bid'ah rawi & ratiban

101
Kumpulan Artikel Tentang Tentang Barzanji, Qashidah Burdah dan Membaca Rawi Artikel 1 Tata Cara Memperingati Maulid Nabi : Persoalan Membaca Rawi dan Syi’ir Maulid Artikel 2 Kesesatan Kitab Barzanji, Qashidah Burdah, dan Maulid Syarafil Anam Artikel 3 Tradisi Barzanji Dalam Tinjauan Syariat Artikel 4 Kesesatan- Kesesatan Dalam Kitab Berzanji Artikel 5 Mengapa Harus Barzanji? Artikel 6 Syair-syair Barzanji & Burdah Artikel 7 Kisah Taubat Seorang Kyai Artikel 8 Apakah Ahlus Sunnah Menyemarakkan Maulid dan Tahlilan? Artikel 9 Ruqyah Artikel 10 Amalan-Amalan Bid’ah : Jebakan, Tipu Daya, dan Pintu Masuk Jin Agar Bisa Masuk Ke Diri Kita Artikel 11 Ruqyah Pencinta Amalan Bid'ah, Do'a Nurbuat, Ayat 10, 15 Artikel 12 Sulitnya Taubat Bagi Orang yang Mengamalkan Bid’ah Artikel 13 Gangguan Jin Pada Pelaku Amaliyah Bid'ah Artikel 14 Sikap Terhadap Pelaku Bid’ah dan Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Menyanggah Pelaku Bid’ah Artikel 15 Mana yang Lebih Keras Siksanya, Pelaku Maksiat atau Ahli Bid’ah? Artikel 16 Bagaimana Cara Shalawat Yang Sesuai Sunnah, dan Bolehkah Shalawat Diiringi Dengan Rebana? Artikel 17 Shalawat Sesat, Syirik & Bid’ah Artikel 18 Contoh Bid’ah dan Khurafat di Indonesia Artikel 19 Tahayul, Bid’ah, Syirik dan Khurafat Artikel 20 Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS, Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab

Upload: fitri-indra-wardhono

Post on 17-Jul-2015

1.577 views

Category:

Lifestyle


32 download

TRANSCRIPT

Kumpulan Artikel Tentang

Tentang Barzanji, Qashidah Burdah dan Membaca Rawi

Artikel 1 Tata Cara Memperingati Maulid Nabi : Persoalan Membaca Rawi dan Syi’ir Maulid Artikel 2 Kesesatan Kitab Barzanji, Qashidah Burdah, dan Maulid Syarafil Anam Artikel 3 Tradisi Barzanji Dalam Tinjauan Syariat Artikel 4 Kesesatan- Kesesatan Dalam Kitab Berzanji Artikel 5 Mengapa Harus Barzanji? Artikel 6 Syair-syair Barzanji & Burdah Artikel 7 Kisah Taubat Seorang Kyai Artikel 8 Apakah Ahlus Sunnah Menyemarakkan Maulid dan Tahlilan? Artikel 9 Ruqyah Artikel 10 Amalan-Amalan Bid’ah : Jebakan, Tipu Daya, dan Pintu Masuk Jin Agar Bisa Masuk Ke Diri Kita Artikel 11 Ruqyah Pencinta Amalan Bid'ah, Do'a Nurbuat, Ayat 10, 15 Artikel 12 Sulitnya Taubat Bagi Orang yang Mengamalkan Bid’ah Artikel 13 Gangguan Jin Pada Pelaku Amaliyah Bid'ah Artikel 14 Sikap Terhadap Pelaku Bid’ah dan Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Menyanggah Pelaku Bid’ah Artikel 15 Mana yang Lebih Keras Siksanya, Pelaku Maksiat atau Ahli Bid’ah? Artikel 16 Bagaimana Cara Shalawat Yang Sesuai Sunnah, dan Bolehkah Shalawat Diiringi Dengan Rebana? Artikel 17 Shalawat Sesat, Syirik & Bid’ah Artikel 18 Contoh Bid’ah dan Khurafat di Indonesia Artikel 19 Tahayul, Bid’ah, Syirik dan Khurafat Artikel 20 Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS, Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab

1-2

Artikel 21 Kejawen Dalam Pandangan Islam Artikel 22 Menghilangkan Tradisi Kejawen Artikel 23 Bid'ah di Tengah Kita Artikel 24 Menyingkap Kesesatan Ajaran Kejawen

1-3

Artikel 1 Tata Cara Memperingati Maulid Nabi :

Persoalan Membaca Rawi dan Syi’ir Maulid1

Sejarah Kemunculan Maulid Nabi Muhammad SAW

Secara makna maulid searti dengan natil atau hari kelahiran. Sementara itu peringatan natal di pelopori oleh Bishop Katolik Liberius tahun 355 M.

Peringatan Maulid Nabi SAW pertama kali adalah Bani Ubaid yang dipimpin al Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah bin Maimun al Qaddah pada tahun 317 H di Maroko. Kelompok ini lebih dikenal Qoromithah. Kerajaan Ubaidiyun berdiri 297 H, ibukota Qairawan, Maroko. Kekuasaan hingga ke Mesir. Namun demikian, 17 Sya’ban 358 H direnut direbut Qamarithah. Kekuasaan meluas hingga Mesir dan ibukota pindah ke Kairo. Dan Maulid mulai dirayakan pada masa ini. Pada saat Kekuasaan Fatimiyun tamat, peringatan Maulid diperingati oleh Raja Mudhafir Abu Sa’ad Kaukaburi tahun 7 Hijrah. Dia merayakan peringatan dengan sangat mewah yaitu dengan menghidangkan 5. 000 daging panggang, 10. 000 daging ayam. 100. 000 gelas susu dan 30. 000 piring makanan ringan. Perayaan tersebut dihadiri tokoh agama dan tokoh sufi. Raja menjamu mereka. Orang sufi punya acara khusus menyanyi dari saat Dhuhur hingga fajar. Dan raja ikut berjoget (Imam Ibnu Katsir)

Selanjutnya. Bila tiba waktu shafar mereka menghiasi tenda besar dengan hiasan yang indah dan mewah. Pada tiap tenda ada sekumpulan penyanyi, ahli penunggang kuda dan pelawak. Hari itu hari libur karena ingin bersuka cita di tenda bersama penyanyi. Bulan mauilid kurang dua hari raja mengeluarkan unta, sapi dan kambing yang tidak terhitung jumlahnya, diiringi suara terompet dan nyanyi sampai tiba di tanah lapang. Pada malam maulid raja mengadakan nyanyian dari maghrib di benteng (Ibnu Khaliqan, Wayatul A’yan, IV/117-118 dan Majalah fatawa Vol V/02 Shafar 1430 H)

Penutup

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang berkembang pada saat ini menurut nash yang sahih. . .

. . . merupakan pebuatan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri maupun dilaksanakan oleh para sahabat, tabiin,

hingga tabiut tabiin.

Dan peringatan tersebut baru muncul jauh setelah jaman para para sahabat, tabiin, hingga tabiut tabiin, dimana munculnya dari kerajaan di Maroko yang secara geografis maupun secara hirarkis sangat jauh dengan Mekah atau Jaman Nabi Muhammad SAW. Kemunculan yang sangat menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri yakni dengan pesta dan nyanyi yang di haramkan oleh Rasulullah. Masihkah perlu kita rayakan dan kita bikin aturan baru yang melanggar petunjuk kepada orang yang kita peringati kelahirannya? Lucu juga kita ini. Katanya cinta kepada orang yang kita cintai tapi pada saat yang sama kita dustai, kita lecehkan dan kita benci apa yang beliau kerjakan dengan berdalih menghormati, tidak mengurangi haknya. Wong Nabi Muhammad SAW itu melarang melakukan pesta atau perayaan kelahirannya karena itu tidak sesuai ajaran yang

1 http://ramadhani1897. wordpress. com/2014/01/27/tata-cara-memperingati-maulid-

nabi-persoalan-membaca-rawi-dan-syiir-maulid/

1-4

beliau bawa, tetapi kita dustai beliau dengan melawan ajaran beliau pada pembenaran peringatan hari kelahirannya dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Allah dan rasulNya menyerukan tauhid sebagian orang muslim sukanya menjalankan syirik, Allah dan RasulNya menyerukan sunnah, sebagian orang muslim sukanya menjalankan bid’ah. Wallahu a‘lam bissawab.

2-5

Artikel 2 Kesesatan Kitab Barzanji, Qashidah Burdah,

dan Maulid Syarafil Anam2

A. Muqaddimah

Kitab Barzanji adalah kitab yang sangat popular di kalangan kaum Muslimin di Indonesia. Kitab ini merupakan bacaan wajib pada acara-acara Barzanji atau diba’ yang merupakan acara rutin bagi sebagian kaum muslimin di Indonesia.

Kitab Barzanji ini terkandung di dalam kitab Majmu’atu Mawalid wa-Ad’iyyah yang merupakan kumpulan dari beberapa tulisan seperti: Qoshidah Burdah, Maulid Syarafil Anam, Maulid Barzanji, Aqidatul Awwam, Rotib al-Haddad, Maulid Diba’i, dan yang lainnya.

Kitab yang popular ini di dalamnya banyak sekali penyelewengan-penyelewengan dari syari’at Islam bahkan berisi kesyirikan dan

kekufuran yang wajib dijauhi oleh setiap Muslim.

Karena itulah Insya Allah dalam pembahasan kali ini akan kami jelaskan kesesatan-kesesatan kitab ini dan kitab-kitab yang menyertainya dalam kitab, sebagai nasehat keagamaan bagi saudara-saudara kaum muslimin dan sekaligus sebagai jawaban kami atas permintaan sebagian pembaca yang menanyakan isi kitab ini. Dan sebagai catatan bahwa cetakan kitab yang kami jadikan acuan dalam pembahasan ini adalah cetakan PT. Al-Ma’arif Bandung.

B. Maulid Barzanji dan Kesesatan-Kesesatannya

Maulid Barazanji yang terkandung dalam kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah ini dalam halaman 72-147, di dalamnya terdapat banyak sekali kesalahan-kesalahan dalam aqidah, seperti kalimat-kalimat yang ghuluw(melampaui batas syar’I) terhadap Nabi, kalimat-kalimat kekufuran, kesyirikan, serta hikayat-hikayat lemah dan dusta.

Di antara kesesatan-kesesatan kitab ini adalah:

1. Mengamini Adanya “Nur Muhammad”

Penulis berkata dalam halaman 72-73:

Dan aku ucapkan selawat dan salam atas cahaya yang disifati dengan yang dahulu dan yang awal

Kami katakan: ini adalah aqidah Shufiyyah yang batil, orang-orang Shufiyyah beranggapan bahwa semua yang ada di alam semesta ini diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad kemudian bertebaran di alam semesta. Keyakinan ini merupakan ciri khas dari kelompok Shufiyyah, keyakinan mereka ini hampir-hampir selalu tercantum dalam kitab-kitab mereka.

Ibnu Atho as-Sakandari berkata: “Seluruh nabi diciptakan dari Ar-Rohmah dan Nabi kita Muhammad adalah ‘Ainur Rahmah. ” (Lathaiful Minan hal. 55)

2 http://www. nahimunkar. com/kesesatan-kitab-barzanji-qashidah-burdah-dan-maulid-

syarafil-anam/, Mufti Markaz fatwa dengan bimbingan Dr Abdullah Al-Faqih, Fatawa Ash-Shabakah Al-Islamiyyah juz 8 halaman 147, nomor fatwa 15215, judul: Maulid Al-Barzanji bid’ah, tanggal fatwa 28 Muharram 1423H/ islamweb.

2-6

Merupakan hal yang diketahui setiap muslim bahwasanya Rasulullah adalah manusia biasa yang dimuliakan oleh Allah dengan risalah-Nya sebagaimana para rasul yang lainnya, Allah berfirman:

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu adalah Ilah Yang Esa”. ” (QS. Al-Kahfi : 110)

2. Membawakan Hikayat-HikayatDusta Seputar Kelahiran Nabi

Penulis berkata dalam halaman 77-79 dari kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah ini:

Dan memberitahukan tentang dikandungnya beliau setiap binatang ternak Quraisy dengan Bahasa Arab yang fasih!

Dan tersungkurlah tahta-tahta dan berhala-berhala atas wajah-wajah dan mulut-mulut mereka!

Dan saling memberi kabar gembira binatang-binatang liar di timur dan di barat beserta binatang-binatang lautan!

Saat malam kelahirannya datang kepada ibunya Asiyah dan Maryam beserta para wanita dari surga!

Kami katakan: Kisah ini adalah kisah yang lemah dan dusta sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama hadits. (Lihat Siroh Nabawiyyah Shohiihah 1/97-100)

3. Bertawassul dengan Dzat Nabi

Penulis berkata pada halaman 106 dari kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah ini:

Dan kami bertawassul kepadaMu dengan kemuliaan dzat Muhammad

Dan yang dia adalah akhir para nabi secara gambaran dan yang paling awal secara makna

Dan dengan para keluarganya bintang-bintang keamanan manusia

Kami katakan: Tawassul dengan dzat Nabi dan keluarganya serta orang-orang yang sudah mati adalah tawassul yang bid’ah dan dilarang. Tidak ada satupun doa-doa dari Kitab dan Sunnah yang terdapat di dalamnya tawassul dengan jah atau kehormatan atau hak atau kedudukan dari para makhluk. Banyak para imam yang mengingkari tawasssul-tawassul bid’ah ini. al-Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak selayaknya bagi seorang pun berdoa kepada Allah kecuali denganNya, aku membenci jika dikatakan: “Dengan ikatan-ikatan kemuliaan dari arsyMu, atau dengan hak makhlukMu. ” Dan ini juga perkataan al-Imam Abu Yusuf. (Fatawa Hindiyyah 5/280)

Syeikh al-Albani berkata: “Yang kami yakin dan kami beragama kepada Allah dengannya bahwa tawassul-tawassul ini tidaklah diperbolehkan dan tidak disyari’atkan, karena tidak ada dalil yang bisa dijadikan hujjah padanya, tawassul-tawassul ini telah diingkari oleh para ulama ahli tahqiq dari masa ke masa. ” (at-Tawassul anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 46-47)

4. Menyatakan Bahwa Kedua Orang Tua Nabi Dihidupkan Lagi dan Masuk Islam

Penulis berkata dalam halaman 114:

Dan sesungguhnya keduanya (Abdullah dan Aminah) telah menjadi ahli iman

2-7

Dan telah datang hadits tentang ini dengan syawahidnya (penguat-penguatnya)

Maka terimalah karena sesungguhnya Allah mampu menghidupkan di setiap waktu

Kami katakan: Hadits tentang dihidupkannya kedua orang tua Nabi dan berimannya keduanya kepada Nabi adalah hadits yang dusta. Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini tidak shohih menurut ahli hadits, bahkan mereka sepakat bahwa hadits itu adalah dusta dan diada-adakan…Hadits ini di samping palsu juga bertentangan dengan al-Qur’an, hadits shohih dan ijma. ”(Majmu’ Fatawa 4/324)

5. Berdoa dan Beristighotsah kepada Nabi

Penulis berkata dalam halaman 1114:

Wahai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan

Tolonglah aku dan selamatkan aku, wahai penyelamat dari neraka Sa’ir

Wahai pemilik kebaikan-kebaikan dan pemilik derajat-derajat

Hapuskanlah dosa-dosa dariku dan ampunilah kesalahan-kesalahanku

Kami katakan: Ini adalah kesyirikan dan kekufuran yang nyata karena penulis berdoa kepada Nabi dan menjadikan Nabi sebagai penghapus dosa, dan penyelamat dari azab neraka, padahal Allah berfirman:

“Katakanlah: “Sesungguhnya Aku hanya menyembah Rabbku dan akau tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya. ” Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan. ” Katakanlah: “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. ” (QS. Al-Jin: 20-22)

Syaikh Abdur Rohman bin Nashir as-Sa’di berkata:

“Katakanlah kepada mereka wahai rosul sebagai penjelasan dari hakikat dakwahmu:

“Sesungguhnya Aku hanya menyembah Rabbku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun denganNya. ”

Yaitu aku mentauhidkan-Nya, Dialah Yang Maha Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku lepaskan semua yang selain Allah dari berhala dan tandingan-tandingan, dan semua sesembahan yang disembah oleh orang-orang musyrik selain-Nya.

“Katakanlah:

“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula suatu kemanfaatan. ”

Karena aku adalah seorang hamba yang tidak memiliki sama sekali perintah dan urusan. ”

Katakanlah:

“Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tidak akan memperoleh tempat

2-8

berlindung selain daripada-Nya. ”

Yaitu tidak ada seorang pun yang dapat aku mintai perlindungan agar menyelamatkanku dari adzab Allah. Jika saja Rasulullah yang merupakan makhluk yang paling sempurna, tidak memiliki kemadhorotan dan kemanfaatan, dan tidak bisa menahan dirinya dari Allah sedikitpun, jika Dia menghendaki kejelekan padanya, maka yang selainnya dari makhluk lebih pantas untuk tidak bisa melakukan itu semua. ” (Tafsir al-Karimir Rohman hal. 1522 cet. Dar Dzakhoir)

Ayat-ayat di atas dengan jelas menunjukkan atas larangan berdo’a kepada Rasulullah dan bahwa Rasulullah tidak bisa menyelamatkan dirinya dari adzab Allah apalagi menyelamatkan yang lainnya !

C. Qoshidah Burdah Dan Kesesatan-Kesesatannya

Qoshidah Burdah terkandung dalam kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah di dalam halaman 148-173. Qoshidah ini ditulis oleh Muhammad al-Bushiri seorang tokoh tarikat Syadziliyyah.

Qoshidah Burdah adalah kumpulan bait-bait sya’ir yang di dalamnya terdapat banyak sekali kalimat-kalimat kesyirikan dan kekufuran yang nyata, di antara bait dari qoshidah tersebut adalah:

Maka sesungguhnya dunia dan akhirat adalah dari kemurahanmu wahai Nabi

Dan dari ilmumu ilmu lauh dan qolam (hal 172 dari kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah)

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin mengomentari perkataan Bushiri di atas dengan berkata: “Ini termasuk kesyirikan yang terbesar, karena menjadikan dunia dan akhirat berasal dari Nabi yang konsekwensinya bahwasanya Allah sama sekali tidak punya peran…” (Qaulul Mufid 1/218)

D. Maulid Syarofil-Anam dan Kesesatan-Kesesatannya

Maulid Syarofil Anam terkandung dalam kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah ini dalam halaman 217, dia juga merupakan kumpulan bait-bait sya’ir yang di dalamnya terdapat banyak sekali kalimat-kalimat yang ghuluw terhadap Nabi, di antara contoh-contoh kalimat tersebut adalah:

Keselamatan semoga terlimpah atas mu wahai penghapus dosa

Keselamatan semoga terlimpah atasmu wahai penghilang duka-duka (kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah hal. 3 dan 4)

Wahai Rasulullah wahai yang terbaik dari semua Nabi

Selamatkanlah kami dari neraka Hawiyah wahai pemilik jabatan yang suci (hal. 8 dari kitab Majmu’atu Mawalid wa Ad’iyyah)

Kami katakan: Ini adalah kesyirikan dan kekufuran yang nyata karena penulis berdoa kepada Nabi dan menjadikan Nabi sebagai penghapus dosa, penghilang kedukaan, dan penyelamat dari azab neraka, padahal Nabi tidak kuasa mendatangkan suatu kemudhorotan pun dan tidak pula suatu kemanfaatan kepada siapa pun, tiada seorang pun dapat melindunginya dari azab Allah dan tidak akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya, sebagaimana dalam ayat 20-22 dari Surat al-Jin di atas.

Kemudian di dalam kitab Maulid Syarofil Anam juga terkandung banyak kisah-kisah

2-9

yang lemah dan dusta sebagaimana dalam kitab Barzanji di atas, seperti kisah bahwasanya :

. . . ibunda Rasulullah ketika mengandung beliau tidak merasa berat sama sekali, Rasulullah dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan,

bercelak, berhala-berhala jatuh tersungkur, bergoncanglah singgasana Kisro, dan matilah api orang-orang Majusi (kitab Majmu’atu Mawalid

wa Ad’iyyah hal. 10-12).

Kisah-kisah ini adalah kisah-kisah yang lemah dan dusta sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits (Lihat Siroh Nabawiyah Sohihah 1/97-100).

(Dipetik dari tulisan Abu Ahmad As-Salafi, Majalah Al-Fuqon, Gresik, edisi 09 tahun VI/ Robi’uts Tsani 1428 /Mei 2007, halaman 41-44).

E. Fatwa: Maulid Al-Barzanji Bid’ah

1. Pertanyaan Di sisi kami ada yang dinamai dengan Al-Barzanji, yaitu ekspresi untuk berkumpulnya orang-orang lalu mereka mengulang-ulang sierah/ sejarah Rasul dan mereka bershalawat atasnya dengan lagu tertentu dan mereka mengerjakannya itu di sisi kami dalam acara-acara atau dalam pengantenan-pengantenan.

2. Fatwa

Al-hamdulillah, shalawat dan salam atas Rasulillah dan atas keluarganya dan sahabatnya. Adapun setelah itu: Maka ini adalah perkara muhdats (diada-adakan secara baru, kata lain dari bid’ah, red), tidak pernah dikerjakan oleh (para sahabat) orang sebaik-baik ummat ini sesudah nabinya, yaitu mereka para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta agungnya kecintaan mereka terhadap beliau. Seandainya itu baik maka pasti mereka telah mendahului kita kepadanya.

Kita wajib mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita saling mengkaji sierah/ sejarah beliau agar kita mendapatkan petunjuk dengan pentunjuk beliau dan mengikuti jejak beliau, tetapi beserta ikut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang disyari’atkannya, dan tidak membuat-buat ibadah-ibadah baru yang beliau tidak membawakannya, atau tambahan atas ibadah-ibadah yang telah disyari’atkannya. Karena hal itu termasuk sebab-sebab ditolaknya amal atas pelakunya. Maka sungguh telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Barangsiapa beramal suatu amalan bukan berdasarkan atas perintah kami maka dia tertolak. (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)

3-10

Artikel 3 Tradisi Barzanji Dalam Tinjauan Syariat3

A. Bahaya di Balik Tradisi Bid’ah

Baik atau buruknya barzanji termasuk amalan bid’ah karena:

1. Amalan seperti itu tidak pernah di ajarkan oleh Nabi SAW dan tidak pernah pula dilakukan oleh masyarakat pada zaman sahabat sepeninggal Nabi SAW, sehingga termasuk perkara baru yang diada-adakan dalam agama Islam sedangkan perkara baru yang diada-adakan itu dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

“ Katakanlah:Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji baik yang Nampak atau yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alas an yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui”(QS. Al A’raaf:33).

“Jauhilah segala perkara baru yang diada-adakan (dalam agama). Setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan segala kesesatan balasannya adalah neraka”(HR. Abu Daaud, Ad Daraimi dan Tirmidzi)

2. Tradisi barzanji mengandang kepercayaan baru bagi masyarakat yang tidak dikenal dalam aqidah Islam, yaitu dapat mendatangkan berkah dan membuang sial, dan menimbulkan keharusan untuk melakukannya. Jadi kepercayaan dan amalan barzanji telah menyentuh ranah aqidah dan ibadah yang menandingi aqidah dan ibadah yang diajarkan Islam.

Tradisi barzanji sebagai suatu bid’ah akan mendatangkan bahaya bagi para pengikutnya. Bahaya-bahaya yang akan muncul antara lain :

a. Bid’ah lebih berbahaya dari pada perbuatan maksiat, sebab orang yang berbuat maksiat seperti berzina, mencuri, umumnya bersembunyi atau merasa minder karena merasa berdosa. Lain halnya dengan orang yang berbuat bid’ah, dia terang-terangan karena tidak merasa bahwa perbuatannya itu terlarang, tetapi sebaliknya merasa dapat pahala.

b. Pelakunya termasuk orang yang tersesat, sebagaimana firman Allah :

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah sedikitpun” (QS. Al Qashas : 50).

Dan sabda Nabi SAW :

“Setiap bid’ah adalah sesat dan segala kesesatan tempatnya adalah neraka” (HR. Abu DAUD DAN tirmidzi).

c. Allah menutup tobatnya ahli bid’ah, sebagaimana sabda Nabi :

“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat setiap ahli bid’ah “ (Dishohihkan oleh Al-Albani).

3 http://yayuelsahdotcom1. wordpress. com/2013/05/14/tradisi-barzanji-dalam-tinjauan-

syariat-4/

3-11

d. Amal bid’ah lebih disukai oleh Iblis karena perbuatan maksiat boleh jadi orangnya bertaubat, sedangkan ahli bid’ah tidak akan bertaubat karena tidak merasa melakukan perbuatan dosa. (Majmu’ fatwa Ibnu Taimiyah).

e. Pelaku bid’ah menipu umat dan dirinya sendiri karena punya prinsip-prinsip yang penting tujuannya baik. Orang yang hanya mementingkan niat baik tanpa melihat apakah amalannya sesuai dengan tuntunan Nabi ataukah tidak adalah ciri sifat orang munafik sebagaimana firman Allah:.

“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan?)”

f. Ahli bid’ah itu sombong, merasa dirinya lebih pandai daripada Nabi Muhammad dan para sahabatnya, sehingga mereka membuat amalan-amalan baru untuk menyempurnakan agama Islam, padahal Allah telah menyatakan bahwa Islam telah sempurna sempurna. Segala sesuatunya telah diajarkan (QS. Al Maaidah : 3).

“Dan kami turunkan kepadamu al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An nahl : 89).

g. Para penyebar dan pemimpin amalan bid’ah akan memikul dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.

“Barangsiapa yang memulai sesuatu yang buruk maka dia akan memperoleh bagian dosa dari orang yang mengikutinya” (HR. Muslim).

h. Pembuat dan pelaku bid’ah akan mendapat laknat, dan ditolak amalnya.

“sesungguhnya orang yang menyembunyikan kebenaran apa yang telah kami turunkan berupa keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al kitab, mereka dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh sesama makhluk yang dapat melaknat”(QS. Al Baqarah : 159).

“Barang siapa membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) di dalamnya atau melindungi orang yang membuat bid’ah (dosa dan maksiat), maka ia akan memperoleh laknat Allah, para Malaikat, dan seluruh umat manusia, allah tidak akan menerima amalan wajibnya dan tidak pula amalan sunnahnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

i. Pelaku bid’ah tidak diperbolehkan meminum air dari telaga nabi SAW pada hari kiamat pada saat umat Islam lainnya dipersilahkan menikmati air telaga yang apabila diminum maka manusia tidak akan haus selama-lamanya. (HR. Bukhari dan muslim).

j. Allah SWT telah menyiapkan neraka kepada para pelaku bid’ah, yang melanggar peringatan-Nya. Peringatan-peringatan Allah yang dilanggar antara lain ;

”Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya. ’(QS. Al Israa:36)

“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan

3-12

Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”(QS. Shaad:26).

“Jika kamu mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”(QS. Al An Aam:116)

Dan peringatan Rasulullah SAW :

“Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (dalan urusan agama), karena setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”dan pada hadist lain dikatakan”Setiap kesesatan balasannya adalah neraka” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

”Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami yang bukan perintah kami maka amalan itu pasti di tolak”, ”Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada atasnya syariat (perintah) kami maka tertolak” (HR. Bukhari-Muslim).

B. Penutup

1. Kesimpulan

a. Terpecahnya umat Islam dalam beragama, yaitu adanya kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap tradisi barzanji, disebabkan karena perbedaan pemahaman beragama, sehingga muncul perbedaan keyakinan.

1) Kelompok pro yang setia melestarikan tradisi barzanji, yakin bahwa barzanji itu baik sebagai bagian dari syiar Islam adalah berdasarkan persangkaan, tuntutan nafsu dan akal-akalan, karena tidak bisa dibuktikan dengan dalil-dalil syarii (Al Quran dan Hadist). Mereka adalah kelompok pemberani yang tampil sebagai pahlawan pembela tradisi barzanji, sekalipun harus melupakan peringatan-peringatan Allah yang melarang kita mengada-ada dalam agama, mengikuti tradisi nenek moyang dan perintah melaksanakan syariat yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya saja.

2) Kelompok kontra yang setia pada sunnah, yakin bahwa barzanji itu adalah amalan baru atau sesat, karena tidak memiliki dasar dan tuntunan syarii (Al Quran dan Hadist). Mereka bisa membuktikan dengan dalil-dalil syarii bahwa barzanji adalah perkara baru yang diada-adakan dalam Islam, yang dapat mengantar kita ke dalam neraka.

b. Suatu amalan dapat dikatakan sebagai amalan sunnah apabila amalan itu memiliki dasar dan tuntunan dalam sunnah Al Qurran dan sunnah Rasulullah SAW.

c. Mengenai pendapat kelompok pro bahwa barzanji adalah bagian dari syiar Islam yang dapat meningkatkan kecintaan kepada Nabi, mendatangkan berkah dan membuang sial kita bisa Firman Allah:

1) “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”(QS. An Najm:28)

2) “Mereka diperdaya dalam agama mereka oleh apa yang mereka ada-adakan”(QS. Ali Imran:24).

3) “Persangkaan itu akan membinasakan kamu dan jadilah kamu

3-13

termasuk orang-orang yang rugi”(QS. Fushshilat:23).

d. Mengenai pendapat kelompok kontra bahwa barzanji bukan sunnah atau bagian dari syiar Islam, simak juga pernyataan Allah dan Rasul-Nya bahwa mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui atau yang tidak ada hujjah (keterangan untuk melakukannya) Allah adalah termasuk perbuatan yang haram (QS. Al A’Raaf:33). Allah melarang kita mengikuti tradisi-tradisi nenek moyang karena pembuat tradisi itu bukanlah orang yang diberi petunjuk dan termasuk sarana bagi setan unutk membawa kita ke dalam api yang menyala-nyala (QS. Al Baqarah:170 dan Luqman:21). Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada umatnya agar menjauhi segala perkara baru yang diada-adakan, karena setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

e. Secara ukrawi (keakhiratan), tidakada dalil baik dalam Al Quran maupun Hadist yang menerangkan manfaat melakukan amalan bid’ah, kecuali menerangkan kerugiannya. Dan secara duniawi manfaat manfaat barzanji tidak ada artinya dibanding resiko melakukannya.

f. Bid’ah itu adalah perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama Islam yang menyangkut kepercayaan dan amalan baru yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi SAW. Bid’ah itu adalah ajaran kepercayaan yang melahirkan amalan yang dianggap ibadah selain yang diajrkan Nabi SAW. Adapun sarana untuk melaksanakan ibadah atau kebiasaan masyarakat yang menyangkut kehidupan keduniaan bukanlah dalam pengertian bid’ah. Allah dan rasul-Nya tidak pernah mengatakan bahwa perkara baru yang diada-adakan itu ada yang baik da nada yang sesat. Hanya ahli-ahli bid’ah yang membagi bid’ah itu menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dhalala (buruk). Bid’ah hasanah dibagi lagi menjadi bid’ah wajibu (wajib) dan bid’ah sunnah.

g. Mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah atau sesat dari kedua kelompok (pro dan kontra) silahkan pembaca menilai dan memutuskan sendiri dengan mengacu kepada sumber kebenaran, yaitu Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Yang benar adalah yang sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasul dan yang sesat adalah yang tidak sesuai dengan sunnah Rasul.

2. Saran- Saran

a. Agama dimulai dari ilmu lalu ibadah. Oleh karena itu, sebelum manusia dibebani ibadah maka terlebih dahulu diajarinya ilmu tentang bertuhan. Ilmu Allah itu diajarkan oleh Nabi dan Rasul kepada umat manusia. Makanya tuntut dulu ilmu untuk mengetahui agama yang benar lalu mengamalkan ajaran-ajaran agama.

b. Ajaran agama yang benar ada di dalam Wahyu Allah, yaitu Al Quran dan Sunnah Rasul. Makanya bagi pencari kebenaran pelajari agama Islam melalui sumbernya, yaitu Al Quran dan Sunnah Rasul.

c. Bermohonlah kepada Allah agar dibukakan hati dan diberi petunjuk ke jalan yang benar, dan tetaplah pada jalan yang benar sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu dan berpegang teguhlah pada tali(agama) Allah dan janganlah berpecah belah.

4-14

Artikel 4 Kesesatan- Kesesatan Dalam Kitab Berzanji4

A. Kitab Berzanji

Kitab Barzanji adalah buah karya Syekh Jafar Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M), seorang qadli (hakim) dari Mazhab Maliki yang bermukim di Madinah. Judul asli kitab tersebut, 'Iqd al-Jawahir (untaian permata). Namun, nama Barzanji (sang penulis--Red) lebih dikenal masyarakat Muslim ketimbang nama judul kitabnya. Dan pengucapan kata 'barzanji' secara fasih agaknya cukup menyulitkan lidah lokal Indonesia, sehingga kata tersebut teradaptasi menjadi berjanji.

Karya sastra al-Barzanji ini begitu masyhur di Tanah Air. Syekh Nawawi al-Bantani telah mensyarahi (menjabarkan) isi kitab tersebut dan diberi judul Madarijus Shu`ud ila Iktisa` al-Burud. Beberapa ahli bahasa Arab menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sastrawan WS Rendra pernah mementaskannya dalam Pagelaran Seni Teater Shalawat Barzanji beberapa tahun silam.

Penulisan Kitab Barzanji tidak lepas dari sejarah panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen Barat dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) sadar akan pentingnya figur pemersatu yang diimajinasikan bersama. Dialah Rasulullah SAW.

B. Keagungan Nabi dalam Barzanji

Yaa Nabi salam 'alaika (Wahai Nabi, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu)

Yaa Rasul salam 'alaika (Wahai Rasul, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu)

Yaa habib salam 'alaika (Wahai sang kekasih, semoga kedamaian selalu tercurahkan kepadamu)

Shalawatullah 'alaika (Semoga kemulyaan dari Allah selalu dilimpahkan kepadamu).

Syair itu begitu akrab di telinga masyarakat Muslim Indonesia. Setiap saat, baik di rumah, surau, majelis taklim, maupun masjid, syair tersebut dikumandangkan untuk memuji Nabi Muhammad SAW. Apalagi pada bulan Rabiul Awal, yang merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, pembacaan syair-syair pujian kepada Rasulullah, baik Diba' Barzanji, Burdah, Simthuddurar (Maulid Habsyi), bergema dalam berbagai kegiatan keagamaan. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga sering dibaca umat Islam di Asia Tenggara dalam berbagai upacara keagamaan. Dan syair maulid Diba' Barzanji, Burdah, Simthuddurar dan lainnya, kini dibukukan dalam satu buku yang diberi nama Syaraf al-Anam.

Umat Muslim Indonesia punya cara tersendiri dalam mengekspresikan rasa cintanya 4 http://mantankyainu. blogspot. com/2011/04/kesesatan-kesesatan-dalam-kitab. html

4-15

terhadap Rasulullah SAW. Pujian dan shalawat disuarakan bersama-sama secara khusyuk dan terkadang diiringi alunan musik tradisional, kompang, gambus, hadrah, rebana, dan lainnya. Kegiatan pembacaan syair maulid ini begitu semarak dalam semangat kebersamaan. Bagi umat Islam, pembacaan syair-syair maulid ini merupakan penghormatan dan pujian atas keteladanan penghulu umat, Muhammad SAW.

Syair di atas adalah bait kedua dan ketiga dari nazhom Al-Barzanji.

Namun demikian, saat pembacaan syair Burdah, Diba' atau al-Habsyi, syair ini juga sering dibaca, terutama ketika memasuki mahallu al-qiyam (tempat berdiri).

Syair Barzanji yang dikenal juga dengan Maulid Barzanji mengisahkan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dalam untaian syair yang menakjubkan. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua, yaitu natsar dan nazhom. Pada bagian natsar terdapat 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi ah pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya merunutkan riwayat Nabi Muhammad SAW, mulai dari saat-saat menjelang baginda Nabi dilahirkan hingga masa-masa tatkala beliau mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian nazhom terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir nun.

Di dalam kitab ini tidak terdapat informasi tentang tanggal, bulan, dan tahun suatu peristiwa sejarah secara detail. Kitab ini ditulis tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, namun data historis yang disajikan merujuk kepada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyah. Syair ini merupakan karya sastra tentang riwayat hidup Rasulullah SAW dengan kekuatan bahasa, pemilihan kata yang apik dan serasi, serta metafor yang indah. Sebagai contoh, keluhuran sosok Rasulullah dianalogikan dengan benda-benda langit sebagai penghias alam semesta, bahkan lebih indah dari benda-benda itu.

C. Cahaya di Atas cahaya

Bahkan, Syekh Ja'far menggambarkan kehadiran sang Rasul di tengah umat Muslim dalam nazhom-nya pada baris keempat yang berbunyi :

Asyraqa al-badru 'alaina fa ikhtafat minhu al-buduuru (Telah terbit purnama di tengah-tengah kita, maka tertutuplah semua bulan purnama).

Pada bait berikutnya, Syekh Ja'far menggambarkan:

Anta syamsun anta badrun Anta nuurun fawqa nuuri (Engkaulah surya, engkaulah purnama. Engkaulah cahaya di atas cahaya).

Dalam tradisi masyarakat Arab, metafora dan simbol terhadap benda-benda langit dimaksudkan menumbuhkan kekuatan rasa cinta dan rindu terhadap orang yang dijunjung, sebagaimana manusia selalu merindukan hadirnya purnama. Dengan penggambaran yang demikian, sang pengarang ingin menyampaikan betapa pribadi Rasulullah begitu agung lagi penting bagi umat manusia, sebagaimana benda-benda langit yang letaknya di atas, memancarkan keindahan, tak terjangkau oleh tangan namun selalu dirindukan, dan memiliki peran penting dalam menjaga dinamika kehidupan alam semesta.

Pribadi dan akhlak baginda Nabi tidak lain adalah ejawantah ajaran Alquran yang wajib ditiru oleh umat Islam. Beliau adalah cahaya di atas cahaya yang menyinari hati setiap umatnya, membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Anta mishbahu as-shuduuri (Engkau adalah lentera hati), kata Syekh Ja'far dalam nazhom bait ketujuh. Kehadirannya sebagai cahaya merupakan nikmat tak terhingga bagi semua makhluk hidup. Melalui beliaulah manusia mengenal Tuhannya secara lebih dekat.

4-16

Keindahan syair Barzanji tidak hanya terletak pada metafornya, tetapi juga pilihan kata-katanya. Setiap kalimatnya berupa kasidah puitis yang diakhiri dengan huruf yang sama (ah atau nun). Mudah diucapkan dan nikmat didengar. Bahkan, bagi masyarakat yang masih kuat memelihara tradisi lisan, susunan kalimat itu mempermudah umat dalam menghapalkannya. Sebagaimana kebiasaan para santri pesantren tradisional yang melantunkan bait-bait syair Barzanji tanpa melihat teks.

Untaian kemilau kata yang berakhir dengan bunyi ah tampak pada pelukisan nasab baginda Nabi Muhammad SAW dalam natsar bait pertama. Judul Untaian Mutiara/ agaknya dipilih oleh penulis untuk melukiskan kemulyaan silsilah keluarga Rasulullah yang dituturkan dalam rangkaian kalimat bersajak. Berikut adalah terjemahannya.

''Kusampaikan bahwasanya junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, nama aslinya ialah Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang agung. (Abdul Muthalib) adalah putra Hasyim, nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya Al-Mughirah, yang mencapai kemulyaan yang tinggi. ''

Pada bagian ini ditutup dengan untaian syair:

Nasabun tahsibul 'ula bihulah (Rangkaian nasab yang berkedudukan tinggi). qalladatha nujumah al-jawza'u (laksana barisan bintang-bintang yang saling terkait). Habbadza 'iqdu sudadiw wa fakhari (Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu). anta fahil yatimatul 'ashma-u (dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).

Sejumlah kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, secara berurutan diuraikan dengan rima yang masih sama. Sang penulis mengisahkan masa kehamilan ibunda Rasul, dan kelahiran beliau yang disertai dengan keajaiban-keajaiban alam. Berikut sekelumit kisah kehadiran sang Nabi dari syair Barzanji.

Dikisahkan pada masa hamil Nabi Muhammad, ibunda beliau, Aminah, didatangi malaikat utusan Allah yang mengabarkan bahwa beliau sedang mengandung seorang nabi dan junjungan seluruh umat manusia. Pada masa kehamilan itu pula, sang ibu menyaksikan cahaya keluar dari tubuhnya. Cahaya tersebut bersinar sampai ke negeri Syam.

Di tempat lain terjadi pula peristiwa yang menakjubkan. Disebutkanlah satu guncangan di istana Kisra di Persia yang menyebabkan istana tersebut retak, yang menjadi tanda keruntuhan kerajaan itu. Juga, api di negara Parsi yang tidak pernah padam selama hampir seribu tahun, namun kemudian padam pada saat Muhammad dilahirkan. Peristiwa ini mengejutkan orang-orang Parsi.

Sementara itu, di dalam nazhom yang diakhiri dengan bunyi nun, keutamaan budi pekerti baginda Rasul diuraikan dengan barisan kata yang memesona. Di bagian ini penulis menyajikan pribadi Nabi sebagai suri teladan dalam menciptakan kesetaraan, tenggang rasa, dan cinta kasih antarsesama.

Rasul berada di garis terdepan dalam penerapan tatanan sosial berdasarkan ajaran agama Islam. Beliau sangat mencintai kaum fakir miskin, berjalan seiring sejalan dengan para sahabatnya tanpa membedakan status sosial maupun ekonomi. Syair Barzanji mengisahkan suatu ketika Rasulullah mengatakan Khalluu Dhohri (janganlah kalian berjalan di belakangku). Ini menunjukkan sebuah keteladanan sang pemimpin akan pentingnya kebersamaan dengan saudara seiman.

4-17

Inilah sedikit rahasia mengapa umat Islam Indonesia begitu gandrung dengan syair Barzanji. Di satu sisi, Barzanji menyajikan kisah kehidupan Nabi dengan untaian kalimat yang begitu gemilang. Dan di sisi lain, masyarakat Indonesia pada umumnya tumbuh berkembang dalam lingkungan yang kaya akan karya sastra. Dengan demikian, penerimaan Barzanji di Tanah Air berjalan cepat dan berakar kuat.

Keteladaan Nabi dalam syair Barzanji menjadi salah satu sarana bagi umat Muslim Indonesia untuk membangun kehidupan individu dan sosial yang ideal. Karya sastra ini membantu proses penanaman nilai-nilai luhur Islam dalam setiap sanubari insan Muslim. Karena itu, setiap Muslim hendaknya istikamah, berpegang pada norma-norma agama yang diajarkan Rasulullah SAW, sekaligus mencontoh kepribadian, akhlak, dan perilaku beliau.

D. Gema Barjanji

Sayangnya, transformasi nilai dalam syair-syair maulid Barzanji dan lainnya dalam kehidupan umat sehari-hari masih terkendala oleh faktor bahasa.

Sejauh ini, terjemah versi bahasa Indonesia belum banyak dibaca oleh masyarakat, terutama yang berada di pedesaan. Akibatnya, tidak banyak umat Muslim Indonesia yang mampu menyelami mutiara hikmah yang

terkandung di dalamnya.

Namun yang cukup menggembirakan, kesadaran keagamaan masyarakat Muslim masih cukup tinggi, sebagaimana tampak pada kecenderungan mereka membaca riwayat hidup Nabi, dan berupaya mencontoh kepribadian beliau yang dipaparkan para tokoh agama melalui upacara-upacara keagamaan.

Maulid Nabi Muhammad pada 12 Rabi'ul Awal, yang jatuh pada 9 Maret 2009 disambut oleh umat Muslim seantero nusantara dengan berbagai ekspresi kebahagiaan. Salah satu kegiatan yang pasti tidak tertinggal adalah pembacaan Barzanji secara bersama-sama di berbagai tempat. Indahnya syair Barzanji dilantunkan melalui ekspresi-ekspresi budaya, yang tidak hanya membangun kematangan spiritual masyarakat, tetapi juga kekuatan jaringan sosial mereka.

Untuk kesekian kalinya, gema shalawat Nabi terdengar serentak di seluruh nusantara.

Yaa Nabi Salaamun 'alaika Yaa Rasul Salaamun 'alaika Anta syamsun anta badrun Anta nuurun fawqa nuuri.

E. Syekh Ja'far al-Barzanji: Sang Pecinta Rasulullah

Sastra adalah salah satu unsur budaya Arab yang paling menonjol sejak zaman jahiliah, zaman kegemilangan Islam, bahkan hingga sekarang. Sastrawan-sastrawan besar Arab lahir di tengah lingkungan kesusastraan yang tumbuh dinamis di negeri itu. Karya-karya mereka menyebar bersama dengan persebaran Islam di berbagai belahan dunia. Salah satu karya sastra yang diterima secara luas oleh umat Islam di dunia adalah 'Iqd al-Jawahir (Untaian Permata), atau yang dikenal dengan Kitab Barzanji atau syair Barzanji, karangan Syekh Ja'far Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M).

Ja'far al-Barzanji lahir dan besar dalam lingkungan keluarga Muslim religius. Menurut sebuah riwayat, beliau adalah keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid al-Alawi al-Husain al-Musawi al-Shaharzuri al-Barzanji (1040-1103 H/1630-1691 M), Mufti Agung dari mazhab Syafi'i

4-18

di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, setelah mengembara ke berbagai dunia Islam akhirnya bermukim di Kota Madinah.

Syekh Ja'far sendiri adalah seorang qadli (hakim). Beliau mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat Islam di Madinah. Bahkan, sebagian masyarakat meyakini ia mendapatkan karamah dari Allah SWT, sebagaimana tecermin pada kedalaman ilmu agamanya, keluhuran budi pekertinya, dan keluasan wawasannya. Beliau wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`.

Potret kedalaman ilmu agama Syekh Ja'far terpancar melalui salah satu karya agungnya yang hingga kini masih dibaca umat Islam di seluruh dunia, Kitab Barzanji. Kitab sastra yang mengulas semua aspek kehidupan Nabi Muhammad SAW itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi upacara-upacara keagamaan umat Islam secara keseluruhan. Dalam sebuah sumber, Kitab Al-Barzanji ini ditulis Syekh Ja'far sebagai bentuk kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW. Dari syair itu, diharapkan seluruh umat Islam meneladani keagungan dan kerpibadian Rasulullah SAW.

Penulisan Kitab Barzanji tidak lepas dari sejarah panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen Barat dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) sadar akan pentingnya figur pemersatu yang diimajinasikan bersama. Dialah Rasulullah SAW.

Imbauan agar para ulama menulis syair-syair shalawat Nabi disebarluaskan ke perbagai penjuru negeri Arab. Kitab Berzanji hadir dalam situasi umat Islam membutuhkan kekuatan yang dapat diimajinasikan itu. Syekh Ja'far agaknya berhasil. Setidaknya dalam ranah sosial budaya yang hingga kini masih dapat dilihat pengaruhnya. Mungkin inilah berkah dari Allah untuk sebuah mahakarya seorang ulama yang terkenal dengan kerendahan hati dan keihlasannya itu.

Syekh Ja'far menempatkan baginda Nabi Muhammad SAW pada posisi sentral dalam kehidupan dunia. Tidak hanya bagi umatnya, tetapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Keindahan syair Barzanji menggiring setiap pembacanya untuk menyadari bahwa kebenaran berasal dari sumber yang satu, yaitu Alquran yang dibawa oleh seorang Rasul paling mulia, Muhammad SAW. Sentralitas figur Nabi Muhammad SAW mampu mendekatkan seluruh komponen masyarakat untuk kemudian bersatu, bahu-membahu membangun sebuah kesatuan umat yang kokoh. Dalam konteks ini, sangatlah penting, setiap Muslim membaca Barzanji untuk meneladani dan mengingat kemuliaan Rasulullah SAW.

Di Indonesia, karya Syekh Ja'far ini dilantunkan dalam upacara-upacara seperti sekaten, kelahiran anak, akikah, potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Ini mencerminkan kesatuan ciri-ciri kebudayaan umat Islam Indonesia, sekaligus menyimbolkan keseragaman cara pandang mereka terhadap Rasulullah SAW. Pada skala yang lebih kecil, jamaah yang hadir dalam pembacaan Barzanji memiliki kesadaran persamaan antarsesama. Mereka duduk bersila bersama, berdiri bersama, membaca Barzanji bersama, dan makan bersama. Dari level yang paling kecil inilah, benih-benih persatuan umat Islam dapat dipupuk dan ditumbuhkembangkan demi keutuhan ukhuwah islamiyah. rid/dia/berbagai sumber[1]

1. Komentarku (Mahrus Ali)

Ahmad Musthofa dalam artikel tsb menyatakan :

Syekh Jakfar Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M),

4-19

Setahu saya sbb :

Khoiruddin Azzarkali menyatakan :

Al Barzanji 1177 H – 1764 M – namanya Ja`far bin Hasan bin Abd Karim al barzanji – Julukannya Zainul abidin - orang baik termasuk penduduk Medinah – menjadi mufti madzhab Syafi`I disana. [2]

Umar rida Kahalah berkata :

Dalam kitab A`lamus syi`ah (tokoh – tokoh Syi`ah) karya Agho Bizrik 2/243 – Ja`far al barzanji – 1187 H – 1764 bernama Ja`far bin Hasan bin Abd Karim bin Muhammad bin Abd Rasul al barzanji. [3]

Jadi pengarang berzanji itu digolongkan tokoh syi`ah dalam kitab tsb.

Ahmad Musthofa menyatakan lagi :

Penulisan Kitab Barzanji tidak lepas dari sejarah panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen Barat dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) sadar akan pentingnya figur pemersatu yang diimajinasikan bersama. Dialah Rasulullah SAW.

Saya menjawab dengan ringkas sekali, karena banyak yang sudah saya terangkan dalam buku karya saya kesirikan dan hurofat dalam berzanji.

Saya katakan :

Tidak mungkin saat Sholahuddin ada berzanji. Sebab masa hidup keduanya jauh berbeda. Masa hidup Syekh Ja`far adalah sekitar tahun 1764 M – 1177 H. Sedang masa hidup Salahuddin Al Ayuubi sekitar 1183 M

Ahmad musthofa menyatakan lagi :

Apalagi pada bulan Rabiul Awal, yang merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW, pembacaan syair-syair pujian kepada Rasulullah, baik Diba' Barzanji, Burdah, Simthuddurar (Maulid Habsyi), bergema dalam berbagai kegiatan keagamaan. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga sering dibaca umat Islam di Asia Tenggara dalam berbagai upacara keagamaan. Dan syair maulid Diba' Barzanji, Burdah, Simthuddurar dan lainnya, kini dibukukan dalam satu buku yang diberi nama Syaraf al-Anam.

Komentarku (Mahrus Ali) :

Ada hadis sbb:

Muhammad bin Ishaq berkata : di lahirkan pada malam 12 bulan Rabi`ul awal. HR Al hakim Rasulullah

Komentarku (Mahrus Ali) : Hadis munqathi`, lemah sekali, tidak bisa di buat landasan.

Perawi bernama Muhammad bin Ishak yang selalu berkata benar, tertuduh Syi`ah dan Qadariyah dan suka menyelinapkan perawi lemah, banyak hadis nyeleneh yang di riwayatkan dan kebanyakannya mungkar. Ulama berbeda pendapat boleh di buat hujjah atau tidak. .

Dan Muhammad bin Ishak sendiri Tabi`in bukan sahabat, dari siapa dia tahu bulan dan tanggal kelahiran Rasulullah

4-20

Saya sudah membahasnya dengan panjang lebar dalam karya keritikan saya pada buku diba` atau berzanji dan kesimpulannya :

. . . tiada hadis yang menyatakan Rasulullah lahir pada bulan Rabiul awal.

Ahmad Musthofa menyatakan lagi :

Pujian dan shalawat disuarakan bersama-sama secara khusyuk dan terkadang diiringi alunan musik tradisional, kompang, gambus, hadrah, rebana, dan lainnya.

Komentarku (Mahrus Ali) :

Apakah anda baru masuk Islam atau memang kurang ilmumu, apakah tidak mengerti ada hadis yang mengharamkan musik, gambus dll. lihat hadis sbb :

Dari Abu Malik berkata : Aku mendengar Nabi SAW bersabda : “Sungguh beberapa kaum dari umatku akan menghalalkan farji (perzina an akan di resmikan dan diperdakan), sutra (untuk lelaki), khomer (miras akan di beri izin) dan musik. Sungguh beberapa kaum akan bertempat di dekat puncak gunung, lantas datang seorang fakir yang membutuhkan sesuatu dengan membawa domba atau ternak milik mereka sendiri. Mereka berkata : “Kemblilah. kepada kita besok saja. Lantas Allah memberikan sangsi kepada mereka, gunung pun longsor, sedang lainnya di jadikan babi dan kera sampai hari kiamat. HR Bukhori

Mu`tamar NU ke 1 di Surabaya pada tgl 13 Rabiuts tsani 1345 H – 20 Oktober 1925. memutuskan segala macam alat alat orkes (malahi) seperti seruling dll adalah haram. Sumber hukum mereka dari kitab Al Ithaf alal Ihya` takhrij Al Iraqi juz VI “.

Ahmad Musthofa menyatakan lagi :

Namun data historis yang disajikan merujuk kepada Alquran, hadis, dan sirah nabawiyah. Beliau adalah cahaya di atas cahaya yang menyinari hati setiap umatnya Beliau adalah cahaya di atas cahaya yang menyinari hati setiap umatnya, membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada bagian ini ditutup dengan untaian syair:

Nasabun tahsibul 'ula bihulah (Rangkaian nasab yang berkedudukan tinggi). qalladatha nujumah al-jawza'u (laksana barisan bintang-bintang yang saling terkait).

Habbadza 'iqdu sudadiw wa fakhari (Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu). anta fahil yatimatul 'ashma-u (dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).

Komentarku (Mahrus Ali) :

Rasulullah di katakan cahaya di atas cahaya adalah sirik, dan tidak layak di sematkan.

Lebih baik diamlah. Lihat ayat sbb :

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan

4-21

cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [4]

Jadi cahaya di atas cahaya adalah Allah dan tak layak di sandang para nabi atau Rasul

Ahmad Musthofa berkata :

Dikisahkan pada masa hamil Nabi Muhammad, ibunda beliau, Aminah, didatangi malaikat utusan Allah yang mengabarkan bahwa beliau sedang mengandung seorang nabi dan junjungan seluruh umat manusia. Pada masa kehamilan itu pula, sang ibu menyaksikan cahaya keluar dari tubuhnya. Cahaya tersebut bersinar sampai ke negeri Syam.

Di tempat lain terjadi pula peristiwa yang menakjubkan. Disebutkanlah satu guncangan di istana Kisra di Persia yang menyebabkan istana tersebut retak, yang menjadi tanda keruntuhan kerajaan itu. Juga, api di negara Parsi yang tidak pernah padam selama hampir seribu tahun, namun kemudian padam pada saat Muhammad dilahirkan. Peristiwa ini mengejutkan orang-orang Parsi.

Maulid Nabi Muhammad pada 12 Rabi'ul Awal, yang jatuh pada 9 Maret 2009 disambut oleh umat Muslim seantero nusantara dengan berbagai ekspresi kebahagiaan

Komentarku (Mahrus Ali) :

Kisah – kisah seperti di atas adalah hurofat dan telah saya bahas dalam salah satu buku karya saya tentang mengkritisi Berzanji atau Diba. Saya ambilkan contoh sedikit saja ;

Dalam majalah Al Manar di terangkan :

Setelah tiga riwayat itu – riwayat di sebutkan pula riwayat Makhzum bin Hani` dari ayahnya menurut riwayat al baihaqi dan Abu Nuaim. Di sana di jelaskan pada malam maulid istana Kisra goncang, hingga 14 balkonnya jatuh. Api persia mati, lalu danau sawah juga kering . . .

Komentarku (Mahrus Ali) :

Riwayat Al Baihaqi itu sangat lemah.

Ibnu Aasakir berkata : Hadis nyeleneh kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadis Makhzum dari ayahnya dan hanya Abu Ayyub al bajali yang meriwayatkannya Dan ia tidak bisa di buat hujjah bila sendirian. Jadi kisah itu tidak valid dan tidak usah di percaya.

Abu Nuaim sendiri meriwayatkannya tapi kurang percaya padanya. Beliau memang suka meriwayatkan hadis – hadis mungkar, bahkan palsu tanpa komentar di harapkan orang – orang akan mengetahui derajat hadis dari sanadnya. Mereka mengeritik Abu Nuaim dan Ibnu mandah, dan masing –

4-22

masing di keritik karenanya.

Dzahabi menyatakan : “Saya tidak menerima perkataan keduanya, aku tidak tahu dosa besar karena keduanya meriwayatkan hadis – hadis palsu tanpa komentar".

MUHAMMADIYAH BONTAN menyampaikan hadis sbb :

Al-Baihaqiy mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Fatimah AtsTsaqafiyyah yang menyaksikan sendiri detik-detik kelahiran Muhammad Saw. Ia mengatakan: "Aku hadir dan menyaksikan sendiri kelahiran Muhammad Saw. Ketika itu, aku melihat cahaya terang menyinari seisi rumah tempat beliau dilahirkan. Selain itu aku pun melihat beberapa buah bintang bersinar turun mendekat hingga aku merasa seolah-olah bintang-bintang itu hendak menjatuhi diriku. Pada malam kelahiran bayi tersebut, tampak berbagai tanda-tanda luar biasa. Bumi goncang dilanda gempa hingga berhala-hala yang terpancang di sekitar Kakbah jatuh bergelimpangan. Beberapa buah gereja dan biara runtuh serta balairung istana Kisra di Persia retak dan roboh, disusul oleh padamnya api sesembahan orang Majusi di Persia. Dengan padamnya api sesembahan itu, mereka cemas dan khawatir, semuanya menduga bahwa ini adalah tanda yang menunjukkan telah terjadinya peristiwa besar di dunia. Peristiwa itu tidak lain, adalah kelahiran Muhammad Saw,

Komentarku (Mahrus Ali) :

Saya mencari riwayat tsb dalam kitab – kitab hadis tapi malang sekali nasib saya hingga saya tidak menjumpainya, entah dari mana MUHAMMADIYAH BONTANG itu mengutipnya. Bila ada refrensinya, maka saya katakan baru kali ini hurofat itu terdengar atau ku baca. Lantas Fathimah ats tsaqafiyah bagi kami masih mesterius identitasnya.

Dr. Fethullah Gulen juga mengutip kisah khurofat itu sbb :

Sebagian besar patung-patung di dalam ka'bah roboh, istana kaisar Sassanid goyang dan retak, dan empatbelas ornamen di puncak bangunannya runtuh. Danau kecil di Sawa Persia lenyap tertelan bumi, dan api yang dipuja orang-orang Magia di Istakhrabad, yang terus menyala sepanjang seribu tahun, tiba-tiba pada.

Komentarku (Mahrus Ali) :

Begitulah riwayat yang tidak akurat lebih banyak membudaya di masarakat dan jarang sekali yang mengkaji ulang, lalu tahu persoalan sejatinya dan ini bahaya yang mengancam kebinasaan umat. Para ulama yang banyak ngefan dengan kisah hurofat dan masarakat pun juga suka kepada kisah aneh. Lihat ayat sbb :

Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.

Pengarang berzanji berkata lagi :

Istana Kisra di kota – kota Kaisar persia, di mana Anu Syarwan yang meninggikan atapnya dan meratakannya.

Komentarku (Mahrus Ali) :

4-23

Imam Bushairi juga menyatakan pecah istana dilahirkan dalam burdahnya sbb : Kisra ketika Rasulullah

Istana kisra pecah saat kelahiran Nabi

Laksana retaknya persatuan kolega – kolega raja Kisra.

Seluruhnya itu di terangkan tanpa ada hadis yang sahih.

5-24

Artikel 5 Mengapa Harus Barzanji?5

A. Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.

Kitab ‘Iqdul Jauhar Fî Maulid an-Nabiyyi al-Azhar’ atau yang terkenal dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut. Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

B. Kandungan Kitab Barzanji

Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir, diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar". [An-Nisa/4 : 171]

5 http://almanhaj. or. id/content/2584/slash/0/mengapa-harus-barzanji/

5-25

Dari Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya”. [HR Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]

Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur) yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri (673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka.

Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî. Begitulah dalih mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).

Dalam buku Maulid Barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.

Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.

Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita yang mulia mencintai dan

5-26

memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka? Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan selanjutnya bisa memberikan jawabannya.

C. Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]

Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

D. Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh

Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”. [HR Bukhâri]

Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits. Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.

Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu

5-27

E. Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân dan As Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]

Syaikh as-Sa’di berkata: “Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka mati. [2]

Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang abadi.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].

F. Keutamaan Membaca dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:

”Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. ” [Fâthir/ 35:29-30]

Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:

1. Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya, menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya.

2. Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja. [3]

G. Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.

Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya, maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam bermuamalah dengan Kitâbullâh.

Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:

1. Membaca Dengan Niat Yang Ikhlas

Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

5-28

“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan semisalnya". [4]

2. Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.

3. Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah

4. Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik, karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.

5. Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya

6. Hendaknya memperbagus suaranya.

7. Hendaknya membaca dengan tartil.

8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).

H. Penutup

Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita.

6-29

Artikel 6 Syair-syair Barzanji & Burdah6

Berikut adalah beberapa kalimat kufur dan syirik yang terdapat dalam kitab Barzanji sekaligus komentar dari sebagian ulama.

Hambamu yang miskin mengharapkan “Karuniamu (wahai Rasul) yang sangat banyak” Padamu aku telah berbaik sangka “Wahai pemberi kabar gembira dan Pemberi Peringatan” Maka tolonglah Aku, selamatkan Aku “Wahai Penyelamat dari Sa’iir (Neraka)” Wahai penolongku dan tempat berlindungku “Dalam perkara-perkara besar dan berat yang menimpaku”

Penjelasan

Misi dan tujuan kedatangan Rasulullah yang utama adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan diri kepada selain Allah. Sementara penyair dalam petikan syair Barzanji di atas menyatakan penghambaan dirinya kepada Rasulullah (bukan kepada Allah) dan mengharapkan pemberian yang banyak dari beliau. Pada bait yang ke-2 dia telah berbaik sangka kepada Rasulullah (untuk menyelamatkan dirinya). Padahal Nabi sendiri menyuruh untuk berbaik sangka hanya kepada Allah bilamana akan menghadap Allah (akan mati) Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Jabir bin Abdillah bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda (3 hari sebelum wafatnya) :

“Janganlah mati salah seorang dari kamu melainkan ia berbaik sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla”

Berbaik sangka dalam hadits tersebut maksudnya adalah mengharap rahmat dan ampunan

Pada bait yang ke-3 penyair minta pertolongan kepada Rasulullah dan minta perlindungan dari beliau supaya diselamatkan dari api neraka, padahal Nabi sendiri melarang umatnya memohon untuk menghilangkan kesusahan dan kesulitan yang menimpa (beristigotsah) kecuali hanya kepada Allah. Bahkan beliau sendiri meminta perlindungan hanya kepada Allah dan memerintahkan ummatnya untuk berlindung serta memohon perlindungan hanya kepada Allah semata. Rasulullah bersabda : “

“Tidaklah boleh memohon untuk menghilangkan kesusahan dan kesulitan yang menimpa (beristigotsah) kepadaku (karena Nabi tidak mampu melakukannya), dan beristigotsah itu hanya boleh kepada Allah semata. ” [HR. Thabrani, semua periwayatnya shahih kecuali Ibnu luhaiah, dia hasan].

Pada bait yang ke-4 penyair menjadikan Nabi sebagai penolong dan tempat berlindung dalam perkara-perkara besar dan berat yang menimpanya dengan melupakan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penolong dan tempat berlindung yang Nabi sendiri meminta pertolongan dan perlindungan hanya kepada-Nya.

Keempat bait syair ini di dalamnya terdapat kalimat-kalimat yang mengandung kesesatan

6 https://aslibumiayu. wordpress. com/2012/07/23/tahukah-andaapa-arti-yang-

terkandung-dalam-barzanji/

6-30

dan kesyirikan yang sangat berat. Hal ini tidak diketahui oleh orang-orang yang berdiri mendendangkan syair-syair Barzanji tersebut. Berdirinya mereka (pembaca Barazanji) pada acara Maulid dan “Cukuran” (potong rambut bayi) dan acara ziarahan di rumah calon jamaah hajji. dikatakan oleh Ulama bahwa hal itu didasarkan kepada I’tiqad (keyakinan) sesat bahwasanya Nabi menghadiri majelis yang di dalamnya di baca kisah maulid tersebut. Setelah mendapat kritikan Ulama mereka pindah kepada I’tiqad (keyakinan) lain yang sama juga sesatnya yaitu anggapan bahwa Ruh Nabi hadir menyertai mereka. Sehingga terdengar dari mereka ungkapan “Jasadnya tidak menyertai kita akan tetapi rohaniatnya selalu bersama kita. ”

Kemudian di dalam Qashidah Burdah yang dicetak bersama kitab Barzanji, ada bait-bait yang dikritik oleh Ulama karena mengandung pujian melampaui batas yang ditujukan kepada Rasulullah (Ithra) sehingga menempatkan Nabi pada posisi dan tingkatan Allah ‘Azza wa Jalla. Diantara bait yang dikritik itu adalah:

“Wahai makhluk yang mulia tiadalah bagiku tempat berlindung”

“selain engkau, di kala bencana besar menimpaku” “Maka sesungguhnya termasuk sebagian dari pemberianmu (adalah) dunia dan akhirat” “dan termasuk sebagian dari ilmumu adalah ilmu tentang apa yang tercatat dalam Al-Lauh Al-Mahfudzh dan apa yang tertulis oleh Pena Allah”

Inilah sebagian dari syair Qashidah yang mengandung Pujian kepada Rasululah saw yang melampai batas.

7-31

Artikel 7 Kisah Taubat Seorang Kyai7

“Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”

“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)

“Kita biasa melakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)

Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.

Keberanian beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.

Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau.

Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada umumnya.

Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para Ulama Tanah Haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan

7 http://muslim.or.id/biografi/kisah-taubat-seorang-kyai.html

7-32

masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai pewaris para Nabi.

Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.

Walaupun beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.

Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.

Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.

Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.

Inilah fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:

“Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”

8-33

Artikel 8 Apakah Ahlus Sunnah Menyemarakkan

Maulid dan Tahlilan?8

Orang yang bijak adalah orang yang berpikir dulu sebelum bertindak. Allah ta’ala berfiman yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya…” (QS. Al Israa': 36). Dan sudah jelas bagi kita bahwa hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah setiap orang yang berpegang teguh dengan pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang tidak lain bersumber dari mata air wahyu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, dimanapun dia, dari suku apapun, dan di masa kapanpun dia hidup.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi Salafush shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai Salafi.

Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74)

Salah seorang imam mazhab yang sangat masyhur Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada hari ini.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dari Ibnul Majisyun, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata, ‘Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”.’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).

Imam madzhab yang lain, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan

8 http://muslim.or.id/manhaj/risalah-untuk-mengokohkan-ukhuwah-dan-ishlah-3.html

8-34

bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh dan jism?”. Maka beliau menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dan Imam Asy Syafi’i rahimahullah yang begitu banyak dijadikan rujukan oleh orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah di negeri ini mengatakan dengan lantang, “Apabila kalian dapatkan di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (lihat Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Albani rahimahullah).

Sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca Al Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).

Sekarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita yang menggalakkan Maulidan dan Tahlilan. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia mengajarkan kita untuk melakukannya? Di manakah riwayatnya yang sah dari mereka? Adakah di dalam kitab-kitab hadits seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, atau kitab-kitab Sunan dan Musnad? Atau, adakah di dalam kitab-kitab Fikih para ulama, sehingga di dalamnya bisa kita temukan bab yang membahas tentang Maulidan dan Tahlilan? Betul, kelahiran Nabi adalah sesuatu yang menggembirakan. Betul, kita harus mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ingatlah bukti kecintaan yang hakiki adalah dengan mengikuti ajarannya dan menjauhi bid’ah-bid’ah! Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku…” (QS. Ali ‘Imran : 31). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al ‘Ubudiyah)

Bukankah baginda Nabi telah berpesan, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti tuntunanku begitu juga tuntunan Khulafa’ Rasyidin yang berpetunjuk… Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sebab setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Trimidzi, dia mengatakan hadits hasan sahih. Hadits ini dicantumkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al Arba’in An Nawawiyah hadits no. 28). Bahkan tidak tanggung-tanggung Rasulullah

8-35

shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyatakan dengan tegas, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, niscaya tertolak.” (HR. Muslim). Ingatlah ucapan emas Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Semua bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin seorang pakar fikih dan salah seorang imam Ahlus Sunnah sejati di masa kini mengatakan, “…kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini (maulid) adalah termasuk dari kesempurnaan agama, maka pastilah dia sudah ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu was salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia muncul setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalatu was salam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah.”

“Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syari’atnya.

Apabila demikian, maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan -sampai kapanpun- menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan…” (lihat Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).

Demikian pula dalam hal Tahlilan, jawaban serupa yang kita berikan. Benar, Tahlil adalah ucapan yang sangat utama bahkan dzikir yang aling afdhal. Benar, dzikir adalah ibadah dan mendatangkan pahala serta dicintai Allah. Akan tetapi, justru karena dzikir itu ibadah maka tata cara mengerjakannya pun juga harus mengikuti tuntunan dan bukan berdasarkan rekaan atau pendapat akal manusia. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kita untuk membaca tahlil secara bersama-sama dengan di komando dan pada waktu setelah kematian saudara kita sesama muslim? Pada hari yang ketiga, ketujuh, keseratus, atau keseribu sesudah kematiannya? Apakah para sahabat pernah mencontohkan kepada kita untuk beramai-ramai membaca tahlil di sekitar kompleks pekuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku penganut Ahlus Sunnah di negeri ini di sekitar kubur wali dan orang-orang salih? Apakah Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad pernah mengajarkan hal ini?

Penutup

Saudaraku seiman dan seakidah, apakah orang-orang yang gemar mengadakan acara bid’ah bahkan tidak segan untuk menyatu bersama pentas musik dan menjadikannya sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah serta sarana untuk berdakwah

8-36

pantas untuk disebut dengan Ahlus Sunnah? Renungkanlah baik-baik…

Saudaraku, kita tidak bermaksud menuduh sesama da’i sebagai orang yang sengaja berniat jahat terhadap umat. Namun lihatlah segala sesuatunya dengan kaca mata ilmu dan keadilan bukan dengan kejahilan dan hawa nafsu. Siapakah yang telah melakukan kedustaan kedustaan di atas: Dengan mengambing hitamkan sebuah kelompok yang disebut sebagai Wahhabi; dengan menutup-nutupi fakta bahwa istilah Salaf dan Salafi memang sudah dikenal dalam Sunnah Nabi khusus tindakan kedua ini tidak kami nisbatkan kepada PKS, sebab yang menyatakan hal itu tidak mengatasnamakan partai tersebut, walaupun secara pemikiran dan garis perjuangan sangatlah mirip; dengan mengesankan bahwa Wahhabi adalah kelompok yang suka mengkafirkan para ulama bahkan Wali Songo; dengan mengesankan bahwa melakukan peringatan Maulid, Tahlilan, atau Barzanji adalah tradisi positif yang telah mendarah daging dalam paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inikah yang disebut dengan meneladani politik Nabi Yusuf ‘alaihis salam? Inikah yang disebut dengan ‘berinteraksi tanpa terkontaminasi’? Allahul musta’an.

Wahai, saudaraku yang kucintai karena Allah… Tidakkah kita menyaksikan realita yang memilukan ini? Betapa banyak orang yang harus menjadi korban ketidakjujuran sebagian da’i yang kurang bertanggung jawab yang demikian tega membiarkan umat tenggelam dalam kebid’ahan dengan mengatasnamakan sikap toleransi, ishlah, dan menjalin persaudaraan. Dimanakah letak toleransi mereka kepada para ulama pembela manhaj Salaf? Apakah mendiskreditkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pembaharu dakwah Tauhid dan para pengikut dakwahnya adalah wujud toleransi? Apakah mereka telah lupa bahwa pada beberapa tahun yang silam sebagian di antara mereka telah mengenyam berbagai fasilitas pendidikan dan mempelajari akidah salafiyah bersama para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah -yang sering dijuluki dengan nama Wahhabi ini- di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia; sebuah negara yang acap kali direndahkan oleh kaum pergerakan? Di manakah letak ishlah yang selama ini mereka gembar-gemborkan? Membiarkan bid’ah bertebaran bukanlah bentuk ishlah yang Allah inginkan. Menutup-nutupi fakta kebid’ahan dan memalingkan umat dari bimbingan para ulama juga bukan bukti tulusnya persaudaraan.

Tidakkah kita ingat sebuah ayat yang akan meneteskan air mata dan membuat mata orang-orang yang takut kepada Allah menjadi berkaca-kaca? Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari itu orang-orang yang berkawan dekat menjadi saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf : 67). Maka semua ikatan persaudaraan dan persahabatan di dunia ini yang tidak dibangun di atas nilai-nilai ketakwaan -dan amar ma’ruf serta nahi munkar tercakup di dalamnya- tentunya akan menuai penyesalan dan persengketaan sengit di hadapan Ar Rahman pada hari pembalasan.

Saudaraku, sekali lagi aku ingin berbicara denganmu dari hati ke hati. Lihatlah kenyataan pahit ini. Siapakah yang telah terbukti bersikap tidak jujur terhadap umat, merusak jalinan ukhuwah, mendiskreditkan sebagian ulama, dan menghambat laju gerakan ishlah yang penuh barakah ini (dakwah salafiyah). Memang, yang kami inginkan bukanlah imbalan materi atau ucapan terima kasih. Yang kami inginkan adalah perbaikan yang hakiki. Membersihkan muka bumi ini dari kotoran dan sampah-sampah syirik, bid’ah, dan kemaksiatan menuju terciptanya masyarakat yang bertauhid, hidup tentram, dan senantiasa mendapatkan curahan ampunan dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah pertolongan dan kemenangan yang kita dambakan. Allah ta’ala telah menjanjikan dalam firman-Nya yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)

8-37

Belumkah tiba saatnya bagi para da’i untuk kembali ke pangkuan manhaj Salaf yang murni, bertaubat kepada-Nya dengan setulus hati. Kita memang tidak ma’shum dan terbuka menerima nasihat. Ingatlah tentang keagungan hakikat taubat ini sebagaimana yang dipaparkan oleh saudara Abu Nu’man Mubarok dalam artikelnya yang berjudul ‘Taubat’ di mana beliau mengatakan, “Hakikat taubat adalah: Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut di masa yang akan datang.” (dinukil dari sebuah situs milik Al Ikhwan Al Muslimun).

Sebab dengan taubat itulah hati akan menjadi bersih dan bersinar sebagaimana dikatakan oleh saudara Abu Nu’man Mubarok sembari mengutip hadits berikut, “Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang mu’min jika melakukan perbuatan dosa, maka akan terjadi titik hitam di dalam kalbunya, jika dia bertaubat dan minta ampun pada Allah, kembali cemerlang hatinya, jika dosanya bertambah, bertambah pula titik hitam tersebut, hingga menutupi hatinya. Itulah “ar-ron” yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya: ‘Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka'” (HR. Tirmidzi).” (Taubat, Bagian ke-1. Definisi, Urgensi dan Buah-Buah Taubat. 15 Oktober 2006). Allahul muwaffiq, wa huwal Haadi ila aqwamith thariq.

Akhirnya, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi panutan, demikian juga para sahabatnya yang sangat patut dijadikan teladan, dan segenap pengikut mereka yang setia yang begitu mengharapkan ampunan Ar Rahman dan sangat menginginkan kebahagiaan di hari kemudian. Segala puji bagi Allah Rabb Sang pencipta, penguasa, pemilik, dan pengatur seluruh alam semesta.

9-38

Artikel 9 Ruqyah9

Berbagai upaya setan antara lain adalah, manusia dibuat tidak sadar, bahwa dirinya telah meninggalkan jalan yang benar. Bahkan manusia dibuat agar yakin jalan yang diambilnya itu sudah benar. Kalau anda belajar agama Islam, tentu banyak ayat dan dalil yang menyebutkan hal tersebut. Contoh kasus saja. Sekarang ini, banyak sekali bermunculan pengobatan alternatif, yang menawarkan kesembuhan absolut, tanpa operasi dan dengan harga terjangkau. Lalu banyak yang membuktikan kemanjurannya. Di sini tidak menyamaratakan seluruh jenis pengobatan alternatif, tapi ada satu kasus, di mana pasien yang sakit ginjal dapat disembuhkan total oleh pengobatan alternatif, lalu ketika pasien tersebut diruqyah,

. . . kesembuhan itu memang dari Allah, tapi melalui bantuan jin, yang dengan kemampuannya (dan keinginan pasien) sehingga penyakitnya dapat ditutupi, dan

tidak terlihat oleh peralatan medis.

Selain itu, setan juga bisa melalui seorang ahli agama/kyai/dukun sebagai kyai, seakan mengajak ke jalan yang benar, dengan memberikan ilmu-ilmu wirid, amalan-amalan tambahan (bid'ah), dengan tujuan tertentu (kesembuhan, kekebalan atau kehebatan lain), tapi semua itu tidak memohon pada Allah, melainkan pada setan. Tanpa disadari oleh si pasien. Karena itu waspadai bid'ah, yaitu pelaksanaan ibadah, tanpa ada ajaran dari Rasullullah. Berikut ini salah satu triknya:

Jika anda akan melakukan suatu Ibadah (amalan terhadap Sang Pencipta), perhatikan apakah ada syariah untuk itu, jika tidak ada, berarti bid'ah. Jangan lakukan.

Dan jika akan melakukan suatu Amaliah (amalan dalam kehidupan/kemanusiaan), lakukan saja, sepanjang tidak adalah syariah yang melarang untuk itu.

Selain trik di atas, berikut ini adalah beberapa ciri-ciri amalan yang bid'ah, yang patut diwaspadai, karena bisa jadi jalan masuk setan:

1. Pembatasan waktu amalan, misalnya khusus hari senin, malam rabu, malam jum'at, dan lain-lain.Islam memang memberikan waktu-waktu muktajab, tapi sifatnya tidak mengikat. Kecuali adanya syariah yang mengaturnya.

2. Pembatasan tempat, misalnya harus di kuburan, harus di makamnya seseorang, harus di pinggir laut, dan lain sebagainya.Dalam Islam juga ada tempat-tempat istimewa, misalnya di Masjidil Haram, tapi sifatnya juga tidak mengikat.

3. Pembatasan jumlah, misalnya harus wirid 999 kali, 100 kali, dsb. Karena dalam Islam, ibadah adalah keikhlasan, selain adanya syariah yang mengatur jumlah tersebut.Pembatasan tata-cara, misal harus menghadap ke timur, ke tenggara, dan lain-lain. Dalam Islam memang ada aturannya, namun jelas tertulis dalam syariahnya.

Amalan bid'ah biasanya ditujukan untuk memenuhi keinginan si jin, sehingga si jin mau membantu orang yang memintanya. Hal itu sudah mengarah ke syirik, dosa tak terampuni. Lalu, misalnya anda sakit parah, lalu ditawari penyembuhan dengan memanfaatkan media ini, apakah anda bersedia? Lalu ilmu kekebalan, ilmu bisa terbang, tarung tak terkalahkan? Untuk aliran kanuragan tertentu, pengobatan tertentu, jelas-jelas memanfaatkan ini, sehingga bisa dipastikan, para pengikutnya jika diruqyah, akan

9 http://ruqyah-online.blogspot.com/2008/03/ruqyah.html

9-39

ditemukan jenis jin dalam ruhnya. Kadangkala, tanpa sadar ruh kita juga bisa dihinggapi oleh jin, yang memang bisa masuk ke ruh kita jika kita mengalami hal sebagai berikut : marah yang teramat sangat, sedih yang teramat sangat, dan lupa pada Allah.

Karena itu, sering-seringlah meruqyah diri sendiri, dengan perbanyak baca Al-Qur'an, dan jama'ah di Masjid. Jika anda mengalami gangguan dalam melakukan hal tersebut, waspadalah. Yang paling terasa, jika anda merasa ada yang aneh dalam diri anda ketika melakukan ibadah, misalnya sakit di tangan setiap sholat jama'ah, rasa panas di bagian tertentu, atau rasa kantuk yang tiba-tiba, segeralah lakukan ruqyah.

10-40

Artikel 10 Amalan-Amalan Bid’ah :

Jebakan, Tipu Daya, dan Pintu Masuk Jin Agar Bisa Masuk Ke Diri Kita10

Quote :

“Dalam praktik ruqyah selama ini ada hikmah besar yang saya dapati, yakni amal-amal yang tidak ada contoh dari nabi tersebut tidak hanya bernilai bid’ah, tetapi amal-amal tersebut adalah jebakan jin, bahkan pintu masuknya jin dalam diri kita, dan keluarga kita.” [Muhammad Nadhif Khalyani, Praktisi Ruqyah Syar’iyyah]

Untuk orang yang melakukan kemaksiatan, kekufuran, dan kesyirikan; maka kita faham bahwa orang seperti ini akan mudah untuk dimasuki dan didatangi jin. Apalagi kalau sengaja melakukan ritual kemaksiatan, ritual sihir, datang ke dukun dan kasih mahar, melakukan kekufuran, cari jimat, dan melakukan ritual kesyirikan tertentu untuk bisa mengikat “perjanjian” dengan jin/syaithon. Maka hal ini akan lebih mudah lagi untuk difahami.

Entah itu untuk mendapatkan kesaktian, perlindungan, kekebalan, tenaga dalam, bisa mengobati, enteng jodoh, pesugihan, Khodam, perewangan, Jin Qorin, untuk menyihir/menyantet/menyakiti orang lain, dan lain-lain. Syaithon faham, bahwa tidak semua orang bisa ditipu dengan hal ini. Terlalu kentara, “kurang cerdas”, “nggak Intelek” !

Maka ditipulah orang-orang itu dengan suatu ritual-ritual dzikir dan ibadah YANG TIDAK ADA TUNTUNANNYA DARI ALLOH DAN ROSUL-NYA. TIDAK ADA SUNNAHNYA. PADAHAL TERANG ROSULULLOH DAN PARA SHAHABATNYA SANGAT MENCELA DAN MENGINGKARI HAL INI.

یھده من لھ مضل فال هللا ھ ومن یضلل لھ ھادي فال ن , صدق إ حدیث أ ال كتاب حسن هللا وأ ھدي ال د ھدي مور وشر ,محم محدثاتھا األ وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة وكل ضاللة ار في ائي رواه) …الن ر النس می ن ,1560 ق ي ماجھ واب ة ف نن مقدم رقم الس (45 بRosululloh berkata : “Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73).

Seperti ritual membaca bagian tertentu surat Yusuf dan disisipi nama sang korban di bagian surat tersebut pada waktu2 tertentu untuk pelet/pengasihan, Puasa ngebleg, Menulis ayat-ayat Al-Qur’an dan dicampur dengan isim-isim lain yang tidak jelas, membaca dzikir-dzikir Asmaul Husna dengan ditetapkan jumlahnya dan caranya tertentu yang tidak ada tuntunannya dari Rosululoh, Sholawatan dengan lafazh sholawat yang tidak pernah diajarkan Rosululloh, dan masih banyak lagi variasinya.

Jikalau amalan bid’ah saja walaupun ditujukan ikhlash untuk beribadah kepada Alloh saja, dikatakan oleh Rosululloh sebagai suatu amalan yang tertolak dan tercela. Maka bagaimanakah lagi jika amalan bid’ah tersebut ditujukan untuk bisa mendapatkan kesaktian, perlindungan, kekebalan, tenaga dalam, bisa mengobati, enteng jodoh, 10 https://kautsaramru.wordpress.com/2013/12/01/amalan2-bidah-jebakan-tipu-daya-dan-pintu-

masuk-jin-agar-bisa-masuk-ke-diri-kita/

10-41

pesugihan, Khodam, perewangan, Jin Qorin, untuk menyihir/menyantet/menyakiti orang lain, dan lain-lain. Maka tentu Jin tersebut akan lebih senang sekali dan akan berbondong-bondong membantu orang tersebut karena dia sudah melakukan dan memanggilnya dengan cara :

. . . MELAKUKAN KEBID’AHAN, MEMPERMAINKAN AGAMA SERTA MEMBUAT SYARI’AT-SYARI’AT BARU, DAN TUJUAN YANG SALAH.

Syaithon senang dan mendukungnya, karena ini pada hakikatnya sebenarnya sama saja dengan mempermainkan ayat-ayat Alloh dan mempermainkan syariat-syari’at-Nya.

Kalau kata Ustadz Abu Aqila (salah seorang praktisi ruqyah) di ta’lim beliau yang kebetulan saya hadiri “Ya Setan dipanggil pake ayat Qur’an (dengan cara-cara yang bid’ah), yo seneng tho…” Ironisnya inilah yang banyak terjadi di Masyarakat kita, sehingga merekapun banyak yang kemudian terjebak kepada kemaksiatan, kekufuran, percaya jimat-jimat, isim-isim, wifiq-wifiq, dan terjebak ke kesyirikan dengan perantara tertipu oleh amalan-amalan bid’ah ini !!

Sahabat Nabi, Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu berkata:

كل دعة ب ضالل ن ة اس رآھا وإ حسنة الن

“Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik” (Shahih, sebagaimana penilaian Al Albani dalam takhrij kitab Ishlaahul Masajid hal 13 milik Syaikh Jamaluddin Al Qashimi)

11-42

Artikel 11 Ruqyah Pencinta Amalan Bid'ah, Do'a Nurbuat,

Ayat 10, 1511

Malam tadi kami mendapat tugas yang sedikit berbeda. Dikatakan seorang ibu mengalami sakit yang tidak terdeteksi oleh dokter di bagian jantung, dll. Ba'da isya kami menuju rumah saudari kami tersebut, dan disambut bapak setengah abad dan sang suami. Langsunglah kami berikan pertanyaan sesuai SOP (Standard operasional peruqyah): Apa menyimpan jimat? Apakah pernah bermimpi yang aneh ? " ada, juga sering galau memikirkan kematian " Apakah pernah belajar tenaga dalam, atau wirid-wirid over ?

"Tenaga dalam tidak, namun wirid kami amalkan Asmaul Husna sampai ribuan kali hampir setiap hari, lalu ratib, dll." Hasil renungan kami, jika ini gangguan jin, maka kemungkinan pertama adalah disebabkan, amalan bid'ah tersebut. Maka serangan pertama kami adalah diskusi dengan orang tua pasien yang sangat cinta amalan tersebut, setelah diskusi cukup panjang, kami bawakan dalil tentang mana tauhid mana syirik, mana sunnah mana bid'ah. kami ajak untuk membuktikan mana yang benar. Kami katakan " jika kami ruqyah lalu ada yang bereaksi di tempat ini, sepakat amalannya ditinggalkan dan harus hijrah kepada sunnah yang murni ya pak..." Keluarga tersebut setuju, dan mulailah serangan kedua kami. Kami ajak bertaubat, kmudian bacakan ikrar pemutus perjanjian dengan bangsa jin. Kami ajarkan ruqyah mandiri, langsung reaksi, kami ajarkan membuat air ruqyah, langsung reaksi pula, sampai suasana kondusif kembali, Alhamdulillah.

Terbuktilah dengan reaksi si bapak, dan saudari kami sebagai anaknya ini, salah satu gangguan jin yang mereka rasakan dirumah, itu diawali karena amalan yang mereka lakukan adalah bathil, dan mardud...

Pelajaran malam itu :

Hendaknya raqi tidak mencukupan diri hanya dengan bacaan, harus berusaha memantapkan diri sebagai da'i memahami dan menjelaskan tauhid dan syirik, sunnah dan bid'ah dengan ilmiah dan berusaha meghafalkan dalil agar pasien lebih yakin kemudian bertaubat dengan dakwahnya sang raqi.

Sebagai umat islam, hendaknya amalkan yang sesuai sunnah dari nabi, dan jangan lepas dari petunjuk dan kajian ilmu para ulama ahlussunnah. Bertanyalah kepada yang berilmu, bukan yang hobi mengarang ilmu.

Raqi banyak memberikan nasihat tentang kebesaran allah ta'ala, tentang kesabaran dan keilhlasan dalam ujian, dan selama pasien masih mau dan bisa di rangkul untuk menggenggam hidayah tauhid, hendaknya tetap berkomunikasi sampaikan jadwal dan tempat kajian2 sunnah, beri buku2 atw referensi buku yang boleh di baca, jangan biarkan pasien kebingungan dalam beramal..

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya ( H.R Muslim ).

Semoga menjadi amal shalih.

11 http://www.quranic-healing.com/2014/10/ruqyah-pencinta-amalan-bidah-doa.html

12-43

Artikel 12 Sulitnya Taubat Bagi Orang yang Mengamalkan Bid’ah12

Ahlul bid’ah tidak akan bertaubat selama ia menilai bahwa itu merupakan amalan yang baik.

Karena taubat berpijak dari adanya kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan itu buruk. Sehingga dengan itu ia bisa bertaubat darinya. Jadi, selama perbuatan itu dianggap baik padahal pada hakikatnya jelek- maka ia tidak akan bertaubat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi taubat adalah sesuatu yang mungkin (dilakukan) dan terjadi, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala memberikan hidayah dan bimbingan kepadanya hingga ia dapat mengetahui kebenaran.

Hal itu sebagaimana banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab shahih dan lainnya dari hadits Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu dan Abu Said Al Khudri Radhiallahu’anhu dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam pernah menjelaskan tentang kaum khawarij. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya ia mempunyai para pengikut yang salah seorang dari kalian merasa shalatnya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, shaumnya tidak ada apa-apanya dibandingkan shaum mereka. Mereka (selalu) membaca Al Qur`an namun tidaklah melewati kerongkongan (tidak dihayati dan dipahami maknanya, pen). Mereka keluar dari (prinsip) agama sebagaimana keluarnya (menembusnya) anak panah dari tubuh hewan buruan.” (HR. Al-Bukhari no. 3610 dan Muslim no. 1064)

Dan mereka para shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, dan nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda tentang mereka dalam hadits shahih,

“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya tapi bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Mereka keluar dari (prinsip) agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, para imam kaum Muslimin -seperti Sufyan Ats Tsauri Rahimahullahu Ta’ala- berkata,

“Sesungguhnya kebid’ahan itu lebih disukai iblis daripada kemasiatan. karena seseorang (sulit) bertaubat dari berbuat bid’ah. Sedangkan maksiat (lebih mudah) untuk berbuat darinya.”

Makna ucapan mereka: “(sulit) untuk bertaubat dari kebid’ahan“, karena orang yang berbuat bid’ah telah menjadikan apa yang tidak disyariatkan oleh Allah Tabaroka wata’ala dan rasul-Nya Shallallahu’alaihi wasallam sebagai ajaran agama. Amalan buruk telah dibuat indah dalam pandangannya. Seolah amalan itu baik, sehingga pelaku perbuatan tersebut tidak akan bertaubat selama ia menilai bahwa itu merupakan amalan yang baik. Karena taubat berpijak dari adanya kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan itu buruk. Sehingga dengan itu ia bisa bertaubat darinya. Atau orang tersebut meninggalkan amalan baik yang diperintahkan, baik yang diwajibkan atau disunnahkan agar ia bertaubat, 12 https://cahayapencerahan.wordpress.com/2010/08/30/sulitnya-taubat-bagi-orang-yang-

mengamalkan-bid%e2%80%99ah/

12-44

kemudian mengerjakannya.

Jadi, selama perbuatan itu dianggap baik -padahal pada hakikatnya jelek- maka ia tidak akan bertaubat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi taubat adalah sesuatu yang mungkin (dilakukan) dan terjadi, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala memberikan hidayah dan bimbingan kepadanya hingga ia dapat mengetahui kebenaran. Sebagaimana hidayah yang telah Allah Ta’ala berikan kepada orang- orang kafir, orang-orang munafik, dan sekte-sekte ahli bid’ah sesat lainnya. Ini terwujud dengan cara mengikuti kebenaran yang telah ia ketahui. Maka barangsiapa mengamalkan apa yang telah ia ketahui, niscaya Allah Ta’ala wariskan ilmu yang belum dia ketahui, sebagaimana firman Allah ta’ala,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad: 17)

Dan firman-Nya,

“… Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An Nisa: 66-68)

Dan firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Al Hadid: 28)

Dan firman-Nya,

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah: 257)

Dan firman-Nya,

“… Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah: 15-16)

Hal-hal yang mendukung pernyataan di atas banyak sekali di dalam Al Quran dan As Sunnah. Sebaliknya orang yang berpaling dari mengikuti kebenaran yang telah dia ketahui, dikarenakan mengikuti hawa nafsunya, maka hal itu akan melahirkan kebodohan dan kesesatan. sehingga hatinya tidak akan melihat kebenaran yang demikian terang, sebagaimana firman Allah Tabaroka wata’ala,

“… Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Ash Shaff: 5)

Dan firman-Nya,

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka

12-45

siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah: 10)

Dan firman-Nya,

“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu tanda-tanda pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: “Sesungguhnya tanda-tanda itu hanya berada di sisi Allah”. Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila tanda-tanda datang mereka tidak akan beriman. Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 109-110)

Oleh karena itu, sebagian ulama salaf seperti Said ibnu Jubair Radhiallahu’anhu berkata. “sesungguhnya di antara pahala kebaikan adalah kebaikan sesudahnya, sesungguhnya di antara balasan dari kejelekan adalah kejelekan yang datang setelahnya.”

13-46

Artikel 13 Gangguan Jin Pada Pelaku Amaliyah Bid'ah13

Menjadi bukti bagi kita bahwa Amaliyah Bid'ah merupakan perbuatan yang di Sukai Syaitan Ketimbang Masiat. dan sulit untuk di harapkan Langkah Taubat baginya. Hal itu disebabkan sangkaan pelakunya bahwa apa yang dilakukan, merupakan amal Sholeh, sehingga sulit baginya untuk menyadari kesalahan.

AR 60 Tahun, pagi tadi Hadir Ke MARKAZ KCR kab. Bekasi dengan di temani anaknya. Berharap dengan terapi Ruqyah Syar'iyyah, diangkat keluhan yang dideritanya : 1. Kerasukan JIN MACAN, pada saat tertidur, sudah berlangsung selama 10 tahun. 2. Kerasukan JIN WIRID pada sore hari menjelang Magrib. dan di sela sela saat

berbincang. 3. SAKIT pada bagian Kepala yang begitu luar biasa.

Dari Hasil Anamnesa AR, Positif terkena gangguan JIN melalui Amaliyah Bid'ah yang dilakukannya. diantaranya : 1. Wirid surat Yasin (membacanya sebanyak 5x) di sertai Puasa Mutih. 2. Membaca Syahadat 1.000 x setiap malam selama 40 hari.

Karakteristik gangguan JIN yang diundang melalui Amaliyah Bid'ah ini, biasaya ketika di RUQYAH : 1. Turut membaca Ayat Ayat Ruqyah. 2. Menyebut Asma Allah. 3. Mengaku ngaku Ahlu Tauhid Yang tidak mempan Diruqyah.

Oleh Karenanya sebelum menangani gangguan JIN Jenis ini, biasanya saya memberikan Penjelasan TAUHID dan "SYARAT DITERIMANYA AMAL" Bahwa Amaliyah itu dibangun atas dasar IMAN serta PERINTAH ALLAH DAN ROSULNYA. Apapun IBADAH yang dibangun selain atas dasar tersebut merupakan kebathilan dan bentuk penyelisihan kepada Rosul Shallahu'alahi wassalam. Bukannya Ridho Allah yang DIDAPAT namun RIDHO syaitan yang hadir kepada kita. Kemudian Pasien saya ajak bertobat dari seluruh amaliyah bid'ah yang pernah dilakukannya, dan memohon kesembuhan kepada Allah Azza Wajalla.

13 http://ruqyahbengkulu.blogspot.com/2014/12/gangguan-jin-pada-pelaku-amaliyah-bid.html

14-47

Artikel 14 Sikap Terhadap Pelaku Bid’ah dan Manhaj Ahlus Sunnah

Dalam Menyanggah Pelaku Bid’ah14

Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa membantah dan menentang para pelaku bid’ah dan selalu mencegah mereka untuk melakukannya. Perhatikanlah beberapa conoth dibawah

1. Dari Ummu Darda’ Rahiyallahu ‘anha, Dia berkata : “Abu Darda datang menemuiku dalam keadaan jengkel. Lalu aku bertanya : “Ada apa denganmu!” Dia menjawab : “Demi Allah, aku tidak melihat mereka –sedikitpun- berada pada ajaran Muhammad, hanya saja mereka semua melakukan shalat” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

2. Dari Umar bin Yahya, dia berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata : ‘Adalah kami sedang duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebelum shalat Dzuhur –(biasanya) bila dia keluar (dari rumahnya) kami pun pergi bersamanya ke masjid-, tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu dan berkata : “Adakah Abu Abdir Rahman (Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu) telah keluar dari kalian ? Kami menjawab : “Belum”. Lalu diapun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa Al-Asy’ari berkata : “Wahai Abu Abdir Rahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkari, dan alhamdulillah, aku tidak melihatnya kecuali kebaikan”. Dia bertanya : “Apa itu?” Abu Musa menjawab :”Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri” Abu Musa lalu berkata : “Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk dalam bentuk lingkaran sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang laki-laki dan ditangan-tangan mereka ada batu-batu kecil, orang laki-laki itu berkata :’Bacalah takbir 100 kali’, mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian berkata lagi :’Bacalah Tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian mereka berkata lagi :’Bacalah Tasbih 100 kali, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya : ‘Apa yang katakan kepada mereka !’ Abu Musa menjawab : ‘Aku tidak mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!, Abdullah bin Mas’ud menjawab : ‘Tidaklah kamu perintahkan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja ?’.

Kemudian dia pergi dan kamipun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata : ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab : ‘Ya Abu Abdir Rahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih dan tahmid’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja.

Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, lihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju-baju beliau belum rusak dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh, (apakah) kalian ini berada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan’. Mereka

14 http://bestabuabdullah.blogspot.com/2009/12/sikap-terhadap-pelaku-bidah-dan-manhaj.html

14-48

menjawab : ‘Demi Allah, wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari kalian-kalian ini’. Kemudian dia pergi dan Amr bin Maslamah berkata ; ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij” [Hadits Riwayat Ad-Darimy]

3. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram ?” Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”. Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?” Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?” Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”. Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?” Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

Ini hanya sekedar contoh, dan kita lihat para ulama masih tetap menentang pelaku bid’ah di setiap masa, Alhamdulillah

Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Menyanggah Para Pelaku Bid’ah.

Manhaj mereka dalam hal ini didasarkan pada Kitab dan Sunnah. Manhaj yang mantap dan tidak terbantah, di mana pertama kali mereka mengungkapkan syubhat-syubhat para pelaku bid’ah kemudian membantahnya (satu persatu). Dan dengan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, mereka mengungkapkan kewajiban berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran syariat dan kewajiban meninggalkan berbagai macam bid’ah serta hal-hal yang diadakan.

Ulama Ahlus Sunnah telah mengeluarkan banyak karya dalam hal ini. Dan di dalam buku-buku aqidah, mereka juga membantah para pelaku bid’ah yang berkaitan dengan iman dan aqidah. Bahkan, ada yang menulis karya-karya khusus untuk hal tersebut. Misalnya, Imam Ahmad yang menulis buku khusus membantah kelompok Jahmiyah, begitu pula para Imam lainnya, seperti Utsman bin Sa’id Ad-Darimi.

Hal semacam ini dapat kita temui pula dalam karya-karya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, juga karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya. Di mana dalam karya-karya tadi disebutkan sanggahan terhadap banyak aliran, juga sanggahan terhadap orang-orang Quburiyyun dan kelompok Sufiyah. Adapun buku-buku yang khusus membantah para pelaku bid’ah, maka banyak sekali jumlahnya.

Dan alhamdulillah para ulama masih terus menolak praktek-praktek bid’ah dan menulis bantahan-bantahan terhadap para pelaku bid’ah melalui media Koran, majalah, siaran-siaran, khutbah-khutbah jum’at, berbagai macam seminar dan ceramah-ceramah yang mempunyai pengaruh besar dalam menyadarkan kaum muslimin, mengikis bid’ah dan membantah ahli bid’ah.

15-49

Artikel 15 Mana yang Lebih Keras Siksanya, Pelaku Maksiat atau Ahli Bid’ah?15

Ahli bid’ah lebih keras siksanya, karena perbuatan bid’ah lebih besar dari pada sekedar maksiat. Bid’ah lebih disenangi oleh syaithan daripada maksiat karena pelaku maksiat mudah untuk bertaubat.

Sufyan Ats Tsauri berkata: “bid’ah lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat karena pelaku maksiat akan bertaubat darinya sedangkan pelaku bid’ah tidak akan bertaubat darinya.” (Musnad Ibnu Ja’ad (1885) dan Majmu Fatawa (11/472))

Rasulullah shalallahu’alayhi wassalam bersabda:

“…..sesungguhnya Allah telah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah” (Ash Shahihah , 1620)

Adapun ahli bid’ah maka jarang sekali yang bertaubat karena ia menyangka berada diatas kebenaran berbeda dengan pelaku maksiat, ia mengetahui bahwa ia seorang yang bermaksiat. adapun ahli bid’ah mka ia meyakini sebagai seorang yang taat dan sedang melakukan ketaatan. Maka dari itu perbuatan bid’ah -wal’iyyadzubillah- lebih jelek dari maksiat. Oleh karenanya ulama salaf selalu memperingatkan (agar menjauh) dari bermajelis bersama ahli bid’ah, karena mereka akan mempengaruhi orang yang duduk bersamanya, sementara bahaya mereka sangat besar.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Jangan kamu duduk dengan pelaku bid’ah karena ia akan membuat sakit hatimu” (Al I’tisham 1/172, Al bida’ wan Nahyu ‘anha hal 54). Tidak diragukan, bahwa bid’ah itu lebih jelek dari maksiat dan bahaya yang ditimbulkan ahli bid’ah kepada manusia lebih besar daripada bahaya seorang pelaku maksiat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata tentang bahaya ahli bid’ah:

“…seandainya Allah tidak menjadikan adannya orang-orang yang mencegah bahaya mereka -yaitu ahli bid’ah- benar-benar agama ini akan rusak dan kerusakannnya akan lebih besar dari berkuasanya musuh yang memerangi. Karena musuh jika berkuasa tidak akan merusak hati dan agama kecuali hanya mengikut saja. Adapun ahli bid’ah, mereka akan merusak hati sejak pertama kalinya.” (Majmu’ Fatawa 28/232)

Ibnu Mas’ud mengatakan :

“…sederhana dalam (melakukan) sunnah lebih baik daripada sungguh-sungguh dalam (berbuat) bid’ah” (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal 55,-pen)

15 http://tobatmaksiat.wordpress.com/2010/11/03/mana-yang-lebih-keras-siksanya-pelaku-

maksiat-atau-ahli-bidah/

16-50

Artikel 16 Bagaimana Cara Shalawat Yang Sesuai Sunnah, dan

Bolehkah Shalawat Diiringi Dengan Rebana?16

Amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.

Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.

1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara global dapat dibagi menjadi dua.

a. Shalawat Yang Disyari'atkan.

Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa macam. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan riwayat tentang sifat shalawat Nabi.

Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :

(Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kamaa shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala aali Ibrahim, innaKa Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad, kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim, innaKa Hamiidum Majid).

Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya Al Albani, Maktabah Al Ma'arif].

dan termasuk shalawat yang disyari'atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.

16 http://almanhaj.or.id/content/3275/slash/0/bagaimana-cara-shalawat-yang-sesuai-sunnah-dan-

bolehkah-shalawat-diiringi-dengan-rebana/

16-51

Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:

(shalallahu 'alaihi wa sallam) dan

('alaihish shalaatu was salaam).

Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah 'Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al 'Abbad]

a. Shalawat Yang Tidak Disyari'atkan.

Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha'if (lemah), sangat dha'if, maudhu' (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah 'Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli (wafat th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan. [1]

2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

a. Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyari'atkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid’ah, karena seluruh bid’ah adalah kesesatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan do’a-do’a termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba' (mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidak seorangpun berhak men-sunnah-kan dari dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul Ad'iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr].

b. Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat, terlebih-lebih pada hari jum'ah, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat

16-52

atasnya sepuluh kali. [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].

c. Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syari'at.

Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum'at duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.

d. Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama'ah.

Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan berjama'ah. Karena, jika dilakukan berjama'ah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.

e. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.

Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras. Allah berfirman,

dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf : 205].

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:

(dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].

Al Qurthubi rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].

Muhammad Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyari'atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh].

Abu Musa Al Asy'ari berkata.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).” dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu

16-53

terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan surga?" Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].

3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid’ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya'ir-sya'ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama' atau taghbiir.

Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.

a. Imam Asy Syafi'i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir. [2] (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq ; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Qur'an.” [3]

b. Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid’ah.” [Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].

c. Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al Qur'an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya'ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]

d. Imam Al Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah 'Ulumil Hadits (wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab: Mereka telah berdusta atas nama Allah

16-54

Ta'ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma'. Barangsiapa yang menyelisihi ijma', (ia) terkena ancaman firman Allah:

dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa:115] [4]

e. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyari'atkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk tapak-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” [5]

Demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara. Alhamdulillah Rabbil 'alamin, washalatu wassalaamu 'ala Muhammad wa 'ala ahlihi wa shahbihi ajma'in.

17-55

Artikel 17 Shalawat Sesat, Syirik & Bid’ah17

Sudah bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak tersebar berbagai jenis shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat-shalawat semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ah, ghuluw terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya.

Shalawat Nariyah

Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:

“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.”

Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:

a. Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesu-sahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur'an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:

"Katakanlah: 'Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah.

Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya." (Al-Isra: 56)

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)

17 http://gusmuhaimin.blogspot.com/2009/02/shalawat-sesat-syirik-bidah.html

17-56

b. Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh beliau untuk berkata:

"Katakanlah: 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman'." (Al-A’raf: 188)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, "Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:

“Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)

(Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu)

Shalawat Al-Fatih (Pembuka)

Lafadznya adalah sebagai berikut:

"Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”

Berkata At-Tijani tentang shalawat ini –dan dia pendusta dengan perkataannya-:

“….Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan aku dengan hal tersebut, akupun bertanya kepadanya tentang keutamaannya. Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai membaca Al Qur’an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’a yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’an 6.000 kali, karena ini termasuk dzikir.”

dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena mengganggap perkataan manusia lebih afdhal daripada firman Allah Azza Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ah yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)

Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. dan datang dari hadits'Utsman bin 'Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan) itu. Aku

17-57

tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang lainnya dari Abdullah bin Mas’ud dan dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

Shalawat yang Disebutkan Salah Seorang Sufi Dari Libanon Dalam Kitabnya Yang Membahas Tentang Keutamaan Shalawat

Lafadznya sebagai berikut:

"Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan yang mengurusi makhluknya)."

Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza wajalla. Maka, bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang dari makhluk-Nya padahal Allah Ta’ala berfirman:

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)

Lafadznya sebagai berikut:

"Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya kerajaan Allah.”

Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: ”Bahwa pahalanya seperti 600.000 kali shalat. dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at 1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.” (Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)

Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan shalawat ini.

Shalawat Al-In’am

Lafadznya sebagai berikut:

"Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan keutamaan-Nya.”

Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi:

“Ini adalah shalawat Al-In’am. dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul 288)

Shalawat Badar

Lafadz shalawat ini sebagai berikut:

shalatullah salamullah 'ala thoha rosulillah shalatullah salamullah 'ala yaasiin habibillah tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah wa kulli majahid fillah bi ahlil badri ya Allah

Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah

17-58

Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah

Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal: a. Penyebutan Nabi dengan habibillah b. Bertawassul dengan Nabi c. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr

Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir.

Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang membolehkannya. Allah Idan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan. Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya disyariatkan, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits: “Bertawa-ssullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan ini besar di hadap-an Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Al-Albani.

Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi karena bertawassul dengan Nabi shallallhu 'alaihi wa sallam saja tidak diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’raf: 180)

Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya. Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 199)

Bertawassul dengan nama Allah I seperti ini merupakan salah satu dari bentuk tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang juga diperbolehkan adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup (yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang.

Jenis-jenis shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’a, dzikir, dan shalawat-shalawat yang menurut mereka mempunyai sekian pahala. Atau mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari beliau, masuk jannah (surga),dan yang lainnya dari sekian propaganda yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. dan karena Rasul tidak memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih hidup.

Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi apabila model shalawat tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni menyimpang dari agama dan sunnahnya. dan yang semakin

17-59

menunjukkan kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ah ini menyebabkan terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’atkan yang telah Allah jadikan sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya.

Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan mentadabburinya disebabkan tenggelam dan 'asyik' dengan wirid bid’ah ini? dan berapa banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur dengan pahala 'instant' yang berlipat ganda. Berapa banyak yang . . .

. . . lebih mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ah semacam buatan Arifin Ilham daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam?

Laa haula walaa quwwata illaa billah.

18-60

Artikel 18 Contoh Bid’ah dan Khurafat di Indonesia18

Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnahku saat terjadi perselisihan diantara umatku laksana orang yang memegang bara api.” (HR. Hakim)

Detik-detik Meninggalnya Rasulullah

Pagi itu Rasululloh dengan suara terbata-bata berkutbah,

”Wahai umat ku. kita semua dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih_Nya, maka taat dan bertaqwala kepada_Nya. Ku wariskan dua perkara kepada kalian, Al Qur’an dan Sunnahku. Siapa yang mencintai Sunnahku, berarti mencintaiku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk surga bersama-sama aku.”

Khutbah singkat itu di akhiri dengan pandangan mata Rasululloh yang tenang dan penuh minat menatap satu persatu sahabatnya. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas panjang. Ali menundukkan kepala. Isyarat telah datang, saatnya telah tiba,

”Rasululloh akan meninggalkan kita semua,”

keluh hati sahabat. Manusia tercinta itu, hampir selesai tunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu makin kuat. Ali dengan cekatan memeluk Rasululloh yang lemah dan goyah ketika turun dari mimbar.

Mengenal Bid’ah

Mirip Syari’at Tetapi Sesat

Pengertian bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam tinjauan bahasa memang mobil itu bid’ah, microphone itu bid’ah, computer itu bid’ah, hanphone juga bid’ah. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud oleh Nabi. Bid’ah yang dimaksud Nabi adalah bid’ah dalam tinjauan syar’i.

Adapun bid’ah dalam tinjaun syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-I’tisham Bid’ah adalah suatu cara beragama yang mirip dengan syari’at yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah kepada Allah.

Bid’ah Adalah Musibah

Berkembangnya bid’ah-bid’ah adalah musibah. Bahkan tak ada yang lebih menyesakkan dada para ulama melebihi kesedihan mereka ketika melihat munculnya bid’ah. Ibnul Mubarak berkata: “Kita mengadu kepada Allah akan perkara besar yang menimpa umat ini, yakni wafatnya para ulama’ dan orang-orang yang berpegang kepada sunnah, serta bermunculannya bid’ah-bid’ah.”

Abu Idris Al-Khaulani berkata: “Sungguh melihat api yang tak biasa kupadamkan lebih baik bagiku daripada melihat bid’ah yang tak mampu aku padamkan.”

18 http://putrahermanto.wordpress.com/2010/09/09/contoh-bid%e2%80%99ah-dan-khurafat-di-

indonesia/

18-61

Bid’ah menjadikan pelakunya semakin jauh kepada Allah. Hasan Al-Bashri mengungkapkan, “Bagi para pelaku bid’ah, bertambahnya kesungguhan ibadah (yang dilandasi bid’ah), hanya akan menambah jauhnya kepada Allah.”

Mengenai pentingnya kewaspadaan terhadap bid’ah ini, mendekati wafatnya Nabi memberikan beberapa wasiat, diantaranya, ”Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Antara Bid’ah dan Ikhtilaf Ulama’ (Perbedaan Pendapat Ulama)

Bid’ah tidaklah sama dengan ikhtilaf para ulama. Bid’ah harus diingkari dan dicegah, sedangkan ikhtilaf yang merupakan hasil ijtihad di kalangan ulama tidak boleh dicegah atau diingkari sebagaimana mengingkari maksiat. Qunut subuh misalnya, tidak selayaknya kita mengingkari orang yang melakukannya seperti kita mengingkari kemungkaran atau bid’ah. Karena nyatanya hal itu diperselisihkan ulama tentang kesunnahannya. Begitupun juga dengan ikhtilaf dalam hal tahiyat, menggerakkan jari atau tidak. Juga ketika berdiri dari rukuk, bersedekap atau tidak.

Hal ini berbeda dengan perkara bid’ah yang nyata diada-adakan. Seperti berkumpul pada hari ke-7, ke-40 atau ke-100 hari orang yang meninggal dunia. Karena tidak ada dalil ke-sunnahannya, tidak ada pula ulama terdahulu yang menganjurkannya. Bahkan para sahabat menganggapnya sebagai nihayah (meratapi mayit). Jarir bin Abdillah al-Bajali berkata, “Kami (para sahabat) menganggap bahwa kumpul-kumpul di tempat keluarga mayit dan membuat makanan (jamuan) setelah dikuburkannya mayit termasuk nahiyah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah no. 1601, disahihkan oleh Al-Albani dalam Talkhish Ahkam Al-Jana’iz, hal. 73)

Menyoal Bid’ah Hasanah

Sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sai’ah (bid’ah buruk dan bid’ah baik). Padahal Nabi tidak pernah memperkenalkan kepada umatnya tentan pembagian bid’ah ini. Dengan tegas Rasulullah bersabda, “…..karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud). Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak.

Adanya bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khothab yang mengatakan tentang shalat tarawih, “Ni’matul bid’ah hadzihi,” sebaik-baik bid’ah adalah ini. Hal ini dapat terbantahkan dari berbagai sisi. 1) Pertama: kalaupun maksud perkataan Umar adalah yang seperti mereka

maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas pernah berkata, “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku katakana ‘Rasulullah bersabda’, kalian menyanggahnya dengan ‘Abu Bakar berkata’.”

2) Kedua: yang dimaksud Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, bukan bid’ah secara syar’i.

3) Ketiga: shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i. karena amalan itu ada contohnya dari Nabi.

18-62

Beda Bid’ah Dengan Al-Maslahah Al-Mursalah

Pembolehan bid’ah sering dialamatkan kepada para sahabat maupun tabi’in, lalu itu dijadikan alasan untuk membuat syariat-syariat baru. Yang paling sering dijadikan alasan mereka adalah sejarah Jam’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an), yang termasuk bentuk dari al-maslahah al-mursalah.

Al-Maslahah al-Mursalah diberlakukan untuk menjaga perkara yang bersifat dharuri dan bertujuan untuk raf’ul haraj (menghilangkan keberatan) dalam menjalankan ketentuan syari’at. Hal ini berbeda dengan bid’ah yang diada-adakan meskipun dianggap sebagai maslahah mursalah oleh orang yang tidak memahami perbedaan diantara keduanya.

Khurafat Menurut Islam : Pengaruh dan Kesannya Kepada Aqidah Umat IslaM

Pendahuluan

Sebelum kedatangan Islam, penduduk di Nusantara mempunyai pegangan dan keyakinan tentang adanya kuasa ghaib yang mereka tidak nampak tapi dapat mereka rasai kesannya.

Dinamisme

Kepercayaan adanya tenaga yang tak berperibadi dalam diri manusia, haiwan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan kata-kata.

Tenaga yang tak berperibadi ‘MANA’ Prestasi yang luar biasa yang dipunyai pemiliknya, Kulit Limau Besar, Daun Silat, Inggu, Besi Berani, Keris dll.

Anamisme

Kepercayaan adanya jiwa dan ruh yang dapat mempengaruhi alam manusia a) Ruh atau anasir halus yang mempunyai kekuatan dan kehendak. b) Kesenangan ruh perlu dijaga dan dipelihara. c) Ruh org mati, gunung, sungai, batu dll.

Hindu

Kepercayaan kepada dewa-dewa d) Dewa lebih berkuasa, lebih tinggi & mulia. e) Penyembahan dewa lebih umum f) Mempunyai pekerjaan-pekerjaan tertentu

Definisi Khurafat

Kamus Bahasa Arab

a) (al-Mujam al-Wasit) : Cerita-cerita yang mempesonakan yang dicampur-adukkan dengan perkara dusta.

b) (al-Marbawi) : Cerita karut (karut marut).

Kamus Dewan

Khurafat : Kepercayaan karut yang diada-adakan berpandukan kepada perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian alam yang berlaku.

18-63

Kesimpulannya

Khurafat : a) Semua cerita sama ada rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantang

larang, adat istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam

b) Khurafat adalah bidah akidah. c) Apa saja kepercayaan kepada sesuatu perkara yang menyalahi ajaran

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

Ciri-Ciri Khurafat

1) Tidak didasarkan pada nas-nas syarak (al-Quran atau hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam.

2) Cerita-cerita rekaan, dongeng, khayalan atau karut. 3) Bersumberkan kepada kepercayaan-kepercayaan lama dan bercanggah

dengan Islam. 4) Menggunakan objek-objek tertentu seperti kubur, pokok dan sebagainya. 5) Mempunyai unsur-unsur negatif dari segi akidah dan syariah. 6) Berbentuk pemujaan dan permohonan kepada makhluk halus

Bentuk-Bentuk Khurafat

Kepercayaan kepada keramat seperti kubur, pokok kayu, telaga, batu, bukit, tongkat dan sebagainya.

Keramat

a) Perkara yang luar biasa. b) Anugerah Allah kepada hambanya yang salih. c) Terjadi daripada orang salih. d) Bukan dari benda-benda seperti tembikar, kubur, pokok dll. e) Bukan dari orang fasik. f) Kepercayaan kepada sial majal seperti adat mandi safar, adat mandi

membuang sial dan sebagainya. g) Kepercayaan kepada kekuasaan jin dan memohon pertolongan darinya

seperti adat memuja kampung, adat merenjis tepung tawar adat pantai dan sebagainya.

Tidak Ada Sangkaan Sial Dalam Islam

Sabda Rasulullah s.a.w yg bermaksud: a) Tidak ada burung, tidak ada penyakit menular dan tidak ada sial. b) Anggapan sial itu adalah syirik. (ini diucapkan oleh Nabi sebanyak 3

kali)

Jin

a) Makhluk alam ghaib yang berakal, berkehendak, sedar dan ada kewajipan.

18-64

b) Ia berjasad halus dan hidup bersama-sama manusia di dunia ini. c) Jin dicipta lebih dahulu daripada manusia. d) Ia dicipta daripada api. Firman Allah dlm Al-Hijr 15: 26-27 yang

bermaksud

dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia daripada tanah liat yg kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. dan Kami menciptakan jin, sebelum itu, dari. api yg sangat panas.

Firman Allah : “dan sesungguhnya ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang di antara jin, maka jin-jin itu menambah dosa dan kesalahan bagi mereka.” (Al-Jin 72: 6)

Kepercayaan kepada bertambah dan berkurangnya rezeki seperti adat memuja semangat padi yang dilakukan oleh petani-petani seperti bersemah (memuja semangat padi) dan membuang ancak di sungai dan laut dan bermain pantai.

Rezeki Pemberian Allah

Firman-Nya Yg Bermaksud: “Kamilah Yg Memberi Rezeki” (Hud : 6)

Hendaklah Berusaha Banyak / Sedikit Ketentuan Allah

Kepercayaan kepada petanda-petanda, pantang larang dan mimpi. Contohnya seperti tidak boleh keluar ketika gagak berbunyi, takut mendapat sial atau bala dan sebagainya.

Sabda rasululullah s.a.w yang bermaksud : “Mimpi ada tiga jenis: mimpi yg datang dari Allah, mimpi kesedihan yang datang dari syaitan dan mimpi yg datang dari kesan bisikan hati seseorang di waktu sedar, lalu dilihatnya dlm mimpi”.

Memuja Objek-Objek Tertentu, Pohon, Roh Nenek Moyang, Kubur-Kubur Yang Dianggap Wali dan Sebagainya.

Percaya Kepada Ramalan-Ramalan Bintang, Angka-Angka atau Rajah-Rajah Tertentu.

Sabda Rasulullah s.a.w, “Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Sangat murka Allah terhadap orang-orang yang membuat makam-makam para nabi sebagai tempat ibadat”.

Hukum Beramal Dengan Khurafat

Segala amalan dan kepercayaan yang tidak berdasarkan kepada sumber-sumber yang asal seperti Al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas adalah ditolak oleh Islam. Sabda Rasulullah : “Barangsiapa mengada-adakan di dalam agama kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka yang dikerjakannya itu adalah tertolak”.

Percaya kepada benda-benda yang dijadikan keramat seperti pokok, kubur, telaga dan sebagainya, serta memuja, memohon pertolongan dan melepaskan nazar pada benda-benda berkenaan dan percaya ianya mempunyai kuasa selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah membawa kepada syirik dan bertentangan dengan kepercayaan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

18-65

1) dan janganlah menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan juga tidak dapat memberi mudharat kepadamu. Sekiranya engkau mengerjakan yang demikian maka jadilah engkau orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu)

2) Bukan dari golongan kami sesiapa yang merasa sial atau meminta diramalkan kesialannya atau merenung nasib atau minta ditenungkan atau mensihirkan atau meminta disihirkan.

Sabda Rasulullah 1) Sesungguhnya jampi mentera, tangkal dan guna-guna itu syirik. 2) Sesiapa yang memakai tangkal, maka ia telah melakukan kesyirikan.

Kesan Khurafat Terhadap Umat Islam

1) Merosakan akidah 2) Menambahkan amalan bid’ah 3) Hilang kepercayaan?kepada qada dan qadar 4) Hilang sikap berusaha 5) Mudah berputus asa 1) Tidak bertawakkal kepada Allah

Bahaya yang paling besar akan dihadapi umat Islam jika mempercayai khurafat dan beramal dengannya ialah terjerumus ke lembah kesyirikan.

Syirik

Menyekutukan Allah Dengan Sesuatu/Syirik

1) Perkara Yang Diharamkan 2) Pelakunya Tidak Akan Diampunkan 3) Segala Amalannya Dibatalkan

“Katakanlah (wahai Muhammad) : Marilah aku bacakan (untuk kamu) perkara yang telah diharamkan oleh Tuhan kamu, iaitu janganlah kamu sekutukan Allah dengan sesuatupun.” (اء (48 : النس

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Bahagian Syirik

Syirik Jali (Syirik Yang Nyata)

a) Mempercayai adanya sesuatu yang setara dan setanding dengan Allah Ta’ala, kepadanya dipohon doa,

b) Kepadanya diadakan upacara penyembahan, dan c) Ditakuti bala bencana daripadanya.

18-66

Syirik Khafi (Syirik Yang Tersembunyi)

Sesuatu kepercayaan, perkataan atau perbuatan yang menggambarkan wujud kekuasaan atau sebagainya selain Allah Ta’ala.

Senarai amalan syirik yang tersembunyi : a) Mempercayai sesuatu yang menjadi sebab baik atau buruk. b) Menaruh perasaan takut dan gerun kepada kekuatan sesuatu selain

dari-pada Allah. c) Menumpukan harapan kepada sesuatu yang lain daripada Allah. d) Melakukan pemujaan. e) Bersumpah dengan sebarang sebutan yang lain daripada Allah. f) Mengatakan: “Kalau tidak karena pertolongan Allah dan pertolongan si

polan dan si polan, tentulah tidak akan berjaya. g) Melakukan sesuatu ibadat atau daya usaha pengorbanan atau

perjuangan bukan karena perintah Allah semata-mata tetapi juga untuk kepentingan yang lain.

Syirik Bahaya dan Kesannya Dalam Kehidupan Manusia

1) Rosak akidah. 2) Penghinaan terhadap kemanusiaan. 3) Sarang tahyul. 4) Kezaliman terhadap kebenaran dan diri sendiri. 5) Sumber ketakutan.

Firman Allah, “Barangsiapa Mengharap Perjumpaan Dengan Tuhannya, Maka Hendaklah Ia Mengerjakan Amal Salih, dan Janganlah Ia Mempersekutukan Seorang Pun Dalam Beribadat Kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi:10)

Semoga kita semua akan dilindungi Allah dari malapetaka dan kenistaan api neraka; memperolehi keberuntungan dunia dan akhirat dan masuk syurga.

Bid’ah dan Khurafat di Indonesia

Diantara bid’ah dan khurafat yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:

Kualat Karena Melanggar Adat

Sebagian orang menganggap bahwa upacara adat lah yang bisa menjaga keamanan dan kesejahteraan mereka. Meninggalkannya berarti, siap menuai petaka. Jika ditanya mengapa adat atau ritual itu diberlakukan, biasanya jawabannya standar. Kadang dalam rangka tasyakuran atau tolak balak. Tapi kenapa cara seperti itu yang dipilih bukan cara yang ditunjukkan oleh Islam? Jawabannya hampir bisa dipastikan, “Adatnya sejak dulu ya seperti ini!” persis dengan kaum musyrik tempo dulu. Allah berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (QS. Al-Baqarah 170)

Cegah Bencana Dengan Ritual Tolak Balak

Ritual yang dimaksud adalah sesaji untuk taqarrub kepada jin yang mereka

18-67

anggap berkuasa di tempat itu. Seakan jin-jin itu : 1) mampu mengendalikan alam, 2) mampu mendatangkan banjir, 3) mampu menjadikan gempa bumi dan tanah longsor.

Ini adalah keyakinan syirik paling berat yang bahkan tidak dilakukan oleh orang-orang musyrik. Orang-orang musyrik dahulu menyekutukan Allah dalam beribadah, tapi mereka tetap meyakini, bahwa yang mengendalikan semua urusan adalah Allah. Firman Allah Qs. Yunus 31

Hilangkan Mimpi Buruk Dengan Membalik Bantal

Mereka meyakini dengan membalik bantalnya, maka arah mimpi menjadi berubah atau ‘episode’nya berganti. Ada pula yang berkeyakinan, dengan membalik bantal, maka apa yang dialami dalam mimpi tidak menjelma di alam nyata. Bagaimana Islam menjelaskan kejadian seperti ini, lalu bagaimana solusinya? Nabi telah menjelaskan bahwa mimpi baik itu adalah dari Allah, sedang mimpi buruk itu dari setan. Rasulullah bersabda, “Mimpi baik itu dari Allah, sedang mimpi buruk itu dari setan. Jika salah satu di antara kalian bermimpi yang tidak disukai, maka hendaknya menghembuskan (dengan sedikit ludah) ke kiri tiga kali, lalu membaca ta’awudz kepada Allah dari keburukannya, niscaya mimpi buruk itu tidak akan memadharatkannya.” (HR. Muslim)

Menanam Kepala Kerbau

Mereka meyakini bahwa tradisi menanam kepala kerbau seolah suatu keharusan yang mengiringi momen-momen penting. Seperti peletakan batu pertama suatu bangunan, pembangunan jembatan, ritual sedekah bumi maupun tradisi larung untuk sedekah laut, kepala kerbau hampir menjadi inti dari sesaji. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Dan Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Sial Karena Terkena Hukum Karma

Dalam bahasa Sansekerta, karma berarti perbuatan. Dalam arti umum, meliputi semua kehendak (baik dan buruk, lahir dan batin, pikiran, kata-kata atau tindakan). Karma dikenal juga dengan hukum sebab-akibat. Mereka yang percaya karma yakin bahwa di masa yang akan datang orang akan memperoleh konsekuensi dari apa yang telah diperbuat di masa lalu.

Sepintas ajaran ini mirip dengan Islam, yang mengenal istilah ‘al-jaza’ min jinsil amal’, bahwa hasil itu sepadan dengan usaha yang dilakukan. Padahal ada perbedaan menyolok antara karma dan kaidah Islam tersebut. Karma adalah bagian dari kepercayaan Hindu-Budha. Karma tidak terpisahkan dengan ajaran reinkarnasi, yang menyatakan bahwa setelah seseorang meninggal akan kembali ke bumi dalam tubuh yang berbeda. Jadi, mereka meyakini hidup berulang kali di dunia, mesklipun dengan wujud yang berbeda. Tentang nasib, tergantung karma yang diperbuatnya di kehidupan sebelumnya. Dalam Islam musibah yang menimpa, memang kadang bisa diartikan dengan balasan, tapi kadang pula berarti pembersih dosa dan terkadang berarti ujian. Orang yang terlanjur berbuat dosapun tidak menutup kemungkinan untuk bertaubat, sehingga efek dosa bisa tercegah, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam

18-68

Musibah Karena Mendahului Kakaknya Menikah

Mereka meyakini bahwa hal ini akan menjadikan kakaknya tidak laku, dan sang adik juga akan menerima akibatnya, karena lancang melangkahi kakaknya menikah. Se-bagian yang merasa terpaksa ‘melanggar’ adat itu mengharuskan sang adik untuk mengadakan ritual plangkahan. Adapun Islam mengajarkan untuk menyegerakan jika dirasa sudah mampu. Tidak menjadi soal apakah ketika menikah kakaknya telah menikah atau belum.

Selamatan Tujuh Bulan Dalam Kandungan

Orang Jawa menyebutnya dengan mitoni. Menurut para pelakunya, ritual ini merupakan bentuk syukur kepada sang Pencipta yang telah menyelamatkan ibu dan calon bayi hingga berumur tujuh bulan. Harinya pun dipilih hari ‘baik’ bukan sembarang hari. Bentuk ritualnya bermacam-macam, dari ritual siraman, calon ibu berganti pakaian dengan 7 motif, lalu para tamu diminta untuk memilih motif mana yang paling cocok.

Tujuan untuk bersyukur tidaklah menjadikan ritual itu layak diikuti. Karena tujuan yang benar harus ditempuh dengan cara yang benar pula. Lalu bagaimana cara mensyukuri yang benar? Tak ada ritual khusus, waktu khusus atau tempat khusus. Hendaknya memperbanyak tahmid dalam segala kondisi, dan jika suatu kali mendapatkan suatu perkara yang tidak disukai hendaknya membaca “Alhamdulillah ‘ala kulli haal”, yakni “Segala puji bagi Allah dalam segala keadaan.”

Kokok Ayam Ditengah Malam, Isyarat Wanita Hamil Di Luar Nikah

Kepercayaan seperti ini biasanya terjadi karena hasil utak-atik orang terhadap perkara yang dianggap ganjil. Misalnya secara kebetulan ada kejadian yang berba-rengan. Keyakinan seperti ini tidaklah dibenarkan karena tidak berlandaskan dalil.

Sesaji Untuk Bersyukur

Diantaranya adalah sesaji sebagian para nelayan untuk “Dewi Roro Kidul”, penguasa pantai selatan dan juga sesajinya para petani untuk “Dewi Sri”, yang diyakini telah menguningkan padi mereka. Sesajian ini adalah termasuk dari kesyirikan.

Nyadran dan Padusan-Jawa/Balimau-Minang Di Penghujung Sya’ban

Sebagian warga di Magelang misalnya, mereka melakukan ritual sadranan di puncak Gunung Tidar. Konon di sana terdapat petilasan Syekh Subakir. Selain nyadran ada juga ritual yang di sebut dengan “padusan”/mandi sebelum memasuki bulan Ramadhan. Di Sumatra Barat hal ini dikenal dengan Balimau, Padahal ritual ini tidak pernah diajarkan Islam.

Sial Karena Kejatuhan Cicak

Mereka meyakini, ketika kejatuhan cicak, maka bertanda mereka akan mendapat-kan musibah. Sebagai penangkal mereka segera memburu cicak tersebut dan menyobek mulutnya, supaya musibah tidak jadi menimpanya. Hal ini disebut juga dengan tathayur yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda barang siapa mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah berbuat kesyirikan,” lalu para sahabat bertanya. “Lalu apa tebusannya wahai

18-69

Rasulullah?” Beliau bersabda, “Hendaknya engkau membaca, ‘Ya Allah, tiada nasib baik kecuali nasib baik (dari)Mu, tiada thiyarah kecuali thiyarah-Mu dan tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau’.” (HR. Ahmad)

Bintang Beralih Tanda Kematian

Keyakinan seperti ini telah ada sejak zaman jahiliyah terdahulu. Ketika Nabi bersama para sahabatnya sedang duduk-duduk, tiba-tiba terlihat di langit ada bintang beralih, maka beliau bersabda, “Apa yang kalian katakan di masa jahiliyah dahulu ketika melihat yang demikian?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui, dahulu kami mengatakan bahwa pada pada malam itu telah lahir seorang pria agung dan telah wafat laki-laki yang agung pula.”

Sebagai koreksi dari keyakinan jahiliyah tersebut, Nabi bersabda,

“Bintang itu dilempar bukan karena seseorang yang mati ataupun lahir, akan tetapi Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala ketika memutuskan perkara maka bertasbihlah para malaikat penyangga Arsy, kemudian bertasbihlah para penduduk langit di bawah mereka, hingga suara tasbih tersebut sampai penduduk langit dunia ini. Kemudian para malaikat yang berada di bawah penyangga Arsy bertanya kepada para penyangga Arsy, “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?”

Lalu merekapun mengabarkan tentang apa yang telah Dia firmankan. Maka sebagian penduduk langit mengabarkan kepada sebagian yang lain sehingga kabar tersebut sampai ke langit dunia, ketika itu jin mencuri dengar tentangnya untuk dibisikkan kepada walinya (dukun), lalu dia dilempar dengan bintang tersebut. Maka jika mereka (berhasil mendengar) kemudian mengabarkan sesuai yang didengar maka beritanya benar, akan tetapi mereka suka membuat-buat dan menam-bahnya.” (HR.Muslim)

Tukar Cincin Pernikahan

Upacara tukar cincin menjadi tradisi wajib bagi banyak kalangan, termasuk kaum muslimin. cincin pernikahan pun sebagai barang bertuah yang memiliki arti sakral. Berbagai mitos tentang cincin inipun berkambang di masyarakat. Konon, cincin pernikahan itu bisa menjadi sebab kelanggengan bahtera rumah tangga. Bila ini yang diyakini maka mereka telah terjebak kepada ksyirikan karena menganggap cincin bisa mendatangkan manfaat ataupun madharat.

Tukar cincin meskipun telah berkembang di kalangan kaum muslimin, bukanlah berasal dari aturan Islam atau teladan Nabi. Bahkan merupakan ritual yang memiliki nilai religius dikalangan umat Nasrani. Maka melakukannya berarti menyerupai mereka, padahal Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Sakit-Sakitan Karena Tak Kuat Menyandang Nama

Sebagian orang Jawa meyakini, tidak semua nama baik itu cocok untuk disematkan setiap anak. Ketika mereka melihat anaknya sakit-sakitan berkepanjangan, segera mungkin mereka mengubah nama anaknya. Karena mereka meyakini tidak adanya kecocokan nama anaknya dengan aura pemiliknya.

18-70

Di dalam Islam, tidak dipungkiri bahwa nama memiliki pengaruh bagi pemiliknya. Seringkali ada kesesuaian antara nama dan yang diberi nama. Tetapi pengaruh tersebut lebih kepada makna yang dikandung didalmnya. Islam melarang nama-nama yang berkonotasi buruk.

Tabur Bunga Di Atas Pusara

Sebagian orang Islam melakukan hal ini dengan berkeyakinan supaya penghuni kubur diringankan siksaanya. Beralasan dengan perbuatan Rasulullah ketika mele-wati dua kuburan yang sedang disiksa, kemudian beliau megambi pelapah kurma dan membelahnya menjadi dua bagian dan menancapkan kepada masing-masing kuburan. Para sahabat bertanya wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan itu?” beliau bersabda, “Agar keduanya diringankan siksanya selagi pelapah kurma itu masih basah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika dengan landasan hadits itu seseorang menaburkan bunga di atas kuburan, berarti dia telah berprasangka buruk kepada mayat. Seakan dia memvonis bahwa si penghuni kubur tengah menghadapi siksa. Sedangkan Nabi melakukan hal demikian atas dasar pengetahuan beliau bahwa kedua penghuni kubur telah disiksa.

Reinkarnasi

Reinkarnasi adalah keyakinan tentang regulasi ruh, yakni ruh orang yang telah mati akan menitis kepada makhluk lain. Bisa berwujud manusia, bisa pula hewan maupun batu. Ajaran ini dikenal dalam agama Hindu. Dalam agama Budha dikenal dengan istilah tumimbal lahir (rebirth). Dalam dunia kejawen juga banyak beredar dongeng tentang reinkarnasi dengan sebutan ‘titisan’. Tentu karena masih mewarisi budaya Hindu.

Kembali Suci Setelah Idul Suci

Definisi ‘kembali suci’ hanya masyhur di kalangan masyarakat Indonesia.

Kitab-kitab para ulama’ tak ada yang menampilkan definisi idul fithri sebagai hari kembali suci.

Kesalahan terjadi karena kata fithri dianggap sama dengan fithrah, padahal berbeda. Setidaknya hal ini dapat dilihat dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir halaman 1142, disebutkan bahwa makna al-fithru adalah berbuka sedangkan al-fithrah adalah bermakna sifat pembawaan (yang ada sejak lahir), fithrah. Berarti makna makna idul fithri adalah kembali berbuka setelah satu bulan shaum, dan bukan kembali suci. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Adapun hari fithri adalah fithr (berbuka)mu dari shaum dan ied bagi kaum muslimin.” (HR. Tirmidzi)

Jin Bertengger di Gambar Bernyawa, Lukisan Nyi Roro Kidul

Tentang jin yang bertengger di gambar bernyawa, sejauh penulis (Abu Umar Abdillah) ketahui tidak ada dalil yang menyebutkannya. Konon, keterangan itu didapatkan dari pengakuan jin yang diinterogasi orang yang meruqyah. Jika demikian, hal ini tidak boleh kita jadikan sebagai landasan keyakinan. Di samping kemungkinan (bahkan besar kemungkinan) jin berdusta, ini juga bersifat kasuistik. Karena keimanan terhadap yang ghaib tidak boleh didasarkan kecuali dari sumber wahyu, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Perihal gambar bernyawa memang seharusnya kita bersihkan dari dinding rumah kita. Karena dalam

18-71

riwayat Imam Bukhari, Rasulaullah bersabda, “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar bernyawa.”

Negeri Seribu Hantu

Setan memahami betul tipologi manusia dengan berbagai macam corak adat dan budayanya. Mungkin, membanjir dengan seribu hantu atau jin yang suka nongol adalah cara yang tepat untuk menggiring manusia Indonesia menuju jurang kesyirikan, sesuai dengan tipologi masyarakat Indonesia yang lekat dengan keyakinan animism dan dinamisme.

Menghadirkan Arwah Ghaib

Klaim semacam ini sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di abad ke-7 Hijriyah telah banyak membuka kedok para penipu yang mengaku bisa menghadirkan arwah orang yang sudah mati. Termasuk dalam hal ini adalah fenomena jaelangkung. Sebenarnya yang hadir disitu bukanlah arwah orang yang sudah mati. Karena mereka yang berada di alam barzah sudah mempunyai kesibukan tersendiri. Bersenang-senang dengan nikmat Allah atau menghadapi siksa Allah. QS. Az-Zumar 42

Hewan-Hewan Keramat

Sebut saja kerbau bule yang digelari Kyai Slamet di Solo, setiap malam satu Suro (Muharram) ribuan orang datang untuk menyaksikan kirab sakral sang ‘kyai’ yang mengitari alun-alun keraton. Ada lagi hewan bulus (kura-kura) di Klaten, dipercaya bisa mendatangkan kekayaan. Mitos hewan keramat ini dikembangkan dengan mengisahkan kejadian-kejadian yang dikaitkan dengan perlakuan terhadap hewan tersebut.

Kerbau Bule adalah sebutan untuk kerbau berwarna albino koleksi Kraton Surakarta Hadiningrat. Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai hewan keramat, sehingga memperlakukan kerbau-kerbau itu melebihi manusia. Pada malam 1 Syura (1 Suro) dalam penanggalan Islam, kerbau dan sejumlah pusaka koleksi kerajaan diarak mengelilingi kompleks kraton.

Sebagian masyarakat, bahkan rela berebut kotoran (tinja) yang dibuang soleh sang kerbau karena dianggap bertuah. Kotoran itu, konon, bisa dijadikan obat bagi penderita sakit, bahkan dianggap bisa mendatangkah berkah penglarisan bagi para pedagang tradisional. Karena dikeramatkan pula, kerajaan mengangkat abdi dalem yang khusus menangani si kerbau. Tentu, menjadi pawang kerbau keramat juga menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi abdi dalem. Tak aneh, seorang abdi dalem rela menciumi si kerbau.

Qulhu Sungsang Sebagai Mantera Kesaktian

Yaitu membalik susunan surat Al-Ikhlas dan dibalik cara membacanya. Para pemburu kesaktian banyak yang meyakini keampuhan qulhu sungsang. Ada yang menggunakannya sebagai mantera untuk pukulan jarak jauh, untuk pelet dan untuk mengusir jin. Ini semua hanya bualan semata dan tidak dibenarkan, karena telah memainkan ayat Allah yaitu dengan membolak-baliknya.

Khadam Asma’ul Husna

Ada yang menyebarkan khurafat, bahwa setiap Asma’ul Husna mempunyai khadam malaikat yang siap melaksanakan maksud dari arti Asma yang dibaca.

18-72

Keyakinan ini tidak bersumber melainkan rekayasa belaka.

40 Hari Menjadi Orang Sakti

Masa 40 hari terkesan memiliki makna khusus bagi orang-orang tertentu. Setidaknya bagi orang yang ingin menjadi orang super, dengan bersemedi selama 40 hari. Alasan ini tidaklah sesuai dengan syari’at.

Mendadak Sakti Dengan Ilmu Laduni

Kata “laduni” diambil dari firman Allah QS. Al-Kahfi 65. Ilmu laduni di anggap sebagai ilmu pemberian Allah kepada seseorang tanpa melalui proses belajar.

Debus Dianggap Karamah

Seperti atraksi makan api, mengiris lidah dengan pisau dan atraksi-atraksi semisal-nya. Mereka menganggap hal-hal ini sebagai karamah. Keyakinan seperti ini tidak-lah dibenarkan, karena karamah diberikan kepada Allah kapan Dia menghendaki, seringkali tidak direncanakan oleh orang yang diberi, maka tidak bisa diatraksikan.

Primbon, Fengshui dan Mujarabat

Orang Jawa mengenal primbon, orang Cina mengenal fengshui dan orang Arab mengenal mujarabat. Ketiga “kitab (tak) suci” tersebut hingga kini masih diyakini keampuhannya oleh para penganutnya.

Rajah Penjaga Rumah

Rajah itu berupa kertas bertuliskan huruf-huruf yang sulit dibaca dan dipahami maknanya, kertas itu dilipat atau terkadang dibungkus dengan kain lalu dipaku di atas pintu. Benda itu diyakini dapat menolak marabahaya yang bakal masuk ke dalam rumah. dan rajah ini termasuk syirik.

Mitos Biji Tasbih

Sebagai syariat / fungsi untuk : 1) Meningkatkan kharisma 2) Penangkal santet, guna-guna, dll 3) Kewibawaan 4) Keselamatan jiwa 5) Penyembuhan tulang/Rhematik 6) Memudahkan rezeki(Persediaan terbatas)

Biji tasbih yang dimiliki kiyai diyakini bisa menyembuhkan penyakit dan mencegah terjadinya marabahaya. Bahkan seperti granat, kalau biji tasbih itu dilempar akan meletus. Lalu mereka menganggap bahwa mengalungkan tasbih di leher sangat cocok sebagai alat taqarrub kepada Allah. Ini juga penafsiran hasil otak-atik orang-orang sufi, tak ada dasarnya dari Nabi sedikitpun.

Meramal Nasib, Dengan ‘Weton’ dan Zodiac

Ini semua adalah bentuk dari kesyirikan.

18-73

Misteri Angka 13

Angka tiga belas dianggap sebagai momok karena diyakini sebagai sumber kesialan. Mungkin hanya satu kasus, yang mana istilah angka ke-13 tidak menjadi momok, yakni gaji ke-13.

Ajaran Baru Nabi Melalui Mimpi

Hal ini jelas bathil, karena tidak mungkin Nabi menurunkan syariat baru. Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah 3)

Jamasan Pusaka

Demikianlah kepercayaan sejumlah orang Jogja atau Jawa pada umumnya. Bahwa benda-benda di sekeliling mereka memiliki jiwa. Sebagaimana memperlakukan makhluk bernyawa, maka benda-benda di sekitar mereka pun harus diperlakukan secara istimewa. Animisme, barangkali itu anggapan orang. Namun tentu saja bagi orang Jawa yang mempercayainya akan menyangkal hal terebut. Apapun kata orang, sejumlah benda di Keraton Yogyakarta memang diperlakukan secara istimewa. Benda-benda tersebut antara lain adalah gamelan, kereta, dan aneka jenis pusaka. Mereka dinamai layaknya nama manusia. Contohnya untuk keris ada Kiai Sangkelat dan Kiai Nagasasra, untuk gamelan ada Kiai Guntur Madu. Sedangkan kereta yang merupakan kendaraan keraton ada Kanjeng Nyai Jimat serta Kyai Puspakamanik.

Benda-benda ini, setiap tahun diruwat dalam sebuah ritual yang disebut jamasan. Atau dijamas. Penjamasan dilakukan setiap bulan Muharam (Sura) dengan memilih hari “istimewa” pula Jumat atau Selasa Kliwon. Penjamasan dilakukan berdasar adat dan tata cara yang sudah turun-temurun. Mereka yang terlibat dalam ritual harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya laki-laki, mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon.

Hal yang paling menarik dalam setiap kali penjamasan adalah ketika giliran penja-masan sebuah kereta buatan tahun 1750-an. Dengan demikian, kereta itu dibuat semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Dengan nama nama Kanjeng Nyai Jimat, kereta ini memiliki bentuk yang anggun bagai kereta kerajaan-kerajaan Eropa jaman dulu. Kereta ini beroda empat. Dua roda besar dipasang pada bagian belakang, dan dua buah yang agak kecil dipasang di depan. Kereta ini dulu melaju dengan ditarik enam sampai delapan kuda. Sebagai simbol kewibawaan seorang raja, kereta dibuat dengan penuh ukiran unik, berpintu dan beratap layaknya sebuah mobil. Saat ini, kereta disimpan di Museum Kereta Keraton Yogyakarta.

Selain Nyai Jimat, di sana ada belasan kereta yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, kereta ini selalu ditemani salah sebuah kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya. Kereta-kereta tersebut adalah kendaraan Sultan Hamengku Buwono I – III. dan kereta-kereta yang dianggap sebagai kereta cikal-bakal kereta lainnya inilah yang setiap bulan Sura dijamas dengan mendapat perhatian warga. Bahkan karena dianggap keramat, banyak orang percaya bahwa air sisa jamasan kereta ini bisa memberi manfaat dan keberuntungan bagi mereka yang menggunakannya, seperti untuk cuci muka dan sebagainya.

18-74

Prosesi sejak akan mengeluarkan kereta sudah “bernilai wisata”. Ketika proses pencucian kereta berlangsung juga memiliki nilai wisata. Ritual magis religius. Orang-orang asing bakal keheranan melihat ratusan orang berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran air dari badan kereta. Air bekas cucian itu dimasukkan ke dalam botol maupun jerigen. Mereka yang berebut air, pasti ikut berbasah-basah. Menurut kepercayaan sebagian orang Jawa, air dari jamasan ini memiliki khasiat atau bisa memberikan berkah tertentu karena semua benda dari keraton itu memiliki tuah yang sakti dan milik orang sakti. Oleh sebab itu dengan membawa air tersebut, orang akan diberi berkah, sehat wal afiat dalam menjalani kehidupannya. Dipercaya pula, menampung air kemudian disimpan, konon bisa menolak bala. Bisa juga juga ditebar di swah untuk kesuburan tanah. Dilandasi hal itu, tidak mengherankan kalau ribuan warga bersemangat mengikuti acara ini.

Kuburan Dikeramatkan

Beberapa waktu lalu kita semua dikejutkan dengan peristiwa bentrok berdarah yang mengakibatkan beberapa aparat penegak hukum meninggal dunia dan ratusan korban luka berat dan luka ringan, dari kedua belah pihak, mulai dari anak kecil, remaja serta orang tua, pria maupun wanita.

Kita semua tentu prihatin dengan kejadian tersebut, sangat di sayangkan hal itu sampai terjadi, padahal semestinya bentrok berdarah seperti itu bisa di hindari. Di satu pihak ingin menertibkan tata kota Jakarta yang kumuh dan semrawut, dan di sisi lain masyarakat berusaha untuk mempertahankan keberadaan bangunan situs bersejarah berupa makam keramat salah seorang tokoh agama setempat yang dihormati dan di sanjung-sanjung sebagian warga kota Jakarta dan juga masyarakat Islam dari berbagai kota lainnya bahkan mungkin seantero nusantara.

Seperti halnya kuburan para tokoh agama lainnya yang di keramatkan, kuburan tersebut biasa di kunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah, dari peziarah dari Jakarta bahkan ada pula peziarah yang datang dari jauh seperti dari Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan lainnya, tujuannya untuk mecari barokah dari kuburan tokoh tersebut yang sudah mati, diharapkan dengan berziarah ke kuburnya maka segala hajat mereka segera akan terkabul. Pertanyaanya adalah, apa hukum ini semua ? Seorang muslim tidak pantas ikut-ikutan kebanyakan orang dalam ber-agama, bertindak dan berucap, karena akibatnya bisa fatal, terjerembab kedalam kesesatan yang berakhir dengan lembah neraka.

Berikut ini saya bawakan hadits-hadist shohih berkenaan dengan masalah kuburan.

1) Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melaku-kan perjalanan ibadah kecuali ketiga masjid, masjidku ini (masjid Nabawi di Madinah), masjidil haram, dan masjidil Aqsho.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Dari sini kita tahu bahwa wisata spiritual/rohani ke makam para Wali Songo dan para sunan, ke Pamijahan, makam syaikh anu dan itu dilarang dan tidak di syariatkan bahkan merupakan perkara baru (bid’ah) dalam agama islan, amalannya tertolak tidak berpahala bahkan berdosa.

2) Diriwayatkan dari Jundub bin Abdillah, semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, dia berkata ; “Aku mendengar Nabi

18-75

Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda lima (malam) sebelum wafatnya : ‘Ketahuilah !, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan Nabi-Nabi dan orang-orang sholih mereka sebagai masjid, sesungguhnya aka melarang kalian dari hal seperti itu’.” (HR. Muslim).

3) Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya dari Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang-orang yang paling jelek (keagamaanya) adalah orang-orang yang mengalami langsung peristiwa kiamat dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.”

4) Diriwayatkan dari Ummul mu’minin Aisyah dan ibnu Abbas semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepeda mereka berdua, Beliau berdua berkata, Ketika Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam mau meninggal dunia, beliau membuka dan menutup wajahnya dengan kain, ketika panas beliau membukanya, beliau bersabda dalam keadaan seperti itu, “Laknat Alloh tertimpa kepada orang-orang Yahudi dan Nashoro, karena mereka menjadikan kuburan-nabi-nabi mereka sebagai masjid”. Beliau melarang perbuatan seperti yang mereka lakukan.

Berkata Aisyah semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, kalau tidak karena larangan itu maka beliau akan di kubur di luar rumahnya, namun beliau kewatir kuburannya akan di jadikan sebagai masjid.

Maksud menjadikan kuburannya sebagi masjid adalah membangun masjid di atasnya, menjadikannya sebagai tempat sholat meski tidak dibangun bangunan di atasnya, atau sujud di atasnya, sholat menghadapnya/ sebagai qiblat, atau di jadikan sebagai tempat yang senantiasaa di kunjungi untuk berbagai ibadah separti sholat, berdoa, berdzikir dan lain-lain.

5) Diriwayatkan dari Abu Hiyaj Al –Assady semoga Alloh melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau, Ali bin abi Tholib semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, berkata kepadaku : Agar aku tidak membiarkan timtsal (apa saja yang di sembah selain Alloh berupa berhala atau benda mati lainnya) kecuali harus aku hancurkan, tidak pula membiarkan kuburan yang ditinggikan/ diagungkan kecuali aku ratakan”. (HR Muslim).

6) Dari Jabir bin Abdillah semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, beliau berkata : Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan, membangun dan duduk di atas kuburan. (HR. Muslim).

7) Dari Abu Martsad Al Ghonawy semoga Alloh melimpahkan keridhoann-Nya kepada beliau, bahwasannya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : janganlah kalian sholat menghadap kuburan dan jangan duduk di atasnya (HR. Muslim).

Maksudnya menghadap kepadanya karena termasuk bentuk-bentuk pengagungan/pengkramatan sampai tinggkat layaknya objek peribadatan. Kalau pelakunya benar-benar mengagungkan kuburan/penghuni kuburan tersebut dengan perbuatannya tersebut maka pelakunya terjatuh kedalam

18-76

kekafiran karena menyekutukan Alloh dalam beribadah, dan menyerupai perbuatan tersebut sekalipun tetap di haramkan juga.

8) Dari Ibnu Abbas semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, secara marfu’ berkata : Janganlah kalian sholat menghadap kuburan dan jangan sholat di atasnya.

Di sana banyak juga hadist-hadist yang melarang kuburan sebagai ‘Ied, maknanya yaitu tempat yang senatiasa di kunjungi, sebagai tempat berkumpul dan di selenggarakan seremonial ibadah.

Seperti dalam hadits Abu Hurairoh semoga Alloh melimpahkan keridhoan-Nya kepada beliau, bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda : janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan jangan jadikan kuburanku sebagai ‘Ied, dan bersholawatlah untukku, sesungguhnya sholawat kalian sampai kepadaku di mana saja kalian berada.

Kalau kuburan Nabi saja harus seperti itu di perlakukannya, padahal kuburan beliau adalah kuburan yang paling mulia di muka bumi maka bagaimana dengan kuburan-kuburan manusia yang lainnya, tentunya itu adalah perbuatan berlebih-lebihan dan melampai batasan syara’.

Hadist-hadist ini semuannya shoheh dan mutawatir dari Nabi shollalllohu ‘alaihi wa Sallam, larangan dalam berbagai bentuk larangan juga dengan kesepakatan seluruh sahabat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan ulama-ulama setelah mereka yang merupakan pendahulu umat ini yang sholih dan memua kaum muslimin yang mengikuti konsep beragama mereka, mengharamkan membangun masjid atau ruangan, rumah-rumahan, gedung, kubah di atas kuburan dan membangunnya.

Termasuk yang di sepakati keharamannya oleh para ulama adalah memberi penerangan dengan lampu-lampu, meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah, batu atau yang lainnya.

Juga mencium, memeluk kuburan, mengusap-usap, mengambil debu atau tanahnya untuk mendapat barohkah darinya. Menempelkan perut atau punggung, dan yang benar (kalau pun di perbolehkan untuk berziarah), maka dengan menjaga jarak, tidak terlalu dekat sebagaimana berkunjung kepada tokoh-tokoh agama ketika semasa hidupnya. Inilah yang benar !!!.

Inilah yang dikatakan oleh para ulama, dan inilah yang mereka praktekkan, hendaknya kita dan seluruh kaum muslimin tidak tertipu dangan perbuatan kebanyakan orang-orang awam tentang agama meski di gelari oleh pengikutnya dengan habib, gus, kyai dan para pengikutnya berupa penyimpangan-penyimpangn berbahaya, sampai-sampai tidak ada kuburan yang di keramatkan pun yang sepi dari pengunjung, untuk mencari berkah, pesugihan bahkan ada juga ritual seks terbuka, bukan dengan pasangan yang sah, bahkan itulah persyaratan yang harus di penuhi demi terpenuhinya hajat. Wallohu’alam.

19-77

Artikel 19 Tahayul, Bid’ah, Syirik dan Khurafat19

Sebagian masyarakat kita ada yang masih memperycayai hal-hal berikut di bawah ini : 1. Jika tanaman hias tertentu (bunga sri rejeki) yang ditanam dalam tempat bunga

berdaun lebat, dianggap akan dapat rezeki 2. Membuat bubur merah dan putih sebagai syarat dalam suatu upacara supaya sukses. 3. Memasang / menusuk Cabai dan Bawang dengan lidi untuk penolak hujan. 4. Memasang jimat-jimat, rajah / wafaq / isim, bertuliskan arab atau lainnya di atas

pintu masuk agar segala unsur yang jahat tidak bisa masuk. Atau membawa jimat-jimat.

5. Burung hantu berbunyi sebagai tanda tidak baik…. Kupu-kupu masuk rumah tanda akan ada tamu yang akan datang.

6. Bulu landak, gunting, pisau, cermin, daun jerangau untuk mengusir hantu anak. 7. Memukul benda -benda, nampan, dandang, panci, kentongan, nyiru, dll kalau ada

anak yang hilang (katanya disembunyikan mahluk halus), atau kalau ada gerhana. 8. Kunang-kunang penjelmaan kuku mayat. 9. Jika kulit bergerak (kedutan dibawah mata dll) menandakan ada sesuatu yang akan

terjadi. 10. Jika kendaraan membawa mayat, atau menabrak kucing akan sial. 11. Rumah yang dibangun salah letak, tidak sesuai arah feng sui akan menimbulkan

kesialan. 12. Salah memberi nama pada anak menyebabkan sering sakit. Atau wajahnya sama

dengan orang tuanya si anak harus dijual pura-pura (lewat upacara). 13. Jika perempuan makan pisang kembar, anaknya nanti kembar. 14. Perempuan hamil /ngidam tidak boleh makan sembarangan, seperti kepiting nanti

jalannya atau usahanya selalu mundur, sebab kepiting jalannya mundur dll. Kalau anak balita air liurnya selalu ngeces (menetes), berarti ibunya waktu ngidam dulu ada yang tidak kesampaian keinginannya.

15. Jika seseorang tersedak, tergigit lidah atau tergigit bibir, tandanya ada orang yang membicarakan dia.

16. Tangan kanan gatal, akan dapat uang. 17. wanita hamil dilarang keluar di saat terjadi gerhana. 18. Suara burung gagak tanda kesialan/ada yang mau meninggal 19. Masuk ketempat yang angker/ hutan/lembah, izin dulu kepada datuk/mahkluk

penguasanya. 20. Hataman Al-Quran dengan telor-telor yang dihiasi. 21. Anak lahir bulan safar harus ditimbang dengan buah-buahan atau lain-lain. 22. Anak laki-laki lahir diberi anting-anting emas sebelah kalau kakaknya meninggal. 23. Supaya anak cepat berjalan, kakinya dipukul dengan sejenis ikan, atau pelepah

pisang.

19 https://abufahmiabdullah.wordpress.com/2013/02/11/tahayul-bidah-syirik-dan-khurafat/

19-78

24. Anak kecil diberi kapur di dahi (kening) atau di belakang kuping, diberi arang bekas kuali, kunyit agar tidak kesindiran.

25. Menghambur Beras Kuning pada acara –acara yang dianggap sakral 26. Memberi lampu penerangan pada ari-ari, tembuni bayi yang baru lahir. dan memberi

garam, merica, bahkan buku dan pensil di dalam tembuni.

20-79

Artikel 20 Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS,

Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab20

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid’ahnya Tahlilan Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:

“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti : 1. menulis mushaf, 2. membangun masjid, 3. menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), 4. membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, 5. irigasi), 6. mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat.

Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah Islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang 20 http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html

20-80

umumnya milik umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, 1. Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan Al-Qur’an dapat sampai

sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; 2. Sedang Imam Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan Al-Qur’an untuk si mayit

tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah dan para shahabat.

Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir Ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi . . .

. . . di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban-kewajiban agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi sosial

tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah.

Padahal di dalam Al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS An-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS An- Nisa’: 6)

Di balik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"Dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)

Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang Jawa yang tersimpan di museum Leiden,

Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

20-81

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Di mana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain:

“Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”

Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan. Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

1. Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Di samping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

2. Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

3. Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan"

Dua Pendekatan dakwah para wali. 1. Pendekatan sosial budaya 2. Pendekatan aqidah salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk

20-82

menarik masyarakat Jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain bunyinya;

Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina"

(itulah yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu, semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah

tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).

Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).21

Nasehat Sunan Bonang

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang”22 adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.

Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.23

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.

Namun nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan

dianggap tercela sekali, bukan termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.

21 [Sumber : Abdul Qadir Jailani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di

Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

22 Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.

23 [2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.

20-83

Di zaman akhir yang ini di mana keadaan pengikut sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani meninggal-kannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (sela-matan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

Muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926 di Surabaya, Tentang Keluarga Mayit Menyediakan Makan Kepada Pentakziah

Tanya :

Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

Jawab :

Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :

Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:

“Makruh hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari ratapan (yang dilarang).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :

“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah : a. tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang

mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan b. tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan

makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta

c. yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh

20-84

atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “ocehan” orang-orang bodoh (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).24

Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166, Seperti terlampir di bawah ini :

Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab I'anatut Thalibin : 1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan

dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar, yang bagi orang (ulil amri) yang melarangnya akan diberi pahala.

2. dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.

3. dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.

4. dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari'atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan, adalah termasuk Niyahah"

24 [Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari

430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]

20-85

5. dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu dst.

Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa tahlilan (selamatan kematian) adalah perkara bid’ah, dan harus ditinggalkan

Dari Thalhah:

"Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata:

‘Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat?’

Jarir menjawab:

‘Tidak,’

Umar berkata:

‘Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?’

Jarir menjawab:

‘Ya,’

Umar berkata:

‘Hal itu sama dengan meratap’"25.

Dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah, hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit"26. Dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: ‘Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah’.”

Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.

“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan, . . .

. . . namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari-hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, . . .

. . . padahal hal tersebut hukumnya makruh.

25 Al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487 26 Al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550.

20-86

Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukum hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).

Kitab Kuning Sabilal Muhtadin (versi Arab Melayu) ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari (bemazhab Syafi'i) . Pada halaman 87 juz 2, beliau mengatakan :

Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya, sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat

Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama besar dari Kalimantan Selatan yang bermazhab Syafi'i. Beliau mengatakan :

"Makruh lagi bid’ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti kebiasaan dikerjakan oleh masyarakat".

Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku Jilid 2, Bab Jenazah.

Al Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal sebagai pendukung acara prevalensi perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :

Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara : a. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus

djadi adat mah sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?

b. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh ditambahan.

c. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit.

Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah melanggar tiga hal : 1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan

makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?

2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

20-87

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.

Kemudian ditempat lain :

Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq oelama-oelama madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid’ah moenkaroh.

Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut, ternyata para ulama dari 4 mazhab telah menyepakati bahwa . . .

. . . kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst,

merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama.

Selanjutnya :

Koeninga koe ieu toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid’ah moenkaroh, karohah haram teh geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama'ah, lain bae Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah wal Djama'ah atawa sanes ?

Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah mungkarah itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau bukan ?

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa . . .

. . . warga Nu pada waktu itu sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid’ah yang dimakruhkan . . .

. . . dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya penye-lenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur 'alaihi (di bawah pengampuan/curatel).

Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]

. . . dan para ulama berkata: "Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang kafir, oleh karena itu . . .

. . . setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu".

(al-Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I'anah at- Thalibien menghukumi . . .

. . . makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan.

Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

20-88

Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-ma’tam: "Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi'ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.

"Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam kitab I'anah at-Thalibien: "Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan". (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien juz II, hal 166) Memang . . .

. . . seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu,

. . . namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama di mana Hadits ke-5 Arba’in An Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi perubahan-perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis.

Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah.

Umat ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya.

Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim.

Ibn Abbas r.a berkata: "Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

20-89

Sekali lagi kami ulangi...

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal: 1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan,

namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.

2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah,

. . . ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama

(hal 285).

Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa'idz. tidak tahu siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa . . .

. . . hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram).

Demikian dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram". (al-Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

Berikut ini adalah fatwa-fatwa dari ulama 4 madzhab mengenai selamatan kematian :

Madzhab Hanafi

Hasyiyah Ibn Abidien

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

20-90

Al-Thahthawy

Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).

Ibn Abdul Wahid Siewasy

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)

Madzhab Maliki

Al-Dasuqy

Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)

Abu Abdullah Al-Maghriby

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)... adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

Madzhab Syafi’i

Al-Syarbiny

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

Al-Qalyuby

Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam

20-91

kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal 353)

An-Nawawy

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

Al-Sayyid Al-Bakry Abu Bakr Al-Dimyati

dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)

Al-Aqrimany

Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)

Raudlah Al-Thalibien

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

Madzhab Hambali

Ibn Qudamah Al-Maqdisy

Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban,

20-92

sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: "Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?" Jawab Jarir: "Ya". Berkata Umar: "Hal tersebut termasuk meratapi mayat". Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)

Abu Abdullah Ibn Muflah Al-Maqdisy

Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Maqdisy, al-Furu' wa Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

Abu Ishaq Bin Maflah Al-Hanbaly

Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda' fi Syarh al-Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

Manshur Bin Idris Al-Bahuty

dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

Kasyf al-qana'

Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya...dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

Ibn Taimiyah

Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan)

20-93

mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

Di rujuk kepada tulisan:27

Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an. Dengan editing dan penambahan literatur dan gambar halaman buku yang discan oleh Anwar Baru Belajar.

_______________________________________________________

Catatan Tepi untuk direnungi:

Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan Kematian] ?

Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) kalau tidak termasuk; Shahih, Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat dan 'Azimah.(Mabadi' awaliyyah, Abd Hamid Hakim) 1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa. 2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa. 3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mempunyai nilai. 4. Makruh : Dibenci, apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. 5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Pertanyaan :

1. Apakah Tahlilan [yang dimaksud :Selamatan Kematian] di dalamnya terkandung ibadah ?

2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?

Jawab : 1. Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, baca sholawat, baca Al

Fatikhah, maka ia termasuk ibadah. Hukum asal ibadah adalah "haram" dan "terlarang". Kalau Allah dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah

2. Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama Islam, terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan. Ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara di Asia Tenggara

Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan (Selamatan Kematian : red)

Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.

27 http://www.facebook.com/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf

20-94

Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.

Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.

Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Jadi….sekarang pilih yang mana ? Masih mau melakukan atau tidak ?

21-95

Artikel 21 Kejawen Dalam Pandangan Islam28

Kebanyakan dari masyarakat masih banyak yang belum mengenal istilah kejawen baik secara bahasa maupun pemaknaan secara keseluruhan. Kejawen dilihat dari asal katanyan yaitu, jawa, jawi dan jiwa, merupakan kebersahajaan, kesederhanaan dan keprasajaan (apa adanya-red ). Kejawen merupakan agama orang-orang Jawa “the religion of Java”, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. orang-orang jawa yang dimaksud adalah orang-orang Jawa Tengah dan Jawa Timur . Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. kejawen bisa jadi merupakan sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa zaman Hinduisme dan Budhisme.

Ada pula yang berpandangan bahwa kejawen merupakan falsafah hidup orang jawa, sebuah kristalisasi pengalaman hidup orang jawa sejak zaman prasejarah hingga zaman globalisasi saat ini. Sebagian besar merupakan hasil interaksi dan observasi orang jawa. Sudah barang tentu ditambah kasil interaksi dengan falsafah dan kebudayaan bangsa lain yang berdatangan ke jawa sejak ratusan tahun lalu. Kejawen merupakan tuntutan atau ajaran hidup yang di dalamya termasuk konsep kebertuhanan orang jawa. Juga mencakup masalah hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan dengan alam semesta seisinya yang khas orang jawa.

Selain kejawen, ada banyak agama-agama asli nusantara lainnya yang tersebar di tanah air seperti agama Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda Kanekes, Lebak dan Banten , agama Cigugur di Kuningan Jawa Barat, Parliman di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Tolottang di Sulawesi Selatan, Wetu Telu di Lombok, Naurus di Pulau Seram Maluku dsb. Agama nusantara ini tidak diakui pemerintah yang menetapkan 6 agama resmi di Indonesia ( Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Kong hucu ) yang baru diakui pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur-red).

Kejawen Dalam Pandangan Islam

Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah di dalam Al-Quran dan Al-Hadist tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para Wali (Wali Songi-red) ke Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika itu para Wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami masyarakat kala itu.

Menurut Dosen Komunikasi Antar Budaya, Universitas Mercu Buana, Sofia Aunul, kejawen sangat berbeda dengan ajaran islam. Istilah kejawen Islam muncul setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam. Mereka (Wali Song-red) memasukan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyeberan agama Islam. “Kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalakan oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.”

Bambang Syuhada seorang Ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan akidah mengatakan. Kejawen tidak jelas asalnya, banyak yang mengatakan kejawen muncul pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa. Kala itu Sunan menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat Jawa.

28 http://rohistalimalif.wordpress.com/2011/05/17/kejawen-dalam-pandangan-islam/

21-96

Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam sehingga muncul istilah kejawen. “Namun, penjelasan itu juga tidak banyak disediakan dalam litelatur sejarah,” ungkap Bambang Syuhada yang kerap disapa Ustadz Bambang.

Masih Menurut Bambang Syuhada, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi dikehidupannya harus dilihat lebih dalam. Karena ritual-ritual tersebut dikhawatirkan pada akhirnya menyimpang dari ajaran agama Islam. “Dalam kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi Tauhid itu menjadi haram, namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktek-prakter muamalah itu dibolehkan,” tutur Bambang Syuhada yang ditemui di Klinik Asy-Syifa miliknya di kawasan Tangerang.

Ada tradisi kejawen yang diperbolehkan dalam agama dan terdapat pula dalam Hadist Bukhori. Pada saat adzan Maghrib, anak-anak disuruh untuk masuk ke dalam rumah dan diajak ke Mushola karena pada saat Maghrib setan dan iblis berkeliaran. Namun, ada juga tradisi seperti mencegah bala, arung laut yang oleh masyarakat penganut kejawen dicampur dengan bacaan Shalawat Nabi, Surat Yasin dan Tahlil. “Sebetulnya Salawat Nabi, bacaan surat Yasin, dan Tahlilnya tidak menjadi soal, namun jika semua itu dicampur adukan ke dalam ritual kejawen seperti memberi sesajen menjadi tidak sah (haram-red), sebab semua itu dipersembahkan untuk yang lain (selain Allah-red)” papar Ustadz Bambang Syuhada.

Mengakarnya ritual-ritual kejawen yang menjadi tradisi ini bukan tidak mungkin menimbulkan gesekan (konflik-red) di masyarakat, pasalnya kondisi ini menyentuh ranah budaya dan agama yang diyakini masing-masing orang. Ustadz Bambang Syuhada mengatakan, dibutuhkan peranan ulama-ulama yang berpengaruh di masyarakat untuk memutus mata rantai bid’ah. “Barangsiapa mengadakan hal baru dalam urusan agama, yang tidak ada landasan hukumnya, Maka ia tertolak” (HR. Bukhori dan Muslim).

Ritual pasang bendera kuning sebagai penanda ada keluarga yang berduka karena kehilangan (meninggal-red) orang yang dicintai, sesungguhnya bukan ajaran agama Islam, itu adalah ritual hinduisme,” jelas Ustadz Bambang kepada wartawan OASE. Ia juga menambahkan, hendaklah seorang mukmin yang baik memiliki pemahan yang dalam atas agama yang ia yakini. Jika terdapat acara, ritual apapun yang dirasa tidak ada dasar hukumnya dalam Islam, setiap mukmin wajib menanyakan dan mengingatkan hal tersebut. “Islam itu agama yang syamil, kamil, mutakamil, namun jangan mentang-mentang mudah jadi dimudah-mudahkan dan di campur-adukan. Islam tidak melarang budaya, hobi, teknologi, musik asal dimanfaatkan sesuai koridor Islam.

Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas Mercu Buana, Dewi Purnamasari yang juga berdarah Jawa menuturkan. Sebagai ummat Islam wajib hukumnya menjalankan kehidupan kita sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Para Salafush Solih pun melarang kita untuk mendekati bid’ah. Namun, menurut mahasiswi berkacamata ini, masalah kejawen dan segala ritualnya yang telah membudaya harus disikapi dengan lembut dan bijak, karena kondisi ini telah mengakar dan menjadi tradisi turun-temurun. Mulailah dengan jalan menasehati keluarga dan orang-orang terdekat dengan cara yang baik. “Ini masalah sensitf, penyampaiannya tidak bisa dengan frontal, harus pelan-pelan karena banyak resikonya maka kita juga harus bersikap hikmah,” ujarnya.

22-97

Artikel 22 Menghilangkan Tradisi Kejawen29

Sekedar Renungan

Di tengah semangat kita berjuang, tidak ada salahnya kalau sesekali kita melakukan evaluasi hasil kerja. Evaluasi ini akan menjadi sangat penting demi mendapatkan hasil yang lebih baik lagi nantinya.

Salah satu yang perlu kita pikirkan secara kritis adalah masalah latar belakang munculnya penyimpangan aqidah di kalangan umat Islam. Kita perlu sedikit mempelajari masalah ini secara lebih serius, agar bisa dengan mudah kita analisa serta kita cari solusinya yang efektif.

Sebagaimana kita telah pahami, bahwa penyimpangan aqidah ini sudah ada jauh sebelum kita lahir. Mungkin malah sudah sejak zaman nenek moyang berabad-abad yang lalu. Dan orang Jawa sendiri punya karakteristik khusus yang sangat khas, yaitu mereka sangat menjaga tradisi dari nenek moyang. Bahkan tradisi ini sampai menjadi jalan hidup dan aqidah tersendiri.

Ketika pengaruh agama Islam yang beraqidah murni masuk ke negeri ini, meski banyak yang masuk Islam, namun tradisi dan kepercayaan lama sulit dihilangkan begitu saja. Di beberapa tempat, resistensi terhadap masuknya aqidah Islam terasa lumayan kuat.

Bahkan sebagain pengamat sejarah menyebutkan, bahwa para penguasa Hindu yang dahulu berkuasa di pulau Jawa kemudian tersingkir dengan pengaruh Islam, lalu membangun 'benteng pertahanan' khusus di pula Dewata Bali.

Sebagiannya lagi melakukan resistensi dengan jalan naik gunung atau masuk hutan untukmengasingkan diri dari kehidupan ramai, sehingga menjadi komunitas tersendiri. Misalnya masyarakat Tengger dan Baduy.

Dan sebagiannya lagi, meski resistensinya tidak terlihat namun tetap ada dan tidak kalah kuatnya. Bentuknya adalah sikap dan pandangan aqidah yang ada di sebagian masyarakat kita. Meski secara lahiriyah mereka sudah masuk Islam, sehingga secaar zahir dianggap sudah tidak ada masalah, namun dari sisi pemahaman aqidah, ternyata masih kental dengan tradisi dan kepercayaan nenek moyang di masa lalu.

Inilah fakta yang harus kita baca sebagai bekal mental kita dalam menghadapi realitas masyarakat. Bahwa pada sebagian elemen masyarakat ini, resistensi terhadap aqidah Islam dan upaya mempertahankan tradisi dan kepercayaan nenek moyang memang sangat berurat dan berakar.

Sehingga sekedar ceramah dan nasehat verbal akan menjadi tidak ada artinya. Bukan mengecilkan makna dakwah, namun sebagai da'i, kita perlu melihat realitas juga.

Kemungkinan Perubahan

Namun bukan berarti kami ingin menyerah dengan keadaan. Tetap akan ada peluang untuk melakukan perubahan-perubahan. Misalnya lewat pergantian generasi, lewat kurikulum pendidikan, atau lewat media massa. Bahkan kalau perlu lewat pesan-pesan tersirat dari beragam pesan.

29 http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1172550385&=menghilangkan-tradisi-kejawen.htm

22-98

Selain itu, secara psikologis perlu juga dipikirkan untuk tidak selalu menyanyikan lagu yang sama setiap saat. Kalau setiap hari orang mendengar dari kita hanya tentang masalah pembersihan aqidah saja, tidak ada solusi dan variasinya, lama-lama mereka bosan juga.

Apalagi di depan mereka ada masalah yang lebih menuntut perhatian, misalnya masalah kemiskinan yang akut, tingkat pendidikan yang sangat rendah, kesejahteraan yang tidak pernah ada. Bagaimana mungkin kita paksa mereka untuk mengikuti seruan kita, sementara perut mereka lapar, badan mereka telanjang tak berpakaian, otak mereka bebal tidak pernah makan sekolahan. Maka apalah arti ceramah-ceramah kita, sementara mereka berada dalam himpitan yang nyata?

Mengapa kita tidak melihat cara para pendeta dan misionaris yang pandai membujuk rayu calon korbannya dengan materi dan kesejahteraan? Mengapa harus orang lain yang bisa merangkul kalangan miskin umat Islam? Mengapa kita terlalu sibuk mencari celah serta aib saudara kita yang kita curigai telah melakukan syirik dan bid'ah, sementar tetangga kita yang kelaparan tidak kita kasih makan? Saudara kita yang tidak punya pekerjaan tidak pernah kita pikirkan bagaimana mereka menyambung hidup?

Pendeknya, sulit bagi kita kalau tema sehari-hari yang kita angkat hanya selalu terpaku pada satu titik saja.

Memang benar bahwa kebersihan aqidah merupakan pondasi dasar dari segalanya, namun pondasi itu tidak akan tertanam kalau kita tidak pernah melakukan penggalian sebelumnya. Dan pekerjaan membangun bangunan itu bukan hanya semata menanam pondasi belaka, tetapi juga harus diikuti dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain memang harus punya perencanaan.

Kita Perlu Menggalang Sinergi

Terakhir, untuk menyingkirkan aqidah yang sesat ini, kita perlu menggalang sinergi dengan berbagai kalangan umat. Tentu saja masing-masing elemen umat ini punya perbedaan-perbedaan, namun dibandingkan dengan persamaan-persamaannya, tetap lebih banyak persamaannya.

Maka mengapa kita tidak menggalang persatuan dengan sesama umat Islam, meski dalam beberapa hal kita memang masih berbeda berpendapat? Mengapa kita tidak memperkecil pertentangan dengan sesama muslim dan menguatkan kekompakan di antara kita?

Ketahuilah bahwa umat ini akan sangat kuat dan aqidah yang rusak itu bisa dengan mudah kita hilangkan, manakala kita bekerja tidak sendirian, melainkan bersama-sama.

23-99

Artikel 23 Bid'ah di Tengah Kita30

Memang benar bahwa ibadah yang bertentangan atau tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW merupakan ibadah yang tertolak. Atau biasa disebut dengan istilah bid'ah. Dan kita harus selalu menjaga diri dari perbuatan bid'ah, karena setiap bid'ah sesat. Dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun perlu juga kita pahami bahwa urusan menjatuhkan vonis bid'ah itu bukan hal yang selalu disepakati hukumnya. Sama dengan hukum fiqih umumnya, ada sebagian ulama yang menghalalkan sesuatu, namun pada saat yang sama, seringkali sebagian ulama lainnya malah menghalalkannya. Inilah yang kita sebut dengan istilah khilafiyah.

Jadi khilafiyah tidak terbatas pada masalah fiqih saja, tetapi dalam menetapkan apakah suatu perbuatan itu bid'ah atau bukan, ternyata juga ada wilayah khilafiyahnya. Misalnya, Al-Imam Malik yang ahli hadits, fiqih dan ushul fiqih berkesimpulan bahwa qunut pada shalat shubuh itu hukumnya bid'ah. Namun Al-Imam Asy-syafi'i rahimahullah justru mengatakan sebaliknya. Berdasarkan ilmu hadits yang sangat beliau kuasai serta kebegawanan beliau dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih, akhirnya beliau berkesimpulan bahwa qunut pada shalat shubuh itu sunnah muakkadah. Sebagai ahli hadits sekaligus ahli fiqih dan ushul fiqih, beliau berkesimpulan bahwa dalil-dalilnya kuat dan bisa diterima. Lalu apakah kita layak untuk menyebut bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i itu pelaku bid'ah dan beliau pasti masuk neraka? Dan apakah dalam hal ini hanya Al-Imam Malik yang 100% pasti benar? Jawabnya tentu tidak. Bid'ah itu tidak ditetapkan hanya berdasarkan ijtihad satu dua orang, meski levelnya setingkat Al-Imam Malik sekalipun. Paling tidak, hukum bid'ahnya qunut shalat shubuh itu memang bid'ah menurut versi beliau. Namun bukan bid'ah menurut versi ulama lain.

Maka demikian juga dengan apa-apa yang anda tanyakan, seperti sholawat nabi sebelum adzan, membaca surat Yasin beramai-ramai pada hari Jumat dan lainnya. Sebab semua itu ada dasarnya, bukan asal mengerjakan saja. Meski pun nanti tetap terbuka peluang untuk mengkritis pendapat tersebut. Dan kalau pun kita cenderung mengatakan bahwa semua itu bid'ah, tentu hak kita. Namun kita juga harus hormati pendapat ulama lain yang sekiranya tidak sependapat dengan pikiran kita. Sebab dalam pandangan mereka, boleh jadi ada dalil-dalil teretntu yang mendasari hujjah mereka. Kami tidak akan mengutip pendapat mereka di sini, namun prinsipnya kita tetap harus menerima kenyataan bahwa masalah bid'ah itu tetap mempunyai ruang untuk adanya khilaf. Dan kita perlu melapangkan dada atas realitas itu.

Kecuali bila seluruh ulama sepakat bahwa suatu perbuatan itu bid'ah, mungkar dan bahkan zhalim. Tentu kita bahu membahu untuk memberantasnya. Tetapi selama masih ada khilaf, maka kita perlu 'merendahkan sayap' dengan sesama muslim.

30 http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1172033998&=bid-039-ah-di-tengah-kita.htm

24-100

Artikel 24 Menyingkap Kesesatan Ajaran Kejawen31

Akar dari upacara-upacara syirik berasal dari ajaran sesat Aliran Kebatinan atau yang juga dikenal dengan istilah Kejawen. Ajaran ini adalah sisa-sisa paganisme sebelum cahaya Islam menyinari nusantara dan masih dilestarikan oleh sebagian orang di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Ajaran ini tidak ada hubungan sedikitpun dengan Islam, bahkan sangat bertentangan dengan Islam. Betapa tidak, ajaran Islam dibangun di atas tauhid dan sunnah, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala dan meneladani Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Sedangkan ajaran Kebatinan atau Kejawen dibangun di atas kesyirikan dan kedurhakaan kepada Allah Rabul ’alamin.

Sinkretisme, Mencampurkan Antara Hindu, Budha dan Islam

Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan mereka mencampurnya dengan Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri. Adapun dalam Islam, barangsiapa yang membenarkan agama selain Islam, berarti dia telah kafir kepada Allah Ta’ala dan mendustakan Al-Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

ن ین إ عند الد م هللا سال اإل

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Juga firman Allah Tabaraka wa Ta’ala : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Mereka Tidak Meyakini Allah Ta’ala Sebagai Satu-Satunya Sesembahan Yang Benar

Padahal inilah inti dari kalimat syahadat [ ھ إالهللا الإل ], yang terdapat padanya dua rukun. Pertama: An-Nafyu (penafikan), yang terdapat dalam kalimat ھ ,الإلmaknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Kedua: Al-Itsbat (penetapan), yang terdapat dalam kalimat إالهللا , yaitu menetapkan atau meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar. Sehingga makna kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH adalah, “Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala”.

31 https://fadhlihsan.wordpress.com/2010/12/25/menyingkap-kesesatan-ajaran-kejawen/

24-101

Makna ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala : “Yang demikian itu karena Allah Dia-lah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)

Dan telah dimaklumi bersama bahwa syahadat ھ إالهللا الإل adalah pintu masuk ke dalam Islam, barangsiapa yang belum merealisasikannya berarti dia belum masuk ke dalam Islam. Demikian pula orang yang telah memasukinya, jika dia melanggarnya berarti dia telah keluar dari Islam.

Kesyirikan Dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah

Keyakinan mereka bahwa setan-setan Merapi dan Pantai Selatan, seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah pelindung-pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan juga menimpakan mudharat, adalah kesyirikan dalam rububiyyah. Mereka juga mendekatkan diri (taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan mempersembahkan berbagai macam bentuk ibadah, maka ini adalah kesyirikan dalam uluhiyyah.

Tidak Melaksanakan Shalat

Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak mementingkan masalah shalat lima waktu, bagi mereka yang penting sudah eling (ingat Tuhan) maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Ini adalah bentuk kekafiran kepada Allah Ta’ala, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam : “Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma) Jika telah jelas bahwa ajaran Kejawen bukanlah ajaran Islam dan penganutnya bukan muslim, maka wajib bagi setiap muslim untuk berlepas diri (bara’) dari ajaran sesat ini dan penganutnya. Yaitu meyakini bahwa ajaran Kejawen adalah kekafiran kepada Allah Ta’ala dan menganggap bahwa penganutnya adalah orang-orang kafir. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka atau malah membenarkan ajaran mereka atau sekedar ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir seperti mereka.

Demikianlah ulasan ringkas tentang kekafiran ajaran Kebatinan atau Kejawen yang masih dianut oleh sebagian orang Jawa dan menganggapnya sebagai ajaran Islam. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.