case report session - ikterus neonatorum-1

53
Bed Site Teaching IKTERUS NEONATORUM Disusun Oleh : Jhoni Akbar D 0910312092 M Iqbal Andreas 1010313079 Preseptor: dr. Rahmiyetti, Sp.A BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI BUKITTINGGI

Upload: david-duduthz

Post on 19-Nov-2015

54 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

Bed Site Teaching

IKTERUS NEONATORUM

Disusun Oleh :Jhoni Akbar D0910312092M Iqbal Andreas 1010313079

Preseptor:dr. Rahmiyetti, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAKRSUP DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGIBUKITTINGGI201419

BAB 1TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DefinisiIkterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah sebesar 5-7 mg/dl.1

1.2 Klasifikasi1.2.1 Ikterus FisiologisSecara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang dari 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya, dan ini dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir antara lain kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.2Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.2Pada kebanyakan bayi, masalah ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus masih dianggap fisiologis jika:2 Terjadi setelah 24 jam pertama Pada bayi baru lahir kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama kehidupannya presentil 95 sesuai standar Normogram Bhutani.2 Ikterus juga dapat dicurigai patologis jika: 2-4 Terjadi sebelum 24 jam kehidupan bayi Peningkatan total bilirubin serum > 5 mg/dL/hari Bilirubin total serum > 17 mg/dL pada bayi baru lahir yang mendapat ASI Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Disertai tanda-tanda penyakit lain seperti muntah, letargi, bayi malas menyusu, penurunan berat badan, apneu, takipneu, dan suhu yang tidak stabil.

1.2.3 Ikterus Terkait ASIPada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice, yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI).Early neonatal jaundice (breast feeding jaundice/ BFJ) ialah ikterus yang disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak. Bayi mengalami kekurangan asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.5Late neonatal jaundice (breast milk jaundice/ BMJ) mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama. Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu, dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar kemungkinan terjadi ikterus).5

1.3 EpidemiologiSebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan.6RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.6

1.4 Metabolisme Bilirubin1.4.1 Pembentukan BilirubinBilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga kekuningan yang sebagian besar merupakan bentuk akhir dari katabolisme heme melalui proses reaksi oksidari-reduksi, dan sedikit dari heme bebas ataupun proses eritropoesis yang tidak efektif. Dengan bantuan enzim heme oksigenase yang banyak di sel hati, heme diubah menjadi biliverdin, karbon monoksida yang akan dieksresikan melalui paru, dan zat besi yang akan digunakan untuk pembentukan hemoglobin lagi. Biliverdin yang bersifatnya larut dalam air kemudian akan mengalami reduksi oleh enzim biliverdin reduktase menjadi bilirubin. Bilirubin ini bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut, sehingga untuk mengekresikannya diperlukan proses tranportasi dan eliminasi.2Satu gram hemoglobin menghasilkan 34 mg bilirubin. Pada bayi baru lahir tiap harinya dibentuk 8-10 mg/kgbb, lebih banyak dari orang dewasa yang hanya menghasilkan 3-4 mg/kgbb/hari. Hal ini disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek yaitu berkisar antara 70-90 hari, adanya peningkatan jumlah dari degradasi heme, turn over sitokrom yang tinggi, serta besarnya reabsorbsi bilirubin di usus.3

1.4.2 Transportasi BilirubinBilirubin yang terbentuk pada sistem retikuloendotelial, akan dilepaskan ke sirkulasi. Di sini, bilirubin akan berikatan dengan albumin. Ikatan ini merupakan zat non-polar dan tidak larut dalam air, yang kemudian akan dibawa ke sel hati. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik.1,7Albumin mempunyai afinitas yang tinggi, sehingga obat-obatan yang bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid akan mudah menempati perlekatan utama antara albumin dan bilirubin. Obat golongan ini bersifat kompetitor. Sedangkan obat-obatan lain yang dapat menurunkan afinitas albumin, dapat melepaskan ikatan albumin-bilirubin, seperti digoksin, gentamisin, furosemide, dan lain-lain.1-3

1.4.3 Asupan Bilirubin/ Bilirubin IntakeSaat ikatan albumin-bilirubin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditranspor melalui membran sel yang berikatan dengan ligandin (protein Y). Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, sirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin, akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal.2,7

1.4.4 Konjugasi BilirubinBilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diposphat glukuronil transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi bilirubin menjadi bilirubin monoglukoronida. Kemudian zat ini akan di konjugasikan kembali menjadi bentuk bilirubin diglukoronida dengan bantuan enzim monoglukoronida. Enzim ini akan menyatukan dua molekul bilirubin monoglukoronida untuk menghasilkan satu molekul bilirubin diglukoronida.5,7Pada bayi baru lahir didapatkan defisiensi aktifitas enzim monoglukoronida. Namun setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati, sehingga konsentrasi bilirubin serum akan turun. Kapasitas kerja enzim ini akan sama dengan orang dewasa pada hari ke 4 kehidupan bayi.21.4.5 Eksresi BilirubinBilirubin yang terkonjugasi akan dieksresikan melalui kandung empedu sebelum di keluarkan ke saluran cerna. Saat mencapai usus halus, bilirubin terkonjugasi akan diubah oleh bakteri usus menjadi bentuk urobilinogen. Sebagian urobilinogen ini akan dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim -glukoronidase agar dapat diresorbsi dan kembali ke hati untuk dikonjugasikan lagi, yang disebut sirkulasi enterohepatik. Sekitar 5 % urobilinogen akan dialirkan ke ginjal. Saat terpapar dengan udara di dalam urin, urobilinogen akan teroksidasi menjadi urobilin, yang akan mewarnai urin. Sedangkan urobilinogen yang tidak terserap di usus, akan dibuang melalui feses melalui reaksi oksidasi menjadi sterkobilin, suatu produk yang tidak dapat direabsorbsi kembali dan akan mewarnai feses.2,8

Gambar 1. Metabolisme Pemecahan Hemoglobin dan Pembentukan Bilirubin8

1.5 EtiologiPenyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.1.5.1 Produksi yang berlebihanPenyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan, disebut ikterus hemolitik.9

1. Hemolytic Disease of the Newborn (HDN)HDN atau eritroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit darah yang terjadi apabila tipe darah ibu dan anak tidak kompatibel. Jika tipe darah bayi masuk ke darah ibu sewaktu dalam kandungan atau sewaktu kelahiran, sistem imun ibu akan melihat darah bayi sebagai suatu bahan dari luar dan akan menghasilkan antibodi untuk menyerang dan menghapuskan sel darah merah bayi.10 Keadaan ini akan mengakibatkan komplikasi dari ringan ke berat. Sistem imun ibu menyimpan antibodi yang dihasilkannya tadi dan jika terjadi inkompatibilitas lagi, hal yang sama akan terjadi kepada sel darah merah bayinya. Oleh karena itu, HDN sering terjadi pada ibu yang mengandung kedua kalinya atau kandungan setelah yang pertama, atau juga setelah keguguran atau aborsi. Inkompatibilitas Rh lebih sering terjadi daripada ABO. Tiga kali lebih rentan pada bayi Kaukasia dibandingkan bayi Afrika-Amerika.7,9Hemolytic Disease of the Newborn dipengaruhi oleh golongan darah ABO dan Rhesus ibu, sehingga dibedakan atas:a. Inkompatibilitas RhHDN dengan inkompatibilitas Rh adalah HDN yang selalu terjadi apabila ibu dengan Rh-negatif mengandung anak Rh-positif karena berasal dari ayah yang Rh-positif. Ibu dengan Rh-negatif dapat terpapar dengan antigen Rh melalui transfusi fetomaternal. Pada paparan pertama, sebanyak 0.1 ml darah Rh-positif sudah dapat memicu terbentuknya anti-Rh, yang sebagian besar berupa IgG. Terjadinya sensitisasi ulang memicu terbentuknya lebih banyak IgG. IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis yang terjadi pada inkompatibilitas Rh lebih berat terjadi pada kehamilan berikutnya setelah terjadi sensitisasi.5,11

b. Inkompatibilitas ABOHDN karena inkompatibilitas ABO tidak selalu terjadi. HDN ini terjadi bila seorang ibu dan bayinya mempunyai tipe darah yang tidak sama. Misalnya pada ibu dengan golongan darah O yang mendapat sensitisasi maternal oleh antigen A atau B janin, akan memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG. Antibodi itu dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi janin sehingga menimbulkan hemolisis.5,11

2. Defisiensi G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehydrogenase) Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia, yang terkait kromosom sex (x-linked). Kelainan dasar biokimiadefisiensi G6PD disebabkan mutasi pada gen G6PD. Peranan enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa fosfat 13. Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk mempertahankan bentuk, volume, kelenturan dan menjaga keseimbangan potensial membran melalui regulasi pompa natrium-kalium. Fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH, yang berfungsi menjaga keutuhan sel darah merahsekaligus mencegah hemolitik.10

3. Defisiensi Piruvat Kinase Defisiensi piruvat kinase, walaupun jarang, merupakan defisiensi enzim kedua yang tersering. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Enzim ini berfungsi melisis perubahan 2 fosfoenol piruvat menjadi piruvat dan merupakan tahap akhir pembentukan energi pada jalur glikolitik. Efek defisiensi enzim ini terlihat pada sel-sel darah merah tua yang tidak memiliki kemampuan fosfoliperasi oksidatif metabolik yang merupakan sumber utama pembentukan energi untuk sel darah merah non retikulosit, dimana tahap ini berkaitan dengan pembentukan ATP. Sel-sel eritrosit dengan defisiensi piruvat kinase lebih mudah dihancurkan dilimpa dan pasien mengalami anemia hemolitik kronis yang ditandai dengan meningkatnya hemolisis dan peningkatan bilirubin indirek.8

4. Penyakit Hemolitik Karena Kelainan Eritrosit KongenitalGolongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai eritroblastosis fetalis akibat iso-imunisasi. Pada penyakit ini coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah thalasemia, anemia sel sabit (sickle-cell anemia), dan sferositosis kongenital. Pada pasien sferositosis terdapat peningkatan fragilitas eritrosit oleh karena itu waktu daya tahan hidup eritrosit menurun. Pada pasien ini mengalami ikterus ringan, jika waktu hemolisis cepat biasanya disertai meningkatnya ikterus awitan yang cepat.8

5. Adanya Darah EkstravaskulerDapat berupa ptekie, hematoma, perdarahan pulmonal dan cerebral. Darah yang dipecah oleh makrofag di luar sirkulasi akan meningkatkan produksi bilirubin I. Biasanya jarang menunjukkan anemia yang berarti maupun retikulosis. Tertelannya darah ibu selama proses kelahiran juga dapat menyebabkan icterus neonatorum. Darah ini akan di katabolisme di dalam mukosa intestinal sehingga menjadi sumber bilirubin tambahan.9

6. PolisitemiaBanyaknya jumlah darah merah akan meningkatkan jumlah produksi bilirubin. Polisitemia biasanya diikuti dengan hiperviskositas yang akan menambah beban karena akan mengganggu perfusi dari sinusoid-sinusoid hepar.7 Polisitemia sering terjadi karena:a. Hipoksia Janin. Kekurangan oksigen pada janin merangsang pembentukan sel darah merah, sehingga meningkatkan produksi bilirubin.7b. Transfusi Maternal-Fetal. Dalam perdarhan transplasental ibu-janin, darah bayi memiliki hemoglobin dewasa > 30% atau konsentrasi IgA yang tinggi untuk usianya. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit.9c. Transfusi Fetofetal. Terjadi pada bayi kembar. Kecurigaan akan adanya transfusi fetofetal dipikirkan bila berat badan bayi berbeda secara signifikan. Salah satu akan menderita anemia, dan yang lain akan mengalami polisitemia.

7. Peningkatan Sirkulasi EnterohepatikDapat terjadi pada obstruksi di saluran cerna atau penurunan peristaltik usus. Hal ini akan meningkatkan reabsorbsi bilirubin dan menurunkan jumlah bilirubin yang akan dikeluarkan melalui feses. Biasa terjadi pada pengeluaran mekonium yang terlambat.7

1.5.2 Gangguan dalam EksresiGangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar alkali fostafe dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.3,8

1.5.3 Gangguan Kombinasi Produksi dan Ekskresi1. Infeksi Prenatal dan PerinatalDapat berupa toksoplasmosis, rubella, penyakit sitomegalovirus, herpes simpleks, sifilis, dan hepatitis. Semua infeksi ini dapat ditularkan melalui plasenta, dan sebagian diantaranya juga didapat saat persalinan. Infeksi prenatal dapat meningkatkan kadar IgM darah dan menghambat pertumbuhan janin. Bayi dengan infeksi tersebut dapat mengalami hepatosplenomegali, anemia hemolitik, trombositopenia, dan trauma hepatoseluler. Semua hal tersebut akan meningkatkan jumlah bilirubin.9

2. SepsisPeningkatan bilirubin I pada sepsis terjadi karena proses inflamasi yang akan merusak sel darah merah dan gangguan konjugasi oleh kerusakan hepar. Peningkatan bilirubin II pada sepsis dihubungkan dengan kolestasis, yang dapat terjadi karena sumbatan pada jalur pengeluaran bilirubin terkonjugasi oleh inflamasi.7

3. Ikterus Pada Bayi dengan Ibu DiabetesDapat disebabkan oleh peningkatan sirkulasi enterohepatal, polisitemia, masalah pada konjugasi bilirubin. Proses konjugasi melebihi kapasitas hepar untuk mengeksresikan bilirubin terkonjugasi karena kecepatan produksi bilirubin yang sangat tinggi.9

1.5.4 Aspirasi MekoniumHipoksia akut maupun kronik dapat mengakibatkan keluarnya mekonium intrauterin. Sindrom aspirasi mekonium (meconium aspiration syndrome, MAS) disebabkan aspirasi cairan amnion yang mengandung mekonium. Derajat keparahan MAS berkaitan dengan derajat asfiksia dan jumlah mekonium yang teraspirasi. Mekonium yang teraspirasi juga menyebabkan obstruksi jalan napas akut,peningkatan resistensi jalan napas, atelektasis, dan hiperekspansi yang disebabkan oleh mekanisme ball-valve. Fase obstruksi diikuti dengan fase inflamasi 12-24 jam sesudahnya yang mengakibatkan kerusakan lebih lanjut. Aspirasi cairan lain (misalnya darah atau cairan amnion) mengakibatkan kerusakan yang sama tetapi lebih ringan.Manifestasi klinis MAS bervariasi dan bergantung pada derajat hipoksia, jumlah serta konsistensi mekonium yang teraspirasi. Bayi dengan MAS sering menunjukkan tanda postmaturitas, yaitu kecil masa kehamilan, kuku panjang, kulit terkelupas, dan pewarnaan kuning-hijau pada kulit. Adanya mekonium pada cairan ketuban. Konsistensi mekonium bervariasi. Walaupun MAS dapat terjadi pada mekonium yang hanya sedikit, sebagian besar bayi dengan MAS memiliki riwayat mekonium kental seperti lumpur. Obstruksi jalan napas. MAS dini akan bermanifestasi sebagai obstruksi saluran napas. Gasping, apnu, dan sianosis dapat terjadi akibat mekonium kental yang menyumbat saluran napas besar. Distres pernapasan. Mekonium yang teraspirasi sampai ke saluran napas distal tetapi tidak menyebabkan obstruksi total akan bermanifestasi sebagai distres pernapasan, berupa takipnu, napas cuping hidung, retraksi interkostal, peningkatan diameter anteroposterior dada, dan sianosis.Pemeriksaan penunjang1. Darah perifer lengkap dan septic work-up untuk menyingkirkan infeksi.2. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia. Hiperventilasi mengakibatkan alkalosis repiratorik pada kasus ringan, tetapi pada kasus berat akan mengakibatkan asidosis respiratorik.3. Foto toraks menunjukkan hiperinflasi, diafragma mendatar, dan infiltrat kasar/bercak iregular. Dapat ditemukan pneumotoraks atau pneumomediastinum.4. Ekokardiografi diperlukan bila diduga terjadi persistent pulmonary hypertension of the newborn (PPHN).

Tata laksanaA. Tata laksana bayi dengan cairan amnion bercampur mekonium di ruang persalinan1. Nilai konsistensi mekonium. Kejadian MAS meningkat seiring dengan peningkatan konsistensi mekonium.2. Rekomendasi bahwa dokter kebidanan harus membersihkan hidung dan orofaring bayi sebelum melahirkan bahu atau dada, tidak dianjurkan lagi. Jika ditemukan mekonium pada cairan ketuban, bayi harus segera diserahkan kepada dokter anak untuk dibersihkan (AAP 2009).3. Pada penilaian awal sebuah persalinan dengan ketuban bercampur mekonium, dokter anak harus menentukan apakah bayi bugar atau tidak. Bayi dikatakan bugar bila frekuensi denyut jantung >100 kali/menit, bernapas spontan, dan tonus baik (bergerak spontan atau fleksi ekstremitas). a. Bila bayi bugar, berikan perawatan rutin tanpa memandang konsistensimekonium.b. Bila terdapat distres pernapasan, lakukan laringoskopi direk dan pengisapanintratrakeal (menggunakan aspirator mekonium). 4. Bayi yang dilahirkan dengan ketuban bercampur mekonium, sebanyak 20-30% akan mengalami depresi saat melalui perineum. Pada kasus ini, intubasi menggunakan laringoskop sebaiknya dilakukan sebelum usaha napas dimulai. Setelah intubasi, pipa endotrakeal dihubungkan dengan mesin pengisap. Prosedur ini diulangi sampai trakea bersih atau bila resusitasi harus dimulai. Visualisasi pita suara tanpa melakukan pengisapan tidak dianjurkan karena mekonium masih mungkin berada di bawah pita suara. Ventilasi tekanan positif sebisa mungkin dihindari sampai pengisapan trakea selesai. Kondisi umum bayi tidak boleh diabaikan selama melakukan pengisapan trakea. Pengisapan trakea harus dilakukan dengan cepat dan ventilasi harus segera dimulai sebelum terjadi bradikardi.

1.6 Pemeriksaan FisikSecara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus biasanya terlihat menyebar secara sefalokaudal, dimulai dari wajah dan menyebar ke perut dan kemudian ke kaki seiring peningkatan kadar bilirubin serum.2 Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.12Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.12

Gambar 2. Pemeriksaan ikterus pada kulit bayi. (A) tidak ikterik (B) ikterik13Dari pemeriksaan fisik, penentuan perkiraan kadar bilirubin dapat dilakukan menurut kriteria Kramer (Tabel 2).

Tabel 2. Kriteria Kramer1Derajat IkterusDaerah IkterusPerkiraan Kadar Bilirubin

IKepala dan leher5,0 mg/dL

IISampai badan atas (di atas umbilikus)9,0 mg/dL

IIISampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut)11,4 mg/dL

IVSampai lengan, tungkai bawah lutut12,4 mg/dL

VSampai telapak tangan dan kaki16,0 mg/dL

1.7 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan bilirubin serum (bilirubin total, direk, dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus, terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.1,3Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain:14

1. Golongan darah 2. Coombs test3. Darah lengkap dan hapusan darah. Pemeriksaan hapusan darah diperlukan untuk membedakan kelainan hemolitik.4. Hitung retikulosit. Jumlah retikulosit yang > 6% setelah tiga hari kehidupan bayi, biasanya menandakan proses hemolitik yang abnormal.5. Skrining G6PDBerdasarkan pemeriksaan laboratorium, alur diagnosis ikterus neonatorum dapat dijabarkan pada gambar 4 dan Tabel 3.

Gambar 3. Alur diagnosis ikterus neonatorum berdasarkan hasil laboratorium.2

Tabel 3. Diagnosis banding ikterus neonatorum berdasarkan gambaran bilirubin serum

1.8 Penatalaksanaan1.8.1 Ikterus FisiologisIkterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat ditatalaksana melalui rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterus berlangsung lebih dari 7 hari pada bayi cukup bulan, atau 14 hari pada kurang bulan. Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan ASI ekslusif lebih sering minimal setiap 2 jam. Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui pipa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok. Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar matahari pagi selama 30 menit selama 3-4 hari dan jaga agar bayi tetap hangat.13

1.8.2 Ikterus PatologisSetiap Ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca kelahiran adalah patologis dan membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut; minimal kadar bilirubin serum total, serta pemeriksaan ke arah adanya penyakit hemolisis oleh karena itu selanjutnya harus dirujuk. Selain itu pada bayi dengan ikterus Kremer III atau lebih perlu dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap setelah keadan bayi stabil.13Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kern-ikterus/ ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung.1Prinsipnya dalam penanganan ikterus ada 3 cara untuk mencegah dan mengobati, yaitu:1,121. Mempercepat metabolisme dan pengeluran bilirubin2. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik agar dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus, misalnya dengan terapi sinar (fototerapi)3. Mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah, yaitu dengan tranfusi tukar darah

Tabel 4. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin 4,14UsiaTerapi sinarTransfusi tukar

Bayi sehatFaktor Risiko*Bayi sehatFaktor Risiko*

mg/dLmol/Lmg/dLmol/Lmg/dLmol/Lmg/dLmol/L

Hari 1Setiap ikterus yang terlihat1526013220

Hari 215260132202542515260

Hari 318310162703051020340

Hari 4 dst20340172903051020340

*Faktor risiko: usia kehamilan < 37 minggu, berat badan lahir < 2.500 g penyakit hemolitik bayi tampak kuning sebelum usia 24 jam infeksi berat (sepsis) saat lahir tidak bernafas spontan (memerlukan tindakan resusitasi)

1. FototerapiFototerapi pada ikterus neonatorum adalah pemberian sinar berspektrum biru berintensitas tinggi (420-470 nm) pada bayi. Sinar ini diketahui efektif mengurangi ikterik secara klinis dan menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum. Bilirubin di dalam kulit akan menyerap energi cahayanya, menyebabkan serangkaian reaksi fotokimia. Produk utama yang dihasilkan dari fototerapi adalah adanya reaksi foto-isomerisasi yang reversibel yang mengubah bilirubin indirek yang bersifat toksik menjadi bilirubin indirek yang non toksik yang dapat diekskresikan melalui kandung empedu tanpa melalui konyugasi. Produk fototerapi lainnya adalah lumirubin, sebuah isomer struktural yang dihasilkan dari bilirubin yang dapat dieksresi melalui ginjal. Terapi penyinaran ini menggunakan tabung fluorensens biru spesial, yang diletakkan 15-20 cm dari bayi dan kain fiberoptik fototerapi diletakkan di punggung bayi untuk meningkatkan area kulit bayi yang terkena. Indikasi fototerapi tergambar pada gambar 5.2

Gambar 4. Indikasi fototerapi pada neonatus berdasarkan kadar bilirubin serum22. Transfusi TukarTransfusi tukar dilakukan jika fototerapi intensif gagal mengurangi kadar bilirubin dan jika ditakutkan akan menyebabkan komplikasi kernikterus. Transfusi dilakukan dengan teknik aseptik.2 Indikasi transfus tukar:91. Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL2. Pada bayi prematur tranfusi tukar darah dapat diberikan walaupun kadar albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml.3. Pada kenaikan yang cepat bilirubin indirek serum bayi pada hari pertama (0,31 mg/dL/jam). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan darah.4. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung.5. Bayi penderita ikterus dan kadar hemoglobin darah tali pusat kurang dari 14 mg/dL dan Coombs test langsung positif.

Gambar 5. Indikasi Transfusi Tukar berdasarkan kadar bilirubin serum23. MetalloporfirinMetalloporfirin sn-mesoporfirin (SnMP) adalah obat yang dapat diberikan pada hiperbilirubinemia neonatus. Mekanisme kerjanya adalah sebagai inhibitor enzimatik kompetitif dari enzim heme-oksigenase yang merubah protein-heme menjadi biliverdin.

1.9 KomplikasiJika bayi kuning patologis tidak mendapatkan pengobatan, maka dapat terjadi penyakit kernikterus. Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kern ikterus dapat menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran, keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku.1,8Pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin yang melebihi 20 mg/dL sering keadaan berkembang menjadi kernikterus. Pada bayi prematur batasnya ialah 18 mg/dL, kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3 g/dL. Pada neonatus yang menderita asidosis dan hipoglikemia, kern ikterus dapat terjadi walaupun kadar bilirubin < 16 mg/dL. Pencegahan kern ikterus ialah dengan melakukan transfusi tukar darah bila kadar bilirubin I mencapai 20 mg/dL .1,8

1.10 PrognosisPrognosis tergantung pada penyebab utama ikterik. Biasanya baik jika ditangani secara tepat dan cepat. Namun jika komplikasi telah terjadi, prognosis memburuk.8

BAB 2ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIENNama: By. DMR: 39.42.73Jenis Kelamin: PerempuanAnak ke: 2 Umur: 13 hari Alamat : Koto Laweh-Tabek Patah, Baso

ANAMNESISTelah dirawat seorang bayi perempuan berusia 13 hari pada tanggal 15 November 2014 pukul 15.30 WIB di ruang rawat inap Perinatologi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan:Keluhan Utama: Bayi tertelan cairan ketuban yang keruh, kental dan berwarna kehjauan.Riwayat Penyakit Sekarang: Neonatus berat badan lahir cukup 3800 gram, panjang badan 50 cm, lahir pervaginam, 42-43 minggu ditolong bidan, tidak langsung menangis. Bayi tertelan cairan ketuban keruh, kental dan berwarna kehijauan. Kulit bayi berwarna kuning pucat kehijauan dengan biru disekitar mulut dan ujung-ujung jari. Bayi tidak terlihat aktif bergerak. Kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada. Demam tidak ada. Sesak napas ada, nafas tidak spontan dan tidak teratur. Nafas cuping hidung ada, retraksi dinding dada ada, kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari ada. Sesak napas dan retraksi dinding dada masih ada sampai sekarang, namun kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari sudah menghilang. Injeksi vitamin K sudah diberikan setelah lahir. Kejang tidak ada. Muntah tidak ada. Buang air kecil sudah keluar, warna dan jumlah biasa. Buang air besar sudah keluar, warna dan konsistensi biasa, dempul tidak ada. Bayi langsung dirujuk oleh bidan yang menolong proses persalinan ke RSUD Dr. Achmad Mochtar untuk pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut. Riwayat ibu sering demam selama hamil tidak ada. Riwayat ibu keputihan yang banyak, berbau dan gatal selama hamil dan menjelang persalinan tidak ada Riwayat ibu nyeri saat buang air kecil selama hamil dan menjelang persalinan tidak ada. Riwayat ibu mengkonsumsi obat-obatan selama hamil tidak ada. Bayi diberi ASI pada hari kedua setelah lahir. Kuning terlihat jelas pada seluruh tubuh pada hari ketiga, awal timbulnya kuning tidak diketahui keluarga pasien dengan jelas. Kuning masih terlihat jelas hingga sekarang.

Riwayat Kehamilan Sekarang: Hamil sekarang : G2, P2, A2, H2 Pemeriksaan antenatal ke bidan, teratur 1x sebulan Riwayat anemia, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal selama kehamilan tidak ada Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol Kualitas dan kuantitas makanan baik Kehamilan lewat bulan 42-43 minggu Kontrol teratur ke bidan

Riwayat Persalinan:Persalinan di Bidan Praktek Swasta. Lahir tanggal 15 November 2014 secara pervaginam, lewat bulan, 42-43 minggu. Kelahiran tunggal, kondisi saat lahir hidup, A/S tidak langsung menangis, kulit bayi berwarna kuning pucat kehijauan dengan biru disekitar mulut dan ujung-ujung jari, bayi tidak terlihat aktif bergerak.

PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan Umum:Keadaan umum: tampak sakit beratFrekuensi jantung : 120 x /menitFrekuensi nafas: 80 x/ menitSuhu : 36,6 CPanjang badan : 50 cmBerat badan : 3800 gramSianosis : ada (sekarang tidak ada)Ikterik: ada sampai telapak kaki

Pemeriksaan Khusus:Kepala: normochepal Ubun-ubun besar : 1,5 x 1,5 cm Ubun-ubun kecil : 0,5 x 0,5 cm Jejas persalinan : tidak adaMata : konjungtiva anemis, sklera ikterikMulut: sianosis sirkum oral adaTelinga: tidak ditemukan kelainanHidung:napas cuping hidung adaLeher:tidak ditemukan kelainanToraks:Bentuk:normochest, retraksi epigastrium adaJantung : irama teratur, bising tidak ada, gallop tidak adaParu :bronkovesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak adaAbdomen: Permukaan:datarKondisi: lemasHati:1/4x1/4 Limpa:S0Tali Pusat:Sudah putusUmbilikus: tidak ditemukan kelainanGenitalia: Tidak ditemukan kelainanEkstremitas: Atas: akral hangat, refilling kapiler baikBawah: akral hangat, refilling kapiler baikKulit : ikterik ada, sianosis ada (sekarang tidak ada)Anus: adaTulang-tulang: tidak ditemukan kelainanRefleks neonatal: Moro : + Rooting : + Isap : + Pegang : +Ukuran : Lingkaran kepala: 34 cm Lingkaran dada: 33 cm Lingkaran perut: 31 cm Kepala-simpisis: 32 cm Simpisis-kaki: 17 cm Panjang lengan: 17 cm Panjang kaki: 19 cm

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratoriumDarah Hb:17,9 g/dL Hematokrit:51,4 % Leukosit:24.890/mm3 Trombosit:193.000/mm3Bilirubin (18 November 2014) Bilirubin Total: 18,61 mg/dl Bilirubun Direk: 3,42 mg/dl

DIAGNOSIS KERJANBBLC BBL 3800 gr, panjang badan 50 cm, lewat bulan.Lahir spontan pervaginam. Apgar Skor tidak langsung menangis, kulit bayi berwarna kuning pucat kehijauan dengan biru disekitar mulut dan ujung-ujung jari, bayi tidak terlihat aktif bergerak.Bayi tertelan cairan ketuban keruh, kental dan berwarna kehijauan.Sesak napas ada, nafas cuping hidung ada, retraksi dinding dada ada, kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari ada. Sesak napas dan retraksi dinding dada masih ada sampai sekarang, namun kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari sudah menghilang.Kelainan kongenital tidak ada, jejas persalinan tidak ada.Penyakit sekarang ikterus neonatorum grade V ec. Aspirasi Mekonium.

ANJURAN PEMERIKSAAN Pemeriksaan bilirubin darah (bilirubin total, direk, indirek) Golongan darah ibu dan bayi + skrining darah bayi untuk antibodi Morfologi sel darah merah Coombs test Pemeriksaan faal hepar HbsAg

PENATALAKSANAAN-ASI OD-Foto terapi

FOLLOW UPTANGGALPERJALANAN PENYAKITTATALAKSANA

26 November 2014

S/ : demam tidak ada Kuning ada, sampai telapak kaki sesak napas ada kejang tidak ada BAK ada, warna dan jumlah biasa Mekonium ada, warna dan konsistensi biasaO/ : KU : berat HR 130 x/ menit, RR 70 x /menit, T 36oC BB: 3800 gram, PB: 50 cm Mata : konjungtiva anemis, sklera Ikterik Kulit: ikterus kremer grade V Hidung : Nafas cuping hidung (+) Toraks : simetris, retraksi (+) - cor : irama teratur, bising (-) - pulmo : bronkhovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Abdomen: distensi (+), bising usus (+) normal Ekstemitas: akral hangat, refilling kapiler baikKesan/ Ikterus neonatorum grade V ec.aspirasi mekoniumR/ pemeriksaan bilirubin dan faal heparASI ODFoto terapi

27 November 2014

S/ : demam tidak ada Kuning ada, sampai telapak kaki sesak napas ada kejang tidak ada BAK ada, warna dan jumlah biasa Mekonium ada, warna dan konsistensi biasaO/ : KU : berat HR 135 x/ menit, RR 72 x /menit, T 36oC BB: 3800 gram, PB: 50 cm Mata : konjungtiva anemis, sklera Ikterik Kulit: ikterus kremer grade V Hidung : Nafas cuping hidung (+) Toraks : simetris, retraksi (+) - cor : irama teratur, bising (-) - pulmo : bronkhovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Abdomen: distensi (+), bising usus (+) normal Ekstemitas: akral hangat, refilling kapiler baik

Kesan/ Ikterus neonatorum grade V ec.aspirasi mekoniumR/ pemeriksaan bilirubin dan faal heparASI ODFoto terapi

BAB 3DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien bayi perempuan umur 13 hari dirawat di ruangan perinatologi RS Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 15 November 2014 dengan diagnosis kerja Ikterus neonatorum grade V ec. Aspirasi mekonium. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.Dari anamnesis didapatkan bayi kuning pucat kehijauan sejak lahir dan bertambah kuning sejak umur 3 hari. Bayi lahir spontan lewat bulan secara pervaginam, ditolong bidan, apgar skor tidak langsung menangis, kulit bayi berwarna kuning pucat kehijauan dengan biru disekitar mulut dan ujung-ujung jari, bayi tidak terlihat aktif bergerak dengan berat badan lahir 3800 gram dan panjang badan 50 cm. Bayi lahir postmatur 42-43 minggu. Dari literatur ditemukan bahwa kelahiran bayi postmatur dapat menyebabkan insufisiensi plasenta yang dapat menyebabkan hipoksia pada janin dan distress pernafasan. Selain itu kelahiran post matur juga dapat menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium pada bayi yang dapat menyebabkan bayi kesulitan bernafas dan berisiko mengembangkan komplikasi seperti infeksi paru-paru dan ikterik yang terjadi karena kadar bilirubin direk dalam mekonium yang tinggi yang sulit diekskresikan oleh bayi.Tidak ditemukan jejas persalinan dan kelainan kongenital. Tidak ditemukan demam. Sesak napas ada, nafas cuping hidung ada, retraksi dinding dada ada, kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari ada. Sesak napas dan retraksi dinding dada masih ada sampai sekarang, namun kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari sudah menghilang. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal. Injeksi vitamin K sudah diberikan. Pada ibu tidak ditemukan riwayat demam disertai mual dan muntah pada usia kehamilan trimester pertama dan dirawat di rumah. Riwayat keputihan dan nyeri saat buang air kecil ketika hamil dan menjelang persalinan tidak ada. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus pada ibu tidak ada. Selama hamil ibu kontrol teratur ke bidan 1 kali sebulan. Tidak ditemukan riwayat penyakit tertentu pada keluarganya.Dari pemeriksaan fisik keadaan umum terlihat sakit berat, tanda-tanda vital dalam batas normal kecuali laju pernafasan (80 kali/menit). Pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva anemis dan sklera tampak ikterik. Kulit teraba hangat, turgor baik, dan tampak ikterus hingga ke telapak kaki. Pada pemeriksaan toraks ditemukan retraksi epigastrium, cor dan pulmo dalam batas normal, sementara abdomen dan ekstrimitas tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 17,9 g/dL, hematokrit: 51,4 %, leukosit 24.890/mm3, trombosit 193.000/mm3. Hiperbiliriubinemia dengan bilirubin direk : 3,42 mg/dL dan bilirubin total: 18,61 mg/dL.Berdasarkan literatur, ikterus pada bayi cukup bulan yang muncul lebih dari 24 jam setelah lahir dengan kadar bilirubin total < 12 mg/dL dan peningkatan laju bilirubin total < 5 mg/dL/hari masih dianggap sebagai ikterus yang fisiologis. Ikterus fisiologis akan memuncak pada hari ke 2-3 dan menghilang pada hari ke-5 setelah lahir.2 Pada pasien ditemukan kuning mulai tampak sejak lahir, dan terlihat jelas sejak umur 3 hari hingga sekarang (hari ke 13) sehingga hal ini mengarah kepada ikterus yang patologis. Pada pasien ditemukan peningkatan bilirubin total serum hingga 18,61 mg/dL, peningkatan bilirubin direk. Terdapat tanda-tanda pemecahan eritrosit yang khas dimana ditemukan adanya anemia. Ibu tidak memiliki riwayat demam sehingga tidak ada kemungkinan risiko infeksi fetomaternal. Kemungkinan obstruksi ekstrahepatal masih kecil karena tidak ada riwayat BAB berwarna dempul. Diagnosis yang paling mungkin adalah ikterus neonatorum akibat aspirasi cairan mekonium. Berdasarkan hasil anamnesis, ditemukan riwayat menelan cairan ketuban cairan ketuban keruh, kental dan berwarna kehijauan, dan kulit bayi berwarna kuning pucat kehijauan dengan biru disekitar mulut dan ujung-ujung jari. Selain itu, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan hepatomegali dan splenomegali yang sering ditemukan pada pasien dengan hemolisis dan atresia biliaris. 15Pasien ini ditatalaksana dengan pemberian ASI on demand dan terapi penyinaran/ foto terapi. Pemberian foto terapi dipertimbangkan jika kadar bilirubin total serum bayi >17 mg/dL dan tergantung keadaan klinis.4 Observasi dilakukan selama beberapa hari sampai keadaan klinis pasien membaik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim, M. Sholeh, Dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2010;147-169.2. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn; in Kliegman, et al (Ed): Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2011. Chapter 96.3;603-8.3. Asil A. Ikterus Dan Hiperbilirubinemia Pada Neonatus; dalam A.H. Markum (Ed): Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999;313-317.4. Garna H, Nataprawira HMD. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad. 2005; Ikterus Neonatorum;102-8.5. Suradi, Nurina, et al. The Association Of Neonatal Jaundice And Breast-Feeding. Paediatrica Indonesiana. 2001;41:69-75.6. Badan Litbangkes Depkes RI. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002;8-10.7. Crawford, James R. Hati Dan Saluran Empedu; dalam Robbins: Buku Ajar Patologi, volume 2. Jakarta: Penerbit Buku EGC. 2007;665-670.8. Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, 3. Edisi IV. Jakarta: Bagian IKA FKUI. 1996;1095-100.9. Poland R, Ostrea EM. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus; dalam Fanaroff AA (Ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi. Edisi 4. Jakarta: EGC. 1998;367-389.10. Wibowo, Satrio. Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus Dengan Dan Tanpa Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase pada Infeksi Dan Tidak Infeksi. Tesis pada Program Pendidikan Dokter SpesialisI Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro Semarang. 2007.11. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Ke-11. Jakarta: EGC. 2007;906-907.12. Sulaiman, Ali. Pendekatan Klinis Pada Pasien Ikterus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. 2007. H. 420-423.13. Lubis G. Hiperbilirubinemia. Slide Presentasi. FK Unand. Diakses dari http://repository.unand.ac.id/18516/2/HYPERBILIRUBINEMIA%20KUL008print.ppt pada 1 Mei 2014.14. Maisels, Jeffrey M. Phototherapy For Neonatal Jaundice. The New English and Journal of Medicine. 2008;358.15. A-kader HH, Balistreri WF. Neonatal Cholestasis; in Kliegman, et al (Ed): Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Inc.; 2011. Chapter 348.1;1381-88.