candi cetho

31
Makalah Candi Cetho: Sebuah Candi Peninggalan Masa Kerajaan Hindu Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti UKD IV Mata Kuliah: Sejarah Indonesia Lama Disusun Oleh: Khoirina Alifa C0513025 Risky Novitasari C0513045 Yuni Marchamah C0513057 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: bumikentingan-tourtravel

Post on 30-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ARTIKEL

TRANSCRIPT

Page 1: Candi Cetho

Makalah

Candi Cetho: Sebuah Candi Peninggalan Masa Kerajaan Hindu

Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti UKD IV

Mata Kuliah: Sejarah Indonesia Lama

Disusun Oleh:

Khoirina Alifa C0513025

Risky Novitasari C0513045

Yuni Marchamah C0513057

JURUSAN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

Page 2: Candi Cetho

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki kekayaan

alam yang luar biasa yang sangat berpotensi untuk pengembangan pariwisata

dengan banyaknya potensi wisata dan potensi budaya yang dimiliki. Sumber daya

alam yang dimiliki berupa hutan dengan segala isinya, daratan dengan segala

bentuknya, serta lautan dengan segala potensinya yang akan dimanfaatkan secara

terus-menerus untuk kepentingan pembangunan. Potensi tersebut merupakan aset

yang harus dimanfaatkan secara optimal melalui kepariwisataan. Hal tersebut

dapat ditujukan untukmeningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan

daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Selain itu jugadapat memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha bagi

masyarakat,serta dapat membuka lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga

kerjasehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Pembangunan pariwisata

akan memberikan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak negatif.

Dampak positif dari pembangunanpariwisata dapat meningkatkan pendapatan

daerah, menciptakan lapangan pekerjaan serta dapat memunculkan kegiatan

ekonomi di daerah danmerangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia. Akan

tetapi ada jugadampak negatif dari pengembangan pariwisata yang kurang

dianalisis efeknya, seperti pencemaran lingkungan, perubahan norma sosial,

eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan serta adanya perubahan keaslian

kualitas keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Sejalan dengan sektor pariwisata di Indonesia, Kabupaten Karanganyar

juga menawarkan potensi pariwisata yang cukup banyak. Berbagai macam objek

dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar mempunyai potensi

yang cukup baik yang dapat memberikan pemasukan bagi pendapatan daerah.

Berbagai macam objek dan daya tarik wisata tersebut menawarkan berbagai

macam pesona yang dimiliki masing-masing objek wisata yang dapat menarik

wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.

Page 3: Candi Cetho

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan perumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana Gambaran Candi Cetho secara umum?

2. Bagaimana sejarah keberlangsungan Candi Cetho?

3. Apa manifestasi dari relief yang ada di Candi Cetho?

Page 4: Candi Cetho

BAB II PEMBAHASAN

A. Gambaran Candi Cetho Secara Umum

Candi Cetho merupakan salah satu objek wisata budaya peninggalan

purbakala unggulan yang banyak dikunjungi wisatawan baik wisatawandomestik

maupun wisatawan mancanegara yang terletak di desa Gumeng, Kecamatan

Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho menyimpan nilai sejarah dan nilai

kebudayaan terutama kebudayaan Hindu. Candi Cetho merupakan salah satu

candi Hindu yang sampai sekarang masih digunakanbsebagai tempat pemujaan

bagi pemeluk agama Hindu. Candi Cetho juga memberikan kontribusi bagi

pendapatan daerah. Akan tetapi Candi Cetho yang lebih utama adalah bukan

mengejar target pendapatan melainkan melestarikan nilai sejarah dan nilai

kebudayaan yang dapat berguna untuk memperluas wawasan tentang sejarah dan

kebudayaan yang akan dapat menambah pengetahuan yang berguna bagi

pendidikan.

Candi Cetho merupakan candi peninggalan Hindu dari abad XIV pada

masa akhir pemerintahan Majapahit. Candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai saat ini pun Candi Cetho tetap

digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama

Hindu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang

kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaan terhadap

Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa

purba punden berundak).

Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho tidak seperti candi-candi lain yang

ada di Indonesia, tapi justru mirip dengan candi-candi yang ada di peradaban

bangsa Inca, Maya di Amerika Latin. Beberapa arkeolog Indonesia mengatakan

bahwa Candi Cetho dibuat pada Jaman Majapahit, tepatnya pada saat

pemerintahan Prabu Brawijaya ke V. Jika memang demikian maka ada banyak

keganjilan yang patut dipertanyakan. Antara lain, batu candi yang terbuat dari

batu kali, padahal pada era Majapahit, batu candi dibuat dari batu bata merah.

Kemudian, dilihat dari bentuk relief di Candi Cetho, tingkat presisi dan kerapian

Page 5: Candi Cetho

pemahatannya masih sangat sederhana.1 Tidak seperti di era Majapahit yang jauh

lebih detail menggambarkan figur-figur patung ataupun relief. Hal ini

mengindikasikan usia Candi Cetho yang lebih tua dari era Majapahit. Demikian

juga patung-patung yang ada di Candi Cetho banyak menunjukkan hal-hal yang

jauh lebih tua dari jaman Majapahit. Ada beberapa patung yang tidak

menggambarkan orang Jawa yang ada pada masa itu, patung tersebut justru lebih

mirip dengan sosok orang Sumeria. Padahal kebudayaan Sumeria dikatakan

sebagai kebudayaan tertua di dunia.2

Dari sisi wajah dan potongan rambut tidak menunjukkan orang Jawa tetapi

justru memiliki kesamaan dengan orang Sumeria, Viking, Romawi, atau Yunani.

Namun dari sisi pembentukan mata sangat identik dengan patung Sumeria.3

Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua

masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing

Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada dinding kanan gapura.

terdapat inskripsi dengan aksara Jawa Kuno berbunyi Pelling Padamel

irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku.

Tafsiran dari tulisan tersebut adlaah fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat)

dan peyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu pada tahun 1397 Saka atau dalam

Masehi 1475 Masehi. 4

Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang

menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat

kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang

kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.

Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan

cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh). yaitu

1 Anonim, Sejarah Tentang Candi Cetho Karanganyar, diakses dari http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cetho-karanganyar.html, pada Kamis 28 Mei 2015 pukul 1537 WIB di Surakarta.2Agunk dkk., Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam artikel Turangga Setha, September 2009, hlm.2. 3 Ibid, hlm.2.4 Anonim, Candi Cetho, diakses dari https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho/, Pada 28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.

Page 6: Candi Cetho

kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap

diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai

sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat

pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua

buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan

nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan

penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau

dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong.5

Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan

arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “Mahadewa”. Arca phallus

melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho

dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang

dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya

menunjukkan peneladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai

raja yang “berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta” yang diyakini pula

sebagai utusan Tuhan dimuka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap

utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada penguasa semesta. Trap

terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.6 Kawasan di sekitar Candi Cetho

dapat memberikan suasana seperti di kawasan Pulau Dewata hal ini dikarenakan

suasana tempat dan bangunan candi ini yang menyerupai pura yakni tempat

peribadatan bagi agama Hindu. Selain menjadi objek wisata, candi ini juga

menjadi pusat tempat peribadatan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama

Hindu. Candi Cetho bernuansa gaib sehingga terasa angker yang sering menjadi

ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin yang

dilakukan setiap malam Jumat Kliwon yang disebut dengan ritual tapa brata atau

semedi. Candi Cetho juga memiliki eksotisme dan sensualitas yang ditandai

dengan adanya patung yang unik yang menjadi daya tarik utama dari candi ini

terutama patung kelamin pria (phallus), seperti halnya di Candi Sukuh. Para

pengunjung candi ini sering meletakkan sesaji dan dupa di patung phallus. Selain

5 Loc.cit6 Loc.cit

Page 7: Candi Cetho

itu juga daya tarik dari candi ini adalah adanya taman sebagai penunjang daya

tarik wisata di kompleks Candi Cetho. Taman tersebut ditanami dengan

penanaman bunga/tanaman hias dengan mempertimbangkan keselamatan dan

keaslian bangunan fisik candi yang harus diutamakan, maka dalam pembuatan

taman dilakukan pemilihan jenis tanaman yang dari segi perakaran dan

pertumbuhannya tidak merusak bangunan dan pondasi candi.

Daya tarik lainnya adalah Puri Taman Saraswati yang berada di kompleks

Candi Cetho. Taman ini merupakan salah satu objek wisata di wilayah Kabupaten

Karanganyar yang tergolong baru yang diresmikan tahun 2007 oleh Bupati

Karanganyar dan Bupati Gianyar Bali sebagai bentuk kerjasama antar daerah,

dimana menurut hikayatnya ternyata penduduk desa Gumeng dan Gianyar

memiliki garis leluhur yang sama, terutama bagi masyarakat asli yang beragama

Hindu Bali.

B. Sejarah Keberlangsungan Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi budaya Hindu dari abad ke-14 pada

masa akhir pemerintahan majapahit. Keberadaan kompleks Candi Cetho ini,

pertama kali dilaporkan oleh Van De Vlis pada tahun 1842. Penemuan ini

menarik perhatian sejumlah ahli purbakala dunia karena unsur nilai

kepurbakalaanya. Pada tahun 1928, Dinas Purbakala telah mengadakan penelitian

melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekontruksi yang lebih lengkap.

Berdasarkan penelitian Van De Vlis Maupun AJ. Bernet Kempres,

kompleks Candi Cetho terdiri dari empat belas teras. Namun kenyataanya yang

ada pada saat ini hanya terdiri dari tiga belas teras yang tersusun dari barat ke

timur dengan pola susunan makin kebelakang makin tinggi dan dianggap paling

suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sejumlah pintu dan jalan

setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian. Bentuk

seni bangunan Candi Cetho mempunyai kesamaan dengan Candi Sukuh, yaitu

dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa

prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak

diketemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.

Page 8: Candi Cetho

Pada kompleks Candi Cetho banyak dijumpai arca-arca yang mempunyai

cirri-ciri masa prasejarah, misalnya arca digambarkan dalam bentuk sederhana,

kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Sikap arca semacam ini

menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada,

Sulawesi Tengah. Selain itu juga terdapat relief-relief yang menggambarkan

adegan cerita Cundhamala seperti yang ada di Candi Sukuh dan relief-relief

binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam.

Mengenai masa pendirian Candi Cheto, dapat dihubungkan dengan

keberadaan Prasasti yang berangka tahun 1373 Saka, atau sama dengan 1451

Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figure binatang

maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks Candi Cetho diperkirakan berasal

dari sekitar abad 15 dari masa Majapahit akhir.7

Bangunan utama pada kompleks Candi Cetho terletak pada halaman paling

atas/belakang. Bentuk bangunan dibuat seperti Candi Sukuh dan ini merupakan

hasil pemugaran pada akhir tahun 1970-an bersama-sama dengan

bangunanbangunan pendapa dari kayu. Candi Cetho terletak di lereng Gunung

Lawu sebelah barat masuk dengan luas wilayah kurang 1 hektar. Tepatnya didesa

Gumeng kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Disekitar

Candi Cetho, banyak sekali perkebunan. Perkebunan disana didomonasi oleh

perkebunan teh milik PTPN Persero. Perkebunan teh dikawasan ini sangatlah luas

terletak dikawasan kecamatan Ngargoyoso dan Jenawi Karanganyar.

Kompleks percandian saat pertama kali ditemukan reruntuhan batu pada

14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat ke timur. Pembaruan pada akhir

1970-an dilakukan oleh Sudjono Humardani,asisten pribadi Suharto mengubah

banyak struktur asli candi, meski konsep punden berundak tetap dipertahankan.

Beberapa obyek baru hasil pembaruan yang dianggap sudah tidak original adalah

gapura di depan bagian kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat

pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong,

Brawijaya V, serta Phallus, dan bangunan kubus ada bagian puncak punden.

7 Irfan,Muhammad, Wisata Candi Cetho dan Sekitarnya dalam Fotografi, (Surakarta:Tugas Akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS hlm.xii), tidak diterbitkan.

Page 9: Candi Cetho

Kemudian pada masa bupati karanganyar, Rina Iriani menempatkan arca Dewi

Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks

candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.

C. Manifestasi dari Relief yang Ada di Candi Cetho

Keberadaan Lambang Kesuburan pada Situs Candi Cetho

Simbol kesuburan candi Cetho nampak pada penggambaran phallus dan

vulva. Dengan menggambarkan kedua lambang tersebut, mendukung makna

simbolis akan harapan-harapan kemakmuran agar hasil bumi terus melimpah,

keberlangsungan regenerasi keturunan dan simbol penciptaan kembali alam

semesta.8 Menurut para ahli simbol coitus (persebadanan) adalah lambang-

lambang kesuburan yang dipergunakan sejak jaman prasejarah. Prinsip dari

konsep ini adalah penciptaan kreasi baru di dalam semesta ini disebabkan oleh

adanya persatuan dua unsur yang berbeda, yakni laki-laki dan wanita.

Perkembangan konsep tradisi megalitik Nusantara beriringan dengan

konsep hinduistis. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya persamaan bentuk

lingga (batu tegak) sebagai simbol Dewa Siwa dan Yoni (pitha/tempat lingga)

sebagai symbol saktinya yaitu Dewi Parwati. Keduanya bersatu sebagai objek

pemujaan utama. Lingga Yoni sebagai symbol Dewa Siwa dan Parwati pada

hakikatnya terletak pada kekuatan sebagai pencipta kembali. Lingga

melambangkan api atau cahaya sebagai manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan

(unsur langit), sedangkan Yoni melambangkan bumi. Api atau langit dan bumi

merupakan dua hal yang saling bertentangan, ibarat arus listrik “Positif dan

negatif” bila keduanya dipertemukan akan mendatangkan arus (energi) seperti

halnya perkawinan laki-laki dan wanita atau bersatunya sperma (sperm ) dan sel

telur (ovum) akan menimbulkan pembuahan, kesuburan ( fertility) dan melahirkan

kehidupan baru.9

8 Etty Saringendyanti, Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung Lawu, Makalah Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2008, hlm. 18.

9 Soekmono, Local Genius Dalam Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting Ayatrohaedi, (Bandung: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 46.

Page 10: Candi Cetho

Penyatuan lingga dan yoni identik dengan air kehidupan yang dihasilkan

keduanya. Penyatuan tersebut memberikan harapan baru untuk keberlangsungan

keturunan dan kemakmuran serta kesejahteraan duniawi, karena sifat air itu

sendiri sebagai awal penghidupan segala mahluk alam semesta. Kehadiran simbol

Lingga Yoni sangat mudah diterima masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dengan

banyaknya persebaran temuan Lingga Yoni di Jawa baik yang berukuran besar

maupun kecil. Oleh karena itu Poerbatjaraka menduga bahwa aliran siwa di Jawa

merupakan agama rakyat.

Menurut Soekarto, gambar naturalis tersebut mirip dengan relief phallus

candi sukuh, candi Ceto, Arca Gaprang dan arca di Pura pusering Jagat, yang

menggambarkan phallus kencang dan berdiri tegak. Phallus yang berdiri tegak

tersebut (erection) mungkin melambangkan urddhwareta, yaitu sikap

mengeluarkan atau memancarkan air mani. Perkataan urddhwa berarti “tegak‟ dan

reta “semen virile‟ atau “air mani‟. Hal ini bertambah jelas karena bagian

linggagra (the end or glans of the penis) digambarkan secara nyata. Dengan

demikian Phallus diatas juga mengandung unsur kesuburan. Selain terdapat

lingga tersebut dimana dalam budaya klasik lingga tersebut dianggap sebagai

replika Mahameru karena lingga tersebut dilengkapi oleh empat buah bola yang

merupakan puncak-puncak tambahan. Selanjutnya terdapat kelelawar yang besar

yang mendukung kura-kura yang besar, dapat dipastikan lingga yang terdapat di

candi Cetho yang dalam posisi tidur tersebut sebelumnya berada di atas, atau

berdiri diatas kura-kura dimana kura-kura pada dasarnya sebagai terutama gunung

Mahameru. Disamping lambang phallus atau lingga juga terdapat lambang wanita

yang dimanifestasikan dalam bentuk segitiga dimana diatasnya terdapat relief

binatang yang berhubungan dengan lambang kesuburan atau pemujaan roh

leluhur, yaitu tiga ekor katak, mimi dan mintuna (ketam), tiga ekor biawak, dan

seekor belut.

Keberadaan Relief-Relief yang Menggambarkan Pembebasan

Kepurbakalaan di situs candi Cetho yang terkait dengan pembebasan atau

pelepasan. Selain relief atau patung yang bergaya prasejarah terdapat pula

Page 11: Candi Cetho

beberapa patung atau relief yang bergaya klasik (Hindu-Budha) meskipun relatif

kurang lengkap dan jelas. Hal ini terlihat dalam relief Arjuna Wiwaha, dimana

menunjukkan Arjuna sedang berhadap-hadapan dengan dewa Indra dalam posisi

memanah. Dalam cerita Arjuna Wiwaha dikisahkan bahwa ada Raksasa

Niwatakawaca yang ingin menghancurkan kerajaan Indra. Karena raksasa tersebut

tidak mudah dikalahkan oleh apapun,dan hanya bisa dikalahkan oleh kesaktian

manusia, maka Indra pun berusaha mencari manusia yang bisa membantunya

mengalahkan Niwatakawaca. Kemudian Indra memilih Arjuna yang sedang

bertapa di gunung Indrakila. Sebelum Indra meminta Arjuna, ia menguji

ketabahan Arjuna terlebih dahulu agar yakin bahwa Arjuna bisa mengalahkan

raksasa Niwatakawaca.

Ujian pertama, Indra mengutus tujuh bidadari yang sangat cantik untuk

menggoda dan merayu Arjuna agar menghentikan tapanya. Namun usaha

bidadari- bidadari terebut hanyalah sia-sia. Maka dengan sedih dan kesal bidadari-

bidadari tersebut kembali ke kerajaan Indra dan melaporkan usaha mereka bahwa

Arjuna tidak tergoda dan tetap kukuh pada tapa-bratanya. Indra pun menjadi

senang dan semakin yakin dengan Arjuna. Kemudian Indra menjadi penasaran

akan tujuan Arjuna melakukan tapa tersebut. Akhirnya Indra menyamar menjadi

seorang kakek tua, dan menghampiri Arjuna yang sedang betapa. Ia disambut

hormat oleh Arjuna, dan dalam pembicaraan mereka terpaparlah alasan mengapa

Arjuna melakukan tapa, yaitu adalah untuk membantu kakaknya, Yudhistira agar

bisa merebut kembali kerajaannya dan kesejahteraan rakyatnya dari Korawa.

Maka ia bertapa memohon kepada Siwa agar diberi senjata-senjata. Kemudian

setelah mengetahui alasannya tersebut, Indra menduga bahwa Siwa pasti akan

menghapiri Arjuna yang sedang bertapa. Indra pun kembali ke Surga.

Saat itu, raksasa Niwatakawaca mengetahui bahwa Indra akan mengutus

Arjuna, maka ia menyuruh Muka untuk membunuh Arjuna. Muka pun

menghampiri Arjuna dengan menyamar menjadi seekor babi hutan dan mengacak-

acak hutan. Arjuna pun terkejut. Lalu ia berusaha untuk membunuh babi hutan

tersebut. Pada saat yang bersamaan, Dewa Siwa yang telah mengetahui betapa

Arjuna baik sekali dalam melakukan tapanya,menyamar menjadi seorang

Page 12: Candi Cetho

pemburu yang terasing dari sukunya. Dan pada saat yang bersamaan Siwa dan

Arjuna melepaskan anak panah,dan ternyata panah tersebut menjadi satu. Maka

mereka pun berselisih hingga berkelahi. Saat berkelahi, Arjuna hampir kalah.

Tetapi ia lalu memegang kaki lawannya,tetapi dengan seketika wujud pemburu itu

lenyap, dan Siwa pun menampakkan wujud aslinya sebagai ardhanariswara

“setengah pria dan setengah wanita‟ diatas bunga Padma. Lalu Arjuna memujanya

dengan segala pujian. Siwa pun menghadiahkan busur panah yang kesaktiannya

tidak dapat dipatahkan,bernama Pasupati.

Saat Arjuna sudah berkumpul dengan sanak saudaranya, ada utusan dari

Indra yang berwujud setengah dewa dan setengah manusia yang memberikan

sepucuk surat untuk Arjuna yang intinya meminta Arjuna untuk membantu Indra

mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Setelah dijelaskan oleh Indra, maka Arjuna

pun bersedia membantu Indra. Arjuna diperintahkan untuk mencari kelemahan

Niwatakawaca. Maka Arjuna pun menyelinap di kerajaan Niwatakawaca bersama

bidadari Suprabha. Subrabha kemudian berpura- pura merayu Niwatakawaca. Ia

terus menggoda dengan memuji betapa hebatnya Niwatakawaca. Lalu secara tidak

sadar, Niwatakawaca mengatakan bahwa kelemahannya berada pada ujung

lidahnya. Setelah mengetahui hal itu, Arjuna pun keluar dari persembunyiannya

dan mengacak-acak kerajaan Niwatakawaca. Setelah itu Arjuna membawa

Subrabha pergi,kembali ke Sorga Indra. Lalu Arjuna pun melapor kepada Indra.

Raksasa Niwatakawaca yang sangat marah karena ditipu pun menyerang

kerajaan Indra. Lalu terjadilah perang yang sangat hebat. Dalam perang tersebut,

Arjuna memancing Niwatakawaca dari arah belakang, dengan menyiapkan busur

panahnya. Niwatakawaca pun mengejar Arjuna dan berteriak-teriak agar

pasukannya mengikutinya. Saat berteriak itulah Arjuna melepaskan anak

panahnya,yang kemudian masuk ke mulutnya. Niwatakawaca pun mati, dan

raksasa-raksasa pasukan Niwatakawaca pun pergi,dan sebagian sudah mati.

Dewa-dewa pun sangat senang dengan Arjuna. Maka ia diberi hadiah

berupa tahta di kerajaan Indra beserta tujuh bidadari dalam tujuh hari di

surga,yang sama dengan tujuh bulan di bumi manusia. Bulan pertama ia menikah

dengan Suprabha,bulan ke dua bersama Tilotama, dan kemudian menyusul

Page 13: Candi Cetho

kelima bidadari lainnya.10 Dalam cerita ini dapat diambil kesimpulan bagaimana

seseorang melakukan tapa brata dan melepaskan keinginan duniawinya.

Kisah Tirta Amerta sering kali disebut sebagai lahirnya sang garuda. Ini

dapat dijumpai di gapura Candi Ceta teras VII, ditumpukan batu yang berbentuk

garudeya yang ditumpangi oleh kura-kura. Kisah pembebasan sang ibu oleh sang

garuda dianggap sebagai kisah suci dan siapapun yang mendengarnya akan

menjadi suci juga. Dikisahkan seorang pendeta cucu dewa Brahma yang bernama

Resi Kesyapa memperoleh empat belas orang gadis dari pendeta Daksa. Dari

empat belas gadis ini hanya Kadru dan Winata yang tidak memiliki anak, merasa

sedih dengan nasibnya Kadru dan Winata menghadap kepada Resi Kesyapa untuk

mengadu agar diberikan anak.

Kemudian Resi Kesyapa menyerahkan dua telur kepada kedua putri

tersebut. Telur Kadru menetas berupa ular sedangkan telur Winata menetas berupa

garudeya. Persaingan antar kedua putri tersebut masih berlanjut hingga saat terjadi

pengadukan kolam susu, mereka bertaruh akan warna kuda yang mengaduk lautan

susu tersebut, bila kalah maka yang kalah harus menjadi budak untuk yang

menang. Dewi Winata berpendapat bahwa kudanya berwarna putih mulus

sedangkan Dewi Kadru berpendapat kudanya berwarna putih namun ekornya

berwarna hitam.

Sebenarnya kuda tersebut benar-benar berwarna putih mulus namun dewi

Kadru menyuruh anak-anaknya untuk menyuntikkan bisanya ke ekor kuda

tersebut agar berwarna hitam, sehingga dewi Winata menjadi budaknya. Seiring

berjalannya waktu sang garudeya pun kasihan akan kesengsaraan ibunya yang

menjadi budak sehingga dia berbicara kepada ular untuk mengetahui syarat apa

yang bisa dilakukan untuk membebaskan ibunya. Ularpun menjawab bahwa

syarat yang harus dipenuhi untuk membebaskan ibunya adalah dengan

mnyerahkan tirta amerta. Garuda pun bergegas pergi mencari tirta amerta dan

dalam pencariannya garuda bertemu dengan ayahnya pendeta Kesyapa, dari

ayahnya garuda mendapat petunjuk dimana bisa menemukan tirta amerta yakni d

gunung Himawan. Setelah sang garuda mengalahkan penunggu di tempat ini sang

10 Lihat http://adinnanana.wordpress.com/cerita-arjunawiwaha-dalam-buku-kalangwan/

Page 14: Candi Cetho

garuda bergegas menuju tempat penyimpanan kendi tirta amerta yang di jaga oleh

para dewa namun garuda tetap bisa mengambilnya dan menyerahkannya kepada

ular sebagai syarat untuk menebus ibunya.

Lokasi Situs Candi Cetho Sebagai manifestasi Punden Berundak

Pada masa Majapahit akhir terdapat bentuk bangunan suci lainnya yang

merupakan bentuk bangunan atau arsitektur budaya asli Indonesia. Bangunan suci

tersebut adalah bentuk-bentuk punden berundak yang banyak didirikan di lereng-

lereng gunung. Dari bukti-bukti yang ada dapat diketahui bahwa bangunan

punden berundak dikenal lagi secara meluas pada masa Majapahit akhir sekitar

abad 15 Masehi. Hal yang menarik adalah bahwa bangunan punden berundak

tersebut biasanya di daerah-daerah pegunungan atau lereng gunung. Contoh yang

paling terkenal ialah bangunan punden berundak yang ada di gunung

Penanggungan, Gunung Lawu, Gunung Arjuna dan Candi penampihan di lereng

timur gunung Wilis. Ciri-ciri umum yang menandai arsitektur punden berundak

yaitu :

1.Bentuknya merupakan susunan teras, bertingkat dan hanya mempunyai

satu sisi karena umumnya dibangun pada kemiringan lereng gunung.

2.Jumlah terasnya antara 1-4, ditambah batur rendah di teras teratas.

3.Tidak mempunyai bilik candid an tentu saja tidak mempunyai atap

pelindung bangunan.

4.Bangunan tersuci berada pada teras teratas (teras terbelakang)

Demikian ciri-ciri bangunan punden berundak yang pada umumnya, tetapi

ada juga bangunan suci yang didirikan pada masa Majapahit akhir yang

bangunannyatidak berundak, sebagai penggantinya adalah halamannya berteras

tiga meninggi ke belakang dalam hal ini sebagai contoh ialah bangunan candi

sukuh.

Begitu juga arsitektur bangunan Candi Cetho, yang terdiri dari banyak teras

atau altar sehingga menyerupai punden berundak dimana bagian teras atau altar

yang paling atas adalah merupakan bangunan utama nya. Teras terakhir yakni

teras yang paling tinggi dahulunya pernah menopang sebuah pendapa, yang masih

ada peninggalan lantai nya yang terbuat dari batu dan umpak-umpaknya untuk

Page 15: Candi Cetho

tiang yang terbuat dari kayu. Telah dijelaskan diatas bahwa salah satu bangunan

yang biasa dianggap menyerupai punden berundak adalah mempunyai 1-4 teras

atau altar namun hal ini berlaku bagi pundenberundak di Gunung Penangguan,

karena di Candi Ceto di lereng sebelah barat Gunung Lawu jumlah terasnya

mencapai 13 tingkat. Situs candi cetho merupakan bangunan punden berundak-

undak dimana pada tiap-tiap tangga nya untuk menuju ke teras berikutnya terdapat

kura-kura nya, bagian punden yang terpenting terdapat di teras ke 14 yang

terdekat dengan gunung dan di teras ini hanya terdapat sejumlah batu yang

runcing bentuknya yang merupakan bentuk menhir yang sama artinya dengan

Lingga pada masa Hindu-Budha.11

Menilik bentuk bangunan punden berundak sebenarnya bangunan tersebut

dapat dikembalikan kepada konssep dasar pembagian lapisan kehidupan

(loka/dhatu), namun dalam punden berundak hal ini tidak terlihat begitu jelas. Hal

ini disebabkan karena sebuah punden berundak tidak dapat dibagi atas bagian kaki

(bhurloka), tubuh (bhuwarloka), dan atap (Swarloka). Namun punden berundak

bias dihubungkan dengan kepercayaan Hindu-Budha bahwa semakin tinggi

sebuah tempat maka tempat tersebut dianggap semakin dekat dengan sang

pencipta atau juga kepercayaan bahwa semua dewa bertempat tinggal di gunung

Mahameru. Kepercayaan inilah yang mungkin mendasari bentuk bangunan

punden berundak. Karena keinginan manusia untuk mendekatkan diri pada sang

pencipta sehingga mereka membuat bangunan yang tinggi menyerupai gunung.

11 Eko dkk., Anasir-anasir Ooterisme Pada Situs Candi Cetho, dalam Jurnal, No.1, Maret 2014 (Surabaya:UNS,2014),hlm.118.

Page 16: Candi Cetho

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi, 2009, Misteri di Candi

Cetho dan Candi Penataran, Yogyakarta: Yayasan Turangga

Seta.

Soekmono, 1986, Local Genius Dalam Perkembangan  Bangunan Sakral di

Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting

Ayatrohaedi, Bandung: Pustaka Jaya.

Jurnal/Skripsi/Hasil Penelitian :

Agunk dkk., 2010, Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam Artikel

Turangga Setha, Yogyakarta

Agus Aris Munandar,1990, Kegiatan Keagamaan di  Pawitra Gunung Suci di

Jawa Timur Abad 14-15, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas

Indonesia, Depok: Tidak Diterbitkan

Eko Hari Prasetyo dan Agus Suprijono, 2014, Anasir-Anasir

Esoterisme Pada Situs Candi Cetho, e-Journal AVATARA,

Pendidikan Sejarah, Vol. 2 Nomor 1, Maret 2014, Pendidikan

sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.

Surabaya: Tidak Diterbitkan.

Etty Saringendyanti, 2008, Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan

Gunung Lawu, Makalah Hasil Penelitian, Fakultas Sastra

Universitas Padjadjaran. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Irchan, Muhammad., 2008, Wisata Candi Cetho dan Sekitarnya Dalam Fotografi,

Tugas Akhir, Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.

Nilasanti, Viva., 2010, Perencanaan Strategis Pengembangan Objek Wisata

Candi Cetho Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten

Karanganyar, Skripsi, Surakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.

Page 17: Candi Cetho

Internet:

Anonim, Sejarah Tentang Candi Cetho Karanganyar, diakses dari

http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cetho-karanganyar.html,

pada Kamis 28 Mei 2015 Pukul 15.37 WIB di Surakarta.

Anonim, Wisata Jawa Candi Cetho, diakses dari

https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho / , Pada

28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.

Page 18: Candi Cetho

LAMPIRAN

Salah satu relief di Candi Cetho

Terdapat beberapa patung-patung yang berbentuk manusia yang belum dapat diidentifikasi satu-persatu. Namun secara umum

tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. Barangkali arca-arca ini merupakan perwujudan tokoh wayang.

Page 19: Candi Cetho

Phallus yang menyentuh symbol Vagina Patung Dewi Saraswati. Dikenal sebagai dewi ilmu pengetahuan

Suasana di dalam lokasi. Gambar diatas merupakan bentuk arca garuda dan kura-kura yang tersusun dengan susunan batu diatas tanah membentuk kontur burung yang sedang membentangkan sayap. Diatas nya lagi terdapat symbol phallus yang merupakan symbol kesuburan, dan symbol phallus ini berada dalam posisi

menyentuh symbol vagina

Page 20: Candi Cetho

Pintu Masuk Candi

Informasi singkat yang dipajang mengenai Candi Cetho