medan magnet yang melawan medan magnet yang digunakan, hingga tiap

proton dalam molekul dilindungi dari medan magnet yang digunakan yang mengenainya

dan besarnya perlindungan ini tergantung pada kerapatan elektron yang mengelilingi inti,

maka makinbesar pula medan magnet yang digunakan. Akibat secara keseluruhan adalah

inti/proton merasakan adanya pengurangan medan yang mengenainya. Karena inti

merasakan medan magnet yang lebih kecil, maka ia akan mengalami presesi pada

frekwensi yang lebih rendah. Setiap proton dalam molekul mempunyai llingkkungan

kimia yang sedikit berbeda dan mempunyai perloindungan elektron yang sedikit berbeda

yang akak mengakibatkan dalam frekwensi resonansi sedikit berbeda. (Fessenden, 1997)