berita inderaja 16

74
7/21/2019 Berita Inderaja 16 http://slidepdf.com/reader/full/berita-inderaja-16 1/74

Upload: jhon-mirrai-obotmen

Post on 05-Mar-2016

155 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

info remote sensing

TRANSCRIPT

  • .......................Dari Redaksi

  • 3BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    .......................Dari RedaksiSidang Pembaca Yang Terhormat,

    Penerbitan Majalah Berita Inderaja LAPAN merupakan media distribusi informasi perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Juli 2010, merupakan hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Jakarta dan kiriman sebuah judul makalah/ tulisan Peneliti dari Kantor LEMIGAS - JAKARtA. tulisan/ artikel adalah hasil pemanfaatan data satelit inderaja, diantaranya menggunakan data satelit LAPAN tUBSAt, Landsat5 dan Landsat7, SPOt4, ALOS, Palsar, MODIS, Qmorph dan SRtM. Diharapkan materi/ tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca.

    tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ketersediaan informasi potensi perkebunan kelapa sawit mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul : Informasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Suma-tera Selatan.

    Rubrik Pengolahan Data Inderaja menyajikan tulisan: Teknik Orthorekti-fikasi Multi Oblique Image Satellite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious Satellite Sensor Model; Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Studi Kasus: Wilayah Semarang dan Sekitar; dan Meningkatkan Kemampuan Citra un-tuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Li-putan Awan dan Kabut.

    Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah: Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hu-tan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001-2009 dan Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau.

    Penyebarluasan informasi produk data dan perkembangan teknologi satelit inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisannya adalah: Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat, dan La utan Chi-na Selatan dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia, Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS, dan Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009.

    Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan maaf, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.

    Hormat Kami,Redaksi

    Diterbitkan oleh:Bidang Penyajian Data,

    Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

    Pelindung:Kepala LAPAN, Deputi Bidang

    Penginderaan Jauh

    Penanggung Jawab:Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh

    Editor:Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D,

    Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo,Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi.

    Staf Redaksi:Ir. Yuliantini Erowati, M. Si,

    Yudho Dewanto St, Drs. Mohammad Natsir, M.t,

    Abdul Kholik, SH

    Staf Sekretariat:Arief Nurcahyo, Abdul Makmun,

    Bambang Haryanto, SE, Suhariyanti.

    Alamat Redaksi:Bidang Penyajian Data,

    Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710.

    Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870.Fax.: (021) 8717715

    Website: http://www.lapanrs.com.Email: [email protected].

    Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN.

    Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon diketik

    satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff).

    Frekuensi terbit: 2 kali setahun.

    3

  • 4 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Surat Pembaca.............................................

    Agar lebih sering/banyak memberikan bimbingan dan pelatihan di daerahdaerah khususnya Kabupaten/Kota agar bisa lebih optimal di dalam memanfaatkan penginderaan jauh untuk ILM.

    Agung NugrohoKa.Subbag Pengendalian Bagian

    PembangunanPerum Korpri Blok BI No. 16

    Jl. Jelarai Tanjung Selor, Bulungan, Provinsi Kalimantan Timur

    Terima kasih atas saran Bapak Agung Nugroho.

    Pada kesempatan ini kami sampaikan bahwa Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN hingga saat ini tetap giat melaksanakan kegiatan sosialisasi/promosi dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, seperti : menyelenggarakan kegiatan Pameran, Kunjungan Kerja ke daerah, Penelitian dan Bimbingan Teknis. Untuk informasi lebih lengkap dapat menghubungi Iklan Layanan Masyarakat (ILM) Bidang Penyajian Data pada Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN : Jl. LAPAN No. 70, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710, Telp. (021) 8710786; Fax. 8717715. Email : [email protected] ; Website : http://www.lapanrs.com

    _______________________________________

    Kami ucapkan terima kasih atas pengiriman majalah Berita Inderaja, dimana informasi penginderaan jauh sangat dibutuhkan dalam pengolahan data dan GIS yang telah kami miliki. Kami mengharapkan kedepan dapat terjalin kerjasama dalam pengolahan inderaja yang lebih teknis lagi. Akhir kata, kami mengharapkan informasi inderaja untuk meningkatkan pengetahuan.

    Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT.Kepala Sub. Bidang Penataan Ruang Bappeda

    Kota TanjungbalaiJl. Jend. Sudirman Km. 5.5, Kota Tanjungbalai.

    Bapak Muhammad Ikhwan Lubis, ST. MT, terima kasih atas apresiasinya. Majalah Berita Inderaja adalah media publikasi informasi pemanfaatan

    teknologi Penginderaan Jauh. Redaksi berharap penerbitan majalah ini dapat membantu dan mempermudah dalam penyelesaian tugas yang terkait dengan pengolahan data inderaja dan GIS di Kantor Bapak. Harapan kedepan dapat menjalin kerjasama dalam pengolahan data inderaja yang lebih teknis lagi, semoga terlaksana.

    _______________________________________

    Kapan Danau Maninjau untuk dibuatkan foto satelit Daerah Tangkapan Airnya dan citra 3 Dimensi ?

    Muhammad Abril.Ka.Subbag Pertambangan dan Energi

    Jl. Sudirman No. 1 Lubuk BasungProvinsi Sumatera Barat

    Terima kasih atas atensi Bapak Muhammad Abril. Sesuai dengan pertanyaan yang telah disampaikan, Radaksi majalah berusaha untuk menjawab dan memenuhi harapan pembacanya. Pada pener bitan majalah No.16 edisi Juli 2010 kali ini, ditampilkan tulisan/artikel dengan judul: Analisis Data Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau Dan Danau Maninjau. Mudahmudahan tulisan/artikel yang ditampilkan dapat menjawab dan bermanfaat.

    _______________________________________

    Sudah bagus dan kalau bisa terbit 2 kali setahun

    M. Murhi DayatJl. Arwana III Blok AA4/5

    Perum Taman Pagelaran CiomasBogor, Provinsi Jawa Barat

    Dalam kesempatan ini kami sekaligus menjawab beberapa pertanyaan/permohonan serupa yang di sampaikan ke meja redaksi. Majalah Berita Inderaja hingga saat ini penerbitannya 2 kali terbit dalam 1 Tahun dan merupakan media penyebarluasan informasi pemanfaatan teknologi dan aplikasi penginderaan jauh LAPAN. Terima kasih atas komentar Bapak M. Murhi Dayat.

  • 5BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    DARI REDAKSI 3SURAT PEMBACA 4

    PENGOLAHAN DATA INDERAJAl Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satellite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficient (RPC), dan Rigorious Satellite Sensor Model 13l Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10 Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging) Studi Kasus: Wilayah Semarang dan Sekitar 20l Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut 25

    APLIKASI INDERAJAl Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun 2001 - 2009 31l Analisis Data Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan Danau Ranau dan Danau Maninjau 37

    INFORMASI DATA INDERAJAl Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan China Selatan dan Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia 43l Program Satelit Lingkungan Berorbit Polar NPOESS 50l Analisis Curah Hujan di Indonesia Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Qmorph Tahun 2009 57

    BERItA INDERAJA Volume IX, No. 16, Juli 2010 ISSN 14124564

    DAFTAR ISI

    BERITA RINGANl Simposium GEOSS (Global on Earth Observations System of Systems) Asia Pasific Ke 4 di Hotel Sanur Paradise Plaza, Bali. 62l Kerjasama antara LAPAN dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 63

    PERISTIWA DALAM GAMBARl Kunjungan Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon Jakarta 64l Ditopad Selenggarakan Simposium dan Pameran Teknologi Survei dan Pemetaan 65l Seminar Nasional Manajemen Pulau-Pulau Terluar 66

    POSTERl Peta Citra Satelit LAPAN TUBSAT (Orthoimage) Bandara Husein Satranegara Bandung 71l PCS Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006 DTA Danau Ranau Provinsi Sumatera Selatan 72

    COVERDepan : PCS 3D Sumatera SelatanDepan Dalam : Citra Satelit Landsat-5 TM Tahun 2006. DTA Danau Maninjau Prov. Sumatera Barat.Belakang Dalam: Peta Digital Surface Model (DSM) 10 Wilayah Semarang dengan Polynomial Drift Order 2Belakang : Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Kalimantan

    Surat Pembaca.............................................

    TOPIK INDERAJAInformasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera SelatanHalaman 6

  • 6 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 20106

    TOPIK INDERAJA

    Inventarisasi, pemantauan, evaluasi, dan potensi lahan untuk perkebunan dapat dilakukan secara cepat dan tepat dengan menggunakan data penginderaan jauh. Inventarisasi, pemantauan sebaran perkebunan kelapa sawit berdasarkan interpretasi penutup lahan citra penginderaan jauh, sedangkan penentuan potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit didasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan evaluasi lahan untuk tanaman kelapa sawit. Berdasarkan hal tersebut LAPAN tahun 2009 telah mengadakan kerjasama dengan Direktorat Jendral Perkebunan, untuk menginventarisasi sebaran perkebunan kelapa sawit di beberapa provinsi.

    Tujuan penelitian untuk (1) melakukan inventarisasi perkebunan kelapa sawit dan menyajikannya dalam bentuk spasial, berdasarkan interpretasi penutup lahan citra penginderaan jauh SPOT di Provinsi Sumatera Selatan dengan skala 1 : 250.000. (2) Menentukan potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan. (3) Menghitung luas penutup lahan, sebaran perkebunan, dan potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, dari hasil kajian dari SPOT4 tahun 2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan

    Metode inventarisasi, evaluasi, penilaian potensi, dan perhitungan luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan, dengan suatu rancangan model sesuai dengan pokok permasalahan serta kondisi setempat. Analisis dengan pendekatan keruangan, didasarkan faktorfaktor yang mempengaruhi pola penyebaran perkebunan kelapa sawit, sehingga pola tersebut dapat dimodifikasi atau diubah, agar penyebarannya lebih efisien dan seimbang. Rancangan model seperti Gam-bar 1, yang dibagi dalam 9 (sembilan) tahapan, mulai dari (1) pengumpulan data meliputi data spasial dan ta

    bular daerah penelitian, (2) penyusunan dan manajemen basis data, (3) pembuatan peta tematik, (4) Klasifikasi/interpretasi penutup lahan/penggunaan lahan dari data penginderaan jauh satelit multi temporal, (5) perhitungan luas penutup/penggunaan lahan hasil interpretasi, (6) ekstraksi penutup lahan perkebunan (kelapa sawit dan non kelapa sawit) dari hasil interpretasi citra (7) perhitungan luas perkebunan kelapa sawit (8) analisis potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit, (9) pembuatan peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

    Penilaian potensi memerlukan data kondisi fisik wilayah penelitian. Kondisi topografi Provinsi Sumatera Selatan mulai dari pantai timur 0 m dpl hingga gununggunung (> 2000 m dpl) dibagian barat Kabupaten Empat Lawang dan Kabupaten Musi Rawas. Karakteristik fisik berupa proses volkanik, proses diatropisme yang menghasilkan struktur daratan, dataran tinggi, pegunungan, kubah, lipatan strata, dan patahan.

    Kondisi hidrologi berkaitan ketersediaan air permukaan dan air tanah. Air permukaan di Provinsi Sumatera Selatan diperoleh dari air sungai, cekungan alam seperti (rawa, danau, dan genangan yang terdapat di bantaran sungai. Ketersediaan air tergantung lokasi dan iklim. Provinsi Sumatera Selatan terdapat 12 daerah aliran sungai (DAS). Geologi Provinsi Sumatera Selatan ada 6 proses pembentukan struktur batuan, yaitu (1) endapan permukaan, (2) batuan endapan (sedimen), (3) batuan malihan (metamorfosis), (4) batuan gunung api (volkanik), (5) batuan intrusi, dan (6) batuan tektonit. Ma singmasing kondisi fisik tersebut digunakan untuk membuat evaluasi lahan, yang akan dibobot dalam penilaian potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit

    Citra penginderaan jauh yang digunakan mosaik ci

    Oleh: Florentina Sri Hardiyanti Purwadhi, Nanik Suryo Haryani, Sukentyas Estuti Siwi

    Informasi Spasial Sebaran dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit dari

    Data Penginderaan Jauh di Provinsi Sumatera Selatan

  • 7BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010 7

    TOPIK INDERAJA

    tra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, sedangkan survei lapangan dilakukan bulan November 2009. Informasi spasial yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa peta citra satelit (PCS) pada Gambar 2, dan PCS tiga demensi (3D) pada Gambar 3, peta penutup/penggunaan lahan, peta sebaran perkebunan, dan peta potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit, nasingmasing di Provinsi Sumatera Selatan skala 1: 250.000.

    Peta hasil klasifikasi penutup lahan Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 4) terdiri dari 13 (tigabelas) kelas, yaitu hutan, ladang/tegalan, lahan terbuka, mangrove, rawa, sawah, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, permukiman, semak belukar, tambak, dan tubuh air. Luas penutup/penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Selatan Ta-

    bel 1. dimana tegalan sebagai wilayah terluas di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu 2.723.798,92 Ha (31,3 %), disusul semak belukar 1.962.594,08 Ha (22,63 %), dan hutan 1.222.589,31 Ha (14,29 %), sedangkan penutup/penggunaan lahan lainnya masingmasing kurang dari 10 %.

    Sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan, diekstrak dari hasil interpretasi penutup lahan mosaik citra SPOT 2 dan SPOT 4 tahun 2008/ 2009, yang dibedakan menjadi tiga macam, (1) perkebunan kelapa sawit, (2) perkebunan kelapa sawit campuran, dan (3) perkebunan non kelapa sawit, sedangkan penggunaan lainnya tidak dikelaskan. Hasil sebaran perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan pada Gambar 5. Luas sebaran perkebunan Provinsi Sumatera Selatan pada Tabel 2. Luas sebaran perkebunan Provinsi Sumatera Selatan dari hasil

    Layer data spasial

    SPOt 2 & SPOt 4

    2008 / 2009

    Koreksi Radiometrik

    Mosaik

    Koreksi Geometrik

    Jenis tanah

    Geologi

    Iklim

    Bentuk Lahan

    tItIK KONtROL

    tANAH(GCP)

    DAtA SURVEI LAPANGAN

    Penutup Lahan Lahan

    InterpretasiSatuan Lahan

    DEM SRtMKelerengan

    Overlay

    RBI / Kontur

    Ekstraksi Perkebunan

    Overlay

    EVALUASI LAHAN

    Kriteria Persyaratan tubuh Kelapa Sawit

    transformasi WGS 84

    Peta Potensi Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit

    Peta Penutup Lahan

    Kesesuaian Lahan Untuk tanaman Kelapa Sawit

    Peta Sebaran Perkebunan

    Overlay

    S

    I

    G

    BASIS DAtA SPASIAL

    Gambar 1. Rancangan model pengolahan data dan perhitungan potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit.

  • 8 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 20108

    TOPIK INDERAJA

    Gambar 2. Peta citra satelit (PCS) SPOt 2 dan SPOt 4 tahun 2008/2009 Provinsi Sumatera Selatan.

    Gambar 3. PCS SPOt 2 dan SPOt 4 tahun 2008/2009 tiga demensi (3D) Provinsi Sumatera Selatan.

  • 9BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010 9

    TOPIK INDERAJA

    Gambar 4. Peta Penutup Lahan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009

    Gambar 5. Peta Sebaran Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2009

  • 10 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 201010

    TOPIK INDERAJA

    No. Penggunaan LahanLuas

    Hektar (Ha) Persen (%)1 Hutan 1.222.589,31 14,292 Ladang/tegalan 2.723.798,92 31,303 Lahan terbuka 80.914,40 0,924 Mangrove 180.817,15 2,155 Perkebunan Kelapa Sawit 763.010,18 8,756 Perkebunan Kelapa Sawit Campur 467.220,34 5,417 Perkebunan Non Kelapa Sawit 325.607,28 3,748 Permukiman 223.995,12 2,589 Rawa 109.466,08 1,26

    10 Sawah 467.558,23 5,3611 Semak Belukar 1.962.594,08 22,6312 tambak 50.943,53 0,5813 tubuh Air 87.191,32 1,03

    tOtAL 8.665.705,93 100

    No.Penggunaan Lahan

    Luas

    Hektar (Ha) Persentase (%)

    1 Perkebunan Kelapa Sawit 763.010,18 8,802 Perkebunan Kelapa Sawit Campur 467.220,33 5,403 Perkebunan Non Kelapa Sawit 325.607,28 3,754 Non Perkebunan 7.109.868,14 82,05

    TOTAL 8.665.705,93 8.665.705,93

    No Kelas PotensiLuas

    Hektars (Ha) Persen (%)1 Lahan berpotensi tinggi 181.692,07 2,12 Lahan berpotensi sedang 7.030.264,24 81,143 Lahan berpotensi rendah 322.025,66 3,74 Lahan tidak berpotensi 1.131.723,95 13,06

    tOtAL 8.665.705,93 100

    interpretasi citra SPOT2 dan SPOT 4 tahun 2008/2009, (1) perkebunan kelapa sawit 763.010,18 Ha (8,8%), (2) perkebunan kelapa sawit campur (dengan penutup tanaman kelapa sawit > 50 %) seluas 467.220,33 Ha (5,4 %), dan (3) perkebunan non kelapa sawit seluas 325.607,28 Ha (3,75 %). Catatan : untuk penutup lahan tanaman kelapa sawit contoh rona pada citra untuk tanaman kelapa sawit dan tanaman kelapa sawit campur sudah dicocokan dengan kondisi lapangan (Gambar 6)

    Penentuan lahan potensi lahan untuk tujuan penggunaan untuk perkebunan kelapa sawit, pada penelitian ini diarahkan melalui evaluasi kemampuan lahan dan kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit. Kesesuaian lahan

    Tabel 1. Luas penutup/penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan

    Tabel 2. Luas sebaran perkebunan diProvinsi Sumatera Selatan

    Tabel 3. Luas sebaran potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan

    yang berbasis pada penggunaan lahan berkelan jutan. Penggunaan lahan diusulkan tidak akan mengakibatkan degradasi lahan baik sebagai akibat erosi (salinisasi atau pemasaman tanah) atau lainnya

    Evaluasi dapat dilaksanakan secara kualitatif atau kuantitatif. Kemampuan lahan merupakan kapasitas lahan untuk tingkat penggunaan, sedangkan kesesuaian lahan merupakan penilaian relatif penyesuaian terhadap suatu penggunaan disini perkebunan kelapa sawit. Penilaian kemampuan lahan dari data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG), menggunakan sistem pembobotan dan perbandingan. Komponen lahan secara sistematik dikelompokkan dalam

  • 11BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010 11

    TOPIK INDERAJA

    kategori potensi, penghambat, bahaya penggunaannya. Kriteria kelas kemampuan lahan didasarkan pada ada atau tidaknya faktor pembatas, baik pembatas permanen atau pembatas sementara. Faktor pembatas adalah sifatsifat lahan yang dapat membatasi dalam penggunaan untuk tanaman kelapa sawit. Faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki (iklim dan kedalaman tanah), sedangkan faktor pembatas sementara (dapat diperbaiki selama pengelolaan) antara lain kandungan hara, keasaman, drainase. Penilaian karakteristik lahan didasarkan pengelompokan kualitas lahan, menurut CRS/FAO (1983), yaitu tergantung 7 (tujuh) kualitas, adalah (1) temperatur, (2) ketersediaan air, (3) kondisi perakaran, (4) resistensi hara, (5) ketersediaan hara, (6) taksositas, (7) kondisi medan (termasuk rentan terhadap bencana). Pengelompokan unsur pokok, kualitas lahan (status lahan tidak diperhitungkan dalam penelitian ini), dan karakteristik lahan digunakan untuk menilai potensi lahan terhadap penggunaan lahan tanaman/perkebunan kelapa sawit.

    Hasil analisis potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan, yang sebaran digambarkan berupa peta potensi lahan untuk perke bunan kelapa sawit (Gambar 7). Potensi lahan dibedakan dalam

    empat macam, yaitu berpotensi tinggi, berpotensi sedang, berpotensi rendah, dan tidak berpotensi. Luas sebaran potensi lahan untuk tanaman/perkebunan kelapa sawit pada Tabel 3. Kriteria setiap kelas potensi lahan untuk tanaman kelapa sawit, yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut. 1. Lahan berpotensi tinggi untuk tanaman kelapa sawit

    apabila lahan Sangat Sesuai seluas 181.692,07 Ha (2,1 %), terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, lahan terbuka, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, permukiman, berstatus sebagai areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK). Sesuai dengan UU tentang Kehutanan (UU No. 5/1974 dan UU No. 41/99) dan Peraturan Pemerintah No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan bahwa Hutan Produksi Konversi (HPK) adalah Hutan Produksi yang dapat dikonversi (kawasan hutan yang dicadangkan untuk pembangunan non kehutanan). Oleh karena itu lahan berpotensi tinggi tersebut yang boleh dimanfaatkan hanya yang terletak pada wilayah areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK), sedangkan pada hutan lindung (HL), suaka margasatwa (SM), swaka alam atau hutan wi

    Gambar 6. Foto titik Survei Lapangan tahun 2009 Provinsi Sumatera Selatan

  • 12 BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 201012

    TOPIK INDERAJA

    sata (HSAW), cagar alam (CA), dan taman nasional (TN) tidak diperbolehkan.

    2. Lahan berpotensi sedang untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan Sesuai seluas 7.030.264,24 Ha (81,14 %), yang terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, lahan terbuka, permukiman, sawah, dan hutan. Status sebagai areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan lindung (HL), dan taman nasional (TN). Lahan berpotensi sedang tersebut sebenarnya yang boleh dimanfaatkan hanya pada areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konversi (HPK).

    3. Lahan berpotensi rendah untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan Sesuai marginal seluas 322.025,66 Ha (3,7 %), yang terletak pada penutup lahan ladang, semak belukar, perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit campur, perkebunan non kelapa sawit, lahan terbuka, permukiman, sawah, dan hutan. Lahan tersebut berstatus areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan lindung (HL), dan taman nasional (TN). Lahan berpotensi rendah tersebut, yang boleh dimanfaatkan hanya pada areal penggunaan lain (APL), hutan produksi konversi (HPK).

    4. Lahan tidak berpotensi untuk tanaman kelapa sawit merupakan lahan yang Tidak Sesuai seluas 1.131.723,95 Ha (13,06), yang terletak pada penutup lahan ladang, mangrove, semak belukar, lahan terbuka, sawah, permukiman, rawa, tambak, dan hutan, berstatus sebagai areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), hutan lindung (HL), cagar alam (CA), suaka margasatwa (SM), taman nasional (TN). Lahan tidak berpotensi tersebut, memang tidak ada yang dimanfaatkan sebagai lahan/area perkebunan kelapa sawit.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan 1. Perlu perhatian/penanganan khusus, beberapa perke

    bunan kelapa sawit campur (KSC) yang terletak pada status lahan Suaka Margasatwa (SM) dan Hutan Lindung (HL), karena KSC sebagian besar usaha masyarakat.

    2. Lahan berpotensi tinggi sebagian masuk ke wilayah berstatus Cagar Alam, Hutan Lindung, dan Suaka Margasatwa, yang saat ini ada yang sudah dikonversi menjadi penggunaan non kehutanan agar dihutankan kembali, sedangkan yang saat ini belum berupa perkebunan kelapa sawit, perlu dijaga sehubungan potensinya, maka ada kemungkinan/kecenderungan penggunaan kearah/untuk perkebunan kelapa sawit atau penggunan lain non hutan.

    3. Informasi penutup lahan, sebaran perkebunan, dan potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala 1:250.000 bermanfaat untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan tingkat regional. Informasi yang lebih rinci skala 1 : 50.000 atau skala lebih besar diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam dan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota dan kecamatan diperlukan citra penginderaan jauh resolusi lebih tinggi.

    Gambar 7. Peta potensi lahan untuk perkebunan kelapa sawit tahun 2009, Provinsi Sumatera Selatan

  • 13

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Perkembangan Teknik Geodesi dan Geomatika sudah mencapai kemajuan signifikan pada bidang penginderaan jauh. Hal ini ditandai dengan bermunculannya berbagai jenis satelit, baik yang bersifat militer, sumber daya alam maupun yang bersifat lingkungan dan cuaca. Satelit sumber daya alam memiliki resolusi spasial dari 0,4 meter sampai puluhan meter (sekitar 60 meter). Satelit tersebut ada yang memiliki resolusi temporal tinggi dan ada juga yang rendah. Sensor bawaan yang digunakan dalam perekaman citra terdiri dari sensor aktif dan sensor pasif. Sensor aktif atau yang lebih dikenal dengan radar memiliki kelebihan bebas dari efek awan. Misal, satelit Alos (Palsar), TerraSAR, EnviSat. Sedangkan untuk sensor pasif memiliki kelebihan dalam multispektral, akan tetapi tidak bebas dari efek awan. Misal, Ikonos, Worldview1, GeoEye, QuickBird, SPOT, LAPAN TUBSAT, Landsat, ALOS (Prism dan AVNIR2), dan lainlain. Ilmu dan teknologi penginderaan jauh sebagai bagian dari Teknik Geomatika memegang peranan yang sangat penting dalam memecahkan persoalan data satelit, baik untuk pengolahan data, interpretasi citra maupun inventarisasi sumber daya al am. Penginderaan jauh dapat memanfaatkan data citra satelit untuk memperoleh data mengenai rupa bumi dengan cepat dan tepat serta mampu mencakup daerah yang relatif luas. Citra satelit yang digunakan untuk pemetaan topografi, batimetri, dan tematik, setiap citranya harus terletak seakurat mungkin di atas permukaan bumi (Julzarika, 2009).

    Data yang diperoleh dari satelit adalah berupa data digital. Data ini masih berupa data mentah (raw data), yang masih banyak mengandung kesalahan, baik kesa

    Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita* Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

    Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370Email: [email protected]

    Teknik Orthorektifikasi Multi Oblique Image Satelite dengan Metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficients (RPCs),

    dan Rigorious Satelite Sensor Model

    lahan acak maupun sistematik. Kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh pergerakan satelit (rotasi dan translasi), perekaman citra (skala, rotasi dan translasi), kesalahan atmosferik sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan geometrik dan kesalahan radiometrik. Rotasi yang dimaksudkan disini adalah terjadi pergerakan omega, phi, dan kappa pada satelit saat perekaman sehingga akan terjadi translasi berubah pergeseran koordinat pada arah sumbu X, Y, dan Z sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan skala. Hal ini sangat ditentukan oleh jenis transformasi dan model algorithm matematika yang terjadi pada saat perekaman. Kesalahan geometrik ini dapat diminimalisir dengan melakukan orthorektifikasi sehingga akan diperoleh orthoimage. Orthorektifikasi ini dapat dilakukan dengan metode Digital Mono Plotting (DMP), Ratio Polynomial Coefficients (RPCs), Rigorious Satellite Sensor Model, Parallel Projective, orthophoto, direct linear, Rational Polynomial Camera/3D Reconstruction (Forward RPCs, Error Propagation, Inverse RPCs, Straight Line Algorithm). Metodemetode ini menggunakan konsep pergeseran bayangan, Kolinear (rigorous satellite image orthorectification), perpotongan ke belakang, hitung perataan, resampling, proyeksi peta, sistem dan transformasi koordinat. Orthorektifikasi citra satelit memiliki konsep yang sama dengan orthofoto dengan foto udara menggunakan ilmu Fotogrametri (Soetaat, 1996).

    Pada penelitian ini digunakan beberapa data masukan untuk pembuatan orthoimage. Data tersebut meliputi SPOT2 (wilayah pulau Rimau), SPOT4 (wilayah pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya), Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah), Alos

  • 14

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen), Alos Avnir2 (Kabupaten Tana Tidung), LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara), Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen), serta Quick Bird (Wilayah Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM)). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah DMP, RPCs, dan Rigorious Satellite Sensor Model.

    Pergeseran bayangan merupakan ketidaktepatan posisi obyek pada citra yang disebabkan oleh perbedaan tinggi terhadap bidang referensi (Harintaka, 2003). Efek pergeseran bayangan obyek pada citra selalu menjauhi pusat proyeksi. Pada gambar (1), titik A di permukaan Bumi seharusnya mempunyai bayangan a pada bidang citra, tetapi karena titik A yang mempunyai elevasi h terhadap bidang datum maka bayangannya berada pada titik a. Pergeseran a ke a merupakan pergeseran bayangan yang selalu mempunyai sifat menjauhi pusat proyeksi o.

    Jika citra mempunyai kemiringan maka pergeseran ideal bayangan adalah sebesar d=(rr) yang dihitung dengan melibatkan besar kemiringan tilt. Menurut (Moffit and Mikhail, 1980), besar pergeseran bayangan d pada citra tegak dihitung dengan persamaan berikut ini.

    hHhrd

    = '

    Dimana:d=pergeseran bayanganr= tinggi obyek di permukaan bumi di atas datumH = tinggi pusat proyeksi di atas bidang datum.

    Ortofoto adalah foto yang menyajikan gambaran obyek pada posisi ortografik yang benar (Wolf, 1993). Beda utama antara ortofoto dan peta adalah bahwa orto

    Gambar 1. Pergeseran bayangan

    foto terbentuk oleh obyek sebenarnya, sedangkan peta menggunakan garis dan simbol yang digambarkan sesuai dengan skala untuk mencerminkan kenampakan. Ortofoto dapat digunakan sebagai peta untuk melakukan pengukuran langsung atas jarak, sudut, posisi, dan daerah tanpa melakukan koreksi bagi pergeseran letak gambar.

    Ortofoto dibuat dari foto perspektif melalui proses rektifikasi differensial, yang meniadakan pergeseran letak gambar yang disebabkan oleh posisi miring sensor pada saat perekaman dan variasi topografi. Pada foto miring, pergeseran letak gambar oleh relief tergantung pada tinggi terbang, jarak titik dari nadir, kelengkungan bumi, dan ketinggian (Frianzah, 2009). Dalam prosesnya, pergeseran letak oleh relief pada sembarang foto dan variasi skala dapat dieliminasi sehingga skala menjadi seragam pada seluruh foto. Orthoimage merupakan ortofoto yang dibuat dari beberapa sumber citra satelit seperti ALOS, ASTER, IKONOS, SPOT, Quickbird, dan lainlain. Orthoimage diperoleh dengan melakukan proses ortorektifikasi pada citra.

    Ortorektifikasi adalah proses pembuatan foto miring ke foto/image yang ekuivalen dengan foto tegak. Foto tegak ekuivalen yang dihasilkan disebut foto terektifikasi. Ortorektifikasi pada dasarnya merupakan proses manipulasi citra untuk mengurangi/menghilangkan berbagai distorsi yang disebabkan oleh kemiringan kamera/sensor dan pergeseran relief. Secara teoritik foto terektifikasi merupakan foto yang benarbenar tegak dan oleh karenanya bebas dari pergeseran letak oleh kemiringan, tetapi masih mengandung pergeseran karena relief topografi (relief displacement). Pada foto udara perge seran relief ini dihilangkan dengan rektifikasi differensial. (Frianzah, 2009).

    Model matematis yang digunakan pada ortorektifikasi adalah model matematis rigorous (persamaan kolinear), dan dalam prosesnya menggunakan input data DEM untuk mengkoreksi pergeseran relief akibat posisi miring sensor pada saat perekaman. Penyelesaian model matematis rigorous adalah dengan menghitung posisi dan orientasi sensor pada waktu perekaman image. Posisi dan orientasi sensor yang telah teridentifikasi, digunakan untuk menghitung distorsi yang terdapat pada image (Julzarika, 2007). Model matematis yang digunakan pada pembuatan orthoimage/photo adalah persamaan Kolinear (Soetaat, 1996).

    Persamaan kolinear menunjukkan bahwa titik obyek di permukaan tanah, bayangan di citra, dan pusat proyeksi terletak pada satu garis lurus atau kesegarisan (Wolf,

  • 15

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    1983). Gambar (2) menunjukkan titik B (di permukaan tanah), titik b (pada bidang citra), dan O (pusat proyeksi) terletak pada satu garis lurus.

    ))()()(())()()((

    ))()()(())()()((

    333231

    232221

    333231

    131211

    ziyixi

    ziyixii

    ziyixi

    ziyixii

    TZrTYrTXrTZrTYrTXr

    fY

    TZrTYrTXrTZrTYrTXr

    fX

    ++++

    =

    ++++

    =

    Persamaan Kolinear menurut (Mofitt and Mikhail, 1980).

    yxiii

    iii

    xziii

    iii

    TTZfrYrXrfrYrXrY

    TTZfrYrXrfrYrXrX

    +++++=

    +++=

    )()()(

    )()()(

    332313

    322211

    332313

    312111

    Dengan difinisi:Xi, Yi, Zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi nat petaXi, yi, zi = koordinat titik (i) pada sistem koordi nat citraf = panjang fokus sensor/kameraTx, Ty, Tz = koordinat titik pusat proyeksi sensor/ kamerar11, ...., r33 = elemen matriks rotasi atau f (, , )

    Perpotongan ke belakang (space resection) merupakan suatu metode penentuan posisi ke arah belakang dari titik yang diketahui koordinatnya (Harintaka, 2003). Pada citra satelit, metode ini digunakan untuk menentukan parameter orientasi (, , ) dan posisi pusat proyeksi (Tx, Ty, Tz). Perpotongan ke belakang memerlukan minimal tiga titik yang diketahui dari koordinat

    Gambar 2. Konsep persamaan Kolinear

    peta atau lapangan (titik A, B, C) dan koordinat citranya (titik a, b, c). Jika telah diketahui enam parameter dengan kondisi skala=1 serta posisi pusat proyeksi sensor/kamera pada saat perekaman maka setiap obyek pada citra dapat dihitung koordinat petanya. Dengan syarat harus diketahui tinggi obyek di permukaan tanah terhadap referensi.

    Penyajian data permukaan bumi dalam bentuk fungsi permukaan pendekatan, misal dengan fungsi interpolasi polinomial, memberikan keuntungan dari segi efisiensi media penyimpanan. Persamaan polinomial yang dapat digunakan untuk memodelkan permukaan bumi berbentuk polinomial orde satu atau dua (Li, Zhu, and Gold, 2005). Interpolasi polinomial orde satu baik untuk daerah datar sedangkan untuk permukaan bergelombang sebaiknya menggunakan polinomial orde dua atau tiga. Berikut ini persamaan polinomial orde satu dan dua.

    Z(X, Y)=b0+b1X+b2YZ(X, Y)=b0+b1X+b2Y+b3XY+b4X

    2+b5Y2

    Dengan:Z(X, Y) = nilai titik tinggi (1D)b0, ...., b5 =koefisien polinomialX, Y = koordinat horizontal (2D)

    Data masukan berupa sejumlah titik kontrol tanah (TKT) sudah diketahui koordinatnya (X2, Y2, Z2). Nilai titik tinggi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan linear orde dua. Selanjutnya melakukan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter yang digunakan untuk menghitung nilai parameter (b0, b1, b2, b3, b4). Jumlah parameter tergantung pada jenis model matematika yang digunakan. Selanjutnya dilakukan hitung perataan dengan metode single model bundle yang digunakan untuk menghitung parameter luar (exterior orientation). Setelah parameter luar diketahui, maka dibentuk matrik R dengan persamaan berikut ini (Soetaat, 1996).

    )(4/11)(4/11

    )2/1()2/1()2/1()2/1()2/1()2/1(

    )2/1()2/1()2/1(1

    222

    222

    2

    2

    2

    cbacba

    aabcacbabcbbca

    acbbcacR

    ++=+++=

    +++++++++

    =

    Proses selanjutnya adalah memilih pada salah satu titik di sistem koordinat tanah yang sudah diketahui koordinat 3D nya. Misal I (X2

    i, Y2i, Z2

    i), titik I dilakukan pendekatan dengan Z2

    0 dimana Z20 bisa diambil dari titik

    kontrol terdekat. Proses selanjutnya adalah menghitung

  • 16

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    nilai X2i dan Y2

    i dengan persamaan berikut ini.

    000

    233123113

    32122111

    000

    233123113

    311211112

    )()()(

    )()()(

    YZZfrYrXrfrYrXrY

    XZZfrYrXrfrYrXrX

    ii

    i

    +++++=

    +++=

    Setelah diperoleh nilai X2i dan Y2

    i maka proses selanjutnya adalah menghitung nilai Z2

    1. persamaan yang digunakan adalah Z2

    1=b0+b1X2i+b2Y2

    i+b3X2i2+b4Y2

    i2

    Hasil hitungan Z21 digunakan sebagai Z2

    0. Proses selanjutnya dilakukan iterasi sesuai dengan proses yang dilakukan sebelumnya. Iterasi baru berhenti jika perbedaan X2

    i, Y2i, dan Z2

    i dengan hitungan sebelumnya kecil atau mendekati nol.

    Model fungsional RPCs merupakan perbandingan dua polinomial kubik koordinat tanah, dan menyediakan fungsional antara koordinat tanah (, , h) dan koordinat citra (L, S) (Frianzah, 2009). Pemisahan fungsi rasional disediakan untuk pemetaan koordinat tanah ke koordinat citra (line/baris dan sample/kolom) secara berurutan. Untuk memperbaiki ketelitian secara numerik, koordinat citra dan tanah dinormalisasikan ke range menggunakan offsets dan faktor skala tertentu. (Grodecki, Dial, and Lutes, 2004)

    Keterangan: : lintang : bujurh : tinggi di atas ellipsoidL, S : koordinat baris kolom0, 0, h0, L0, S0, s, s, hs, Ls, Ss : offsets dan fak

    tor skala pada lintang, bujur, tinggi, kolom, dan baris.Koordinat tanah diselesaikan secara iterasi. Pada

    setiap langkah iterasi, aplikasi dasar hitung perataan ku adrat terkecil menghasilkan perkiraan untuk koordinat tanah pendekatan yaitu (Grodecki, Dial, dan Lutes, 2004).

    Metode ini merupakan konsep orthorektifikasi sederhana karena hanya memerlukan metadata dari raw data citra satelit yang digunakan. Metadata tersebut berisi informasi parameter dalam (interior orientation) berupa nilai omega, phi, kappa, dan titik kontrol seba nyak lima yaitu pada empat titik pojok dan satu titik tengah citra satelit. Akurasi dan presisi yang dihasilkan masih

    belum baik karena masih berupa orientasi relatif dimana koordinat ke lima titik kontrol tersebut didasarkan pada informasi saat perekaman citra satelit. Persamaan yang digunakan pada metode ini adalah Kolinear. Sedangkan jenis transformasi koordinat menggunakan transformasi Sebangun dengan resampling Nearest Neighbour.

    Metode orthorektifikasi ini memungkinkan untuk menambah titik kontrol tanah untuk meningkatkan akurasi dan presisi orthoimage. Hal yang perlu diperhatikan adalah dalam pembentukan jaring kontrol geodetik dari titik kontrol yang dimiliki. Metode ini memiliki kemiripan dengan DMP yaitu dalam pembacaan metadata, tapi berbeda dalam persamaan arah sumbu Z, yaitu menggunakan konsep pemotongan ke belakang dengan persamaan polynomial (DMP) dan konsep jaring kontrol geodetik arah sumbu X, Y, dan Z (Rigorious satellite sensor model). Metode ini juga memiliki kesamaan dengan RPCs yaitu dalam penggunaan konsep jaring kontrol geodetik, tetapi memiliki perbedaan dalam pembacaan metadata (Rigorious satellite sensor model) dan tanpa menggunakan metadata (RPCs) (Julzarika, 2009).

    Penelitian ini menggunakan beberapa multi oblique image satellite, yaitu SPOT2 (wilayah pulau Rimau), SPOT4 (wilayah pulau Bali), SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya), Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah), Alos Prism (Wilayah Cilacap), Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen), Alos Avnir2 (Kabupaten Tana Tidung), LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara), Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen), serta Quick Bird (Wilayah Kampus UGM).

    1. SPOT2 (Wilayah Pulau Rimau)Citra ini memiliki incidence angle 21,6 derajat. Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. Metode ini dipilih karena data memiliki metadata lengkap yang diperoleh dari satelit sehingga parameter orientasi dalam sudah diketahui. TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 934+ standar deviasi meter. Pergeseran ini ditunjukkan pada Gambar (3). Pada gambar tersebut terlihat pergeseran pada salah satu titik antara SPOT nonorthoimage terhadap SPOT orthoimage. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar Orthoimage dan survei lapangan.

    2. SPOT4 (wilayah pulau Bali)Citra ini memiliki incidence angle 27,9 derajat. Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 693,33 + standar devia

  • 17

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    diperoleh metadata sebagai salah satu parameter orientasi dalam dan ditambah dengan beberapa TKT yang diketahui di lapangan. TKT yang digunakan ada sebanyak delapan. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 16,92+ standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap data hasil survei lapangan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    4. Landsat7 (Wilayah Sumatera Barat bagian tengah)Citra ini memiliki incidence angle 8,09 derajat . Metode yang digunakan adalah rigorious satellite sensor model. TKT yang digunakan ada sebanyak lima. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 21,48+ standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar Orthoimage, Google Earth, dan data lapangan.

    5. Alos Prism backward dan forward (Wilayah Cilacap)Citra ini memiliki incidence angle +23,8 (arah x) dan 0,86 (arah y). Metode yang digunakan adalah RPCs. Metode ini digunakan karena data tidak memiliki metadata lengkap dari satelit sebagai parameter orientasi dalam dan hanya memiliki TKT dengan akurasi tinggi dan presisi seksama di lapangan. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 2,058 + standar deviasi meter (backward) dan 2,07 +

    Gambar 4. SPOt4 orthoimage terhadap ALOS Palsar orthoimage dan GE

    Gambar 3. Pergeseran titik antara SPOt2 nonorthoimage dengan SPOt2 orthoimage

    Gambar 5. SPOt5 orthoimage terhadap peta jalan

    Gambar 6. Landsat7 orthoimage terhadap GE (kiri) dan ALOS Palsar orthoimage (kanan)

    Gambar 8. Raw image ALOS Prism Forward (kiri) dan orthoimage ALOS Prism Forward (kanan)

    Gambar 7. Raw image ALOS Prism Backward (kiri) dan orthoimage ALOS Prism Backward (kanan)

    si meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap ALOS Palsar Orthoimage dan Google Earth (GE). Google Earth merupakan orthoimage dengan proyeksi plate carre.

    3. SPOT5 (wilayah Semarang dan sekitarnya)Citra ini memiliki incidence angle 6,3526 derajat. Metode yang digunakan adalah DMP. Metode ini dipakai karena terdapat informasi metadata lengkap dari satelit serta memiliki Digital Terrain Model (DTM) lapangan serta juga dimiliki TKT akurasi tinggi dan presisi seksama. Kerangka dasar acuan orthoimage berupa lima titik kontrol (empat titik sudut dan satu titik pusat citra) yang

  • 18

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    9. Ikonos (Wilayah Solo dan Sragen). Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada sebanyak 14. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 33,18 + standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    10. Quick Bird (Wilayah Kampus UGM)Incidence angle yang dimiliki citra ini tidak diketahui sehingga metode orthorektifikasi yang dapat digunakan adalah RPCs dan DMP. TKT yang digunakan ada sebanyak 20. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 4+ standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    Tabel 1 berikut merupakan hasil penelitian pembuatan orthoimage dengan metode DMP, RPCs dan Rigorious satellite sensor model.

    Teknik orthorektifikasi tersebut bisa diaplikasikan untuk berbagai citra satelit. Beberapa citra satelit yang sudah dilakukan pembuatan orthoimage adalah

    standar deviasi meter (forward). Uji lapangan dilakukan terhadap data dan survei lapangan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    6. Alos Prism wide scene (Wilayah Kebumen)Citra ini tidak memiliki informasi incidence angle. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 5,6 km + standar deviasi meter. Pergeseran tersebut ditunjukan pada Gambar (9). Uji ketelitian dilakukan terhadap data lapangan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    7. Alos Avnir2 (Kabupaten Tana Tidung)Citra ini memiliki tidak memiliki informasi incidence angle. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 110 + standar deviasi meter. Uji lapangan dilakukan dengan dengan GPS Geodetik, Sipat Datar, Total Station, dan Theodolit.

    8. LAPAN TUBSAT (Bandara Hussein Sastranegara)Citra ini memiliki incidence angle 3070 derajat. Data LAPAN TUBSAT berupa video sehingga teknik pengolahannya dilakukan secara videogrammetri. Metode yang digunakan adalah RPCs. TKT yang digunakan ada sebanyak tujuh. Orthoimage mengalami pergeseran sekitar 17,22 + standar deviasi meter. Uji ketelitian dilakukan terhadap Google Earth.

    Gambar 10. ALOS AVNIR2 orthoimage

    Gambar 11. LAPAN tUBSAt orthoimage terhadap GE

    Gambar 9. Pergeseran ALOS Prism wide scene nonorthoimage terhadap ALOS Prism wide scene orthoimage

    Gambar 12. Ikonos orthoimage terhadap peta jaringan jalan

  • 19

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    No Citra Satelit Wilayah penelitianMetode Orthoimage TKT Akurasi Horizontal

    1. SPOt2 Pulau Rimaurigorious satellite sensor model

    5 934+ standar deviasi meter

    2. SPOt4 Pulau Balirigorious satellite sensor model

    5693,33 + standar deviasi meter

    3. SPOt5 Semarang DMP 8 16,92+ standar deviasi meter

    4. Landsat7Sumatera Barat bagian tengah

    rigorious satellite sensor model

    5 21,48+ standar deviasi meter

    5. ALOS Prism (Backward) Cilacap RPCs 7 2,058 + standar deviasi meter

    ALOS Prism (Forward) Cilacap RPCs 72,07 + standar deviasi meter (forward)

    6. ALOS Prism (Wide Scene) Kebumen RPCs 75,6 km + standar deviasi meter

    7. ALOS AVNIR2 tana tidung RPCs 7 110 + standar deviasi meter

    8. LAPAN tUBSAtBandara Hussein Sastranegara

    RPCs 717,22 + standar deviasi meter

    9. IKONOS SoloSragen RPCs, DMP 14 33,18 + standar deviasi meter10. QuickBird Kampus UGM RPCs, DMP 20 4+ standar deviasi meter

    Tabel 1. Hasil penelitian pembuatan orthoimage dengan metode DMP, RPCs, dan Rigorious satellite sensor model.

    Gambar 13. Quick Bird orthoimage terhadappeta jaringan jalan

    SPOT2, SPOT4, SPOT5, Landsat7, ALOS Prism (Backward), ALOS Prism (Forward), ALOS Prism (Wide Scene), ALOS AVNIR2, LAPAN TUBSAT, IKONOS, dan QuickBird. Rigorious satellite sensor model jika citra satelit tersebut masih berupa raw data dengan meta

    data lengkap atau diketahui parameter dalam (interior orientation) citra satelit tersebut. Metode DMP digunakan jika mempunyai Digital Terrain Model (DTM)) lapangan dan TKT dengan akurasi tinggi dan presisi seksama sehingga bisa memperbaiki kualitas orthoimage dari Rigorious satellite sensor model. Metode RPCs digunakan jika tidak diketahui parameter dalam (interior orientation) pada raw data yang akan diorthorektifikasi atau metadata tidak lengkap. Pengujian akurasi dan presisi digunakan teknik hitung perataan dari data survei lapangan maupun peta vektor dan citra satelit orthoimage lainnya.

    Pembuatan orthoimage memerlukan DTM dengan akurasi tinggi dan presisi seksama. Pada metode rigorious satellite sensor model hanya memerlukan lima titik kontrol (empat titik sudut dan satu titik tengah) yang diperoleh dari metadata. Metode DMP memerlukan minimal delapan titik kontrol (lima titik kontrol dari metadata dan tiga TKT dari lapangan). Metode RPCs memerlukan minimal tujuh titik kontrol yang diperoleh dari TKT lapangan. Penyebaran TKT untuk pembuatan orthoimage ini disesuaikan dengan konsep jaring kontrol geodetik.

  • 20

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Survei dan Pemetaan merupakan bidang ilmu kebumian yang mengkaji berbagai aspek pemetaan di darat, air, dan udara. Salah satu hasil dari survei dan pemetaan adalah peta, baik yang berisi informasi 1D, 2D, 3D, 4D maupun yang sampai 12D. Pada tulisan ini lebih fokus pada informasi 3D dimana informasi 3D ini dapat berupa DSM, Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM), Digital Geoid Model (DGM) dan model 3D lainnya. Informasi 3D ini bisa didapatkan dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung ini melalui survei dan pemetaan, dilakukan langsung di lapangan, baik dengan pengukuran terrestrial maupun non terrestrial, menggunakan alat ukur geodetik seperti theodolit, sipat datar, total station, laser scanner. Sedang pengukuran tidak langsung bisa dengan pemetaan dengan fotogrammetri, videogrammetri, radargrammetri, dan penginderaan jauh, dilakukan dengan wahana tertentu, menggunakan foto udara, video udara, lidar, mobile web mapping, maupun citra satelit. Pada kajian ini, pemodelan 3D berupa DSM menggunakan data Shuttle Radar Topographic Mission 90 (SRTM90). Data ini diperoleh menggunakan wahana satelit dengan karakteristik tertentu seperti memiliki sensor aktif, resolusi spasial 90+standar deviasi meter, akurasi vertikal 58 meter.

    Permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pemetaan dengan citra satelit adalah model 3D dalam resolusi spasial yang kurang bagus. Resolusi spasial 90 m hanya sesuai dengan pemetaan model 3D skala menengah (sekitar 1:50.000), sedangkan saat ini sudah tersedia citra satelit dengan resolusi tinggi, akan tetapi data model 3D yang tersedia juga minim dan harga yang sangat mahal. Permasalahan lainnya adalah dalam koreksi geometrik citra satelit, terutama dalam pembuatan orthoimage akan diperlukan model 3D dengan akurasi dan presisi tinggi

    Oleh: Atriyon dan Mahdi Kartasasmita* Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

    Jl. Lapan No. 70 Pekayon, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 1370Email: [email protected]

    Teknik Penurunan Digital Surface Model (DSM) SRTM90 menjadi DSM SRTM10

    Menggunakan Interpolasi Kriging (CoKriging)

    pula. SRTM90 merupakan data model 3D yang tersedia secara gratis sehingga memungkinkan untuk melakukan peningkatan akurasi dan presisi dari data yang tersedia. Interpolasi matematika dalam survei pemetaan merupakan salah satu solusi untuk peningkatan akurasi dan presisi. Ada beberapa interpolasi matematika yang dikenal pada survei pemetaan, diantaranya Inverse distance to a power, Kriging, Minimum curvature, Modified Shepards method, Natural Neighbor, Nearest Neighbor, Polynomial Regression, Radial Basis Function, Triangulation with Linear Interpolation, Moving Average, Data Metrics, Local Polynomial, Nearest point, Trend Surface, Anisotropic Kriging, Universal Kriging, CoKriging, Simple Kriging, Ordinary Kriging, IRFkKriging, Indicator Kriging, Multiple indicator Kriging, Disjunctive Kriging, Lognormal Kriging, Spline, Newton, Langrange, dan lainlain.

    Pada penelitian ini akan menggunakan interpolasi Kriging jenis CoKriging untuk menurunkan DSM SRTM90 menjadi DSM SRTM10. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akurasi dan presisi DSM yang dihasilkan serta bisa meningkatkan kualitas geometrik sewaktu diturunkan lagi menjadi DEM, DTM, dan DGM sehingga bisa mendukung pembuatan orthoimage untuk citra satelit resolusi tinggi. SRTM10 yang dimaksudkan disini adalah model 3D yang memiliki resolusi spasial 10+standar deviasi meter.

    Pemodelan 3D SRTM10 tersebut memerlukan interpolasi Kriging karena saat ini Kriging merupakan metode terbaik dalam melakukan interpolasi secara geostatistik (Julzarika, 2009). Metode Kriging memerlukan suatu jaring kontrol geodetik. Pada pemodelan permukaan digital, diperlukan bagaimana suatu jaring kontrol geodetik dapat menghasilkan grid data secara matematis (Julzarika, 2007). Grid data dibentuk berdasarkan rangkaian koordinat raster (baris, kolom) akibat terjadi transfor

  • 21

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 1. DSM SRtM90

    masi koordinat (Soetaat, 1996). Transformasi koordinat yang dimaksud adalah perubahan format tampilan peta dari koordinat kartesian (x, y, z, t) pada jaring kontrol geodetik menjadi koordinat raster pada grid data (Arsana dan Julzarika, 2006). Secara matematis, metode Kriging dapat menghasilkan nilai akurasi tinggi dan presisi seksama (Li, Zhu, and Gold, 2005).

    Metode Kriging adalah metode interpolasi yang berbasis geostatistik (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Metode ini diturunkan dari teori variabel pembatas (regional variable) yang mengasumsikan bahwa variasi data geografi dapat disebut sebagai variabel pembatas. Kriging menurunkan pembobotan untuk interpolasinya dari semivariogram. Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Julzarika dan Sudarsono, 2009). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Moffit and Mikhail, 1980).

    Penghitungan dan penggambaran semivariogram adalah inti dari interpolasi metode Kriging. Semivariogram menentukan tingkatan hubungan spasial (spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah, atau tingkat hubungan dari data spasial yang merupakan variabel pembatas tersebut (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Semivariogram ini mengatur proses pembobotan interpolasi metode Kriging, dan juga mengatur kualitas hasil dari interpolasi. Sebelum melakukan interpolasi dengan metode Kriging maka harus ditentukan terlebih dahulu bentuk semivariogram.

    Semivariogram yang merupakan tingkat hubungan spasial tersebut sebenarnya adalah suatu gambaran dari semivarian yang mempu nyai interval antar data yang tidak sama untuk suatu pengambilan data dalam suatu kelompok data (Widjajanti dan Sutanta, 2006). Jika terdapat suatu kelompok data dengan jumlah n, dan interval antar data yang sama atau , maka dengan persamaan semivarian dapat dinyatakan hubungan antar suatu pasangan data keI dan data keh, yang dinotasikan dengan .

    nXX hii

    hni

    h 2)( 2

    =g

    Pada persamaan tesebut, Xi adalah data kei dan Xih adalah data pengukuran yang lain dengan interval h. Jika interval antar titik data tidak sama atau h mempunyai nilai yang berbeda, kemudian hasil dari per

    hitungan semivarian tersebut digambarkan menjadi sebuah bentuk semivariogram.

    Secara matematis, metode CoKriging merupakan interpolasi titik, membutuhkan peta titik sebagai data masukan dan menghasilkan peta raster dengan estimasi dan peta kesalahan/error. CoKriging adalah multivariate variant dengan operasi dasar Kriging. CoKriging menghitung perkiraan atau prediksi dengan sampel minimumdengan bantuan variabel yang lebih baik (covariable). Variabel harus dengan korelasi tinggi (positif atau negatif). CoKriging baik untuk mendapatkan hasil yang presisi. CoKriging menggunakan semivariograms kovarian dengan memperhitungkan bobot S w i = 1 and S h j = 0 dan metode Kriging (Ilwis, 2009). Nilai variogram dengan model semivariogram g A , g B dan model silang variogram untuk observasi predictand Ai dan n observasi dari covariable Bj sesuai dengan persamaan CoKriging.

    s2 = S wi gA(hi) + S hj g AB(hj) + m1

    Setiap pengukuran mempunyai kesalahan ukuran, baik kesalahan acak maupun kesalahan tidak acak (Arsana dan Julzarika, 2006). Pemerataan titik kontrol dalam jaring kontrol geodetik mempengaruhi akurasi dan presisi data (Julzarika, 2007).

    Hasil dan pembahasanPenelitian ini menggunakan DSM SRTM90 sebagai

    data masukan. Data ini memiliki resolusi spasial sekitar

  • 22

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 2. DSM SRtM30 (DLR)

    90 m. Wilayah kajian adalah Semarang dan sekitarnya. Gambar (1) merupakan tampilan DSM SRTM90 wilayah Semarang dan sekitarnya.

    Semarang memiliki topografi beragam sehingga pada kajian ini wilayah tersebut dibagi atas dua yaitu Semarang bawah (dekat dengan laut sepanjang pantai KendalSemarangDemak) dan Semarang atas (sekitar Banyumanik sampai Ungaran). Pada wilayah Semarang bawah, kondisi pantai terlihat memiliki akurasi dan presisi kurang baik dimana terlihat ukuran piksel (resolusi spasial 90 m) sehingga batas antara darat dan laut tidak jelas, hanya berupa rangkaian kotak. Sedangkan di Semarang atas terlihat pola DSM yang sangat jelas tidak beragam, yaitu pola pemukiman dan semak serta belukar yang ada di wilayah tersebut. Kondisi ini tidak mencerminkan kondisi model 3D elevasi maupun terrain sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh perekaman DSM SRTM90 menggunakan C band sehingga yang dianggap permukaan adalah bagian teratas dari objek di permukaan Bumi seperti tajuk pojok, atap bangunan.

    Kemudian wilayah yang sama dibandingkan dengan DSM SRTM30 dari DLR. DSM ini memiliki resolusi spasial 30+standar deviasi meter, ada pada gambar (2). Pada wilayah Semarang bawah, ukuran piksel sudah menjadi kecil dan kondisi di sekitar pantai sudah lebih detail dibandingkan dengan DSM SRTM90. Kemudian dilihat pada daerah yang sama di Semarang atas, kondisi model 3D juga sudah jauh lebih baik dibanding DSM SRTM90 walaupun masih belum mencerminkan kondisi elevasi dan terrain sebenarnya. Perekaman DSM SRTM90

    menggunakan X band sehingga yang direkam bukan lagi bagian paling atas objek permukaan Bumi, tetapi lebih pada sekitar tengah objek. Akurasi dan presisi DSM SRTM30 lebih baik dari pada DSM SRTM90.

    Kemudian dengan interpolasi Kriging dibuat model semivariogram dengan kriteria model semivariogram diantaranya tipe komponen menggunakan model Spherical, sudut Anisotropy 0, panjang Anisotropy 1, rasio Anisotropy 1, dan skala variogram. Gambar (3) merupakan model SRTM10 dengan menggunakan Polynomial drift order 0. Pada wilayah Semarang bawah sudah terlihat batas jelas antara darat dengan laut sehingga pemetaan di wilayah pesisir juga lebih jelas. Sedangkan untuk kedetilan di sekitar Semarang bawah juga lebih meningkat dari DSM SRTM30. Hasil pemetaan standar deviasi terhadap DSM SRTM10 juga berkisar antara 0,11,0 meter sehingga kondisi ini juga membantu untuk peningkatan model elevasi dan terrain ke kondisi sebenarnya. Setidaknya terjadi penurunan sebesar 0,11,0 m pada permukaan objek di permukaan Bumi. Kebanyakan pada wilayah Semarang bawah terjadi penurunan pada objek bangunan dan taman kota. Pada wilayah Semarang atas juga mengalami peningkatan akurasi dan presisi dibandingkan DSM SRTM30. Kondisi yang sama seperti di wilayah Semarang bawah, standar deviasi berkisar antara 0,11,0 meter sehingga juga menyebakan terjadinya penurunan objek sebesar 0,11,0 meter. Penurunan tersebut terjadi pada objek semak, belukar, dan pemukiman. Interpolasi Kriging dengan Polynomial drift order 0 ini memiliki kekurangan dalam tingkat kedetilan objek,

    tetapi sudah bisa meningkatkan akurasi dan presisi DSM sehingga akan berdampak juga pada akurasi dan presisi jika DSM tersebut diturunkan ke DEM, DTM, maupun DGM.

    Selain menggunakan Polynomial drift order 0, juga dilakukan penurunan menjadi DSM SRTM10 dengan Polynomial drift order 1. Kondisi ini jauh lebih meningkatkan akurasi dan presisi dibandingkan dengan order 0. Pada wilayah Semarang bawah terlihat dengan baik batas darat dan laut serta memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik. Nilai standar deviasi yang diperoleh sekitar 0,113,4 meter. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan objek sebesar 0,113,4 meter. Pada wilayah Semarang bawah terjadi penurunan pada bangunan dan pohon sebesar 0,113,4 meter sedangkan pada wilayah Semarang atas terjadi penurunan

  • 23

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 3. DSM SRtM10 (Polynomial drift order 0)

    Gambar 4. DSM SRtM10 (Polynomial drift order 1)

    objek pada bangunan, semak, belukar, dan objek lainnya. Nilai standar deviasi ini akan meyebabkan akurasi dan presisi lebih baik dalam penurunan DSM ke DEM, DTM, maupun DGM. Gambar (4) merupakan tampilan DSM SRTM10 dengan Polynomial drift order 1.

    Terakhir dilakukan penurunan SRTM90 menjadi DSM SRTM10 dengan interpolasi Kriging menggunakan Polynomial drift order 2. Hasil yang diperoleh adalah penetapan batas antara darat dan laut yang jauh lebih akurat serta tingkat presisi yang lebih seksama. Selain

    itu tingkat kedetilan objek juga jauh lebih baik dibandingkan dengan order 0 maupun order 1. Nilai standar deviasi yang diperoleh berkisar 014 meter. Pada wilayah Semarang bawah, terjadi penurunan pada objek bangunan, semak, belukar sedangkan objek laut dan tanah terbuka tidak mengalami penurunan. Demikian pula dengan wilayah Semarang atas, yang terjadi penurunan pada objek bangunan, semak, dan belukar dan objek tanah terbuka tidak mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan DSM SRTM10 ini lebih mendekati elevasi dan terrain sebenarnya. Hal ini juga dibuktikan dengan DTM hasil pengukuran lapangan dimana perbedaan selisih terkecil terjadi pada DSM SRTM10 Polynomial drift order 2. Gambar (5) merupakan tampilan DSM

    SRTM10 Polynomial drift order 2.Selanjutnya dilihat perbedaan DSM SRTM90 ter

    hadap masingmasing model 3D SRTM10. Dari hasil tersebut perbedaan yang terjadi adalah 014 m untuk order 2, 0,113,5 m untuk order 1, 0,11 m untuk order 0, dan 88 meter untuk SRTM30. Pembedaan laut dan darat yang lebih jelas terjadi pada order 2, demikian juga dengan tingkat kedetilan juga terjadi pada order 2. Gambar (6) merupakan tampilan perbedaan masingmasing model 3D terhadap DSM SRTM90.

    Dari hasil tersebut diatas, terbukti bahwa DSM SRTM10 Polynomial drift order 2 memiliki akurasi lebih

    tinggi dan presisi lebih seksama dibandingkan model 3D lainnya. Hal ini disebabkan oleh kedekatan model 3D terhadap kondisi elevasi dan terrain sebenarnya setelah dibandingkan dengan DTM Lapangan. Selain itu juga bisa membedakan antara laut dengan darat dengan lebih teliti dan tingkat kedetilan yang jauh lebih baik. Interpolasi Kriging merupakan salah satu metode geostatistik yang bisa digunakan untuk peningkatan akurasi dan presisi model 3D dalam mendukung pemetaan skala besar dan dalam pembuatan orthoimage.

  • 24

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 5. DSM SRtM10 (Polynomial drift order 2)

    Gambar 6. Perbedaan masingmasing model 3D terhadap DSM SRtM90

  • 25

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Oleh: Tri Muji Susantoro*, Muhammad Dzulhanif Harahap*** Staf Kelompok Penginderaan Jauh, KPRT Eksplorasi, PPPTMGB LMIGAS, ** Staf Bappeda Prov. D. I. Yogyakarta

    Email: [email protected], [email protected]

    Meningkatkan Kemampuan Citra untuk Ekstraksi Informasi Penutup Lahan

    Melalui Minimalisasi Pengaruh Liputan Awan dan Kabut

    Permasalahan tutupan awan di Indonesia merupakan hal klasik yang menyebabkan penggunaan data penginderaan jauh sistem optis menjadi terbatas. Banyak perekaman data penginderaan jauh sistem optis di Indonesia yang tidak bisa digunakan dengan baik karena tutupan awan yang cukup tinggi. Pada pemetaan penggunaan lahan ataupun pemetaan kondisi fisik lainnya permasalahan tutupan awan menjadi hal yang sangat serius. Kondisi awan yang tebal dan meluas menyebabkan gelombang elektromagnetik tidak sampai ke obyek/permukaan bumi tetapi langsung dipantulkan oleh awan tersebut, sehingga pada citra optis yang terekam hanyalah awan yang berwarna keputihan. Disamping itu bayangan awan pun menjadi permasalahan yang ada bersamaan dengan awan itu sendiri. Permasalahan ini sebenarnya sudah dapat diatasi dengan adanya citra radar yang mempunyai kemampuan menembus awan (L band). Hanya saja citra radar mempunyai keterbatasan untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan pada citra radar obyek yang terekam merupakan pencerminan dari kondisi kekasaran permukaan, bukan tutupan lahan secara langsung. Walaupun pada perkembangannya dengan menggunakan radar multipolarisasi dan multiwaktu pemetaan penggunaan lahan dapat terbantu. Salah satu pemecahan masalah untuk mengatasi kondisi awan di Indonesia khususnya adalah dengan teknik fusi antara data radar dan data citra optis.

    Artikel ini membahas fusi antara citra Palsar (radar) dengan citra optis (Landsat 7ETM+) dan aplikasinya untuk pemetaan penggunaan lahan. Selain teknik fusi dilakukan juga pengolahan data dengan dasar transformasi tasseled cap (haze reduction) yang dilakukan untuk mengurangi haze. Dengan transformasi ini komponen

    yang terkait dengan haze dikurangi atau dihilangkan. Aplikasi teknik tersebut dilakukan pada di Selatan Kota Samarinda dan sebagian Delta Mahakam.

    Penggunaan citra satelit radar dimaksudkan untuk mendapatkan data yang bebas dari pengaruh liputan awan karena panjang gelombang yang digunakan mampu menembus liptuan awan disamping mempunyai keunggulan lain. Interpretasi penggunaan lahan pada Palsar secara mandiri sebagai data band tunggal relatif sulit menjadi pertimbangan lain dalam studi ini. Penggunaan Landsat 7ETM+ dikarenakan data tersebut merupakan data yang paling banyak digunakan di Indonesia untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini akan memudahkan dalam pengenalan obyek dan karakteristik citra tersebut. Artikel ini menjelaskan proses peningkatan kualitas citra, fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ dan reduksi pengaruh kabut (haze) untuk pemetaan penutup lahan. Diharapkan nantinya dapat dikembangkan untuk berbagai aplikasi lainnya.

    Lokasi studi terletak di sebelah Selatan Kota Samarinda, antara 117 22 50 BT sampai dengan 116 43 23 BT dan 0 31 57 LS sampai dengan 1 4 37 LS (Gambar 1). Pada lokasi studi terdapat daerah migas, terutama di SangaSanga. Pada daerah ini juga terdapat sungai besar yang di muaranya membentuk delta yang sangat luas, yaitu Sungai Mahakam.

    Data landsat 7ETM+ yang digunakan berada di Path/Row 116/61 dengan waktu perekaman tanggal 13 Januari 2002. Palsar yang digunakan merupakan data band tunggal dengan polarisasi HH dan direkam dengan incident angle 38.833 serta tanggal perekaman 16 Febuari 2009. Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan menggunakan software Erdas Imagine sedangkan untuk visuali

  • 26

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 1. Lokasi Studi

    sasi dalam sistem informasi geografis menggunakan Mapinfo (pada lokasi pengamatan tidak terjadi perubahan signifikan terhadap penutup lahan antara Januari 2002 dan Februari 2009). Pengolahan data penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengolahan data yang berbasis raster. Pada tahap awal dilakukan pengolahan data untuk penajaman radiometrik dan koreksi geometrik. Penajaman radiometrik ini menggunakan teknik haze reduction yang berguna untuk meningkatkan kualitas citra secara radiometrik. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengurangi error terhadap posisi geografis yang sebenarnya dan memudahkan dalam proses fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+. Proses reduksi haze dilaku

    kan untuk menghilangkan haze yang ada pada citra Landsat karena pengaruh atmosfer. Keuntungan proses ini adalah dapat menghasilkan produk citra yang lebih baik/tajam sehingga lebih mudah digunakan untuk interpretasi secara visual (Gambar 2).

    Reduksi haze yang merupakan bagian dari koreksi radiometrik mampu meningkatkan kualitas citra dalam hal ketajaman obyek dengan baik. Obyekobyek yang mempunyai luasan kecil, seperti sumur migas lebih dapat diidentifikasi dari citra tersebut. Menggunakan citra hasil reduksi Haze maka obyekobyek yang bersifat linear seperti jalan lebih mudah diinterpretasi, demikian pula dengan penggunaan lahan dapat lebih terbedakan dengan baik.

    Proses fusi antara landsat 7ETM+ dan Palsar menggunakan metode Brovey Transform, Principal Component dan Multiplicative. Fusi tersebut dilakukan

    Gambar 2. Perbedaaan Hasil Kenampakan Citra Landsat 7EtM+ yang Dilakukan Proses Reduksi Haze

    untuk memperoleh data yang lebih baik secara visual dan diharapkan mampu mengeliminir awan, sehingga data citra hasil fusi tersebut menjadi bebas awan. Hasil fusi tersebut mempunyai kelebihan, yaitu; citra yang dihasilkan lebih baik untuk interpretasi penggunaan lahan/tutupan lahan, morfologi lebih jelas, citra yang dihasilkan mencerminkan sifatsifat Landsat 7ETM+ dan Palsar, kondisi obyek yang sifatnya linier lebih jelas dan tegas. Gambar 3 berikut merupakan sampel citra Landsat7ETM+, Palsar dan citra hasil fusi antara keduanya.

    Hasil fusi antara Palsar dan Landsat 7ETM+ mempunyai keuntungan dan kekurangan yang berbedabeda

    DAtA LANDSAt 7EtM+ HAZE REDUCtION 3 X 3 HAZE REDUCtION 5 X 5

  • 27

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 3. Perbedaaan Kenampakan Citra Landsat 7EtM+, Palsar dan Hasil Fusi antara keduanya pada daerah yang berawan

    a. Landsat 7EtM+ tahun 2002 b. Palsar

    c. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+dengan Brovey transform

    d. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+dengan Principal Component

    e. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+dengan Multiplicative

    antara ketiga metode tersebut. Perbedaannya adalah sebagai berikut:

    Citra Hasil Fusi dengan Metode Brovey TransformCitra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara

    kteristik citra sebagai berikut: Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam, Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha

    sil fusi dengan metode principal component, Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah

    dan mulai diganti dengan citra Palsar, Pada daerah yang berawan tebal citra yang dihasilkan

    diganti dengan palsar, Citra Palsar jelas tercermin pada citra hasil fusi ini hal

    ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra Landsat asli,

    Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di daerah yang berawan,

    Kenampakan Obyek di laut sangat tegas.

    Citra Hasil Fusi dengan Principal ComponentCitra hasil fusi dengan metode ini mempunyai karak

    teristik citra sebagai berikut: Citra yang dihasilkan lebih tegas dalam membedakan

    antara vegetasi dan nonvegetasi, Kenampakan obyek liniar seperti jalan lebih tegas dan

    tajam, Pada daerah yang berawan tipis kenampakan berubah

    ke arah gelap, tetapi obyek dibawahnya masih dapat diidentifikasi,

    Pada daerah yang berawan tebal kenampakan berubah seperti kenampakan air sehingga obyek dibawahnya menjadi tidak terlihat,

    Morfologi kurang tajam dan tegas, Citra Palsar kurang dapat terjerminkan pada citra ini, Kenampakan batas pantai pada daerah yang berawan

    tidak jelas, Kenampakan obyek di laut tidak jelas.

  • 28

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 4.Perbedaaan Kenampakan Obyek tambang Batubara pada Citra Landsat 7EtM+, Palsar dan Hasil Fusi antara keduanya.

    a. Palsar b. Landsat 7EtM+ tahun 2002

    c. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan Principal

    Component

    d. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan

    Multiplicative

    e. Citra Hasil Fusi Palsar & Landsat 7EtM+ dengan

    Brovey transform

    Citra Hasil Fusi dengan MultiplicativeCitra hasil fusi dengan metode ini mempunyai kara

    kteristik citra sebagai berikut: Morfologi menjadi sangat tegas dan tajam, Obyek obyek liniar seperti jalan tidak setegas citra ha

    sil fusi dengan metode principal component, Pada daerah yang berawan tipis kenampakan awan nya

    masih terlihat dan menyatu seperti obyek tu tupan lahan,

    Pada daerah yang berawan tebal kenampakan terlihat jelas,

    Citra Palsar masih tercermin pada citra hasil fusi ini hal ini terlihat jelas dari perbedaan tutupan lahan dari citra Landsat asli,

    Kenampakan batas pantai sangat tegas walaupun di daerah yang berawan,

    Kenampakan Obyek di laut tegas.

    Gambar 4. berikut adalah contoh perbedaan kenampakan obyek tutupan lahan (Tambang Batubara) antara citra Landsat 7ETM+ dan citra hasil fusi.

    Berdasarkan hasil pengolahan data yang berupa reduksi haze dan fusi landsat 7ETM+ dan Palsar dilakukan interpretasi penggunaan lahan secara manual. Pada daerah yang berawan di Landsat 7ETM+ citra hasil fusi dengan Palsar mempunyai kenampakan sedikit berbeda. Dimana rona/warna citra tidak seperti rona/warna pada citra optik umumnya, sehingga site tekstur dan asosiasi lebih dominan digunakan sebagai dasar interpretasi. Disamping itu pengetahuan mengenai daerah studi juga menjadi bagian penting dalam proses interpretasi. Adapun hasil interpretasi yang diperoleh dengan menggunakan citracitra tersebut adalah seperti Gambar 5. sedangkan luasan tutupan lahan hasil interpretasi dapat dilihat pada Tabel 1.

  • 29

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 5. Peta tutupan Lahan Hasil Interpretasi Citra.

    Tabel 1. Luas tutupan lahan daerah Selatan Kota Samarinda dan sekitarnya.

    NO TUTUPAN LAHAN LUAS (Km2)1 Fasilitas olahraga/Stadion 0.972 Hutan 1,979.663 Hutan Rawa 18.704 Industri 0.075 Kebun 542.046 Lahan terbuka 34.127 Lapangan Migas 1.768 Mangrove 195.709 Perkebunan 244.06

    10 Permukiman 140.6911 Rawa 3.5412 Sawah 6.5913 Semak 70.4614 tambak 66.0515 tambang Batubara 46.5816 tubuh Air 616.11

    Grand Total 3,967.08

    Tutupan lahan yang diperoleh berdasarkan interpretasi terdapat 16 jenis kategori. Khusus untuk Fasilitas Olahraga/ Stadion di Selatan Kota Samarinda terlihat jelas pada Citra hasil fusi antara Landsat 7ETM+ & Palsar. Padahal pada Landsat 7ETM+ daerah tersebut masih berupa kebun dan belum terbangun stadion tersebut.

    Pemanfaatan data Palsar untuk fusi dengan Landsat 7ETM+ atau citra optik lainnya yang mempunyai tutupan awan yang tinggi dapat menjadi alternatif yang baik untuk pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan pada citra hasil fusi tersebut tutupan awan dapat berkurang dan digantikan dengan Palsar tersebut. Metode fusi yang relatif baik untuk menggabungkan antara Palsar & Landsat 7ETM+ adalah metode Brovey Transform. Pada citra ini tampak adanya ketegasan yang baik dalam morfologi, jalan sungai dan garis pantai.

    Citra hasil fusi antara Palsar & Landsat 7ETM+ dapat digunakan secara efektif untuk pemetaan penggunaan lahan. Disini diperlukan kejelian dalam memahami obyek obyek pada citra hasil fusi tersebut, karena kenampakan obyek sedikit berbeda dengan citra Landsat

  • 30

    PENGOLAHAN DATA INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 8. Hasil Fusi dengan metoda Principal Component.

    Gambar 6. Hasil Fusi dengan metoda Brovey transform.

    Gambar 7. Hasil Fusi dengan metoda Multiplicative.

    7ETM+ murni. Efek morfologi pada citra hasil fusi ini lebih tegas dan kuat. Keuntungan lainnya adalah pada citra hasil fusi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kapal yang berada dipermukaan laut seperti citra Radar secara umum. Pengolahan reduksi haze baik juga dilakukan untuk mempertegas kenampakan obyek, terutama mempertegas batas obyek. Walaupun reduksi haze ini sebenarnya merupakan bagian dari koreksi atmosferik.

  • 31

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Oleh: Suwarsono*, Fajar Yulianto*, Parwati*, dan Totok Suprapto***Staf Peneliti Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN, ** Kepala Bidang PSDAL, Pusbangja LAPAN

    Analisis Persebaran Titik Panas (Hotspot) Indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kalimantan Sepanjang Tahun

    2001 - 2009

    Hampir sudah dapat dipastikan bahwa di wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan akan terjadi peningkatan intensitas kebakaran hutan dan lahan pada musimmusim kemarau, yang terjadi pada bulanbulan sekitar April hingga Oktober. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO (lebih sering disingkat dengan El Nino), seperti yang terjadi pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009.

    Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997 dinyatakan oleh Asian Development Bank (ADB) sebagai kebakaran hutan dan lahan yang paling parah dengan luas total areal yang terbakar adalah 9,75 juta ha yang tersebar di Sumatera 1,7 juta ha, Kalimantan 6,5 juta ha, Jawa 0,1 juta ha, Sulawesi 0,4 juta ha, dan Papua 1 juta ha. Berdasarkan data tersebut tampak bahwa wilayah Kalimantan mempunyai luasan areal terbakar yang paling besar. Berdasarkan data dari Badan Nasi onal Penanggulangan Bencana (BNPB), luas areal hutan yang terbakar dari tahun 2004 hingga 2008 untuk seluruh wilayah Indonesia berturutturut adalah 3.344 ha, 5.502 ha, 32.199 ha, 7.078 ha dan 7.245 ha.

    Sudah lebih dari satu dekade Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) secara konsisten melakukan pemantauan titik panas (hotspot) sebagai indikasi kebakaran hutan dan lahan menggunakan data satelit penginderaan jauh di wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan kebakaran hutan dan lahan telah memberikan andil yang nyata terutama sejak pertengahan tahun 90an seiring dengan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan paling parah dalam sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada musim kemarau tahun 1997 tersebut di atas. Beroperasinya satelit Terra pada tahun 1999 dan Aqua pada tahun

    2002 yang membawa sensor MODIS (Moderate Imaging Resolution Spectroradiometer) telah meningkatkan kualitas hasil pemantauan hotspot disamping pemanfaatan data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

    Pada tulisan ini akan diuraikan kondisi hotspot, baik jumlah maupun sebarannya untuk wilayah Kalimantan sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2009 menggunakan data MODIS. Selain itu juga menyajikan hasil analisis kepadatan hotspot dari kurun waktu tersebut untuk identifikasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

    Sebaran hotspot di Kalimantan tahun 2001-2009Selama kurun waktu tahun 2001 hingga 2009 di Kali

    mantan dijumpai sebanyak 77.274 titik panas (Gambar 110). Jumlah hotspot tahunan dari 2001 hingga 2009 yaitu tahun 2001 (1.315 hotspot), tahun 2002 (12.219 hotspot), tahun 2003 (5.869 hotspot), tahun 2004 (10.973 hotspot), tahun 2005 (3.121 hotspot), tahun 2006 (16.495 hotspot), tahun 2007 (1.912 hotspot), tahun 2008 (1.919 hotspot) dan tahun 2009 (23.551 hotspot). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa hotspot mengalami peningkatan pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009. Kondisi demikian dapat dipahami karena pada tahuntahun tersebut bersamaan dengan terjadinya fenomena El Nino.

    Berdasarkan data jumlah hotspot bulanan di Kalimantan selama kurun waktu 2001 2009 dapat diketahui bahwa hotspot mengalami peningkatan selama bulan Agustus hingga Oktober dengan puncak hotspot terjadi pada bulan September (Gambar 11). Berdasarkan data tersebut maka perlu diwaspadai terhadap peningkatan intensitas kebakaran hutan dan lahan pada bulanbulan tersebut, terutama sekali apabila diprediksi pada bulanbulan tersebut akan terjadi fenomena El Nino.

  • 32

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 2.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2002 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 1.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2001 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 3.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2003 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 4.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2004 di

    wilayah Kalimantan

  • 33

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Gambar 5.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2005 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 6.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2006 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 7.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2007 di

    wilayah Kalimantan

    Gambar 8.Jumlah hotspot bulanan sepanjang tahun 2008 di

    wilayah Kalimantan

  • 34

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Sebaran hotspot di tiap-tiap provinsi dan kabupatenSebaran hotspot paling banyak terdapat di Provinsi

    Kalimantan Tengah, yaitu sebanyak 40.412 hotspot (52,2% dari jumlah total di Kalimantan). Sedangkan provinsi lainnya berturutturut yaitu ; Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 21.090 hotspot (27,3%), Kalimantan Timur sebanyak 8.261 hotspot (10,7%), dan Kalimantan Selatan sebanyak 7.611 hotspot (9,8%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

    Gambar 9.Jumlah hotspot bulanan

    sepanjang tahun 2009 di wilayah Kalimantan

    Gambar 10.Jumlah hotspot sepanjang

    tahun 20012009 di wilayah Kalimantan

    Tabel 1. Jumlah hotspot tahun 20012009per provinsi di Kalimantan

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)

    1 Kalimantan tengah 40.412 52.2

    2 Kalimantan Barat 21.090 27.3

    3 Kalimantan timur 8.261 10.7

    4 Kalimantan Selatan 7.611 9.8

    Total 77.374 100.0

    Di Provinsi Kalimantan Tengah hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Pulangpisau, yaitu sebanyak 9.082 hotspot (22,5% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Tengah). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Kabupaten Kotawaringin Timur (5.509 hotspot atau 13,6%), Kabupaten Kapuas (4.723 hotspot atau 11,7%), Kabupaten Seruyan (4.707 hotspot atau 11,6%), Kabupaten Katingan (3.721 hotspot atau 9,2%), dan Kabupaten Kotawaringin Barat (2.914 hotspot atau 7,2%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 2.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

    Gambar 11.Jumlah hotspot rerata bulanan sepanjang tahun 2001 2009

    di wilayah Kalimantan.

  • 35

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Tabel 2. Jumlah hotspot tahun 20012009per kabupaten di Provinsi Kalimantan tengah

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)1 Pulangpisau 9.082 22.5

    2 Kotawaringin timur 5.509 13.6

    3 Kapuas 4.723 11.7

    4 Seruyan 4.707 11.6

    5 Katingan 3.721 9.2

    6 Kotawaringin Barat 2.914 7.2

    7 Kota Palangkaraya 1.759 4.4

    8 Sukamara 1.559 3.9

    9 Barito Selatan 1.381 3.4

    10 Barito Utara 1.191 2.9

    11 Lamandau 1.159 2.9

    12 Barito timur 1.018 2.5

    13 Gunungmas 956 2.4

    14 Murungraya 733 1.8

    Total 40.412 100.0

    Di Provinsi Kalimantan Barat hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Ketapang, yaitu sebanyak 8.676 hotspot (41,1% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Barat). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Kabupaten Ketapang (2.299 hotspot atau 10,9%), Kabupaten Bengkayang (1.929 hotspot atau 9,1%), Kabupaten Pontianak (1.729 hotspot atau 8,2%), Kabupaten Kapuas Hulu (1.578 hotspot atau 7.5%), Kabupaten Sambas (1.462 hotspot atau 6,9%), dan Kabupaten Sanggau (1.368 hotspot atau 6,5%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Jumlah hotspot tahun 20012009per kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)

    1 Ketapang 8.676 41.1

    2 Sintang 2.299 10.9

    3 Bengkayang 1.929 9.1

    4 Pontianak 1.729 8.2

    5 Kapuas Hulu 1.578 7.5

    6 Sambas 1.462 6.9

    7 Sanggau 1.368 6.5

    8 Landak 916 4.3

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)

    9 Melawi 801 3.8

    10 Sekadau 293 1.4

    11 Kota Singkawang 25 0.1

    12 Kota Pontianak 14 0.1

    Total 21.090 100.0

    Di Provinsi Kalimantan Timur hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Kutai Barat, yaitu sebanyak 1.796 hotspot (21,7% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Timur). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Kabupaten Kutai Kartanegara (1.734 hotspot atau 21%) dan Kabupaten Pasir (1.318 hotspot atau 16%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Jumlah hotspot tahun 20012009per kabupaten di Provinsi Kalimantan timur

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)

    1 Kutai Barat 1.796 21.7

    2 Kutai Kartanegara 1.734 21.0

    3 Pasir 1.318 16.0

    4 Berau 925 11.2

    5 Kutai timur 782 9.5

    6 Nunukan 593 7.2

    7 Bulungan 565 6.8

    8 Penajam Paser Utara 272 3.3

    9 Malinau 154 1.9

    10 Kota Bontang 86 1.0

    11 Kota Balikpapan 19 0.2

    12 Kota tarakan 12 0.1

    13 Kota Samarinda 5 0.1

    Total 8.261 100.0

    Di Provinsi Kalimantan Selatan hotspot paling banyak terdapat di Kabupaten Banjar, yaitu sebanyak 1.541 hotspot (20,2% dari jumlah total di Provinsi Kalimantan Selatan). Selain itu hotspot juga banyak dijumpai di Kabupaten Kotabaru (1.218 hotspot atau 16%). Sedangkan di kabupaten lainnya, jumlah hotspot berkisar di bawah 1.000 titik. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

  • 36

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Tabel 5. Jumlah hotspot tahun 20012009per kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan

    No Provinsi Jumlah HotspotProsentase

    (%)

    1 Banjar 1.541 20.2

    2 Kotabaru 1.218 16.0

    3 tapin 994 13.1

    4 Baritokuala 985 12.9

    5 tanahlaut 915 12.0

    6 tanahbumbu 618 8.1

    7 Hulusungai Selatan 515 6.8

    8 Hulusungai Utara 264 3.5

    9 tabalong 211 2.8

    10 Balangan 131 1.7

    11 Kota Banjarbaru 103 1.4

    12 Hulusungai tengah 89 1.2

    13 Kota Banjarmasin 27 0.4

    Total 7.611 100.0

    Identifikasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan data sebaran hotspot sepanjang tahun

    2001 hingga tahun 2009 dapat diketahui wilayahwilayah mana saja yang memiliki jumlah dan kepadatan hotspot (density) paling banyak. Wilayahwilayah tersebut dapat diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Kepadatan hotspot di wilayah Kalimantan berkisar antara 0 hingga 250 hotspot per 5 km2 (ratarata sekitar 10 hotspot per km2). Semakin tinggi kepadatan hotspot maka akan semakin tinggi tingkat kerawanannya terhadap kebakaran hutan dan lahan. Gambar 12 menyajikan Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan kepadatan hotspot dari tahun 2001 2009 di wilayah Kalimantan dari data MODIS yang

    dioverlaykan dengan data DEMSRTM (gambar sebelah kiri). Berdasarkan peta tersebut dapat diketahui bahwa daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan paling banyak terkonsentrasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, Barito Selatan, Kotawaringin Timur, Katingan, Barito Utara dan Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Ketapang, Sambas, Bengkayang, dan Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kutai Timur dan Berau Provinsi Kalimantan Timur, serta Kabupaten Banjar dan Tapin Provinsi Kalimantan Selatan (ditunjukkan oleh gradasi warna merah).

    Pada gambar sebelah kanan ditunjukkan contoh perbesaran daerah rawan kebakaran tersebut yang dioverlaykan dengan citra SPOT4 yang mencakup sebagian wilayah di Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Timur. Pada gambar tersebut tampak dengan jelas konsentrasi kepadatan hotspot yang tinggi sehingga daerah tersebut memiliki tingkat kerawanan terhadap kebakaran hutan dan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Warna merah pada kenampakan citra SPOT4 tersebut merupakan indikasi dari lahan yang banyak ditumbuhi alangalang kering dengan tingkat kehijauan vegetasi yang rendah (dry grassland), lahan terbuka (bareland) atau lahan bekas terbakar (burned area). Daerahdaerah rawan tersebut perlu mendapatkan perhatian serius terhadap kemungkinan akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama pada musim kemarau yang disertai dengan El Nino.

    Gambar 12.Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan, dioverlaykan dengan data DEMSRtM (sebelah kiri) dan contoh perbesarannya yang dioverlaykan dengan citra SPOt4

    (sebelah kanan).

  • 37

    APLIKASI INDERAJA

    BERITA INDERAJA, Volume IX, No. 16, Juli 2010

    Analisis Data Penginderaan Ja