bab iii pendapat imam malik tentang watha’ sebagai syarat...
TRANSCRIPT
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WATHA’ SEBAGAI SYARAT
SAHNYA RUJUK BAGI TALAK YANG JATUH AKIBAT SUMPAH ILA’
A. Biografi Imam Malik
1. Tempat dan Tahun Kelahiran Imam Malik
Imam Malik adalah Imam kedua dari imam-imam empat serangkai
dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah suatu
daerah dinegeri Hijaz, pada tahun 93 Hijriyah/712M. Beliau adalah
seorang dari keturunan bangsa arab dari Dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun
dikota Himyar dari jajahan negeri Yaman.1
Nama beliau dari kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Amir
Al Ashbahy, dan ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik bin
Abdurrahman bin Syuraik Al-Azadiyah. Dan menurut beberapa riwayat
yang termaktub dalam kira-kitab tarikh: “Bahwa Imam Malik ketika dalam
kandungan rahim ibunya adalah dalam tempo kurang lebih dua tahun”.2
Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai
sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala.3
Perlu dijelaskan, bahwa nama Anas bin Malik (ayah beliau) itu
bukannya Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Nabi
kita Muhammad SAW yang terkenal itu , karena Anas bin Malik ini
1 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab¸ Bulan
Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 84 2 Ibid 3 Ibid, hlm. 85
27
adalah bin Nadhar bin Dhamdham bin Zaid Al Anshary Al Khazrajy.
Adapun Anas bin Malik (ayah bagi Imam Malik) itu adalah bin Abi Amir
bin Amr bin Al Harits bin Sa’ad bin ‘Auf bin Ady bin Malik bin Yazid. Ia
(Anas) termasuk seorang tabi’in (seorang Islam yang hidup dimasa
kemudian para sahabat Nabi), dan yang termasuk daripada sahabat Nabi
ialah Abu Amir (ayah bagi datuk beliau).
Abu Amir sendiri berasal dari kota Yaman, pindah ke Madinah
pada masa Nabi kita SAW. Dengan tujuan berhijrah dari negerinya, karena
hendak mengikuti seruan (dakwah) Islam di Madinah yang sedang
berkembang. Abu Amir pada waktu mengikuti (menjadi sahabat) Nabi
SAW adalah termasuk seorang sahabat yang setia, dan sewaktu-waktu ia
ikut serta menjadi tentara untuk bertempur melawan musuh, kecuali di
kala terjadi peperangan di Badar yang besar.
Dan sahabat Abu Amir di Madinah menurunkan beberapa orang
anak, salah satu diantaranya adalah Malik (datuk bagi Imam Malik), dan
Malik lalu menurunkan beberapa orang anak yang diantaranya ialah Anas
(ayah Imam Malik).4
Yang mulia Imam Malik terdidik di kota Madinah dalam suasana
yang meliputi diantaranya para sahabat, para tabi’in para anshar, para
cerdik-pandai dan para ahli hukum agama. Beliau terdidik ditengah-tengah
mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran, cepat menerima
pelajaran, kuat dalam berfikir dan menerima pengajaran, setia dan teliti.
4 Ibid., hlm. 85
28
Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai
sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala.5
Imam Malik juga seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran
yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang
diyakininya. Beliau seorang yang mempunyai sopan santun dan lemah
lembut, suka menengok orang sakit, mengasihani orang miskin dan suka
memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya.
Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau berbicara
dipilihnya mana perlu dan berguna serta menjauhkan diri dari segala
macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Disamping itu beliau juga
seorang yang suka bergaul dengan handai taulan, orang-orang yang
mengerti agama terutama para gurunya, bahkan bergaul dengan para
pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintahan serta kepala negara.
Beliau tidak pernah melanggar batasan agama.6
Dan perlu diterangkan, bahwa Malik, datuk beliau adalah seorang
yang termasuk pembesar tabi’in dan ulama mereka yang terkemuka.
Dari semenjak kecil beliau seorang fakir, tidak pernah mempunyai
uang, karena memang bukan keturunan orang mampu. Sekalipun dalam
keadaan yang demikian, namun beliau tetap sebagai seorang yang setia
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, maka setelah beliau
menjadi seorang alim besar di kota Madinah, banyak hadiah yang datang
pada beliau.
5 Ibid., hlm. 85 6 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta,
Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 103
29
2. Guru dan Murid Imam Malik
Imam Malik, oleh karena dari sejak kecil beliau adalah putra
seorang tabi’in yang terkenal dan cucu seorang alim besar golongan
tabi’in yang tertua, maka sudah tentu beliau terdidik suka kepada ilmu
pengetahuan, terutama pengetahuan agama. Lebih-lebih memang sejak
beliau dilahirkan sudah membawa sifat-sifat dan tanda-tanda yang
menunjukkan, bahwa beliau seorang yang akan menjadi pemimpin besar
dalam lingkungan umat Islam.
Imam Malik setelah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang
bertalian dengan urusan keagamaan, beliau lalu mempelajari ilmu riwayat,
ilmu hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang perawi dari junjungan
Nabi Muhammad Saw. Setelah itu, maka jika beliau hendak belajar atau
berguru kepada seorang guru, lebih dahulu menyelidiki keadaan kelakuan
guru itu dengan seksama, baik dalam urusan ibadahnya maupun
akhlaknya.
Adapun sifat-sifat ulama yang dipilih oleh beliau untuk didengar
dan diambil ilmunya menurut kata beliau sendiri adalah demikian:
“janganlah ilmu pengetahuan itu diambil dari empat macam orang, dan
harus diambil dari orang-orang yang lain dari empat macam tadi: 1.
Jangan diambil dari orang yang berperangai jelek/jahat, 2. Jangan diambil
dari orang yang ahli hawa dan ahli bid’ah, yang mereka itu mengajak
orang lain kepada hawa dan bid’ahnya, 3. Jangan diambil dari orang yang
suka berdusta dalam urusan hadits, dan 4. Jangan diambil dari guru-guru
30
yang suka kepada kebaikan keutamaan dalam ibadah manakala yang
mereka kerjakan itu tidak dengan pengetahuan”.
Adapun guru beliau yang pertama adalah Abdur Rahman bin
Hurmuz, seorang alim besar di kota madinah pada masa itu. Imam Malik
berguru pada Abdur Rahman selama beberapa tahun dan Imam Malik
tinggal di rumah beliau, sehingga tidak ada guru Imam Malik yang bergaul
erat selain dari Imam Abdur Rahman bin Harmaz.7
Imam Malik belajar ilmu fiqih dari salah seorang ulama besar kota
Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi, kemudian beliau juga belajar
ilmu hadits dari Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Imam Ibnu Syihab al-
Zuhry.8
Para guru beliau selain dari yang sudah dijelaskan diatas, ada
berpuluh-puluh orang yang telah menjadi guru dari Imam Malik
diantaranya adalah sebagai berikut: Imam Ibrahim bin Abi Ablah Al-
Uqaily, wafat pada tahun 152 H, Imam Ja’far bin Muahammad bin Ali,
wafat pada tahun 148 H, Imam Isma’il bin Abi Hakim Al Madani, wafat
pada tahun 130 H, Imam Tsaur bin Zaid Ad Daily, wafat pada tahun 135
H, Imam Humaid bin Abi Humaid At Ta’wil,wafat pada tahun 143 H,
Imam Daud bin Hashi Al- Amawy, wafat pada tahun 135 H, Imam Hamid
bin Qais Al A’raj, wafat pada tahun 139 H, Imam Zaid bin Abi Anisah,
wafat pada tahun 135 H, Imam Salim bin Abi Umayyah Al Qurasy, wafat
pada tahun 129 H.
7 H. Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 86 8 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 104
31
Inilah dari antara para guru Imam Malik, yang dari antara mereka
itu hingga kini masih tercatat dalam kitab-kitab hadits sebagai perawi
(penceritera) hadits. Dan sepanjang riwayat, jumlah guru beliau yang
utama itu tidak kurang dari 700 orang, dan diantara yang sekian banyak itu
ada 300 orang yang tergolong ulama tabi’in.
Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang Ilmu Hadits, Imam
Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk
membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkannya.9
Diantara murid beliau yang terkenal adalah: Imam Muhammad bin
al-Hasan Asy-Syaibani Al-Hanafi, Imam Syafi’i yang kemudian
mempunyai mazhab sendiri yang paling masyhur itu, dan ulama-ulama
yang menjadi pengikutnya antara lain adalah ulama-ulama perawi kitab
Al-Muwatta seperti Yahya al-Laitsi al-Andalusi, Asad bin al-Furat at-
Tumisi, ‘Abdu-Salam At-Tanukhi yang terkenal dengan nama Sahnun
Qairuwan.10
3. Tersebarnya Mazhab Maliki
Mazhab Imam Malik timbul dan berkembang di Madinah, tempat
kediaman beliau, kemudian tersiar disekitar negeri Hijaz. Orang yang
mula-mula mengembangkan fiqih Imam Malik ke negeri Mesir, yaitu
Usman bin Al Hakam Al Judzamy, seorang dari sahabat Imam Malik dari
bangsa Mesir, dan Abdurrahim bin Khalid bin Yazid bin Yahya, dan
9 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Bagian Pertama, Jakarta,
Penerbit Lentera, 1996, hlm. 25 10 Sohbi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Terjemah: Ahmad
Sudjono, Bandung, PT. Al-Ma’arif, t.th., hlm. 49
32
mereka berdua adalah seorang ahli fiqih, yang pernah diambil riwayatnya
(diisap pengetahuannya) oleh Al-Laits bin Saad, Ibnu Wahbin dan Rasyid
bin Saad, dan ia wafat pada tahun 163 H.
Adapun sebagian besar penduduk di Mesir mengikuti aliran
madzhab Imam Malik karena dari kerajinan dan kesempurnaan para
sahabat Imam Malik di sana, dan demikianlah selanjutnya sehingga
datanglah Imam asy-Syafi’i di Mesir, yang lalu mengembangkan
madzhabnya di sana, dan bersaingan dengan madzhab Imam Malik.
Sedangkan penduduk di Andulusia pada umumnya mengikuti mazhab
Imam Al-Auza’iy, yang mazhab ini dibawa dan dikembangkan disana oleh
Sha’sha’ah bin Salam. Tetapi setelah madzhab Imam Malik masuk dan
berkembang-biak disana, yang permulaannya dibawa dan disiarkan oleh
Ziyad bin Abdurrahman Al Qurthuby, yang terkenal dengan Syabthun,
maka terdesaklah mazhab Imam Al Auza’iy, dan umumnya para penduduk
disana mengikut madzhab Imam Malik. Peristiwa itu terjadi di zaman
pemerintahan di Andalusia di tangan Hisyam bin Abdurrahman, pada
tahun 171-180 H. Di Timur pun madzhab Imam Malik mendapat
sambutan baik dari segenap penduduknya, misalnya di Baghdad, tetapi
kemudian terdesak oleh madzhab Imam Hanafi.
Dan di Bashrah pun dapat berkembang dan tersiar sampai pada
abad V Hijriyah. Pula untuk sementara waktu madzhab dapat berkembang
dan tersiar di Palestina,Yaman, Kuwait, dan Bahrain. Kemudian tersebar
ke Afrikadalusia, Siqliyah dan daerah Magribi hingga ke negara-negara
33
muslim lainnya sampai sekarang, dan pada masa sekarang ini mazhab
Maliki sepanjang riwayat masih tersiar dan diikut oleh sebagian besar
kaum Muslimin Di Maroko, Algers, Tunisia, Tripoli, dan Mesir. Dan
masih juga tersiar di Irak, Palestina, Hijaz dan lain-lainnya disekitar
Jazirah Arabia tetapi tidak begitu banyak orang yang mengikutinya.11
4. Karya-Karya Imam Malik
Diantara karya-karya Imam Malik adalah kitab al-Muwatta’.
Sedangkan arti dari kitab Muwatta’ sendiri ialah suatu kitab yang berisi
hadits-hadits dari Nabi SAW, yang di himpun dan disusun oleh Imam
Malik.
Hadits-hadits yang dihimpun dalam kitab itu sebagian besar telah
diakui shahih dan kebagusannya oleh para ulama Islam yang ahli di
segenap penjuru sejak dahulu hingga sekarang. Kitab tersebut ditulis
tahun 144H atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Abhary, atsar Rasulullah
Saw, sahabat dan tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwatta’
sejumlah 1.720 buah.12
Kitab yang merupakan sumber pokok ilmu bagi para pengikut
Imam Malik dewasa ini adalah Kitab al-Mudawwanatul Kubra sebuah
kitab himpunan yang disusun oleh Asad bin al-Furat yang kemudian
ditulis oleh Sahnun dengan susunan yang baru.13
11 H. Moenawar Chalil, loc. cit., hlm. 145-148 12 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit., hlm. 117 13 Sohbi Mahi Hasssani, ,op.cit., hlm. 50
34
Mazhab ini lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz, kemudian dianut
oleh ulama-ulama dan penduduk Magribi dan Andalus. Perkembangannya
di daerah ini menurut Ibnu Khaldun disebabkan karena perlawatan-
perlawatan yang dilakukan para ulama fiqih mengikuti madzhab yang
tujuan akhir dari perlawatan itu adalah negara Hijaz, sedang Madinah
ketika itu merupakan kota ilmu, tidak ada diantara mereka yang
mengadakan perlawatan melalui Irak pusat dari Mazhab Hanafi. Oleh
sebab itu mereka sudah merasa sudah cukup dengan apa yang mereka
pelajari dari ulama-ulama Madinah saja.
Adapun isinya meliputi: hadits-hadits Nabi Saw, asas-asas dari
para sahabat dan tabi’in yang berjumlah sekitar seribu tujuh ratus dua
puluh hadits, dari sekian banyak menurut penelitian ulama dapat di rinci
sebagai berikut:
a. Yang termasuk hadits Musnad sebanyak enam ratus buah,
b. Yang termasuk hadits Mursal sebanyak dua ratus dua puluh dua buah.
c. Yang termasuk hadits Mauquf sebanyak enam ratus tiga puluh satu
buah.
d. Yang termasuk perkataan tabi’in sebanyak dua ratus delapan puluh
lima buah.14
Dan hingga sekarang mazhab ini masih tetap menjadi mazhab yang
umum bagi penduduk Magribi, al-Jazairi, Tunisia, Tarablis Barat.
Demikian juga di daerah dataran tinggi di Mesir, Sudan, Bahrain, dan
14 H. Moenawar Chalil, loc. cit., hlm. 126
35
Kuwait. Selain di negeri-negeri tersebut masih banyak juga pengikut-
pengikutnya dan di negeri-negeri Islam lainnya. Seluruh kira-kira
mendekati empat/lima juta pengikut.15
5. Akhir Riwayat Hidup Imam Malik
Setelah kurang lebih selama enam puluh tahun Imam Malik
menjabat sebagai mufti besar di Madinah dan menjabat sebagai guru besar
di kota itu adalah urusan agama dengan mengorbankan segenap tenaga dan
menguras pikirannya, Imam Malik lalu dipanggil oleh Allah Swt.
Imam Malik wafat dalam usia 87 tahun, yaitu di kota Madinah
pada hari ahad tanggal 10 bulan Rabi’ul awal tahun 179 H dan beliau di
makamkan Bagi’(tempat kubur di kala itu yang terkenal hingga sekarang)
di luar kota Madinah, semoga Allah Swt meridoinya.16
Adapun sepanjang riwayat: di kala beliau merasa hampir wafat,
lalu beliau berpesan supaya dikafani dengan sebagian kain putih yang
biasa dipakainya, dan disembahyangkan jenazah. Kemudian jenazah beliau
dimakamkan di Baqi di luar kota Madinah, ialah sebuah tempat kubur di
kala itu yang terkenal hingga sekarang. Tidak sedikit jumlah orang yang
memakamkan jenazah beliau.
Beliau wafat, selain meninggalkan kitab karangannya yang
terkenal “Al-Muwatha”, yang hingga kini masih tetap menjadi sebuah
kitab yang bermutu tinggi di dalam lingkungan masyarakat umat Islam,
15 Sohbi Mahi Hassani, op. cit., hlm. 50 16 H. Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 133
36
beliau juga meninggalkan beberapa ratus patah kata yang mengandung
tuntunan luhur bagi umat Islam.
Disamping itu beliau meninggalkan beberapa orang anak buah
pimpinan beliau, yang akhirnya menjadi ulama dan zu’ama muslimin yang
terkemuka di dunia Islam pada masa yang akan datang.
Dan berita kewafatan beliau di kala itu telah tersiar di seluruh
dunia Islam, terutama di kota Iraq (Pusat Pemerintahan Islam dimasa itu),
goncanglah umat islam di mana-mana di kala itu, terutama umat Islam di
Iraq, dan pada umumnya merasa bersedih.
Beliau wafat meninggalkan tiga orang putera dan seorang puteri,
yang nama-namanya ialah: Yahya, Muhammad, Hamdah, dan Ummu
Abiha, dan harta yang ditinggalkan ialah uang emas sebanyak lebih dari
3.300 dinar.
B. Metode Istimbath Hukum Imam Malik
Imam Malik adalah seorang mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana
halnya Imam Abu Hanifah.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai
ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Sebagai
bukti atas hal ini, adalah ucapan al-Dahlawy, “Malik adalah orang paling ahli
dalam bidang hadits di Madinah, yang paling mengetahui keputusan Umar,
yang paling mengetahui tentang pendapat-pendapat Abdullah Ibnu Umar,
Aisyah r.a dan sahabat-sahabat lainnya. Atas dasar itulah dia memberi fatwa.
37
Apabila diajukan kepadanya suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi
fatwa”.17
Setelah mencapai tingkat tinggi dalam bidang ilmu, beliau mulai
mengajar dan menulis kitab Muwatta’ yang sangat populer, karena beliau
merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang
lain yang membutuhkannya.18 Banyak dari Muhaddisin besar yang
mempelajari hadits dari beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqih.
Imam Malik adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam
pendiriannya dalam mengemukakan pendapatnya tidak takut pada siapapun.
Dalam menyiarkan madzhabnya tidak ada janji dan ancaman yang dapat
mempengaruhinya. Ia tetap bersih keras dan tahan uji ketika diancam dengan
siksaan. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi mihnah pada Abbasiyah, dimana
sebagian meriwayatkan sebab mihnah tersebut adalah Imam Malik yang tetap
mengatakan hadits Nabi: “tak ada talak bagi orang yang dipaksakan”,
sedangkan al-Mansur tidak menghendaki hadits itu.19
Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai
alim besar dalam ilmu hadist. Hal ini terlihat dari pernyataan para ulama,
diantaranya Imam Syafi’i yang mengatakan, “Apabila datang kepadamu hadist
dari Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah
bagimu.20
17 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo,op. cit., hlm. 104 18 Ibid., hlm. 105 19 Ibid, hlm. 563 20 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. Cit., hlm. 105
38
Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat
berhati-hati, sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata, “saya
tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadist, sehingga 70
ulama membenarkan dan mengakuinya”.21
Adapun metode istimbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam
menetapkan hukum itu didasarkan pada sepuluh dasar, yaitu sebagai berikut:22
1. Al-Qur'an
Dalam memegang al-Quran ini meliputi pengambilan hukum
berdasarkan atas dhahir nash al-Quran atau keumumannya, meliputi
mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-aula dengan memperhatikan
‘illatnya.
2. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam
Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-
Quran. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang
dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.
Dan apabila terdapat pertentangan antara ma’na dhahir Al-Quran
dengan makna yang terkandung dalam Sunnah sekalipun jelas maka yang
dipegang adalah makna dhahir al-Quran. Tetapi apabila makna yang di
kandung oleh Al-Sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahli al-Madinah,
maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah
21Ibid 22 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 106
39
daripada dhahir al-Quran (Sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah Al-
Muthawatirah atau Al-Masyhurah)
3. Ijma’ Ahli-Madinah
Ijma ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl Al-
Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw,
bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’,
dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW, atau
tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang
tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-
Madinah tersebut adalah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan
kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan
merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah
merupakan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah
merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedangkan khabar ahad hanya
merupakan pemberitaan perorangan.
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu:
a. Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya al-Naql.
b. Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Ustman bin Affan.
40
c. Amalan ahl al-Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas
dua dalil yang saling bertentangan.
d. Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan
amalan Nabi SAW
4. Fatwa Sahabat.
Yang dimaksud dengan sahabat disini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql.
Ini berarti yang dimaksud dengan fatwa sahabat adalah berwujud hadits-
hadits yang wajib diamalkan.
Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan
memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw.
Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut, tidak boleh
bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Imam Malik
juga menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam
menentukan hukum.
5. Khabar Ahad dan Qiyas.
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang
datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil
istimbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain
yang qath’i.
41
Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu
konsisten. Kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau
khabar ahad itu dikenal atau tidak popular di kalangan masyarakat
Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad
tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka
khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia
menggunakan qiyas dan mashlahah.
6. Al-Istihsan.
Imam Malik mengartikan istihsan yaitu menurut hukum dengan
mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-Istidlal al-Mursal
dari pada qiyas, sebab menggunakan Istihsan itu bukan berarti hanya
mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan
mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara
keseluruhan.
Ibnu Al-‘Araby salah seorang diantara ulama Malikiyah memberi
komentar, bahwa istihsan menurut madzhab Malik, bukan berarti
meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu
semata, melainkan berpindah dari satu dalil yang ditinggalkan tersebut.
Dalil yang kedua itu dapat berwujud ijma’ atau ‘urf atau mashlahah
mursalah, atau kaidah :Raf’u al-Haraj wa al-Mashaqah (menghindarkan
kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syari’at akan kebenarannya).
42
Sedangkan Imam Syafi’i hanya menolak istihsan yang tidak punya
sandaran sama sekali, selain keinginan mujtahid yang bersangkutan. Hal
ini dapat dipahami dari ucapan beliau, bahwa barang siapa yang
membolehkan menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa berdasarkan
khabar yang sudah lazim atau qiyas, maka hukum atau fatwanya tidak
dapat dijadikan hujjah.
Dari kata-kata Imam Syafi’i, jelas bahwa hukum atau fatwa yang
tidak didasarkan pada khabar lazim atau qiyas terhadap khabar lazim
tersebut, maka hukum atau fatwanya tidak dapat dijadikan dasar hukum.
7. Al-Maslahah al-Mursalah.
Al-Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh
nash, dengan demikian al-Maslahah al-Mursalah itu kembali kepada
memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat
diketahui melalui al-Quran atau Sunnah, atau ijma’. Pendapat ini termasuk
pendapat Imam al-Ghazali.
Para ulama yang berpegang kepada mashlahah mursalah sebagai
dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
a. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah menurut
penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas
saja.
b. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat
umum, bukan sekedar mashlahah yang hanya berlaku untuk orang-
43
orang tertentu. Artinya mashlahhah tersebut harus merupakan
mashlahah bagi kebanyakan orang.
c. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat
umum dan tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
Imam Syafi’i dan pengikutnya, antara lain Imam al-Ghazali
menolak adanya maslahah mursalah sebagai dasar hukum. Menurutnya
menggunakan mashlahah mursalah sebagai dasar hukum, berarti
menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan akal atau perasaan.
8. Sadd al-Zara’i.
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’I sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan yang menuju kepada yang
haram, maka hukumnya haram. Dan semua jalan yang menuju kepada
yang halal, maka halal pula hukumnya.
9. Istishab.
Imam Malik menjadikan Istishab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Adapun Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan
hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas
ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan
atas hilangnya sesuatu yang diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap
seperti hukumnya pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya,
misalnya: seorang yang telah yakin sudah berwudlu dan dikuatkan lagi,
bahwa ia baru saja menyelesaikan shalat subuh, kemudian datang
44
keraguan pada orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudlunya,
maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa belum batal
wudlunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudlu dan
dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan suatu shalat apapun, bahwa ia
baru hendak mengerjakan shalat, datang keraguan tentang sudah berwudlu
atau belum? Maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia
belum berwudlu. Inilah yang disebut istishab.
10. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.
Menurut Qadhy abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik
menggunakan aqidah Syar’u Man Qablana Syar’un Lana, sebagai dasar
hukum.
Tentang pendapatnya tentang masalah rujuk yang jatuh akibat sumpah
ila’ rupanya Imam Malik berpegang pada:
a. Amal Ahli Madinah, dasar ini digunakan beliau terhadap adanya
pengambilan sikap yang harus dilakukan oleh suami ketika habis masa
empat bulan apakah ia akan mentalak istrinya.
b. Qiyas, sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Malik menjadikan
qiyas ini sebagai dasar istimbath hukum yang didasarkan pada analogi
yakni menyamakan sesuatu hukum terhadap masalah yang tak ada nashnya
dengan masalah yang ada nashnya dengan adanya kesamaan ‘illat hukum.
Dalam masalah ini beliau mengemukakan bahwa setiap rujuk dari talak
tak lain dimaksudkan untuk menghilangkan dasar oleh karena itu keabsahan
suatu rujuk didasarkan pada penghilangan darar. Sebagaimana talak yang
45
dijatuhkan akibat kesulitan suami dalam memberikan nafkah kepada istrinya
yang kemudian hendak rujuk maka keabsahan rujuknya didasarkan pada
keadaan suami yang telah berubah baik dan keadaan tak mampu menjadi
suami yang layak mampu memberi nafkah istri.23
C. Pendapat Imam Malik Tentang Watha’ Sebagai Syarat Sahnya Rujuk
Bagi Talak Yang Jatuh Akibat Sumpah Ila’.
Talak yang merupakan penyebab terjadinya rujuk beragam bentuk
yang mengakibatkan bermacam-macam pula hukumnya. Dalam hal ini penulis
akan menyoroti salah satu dari rujuk tersebut yang ada kaitannya dengan
skripsi ini yakni sumpah ila’.
Adapun pada persoalan sumpah ila’, sebelum talak dijatuhkan baik
oleh suami langsung maupun oleh perintah hakim, terlebih dahulu dimintakan
sikap oleh suami apabila benar-benar telah melewati masa empat bulan setelah
ikrar sumpah dilakukan, sebagaimana yang telah diceritakan oleh al-Bukhari:
حدثنى مالك عن نافع عن ابن عمر اذا مضت اربعة اشهر يوفق حتى يطلق وال يقع عليها الطال ق حتى يطلق ويذآر ذلك عن
رواه ( عثمان وعلى والى الدرداء وعائشة وانثى عشر رجال 24)البخاري
Artinya: “Telah diceritakan dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar jika lewat empat bulan maka diambilkan sikap sehingga suami mentalak dan tidak terjadi talak kecuali setelah suami mentalak, hal yang demikian ini disebut pula oleh Usman, Ali, Abi Darda,Aisyah dan dua belas sahabat Nabi Saw”. (HR. al-Bukhari)
23 Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan: A. Hanafi.
MA, Semarang, Asy-Syifa’, 1990, hlm. 565 24 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Juz V, Indonesia, Dar:
Ahya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, t.th., hlm. 174
46
Dan jika ternyata dalam pengembalian sikap ini suami memilih untuk
kembali kepada istrinya maka ia wajib membayar kafarat atau sumpah dengan
menyebut nama Allah Swt.25 Adapun jika ia tidak mau memilih baik kembali
maupun mentalak istrinya maka hakimlah yang mentalaknya.26
Adapun jenis talak yang diakibatkan sumpah ila’ ini adalah raj’i
sehingga memungkinkan suami untuk melakukan rujuk. Imam Malik
menceritakan sebagai berikut:
, ان سعيد بن المسيب وابا بكر بن عبد الرحمن:عن ابن شهابانها اذا مضت االربعة : آانا يقوالن فى الرجل يولى من امراته
27 ولزوجها عليها الرجعة ماآانت فى العدة, فهى تطليقةاشهر
Artinya: “Dari Malik dari Ibnu Syihab sesungguhnya Sa’id bin Musyyad dan Abu Bakar bin Abdul Rahmad pernah mengatakan tentang seseorang laki-laki yang telah berila’ terhadap istrinya, maka apabila telah lewat masa empat bulan sejak di ikrarkan maka sang istri berstatus telah dicerai. Dan bagi suami berhak merujuknya sepanjang sang istri masih ada dalam masa iddah”.
Dan dalam masa iddah tersebut apabila suami berkehendak
memperbaiki kembali hubungan suami istri yakni dengan rujuk maka dalam
hal ini dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Kebanyakan para
ulama memperbolehkan dengan syarat yang lazim pada rujuk, akan tetapi
Imam Malik mengatakan bahwa tidak akan sah rujuk oleh suami yang telah
mentalak istrinya akibat sumpah ila’ tanpa dengan watha’. Lebih lanjut beliau
mengatakan:
25 Al-sya’roni, al-Mizan al-Kubra, Juz I, Dar: al-Fikr, Cet. Ke-2, 1978, hlm. 124 26 Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Mina al-Qur’an, Juz I,
Bairut: Dar: al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 221 27 Imam Malik R.A, Terjemahan al-Muwatta’, Jilid II, Tarjamah: KH. Adib
Bisri Musthofa dkk, Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1989, hlm. 62
47
فيطلق عند انقضاء , فيوفق, قال مالك فى الرجل يولى من امراتهانه لم يصبها حتى تنقضى عد : ثم يراجع امراته. االربعة اشهر
, ه عذراال ان يكون ل. وال رجعة له عليها. فال سبيل له اليها, تها ارتجا عه فان. اوما اشبه ذلك من العذر, او سجن, من مرض 28 عليها اياها ثابت
Artinya: “Imam Malik berkata tentang seorang yang telah berila’ terhadap istrinya yang kemudian diambilkan sikap dan suami mentalaknya ketika habis masa empat bulan. Dan jika suami bermaksud kembali maka harus menjimak terlebih dahulu dalam masa iddah. Dan jika tidak maka rujuknya tidak sah karena jimak merupakan keabsahannya kecuali suami dalam keadaan uzur seperti: sakit, dalam penjara dan yang sejenisnya dan apabila ada uzur-uzur seperti itu, maka rujuknya dianggap sah.
Demikian pendapat Imam Malik tentang wathsa’ atau jimak yang
dijadikan syarat rujuk yang dilakukan setelah terjadi talak akibat adanya
sumpah ila’.
28 Imam Malik bin Anas, al-Muwatta’, Bairut, Dar: Ahya al-‘Ulum, t.th., hlm.
418
48