bhn assngmt ulum quran

Upload: mieza-zaharllina

Post on 06-Apr-2018

283 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    1/34

    Mutaakhir ini, pertembungan antara kaum muda dan kaum tua diHANGATkan semula. Perkara ini sangat

    bahaya kepada perpaduan ahli sunnahwal jamaah yang terdiri daripada pendokong al asyairah, al maturidiah,

    dan pendokong metodologi salaf yang sebenar. Ulama khalaf (merujuk kepada zaman) tidak pernah menolak

    kaedah dan pendapat ulama salaf(merujuk kepada zaman, bukan mazhab) bahkan menjadi rujukan mereka

    sepanjang masa. Yang timbul sekarang ialah segolongan ulama dan ustaz yang mendakwa diri mereka

    mengikut manhaj salaf, menyesatkan dan menghukumkan bidah yang sesat kepada sesiapa yang mengikutpendapat khalaf.

    Artikel di bawah menghuraikan asal usul punca perbezaan pendapat antara metodologi salaf dan khalaf.

    AYAT 7 SURAH ALI IMRAN

    Maksudnya: Dialah (Allah) yang menurunkan kepada kamu al Quran, daripadanya ada ayat

    muhkamat(mempunyai hukum yang jelas) yang menjadi asas kitab Al Quran, dan yang lainnya ayat

    mutasyabihat(samar). Maka adapun orang yang di dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, lalu mereka

    mengikut apa yang yang samar-samar daripadanya (ayat-ayat mutasyabihat), bertujuan mencari fitnah dan

    mencari makna yang lain. Dan tidaklah mengetahui makna sebenarnya melainkan Allah , dan orang-orang yang

    mendalami ilmu berkata kami telah beriman dengannya(ayat mutasyabihat) , semuanya dari sisi Tuhan kami,

    Dan tidaklah mengambil peringatan melainkan orang-orang yang mempunyai akal fikiran.

    Jadi, Al-Quran terdiri dari dua macam :

    Ayat Muhkam

    Yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti ayat itu jelas

    diketahui. Misalnya :

    Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)

    Dan tidak satupun yang sesuatupun yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)

    Ayat Mutasyabih

    Yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat ini

    membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5

    (Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. (QS. 20:5)

    Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik

    perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan

    kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)

    Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihat, sehingga memilikibanyak arti. Pemilihan maknanya

    harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat

    muhkam. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Beritu juga hadis tidak boleh saling

    bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk

    menerangkan ayat mutasyabihat, keduanya benar :

    1. metodologi Salaf

    2. metodologi khalaf

    Metodologi Salaf

    Salaf adalah ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah pemberian penjelasan

    umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai dengan kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan

    artinya, mereka merujukkan ayat-ayat mutasyabih ke ayat muhkam. Contoh yang baik adalah

    perkataan Imam Syafii :

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    2/34

    Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa yang Rasulullah

    sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.

    Dengan perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang salah, yang akan

    membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk, warna, arah, tersenyum, tertawa atau makna

    lain yang tidak boleh disifatkan kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada ketiga abad itu memiliki bahasaArab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa ayat-ayat itu memiliki makna yang layak bagi Allah,

    dan mustahil bahwa mereka akan memberi makna fisik dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.

    Meski demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu kepada ayat Mutasyabih.

    Imam Bukari dalamShahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu kepada lafal illa wajhahu yaitu

    dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, illa mulkahu, yaitu dia mengatakanbahwa wajh yang disifatkan

    kepada Allah artinya mulk atau kerajaan/kekuasaan.

    Metodologi Khalaf

    Khalaf adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah memberikan makna

    tertentu kepada ayat mutasyabih. Ulama khalaf yang hidup pada saat di mana orang mulai kehilangan bahasan

    alami dan kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa orang Arab kemampuan bahasa alaminya menurun dan

    mereka takut pada orang yang hatinya condong kepada kesesatan akan membaca ayat mutasyabih dengan arti

    yang tidak layak bagi Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam, ulama

    khalaf mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu pada ayat-ayat mutasyabih. Dengan

    mengacu ayat itu dengan ayat muhkam, mereka memberi arti tertentu kepada ayat mutasyabih yang sesuai

    dengan kaidah bahasa dan agama. Mereka memberi makna yang benar dan dapat diterima pada ayat

    mutasyabih.

    Padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.

    Mereka berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.

    Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7).

    Sehubungan dengan ayat ini IbnAbas : Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu agamanya. Masyhur

    bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam menerangkan arti ayat Quran.

    Di antara orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbiha, yang menyerupakan Allah dengan

    makhluk-Nya. Mereka secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti tertentu pada ayat

    mutasyabih dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut, mereka membuat aturan yang

    keliru bahwa penunjukkan makna tertentu pada ayat tersebut yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat

    Allah. Klaim mereka ini membawa pada interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga interpretasi antar

    hadis, dan interpretasi hadis dan Quran. Lebih lanjut klaim mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan

    khalaf dengan fitnah bahwa mereka meniadakan sifat-sifay Allah. Ini akan meliputi : Ibn Abbas, Sufyan ath-

    Thawri, Mujahid, Said Ibn Jubayr, Malik, Ahmad, al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-Hanbali, Ibn-ul-Jawzi,

    Ibn Hajar , al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, Abdul-Qahir al-Baghdadi, ulama hadis dan ahli bahasa Murtada az-

    Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya)

    Dengan klaim mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa Rasul melakukan

    doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :

    Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.

    Dalam bab Tafsir al-Quran, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata wajhahudalam Surat al-Qasas, ayah 88,

    berarti Kerajaan/kekuasan-Nya. Tetapi, mushabbihah yang menserupakan Allah dengan makhluk mengatakan,

    Kami tidak menginterpretasikan, tetapi memilih makna literal, sehingga mereka mengatakan wajhahu artinya

    muka-Nya.

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    3/34

    Ibn Hajar al-Asqalani, dalamAl-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40: .. sehubungan dengan

    perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya mengasihi, dekat dengan makna menerima kebiakan.

    Tetapi mushabihah berkeras mengambil makna literal, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum

    atau tertawa.

    Dalam Surat Al-Qalam 42 :Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (QS. 68:42)

    Salaf mengatakan lafal saq sebagai suatu kesulitan, sehingga makna ayat adalah hari yang penuh ketakutan

    dan kesulitan. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn Abbas, Mujahid, Ibrahim an Nakhi, Qatadah, Said Ibn Jubayr,

    dan sejumlah ulama. baik Imam al-Fakhr ar-Razi dalam Tafsir Quran, Volume 30, hal 94 dan Imam al-Bayhaqi

    dalam Al-Asma was-Sifat, (hal 245) dan Fath-al-Bari, (Volume;13, hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn

    Abbas. Ibn Qulayb Juga menyatakan dari Said Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari Abdullah Ibn Abbas and

    Ibn Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah betis, dengan

    mengartikan literal betis.

    Dalam Al-Baqarah 115 :Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di

    situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:115)Imam Mujahid, murid Ibn Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya qiblat, i.e., ara prayers pada waktu

    sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah berkeras dengan makna literal,

    mereka mengartikan muka/wajah.

    Begitu juga, jika ayat 12 At-Tahrim :Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami,

    diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa. Ulama mengatakan artinya : Allah

    menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa ruh yang dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal

    berarti : Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan

    dengan kedua tangan-Ku. (QS. 38:75)Para ulama mengatakan arti yadain adalah perhatian/kasih (care).

    Tetapi, orang mushabihah berkeras bahwa arti yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, Allah adah Cahaya

    langit dan bumi. Para ulama mengartikan : Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di langit dan bumi. Tetapi

    mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-Fajr:22 : Datanglah Tuhanmu. .. Imam

    Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad,

    menerangkan dari sanad sahih. Juga Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa Imam

    Ahmad menunjuk pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihat. Dia juga membuktikan bahwa

    Imam Ahmad tidak mempercayai tentang maji-ah (dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah pergerakan.

    Imam Ibn Al-Jauzi, juga : Tidak mungkin Allah bergerak. Tetapi musyabihah berkeras bahwa Allah datang (yi,

    dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg. Allah nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai

    turunya kasih sayang dan bukan gerakan. Tetapi kaum musyabihah berkeras nuzul artinya Allah turun dalam

    arti gerakan.

    Mengutip Imam Asyari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : Allah taala tidak di suatu

    tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah

    sifat-sifat badanImam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz istiwa dalam Surat Taha :5 artinya al-

    istilayang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti

    Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah

    disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum

    sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah al-azal, yang berarti keadaan tanpa

    permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) arsydalam al-azal, yang berarti bahwa Allah

    menguasai arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal,

    mereka mengatakan istiwa artinya duduk di atas Singgasana atau bertempat secara kuat di atasnya.

    Dalam bukunya Al-Mutaqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-Awzai ,Imam Malik dan Sufyan ath-

    Thawri serta al-Layth Ibn Sad, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang mutasyabihat, mereka berkata :

    Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan bagaimana padanya. Hal ini karena jika

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    4/34

    seseorang bertanya bagaimana, jawabnya adalah seperti ini atau itu. Segala sesuatu selain Allah adalah

    makhluk dan Allah tidak seperti makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan, Allah berbeda dari apa pun.

    Ketika ulama mengatakan :.tanpa bagaimana padanya, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari sifat-

    sifat duduk, istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh. Mereka tidak mengartikan istiwa di atas

    singgasana Sebaliknya, para ulama sepenuhnya meniadakan bagaimana pada Allah.

    Sehingga pernyataan yang mengatakan Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak tahu bagaimana adalah

    tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan suara pikiran tahu bahwa duduk, bagaimanapun

    caranya, adalah sifat-sifat tubuh. Bertempat membutuhkan bagaimana dan ditujukan kepada tubuh. Lebih

    lanjut, warna dan sentuhan adalah atribut tubuh dan bagaimana ditujukan padanya. Semuanya adalah

    mustahil ditujukan kepada Allah.

    Hampir sama, ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: Di mana Allah?, para ulama mengartikan

    Beliau menanyakan tetntang kedudukan Allah. Dia menjawab:Fis-samayang artinya Allah memiliki kedudukan

    tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab

    Allah di langit, artinya langit adalah tempat Allah.

    Beitu juga hadis :Jika kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit. Artinya Jika kamu

    mengasihi yang di bumi, malaikat yang ada di langit, akan membawa kasih Allah kepadamu. Tetapi

    Musyabihah berkeras pada makna literal Allah , yang ada di langit, akan mengasihimu

    Dengan menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran atau

    hadis. Sebagai contoh hadis terkenal Allah di antara orang dan leher peliharaannya. Hal ini secara langsung

    bertentangan dengan hadis Allah di langit di atas.

    Juga dengan Al-Hadid :4 :Allah bersama kamu dimana pun kamu berada. Ulama mengartikan Allah

    mengetahui di mana pun kamu berada.

    Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: Allah di negeri-negeri syam,

    karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri-2 Syam.

    Juga Al-Baqarah :125 makna literalnya : Kabah adalah rumah Allah. Jika Surat An-Nahl 128 diambil literal,

    artinya menjadi Allah bersama orang berbuat kebaikan

    Jika semua diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil makna yang sesuai

    dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihat berdasar bahasa dan agama, dan dengan merujuk

    pada ayat muhkam.

    Mereka mengartikan :

    Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),

    Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),

    Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah (Al-Baqarah 125).

    Surat Al-Anam 61 : merujuk fauqiah (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya Segala sesuatu di bawah

    kekuasaan Allah

    Surat An-Nahl 128 artinyaAllah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.

    Taha 5, artinya Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat Allah.

    Dalam pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari kontradiksi dengan

    berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan, dan Allah mempunyai arah yaitu atas, tetapi

    kita tidak tahu bagaimana; dan Allah mempunyai betis yang kita tidak tahu bagaimana betisnya. Juga merekamengatakan Allah duduk tetapi kita tidak tahu bagaimana Dia duduk.

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    5/34

    Ahli Bahasa dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya Ithafus-Sadatil-Muttaqin,

    menolak orang yang menolak penunjukan manka yang dapat diterima pada ayat mutasyabihat dan berkeras pada

    makna literal. Dia mengatakan : Pada dasarnya mereka merendahkan kedudukan Rasul; mereka mengklaim

    bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang diturunkan kepadanya;

    Bagaimanapun Allah mengatakan Surat ash-Shuara, ayah 195,Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yangjelas Az-Zabidi :Orang yang mengambil posisi menentang pengambilan makna tertentu yang dapat diterima

    pada dasarnya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan

    bahwa Dia memiliki tangan, yang tidak sama dengan tangan makhluk, dan betis yang tidak sama dengan

    betis makhluk, bertempat/istawa yang tidak kita ketahui. Dia menyebut mereka:Perkataan Anda bahwa kita

    mengambil makna literal, yang tidak kita ketahui adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka

    as-saq dalam Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah bagian tubuh yang berupa kulit, daging,

    tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil makna literal, maka anda telah melakukan penghinaan, dan jika anda

    kemudian menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan makna literal?

    Penutup

    Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yangtidak layak baginya.

    Singkat kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihat dalam Al-Quran adalah

    mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa bagaimana, yaitu tanpa

    mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk.

    Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, Allahistiwayang pantas bagi-Nya yang bukan duduk,

    punya yadyang pantas bagi-Nya yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya yang bukan

    muka

    Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti metode ini,

    kita mengatakan istiwaartinya Dia menguasai Singgasana,yadartinya kasih/perhatian-Nya, wajh artinya Zat

    Allah, Kekuasaan, atau Kiblat.

    .

    Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-

    Nya. Imam Abu Jafar at-Tahawi, dalam Al-Aqidatut-Tahawiyyah: Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu

    yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan

    Kita bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar yang dimiliki ulama Salaf

    dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap kesesatan, karena Rasul saw berkata dalam riwayat

    Tarmizi, Seorang hamba akan mengucapkan sebuah kata yang dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia

    masuk ke dalam neraka selama 70 musim. Itu adalah tempat yang hanya dicapai oleh orang kafir.

    Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, setiap kata yang

    diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan AtidJuga berhati-hatilah dari buku-buku

    tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan

    cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala

    sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala

    penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang

    yang tidak benar tentang Dia.

    diambil dari ahlisunah.org

    ..

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    6/34

    Bagaimana sikap kita terhadap golongan musyabbihat? Berilah penjelasan kepadam masyarakat tentang

    kefahaman yang benar berpandukan ilmu ulama2 salaf dan khalaf yang mujtahid serta muktabar. Ingatlah

    pesanan Nabi junjungan besar kita yang direkodkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah r.a. yang maksudnya,

    Rasulullah membaca ayat , lalu Nabi sallallahu alaihi wasallam

    berkata ,

    ,

    Maka sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdebat padanya(ayat mutasyabihat), mereka lah yang Allah

    maksudkan, maka jauhilah mereka.

    Sikap ahli sunnah wal jamaah ialah mengiktiraf keilmuan ulama-ulama yang mentawil ayat-ayat mutasyabihat

    di kalangan salaf dan khalaf berdasarkan disiplin ilmu tafsir yang diiktiraf iaitu mengikut kaedah bahasa Arab.

    Kita hendaklah jauhi diri dari berdebat mempertahankan pendapat masing-masing secara melampau sehingga

    menyesatkan dan mencerca ulama yang ikhlas di sepanjang zaman. Ketasuban terhadap metod masing-masing

    (salaf dan khalaf) menyebabkan diri pendebat dikuasai syaitan yang sentiasa mencari peluang itu. Ingatlah Nabi

    pernah bersabda, Tidak sesat sesuatu kaum selepas (memperoleh) hidayah yang dikurniakan ke atas mereka

    melainkan mereka suka berdebat.

    WALLAHU ALAM

    p.s: Penulis mengharapkan artikel ini tidak disalahanggap sebagai jawapan perdebatan tetapi lebih kepada

    mencari titik persamaan antara dua golongan.

    Yang sayangi salaf, kagumi khalaf

    Ibnuabbas

    Syubhat-syubhat Mufawwidah:

    Syubhat-syubhat di sini maksudnya adalah hujah atau dalil yang digunakan oleh kaum Asyairah

    dan sekutu mereka Maturidiah dan sesiapa daripada Ahlin Bidaah yang mengikut mereka untuk

    menegakkan akidah batil mereka sama ada daripada Naqal (Wahyu) mahupun Aqal.

    Jika suatu dalil Naqli atau Aqli digunakan untuk menegakkan akidah yang sahih dengan cara

    yang sahih maka ianya dinamakan hujah adapun jika digunakan untuk menegakkan benang yang

    basah dinamakan sebagai syubhat kerana mereka yang menggunakan dalil ini berada dalam

    keadaan samar-samar dan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil itu dalam keadaan keliru dan

    mabuk.

    Seorang Asyairah apabila dia membaca perkataan Ulama Salaf dengan timbangan dan

    manhajnya yang bidaah, pemahamannya terhadap nas-nas itu akan mejadi kabur seumpama

    seorang yang memerhati alam sekitar melalui tingkapnya yang berdebu kerana dia tidak

    memahami kaedah seorang salafi memahami perkataan ulama salaf.

    Mungkin al-Asyairah akan berkata: Jika begitu, sama lah juga dengan kamu memahami

    perkataan al-Asyairah dengan kaca mata Salafiah atau wahabi sehingga kamu tidak faham

    maksud sebenar kami. Jawapan kita adalah:Manhaj Salafi adalah manhaj yang jernih dan

    cerah, seseorang yang meneliti manhaj bidaah melalui manhaj salafi sama seperti seorang

    yang melihat kuman melalui mikroskop, walaupun dia tidak dicemari oleh kuman itu namun

    dia tahu bahaya kuman itu dan cara untuk membunuh kuman itu atau seperti seorang doktor

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    7/34

    yang merawat pesakit, walaupun dia tidak merasai kesakitan si pesakit namun dia tahu punca

    dan cara merawatnya.

    Maka dalam perbahasan seterusnya kita akan melihat apakah dalil-dalil yang digunakan kaum

    Mutakallimin untuk menegakkan akidah mereka yang batil berkenaan tafwid ini. Hujah mereka

    secara dasarnya terkumpul pada Manqul dan Masur.

    Kaum Mufawwidah meletakkan hujah mereka pertamanya kepada dalil Manqul iaitu Surah Ali

    Imran ayat ke-7 dan dalil Masur iaitulah perkataan Ulama Salafi yang pada sangkaan mereka

    yang kabur adalah tafwid makna.

    Syubhat Pertama: Surah Ali Imran Ayat ke-7

    Firman Allah Taala:

    Maksudnya: Dia lah yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci

    Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayatMuhkamaat

    (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat

    Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. dan yang lain lagi ialah ayat-

    ayat Mutasyaabihaat (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). oleh

    sebab itu (timbulah faham yang berlainan menurut kandungan hati masing-

    masing) adapun orang-orang yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke arah

    kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran

    untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya

    menurut yang disukainya). padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya(tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang yang tetap

    teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:Kami

    beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami dan

    tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang

    yang berfikiran. [Ali Imran: 7] Ahli Bidaah memahami nas ini menjadi dalil kepada Tafwid dan Takwil sekaligus di mana

    menurut mereka nas-nas sifat adalah mutasyabihat pada maknanya yang tidak diketahui

    takwilnya melainkan Allah. Bagi kaum Mufawwidah mereka berpegang dengan waqaf pada

    ayat:

    (dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah) maka

    menurut mereka makna nas-nas sifat ini hanya diketahui oleh Allah Taala sahaja dan makna

    zahir nas-nas ini mesti ditakwilkan (jangan difahami seperti zahirnya). Adapun yang mentakwil

    (yakni takwil tafsili) berpegang dengan waqaf pada ayat:

    (dan orang-orang yang

    kukuh ilmunya) maka menurut mereka Allah dan mereka yang rasikh (kukuh) ilmunya

    mengetahui makna nas-nas ini lalu ditakwil Tangan dengan makna Qudrat, Is tiwa dengan

    Istaula, dan sebagainya. [Permata Ilmu Tauhid, m.s 203 & 204].

    Daripada ayat ini, kaum Mufawwidah membuat tiga kaedah mereka yang batil:

    1- Nas-nas Sifat adalah daripada mutasyabihat yang tidak diketahui maknanya kecuali Allah

    Taala.

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    8/34

    2- Ayat Muhkamat adalah ayat yang zahirnya dikehendaki sebagai maksud ayat tersebut

    sedangkan mutasyabihat adalah lafaz yang tidak diketahui dengan bahasa arab.

    3- Takwil dalam ayat ini bermaksud memalingkang makna zahir kepada makna yang lain

    yang hanya diketahui oleh Allah (takwil ijmali).

    Hasil daripada kaedah ini, kaum Mufawwidah berpendapat segala nas-nas sifat yang pada akal

    mereka adalah mutasyabihat hendaklah dipalingkan daripada makna zahirnya kerana ia tidak

    dapat difahami daripada bahasa arab namun maknanya yang sebenar juga tidak diketahui

    kecuali Allah, maka ditafwidkan kepada Allah Taala sahaja. [Mazhab Ahli al-Tafwid, 46].

    Jawapan:

    Dalam menjawab syubhat mereka ini, Syeikh Ahmad al-Qadi menyatakan kita perlu menilai

    kembali pandangan mereka dalam masalah berikut:

    1- Maksud sebenar ayat muhkamat dan mutasyabihat

    2- Maksud sebenar takwil dan zahir. [Mazhab Ahli Al-Tafwid, 46].

    Maksud Sebenar Mutasyabihat dan Muhkamat:

    Perlu diketahui bahawa semua ayat al-Quran adalah muhkam dan semuanya adalah mutasyabih

    sebagaimana firman Allah Taala:

    Maksudnya: Alif, Laam, Raa. Al-Quran sebuah Kitab yang tersusun ayat-ayatNya

    dengan tetap teguh, kemudian dijelaskan pula kandungannya satu persatu.(Susunan dan penjelasan itu) adalah dari sisi Allah yang Maha Bijaksana, lagi

    Maha mendalampengetahuanNya.[Hud: 1]Maksud Muhkam dalam ayat ini adalah sebagaimana kata Imam Ibn Kasir r.h:

    Maksudnya: Ia tersusun lafaznya, terperinci maknanya, maka kesemuanya itu

    sempurna pada bentuk dan maknanya. [Tafsir al-Quran al-Azim, 4/303].Maka kesemua makna lafaz dalam al-Quran adalah dimaklumi tidak ada kesamaran dalam lafaz

    dan maknanya, bahkan ianya jelas melebihi mentari yang tiada silau padanya. Tafsiran ini adalah

    pilihan Ibn Jarir al-Tabari, Mujahid, dan Qatadah ridwanullahi alaihim ajmain.

    Qatadah r.h berkata:

    .

    Maksudnya: Allah telah menyekatnya daripada dimasuki perkara batil kemudian

    ditafsilkan yakni dijelaskan. [Tafsir al-Tabari, 15/227]Demikian juga maksud Fussilat dalam ayat ini adalah Fussirat yakni ditafsirkan maknanya

    sebagaimana kata Imam Mujahid r.h:

    (:):.

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    9/34

    Maksudnya: Daripada Mujahid berkenaan maksud firman Allah : kata

    beliau: Ditafsirkan. [al-Tabari, 15/277].Maka semua ayat al-Quran itu adalah Muhkam, tidak dicemari dengan perkara batil, teratur

    lafaznya, tiada kekeliruan dan jelas maknanya, tiada kesamaran. Demikian al-Quran itu

    disifatkan dengan al-Hakim (Hikmah) sebagaimana firman Allah Taala dalam surah Yunus ayat1:

    Maksudnya: Alif, Laam Raa ini ialah ayat-ayat Kitab (Al-Quran) yang

    mengandungi hikmat-hikmat dan kebenaran yang tetap teguh. Al-Quran juga semuanya mutasyabih yakni saling kuat menguatkan antara satu sama lain

    sebagaimana firman Allah Taala:

    Maksudnya: Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan Iaitu Kitab suci Al-Quran yang bersamaan isi kandungannya antara satu dengan yang lain (tentang

    benarnya dan indahnya)[al-Zumar: 23].Berkata Ibn Jarir al-Tabari r.h dalam menjelaskan makna mutasyabih dalam ayat ini:

    . Maksudnya: Saling menyerupai antara satu dengan yang lain yakni tiada

    percanggahan padanya dan tiadapertentangan.[Tafsir al-Tabari. 21/229].Muhakam dan Mutasyabih dengan makna ini dinamakan sebagai Muhkam dan Mutasyabih Am

    yang meliputi semua ayat al-Quran. Demikian juga semua ayat al-Quran adalah diturunkan

    untuk ditadabbur yakni diperhati dan difahami maknanya sebagaimana firman Allah Taala:

    Maksudnya: (Al-Quran ini) sebuah Kitab Yang Kami turunkan kepadamu (dan

    umatmu Wahai Muhammad), -Kitab yang banyak faedah-faedah dan

    manfaatnya, untuk mereka memahami dengan teliti kandungan ayat-ayatNya,

    dan untuk orang-orang yang berakal sempurna beringat mengambil

    iktibar.[Sad: 29]Berkata al-Allamah Muhammad al-Amin al-Syanqiti al-Maliki r.h:

    .

    Maksudnya: dan Allah Jalla wa Ala telah menyebut dalam ayat yang mulia ini

    bahawa Dia menurunkan kitab ini (al-Quran) dengan membesarkan diriNya

    Jalla wa Ala dengan menggunakan lafaz jamak dan seseungguhnya kitab ini

    adalah yang diberkati dan antara hikmah diturunkan kitab ini supaya mansuia

    mentadabbur ayatnya yakni memahaminya, memikirkannya, dan

    memerhatikan dengan fokus padanya sehingga mereka faham apa yang ada

    padanya daripada pelbagai jenis hidayah dan supaya Ulul Albab mengingat

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    10/34

    yakni mengambil iktibar oleh kaum yang memiliki akal yang sejahtera daripada

    pencemaran. [Adwaul Bayan, 6/344].Berkata al-Tabari r.h dalam menjelaskan makna supaya kamu bertadabbur :

    .

    Maksudnya: Supaya kamu bertadabbur hujah-hujah Allah yang ada dalamnya

    dan syariat-syariat dalamnya lalu kamu mengambil iktibar dan beramal

    dengannya. [Tafsir al-Tabari, 21/190].Dalam surah Yusuf ayat 1 dan 2 Allah Taala berfirman:

    (1)

    (2)

    Maksudnya: Alif, Laam, Raa. ini ialah ayat-ayat Kitab Al-Quran yang

    menyatakan kebenaran. Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab itu sebagai

    Quran yang dibaca dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal

    untuk) memahaminya.

    Dalam menjelaskan makna al-Quran sebagai Kitab yang Mubin (jelas dan terang) berkata

    Imamul Mufassirin Ibn Jarir al-Tabari r.h:

    :

    ;

    .

    Maksudnya: Maknanya: Inilah ayat-ayat al-Kitab yang jelas bagi sesiapa yang

    membacanya dan mentadabbur apa yang ada dalamnya daripada halal, haram,

    larangan, dan semua jenis maknanya kerana Allah Jalla Sanauh memberitahu

    ianya Mubin(jelas) dan tidak mengkhususkan kejelasannya dalam sebahagian

    perkara tanpa keseluruhannya maka kejelasan makan al-Quran itu meliputikeseluruhannya kerana semua isinya menjelaskan apa yang terkandung

    dalamnya. [Tafsir al-Tabari, 15/550].Berkata pula Imam Ibn Kasir r.h dalam menjelaskan maksud al-Mubin:

    Maksudnya: Yang jelas, terang, yang menjelaskan tentang semua perkara yang

    tidak jelas, mentafsirkannya dan menerangkannya. [Ibn Kasir, 4/365].Berkenaan dengan ayat yang kedua, Imam al-Mufassirin Ibn Jarir al-Tabari menyatakan:

    Maksudnya: Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan Kitab ini yang jelas sebagai

    Quran (Bacaan) dalam bahasa Arab kepada orang Arab kerana bahasa dan

    percakapan mereka dalam Arab, maka Kami turunkan Kitab ini dengan bahasa

    mereka supaya mereka memahami dan jelas dengan maksudnya. [Tafsir al-Tabari,

    15/551].Berkata Imam al-Baghawi r.h:

    Maksudnya: Kami (Allah) turunkannya (al-Quran) dalam bahasa kamu (orang

    Arab) supaya kamu memahami makna-maknanya dan kamu faham apa yang

    terkandung dalamnya. [Tafsir al-Baghawi, 4/209].

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    11/34

    Maka semua ayat dalam al-Quran diturunkan untuk difahami maka tiada satu lafaz pun yang

    tidak bermakna atau tidak beerti dalam al-Quran, sesiapa yang mengatakan ada dalam al-Quran

    terdapat ayat atau lafaz yang sia-sia, yang tidak dapat difahami, maka dia telah menisbahkan

    kepada Allah Taala sifat aib kerana al-Quran adalah Kalam Allah dan Kalam Allah tidak sama

    dengan dengan kalam makhluk.

    Sekarang telah jelas kepada kita bahawa al-Quran itu Muhkam yakni tidak akan dapat

    dicerobohi kebenarannya oleh tangan-tangan kaum batil dan Mufassal yakni jelas maknanya,

    Mubin yakni terang dan jelas maknanya, diturunkan untuk difahami dan dihayati ajarannya,

    mustahil terdapat dalam al-Quran kalimah atau lafaz yang tidak boleh difahami.

    Adapun dalam ayat ke-7 surah Ali Imran, ayat ini menceritakan berkenaan Muhkam dan

    Mutasyabih Khusus dan para Ulama mempunyai pandangan tersendiri mengenai perkara ini.

    Imam Ibn Jarir al-Tabari r.h menjelaskan:

    .Maksudnya: Adapun maksud Muhkamat maka ianya adalah ayat-ayat yang

    telah dijelaskan dengan keterangan, penjelasan, dan perincian. Ditetapkan

    hujah-hujah dan dalil-dalilnya atas perkara yang dijadikannya sebagai dalil

    daripada halal, haram, janji, ancaman, pahala, dosa, perintah, larangan,

    khabar, misal, peringatan, pengajaran, dan seumpama yang demikian itu. [Tafsir

    al-Tabari, 6/170].Adapun mengenai mutasyabihat beliau berkata:

    ::

    (

    :

    )[:

    2]

    (:

    )[

    07]::

    .

    Maksudnya: Adapun firmanNya: : maka maknanya: Sama dalam tilawah

    (bacaan) tetapi berbeza makna seperti firmanNya Jalla Sanauh (maksudnya):

    ..dan mereka diberikan rezeki itu yang sama rupanya (tetapi berlainan

    hakikatnya) [al-Baqarah: 25] yakni maksudnya sama pada pandangan

    (bentuk) tetapi berbeza pada rasa dan seperti mana Dia menyatakan berkenaan

    perkataan Bani Israil (maksudnya): Sesungguhnya lembu itu tersamar pada

    kami [al-Baqarah: 70] yang dimaksudkan sama pada sifat walaupun berbeza

    jenisnya.[Tafsir al-Tabari, 6/173].Hasil penjelasan Imam al-Tabari r.h ini, ayat-ayat mutasyabihat bukanlah ayat yang tidak

    diketahui maknanya bahkan maknanya maklum seperti khabar Allah Taala tentang syurga yang

    di dalamnya terdapat buah-buahan antaranya delima. Maksudnya kita fahami, iaitu delima

    namun rasa delima di dunia tidak akan sama dengan delima di syurga, demikian juga arak dunia

    tidak sama dengan arak akhirat, susu syurga tidak sama dengan susu akhirat. Semua benda ini

    sama pada makna tetapi berbeza pada hakikat, rupanya sama tetapi hakikat dan rasanya

    berlainan.

    Cuba kita lihat firman Allah Taala dalam surah al-Baqarah ayat 25 secara penuh:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    12/34

    Maksudnya: dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan

    beramal soleh, Sesungguhnya mereka beroleh syurga yang mengalir di

    bawahnya beberapa sungai; tiap-tiap kali mereka diberikan satu pemberian darisejenis buah-buahan syurga itu, mereka berkata: Inilah yang telah diberikan

    kepada kami dahulu; dan mereka diberikan rezeki itu yang sama rupanya

    (tetapi berlainan hakikatnya), dan disediakan untuk mereka dalam syurga itu

    pasangan-pasangan, isteri-isteri yang sentiasa bersih suci, sedang mereka pula

    kekal di dalamnya selama-lamanya. Ahli Syurga apabila diberikan kepada mereka segala jenis makanan yang pernha diberitakan

    kepada mereka dalam al-Quran ketika di dunia, mereka segera mengenalinya kerana bentuk

    buah-buahan dan minuman itu sama bentuknya namun rasanya berbeza. Apabila Allah Taala

    menyatakan dalam al-Quran di akhirat akan ada Syurga (Jannah) maka difahami makna Jannah

    adalah taman, ada di sana al-Nar (neraka) difahami maknanya api, ada di akhirat nanti al-Mizan

    (Timbangan Amal) kita faham maksudnya alat untuk menimbang, namun bagaimana hakikatnya

    perkara-perkara ini, bagaimana bentuk sebenarnya, tidaklah diketahui dan tidak sama dengan

    apa yang ada di dunia kerana apa yang ada di akhirat jauh lebih hebat dari dunia.

    Inilah yang para Ulama nyatakan sebagai Isytirak Kulli (persamaan kulli) yakni pada dasarnya

    maksudnya sama tetapi hakikatnya berbeza, sifatnya berbeza, yakni pada juziyyat dan perincian

    benda tersebut tidak sama. Sama seperti contoh yang kita nyatakan dahulu, apabila kita

    menyatakan burung mempunyai sayap, malaikat juga mempunyai sayap, kedua-dua makhluk ini

    mempunyai sayap yang membolehkan mereka terbang namun tidak sama sifat dan bentuk sayap

    burung dan sayap malaikat namun kedua-dua sayap ini adalah hakikat dan wujud.

    Berdasarkan pemahaman yang diberikan Imam al-Mufassirin ini mungkin kita boleh masukkan

    ayat-ayat sifat sebagai mutasyabihat namun berdasarkan takrif ini juga secara otomatik

    membatalkan akidah Tafwid 100% kerana mutasyabihat bukanlah sesuatu yang tidak difahami

    maknanya tetapi adalah yang tersembunyi kaifiatnya maka benarlah perkataan Ulama Salaf: al -

    Istiwa itu maklum, kaifiatnya majhul, kerana maknanya maklum tetapi hakikat sebenar

    bagaimana bentuknya Istiwa Allah Taala itu hanya Allah Taala jua yang mengetahuinya.

    Setelah difahami maksud Muhkam dan Mutasyabih maka jelaslah pada kita maksud Allah Taala

    bahawa Mutasybih ini hanya diketahui oleh Allah Taala akan maknanya yang sebenar yakni

    hakikat perkara tersebut kerana maksud takwil dalam al-Quran adalah: Berlakunya perkara

    yang diberitakan atau hakikat perkara yang diberitakan.

    Apabila Allah Taala memberitakan berkenaan hari kiamat, kita fahami kiamat adalah hari

    dimusnahkan alam dan dibagkitkan semula makhluk setelah mati, namun bilakah berlakunya

    kiamat? Bagaimana rupa sebenar kiamat itu? Maka inilah takwilnya yang hanya diketahui oleh

    Allah Taala. Ini berdasarkan firman Allah Taala:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    13/34

    Maksudnya: tidak ada perkara yang mereka tunggu-tunggukan melainkan akibat

    atau kesudahan (Apa yang telah dijanjikan oleh Allah di Dalam Al-Quran), pada

    hari datangnya apa yang telah dijanjikan Dalam Al-Quran itu (pada hari kiamat

    kelak), berkatalah orang-orang yang telah melupakannya (yang tidak

    menghiraukannya dalam dunia) dahulu: Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan kami dengan membawa kebenaran, maka Adakah untuk Kami

    pemberi syafaat supaya mereka memberi syafaat bagi Kami atau (bolehkah)

    kami dikembalikan (ke dunia) supaya kami dapat beramal, lain daripada apa

    yang kami telah kerjakan?Sesungguhnya mereka telah merugikan diri mereka

    sendiri, dan telah lenyaplah dari mereka perkara-perkara yang mereka ada-

    adakan dahulu. [al-Araf: 53].Imam Ibn Kasir r.h menjelaskan maksud datangnya takwil pada hari tersebut (kiamat):

    Maksudnya: Apa yang dijanjikan daripada azab, balasan, syurga, danneraka. [Ibn Kasir, 3/425]. Al-Rabii berkata:Tidak putus-putus datangnya takwilnya daripada berlakunya

    hisab (perhitungan amal) sehingga masuknya Ahli Syurga ke syurga dan ahli

    neraka ke neraka maka sempurnalah takwilnya[Ibid]

    Dalam hadis dijelaskan juga maksud takwil:

    :

    (

    ).

    Maksudnya: Daripada Aisyah r.a bahawa beliau berkata: Adalah Nabi s.a.w

    banyak membaca ketika rukuk dan sujudnya:

    (Maha

    Suci Kamu Ya Allah Tuhan kami dengan kepujianMu, Ya Allah ampunkanlah

    aku), baginda mentakwil al-Quran. [al-Bukhari & Muslim].Maksudnya di sini adalah Nabi s.a.w mengikut perintah Allah Taala dalam surah al-Nasr:

    Maksudnya: maka Ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah

    ampun kepadaNya, Sesungguhnya Dia amat menerima taubat.[al-Nasr: 3].Ibn Jarir r.h meriwayatkan:

    :

    =.

    Maksudnya: Daripada Ibn Abbas r.a adapun berkenaan firmanNya (maksud):

    dan tiadalah yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, maksud takwilnya

    adalah hari kiamat (tiada yang mengetahuinya) melainkan Allah jua. [Tafsir al-

    Tabari, 6/ 199].Yakni tiadalah yang mengetahui masa berlakunya kiamat, adapun makna hari kiamat itu jelas

    pada bahasa, tiada kesamaran padanya. Maka difahami maksud takwil adalah berlakunya

    perkara ghaib yang diberitakan itu, dan hakikat sesuatu perkara ghaib itu. Hasil daripada

    penjelasan ini difahami ayat-ayat berkenaan sifat-sifat Allah Taala adalah mutasyabihat yakni

    makulum maknanya, majhul kaifiatnya.

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    14/34

    Atas dasar pemahaman inilah, jumhur salaf meletakkan waqaf pada firman Allah:

    Maksudnya: dan tiadalah yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.Perlu dijelaskan pula bahawa maksud Takwil itu sendiri terdapat dua makna yang sahih yang

    digunakan Ulama Salaf iaitu:

    Pertama: Hakikat sesuatu perkara seperti yang kita jelaskan dalam ayat ini.

    Kedua: Takwil dengan maksud tafsir dan tafsir itu menurut bahasa adalah: Menjelaskan,

    menerangkan sesuatu perkara. Pada Istilah Ulama pula tafsir itu adalah: Ilmu yang

    membicarakan berkenaan dengan cara-cara menturkan lafaz al-Quran, madlul-

    madlulnya (petunjuk dan kandungan), hukum-hakamnya secara persendirian

    dan susunan dan makna-maknanya dalam bentuk susunan ayat dan

    kesempurnaan maknanya. [Mabahis fi Ulum al-Quran, Manna al-Qattan, m.s 335].

    Adapun Tafsir dan Takwil di sisi Jahmiah adalah:Mengubah maknanya daripada

    makna yang jelas kepada makna yang kurang jelas kerana qarinah.Ini dapat

    dilihat dalam Kitab Imam al-Darimi r.h dalam mebantah Bisyr al-Murisi al-Jahmi di mana Bisyr

    akan menggunakan lafaz tafsir untuk menunjukkan kepada takwilnya yang salah dalam ayat-ayat

    sifat. Makna ini kemudian diambil oleh al-Asyairah dan al-maturidiah namun mereka

    mengkhususkan Takwil dengan makna ini dan mengekalkan makna Tafsir dengan makna yang

    ditetapkan para ulama.

    Imam Ibn Kasir r.h mempunyai tarjih berbeza mengenai maksud Muhkamat dan Mutasyabihat

    berkenaan ayat ke-7 surah Ali Imran ini. Beliau menyatakan Muhkamat itu sebagai ayat-ayat

    yang jelas maknanya, tiada kesamaran kepada sesiapa pun yang mendengarnya atau bahasa yanglebih mudah ayat yang tidak mengandungi makna selain makna yang nas (satu makna sahaja).

    Adapun mutasyabihat menurut beliau adalah makna yang mengandungi lebih dari satu sehingga

    tersamar pada pendengarnya dan makna tersebut akan jelas apabila dikembalikan kepada ayat-

    ayat yang muhkam. [Rujuk: Tafsir Ibn Kasir, 2/ 6 & 7].

    Pendapat Ibn Kasir r.h ini merupakan pendapat yang dipilih oleh guru beliau yang sangat beliau

    cintai dan kagumi sehingga beliau berwasiat supaya jenazahnya disemadikan bersebelahan

    kubur gurunya itu, iaitulah Syeikhul Islam Ibn Taimiah r.h dan syeikhul Islam menjelaskan

    pendapat ini juga merupakan pilihan Imam Ahmad bin Hanbal r.h. [al-Iklil minal Mutasyabih

    wal Takwil, Majmuk Fatawa Ibn Taimiah, 13/ 274-275].

    Berdasarkan takrif ini pula, ayat-ayat Sifat bukanlah mutasyabihat kerana ayat-ayat sifat tidak

    mengandungi makna yang lebih daripada satu sehingga orang arab akan terkeliru dengan

    maknanya, sebab itu apabila Allah Taala menyatakan bahawa dua tanganNya terbuka, tidak

    pernah ada orang Arab bertanya: tangan yang terbuka ini apakah nikmatNya atau kekuasaanNya

    yang terbuka? Demikian tiadak pernah ada sahabat yang bertanya Nabi s.a.w berkenaan ayat-

    ayat sifat kerana mereka memahami maknanya.

    Maka ayat-ayat sifat dalam takrif yang kedua ini adalah Muhkamat, adapun mutasyabihat adalah

    seumpama firman Allah Taala:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    15/34

    Maksudnya: dan malam, apabila ia hampirhabis[al-Takwir: 17]Kalimah Asas membawa maksud berlalu dan datang, maka apakah maksud ayat ini

    menunjukkan awal malam (maghrib) atau akhir malam (sahur)? Namun apabila dilihat kepada

    ayat yang muhkam iaitu ayat ke-18:

    Maksudnya: dan siang, apabila ia mulai terang.Maka jelaslah maksudnya adalah malam apabila ia berakhir kerana dengan berakhir malam

    baharulah datangnya siang.[ rujuk Tafsir al-Tabari].

    Demikian juga ayat-ayat yang digunakan oleh Kaum Khawarij untuk mengkafirkan sesiapa sahaj

    yang tidak menegakkan hukum Allah Taala:

    Maksudnya: dan sesiapa Yang tidak menghukum Dengan apa Yang telah

    diturunkan oleh Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-

    orang kafir.[al-Maidah: 44].Mereka lupa bahawa di sana ada juga Allah Taala menyatakan:

    Maksudnya: dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah

    diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang yang zalim. [al-Maidah: 45Dan Allah menayatakan juga:

    Maksudnya: ...dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan

    Allah maka dia adalah orang-orang yangfasiq.[al-Maidah: 47]. Apabila dikembalikan kepada ayat yang muhkam ini, maka ayat 44 tadi jelas menyatakan

    berkenaan mereka yang tidak mahu menegakkan hukum Allah dan menafikan kewajipannya

    pula kerana inilah yang jelas jika kita merujuk kepada asbab nuzulnya sekalipun.

    Maka, mutasyabihat dalam jenis ini difahami dan diketahui oleh orang-orang yang rasikh

    (kukuh) dalam ilmu seperti Ibn Abbas r.a, Ibn Masud r.a, dan anak-anak murid mereka seperti

    Mujahid, Qatadah, Said bin Jubair, dan lain-lain lagi ulama tafsir. Atas pemahaman yangdemikian ini, takwil dalam ayat ini ditafsirkan sebagai tafsir makna ayat bukan hakikat sesuatu

    perkara ghaib dan waqaf pada tafsiran yang seperti ini berlaku pada ayat:

    Maksudnya: dan orang-orang yang kukuh dalam ilmu mereka.[lihat: Tafsir Ibn Kasir, 2/ 11-12]

    Oleh itu, pemahaman kaum Bidaah berkenaan ayat ini tidak menepati mana-mana tafsiran

    Ulama Salaf terhadap ayat ini, sama ada yang dirajihkan oleh Imam al-Tabari r.h mahupun yang

    dirajihkan Imam Ibn Kasir r.h. Segala perbezaan pendapat salaf dalam menentukan makna

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    16/34

    mutasyabih dan muhkam dalam ayat ini sebenarnya pada kajian kami tidaklah lari antara dua

    pendapat yang ditarjihkan oleh dua Imam besar dalam bidang tafsir ini. Wallahualam.

    Demikianlah difahami daripada perkataan Ibn Abbas r.a yang masyhur dalam bab Tafsir:

    :

    .

    Maksudnya: Tafsir itu ada empat wajah (bentuk): Tafsir yang diketahui Arab

    daripada perkataannya (yang biasa didengar), tafsir yang tidak dimaafkan

    sesiapa pun daripada kejahilannya berkenaan tafsir tersebut, tafsir yang

    diketahui ulama, dan tafsir yang tidak diketahui melainkan Allah Taala

    zikruh.[Tafsir al-Tabari, 1/75].Imam Ibn Jarir al-Tabari r.h menyatakan tafsir itu terdapat martabat yang tiga:

    Pertama: Takwil yang dapat diketahui melalui perkhabaran Rasulullah s.a.w seperti halal dan

    haram, wajib dan sunat.

    Kedua: Takwil yang tidak diketahui melainkan Allah jua iaitulah waktu berlakunya kiamat, waktu

    keluarnya dajjal dan hakikat perkara ghaib.

    Ketiga: Takwil yang diketahui oleh mereka yang fasih dalam bahasa Arab iaitulah tafsir yang ada

    kaitan dengan Irab, sifat-sifat, dan nama-nama yang tiada kesamaran padanya.

    Adapun berkenaan takwil atau tafsir yang tidak diberi maaf kepada sesiapaun yang jahil akannya

    adalah pemberitahuan Ibn Abbas r.a bahawa di sana ada tafsir yang tidak patut tidak diketahui

    oleh orang awam sekalipun iaitulah yang berkaitan dengan halal haram, wajib, dan sunat serta

    seumpamanya. [Rujuk: Tafsir al-Tabari, 1/74-76].

    Jadi, pendapat yang mengatakan adanya ayat atau lafaz yang hanya diketahui maknanya yang

    zahir hanya Allah Taala adalah batil kerana Takwil yang disembunyikan Allah itu bukan dari segi

    makna lafaznya tetapi hakikatnya seperti masa yang sebenar berlakunya kiamat, hakikat sebenar

    bentuk al-Mizan, al-Sirat, dan lain-lainnya bukan makna al-Mizan (Timbangan), makna al-Sirat

    (jembatan) dan lainnya.

    Syubhat Kedua: Asar Para Salafiyyin

    Dalil kedua yang dijadikan hujah oleh para Mufawwidin dalam menegakkan benang basah

    mereka adalah Asar dan Riwayat daripada Salafiyyin yang kononnya pada sangkaan mereka

    menjadi dalil untukmereka sebenarnya jika dilihat dari sekilas pandang mata seorang salafi

    adalah hujah Allah atas mereka.

    Lafaz-lafaz Ulama Salafi yang menjadi syubhat kepada kaum bidaah ini terkumpul pada lafaz-

    lafaz berikut:

    1- (Membiarkan nas)

    2- (Menafikan Makna)

    3- (Menafikan Tafsir)

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    17/34

    4- (Mendiamkan Diri)

    5- (Tafwid)

    Berikut kita akan bincangkan secara terpinci setiap lafaz ini dan melihat maksud sebenarnya:

    Pertama:

    Al-Lalikaie r.h membawa riwayat berikut:

    :

    :

    :

    ::

    :

    :

    Maksudnya: Memberitahu kepada kami Abdul Rahman al-Qazwini katanya:

    Menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Mansur al-Qattan

    katanya: Meriwayatkan kepada kami Abdul Rahman bin Hatim katanya:

    Meriwayatkan kepada kami Ismail bin Abil Haris katanya: Meriwayatkan

    kepada kami al-Haisam bin Kharijah katanya: Aku mendengar al-Walid bin

    Muslim berkata: Aku bertanya al-Auzai, Sufyan al-Sauri, Malik bin Anas, dan al-

    Lais bin Saad berkenaan hadis-hadis ini yang menceritakan tentang rukyah

    (melihat Allah), jawab mereka: Jalankan ia /Biarkan ia tanpa memberikan

    kaifiat.[Syarah Usul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, al-Lalikaie, 2/400].Dalam lafaz yang lain:

    Maksudnya: Biarkan ia sebagaimana ia datang tanpa diberi kaifiat. [Ibid, 2/469].Dalam riwayat al-Daruqutni r.h:

    Maksudnya: Jalankannya tanpa kaifiat. [al-Sifat, al-Daruqutni, 1/61].Dalam riwayat Abu Bakar al-Khallal:

    Maksudnya: Kita biarkan sebagaimana ia datang. [al-Sunnah, Abu Bakar al-Khallal,

    1/337].Kesemua lafaz riwayat ini tidak menyatakan Iqrar hanya menyatakan Imrar. Maka pada

    sangkaan mereka inilah para Salafiyyin mentafwidkan makna, hanya beriman dengan lafaz tanpa

    makna.

    Imam al-Daruqutni r.h meriwayatkan:

    ::

    :

    :

    :::

    :

    :

    :

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    18/34

    Maksudnya: Meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Mukhallad,

    meriwayatkan kepada Abul Abbas Ishaq bin Yaakub, katanya: Aku mendengar

    Ahmad bin al-Daruqi katanya meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Nasr r.h

    katanya: Aku mendengar Sufyan bin Uyainah sedangkan aku berada di

    rumahnya selepas waktu isya maka aku memujuknya untuk bertanya soalanlalu dia berkata: Biarkan aku sekejap mengambil nafas. Lalu aku berkata: Wahai

    Abu Muhammad sesungguhnya aku hendak bertanya tentang sesuatu. Maka

    katanya: tidak perlulah. Maka aku berkata: Aku mesti bertanya jika aku tidak

    bertanya kepada kamu kepada siapalah lagi aku hendak bertanya? Jawab

    beliau: Tanyalah jika begitu. Aku berkata: Bagaimana (hendak kita fahami)

    hadis Ubaidah daripada Abdullah daripada Nabi s.a.w: Sesungguhnya Allah Azza

    wa Jalla meletak langit atas satu jariNya dan bumi atas satu jariNya, hadis:

    Sesungguhnya hati-hati manusia berada antara dua jari daripada jari-jari al-

    Rahman, dan hadis: Sesungguhnya Allah ketawa dan takjub dengan orang yang

    mengingatinya di khalayak ramai?. Maka jawab Sufyan: Semuanya

    sebagaimana ia datang, kita beriqrar dengannya dan kita meriwayatkannya

    tanpa memberi kaifiat. [al-Sifat, 1/57].Kesemua lafaz ini sebenarnya sama sekali tidak menunjukkan tafwid makna bahkan

    menunjukkan mereka semua menetapkan makna zahir yang layak bagi Allah Taala. Jawapan-

    jawapan ini diberikan ketika mana munculnya mazhab Muktazilah dan Jahmiah yang mengubah

    makna zahir kepada makna yang sesuai pada akal mereka. Jadi para Ulama Salaf

    mengingkarinya lalu mereka menyatakan yang wajib adalah kita kekalkan makna zahirnya maka

    mereka menyebut di belakangnya: tanpa memberi kaifiat, supaya mereka yang menetapkan

    sifat dengan makna zahir tidak terjebak ke dalam kekufuran musyabbihah dan mumassilah.

    Perlu diingat bahawa setiap lafaz al-Quran datang dengan makna dan ini diakui oleh kaum

    Bidaah Mufawwidah dan Mutaawilah sendiri kerana itu mereka berkata:

    *

    Maksudnya: Dan tiap-tiap nas yang memberi sangka akan keserupaan, maka

    takwilkanlah dia atau serahkan (kepada Allah) dan maksudkankanlah untuk

    mensucikan.Dan perlu diingat, maksud tafwid sendiri di sisi mereka: mengalihkan makna zahir kepada

    makna yang marjuh yang hanya diketahui oleh Allah. Jika kita mentafwid, ini bertentangandengan kaedah Imrar yang dinyatakan para Ulama Salafi ini.

    Demikian juga, jika mereka tidak menetapkan makna tidak perlulah mereka menafikan kaifiat

    lagi kerana maknanya sudah tidak difahami. Pantas jawapan yang diberikan bukanlah begini

    tetapi seperti yang disebut oleh kaum Mufawwidah: Hanya Allah jua yang mengetahui

    maknanya.

    Demikian juga telah sabit daripada para Ulama Salaf yang sama yang mengatakan: Kami

    menjalankannya sebagaimana ia datang, mereka juga yang mentafsirkan makna Istiwa dengan

    ala wa irtafaa (meninggi) di atas Arasy. Misalnya Imam Ahmad bin Hanbal r.h sendiri berkata:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    19/34

    Maksudnya: Maka berkata Yusuf bin Musa al-Qattan Guru Abu Bakar al-Khallal:

    ditanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad): Allah itu berada di atas (fauqa)

    langit yang ketujuh di atas arasyNya terpisah daripada makhlukNya sedangkankudrat dan ilmuNya meliputi semua tempat? Jawab beliau: Ya, Dia berada di

    atas ArasyNya dan IlmuNya tidak lekang daripada suatu pun. [al-Uluww, no.474,

    m.s 176]. Adakah orang yang menafikan makna sifat akan bercakap begini? Tidak sama sekali bahkan

    Mufawwidah hanya akan berkata: Istiwa yang tidak kita ketahui. [Permata Ilmu Tauhid, m.s

    205].

    Lebih jelas bahawa maksud Imrar dalam perkataan Salaf bukanlah menafikan makna bahkan

    menetapkan makna, riwayat al-Walid bin Muslim di atas semuanya berkenaan dengan melihat

    Allah Taala di akhirat, apakah melihat Allah Taala tidak difahami maknanya? Subhanallah, initelah ijmak bahawa maksud melihat Allah Taala adalah melihat Allah Taala, tidak majhul

    padanya makna.

    Cuba pula lihat perkataan Imam Ahlis Sunnah wal Jamaah, Ahmad bin Hanbal r.h:

    :

    :

    Maksudnya: Aku (Abdullah bin Ahmad r.h) bertanya bapaku r.h (Ahmad bin

    Hanbal r.h) tentang satu kaum yang berkata: Ketika Allah Azza wa Jalla berkata-

    kata dengan Musa, Dia bercakap tanpa suara. Maka kata bapaku: Bahkansesungguhnya Tuhanmu Azza wa Jalla berkata-kata dengan suara, semua hadis-

    hadis ini kami riwayatkan sebagaimana ia datang. [al-Sunnah, Abdullah bin Ahmad

    bin Hanbal, m.s 494].Nah, jelas sekali lafaz Imam Ahmad r.h yang terdahulu: sama sekali tidak menafikan

    makna sifat kerana nada dan makna yang sama beliau gunakan untuk menetapkan sifat Kalam

    yang maklum maknanya pada Allah Taala. Dengan demikian jelas bagaikan mentari yang tiada

    silau padanya bahawa lafaz Imrar sama sekali tidak menunjukkan kepada Tajhil atau Tafwid

    makna.

    Kedua:

    Terdapat perkataan Imam Ahmad bin Hanbal r.h yang menjadi slogan kaum Mufawwidah

    mengatakan ini bukti yang akidah salaf adalah Tafwid makna bukan sekadar tafwid kaifiat.

    Al-Khallal r.h meriwayatkan dengan sanadnya daripada Hanbal r.h katanya:

    11

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    20/34

    Maksudnya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah berkenaan hadis-hadis yang

    diriwayatkan: Sesungguhnya Allah turun setiap malam ke langit dunia, Allah

    dilihat, dan Allah meletakkan tapak kakinya dan seumpamanya? Maka jawab

    Abu Abdillah (Imam Ahmad): Kami beriman dengannya dan membenarkannya

    tanpa membicarakan kaifiat dan makna dan kami tidak menolak suatu pundaripadanya dan kita tahu bahawa apa yang datang daripada Rasul adalah

    benar jika sanadnya sahih dan kita tidak akan membantah Rasulullah dalam

    perkataan baginda dan tidaklah disifatkan Allah melebihi daripada apa yang Dia

    sendiri sifatkan pada diriNya atau yang RasulNya sifatkan tanpa diberikan

    batasan (kaifiat) dan penghujung , Tiada suatu pun menyamaiNya dan Dialah

    yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [Maksud Surah al-Syura: 11], dan

    tidaklah dapat dicapai oleh mereka yang memhami sifat akan sifat-sifatNya dan

    sifat-sifatNya itu daripadaNya dan kita tidak akan melampaui al-Quran dan al-

    Hadis maka kami katakan seperti Dia katakan dan kami sifatkan dia seperti

    mana Dia sifatkan diriNya dan kita beriman dengan al-Quran seluruhnya

    Muhkam dan MutasyabihNya dan tidaklah kita hilangkan satu sifat daripada

    sifat-sifatNya kerana kekeliruan yang ditimbulkan.[Zammut Takwil, Ibn Qudamah,

    m.s 22].Zahid al-Kausari- Semoga Allah membalas kejahatannya- menjadikan perkataan Imam Ahmad

    r.h yang jelas menetapkan makna bagi Sifat Allah ini sebagai dalil Tafwid Makna! Bukankah

    soalan Hanbal kepada Imam Ahmad ini meliputi masalah melihat Allah di akhirat (lihat

    bergaris) dan maknanya maklum dengan ittifaq Ahli Sunnah wal Jamaah, al-Asyairah, dan Al-

    Maturidiah. Maka jika perkataan Imam Ahmad bin Hanbal ini dibawa kepada makna

    mentafwidkan makna, ini akan meletakkan hadis bahawa Allah dilihat adalah tidak difahami dantidak diketahui maknanya.

    Demikian juga, Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan kita beriman dan membenarkannya maka

    Iman dan Tasdiq tidak akan berlaku pada benda yang majhul maknanya, tidak difahami.

    Mengimani suatu perkara tanpa memahaminya adalah perkara sia-sia dan maha suci Allah

    daripada memerintahkan sesuatu yang sia-sia.

    Demikian pada penghujungnya perkataan beliau: dan tidaklah kita hilangkan satu sifat

    daripada sifat-sifatNya kerana kekeliruan yang ditimbulkan.

    Ini jelas menunjukkan kita tidak akan menghilangkan sifat daripada Allah Taala, mentakwil sifatsama ada secara ijmali atau tafsili akan menghilangkan sifatNya Taala. [Mazhab Ahli al-Tafwid,

    m.s 75].

    Menafikan makna dalam perkataan Ahmad bin Hanbal r.h ini bukanlah bermakna menafikan

    makna zahirnya kerana jelas Imam Ahmad bin Hanbal sendiri menetapkan makna Kalam bagi

    Allah, makna Istiwa, makna melihat Allah dan sebagaimana yang telah kami jelaskan banyak

    kali sebelum.

    Dalam Aqidah Ahmad bin Hanbal dinyatakan:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    21/34

    Maksudnya: dan mazhab Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal r.a bahawa

    sesungguhnya bagi Allah Azza wa Jaklla itu wajah yang tidak sama dengan

    bentuk-bentuk (makhluk) dan benda-benda yang dilukis bahkan wajahNyaadalah sifatNya dengan firmanNya (maksud): semua benda akan musnah

    kecuali wajahNya, dan sesiapa yang mengubah maknanya maka dia telah

    melakukan ilhad dan di sisi beliau wajah di sini adalah hakikat bukan

    majaz.[Aqidah Ahmad bin Hanbal Riwayat al-Khallal, m.s 103]. Apakah akidah sebegini adalah akidah Tafwid sehingga boleh kita mengatakan Ahmad bin

    Hanbal beraqidah Tafwid makna? Sama sekali tidak demi Allah, bahkan beliau dengan jelas

    menetapkan sifat bagi Allah sesuai dengan makna zahirnya dan menafikan persamaan kaifiat

    sifat Allah dengan kaifiat sifat makhluk.

    Penafian makna dalam ucapan Ulama Salaf adalah menafikan makna yang batil yang direka-rekaoleh kaum Jahmiah dengan takwilan mereka yang batil, kerana kaum Jahmiah apabila mereka

    mentakwil mereka akan menyebut maknanya begini, tafsirnya begini, maka inilah yang

    sebenarnya dinafikan oleh Imam Ahmad r.h dan lainnya daripada Salaf. [Mazhab Ahli al-Tafwid,

    76].

    Demikian juga terdapat kaum salaf yang menafikan makna yang dikehendaki dengan kaifiatnya

    sekali seperti perkataan sebahagian mereka sebagaimana yang diriwayatkan Imam al-Khattabi

    r.h daripada Abu Ubaid r.h:

    Maksudnya: Kami meriwayatkan hadis-hadis ini dan kami tidak mencari-cari

    maknanya. [Ibid]Maksud Abu Ubaid r.h di sini adalah makna-makna yang batil yang direka-reka oleh kaum

    bidaah bukanlah menafikan makna zahirnya kerana Imam al-Khattabi r.h berkata:

    Maksudnya: Adapun apa yang kamu tanya berkenaan perbicaraan berkenaan

    sifat-sifat Allah dan apa yang datang dalam al-Kitab dan hadis-hadis sahih maka

    sesungguhnya mazhab Salaf menetapkannya dan menjalankannya atas makna

    zahirnya beserta menafikan kaifiat dan tasybih demikianlah kesepakatan

    (ijmak) daripada salaf yang diriwayatkan al-Hafiz Abu Bakar al-Khatib

    kemudian Al-Hafiz Abul Qasim al-Taimi al-Asbahani dan selain mereka. [al-

    Uluww lil Aliyyil Ghaffar, m.s 236].Al-Abbas al-Duri r.h berkata:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    22/34

    Maksudnya: Aku mendengar Abu Ubaid menyebut bab yang diriwayatkan

    padanya hadis melihat Allah, al-Kursi adalah tempat meletak dua tapak kaki

    Allah, ketawa Tuhan kita, dan hadis Di mana Tuhan kita berada, maka beliau

    berkata: Hadis-hadis ini sahih dan dibawa oleh para Ashabul Hadis dan Fuqaha

    antara sesama mereka dan pada kami tiada keraguan padanya tetapi apabiladitanya bagaimana Dia meletakkan dua tapak kakiNya? Bagaimana Dia ketawa?

    Kami tidak akan menafsirkannya dan kami tidak pernah mendengar sesiapa pun

    menafsirkannya. [al-Uluww lil Aliyyil Ghaffar, m.s 173].Jelas di sini bahawa Abu Ubadi r.h menetapkan makna sifat sesuai dengan zahirnya, maka

    perkataan beliau yang jelas ini menfasirkan perkataan beliau yang mujmal yang lalu bahawa

    makna yang dinafikan adalah makna yang batil.

    Demikian juga Makna yang dinafikan adalah kaifiat kerana terdapat kaum bidaah yang sengaja

    menggunakan kalimah makna sedangkan maksud soalannya adalah kaifiat sifat maka kaum

    salaf menafikannya sebagaimana dalam riwayat berikut:

    :

    :

    :

    Maksudnya: Yazidbin Harun meriwayatkan dalam majlis ilmu beliau hadis Ismail

    bin Abu Khalid daripada Qais bin Abu Hazim daripada Jarir bin Abdullah r.a

    berkenaan melihat Allah dan sabda Rasul s.a.w: Sesungguhnya kamu akan

    melihat Tuhan kamu seperti mana kamu melihat bulan di malam mengambang.

    Maka berkata seorang lelaki: Wahai Abu Khalid (gelaran Yazid), apakah makna

    hadis ini? Maka Yazid menjadi marah dan berkata: Engkau ini seperti Sabigh dan

    perlu dihukum sepertinya celakah kamu, siapa yang dapat tahu bagaimana kah

    ini? Dan siapa pula yang mampu melebihi riwayat ini yang datang pada hadis

    atau memperkatakan sesuai dengan pandangan sendiri kecuali mereka yang

    memperbodohkan diri atau meremehkan agamanya, apabila kamu mendengar

    hadis daripada Rasulullah s.a.w maka ikutilah dia dan janganlah kamu berbuat

    bidaah padanya kerana sesugguhnya apabila kamu mengikutnya dan tidak

    menyeleweng kamu akan selamat, jika tidak kamu akan musnah.[al-Hujjah fiBayan al-Mahajjah, 1/193].Berkata Ibn Qudamah r.h:

    Maksudnya: dan mazhab al-Salaf rahmatullahi alaihim beriman dengan sifat-sifat

    Allah Taala dan nama-namanya yang Dia sifatkan dengannya diriNya dalam

    ayat-ayatNya atau atas lidah RasulNya tanpa menambah atau menguranginya

    dan tidak akan melebihinya dan tiada tafsir dan takwil baginya yang menyalahi

    zahirnya dan tiada tasybih dengan sifat-sifat makhluk bahkan jalankannya

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    23/34

    sebagaimana yang ia datang dan kembalikan ilmun dan maknanya kepada

    penuturnya. [Zammut Takwil, m.s 11]. Ada antara Mufawwidah yang menyangka ini adalah dalil mazhab salaf adalah mufawwidah,

    Maha Suci Allah, lihat betul-betul kenyataan Ibn Qudamah ini, bukankah dia berkata: dan

    tiada tafsir dan takwil baginya yang menyalahi zahirnya, adapun jika tafwid, makamenurut mereka setiap lafaz nas sifat mempunyai tafsiran yang menyalahi zahirnya namun

    apakah makna yang menyalahi zahirnya itu hanya Allah yang mengetahuinya.

    Adapun maksud mengembalikan makna kepada Pengucapnya Taala, adalah makna yang sebenar

    yakni kaifiat sifat dan hakikat sebenar bentuk sifat itu, sama la seperti perkataan ulama salaf

    yang lain: Tanpa Kaif.

    Ketiga:

    Telah datang dalam ucapan para salaf berkenaan menafikan tafsir dalam nas-nas sifat, namun

    perlu kita fahami di sini, ketika munculnya ajaran Jahmiah, mereka menamakan takwilan jahat

    mereka terhadap nas-nas sifat sebagai tafsir sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Darimir.h dalam Radd beliau ke atas al-Murisi [Rujuk Naqdu al-Darimi ala al-Murisi al-Jahmi, juz 1].

    Demikian juga perkataan Imam Ahmad bin Hanbal r.h:

    Maksudnya: Berkata al-Asram: Aku berkata kepada Abu Abdullah (Imam Ahmad):

    Seorang periwayat hadis telah meriwayatkan dan aku berada di sisinya tentang

    hadis: Al-Rahman meletakkan padanya (Jahannam) tapak kakiNya, di situ juga

    ada seorang budak lalu berkata si budak itu: hadis ini ada tafsirnya. Makaberkata Abu Abdullah: Lihatlah perkataan budak ini sama seperti perkataan

    Jahmiah.[al-Uluww, 177, Ibtal al-Takwilat, Abu Yala, m.s 75].Demikian juga mereka maksudkan tafsir sebagai mentafsir kaifiat sebagaimana dalam perkataan

    Abu Ubaid yang telah sebutnya:

    Maksudnya: Aku mendengar Abu Ubaid menyebut bab yang diriwayatkan

    padanya hadis melihat Allah, al-Kursi adalah tempat meletak dua tapak kaki

    Allah, ketawa Tuhan kita, dan hadis Di mana Tuhan kita berada, maka beliau

    berkata: Hadis-hadis ini sahih dan dibawa oleh para Ashabul Hadis dan Fuqaha

    antara sesama mereka dan pada kami tiada keraguan padanya tetapi apabila

    ditanya bagaimana Dia meletakkan dua tapak kakiNya? Bagaimana Dia ketawa?

    Kami tidak akan menafsirkannya dan kami tidak pernah mendengar sesiapa pun

    menafsirkannya. [al-Uluww lil Aliyyil Ghaffar, m.s 173].Telah tetap juga daripada salaf mereka tidak ingkar akan tafsir yang sesuai dengan makna zahir

    seperti kata Sufian bin Uyainah r.h:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    24/34

    Maksudnya: Semua yang Allah sifatkan pada diriNya dalam al-Quran maka

    bacaannya adalah tafsirannya tanpa kaif dan misal.[al-Sifat, al-Daruqutni, m.s 55].Maka segala penafian tafsir yang datang dalam perkataan salaf adalah menafikan tafsiran yang

    batil seperti perkataan Muhammad bin al-Hasan, Sahib Abu Hanifah r.h:

    Maksudnya: Telah sepakat Fuqaha seluruhnya sama ada di timur mahupun barat

    untuk beriman dengan al-Quran dan al-Hadis yang datang daripada siqah

    daripada Rasulullah berkenaan sifat Tuhan Azza wa Jalla tanpa tafsir, tanpa

    menyifatkan, dan tanpa tasybih, maka sesiapa yang mentafsirkan sesuatu

    daripadanya maka telah terkeluar daripada jalan Nabi dan menyelisihi al-

    Jamaah kerana mereka tidak menyifatkan (memberi kaifiat) dan mentafsirkan

    tetapi beriman dengan apa yang ada dalam al-Kitab dan al-Sunnah kemudianmendiamkan diri maka sesiapa yang berkata seperti Jaham dia telah keluar dari

    Jamaah kerana dia menyifatkan Tuhan dengan bukan sesuatu (Adam/ Tidak

    wujud). [Zammut Takwil, m.s 14].Jelas sebenarnya perkataan beliau ini menafikan tafsiran Jaham yakni Jahmiah dan sifat yang

    Jahmiah sandarkan kepada Allah Taala yang membawa kepada Tuhan itu tidak wujud. Maka

    tafsiran yang dinafikan adalah tafsiran yang menyalahi zahirnya dan tafwid makna termasuk

    tafsiran yang menyalahi zahir kerana menurut kaedah tafwid hendaklah dialihkan makna zahir

    kepada makna marjuh yang tidak diketahui melainkan Allah Taala.

    Demikian lagi menafikan tafsir juga telah warid dalam perkataan salaf dalam masalah keimanan

    lain yang disepakati maklum maknanya seperti perkataan Ali al-Madini r.h:

    :

    :

    :

    :

    ::

    .

    Maksudnya: dan hadis-hadis yang datang: tiga perkara yang sesiapa ada

    padanya maka dia munafiq, telah datang hadis ini sebagai peringatan keras,

    kami meriwayatkannya seperti mana ia datang dan tidak mentafsirkannya

    seperti: Janganlah kamu kembali selepas kewafatanku menjadi kafir, saling

    berbunuhan, dan misal: Apabila bertemu dua muslim dengan pedang mereka

    maka yang membunuh dan yang dibunuh masuk ke neraka, dan seperi:

    Mencela muslim adalah fasiq, dan membunuhnya adalah kufur, dan seperti:

    Sesiapa berkata kepada saudaranya wahai kafir maka salah seorang mereka

    akan ditimpa dengan hukuman itu, dan seperti: Telah kufur pada Allah sesiapa

    yang menafikan nasab walaupun yang jauh, dan seumpama hadis-hadis yang

    kami sebutkan dan apa yang kami tidak sebutkan tetapi telah sahih dan dihafaz,

    maka diserahkan kepadanya walaupun tidak diketahui tafsirnya dan janganlah

    seseorang berbicara padanya dan berdebat dengannya dan janganlah bercakap

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    25/34

    dengan sesuatu yang tidak kami ketahui akannya (daripada tafsiran) dan kami

    tidak mentafsirkan hadis-hadis ini kecuali sebagaimana ia datang dan kami

    tidak menolaknya.[Syarah Usul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 1/313].Jelas maksud tafsir yang dinafikan adalah tafsiran yang menyeleweng seperti tafsiran Khawarij,

    Waiidiah, dan Muktazilah yang mengkafirkan kaum muslimin kerana semata-mata dosa besar,dan pada akhir perkataan beliau, beliau menetapkan tafsiran yang sahih. Maka demikianlah

    difahami perkataan salaf berkenaan penafian tafsir dalam masalah sifat bukanlah menafikan

    makna zahir tetapi menafikan takwilan yang fasid sama ada secara Tafwid atau Takwil.

    Selain itu, telah banyak dalil yang kami sebutkan Ulama salaf mentafsirkan makna Istiwa

    dengan Ala, Istaqarra, dan Irtafaa, demikian tafsiran al-Yadan (Dua tangan) kata Ibn Abbas r.a:

    Dua tangan adalah dua tangan, demikian juga al-Lalikaie menyatakan Ibn Abbas r.a ketika

    mentafsirkan makna:

    :Maksudnya dengan mata-mataKami.

    Beliau mengisyaratkan kepada matanya menunjukkan maksud mata adalah mata yang difahami

    bahasa. [Syarah Usul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 2/172].

    Keempat: Asar-asar salaf juga menyatakan kewajipan berdiam diri terhadap nas-nas sifat, namun apakah

    makna berdiam diri ini? Adakah berdiam diri maknanya mendiamkan dari memahami

    maknanya sehingga berlawanan dengan firman Allah Taala:

    Maksudnya: (Al-Quran ini) sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (dan

    umatmu Wahai Muhammad), -Kitab yang banyak faedah-faedah dan

    manfaatnya, untuk mereka memahami dengan teliti kandungan ayat-ayatNya,

    dan untuk orang-orang yang berakal sempurna beringat mengambil

    iktibar.[Sad: 29].Ayat ini menyuruh kita mentadabbur dan memahami makna-makna al-Quran sebagaimana yang

    kami sebutkan sebelum ini.

    Cuba kita perhatikan ucapan-ucapan Ulama Salafi dalam masalah ini dan memahaminya sesuai

    dengan kaedah-kaedah mereka sendiri:

    Ucapan Abu Ubaid r.h daripada Abbas al-Duri:

    :

    :

    :

    Maksudnya: Aku mendengar Abu Ubaid al-Qasim bin Salam disebut padanya

    hadis-hadis ini: Tuhan kita Azza wa Jalla ketawa dengan sikap putus asa

    hamba-hambaNya sedangkan perubahan nasib malangnya amathampir,dan

    kursi itu tempat Dua Tapak KakiNya,dan sesungguhnya Jahannam itu akan penuh dan Tuhan kamu akan meletakkan kakiNyapadanya, dan seumpama

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    26/34

    hadis-hadis ini? Maka jwab Abu Ubaid: Hadis-hadis ini di sisi kami benar

    diriwayatkan oleh kaum siqah antara mereka kecuali apabila ditanya kepada

    kami berkenaan tafsirnya maka kami katakan: Tiada seorang pun yang kami

    ketahui mentafsirkannya dan kami tidak akan mentafsirkannya kami

    membenarkannya dan kami mendiamkan diri.[Syarah Usul Itiqad Ahlis Sunnah walJamaah, 2/467].Kaum Mufawwidah yang menjadikan perkataan Abu Ubaid ini sebagai syubhat mereka amat

    malang di dunia dan akhirat kerana telah kami sebutkan perkataan Abu Ubaid ini sebagaimana

    yang diriwayatkan al-Zahabi r.h dengan sanad beliau sebagai berikut:

    Al-Abbas al-Duri r.h berkata:

    Maksudnya: Aku mendengar Abu Ubaid menyebut bab yang diriwayatkan

    padanya hadis melihat Allah, al-Kursi adalah tempat meletak dua tapak kaki

    Allah, ketawa Tuhan kita, dan hadis Di mana Tuhan kita berada, maka beliau

    berkata: Hadis-hadis ini sahih dan dibawa oleh para Ashabul Hadis dan Fuqaha

    antara sesama mereka dan pada kami tiada keraguan padanya tetapi apabila

    ditanya bagaimana Dia meletakkan dua tapak kakiNya? Bagaimana Dia ketawa?

    Kami tidak akan menafsirkannya dan kami tidak pernah mendengar sesiapa pun

    menafsirkannya. [al-Uluww lil Aliyyil Ghaffar, m.s 173].Jelas di sini adalah yang perlu kita diamkan adalah perbicaraan berkenaan kaifiat sifat bukan

    makna sifat. Oleh sebab ini al-Lalikaie r.h selepas mendatangkan riwayat Abu Ubaid ini beliau

    mendatangkan perkataan Imam Rabiah r.h:

    :

    Maksudnya: dan ditanya Rabiah bin Abu Abdul Rahman berkenaan firman Allah

    (maksudnya): Al-Rahman yang bersemayam (meninggi) di atas Arasy, maka

    jawab beliau:Istiwa itu maqul (difahami), dan kaifiatnya majhul (tidak

    diketahui).Kalimah tidak akan digunakan kecuali pada perkara yang difahami maknanya sahaja, danucapan ini adalah ucapan yang sama diungkapkan Imam Malik bin Anas r.h sebagaimana telah

    lalu sebutnya.

    Asyhab r.h meriwayatkan:

    ::.:

    .

    Maksudnya: Aku mendengar Malik bin Anas berkata: Hati-hatilah kamu daripada

    bidaah. Maka ditanya: Wahai Abu Abdullah, apakah bidaah (yang kamu

    maksudkan)? Jawab beliau: Ahli Bidaah iaitulah yang bercakap berkenaan

    nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dan kalamNya dan ilmuNya dan QudratNya

    dan tidak pula mendiamkan diri daripada apa yang para Sahabat dan Tabiin

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    27/34

    (yang mengikut Sahabat) dengan baik diamkan. [al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah,

    1/140].Sungguh geli hati dengan kaum Mufawwidah yang menjadikan perkataan Imam Malik ini

    sebagai dalil Tafwid kerana jelas yang diperintahkan supaya kita diamkan diri di sini adalah

    perkara yang tidak pernah dibicarakan para Ulama Salaf seperti kaifiat sifat dan hakikatperkara-perkara ghaib dan jangan membuat pendapat-pendapat baharu yang menyalahi mazhab

    Salaf.

    Imam al-Barbahari r.h menyatakan berkenaan masalah al-Qadar:

    Maksudnya: dan Tuhan Jalla Ismuh telah melarang para Nabi daripada berbahas

    mengenai al-Qadar dan Nabi s.a.w juga telah melarang berdebat berkenaanQadar dan membencinya juga para Sahabat Rasulullah s.a.w dan Tabiin,

    demikian juga para Ulama dan Ahli Wara membenci perbahasan berkenaan

    Qadar maka hendaklah kamu menyerah dan berikrar dan beriman serta

    berakidah sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w dalam

    keseluruhan perkara dan diamkan diri daripada selain itu.[Syarhus Sunnah, m.s

    36].Qadar maklum maknanya, takdir, qada dan qadar, namun hakikatnya, kaifiatnya adalah majhul

    dann janganlah kita mencari-cari bagaimana takdir kita kerana itu adalah rahsia Allah Taala,

    inilah yang dilarang para Ulama Salaf dan kita wajib mendiamkan diri dari membicarakan

    perkara ini. Demikian juga daripada mengadakan mazhab baharu yang menyalahi salaf seperti

    mengatakan perkara buruk itu diluar daripada takdir Allah Taala-Maha Suci Allah daripada

    bidaah ini-, maka perkara inilah yang diperintahkan supaya kita mendiamkan diri.

    Kelima: Syubhat yang paling utama dalam ucapan ulama salaf berkenaan Sifat Allah adalah kalimah

    Tafwid sendiri, sehingga mereka membawa perktaan-perkataan yang mengandungi tafwid ini

    dan diwar-warkan serta menafikan makna yang jelas daripada ucapan Ulama Salaf dalam

    menetapkan makna sifat.

    Kata Imam al-Barbahari r.h:

    Maksudnya: Semua yang kamu dengar daripada asar yang tidak sampai kepada

    akal kamu seperti perkataan Rasulullah s.a.w: Hati para hamba berada di antara

    dua jari daripada jari-jari Al-Rahman Azza wa Jalla, dan perkataan baginda:

    Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia dan turun pada hari Arafah dan turun

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    28/34

    pada hari miamat dan jahannam itu akan terus dihumban dalamnya isinya

    sehingga Allah meletakkan tapak kakiNya atasnya Jalla Sanauh, dan perkataan

    Allah kepada hambaNya: Jika kamu datang kepadaKu berjalan Aku datang

    kepadamu berlari-lari anak, dan sabda Nabi: Allah mencipta Adam dalam

    bentukNya dan kata Rasulullah s.a.w: Aku melihat Tuhanku dalam seelok-elokrupa, dan seumpamanya daripada hadis-hadis maka wajib atasmu menyerah

    (patuh) dan membenarkan dan tafwid dan reda dan janganlah kamu

    mentafsirkan sesuatu pun daripadanya dengan hawa nafsumu kerana beriman

    dengan semua ini adalah wajib sesiapa yang mentafsirkannya dengan hawa

    nafsunya dan menolaknya maka dia adalah Jahmi dan sesiapa yang menyangka

    bahawa dia melihat Tuhannya di dunia maka dia kafir dengan Allah Azza wa

    Jalla. [Syarhus Sunnah, m.s 31-32].Cuba perhatikan tempat yang digaris daripada perkataan Imam ini jelas menunjukkan makna

    yang perlu ditafwid adalah kaifiat sifat Allah Taala. Kenyataan ini perlu difahami dengan

    kenytaan Imam Rabiah dan Imam Malik kerana al-Barbahari menyatakan perkara yang tidak

    masuk di akal sedangkan makna Istiwa menurut Salaf Maqul demikianlah digunakan kepada

    semua sifat-sifat yang lain.

    Demikian juga perkataan Abu Ubaid yang telah lalu sebutnya bahawa yang tidak boleh ditafsir

    dan tidak difahami adalah kaifiat sifat bukan makna zahir sifat itu sendiri. Apabila perkataan

    yang mujmal ini dikembalikan kepada perkataan Salaf yang jelas maka dengan mudah difahami,

    adapaun kaum mufawwidah yang suka beriman dengan sebahagian dan kufur dengan

    sebahagian maka berlakulah kesesatan yang keji.

    Imam al-Barbahari r.h juga dalam kenyataan di atas bukan sekadar menyuruh kita tafwid

    bahkan hendaklah beriman dan membenarkan terlebih dahulu barulah ditafwid, di mana

    susunan perkataan beliau ini menimbulkan perasaan yang jelas bahawa yang ditafwid adalah

    kaifiat sifat bukan makna zahirnya.

    Perlu dijelaskan juga bahawa makna tafwid di sisi Salaf tidak sama dengan fahaman di sisi kaum

    Asyairah dan Mufawwidah Makna kerana munurut salaf tafwid adalah menyerahkan bulat-bulat

    makna kaifiat sesuatu sifat dan hakikat perkara ghaib kepada Allah Taala adapun di sisi Asyairah

    sebagaimana yang telah maklum adalah sejenis takwil yang bermaksud mengubah makna zahir

    kepada makna marjuh.

    Berkata Imam Ibn Qudamah r.h:

    Maksudnya: Maka lazimlah ketika ini orang-orang yang rasikh itu menyalahi

    kaum yang zaigh (yang condong mengikut mutasyabihat) dalam meninggalkan

    mengikut mutasyabihat dengan menyerahkan (tafwid) kepada Allah Taala

    melalui perkataan mereka: Kami beriman dengannya semuanya daripada

    Tuhan kami meninggalkan mencari takwilnya[Zammut Takwil, m.s 38].

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    29/34

    Perkataan Ibn Qudamah ini perlu difahami juga dengan penjelasan Salaf yang lebih jelas iaitu

    yang ditafwid adalah kaifiat sifat kerana telah kita jelaskan Ulama Salaf yang memilih untuk

    waqaf pada firman Allah:

    memahami makna mutasyabihat adalah hakikat dan

    kaifiat perkara ghaib bukan makna zahir perkara tersebut. Atas sangkaan baik bahawa Ibn

    Qudamah r.h adalah seorang Hanbali yang sangat memahami akidah Ahmad bin Hanbal danlainnya daripada Ulama Salaf, adalah wajar kita fahami maksud beliau berkenaan tafwid adalah

    tafwid kaifiat sifat.

    Ibn Qudamah r.h juga menjelaskan dalam menjawab syubhat bahawa salaf mengubah makna

    zahir Maiyyah (bersama) Allah dengan makhluk adalah bersama dengan ilmuNya:

    Maksudnya: telah sabit dengan Kitab Allah dan riwayat Mutawatir daripada

    Rasulullah dan Ijmak Salaf bahawa Allah Taala berada di langit di atas

    ArasyNya. [Zammut Takwil, m.s 45-46].Ibn Qudamah menyatakan maksud bersamanya Allah dengan makhlukNya difahami secara zahirsebagai bersama dengan ilmuNya bukan zatNya kerana telah sabit zat Allah berada di atas Arasy.

    Nah, adakah orang yang mufawwidah akan berkata begini? Sama sekali tidak, jadi tetaplah

    bahawa Ibn Qudamah mentafwid kaifiat bukan makna zahir.

    Adapun berkenaan perkataan beliau dalam Lumatul Itiqad:

    .

    :{

    }[:0]

    {

    }[:0]

    :{

    }.

    Maksudnya: dan semua yang datang dalam al-Quran atau sahih daripada al-

    Mustafa alaihissalam daripada sifat-sifat al-Rahman wajib beriman dengannya

    dan diterima serta meninggalkan bantahan ke atasnya daripada penolakan,

    takwil, tasybih, dan tamsil. Dan apa yang musykil daripada itu wajib diisbatkan

    lafaznya dan janganlah dibantah maknanya dan kita kembalikan ilmunya

    kepada Penuturnya dan letakkan ikatannya dengan penyampainya kerana

    mengikut jalan orang-orang yang rasikh dalam ilmu yang telah dipuji Allah

    dalam kitabNya yang jelas dengan firmanNya s.w.t (maksudnya): dan orang-

    orang yangb rasikh dalam ilmu berkata kami beriman dengannya semuanya

    datang daripada Tuhan kami[Ali Imran: 7]. Dan Dia berfirman mencela mereka

    yang mencari takwil dalam perkara mutasyabihat ( maksudnya): adapun

    mereka yang mempunyai kecenderungan dalam hati mereka maka mereka

    mengikuti mutasyabihat daripadanya mencari fitnah dan takwilnya sedangkan

    tiadalah yang mengetahui takwilnya kecuali Allah [Ali Imran: 7], maka Dia

    jadikan alamat penyelewengan itu mncari-cari takwil dan disertakan dengan

    mencari-cari fitnah sebagai celaan kemudian Dia menutup cita-cita mereka dan

    memutuskan ketamakan mereka dengan firmanNya (maksud): dan tiada yang

    tahu takwilnya melainkanAllah.[Lumatul Itiqad, Ibn Qudamah al-Maqdisi, m.s 2].

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    30/34

    Perbahasan beliau pada mulanya jelas menyatakan bahawa segala sifat yang sahih dalam al-

    Quran dan Hadis hendaklah diterima dan tidak ditolak sama ada secara takwil atau tasybih atau

    tamsil, jelas di sini beliau menetapkan makna zahir. Namun persoalan kedua di sini berkenaan

    nas-nas yang musykil, maka nas-nas yang berlakunya padanya isykal hendaklah ditetapkan

    lafaznya dan berdiam diri terhadap maknanya sehingga jelas perkara tersebut di sisi Ahli Ilmu.

    Secara realitinya tidak ada ayat atau lafaz yang musykil pada al-Quran dan al-Hadis tetapi

    berlaku pada pemahaman sebahagian orang sahaja seperti Saidina Umar bin al-Khattab r.a

    ketika membaca firman Allah Taala:

    Maksudnya: dan berbagai buah-buahan serta bermacam-macam rumput,[Abasa:

    31].Beliau berkata:

    .

    :

    Maksudnya: Kami telah tahu apakah itu Fakihah (buah-buahan) tetapi apakah

    makna al-Abb? Kata beliau lagi: Laumruka wahai Umar, ini adalah penyusahan

    diri. [al-Tabari, 24/229].Maksud al-Abb menjadi musykil kepada Umar r.a kerana istilah ini jarang digunakan arab

    namun tidak bermakna tiada siapa yang tahu langsung akan maknanya bahkan Ibn Abbas r.a

    selakau Turjuman al-Quran (Penterjemah al-Quran) berkata:

    :

    .

    Maksudnya: al-Abb adalah tumbuhan bumi yang dimakan oleh haiwan melatatetapi tidak dimakan oleh manusia (yakni rumputrampai).[al-Tabari, 24/230].Maka jelas di sini, makna yang ditafwid daripada sifat Allah Taala adalah kepada mereka yang

    tidak mengerti bahasa arab misalnya maka hendaklah dia menyerahkan kepada Ahli Tafsir Ahlis

    Sunnah wal Jamaah untuk menafsirkannya. Ini juga sesuai dengan perkataan Imam Ahmad bin

    Hanbal r.h:

    :

    Maksudnya: dan daripada sunnah yang mesti yang jika ditinggalkan salah satu

    daripadanya tidak dinamakan seseorang itu mukmin dan bukan ahli iman:

    beriman dengan al-Qadar baik dan buruknya dan membenarkan hadis-hadis

    yang datang berkenaannya dan beriman dengannya tanpa dikatakan kenapa

    dan bagaimana, sesungguhnya ia adalah membernarkan dan iman (percaya)

    dengannya, dan sesiapa yang tidak memahami tafsir hadis dan dia telah sampai

    kepada pengetahuannya berkenaan hadis itu maka cukuplah baginya dan aku

    jatuhkan padanya hukum (daripada Iman dan Islam) maka wajib atasnya

    beriman dan menyerah seperti hadis al-Sadiq al-Masduq (iaitulah hadis:

    Sesungguhnya Allah menghimpun kejadian seseorang kamu dalam perut ibunya

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    31/34

    selama 40 hari.) dan yang seumpamanya berkenaan takdir dan seperti hadis

    rukyah (melihat Allah) dan jika datang pada pendengaran tetapi menimbulkan

    kepelikan pada pendengarnya maka wajib juga atasnya iman dan jangan ditolak

    walaupun satu juzuk daripadanya , hadis-hadis yang masur daripada kaum

    siqah.[Syarah Usul Itiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, 1/311].

    Jelas daripada perkataan Imam Ahmad ini, bukanlah menafikan makna tetapi kepada mereka

    yang musykil tidak memahami makna kerana kekurangan ilmu dirinya sendiri maka hendaklah

    diserahkan kepada Allah Taala akan ilmu berkenaannya dan hendaklah dia merujuk kepada yang

    ahli.

    Maka Tafwid Makna bukan suatu kaedah untuk beriman dengan Naman-nama dan Sifat-sifat

    Allah Taala di sisi salaf kecuali kepada perseorangan tertentu berkaitan nas tertentu yang dia

    musykil kerana kelemahan ilmu yang ada pada dirinya untuk waktu tertentu sehingga dia

    belajar. Bahkan Tafwid makna di sini bukanlah seperti maksud Asyairah yang mengubah makna

    zahir kepada makna marjuh tetapi mendiamkan diri sama sekali sebagaimana tindakan saidinaUmar r.a berkenaan makna Abba. [Rujuk: Mazhab Ahli al-Tafwid, m.s 95].

    Dalil-dalil Sokongan:

    Setelah kami jelaskan dengan panjang lebar berkenaan dalil-dalil yang jelas dan kukuh insya-

    Allah bahawa akidah Tafwid Makna bukanlah akidah salaf yang sebenar bahkan ianya adalah

    akidah bidaah yang tidak berasal daripada al-Quran dan al-Sunnah, di sini kami akan datangkan

    beberapa dalil sokongan lagi menunjukkan yang mazhab Salaf benar-benar beriman dengan

    makna sifat sesuai dengan zahirnya tanpa tasybih dan takyif.

    Pertama: Tuduhan Jahmiah Ahli Sunnah wal Jamaah MusyabbihahTelah masyhur bahawa al-Jahmiah Laknatullahi alaihim- menuduh Ulama Salaf sebagai

    Musyabbihah, berkata Imam al-Barbahari r.h:

    Maksudnya: dan apabila kamu mendengar seseorang berkata (kepada Ahli

    Sunnah wal Jamaah): dia itu musyabbih atau dia itu berakidah tasybih maka

    ketahuilah dia itujahmi. [Syarhus Sunnah, m.s 52]Maka alamat seseorang itu Jahmiah menurut Ulama Salaf adalah menggelarkan Ahlis Sunnah

    wal Jamaah sebagai Jahmiah dan tuduhan Jahmiah ini walaupun tohmahan yang keji namun

    setiap keburukan itu disebaliknya ada kebaikan kepada Ahlis Sunnah wal Jamaah iaitulah

    menjadi bukti pula kepada kaum Mufawwidah yang menuduh Salaf sebagai mufawwidin bahawa

    mereka tidaklah sedemikian bahkan mereka menetapkan makna sifat sesuai dengan zahirnya.

    Masakan jika Salaf itu Mufawwidah tidak menetapkan makna kepada Sifat bahkan mengalihkan

    maknanya kepada makna lain yang tidak diketahui, mereka dituduh sebagai Musyabbihah?

    Hanya orang yang menetapkan makna sifat sahaja akan dituduh sebagai Musyabbihah oleh

    kaum Jahmiah walaupun sebenarnya Salaf itu tidak pernah sama sekali mentasybih sifat Allah

    dengan sifat makhluk.

    Ulama Salaf tegar dengan kaedah mereka:

  • 8/2/2019 Bhn Assngmt Ulum Quran

    32/34

    Maksudnya: Biarkan ia tanpa diberi kaifiat. [Tuhfatul Ahwazi, 3/267]Imam al-Mubarakfuri r.h berkata dalam mensyarahakan perkataan Salaf di atas:

    Maksudnya: dengan bentuk perintah berasal daripada al-Imrar yakni kekalkan ia

    atas zahirnya dan jangalah kamu mentakwil dan mentahrif (mengubah makna

    zahir) bahkan serahkan kaifiatnya kepada Allah s.w.t. [Ibid]Imam al-Tarmizi r.h berkata:

    Maksudnya: dan adapun al-Jahmiah mereka ingkar akan riwayat-riwayat ini(sifat-sifat Allah Taala) dan berkata: Ini Tasybi