bab iii konsep reward dan...
TRANSCRIPT
66
BAB III
KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT
MENURUT IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN
A. BIOGRAFI IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN
1. Ibn Miskawaih
a. Riwayat Hidup
Ibn Miskawaih, seorang ahli pikir Islam, filosuf, dan sejarawan
terkemuka, terlahir dengan nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Miskawaih di Ray yang puing-puingnya terletak di
dekat Teheran sekarang pada tahun 940 M./330 H.,1 kemudian terkenal
dengan nama Ibn Miskawaih. Nama Miskawaih sendiri menurut
penulis terdahulu mengacu kepada bapaknya, sebagian lagi
mengatakan diambil dari nama kakeknya. Bapaknya seorang majusi
kemudian memeluk Islam, ini tercermin dari namanya sendiri bernama
Muhammad.2
Ibn Miskawaih Hidup pada kemunduran masa Dinasti
Abbasiyah di bawah pemerintahan Bani Buwaihi di Irak dan Persia.
Riwayat pendidikannya terekam di Bagdad dan ia wafat di Isfahan
pada tahun 1030 M./421 H. Setelah mempelajari hampir semua cabang
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa hidupnya, Ibn
Miskawaih lebih memusatkan perhatian besar pada filsafat etika dan
sejarah, sehingga menjadi ahli terkemuka dalam dua bidang ilmu ini.
1 Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa Ibn Miskawaih di lahirkan sekitar tahun 932
M./320 H. C. E. Bosworth, et. al., The Encyclopaedia of Islam, Vol. III, (Leiden-New York: E. J. Brill, 1993), hlm. 143. Lihat juga Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, dalam Constantine K. Zurayk, (Beirut: The American University of Beirut, 1968), hlm. ii.
2 M. M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 83. lihat juga C. E. Bosworth, et. al., loc. cit.
67
Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-
Qadi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibn Khammar.3
Masa hidupnya banyak mengabdikan diri sebagai pustakawan
untuk para wazir Bani Buwaihi. Terhitung pertama mengabdi kepada
al-Muhallabi, wazir pangeran Buwaihi yang bernama Mu’izz al-
Dawlah (348-352 H.), selanjutnya wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-
Amid (352-360 H.), wazir saudara Mu’izz al-Dawlah yang bernama
Rukn al-Dawlah yang berkedudukan di Ray. Ibn Amid sendiri adalah
seorang yang amat pandai dan tokoh satra terkemuka. Selama tujuh
tahun mengabdi sebagai pustakawan Ibn al-Amid, Ibn Miskawaih
banyak memperoleh ilmu dan hal positif berkat bergaul dengannya,
serta mendapatkan kedudukan berpengaruh di ibukota propinsi
kekuasaan Buwaihi itu. Sepeninggalan Ibn al-Amid, Ibn miskawaih
tetap mengabdi kepada puteranya yang bernama Abu al-Fath (360-366
H.) sebagai wazir yang kedua dari Rukn al-Dawlah yang juga terkenal
cakap dalam bidang sastra. Ibn Miskawaih tetap menduduki posisi ini
sampai Abu al-Fath dipenjarakan dan wafat pada tahun 266 H./976 M.
lalu digantikan oleh musuh sengitnya, wazir terkemuka dan ahli sastra
bernama al-Shahib Ibn ‘Abbad. Kemudian Ibn Miskawaih
meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana
pangeran Buwaihi ‘Adhud al-Dawlah (367-372 H.) sebagai
bendaharawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.4
Loyalitas dan dedikasinya terhadap Bani Buwaihi berlanjut,
sepeninggalan ‘Adhud al-Dawlah, Ibn Miskawaih tetap mengabdi
kepada penggantinya, Shamsham al-Dawlah (sekitar 388 H./998 M.)
dan Baha’ al-Dawlah (sekitar 403 H./1012 M.). Karena pengabdiannya
sebagai pustakawan, Ibn Miskawaih mendapatkan gelar al-Khazin.
3 Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.
622. Lihat juga Taufik Abdullah (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 195.
4 Harun Nasution, et.al., loc. cit. Lihat juga Ibn Miskawaih, loc. cit.
68
Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, lebih banyak dihabiskan untuk
studi dan menulis.5
Menurut Yaqut, sepanjang hayat Ibn Miskawaih amat setia
dengan pendapat yang ditulisnya tentang akhlak, antara teori yang
ditulisnya dan perbuatannya sehari-hari selalu sejalan. Tetapi at-
Tauhidi menyayangkan tentang kekikirannya dan kemunafikannya. Ibn
Miskawaih belajar kimia karena mengharapkan harta, suka menjilat
kepada guru-gurunya dan para pemimpin yang dihidmatinya.6
Namun ada dua argumen yang dapat mengkanter pendapat Abu
hayyan al-Tawhidi mengenai dua sifat yang dikemukakan, Ibn
Miskawaih pada dasarnya merupakan seorang ahli sejarah, penyair,
dan moralis pada tahun-tahun terakhir berupaya mengikuti lima belas
pokok petunjuk moral. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu,
ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam
mengatur dorongan-dorongan yang tidak rasional merupakan pokok-
pokok petunjuk ini. Ibn Miskawaih sendiri berbicara tentang
perubahan moral dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq, yang menunjukkan
bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang
etika.7
b. Latar Belakang Pemikiran
Ibn Miskawaih hidup pada masa puing-puing Dinasti
Abbasiyah di bawah kepemimpinan Bani Buwaihi. Semenjak
berdirinya sampai masa kemunduran terjadi kemajuan di berbagai
bidang, termasuk ilmu pengetahuan. Saat itu budaya Yunani menjadi
pijakan dan bahan yang menarik untuk dikaji oleh para ilmuan muslim.
Sehingga berimbas kepada pemikiran, termasuk pemikiran Ibn
Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para filosuf Yunani dan muslim
5 Ibid. 6 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, Cet. 1, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hlm. 54. 7 M. M. Syarif (ed), op. cit., hlm. 85.
69
yang terpengaruh oleh para filusuf Yunani sendiri. Ibn Miskawaih
banyak menulis sejumlah topik yang luas sebagaimana dilakukan oleh
para penulis sezamannya. Klaim yang perlu diperhatikan terletak pada
sistem etikanya yang tersusun dengan baik.8
Hal ini terlihat dalam karya monumentalnya, Tahzib al-Akhlaq
banyak merujuk karya-karya para filusuf Yunani, seperti Aristoteles,
Zeno, Galen, dan filosuf-filosuf lain yang menulis tentang etika.9
Literatur etika ini bercorak filosofis dan praktis yang
bersumberkan konsep dan metode pembahasannya dari karya-karya
Yunani yang dikenal oleh para pakar muslim. Yang pertama
diantaranya adalah karya-karya Plato dan Aristoteles, selanjutnya
perujukan atau peminjaman istilah dari Bryson, Galen, Porphyry,
Themistius, kaum naturalis, Stoic, atau secara umum para komentator
karya-karya Aristoteles dan para penganutnya.10
Tahdzib al-Akhlaq merupakan uraian suatu aliran akhlak yang
materi-materinya ada yang berasal dari konsep-konsep akhlak Plato
dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta
diperkaya dengan pengalaman hidup dan situasi zamannya. Kitab ini
ditujukan untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan
menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai
akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan
perbuatan yang bermanpaat agar mereka tidak tersesat dan umur
mereka tidak disia-siakan. Olah karena itu, aliran akhlak Ibn
Miskawaih merupakan paduan kajian filsafat teoritis dan tuntunan
praktis, terutama segi pendidikan dan pengajaran amat menonjol.11
Secara spesifik, dari bab pertama sampai bab kelima dalam
karyanya ini, pemikiran Ibn Miskawaih diwarnai oleh pendapat para
8 Sayyed Hussein Nasr (eds.), History of Islamic Philosophy, (London and New York,
Routledge, 1996), hlm. 196. 9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan,
1994) hlm. 25-26. 10 Ibid., hlm. 21. 11 Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, op. cit., hlm. iii.
70
pendahulunya dari para filosuf Yunani dan muslim. Seperti Plato,
Aristoteles, Galen, Kaum Stoa, al-Kindi, al-Farabi dan lainnya.
Sedangkan dua bab terakhir, secara lebih banya dipengaruhi oleh Abu
Bakr Zakaria al-Razi tatkala membicarakan dawa’ al-ruhani
(pengobatan jiwa). Sedangkan Al-Razi lebih senang menggunakan
istilah al-tibb al-ruhani yang dijadikan sebuah buku, akan tetapi Ibn
Miskawaih tidak menyebutkan namanya. Dikarenakan ada perbedaan
mencolok di antara keduanya, al-Razi dalam mengambil kesimpulan-
kesimpulan dan metode penyebuhan sangat berani, rasional, dan
filosofis. Walaupun tanpa mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau hadits
Nabi, akan tetapi keyakinannya kuat bahwa pemikiran filsafat tidak
akan bertentangan dengan agama. Sementara Ibn Miskawaih,
walaupun terpengaruh oleh pemikiran para filosuf Yunani dan muslim,
akan tetapi dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya serimg
mengutip ayat-ayat al-Qur’an, hadits, ucapan Imam Ali, dan Hasan
Basri serta puisi-puisi Arab.12
Buku Ibn Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah
risalah umum yang mempunyai konsep mirip dengan bagian pertama
al-Farabi Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Buku ini terbagi atas tiga
bagian, pertama berkaitan dengan pembuktian akan adanya Tuhan,
kedua tentang ruh dan raganya, dan ketiga tantang kenabian. Mengenai
filsafat-filsafatnya, Ibn Miskawaih banyak berhutang kepada al-Farabi
terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, dan
Plotinus.13
Kembali dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, Ibn Miskawaih
menolak sebagian pemikiran Yunani yang menyatakan bahwa akhlak
tidak dapat berubah, karena ia berasal dari watak dan pembawaan.
Baginya akhlak dapat selalu berubah dengan kebiasaan dan latihan
12 Ibid., hlm. iii-iv. Lihat juga M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 87 dan Harun Nasution,
Loc. cit. Bisa dijadikan pembenaran bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang religius sejati. 13 M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 86.
71
serta pelajaran yang baik,14 sebab kebanyakan anak-anak yang hidup
dan dididik dengan suatu cara tertentu dalam masyarakat ternyata
mereka berbeda mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlak yang
luhur. Karena itu, manusia dapat diperbaiki akhlaknya dengan
mengosongkan diri dari segala sifat tercela dan menghiasinya dengan
sifat-sifat terpuji dan luhur. Ini juga merupakan tujuan pokok agama,
maka ketika akhlak manusia tidak bisa diubah apalah artinya Tuhan
menurunkan agama hanya sia-sia belaka. Dapat juga dipahami, agama
dan filsafat akhlak memiliki kaitan erat. Keduanya berfungsi
memperbaiki tingkah laku manusia sebagai mahluk sosial untuk
mencapai kebahagiaan.
c. Karya-karya
Ibn Miskawaih termasuk penulis produktif, dapat dilihat dari
karya-karyanya cukup banyak untuk ukuran saat itu. Menurut para
penulis masa lalu, karyanya sebanyak 18 judul yang kebanyakan
berbicara tentang jiwa dan etika.15
M. M. Syarif berhasil mengumpulkan karya-karya Ibn
Miskawaih yang dikutip dari Yaqut dan al-Qifti, meliputi:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Targhib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir yang ditulis pada
tahun 369 H./979 M.)
4. Uns al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata
mutiara)
5. Targhib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6. Al-Musthafa (syair-syair pilihan)
7. Jawidan Kirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. Al-Jami’
9. Al-Siyar (tentang aturan hidup)
14 Yunasril Ali, op. cit., hlm. 55. 15 Taufik Abdullah (eds.), op. cit., hlm. 197.
72
10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11. Tentang komposisi bajat (mengenai komposisi memasak)
12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman)
13. Tahdzib al-Akhlak (mengenai akhlak)
14. Risalah fi al-Lazazat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Naskah di
Istambul, Ragib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)
15. Ajwiban wa As’ilah fi al-Nafs wa al-Aql (dalam Majmu’ah di atas,
dalam Raghib di Istambul)
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (Naskah di Teheran, Fihrist
maktabah al-Majlis, II, no. 634 (31))
17. Risalah fi al-Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-
Shufi fi Haqiqah al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I, no. 43
(137))
18. Thaharah al-Nafs (naskah di Koprulu, Istambul, no. 767)16
2. Abdullah Nashih Ulwan
a. Sketsa Biografi dan Pemikiran
Abdullah Nashih Ulwan seorang ulama dan tokoh pendidikan
kontemporer, beliau dilahirkan di kota Halab, Syuriah, pada tahun
1928 M. karir pendidikannya kebanyakan ditempuh di kotanya sendiri.
Tercatat dari mulai tingkat dasar sampai sekolah atas jurusan Syariah
diselesaikannya pada tahun 1949 M. selanjutnya menyelesaikan kuliah
di fakultas Ushuluddin universitas al-Azhar Mesir pada tahun 1952 M,
serta menerima ijazah spesialisasi pendidikan setara dengan Master of
Arts (MA) pada tahun 1954 M.17
Ulwan hidup pada masa terjadinya propaganda modernisasi
pemikiran Islam, manakala terjadi dialog antara Barat dan Islam. Hal
ini terekam jelas dari jejak-jejak yang ditinggalkannya melalui
16 M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 84-85. Dari urutan karya di atas no. 1-9 disebutkan
oleh Yaqut, demikian pula al-Qifti dari no. 1-4 ditambah dari no. 10-13. 17 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Salam,
1983), hlm. 1119.
73
munculnya tokoh-tokoh modern seperti Muhammmad Abduh, Rasyid
Ridha, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain.
Akan tetapi, Ulwan bukanlah orang yang mudah terpengaruh
oleh hal-hal yang baru. Ulwan melihat buah pemikiran dalam Islam
adalah untuk umat Islam sendiri, maka dalam Islam sendiri terdapat
pokok-pokok pengetahuan yang orsinil perlu digali dan dikemukan
oleh umat Islam sendiri.
Seakan Ulwan tidak mengikuti jejak pendahulunya dalam
modernisasi, pengakuan al-Albani, Ulwan adalah seorang penulis
pendidikan anak yang ditinjau dari sudut pandang secara panjang
lebar, luas, dan jujur. Memperbanyak bukti-bukti Islam yang terdapat
dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan peninggalan intelektual pendahulu
yang saleh untuk menetapkan hukum, wasiat dan adab. Beliau juga
merupakan penulis mandiri di dalam pembahasan-pembahasan
pendidikan yang terpenting ini dengan referensi pada tulisan-tulisan
kaum muslimin secara murni, tanpa mengambil referensi kepada
pendapat-pendapat pemikir dari Barat kecuali dalam keadaan yang
sangat terpaksa untuk maksud tertentu. Karena beliau menulis untuk
kepentingan kaum muslim dan untuk mengarahkan mereka, sehingga
beliau membatasi metodenya kepada Islam, dan lagi pula karena beliau
memiliki budaya dan kultur yang berlandaskan Islam serta berbagai
pengalaman kaum muslimin terdahulu dan dewasa ini. Maka
membuatnya tidak memerlukan pendapat orang lain.18
Sejatinya, Ulwan adalah pemikir Islam orisinal, gambaran ini
diilustrasikan dalam karya besarnya, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam.
Seringkali Ulwan mengutip al-Qur’an dan Hadits dalam mendukung
pemikiran-pemikirannya. Dalam memandang media audio-visual
18 Wahbi Sulaiman al-Ghawajj al-Albani, “Sebuah Pengantar”, dalam Abdullah Nashih
Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. xxx-xxxi. Lihat juga Raharjo, “Dr. Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 53-54.
74
(terutama televisi), yang banyak disoroti adalah efek negatifnya yang
merupakan ciri khas kaum saleh muslim (terutama kaum asketis)
terdahulu.
Dalam hal ini ada kemiripan dengan Ibn Miskawaih, akan
tetapi ada pemisah yang mencolok antara keduanya. Ibn Miskawaih
merupakan tokoh Islam yang akrab dengan pemikir-pemikir Yunani
yang dipropagandakan sebagai akar pemikiran Barat, sedangkan
Ulwan adalah pemikir Islam orisinal.
b. Karya-karya
Sama dengan Ibn Miskawaih, Ulwan juga seorang penulis
produktif, banyak sekali karya-karya terkenal yang telah ditulisnya.
Secara garis besar karya-karyanya dapat dibagi dalam empat kelompok
besar, yaitu:19
1. Bidang pendidikan dan pengajaran
Ila Waratsati al-Anbiya’i
Hatta Ya’lama al-Syabab
Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam
Hukum al-Islam fi al-Tilfiziyyun
2. Bidang fiqh dan muammalah
Fadhail al-Shiyam wa Ahkamuh
Ahkam al-Zakat
Adab al-Khithabah wa al-Zifaf wa Huquq al-Zaujain
Aqabat al-Zawaj wa al-Thuruq Mu’alajatiha ‘ala Dawai al-
Islam
Nihzam al-Rizq fi al-Islam
Hukm al-Islam fi Wasail al-‘Ilam
Al-Islam Syariah al-Zaman wa al-Makan
3. Bidang akidah
Syubuhat wa Rudud Haula al-Aqidah wa Ashl al-Irtsan
19 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 543. Lihat juga Raharjo, op. cit., hlm. 54.
75
Huriyah al-‘Itiqad fi al-Syari’ah
4. Bidang umum
Al-Takaful al-Ijtima’i fi al-Islam
Shalahuddin al-Ayyubi
Ahkam al-Ta’min
Takwin al-Syahsyiyah al-Insaniyah fi Nazhair al-Islam
Al-Qaumiyah fi Mizan al-Islam
B. KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT MENURUT IBN
MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN
1. Ibn Miskawaih
Secara definitif, akhlak menurut Ibn Miskawaih adalah hal,
keadaan jiwa yang mendorong terhadap perbuatan tanpa proses berpikir
dan pertimbangan. Keadaan tersebut dapat dibagi dua, yang berasal dari
naluri, tabiat pembawaan, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan
pada awalnya terjadi karena pertimbangan dan pikiran, lalu melalui praktik
yang terus menerus menjadi malakah, karakter.20
Berangkat dari pemetaan ini, maka akhlak dapat diubah,
dikembangkan melalui sebuah usaha yang tidak lain adalah pendidikan.
Terma pendidikan yang diilustrasikan oleh al-Qur’an seperti tarbiyah,
ta’lim, ta’dib, dan tahdzib, walaupun keempat istilah ini memiliki
spesifikasi masing-masing, akan tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan
yaitu dalam rangka mewujudkan tatanan moral kemanusiaan.
Terma pendidikan yang diusung oleh Ibn Miskawaih berkaitan
dalam rangka perbaikan akhlak adalah tahdzib yang terlihat dalam
karyanya dengan judul besar Tahdzib al-Akhlak. Menurutnya tahdzib
tercermin dalam usaha-usaha yang berupa al-mau’izhah (nasehat), ta’dib
20 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Cet. 1, (Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, 1329
H.), hlm. 25.
76
(pendidikan), dan al-siyasiyah al-Jayyidah al-fadilah (metode-metode lain
yang baik dan mulia).21
Hans Wehr mengartikan lafal tahdzib dalam 10 macam arti. (1) expurgation, penghilangan yang jelek; (2) emendation, perbaikan; (3) corerrection atau recrectification, pembetulan; (4) revision, perbaikan; (5) trainning, pelatihan; (6) intruction, perintah; (7) education, pendidikan; (8) upbringing, penumbuhan; (9) culture, kebudayaan; dan (10) refinement, perbaikan.22
Berangkat dari arti di atas, tahdzib merupakan segala upaya
membentuk manusia untuk meningkatkan kualitas supaya moral atau
akhlaknya menjadi lebih baik. Sedangkan mau’izhah, nasehat, menurut
Ulwan memiliki efek yang besar dalam rangka membuka kesadaran akan
hakikat sesuatu, mendorong menuju harkat dan martabat yang luhur,
menghiasi dengan akhlak yang mulia, serta membekali dengan prinsip-
prinsip Islam.23
Mengenai ketiga yang disebutkan terakhir, al-siyasiyah al-
Jayyidah al-fadilah, tergambarkan dalam beberapa uraian. Menurut Ibn
Miskawaih syariat agama memiliki peran penting dalam meluruskan
akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan
yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima
kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui
berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk
mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat
dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau
perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir
(diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman). Ketika mereka telah terbiasa
dengan perilaku ini dalam kurun waktu yang relatif lama, maka mereka
akan melihat hasil dari perilaku mereka itu, dan akan mengetahui jalan
21 Ibid., hlm. 27. 22 Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Ismail SM.
(eds.), Paradigma Pendidikan Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 63. 23 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Salam,
1983), hlm. 675.
77
kebaikan dan sampailah mereka pada tujuan.24 Dengan kata lain, syariat
agama memiliki peranan penting dalam membentuk akhlak yang baik dan
mengubah akhlak yang tercela.
Ary Ginanjar Agustian menemukan repetitive magic power, sebuah
rahasia di balik kekuatan pengulangan dalam membentuk karakter
seseorang. Semisal dalam syariat Islam ada shalat, tersirat di dalamnya
unsur kedisiplinan berupa waktu pelaksanaan dan selalu diiming-imingi
pahala dan siksa. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung, apalagi jika
dibiasakan sejak kecil, maka tidak mustahil akan menjadi karakter yang
tertanam dalam diri.25
Agama dijadikan sebagai aspek sekaligus prinsip dan dasar dalam
mendidik moral anak didik. Dengan demikian Ibn Miskawaih cenderung
mengedepankan nalar sepiritualnya di samping kemampuan berpikir
filosofisnya. Terkadang agama mengalahkan kekuatan-kekuatan di luar
kemampuan akal manusia.
Sebagaiman telah diuraikan sebelumnya, Ibn Miskawaih selama
berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri kepada kalangan istana Bani
Buwaihi. Kehidupan yang dilewatinya bersama orang-orang yang
bergelimang dengan kemewahan, cinta akan emas dan harta yang kadang
bias menyilaukan pandangan mata terhadap kewajiban menjalankan
agama. Sehingga dari pengalamannya ini, usaha-usaha mendidik anak
diarahkan untuk ketaatan dalam menjalankan ajaran agama.
Selain itu, agama sangat Islam sangat memperhatikan segala gerak-
gerik kelakuan manusia. Islam memperhatikan kehidupan manusia dari
yang bersifat mikro hingga mikro. Maka ketika seseorang melaksanakan
kewajiban agama, secara tidak langsung ia telah meletakan dasar
bagaimana bertingkah laku dengan baik.
Selain itu, Ibn Miskawaih juga menganjurkan agar memberikan
tahmid, pujian langsung ketika anak didik mnunjukkan perilaku yang baik.
24 Ibid., hlm. 29. 25 Lebih lanjut lihat Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power:
Sebuah Inner Journey Melalui al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2003), hlm. 270-277.
78
Sebaliknya membuat agar dia merasa risih terhadap sesuatu tercela yang
muncul darinya.26
Tahmid (memuji) dan ikram (menghormati), diberikan ketika anak
didik menunjukkan moral dan perilaku yang baik. Adapun ketika dia
melakukan perbuatan tercela, maka pertama-tama yang dilakukan tidak
langsung mencerca (taubikh) dan tidak mengatakan terus terang padanya
bahwa dia telah melakukan perbuatan buruk. Akan tetapi, berpura-pura
tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tidak sengaja melakukan hal itu,
atau bahkan dengan mengatakan sebenarnya hal itu bukan kehendaknya.
Ini khususnya diperlukan bila anak menutup-nutupinya, atau bersikeras
menyembunyikan dari mata umum apa yang telah dilakukannya itu. Kalau
kemudian dia melakukan lagi, maka secara diam-diam mencelanya,
menunjukkan betapa fatal apa yang telah dia lakukan itu, dan
memperingatinya agar tidak mengulanginya lagi. Karena kalau dibiasakan
mencela dan membeberkan kesalahanya secara terang-terangan, maka
secara tidak langsung telah menyeretnya ke dalam keburukan. Tanpa
sengaja perbuatan itu telah mendesaknya untuk mengulangi kembali
perbuatan buruk yang telah dilakukan. Akibatnya, dia tidak mau lagi
mengindahkan nasehat dan cercaan.27 Hal ini mengisyaratkan Ibn
Miskawaih sangat memperhatikan perkembangan anak didik.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak
terkesan seolah-olah merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi
suatu perbutan yang dilarang. Hal ini disebabkan segala bentuk ancaman
atau peringatan dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap
otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia memiliki harga diri, ia akan
terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang segalanya diatur dan
dipermainkan orang.28
26 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, op. cit. hlm. 48. 27 Ibid., hlm. 49. Ibn Miskawaih juga mengutip sebuah syair yang berbunyi: “biasakanlah
aku dengan nasehatmu ketika aku sendirian, dan jauhkanlah aku dari nasehat di depan umum, karena sesungguhnya nasehat di depan umum itu bagian dari cerca yang tak sudi kuminum”.
28 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 9-10.
79
Bukan tidak mungkin anak akan melakukan kesalahan-kesalahan
lain, bisa jadi itu karena ketidaksenangan atas tindakan yang telah
dilakukan kepadanya. Karena kesalahan orang tua terlalu membiasakan
cercaan kepada anaknya.
Jika dia dipukul oleh gurunya, dia tidak boleh mengaduh atau
mengeluh, dan tidak boleh minta perlindungan orang lain, karena tindakan
seperti itu cuma pantas dilakukan para budak, hamba sahaya, serta orang-
orang lemah. hendaknya tidak sering menakut-nakuti anak kecil, tetapi
membiasakan memberikan semangat. Memberikan al-ribh (hadiah) kalau
mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta pada temannya.29
Bentuk-bentuk dari dari istilah al-siyasiyah al-Jayyidah al-fadilah
yang telah dikemukakan oleh Ibn Miskawaih, kalau diformulasikan ke
dalam pendidikan modern, kesemuanya merupakan bentuk-bentuk dari
istilah reward dan punishment. Secara tegas Ibn Miskawaih tidak
mengeluarkan istilah yang sepadan dengan konsep reward dan
punishment. Akan tetapi, uraian yang telah dikemukakan olehnya tertera
istilah ‘uqub atau iqab, dan targhib30. Kedua Istilah ini selaras dengan
reward dan punishment, walaupun sebenarnya dalam al-Qur’an pasangan
dari iqab biasanya bergandengan dengan ajr, dan targhib dengan tarhib.
Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang
terhadap sesuatu yang maslahat, kenikmatan atau kesenangan kemudian
diteruskan dengan perbuatan baik. Sedangkan tarhib adalah ancaman
dengan hukuman sebagai akaibat melakukan dosa, perbuatan yang salah,
atau akibat lalai dalam menjalankan kewajiban, perbuatan baik. 31
Tujuan yang terkandung dalam bentuk-bentuk reward dan
punishment di atas, merupakan suatu cara atau jalan yang dilakukan oleh
orang tua atau pendidik dalam rangka supaya anak didik menjalankan
syariat agama dan menumbuhkan kesadaran untuk berbuat baik. Dengan
29 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, op. cit., 52. 30 Ibid., hlm. 50. 31 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan dalam Islam, Alih
Bahasa Herry Noer Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 412.
80
demikian yang ingin dicapai sebagai tujuan dari reward dan punishment
adalah untuk menanamkan perilaku yang baik dan menetralisasi perbuatan
jelek.
Dalam memperbaiki perilaku yang tidak baik dengan hukuman,
menurut Ibn Miskawaih sebaiknya pendidik memposisikan sebagai
seorang tabib (dokter).32 Seorang dokter yang berpengalaman tidaklah
langsung saja mengobati suatu penyakit sebelum diketahuinya sebab-
sebab maka sampai penyakit itu menimpa si penderita. Setelah
diketahuinya panas dan dinginnya, barulah dia memberikan ramuan obat
(resep) yang bertujuan menangkis serangan penyakit dan selanjutnya
membalas serangan dengan serangan pula. Dimulainya dengan penjagaan
obat-obat yang lunak, sampai kemudiannya dengan meminumkan obat-
obat yang lebih keras dan pahit. Kadang-kadang kalau dipandangnya kalau
dipandangnya sangat perlu diadakannya pemotongan (operasi).33
Pendapat ini mengisyaratkan bahwa suatu hukuman diberikan ialah
untuk memperbaiki moral yang dimanifestasikan melalui bentuk yang
nyata yaitu perbuatan. Suatu hukaman tidak langsung diberikan begitu
saja, apalagi langsung memberikan suatu hukuman yang paling represif.
Hukuman merupakan tindakan yang tegas, sekaligus terakhir diberikan
ketika cara lain sudah tidak dapat lagi.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengetahui sebab-
sebabnya, karena bias jadi itu terjadi karena tidak sengaja, ketidaktahuan,
atau kelalaian. Jika perbuatan jelek tersebut tanpa alasan yang dapat
dimaafkan, dimaklumi, maka hukuman dijatuhkan secara bertahap, dari
32 Sudah menjadi keharusan menjadi seorang dokter muslim untuk berakhlak Qur’an dan
mengikuti petunjuk Nabi saw., penyebar rahmat, bersifat penyayang, dan penuh murah hati mengusap penderitaan orang lain dengan tangannya dan meringankan derita mereka. Oleh karena itu, seorang dokter seharusnya menghadapi pasien dengan balai kasih yang mengandung belas kasih, cinta kasih. Dia harus bisa melupakan kesalahan dan keteledoran si pasien. Dia juga harus mau mendengar ucapan sang pasien dengan baik dan selalu berbuat sesuatu yang baik pula. Dia juga harus merendahkan suaranya kepada si pasien, tidak berbicara kasar atau membentak. Yang termasuk perilaku rahmat perilaku kasih sayang ialah berwajah ceria, murah senyum, mudah menghadapi segala persoalan dan tidak mempersulit orang lain. Lihat Zuhair Ahmad Assiba’i, Dokter-dokter Bagaimana Akhlakmu, (Jakarta: Gema Insani, 1985), hlm. 94 dan 97.
33 Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pamjimas, 1982), hlm. 22.
81
yang lunak terlebih dahulu. Selanjutnya ketika perilaku anak didik belum
menunjukkan perubahan, diberikan hukuman setingkat agak keras dari
yang pertama, hingga seterusnya sampai hukuman yang paling keras.
2. Abdullah Nashih Ulwan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Ulwan merupakan tokoh
ulama Islam orisinal, beliau jarang mengutip pendapat orang-orang di luar
Islam. Ulwan mengutip sebuah hadits dari Aisyah, ketika menjawab
pertanyaan tentang akhlak Nabi saw. Jawaban Aisyah akhlak Nabi adalah
al-Quran. Menurut Ulwan, jawaban tersebut sangat mendalam, singkat dan
universal, karena menghimpun metode al-Qur’an secara universal dan
prinsip-prinsip budi pekerti yang utama. Dengan demikian Nabi saw.
merupakan penterjemah hidup keutamaan-keutamaan al-Qur’an, gambaran
yang bergerak dari petunjuk al-Quran yang abadi.34 Sehingga segala
sesuatu yang telah dicontohkan dan dipraktikan oleh Nabi saw. harus
direfleksikan oleh umat Islam sendiri.
Sebagaiman petunjukkan al-Qur’an menyebutkan:
مواليو و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21:األحزاب(لله كثريا الآخر وذكر ا
“Sesungguh bagi kamu sekalian dalam diri Rasulullah terdapat sauritauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan hari akhir, dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab: 21)
عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله فخذوه وما نهاكموما آتاكم الرسول )7:احلشر(شديد العقاب
“Dan segala apa yang telah dikerjakan oleh Rasul maka ambillah, segala apa yang dilarang olehnya maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Ia Maha dasyat siksaan-nya.” (al-Hasyr: 7)
34 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 635.
82
Melihat melalui kaca mata pendidikan, Nabi saw. dianggap oleh
para sahabat sebagai guru riil, an actual teacher, yang bisa dilihat sehari-
hari dengan mata kepala sendiri. Umat yang sekarang memandang Nabi
sebagai guru imajiner, tetapi efektif. Yakni guru yang belum pernah
bertatap muka, tapi kedekatan umat Islam dengannya dan ajaran-ajarannya
mengalahkan dimensi ruang dan waktu.35
Sehingga pendidikan yang diajukan oleh ulwan adalah hasil dari
interpretasi dan modifikasinya terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
Dengan demikian, seorang pendidik harus mampu merefleksikan perilaku
pendidikan yang telah dilakukan oleh Nabi yang sangat menomersatukan
perhatianya terhadap umat.
Ketika pendidik mendapatkan anak didiknya mengerjakan
perbuatan munkar atau dosa, seperti mencuri atau mengeluarkan kata-kata
kotor, pendeknya melakukan pelanggaran dan menyalahi ketentuan dari
akhlak, perlu adanya tahdzir, peringatan dan penjelasan bahwa perbuatan
tersebut munkar, keji, busuk dan hukumnya haram. Sebaliknya, ketika
anak didik mengerjakan kebaikan atau perbuatan ma’ruf seperti sadaqah
atau memberikan pertolongan, pendidik memberikan targhib, dorongan
atau dukungan, untuk terus mengerjakan serta menjelaskan bahwa
perbuatan tersebut baik dan halal.36
Menurut Ulwan, dalam rangka rangka menghasilkan dan memilki
peran yang sangat besar dalam membentuk moral, dan membiasakan anak
didik berakhlak mulia yaitu diantaranya dengan cara targhib (pemberian
stimulus berupa pujian dan sesuatu yang menyenangkan) dan tarhib
(pemberian stimulus berupa peringatan atau sesuatu yang ditakuti). Atau
bahkan pendidik pada kondisi tertentu terpaksa memberikan ‘uqubah,
hukuman, jika dipandang terdapat kemaslahatan dalam proses taqwim al-
inhiraf wa al-‘iwijaj, meluruskan penyimpangan dan penyelewengan.37
35 Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi
28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 28. 36 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 681. 37 Ibid., hlm. 682-683.
83
Uraian tersebut menegaskan bahwa Ulwan memiliki Istilah yang
selaras dengan konsep reward dan punishment. Tahdzir lebih mengarah
kepada peringatan, bentuk verbal, sehingga dijadikan konsep umum untuk
istilah punishment dalam pendidikan modern kurang terwakili. Lebih
tepatnya tahdzir berkedudukan sebagai bagian dari bentuk punishment
sendiri. Berbeda dengan targhib dan tarhib, keduanya memiliki makana
yang lebih luas bisa berbentuk fisik maupun nonfisik, atau verbal non-
verbal.38
Uqub atau iqab, lebih mengarah kepada hukuman fisik dan keras,
berbeda dengan tarhib yang lebih lunak. Demikian bahasa Arab memang
kaya dengan padanan kata yang memiliki kesamaan arti, namun
sebenarnya masing-masing kata memiliki spesifikasi makna tertentu.
Mengenai bentuk-bentuk dari targhib dan tarhib dapat berupa
peringatan melalui daftar verbal ketika anak didik melakukan sesuatu yang
munkar. Memberikan pujian, rasa hormat, dan dorongan ketika ia
melakukan sesuatu yang baik agar senantiasa mengulangi perbuatan
tersebut.39
Menurut Ulwan syariat Islam yang lurus dan adil serta prinsip-
prinsipnya yang universal, sesungguhnya memiliki peran dalam
melindungi kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia. Selanjutnya kebutuhan primer tersebut terkenal
dengan sebutan al-dharuriyyat al-khams, yaitu menjaga agama, menjaga
jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal dan menjaga harta benda. Dalam
rangka memelihara masalah tersebut, syariat telah meletakan berbagai
‘uqubah (hukuman) yang mencegah, bahkan bagi setiap pelanggar dan
perusak kehormatannya akan merasakan kepedihan. ‘Uqubah atau iqab
(hukuman) ini dikenal dengan sebutan hudud dan ta’zir.40
38 Muhammad Thalib, Pendidikan dengan Metode 30 T, (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1996), hlm. 156-157. 39 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 729. 40 Ibid., hlm. 753.
84
Dengan demikian, Ulwan kembali mendasarkan gagasan-
gagasannya mengenai hukuman atas hukuman-hukuman yang telah
digariskan dalam syariat Islam. Oleh karena itu al-Qur’an dan Hadits
menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukuman.
Hukum Islam memang keras dan tegas, terlihat yang paling
populer yaitu mengenai hukum potong tangan. Sebenarnya, potong tangan
tidak serta merta langsung diterapkan. Hakim perlu menyelidiki akar
permasalahat dari sebab pencurian. Akar penyebab itulah yang kakekatnya
harus dipotong. Potong tangan dalam konteks ini bias berarti riil dengan
memotong tangan pencurinya, tetapi sekaligus bermakna kias memotong
alasan penyebab pencurian. Jika penyebabnya akibat hobi dan kemalasan,
maka tangan pencuri benar-benar dipotong. Jika penyebabnya karena
kelaparan, atau berobat tidak punya uang (dan sebab-sebab lainnya yang
dapat dijadikan alasan yang tepat), maka penyebab sebenarnya adalah
kemiskinan. Kemiskinan itulah yang mesti dipotong, dengan memberikan
pekerjaan atau tunjangan kesejahteraan. itulah substansi agung hukum
Islam, yang keras, tegas, namun tanpa mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan.41 Karena tujuannya bukan kekerasan itu sendiri, tetapi
sebagai langkah preventif untuk mencegas terjadinya segala bentuk
kriminalitas.
Ulwan mengumpulkan beberapa hukuman yang telah diuraian oleh
al-Qur’an dan Hadits, diantaranya:
1. had bagi yang keluar dari Islam (murtad) adalah dibunuh. Hukuman
ini berdasarkan hadits Nabi.
2. had bagi pembunuh adalah dibunuh, jika atas unsur kesengajaan,
berdasarkan surat al-Baqarah ayat 178.
3. had bagi pencuri adalah dipotong tangannya dari pergelangan, jika
mencuri bukan karena kebutuhan yang mendesak. Hukuman ini
berdsarkan surat al-Maidah ayat 38.
41 Dhurorudin Mashad, Kisah dan Hikmah 3, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 29-30.
85
4. had menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf) adalah dicambuk
sebanyak delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya.
Berdasarkan surat al-Nur ayat 4.
5. had zina dicambuk sebanyak seratus kali, jika ia belum kawin, dan
dirajam hingga mati jika ia sudah kawin. Hukuman ini berdasarkan
surat al-Nur ayat 2. Adapun dirajam hingga mati adalah seperti
tercantum dalam hadits Maiz Ibn Malik, dan perempuan dari Ghamidi.
Rasulullah saw. menyuruh untuk dirajam, karena orang tersebut telah
menikah.
6. had membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan.
Hukuman ini berdasrkan surat al-Maidah ayat 33.
7. had meminum minuman yang memabukkan adalah dicambuk antara
empat puluh hingga delapan puluh kali. Hukuman ini berdasarkan
hadits Rasulullah dan pendapat sahabat.42
Selain mengutip al-Qur’an dan hadits, Ulwan juga sering
mengilustrasikan pendapat-pendapat para sahabat dan ulama, terutama
ulama empat madzhab yang terkenal.
Sedangkan ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah
untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak terdapat had atau
kafarat. Karena hukumannya tidak ditentukan, maka pemimpin hendaknya
memperkirakan hukuman yang sesuai dengan pendapatnya, baik kecaman,
pukulan, penjara, atau dengan merampas haknya. Menurut Ulwan, Islam
mensyariatkan hudud dan ta’zir adalah dalam rangka merealisasikan
kehidupan yang tenang, penuh kedamaian, keamanan, dan ketenteraman.
‘Uqubah bagaimanapun bentuknya, baik hukuman qishash maupun ta’zir,
semuanya itu adalah cara yang tegas dan tepat untuk memperbaiki umat
dan mengokohkan pilar-pilar keamanan serta ketenteraman umat
manusia.43
42 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 753-755. 43 Ibid., hlm. 756-757.
86
Hal ini selaras dengan firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah
ayat 179, yang berbunyi:
)١٧٩: لبقرةا (ولكم في القصاص حياة ياأولي الألباب لعلكم تتقون“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu sekalian bertakwa”. (al-Baqarah: 179)
Ulwan mengatakan, jika hukuman itu termasuk kelompok ta’zir,
maka hukuman harus dilaksanakan, tidak boleh tidak. Ukurannya
diserahkan kepada pemimpin (hakim) sesuai dengan kemaslahatan. Yaitu
berkisar antara peringatan, kecaman, pukulan, kurungan, dan rampasan.
Karena hukuman ta’zir berbeda-beda, sesuai dengan usia, kultur, dan
kedudukannya. Demikian pula hukuman yang diterapkan para pendidik di
rumah atau di sekolah berbeda-beda dari segi jumlah dan tata caranya,
tidak sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang umum.44
Dalam menjatuhkan hukuman, Ulwan mengilustrasikan beberapa
hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak.
Memberikan hukuman dengan cara yang ramah tamah, lemah lembut
bermanis muka, di samping itu juga menanamkan bahwa pendidik
memberikan hukuman hanya untuk mendidik dan memperbaikinya.
Sehingga feed back, respon yang ditampilkan oleh anak didik berupa
penerimaan, menyadari akan kekeliruan, tidak minder dan merasa
terhina.
2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman.
Adakalanya menghukum cukup dengan menampilkan muka cemberut
dalam melarang dan memperbaiki perilaku anak. Apabila hal itu tidak
berpengaruh, meningkat dengan kecaman, atau pendidik menggunakan
tongkat untuk membuat jera. Variasi hukuman ini disesuaikan dengan
perkembangan anak didik.
44 Ibid., hlm. 759.
87
3. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap dari
yang paling ringan hingga yang paling keras.
Jika pendidik tidak menemukan hasil yang diharapkan dari pemberian
hukuman yang telah diberikan, maka selanjutnya beralih secara
bertahap kepada hukuman yang lebih keras, semisal dengan kecaman.
Apabila kecaman tidak berefek, maka dengan pukulan yang tidak
membahayakan, demikian selanjutnya hingga hukuman yang paling
keras.45
Ulwan juga mengilustrasikan metode-metode hukuman yang
diberikan oleh Rasulullah, yaitu menunjukkan kesalahan dengan
pengarahan, menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah, menunjukkan
dengan memberikan isyarat, menunjukkan kesalahan dengan kecaman,
menunjukkan dengan memutuskan hubungan (memboikot), menunjukkan
kesalahan dengan memukul, dan menunjukkan kesalahan dengan
memberikan hukuman yang membuat jera.46
Bertumpu pada metode dan tata cara yang telah digariskan oleh
Rasulullah, menurut Ulwan pendidik dapat memilih metode yang paling
sesuai untuk mendidik anak, yang dapat memperbaiki penyimpangannya.
Terkadang perbaikan cukup dengan memberikan nasehat yang jelas dan
tegas, dengan pandangan sekilas, keramahtamahan yang lembut, dengan
memberikan isyarat, atau dengan melontarkan kata-kata yang menjerakan.
Pada dasarnya hukuman diberikan secara bertahap dari yang paling lunak
hingga jika belum terjadi perubahan, dapat meningkat sampai pada
hukuman yang lebih keras dan tegas.47
Menjatuhkan hukuman yang berbentuk pukulan, Ulwan
memberikan batasan dan persyaratan, agar tidak keluar dari maksud
pendidikan yaitu untuk memperbaiki dan menbuat jera. Adapun
persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
45 Ibid., hlm. 760-762. 46 Ibid., hlm. 763-766. 47 Ibid., hlm. 767.
88
1. Pendidik tidak terburu-buru menggunakan metode pukulan, kecuali
setelah menggunakan semua metode lembut yang mendidik dan
membuat jera.
2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah, karena
dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak.
3. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka,
seperti kepala, muka, dada, dan perut.
4. Pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak
menyakiti pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak
besar.
5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun.
6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi
kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang telah dilakukan,
memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk
didekati orang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi
mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahan itu.
7. Pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri, dan
tidak menyerahkan kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya.
Sehingga tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka.
8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan pendidik melihat bahwa
pukulan sepuluh kali tidak juga membuat jera, maka ia boleh
menambah dan mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.48
Uraian di atas, dalam menerapkan punishment Ulwan lebih
menekankan hukuman yang lembut, penuh kasih sayang, jauh dari
kekerasan, di samping juga menyetujui hukuman berupa pukulan. Akan
tetapi ia memberikan persyaratan yang ketat, sehingga tidak keluar dari
tujuan luhur yaitu dalam meperbaiki kesalahan yang telah dilakukan anak
didik.
48 Ibid., hlm. 769-770.
89
Hukuman sebagai upaya terakhir harus dilakukan secara mendidik.
Hukuman yang mendidik merupakan suatu hal yang niscaya. Ironisnya,
kadang-kadang masih banyak orang tua yang dalam mendidik anaknya
terpaksa melakukan hukuman yang tidak mendidik. Ini tentu bertentangan
dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hukuman yang tidak tidak
mendidik misalnya saja hukuman fisik. Bahkan dalam beberapa kasus,
hukuman fisik ini dilakukan secara kasar dan menyakitkan anak didik. Hal
ini tentu saja bukan perbuatan “mendidik” akan tetapi “menindas”.
Hukuman yang bersifat fisik berakibat negatif terhadap perkembangan
psikologi dan kejiwaan anak misalnya anak menjadi rendah diri, minder,
penakut, dan tidak percaya diri. Akibatnya, anak tidak mekar eksistensinya
dan tidak merdeka, akan tetapi sebaliknya justru menjadi “kerdil”
pribadinya dan serba tunduk.49
Sebagaimana perkataan Kamil Badr, yang juga dikutip oleh Ulwan,
yaitu:
#حمی رهلد فی شرع ان املرىبا بر بمرعيه ال عاتي الخلق
#ی ير وهو لقطعان األذی ابسوط يدمي في نفسه ضيغما قد صال فيغسق
# رعاة الجل عند كم ياأطفالنا ی النزقلد حطمودعة ال دمي
Sesungguhnya pendidik dalam syariat Islam yang lurus adalah manusia penuh kasih sayang, bukannya yang sombong berbangga diri. Sekumpulan gembala bercucuran darah dilucuti cemeti keangkuhan. Ia melihat dirinya singa yang telah menyerang dalam kegelapan malam
49 M. Arief Hakim, Mendidik Anak Secara Bijak: Panduan Keluarga Muslim Modern,
Cet. 1, (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 26.
90
Anak-anak kita. Wahai para penggembala, Adalah titipan di pundak kalian bukannya boneka yang dibuat dengan tergesa.50
Perasaan mulia yang diberikan Allah kepada hati orang tua ialah
perasaan mengasihi, menyayangi dan berbuat lembut kepada anak. Hal ini
merupakan perasaan mulia orang tua dalam mendidik, menyiapkan, dan
membentuk anak dengan hasil utama dan pengaruh yang besar. Hati yang
tidak memiliki kasih sayang membuat seseorang sewenang-wenang, kasar,
hina, dan keras. Sifat-sifat negatif ini kemungkinan besar dapat
menggelincirkan dan mencebloskan anak ke dalam kerikil dan perbuatan
jahat, kebodohan dan penderitaan.51
Pendidik sebagai refleksi dari orang tua bukanlah seorang hakim
yang hanya bisa memutuskan benar atau salah. Akan tetapi pendidik
adalah seorang yang pemaaf, menahan diri, kemarahan, lapang hati, sabar,
dan tidak pemarah terhadap hal-hal kecil. Seorang pendidik harus pendai
menyembunyikan kemarahannya, menampakkan kesabaran, hormat,
lemah lembut, kasih sayang, dan tabah dalam mencapai sesuatu
keinginan.52 Dengan demikian dalam memandang kesalahan anak, seorang
pendidik tidak langsung menyimaknya hanya sebagai kesalahan semata.
Akan tetapi, harus senantiasa melihat apa sebab yang melatar belakangi
kesalahan tersebut. Bisa jadi karena unsur ketidaktahuan, keteledoran, atau
kemungkinan-kemungkinan lain, mengingat anak didik bukanlah seperti
pendidik sendiri, bukan orang dewasa.
50 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 771. 51 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan
Jiwa Anak, dalam Tjun Surjaman (eds.), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 20 52 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hlm. 74.