bab v pembahasan

22
BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas kesesuaian serta kesenjangan antara teori dengan asuhan keperawatan yang diberikan kepada Tn. R Z di ruangan Bratasena dengan masalah keperawatan : waham, harga diri rendah, kerusakan komunikasi verbal, halusinasi, koping individu tidak efektif dan risiko perilaku kekerasan. Diagnosa keperawatan pertama pada Tn. R Z adalah waham. Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus-menerus namun tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2011). waham adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguan tersebut muncul dalam bentuk keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi dan dibuktikan secara realita. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis dan diucapkan secara berulang-ulang (Kusumawati, 2010). Menurut Stuart & Laraia (2005), waham dalah kepercayaan yang salah terhadap obyek dan tidak konsisten dengan latar belakang intelektual dan budaya. Selain itu, waham disebut juga dengan keyakinan yang

Upload: vhiiettdaciuhma

Post on 14-Jul-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembahasan

TRANSCRIPT

Page 1: BAB v Pembahasan

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas kesesuaian serta kesenjangan antara teori dengan

asuhan keperawatan yang diberikan kepada Tn. R Z di ruangan Bratasena dengan

masalah keperawatan : waham, harga diri rendah, kerusakan komunikasi verbal,

halusinasi, koping individu tidak efektif dan risiko perilaku kekerasan.

Diagnosa keperawatan pertama pada Tn. R Z adalah waham. Waham adalah suatu

keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus-menerus namun

tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2011).

waham adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus internal dan

eksternal secara akurat. Gangguan tersebut muncul dalam bentuk keyakinan

individu yang tidak dapat divalidasi dan dibuktikan secara realita. Keyakinan

individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual dan latar belakang

budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang logis dan diucapkan

secara berulang-ulang (Kusumawati, 2010). Menurut Stuart & Laraia (2005),

waham dalah kepercayaan yang salah terhadap obyek dan tidak konsisten dengan

latar belakang intelektual dan budaya. Selain itu, waham disebut juga dengan

keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan kondisi obyektif, dipertahankan terus

menerus.

Tanda dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan waham antara lain ; (Waham

perawatan minimal) Berbicara dan berperilaku sesuai dengan realita,

Bersosialisasi dengan orang lain, Mau makan dan minum dan Ekspresi wajah

tenang ; (waham perawatan parsial) Cenderung menghindari orang lain,

Mendominasi pembicaraan dan Bicara kasar ; (Waham perawatan total) Melukai

diri dan orang lain, Menolak makan / minum obat karena takut diracuni, Gerakan

tidak terkontrol, Ekspresi tegang, Iritable, Mandominasi pembicaraan, Bicara

kasar, Menghindar dari orang lain dan Mengungkapkan keyakinannya yang salah

berulang kali.

Page 2: BAB v Pembahasan

Penegakan diagnosa waham setelah ditemukan data yang mendukung pada

tanggal 04 Desember 2016. Hasil pengkajian yang diperoleh dari wawancara dan

observasi selama berinteraksi dengan Tn. R Z menunjukkan beberapa data yang

mengarah pada masalah keperawatan waham kebesaran antara lain ;

kecenderungan Tn. R Z mengungkapkan hobi otomotifnya, Tn. R Z mengatakan

pernah menjuarai lomba rally dunia di medan bersama teman SMA nya pada

Tahun 1993 menggunakan mobil xenia dan avanza (pada waktu itu baru klien

yang memiliki), setelah dari itu Tn. R Z mengatakan pulang dari Medan ke Jakarta

menggunakan pesawat garuda yang hanya diisi oleh klien dengan temannya

(serasa pesawat pribadi), klien mengatakan dekat dengan Ibu Megawati dan Puan

Megawati, klien mengatakan tanda tangan deputi Gubernur BI di uang kertas

adalah tanda tangan dirinya yang diamanatkan oleh Ibu Megawati. Klien merasa

enggan untuk berinteraksi dengan klien lain yang dianggap tidak bisa sepemikiran

dalam pembicaraan, klien juga enggan membantu/melakukan aktivitas di ruangan

Bratasena (menyapu, mengepel, bersih-bersih dll) karena bukan level klien.

Faktor predisposisi terjadinya masalah keperawatan waham pada Tn. R Z secara

psikososial, keluarga, pengasuh dan lingkungan klien yang mempengaruhi

perkembangan psikologis klien. Sejak usia 3 tahun klien sudah ditinggalkan orang

yang berarti menurut klien (Ibu) dan klien tinggal dengan nenek karena ayah klien

menikah lagi. Klien merasakan kesedihan ketika ditinggalkan oleh orang yang

berarti dalam hidup klien. Selanjutnya, klien kehilangan adiknya yang meninggal

karena sakit miom. Klien mengatakan faktor financial yang selalu menjadi

masalah utama bagi dirinya, namun klien mengatakan dapat meminta saja dengan

paman atau sepupunya. Tahun 2003 klien kehilangan orang yang berarti bagi

klien (nenek), klien mengatakan sedih namun pasrah karena segala sesuatu sudah

ditakdirkan Allah.

Faktor presipitasi terjadinya masalah keperawatan waham pada Tn. R Z adalah

adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi pada klien, seperti keinginan klien untuk

memiliki mobil dan hobi dalam bidang otomotif yang tidak mendapat support dari

keluarga. Tekanan serta proses berduka yang tidak tuntas dilewati klien. Klien

Page 3: BAB v Pembahasan

beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini telah menjadi takdir Allah dan

sudah digariskan sehingga membuat klien pasrah serta malas untuk beraktivitas

dan bekerja. Klien mengatakan manusia lebih baik melaksanakan kewajiban

shalat 5 waktu selanjutnya takdir Allah yang menentukan. Faktor predisposisi dan

faktor presipitasi yang tampak dalam masalah waham pada Tn. R Z sejalan

dengan teori mengenai terjadinya waham.

Tujuan dari tindakan keperawatan pada pasien waham antara lain, klien dapat

berorientasi kepada realita secara bertahap, klien mampu memenuhi kebutuhan

dasar, klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan, klien

menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (Keliat, 2010). Tindakan keperawatan

yang dilakukan yaitu bina hubungan saling percaya, bantu orientasi realita,

diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga

menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah, tingkatkan aktivitas yang dapat

memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien, berdiskusi tentang kemampuan

positif yang dimiliki, bantu melakukan kemampuan yang dimiliki, berdiskusi

tentang obat yang diminum, melatih minum obat yang benar.

Aplikasi tindakan keperawatan terkait masalah keperawatan waham berdasarkan

Nursing Interventions Classification yang telah dilakukan terhadap klien Tn. R Z,

meliputi membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi kebutuhan

psikologis/emosional yang belum terpenuhi hingga saat ini bagi klien, bantu klien

kedalam orientasi realita, mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien,

diskusi harapan setelah keluar dari RSMM, melatih kemampuan yang dimiliki,

diskusi tentang obat yang diminum serta minum obat secara teratur.

Perkembangan yang cukup baik diperlihatkan oleh Tn. R Z setelah diberikan

intervensi keperawatan tersebut, hal ini ditunjukkan dengan klien mampu

mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi. Selain itu, klien mampu

mengambil keputusan akan kebutuhan yang sangat diperlukan saat ini dan yang

masih bisa untuk diganti dengan kebutuhan yang lainnya, seperti kebutuhan akan

mobil dan otomotif menurut klien bukan kebutuhan utama (primer). Kegiatan

melakukan kemampuan positif yang ditunjukkan oleh klien, antara lain mampu

Page 4: BAB v Pembahasan

mengikuti latihan di ruang Rehab (kelas gerabah dan olahraga) yang dapat

meningkatkan harga diri klien di mata orang lain. Klien juga mampu diarahkan ke

realita bahwa saat ini klien di rawat untuk proses penyembuhan.

Hambatan yang dialami selama interaksi dan memberikan asuhan keperawatan

pada Tn. R Z adalah dominasi pembicaraan yang berulang-ulang dari klien

mengenai hobi dan kecintaannya terhadap otomotif. Selain itu pendapat klien

yang mempertahankan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah takdir dari

Allah SWT sehingga klien beranggapan manusia cukup berpasrah diri tampa

harus berusaha (bekerja). Sehingga klien harus terus di motivasi dalam

melaksanakan aktivitas harian di ruangan maupun nantinya di rumah. Strategi

yang perawat lakukan adalah dengan mengajak berdiskusi dan membawa klien

kedalam orientasi realita mengenai kehidupan yang seharusnya dijalani oleh

manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hal tersebut cukup efektif untuk

meningkatkan hubungan saling percaya antara klien dan perawat. Hal ini terlihat

dengan semakin sering klien mengungkapkan masalah yang lain (kesedihan klien

kehilangan istri, ibu, nenek) pada hari-hari selanjutnya. Selain itu motivasi klien

dalam beraktivitas dan memberikan pujian yang wajar meningkatkan keterlibatan

klien dalam aktivitas di ruangan maupun saat di rehab. Dengan semakin sering

interaksi, memberikan motivasi kepada klien dan pengakuan akan kehadiran klien

dalam keluarga serta kelompok akan meningkatkan harga diri agar klien dapat

secara perlahan kembali ke realita.

Masalah keperawatan kedua yang ditemukan pada tanggal 25 November 2015

adalah harga diri rendah. Harga diri rendah adalah perasaan negatif diri sendiri,

hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat,

2007). Townsend (2014) menyatakan bahwa harga diri rendah ditandai dengan

adanya perasaan kurang berharga, merasa tidak mampu, pandangan hidup yang

pesimis, mengkritik diri sendiri serta perasaan tentang diri yang negatif. Hal ini

sesuai dengan tanda dan gejala yang diperlihatkan oleh Tn. R Z yang cenderung

mengalihkan wajah (tidak ada kontak mata) saat membahas tentang keluarga,

pekerjaan, cita-cita, klien merasa sedih atas perceraian dan kehilangan ibu serta

Page 5: BAB v Pembahasan

neneknya. Klien merasa kurang dihargai sebagai cucu pertama dalam keluarga,

merasa tidak diterima kehadirannya dalam keluarga, merasa ditelantarkan oleh

ayahnya dari usia 3 tahun tinggal dengan nenek, pasrah dengan keadaan karena

semua sudah ketentuan Allah SWT, mengatakan malu dan demam panggung jika

harus tampil di depan banyak orang. Selain itu Tn. R Z cenderung tiduran di

lantai, duduk sendiri, penurunan produktivitas, tampak lesu dan jarang

berinteraksi dengan klien lain. Tanda dan gejala secara objektif maupun subjektif

tersebut mengarahkan pada permasalahan harga diri rendah.

Faktor predisposisi yang menyebabkan masalah keperawatan harga diri rendah

pada Tn. R Z antara lain kurangnya tanggung jawab diri (malas bekerja, maupun

mencari pekerjaan, memilih-milih pekerjaan), tergantung pada orang lain

(saudara, paman, keluarga) karena merasa sebagai cucu pertama layak di hargai

dan dihormati, ideal diri tidak realistis. Menurut Townsend (2014) menyatakan

bahwa faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah sebuah penolakan

berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada

orang lain, ideal diri yang tidak realistis. Hal ini sesuai dengan gejala yang tampak

pada klien Tn. R Z. Sedangkan faktor presipitasi yang dialami oleh Tn. R Z

adalah kehilangan pasangan akibat perceraian dan mengalami putus obat.

Perceraian tersebut terjadi diakibatkan belum punya anak selama 13 tahun

menikah serta klien yang agak malas bekerja dibandingkan istrinya (kurang

bertanggung jawab mencari nafkah). Hal ini didukung oleh pernyataan Townsend

(2014) yang menyatakan bahwa faktor presipitasi pada Tn. R Z yang mengalami

harga diri rendah diakibatkan oleh kegagalan mempertahankan rumah tangga dan

putus obat.

Tindakan keperawatan diagnosa harga diri rendah menurut Bulechek, Butcher,

dan McCloskey (2013) dalam Nursing Interventions Classification antara lain

penumbuhan harapan (memfasilitasi perkembangan penampilan positif pada

situasi tertentu). Peningkatan harga diri (membantu klien meningkatkan

penghargaan terhadap diri) dengan cara beri penguatan terhadap kekuatan diri

yang dimiliki klien, bantu klien menentukan respon positif dari orang lain, hindari

Page 6: BAB v Pembahasan

tindakan yang dapat mengusik klien, bantu penyusunan tujuan yang realistis untuk

peningkatan harga diri klien, gali pencapaian sebelumnya, beri penghargaan atau

pujian terhadap keberhasilannya, fasilitasi lingkungan dan aktivitas untuk

mendukung peningkatan harga diri klien.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan berdasarkan dalam mengatasi

masalah keperawatan harga diri rendah adalah mengidentifikasi kemampuan

positif yang dimiliki oleh Tn. R Z. Perawat memberi motivasi agar Tn. R Z

memilih kegiatan positif yang dapat dilatih. Kemampuan positif yang telah dipilih

oleh Tn. R Z adalah modifikasi mobil, mengaji, mengendarai mobil (sopir),

berwirausaha, mewarnai gerabah, olahraga tenis meja, perawatan diri secara

mandiri. Kegiatan positif yang telah berhasil dilatih kemudian dimasukkan dalam

jadwal harian Tn. R Z adalah mewarnai gerabah, olahraga, mengaji serta

perawatan kebersihan diri secara mandiri. Kegiatan positif atau kemampuan

positif dilatih dan diidentifikasi bersama Tn. R Z untuk menumbuhkan serta

meningkatkan rasa kepercayaan diri bahwa Tn. R Z masih mampu melakukan

kegiatan yang berguna. Kegiatan mencuci piring membersihkan ruangan tidak

dimasukkan kedalam hal positif klien, karena hal tersebut dapat merendahkan

harga diri klien.

Setiap orang berhak mendapatkan harga diri yang sesuai sebagaimana manusia

yang bermartabat, sama halnya dengan Tn. R Z yang berhak mendapatkan

kembali harga dirinya dengan terus melatih kemampuan positif yang dimiliki.

Kemampuan atau kegiatan positif yang dilatih dapat meningkatkan harga diri Tn.

R Z terutama pada saat melakukan aktivitas rutin sehari-hari. Kegiatan positif

yang dipilih oleh Tn. R Z sebagian besar tidak dapat dilatih di ruangan karena

keterbatasan alat dan fasilitas, pada kesempatan yang akan datang perawat

mungkin harus berkomunikasi dengan pihak keluarga dan berdiskusi mengenai

kegiatan positif yang dapat dilakukan klien nantinya dirumah tanpa merendahkan

harga diri klien.

Page 7: BAB v Pembahasan

Hambatan yang dihadapi dalam memberikan intervensi terkait masalah harga diri

rendah adalah Tn. RZ yang masih belum konsisten melakukan kegiatan yang

dilatih karena keadaan Tn. RZ yang cenderung kurang bersemangat (harus

dimotivasi). Tn. RZ kurang mampu mengidentifikasi kemampuan positif yang

lainnya, sehingga perawat memutuskan untuk membantu mengindentifikasi

kemampuan positif yang ada dalam diri Tn. RZ. Perawat terus memotivasi Tn. RZ

untuk melakukan kegiatan positif sederhana secara terus menerus, ketika kegiatan

sederhana tersebut sudah dijalankan dengan baik secara bertahap perawat akan

membantu Tn. RZ untuk mengidentifikasi kemampuan positif lain yang lebih

komprehensif seperti kegiatan terkait pekerjaan yang masih bisa dilakukan.

Masalah keperawatan yang ketiga pada Tn. RZ adalah isolasi sosial yang

ditemukan pada hari kedua pengkajian (tanggal 25 November 2015). Isolasi sosial

merupakan suatu keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan

sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien

mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina

hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2006). Isolasi sosial adalah

suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain

(Townsend, 2014). Tanda dan gejala seseorang mengalami isolasi social menurut

Townsend (2014) adalah apatis atau kurang peduli terhadap lingkungan, kurang

komunikasi verbal, mengisolasi diri, cenderung menyendiri, minim interaksi

dengan lingkungan, dan sebagainya.

Secara spesifik dari hasil pengkajian yang menunjukkan masalah keperawatan

isolasi sosial pada Tn. RZ yaitu kecenderungan untuk menyendiri, melamun, tidak

mau mengobrol dengan teman lain dengan alasan tidak selevel/tidak sepemikiran

dengan klien, hanya ingin berbicara/berinteraksi dengan klien tertentu saja, malas

beraktivitas, lebih ingin mendekatkan diri kepada Allah. Isolasi sosial yang terjadi

pada Tn. RZ diakibatkan oleh adanya harga diri rendah yang dapat mengakibatkan

Tn. RZ gengsi/malu serta enggan untuk melakukan interaksi dengan orang lain

dan cenderung untuk memilih melamun sendirian saja dalam beraktivitas. Klien

tampak kurang mampu memulai interaksi dan hanya mengenal 3-4 klien lain.

Page 8: BAB v Pembahasan

Faktor predisposisi terjadinya masalah isolasi sosial pada Tn. RZ secara

psikologis keterampilan verbal Tn. RZ cukup baik ditandai dengan komunikasi

yang lancar saat berinteraksi dengan perawat atau klien lain yang dianggap

sepemikiran oleh Tn. RZ, sulit untuk memulai komunikasi dengan orang lain,

pengalaman masa lalu yang kurang baik ditandai dengan krisis peran akibat

perceraian dan ketidakpedulian oleh keluarga. Secara sosial budaya Tn. RZ tidak

bekerja dan hanya menerima uang saku dari saudara/pamannya. Faktor presipitasi

terjadinya masalah isolasi sosial pada Tn. RZ adalah kegagalan dalam

mempertahankan rumah tangga, proses kehilangan orang yang berarti dalam

hidup (ibu, nenek dan istri) serta kebutuhan klien tidak terpenuhi yang

mengakibatkan stres berat pada Tn. RZ.

Tindakan keperawatan untuk diagnosa isolasi dalam Nursing Interventions

Classification (NIC) antara lain manajemen perilaku dengan cara meningkatkan

keterampilan sosial serta membantu mengembangkan keterampilan sosial

interpersonal, pembinaan hubungan yang kompleks dengan cara memfasilitasi

klien untuk membina hubungan dengan klien yang kesulitan berinteraksi dengan

orang lain, peningkatan koping dengan cara membantu klien beradaptasi dengan

persepsi stresor, perubahan, ancaman yang menghambat pemenuhan kebutuhan

dasar dan peran individu, peningkatan sosialisasi dengan cara memfasilitasi klien

untuk meningkatkan interaksi dengan yang lain.

Aplikasi tindakan keperawatan diagnosa isolasi sosial yang telah dilakukan

terhadap Tn. RZ, antara lain mengidentifikasi keuntungan dan kerugian interaksi,

berlatih memperkenalkan diri, mempraktikkan cara berkenalan dengan teman

maupun perawat. Perkembangan yang diperlihatkan oleh klien cukup baik setelah

dilakukan implementasi tersebut, perkembangan ini ditunjukkan oleh adanya,

kontak mata saat berinteraksi, klien mengenal lebih dari 9 klien lain, badan tegak,

dan senyum, selain itu kemampuan melakukan kegiatan sambil mengobrol atau

berbicara dengan klien lain tampak sudah dilakukan klien, seperti berkumpul

sambil merokok/makan sesuatu, makan bersama di meja makan serta mengikuti

kegiatan di rehab.

Page 9: BAB v Pembahasan

Secara garis besar hambatan yang dialami dalam memberikan intervensi terkait

isolasi sosial pada Tn. RZ adalah kurangnya motivasi dan merasa kurang layaknya

klien berada di RSMM dengan klien lain. Klien merasa tidak sepemikiran dengan

klien lain, sehingga klien hanya ingin berkomunikasi dengan klien lain yang

lancar komunikasinya. Klien juga malas beraktivitas fisik karena segala sesuatu

sudah ketentuan Allah dan lebih ingin memperbanyak ibadah saja. Namun,

berdasarkan hasil pengamatan Tn. RZ mampu mengikuti dan berinteraksi dengan

klien lain dalam suatu kegiatan setelah diberikan stimulus/motivasi.

Masalah keperawatan keempat yang ditemukan pada Tn. RZ adalah halusinasi

(tanggal 01 Desember 2015). Stuart (2007) menyatakan halusinasi adalah kesan,

respon dan pengalaman sensori yang salah. Halusinasi merupakan gangguan atau

perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak

terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu

penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus

eksteren : persepsi palsu (Maramis, 2005). Berdasarkan hasil pengkajian perawat

pada Tn. RZ terhadap masalah halusinasi diperlihatkan dengan klien sering

melamun menyendiri, hasil pengamatan perawat ruangan maupun menurut

pernyataan subjektif Tn. RZ yang mengatakan isi halusinasinya yaitu menyuruh

klien memikirkan pengalaman masa lalu yang menyenangkan bagi klien seperti

nongkrong, tertawa bersama teman, mengikuti lomba, frekuensi halusinasi sering

ketika klien melamun, muncul ketika sedang menyendiri, respon klien

mengabaikan dan dibawa ibadah.

Faktor predisposisi masalah halusinasi adalah faktor biologis (genetik, keturunan,

status nutrisi, riwayat kesehatan), faktor psikologis (keterampilan verbal,

kepribadian menutup diri, pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan),

faktor sosial budaya (usia, jenis kelamin, status pendidikan, pekerjaan). Faktor

predisposisi pada Tn. RZ adalah adanya pengalaman masa lalu yang tidak

menyenangkan yaitu bercerai dengan istrinya, kehilangan orang yang penting

dalam kehidupannya dan penganguran. Faktor presipitasi pada masalah halusinasi

adalah faktor bilogis, kegagalan, stressor, dukungan keluarga yang kurang dalam

Page 10: BAB v Pembahasan

merawat klien. Faktor presipitasi yang dialami oleh Tn. RZ adalah kurangnya

dukungan keluarga terhadap perawatan, stressor yang berat, dan putus obat.

Jenis halusinasi yang dialami oleh Tn. RZ adalah halusinasi pendengaran

(auditory). Isi halusinasinya yaitu menyuruh klien memikirkan pengalaman masa

lalu yang menyenangkan bagi klien seperti nongkrong, tertawa bersama teman,

mengikuti lomba, frekuensi halusinasi sering ketika klien melamun, muncul

ketika sedang menyendiri, respon klien mengabaikan. Tindakan keperawatan

diagnosa halusinasi dalam “Nursing Interventions Classification (NIC)” antara

lain stimulasi kognitif dengan cara meningkatkan kesadaran dan pemahaman

terhadap sekitar melalui penggunaan stimulus terencana, manajemen halusinasi

dengan cara meningkatkan keamanan, kenyamanan, dan orientasi realita klien

dengan halusinasi. Dalam hal ini aplikasi NIC yang dilakukan oleh perawat adalah

dengan melakukan evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan Tn. RZ

dalam mengontrol halusinasi.

Hasil evaluasi kemampuan mengontrol halusinasi pada Tn. RZ menunjukkan

bahwa Tn. RZ telah mengetahui beberapa cara mengontrol halusinasi yang

didapatkan dari perawat ruangan sebelumnya. Tn. RZ mengetahui pengontrolan

halusinasi dengan cara, penggunaan obat, bercakap-cakap dan melakukan

kegiatan harian. Namun Tn. RZ harus terus dilatih dan dimotivasi dalam

memahami, meresapi dan melakukan kemampuan tersebut, karena Tn. RZ

terkadang malas untuk beraktivitas dan halusinasi yang terjadi pada klien

termasuk menyenangkan bagi klien. Kemampuan melakukan kegiatan harian

belum dilakukan dengan baik, karena kemampuan sosialisasi dan produktifitas

dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang masih kurang.

Penggunaan obat anti psikotik pada klien skizofrenia haruslah dengan teratur,

karena apabila klien gangguan jiwa mengalami putus obat maka permasalahan

yang terjadi pada klien akan timbul kembali. Tn. RZ diberikan pemahaman

dengan menyadarkan daya tilik klien secara perlahan bahwa permasalahan

halusinasi adalah suatu masalah yang dapat merugikan klien dan harus diatasi

Page 11: BAB v Pembahasan

dengan minum obat seumur hidup, jika putus obat maka masalah itu akan kembali

muncul dan merugikan diri klien. Intervensi ini sekaligus dilakukan untuk

mengatasi diagnosa keperawatan regimen terapeutik inefektif (putus obat) pada

Tn. RZ.

Masalah keperawatan kelima yang ditemukan pada Tn. RZ (tanggal 24 November

2015) adalah risiko perilaku kekerasan. Risiko perilaku mencederai orang lain

adalah perilaku yang dilakukan seseorang baik secara fisik, emosional, maupun

seksual rentan untuk melukai orang lain (Nanda, 2015). Perilaku kekerasan adalah

salah satu respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman,

mencederai orang lain, dan atau merusak lingkungan (Keliat, et al, 2007). Risiko

perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku

yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri dan orang lain

(Townsend, 2014). Tanda dan gejala RPK adalah fisik mata melotot, emosi tidak

adekuat, perilaku menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain,

verbal mengancam, dan tangan yang mengepal (Townsend, 2014). Diagnosa

risiko perilaku kekerasan pada Tn. RZ dimunculkan, karena didasari data status

rekam medis pasien yang menyatakan riwayat pasien masuk RSMM pada tahun

November 2015 adalah karena perilaku kekerasan melempar alat rumah tangga,

marah-marah dan berteriak-teriak. Selama wawancara sikap klien cenderung

mempertahankan pendapatnya.

Faktor predisposisi masalah risiko perilaku kekerasan adalah faktor biologis

(genetik, keturunan, status nutrisi, riwayat kesehatan, gangguan fungsi panca

indra, faktor hormonal, kerusakan sistem limbik), faktor psikologis (keterampilan

verbal dan moral, kepribadian agresif, pengalaman masa lalu yang kurang

menyenangkan), faktor sosial budaya (usia, jenis kelamin, status pendidikan, latar

belakang sosial budaya). Faktor predisposisi yang ditemukan pada Tn. RZ adalah

pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan yaitu kehilangan orang yang

penting (ibu) usia 3 tahun, lalu ayah menikah lagi, kehilangan nenek, bercerai

dengan istrinya, merasa tidak dihargai dan dihormati oleh keluarga (saudara,

paman) serta tidak memiliki pekerjaan. Faktor presipitasi pada masalah risiko

Page 12: BAB v Pembahasan

perilaku kekerasan adalah faktor bilogis, kegagalan, stressor, dukungan keluarga

yang kurang dalam merawat klien. Faktor presipitasi yang muncul pada Tn. RZ

adalah kurangnya regiment terapeutik keluarga, stressor dan putus obat.

Berdasarkan hasil pengkajian perawat terhadap masalah RPK pada Tn. RZ sudah

tidak menjadi masalah yang aktual, hal tersebut didasarkan pada hasil pengamatan

perawat ruangan maupun menurut pernyataan subjektif Tn. RZ. Namun kelompok

dan perawat ruangan tetap melakukan peninjauan daya tilik diri Tn. RZ untuk

menyadari bahwa permasalahan RPK dapat terjadi kembali apabila tidak diatasi

dengan baik. Tindakan keperawatan untuk diagnosa risiko perilaku kekerasan

dalam “Nursing Interventions Classification (NIC)” antara lain manajemen

perilaku kekerasan dengan cara membantu klien mengurangi atau menghilangkan

risiko perilaku kekerasan, kedua manajemen lingkungan dengan cara memantau

dan memanipulasi lingkungan fisik untuk menurunkan potensi perilaku kekerasan

yang bisa menciderai dirinya atau orang lain. Pelatihan pengendalian impuls

dengan cara membantu klien memediasi perilaku impulsif melalui penerapan

strategi terhadap pemecahan masalah terhadap situasi sosial dan interpersonal.

Kelompok melakukan evaluasi dan validasi terhadap klien dalam mengontrol

resiko perilaku kekerasan, berdasarkan hasil evaluasi resiko perilaku kekerasan

yang telah dilakukan klien adalah mengenal akibat dan masalah resiko perilaku

kekerasan, mengontrol marah dengan cara fisik dan verbal, mengontrol marah

dengan cara spiritual dan minum obat. Tn. RZ mampu melakukan latihan dengan

mandiri. Hasil wawancara terhadap klien dan observasi yang dilakukan, klien

mengatakan lebih senang mengendalikan marah dengan spiritual (shalat, zikir, dan

berdoa). Klien tampak rajin melaksanakan ibadah dan berdoa.

Masalah keperawatan keenam pada Tn. RZ adalah defisit perawatan diri (tanggal

25 November 2015). Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan melakukan

aktivitas individu yang terdiri dari mandi, berpakaian, berhias, makan, tolileting

atau kebersihan diri secara mandiri (Carpenito, 2007). Keadaan individu

mengalami kerusakan fungsi motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan

Page 13: BAB v Pembahasan

kemampuan untuk melakukan masing-masing dari kelima aktivitas terhambat.

Townsend (2014) menyatakan bahwa tanda gejala defisit perawatan diri terlihat

dari kurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan perawatan diri terlihat

dari penampilan yang tidak rapi, kotor, bau badan, bau mulut, dan sebagainya.

Indikator seseorang dikatakan defisit perawatan diri adalah apabila seseorang

tidak mampu menjalankan kegiatan perawatan diri rutin seperti orang normal,

contohnya mandi dua kali sehari, mengganti baju rutin, dan melakukan kegiatan-

kegiatan perawatan diri yang lain.

Tanda dan gejala yang memperlihatkan deficit keperawatan diri pada Tn. RZ

antara lain, cara berpakaian klien tidak rapi dan terkadang kurang sesuai, pakaian

klien tampak tidak rapi, terkadang klien tidak sesuai mengancing bajunya dan

klien lebih sering menggunakan sarung. Faktor predisposisi terjadinya masalah

defisit perawatan diri menurut Keliat, dkk (2014) adalah faktor biologis,

psikologis, dan sosial budaya. Faktor predisposisi terjadinya defisit perawatan diri

pada Tn. RZ adalah psikologis (kurangnya motivasi dalam melakukan perawatan

diri berpakaian). Faktor presipitasi adalah stres berat akibat kehilangan peran

sebagai suami dan anak mengakibatkan Tn. RZ malas dan kurang motivasi dalam

melakukan perawatan diri secara maksimal.

Tindakan keperawatan diagnosa defisit perawatan diri dalam Nursing

Interventions Classification antara lain berpakaian, bantuan perawatan diri:

mandi/hygiene, berhias, makan, dan eliminasi, perawatan rambut, manajemen

defekasi. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan

defisit perawatan diri berdasarkan aplikasi dari NIC yaitu dengan mengidentifikasi

bersama keuntungan melakukan perawatan diri dan kerugian tidak melakukan

kegiatan perawatan diri, cara-cara melakukan perawatan diri dan alat yang

digunakan untuk melakukan perawatan diri. Perawat memotivasi Tn. RZ untuk

selalu berpakain rapi dan mengancing baju. Evaluasi yang dilakukan cukup

memuaskan karena Tn. RZ terlihat mulai mampu melakukan kegiatan perawatan

diri berpakaian dengan baik namun tetap harus dimotivasi. Tak lupa perawat juga

selalu memberikan reinforcement positif atas setiap kegitan yang klien lakukan.