bst sn relaps
DESCRIPTION
Sindrom Nefrotik RelapsTRANSCRIPT
BST
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A213075 / Juni 2015
** Pembimbing: dr. H. Irawan Anasta Putra, Sp. A
SEORANG ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK RELAPS
Oleh:
Sulistya Ningsih, S.Ked
G1A213075
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JAMBI
SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUP RADEN MATTAHER JAMBI
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal tersering yang terjadi pada
anak. Berdasarkan sejarah, Roelan dihargai dengan pertama kali mendeskripsikan secara
klinis sindrom nefrotik pada akhir abad 15, kemudian Zuinger mendeskripsikan secara
detail uraian klinis tentang penyakit dan pentingnya sindrom nefrotik sebagai penyebab
gagal ginjal kronis pada era prasteroid.1
Sindrom Nefrotik dikarakteristikkan oleh bocornya protein yang berasal dari
darah ke urin melalui glomeruli menghasilkan proteinuria (960 mg/m2/24 jam;atau 40
mg/m2/jam), hipoalbuminemia (serum albumin <25 g/L), hiperkolesterolemia dan edem
generalisata (1-5). Sindrom nefrotik memiliki insiden 2 sampai 7 kasus per 100.000 anak
per tahun, dengan prevalensi 16 kasus per 100.000 anak.2
Medikasi standar untuk terapi sindrom nefrotik adalah prednison atau
prednisolon, durasi inisial terapi sebaiknya minimal selama 12 minggu. Bagaimanapun,
kira-kira 70 % anak yang menderita sindrom nefrotik mengalami relaps dengan episode
rekuren edem dan proteinuria dan sering menjadi tergantung pada steroid dan mengalami
kompllikasi akibat penggunaan streoid jangka lama. Relaps didefinisikan sebagai
proteinuria melebihi 960 mg/m2/24 jam selama 3 hari berturut-turut.2 Untuk itu perlu
penatalaksanaan yang tepat untuk sindrom nefrotik relaps agar menghindari komplikasi
dari penyakit itu sendiri dan komplikasi dari penggunaan steroid jangka lama.
Berikut dilaporkan sebuah kasus sindroma nefrotik relaps pada seorang anak laki-
laki berumur 3 tahun 11 bulan yang dirawat di bagian bangsal Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Raden Mattaher Kota Jambi.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An. RR
Tanggal Lahir : 17 Maret 2012 / 3 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 12000 gram
PB : 84 cm
Alamat : Jl. Tarmizi Kadir no 29 RT 10. Kelurahan Pakuan Baru
Kec. Jambi Selatan.
Nama Ayah : Tn. H
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : karyawan swasta
Nama Ibu : Ny. L
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : IRT
Tanggal Masuk : 13 April 2015
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu penderita, pada tanggal 15 Juni 2015
Keluhan Utama
Mata sembab dan perut kembung sejak ± 2 minggu SMRS.
3
Riwayat penyakit sekarang
- Pasien datang ke poliklinik anak dibawa oleh orang tuanya dengan
keluhan kelopak mata kiri dan kanan bengkak sejak 2 minggu SMRS.
Menurut ibu pasien, bengkak dirasakan di kedua mata setiap bangun
tidur. 2 hari SMRS ibu pasien mengatakan bengkak kemudian timbul di
tangan kanan dan kiri, perut dan kaki kanan dan kiri. Bengkak pada
tangan dan kaki mulai timbul saat siang hari ketika pasien sudah aktif
bergerak atau dalam keadaan tidak berbaring. Ibu pasien juga
mengatakan, 3 hari SMRS pasien mengalami demam, dan mencret
sebanyak 1-2 kali sehari, berupa ampas, BAK warna kuning agak keruh
dan darah ( - ). Muntah tidak ada. Batuk dan Pilek juga tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Anak pernah sakit batuk, pilek dan mencret tetapi tidak dirawat dirumah
sakit. Riwayat kejang disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Nenek pasien juga pernah menglami sakit yang sama seperti yang dialami
pasien saat ini.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah penderita bekerja sebagai karyawan swasta, ibu penderita tidak bekerja.
Penghasilan rata-rata tiap bulan Rp. 750.000; orang tua penderita
menanggung 3 orang anak. Anak dirawat dengan menggunakan BPJS
Jamkesmas.
Kesan : sosial ekonomi kurang.
4
Riwayat pemeliharaan prenatal dan posnatal
Prenatal : periksa dibidan lebih dari 4 kali, suntik TT 2 kali. Penyakit
kehamilan disangkal. Setiap kali periksa ke bidan ibu diberi vitamin tablet
penambah darah.
Postnatal : periksa diposyandu, keadaan anak tidak ada kelainan kongenital.
Riwayat Kelahiran
No Kehamilan dan Kelahiran Tanggal Lahir / Umur
1.
2.
3.
Laki-laki, aterm, normal, ditolong bidan,
3000 gram.
Perempuan, aterm, normal, ditolong
bidan, 3200 gram.
Laki-Laki, aterm, normal, ditolong
bidan, 1200 gram.
17 tahun 6 bulan
14 tahun 2 bulan
3 tahun 10 bulan
Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali, usia 0 bulan, scar (+).
DPT : 1 kali, usia 2 bulan.
Polio : 2 kali, usia 0 dan 2 bulan.
Campak : 1 kali, usia 9 bulan
Hepatitis : 2 kali, usia 0 dan 1 bulan.
Kesan : imunisasi dasar lengkap.
Riwayat Pola Makan
ASI diberikan sejak lahir hingga usia 2 tahun sesuai dengan keinginan anak.
Sejak usia 6 bulan hingga sekarang anak diberi susu tambahan SGM 3 kali
sehari @ 60 cc habis. Makanan padat mulai diberikan saat berusia 7 bulan
hingga 10 bulan, berupa nasi tim lembek, sebanyak 3 kali sehari, @ 3 sendok
makan, dengan lauk ikan/tempe/telur bergantian dengan sayur bayam /
wortel, tidak dipakai minyak, habis. Sejak usia 10 bulan hingga sekarang
anak diberikan makanan keluarga berupa nasi, sayur bayam/sop, laut
5
telur/ikan/tempe/tahu bergantian. Buah jeruk/pepaya diberikan sejak usia 7
bulan, 3 kali sehari 1 buah, habis.
Kesan : kuantitas dan kualitas cukup.
Status gizi
Seorang anak laki laki, umur 1 tahun 11 bulan, berat badan 10000 gram,
panjang badan 74 cm.
BB/U -2 < Z score < -1 disebut sesuai
PB/U Z score < -3 disebut sesuai
BB/PB 0 < Z score < -1 disebut BB sesuai
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
1. Pertumbuhan
Berat Badan Lahir 2800 gram, panjang lahir 45 cm, Lingkar kepala 40
cm, lingkar dada 38 cm, lingkar perut 44 cm
2. perkembangan
Senyum : 2 bulan Gigi keluar : 6 bulan
Miring : 3 bulan Merangkak : 7 bulan
Tengkurap : 4 bulan Berdiri : 9 bulan
Duduk : 6 bulan Berjalan : 12 bulan
Kesan : perkembangan sesuai umur.
Riwayat Keluarga Bencana
Orang tua penderita saat ini mengikuti program KB hormonal pil dan masih
menginginkan seorang anak lagi.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 15 Juni 2015, pukul 11.30 WIB
Seorang anak laki-laki, umur 3 tahun 11 bulan, berat badan 12000 gram,
panjang badan 84 cm.
Kesan umum : sadar, aktif, rewel, tanda dehidrasi (-)
6
Tanda vital : Nadi = 96 x/ menit, isi dan tegangan cukup.
RR = 23 x/ menit, reguler.
T = 36,4 oC
Kepala : normocephal, ubun-ubun besar menutup (+).
Rambut : penyebaran rambut merata, rambut bewarna hitam, tidak
mudah dicabut.
Kulit : sianosis (-), ikhterik (-)
Mata : sembab palpebra (+), konjungtiva palpebra anemis -/-,
sklera ikterik -/-
Telinga : simetris kanan dan kiri,daun telinga lunak, sekret (-)
Hidung : simetris, sekret (-) napas cuping (-)
Mulut : simetris, bersih, mukosa kering (-), sianosis (-), gusi
berdarah (-) ,labioscisis atau labiopalatochisis (-)
Tenggorokan : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : simetris, pembesaran KGB -, tortikolis -
Dada : Paru : I : gerakan dada simetris, statis,
dinamis, retraksi (-)
Pa : stem fremitus kana=kiri
Pe : sonor seluruh lapangan paru
Aus : suara dasar :vesikuler +/+
Suara Tambahan : ronkhi -/-
wheezing -/-
jantung : I : ictus cordis tidak tampak
Pa : ictus cordis teraba di SIC V medial
Linea medioclavicularis, tidak kuat
angkat, tidak melebar
Pe : batas kiri, atas dan kanan sulit
dinilai
Aus : bunyi jantung I dan II normal,
reguler, bising (-), gallop (-),
murmur (-)
7
Abdomen : I : datar, venektasi (-)
Aus : bising usus (+), normal
Pe : pekak sisi (+), pekak alih (+)
Pa : lemas, turgor kembali lambat (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : S0
Ekstremitas : superior inferior
Edema - / - - / -
Sianosis - / - - / -
Akral dingin - / - - / -
Capillary refill < 2 “ > 2 “
Genitalia : bersih, rugae scrotum jelas, testis pada scrotum
Kelainan lain : kelainan kongenital (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 13 Juni 2015 :
Darah rutin :
WBC : 8,9 H 103 / mm3
RBC : 5,57 H 106 / mm3
HGB : 10,6 L g /dl
HCT : 34,9 L %
PLT : 285 103 / mm3
PCT : . 200 %
Total Protein : 3.6 gr/dl
Albumin : 1,5 gr/dl (Kesan: hipoalbuminemia)
Globulin : 2,1 gr/dl
Kolesterol : 499 mg/dl (Kesan : Hiperkolesterolemia)
Ureum/kreatinin : 13 mg/dl / 0,4 mg/dl
8
Urin : - warna kuning muda
- Protein : +2 (Kesan : proteinuria)
- Reduksi : (-)
- Bilirubin : (-)
- Urobilin : (+)
- sedimen : leukosit 0 - 4/LPB
Epitel gepeng (+), Eritrosit 0 – 1/ LPB
Kristal oksalat +
V. DIAGNOSIS
Sindrome Nefrotik akut
VI. PENATALAKSANAAN AWAL
- IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Injeksi cefriaxone 1 x 1 gr IV
- Furosemid 1 x ½ ampul
- Captopril 2x3 mg
Non medikamentosa :
- Edukasi tentang penyakit pada orang tua pasien.
- Penghitungan Balance Cairan.
- Diet rendah garam.
VII. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia
Quo Ad Functionam : Dubia
9
VIII. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
15-06-
2015
Sembab (+) Kesadaran : cm
T : 36,4oC
HR : 96 x/i
RR : 23 x/i
SNA - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Injeksi cefriaxone 1 x 1 gr IV
- Furosemid 1 x ½ ampul
- Captopril 2x3 mg
16-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 36,6oC
HR : 92 x/i
RR : 22 x/i
UR
- Proteinuri (+3)
- Albumin 1,5
- Kultur bakteri (-)
SNA - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Furosemid 1 x 10 mg- Captopril 2x3 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1
17-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 36,6oC
HR : 94 x/i
RR : 23 x/i
UR
- Proteinuri (+2)
- Albumin 1,5
SNA - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Furosemid 1 x 10 mg- Captopril 2x3 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1- Transfusi Albumin
250cc
20-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 35,8oC
HR : 88 x/i
RR : 18 x/i
UR
- Proteinuri (-)
- Albumin 1,9
SN Remisi - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Captopril 2x3 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1
21-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 36,3oC
HR : 90 x/i
RR : 20 x/i
UR
SN Relaps - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Captopril 2x3 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1
10
- Proteinuri (+2)
- Albumin 1,9
22-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 36,7 oC
HR : 100 x/i
RR : 20 x/i
UR
- Proteinuri (+3)
- Albumin 1,8
SN Relaps - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Captopril 2x3 mg- Valsatan 1 x 7,5 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1
23-06-
2015
Sembab
berkurang
Kesadaran : cm
T : 36,7 oC
HR : 100 x/i
RR : 20 x/i
UR
- Proteinuri (+4)
- Albumin 1,5
SN Relaps - IVFD D5 ¼ NS Asnet
- Captopril 2x3 mg- Valsatan 1 x 7,5 mg- Metilprednisone tab
2mg 2-2-1
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindrom nefrotik dikarakteristikan dengan proteinuria massiv (>50 mg/kg/hari atau
960 mg/m2/24 jam; 40 mg/m2/jam), hipoproteinemia, hiperkolesterolemia dan edem.
Hematuria dan hipertensi Cuma ditemukan dibeberapa kasus. Sindrom nefrotik adalah
salah satu penyakit pada anak-anak yang memerlukan terapi jangka lama.2,4
Sindrom nefrotik bisa terjadi relaps setelah remisi pertama. Tipe relaps
diklasifikasikan menjadi relaps tidak sering (< 2 kali kambuh dalam 6 bulan) dan relaps
sering (≥2 kali kambuh dalam 6 bulan). Penderita dengan relaps sering beresiko
keracunan steroid berat, karena penggunaan prednisone tinggi terus menerus. Efek
samping glukokorticoid yang terkenal dan banyak diketahui terutama menghambat
pertumbuhan tinggi badan.4
Remisi dikarakteristikan pengurangan proteinuria (hingga <4 mg/m2/hari atau
dipstick albumin urin bernilai 0 yang diperiksa 3 hari berturut-turut) dan berhubungan
dengan resolusi edem dan normalnya serum albumin paling sedikit 3,5 g/dl. Relaps
didefinisikan sebagai proteinuria massive yang rekuren (>4mg/m2/hari atau rasio ureum/
kreatinin > 2 mg/mg atau dipstick albumin urin ≥ +2 pada 3 hari berturut-turut).1
3.2. EPIDEMIOLOGI
Insidensi sindrom nefrotik pada anak-anak di Amerika Serikat diperkirakan 2.0
hingga 2.7 kasus baru per 100.000 anak-anak dibawah 18 tahun. Insisdensi sindrom
nefrotik idiopatik 6 kali lebih besar pada anak-anak Asia daripada Eropa. Di Jakarta
Indonesia, Wira Wirya melaporkan 6 kasus baru per 100.000 anakanak di bawah 14
tahun, membuat ini menjadi penyakit relative paling umum pada pediatric.5
Sepertiga penderita SN tidak akan mengalami kambuh setelah remisi pertama,
namun duapertiga penderita SN akan mengalami kambuh. Angka kekambuhan pada
sindrom nefrotik kira-kira 70% dengan proteinuria dan edema berulang. 4
12
3.3. ETIOLOGI SINDROM NEFROTIK
Ada 6 penyebab utama pada sindrom nefrotik yaitu penyebab primer: minimal
change disease, focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), membranous
glomerulopathy, dan membranoproloferative glomerulonephritis (MPGN) adalah yang
paling umum, sedangkan nefropati diabetic dan amyloidosis sistemik merupakan
penyebab sekunder yang paling umum. Klasifikasi sindrom nefrotik primer adalah
berdasarkan histopatologinya. Dan sindrom nefrotik sekunder berhubungan dengan
penyakit yang mendasarinya seperti diabetes.3
Minimal Change Disease
Minimal change disease adalah penyebab paling sering sinrom nefrotik pada
anak-anak, terhitung 80% semua kasus anak berumur 4 sampai 8 tahun. Ini juga
bertanggung jawab pada 20% kasus pada dewasa. Tanda dari minimal change disease
adalah adanya glomeruli yang tampak normal pada mikroskop cahaya pada specimen
biopsy ginjal tapi hapusan pada prosesus kaki sel epithelial pada mikroskop electron.
Penyakit ini memiliki kecenderungan mengikuti gejala infeksi saluran napas atas atau
imunisasi, tapi mayoritas kasus adalah idiopatik. Minimal change disease cenderung
mewakili ekstrem benigna pada spectrum keparahan pada sindrom nefrotik.3
Focal Segmental Glomerulosclerosis
FSGS terdapat pada sepertiga kasus sindrom nefrotik pada dewasa dan hamper
50% kasus terdapat pada orang Africa-amerika. Penderita biasanya dengan gejala
proteinuria nefrotik, hipertensi, insufisiensi ginjal, dan kemungkinan hematuria. Disini
ada beberapa penyabab primer dan sekunder ginjal yang memicu FSGS. FSGS sekuner
berhubungan dengan infeksi HIV, penggunaan heroin, sickle cell disease, kegemukan,
dan nefropaty refluks. Sebagian besar FSGS primer adalah idiopatik, meskipun 15%
samapai 29% adalah familial. FSGS secara klasik dideskripsikan sebagai keterlibatan
sklerotik hanya pada bagian-bagian kurang dari 50% glomeruli pada biopsy ginjal.
Segmen sklerotik biasanya mengandung IgM dan deposit C3. FSGS memiliki respon
lebih buruk untuk terapi dan prognosis lebih buruk dibandingkan dengan minimal change
disease dan membranous glomerulopathy.3
13
Membranous Glomerulopathy
Membranous Glomerulopathy adalah satu dari penyebab ginjal primer paling
umum sindrom nefrotik, terhitung 30-40% kasus pada dewasa. Paling banyak terdapat
pada laki-laki, dan kejadian biasanya mencapai puncak anatara usia 30 dan 50 tahun.
Kira-kira 75% penderita terdapat proteinuria dalam batas nefrotik, dan 50% tampak
hematuria mikroskopik.3
Pada biopsy ginjal, membranous glomerulopathy dikarakteristikan denagn adanya
penebalan difus pada membrane basal glomerular, penempatan granular IgM dan C3, dan
tidak adanya mediator inflamasi. Antara 20% dan 30% penderita sindrom nefrotik dengan
membranous glomerulopathy terbukti dengan biopsy merupakan gejala dari penyakit
sistemik (contoh lupus eritematosus sistemik (SLE), hepatitis B, atau keganasan) atau
penyakit yang diinduksi obat, secara klasik berasal dari terapi penisilamin atau emas
kronik. NSAIDs juga berimplikasi pada membranous nephropathy; penyakit yang
diinduksi NSAIDs dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi yang sembuh dengan penghentian
obat.3
Membranoproliferative Glomerulonephritis
MPGN terdapat 5% sampai 10% dari semua kasus sindrom nefrotik dan lebih
umum pada anak-anak dan dewasa muda. Ini dapat bermanifestasi sebagai gambaran
klinis campuran dengan nefritis dan komponen nefrotik dan dapat juga hadir sebagai
proteinuria simptomatik proteinuria dan hematuria terdeteksi pada unrinalisis rutin.
MPGN tipe I adalah kompleks imun glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi
kronis ( seperti HIV dan Hepatitis B dan C), penyakit kompleks imun sistemik (seperti
SLE, cryoglobulinemia) dan keganasan. Penderita MPGN tipe I biasanya terdapat
proteinuria berat dan ditemukan penurunan level C3,C1q dan C4. Pada biopsy ginjal tipe
I dikarekteristikan oleh deposit imun mesangial dan subendotelial. MPGN tipe II
cenderung autoimun dan penderita biasanya terdapat proteinuria dalam batas nefrotik dan
kadang-kadang dengan hematuria makroskopik rekuren, yang lebih karakteristik pada
sindrom nefrotik.3
14
Secondary Causes
Diabetes
Nefropati diabetic adalah penyebab sekunder paling umum pada sindrom nefrotik
dewasa. Lebih lanjut, ini memicu penyebab penyakit ginjal stadium akhir pada daerah
barat dan bertanggung jawab pada lebih dari 30% kasus penyakit ginjal stadium akhir
yang memerlukan dialysis. Nefropati diabetic merupakan komplikasi 30% kasus diabetes
tipe 1 dan hamper 50% kasus diabetes tipe 2. Nefropati diabetic dikarakteristikan oleh
peningkatan progresif eksresi albumin urin dikombinasi dengan meningkatanya tekanan
darah dan menurunnya laju filtrasi glomerular.3
Diagnosis nefropati diabetic didefinisikan oleh adanya proteinuria melebihi 500
mg/24 jam. Bagaimanapun, sebagian besar penderita awalnya terdapat mikroalbuminuria
pada urinalisis rutin dan secara umum asimptomatik. Awalnya peningkatan eksresi
protein urin pada penderita diabetes sedikit, biasanya disebut mikroalbuminuria, yang
didefinisikan sebagai 30 sampai 300 mg albumin pada pengumpulan urin 24 jam. Karena
pengumpulan urin 24 jam tidak selalu dilakukan, langkah pertama screening untuk
nefropati diabetic adalah pengukuran urin tampung untuk albumin. Pengukuran albumin
dapat mengekspresikan rasio albumin urin/ kreatinin (mg/g); rasio normal kurang dari 30.
Meskipun biopsy ginjal tidak diperlukan untuk diagnosis nefropati diabetic, beberapa
penemuan karakteristik pada biopsy termasuk penebalan pada membrane basal
glomerular, perluasan mesangial, dan perluasan nodular pada matriks ekstraselular
(contoh, Kimmelstiel-Wilsonodular glomerulosclerosis).3
Systemic Amyloidosis
Amiloidosis sistemik adalah penyakit yang lebih umum berefek pada dewasa tua
dengan keterlibatan sistemik. Ini dapat secara primer, berasal dari diskrasia sel plasma
monoclonal, atau sekunder, berasal dari penyakit inflamasi kronis seperti rheumatoid
arthritis atau penyakit bowel inflammatory. Ini berhubungan dengan proliferasi dan
deposisi rantai ringan immunoglobulin monoclonal yang tak larut pada matriks
ekstraselular otot polos dan lurik, jaringan ikat , dinding pembuluh darah, dan saraf
perifer. Disfungsi ginjal merupakan masalah paling sering. Tanda diagnosis adanya
15
apple-green birefringence ketika specimen deposit amiloid diwarnai dengan Congo red
dan dilihat pada cahaya yang terpolarisasi.3
Faktor Pemicu Terjadinya Relaps Pada Sindrom Nefrotik Anak
Pemicu terjadinya kambuh pada sindrom nefrotik dibagi menjadi faktor non renal
(umur, jenis kelamin, status nutrisi,dan infeksi) dan faktor renal (penemuan histopatologi,
hipertensi, hematuri,kecepatan respon steroid awal, jumlah kambuh dalam 6 bulan
pertama,interval waktu antara kambuh pertama dan respon terhadap streoid awal).4
3.4. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Ada tiga tipe dasar dari proteinuria : glomerular, tubular dan overflow. Proteinuria
glomerular bertanggung jawab untuk kehilangan protein pada sindrom nefrotik.
Proteinuria pada penyakit glomeruler disebabkan oleh meningkatnya filtrasi
makromolekul yang melewati dinding kapiler glomerular. Albumin merupakan protein
utama pada urin, tetapi plasma protein lainnya termasuk factor penghambat pembekuan,
transferring dan hormone yang membawa protein seperti vitamin D pengikat protein
dapat hilang juga.7
Hipoalbuminemia
Serum albumin menurun sebagai konsekuensi proteinuria; sintesis albumin
hepatik meningkat dalam respon kehilangan albumin. Hati yang normal memiliki
kapasitas sistesis untuk meningkatkan albumin total kira-kira 25 gram per hari.
Bagaimanapun, ini masih belum jelas mengapa hati pada sebagian besar penderita
mengeksresikan 4 atau 6 gram protein per hari tetapi tidak dapat meningkatkan sintesis
albumin secara cukup untuk menormalkan konsentrasi albumin plasma. Ini mungkin
akibat meningkatnya katabolisme ginjal yang memfiltrasi protein pda beberapa individu
memicu perkiraan kehilangan protein dari tubuh sebagai perkiraan berasal dari eksresi
protein urin.7
Hiperlipidemia
16
Kelainan lipid paling sering pada sindrom nefrotik adalah hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia. Menurunnya tekanan onkotik plasma tampak pada stimulasi sintesis
lipoprotein hepatik menghasilkan hiperkolesterolemia. Metabolisme yang rusak secara
primer bertanggung jawab untuk hipertrigliseridemia nefrotik. Lipiduria biasanya hadir
pada sindrom nefrotik. Lipid urin mungkin terdapat pada sedimen, terjebak pada cast,
tertempel pada membran plasma sel epitelial degeneratif (oval fat bodies), atau bebas
dalam urin. Lipid mengandung sel epitelial dianggap sebagai sel epitelial tubular ginjal
yang mengandung ester kolesterol. Dibawah cahaya yang dipolarisasi oval fat bodies
tampak sebagai Maltese cross.7
Sembab atau edema
Patogenesis edem pada sindrom nefrotik masih menjadi kontroversi, beberapa
penelitian member hasil yang tidak konsisten dengan postulate bahwa penderita
hipoalbumin terjadi kontraksi pada ruang intravaskuler (teori underfill) . faktanyanya
beberapa pasien khususnya anak-anak dengan minimal change nephrotic syndrome
(MCNS), memiliki kejadian kontraksi ruang intravaskuler, yang disebabkan terjadinya
penurunan volume darah, stimulasi sekresi rennin-angiotensin-aldosteron dan respon
natriuretic terhadap ekspansi plasma dan imersi air keluar. Sebagian besar penderita
sindrom nefrotik memiliki renal defek pada eksresi sodium dan memiliki hubungan
dengan ekspansi volume plasma (overfill).9
Skema dibawah menjelaskan patofisiologi terjadinya edema pada sindrom
nefrotik. Proteinuria massive menginduksi infiltrasi inflamasi tubulointerstitial dengan
stimulasi mediator vasokontriksi (angiotensin II) dan penghambatan zat-zat vasodilator
(seperti nitrit oksida). Dalam glomerulus, proteinuria menyebabkan reduksi pada
koeficient ultrafiltrasi glomerular (Kf) dan single nephron glomerular filtration rate
(SNGFR). Akibatnya ada peningkatan bersih pada reabsopsi tubular dan reduksi dalam
jumlah natrium yang difiltrasi dan cenderung untuk “overfill” volume intravaskuler dan
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler (PC). Menurunnya tekanan onkotik plasma
(PCOP) memicu pergerakan cairan keluar dari kompartemen vaskuler dan terjadi
perubahan buffer pada volume darah yang diinduksi oleh retensi natrium primer. Jika
hipoalbuminemia parah dan infiltrasi zat inflamasi ginjal minimal atau tidak ada, seperti
17
pada sebagian besar anak-anak dengan minimal change nephritic syndrome (MNCS),
pengurangan pada PCOP dapat menyebabkan “underfill” volume intravaskuler dan retensi
natrium sekunder (kompensasi).9
Infiltrasi sel T Kf SNGFR
Angiotensin II NO
Reabsopsi Na Filtrasi Na
Retensi Na Retensi Na sekunder
Primer
-
PC PCOP
3.5. GAMBARAN KLINIS
Sembab merupakan keluhan utama, tidak jarang merupakan keluhan satu-satunya
dari sindrom nefrotik. Timbulnya terutama pada pagi dan hilang pada siang hari. Setelah
beberapa minggu atau bulan, sembab menetap. Lokasi sembab biasanya mengenai
kelopak mata, tungkai, perut, torak dan genitalia. Pada sindrom nefrotik dengan
hipoalbuminemia berat (albumin serum kurang dari 2 gram%) sembab ini akan mengenai
seluruh tubuh, dinamakan anasarka. Pasien-pasien mengeluh sesak nafas, kaki terasa
berat dan dingin, tidak jarang dengan diare.7
Otot-otot mengalami atrofi terutama otot sekelet (muscle wasting), karena
keseimbangan negatif dari nitrogen atau akibat efek samping pemberian kortikosteroid
jangka lama. Atrofi otot-otot ini akan terlihat makin nyata bila sembab telah hilang. Pada
sindrom nefrotik berat dengan albumin serum kurang dari 2 gram% dan berlangsung
18
PROTEINURIA
Tubulointerstitium GlomeruliHIPOALBUMIN
UNaV
Volume intravaskular
EDEMA
lama selalu disertai tanda-tanda malnutrisi seperti perubahan-perubahan rambut dan kulit,
pembesaran kelenjar parotis, garis Muercke pada kuku.7,10
Pada beberapa pasien tidak jarang dengan keluhan yang menyerupai akute
abdomen yaitu sakit perut hebat, mual-mual dan muntah-muntah, dinding perut sangat
tegang. Keluhan-keluhan demikian dinamakan nephrotic crisis. Pada laparotomi hanya
ditemukan cairan asites steril dan serat-serat fibrin. Sindrom nefrotik sangat peka
terhadap infeksi sekunder terutama infeksi saluran nafas (pneumonia), dan saluran kemih
(pielonefritis).7,10
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN, diare
sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di perut
yang kadang-kadang berat, dapat terjadi. Kemungkinan adanya abdomen akut atau
peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat
disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan
terbatas pada kwadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat
dengan beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
prolap ani.7
3.6. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan jasmani harus di lakukan secara menyeluruh sesuai dengan cara-cara
pemeriksaan di bidang penyakit dalam pada umumnya. Pemeriksaan tekanan darah di
lakukan pada posisi berbaring, duduk, dan berdiri. Selain itu juga di periksa pada kedua
lengan dan tungkai (kanan dan kiri). Kelainan yang tampak di kulit seperti warna pucat
(anemia), turgor yang mengurang (tanda dehidrasi), ekskresi keringat (berkurang pada
gangguan ginjal kronik dengan gangguan saraf otonom), rash, bintik atau
bercak-bercak/bintik perdarahan pada kulit (purpura/petekie), dan lain-lain. Pada
pemeriksaan abdomen perlu di perhatikan adanya benjolan pada daerah abdomen
19
(hidronefrosis, ginjal polikistik, tumor ginjal, atau retensio urin). Pada pemeriksaan
palpasi ginjal, sebaiknya di lakukan juga sewaktu pasien dalam keadaan berdiri, terutama
pada pasien dengan keluhan sakit pinggang atau kolik atau nyeri pada bagian perut.
Pemeriksaan ini di lakukan secara bimanual yaitu dengan meletakkan jari-jari tangan di
bagian depan perut, pad posisi ginjal, sedangkan jari-jari tangan yang lain di letakkan di
belakang badan.dengan menekan jari tangan di belakang badan berulang-ulang akan
terasa pada jari-jari tangan yang lain sentuhan atau ballotement massa ginjal. Nyeri ketok
pada daerah kostovertebra di periksa dengan menekan atau mengetok (tidak perlu kuat)
pada daerah sudut yang terbentuk oleh kosta terakhir dan vertebra. Bruit atau bising
sistolik dan diastolik arteri renalis dapat terdengar pada daerah perut bagian depan
(epigastrium) atau pada punggung apabila ada penyempitan arteri renalis.1,7,10
Hipertensi berat dengan atau tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom
nefrotik tetapi mempunyai hubungan dengan etiologi dan perubahan-perubahan
histopatologis ginjal. Pada pasien-pasien glomerulopati lesi minimal (GLM) jarang
ditemukan hipertensi. Pada glomerulopati membranous (GM) hipertensi ditemukan pada
kira-kira 50%. Hipertensi lebih sering ditemukan (75%) bila sindrom nefrotik
mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis kronis, lupus nefritis dan glomerulo-
sklerosis interkapiler pada diabetes mellitus.9
3.7. GAMBARAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan urin (urinalisa), jumlah protein pada sampel urine penderita SN
biasanya melampaui 100 mg/dl, dan nilainya dapat mencapai 1000 mg/L.14 Mikroskopik
hematuria tampak pada permulaan penyakit 20-30% penderita dengan MCD, dan setelah
itu dapat tidak tampak. Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin, granula,
lipoid, terdapat pula sel darah putih.3
Kimia darah menunjukkan konsentrasi serum albumin kurang dari 2,5 g/dl dan
hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl). Laju endap darah dapat meninggi.10
Diagnosis Sindrom Nefrotik Relaps
20
Hampir 60-70% anak dengan sindrom nefrotik dapat mengalami relaps satu kali
atau lebih. Ini didiagnosis jika terdapat proteinuria +++ atau ++++ selama 3 hari atau
lebih. Urine harus diperiksa 2 kali seminggu, kemudian seminggu sekali setelah episode
pertama. Atau proteinuria ++ lebih dari 1 minggu.10
3.8. PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK
Penatalaksanaan Umum
Diet
Sebelumnya, baik diet rendah atau tinggi protein direkomendasikan untuk
sindrom nefrotik sensitive steroid. Diet rendah protein mengurangi albuminuria namun
meningkatkan resiko malnutrisi. Penelitian hewan percobaan menunjukkan diet tinggi
protein meningkatkan sintesis albumin, tetapi tidak meningkatkan konsentrasi atau
pertumbuhan albumin secara signifikan.Berdasarkan bukti terbaru, tidak ada diet spesifik
yang disarankan untuk kasus tanpa komplikasi pada sindrom nefrotik sensitive steroid.8
Aktivitas
Semua usaha sebaiknya dilakukan untuk mobilisasi anak secara aktif; tirah baring
sebaiknya dihindari jika mungkin untuk meminimalisasi resiko thrombosis.8
Imunisasi
Semua vaksin mati secara umum aman untuk anak yang mengalami remisi.
Semua vaksin yang hidup sebaiknya dihindari hingga steroid dihentikan selama paling
sedikit 6 minggu. Selain itu, harus dihindari jika terapi cyclofosfamid atau cyclosporine
A telah diinisiasi.8
Komplikasi
Infeksi
Anak-anak dengan NS berada pada risiko yang lebih tinggi terkena infeksi,
sebagian karena penyakit itu sendiri dan sebagian karena terapi imunosupresif. Mereka
memiliki kecenderungan yang kuat untuk infeksi pneumokokus. Beberapa ahli
mengusulkan bahwa anak-anak dengan NS diberikan profilaksis penisilin selama relaps
dari penyakit ini. Penting untuk diingat bahwa bakteri gram negatif
21
menyebabkan proporsi yang signifikan dari infeksi pada anak-anak
dengan NS, dan sampai organisme telah diidentifikasi dalam pasien tertentu, antibiotika
spektrum luas harus ditentukan. Pasien pada obat-obatan imunosupresif, jika terkena
infeksi varicella, sebaiknya menerima imunoglobulin zoster dalam waktu 72 jam. Pasien
dengan varicellaharus ditangani dengan infus asiklovir.8
Hipovolemia
Shock dan hipovolemia umumnya terjadi pada perkembangan edema. Kehilangan
cairan selama diare, muntah, sepsis dan terapi diuretik secara gegabah
memicu terjadinya hipovolemia. Tanda-tanda klinis dan gejala termasuk kram pusat
perut parah dengan atau tanpa muntah, penurunan output urine, kaki dingin, tekanan
darah rendah atau hipertensi reaktif. Laboratorium temuan natrium urin rendah (<10
mEq/l) dan hematokrit meningkat menandakan shock hipovolemik. pengobatan sangat
penting dan infus koloid adalah andalan pengobatan; 4,5% albumin, albumin 20% atau
plasma harus diinfus perlahan-lahan di bawah pengawasan hati-hati. Jika terjadi edema
paru, infus harus dihentikan dan diberikan furosemid intravena (1 mg / kg).8
Hipertensi
Dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SSNS), tekanan darah biasanya normal.
Namun, hipertensi pada anak dengan SSSN harus dievaluasi sangat hati-hati. Ini mungkin
mencerminkan hipervolemia atau vasokonstriksi ekstrim dalam menanggapi hipovolemia
dimediasi melalui sistem renin-angiotensin. kemudian, kadar natrium urin akan sangat
rendah. Jika tekanan darah melebihi batas normal, terapi singkat antihipertensi dapat
ditentukan setelah hipovolemia tidak diperhitungkan. Umumnya obat antihipertensi yang
digunakan adalah nifedipin, hydralazine atau atenolol. Diuretik sangat berguna ketika
hipertensi diakibatkan overload cairan.8
Trombosis
Anak-anak dengan sindrom nefrotik dapat berkembang menjadi thrombosis arteri
dan vena. Kejadian thrombosis karena kombinasi factor hemodinamik dan status
hiperkoagulasi yang berhubungan dengan sindrom nefrotik. Ini terjadi kehilanngan
antitrombus melalui urine, sehingga meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada
sindrom nefrotik.8
22
Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut sangat jarang terjadi pada SSNS, tetapi derajat ringan azotemia
prerenal terlihat dalam hubungan hipovolemia yang merespon penggantian volume.
Malnutrisi
Hiperlipidemia
Edema
Penatalaksanaan Spesifik
Induksi Remisi Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat pilihan pertama untuk induksi remisi. Meskipun
tidak ada penelitian control yang membandingkan efikasi prednisone dan prednisolon,
keduanya dapat diperbandingkan.8
Protokol pengobatan kortikosteroid berdasarkan ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children): prednison dosis penuh sebesar 2 mg/kgBB/hari (maksimal
80 mg/kg BB hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison 2/3 dosis penuh,
yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminggu (intermitten dose) atau selang sehari
selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tappering off lagi. Bila terjadi relaps
diberikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi (maksimal 4
minggu), kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila terjadi relaps sering
atau resisten steroid, dilakukan biopsi ginjal.10
Pasien sebaiknya dimonitor secara inisial setiap bulan, kemudian setiap 3-4 bulan.
Respon terapi dikategorikan sebagai remisi komplit atau remisis sebagian proteinuria.
Remisi komplit didefinisikan sebagai adanya jejak atau negative proteinuria (dengan tes
dipstick) atau rasio protein urin tamping terhadap kreatinin urin (Up/Uc). <0.2 mg/mg.
pasien dianggap dalamremisi sebagian jika menunjukkan proteinuria 1-2+ (atau Up/Uc
antara 0.2-2), serum albumin <2.5 g/dl atau edem.10
3.9. PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK RELAPS
23
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik relaps terjadi pada 6 bulan
pertama terapi inisial. Hampir 50-60 persen adalah relaps sering atau yang tergantung
steroid. Factor yang memicu relaps sering adalah usia onset kurang dari 3 tahun, waktu
remisi yang terlambat (7-9 hari) dan terjadi relaps awal ( dalam 6 bulan pertama setelah
inisial terapi).11
Untuk waktu yang lama, prednisolon oral adalah strategi inisial untuk pasien yang
sindrom nefrotik tergantung steroid dan relaps sering. Prednisone di tapering secara pelan
sampai mencapai dosis pemeliharaan 0.25-0.5 mg/kgBB per hari. Dosis ini diberikan
untuk jangka waktu yang lama 9-12 bulan, tapi masih banyak yang mengalami relaps,
khususnya yang mengalami infeksi berulang. Pasien memerlukan dosis yang tinggi 1
mg/kgBB pada hari alnernate untuk memelihara remisi yang menunjukkan efek samping
dan harus dipertimbangkan dengan agent steroid yang berbeda.10
Levamisole adalah obat antihelmintihic dengan imunostimulator yang dilaporkan
efektif sebagai agen pemisah streroid . levamisole mengurangi resiko relaps selama
terapi. Dosis 2,5 mg / kg / pada hari alternate selama 6 bulan sampai 31 bulan..
pengobatan biasanya ditoleransi baik, efek samping yang jarang adalah leucopenia, rash
vaskulitis, dan keracunan hati.10
Agen alkylating telah digunakan secara luas untuk pengobatan sindrom nefrotik.
Terapi dengan cyclophosphamide (2-3 mg/kg/daily) dan prednisolone (1 mg/kg pada
hari alternate) selama 8-12 minggu menginduksi remisi pada 25-60 persen pasien
dengan relaps sering atau tergantung steroid pada follow up 2-5 tahun. Hasil kurang
berguna pada pasien yang tergantung steroid. Terapi setiap sebulan sekali dengan
cyclophosphamide iv terlihat efektif, tapi tidak jelas keuntunagnnya pada terapi oral.
Efek samping termasuk supresi sumsum tulang, alopisia, dan sistitis hemoragis, resiko
infeksi bakteri berat adalah 1,5 persen. Toksik gonad pada agent alkylating perlu
dipertimbangkan, khususnya pada pemuda pubertas biasanya tidak dianjurkan. 11
Calcineurin inhibitors (cyclosporine A (CsA) dan tacrolimus) beraksi pada
intraseluler pengikat protein dan menghambat calcium dependent pada jalur transkripsi
gen IL2. Berkurangnya sintesis IL2 menghasilkan penghambatan pada proliferasi
24
limfosit T dan respon imun. Setelah bertahun-tahun, CsA muncul sebagai obat penting
untuk terapi pasien relaps sering dan steroid dependence. Kira-kira 80-85 persen pasien
merespon terhadap CsA. Banyak pasien , bagaimanapun, memerlukan dosis rendah
steroid pada penambahan terapi CsA untuk memelihara remisi. Dosis CsA adalah 4-5
mg/kg (100-150 mg/m2) perhari, yang secara normal mencapai seluruh darah pada tingkat
150-250 ng/ml. CsA withdrawal biasanya berhubungan dengan relaps berulang,
pengobatan jangka panjang memerlukan waktu diatas 1-3 tahun. Sedangkan terapi yang
lama dengan CsA digunakan seraca meningkat,sehingga perlu dipertimbangkan tentang
nefrotoksiknya perlu pemantauan secara hati-hati sifat terhadap monitoring fungi ginjal.
Pasien pada terapi berlanjut dengan CsA selama 2-3 tahun sebaiknya dilakukan biopsy
ginjal berkenaan denan kejadian CsA induced vasculopathy. Pengalaman dengan
penggunaan tacrolimus pada pasien relaps sering masih terbatas. Keuntungan potensial
tacrolimus termasuk efek samping kosmetik yang minimal dan dan mengurangi resiko
nefrotoksis, hipertensi dan dislipidemia.10
Mycophenolate mofetil (MMF) dihidrolisis menjadi metabolit aktif
mycophenolic acid yang mengambat inosine monophosphate dehydrogenase, sebuah
enzim yang termasuk dalam de novo biosintesis guanosine. Limfosit T and B tergantung
terhadap sintesis purin de novo untuk proliferasinya dimana tipe sel lainnya dapat
menggunakan jalur pembelahan. Terapi dengan MMF pada dosis 25-30 mg/kg perhari,
mengahasilkan reduksi yang signifikan pada angka relaps dan ditandai efek sparing
kortikosteroid. Efek samping jarang, tapi tetapi penghetian terapi dapat menghasilkan
relaps berulang. Sebuah Expert Group of the Indian Pediatric Nephrology Group telah
bertemu pada December 2000 untuk membahas panduan terapi pada pasien dengan
sinrom nefrotik relaps sering.10
Berikut manajement pada sindrom nefrotik relaps akan dijelaskan pada bagan 2
dibawah ini.10
25
.
Predinisolon 2 mg/kgBB selama 6 minggu, 1,5 mg/kgBB pada hari berikutnya selama 6
minggu
Prednisolon 2 mg/kgBB refer for evaluation
Perhari hingga remisi refer for evaluation terapi tergantung
Alternate day prednisolon
untuk memelihara remisi; temuan biopsy ginjal
assess steroid (prednisolon
threshold)
threshold >0.5 mg/kg on alternate
steroid threshold <0.5 day, severe complications or steroid
mg/ kg on alternate day toxicity
3.10. PROTOKOL PENGOBATAN11
26
Episode pertama sindrom nefrotik : tidak adanya hipertensi, hematuria, azotemia
Relaps sering, steroid
dependence
Relaps tidak sering Steroid
resisten
LevamisoleCyclophosphamideCyclosporine AMycophenolate mofetil
prednisolon pada hari selanjutnya selama 9-18 bulan
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.10
A. Sindrom nefrotik serangan pertama8
1. Perbaiki keadaan umum penderita :
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
c. Berantas infeksi.
d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami
remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison
tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)10,11
1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.
a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
27
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam
masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
b. Sindrom nefrotik kambuh sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam
masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid, atau untuk biopsi ginjal.
3.11. PROGNOSIS SINDROM NEFROTIK RELAPS
28
Factor yang paling penting dalam menentukan prognosis anak- anak dengan
sindrom nefrotik adalah kemampuan merespon steroid. Sementara lebih dari 70 persen
anak-anak dengan sindrom nefrotik sensitive steroid relaps dan hamper 50 persen
memiliki relaps sering atau tergantung steroid, resiko mereka untuk progersi kearah gagal
ginjal kronis minimal. Studi-studi pada sajarah alam menunjukkan bahwa 15-25 persen
pasien dapat berlanjut menjadi relaps setelah 10-15 tahun setelah onset penyakit.usia
muda pada onset dan relaps sering selama masa anak berhubungan dengan relaps pada
masa dewasa.11
29
BAB IV
ANALISA KASUS
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang anak laki-laki berumur 3 tahun 11 bulan dengan
diagnosis kerja sindroma nefrotik relaps. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan informasi bahwa Anak mengalami sembab pada
kelopak mata sejak ± 2 minggu yang lalu sebelum masuk Rumah Sakit. Sembab terutama
muncul ketika pasien bangun pagi hari. Pasien datang ke poliklinik anak dibawa oleh
orang tuanya dengan keluhan kelopak mata kiri dan kanan bengkak sejak 2 minggu
SMRS. Menurut ibu pasien, bengkak dirasakan di kedua mata setiap bangun tidur. 2 hari
SMRS ibu pasien mengatakan bengkak kemudian timbul di tangan kanan dan kiri, perut
dan kaki kanan dan kiri. Bengkak pada tangan dan kaki mulai timbul saat siang hari
ketika pasien sudah aktif bergerak atau dalam keadaan tidak berbaring. Ibu pasien juga
mengatakan, 3 hari SMRS pasien mengalami demam, dan mencret sebanyak 1-2 kali
sehari, berupa ampas, BAK warna kuning agak keruh dan darah ( - ). Muntah tidak ada.
Batuk dan Pilek juga tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum : sakit sedang, Kesadaran :
sadar, Tekanan Darah : 100 / 60 mmhg, Frekuensi denyut nadi : 96 x /menit, Frekuensi
nafas : 23 x/ menit, Suhu : 36,4 oC, Panjang badan : 84 cm, Berat badan: 12 kg, Status
gizi : Gizi baik. Pada pemeriksaan sistemik didapatkan edema palpebra (+), strie (-),
hirsutisme (-). Adanya edema yang dimulai dari mata-muka terutama pada pagi hari
sesuai dengan manifestasi klinis edema pada sindroma nefrotik. Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya hipertensi yang dapat menyokong ke arah kelainan histopatologi
glomerulopati bukan kelainan minimal, ataupun yang dapat disebabkan oleh efek
samping pemakaian kortikosteroid jangka panjang, dimana kortikosteroid dapat
menyebabkan retensi natrium dan air. Tidak ditemukan strie dan venektasi yang sering
disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid lama pada penderita sindrom nefrotik. Harus
diwaspadai juga efek samping lainnya dari pemakaian steroid jangka panjang, misalnya
cushing syndrome, infeksi tuberkulosis dan infeksi lainnya selain karena daya tahan
30
tubuh penderita sindrom nefrotik yang sudah terganggu akibat ekskresi Imunoglobulin
karena glomerulopati, serta adanya atrofi otot.
Penegakan diagnosis juga didasarkan dari hasil pemeriksaan laboratorium dimana
didapatkan Albumin 1,5 gr/dl dengan kesan hipoalbuminemia, kolesterol 499 mg/dl
dengan kesan hiperkolesterolemia, dan hasil urinalisis protein +2 dengan kesan adanya
proteinuria masif. Ketiga hal diatas sesuai dengan kriteria sindrom nefrotik.
Selama follow up, sebagai terapi awal pasien ini telah diberikan medikamentosa
berupa IVFD D5 ¼ NS Asnet, Injeksi cefriaxone 1 x 1 gr IV, Furosemid 1 x ½ ampul dan
Captopril 2x3 mg serta terapi Non medikamentosa berupa dukasi tentang penyakit pada
orang tua pasien, penghitungan Balance Cairan dan diet rendah garam. Kemudian Pada
minggu kedua perawatan, pasien diberikan terapi metilprednisone tab 2mg/kgbb/hari 2-2-
1. Selain itu telah diberikan pula transfuse albumin 250 cc dan pada pemeriksaan
laboratorium tanggal 13 Juni 2015 terjadi perbaikan dimana hasil labor menunjukkan
hasil proteinuria negatif dan kadar albumin meningkat dari 1,5 menjadi 1,9 mg/dL
sehingga terapi diteruskan.
Yang menjadi masalah adalah pasien ini telah mendapatkan terapi kortikosteroid,
tapi masih terjadi kekambuhan. Sayangnya, pada pasien ini pemeriksaan laboratorium
tidak dilakukan 3x berturut turut, dan pasien didiagnosa syndrome nefrotik relaps hanya
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil kekambuhan dari
proteinuria negatif menjadi positif, dan peningkatan kadar albumin dari pemeriksaan
sebelumnya. Perlu dicari penyebab ataupun faktor resiko yang dapat menyebabkan
kekambuhan, misalnya kelainan histopatologi yang mendasari sindrom nefrotik pada
pasien ini. Dan pentingnya pengontrolan diet anak dirumah, yaitu diet protein sedang,
rendah garam, dan rendah lemak dengan tujuan diet adalah untuk mengganti kehilangan
protein terutam albumin tanpa memperberat kerja ginjal, mrngurangi edema dan menjaga
keseimbangan cairan tubuh, mencegah hiperkolesterolemia, dan penumpukan trigliserida,
mengontrol hipertensi, dan mengatasi anoreksia.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Putra Deddy Satriya dari : Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arifin Achmad / FK
UNRI). Upaya Mengurangi Kejadian Komplikasi Diare Akut dalam: Diare Akut
Pada Anak. Juni 2008. Diunduh dari URL: http://www.dr-deddy.com/artikel-
kesehatan/1-diare-akut-pada-anak.html
2. Pudjiaji AH, Hegar Badriul, Handryastuti S, dkk. Diare Akut dalam: Pedoman
Pelayanan Medis IDAI, Jilid I. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2010. 58-61.
3. Pusponegoro HD, dkk. Diare akut dalam: Standar pelayanan medis kesehatan anak.
Edisi 1. Jakarta. Badan Penerbit IDAI. 2004. 49-52
4. Orenstein DM. Diare akut Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin editor. Nelson, ilmu
kesehatan anak edisi 15. Jakarta. EGC. 2000 : 889-92
5. Dadiyanto DW, Muryawan H, S Anindita. Diare Akut dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 2011 : 124-3
6. Salwan Hasri. Terapi cairan pada anak. Palembang. 2007. 6
7. Soegeng Santoso dan Anne Lies Ranti. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
8. Ardhani punky, 2008, Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak , Pustaka Cendekia
Press: Jogjakarta.
9. Behrman Richard et all, 2009,Nelson textbook of Pediatrics sanders : Phyladelpia.
10. Pusponegoro hardiyono et all, 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak:
Edisi I , Ikatan Dokter Anak Indonesia.
11. Poorwo sumarso et all, 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi & Penyakit
Tropis, Ikatan Dokter Indonesia.
32