cerita rakyat daerah muna
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

CERITA RAKYAT DAERAH MUNA
WA ODE KAENGUFAARI
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Kepala Kampung (Kinoliwu) yang mempunyai
seorang gadis bernama Wa Ode Kaengufaari. Berita tentang kehidupan mereka sampai pula
pada Penguasa Langit (Kinolani) yang mempunyai seorang poutra bernama La Ode
Marabhoa Lemba.
Suatu ketika, orang-orang kampung yakni laki-laki perempuan secara bersama-sama pergi
di kebun untuk mengambil ubi talas. Ikut pula di dalamnya Kaengufaari. Walaupun ia
dilarang oleh orang tuanya, “Tidak usah kamu ikut Ambe!” Untuk apa juga kamu ke sana,
“kata ayahnya.” Namun, Wa Ode Kaengufaari tetap berkeras, pokoknya ia harus ikut juga.
Bahkan ia berteriak-berteriak sambil menghentak-hentakkan kakinya. Akhirnya ia diajak ke
kebun bersama kedua orang tuanya.
Setibanya mereka di kebun, ayah dan ibunya langsung mengambil ubi talas. Sementara Wa
Ode Kaengufaari didudukkan di belakang kedua orang tuanya, persis di tengah-tengah kebun.
Tidak lama kemudian Wa Ode Kaengufaari melihat seekor burung yang turun dari
ketinggian. Wa Ode Kaengufaari berteriak, “Burung apa itu? Tinggi sekali”. Secara spontan
ayah dan ibu Wa Ode Kaengufaari langsung mengusir burung itu sambil berkata,”Banyaknya
juga yang diherankan anak ini”.
Burung itu makin lama makin rendah terbangnya. Setelah diamati secara dekat ternyata
“Elang Lemba”. Ia terus rendah mengitari kebun Kepala Kampung itu. Tiba-tiba burung itu
menyambar Wa Ode Kaengufaari lali diterbangkannya ke langit. Kedua orang tuanya
berteriak sekeras-kerasnya. Namun apa hendak di kata, sudah kodratnya Wa Ode
Kaengufaari diterbangkan ke langit. Padahal elang yang dimaksud adalah La Ode Marabhoa
Lemba, anak dari seorang Penguasa Langit.
Orang tua Wa Ode Kaengufaari akhirnya tidak lagi melanjutkan pekerjaan mereka
menggali ubi talas, keduanya pulang sambil menangis. Sementara La Ode Marabhoa Lemba,
setibanya di langit langsung disambut oleh kedua orang tuanya. Mereka merasa kaget setelah
melihat seorang gadis yang dibawa oleh anak itu, ternyata seorang gadis yang sangat cantik.
Walaupun La Ode Marabhoa Lemba telah ditunangkan dengan seorang gadis sebangsanya
yang ada di langit yakni Wa Ode Anamutaari, namun ia tetap mau mengawini Wa Ode
Kaengufaari. Kemudian kawinlah mereka (La Ode Marabhoa Lemba dan Wa Ode
Kaengufaari). Perkawinan mereka semakin lama semakin intim, mengikuti pergantian siang
dan malam hingga mengandung seorang bayi.
Dalam keadaan seperti itu, diam-diam La Ode Marabhoa Lemba menjalin hubungan

dengan mantan pacarnya yakni Wa Ode Anamutaari. Mereka selalu jalan bersama, bahkan
pergi mandi pun selalu bersama-sama. Mereka hanya lewat saja di rumah orang tua La Ode
Marabhoa Lemba.
Setiap kali La Ode Marabhoa Lemba dan Wa Ode Anamutaari, selalu dilihat oleh
seseorang yang bernama Wa Oda. Setiap kali mereka lewat, Wa Oda selalu berteriak
memanggil Wa Ode kaengufaari,”O…Wa Ode Kaengufaari, lihatlah Wa Ode Marabhoa
Lemba sedang bersama Wa Ode Anamutaari!” Wa Ode Kaengufaari hanya
menjawab,”Sewotmu Wa Oda. Sakitnya kepalaku.”
Tidak lama kemudian, lewat lagi La Ode Marabhoa bersama Wa Ode Anamutaari. Kali ini
mereka pergi mandi. Lagi-lagi Wa Oda berteriak memanggil Wa Ode Kaengufaari,”O…Wa
Ode Kaengufaari, lihat La ode Marabhoa Lemba lewat. Ia pergi mandi dengan Wa Ode
Anamutaari.” Wa Ode Kaengufaari hanya menjawab,”Buat apamu Wa Oda biarkan saja dia.”
Lama-kelamaan melahirkanlah Wa Ode Kaengufaari. Laki-laki anaknya. Sementara La
Ode Marabhoa Lemba, tidak pernah lagi pulang ke rumahnya. Setelah anaknya tumbuh
menjadi bayi yang sehat, Wa Ode kaengufaari membuat bekal 40 buah ketupat dan 40 butir
telur. Dia ditanya oleh mertuanya.
“Untuk apa itu Ambe?”
“Untuk bekalku”, jawab Wa Ode Kaengufaari.
“Memangnya kamu mau ke mana?”, tanya mertuanya lagi.
“Saya mau pulang di kampung ayahku di dunia”, jawab Wa Ode Kaengufaari kembali.
“Kamu lewat di mana”, bertanya mertuanya.
“Pokokya saya mau pergi saja, entah ke mana”, jawabnya.
Wa Ode Kaengufaari kemudian berpamitan kepada mertuanya untuk berangkat. Ia pergi
tidak tahu ke mana arah perjalanannya. Siang hari ia berjalan dan malam hari ia tidur. Begitu
seterusnya. Tanpa diduga, ia seolah-olah melihat gunung yang menurut pikirannya gunung
itu berhubungan dengan alam dunia.
Ia langsung menginjak gunung itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara,”Siapa yang
menginjak-injak punggungku itu?”mendengar suara itu Wa Ode kaengufaari
menjawab,”Saya Wa Ana”. “Memangnya kamu hendak ke mana?”, suara itu kembali
terdengar.”Saya mau menemui ayah dan ibuku di dunia”, jawab Wa Ode Kaengufaari.”O…
begitukah”, jawab gunung itu. Gunung itu berkata lagi,”Apakah kamu membawa bekal”.
“Ya, saya membawa bekal”, jawab Wa Ode Kaengufaari”. “Kalau begitu, saya mau makan
dulu”, kata gunung itu. Wa Ode Kaengufaari langsung memberikannya.
Setelah makan, berkata lagi gunung itu. Ternyata gunung itu seekor ular besar. Ia berkata

kepada Wa Ode Kaengufaari, “Tututplah matamu, lalu berpeganglah kuat-kuat di
punggungku, nanti saya suruh buka mata, baru buka matamu”.”Ya”, jawab Wa Ode
Kaengufaari.
Wa Ode kaengufaari membuka matanya, ternyaya ia telah sampai di dunia, persis muka
pintu ayahnya. “Turunlah, saya mau pulang”, kata ular itu.
Melihat Wa Ode Kaengufaari di depan pintu, ayah dan ibunya merasa kaget dan terharu.
Betapa senngnya hati mereka saat itu. Lantaran senangnya, di rumah Kepala kampung ini
diadakan pesta syukuran karena wa Ode Kaengufaari telah kembali di tengah-tengah mereka.
Orang tua Wa Ode Kaengufaari bertanya,”Apakah kamu sudah kawin, anakku?”. Wa Ode
Kaengufaari tidak menjawab, ia dudukk diam saja. Lebih lanjut ayahnya \berkata,”Kalau
kamu sudah kawin, tidak usah cerai”. “Saya belum kawin”, jawab Wa Ode Kaengufaari.
Mulai saat itu, rumah Kepala Kampung banyak dikunjungi orang. Setiap hari orang
berdatangan. Ada datang yang menumbuk padi, memotong dan membelah kayu buat pesta
kesyukuran atas kembalinya Wa Ode Kaengufaari.
Sementara itu, La Ode Marabhoa lemba di langit, telah kembali ke rumah ayahnya.
Setibanya di rumah, ia menanyakan Wa Ode Kaengufaari. Padahal, dijawab oleh ibunya, Wa
Ode Kaengufaari telah pergi meninggalkanmu karena kelakuan burukmu. Mendengar tiu, La
Ode Marabhoa Lemba lalu meminta ibunya agar dibuatkan pula bekal, yakni 40 buah ketupat
dan 40 butir telur guna menyusul Wa Ode Kaengufaari.
Ibunya berkata, “Kamu menyusulnya dimana, anakkua? Siapa tahu ia telah musnah
diterbangkan oleh angin”.”Pokoknya saya harus menyusulnya”, kata La Ode Marabhoa
Lemba. begitu bekalnya lengkap, ia menggendong anaknya dengan sarung lalu pergi juga.
Sama halnya dengan perjalanan Wa Ode Kaengufaari yakni malam ia tidur dan siang ia
meneruskan perjalanannya.akhirnya, pada suatu saat ia juga menemukan gunung lalu ia
menginjaknya. Padahal, tiba-tiba terdengar suara,”Siapa yang menginjak-injak punggungku
itu?”
“Kami Wa Owa. Saya mau mencarikan ibunya anak ini, sudah lama dia pergi”, kata La Ode
marabhoa Lemba.
Tidak lama kemudian, gunung itu berkata lagi,”Adakah bekalmu?”
“Ya”, jawab La Ode Marabhoa Lemba.
“Berikan saya makan kasihan”, kata gunung itu.
Diberikanlah ia makan oleh La Ode Marabhoa Lemba. setelah makan, berkata lagi gunung
itu kepada La Ode Marabhoa Lemba,”Tutup matamu, lalu berpeganglah kuat-kuat. Nanti
saya suruh buka mata, baru buka matamu”. “Ya”, jawab La Ode Marabhoa Lemba. kemudian

merambat pulalah gunung tadi, terasa bergetar lagi isi dunia.
La Ode Marabhoa disuruh buka mata. Padahal, ia telah tiba persis di muka pintu Kepala
Kampung. Sementara gunung itu menjelma menjadi ular dan berkata,”Saya pulang dulu”.
Pada saat itu, di rumah Kepala Kampung dipadati oleh manusia dalam rangka pesta
syukuran atas kembalinya Wa Ode Kaengufaari. Tidak perduli dengan orang-orang yang ada,
La Ode Marabhoa Lemba membuka sarung gendongannya dan anak itu langsung berlari
mencari Wa Ode Kaengufaari, ibunya. Ia mencarinya untuk menyusu. “Kasihan anak ini,
mengapa ia harus minta dibukakan kutang”, kata Wa Ode Kaengufaari.
Sementara itu, La Ode Marabhoa lemba tetap berdiri di muka tangga. “Jangan izinkan La
Ode yang itu ke atas rumah, tidak baik sifatnya”, kata Wa Ode kaengufaari. Tetapi, orang
tuanya tetap mempersilahkannya ke atas rumah. Melihat keadaan yang demikian, orang-
orang yang datang saat itu secara spontan pulang, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa
wa Ode kaengufaari telah bersuami.
Terjemahan
WA ODE KAENGUFAARI
Anaghaini naando semie Kinoliwu bhe kalambeno neano Wadhe Kaengufaari. Sampe-
sampe nokobhirita ampa tendo Kinolani. Kama o Kinolani ini bhe anamoghaneno dhua,
neano Adhe Marabhoa Lemba.
Naseha-sehae ndokinoliwu, anamoghane bhe anarobhine dakumala daeseli ghofa we galu.
Garaa kalambe koneaghoono Wadhe Kaengufaari neangkafi dua. Mahingga nogheleane
kamokulano, “Koemo maia hintu Ambe. Omeafa dua.” Taaka Wadhe Kaengufaari
nekaghosa, pokono anoa noangkafida kansuru. Bhe nekahulei norambi-rambitao ghagheno.
Panda-pandanoa dobhasiemo dokala we galu.
Dorato we galu ndo idhano bhe paapano deselimo ghofa. Anoa dofongkora-korae we
kundodo we wuntano galu. Naseha-sehae Wadhe Kaengufaari nowuramo manu-manu
nosaipo kalangke. Notolamo ndo idhano bhe paapano, ambano, manu-manu hae atatu
kalangkeno. Garaa ndo idhano tado borai bhe nopogau,“Kabharino nimentegoono aini”.
Nompo-mpona manu-manu anagha nehendemo kapanda, garaa o bhoa lemba. pasina
tanepanda-pandamo nowewaki galundo Kinoliwu. Panda-pandanoa nosai Wadhe kaengufaari
maka nohoroane. Aitu maka ndo idhano bhe papano kaasi dekahulaimo. Maka damafaane
Wadhe Kaengufaari dofoniame telani. Gaara bhoa amaitu Adhe Marabhoa Lemba, anano
Kinolani.

Miinamo nadhumadia kaasi ndo idhano bhe paapano deseli ghofa, dosulimo ngkaghae-
ghae. Dorato telani ndo Adhe Marabhoa Lemba kansuru nopoghawane kamokulano. Ndo
idhano dowora kalambe karatoghoo Adhe Marabhoa Lemba maitu dokoghendu, garaa
natitonto kapasole.
Palihano adhe Marabhoa Lemba dofoporaeanemo te lani, neano Wadhe Anamutaari, taaka
Adhe Marabhoa nagumaa kaawu bhe Wadhe Kaengufaari. Pasina dogaamo ndo Adhe
Marabghoa Lemba bhw Wadhe Kaengufaari. Noalae alo, noalae gholeo nokoniowa-owamo
Wadhe Kaengufaari.
Naando nokoniowa-owa robhineno, Adhe Marabhoa Lemba dopobeghoomo tora bhe
Wadhe Anamutaari. Dopoliligho, dokalhi dekadiu dosikalaha. Tado liu lagi wendo idhano.
Sadoliu kaawu Adhe marabhoa Lemba bhw Wadhe Anamutaari, sadhia noworae Wa Oda.
Notolamo lagi Wa Oda ambano,”Wa Ode Kaengufaari, ghondo Adhe marabhoa Lemba
dopoangka bhe Wadhe Anamutaari!” Nobhalomo kaasi Wadhe Kaengufaari, ambano
“Kariamu Wa Oda, kaleano fotuku.”
Nasehae-sehae doliumu tora andoa. Dakumala tora daekadiu. Notolamo tora kaasi Wa
Oda, ambano,”O…Wadhe Kaengufaari, ghondo Adhe Marabhoa Lemba dokaamo dekadiu
bhe wadhe Anamutaari.” Tano balo Wadhe Kaengufaari,”Sohaenomu Wa Oda,
tarunsaghoomo anoa.”
Nompo-mpona nokeanahimo Wadhe Kaengufaari, limoghane anano. Adhe Marabhoa
Lemba ini miina bhe suli kansurua we lambuno. Notialangkawasa kaawu anano, nerabumo
bhakuno Wadhe Kaengufaari, fatofulu katupa bhe fatofulu ghunteli. Nofenaemo Kinolani.
“Sohaenomu itu Ambe?”
“Sobhe bhakuku”, amba Wadhe Kaengufaari.
“Okumala nehamai rampano”, ambano tora Kinolani.
Nobhalo tora Wadhe Kaengufaari,”Akumala wendo idhaku.”
“Omangka hae”, ambano Kinolani.
“Pokono taakumalamo, ampa sokasampahaku”, ambano Wadhe Kaengufaari.
Pasina nofealaimo Wadhe Kaengufaari, nakumalamo. Nokala miina namandehaane
nehamai sokasampahano. Nomentae nokala, norondoa nolodo. Pedamaitu kansuru. Nompo-
mpona, noworamo tapasae naando kabhawo. Kau-kaumu noghondo-ghondoe kabhawo
amaitu nekansuru we dhunia.
Kansuru nofindahie kabhawo amaitu. Garaa nasehae-sehae tanofetingkemo nobisara
kabhawo anagha, ambano,”Ahae minda-mindahino towuku itu”. Nobhalomo Wadhe
Kaengufaari,”Inodi Wa Ana”. Nofeenmo tora kabhawo,”Okumala nehamai rampano”.

Nobhalo tora Wadhe Kaengufaari,”Akumala wendo idhaku we dhunia”. “O…gaara”, nobhalo
kabhawo amaitu. Nobisara tora kabhawo, ambano”Bhe bhakumu itu”. “Umbe, bhe bhakuku”,
ambano Wadhe Kaengufaari. “Aomaghoo kadeki barangka”, ambano tora kabhawo.
Nowanemo nofumaa Wadhe Kaengufaari.
Nopada nofumaa nobisaramo tora kabhawo amaitu. Garaa o ghule kabhawo amaitua.
Nobisaramo kabhawo.”Mopilo maka fintara fekatangka-tangka netowuku, atumuduko o wula
maka o wula”. “Umbe”, nobhalo Wadhe Kaengufaari. Pada aitu nosilelemo kabhawo
amaitua, naompona nopeemo, nokohudhu kau-kaumu dhunia. Pasina nobisaramo, “Wulamo
itua”.
Wadhe Kaengufaari nowulamo, garaa anoa nratomo we dhunia, pasi-pasi kapehano we
wobhano fonintondo idhano. “Sampumo itua, asumulio idhia”, ambano ghule.
Nowora Wadhe Kaengufaari ne ere-ere te wobhano foninto, idhano bhe paapano
dokoghendu. Aitumaka kabhidano andoa. Sampe-sampe wendo Kinoliwu dorame-rameane
rampano Wadhe Kaengufaari nosulimo we andoa.
Dofenaemo ndoidhano Wadhe Kaengufaari,”Ogaamo itu keda?”Miina nobhalo Wadhe
Kaengufaari. Nobhisara tora idhano. “Ane ogaamo koemo pukatie”. “Miinaho agumaa idia”,
amba Wadhe Kaengufaari.
Aitumaka karamendo simapano tendo Kinoliwu. Segho-segholeo mie rumatono, naando
maino metumbuno pae, mebhoghano sau dua sokarame-rameha Wadhe Kaengufaari ini.
Pada aitu Adhe Marabhoa Lemba te lani, nosulimo wendo idhano. Saratono nofenaghoomo
Wadhe Kaengufaari. Garaa nobhaloe paapano,”Nokalamo Wadhe Kaengufaari, damafaane
ambano ihintu kadaino laesamu”. Nofetingke pedanagha, Adhe Marabhoa Lemba
neferabughomo dua bhakuno ne paapano, fatofulu katupa, fatofulu ghunteli,
samanangkafigho Wadhe Kaengufaari.
Nobisaramo paapano, ambano,”Omangkafie nehamai ghane”. Surihae anoa nopadaemo
nokawu-kawue kawea. Pokono amba Adhe Marabhoa Lemba tamangkafimo. Notoka kaawu
bhakuno, notembamo anano maka dua dokala.
Pedamo dua Wadhe Kaengufaari, norondo dolodo, nomentae dokala. Panda-pandano
doworamo dua kabhawo, dofindahiemo. Garaa tifetingkemo tora nobisara kabhawo, ambano,
“Ahaeno minda-mindahino towuku itu”.
“Insaidi”, ambano Adhe Marabhoa Lemba.
“Akumala aghumondohigho inano anahi aini, nomponamo nokala”, amba Adhe Marabhoa
Lemba tora.
Miina nompona nofeenamo tora kabhawo amaitu,”Bhe bhakumu itu?” “Umbe”, nobalo Adhe

Marabhoa Lemba. “Owakanau deki aomaa bhaemo”, nobisara kabhawo.
Nowaanemo nofumaa Adhe Marabhoa Lemba. Pada nofumaa nobisaramo ne Adhe
Marabhoa Lemba tora, ambano”Mopilo, maka fintara fekatangka-tangka. Atumuduko owula
maka wula”. “Umbe”, nobhalo Adhe Marabhoa Lemba. Pada aitu nosilelemo tora kabhawo
aninia, nopee nokohundu tora dhunia.
Adhe Marabhoa Lemba notuduemo nowula. Garaa noratomo, pasi-pasi te wiseno foninto
lambuno Kinoliwu. Kabhawo anagha garaa o ghule, nobisaramo ambano,”Asumulimo itu
idia”.
Wakutu anagha, we lambuno Kinoliwu dopono mie dorame-ramegho Wadhe Kaengufaari
rampano nosulimo we dhunia. Miina nephaduli bhe mie rumatono, Adhe Marabhoa Lemba
nobhosamo katembano, garaa anahi amaitu notende nokapihi inano, Wadhe Kaengufaari.
Saratono anahi amaitu neghondohi natumiti. Nobisaramo Wadhe Kaengufaari,”Kaasino anahi
aini, noafa nefoligho kabhongkeke”. Nobisaramo ndo idhano bhe paapano,”Kaasino dua
anahi naealihi kokabongkekeno, ane poho ogumaa”.
Wakutu anagha, Adhe Marabhoa Lemba neere-ere te wobhawo pulangku.”Kafofoniemu
La Ode aitu, nodai laesano”, amba Wadhe Kaengufaari. Tamaka ndo idhano bhe paapano
tado fofoni. Dowora kaawu pedanagha mie maino dokosuli-sulimo, sodopandehao Wadhe
Kaengufaari bhemo poraeno.