bab ieprints.undip.ac.id/57009/1/edit-ringkasan_disertasi... · web viewpembangunan hukum...

223
PEMBANGUNAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA MELALUI PEMBERDAYAAN YURISPRUDENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RINGKASAN DISERTASI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum TEGUH SATYA BHAKTI NIM. 11010111500022 PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Upload: vunguyet

Post on 22-Apr-2018

257 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PEMBANGUNAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

MELALUI PEMBERDAYAAN YURISPRUDENSI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

RINGKASAN DISERTASI

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Hukum

TEGUH SATYA BHAKTINIM. 11010111500022

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUMUNIVERSITAS DIPONEGORO

2017

MAJELIS PENGUJI PADA SIDANG UJIAN PROMOSI DOKTOR

Tgl 22 September 2017

Ketua : Prof.Dr.H.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN Sekretaris : Prof.Dr.FX. Adji Samekto,SH.,M.Hum Anggota : 1. Prof.Dr.H.R.Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN (Promotor) 2. Prof. Erlyn Indarti,SH.MA,Ph.D (Co Promotor) 3. Prof.Dr. Yusriyadi,SH.MS4. Prof.Dr.FX. Adji Samekto,SH.,M.Hum5. Dr. Budi Ispriyarso,SH.,M.Hum6. Dr. Aju Putrijanti,SH.,M.Hum7. Dr. Supandi,SH.,M.Hum (Penguji Eksternal Ketua Kamar TUN MA RI)

ii

ABSTRAK

Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Permasalahan dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik sebagaimana disebutkan dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 adalah Reformasi Birokrasi yang belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa tersebut, pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui sistem perundang-undangan (legal reform), Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk menetapkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya akan disebut dengan UUAP), yang berfungsi sebagai: (i) memperbaiki kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan, (ii) menjadi dasar peningkatan tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan (iii) sebagai upaya untuk mengurangi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. UUAP ini memungkinkan Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara untuk diuji melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). UUAP merupakan hukum materiil dari Undang-Undang PTUN. Oleh karena itu, dengan disahkannya UUAP tersebut, maka Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia menjadi lengkap, baik HAN materiil maupun HAN formil.

Secara umum dapat dikatakan bahwa UUAP merupakan UU payung (umbrella act) bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. sehingga pasca diundangkannya, kewenangan PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara di Indonesia menjadi lebih luas, baik menyangkut segi formal/prosedural atau hukum acara maupun segi substansial proses peradilan.

Pada masa kini HAN telah mengalami berbagai perkembangan, baik dalam pengertian normatif atau dalam pengertian aktivitas. HAN tidak lagi hanya menjadi hukum yang mengatur pemerintahan semata, namun HAN pada kenyataannya sudah juga mengatur berbagai hal-hal di luar ruang lingkup tradisionalnya selama ini. Dengan demikian HAN dalam praktek tidak saja ditemukan dalam sikap pejabat administrasi negara, tetapi juga (bahkan terutama) di dunia peradilan, yaitu dalam bentuk yurisprudensi.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa selain penyusunan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang HAN, Pembangunan Hukum Nasional bidang HAN dapat juga dilakukan melalui pemberdayaan berbagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menjadi sumber hukum (pembaruan hukum dalam arti law reform). Kedudukan dan fungsi yurisprudensi ini semakin tampak arti pentingnya bagi pengembangan HAN itu sendiri.

Kata Kunci: Pembangunan Hukum Nasional, HAN, UU Administrasi Pemerintahan, PTUN

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada ALLAH SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas berkat Rahmat-Nya yang telah memberi karunia sehingga penulisan disertasi dengan judul: Pembangunan Hukum Administrasi Negara Melalui Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat selesai.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Karena itu, penulis dengan senang hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Diponegoro Prof.Dr.Yos Johan Utama, SH.,M.Hum beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh dan mengikuti pendidikan Strata 3 pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro;

2. Dekan Pascasarjana Universitas Diponegoro dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan, bantuan dan kemudahan untuk menempuh dan melaksanakan studi strata 3 pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegor Semarang;

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof.Dr.R. Benny Riyanto,SH.,M.Hum.,CN. Beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh dan mengikuti pendidikan Strata 3 pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

4. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH., MHum.,CN., dan Prof. Erlyn Indarti,SH., MA., Ph.D selaku promotor dan co promotor yang penuh dedikasi, keikhlasan dan kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing, berdiskusi serta memberikan masukan-masukan sehingga disertasi ini dapat terwujud.

5. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Prof.Dr.FX. Adji Samekto,SH.,M.Hum, Sekretaris I Prof.Dr.Rahayu, SH., M.Hum, Sekretaris II Dr. RB.Sularto,SH.,M.Hum., yang telah memfasilitasi penulis menimba ilmu hukum secara luas di kampus Imam Bardjo Semarang.

6. Para penguji proposal: Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH., M.Hum, Dr. Budi Ispriyarso, SH.,MH, dan Dr. Aju Putrijanti, SH.,M.Hum; para penguji hasil penelitian : Dr. Budi Ispriyarso, SH.,M.Hum, Dr. Aju Putrijanti, SH.,M.Hum, Dr. Nabitatus Sa’adah, SH.,MH.

7. Bapak-bapak dan Ibu Dosen Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro yang nama dan gelar akademiknya tidak penulis sebutkan satu persatu, yang telah menyediakan banyak waktu dan mencurahkan pemikiran akademik yang sangat berharga bagi penulis;

8. Sejawat penulis di Pengadilan Tata Usaha Negara dan di Mahkamah Agung Republik Indonesia dan rekan seperjuangan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak dukungan dan dorongan bagi penulis dalam penyelesaian studi;

ii

9. Orang tua penulis, Keluarga penulis, Istri dan anak-anak , yang selalu mendukung dan memberikan dukungan baik doa dan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu mendoakan dan mendukung penulis.

Karya disertasi ini juga sangat disadari tidak terlepas dari berbagai kekurangan baik dari segi substansi maupun dari segi teknis penulisan dan penyajiannya. Karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan berbagai kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya, kepada Allah yang Maha Kuasa penulis berserah diri dan menyerahkan segenap urusan semoga taufiq dan hidayah-Nya senantiasa tercurah kepada kita sekalian. Amin. Wallahu Alam Bishawab

Semarang, September 2017 Penyusun

iii

BERHATI-HATILAH TERHADAP 3 (TIGA) HAL

YANG MERUSAK KEADILAN:

1. SIMPATI DAN KEBENCIAN,

2. KEKAYAAN DAN KEMISKINAN,

3. KEMULIAAN DAN KEHINAAN RAKYAT JELATA

(NABI MUHAMMAD S.A.W)

iv

DAFTAR ISI

Daftar Halaman

ABSTRAK................................................................................................................iKATA PENGANTAR.............................................................................................iiDAFTAR ISI............................................................................................................vBAB I.......................................................................................................................1PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1B. Fokus Studi Dan Permasalahan...................................................................8C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...................................................................9

a. Tujuan Penelitian.....................................................................................9b. Manfaat Penelitian...................................................................................9

1. Manfaat Teoretis................................................................................92. Manfaat Praktis..................................................................................9

D. Proses Penelitian..........................................................................................9a. Titik Pandang/ Stand Point......................................................................9b. Paradigma Penelitian.............................................................................10c. Strategi Penelitian..................................................................................12

1. Pendekatan Penelitian......................................................................122. Sumber dan Pengumpulan Data.......................................................123. Lokasi Penelitian..............................................................................144. Metode Analisis Data.......................................................................14

BAB II....................................................................................................................16KERANGKA TEORETIS.....................................................................................16

A. Kerangka Konseptual.................................................................................16B. Pembangunan Hukum Nasional.................................................................17C. Pemberdayaan Putusan Pengadilan Dalam Pembangunan Hukum Nasional

19D. Arti Dan Fungsi Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum..........................26

BAB III..................................................................................................................32HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.................................................................32DAN YURISPRUDENSI PUTUSAN...................................................................32PENGADILAN TATA USAHA NEGARA..........................................................32

A. Hukum Administrasi Negara (HAN).........................................................32a. Istilah Hukum Administrasi Negara (HAN)..........................................32b. Masalah Aktual HAN............................................................................33c. Arah Pertumbuhan Pembangunan HAN................................................33d. Perkembangan Sistem HAN..................................................................34

B. Aktualisasi UU Administrasi Pemerintahan Untuk Pembangunan HAN..36C. PTUN Dalam Sistem Peradilan di Indonesia.............................................37

a. Istilah Peradilan Tata Usaha Negara......................................................37b. Konsep Peradilan Tata Usaha Negara....................................................37c. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara...........................................38

v

D. Penerapan UU Administrasi Pemerintahan Oleh PTUN Untuk Pembangunan HAN...........................................................................................40

a. Adanya Perluasan Objek sengketa di PTUN dalam UU AP..................40b. Adanya perluasan Subjek Menggugat di PTUN dalam UU AP............43c. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan dan atau Permohonan.............44d. alasan-alasan (posita) Dalam Mengajukan Gugatan di PTUN..............46e. Tentang tuntutan gugatan (petitum) dan atau Permohonan di PTUN...46

E. Proses Peningkatan Putusan Hakim PTUN Menjadi Yurisprudensi.........48a. Dasar pengujian (toetsinggronden) Hakim PTUN Dalam Melakukan Penemuan Hukum......................................................................................48

1. Bertentangan Dengan Peraturan Perundangan Yang Berlaku.........492. Bertentangan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB)..................................................................................................50

b. Proses Penerapan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa di PTUN......531. Tahap Pengumpulan Fakta...............................................................532. Tahap Mengidentifikasi Hukum......................................................543. Tahap Merumuskan Hukum dan AUPB..........................................56

F. Kaidah-kaidah Yurisprudensi Perkara Tata Usaha Negara.......................59BAB IV..................................................................................................................85PEMBERDAYAAN YURISPRUDENSI PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA................................................................................................85UNTUK PEMBANGUNAN.................................................................................85HUKUM ADMINISTRASI NEGARA.................................................................85

A. Peran Mahkamah Agung Dalam Pembangunan Hukum Nasional............851. Menguji Undang-Undang di bawah Undang-undang......................852. Mengadili Pada Tingkat Kasasi.......................................................863. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang...........86

B. Pemberdayaan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum............................91a. Ratio Legis Pengumpulan Yurisprudensi Oleh Mahkamah Agung.......91b. Upaya Mahkamah Agung Menjaga Kesatuan Hukum..........................94

1. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dan PK.....................................952. Pembentukan Sistem Kamar............................................................97

C. Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Oleh Mahkamah Agung Untuk Pembangunan Hukum Administrasi Negara..........102

a. Kriteria Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.........1021. Putusan Penting (Landmark Decision) Pengadilan Tata Usaha Negara..................................................................................................1022. Yurisprudensi Pengadilan Tata Usaha Negara..............................104

b. Langkah-langkah Mahkamah Agung Dalam Rangka Mengumpulkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara...........................107

BAB V.................................................................................................................122PENUTUP............................................................................................................122

A. Kesimpulan..............................................................................................122B. Rekomendasi............................................................................................123

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................125BUKU..............................................................................................................125

vi

TESIS, DISERTASI........................................................................................131MAKALAH/ ARTIKEL/ KARYA TULIS ILMIAH/ HASIL SEMINAR/ MAJALAH/JURNAL......................................................................................131PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN...............................................133INTERNET......................................................................................................133

Daftar TabelTabel. 1..............................................................................................................41Perbedaan UU PERATUN dan UU AP.............................................................41Tabel.2...............................................................................................................43Subjek Menggugat di PTUN dalam UU AP......................................................43Tabel.3...............................................................................................................44Tenggang Waktu Gugatan di PTUN dalam UU AP..........................................44Tabel.4...............................................................................................................47Tuntutan Gugatan (petitum) UU PERATUN dan UU AP.................................47Tabel.5...............................................................................................................60Kaidah-kaidah Yurisprudensi pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah dipublikasikan oleh Mahkamah Agung dari Tahun 1992 hingga tahun 2015..........................................................................................................60

Daftar BaganTahapan Penerapan Hukum Oleh Hakim PTUN...................................................58

vii

viii

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu salah satunya adalah ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional. Konsekuensi yuridis ditiadakannya GBHN berakibat pada tidak ada pengaturan lebih lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa sepakat menetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1

Pembangunan Nasional sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Pembangunan Hukum Nasional adalah salah satu subsistem dari Pembangunan Nasional, dengan sasaran agar terwujudnya satu Sistem Hukum Nasional. Strategi Pembangunan Hukum Nasional secara yuridis mengacu pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam BAB II huruf G Lampiran Undang-Undang tersebut dijabarkan bahwa upaya pewujudan Sistem Hukum Nasional dalam era reformasi terus dilanjutkan dengan meliputi:

1. Pembangunan substansi hukum;2. Penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif; dan3. Peningkatan keterlibatan seluruh komponen masyarakat yang

mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan.

Pembangunan substansi hukum, di dalam lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005, Bagian III Bab 14 tentang Penciptaan Tata Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, meliputi:

1. Proses penyusunan dan penetapan berbagai Peraturan Perundang-undangan; dan

2. Pemberdayaan berbagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menjadi sumber hukum.

1 Model perencanaan pembangunan saat ini didasarkan pada UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2000-2005.

1

Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Tahun 2005-2025 menghendaki adanya pembaruan hukum, terutama dalam bentuk pembaruan materi hukum. Pembaruan hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah suatu istilah untuk menggambarkan bagaimana menyusun suatu tata hukum yang dapat menyesuaikan diri pada perubahan yang terjadi pada masyarakat. 2

Soetandyo Wignjosoebroto membedakan pembaruan hukum dalam arti legal reform dengan pembaruan hukum dalam arti law reform sebagai berikut: 3

1. Pembaruan hukum dalam arti legal reform, secara harfiah harus diartikan sebagai pembaruan dalam sistem perundang-undangan belaka. Kata legal itu berasal dari kata yang berarti “undang-undang” alias “materi hukum yang secara khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan/dipositifkan sebagai aturan hukum yang berlaku secara formal”. Legal lazim juga disebut ius constitutum atau hukum positif karena bentuk rumusnya yang telah jelas dan pasti. Dalam konsepnya seperti ini, pembaruan hukum akan berlangsung sebagai aktifitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan pemikiran-pemikiran kaum politisi dan/atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit professional yang memiliki akses lobi.

2. Pembaruan hukum dalam arti law reform, diartikan sebagai pembaruan melalui proses yudisial. Hukum disini diartikan sebagai sebagai law (untuk menggantikan istilah latin ius) dan bukan diartikan sempit sebagai undang-undang (alias ius constitutum), yang dapat difungsikan sebagai apa yang dalam kepustakaan teori hukum disebut tool of social engineering yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial (seperti yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound).

Mengacu pada pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan hukum dalam RPJP Nasional 2005-2025 termasuk kategori Pembaruan hukum dalam arti pembaruan dalam sistem perundang-undangan (legal reform). Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tertulis, dilakukan melalui mekanisme pembentukan hukum nasional sebagaimana yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

2 Menurut Satjipto Rahardjo ada yang menggunakan istilah-istilah pembangunan hukum, perubahan hukum, pembinaan hukum, atau modernisasi hukum. Terakhir banyak pula yang menggunakan istilah reformasi hukum yang merupakan terjemahan dari legalreform. Walau bemacam-macam istilah yang digunakan, Satjipto sepakat dengan Sudargo Gautama untuk menggunakan istilah pembaruan hukum. Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009, hal. 15

3 Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Forum Keadilan No. 08 (18 Juni 2006), hal. 46-47, lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto dalam Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford Foundation & HuMa, 2007, hal. 94.

2

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan keyakinan umum undang-undang (hukum tertulis) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat,4

sehingga selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat. Untuk mengkuti perkembangan itu, maka undang-undang tersebut perlu untuk selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan jaman (up to date). Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui peradilan dengan putusan hakim (yurisprudensi). Dengan kata lain, yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman. 5

Jika dikaitkan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti law reform. Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang jelas dalam hukum tertulis.6

Secara teoritis yurisprudensi merupakan sumber hukum disamping sumber hukum lainnya, seperti undang-undang, kebiasaan, perjanjian internasional (traktat) dan doktrin ilmu hukum. Sebagai sumber hukum, yurisprudensi mempunyai arti dan kedudukan yang penting, karena dapat dijadikan sumber atau acuan dalam: 7

1. Pembentukan peraturan perundang-undangan;2. Sebagai dasar untuk mengambil putusan terhadap masalah yang

sama oleh hakim lainnya terhadap hal-hal yang belum diatur atau belum jelas hukumnya;

4 J.L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hal. 112 5 Paulus Effendi Lotulung, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Peranan Yurisprudensi

Sebagai Sumber Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1997, hal. 24

6 Hasan Wargakusumah, Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, dalam Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992, hal. 64.

7 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Jakarta: 1997/1998, hal. 1.

3

3. Sebagai dasar pengembangan ilmu hukum melalui putusan-putusan peradilan.

Ditinjau dari arti dan kedudukannya di atas, akan terlihat betapa besar peranan dan sumbangan yurisprudensi dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3) memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum,8 hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan, dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. 9

Uraian di atas menunjukkan bahwa selain penyusunan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu, Pembangunan Hukum Nasional dapat juga dilakukan melalui pemberdayaan berbagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap seperti misalnya yurisprudensi menjadi sumber hukum. Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber- yang menjadi kata “berdaya” yang memiliki arti berkekuatan; berkemampuan; bertenaga; mempunyai akal (cara muslihat, dsb) untuk mengatasi sesuatu.10 Dengan demikian, dalam konteks Pembangunan Hukum Nasional yang dimaksud dengan pemberdayaan putusan pengadilan adalah membuat putusan pengadilan menjadi berdaya atau mempunyai daya atau mempunyai kekuatan.

Menurut Satjipto Rahardjo, prospek pengadilan untuk menciptakan pembaruan hukum dapat dilihat pada beberapa aspek yang berhubungan dengan bekerjanya badan pengadilan. Pertama, bahwa suatu pembaruan adalah suatu proses yang terwujud dalam bentuk permintaan, desakan, dan kebutuhan yang datang dari masyarakat dan minta untuk diselesaikan oleh pengadilan. Kedua, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan bekerjanya pengadilan, yaitu prosedur kerjanya, para hakimnya serta ideologi yang menjadi kerangka acuan berpikir mereka. Begitu juga pendidikan yang dialami oleh hakim, serta pergaulannya dengan pikiran-pikiran yang berkembang, menyebabkan bahwa mereka bisa berada jauh di depan masyarakat yang harus dilayaninya.11

Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum,

8 Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

9 Pasal 23 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan 10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008, hal. 326 11 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 188.

4

dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. 12

Permasalahan dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik sebagaimana disebutkan dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2005 Bagian III Bab 14 tentang Penciptaan Tata Pemerintahan yang bersih dan berwibawa adalah Reformasi Birokrasi yang belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula, masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan dari kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan.13

Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut di atas, belumsepenuhnya teratasi baik dari sisi internal maupun eksternal. Dari sisiinternal, berbagai faktor seperti demokrasi, desentralisasi dan internalbirokrasi itu sendiri, masih berdampak pada tingkat kompleksitaspermasalahan dan dalam upaya mencari solusi ke depan. Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan kuat berpengaruh terhadap pencarian alternatif-alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.14

Dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan penyelenggaraan negara dalam mewujudkan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, pada tanggal 17 Oktober 2014, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan untuk menetapkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya akan disebut dengan UUAP), yang berfungsi sebagai: (i) memperbaiki kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan, (ii) menjadi dasar peningkatan tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan (iii) sebagai upaya untuk mengurangi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

UUAP mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan warga masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya. 15

12 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 (Perpres No. 7 Tahun 2005) Bagian III Bab 14 Tentang Penciptaan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa.

13 Ibid.14 Ibid.15 Penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

5

Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya akan disebut dengan PTUN) merupakan salah satu lembaga peradilan di Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan UU Peratun tersebut, PTUN diberi tugas dan kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 16

Sepanjang praktik penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh PTUN di Indonesia, ditemukan beberapa kekurangan dalam UU No. 5 Tahun 1986, baik itu kelemahan dalam hukum formil maupun hukum materiilnya. Hal demikian kemudian mendorong lahirnya perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 sebanyak dua kali, yaitu UU No. 9 Tahun 2004 dan diubah kembali dengan UU No. 51 Tahun 2009. Kerangka konsepsional dalam ketiga UU Peratun tersebut memuat aturan-aturan umum meliputi:

1. Hukum administrasi formal (prosedur hukum acara) di PTUN yang diatur dalam ketentuan Pasal 53 s/d Pasal 119;

2. Pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi (kewenangan yurisdiksi) dan struktur organisasi badan Peradilan TUN; dan

3. Pasal-pasal yang hanya memuat sedikit hukum materiil Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disebut sebagai HAN).

Ketentuan penyelenggaraan pemerintahan dalam UUAP, selain berfungsi sebagai pengaturan secara umum mengenai aktivitas dari badan dan/atau pejabat pemerintahan yang selama ini belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hal tersebut, UUAP juga merupakan hukum materiil dari Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, dengan disahkannya UUAP tersebut, maka HAN di Indonesia menjadi lengkap, baik HAN materiil maupun HAN formil. Secara umum dapat dikatakan bahwa UUAP merupakan UU payung (umbrella act) bagi sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Hal di atas sejalan dengan Laporan Akhir Hasil Perencanaan pembangunan hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI khususnya Kelompok Kerja Bidang Hukum Administrasi Negara, yang menyebutkan bahwa dalam melakukan reformasi bikrokrasi adalah dengan mulai ditumbuhkan dan dikembangkannya pemikiran-pemikiran tentang perlunya merekonseptualisasikan dan mereposisi, serta merevitalisasi kedudukan HAN dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan negara yang baik, adalah pemerintahan yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik, dan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan

16 Yos Johan Utama, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hal 3.

6

salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN merupakan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. HAN merupakan konkretisasi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. 17

Sejak beroperasinya pada tanggal 14 Januari Tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan TUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang, dan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, PTUN sudah menangani banyak kasus yang telah menghasilkan putusan-putusan hakim yang dikualifikasi sebagai yurisprudensi, karena telah mengisi kekosongan HAN yang tidak diatur oleh undang-undang, baik menyangkut segi substansial maupun segi formal/prosedural dalam proses peradilannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, paling tidak ada beberapa alasan yang menjadikan penelitian ini perlu untuk dilaksanakan:

Pertama, HAN merupakan hukum yang bersifat dinamis, baik dalam pengertian normatif atau dalam pengertian aktivitas. Pada masa kini HAN telah mengalami berbagai perkembangan, baik secara teoretis maupun secara praktis. Perkembangan tersebut didasarkan pada berbagai perkembangan yang terjadi di berbagai sektor yang ada, seperti sektor perekonomian, sektor politik, sektor perdagangan, sektor pemerintahan, dan lain sebagainya. Dinamika dari berbagai sektor tersebut berpengaruh terhadap makna dan ruang lingkup dari materi HAN, sehingga terlihat bahwa HAN tidak lagi hanya menjadi hukum yang mengatur pemerintahan semata, namun HAN pada kenyataannya sudah juga mengatur berbagai hal-hal di luar ruang lingkup tradisionalnya selama ini.18 Dinamika dari HAN merupakan cerminan dari tumbuh dan berkembangnya berbagai hal yang terjadi di kalangan masyarakat, bisnis maupun pemerintah yang ada di suatu negara. Dinamika tersebut dapat terjadi melalui penerapan peraturan hukum, putusan-putusan hakim, dan berbagai kebiasaan yang terjadi di suatu negara.19 Dalam kaitan ini, dinamika HAN terwujud melalui antara lain putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa yurisprudensi.

Kedua, apabila dilihat dari sudut Hukum Administrasi Negara (HAN), maka kedudukan dan fungsi yurisprudensi ini semakin tampak arti pentingnya bagi pengembangan HAN itu sendiri, seperti yang akan kita lihat secara garis besar pada prakteknya di beberapa negara yang bersistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) dan perbandingan dengan negara bersistem hukum Common Law (Anglo Saxon). Sebagai negara yang bersistem hukum Civil Law, maka Perancis merupakan contoh menonjol dimana justru pada hakekatnya yurisprudensilah yang membentuk dan sekaligus

17 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan HAM RI, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum Administrasi Negara, Jakarta: 2008, hal. 2

18 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2006, hal. 13

19 Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, Centre For Law And Good Governance Studies (CLGS), Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, hal. xi

7

mengembangkan Droit Administratif (HAN) sehingga mencapai eksistensinya sekarang.20 Sedangkan dalam lingkungan negara-negara yang menerapkan sistem hukum Common Law, misalnya di Inggris dan beberapa negara lainnya, peranan putusan-putusan hakim (judge made law) sebagai sumber hukum yang ikut membentuk Administrative Law pada waktu sekarang juga sangat menentukan, justru disebabkan karena dalam sistem hukum tersebut tidak dikenal adanya kodifikasi.21

Ketiga, eksistensi yurisprudensi dalam hubungannya dengan HAN di Indonesia, mencakup baik (1) yuriprudensi PTUN maupun (2) yurisprudensi peradilan umum (perdata), sepanjang menyangkut gugatan dalam perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah (penguasa) atas dasar pasal 1365 Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sebab pada hakekatnya kedua macam yurisprudensi itulah yang dalam perkembangannya akan mewarnai atau memberi corak dalam pertumbuhan HAN di Indonesia di masa mendatang.22

Berdasarkan latar belakang itulah, fokus penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini adalah: “Pembangunan Hukum Administrasi Negara Melalui Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara”.

B. Fokus Studi Dan Permasalahan

Fokus studi penulisan disertasi ini dengan demikian adalah Pembangunan Hukum Administrasi Negara Melalui Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pemilihan fokus studi ini didasarkan pada pemikiran bahwa, PTUN telah menghasilkan putusan-putusan hakim yang dikategorikan sebagai yurisprudensi, dan telah mengisi kekosongan Hukum Administrasi Negara yang tidak diatur oleh undang-undang, baik menyangkut segi substansial maupun segi formal/prosedural dalam proses peradilannya.

Berangkat dari identifikasi permasalahan tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam studi ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah (berlangsungnya) proses peningkatan putusan (hakim) Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi Yurisprudensi?

2. Bagaimanakah proses pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga (dapat) menyumbang kepada Pembangunan Hukum Administrasi Negara?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

20 Paulus Effendi Lotulung, Yurisprudensi Dalam Hukum Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, Tanggal 24 September 1994, hal. 1

21 Ibid, hal. 322 Ibid, hal. 6

8

a. Untuk menjelaskan secara mendalam proses peningkatan putusan (hakim) Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi Yurisprudensi.

b. Untuk menjelaskan sumbangan Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara kepada Pembangunan Hukum Administrasi Negara.

b. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya kajian-kajian Hukum Administrasi Negara, utamanya menyangkut Yurisprudensi PTUN.

2) Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan Hukum Administrasi di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi para hakim PTUN dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN.

2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman serta petunjuk bagi Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara dalam bertindak dan pengambilan kebijakan.

D. Proses Penelitian

Agar tidak salah dalam menetapkan langkah-langkah dalam mencapai tujuan penelitian, maka proses penelitian diawali dengan menetapkan paradigma. Penetapan paradigma membawa impilikasi terhadap metodologi penelitian, oleh karena itu paradigma merupakan pedoman bagi peneliti dalam pengumpulan data dan analisis datanya.

a. Titik Pandang/ Stand Point

Pembentukan hukum positif merupakan kegiatan legislasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang secara formal berwenang untuk itu sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dilakukan dengan membentuk berbagai perangkat Peraturan Perundang-undangan atau merubah yang sudah ada. Setiap ketentuan Peraturan Perundang-udangan itu dimaksudkan untuk mengatur perilaku warga masyarakat, dengan menetapkan apa yang seharusya dilakukan atau tidak dilakukan. Namun kehidupan warga masyarakat ternyata sangat dinamis dan majemuk, sehingga semua kemungkinan yang akan terjadi tidak dapat sepenuhnya dirumuskan dalam peraturan hukum secara rinci dan konkrit. Selain itu pembentuk Undang-Undang tidak mungkin merumuskan peraturan hukum ke dalam peraturan konkrit individual secara eksplisit. Oleh karena itu Peraturan Peundang-undangan dikonstruksikan dalam bentuk perilaku bersifat umum dan abstrak.

9

Sering terjadi persoalan dalam masyarakat yang belum ada peraturan yang mengaturnya, terjadi kekosongan hukum.

Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Karena itu kemudian Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Putusan hakim yang berasal dari suatu proses penemuan hukum ketika mengadili suatu perkara, yang pertimbangan hukumnya bernilai (ilmiah) tinggi, memiliki rasionalitas hukum yang mendalam, mencerminkan kepribadian hakim yang independen, kuat dan cerdas, dan memberi kontribusi bagi perkembangan hukum dan ilmu hukum,23 dan menjadi dasar putusan hukum bagi hakim lainnya di kemudian hari untuk mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang sama, disebut sebagai yurisprudensi.

Kedudukan yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia merupakan sumber hukum formal, selain peraturan perundang-undangan, doktrin, traktat, kontrak (perdata), dan kebiasaan.

b. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu kerangka (pemikiran) yang meliputi beragam belief dan standar. Kerangka ini menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang ilmu, disiplin atau cabang ilmu pengetahuan dimana paradigma tersebut diaplikasikan. Apa yang terkandung dalam paradigma, mendefiniskan suatu pola aktivitas ilmiah yang mapan dan mantap bagi komunitas ilmuan yang bersangkutan.24 Oleh karena itu, Paradigma dalam studi ini dapat dipahami sebagai seperangkat keyakinan yang memandu peneliti dalam permasalahan penelitian, baik ontologi, epistemologi maupun metodologi. Pemahaman sederhana ini beranjak dari pengertian paradigma sebagai pandangan dunia, yang mempengaruhi jalan pikiran dan perilaku ilmuwan dalam berolah ilmu.25

Paradigma memiliki peran utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan, baik dari sisi yang diteliti maupun peneliti. Paradigma memandu peneliti dengan aturan-aturan yang bersifat abstrak dan model-model yang telah dipahami dan diterima oleh komunitas ilmiah. Kejelasan penggunaan paradigma tertentu dipandang sangat penting dalam masyarakat ilmiah sebagaimana seorang peneliti sejarah yang harus menemukan paradigma

23 Amzulian Rifa’I et.all, Wajah Hakim Dalam Putusan: Studi Atas Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2010, hal. 9

24 Erlyn Indarti, Diskresi Dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum UNDIP, 4 November 2010, hal. 15

25 Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Yogjakarta: Duta Wacana University Press, 1987, hal. 138

10

masyarakat yang diteliti untuk dapat memahami setiap gejala sosial yang ada pada masyarakat tersebut.26

Penelitian sosial, telah berkembang berbagai paradigma yang digunakan untuk memahami perilaku sosial. Perkembangan paradigma dalam ilmu sosial berbeda dengan paradigma dalam ilmu alam. Para ilmuwan alam (natural scientist) pada umumnya meyakini bahwa penggantian suatu paradigma dengan paradigma yang baru menunjukkan penggantian paradigma yang keliru dengan paradigma yang diyakini benar. Hal ini sangat berbeda dengan paradigma dalam ilmu sosial. Meskipun suatu paradigma sudah tidak banyak digunakan, tetapi tidak pernah hilang sama sekali dan masih dapat digunakan lagi karena tidak berpangkal pada persoalan salah dan benar, tetapi pada perspektif yang sesuai.27

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah pos positivisme. Menurut Erlyn Indarti, aliran filsafat hukum legal realism atau legal behaviorialism melihat hukum sebagai law as it is made by the judge in the court of law. Dengan kata lain, hukum dimengerti sebagai judge made law. Aliran filsafat hukum legal realism atau legal behaviorialism memaknai hukum sebagai ius constitutum pula, yaitu hukum yang ada dan berlaku. Secara umum hukum dicirikan dengan keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses peradilan. Dasar dari aliran-aliran yang bergerak pada ranah behavioral ini adalah norma positif yudisial. Bisa dikatakan dengan demikian hukum merupakan hasil cipta penuh pertimbangan (judgement) dari hakim pengadil. Yang sangat menarik adalah ciri hukum seperti ini sungguh sebangun dengan pemahaman apa yang disebut sebagai diskresi. 28

Ontologi dalam aliran ini adalah realisme kritis. Hukum menurut kelompok aliran ini merupakan realitas eksternal yang bersifat objektif dan real, serta yang hanya dapat dipahami secara tidak sempurna. Epistemologi aliran-aliran ini sebenarnya merupakan modifikasi- sehingga masih belum terlalu jauh beringsut - dari epistemologi positivisme yang dualis dan objektivis. Namun dalam kasus kelompok aliran ini, objektifitas - utamanya eksternal objektivitas - menjadi kriteria penentu sebuah hukum, sedangkan dualisme antara hukum dan manusia semakin surut perannya. Selanjutnya metodologi aliran-aliran ini secara umum masih mengadopsi metodologi eksperimental dan manipulatif terhadap hukum yang ada, namun sudah mengalami modifikasi. Sehubungan dengan hal ini, uji empiris terhadap hukum diselenggarakan melalui falsifikasi dengan cara critical multiplism atau modifikasi triangulasi. Metodologi ini juga mulai memanfaatkan teknik-teknik kualitatif, termasuk setting yang lebih natural, informasi yang lebih situasional, dan penerapan cara pandang emic. Dengan menggunakan paradigma pos positivisme dimaksud, peneliti akan melakukan studi tentang pembentukan hukum melalui yurisprudensi.

26 Thomas Khun, The Structures of Scientific Revolution, second edition, Enlarged, Chicago: The International Encyclopedia of United Science, 1970, pl. 43-51

27 Earl Babbie, The Practice of Sosial Research, Eight Edition, Belmont, Wadworth Publishing Company, 1998, p. 42-43

28 Erlyn Indarti, Op., Cit, hal. 23-24

11

c. Strategi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskriptif analisis. Dikatakan deskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai pembentukan hukum bidang tata usaha negara melalui yurisprudensi.

Dikatakan analisis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai rumusan kaidah hukum yang terkandung dalam putusan-putusan Mahkamah Agung untuk menentukan apakah Mahkamah Agung telah berhasil melakukan pembangunan hukum sesuai fungsi dan kewenangannya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang memadukan penelitian hukum normatif (doktrinal) dan penelitian empiris (non-doktrinal). Penelitian ini juga didasarkan pada penelitian terhadap empat sasaran penelitian hukum, yaitu asas-asas hukum, kaidah hukum, peraturan hukum konkret dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Peranan Mahkamah Agung mengandung kewenangan yuridis dalam menciptakan hukum melalui yurisprudensi, sehingga keberhasilan Mahkamah Agung melaksanakan peranannya dapat dianalisis dari kandungan keempat sasaran penelitian hukum dalam berbagai Yurisprudensi Indonesia.

2. Sumber dan Pengumpulan Data

Selain merupakan penelitian normatif, penelitian ini juga merupakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mendatangi langsung tempat yang menjadi objek penelitian. Pengumpulan materi atau bahan penelitian dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data dengan cara mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian, dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Studi lapangan (field research) didapat dari observasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung pada lokasi dan obyek penelitian.

Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber informasi. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen atau bahan kepustakaan.

Data primer didapatkan dengan menggunakan cara penelitian kualitatif naturalistik. Penelitian naturalistik bertujuan untuk mengetahui suatu fenomena atau persepsi secara komprehensif dan alami. Penelitian naturalistik bermanfaat untuk mengetahui aktualitas, realitas sosial dan persepsi manusia melalui cara-cara alami yang tidak dapat diungkap dengan pengukuran secara formal, kuisioner, atau bahkan wawancara dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Peneliti naturalistik memiliki keyakinan bahwa gejala sosial dapat dipahami secara tepat jika data yang diperoleh bersumber dari persepsi dan ungkapan pelaku itu sendiri.29

29 Terdapat lima karakteristik penelitian kualitatif naturalistik: (1) penelitian naturalistik memiliki pola alamiah sebagai sumber data langsung dan kedudukan peneliti merupakan

12

Responden yang menjadi sumber informasi data primer dalam penelitian ini adalah para Hakim Agung Kamar Candra Lingkungan PTUN, Para ahli hukum, Advokat, Kuasa Hukum Badan atau Pejabat TUN. Data dikumpulkan dan diperoleh secara natural melalui berbagai cara antara lain, melalui diskusi informal yang dilakukan oleh peneliti, berbagai forum seminar dan diskusi maupun forum ilmiah lain yang terkait dengan PTUN.

Dalam penelitian ini data sekunder meliputi 3 jenis bahan hukum yang dijadikan objek studi dokumen, yaitu :

1. Bahan hukum primair, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri atas ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang wewenang PTUN dalam memutus sengketa TUN dan putusan-putusan PTUN tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK). Bahan hukum peraturan perundang-undangan meliputi: UUD Negara RI Tahun 1945 (sebelum dan sesudah perubahan), UU PTUN, UU Kekuasaan Kehakiman, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Berbagai putusan Mahkamah Agung yang dimuat dalam berbagai penerbitan Mahkamah Agung, Majalah Varia Peradilan yang diterbitkan IKAHI, serta penerbitan lain yang dilakukan para penulis hukum dan lain-lain.

2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjeasan mengenai bahan hukum primair, yakni :a. berbagai kepustakaan mengenai hukum tata usaha negara.b. berbagai disertasi mengenai hukum tata usaha Negara.c. berbagai majalah (jurnal hukum) dan/atau majalah hukum tata

usaha negara.d. Berbagai kepustakaan tentang hukum tata usaha negara.e. Berbagai kepustakaan tentang sistem hukum

3. Bahan hukum tertier, bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primair dan sekunder, terdiri dari :a. kamus hukum, Black law dictionaryb. kamus umum dan kamus besar Bahasa Indonesia dan kamus

Inggris – Indonesia

Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan lalu dibuatkan kompilasi kaidah hukum untu dijadikan sasaran penelitian dan melalui analisis terhadap bahan penelitian yang berhasil dihimpun itu diharapkan dapat ditemukan ciri-ciri Yurisprudensi dalam putusan-putusan yang menurut peneliti maupun menurut pandangan berbagai pihak merupakan putusan yang memberikan penafsiran baru, mengubah konsep hukum yang sudah ada, atau memunculkan konsep hukum baru yang berhubungan dengan penemuan hukum oleh hakim

instrumen kunci. (2) sifat penelitian adalah deskriftif, (3) lebih menekankan kepada proses daripada hasil, (4) analisis data cenderung dilakukan secara induktif, (5) perhatian utama yang diteliti adalah “makna”, Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Keempat, Cetakan kedua, Yogjakarta: Rake Sarasin, 2002, hal 148-151

13

PTUN, Putusan-putusan ini dapat disebut sebagai landmark decisions.30 Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya menyangkut putusan-putusan Mahkamah Agung di bidang hukum tata usaha negara. Yang menjadi bahan utama penelitian adalah putusan-putusan Mahkamah Agung yakni putusan-putusan Mahkamah Agung yang di dalamnya ditemukan rumusan kaidah hukum.

3. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan sumber data yang diperlukan dan model penelitian kualitatif naturalistik, untuk memperoleh data primer penelitian ini dilakukan di tempat dimana peneliti dapat berinteraksi secara alami dengan sumber informasi. Oleh karena itu penelitian ini utamanya dilakukan di Kamar Candra Mahkamah Agung Republik Indonesia,31 dimana peneliti dapat berinteraksi secara terus menerus dengan sumber data. Selain itu penelitian ini juga dilakukan di tempat-tempat lain dimana diselenggarakan forum ilmiah ataupun forum informal yang dapat digunakan oleh peneliti untuk menggali data dan informasi.

Untuk data sekunder, penelitian ini dilakukan melalui penelusuran bahan kepustakaan di perpustakaan atau tempat lain yang menyediakan data sekunder. Perpustakaan yang menjadi tempat penelusuran bahan adalah, Perpustakaan Mahkamah Agung dan Perpustakaan Universitas Diponegoro.

4. Metode Analisis Data

Bahan penelitian yang diperoleh, baik dari sumber hukum primair maupun sekunder diteliti lalu diklasifikasikan sesuai jenis perikatan yang timbul dalam praktik peradilan. Dasar analisis yang dipergunakan harus runtut, ajeg dan tidak ada pertentangan didalamnya sehingga kesimpulan yang ditarik bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Berkaitan dengan sifat rasional itu, dasar analisis adalah content analysis dengan konsep analisis berdasar 2 kriteria terhadap peranan Mahkamah Agung, yaitu :

1. Peranan membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui Yurisprudensi; dengan konsep ini analisis penelitian diharapkan mendapatkan :a. Data jenis sengketa yang timbul dalam praktik peradilan..b. Data objek keputusan tata usaha Negara yang timbul dalam

praktik peradilan.c. Data tentang kualifikasi putusan hakim dalam sengketa hukum

tata usaha negara, misalnya: pertanahan, perizinan, kepegawaian dan lain sebagainya.

2. Data Yurisprudensi.

30 Putusan pengadilan inilah sebenarnya merupakan law in action, Lihat Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum Dan Konsekuensi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (Ed). Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hal. 142

31 Kamar Candra Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung

14

Melalui content analysis diatas diharapkan hasil penelitian ini akan berhasil menampilkan data kualitatif Yurisprudensi. Dengan data kualitatif putusan Mahkamah Agung dari masing-masing Yurisprudensi, diharapkan akan memberi gambaran seberapa banyak putusan Mahkamah Agung yang tergolong sebagai Yurisprudensi, data itu akan memberikan gambaran keberhasilan atau kegagalan Mahkamah Agung dalam melaksanakan peranannya. Hasil penelitian ini akan menghasilkan berbagai usulan untuk lebih memampukan Mahkamah Agung melaksanakan peranannya untuk menerbitkan unifikasi hukum bersifat konstitutif, konstitutif dan sosiatif dalam upaya penyelesaian sengketa tata usaha negara.

15

BAB IIKERANGKA TEORETIS

A. Kerangka Konseptual

16

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

PEMBANGUNAN HAN

PEMBARUAN HUKUM MELALUI PROSES YUDISIAL

PEMBARUAN HUKUM MELALUI PROSES LEGISLASI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA (UU NO.5 TAHUN

1986 JO. UU NO. 9 TAHUN 2004 JO. UU NO. 51 TAHUN 2009

UU NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI

PEMERINTAHAN

YURISPRUDENSI PERADILAN TATA USAHA

NEGARA

Penerapan Oleh PTUN

Penemuan Hukum Oleh Hakim PTUN

Landasan Bertindak Dan Pengambilan Kebijakan Oleh Administrasi Negara

UU NO. 25 Tahun 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL (SPPN)

B.

C. Pembangunan Hukum Nasional

Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya Sistem Hukum Nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup: 32

1. Pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum;

2. Pewujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan Kemajemukan Tatanan Hukum yang berlaku dan Pengaruh Globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum; serta

3. Pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.

Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup: 33

1. Perencanaan hukum;2. Pembentukan hukum;3. Penelitian dan pengembangan hukum.

Di sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo adalah sebagai berikut:34

1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, ia harus

32 Bab IV Arah Tahapan Dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025, Bab IV.1.3 Mewujudkan Indonesia Yang Demokratis Berlandaskan Hukum, angka 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

33 Ibid, angka 734 Kompas, 18 September 1998, hal. 4

17

membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegas dengan resiko menjadi norma-norma yang kaku;

2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung resiko bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis ini, kita tidak mudah membuat perampatan-perampatan (generalizations).

Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 bidang hukum, menguraikan tentang beberapa program pembangunan hukum, yaitu (1) program pembentukan peraturan perundang-undangan; (2) program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya; (3) program penuntasan kasus korupsi kolusi nepotisme serta pelanggaran hak asasi manusia; dan (4) program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum.

Upaya perwujudan sistem hukum nasional dalam era reformasi terus dilanjutkan mencakup beberapa hal:35

Pertama, Pembangunan Materi Hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Kedua, Penyempurnaan Struktur Hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup

35 Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 Bab II, sub bab G Bidang Hukum

18

representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Ketiga, Pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan.

D. Pemberdayaan Putusan Pengadilan Dalam Pembangunan Hukum Nasional

Menurut Soedikno Mertokusumo, kata peradilan yang terdiri dari kata dasar “adil” dan mendapat awalan “per” serta akhiran “an” berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan di sini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.”36 Menurut R.Subekti dan R.Tjitrosoedibio, pengadilan (rechtsbank) atau court menunjuk kepada badan, sedangkan peradilan (rechtspraak) atau judiciary menunjuk kepada fungsinya.37 Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan Peradilan adalah sebuah sistem penegakan hukum, sedangkan pengadilan hanyalah subsistem dari sistem peradilan. Sebagai sebuah sistem, peradilan meliputi proses kelembagaan, ketenagaan yang bekerja mempertahankan dan menegakkan hukum secara pro justitia (mempertahankan dan menegakkan hukum dapat juga dilakukan secara non justitia).

Putusan Pengadilan menurut Sudikno Mertodikusumo adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 38

Ada beberapa macam cara yang ditempuh dalam mengkaji putusan pengadilan atau putusan hakim. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua jenis pendekatan, yakni pendekatan tradisional dan pendekatan non tradisional.39

Pendekatan tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan pengadilan dari sudut pandang (point of view) normatif semata. Sedangkan pendekatan non tradisional adalah suatu studi hukum dan putusan pengadilan dari optik multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif

36 Soedikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal 1-3.

37 Sjcahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia.Bandung: Alumni, 1997, hal. 22-24

38 Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty, 1988, hal 16739 Soetandyo Wignjosoebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu

Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah dalam Seminar Nasional, Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Semarang 12-13 November 1996, hal. 5

19

tentang ekstensitas dan intensitas bekerjanya hukum positif dan putusan pengadilan di dalam masyarakat.

Pendekatan tradisional meliputi pendekatan yang dilakukan mereka yang menganut aliran legisme dan positivisme yuridis. Aliran legisme menekankan bahwa hakikat hukum adalah hukum yang tertulis (undang-undang), sedangkan yang diluar undang-undang tidak termasuk hukum. Aliran positivisme yuridis atau ajaran hukum analitis (analitical jurisprudence) menekankan bahwa hukum seyogianya dipandang dari segi hukum positif. Bagi seorang hakim yang berpegang pada pendekatan ini, hukum merupakan konkretisasi dari kehendak yang memegang kedaulatan, atau sesuatu yang diciptakan oleh negara saja, yang kewenangannya tidak dipermasalahkan. Ia menganalisis hukum dengan menggunakan logika hukum semata. Sistem hukum merupakan sistem yang tertutup dan karena itu segala masalah hukum harus disoroti secara yuridis pula. 40

Kelemahan dari pendekatan tradisional ini adalah tidak mampu mengungkapkan realitas hukum dan pengadilan secara lebih sempurna, karena fokus studinya hanya pada aspek formal dari hukum (undang-undang), dengan mengabaikan dimensi sosial hukum dan putusan pengadilan. 41

Berbeda dengan pendekatan tradisional di atas, pendekatan non tradisional terdiri atas tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence, aliran legal realism, dan aliran behavioral jurisprudence.

Aliran sociological jurisprudence menekankan pada kenyataan hukum daripada apa yang diatur secara formal oleh undang-undang. Salah seorang aliran ini adalah Roscoue Pound berpendapat bahwa bagi para ahli hukum yang beraliran sosiologis, perlu lebih mempertimbangkan fakta-fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum ataukah penafsiran serta penerapan-penerapan hukum. Ia harus lebih memperhitungkan secara pandai fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang nantinya akan menjadi sasaran penerapannya. Pound menganjurkan agar perhatian lebih diarahkan pada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum. Kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya. 42 Bagi seorang hakim yang berpegang pada pendekatan ini, harus mempertimbangkan dengan cermat realitas-realitas dalam masyarakat.

Aliran realisme hukum (legal realism) pada hakikatnya menekankan pada pola perilaku nyata (patterns of behavior) dari hakim di dalam persidangan. Apa yang diputuskan oleh hakim itu adalah hukum. Hal ini tampak pada pemikiran kaum realisme hukum Amerika Serikat yang mendasarkan pemikiran mereka pada konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka, hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat

40 Ibid41 IS Susanto, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah dalam Seminar Nasional,

Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Semarang 12-13 November 1996, hal. 5

42 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Kelima, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 298

20

hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilihan, asas mana yang diutamakan dan pihak mana yang dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan atau digarapnya peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya. 43

Kelemahan dari pendekatan aliran sociological jurisprudence dan aliran legal realism adalah tidak menganalisis lebih jauh tentang hubungan timbal balik antara harapan-harapan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam keputusan hakim, pertimbangan hakim hanya mengungkapkan fakta hukum semata.44 Dengan kata lain, perhatian aliran sociological jurisprudence dan aliran legal realism masih terbatas pada fakta sosial yang punya makna yuridis, yakni fakta yang dipandang relevan secara yuridis dan dinilai penting dalam rangka pembentukan hukum. 45

Reaksi atas kelemahan dari pendekatan aliran sociological jurisprudence dan aliran legal realism, kemudian melahirkan aliran behavioral jurisprudence. Pendekatan yang bersifat perikelakuan (behavioral) ini tidak bermaksud untuk menggantikan peran kedua pendekatan tersebut, tetapi untuk melengkapinya. Sebab setiap pendekatan memiliki manfaatnya masing-masing apabila diterapkan sesuai maksud dan tujuannya. Bahkan ada kecenderungan dalam hasil penelitian membuktikan bahwa seringkali pendekatan-pendekatan tersebut diterapkan secara bersama-sama agar dapat diperoleh hasil yang lebih baik yang menggambarkan kelengkapan dari suatu pendekatan yang bersifat interdisipliner. 46

Aliran behavioral jurisprudence adalah suatu studi yang mempelajari tingkah laku aktual hakim dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasinya antara orang-orang yang terlibat dalam tahap-tahap pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian, pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan pengadilan yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan orang-orang yang terlibat dalam peranan-peranan sosial tertentu dalam pengambilan keputusan. 47

Pendekatan non tradisional di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa, dalam melakukan pendekatan terhadap hukum, ada cara pandang lain yang melihat hukum bukan sebagai norma yang tertutup, tetapi melihat hukum sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih luas. 48

Senada dengan hal ini Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan pula bahwa, hukum harus dipandang bukan hanya sekedar sebagai gejala normatif, melainkan juga harus dipandang sebagai gejala empiris. 49 Demikian juga

43 Ibid, hal. 300-301 44 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 109-110 45 Soetandyo Wignjosoebroto, Op.,Cit, hal. 446 Soerjono Soekanto, Op., Cit, hal. 107-108 47 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam

Pembinaan Cita Hukum Nasionak, Bandung: CV. Sinar Baru, 1985, hal. 82 48 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal.27 49 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional,

Bandung: Bina Cipta, 1975, hal.11

21

dengan yang diungkapkan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bahwa, hukum itu tidaklah akan dapat dipahami dengan cukup sempurna apabila tidak dikaji dalam hubungannya dengan realitas-realitas sosial. 50

Berangkat dari asumsi bahwa suatu hasil produk putusan hukum hakim bukan lahir dari keadaan tanpa nuansa “konteks sosiologis yang mengitarinya” (keadaan hampa sosial) melainkan penuh dengan pengaruh sosial yang mengitarinya, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa secara sosiologis sulit diterima adanya pengadilan yang netral, lebih lagi dalam negara Pancasila. Pengadilan di Indonesia mempunyai sisi untuk memperjuangkan dan mewujudkan Pancasila dalam masyarakat. Dengan demikian, pengadilan menjadi salah satu tempat penting dimana keadilan dan moral Pancasila diwujudkan. Perwujudan masyarakat Pancasila tidak cukup hanya melalui undang-undang dan retorika pemerintahan, tetapi menuntut untuk benar-benar diwujudkan. Institusi legislatif baru menjalankan sebagian dari usaha mewujudkan masyarakat yang demikian itu dan itu pun lazimnya menggunakan bahasa yang abstrak dan sangat umum. Baru melalui putusan pengadilan segalanya menjadi jelas dan konkret.51 Lebih lanjut Satjipto menambahkan, bahwa di dalam pengadilan terjadi perjuangan untuk mewujudkan ideologi-ideologi. Itu berarti, bahwa pengadilan dan hakim tidak hanya mengkonkretkan isi undang-undang atau memutus berdasarkan undang-undang, melainkan lebih jauh daripada itu. Hakim itu juga berpolitik dan menjadi pejuang ideologi, oleh karena melalui putusannya ia mewujudkan pikiran ideologis menjadi kenyataan.52

Pencarian kembali tentang makna cita hukum (rechtsidde) bagi rakyat Indonesia yang bersumber dari Pancasila di dalam rumusan UUD 1945 perlu dilakukan, sehingga nantinya diharapkan penegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila oleh kekuasaan kehakiman (badan Pengadilan) melalui pelaksananya hakim dapat diwujudkan. Dalam hasil Seminar Hukum Nasional I yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1963, disebutkan tugas daripada hakim itu adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia. 53

Telah lama diterima pendapat bahwa para hakim mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh aturan-aturan (kekosongan peraturan perundangan) dengan menggunakan diskresi (keleluasaan). Menurut Hart, That the rule-making authority must exercise a discretion, and there is no possibility of

50 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,Jakarta: Elsam dan Huma, 2002, hal.37

51 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 238

52 Ibid, hal. 23653 Barda Nawawi Arief, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII Dan

Konvensi Hukum Nasional 2008 Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011, hal. 12

22

treating question raised by the various cases as if there were one uniquely correct answer to be found, as distinct from an answer which is a reasonable compromise between many conflicting interest.54

Menurut Erlyn Indarti, untuk dapat menggunakan diskresinya tersebut, hakim membutuhkan alat/perkakas (mental tools) untuk memahami hukum, dalam memecahkan persoalan (problem solutions) yang konkrit. Dalam komunitas ilmiah hal ini disebut sebagai paradigma. 55

Paradigma adalah suatu kerangka (pemikiran) yang meliputi beragam belief dan standar. Kerangka ini menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang ilmu, disiplin atau cabang ilmu pengetahuan dimana paradigma tersebut diaplikasikan. Apa yang terkandung dalam paradigma, mendefiniskan suatu pola aktivitas ilmiah yang mapan dan mantap bagi komunitas ilmuan yang bersangkutan.56

Paradigma dalam kaitannya dengan fungsi hakim, secara sederhana dapat diartikan sebagai cara pandang hakim. Namun pengertian yang lebih akademis, paradigma diartikan sebagai kerangka referensi atau pandangan yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Paradigma merupakan tempat berpijak dalam melihat suatu realitas, bagaimana hakim melihat sesuatu, apa yang dianggap sebagai masalah, serta apa metode untuk memecahkannya. Dengan demikian, paradigma mempengaruhi pandangan hakim tentang apa yang adil dan tidak adil.57

Paradigma yang berkembang dalam ilmu hukum saat ini antara lain: paradigma positivisme, post positivisme, critical legal studies dan paradigma konstrusivisme. Untuk memahami makna realitas dan implikasinya bagaimana hukum dikonsepsikan dalam paradigma itu, Adji Samekto menguraikannya sebagai berikut: 58

Pertama, Paradigma positivisme. Secara ontologis paradigma ini mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya kasat mata. Tidak membicarakan esensi. Konsekuensinya paradigma positivisme mengkonsepsikan hukum sebagai perangkat peraturan tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang sah, yang diberlakukan untuk mengatur individu-individu sehingga tercipta keadaan masyarakat yang baik (law as it is written in the books). Hukum sudah tidak dibicarakan lagi apakah memenuhi moralitas atau tidak. Secara epistemologis, hakim mendudukkan diri secara impersonal, terpisah dengan peristiwa konkrit. Posisi hakim dengan demikian netral, tidak berpihak, terhadap peristiwa konkrit atau fakta sosial.

54 H.L.A. Hart, The Concept of Law, Clarendon Press, Oxford University Press, Oxford, 1972, , p.132

55 Erlyn Indarti, Op.,Cit, hal.1756 Ibid, hal. 1557 Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogjakarta:

Genta Publishing, 2011, hal. 2, Penjelasan lebih lanjut tentang paradigma dapat dibaca Thomas Khun, The Structures of Scientific Revolution, Chicago: The University of Chicago, 1970

58 FX. Adji Samekto, Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012, hal. 68-72

23

Kedua, Paradigma post positivisme. Secara ontologis paradigma ini mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya, namun disadari bahwa sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi realitas itu. Konsekuensinya, paradigma paradigma ini mengkonsepsikan hukum sebagai seperangkat peraturan yang berlaku dalam masyarakat yang keberlakuannya akan dipengaruhi factor-faktor yang lain (faktor ekonomi, politik, budaya dan lainnya). Secara epistemologis, dalam paradigma ini hakim mendudukkan diri secara impersonal, terpisah dengan peristiwa konkrit. Posisi hakim netral, tidak berpihak terhadap peristiwa konkrit atau fakta sosial.

Ketiga Paradigma critical legal studies. Secara ontologis realitas dikonsepsikan sebagai konstruksi hasil hubungan-hubungan yang tidak pernah seimbang. Realitas tidak terwakili dari yang kasat mata. Konsekuensinya, hukum dikonsepsikan sebagai seperangkat peraturan, yang dibentuk untuk kepentingan pihak yang lebih kuat. Secara epistemologis, dalam paradigma ini, hakim mendudukkan diri untuk memihak pada yang lebih lemah untuk memberdayakan dan menyandarkan bahwa keadaan itu harus diubah untuk menjadi seimbang. Posisi hakim dengan demikian berpihak terhadap peristiwa konkrit atau fakta sosial.

Paradigma konstrusivisme. Secara ontologis realitas dikonsepsikan sebagai resultante dari hasil interpretasi subjek-subjek yang sesungguhnya beragam itu. Hukum dikonsepsikan sebagai seperangkat peraturan, yang merupakan resultante dari interpretasi-interpretasi para subjek, yang didasarkan pada pengalaman sosial, budaya, agama, system nilai-nilai lainnya yang melekat pada subjek penelitian. Secara epistemologis, dalam paradigma ini, hakim mendudukkan diri secara tidak terpisah dengan peristiwa konkrit. Posisi hakim tidak terpisah dengan peristiwa konkrit atau fakta sosial.

Penemuan hukum oleh hakim diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim dalam proses mengkonkrititasikan dan mengindividualisasikan peraturan hukum yang bersifat umum dengan peristiwa konkrit. 59

Penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari proses penalaran hukum (legal reasoning) atau proses bekerja (berpikir) seorang hakim (judicial reasoning).

Penalaran hukum terkait dengan metode-metode yang digunakan hakim dalam merumuskan masalah hukum, memecahkannya dan mengambil suatu putusan hukum terhadap kasus konkret yang ditanganinya. Menurut Bagir Manan, metode penemuan hukum dapat dibedakan menjadi: 60

1. Semata-mata menerapkan hukum ke dalam satu kasus konkrit (rechtstoepassing, law applying. Disini berlaku, hakim hanyalah mulut undang-undang (the mouth of law, bouche de la loi). Dalam praktik hal ini jarang terjadi, bahkan mungkin tidak pernah terjadi.

59 Van Gerven dan Leijten, Theorie en Praktijk van de Rechtsvinding, sebagaimana dikutip oleh Soedikno Mertodikusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet. Kedua, Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 148

60 Bagir Manan, Penafsiran Sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional; Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH.MH, Editor Idris et.all, Bandung: Penerbit Fikahati Aneska, 2012, hal. 77

24

Pertama, dalam kenyataan, tidak ada peristiwa pelanggaran hukum konkrit tepat (persis) sama dengan lukisan dalam undang-undang. Apalagi pada umumnya undang-undang hanya bersifat umum (open- textured language). Kedua, rumusan undang-undang sengaja dibuat tidak jelas (menggunakan istilah-istilah yang tidak jelas) dengan maksud memberikan kesempatan (ruang) kepada hakim lebih mempertimbangkan kepantasan menurut akal sehat dalam penyelesaian suatu perkara (meer armslag te geven de problemen naar billijkheid op te lossen);

2. Penafsiran (recht interpretative), konstruksi, analogi dan penghalusan hukum. Hal ini agak berbeda dengan di Negara-negara, seperti Inggris dan Amerika Serikat atau Negara-negara yang mengikuti tradisi Inggris dan Amerika Serikat. Dalam sejumlah buku textbooks yang dijumpai hanya penafsiran (interpretation). Dari penafsiran terpencar hal-hal seperti analogi, penghalusan hukum (narrowing), penciptaan hukum dan lain-lain;

3. Membentuk hukum atau menciptakan hukum (rechtschepping, rechtsvorming, law making,). Telah disebutkan, rechtschepping dilakukan hakim dalam hal undang-undang tidak jelas, ada kekosongan undang-undang, atau ada pertentangan antara berbagai ketentuan undang-undang. Dalam tradisi judge made law pada dasarnya hakim membentuk hukum.

Menurut teori hukum klasik, hakim memutus kasus dalam dua langkah: (1) they find the limit of what the explicit law requires, and (2) they then exercise an independent discretion to legislate on issues which the law does not reach. Langkah pertama, hakim berusaha menemukan ketentuan yang secara eksplisit ditegaskan oleh hukum yang berlaku. Apabila tidak ada hukum yang mengaturnya, maka dilanjutkan dengan langkah kedua, hakim dapat melakukan diskresi untuk menciptakan hukum untuk diterapkan pada kasus yang tidak terjangkau oleh hukum yang ada. Jadi, hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa hukum yang ada tidak mampu menjangkau permasalahan yang dihadapi atau tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan secara adil terhadap kasus yang dihadapi. Baru kemudian ada alasan hakim untuk melakukan diskresi guna menemukan hukum baru.61

Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Roscoe Pound, langkah yang biasa dilakukan hakim pada saat mengadili suatu perkara di Pengadilan adalah; (1) menemukan hukum, (2) menafsirkan hukum, dan (3) menetapkan hukum.62 Sedangkan menurut Gr. Van der Burght dan J.D.C. Winkelman, dalam menghadapi suatu kasus seorang hakim harus melakukan tujuh langkah, yaitu: 63

61 Widodo, Op., Cit, hal. 12562 Roscoe Pound, “An Introduction to The Philosophy of Law”, Diterjemahkan Moh.

Radjab, Suatu Pengantar Ke Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1963, hal. 67.63 Gr. Van der Brught & J.D.C Winkelman, Penyelesaian Kasus, terjemahan B. Arief

Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun XII, No. 1, Januari 1994, hal. 35-36

25

a. meletakan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi):

b. menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi; pengkualifikasian);

c. menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan; d. menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan

hukum itu; e. menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus; f. mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen

dan penyelesaian;g. merumuskan (formulasi) penyelesaian.

Penanganan perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi yaitu berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab-akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah “judex facti”.

Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum, diawali dengan identifikasi aturan hukum. Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum sebagai berikut: 64

1. kekosongan hukum (leemten in het recht)2. antinomi hukum (konflik norma hukum)3. norma yang kabur (vage normen).

E. Arti Dan Fungsi Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum

Secara etimologi (bahasa) sumber berarti tempat keluar (air atau zat cair), mata air, asal (dalam berbagai arti).65 Sedangkan hukum diambil dari kata al-Hukm yang berasal dari suku kata bahasa Arab yaitu hakama-yahkumu-hukman yang artinya putusan, hukum, ketetapan atau vonis.66

Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian. Istilah itu dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filsufis, dan ilmu hukum. Masing-masing disiplin mengartikannya dari perspektifnya terhadap hukum. Sejarawan, sosiolog, filsuf dan yuris melihat hukum dari masing-masing sudut pandangnya. Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah. Filsuf dan yuris,

64 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-En Rechtmatige Bestuur), Cetakan Pertama, Surabaya: Yuridika, 1993., hal. 12-15

65 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ibid, hal. 138766 Ma’shum Ali, Ahmad Warson al-Munawwir, Zainal Abidin, Kamus Al-Munawwir

Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 261

26

sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai.67

Sumber hukum dibagi menjadi dua bagian yaitu: (1) sumber hukum formil dan (2) sumber hukum materiil. Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, seperti Undang-undang (statute), Kebiasaan dan adat (custom), Traktat (treaty), perjanjian atau konvensi internasional, Yurisprudensi (case law, judge made law), pendapat ahli hukum terkenal (doctrine).68 Sedangkan sumber hukum dalam arti materiil adalah faktor yang menentukan isi hukum,69 yaitu faktor idiil berupa nilai-nilai etika dan keadilan dan faktor riil berupa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Secara etimologi (bahasa), istilah yurisprudensi berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa latin), yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, memiliki makna yang sama dengan kata Jurisprudentie dalam bahasa Belanda dan Jurisprudence dalam bahasa Perancis, yang berarti Peradilan Tetap atau Hukum Peradilan.70 Negara-negara tersebut, dan pada umumnya Negara-negara yang bersistem hukum civil law atau eropa continental, istilah yurisprudensi diartikan sebagai putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan-badan peradilan lainnya dalam kasus atau perkara yang sama. Kumpulan hukum yang demikian disebut sebagai Rechtersrecht atau hukum yang lahir melalui putusan-putusan hakim atau peradilan. 71

Sebaliknya, di negara-negara yang bersistem hukum common law atau anglo saxon dan Negara-negara yang dipengaruhinya, seperti misalnya Inggris, istilah Jurisprudence berarti teori ilmu hukum (General Theory of Law), yang memuat prinsip-prinsip hukum positif dan hubungan hukum. Sedangkan istilah teknis untuk pengertian yurisprudensi yaitu putusan-putusan hakim yang lebih tinggi dan yang diikuti secara tetap sehingga menjadi bagian dari pengetahuan ilmu hukum, dipergunakan istilah-istilah case law atau Judge made Law. Di Jerman, kata Jurisprudenz berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran ajaran hukum), misalnya begriff jurisprudenz, Interressen jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi adalah kata ueberlieferung. 72

Indonesia secara historis mempunyai kedekatan keluarga dengan sistem hukum civil law melalui jaman penjajahan Belanda, namun belum ada pengertian baku mengenai apakah yang dimaksud dengan yurisprudensi itu.73

67 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hal. 255

68 Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung: Refika Aditama, 2010, hal. 77

69 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, hal. 88-8970 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan Dan

Yurisprudensi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 47-4871 Paulus Effendi Lotulung, Yurisprudensi ... Op.Cit, hal. 772 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.,Cit, hal. 47-4873 Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta:

Penerbit CV Rajawali, 1986, hal. 77

27

Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992, telah dikumpulkan beberapa defisini pengertian yurisprudensi, yaitu antara lain: 74

a. Yurisprudensi yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto);

b. Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (Kamus Pockema Andrea);

c. Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam member keputusan dalam soal yang sama (Kamus Pockema Andrea);

d. Yurisprudensi diartikan sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh Peradilan (Kamus Koenen endepols);

e. Yurisprudensi diartikan sebagai pengumpulan yang sistematis dari putusan Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan Tinggi (yang tercatat) yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa (Kamus Van Dale);

f. Pendapat R. Subekti, Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap (constant).

Sebagai sumber hukum formal, yurisprudensi memiliki fungsi sebagai:75

1. Standart hukum dalam hal undang-undang tidak mengatur atau belum mengatur pemecahan kasus yang bersangkutan;

2. Dengan adanya standar hukum yang sama itu, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat;

3. Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan (predictable) dan ada transparansi;

4. Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang sama. Andai kata pun timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam kasus yang sama maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus).

Secara umum sistem hukum yang berlaku di belahan dunia meliputi, sistem hukum eropa kontinental (civil law), sistem hukum anglo saxon (common law), sistem hukum sosialis (sosialist law) dan sistem hukum yang

74 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Jakarta, 1992

75 Ibid, hal. 20

28

berlaku di negara-negara islam (islamic law). Dalam tulisan ini akan difokuskan terhadap dua sistem hukum yang memiliki pengaruh besar terhadap sistem peradilan di Indonesia yaitu sistem hukum civil law dan common law.

Sistem civil law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Dalam tradisi hukum civil law, peran pemerintah dan parlemen dominan dalam pembuatan hukum yang berupa peraturan-peraturan tertulis. Sementara, hakim tidak mandiri dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang sesungguhnya. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (la bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah, mengubah ataupun mengurangi kekuatan hukum undang-undang.76

Para hakim dari tradisi kontinental, pada dasarnya berada pada arus besar (mainstream) pemikiran bahwa “law as it is written in the book”. Artinya, hakim dalam menyelesaikan perkara harus terlebih dulu melihat kepada undang-undang daripada sumber hukum lainnya.77 Atau dengan kata lain, sistem hukum eropa kontinental (civil law) menempatkan keadilan hanya bersumber pada undang-undang. Sehingga hakim tidak mandiri dalam menafsirkan hukum, karena harus mendasarkan penilaiannya pada peraturan perundang-undangan diluar dirinya. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini disebut sebagai penemuan hukum heteronom.

Meskipun demikian tidak berarti bahwa yurisprudensi tidak mempunyai arti dalam sistem civil law. Tidak dapat dipungkiri Hoge Raad Arrest pada tahun 1919 tentang onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum) hingga saat ini masih bertahan dan seakan-akan sudah menjadi undang-undang.78

Setelah keputusan Lindenbaum v. Cohen pada tahun 1919 itu, pengaruh Hoge Raad menjadi penting dalam pengembangan hukum. Hoge Raad menjembatani kesenjangan antara hukum dan masyarakat yang terus berubah-ubah dengan lebih cepat dan lebih baik dari pada yang dapat dilakukan badan pembuat undang-undang (legislature) Belanda. 79

Berbeda halnya dengan sistem civil law, sistem common law merupakan kebalikan dari sistem civil law yaitu yurisprudensi dipandang sebagai sumber hukum yang utama, dianutnya doktrin stare decisis, dan adanya adversary system dalam proses peradilan. 80 Pada sistem Common Law, kedudukan hakim tidak lagi terikat dengan undang-undang, tetapi dapat melakukan penilaian secara mandiri terhadap peraturan perundang-undangan dengan menyesuaikannya terhadap kebutuhan-kebutuhan hukum. Atau dengan kata lain, sistem hukum anglo saxon (common law) menempatkan keadilan pada pandangan hakim. Hakim mandiri dalam menafsirkan hukum, karena harus

76 Soedikno Mertodikusumo, Penemuan Hukum…Op.,Cit, hal. 4077 Widodo Dwi Putro, Op.,Cit, hal. 678 Peter Mahmud Marzuki, Op.,Cit, hal. 25179 Peter J. van Kopper., The Dutch Supreme Court and Parliament: Political Decision

making versus Non Politikel Appointment, The Law and Societ Review, vol.24,Nomber3/1990, Published by the Law and Soceaty Association, Hampshire House, University of Massachusetts, Amherst,1990, p. 757

80 Ibid

29

mendasarkan penilaiannya pada faktor dalam dirinya sendiri. Hakim dituntut untuk bersikap aktif, karena diberi kebebasan untuk menemukan dan mencari sumber hukum lain selain undang-undang. Penilaian hukum oleh hakim seperti ini disebut sebagai penemuan hukum otonom.

Selain itu, di sisi yang lain sistem hukum anglo saxon (common law) juga mengarahkan hakim untuk meletakkan nilai kemanfaatan dan keadilan, untuk nilai kepastian hukum dicapai melalui asas preseden yang mengikat (the binding force of precedent),81 dimana hakim terikat pada putusan-putusan hakim terdahulu dalam hal menjatuhkan putusan terhadap perkara yang sama jenisnya. Dengan demikian, sistem hukum anglo saxon (common law) juga menganut penemuan hukum yang bersifat heteronom.

Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem civil law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi. Sedangkan sumber-sumber hukum di negara-negara penganut sistem common law hanya yurisprudensi, yang di Inggris disebut judge made law atau di Amerika disebut case law dan perundang-undangan (statute law).

Perbedaan antara sistem civil law dengan sistem common law dalam hubungannya dengan yurisprudensi, tidak perlu dipertentangkan secara mutlak dan diametral, sebab kedua sistem tersebut saling mendekati dan saling memasuki, sehingga batas antara keduanya itu lebih bersifat doktrinair dalam dunia teori saja. Dikotomi antara sistem civil law dengan sistem common law secara murni sudah tidak dapat dipertahankan lagi pada jaman modern sekarang. Kedua Negara tersebut harus saling mengisi dan tidak satupun negara yang memakai secara ketat salah satu sistem ini. 82

Sekalipun secara umum diterima adanya kedekatan keluarga sistem civil law dengan sistem hukum nasional Indonesia, karakteristik sistem hukum Indonesia itu sendiri masih menimbulkan silang pendapat, khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan subsistem hukum yang menopangnya, yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum barat.83 Namun dalam kaitannya dengan yurisprudensi, Soepomo menyatakan, bahwa di Indonesia hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi dalam praktek pengadilan di Negara-negara Eropa, sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting untuk menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan oleh para hakim. 84

Keterikatan hakim dalam mempedomani putusan pengadilan terdahulu yang telah menjadi yurisprudensi, menurut Paulus E. Lotulung adalah lebih bersifat persuasive force of precedent dan bukan berdasarkan pada sifat coercive force of binding precedent seperti halnya asas stare decisis pada

81 Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Akar Filosofis. Yogyakarta : Genta Publishing, 2013, hal. 129-130

82 Paulus Effendi Lotulung, Yurisprudensi ... OP.,Cit, hal. 12 83 Ibid, hal. 129-130. 84 Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar

Universitas Indonesia Pada Tanggal 19 September 1959, hal. 24.

30

negara-negara yang bersistem hukum common law.85 Keterikatan hakim tersebut disebabkan oleh karena faktor-faktor sebagai berikut: 86

1. Putusan hakim yang lebih tinggi yaitu Putusan yang dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan (gezag);

2. Sebab psikologis, apabila hakim bawahan menyimpang dari putusan sebelumnya, maka nanti pada akhirnya akan dibatalkan juga dalam tingkat pemeriksaan yang lebih tinggi;

3. Hakim bawahan berpendapat sama dengan putusan-putusan sebelumnya.

Sistem hukum Indonesia tidak menentukan jenis klasifikasi yurisprudensi tertentu untuk dijadikan sumber hukum, tetapi dalam praktik peradilan dikenal adanya dua klasifikasi yurisprudensi, yaitu yurisprudensi biasa (tidak tetap) dan yurisprudensi tetap. Untuk menentukan apakah suatu putusan hakim dapat diklasifikasikan sebagai yurisprudensi, ditentukan beberapa kriteria terhadap putusan itu. Kriteria utama terletak pada adanya penerapan nilai konstruktif kaidah hukum dalam pertimbangan hukum pada putusan hakim tersebut.

85 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yurisprudensi...Op.,Cit, hal. 11

86 Utrecht dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 122-123

31

BAB IIIHUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN YURISPRUDENSI PUTUSAN

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Hukum Administrasi Negara (HAN)

a. Istilah Hukum Administrasi Negara (HAN)

Secara teoritik, hukum administrasi negara merupakan fenomena kenegaraan dan pemerintahan yang keberadaannya setua dengan negara hukum atau muncul bersamaan dengan diselenggarakannya kekuasaan negara dan pemerintahan berdasarkan aturan hukum tertentu.87 Ruang lingkup Ilmu Hukum Administrasi Negara sangat luas dan terus berkembang mengikuti arah pengolahan/penyelenggaraan suatu Negara, oleh karena itu sangat sulit untuk dapat memberikan suatu definisi terhadap Hukum Administrasi Negara yang dapat diterima oleh semua pihak.

Istilah Hukum Administrasi Negara di Perancis disebut dengan istilah Droit Administrative, sedangkan di Inggris dan di Jerman masing-masing disebut dengan istilah Administrative Law dan Verwaltung recht. Di Belanda Hukum Administrasi Negara disebut dengan istilah bestuursrecht dan administratiefrecht, dengan kata dasar administratie dan bestuur. Terhadap kedua istilah ini para sarjana Indonesia berbeda pendapat dalam menerjemahkannya. Kata administratie ini diterjemahkan dengan tata usaha, tata usaha pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha negara, dan administrasi. Adapun kata bestuur diterjemahkan dengan pemerintahan.88

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas jelaslah bahwa bidang Hukum Administrasi Negara sangatlah luas, banyak segi dan macam ragamnya. Hukum administrasi negara merupakan legal matrix daripada administrasi negara.89 Pemerintah adalah pengurus daripada Negara, pengurus Negara adalah keseluruhan dari jabatan-jabatan di dalam suatu Negara yang mempunyai tugas dan wewenang politik Negara dan pemerintahan. Apa yang dijalanakan oleh pemerintah adalah tugas Negara dan merupakan tanggung jawab dari alat-alat pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah Hukum mengenai Pemerintah/Eksekutif di dalam kedudukannya, tugas-tugasnya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara. Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, badan administrasi harus memiliki wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

87 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hal. 17.88 Ibid.89 Anna Erliyana, Memahami Makna dan Ruang Lingkup Kewenangan Badan Tata

Usaha Negara, Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum FH UI, Depok 28 Maret 2007, hal. 118.

32

b. Masalah Aktual HAN

Pengaruh dari perkembangan yang terjadi di berbagai sektor yang ada, seperti sektor perekonomian, sektor politik, sektor perdagangan, sektor pemerintahan, dan lain sebagainya adalah makna dan ruang lingkup dari materi HAN tidak lagi hanya menjadi hukum yang mengatur pemerintahan semata, namun juga mengatur berbagai hal-hal di luar ruang lingkup tradisionalnya selama ini antara lain:

Pertama, percampuran antara hukum publik dan hukum perdata dalam praktik pemerintahan.

Kedua, kewenangan diskresi bagi Administrasi Negara. Ketiga, Kekuasaan dan kewenangan Administrasi Negara.Keempat, Legalitas dari tindakan pejabat administrasi Negara.Kelima, Perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan pejabat

administrasi Negara.Keenam, Banding administrasi.Ketujuh, Penyelesaian sengketa administrasi Negara.

c. Arah Pertumbuhan Pembangunan HAN

HAN merupakan hukum yang selalu berkaitan dengan aktivitas perilaku administrasi negara dan kebutuhan masyarakat serta interaksi di antara keduanya. Namun demikian, sistem administrasi negara yang menjadi pilar pelayanan publik masih banyak menghadapi masalah yang sangat fundamental, yaitu masih diterapkannya sistem administrasi peninggalan kolonial, struktur birokrasi dan regulasi yang masih berorientasi pada kepentingan penguasa, kualitas dan kompetensi aparat birokrasi dan ketiadaan grand design reformasi dan reposisi peran administrasi negara. 90

Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan, dan fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh, dan berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya kemauan politik dari pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program pembangunan, tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan.91

Pembangunan Hukum Administrasi Negara merupakan prasyarat untuk menciptakan Good Governance. Dalam kaca mata administrasi negara, reformasi administrasi adalah pembenahan sejumlah kebijakan hukum yang terkait dengan struktur, proses dan manajemen baik dalam bidang keuangan, pengawasan, sumber daya manusia aparatur, akuntabilitas dan transparansi serta proses pembuatan kebijakan dan implementasinya. Reformasi

90 Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Op.,Cit, hal. 121

91 Eko Prasojo, Revitalisasi Administrasi Negara, Kompas, 4 Januari 2006.

33

administrasi negara berarti pula reformasi dalam bidang hukum administrasi negara. Karena tidak ada reformasi administrasi yang berjalan tanpa adanya reformasi dalam bidang hukum administrasi.

Satu hal yang tidak dapat terlupakan di dalam melakukan reformasi administrasi negara adalah mulai ditumbuhkan dan dikembangkannya pemikiran-pemikiran tentang perlunya merekonseptualisasikan dan mereposisi, serta merevitalisasi kedudukan HAN dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, adalah pemerintahan yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik, dan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN merupakan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. HAN merupakan konkritisasi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.92 Hubungan Pemerintah yang memimpin dengan rakyatnya yang dipimpin, dan dalam interaksi antara keduanya, harus diletakkan dalam kontek pranata hukum yang menjamin konkritisasi prinsip-prinsip pemerintah yang baik dan bersih.

d. Perkembangan Sistem HAN

HAN mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik dari segi ruang lingkupnya maupun dari segi permasalahan-permasalahan yang tercakup didalamnya. Namun puncak perkembangannya sangat dirasakan pada kelompok negara yang bertipe welfare state (negara kesejahteraan), dengan demikian perkembangan konsep negara hukum erat kaitannya dengan peranan hukum administrasi negara didalamnya. Pada konsep polizeistaat boleh dikatakan administrasi negara belum berkembang, barulah pada nachwakerstaat hukum administrasi negara mulai muncul meskipun terbatas. Pada welvaarstaat peranan hukum administrasi negara menjadi semakin luas dan dominan, dengan demikian hal ini akan menjadi landasan kerja bagi hukum administrasi negara dalam menjalankan tugas pelayanan publik.

Secara umum, perkembangan berbagai sektor kemasyarakatan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan HAN, baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa HAN merupakan hukum yang bersifat dinamis, dan selalu terbuka akan penyesuaian dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. HAN adalah hukum yang selalu berkaitan dengan aktivitas dan perilaku administrasi negara dan kebutuhan masyarakat serta interaksi di antara kedua hal tersebut yang pada dasarnya merupakan aktivitas yang bersifat aktif, dinamis dan terbuka.

Hubungan Pemerintah yang memimpin dengan rakyatnya yang dipimpin, dan dalam interaksi antara keduanya, harus diletakkan dalam kontek pranata hukum yang menjamin konkritisasi prinsip-prinsip pemerintah yang baik dan bersih. Dalam kontek inilah menurut Paulus Effendi Lotulung,

92 Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Laporan Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Administrasi Negara (PPHN HAN), yang diselenggarakan di Surabaya pada 14-16 Juni 2007,hal. 4

34

diperlukan pranata sistem hukum administrasi pemerintahan yang bersifat umum dan baku dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan yang dapat diterima sebagai kodifikasi partial dan bersifat sebagai Undang-undang Payung (Umbrella Act) dalam menjalankan pemerintahan bagi suatu negara hukum. 93

Terhitung sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia hingga tanggal 17 Oktober 2014, Indonesia belum memiliki UU Tentang Administrasi Pemerintahan seperti yang sudah dimiliki oleh beberapa negara lain, misalnya German, Nederland, Prancis, Amerika Serikat, dan lain-lain. Sehingga ditinjau dari aspek kebijakan dan politik perundang-undangan penetapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 di Indonesia merupakan legislasi yang bersifat “Conditio sureguad non” bagi negara hukum, terutama dalam penyelenggaraan governance.

Pertimbangan dibentuknya UUAP adalah: 94

a. Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;

c. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;

UUAP dalam kaitannya dengan Pembangunan HAN, berfungsi sebagai hukum materiil bagi substansi keputusan Tata Usaha Negara, dan sekaligus juga sebagai hukum materiil dari Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan hukum formil dalam penegakan hukum Administrasi Negara (UU No. 5 Tahun 1986 juncto UU No. 9 Tahun 2004 juncto UU No. 51 Tahun 2009). Pertimbangan dibentuknya PTUN adalah:

a. Menjamin kepeliharaanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antar aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat.

93 Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Draf Laporan Kompendium Bidang Hukum Administrasi, Jakarta, 2008, hal. 89

94 Konsideran Menimbang UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

35

b. Sebagai usaha untuk membina, menyempurnakan dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih serta berwibawa dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap perubahan untuk masyarakat.

c. Menyelesaikan sengketa yang timbul antara badan atau pejabat tata usaha Negara dengan warga masyarakat dalam rangka menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum sehingga dapat memberikan pengayoman pada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara UU PTUN dengan UUAP dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. UUAP secara umum mengatur syarat-syarat dan tata cara pembuatan keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan landasan yuridis bagi PTUN dalam menilai prosedur dan materi muatan keputusan tata usaha negara apakah telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik ataukah tidak.

B. Aktualisasi UU Administrasi Pemerintahan Untuk Pembangunan HAN

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.

Pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian yaitu di satu pihak dalam arti fungsi pemerintahan (kegiatan memerintah), di lain pihak dalam arti organisasi pemerintahan (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan). Fungsi pemerintahan ini secara keseluruhan terdiri dari berbagai macam tindakan-tindakan pemerintahan: keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakan-tindakan hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata. Hanya perundang-undangan dari penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk didalamnya. 95

95 Sadjijono, Op.,Cit, hal. 43

36

Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.

Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.

C. PTUN Dalam Sistem Peradilan di Indonesia

a. Istilah Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara atau lazim pula disebut sebagai Peradilan Administrasi terdiri dari dua suku kata yaitu Peradilan dan Administrasi. Peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan.96 Sedangkan istilah Administrasi dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Administrasi dalam arti sempit berarti segala kegiatan tulis menulis, catat-mencatat, surat-menyurat, serta penyimpanan dan pengurusan masalah-masalah yang bersifat teknis ketata-usahaan. Sedangkan Administrasi Negara dalam arti luas menurut E.Utrech, dimaknai sebagai complex ambten/aparat atau gabungan jabatan-jabatan administrasi yang dibawah pimpinan Pemerintah melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan pengadilan dan legislatif. 97 Dalam pengertian yang sempit ini maka pengertian administrasi sama dengan pengertian tata usaha. Dengan demikian, antara peradilan tata usaha negara dengan peradilan administrasi hanya didasarkan pada perbedaan penggunaan istilah saja.

b. Konsep Peradilan Tata Usaha Negara

96 J.T.C Simorangkir dalam S.F Marbun, Op., Cit, hal. 3097 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Surabaya: Pustaka Tita

Mas.1960, hal. 16

37

Konsep Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di dalam kepustakaan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi di Indonesia digunakan berbagai macam istilah bagi Peradilan Tata Usaha Negara, antara lain: (1) Peradilan Administrasi, (2) Peradilan Administratif, (3) Peradilan Administrasi Negara, (4) Peradilan Tata Usaha, (5) Peradilan Tata Usaha Pemerintahan dan (6) Peradilan Tata Usaha Negara. 98 Istilah Peradilan Tata Usaha Negara ini kemudian dalam ketentuan Pasal 144 UU No. 5 Tahun 1986, disebut juga sebagai Peradilan Administrasi Negara.

Keberadaan PTUN merupakan salah satu pilar dari negara hukum. Ajaran negara hukum yang kini dianut oleh sebagian besar Negara-negara di dunia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Ciri utama dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) adalah kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga masyarakat.99 Konsep negara hukum ini muncul sebagai reaksi atas konsep negara legal state atau konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaats). Konsep negara ini memberikan batasan turut campurnya negara dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, sehingga oleh karenanya pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif dalam menjalankan fungsi pemerintahannya (executive functions).

c. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi, Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Kemudian Pasal 47 menyebutkan, Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.

Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam Penjelasan pasal 1 angka (4) UU No. 5 Tahun 1986 dijelaskan, bahwa: Istilah “sengketa” yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum . Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban

98 Rocmat Soemitro, Op.,Cit, hal.28-45 99 Konsep negara kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah

(bestuursfunctie) dalam negara-negara modern. Negara kesejahteraan merupakan antitesis dari konsep negara hukum formal (klasik), yang didasari oleh pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya eksekutif yang pada masa monarkhi absolut telah terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan, lihat E. Utrecht, Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1988, hal. 26

38

kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, dalam asas Hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan Pengadilan.

Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 menegaskan bahwa : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan rumusan di atas, dapat dipahami bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah produk yang diterbitkan oleh Pejabat TUN (atau Jabatan TUN) berdasarkan wewenang yang ada padanya (atributie) atau diberikan padanya dalam bidang urusan pemerintahan (delegatie). Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah “kegiatan yang bersifat eksekutif”. Sedangkan yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka (8) UU No. 51 Tahun 2009 adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, ukuran untuk dapat menganggap apa dan siapa saja yang dimaksud dengan Badan atau Jabatan TUN ialah, asal apa dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Juga tidak tertutup kemungkinan kepada pihak dan siapa saja di luar aparat resmi negara (pihak swasta) berdasarkan suatu perundang-undangan tertentu diberi tugas untuk melaksanakan suatu tugas/fungsi urusan pemerintahan, misalnya dalam bidang pendidikan, kesejahteraan rakyat, kesehatan, dan sebagainya. Kriteria yang dipergunakan adalah kriteria fungsional;

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan unsur-unsur dalam sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi kewenangan PTUN, yaitu:100

a. Harus ada perbedaan pendapat tentang sesuatu hak ataupun kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut adalah merupakan akibat saja dari penerapan hukum tertentu. Ini berarti bahwa sengketa timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara;

b. Sengketa itu terletak di bidang Tata Usaha Negara. Yang dimaksud Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik dipusat maupun di daerah;

c. Subyek yang bersengketa adalah individu atau badan hukum perdata sebagai pihak Penggugat dan Badan atau Pejabat tata Usaha Negara sebagai pihak Tergugat;

100 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1992, hal 58-59

39

d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha Negara.

B. Penerapan UU Administrasi Pemerintahan Oleh PTUN Untuk Pembangunan HAN

Pasca diundangkannya UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), kewenangan PTUN dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara di Indonesia menjadi lebih luas, baik menyangkut segi formal/prosedural atau hukum acara maupun segi substansial proses peradilan.

Perluasan kewenangan PTUN pasca diundangkannya UU AP, diuraikan secara lebih jelas dalam pembahasan di bawah ini:

a. Adanya Perluasan Objek sengketa di PTUN dalam UU AP

Materi muatan UU AP dapat dikatakan telah merombak materi muatan yang terkandung dalam UU PTUN. Perombakan tersebut antara lain meliputi kompetensi absolut atau yurisdiksi PTUN. Kalau selama ini kompetensi absolut PTUN hanya terbatas pada KTUN, maka dengan UU AP diperluas meliputi perbuatan pemerintahan baik berupa perbuatan hukum maupun perbuatan faktual, yang menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil. Gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad/OOD) yang selama ini menjadi kompetensi peradilan umum dengan menerapkan Pasal 1365 BW, dilimpahkan kepada PTUN.

Menurut Agus Budi Susilo, pelimpahan gugatan terhadap perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa dari peradilan umum ke PTUN, disebabkan karena istilah perbuatan melanggar hukum tersebut masih bersifat umum. Artinya, siapapun yang melakukan pelanggaran hukum dapat terkena Pasal 1365 KUHPerdata, termasuk juga pemerintah (overheids) ketika menjalankan tugas dan kewajibannya di bidang public service, yang dianggap menimbulkan kerugian pada warga masyarakat (termasuk badan hukum perdata). Oleh karena itu, UU AP memberi penegasan bahwa tindakan Badan atau Pejabat TUN yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial diserahkan penyelesaiannya ke PTUN. 101

Ada dua bentuk tindakan atau perbuatan Badan atau Pejabat TUN dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie), yaitu: (1) tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling), dan (2) tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkehandeling). Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechtshandeling) dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum, sedangkan tindakan berdasarkan fakta/ nyata (bukan hukum), adalah tindakan

101 Wawancara dengan Agus Budi Susilo, Asisten Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Senin, 16 Mei 2016

40

pemerintah yang tidak ada hubungan langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum. 102

Tabel. 1

Perbedaan UU PERATUN dan UU APUU PERATUN UU AP

Objek Sengketa:1. KTUN sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 1 angka (9) Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

2. Yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN Fiktif Negatif ).

KTUN ini tidak ada wujudnya atau abstrak. Abstrak disini maksudnya adalah tidak berbentuk Surat KTUN, hal ini terjadi apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan SK yang dimohonkan kepadanya oleh Penggugat, sedang hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan SK TUN. KTUN ini disebut dengan KTUN Fiktif Negatif yang juga merupakan Objek gugatan yang merupakan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan:(1) Apabila Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata

Objek Sengketa:1. Keputusan Administrasi Pemerintahan

yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. (1 angka 7 UU AP)

2. Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. (1 angka 8 UU AP)

3. Permohonan tentang ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pajabat Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU APyang berbunyi: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan.

4. Permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU AP:Angka (5) berbunyi: Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.

102 Tjokrowinoto dalam Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi, Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta: Blantika, 2004, hal 79

41

Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Perluasan kompetensi ini akan membawa konsekuensi tentang bagaimana cara mengukur tindakan materiil dari Badan atau Pejabat Administrasi Pemerintahan apabila dikaitkan dengan kompetensi absolut PTUN terhadap KTUN, seperti misalnya: Pengertian KTUN menurut UU Peratun lebih sempit daripada beschikking, karena KTUN hanya membatasi pada perbuatan hukum TUN (hukum administrasi), sedangkan beschikking cakupannya lebih luas dari itu, yaitu meliputi perbuatan hukum publik. Perbuatan hukum publik didasarkan pada wewenang hukum adminitrasi dan hukum tata negara. Batas antara perbuatan hukum administrasi dan hukum tata negara pun tipis sekali dan sulit dipisahkan. Jadi, perbuatan hukum publik lebih luas dari sekedar hukum TUN.

Selain itu, persoalan-persoalan lain menyangkut kompetensi PTUN yang terkait dengan Pengertian KTUN yang dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004, keputusan fiktif negatif dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 serta keputusan yang dibatasi oleh Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986.

Menurut Maftuh Effendi, untuk menentukan tindakan pemerintahan yang dapat digugat di PTUN adalah dengan menggunakan metode umum (general), yaitu suatu cara dimana sengketa-sengketa administrasi ditentukan secara umum dalam rumusan yang luas sebagaimana dianut oleh UU Peratun..103

Metode metode umum (general) tercermin dalam ketentuan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi, Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Metode

103 Wawancara dengan Maftuh Effendi, Asisten Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Selasa, 17 Mei 2016

42

ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah hakim PTUN dapat menyesuaikan wewenangnya secara cepat dengan perkembangan hukum administrasi Negara. Sedangkan kelemahannya adalah kompetensi PTUN menjadi terlalu luas, sehingga hakim PTUN harus memiliki keahlian dalam berbagai bidang hukum administrasi Negara.

b. Adanya perluasan Subjek Menggugat di PTUN dalam UU AP

Menurut UU Peratun, persyaratan agar mempunyai ius standi (hak gugat) di PTUN, harus memenuhi dua kriteria sebagai berikut: (i) penggugat adalah orang atau badan hukum perdata; dan (ii) penggugat memiliki kepentingan yang dirugikan akibat keluarnya suatu KTUN. Sedangkan dalam UU AP subjek yang berkualitas menjadi Penggugat di PTUN diperluas menjadi orang, Badan Hukum, Organisasi dan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan (KAP) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Administrasi Pemerintahan (BAP/PAP) dalam lapangan hukum administrasi negara.

Tabel.2.

Subjek Menggugat di PTUN dalam UU APUU PERATUN UU AP

Subjek Gugatan:

1. berdasarkan Ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berkualitas menjadi Penggugat adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah.

2. Berdasarkan yurisprudensi, selain Seseorang atau Badan Hukum Perdata, suatu organisasi kemasyarakatan dapat diterima sebagai Penggugat untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan syarat harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:- Tujuan organisasi tersebut harus

tercantum dan dapat dilihat dalam Anggaran Dasar Organisasi tersebut.

- Organisasi tersebut harus

Subjek gugatan dan Permohonan

1. Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan (Pasal 1 angka 15 UU AP)

2. Berdasarkan yurisprudensi, selain Seseorang atau Badan Hukum Perdata, suatu organisasi kemasyarakatan dapat diterima sebagai Penggugat untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara;

3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. (Pasal 21 ayat (2) UU AP.

43

berbentuk badan hukum atau yayasan;

- Organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya kepeduliannya terhadap perlindungan lingkungan hidup secara nyata di masyarakat.

- Organisasi tersebut harus cukup representatif.

c. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan dan atau Permohonan

Dalam UU AP dijelaskan bahwa sebelum mengajukan Gugatan di PTUN terhadap suatu KAP (baik KAP tertulis Maupun KAP tidak tertulis) yang menimbulkan sengketa Administrasi Pemerintahan, pihak-pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengajukan suatu prosedur Upaya Administratif terhadap KAP tersebut. Dengan demikan perhitungan tenggang waktu mengajukan gugatan di PTUN dihitung setelah Rangkaian Upaya Administratif dilakukan oleh pihak yang bersangkutan. Sedangkan berdasarkan UU Peratun tenggang waktu mengajukan gugatan dibatasi, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Tabel.3.

Tenggang Waktu Gugatan di PTUN dalam UU APUU PERATUN UU AP

Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan:

1. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka (9) UU No. 51 Tahun 2009.

Dalam konteks ini, Tenggang waktu mengajukannya diatur dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, yang berbunyi: Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Di dalam SEMA No. 2 Tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991 angka romawi V dijelaskan mengenai tenggang waktu ini secara lebih akurat:1. Penghitungan tenggang

waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55 terhenti/tertunda (geschorst) pada gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara yang

Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan dan Permohonan.

1. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya adalah Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara sebagaimana dimaksud oleh 1 angka 7 UU AP berlaku ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986.

2. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya Tindakan Administrasi Pemerintahan untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, adalah 10 hari sebagaimana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU AP yang berbunyi: Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima

44

berwenang;2. Sehubungan dengan Pasal

62 Ayat (6) dan Pasal 63 Ayat (4) maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada butir 1;

3. Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetapi merasa kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui adanya keputusan tersebut

2. Terhadap Gugatan yang objek gugatannya yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN Fiktif Negatif)

Dalam hal gugatan diajukan dengan objek gugatannya yang dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu mengajukan gugatan diatur dalam Penjelasan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, antara lain sebagai berikut:1. Dalam hal yang hendak

digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan Pasal 3 Ayat (2) yang berbunyi: Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

Maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

2. Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan Pasal 3 Ayat (3) yang berbunyi:Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah

secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;

3. Terhadap Permohonan tentang ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pajabat Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU AP, tenggang waktu mengajukan permohonan adalah 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan oleh aparat pengawasan intern pemerintah dalam hal terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara. (Vide Pasal 20 ayat 4 UU AP)

45

lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh hari) hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

3. Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh hari) hari dihitung sejak hari pengumuman.

d. alasan-alasan (posita) Dalam Mengajukan Gugatan di PTUN

Dalam UU Peratun Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah: Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sedangkan dalam UU AP tidak dijelaskan Tentang Dasar atau alasan-alasan dalam mengajukan gugatan di PTUN, namun UU AP menentukan syarat-syarat sahnya Keputusan Administrasi Pemerintahan (KAP) dan Penormaan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik bagi Badan atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya.

e. Tentang tuntutan gugatan (petitum) dan atau Permohonan di PTUN

Tuntutan atau petitum adalah bagian yang terpenting dari gugatan karena merupakan hal-hal yang diinginkan oleh Penggugat untuk diputus oleh hakim. Namun dalam UU peratun hal-hal yang diminta tersebut tidak dapat secara bebas atau leluasa, akan tetapi telah ditentukan hanya berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. Sedangkan dalam UU AP, hanya terhadap KAP yang bersifat tertulis saja, para pihak yg bersangkutan dapat menuntut di muka PTUN dengan tuntutan agar KAP tersebut dibatalkan dan/atau dicabut. Menyangkut KAP yg bersifat tidak tertulis (tindakan faktual), pihak yang bersangkutan dapat menuntut agar tindakan Badan atau Pejabat Administrasi Pemerintahan tersebut dinyatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa.

46

Tabel.4.

Tuntutan Gugatan (petitum) UU PERATUN dan UU APUU PERATUN UU AP

Tuntutan Gugatan:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah (Pasal 53 UU Peratun)

2. Pasal 97 ayat 9 UU Peratun juga mengatur tentang:- pencabutan keputusan TUN yang

bersangkutan;- pencabutan keputusan TUN yang

bersangkutan ditambah dengan kewajiban untuk menerbitkan keputusan TUN yang baru; atau

- penerbitan keputusan TUN apabila gugatan didasarkan pada adanya sikap diam yang disamakan dengan keputusan penolakan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.

Tuntutan Gugatan dan Permohonan:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah (Pasal 53 UU Peratun)

2. Berlaku juga ketentuan Pasal 97 ayat 9 yang menetapkan:- pencabutan keputusan TUN yang

bersangkutan;- pencabutan keputusan TUN yang

bersangkutan ditambah dengan kewajiban untuk menerbitkan keputusan TUN yang baru; atau

- penerbitan keputusan TUN apabila gugatan didasarkan pada adanya sikap diam yang disamakan dengan keputusan penolakan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.

3. Permohonan kepada Pengadilan untuk menetapkan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan (Pasal 21 ayat 1 UU AP.

4. Permohonan untuk mendapatkan putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada pengadilan dalam hal permohonan dianggap dikabulkan secara hukum yang disebabkan badan atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan keputusan dan/atau tindakan. (Pasal 53 UU AP)

47

C. Proses Peningkatan Putusan Hakim PTUN Menjadi Yurisprudensi

a. Dasar pengujian (toetsinggronden) Hakim PTUN Dalam Melakukan Penemuan Hukum

Hak atau kewenangan untuk menguji (hak uji) berasal dari istilah toetsingsrecht.104 Toetsingsrecht merupakan suatu proses untuk melakukan pengujian atau menguji dan secara harfiah dapat diartikan sebagai kewenangan untuk menguji.105 Hak atau kewenangan menguji Hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk melakukan pengujian terhadap KTUN yang digugat disebut toetsinggronden.

Sifat pengujian oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Keputusan Tata Usaha Negara atau tindakan Fiktif Negatif maupun tindakan Fiktif Positif yang menjadi obyek sengketa adalah pengujian ex tunc, maksudnya adalah Hakim PTUN dalam menilai suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mempertimbangkan fakta dan keadaan pada saat dikeluarkannya obyek sengketa baik berupa Keputusan Tata Usaha Negara atau tindakan Fiktif Negatif maupun tindakan Fiktif Positif.106

Dasar pengujian bagi Hakim PTUN pada waktu menilai apakah KTUN yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak, merupakan alasan-alasan yang digunakan oleh Penggugat untuk mengajukan gugatan (beroepsgronden) terhadap Keputusan TUN.107 Alasan gugatan tersebut, juga sekaligus menjadi dasar pengujian bagi Hakim PTUN untuk menguji suatu keputusan TUN yang ruang lingkupnya dapat diuraikan sebagai berikut :

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, parameter untuk mengukur keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara maupun tindakan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi:

(2). Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku :

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;

104 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal.6.

105 M. Laica Marzuki mengartikan toetsingsrecht sama dengan “hak menguji”, yaitu hak bagi hakim (atau lembaga peradilan) menguji peraturan perundang-undangan. Lihat M. Laica Marzuki, Berjalan di Ranah Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal.47.

106 Wawancara dengan Tri Cahya Indra Permana, Hakim PTUN Jakarta, Senin, 9 Mei 2016

107 Indroharto, Op., Cit. hal. 293.

48

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut;

Sedangkan pasca diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004, alasan-alasan yang dapat digunakan oleh Penggugat untuk mengajukan gugatan (beroepsgronden) terhadap Keputusan TUN maupun tindakan sebagaimana tercantum dalam ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) diubah menjadi:

1. Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

1. Bertentangan Dengan Peraturan Perundangan Yang Berlaku

Keputusan TUN yang berasal dari kewenangan terikat (gebonden beschikking) diuji dengan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan yang berlaku).

Kriteria bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku menurut penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah apabila keputusan itu:

1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedura/formal (vormgebreken) contoh: Dalam kasus kepegawaian, sebelum keputusan pemberhentian pegawai dikeluarkan, seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesernpatan untuk membela diri.

2. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materii/substansial (inhoudsgebreken). Dalam praktek, ini adalah menyangkut isi keputusan yang bertentangan dengan peraturan dasarnya, atau dengan peraturan yang lebih tinggi. contoh : Keputusan TUN tentang Izin Mendirikan Bangunan yang tidak sesuai dengan RUTRK (bestemmingsplan),lzin Prinsip suatu perusahaan pertambangan yang tidak sesuai dengan AMDAL, Sertipikat Hak Atas Tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau diterbitkan kepada orang yang salah (error in persona/error in objecto) dan sebagainya. Jika suatu keputusan TUN dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat formal maupun substansial, maka keputusan tersebut dinyatakan batal.

49

3. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang (bevoegdheids-gebreken).Ketidakwenangan ini dapat berupa: 108

a. Ketidakwenangan tentang materi (onbevoegdheid ratione materiale). Yaitu apabila materi/substansi KTUN itu bukan menjadi wewenang dari Badan/Pejabat TUN yang menerbitkannya (kompetnsi absolut).

b. Ketidakwenangan tentang tempat/wilayah (onbevoegdheid ratione loci). Yaitu apabila kewenangan untuk menerbitkan KTUN itu bukan termasuk dalam wilayah hukum dari Badan/Pejabat TUN melainkan termasuk kewenangan Badan/Pejabat yang TUN menerbitkannya di wilayah lain (kompetensi relatif).

c. Ketidakwenangan tentang waktu (onbevoegdheid ratione tempori). Yaitu apabila keputusan TUN itu diterbitkan belum atau telah lewat waktu (kedaluarsa) dari yang ditentukan menurut peraturan yang berlaku.

UU No. 5 Tahun 1986 memberikan pengertian khusus tentang peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub di dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang bersifat mengikat secara umum.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut, maka secara hierarki batas atas yang termasuk kriteria peraturan perundang-undangan adalah produk Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yaitu Undang-Undang, sedangkan batas bawah keputusan pejabat Tata Usaha Negara di daerah yang mengikat secara umum. 109

2. Bertentangan Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB)

Keputusan TUN yang berasal dari kewenangan bebas (vrije beschikking) diuji dengan hukum tak tertulis (AUPB). Apabila Keputusan TUN dinilai bertentangan dengan AUPB, maka Hakim harus menentukan AUPB yang dilanggar, selanjutnya Hakim memakai AUPB tersebut untuk membatalkan atau menyatakan tidak sahnya Keputusan TUN yang digugat.

AUPB merupakan norma tidak tertulis dalam praktek penyelenggaraan negara. AUPB sebagai suatu doktrin adalah bersifat universal yang sudah diakui dan diterapkan di banyak negara, dimana ada yang dirumuskan

108 Philipus Mandiri Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 327

109 Wawancara dengan Kusman, Asisten Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Selasa 17 Mei 2016

50

(dikodifikasikan) secara resmi dan ada pula yang tidak dikodifikasikan. Pada intinya, fungsi dari AUPB adalah: 110

1. Sebagai pedoman atau kode etik bagi Badan/pejabat TUN dalam melaksanakan urusan pemerintahan (termasuk dalam rangka menerbitkan keputusan TUN), yang tujuan akhirnya adalah demi terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance);

2. Sebagai tolok ukur dan sekaligus alasan (beroepsgronden) bagi pihak yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan tersebut;

3. Sebagai dasar atau kriteria pengujian (toetsingsgronden) bagi pengadilan atau hakim TUN untuk menilai apakah keputusan yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN itu telah sesuai atau tidak dengan norma-norma hukum dan keadilan, sehingga dapat diputuskan tentang sah atau tidaknya keputusan tersebut.

Di Indonesia AUPB hingga saat ini secara resmi belum/tidak dikodifikasikan tersendiri, namun sebagian di antaranya ada yang telah dimuat di dalam UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (pasal 3), yang disebut dengan Asas-Asas Umum penyelenggaraan Negara (AAUPN). AAUPN inilah yang kemudian diadopsi oleh UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, yang terdiri dari 7 (tujuh) asas, yaitu :

1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal certainty) Adalah asas dalam negam hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelanggara Negara;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara (Principle of governance orderliness) Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;

3. Asas Kepentingan Umum (Principle of public service), Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

4. Asas Keterbukaan (Principle of open management/fair play), Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelanggaraan negara dan tetap mernperhatikan perlindungan hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;

5. Asas Proporsionalitas (Principle of proportionalty), Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;

110 Wawancara, dengan Dani Elfah, Hakim Tinggi Balitbang Diklat Kumdil MA, hari Sabtu 19 Maret 2016

51

6. Asas Profesionalitas (Principle of professionality), Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Asas Akuntabilitas (Principle of accountability), Adalah asas yang menentukan batrwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, AUPB juga diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat 1, yaitu:

1. kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

2. kemanfaatan; yaitu manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara:(1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat;3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing;(4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain;(5) kepentingan pemerintah dengan Warga Masyarakat;(6) kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang;(7) kepentingan manusia dan ekosistemnya;(8) kepentingan pria dan wanita.

3. ketidakberpihakan; yaitu asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.

4. kecermatan; yaitu asas yang mengandung arti bahwa suatu Keputusan dan/atau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan.

5. tidak menyalahgunakan kewenangan; yaitu asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

6. keterbukaan; yaitu asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur,

52

dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

7. kepentingan umum; yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.

8. pelayanan yang baik, yaitu asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Selain diatur dalam ketentuan perundang-undangan di atas, AUPB juga terdapat dalam yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu sebagai berikut: 111

1. Larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur)2. Melampui batas wewenang3. Larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)4. Asas keadilan5. Asas keseimbangan6. Asas kepastian hukum7. Asas kecermatan dan kehati-hatian8. Asas kesalahan atau kelalaian Badan Atau Pejabat Tata Negara di

dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menyebabkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tidak boleh menjadi beban atau resiko yang bersangkutan.

b. Proses Penerapan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa di PTUN

Proses penerapan hukum dalam penyelesaian sengketa di PTUN (mulai dari pemeriksaan perkara sampai pada pengambilan putusan), paling tidak melalui tiga tahapan seperti di bawah ini:

1. Tahap Pengumpulan Fakta.

Sebelum memasuki tahap ini, di lingkungan Peradilan Administrasi terlebih dahulu dilakukan suatu proses administratif, di antaranya; dengan penelitian administratif oleh staf kepaniteraan, diikuti oleh proses dismissal, dan pemeriksaan persiapan.112 Setelah proses ini selesai, dilanjutkan dengan pemeriksaan sidang biasa dengan Hakim Majelis atau Hakim Tunggal. Pada tahap inilah yang disebut tahap pengumpulan fakta. Tugas hakim adalah melakukan seleksi terhadap keseluruhan peristiwa dan melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti yang tersedia, guna memastikan kebenarannya. Tahap ini penting karena dari sinilah hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dapat

111 Dani Elfah, Perincian Dan Penormaan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Disertasi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya, 2010, hal. 103

112 Lebih lanjut periksa, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 Tentang Juklak Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dimuat dalam : Himpunan Perma, Sema, Dan Juklak Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung RI, 1994, hal. 11-19.

53

meyakini bahwa peristiwa yang sudah dikonstatirnya itu obyektif, sesuai dengan fakta-fakta yang ada, dan dari sini pula putusan hakim harus disandarkan. Dalam hukum acara perdata, tahap ini sering disebut “tahap mengkonstatir”. Atau secara metodologis termasuk dalam kerangka pendekatan induktif.

Menurut Subur, Fakta memegang peranan penting dalam setiap putusan hakim. Fakta hukum terjelma dalam pembuktian atas gugatan penggugat dan bantahan tergugat dalam proses peradilan. Fakta-fakta itu harus dimuat dalam pertimbangan hakim. Putusan hakim akan adil jika berdasarkan fakta yang benar. 113

Menurut Soedikno Mertokusumo, bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Untuk dapat menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa setepat-tepatnya hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara objektif tentang duduk perkara sebenarnya sebagai dasar putusannya dan bukan secara a priori menemukan putusannya sedang pertimbangannya baru dikonstruir.114

Uraian di atas, menunjukan bahwa Hakim PTUN dalam mengadili suatu perkara menjadikan fakta-fakta sebagai patokan, bukan undang-undang yang menjadi dasar putusannya. Undang-undang hanyalah alat, namun yang menentukan adalah fakta-fakta hukum dalam proses peradilan. Pandangan di atas sejalan dengan pandangan kaum realisme hukum, yang berpendapat bahwa keputusan pengadilan jatuh ke dalam pola yang dapat diprediksikan. Pola yang dimaksud tentu bukan aturan hukum yang ada, melainkan fakta. Dari fakta ini, kaum realis menyimpulkan bahwa berbagai kekuatan sosial mempengaruhi para hakim, memaksa mereka merespon pada fakta-fakta dengan cara yang sama dan dapat diprediksi. 115 Agar Hakim dapat memberi putusan yang berbobot, perlu ada pertimbangan-pertimbangan dari sisi moral, segi kemanfaatan dan keutamaan kepentingan, yang menurut Oliver Wendell Holmes Jr, aturan-aturan resmi berupa peraturan-peraturan harus disingkirkan, terutama apabila hal tersebut digunakan akan memperburuk keadaan.116

2. Tahap Mengidentifikasi Hukum.

Pada tahap ini, Hakim PTUN melakukan suatu penilaian/pengujian terhadap fakta hukum atau peristiwa hukum yang sudah dikonstatirnya, kemudian dikualifisir masuk pada hubungan hukum mana. Dalam hukum acara perdata, tahap ini sering disebut “tahap mengkualifisir”. Berarti hakim sudah masuk pada tahap penerapan hukum (termasuk penerapan AUPB), atau secara

113 Wawancara dengan Subur MS, Hakim PTUN Jakarta, Selasa 10 Mei 2016114 Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Penerbit Liberty, 1988,

hal. 158115 Brian Leitter, American Legal Realism, dalam Philosophy of Law and Legal Theory,

(diedit oleh Martin P. Golding dan William A. Edmundson), The Blackwell Publishing, 2005, p. 54

116 Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy In a Nutshell, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co. 1993, p. 114.

54

metodologis memasuki langkah deduktif. Langkah awalnya hakim melakukan identifikasi aturan hukum dan melakukan interpretasi terhadap aturan hukum yang sekiranya dapat diterapkan dalam peristiwa konkret. Di samping menerapkan norma hukum yang tertulis, hakim dapat menerapkan juga kaidah hukum tidak tertulis (berupa AUPB) untuk menguji keabsahan Keputusan TUN. Hasil identifikasi hukum yang ditindaklanjuti oleh penerapan hukum, biasanya dirumuskan dalam pertimbangan hukum sang hakim.

Dalam praktek pengadilan, tidak jarang ditemukan suatu sengketa TUN yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur namun tidak lengkap dan jelas. Dalam kondisi seperti ini, hakim PTUN dimungkinkan untuk melakukan penemuan hukum dengan metode penafsiran hukum.117

Soedikno Mertokusumo mengemukakan bahwa, memang undang-undang itu tidak sempurna, tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak jelas. Dalam hal undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakkan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. 118

Proses penemuan hukum oleh hakim diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas hukumnya, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan tersebut mengandung prinsip/asas non-liquet dan merupakan pencerminan dari asas ius curia novit. Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat (1) menentukan bahwa, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, ketentuan pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pemberian kekuasaan kepada pengadilan untuk menentukan sendiri apa yang menurut pendapatnya layak diterima sebagai hukum di negeri ini. Konsekuensi penerimaan terhadap tafsiran yang demikan itu, adalah bahwa pengadilan dapat menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila peranan pengadilan yang demikian itu dapat diterima, maka sumbangan lembaga hukum ini terhadap perubahan sosial di negeri ini akan besar sekali. Pendapat ini didasarkan pada keadaan yang sudah menjadi klasik, yaitu bahwa pembuat undang-undang ditaqdirkan untuk tertinggal di belakang, apalagi jika masyarakat yang bersangkutan sedang mengalami perubahan sosial yang besar seperti Indonesia. 119

117 Wawancara dengan Indaryadi, Hakim PTUN Jakarta, 11 Mei 2016118 Soedikno Mertokusumo, Op, Cit, hal. 162, lihat juga Soedikno Mertokusumo dan Mr.

A. Pitlo, Op.,Cit, hal. 3119 Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritis Serta

Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983, hal. 184

55

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa identifikasi aturan hukum dan bagaimana hukum diinterpretasi dalam konteks hubungannya dengan peristiwa konkrit (fakta-fakta), menunjukkan bahwa hakim PTUN terikat dengan undang-undang, tetapi keterikatannya tersebut tidak seketat seperti menurut pandangan aliran legisme. Hakim PTUN mempunyai kebebasan, namun kebebasan hakim tersebut tidak seperti anggapan aliran freierechtbewegung, karena dalam melaksanakan tugasnya hakim mempunyai kebebasan yang terikat (gebonded-vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrij-gebondenheid). Dengan kata lain, hakim PTUN mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan, dengan menerapkannya secara kreatif pada tiap-tiap perkara konkrit.

Menurut Paulus Effendi Lotulung, hal yang demikian itu, dikarenakan sistem pembuktian dalam Peratun bukan bersifat “vrij bewijsleer”, namun menganut sistem “bebas tapi terikat”, artinya Hakim terikat dengan adanya syarat bahwa masih harus memerlukan dua alat bukti untuk menilai suatu perkara, yang rinciannya secara limitatif disebutkan dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986.120 Pembuktian dalam sengketa tata usaha negara berbeda dengan pembuktian perkara perdata, Hakim Tata Usaha Negara mencari kebenaran materiil (materiele waarheid), dan bukan kebenaran formil (formele waarheid) seperti Hakim perdata. 121

3. Tahap Merumuskan Hukum dan AUPB.

Pada tahap ini, Hakim PTUN telah mengetahui pokok sengketanya, juga sudah memberikan pertimbangan hukum mengenai penerapan AUPB-nya. Dalam posisi ini, Hakim PTUN hanya menentukan apakah Keputusan TUN yang disengketakan itu bertentangan dengan AUPB atau tidak, dan asas mana dari AUPB yang dilanggar. Setelah itu Hakim PTUN dapat menentukan keabsahan keputusan TUN melalui putusannya. Dalam hukum acara perdata, tahap perumusan dan penentuan putusan ini sering disebut tahap mengkonstituir.

Penggunaan AUPB sebagai dasar pengujian Keputusan TUN, menunjukkan bahwa asas hukum mempunyai peranan yang sangat penting di dalam tataran peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengemukakan bahwa, asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum, dikatakan demikian oleh karena, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu aturan hukum. 122

Sehubungan dengan perumusan hukum dan AUPB tersebut, Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa, Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

120 H. Eddy Djunaedy, Edy Rohaedi, dan Kadar Slamet (Editor), Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Piriran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, LPP-HAN, Jakarta, 2003, hal. 60

121 Martiman Prodjohamidjojo.1997. Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986,LN No. 77), (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 30.

122 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 2006, hal.45.

56

atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadilinya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung RI di dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Buku II yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 pada huruf T angka 8 memberikan instruksi dan pedoman sebagai berikut: Dalam menemukan kebenaran materiil di dalam mengadili sengketanya, Hakim dapat mencari dan menemukan asas-asas umum pemerintahan yang baik selain yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, karena asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah hasil yurisprudensi yang akan selalu berkembang melalui putusan.

Putusan Hakim merupakan penerapan hukum yang umum dan abstrak pada perbuatan konkrit (in concreto). Untuk itu Hakim harus memilih peraturan hukum itu yang akan diterapkannya, menginterpretasinya untuk menentukan (menemukan) bentuk-bentuk perilaku yang tercantum dalam peraturan tersebut, serta menentukan maknanya guna menetapkan penerapannya dan menginterpretasikan semua fakta untuk menentukan apakah fakta tersebut termasuk dalam makna penerapan peraturan hukum tersebut. Dengan demikian melalui penyelesaian perkara konkrit dalam proses peradilan dapat terjadi juga pembentukan hukum. 123

Pengkongkritan norma-norma hukum yang abstrak melalui penerapan hukum memberikan efek ke arah pembaruan hukum, disebabkan oleh karena penerapan norma-norma hukum itu, dituntut untuk disesuaikan kepada perikehidupan sosial pada suatu saat. Dengan perikehidupan yang dimaksud adalah baik cita-cita sosial yang berkembang, maupun hubungan-hubungan sosial yang nyata-nyata terdapat pada saat itu. 124

Tahapan penerapan Hukum dan AUPB oleh Hakim PTUN di atas, digambarkan secara lebih jelas dalam bagian di bawah ini.

123 B. Arief Sidarta, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum, Lembaga Penelitian Unpad, Nomor Perdana I -1999, Bandung, 1999, hal. 15

124 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial.. Op.,Cit, hal. 188.

57

Bagan 1 125

Tahapan Penerapan Hukum Oleh Hakim PTUN

125 Jazim Hamidi, Penerapan Beberapa Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Oleh Hakim Administrasi, Tesis magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 1996., hal. 101

58

I. Tahap Pengumpulan Fakta- Proses Administratif- Merumuskan Fakta - Melakukan Pembuktian- Sering disebut tahap mengkonstatir.

LangkahInduksi

III. Tahap Merumuskan AUPB-Setelah membuat Pertimbangan hukum-Menentukan AUPB yang dilanggar- Menjatuhkan Putusan-Sering disebut tahap mengkonstituir.

LangkahDeduksi

II. Tahap Mengidentifikasi Hukum- Peningkatan/Pengujian Fakta- Kualifikasi Hukum/AUPB- Proses Penerapan Hukum/AUPB-Sering disebut tahap mengkualifisir.

D. Kaidah-kaidah Yurisprudensi Perkara Tata Usaha Negara

Sejak beroperasinya pada tanggal 14 Januari Tahun 1991,126 PTUN sudah menangani banyak kasus yang telah menghasilkan putusan-putusan hakim yang dikategorikan sebagai yurisprudensi, karena telah mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur oleh undang-undang, baik menyangkut segi substansial maupun segi formal/prosedural dalam proses peradilannya.

Contoh yurisprudensi menyangkut segi formal/prosedural atau hukum acara proses peradilan TUN antara lain: pertama, putusan Mahkamah Agung telah memperluas makna pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, dengan menyatakan bahwa jangkauan pasal 55 tidak hanya berlaku kepada para pihak yang dituju langsung oleh suatu Keputusan Pejabat TUN, namun juga berlaku terhadap pihak yang tidak dituju (pihak ketiga) yang merasa dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan Pejabat TUN.127 Kedua, Putusan Mahkamah Agung yang telah memperluas makna pasal 67 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, dengan menyatakan bahwa kewenangan untuk mengeluarkan penetapan penangguhan Keputusan Pejabat TUN yang digugat tidak hanya diterbitkan oleh majelis hakim yang sedang memeriksa gugatan (sengketa), namun dapat juga diterbitkan oleh Ketua PTUN sebelum dimulainya proses pemeriksaan gugatan (sengketa) oleh majelis hakim, atas dasar kebutuhan mendesak dan kepentingan praktis untuk melindungi rakyat.128

Sedangkan contoh yurisprudensi menyangkut segi substansial adalah: pertama, tentang penerapan kaidah hukum tidak tertulis yang disebut sebagai Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), dimana beberapa asas yang tidak disebutkan secara tegas dalam UU No. 5 Tahun 1986, telah digunakan oleh hakim sebagai salah satu tolok ukur untuk menilai (toetsen) sah-tidaknya suatu Keputusan pejabat TUN. Kedua, tentang perbedaan kompetensi/wewenang mengadili antara hakim PTUN dengan hakim perdata (Pengadilan Negeri) dalam beberapa kasus/perkara.

Berikut adalah kaidah-kaidah Yurisprudensi pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah dipublikasikan oleh Mahkamah Agung dari Tahun 1992 hingga tahun 2015:

126 Pengadilan TUN secara resmi terbentuk dan dijalankan sejak tanggal 14 Januari Tahun 1991 melalui Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1990 Tentang Pembentukan Pengadilan TUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang, dan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN.

127 Masalah tenggang waktu untuk mengajukan gugatan di PTUN yang oleh UU ditentukan masa selama 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN (Vide pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986).

128 Menurut Paulus Effendi Lotulung, kedua hal tersebut memang telah tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 tertanggal 9 Juli 1991, tetapi yang dapat menjadi sumber hukum sebenarnya adalah putusan hakim (Mahkamah Agung) dan bukan Surat Edaran an sich. Lihat Paulus Effendi Lontulung¸ Op., Cit, hal. 9

59

Tabel.5.

Kaidah-kaidah Yurisprudensi pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah dipublikasikan oleh Mahkamah Agung dari Tahun 1992 hingga

tahun 2015NO NOMOR

REGISTER PERKARA

TANGGAL PUTUSAN

KLASIFIKASI KAIDAH HUKUM KETERANGAN

1 5K/TUN/ 1992 21 Januari 1993 Pertanahan Tenggang waktu pengajuan gugatan

Jangka waktu yang termaksud dalam pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986, harus dihitung sejak Peng-gugat mengetahui adanya keputusan yang merugikannya.

Penyebutan turut Tergugat oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan turut Tergugat I/Pem-banding Intervensi II dan turut Tergu-gat II/Pembanding Intervensi III oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta adalah tidak tepat karena tidak memenuhi isi keten-tuan pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 jo penjelasan resmi dari pasal tersebut. Dari ketentuan pasal 83 beserta pen-jelasan resminya, tak dimungkinkan untuk atas perkara Penggugat sendiri menarik seseorang atau badan hukum perdata menjadi Tergugat (vide pasal 1 ayat 6 UU No. 5 Tahun 1986) baik ssebagai turut Ter-gugat ataupun Ter-gugat Intervensi.

Yurisprudensi menyangkut segi formal

60

Mahkamah Agung berpendapat, bahwa walaupun penggugat-peng-gugat asal tidak mengajukan petitum, Mahkamah Agung dapat mem-pertimbangkan dan mengadili semua keputusan atau penetapan-pene-tapan yang ber-tentangan dengan tatanan yang ada. Adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji Hakim hanya pada objek sengketa yang telah diajukan oleh para pihak, karena sering objek sengketa ter-sebut harus dinilai dan dipertimbang-kan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan atau keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak dipersengketa-kan antara kedua belah pihak (ultra pelita).

2 55K/TUN/ 1992 25 Nopember 1993

Perijinan (Ijin Mendirikan Bangunan)

Bangunan yang sejak semula didirikan tanpa Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), meskipun tanah dan bangunan itu diperjual belikan kepada pihak ketiga dan pihak ketiga mengajukan IMB atas bangunan itu, tetap bangunan lama itu menyalahi aturan.

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

3 076 G/1993/PEND/PTUN

27 Juli 1993 Hukum Acara Tata Usaha Negara

Pengertian “rapat Permusyawaratan” dalam pasal 62 (1) UU No. 5 Tahun 1986 diartikan se-bagai “raad kamer”,

Yurisprudensi menyangkut segi formal

61

dalam pemeriksaan kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan tanpa dilakukan pemeriksaan dimuka umum, hal mana sesuai dengan mak-sud dan hakekat acara singkat dalam proses dismissal procedure.

Tindakan-tindakan hukum yang ber-kaitan dengan eksekusi perkara Perdata adalah ter-masuk kualifikasi “justitiele daad” yang mengandung sifat tehnis Pe-radilan, dan bukan-nya merupakan “Administratieve daad” yang mengandung sifat Urusan Pemerinta-han dalam arti eksekutif. Kualitas Tergugat Asal (Ketua Mahkamah Agung) didalam menerbitkan kedua surat a quo (surat Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri untuk penundaan eksekusi) yang digugat dalam perkara ini, adalah bukan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, tetapi sebagai pejabat kekuasaan Keha-kiman yang men-jalankan fungsi pengawasan ter-hadap Pejabat-pejabat kekuasaan Kehakiman bawahannya dalam bidang tehnis

62

yuridis, yang bukan merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk megujinya.

4 12PK/TUN/ 1992

13 Oktober 1994

Surat Perintah Pengosongan Bangunan

Bahwa dalam suatu perjanjian hak guna penuh terhadap suatu bangunan/ toko dimana pihak ke- II telah menyerahkan bangunan/ toko tersebut kepada pihak lain (ke- III) dan pihak lain (ke- III) tersebut tidak melakukan kewajiban untuk membayar sewa, maka sesuai dengan pasal 14 ayat 1 huruf a PP No. 55 Tahun 1981 jo Kep. Mensos – RI No. 18/Huk/KEP/V/1982, IV butir 6 pihak kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta berhak untuk melakukan dan menerbitkan Surat Perintah Pengosongan teerhadap bangunan/toko tersebut.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

5 11 PK/TUN/ 1994

13 Oktober 1994

Surat Perintah Pengosongan Bangunan

Bahwa dalam suatu perjanjian hak guna penuh terhadap suatu bangunan/toko dimana pihak ke- II telah menyerahkan bangunan/toko tersebut kepada pihak lain (ke- III) dan pihak lain (ke- III) tersebut tidak melakukan kewajiban untuk membayar sewa, maka sesuai dengan pasal 14 ayat 1 huruf a PP No. 55 Tahun 1981 jo Kep. Mensos – RI No. 18/Huk/KEP/V/1982, IV butir 6 pihak kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta berhak untuk melakukan dan

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

63

menerbitkan Surat Perintah Pengosongan teerhadap bangunan/toko tersebut.

6 41 K/TUN/ 1994 10 November 1994

Pertanahan Bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju langsung dari Surat Keputusan Tata Usaha Negara, teng-gang waktu tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dihitung secara kasuistis sejak pihak ketiga merasa kepentingannya dirugi-kan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan sudah mengetahui adanya keputusan Tata Usaha Negara tersebut.

yurisprudensi menyangkut segi formal

7 09 PK/TUN/ 1994

13 Oktober 1994

Permohonan pembatalan surat pengosongan bangunan/toko

Bahwa dalam suatu perjanjian pemberian Hak Guna Penuh suatu bangunan/toko dimana pihak ke –II menyerah-kan kepada pihak (Ke-III) dan pihak lainnya (ke-III) tersebut tidak melakukan kewajiban untuk membayar uang sewa, maka sesuai dengan pasal 14 (1) huruf a PP No. 55/1981 yo Kep. Mensos No. 18/Huk/Kep/V/1982, IV butir 6, hak uuntuk melakukan dan mener-bitkan surat perintah pengosongan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

8 09 K/TUN/1994 tanggal 21 Maret 1995

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur)

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

9 24 K/TUN/ 1994 22 September Fiktif Negatif Kaidah hukum bahwa yurisprudensi

64

1995 (Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986)

apabila dalam tenggang waktu 4 bulan sejak permohonan Penggugat, Tergugat tidak mengeluarkan Keputusan yang riil maka Tergugat dianggap telah mengeluarkan Putusan Penolakan atau putusan yang bersifat fiktif negatif.

menyangkut segi formal

10 25 K/TUN/ 1996 6 Juni 1996 Penerbitan SIUP Bahwa pertimbangan hukum putusan judex facti tersebut tidadapat dibenarkan karena dalam putusan judex facti itu sendiri yaitu di satu pihak mempertimbangkan Peraturan Mentri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984 bertentangan dengan UU tentang Ketentuan Pokok Pers dan oleh karena itu peraturan Menteri Penerangan tersebut dikesampingkan atau disingkirkan (INEGTOETSEN), dilain pihak masih mendasarkan pertimbangannya atas pasal 9 Peradilan Menteri Penerangan RI No. 01/PER/MENPEN/1984 dan akhirnya dalam amarnya memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan surat ijin yang baru bagi majalah TEMPO yang berarti masih mendasarkan pada Peraturan Menteri Penerangan RI No. 01/MENPEN/1984.

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

11 16 PK/TUN/ 1997

23 Mei 1997 OPAL Bahwa karena dalam putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali ini tidak terdapat

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

65

kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf (f) Undang-undang No. 14 Tahun 1985, lagipula OPAL adalah objek Tata Usaha Negara bukan merupakan perbuatan yang bersumber pada suatu perjanjian jual beli jasa yaitu perbuatan perdata, dan tagihan susulan adalah merupakan tindakan yang diambil Tergugat setelah terbuktipemohon Peninjauan Kembali melalui pencurian listrik, maka permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan pemohon tidak beralasan sehingga harus ditolak

12 93 K/TUN/ 1996 24 Februari 1998

Kompetensi Absolut (Petanahan)

Bahwa gugatan mengenai fisik tanah sengketa dan kepemilikannya adalah wewenang dari Pengadilan Perdata untuk memeriksa dan memutusnya.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

13 47 K/TUN/1997 26 Januari 1998 Lelang atau Risalah Lelang bukan objek sengketa Tata Usaha Negara

Kaidah Hukum Bahwa Risalah Lelang bukan merupakan keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, tetapi merupaka Berita Acara hasil penjualan barang, sebab tidak ada unsur “beslissing” maupun pernyataan kehendak dari Kantor Lelang. Pelelangan yang dilakukan oleh Kantor Lelang atas permintaan Pengadilan Negeri sehingga apa yang dilakukan Kantor

Yurisprudensi menyangkut segi substansial

66

Lelang adalah merupakan keputusan sebagai tindak lanjut dari Putusan Pengadilan, karenannya termasuk dalam pengertian Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1986.

14 425K/TUN/2002 Tanggal 11 Agustus 2003

lelang dua perusahaan yang berada dalam satu grup usaha tidak dibenarkan keduanya ikut sebagai peserta tender atas satu paket pelelangan pekerjaan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

15 208 K/TUN/ 1998

25 Mei 1998 Perpajakan Bahwa sanggahan/gugatan terhadap pelaksanaan surat paksa hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak. Sebelum Badan Peradilan Pajak terbentuk diajukan kepada Pengadilan Negeri (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Pasl 23 ayat (2) dan Penjelasannya).

yurisprudensi menyangkut segi substansial

16 314 K/TUN/ 1996

29 Juli 1998 Lelang Pembeli tanah lelang Eksekusi pengadilan yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara harus mendapat perlindungan hukum, karena itu penguasaan sertifikat atas tanah tersebut oleh Pemerintah Daerah adalah tidak sah dan Sertifikat Hak Miliknya harus dinyatakan batal demi hukum.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

17 314 K/TUN/ 1996

29 Juli 1998 Lelang Pembeli tanah lelang Eksekusi pengadilan

yurisprudensi menyangkut segi

67

yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara harus mendapat perlindungan hukum, karena itu penguasaan sertifikat atas tanah tersebut oleh Pemerintah Daerah adalah tidak sah dan Sertifikat Hak Miliknya harus dinyatakan batal demi hukum.

substansial

18 208 K/TUN/ 1998

25 Mei 1998 Perpajakan Bahwa sanggahan/gugatan terhadap pelaksanaan surat paksa hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak. Sebelum Badan Peradilan Pajak terbentuk diajukan kepada Pengadilan Negeri (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Pasl 23 ayat (2) dan Penjelasannya).

yurisprudensi menyangkut segi substansial

19 01 K/TUN 1996 tanggal 28 Mei 1998

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur) dan larangan Penggunaan wewenang untuk tujuan lain.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

20 316 K/TUN/ 1998

tanggal 3 Mei 2001

- Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

- Fiktif Negatif (Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986)

- Larangan bertindak sewenang-wenang

- Bahwa apabila dalam tenggang waktu 4 bulan sejak permohonan Penggugat, Tergugat (Pejabat TUN) tidak

yurisprudensi menyangkut segi formal dan substansial

68

mengeluarkan Keputusan yang riil maka Tergugat dianggap telah mengeluarkan Putusan Penolakan atau Putusan yang bersifat negatif fiktif.

21 103 K/TUN/ 1998

tanggal 25 Nopember 1999

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Larangan melanggar Asas-asas umum Pemerintahan yang baik khususnya asas larangan melampui batas wewenang

yurisprudensi menyangkut segi substansial

22 98 K/TUN/ 1998 tanggal 8 Februari 2000

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Bahwa tanah yang berasal dari hak barat (eigendom) telah kembali kepada negara, maka Lurah dan Camat tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat keterangan Status Kepemilikan atas tanah tersebut

Larangan melanggar Asas-asas umum Pemerintahan yang baik khususnya asas larangan melampui batas wewenang

yurisprudensi menyangkut segi substansial

23 302 K/TUN/ 1999

8 Februari 2000 Pertanahan 302 K/TUN/ 1999PPAT adalah Pejabat Tata Usaha Negara, karena melaksanakan urusan Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Jo. Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961), akan tetapi akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara

yurisprudensi menyangkut segi substansial

69

karena bersifat bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat Keputusan Tata Usaha Negara.

24 144 K/TUN/ 1998

29 September 1999

Perizinan Bahwa karena pembongkaran dilakukan tanpa surat perintah/surat pemberitahuan terlebih dahulu, maka pembongkaran tersebut merupakan perbuatan factual dan bukan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan menyelesaikan, tetapi harus digugat berdasarkan perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheidsdaad)

yurisprudensi menyangkut segi substansial

25 103 K/TUN/ 1998

25 November 1999

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Larangan melampui batas wewenang

yurisprudensi menyangkut segi substansial

26 252 K/TUN/ 2000

13 November 2000

Pertanahan Bahwa segala Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan perjanjian maupun diterbitkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan isi bunyi perjanjian itu sendiri, ataupun menunjuk pada suatu ketentuan dalam perjanjian (konrak) yang menjadi dasar hubungan hukum antara kedua belah pihak, haruslah dianggap melebur (oplossing), ke dalam hukum perdata, dan karenanya merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf

yurisprudensi menyangkut segi substansial

70

a Undang-undang No. 5 Tahun 1986

27 16 K/TUN/ 2000 28 Februari 2001

Kompetensi Absolut (Petanahan)

Bahwa gugatan mengenai sengketa kepemilikan adalah wewenang Peradilan Umum untuk memeriksanya.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

28 245 K/TUN/ 1999

30 Agustus 2001

Lelang atau Risalah Lelang

Bahwa Risalah lelang adalah merupakan tindak lanjut pelaksanaan dari suatu putusan badan peradilan (in casu Penetapan Ketua Pengadilan Negri Jakarta Barat) sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 yang merupakaan perkecualian untuk tidak diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. dan apabila ternyata dalam pelaksanaan lelang ada hal-hal yang berteentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan merugikan pihak sii terhutang/si teerlelang, maka piak yang nersangkutan dapat mengajukan gugatan pembatalan risalah lelang kepada Badan Peradilan Umum dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh Petugas.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

29 62 K/TUN/ 1998 27 Juli 2001 Pertanahan Bahwa akta-akta yang diterbitkan oleh PPAT (in casu Akte Perusahaan dan Pembagian dan Akta Jual beli adalah bukan keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 sub 3 Undang-undang No. 5 Tahun

yurisprudensi menyangkut segi substansial

71

1986 sehingga tidak dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak sebagai pejabat umum dalam bidang perdata.

30 22 K/TUN/ 1998 27 Juli 2001 Pertanahan Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tidak termasuk wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya, melainkan wewenang Peradilan Umum dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

31 91 K/TUN/ 2000 13 November 2000

Perpajakan Bahwa berdasarkan Pasal 37 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan surat paksa, gugatan hanya dapat diajukan kepada BPSP. Oleh karena itu Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa dan memutuskannya.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

32 407 K/TUN/ 1999

7 Desember 2000

Perburuhan Bahwa untuk dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan surat peingatan harus memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-02/Men/1996 Pasal 7 ayat (2) dan (3)

yurisprudensi menyangkut segi substansial

33 283 K/TUN/ 1998

14 Desember 2000

Perburuhan Bahwa Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Pasal 116 menentukan bahwa yayasan yang bergerak dibidang pendidikan tinggi merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah untuk menyelenggarakan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

72

urusan pemerintah dibidang pendidikan. Dengan demikian Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara dosen dengan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi karena sengketa tersebut bukan merupakan hubungan industrial tetapi merupakan hubungan di bidang pendidikan.

34 318 K/TUN/ 2000

tanggal 19 Maret 2002

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur)

yurisprudensi menyangkut segi substansial

35 330 K/TUN/ 2001

10 Mei 2002 Tentang Tenggang Waktu

Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar dan Surat Paksa merupakan Keputusan Tata Usaha Negara di bidang perpajakan yang merupakan kompetensi dari Pengadilan pajak sekitar tahun 1987, sedangkan gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung tanggal 26 Januari 2000. Sehingga telah melewati tenggang waktu 90 hari sebagaimana yang diatur oleh pasal 55 UU No. 5 tahun 1986

yurisprudensi menyangkut segi formal

36 250 K/TUN/ 2002

23 Oktober 2002

Perburuhan Bahwa bagi para pekerja yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang termasuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf h dan k Kep. Menker No. Kep 150/Men/2000 dapat dikenakan sanksi Pemutusan Hubungan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

73

Kerja (PHK).37 318 K/TUN/

200019 Maret 2002 Pertanahan Bahwa berdasarkan

Pasal 45 ayat (1), PP No. 24 Tahun 1997, Kepala Kantor Pertanahan tidak boleh melakukan pendaftaran peralihan hak, jika tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di Pengadilan.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

38 29 PK/TUN/ 2001

tanggal 31 Juli 2003

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

-Bahwa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atas pelanggaran disiplin berdasarkan pasal 4 a PP No.30 Tahun 1980, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal, karena pelanggaran disiplin berdasarkan pasal 4 a Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 hanya lebih tepat dijatuhi hukuman berupa penurunan pangkat yang setingkat lebih rndah untuk paling lama 1 (satu) tahun.

-Pertimbangan hukum Hakim dikaitkan dengan amar putusan yang merubah hukuman Disiplin Penggugat/Pemohon PK yang semula diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri menjadi penurunan angkat yg setingkat lebih rendah, menekankan adanya asas keseimbangan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

39 01/B/PK/PJK/2003

29 November 2003

Tentang pajak Bahwa mengenai ketentuan PPN berdasarkan pasal II UU No. 11 Tahun 1994 berlaku Azas Lex Generalis bagi

yurisprudensi menyangkut segi substansial

74

pengusaha kena pajak pada umumnya (pasal II huruf a) dan berlaku Azas Lex Specialis bagi pengusaha kena pajak di bidang Pertambangan Migas, Pertambangan Umum termasuk panas bumi dan pertambangan lainnya (pasal II huruf b). Oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak yang mendasarkan pasal II huruf a UU No. 11 Tahun 1994 atas pengusaha kena pajak berdasarkan Azas Specialis adalah telah salah dalam menerapkan hukum.

40 145 K/TUN/ 2002

2Oktober 2003 Tentang Kepegawaian

Bahwa berdasarkan Undang-undang Kepegawaian masalah tanggal berlakunya penurunan pangkat adalah wewenang pejabat administrasi yang bersangkutan, namun demikian haal ini tidak berakibat batalnya Putusan Pengadilan Tinggi dan cukup dilakukan perbaikan saja.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

41 117 K/TUN/ 2003

26 Oktober 2003

Perburuhan Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Pengusaha Bank Internasional Indonesia (BII) terhadap saudara M.L. Tobing tanpa seijin P4P, padahal pekerja yang bersangkutan sudah menjadi pekerja waktu tidak tertentu (pekerja tetap), disamping itu dasar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena ketidak mampuan/ketidak disiplinan harus dibuktikan terlebih

yurisprudensi menyangkut segi substansial

75

dahulu.42 136 K/TUN/

200315 Oktober 2003

Kepegawaian Bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk menentukan bentuk hukuman disiplin terhadap Pegawai Negeri Sipil, melainkan kewenangan tersebut sepenuhnya berada pada Pejabat Tata Usaha Negara.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

43 489 K/TUN/ 2001

10 Juni 2004 Tentang Perizinan Pemberian ijin oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara terhadap suatu perubahan lain yang masih memiliki ijin (ijinnya belum dicabut) adalah melanggar asas-azas Umum Pemerintahan yang Baik, karena pemberian izin seperti itu bersifat fiktif negatif

yurisprudensi menyangkut segi substansial

44 209 K/TUN/ 2004

14 oktober 2004 Tentang Perusahaan Terbatas

Suatu Perseroan Terbatas (PT) yang bertindak sebagai pembeli atas Perseroan Terbatas (PT)lain, tidak mempunyai kualitas atau standing untuk menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang menyangkut Perseroan Terbatas (PT) yang akan dibelinya, sepanjang Perseroan Terbatas (PT) pembeli belum melunasi seluruh harga pembelian sebagaimana yang diperjanjikan.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

45 10 P/HUM/ 2003

28 Maret 2004 Tentang Hak Uji Materil

Keputusan Menteri Keuangan RI No. 453/KMK.0412002 tanggal 30 Oktober 2002 tentang Tata Laksana Kepabean di Bidang Impor tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, karena Keputusan Menteri

yurisprudensi menyangkut segi substansial

76

Keuangan tersebut bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni : Keputusan Presiden RI No. 102 Tahun 2001 pasal 21 huruf I.

46 48 K/TUN/ 2002 11 Juni 2004 Kompetensi Hubungan hukum antara Rektor Universitas Swasta dengan para Dekan/Dosen serta lain-lain Pejabat dilingkungan Universitas Swasta yang bersangkutan, bukanlah dalam arti hukum kepegawaian yang termasuk dalam hukum publik, oleh karena itu karena ini keputusannya bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. fakta bahwa Universitas Swasta berada dibawah koordinasi Kopertis Departemen Pendidikan bukanlah berarrti bahwa Universitas berada dalam hierarki pemerintahan dan pegawai-pegawainya berstatus pegawai negeri, tetapi peranan Kopertis adalah dalam rangka pengawasan agar Perguruan Tinggi Swasta dapat selalu berada di bawah koordinasi pemerintah.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

47 482 K/TUN/ 2003

18 Agustus 2004

PILKADES bahwa Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) merupakan perbuatan-perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup politik dan didasarkan pada

yurisprudensi menyangkut segi substansial

77

perundang-undangan politis para pemilih maupun yang dipilih. Hasil PILKADES juga merupakan hasil dari suatu pemilihan yang bersifat umum di lingkungan Desa yang bersangkutan, oleh karenanya keputusan hasil PILKADES tidak termasuk pengertian KTUN menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 (vide Pasal 2 huruf g Undang-undang No. 5 Tahun 1986).

48 209 K/TUN/ 2004

14 Oktober 2004

Perseroan TerbatasBadan Hukum

Suatu Perseroan Terbatas (PT) yang bertindak sebagai pembeli atas Perseroan Terbatas (PT) lain, tidak mempunyai kualitas atas standing untuk menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang menyangkut Perseroan Terbatas (PT) yang akan dibelinya itu, sepanjang Perseroan Terbatas (PT) pembeli belum melunasi seluruh harga pembelian sebagaimana yang diperjanjikan.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

49 134 K/TUN/ 2007

19 Juni 2007 Tentang Tenggang Waktu Gugatan

Permohonan Kasasi/Pengugat baru menerima SK Menhut secara fisik pada saat pemeriksaan persiapan, hal mana merupakan akibat kelalaian Termohon Kasasi/Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga tidak patut menjadi beban yang merugikan Pemohon Kasasi/Penggugat sebagai pencari keadilan. Maka

yurisprudensi menyangkut segi formal

78

penghitungan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan harus dihitung sejak Pemohon Kasasi/Penggugat menerima SK, i.c. pada tanggal 9 Februari 2006, sehingga gugatan yang diajukan oleh Penggugat masih dalam tenggang waktu yang dimaksud dalam pasal 55 UU Peratun

50 213 K/TUN/ 2007

6 November 2007

Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Meskipun berdasarkan PP 75/2001 Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) berwenang menerbitkan keputusan Kuasa Pertambangan diwilayahnya, akan tetapi dengan telah diketahuinya areal pertambangan PT Arutmin Indonesia di wilayah Kabupaten Tanah Laut (di wilayah Tergugat), maka seharusnya Tergugat berhati-hati dan mempertimbangkan secara cermat pada waktu mempersiapkan keputusan a quo dengan terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai semua fakta yang relevan maupun semua kepentingan pihak ketiga, sebelum Tergugat mengambil keputusan untuk menerbitkan Kuasa Pertambangan di wilayah Tanah Laut, agar tidak

yurisprudensi menyangkut segi substansial

79

menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari, karena adanya tumpang tindih areal Kuasa Pertambangan.

Dalam perkara ini Pejabat TUN yang bersangkutan terbukti melanggar asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yaitu asas kecermatan dan kehati-hatian.

51 06 PK/TUN/ 2008

5 Mei 2008 - Penafsiran masalah kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata

- Penerapan Kaidah Hukum Tidak Tertulis (AUPB)

Suatu perbedaan pendapat dalam memori PK antara pemohon PK dan Judex Juris (i.c. putusan kasasi Mahkamah Agung) pada hakikatnya merupakan perbedaan penafsiran tentang suatu masalah hukum, dan karenanya tidak dapat dianggap atau dikategorikan sebagai suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam pengertian pasal 67 butir f UU No. 5 Tahun 2004 (vide Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 431 PK/Pdt/2007 halaman 35);

Kelalaian Pejabat TUN didalam pengiriman Keputusan TUN kepada rakya/warga negara, yang menyebabkan tenggang waktu pengajuan gugatan ke Pengadilan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

80

menjadi bergeser, merupakan kesalahan pihak Administrasi, sehingga tidak dapat menjadi beban yang merugikan hak Penggugat sebagai rakyat/warga masyarakat pencari keadilan.

52 216 K/TUN/ 2010

28 September 2010

Kepegawaian Hanya Presiden yang berhak untuk memberhentikan dan/atau membebaskan Pegawai Negeri Sipil pemangku Jabatan Fungsional Jenjang Utama/ Widyaswara Utama (golongan IV/E) dari dalam jabatannya”.

Tergugat (Menteri Keuangan Republik Indonesia) tidak berwenang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa, sesuai ketentuan Pasal 12 Peraturan Bersama Kepala LAN dan Kepala BKN No. 7 Tahun 2005 serta Pasal 26 Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No. Per/66/M.PAN/b/2005, Pejabat yang berwenang menetapkan pembahasan sementara dari dan dalam Jabatan Widyaswara Utama adalah sama dengan Pejabat yang berwenang menetapkan

yurisprudensi menyangkut segi substansial

81

pembahasan sementara dari dan dalam Jabatan Widyaswara Utama yaitu Presiden

53 154 PK/TUN/ 2010

10 Januari 2011 Pertanahan Sengketa kepemilikan menjadi kewenangan absolute Peradilan Umum (Perdata)

Dalam adanya Permohonan Peninjauan Kembali dari satu (1) kali, maka harus dilihat secara kasus perkasus dan dalam kasus ini yang berlaku sah adalah Peninjauan Kembali yang pertama.

yurisprudensi menyangkut segi substansial

54 112 PK/TUN/2013

22Oktober 2013 Perpajakan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar dan Surat Paksa merupakan Keputusan Tata Usaha Negara di bidang perpajakan yang merupakan kompetensi dari Pengadilan pajak

yurisprudensi menyangkut segi substansial

55 450 K/TUN/2013

13 Februari 2014

Pertanahan Walaupun Tergugat tidak terlibat dalam perkara a quo namun apabila mengetahui putusan tersebut, maka Pejabat Tata Usaha Negara wajib menaggapinya dengan melakukan koreksi terhadap produk dimaksudkan dalam rangka penegakan hukum publik yang mengikat umum (asas ergo omnes)

yurisprudensi menyangkut segi substansial

56 509 K/ TUN/2013

27 Januari 2014 SengketaKeterbukaan Informasi Publik

Dengan terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Ketrbukaan Informasi Publik

yurisprudensi menyangkut segi formal

82

yang bertujuan untuk transparansi dan terselenggaranya pemerintahan yang baik, maka siapa saja dapat mengajukan permintaan informasi publik (action popularis). Namun dlam pemeriksaan sengketa Keterbukaan Informasi Publik harus dipertimbangkan tentang ada tidakannya kepentingan yang berimplikasi pada kedudukan hukum (legal standing) Penggugat. Hal ini sejalan dengan asas point d’interest point d’action dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan pasal 36 huruf b Peraturan Komisi Informasi No. 1 tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.

Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jumlah yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara yang dihasilkan oleh MA periode tahun 1992-2015 berjumlah 56 (lima puluh enam) yurisprudensi. Dari 56 (lima puluh enam) yurisprudensi tersebut, diperoleh data bahwa yurisprudensi yang menyangkut segi formal/prosedural atau hukum acara proses peradilan TUN

83

berjumlah 6 (enam), dan yang menyangkut segi substansi berjumlah 50 (lima puluh).

Ditinjau dari jenis-jenis gugatan di PTUN yang meliputi sengketa-sengketa di bidang: 129 (1) Hak Uji Materiil, (2) Kehutanan, (3) Perijinan, (4) Kepegawaian, (5) Keterbukaan Informasi Publik, (6) Kependudukan, (7) Kewarganegaraan, (8) Lelang, (9) Lingkungan Hidup, (10) Pertanahan, (11) merek, (12) pajak, (13) Partai Politik, (14) Pendidikan, (15) Perumahan, (16) Pilkada, (17) Tender, (18) Badan hukum, (19) Asuransi, (20) Lain-lain termasuk piutang, ternyata klasifikasi sengketa yang dijadikan yurisprudensi dalam penelitian ini ditemukan hanya pada bidang: (1) Pertanahan, (2) Pajak, (3) Perijinan, (4) Lelang, (5) Keterbukaan Informasi Publik, (6) Perburuhan, (7) Kepegawaian, (8) Badan hukum, (9) Pilkades, (10) Hak Uji Materiil.

129 http://putusan.mahkamahagung.go.id/ pengadilan/ mahkamah- agung/direktori/tun/partai-politik, diakses pada tanggal 13 Oktober 2016

84

BAB IVPEMBERDAYAAN YURISPRUDENSI PUTUSAN

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK PEMBANGUNAN

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Peran Mahkamah Agung Dalam Pembangunan Hukum Nasional

a. Kedudukan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung dalam sistem hukum merupakan pelaksana tertinggi kekuasaan kehakiman dengan fungsi peradilan dan fungsi pengawasan terhadap pengadilan-pengadilan di bawahnya. Adapun tugas dan fungsi Mahkamah Agung, yaitu; fungsi mengadili, fungsi pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, fungsi pengaturan, fungsi pengawasan dan pembinaan, fungsi pertimbangan dan nasihat hukum, fungsi administrasi. Dalam sistem peradilan di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Militer. Masing-masing lingkungan peradilan tersebut memiliki lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding dan tingkat kasasi yang semua berpuncak pada Mahkamah Agung.

b. Kewenangan Mahkamah Agung

Kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah sebagai berikut:

1. Menguji Undang-Undang di bawah Undang-undang

Kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Agung diantaranya adalah sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman, yakni menguji peraturan perundang-undang. Atau secara populer disebut Hak Uji Materiil atau Judicial Review. Tujuan utama pemberian kewenangan hak menguji peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk mempertegas dan memperkokoh peran dan tugasnya. Hal ini dimaksudkan agar Mahkamah Agung melakukan pengawasan terhadap semua tindak tanduk pemerintah atau penguasa (to anable the judge to exercise control of government’s action). 130

Selain telah disebutkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 mengenai kewenangan hak uji undang-undang, kewenangan ini juga dikemukakan pada Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi; menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Lebih lanjut Penjelasan pasal ini menyatakan, Ketentuan ini mengatur mengenai hak uji

130 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 43

85

Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami bahwa Hak Uji Mahkamah Agung memiliki sifat terbatas, tidak menyeluruh meliputi semua hak uji. Kewenangannya hanya meliputi kewenangan hak uji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang. Sehingga kewenangan hak menguji yang dimiliki Mahkamah Agung tidak menjangkau kepada menguji undang-undang dengan UUD NRI 1945, tetapi hanya menguji antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, seperti menguji undang-undang dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri atau Perda, dan sebagainya.

2. Mengadili Pada Tingkat Kasasi

Perkataan kasasi berasal dari bahasa Perancis Cassation, dengan kata kerja Casser, yang berarti membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum.131 Dalam kamus istilah hukum Belanda-Indonesia disebutkan bahwa kasasi berasal dari Cassatie yang artinya; pembatalan, pernyataan tidak berlakuknya keputusan hakim rendahan oleh Mahkamah Agung, demi kepentingan kesatuan peradilan. 132

Ketentuan Penanganan Kasasi oleh Mahkamah Agung diatur dalam Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari keempat lingkungan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan TUN). Kemudian dipertegas dalam Ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai Pengadilan Negara Tertinggi adalah Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain.

3. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang

Kewenangan Mahkamah Agung lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang antara lain meliputi kewenangan untuk melaksanakan:

131 Henry Pandapotan Panggabean, Op.,Cit, hal. 34132 Fockema Andrea, Mr. N.E Algra., Cs, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia,

Jakarta: Binacipta, 1977, hal. 66

86

i. Fungsi Peradilan a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung

merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.

b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir dari semua lingkungan peradilan. (Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

c. Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili: (1) Antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain; (2) Antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari Lingkungan Peradilan yang sama; (3) Antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan Peradilan yang berlainan. (Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

d. Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku. . (Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung)

e. kewenangan hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

ii. Fungsi Pengawasan a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).

b. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan terhadap: (1) pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta

87

memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985), dan (2) Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

iii. Fungsi Mengatur a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985);

b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

iv. Fungsi Penasehat a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau

pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).

b. Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1).

c. Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

d. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

v. Fungsi Administratif a. Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu puncak kekuasaan

kehakiman serta peradilan negara tertinggi mempunyai posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman karena

88

tidak hanya membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan tetapi juga manajemen di bidang administratif, personil dan finansial serta sarana dan prasarana. 133 Kebijakan “satu atap” memberikan tanggungjawab dan tantangan karena MA dituntut untuk menunjukkan kemampuannya mewujudkan organisasi lembaga yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Sebagai konsekuensi penyatuan atap, tanggung jawab MA termaktub dalam UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan telah direvisi oleh UU No. 4 Tahun 2004, serta diperbaiki kembali melalui UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Justifikasi tersebut juga termuat dalam berbagai undang-undang, yaitu antara lain melalui: UU No. 5 Tahun 2004 juncto UU No. 3 Tahun 2009 Tentang MA, UU No. 8 Tahun 2004 juncto UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, UU No. 9 Tahun 2004 juncto UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

b. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

c. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.

vi. Fungsi lain-lainSelain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

c. Pembaruan Mahkamah Agung Sebagai Peradilan Kasasi

Pada masa lalu, MA tidak terlepas dari intervensi institusi negara lainnya. Adanya sorotan negatif dari sebagian pihak mengenai integritas sebagian Hakim dan Hakim Agung. Kualitas sebagian putusan MA dikritik karena kurang argumentatif, tidak konsisten, kadang tidak dapat dieksekusi, dan seterusnya. Sorotan dan kritik tersebut bukannya tidak disadari oleh MA. Sejak beberapa waktu belakangan, MA telah berupaya untuk secara bertahap memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada. Diantaranya adalah upaya

133 Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman

89

perbaikan pengawasan terhadap Hakim, perbaikan pelaksanaan mutasi dan promosi Hakim, upaya mempercepat proses peradilan, dan sebagainya.

Untuk melakukan pembaruan-pembaruan, MA telah menetapkan visi dan misi organisasinya. Adapun visi tersebut adalah “Mewujudkan supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.” Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan misi-misi MA sebagai berikut: 134

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;

2. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain;

3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat;

4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan;5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat

dan dihormati;6. Melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang mandiri, tidak

memihak dan transparan.

Upaya untuk mencapai visi dan misi yang agung tersebut jelaslah bukan suatu perjalanan yang mudah. Diperlukan suatu pemahaman yang mendalam atas permasalahan yang dihadapi oleh MA dan rencana serta strategi yang tepat dan menyeluruh untuk menjawab permasalahan yang ada. Dalam rangka itulah MA menyusun Cetak Biru Pembaruan MA RI pada tahun 2003 dan 2010.

Cetak Biru (Blueprint) Pembaharuan MA RI adalah sebuah pedoman/arah dan pendekatan yang akan ditempuh oleh MA untuk mengembalikan citra MA sebagai lembaga yang terhormat dan dihormati oleh masyarakat dan Lembaga Negara lainnya. 135 Adapun ruang lingkup isu (permasalahan) yang menjadi sorotan dari cetak biru ini adalah : Visi dan Misi MA; Independensi MA dan Hubungan MA dengan Lembaga Negara Lain; Organisasi dan Kultur Kerja MA; Sumber Daya Manusia di MA; Manajemen Perkara; Akuntabilitas, Transparansi dan Manajemen Informasi; Pengawasan dan Pendisiplinan Hakim; dan terakhir Dukungan Sumber Daya Keuangan dan Fasilitas.

B. Pemberdayaan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum

134 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Diterbitkan oleh: Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), The Asia Foundation, United State Agency for International Development (USAID), dan Partnership for Governance Reform In Indonesia (Partnership), 2003, hal. 2

135 Kata Pengantar Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. DR. Bagir Manan, SH., MCL, Ibid

90

Peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum tampaknya sangat dibutuhkan berhubung banyaknya persoalan yang belum diatur oleh hukum tertulis dan/atau telah diatur dalam hukum tertulis, tetapi masih kurang jelas artinya sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Dengan sendirinya peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pembinaan peradilan itu sendiri.

Mempelajari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berguna bagi pembangunan hukum nasional, untuk mewujudkan suatu sistem hukum yang dapat mengabdi kepada kepentingan nasional. Bahkan hukum harus mampu menyaring segi-segi positif dari nilai-nilai yang hidup itu baik yang dari unsur tradisional maupun yang diambil dari unsur asing dan mentransformasikannya ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hukum dapat mengarahkan masyarakat pada tingkat progresivitas yang diharapkan sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

a. Ratio Legis Pengumpulan Yurisprudensi Oleh Mahkamah Agung

Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 19 Mei 1972, menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 02 Tahun 1972 Tentang Pengumpulan Yurisprudensi, yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Para Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia.

Berkenaan dengan pengumpulan yurisprudensi, di dalam angka 5 Surat Edaran tersebut disebutkan bahwa:

- Pengumpulan Yurisprudensi hanya dilakukan oleh MA, badan-badan lain baik swasta maupun Pemerintah tak dapat melakukan pengumpulan Yurisprudensi. Kecuali kalau hal ini telah dibicarakan terlebih dahulu.

- Berdasarkan Undang-Undang MA menyelenggarakan eenheid in de recht-spraak, oleh karena itu MA merupakan satu-satunya lembaga konstitusionil yang bertanggung jawab mengadakan pengumpulan tersebut yang merupakan suatu richt-lijn yang harus diikuti oleh Hakim dalam mengadili perkara.

- Perkara-perkara yang menjadi richt-lijn adalah terutama perkara yang dalam kasasi telah diteguhkan hukumnya baik dengan mengadili sendiri maupun dengan menolak kasasi.

- Perkara-perkara yang telah mempunyai kekuatan pasti tanpa melalui kasasi tidak mempunyai sifat richt-lijn.

- Dengan demikian kalau ada pihak lain yang mengadakan pengumpulan Yurisprudensi baik mengenai keputusan-keputusan yang telah melalui kasasi maupun mengenai keputusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan pasti tanpa melalui kasasi maka hal ini akan mengganggu eenheid in de recht.-spraak.136

136 Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 185-186

91

Surat Edaran tentang pengumpulan yurisprudensi tersebut sampai saat ini belum pernah dicabut oleh MA dan masih tercantum dalam Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung Dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1951-1007 yang diterbitkan oleh MA pada tahun 2007, dengan demikian masih berlaku dan menjadi pedoman dalam pengumpulan, penerbitan dan publikasi yurisprudensi.

Memperhatikan isi atau substansi dari Surat Edaran MA RI Nomor 02 Tahun 1972 tanggal 19 Mei 1972 tersebut, aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian menurut Dani Elfah adalah: 137

a. Wewenang dan tanggung jawab konstitusional untuk mengumpulkan yurisprudensi hanya ada pada MA, institusi di luar MA baik Pemerintah maupun swasta tidak mempunyai wewenang, kecuali telah dibicarakan terlebih dahulu.

b. Tujuan dari wewenang dan tanggung jawab konstitusional tersebut adalah untuk menjaga eenheid in de recht-spraak (kesatuan/keseragaman peradilan)

c. Suatu putusan baru mempunyai sifat richt-lijn (pedoman/petunjuk yang harus diikuti oleh hakim dalam mengadili perkara) adalah perkara-perkara yang di tingkat kasasi telah diteguhkan hukumnya baik dengan mengadili sendiri maupun dengan menolak kasasi.

d. Putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa melalui kasasi tidak mempunyai sifat richt-lijn.

Menurut hemat peneliti, jika dilihat dari tahun penerbitannya yaitu tanggal 19 Mei 1972, Surat Edaran MA RI Nomor 02 Tentang Pengumpulan Yurisprudensi tersebut dipengaruhi oleh pandangan Mochtar Kusumaatmadja mengenai pembangunan hukum di Indonesia pada tahun 1970-an. Pandangan tersebut, menggunakan istilah hukum sebagai sarana rekayasa sosial, yang pada waktu itu digunakan untuk melakukan justifikasi terhadap program pembangunan pada masa rezim Orde Baru sehingga dikenal sebagai Teori Hukum Pembangunan. Menurut Mochtar, hukum itu mempunyai dua fungsi, yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat. Berkaitan dengan peran-peran ini, hukum dapat dijadikan sebagai alat perubahan sosial. Arti penting peranan hukum dalam hal ini apabila perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. 138

Penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial menurut Mochtar adalah bersifat top down, yaitu semua pembuatan dan kebijakan hukum harus berasal dari pemerintah, bukan bersifat bottom up. 139 Hal ini sesuai dengan apa yang telah dibuat oleh MA melalui Surat Edaran No. 02 Tahun 1972 di atas, yaitu

137 Dani Elfah, Op.,Cit, hal. 98-99138 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, Bandung: Binacipta, 1970, hal. 11139 Widodo, Op.,Cit, hal. 267

92

dengan menetapkan bahwa hanya MA RI yang berwenang mengumpulkan yurisprudensi.

Hukum sebagai rekayasa sosial berasal dari istilah Law as a tool of social engineering yang berasal dari ajaran Roscoe Pound. Ajaran ini berbasis pada paradigma yang diterima para sosiolog hukum pada masa itu bahwa hukum adalah kontrol sosial yang dikelola oleh negara. 140 Menurut Pound, hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan. Hukum bukan hanya yang tertulis dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan oleh apparat penyelenggara hukum dan atau siapa saja yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum dengan konsep hukumnya, yaitu hukum dapat berperan sebagai sarana perubahan masyarakat. 141 Pound ingin mengubah hukum dari tataran teoritis (law in book) menjadi hukum dalam kenyataan (law in action).

Menurut Romli Atmasasmita, pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional, diletakkan di atas premis-premis yang merupakan inti ajaran atau prinsip, sebagai berikut: 142

1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan dan hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwaperubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yangteratur menurut Mochtar, dapat dibantu oleh perundang-undanganatau keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya. Beliau menolak perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata.

2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakantujuan awal dari pada masyarakat yang sedang membangun makahukum menjadi suatu sarana (bukan alat) yang tak dapat diabaikandalam proses pembangunan.

3. Fungsi hukum dalam masyarakat adalah mempertahankan ketertiban melalui kepastian hukum dan juga hukum (sebagai kaidah sosial) harus dapat mengatur (membantu) proses perubahan dalam masyarakat.

4. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuaipula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.

5. lmplementasi fungsi hukum tersebut di atas hanya dapat diwujudkan jika hukum dijalankan oleh suatu kekuasaan akan tetapi kekuasaan itu sendiri harus berjalan dalam batas rambu-rambu yang ditentukan di dalam hukum itu.

140 Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar Kusumaatmadja: Manusia Yang Pernah Saya Kenal dan Pemikirannya, ‘Kata Pengantar’ dalam buku Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan, Jakarta: Epistema & Huma, 2012, hal. iii

141 Roscoue Pound, Contemporary Juristic Theory, Claremont CA: Panamon College, 1940, p. 80

142 Romli Atmasasmita, Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Makalah disampaikan pacta Rapat/Diskusi Pokja Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan di BPHN, tanpa tahun, hal. 4

93

Kelima inti ajaran model hukum pembangunan tersebut mencerninkan bahwa kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan, dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan melainkan harus sesuai dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam masyarakat. Model Hukum Pembangunan (Nasional) menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak meninggalkan sepenuhnya pandangan aliran analytical jurisprudence, bahkan telah merangkul baik aliran analytical jurisprudence, aliran sociological jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism. Bertolak dari ketiga aliran teori hukum tersebut, model Hukum Pembangunan dalam praktik, hanya dapat dilakukan melalui cara pembentukan perundangundangan atau melalui keputusan pengadilan atau melalui kedua-duanya. 143

b. Upaya Mahkamah Agung Menjaga Kesatuan Hukum

Fungsi MA untuk menyelenggarakan pengadilan pada tingkat kasasi secara tegas telah diatur sejak tahun 1947 yaitu dalam Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 7/1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang memberikan kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan pengawasan atas badan-badan kehakiman dalam hal melakukan keadilan di seluruh Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengadilan di tingkat kasasi pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesatuan hukum, baik melalui pengawasan penerapan hukum pada pengadilan yang lebih rendah, maupun melalui penafsiran hukum yang diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia. Fungsi menjaga kesatuan hukum yang dimiliki Mahkamah Agung menuntut MA untuk dapat mengawasi penerapan dan penafsiran hukum oleh pengadilan tingkat bawah melalui putusan kasasi.

Fungsi pengadilan kasasi untuk menjaga kesatuan penerapan hukum, dalam perkembangannya tidak dapat sepenuhnya dijalankan oleh MA, khususnya menyangkut inkonsistensi putusan. Inkonsistensi ini disebabkan karena paradigma MA dalam memutus perkara telah bergeser dari masalah judex jurist ke masalah judex factie. MA lebih memilih untuk memastikan penyelesaian permasalahan hukum melalui perkara individual dibandingkan dengan menjaga kesatuan penerapan hukum secara nasional demi meningkatkan kepastian dan keadilan bagi orang banyak. Konsekuensi yuridis dari hal ini menyebabkan putusan-putusan majelis hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa ternyata putusannya berbeda.

Faktor utama yang menyebabkan inkonsistensi antara lain karena tingginya jumlah perkara yang masuk ke MA sehingga sulit bagi MA untuk melakukan pemetaan permasalahan hukum dan mengawasi konsistensi putusan. Jumlah perkara yang tinggi juga memberikan justifikasi bagi MA dalam menggunakan semua sumber daya Hakim Agung untuk memeriksa perkara dengan target utama penuntasan tunggakan, tanpa melihat keahlian atau latar belakang hakim.

1. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi dan PK

143 Ibid, hal. 5

94

Pada dasarnya terhadap setiap putusan terakhir pengadilan (dari semua lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi, kecuali undang-undang menentukan lain (vide Pasai 21 Ayat (1) dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), yang juga antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 131 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama; dan Pasal 335 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Permohonan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan tinggi (banding) dari semua lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dari tahun ke tahun menunjukkan pertambahan yang cukup signifikan (jumlahnya mencapai ribuan perkara dari semua lingkungan badan peradilan), hal ini dapat berakibat terhadap menumpuknya permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, yang pada gilirannya dapat menyebabkan setiap permohonan kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang dan lama (3 sampai 5 tahun, bahkan tidak jarang sampai 10 tahun), jika demikian halnya dapat merugikan para pihak pencari keadilan (justicebelen), hal demikian dapat berdampak pada penciptaan kepastian hukum (rechtszekerheid) menjadi barang langka dan mustahil.

Secara ringkas tujuan pembatasan perkara kasasi adalah untuk: (1) Meningkatkan kualitas putusan; (2) Memudahkan MA melakukan pemetaan permasalahan hukum; (3) Mengurangi jumlah perkara di tingkat kasasi yang berarti mengurangi beban kerja MA.

Upaya penting yang harus dilakukan dalam rangka pembatasan perkara adalah dengan memperkuat fungsi pengadilan tingkat bawah terutama Pengadilan Tingkat Banding. Penguatan dilakukan dengan memberikan kewenangan pada Pengadilan Tingkat Banding menjadi pengadilan tingkat akhir bagi perkara-perkara tertentu.

Untuk itu, diperlukan perluasan kriteria pembatasan perkara agar dapat menekan arus perkara yang diperiksa di tingkat kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Ketentuan tersebut harus pula memperhatikan fungsi utama MA dalam menjaga kesatuan hukum. Aturan itu harus dituangkan dalam undang-undang. Selain itu, perlu disusun peraturan internal MA untuk memastikan ketentuan Pasal 45A Undang-Undang MA dipatuhi oleh pengadilan di bawah maupun unit-unit kerja yang relevan di MA. Pembatasan perkara dapat dilakukan dengan kriteria umum sebagai berikut:

a. Untuk perkara pidana, kriteria perkara yang final di tingkat banding didasarkan pada besaran ancaman hukuman. Untuk perkara pidana dengan ancaman hukuman 3 tahun ke bawah dapat dipertimbangkan untuk tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Selain dengan pertimbangan besarnya ancaman hukuman, juga dipergunakan pertimbangan jenis dan kualifikasi

95

perkara. Khusus untuk perkara militer dengan ancaman hukuman 5 tahun namun memiliki hukuman tambahan berupa pemecatan misalnya pada tindak pidana kesusilaan, dapat dikecualikan dari pembatasan perkara.

b. Untuk perkara perdata, beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk membatasi perkara yang selesai di tingkat banding dapat dilihat dari jenis dan kompleksitas perkara. Dengan beberapa arahan sebagai berikut: (a) Perkara perdata di bidang hukum keluarga dan waris di lingkungan pengadilan umum dan agama juga dapat dipertimbangkan sebagai perkara yang diputus final di tingkat banding; (b) Perkara wali adhol direkomendasikan untuk tidak perlu sampai ke tingkat kasasi; (c) Perkara-perkara adat untuk lingkup hukum keluarga seharusnya dapat diselesaikan di tingkat banding; (d) Perkara PHI direkomendasikan untuk selesai di tingkat banding; (e) Perkara perdata khusus yang dapat diajukan upaya kasasi/PK juga perlu mempertimbangkan kompleksitas perkara.

c. Untuk perkara TUN atau Administrasi Negara, pembatasan dapat dilakukan berdasarkan pada dampak putusan TUN terhadap hak-hak dasar atau hak yang dilindungi undang-undang sebagai berikut: (a) Untuk perkara TUN dengan obyek sengketa berupa keputusan TUN yang daya berlakunya di wilayah provinsi termasuk terhadap perkara yang ruang lingkupnya tidak berimplikasi terhadap perlindungan hak-hak dasar warga negara, perkara tersebut hanya dapat dimintakan upaya hukum sampai pada tingkat banding. (b) Perkara TUN yang obyek sengketanya berdampak luas dan berimplikasi terhadap perlindungan hak-hak dasar warga negara, serta keputusan TUN yang obyek sengketa dan daya berlakunya menjangkau provinsi lain atau beberapa provinsi atau bersifat nasional, maka dapat diajukan upaya hukum sampai di tingkat kasasi pada MA.

Demi menjaga konsistensi penerapan hukum, maka dalam hal

terdapat pengajuan PK atas putusan kasasi karena kekhilafan hakim yang didasarkan pada alasan substansi hukum (dan bukan karena alasan hukum formal), maka PK tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MA. PK atas kekhilafan hakim dapat diterima apabila disebabkan oleh kekhilafan hakim pada pengadilan di tingkat bawah. PK atas kasasi sebaiknya dibatasi hanya bila ada novum atau bukti baru. Selain itu putusan bebas yang dikeluarkan di Pengadilan Tingkat Banding tidak dapat dimintakan upaya hukum kasasi. Dalam konteks kecenderungan munculnya pengajuan PK lebih dari satu kali, maka di masa datang PK hanya dapat dilakukan satu kali.

Untuk pengajuan PK dalam perkara perdata, agama dan TUN atas dasar novum, maka perlu ada proses pada Pengadilan Tingkat Pertama tempat didaftarkannya PK untuk memeriksa atau menelaah novum yang

96

diajukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Hal ini bertujuan untuk menghindari pengajuan PK dengan alat bukti berupa surat yang dinyatakan sebagai novum oleh para pihak namun sesungguhnya bukan termasuk kriteria novum. Sedangkan untuk perkara-perkara yang dapat langsung diajukan PK juga perlu ditinjau lebih jauh urgensi dan dampak pengajuan PK tersebut.

Guna memperkukuh arah perubahan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, maka Pemerintah dan DPR bersepakat melakukan penyesuaian-penyesuaian atas berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung sebagai salah satu pilar pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, hal ini sangat diperlukan guna lebih disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan serta percepatan pembangunan diberbagai bidang. 

Sebagai tindak lanjut dari kehendak Pemerintah dan DPR tersebut, maka dilakukanlah perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung, utamanya terhadap ketentuan-ketentuan tertentu yang mengatur antara lain syarat-syarat untuk menjadi hakim agung, syarat usia pensiun dan masa perpanjangannya, kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim, sampai kepada cara-cara untuk menanggulangi penumpukan perkara yang menjadi beban dan tugas Mahkamah Agung. Atas hal tersebut, maka Mahkamah Agung diharapkan dapat memberikan jawaban dan solusi terhadap tugas, fungsi maupun kewenangan Mahkamah Agung yang semakin berat dan komplek.

Guna mengurangi kecenderungan para pihak untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan terakhir pengadilan (putusan pengadilan tingkat banding), dan mengurangi penumpukan perkara (back log) di Mahkamah Agung, maka diperlukan langkah-langkah kebijakan strategis tertentu, antara lain dengan memaksimalkan jumlah anggota hakim agung, melakukan pembatasan terhadap perkara-perkara tertentu yang dapat dimintakan kasasi (vide Pasal 45A Ayat (2) huruf c UU MA), mengefektifkan lembaga mediasi guna mencapai perdamaian para pihak yang berperkara (vide Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks. Pasal 130 HIR/154 RBG) dan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).

2. Pembentukan Sistem Kamar

Sistem Kamar pada umumnya diterapkan di negara-negara Civil Law, seperti Belanda, Jerman, dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut terdiri dari beberapa Kamar (Chamber), di mana setiap Kamar terdiri dari beberapa orang hakim agung yang hanya akan mengadili perkara sesuai keahlian di kamarnya masing-masing. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, serta negara-negara bekas

97

jajahan Inggris. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut hanya terdiri dari satu Kamar yang menangani semua jenis perkara. 144

Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung RI, dalam rangka untuk melaksanakan fungsinya sebagai lembaga peradilan kasasi, sejak tanggal 19 September 2011 MA telah mulai menerapkan sistem kamar dalam proses penanganan perkara. Penerapan sistem kamar yang merupakan sistem dimana para Hakim Agung dikelompokkan berdasarkan keahlian yang sama atau sejenis dengan maksud agar penanganan perkara di MA dilakukan oleh Hakim yang berkompeten sesuai dengan jenis perkaranya yang pada akhirnya diharapkan putusan yang diambil atau dijatuhkan benar-benar mencerminkan penegakan hukum yang benar dan adil serta berkualitas. 145

Penerapan sistim kamar tersebut dimaksudkan untuk: 146

a. Mengembangkan kepakaran dan keahlian Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, sebab Hakim yang bersangkutan hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya.

b. Meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara. c. Spesialisasi dalam sistim kamar akan mengurangi disparitas

yang diterima oleh Majelis sebab perkara telah terklasifikasi sehingga sesuai dengan kompetensi majelis yang diharapkan akan meningkatkan munculnya pengulangan (repetisi) dan pada akhirnya tercipta standar putusan sejenis (standarisasi) yang akan dijadikan referensi memutus perkara pada tingkat pertama, tingkat banding maupun Mahkamah Agung dalam putusan serupa di masa mendatang.

d. Memudahkan Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi dan perannya melakukan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum karena putusan telah terklasifikasi sesuai dengan keahlian dalam kamar perkara.

e. Menjaga kesatuan hukum.

Susunan kamar pada MA terdiri dari dua kamar, yaitu: (1) kamar perkara yaitu kamar yang memeriksa dan mengadili perkara kasasi dan peninjauan kembali serta perkara lain yang menjadi kewenangan MA, dan (2) kamar non perkara yaitu kamar yang menangani pembinaan dan pengawasan.

Kamar-kamar yang memeriksa dan mengadili perkara kasasi dan peninjauan kembali terdiri dari: (1) Kamar Pidana Umum yaitu memeriksa dan mengadili pidana umum, (2) Kamar Pidana Khusus yaitu yaitu memeriksa dan mengadili pidana khusus, (3) Kamar Perdata Umum yaitu memeriksa dan mengadili perdata umum, (4) Kamar Perdata Khusus yaitu memeriksa dan

144 Arsil, Sudah Saatnya Mahkamah Agung Menerapkan Sistem Kamar, Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 12-18 Juli 2010

145 Abdul Kadir Mapong, Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Manado, 28 Oktober-1 November 2012, hal. 1

146 Ibid, hal. 4

98

mengadili perdata khusus, (5) Kamar Perdata Agama yaitu memeriksa dan mengadili perkara perdata agama, ekonomi syariah, jinayah dari Mahkamah Syariah Provinsi Aceh, (6) Kamar Militer yaitu memeriksa dan mengadili pidana militer, dan (7) Kamar TUN dan Hak Uji Materiil yaitu memeriksa dan mengadili perkara tata usaha Negara, perkara pajak, uji materiil dan uji pendapat.

Kamar-kamar dibentuk oleh Ketua Mahkamah Agung dengan mempertimbangkan beban perkara dan kebutuhan kekhususan keahlian Hakim Agung. Berdasarkan spesialisasi perkara dan latar belakang dibentuk 17 majelis Hakim Agung yang dibagi untuk mengisi ketujuh Kamar tersebut, yaitu: 12 Majelis Umum, 2 Majelis Agama, 1 Majelis Militer, 2 Majelis TUN. Masing-masing kamar dipimpin oleh seorang Ketua Muda Mahkamah Agung bidang perkara. Tugas dan tanggung jawab Ketua Kamar adalah: (a) memastikan terwujudnya kesatuan penerapan hukum dengan menjaga konsistensi putusan di masing-masing kamar, (b) menetapkan Majelis Hakim pada kamar yang dipimpinnya dan dapat meninjau ulang dalam periode tertentu, (c) mendistribusikan perkara kepada majelis hakim yang telah ditetapkan berdasarkan pemerataan beban kerja, (d) memonitor penyelesaian perkara, (e) menyelenggarakan rapat pleno kamar sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan pada hari yang telah ditetapkan, (f) menentukan perkara yang akan dibahas dalam rapat pleno kamar, (g) mengkoordinasikan penghimpunan putusan-putusan yang mengandung penemuan hukum baru sebagai referensi untuk perkara-perkara serupa bagi pengadilan-pengadilan di tingkat bawah, (h) menetapkan prosedur-prosedur kunci seperti jadwal sidang, jadwal rapat pleno kamar, mekanisme koreksi bersama, dan hal-hal lain yang dibutuhkan sepanjang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.142/KMA/SK/IX/2011.

Berdasarkan Kamar kekhususannya, tugas Majelis Hakim adalah mendiskusikan mengenai berbagai masalah hukum dalam putusan sehingga terdapat yurisprudensi tetap yang dapat diacu untuk permasalahan hukum tertentu yang diputus pada Kamar Perkara tertentu.147 Menurut Takdir Rahmadi, sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar. Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung. Di dalam rapat pleno ini, para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum. Perdebatan dalam kamar adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang.148

147 Ibid, hal. 5148 https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-

agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm, diakses pada tanggal 9 Agustus 2016

99

Selain Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung RI, Peraturan-Peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam Rangka Implementasi Sistem Kamar adalah sebagai berikut: 149

1. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 010/KMA/ SK/I/2011 Tanggal 21 Januari 2011 Tentang Pembentukan Tim Kelompok Kerja Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung.

2. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 143/KMA/SK/ IX/2011 Tanggal 19 September 2011 Tentang Penunjukan Ketua Kamar Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 144/KMA/SK/2011Tanggal  19  September  2011  Tentang  Penunjukan  Hakim  Agung  Sebagai Anggota Kamar Perkara Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

4. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 163/KMA/ SK/X/2011 Tanggal 24 Oktober 2011 Tentang Perubahan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 144/KMA/SK/IX/2011 Tentang Penunjukan Hakim Agung Sebagai Anggota Kamar Perkara Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

5. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 164/KMA/ SK/X/2011 Tanggal 24 Oktober 2011 Tentang Pemberian Nama Tim Pada Kamar- Kamar Perkara Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

6. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 017/KMA/ SK/II/2012 Tanggal 3 Februari 2012 Tentang Perubahan Pertama SK KMA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung.

7. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 106/KMA/ SK/IX/2012 Tanggal 6 September 2012 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung RI.

8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 7 Tahun 2012 Tanggal 12 September 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

9. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 50A/KMA/SK/ IV/2013 Tanggal 1 April 2013 Tentang Perubahan Nomenklatur Unsur Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

10. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 50B/KMA/SK/ IV/2013 Tanggal 1 April 2013 Tentang Perubahan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

149 http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/sistem-kamar/regulasi-sistem-kamar, diakses pada tanggal 23 Oktober 2016

100

143/KMA/SK/IX/2011 Tentang Penunjukan Ketua Kamar Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung.

11. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 111/KMA/SK/ VII/2013 Tanggal 10 Juli 2013 Tentang Pembentukan Tim Implementasi Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

12. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 112/KMA/SK/ VII/2013 Tanggal 10 Juli 2013 Tentang Perubahan Kedua Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung.

13. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 119/KMA/SK/ VII/2013 Tanggal 19 Juli 2013 Tentang Penetapan Hari Musyawarah dan Ucapan Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

14. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2014 Tanggal 29 Januari 2014 Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

15. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 Tanggal 1 Desember 2014 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil  Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2014 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

16. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2014 Tanggal 28 Maret 2014 Tentang Pemberlakuan Rumusan HasilPleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

17. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 213/KMA/SK/XII/2014 Tanggal 30 Desember 2014 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pada Pengadilan Tingkat Banding, akan dibentuk Kamar pada lingkungan peradilan umum yaitu Kamar Perdata dan Kamar Pidana. Sedangkan untuk Pengadilan Tingkat Pertama, sistem Kamar tidak akan diberlakukan namun dapat diperkenalkan spesilisasi Hakim, di mana Hakim dapat menangani perkara tertentu dengan sertifikasi yang membuktikan keahlian yang bersangkutan terhadap suatu perkara. Sertifikasi ini harus diperbarui secara berkala, misalnya 2 (dua) tahun.

C. Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Oleh Mahkamah Agung Untuk Pembangunan Hukum Administrasi Negara

101

Menurut Yulius Rivai, dengan kedudukan dan kewenangan MA khususnya sebagai lembaga peradilan kasasi, MA dapat berperan dalam Pembangunan Hukum Nasional di bidang HAN melalui Pemberdayaan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.150

Meskipun sistem hukum Indonesia tidak secara formal menempatkan yurisprudensi sebagai salah satu surnber hukum, namun pada prakteknya asas preseden dalam bentuk yurisprudensi diakui ada, dan menempati tempat sendiri dalam proses memeriksa dan memutus di Indonesia. Mekanisme preseden utamanya hidup rnelalui fungsi upaya hukum kasasi dan PK yang secara obyektif memaksa hakim pengadilan tingkat bawah untuk memperhatikan putusan hakim MA, apabila tidak ingin putusannya dibatalkan. Namun perlu dicatat bahwa berbagai literatur cenderung menempatkan bahwa sistem yurisprudensi yang dianut Indonesia menganut sistem persuasive force of precedent yang pada gilirannya, aplikasi suatu yurisprudensi dikembalikan kepada kebebasan hakim yang pada prinsipnya merdeka dalam memeriksa dan memutus.

Secara umum, dalam praktek peradilan Indonesia dikenal dua jenis putusan yang dianggap penting bagi proses pembentukan hukum, yaitu:151

1. Putusan Penting (Landmark Decisions)2. Yurisprudensi Tetap (Constant Jurisprudence)

a. Kriteria Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

1. Putusan Penting (Landmark Decision) Pengadilan Tata Usaha Negara

Putusan Penting (Landmark Decision) adalah Putusan badan peradilan berkekuatan hukum tetap yang berisikan kaidah hukum yang penting yang belum ada aturan hukumnya dan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum.152

Putusan Penting (landmark decision) tidak hanya ditemukan pada tingkat Mahkarnah Agung, namun juga di pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, karena kriteria yang dipergunakan adalah putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

Pada prinsipnya putusan penting diidentifikasi sendiri oleh setiap majelis hakim yang memutus perkara atas dasar kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam Pedoman yang ditetapkan Mahkamah Agung, yaitu sebagai berikut: 153

a. Telah berkekuatan hukum tetap; Kriteria ini menegaskan bahwa tidak hanya putusan Mahkamah Agung

saja yang dapat dijadikan Yurisprudensi. Putusan Pengadilan pada tingkat

150 Wawancara, dengan Yulius Rivai, Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, hari Kamis, 23 Juni 2016

151 Laporan Akhir Program Pembentukan Prosedur Tetap Pedoman Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Kerjasama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Proyek Mahkamah Agung RI-Komisi Eropa-Tata Keperintahan yang Baik pada Peradilan Indonesia, Juni 2008, hal. 15-17

152 Ibid, hal. 37153 Ibid, hal. 37-39

102

pertama maupun tingkat banding juga dapat dijadikan Yurisprudensi selama telah berkekuatan hukum tetap. Putusan penting dimaksud termasuk pula diantaranya putusan-putusan yang tidak kabul dalam tingkat Mahkamah Agung tetapi telah memenuhi kualifikasi sebagai putusan penting (landmark decision). Hal ini disebabkan banyak putusan yang tidak diajukan upaya banding ataupun tidak kabul ditingkat Mahkamah Agung tetapi didalamnya memuat norma-norma) hukum yang penting.

b. Merupakan penemuan hukum baru (Rechtsvinding).Putusan ini merupakan putusan atas suatu perkara yang belum jelas

peraturan perundang-undangannya, putusan yang memuat penemuan hukum ataupun upaya semaksimal mungkin menginterpretasikan hukum atau peraturan yang ada, putusan yang memuat penghalusan hukum, dan putusan yang rnengisi kekosongan hukum atau merubah hukum kebiasaan setempat serta rnenemukan kaidah hukum baru yang direfleksikan dalam hukum positif yang berlaku kemudian. (Dengan kata lain putusan tersebut berisi kaidah hukum yang belum pernah diatur dalam aturan hukurn sebelurnnya, sudah ada aturan hukum tetapi tidak mencerminkan rasa keadilan, menghaluskan aturan yang ada, dan rnenyimpang dari yurisprudensi yang ada).

c. Menjawab permasalahan dinamika sosial masyarakat.Putusan ini menjawab permasalahan dinamika sosial di masyarakat

sehingga memberikan kepastian hukum serta memberikan rasa keadilan, Walaupun dikatakan bahwa suatu putusan haruslah terbebas dari aspek-aspek yang terkait seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, kebiasaan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa putusan harus juga mempertimbangkan aspek-aspek tersebut melalui metode penemuan hukum.

d. Mencerminkan arah perkembangan hukum.Perkembangan hukum ini artinya mengakui terjadinya titik singgung

antara berbagai sistem hukum yang ada sekarang dan tidak hanya terfokus pada titik singgung antara sistem hukum Common Law dan sistern hukum Civil Law namun juga mengadopsi sistem hukum yang lain. Pengertian perkembangan arah perkembangan hukum yang berkaitan dengan yurisprudensi lebih difokuskan pada upaya rnemperkecil jurang pemisah antara law in a book and law in action sebagai upaya menuju masyarakat yang sadar hukum. Perkembangan hukum dapat juga dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan hukum oleh pemerintah.

e. Putusan baru pertama kali diputuskan dan belum diikuti oleh hakim lainnya.

Kekuatan dari suatu Putusan Penting adalah kemampuannya untuk mampu menjawab suatu permasalahan hukum ditengah rnasyarakat yang dikatakan baru sama sekali. Hakim yang memutus perkara tersebut berupaya semaksimal mungkin melalui seluruh sumber hukum, informasi, pengetahuan, pertimbangan yang ada untuk mernberikan putusan yang sifatnya baru.

103

Karakter yang penting dari suatu Putusan Penting adalah bahwa Putusan tersebut kemudian meletakkan dasar bagi masalah hukum yang timbul di masa yang akan datang sampai suatu saat misalnya, pembentukan hukum baru melalui undang-undang ditetapkan.

2. Yurisprudensi Pengadilan Tata Usaha Negara

Yurisprudensi bermula dari putusan hakim yang ditujukan untuk memutus suatu perkara tertentu. Dengan kata lain, yurisprudensi memberikan berbagai sisi dalam maknanya, yaitu menjadi bahan pembentuk undang-undang, pedoman, atau acuan penting bagi para hakim dalam memutus perkara yang memiliki elemen sarna. Disamping itu juga berfungsi sebagai alat pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara yang belum pernah diatur atau belum ditentukan hukumnya sekaligus proses untuk mengembangkan hukum itu sendiri melalui putusan lembaga peradilan, dimana Yurisprudensi disini diartikan sebagai alat dan proses.

Hal ini dikarenakan putusan lembaga peradilan, secara teoriris merupakan salah satu bahan primer dalam upaya pernbentukan hukum di Indonesia melalui sistem persuasive force of precedent. Dalam upaya peningkatan pembangunan hukum dan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, maka hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan belum ada atau kurang jelas aturan undang-undangnya. Hakim wajib menggali dan menemukan hukum terhadap perkara-perkara yang dihadapinya. Dengan kata lain yurisprudensi diharapkan dapat menjadi stimulator untuk menerapkan standar hukum yang sama bila undang-undang tidak mengatur atau belum mengaturnya sehingga akan tercipta kepastian hukum di tengah masyarakat. Dengan terciptanya kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap elemen perkara yang sarna, maka putusan hakirn dapat diperkirakan (predictable) dan transparan dalam prosesnya. Keseragaman penafsiran dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam elemen perkara yang sama, sehingga kepastian hukum yang diharapkan dapat tercapai.

Ditinjau dari perspektif wilayah keberlakuannya, Bagir Manan membedakan sifat antara yurisprudensi dengan putusan hakim. Yuriprudensi adalah hukum positif yang berlaku secara umum yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.154 Persamaan antara yurisprudensi dengan putusan hakim adalah sama-sama bersumber dari putusan hakim. Dalam sistem common law putusan hakim disebut dengan case law atau judge made law.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1994/1995, suatu putusan hakim dapat disebut sebagai

154Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hal. 33

104

yurisprudensi apabila putusan itu sekurang-kurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu: 155

1. Keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas hukumnya;2. Keputusan tersebut sudah merupakan keputusan tetap;3. Telah berulang-ulang kali diputus dengan keputusan yang sama

dalam kasus yang sama;4. Memenuhi rasa keadilan;5. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Dengan demikian tidak semua putusan hakim dapat disebut dan diartikan sebagai yurisprudensi. Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung RI Harifin A. Tumpa putusan hakim yang dikategorikan sebagai hukum yurisprudensi harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di atas. 156

Berdasarkan tabulasi questioner penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI pada tahun 2005 dengan topik “Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi” diperoleh jawaban dari 547 responden hakim yang berasal dari 4 lingkungan peradilan, 482 responden atau 88,11 % setuju, bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi bilamana memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 157

a. Keputusan atas sesuatu peristiwa apa hukumnya apabila belum jelas pengaturan perundang-undangannya.;

b. Keputusan tersebut harus sudah merupakan tetap;

c. Telah berulangkali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus yang sama;

d. Memenuhi rasa keadilan;e. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah

Agung;f. Mengandung obiter dicta dan rasio decidendi.

Putusan pengadilan yang mengandung nilai terobosan menurut M.Yahya Harahap: (1) Bisa berupa penyimpangan dari putusan-putusan Pengadilan sebelumnya, (2) Putusan mengandung nilai penafsiran baru atas rumusan undang-undang yang berlaku, (3) Putusan mengandung asas-asas baru: dari asas sebelumnya, atas penemuan asas baru, (4) Bisa pula berupa Putusan contra legem. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan diikuti secara konstan: (1) Bisa dalam bentuk secara murni mengikutinya; (2) Atau dipedomani dan diikuti case by case atau secara kasuistik, (3) Maupun dipedomani yang dibarengi dengan modifikasi. Dengan demikian dapat dilihat, tidak mudah untuk menjadikan suatu putusan menjadi Yurisprudensi,

155 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Jakarta, 1994

156 Harifin A. Tumpa, Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Jilid 6 Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. Pilar Yuris Ultima, 2009, hal. v

157 Puslitbang Kumdil MA RI, Bahan Literatur Penelitian Kedudukan Dan Relevansi Jurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Jakarta: MARI, 2010, hal. 101

105

diperlukan persyaratan bahwa putusan tersebut tidak menjadi stare decisis dalam arti, putusan tersebut: (1) Secara berlanjut diikuti, (2) Hal itu berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama, (3) Sehingga jumlah putusan yang seperti itu telah banyak jumlahnya. 158

Menurut beberapa hakim agung, suatu putusan untuk sampai kepada tahapan menjadi yurisprudensi mekanisme yang ditempuh atau tahapan-tahapan prosesnya adalah sebagai berikut: (1) adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, (2) atas perkara atau kasus yang diputus belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang jelas, (3) memiliki muatan kebenaran, dan keadilan, (4) telah berulangkali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama, (5) telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi hakim agung MA (6) dan telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi yurisprudensi tetap.159

Menurut hemat peneliti, kriteria yurisprudensi menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Mahkamah Agung di atas terlalu luas, khususnya mengenai unsur telah berulang-ulang kali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus yang sama. Unsur ini sulit diterapkan karena sistem hukum Indonesia tidak mengadopsi asas stare decisis atau binding precedent (hakim wajib mengikuti putusan yang lebih tinggi atau atau lebih dahulu) dalam sistem peradilannya. Kondisi ini menurut R. Benny Riyanto, telah melahirkan anomali kebebasan hakim yaitu sikap hakim yang menyimpangi yurisprudensi dengan alasan setiap hakim bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya, seperti halnya para hakim dalam sistem hukum Anglo Saxon.160

Menurut Soenaryati Hartono, kebebasan hakim yang tanpa batas tersebut dalam kenyataannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan anarki dalam yurisprudensi Indonesia, karena tidak ada yang bisa memperkirakan apa yang menjadi peraturan hukumnya. 161 Oleh karena itu, agar pengadilan lebih berperan dalam rangka Pembangunan Hukum Nasional, asas stare decisis atau binding precedent (hakim wajib mengikuti putusan yang lebih tinggi atau atau lebih dahulu) perlu diterapkan dalam sistem peradilan Indonesia.

b. Langkah-langkah Mahkamah Agung Dalam Rangka Mengumpulkan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

158 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 1997, hal. 450.

159 Laporan Akhir Program Pembentukan Prosedur Tetap Pedoman Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Proyek Mahkamah Agung Republik Indonesia- Komisi Eropa- Tata Kepemerintahan yang Baik pada Peradilan Indonesia, Juni 2008, hal. 47

160 R. Benny Riyanto, Kebebasan Hakim Dalam Menutus Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006, hal. 92

161 Soenaryati Hartono, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum, Makalah Disampaikan pada Seminar Tentang Peranan Hakim dan Tanggung Jawab Hakim Sebagai Pejabat Negara Dalam Sistem Peradilan Indonesia, Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, tanggal 2 Oktober 2002, hal. 8-9

106

Menurut Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Supandi, MA telah melakukan langkah-langkah dalam rangka mengumpulkan Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara diantaranya: 162

1. Penyeleksian Terhadap Putusan-putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat disebut sebagai yurisprudensi.

2. Publikasi Dan Anotasi Yurisprudensi PTUN.3. Pembinaan Tenaga Penyusunan dan Pengolahan Yurisprudensi

PTUN.

1. Penyeleksian Terhadap Putusan-putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang Dapat Disebut Sebagai Yurisprudensi.

Pada prinsipnya aktivitas pengumpulan dan penerbitan kompilasi putusan Mahkamah Agung dilakukan secara ad hoc dan hierarkis. Setiap tahunnya dibuat panitia yang terdiri dari pejabat-pejabat struktural Mahkamah Agung yang pada puncaknya dikoordinasikan oleh seorang hakim agung. Proses pengumpulan dilakukan secara bertingkat, dimana setiap Kepaniteraan Muda Perkara, meliputi: 163

1. Panitera Muda Perkara Perdata2. Panitera Muda Perkara Perdata Khusus3. Panitera Muda Perkara Pidana4. Panitera Muda Perkara Pidana Khusus5. Panitera Muda Perkara Perdata Agama6. Panitera Muda Perkara Pidana Militer7. Panitera Muda Perkara Tata Usaha Negara8. Panitera Muda Kamar

diminta untuk mengumpulkan sejumlah putusan yang dianggap baik pada masing-masing lingkup kepaniteraan mudanya. Setelah itu pengumpulan dilakukan secara bertahap dimulai dari unit paling bawah, yaitu Unit Seksi Kaidah Hukum, yang merupakan arsip perkara. Biasanya petugas pada Seksi Kaidah Hukum akan mengumpulkan naskah-naskah putusan dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang diminta, supaya selanjutnya dapat dilakukan seleksi atas putusan-putusan terbaik yang layak untuk diterbitkan.

Selanjutnya proses seleksi terjadi secara bertingkat, akhirnya dicapai sejumlah putusan yang dianggap paling pantas untuk diterbitkan sebagai bagian dari yurisprudensi tahun yang bersangkutan. Dari sisi instrumen, jalannya proses seleksi yurisprudensi dimulai dari tahap pemutusan. Pada adviesblaad yang disediakan kepada majelis hakim disediakan kolom yang dapat diisi hakim untuk mengusulkan perkara tersebut untuk masuk dalam yurisprudensi. Usulan tersebut terdiri dari kriteria-kriteria antara lain: 164

162 Wawancara, dengan Supandi, Hakim Agung, Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, hari Selasa, 29 Maret 2016

163 Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung RI juncto SK KMA Nomor: KMA/018/SK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung.

164 Laporan Akhir Program Pembentukan Prosedur Tetap Pedoman Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Ibid, hal. 20-21

107

1. Menarik Perhatian umum.2. Mencerrninkan pendekatan baru terhadap suatu masalah

hukum.3. Melibatkan berbagai masalah hukum (kompleksitas yuridis). 4. Mencerminkan arah perkembangan hukum.5. Mempertegas suatu aspek hukum.6. Menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Sehubungan dengan kriteria yurisprudensi di atas, terdapat hubungan yang erat antara dengan ditetapkannya sistem kamar pada MA RI dengan proses penyeleksian terhadap Putusan-putusan hakim PTUN yang dapat disebut sebagai yurisprudensi. Untuk memastikan tercapainya maksud dan tujuan implementasi sistem kamar tersebut, rapat Pleno Kamar Tata Usaha Negara pada tanggal 10 Desember 2013 dan 7 Januari 2014 telah memutuskan perlunya ditetapkan prosedur pemeriksaan dan penyelesaian perkara atau Standar Operasional Prosedur (SOP) pada Kamar Tata Usaha Negara, yang dituangkan dalam Keputusan Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI No. 60/Tuaka.Tun/V/2014 Tentang Prosedur Pemeriksaan Dan Penyelesaian Perkara Pada Kamar Tata Usaha Negara.

Prosedur Pemeriksaan Dan Penyelesaian Perkara Pada Kamar Tata Usaha Negara dalam keputusan tersebut antara lain:

- Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung yang menjadi kewenangan Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, ditelaah oleh Direktorat Pratalak. Perkara Tata Usaha Negara, tenggang waktu penelaahannya paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Sedangkan Perkara Pajak, tenggang waktu penelaahannya paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja.

- Perkara Pajak dengan acara cepat dan perkara khusus lain yang batas waktu penanganannya telah ditetapkan oleh undang-undang (seperti Keterbukaan Informasi Publik, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, Uji Pendapat, Hak Uji Materiil, dll), tenggang waktu penelaahannya paling lama 2 (dua) hari kerja.

- Perkara Kasasi, PK TUN, PK Pajak, dan HUM serta uji pendapat yang diajukan melalui PN/PTUN yang tidak disertai dengan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 1 Tahun 2014 tidak diproses lebih lanjut dan dikembalikan kepada pengadilan pengaju. Begitu juga dengan Perkara HUM dan uji pendapat yang diajukan langsung ke MA, yang tidak disertai dengan dokumen elektronik dikembalikan kepada pemohon.

- Perkara yang diterima oleh Panitera Muda Perkara, diregistrasi untuk paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Setelah perkara diregistrasi, Bundel B dan adviesblad digandakan sebanyak Anggota Majelis, untuk paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Panitera Muda Perkara menyampaikan daftar pendistribusian perkara kepada Ketua Mahkamah Agung, dengan

108

tembusan kepada Ketua Kamar disertai susunan majelis tingkat pertama, banding dan kasasi. Panitera Muda Perkara menyampaikan daftar rekapituasi perkara yang masuk dalam satu minggu berjalan kepada Ketua Kamar pada setiap hari kerja terakhir setiap minggu, untuk ditetapkan susunan majelisnya.

- Ketua Kamar menetapkan susunan majelis paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung. Penetapan Ketua Kamar tentang Penunjukkan Susunan Majelis diserahkan kembali kepada Panitera Muda Perkara paling lama 1 (satu) hari kerja. Panitera Muda Perkara mendistribusikan perkara yang sudah ditetapkan susunan majelisnya kepada Ketua Majelis melalui Asisten Ketua Majelis untuk paling lama 3 (tiga) hari kerja. Khusus untuk perkara HUM, Panitera Muda Perkara mendistribusikan perkara yang sudah ditetapkan susunan majelisnya kepada Ketua Majelis melalui Asisten Ketua Majelis untuk paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terlampauinya tenggang waktu 14 (empat belas) hari atau setelah diterimanya jawaban Termohon.

- Ketua Majelis membuat penetapan hari dan tanggal musyawarah dan pengucapan (Muscap) paling lama 3 (tiga) hari kerja, dengan tembusan disampaikan kepada Ketua Kamar dan Panitera Mahkamah Agung. Hari dan tanggal Muscap ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan sejak berkas perkara diterima oleh Ketua Majelis, kecuali terhadap perkara yang jangka waktu penanganan perkaranya ditentukan lebih cepat oleh undang-undang (seperti Perkara Keterbukaan Informasi Publik, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, Uji Pendapat). Fotokopi Bundel B, adviesblad dan Penetapan Muscap disampaikan oleh Asisten Ketua Majelis kepada Panitera Pengganti yang ditunjuk untuk paling lama 2 (dua) hari kerja. Panitera Pengganti yang ditunjuk meneruskan fotokopi Bundel B, adviesblad, dan penetapan Muscap dari Ketua Majelis tersebut kepada Hakim Anggota paling lama 2 (dua) hari kerja.

- Hakim Anggota ataupun Panitera Pengganti dapat meminjam dokumen/berkas yang dibutuhkan dari berkas asli (Bundel A dan B) untuk keperluan menyiapkan draf putusan atau keperluan lain yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Tujuh hari kerja sebelum hari dan tanggal Muscap, Asisten Ketua Majelis mempersiapkan rol sidang dan disampaikan kepada Majelis dan Panitera Pengganti yang bersangkutan dengan tembusan kepada Ketua Kamar dan Panitera Mahkamah Agung.

- Hakim Anggota sudah harus menyerahkan adviesblad masing-masing kepada Ketua Majelis 2 (dua) hari kerja sebelum Muscap. Dalam hal perkara tidak dapat diputus pada hari dan tanggal Muscap yang telah ditetapkan, Ketua Majelis langsung menetapkan kembali hari dan tanggal Muscap untuk paling lama 7 (tujuh) hari kerja. Penetapan hari dan tanggal Muscap sebagaimana tersebut di atas dibuat kembali rol sidangnya oleh Asisten Ketua Majelis untuk disampaikan kepada

109

Majelis Hakim dan Panitera Pengganti paling lama 1 (satu) hari kerja dengan tembusan kepada Ketua Kamar dan Panitera Mahkamah Agung. Asisten Ketua Majelis menyampaikan rol sidang yang telah dilengkapi dengan amar putusan hasil Muscap kepada Panitera Muda Perkara pada hari itu juga (untuk keperluan one-day publish) dengan tembusan kepada Panitera Mahkamah Agung.

- Perkara yang telah diputus, berkas asli (Bundel A dan B) diserahkan oleh Asisten Ketua Majelis kepada Panitera Pengganti yang bersangkutan untuk keperluan pengetikan putusan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah Muscap. Pengetikan konsep putusan dilaksanakan oleh Operator di bawah pengawasan Panitera Pengganti masing-masing, minimal 1 (satu) putusan dalam 1 (satu) hari kerja.

- Konsep putusan yang telah selesai diketik oleh Operator diserahkan kepada Panitera Pengganti dalam bentuk soft copy untuk dikoreksi minimal 3 (tiga) putusan dalam 1 (satu) hari kerja. Konsep putusan yang telah selesai dikoreksi oleh Panitera Pengganti diserahkan kepada Ketua Majelis melalui staf yang ditugaskan untuk itu dalam bentuk soft copy untuk dikoreksi lebih lanjut. Staf Ketua Majelis sebagaimana dimaksud di atas, untuk paling lama 2 (dua) hari kerja sudah menginventarisir dan membuat daftar putusan yang akan dikoreksi dan melaporkannya kepada Ketua Majelis untuk diagendakan koreksi bersama.

- Ketua Majelis atau Hakim Anggota yang ditunjuk atau Majelis Hakim lengkap (sesuai kebijakan Ketua Majelis) dengan didampingi oleh Panitera Pengganti yang bersangkutan melaksanakan koreksi bersama minimal 4 (empat) putusan setiap hari atau 20 (dua puluh) putusan setiap minggu. Konsep putusan yang telah selesai dikoreksi oleh Majelis Hakim, pada hari itu juga dicetak dan dibubuhi meterai serta ditanda-tangani oleh Majelis Hakim dan Panitera Pengganti. Putusan yang telah ditandatangani berikut salinan putusan (lembar terakhir/ttd) dan berkas asli (Bundel A dan B) diserahkan kepada Panitera Muda Perkara disertai softcopy putusan oleh Panitera Pengganti yang bersangkutan paling lama 1 (satu) hari kerja.

- Panitera Muda Perkara setelah menerima berkas minutasi, mengirimkan kembali kepada Pengadilan Pengaju untuk paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Pada hari yang sama putusan dikirimkan kembali ke Pengadilan Pengaju, oleh petugas operator di Panitera Muda Perkara langsung diunggah (upload) ke situs (website) Mahkamah Agung. Daftar putusan yang telah dikirim kembali ke Pengadilan Pengaju beserta daftar upload putusan, disampaikan oleh Panitera Muda Perkara kepada Ketua Kamar dan Ketua Majelis melalui Asisten dengan tembusan Panitera Mahkamah Agung.

Mengacu pada Keputusan Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI No. 60/Tuaka.Tun/V/2014 tersebut, menurut Supandi

110

proses penyeleksian putusan-putusan PTUN yang mengandung penemuan hukum baru untuk dijadikan yurisprudensi dapat dirumuskan sebagai berikut:165

1. Majelis hakim agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara berkoordinasi guna menyeleksi dan menghimpun putusan-putusan peradilan tata usaha negara yang mengandung penemuan hukum baru sebagai referensi untuk perkara-perkara serupa bagi pengadilan-pengadilan di tingkat bawah.

2. Hakim ketua majelis, dalam hal berpendapat bahwa putusan yang tengah dimusyawarahkan masuk kepada kriteria yurisprudensi, memberikan tanda pada adviesblaad dengan menuliskan kriteria serta alasan singkat terpenuhinya kriteria yurisprudensi.

3. Majelis menyerahkan adviesblaad tersebut kepada Asisten Hakim Agung dalam rangka penyiapan konsep putusan dan rol sidang.

4. Asisten Hakim Agung kemudian memasukan data tersebut ke dalam format laporan rol sidang yang akan dikirim ke Asisten Koordinator, sehingga rol sidang selain memuat daftar perkara yang disidangkan juga memuat informasi tentang keberadaan putusan yang mengandung penemuan hukum baru yang masuk dalam kriteria yurisprudensi. Selanjutnya rol perkara tersebut diserahkan kepada Panitera Muda untuk dicatat dan dikelola.

5. Panitera Muda membuat daftar terpisah atas putusan yang telah diberi tanda putusan penting yang fungsinya membedakannya dengan putusan lain. Daftar putusan tersebut kemudian diserahkan kepada Puslibangkumdil MA untuk dikelola sebagai basis data publikasi putusan yang mengandung penemuan hukum baru yang akan diolah menjadi usulan yurisprudensi.

6. Puslitbang MA mengolah putusan yang mengandung penemuan hukum baru tersebut dengan berpedoman pada kriteria yurisprudensi. Selanjutnya sebagai bagian dari proses seleksi untuk menentukan usulan yurisprudensi, Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa usulan tersebut telah memenuhi kriteria yurisprudensi. Setelah dilakukan pemeriksaan serta dinyatakan bahwa usulan tersebut layak untuk dijadikan yurisprudensi, tahap selanjutnya adalah melakukan anotasi dan kemudian dipublikasikan melalui media cetak maupun situs putusan Mahkamah Agung.

165 Wawancara, dengan Supandi, Hakim Agung, Ketua Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, hari Selasa, 21 Oktober 2016

111

Bagan 4.1 Alur Pedoman Pembentukan Putusan Penting dan Yurisprudensi

112

Hakim Ketua Majelis

Asisten Hakim Ketua Majelis

Kepaniteraan Muda

Website MARI/ Kepaniteraan Puslitbang Ketua Muda MARI

Putusan

Dianggap Penting?

Memberikan Tanda Putusan Penting

Publikasi di Putusan. net

Memasukan ke dalam Rol Perkara

termasuk Klasifikasi

Mencatat dan Mengelola Daftar Putusan Penting

Daftar Putusan Penting

Mengolah Data Putusan Penting

Publikasi Putusan Penting Cetak

Usulan Yurisprudensi

Mempersipakan Analisis/Anotasi yang

diperlukan

Publikasi Yurisprudensi Tetap

Kriteria ini didasarkan kepada kuantitatif dan

kualitatif

Menyetujui Usulan Yurisprudensi

USULAN ALUR & LOGIKA PENERBITAN PUTUSAN PENTING &

YURISPRUDENSI MARI

MATRIKS LOGIKA IDENTIFIKASI, PENGELOLAAN, DAN PENGELOLAANPUTUSAN PENTING DAN YURISPRUDENSI

No Proses PI Tujuan Deskripsi Proses Out Put1 Identifikasi Hakim Agung Ketua Majelis

Mengidentifikasi per-kara-perkara yang dianggap penting dan telah memenuhi kriteria Putusan yang dianggap penting.

Pada setiap akhir sidang majelis untuk memeriksa dan memutus perkara, maka Hakim Ketua Majelis mendiskusikan kepada anggota majelis, apakah perkara yang ditangani telah memenuhi kriteria sebagai putusan yang dianggap penting.

1. Catatan pada Adviesblaad.

     2. Catatan pada masing-masing

hakim

                     

Asisten pada Ketua Majelis Hakim Agung

Mengkompilasasikn secara sistematis dan teratur daftar perkara-perkara yang dianggap penting dan klasifikasi-nya.

Proses ini dilakukan bersamaan dengan penyiapan rol perkara, ada dua cara yang dapat dipilih:

Catatan pada informasi rol perkara

     

                 1. Menambah kolom informasi status

pada laporan rol. 

                 2. Menambah jenis laporan baru.             

2 Penyimpanan serta pengumpulan data

Kepaniteraan Muda Mengkonsolidasi daftar perkara-perkara yang diberikan tanggapan se-bagai perkara penting

Pada saat Petugas Registrasi pada Kepaniteraan Muda menerima rol perkara putus, informasi tentang perkara yang dianggap penting dibuat pula daftarnya dalam daftar yang terpisah.

Register tersendiri tentang perkara-perkara yang dianggap penting.   

                                             

3 Pengolahan dataPusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan

Melakukan pengecekan daftar perkara-perkara penting yang diajukan dari masing-masing ke-paniteraan muda tentang konsistensi satu sama lain.

1. Berdasarkan register yang dihasilkan masing-masing Ke-paniteraan Muda, maka Puslitbang akan melakukan tinjauan terhadap naskah putusannya dan secara makro akan mengecek konsistensi putusan tersebut satu sama lain dengan topik yang sama.

                      

                                 2. Daftar perkara beserta ringkasan

hasil tinjaunnya akan dijadikan bahan proses nominasi serta pengusulan putusan penting.

          

         

113

           4 Proses penominasian

serta pengusulan Masing-masing Ketua Muda TeknisMengusulkan dan mem-peroleh persetujuan awal atas putusan yang secara metodologis masuk kepada putusan yang dianggap penting.

1. Puslitbang Kumdil akan mengaju-kan daftar yang dihasilkan dari proses (3) kepada masing-masing Ketua Muda Teknis untuk dibahas dan disetujui.

  

     

           2. Ketua Muda Teknis akan memilih

dari daftar yang diajukan oleh Puslitbang untuk disetujui dan diusulkan sebagai putusan penting kepada Rapat Pimpinan Mahkamah Agung.

                                      

5 Penyetoran dan Persetujuan

Rapat Pimpinan Memperoleh persetujuan atas naskah putusan-putusan yang dianggap sebagai putusan penting.

Melaui Rapat Pimpinan, maka akan disepakati secara kolektif perkara-perkara yang memang memenuhi syarat untuk diterbitkan dalam Kumpulan Putusan Penting.

      

                           

6 Analisis

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan.

Menghasilkan naskah yang siap terbit ber-dasarkan standar pen-yajian yurisprudensi yang ada.

Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan akan menyiapkan format penerbitan yurisprudensi.

      

                         

7 PublikasiPusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan.

Melakukan penerbitan secara berkala.

Secara berkala Puslibang akan menerbitkan putusan tersebut.

                          

114

Usaha inventarisasi dan penyeleksian putusan-putusan peradilan tata usaha negara untuk dijadikan sebagai yurisprudensi sebagaimana diuraikan di atas, menurut Budi Suhariyanto, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, sulit mendapatkan hasil yang sempurna dari proses penyeleksian yurisprudensi tersebut, tanpa melibatkan pihak eksternal MA. Oleh karena itu diperlukan suatu pemikiran ke arah perkembangan dan perbaikan yang lebih mantap, karena pekerjaan inventarisasi merupakan suatu tugas yang kontinu. Team yang mengadakan inventarisasi dan penyeleksian sebaiknya diperluas dengan melibatkan para ahli yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hukum, para hakim, BPHN, kerjasama dengan fakultas-fakultas hukum, serta penunjukkan tenaga-tenaga muda yang khusus telah memperoleh pendidikan dalam hal penyusunan inventarisasi yurisprudensi. 166

2. Publikasi Dan Anotasi Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara.

Penerbitan kompilasi putusan Pengadilan merupakan sumber penting yang sangat penting bagi pengembangan dan pembentukan hukum. Apalagi jika diterbitkan oleh sumber primer, yaitu badan peradilan itu sendiri, kompilasi putusan tidak hanya sekedar publikasi, namun dalam derajat tertentu kompilasi putusan dapat memiliki nilai referensi yag intinya mampu memberikan kejelasan tentang pendapat badan peradilan terhadap masalah-masalah hukum tertentu, yang pada gilirannya mampu mendorong kepastian hukum.

Biasanya kumpulan putusan pengadilan diterbitkan dalam bentuk kumpulan putusan-putusan dalam topik tertentu yang telah dipilih oleh pengumpul. Pengumpulan dilakukan berdasarkan dua metode, yaitu urnurn atau berdasarkan subyek. Kompilasi yang bersifat umum memuat putusan-putusan dari berbagai topik yang telah diseleksi berdasarkan metode-metode tertentu. Contoh dari publikasi jenis ini misalnya rangkaian koleksi Yurisprudensi pengadilan-pengadilan negeri dan tinggi yang dikumpulkan oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi setempat, misalnya Yurisprudensi Jawa Barat yang dikumpulkan oleh Universitas Padjadjaran, Yurisprudensi Sumatera Bagian Sclatan yang dikumpulkan oleh Universitas Sriwijaya, Yurisprudensi Jawa Timur yang dikumpulkan oleh Universitas Airlangga, Yurisprudensi Daerah Istimewah Aceh, yang dikumpulkan oleh Universitas Syiah Kuala, Yurisprudensi Kalimantan Selatan yang dikumpulkan oleh Universitas Lambung Mangkurat, Yurisprudensi Sumatera Barat yang dikumpulkan oleh Universitas Andalas, Yurisprudensi Sumatera Utara yang dikumpulkan oleh Universitas Sumatera Utara, Yurisprudensi Wilayah Pengadilan Tinggi Irian Jaya yang dikumpulkan oleh Universitas Cendrawasih, yurisprudensi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, yang dikumpulkan oleh Universtitas Hassanuddin, semuanya terbit dalam rentang waktu tahun 60 sampai 70-an.

166 Wawancara, dengan Budi Suhariyanto, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, hari Senin, 28 Maret 2016

115

Pengumpulan putusan pengadilan berdasarkan subyek juga banyak dilakukan oleh banyak penulis, misalnya yang dilakukan oleh: (1) Chidir Ali yang mengumpulkan yurisprudensi dalam topik aneka perjanjian, hukum perdata, hukum dagang, hukum perburuhan dan lain sebagainya, (2) Sudargo Gautama yang mengumpulkan Himpunan Yurisprudensi Indonesia Yang penting untuk praktek sehari-hari (landmark decisions) yang diberi komentar, Z Asikin Kusumaatmadja yang menerbitkan yurisprudensi hukum perdata dan hukum acara perdata, dan lain sebagainya. 167

Saat ini publikasi putusan, khususnya putusan Mahkamah Agung, telah dirintis oleh Mahkamah Agung sejak tahun 2007. Sistem yang dipersiapkan oleh Mahkamah Agung untuk mempublikasikan putusannya berupa situs yang beralamat di http://putusan.mahkamahagung.go.id. Sedangkan mengenai informasi perkara yang sedang dalam proses di Mahkamah Agung, para pencari keadilan dapat mengakses http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.

Publikasi putusan di website, dari perspektif manajemen perkara yang berbasis sistem kamar, selain merupakan komitmen keterbukaan informasi juga merupakan instrumen untuk mendorong konsistensi putusan. Melalui publikasi putusan ini masyarakat dapat dengan mudah mengakses produk pengadilan di manapun dan kapanpun. Publikasi putusan juga dapat memacu peningkatan kualitas putusan hakim karena setiap orang dapat menilai kualitas putusan pengadilan. Hakim akan terpacu untuk membuat putusan yang lebih berkualitas karena mahkota hakim terletak pada putusannya. Bagi praktisi hukum seperti advokat, putusan yang dipublikasikan tersebut dapat menjadi bahan untuk penyusunan pembelaan klien dan menjadi bahan pertimbangan dalam menempuh upaya hukum. Publikasi putusan juga bermanfaat bagi legislator sebagai bahan kajian untuk melakukan revisi undang-undang atau penyusunan undang-undang baru. Hal ini karena putusan hakim merupakan implementasi dari peraturan perundang-undangan maupun penemuan hukum.168

Untuk mewujudkan pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta pelayanan publik dalam hal publikasi putusan, MA telah memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi dan menjadikannya sebagai bagian dari prosedur tetap penanganan perkara sebagai bagian penyempurnaan terus menerus yang dilakukan oleh lembaga peradilan Indonesia. Hal demikian tercermin dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang melahirkan kewajiban kepada pengadilan untuk menyertakan dokumen elektronik putusan pengadilan tingkat pertama dan banding dalam setiap permohonan kasasi dan peninjauan kembali yang diajukan terhitung mulai tanggal 1 Maret 2011.  SEMA tersebut menentukan cara pengiriman dokumen elektronik tersebut melalui beberapa

167 Laporan Akhir Program Pembentukan Prosedur Tetap Pedoman Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Ibid, hal. 14

168 Mahkamah Agung, Laporan Tahunan 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017, hal. 15-16

116

alternatif media yaitu: Compact Disk, Flash Disk, dan Aplikasi Direktori Putusan.

Dalam kaitannya dengan Publikasi Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, menurut Irfan Fachrudin, publikasi putusan tersebut dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan hukum administrasi negara. Sebagaimana halnya di Belanda, materi yurisprudensi peradilan administrasi dijadikan landasan dalam bertindak dan pengambilan kebijakan oleh Badan atau Pejabat TUN. 169

Upaya untuk menyebarluaskan putusan MA, khususnya yang telah dijadikan yurisprudensi, ke pengadilan-pengadilan dan masyarakat, MA sudah sejak lama menerbitkan (dalam bentuk buku) kumpulan putusan MA. Penerbitan putusan oleh MA dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) MA. Puslitbangkumdil bertanggung jawab untuk memuat putusan yang telah dijadikan yurisprudensi, baik di media cetak dan berkoordinasi dengan operator situs putusan MA dalam publikasi di internet. 170

Putusan yang diterbitkan oleh Puslitbangkumdil adalah putusan MA yang telah diseleksi oleh Tim Khusus dan dianggap layak untuk menjadi yurisprudensi. Nama publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi MA Tahun 2002. Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh Puslitbang ini belum dilakukan secara reguler. 171

Jika kita melihat jumlah putusan yang diterbitkan oleh MA, terutama buku Yurisprudensi MA (yang merupakan publikasi putusan yang terbesar), maka jumlah tersebut masih sangat terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang diputus oleh MA dalam satu tahunnya. Jumlah eksemplar cetakannya pun dibatasi, yakni disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut. 172

Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain di luar korps hakim dan perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya pihak MA akan mencari dana di luar dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi tersebut dan menjualnya ke masyarakat yang berminat. Sedikitnya putusan yang diterbitkan MA ini tidak terlepas minimnya anggaran yang diterima MA untuk hal tersebut. Sebenarnya MA sudah seringkali usulan anggaran yang lebih besar untuk penerbitan yurisprudensi ini. Namun usulan tersebut tidak pernah disetujui oleh pemerintah.

169 Wawancara, dengan Irfan Fachrudin, Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkmah Agung RI, hari Senin, 28 April 2016

170 Wawancara, dengan Irfan Fachrudin, Hakim Agung Kamar Peradilan Tata Usaha Negara Mahkmah Agung RI, hari Senin, 28 April 2016

171 Wawancara, dengan Basuki Rekso Wibowo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, hari Senin, 28 Maret 2016

172 Wawancara, dengan Basuki Rekso Wibowo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan, hari Senin, 28 Maret 2016

117

Selain Puslitbangkumdil MA, pihak yang secara kontinyu menerbitkan putusan pengadilan -termasuk putusan MA- adalah Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Sejak tahun 1985 IKAHI telah menerbitkan Varia Peradilan, sebuah majalah hukum yang terbit satu bulan sekali yang materi utamanya adalah kumpulan putusan peradilan. Setiap edisi putusan yang diterbitkan rata-rata antara 5 (lima) sampai 6 (enam) putusan. Jenis putusan yang diterbitkan bervariasi, namun yang terbanyak adalah hukum perdata. 173

Selain itu masih ada beberapa pihak swasta yang juga menerbitkan putusan pengadilan, termasuk putusan MA. Namun biasanya putusan yang diterbitkan jumlahnya sangat terbatas, tidak rutin dan hanya untuk materi hukum tertentu saja.174 Salah satu penerbitan yang masih konsisten dalam melakukan hal ini adalah penerbitan yang dilakukan oleh PT Tatanusa yang sejak tahun 1998 telah menerbitkan putusan-putusan pengadilan niaga secara reguler, Koleksi Tatanusa meliputi putusan mengenai kepailitan dan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKl) yang diputus pengadilan niaga. Sejauh ini PT Tatanusa telah rnenerbitkan sebanyak 15 jilid Himpunan Putusan Pengadilan Niaga tentang Kepailitan, 15 Jilid Putusan Mahkamah Agung tentang Kepailitan, 5 jilid Putusan Pengadilan Niaga tentang perkara Merek, dan 4 jilid putusan Mahkamah Agung tentang perkara HAKI.

3. Pembinaan Tenaga Penyusunan dan Pengolahan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Salah satu kriteria Badan Peradilan Indonesia yang Agung adalah bila Badan Peradilan telah mampu mengelola dan membina SDM yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta hakim dan aparatur peradilan yang berintegritas dan profesional. Hal ini adalah konsekuensi logis dari adanya perencanaan pembaruan kebijakan dan strategi, baik pada area teknis yudisial maupun area non-teknis yudisial. Rencana pembentukan dan pelaksanaan sistem kamar dengan seluruh proses turunannya adalah pembaruan pada area teknis yudisial yang mensyaratkan ketersediaan SDM yang kompeten, berintegritas dan profesional. Area non-teknis yudisial (area pendukung) juga mensyaratkan kesempurnaan pelaksanaan tugas-tugas administratif, keuangan, pengelolaan sarana dan prasarana serta pengelolaan SDM itu sendiri. Dengan demikian, diperlukan perencanaan dan langkah-langkah pembaruan yang bersifat strategis, menyeluruh, terstruktur, terencana dan terintegrasi dalam satu sistem manajemen SDM. 175

Sistem manajemen SDM yang dimaksud adalah sistem manajemen SDM berbasis kompetensi yang biasa disebut sebagai Competency Based HR Management (CBHRM). Sistem ini juga akan memudahkan operasionalisasi dari desain organisasi berbasis kinerja, sekaligus menjawab

173 Wawancara, dengan Kadar Slamet, Sekretaris Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI), hari Rabu, 28 April 2016

174 Wawancara, dengan Fauzan, Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Ditjen Badilag Mahkamah Agung RI, hari Senin, 2 Maret 2016

175 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia: Jakarta, 2010, hal 48-49

118

tuntutan RB. Pada pelaksanaannya, sistem ini perlu dipahami sebagai satu pemahaman perspektif yang luas. Perspektif yang mencakup pengembangan perencanaan stratejik, implementasi dan hasil perubahan yang terjadi dari pembangunan sistem SDM yang terintegrasi. Dampak atau hasil perubahan yang dimaksud adalah perubahan pada pola perilaku seluruh hakim dan aparatur peradilan. Secara subtansi, hal ini mencakup pengelolaan seluruh pilar SDM. 176 Dengan adanya sistem pengelolaan SDM berbasis kompetensi, maka seluruh proses penilaian hakim dan aparatur peradilan (biasa dikenal sebagai asesmen kompetensi individu), akan menggunakan kompetensi sebagai kriteria/parameter penilaian.

Salah satu arah kebijaksanaan pembangunan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) di Mahkamah Agung adalah meningkatkan integritas dan profesionalisme pegawai. Pembangunan sumber daya manusia diarahkan pada terciptanya aparatur yang memiliki kemampuan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung Pembangunan Nasional serta ditujukan kepada pemantapan kelembagaan aparatur dan peningkatan kemampuan profesional aparatnya. 177

Peningkatan kualitas sumber daya manusia Peradilan melalui pembenahan sistem dan manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu prioritas implementasi cetak biru Pembaharuan Lembaga Peradilan 2010-2035. Pembenahan sistem manajemen sumber daya manusia pada Lembaga Peradilan merupakan tanggung jawab dari Pembinaan dan Pengelolaan sumber daya manusia Lembaga Peradilan yang dilakukan secara terintegrasi, baik dalam bidang teknis yaitu Hakim, Panitera, dan Jurusita yang melaksanakan tugas pokok dan fungsi Lembaga Peradilan maupun non-teknis yang melaksanakan tugas-tugas pendukung seperti bidang Administrasi Kepegawaian, Administrasi Keuangan maupun Administrasi Umum lainnya.

Pembinaan dan Pengembangan Pegawai pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, dilakukan dengan melaksanakan kegiatan pelatihan dan pembinaan teknis peradilan, diantaranya melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan, Bimtek dan assessment bagi Hakim, Panitera dan Jurusita.

Di samping itu, dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan peradilan telah dilanjutkan usaha pembinaan mental dan kemampuan profesional para hakim dan panitera, khususnya para calon hakim. Lembaga penasehat hukum/pengacara dan notaris telah pula dimantapkan menjadi lembaga yang didukung oleh suatu profesi yang mentaati kode profesi yang makin mantap. Dengan demikian lembaga tersebut diharapkan dapat meningkatkan peranan serta fungsinya sebagai bagian perangkat masyarakat dalam upaya pembinaan dan penegakan hukum.

Menurut Yodi Martono Wahyunadi, Pembinaan peradilan bertujuan untuk mengusahakan agar badan-badan pengadilan makin mampu menjalankan kekuasaan kehakiman (yustisial/peradilan) yang bebas, dan terlepas dari pengaruh kekuasaan luar, sehingga hakim dapat memberikan putusan

176 Ibid177 Mahkamah Agung, Laporan Tahunan 2011 Mahkamah Agung Republik Indonesia,

2012, hal. 189

119

berdasarkan hukum yang berlaku dan pertimbangan yang seadil-adilnya. Untuk meningkatkan efisiensi proses peradilan, telah dilakukan pembenahan dan penataan administrasi peradilan, terutama arsip putusan pengadilan serta tatacara dan manajemen badan pengadilan. Telah dilanjutkan pula penyediaan prasarana dan sarana peradilan guna meningkatkan proses penyelesaian perkara termasuk untuk mengatasi tunggakan perkara. 178

Dalam kaitannya dengan Penyusunan dan Pengolahan Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan TUN Mahkamah Agung RI telah melakukan kunjungan studi banding ke Perancis, Jerman, dan Belanda, yang berfokus pada bidang tata usaha negara, manajemen perkara berbasis teknologi informasi dan pengadilan pajak dilaksanakan di Perancis, Jerman, dan Belanda. Kegiatan ini bertujuan untuk menyerap pengalaman, pengetahuan dan yurisprudensi dari pengadilan di Eropa dalam penanganan perkara-perkara tata usaha negara sebagai bahan evaluasi penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan di Indonesia pasca diterbitkannya undang-undang administrasi pemerintahan dan bagi pengadilan pajak bahan kebijakan pembinaan dan pengawasan pengadilan pajak yang sampai saat ini belum terintegrasi satu atap di Mahkamah Agung. Selain itu juga bertujuan menyerap pengalaman, pengetahuan dan yurisprudensi dari pengadilan di Eropa serta menggali pengalaman pengadilan-pengadilan di Eropa dalam merencanakan implementasi dan memelihara pengelolaan pengadilan berbasis teknologi informasi, terutama terkait penggunaan sistem informasi manajemen perkara. 179

178 Wawancara, dengan Yodi Martono Wahyunadi, Direktur Binganis dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara, Ditjen Badimiltun Mahkamah Agung RI, hari Senin, 2 Maret 2016

179 Mahkamah Agung, Laporan Tahunan 2016 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017, hal. 417

120

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan dalam bab sebelumnya, berikut ini disampaikan kesimpulannya:

1. Proses Peningkatan Putusan Hakim PTUN menjadi Yurisprudensi, diawali dari proses penerapan hukum dalam penyelesaian sengketa di PTUN oleh hakim, mulai dari pemeriksaan perkara sampai pada pengambilan putusan. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu: (1) Tahap Pengumpulan Fakta, (2) Tahap Mengidentifikasi Hukum, dan (3) Tahap Merumuskan Hukum dan AUPB. Setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, Putusan Hakim PTUN dapat disebut sebagai yurisprudensi bilamana putusan tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Putusan atas sesuatu peristiwa apa hukumnya apabila belum jelas pengaturan perundang-undangannya.;

b. Putusan tersebut harus sudah merupakan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Telah berulangkali diputus dengan Putusan yang sama dalam kasus yang sama;

d. Memenuhi rasa keadilan;e. Putusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung;f. Mengandung obiter dicta dan rasio decidendi.

2. Proses Pemberdayaan Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pembangunan Hukum Administrasi Negara, diawali dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung/Instruksi Nomor 02 Tahun 1972 ditetapkannya Pada tanggal 19 Mei 1972 oleh Mahkamah Agung, yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Para Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia, perihal Pengumpulan Yurisprudensi. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung RI, dalam rangka untuk melaksanakan fungsinya sebagai lembaga peradilan kasasi, sejak tanggal 19 September 2011 MA menerapkan sistem kamar dalam proses penanganan perkara. Penerapan sistem kamar yang merupakan sistem dimana para Hakim Agung dikelompokkan berdasarkan keahlian yang sama atau sejenis dengan maksud agar penanganan perkara di MA dilakukan oleh Hakim yang berkompeten sesuai dengan jenis perkaranya yang pada akhirnya diharapkan putusan yang diambil atau dijatuhkan benar-benar mencerminkan penegakan hukum yang benar dan adil serta

121

berkualitas. Langkah-langkah yang dilakukan MA dalam rangka mengumpulkan Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara diantaranya: (1) Penyeleksian Terhadap Putusan-putusan hakim PTUN yang dapat disebut sebagai yurisprudensi; (2) Publikasi Dan Anotasi Yurisprudensi Bidang Tata Usaha Negara; dan (3) Pembinaan Tenaga Penyusunan dan Pengolahan Yurisprudensi PTUN. Dari hasil penelitian ini diperoleh data yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara yang dihasilkan oleh MA, periode tahun 1992-2015 berjumlah 56 (lima puluh enam) yurisprudensi. Dari 56 (lima puluh enam) yurisprudensi tersebut, terdapat yurisprudensi yang menyangkut segi formal/prosedural atau hukum acara proses peradilan TUN berjumlah 6 (enam), dan yang menyangkut segi substansi berjumlah 50 (lima puluh).

D. Rekomendasi

Adapun untuk melengkapi penulisan Disertasi ini, berikut disampaikan saran:

1. Pertimbangan hukum dan putusan hakim PTUN memiliki dimensi dan implikasi jangka panjang terhadap pengembangan HAN Indonesia, jauh melebihi pertimbangan hukum dan putusan terhadap para pihak yang bersengketa (individu atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN). Oleh karena itu diperlukan kemampuan pemikiran dan profesionalitas dari hakim untuk meningkatkan kualitas pertimbangan dan putusan-putusannya, dengan melihat kondisi dalam masyarakat yang harus disesuaikan dengan asas hukum administrasi negara dan asas hukum acara pengadilan tata usaha negara. Sehingga melalui putusannya itu, diharapkan akan menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sumber hukum (yurisprudensi). Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim PTUN atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.

2. Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pemberdayaan Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Pembangunan Hukum Administrasi Negara perlu dilakukan inventarisasi putusan

122

pengadilan yang memenuhi unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung, Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan peradilan.Untuk implikasi praktis, upaya Pemberdayaan Yurisprudensi Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan cara Publikasi yurisprudensi itu tidak hanya terbatas bagi para hakim, tetapi disebarkan kepada umum serta dibahas oleh para guru besar/dosen dalam semua bidang hukum.

123

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdullah, Ujang, Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Terhadap Sengketa Keterbukaan Informasi Publik, Puslitbang Hukum Dan Keadilan Badan Litbang Diklat Kumdil, Mahkamah Agung RI, 2014

A. H.L. Hart, The Concept of Law, Clarendon Press, Oxford University Press, Oxford, 1972.

Algra N.E. dan H.R.W.Gokkel, Kamus istilah hukum, Fochema Andreae, Belanda. Indonesia (Fochema Andreae"s-Rechtsgeleerd Handvoordenboek), terjemahan Saleh Adiwinata, A. Teboeki dan Boerhanuddin St. Batoeah, Bandung, Bina Cipta.

Algra N. E dan K. Van Duyvendijk, Mula Hukum, Terjemahan dari Rechtanvaang, Diterjemahkan oleh Simorangkir, Bandung: Binacipta, 1983.

Ali, Ahmad, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. I, Jakarta: Chandra Pratama, 1996.

Ali Ma’shum, Ahmad Warson al-Munawwir, Zainal Abidin, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Apeldorn J.L.J Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.

Andrea, Fockema,Mr.N.E Algra., Cs, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Binacipta, 1977

Asshiddiqie, Jimly, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Atmosudirdjo, Prajudi, Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Simposium PTUN, Bandung: BPHN-Binacipta, 1977

Babbie, Earl, The Practice of Sosial Research, Eight Edition, Belmont, Wadworth Publishing Company, 1998.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Jakarta, 1992.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Jakarta, 1994.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, 1997/1998.

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2006.

Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Laporan Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Administrasi Negara (PPHN HAN), yang diselenggarakan di Surabaya pada 14-16 Juni 2007

124

Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Draf Laporan Kompendium Bidang Hukum Administrasi, Jakarta, 2008

Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN) Bidang Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 2008

Basah, Sjcahran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan PeradilanAdministrasi di Indonesia.Bandung: Alumni, 1997.

______________, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1992

BM, Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: PT. Alumni Bandung, 2012.

Cordozo, Benyamin, The Nature of the Judicial Process; Yale University Press, New Haven, 1949.

Cruz, Peter de, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law and Socialist Law, Terjemahan dari Comparative Law in a Changing World, Diterjemahkan oleh Narulita yusron, Penerbit Nusa Media Bandung, bekerjasama dengan Penerbit Diadit Media Jakarta, 2012.

Departemen Kehakiman RI, Jawaban Pemerintah Terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR RI atas RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta 20 Mei 1986.

Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Djunaedy H. Eddy, Edy Rohaedi, dan Kadar Slamet (Editor), Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Piriran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: LPP-HAN, 2003.

Donny, Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford Foundation & HuMa, 2007.

Effendi, Lutfi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2004

Efendi, Maftuh, Kewenangan Uji Materiil Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-undang: Kajian tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005-2011, Puslitbang Hukum Dan Keadilan Badan Litbang Diklat Kumdil, Mahkamah Agung RI, 2013

Garner Bryan A., Black’s Law Dictionary, Edisi ke-7, West Group ST. Paul. Minn, 1999.

Hadjon, Philipus M, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-En Rechtmatige Bestuur), Surabaya: Yuridika, 1993.

___________________, et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.

Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpretasi Teks, Yogyakarta: UII Press, 2005.

Harahap, Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 1997.

_____________, Pembahasan dan Permasalahan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika: Jakarta, 2000

125

_____________, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I : Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993

Kamil, Achmad dan Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Khun, Thomas, The Structures of Scientific Revolution, second edition, Enlarged, Chicago: The International Encyclopedia of United Science, 1970.

Kopper Peter J. van., The Dutch Supreme Court and Parliament: Political Decision making versus Non Politikel Appointment, The Law and Societ Review, vol.24,Nomber3/1990, Published by the Law and Soceaty Association, Hampshire House, University of Massachusetts, Amherst,1990.

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1970.

_____________________, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1975.

_____________________ dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 1999.

Leitter, Brian, American Legal Realism, dalam Philosophy of Law and Legal Theory, (diedit oleh Martin P. Golding dan William A. Edmundson), The Blackwell Publishing, 2005.

Lopa, Baharuddin dan Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 1993

Lotulung Paulus Effendie, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986.

Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, Jakarta: Diterbitkan oleh: Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), The Asia Foundation, United State Agency for International Development (USAID), dan Partnership for Governance Reform In Indonesia (Partnership), 2003.

________________, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia: Jakarta, 2010

_________________, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia, Jakarta, 2007

_________________, Laporan Akhir Program Pembentukan Prosedur Tetap Pedoman Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, Kerjasama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Proyek Mahkamah Agung RI-Komisi Eropa-Tata Keperintahan yang Baik pada Peradilan Indonesia, Juni 2008

126

Machmudin Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung: Refika Aditama, 2010.

Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

___________, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH. UII Press: Yokyakarta, 2005.

___________, Penafsiran Sebagai Bentuk Penemuan Hukum, dalam Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional; Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Yudha Bhakti, SH.MH, Editor Idris et.all, Bandung: Penerbit Fikahati Aneska, 2012.

Marbun SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Marzuki, Laica, Berjalan di Ranah Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Marzuki Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty, 1988.

___________________,dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Cetakan Pertama, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993.

___________________, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Cet. Kelima, Liberty: Yogyakarta, 2007.

___________________, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2010.

___________________, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2011.

Montesquieu, The Spirit of The Law, (Translated by Thomas Nugent), Hafner Press, 1949.

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1992.

_______, Peradilan Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty. 1991_______, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan

Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981Muchsin, Kekusasaan Kehakiman Yang Merdeka, Jakarta: STIH-

IBLAM, 2004.Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Keempat,

Cetakan kedua, Yogjakarta: Rake Sarasin, 2002.Nugraha, Safri, dkk, Hukum Administrasi Negara, Centre For Law And

Good Governance Studies (CLGS), Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.

Patrick, Nerhot, Legal Knowledge and Analogy, Fragments of Legal Epistemology, Hermeneutics and Linguistics, 1991.

Pound, Roscoue, Contemporary Juristic Theory, Claremont CA: Panamon College, 1940

127

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

Puslitbang Kumdil MA RI, Bahan Literatur Penelitian Kedudukan Dan Relevansi Jurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Jakarta: MARI, 2010

Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.

_______________, Hukum Dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.

_______________, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Cita Hukum Nasionak, Bandung: CV. Sinar Baru, 1985.

_______________, Kata Pengantar dalam buku Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004.

_______________, Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006.

_______________, Ilmu Hukum, PT Citra Aditiya Bakti, Bandung, 2006.

_______________, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Samekto FX. Adji, Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme, Bandar Lampung: Indepth Publishing, 2012.

Shidarta. Arief, Penemuan Hukum, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2001.

Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum Dan Konsekuensi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (Ed). Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

___________, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Akar Filosofis. Yogyakarta : Genta Publishing, 2013.

Sinha, Surya Prakash, Jurisprudence Legal Philosophy In a Nutshell, St. Paul, Minnesota: West Publishing Co. 1993.

Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1986.

Soejadi, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia, Yogjakarta: Luqman Offset, 1999.

Soekanto, Soerjono, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989.

Soemitro, Rocmat, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, cetakan keempat, Bandung: Eresco, 1976.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, Yogjakarta: UII Press, 2006.

Tjokrowinoto dalam Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi, Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta: Blantika, 2004.

128

Tumpa, Harifin A., Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Jilid 6 Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. Pilar Yuris Ultima, 2009.

Panggabean, Henry Pandapotan, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung: PT. Alumni, 2008.

Pound, Roscoe, Contemporary Juristic Theory, Claremont CA: Panamon College, 1940.

_____________, “An Introduction to The Philosophy of Law”, Diterjemahkan Moh. Radjab, Suatu Pengantar Ke Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1963.

Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986,LN No. 77), Jakarta: Pradnya Paramita. 1997.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003Sadjijono Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi,

Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008Soemitro, Rochmat, Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum

Pajak di Indonesia, Bandung: Eresco, 1976Tamin, Feisal, Reformasi Birokrasi, Analisis Pendayagunaan Aparatur

Negara, Jakarta: Blantika, 2004Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD

1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Latar Belakang, Proses, Dan Hasil Pembahasan 1999-2002), Buku ke VI-Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta, 2010

Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1988.

_________, dan Moh Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta:, 1999.

Wargakusumah, Hasan, Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, dalam Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: Elsam dan Huma, 2002.

___________________________, Mochtar Kusumaatmadja: Manusia Yang Pernah Saya Kenal dan Pemikirannya, ‘Kata Pengantar’ dalam buku Mochtar Kusuma-Atmadja Dan Teori Hukum Pembangunan Jakarta: Epistema & Huma, 2012.

Wilardjo Liek, Realita dan Desiderata, Yogjakarta: Duta Wacana University Press, 1987

Yamin, Muhamad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. keenam, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

129

TESIS, DISERTASI

Elfah, Dani, Perincian Dan Penormaan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Disertasi Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya, 2010.

Hamidi, Jazim, Penerapan Beberapa Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Oleh Hakim Administrasi, Tesis magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 1996.

Putro, Widodo Dwi, Tinjauan Kritis Filosofis Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

Riyanto, R. Benny, Kebebasan Hakim Dalam Menutus Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006

MAKALAH/ ARTIKEL/ KARYA TULIS ILMIAH/ HASIL SEMINAR/ MAJALAH/JURNAL

Arief, Barda Nawawi, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional Ke I s/d VIII Dan Konvensi Hukum Nasional 2008 Tentang UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional, Grand Design Sistem Dan Politik Hukum Nasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang, 2011.

Arsil, Sudah Saatnya Mahkamah Agung Menerapkan Sistem Kamar, Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 12-18 Juli 2010

Atmasasmita, Romli, Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Makalah disampaikan pacta Rapat/Diskusi Pokja Politik Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan di BPHN, tanpa tahun.

Billah dalam Pendahuluan Kumpulan Makalah Workshop and Seminar on Good Governance” kerjasama Utrecht University dan Airlangga University, Surabaya, 4-6, October 2001

Brught, Gr. Van der & J.D.C Winkelman, Penyelesaian Kasus, terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun XII, No. 1, Januari 1994.

Departemen Kehakiman RI, Jawaban Pemerintah Terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR RI atas RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta 20 Mei 1986

Erliyana, Anna, Memahami Makna dan Ruang Lingkup Kewenangan Badan Tata Usaha Negara, Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum FH UI, Depok 28 Maret 2007

Hadjon, Philipus M, Masalah Pertanahan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, YURIDIKA Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Edisi No. 4 Tahun VII, Juli-Agustus 1993

Hartono, Soenaryati, Peranan Hakim Dalam Proses Pembentukan Hukum, Makalah Disampaikan pada Seminar Tentang Peranan Hakim dan Tanggung Jawab Hakim Sebagai Pejabat Negara Dalam Sistem Peradilan

130

Indonesia, Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, tanggal 2 Oktober 2002

Hock, Lie Oen, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia Pada Tanggal 19 September 1959.

Indarti, Erlyn, Diskresi Dan Paradigma: Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum UNDIP, 4 November 2010.

Kadir, Mapong, Abdul, Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Manado, 28 Oktober-1 November 2012

Manan, Bagir, Beberapa Catatan Tentang Penafsiran, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIV No. 285 Edisi Agustus 2009, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2009.

Mapong, Abdul Kadir, Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Manado, 28 Oktober-1 November 2012

Lotulung, Paulus Effendi, Yurisprudensi Dalam Hukum Administrasi Negara, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, Tanggal 24 September 1994.

Prasojo, Eko, Revitalisasi Administrasi Negara, Kompas, 4 Januari 2006.

___________, (Rancangan) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan untuk Pembangunan Hukum Administrasi Negara dan Penciptaan Good Governance, Ceramah Umum pada acara Bimbingan Teknik Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 2011

Sidharta, B. Arief, Peranan Praktisi Hukum Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia'; Jurnal Hukum, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian UNPAID, Nomor Perdana 1-1999, Bandung.

Susanto, IS, Lembaga Peradilan dan Demokrasi, Makalah dalam Seminar Nasional, Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Semarang 12-13 November 1996.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah dalam Seminar Nasional, Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global, Semarang 12-13 November 1996.

_____________________, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Forum Keadilan No. 08 (18 Juni 2006).

Utama, Yos Johan, Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Yusriadi, H., Paradigma Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dab Penegakan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum UNDIP, 18 Februari 2006.

131

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional Tahun 2005-2025.UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN.UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986

Tentang Peradilan TUN.UU No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN.Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan UU No. 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan TUN.Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 Tentang Juklak

Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dimuat dalam : Himpunan Perma, Sema, Dan Juklak Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung RI, 1994.

Mahkamah Agung RI, Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia, Jakarta, 2007.

Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Jilid 6 Tata Usaha Negara, Jakarta: PT. Pilar Yuris Ultima, 2009

INTERNET

https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm, diakses pada tanggal 9 Agustus 2016

http://putusan.mahkamahagung.go.id/ pengadilan/ mahkamah- agung/direktori/tun/partai-politik, diakses pada tanggal 13 Oktober 2016

http://www.ptun-surabaya.go.id/index.php?option=com_content&view = article& id=123:contoh-kasus&catid=34:berita-terbaru&Itemid=85, diakses pada 20 Oktober 2016

https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm, diakses pada tanggal 9 Agustus 2016

http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/sistem-kamar/regulasi-sistem-kamar, diakses pada tanggal 23 Oktober 2016

132