bab iii konsep reward dan...

25
66 BAB III KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT MENURUT IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN A. BIOGRAFI IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN 1. Ibn Miskawaih a. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih, seorang ahli pikir Islam, filosuf, dan sejarawan terkemuka, terlahir dengan nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Miskawaih di Ray yang puing-puingnya terletak di dekat Teheran sekarang pada tahun 940 M./330 H., 1 kemudian terkenal dengan nama Ibn Miskawaih. Nama Miskawaih sendiri menurut penulis terdahulu mengacu kepada bapaknya, sebagian lagi mengatakan diambil dari nama kakeknya. Bapaknya seorang majusi kemudian memeluk Islam, ini tercermin dari namanya sendiri bernama Muhammad. 2 Ibn Miskawaih Hidup pada kemunduran masa Dinasti Abbasiyah di bawah pemerintahan Bani Buwaihi di Irak dan Persia. Riwayat pendidikannya terekam di Bagdad dan ia wafat di Isfahan pada tahun 1030 M./421 H. Setelah mempelajari hampir semua cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa hidupnya, Ibn Miskawaih lebih memusatkan perhatian besar pada filsafat etika dan sejarah, sehingga menjadi ahli terkemuka dalam dua bidang ilmu ini. 1 Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa Ibn Miskawaih di lahirkan sekitar tahun 932 M./320 H. C. E. Bosworth, et. al., The Encyclopaedia of Islam, Vol. III, (Leiden-New York: E. J. Brill, 1993), hlm. 143. Lihat juga Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, dalam Constantine K. Zurayk, (Beirut: The American University of Beirut, 1968), hlm. ii. 2 M. M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 83. lihat juga C. E. Bosworth, et. al., loc. cit.

Upload: vunhu

Post on 26-May-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

66

BAB III

KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT

MENURUT IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN

A. BIOGRAFI IBN MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN

1. Ibn Miskawaih

a. Riwayat Hidup

Ibn Miskawaih, seorang ahli pikir Islam, filosuf, dan sejarawan

terkemuka, terlahir dengan nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibn

Muhammad Ibn Miskawaih di Ray yang puing-puingnya terletak di

dekat Teheran sekarang pada tahun 940 M./330 H.,1 kemudian terkenal

dengan nama Ibn Miskawaih. Nama Miskawaih sendiri menurut

penulis terdahulu mengacu kepada bapaknya, sebagian lagi

mengatakan diambil dari nama kakeknya. Bapaknya seorang majusi

kemudian memeluk Islam, ini tercermin dari namanya sendiri bernama

Muhammad.2

Ibn Miskawaih Hidup pada kemunduran masa Dinasti

Abbasiyah di bawah pemerintahan Bani Buwaihi di Irak dan Persia.

Riwayat pendidikannya terekam di Bagdad dan ia wafat di Isfahan

pada tahun 1030 M./421 H. Setelah mempelajari hampir semua cabang

ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa hidupnya, Ibn

Miskawaih lebih memusatkan perhatian besar pada filsafat etika dan

sejarah, sehingga menjadi ahli terkemuka dalam dua bidang ilmu ini.

1 Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa Ibn Miskawaih di lahirkan sekitar tahun 932

M./320 H. C. E. Bosworth, et. al., The Encyclopaedia of Islam, Vol. III, (Leiden-New York: E. J. Brill, 1993), hlm. 143. Lihat juga Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, dalam Constantine K. Zurayk, (Beirut: The American University of Beirut, 1968), hlm. ii.

2 M. M. Syarif (ed.), Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 83. lihat juga C. E. Bosworth, et. al., loc. cit.

67

Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-

Qadi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibn Khammar.3

Masa hidupnya banyak mengabdikan diri sebagai pustakawan

untuk para wazir Bani Buwaihi. Terhitung pertama mengabdi kepada

al-Muhallabi, wazir pangeran Buwaihi yang bernama Mu’izz al-

Dawlah (348-352 H.), selanjutnya wazir Abu Fadl Muhammad Ibn al-

Amid (352-360 H.), wazir saudara Mu’izz al-Dawlah yang bernama

Rukn al-Dawlah yang berkedudukan di Ray. Ibn Amid sendiri adalah

seorang yang amat pandai dan tokoh satra terkemuka. Selama tujuh

tahun mengabdi sebagai pustakawan Ibn al-Amid, Ibn Miskawaih

banyak memperoleh ilmu dan hal positif berkat bergaul dengannya,

serta mendapatkan kedudukan berpengaruh di ibukota propinsi

kekuasaan Buwaihi itu. Sepeninggalan Ibn al-Amid, Ibn miskawaih

tetap mengabdi kepada puteranya yang bernama Abu al-Fath (360-366

H.) sebagai wazir yang kedua dari Rukn al-Dawlah yang juga terkenal

cakap dalam bidang sastra. Ibn Miskawaih tetap menduduki posisi ini

sampai Abu al-Fath dipenjarakan dan wafat pada tahun 266 H./976 M.

lalu digantikan oleh musuh sengitnya, wazir terkemuka dan ahli sastra

bernama al-Shahib Ibn ‘Abbad. Kemudian Ibn Miskawaih

meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana

pangeran Buwaihi ‘Adhud al-Dawlah (367-372 H.) sebagai

bendaharawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.4

Loyalitas dan dedikasinya terhadap Bani Buwaihi berlanjut,

sepeninggalan ‘Adhud al-Dawlah, Ibn Miskawaih tetap mengabdi

kepada penggantinya, Shamsham al-Dawlah (sekitar 388 H./998 M.)

dan Baha’ al-Dawlah (sekitar 403 H./1012 M.). Karena pengabdiannya

sebagai pustakawan, Ibn Miskawaih mendapatkan gelar al-Khazin.

3 Harun Nasution, et. al., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.

622. Lihat juga Taufik Abdullah (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 195.

4 Harun Nasution, et.al., loc. cit. Lihat juga Ibn Miskawaih, loc. cit.

68

Selama tahun-tahun terakhir hidupnya, lebih banyak dihabiskan untuk

studi dan menulis.5

Menurut Yaqut, sepanjang hayat Ibn Miskawaih amat setia

dengan pendapat yang ditulisnya tentang akhlak, antara teori yang

ditulisnya dan perbuatannya sehari-hari selalu sejalan. Tetapi at-

Tauhidi menyayangkan tentang kekikirannya dan kemunafikannya. Ibn

Miskawaih belajar kimia karena mengharapkan harta, suka menjilat

kepada guru-gurunya dan para pemimpin yang dihidmatinya.6

Namun ada dua argumen yang dapat mengkanter pendapat Abu

hayyan al-Tawhidi mengenai dua sifat yang dikemukakan, Ibn

Miskawaih pada dasarnya merupakan seorang ahli sejarah, penyair,

dan moralis pada tahun-tahun terakhir berupaya mengikuti lima belas

pokok petunjuk moral. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu,

ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam

mengatur dorongan-dorongan yang tidak rasional merupakan pokok-

pokok petunjuk ini. Ibn Miskawaih sendiri berbicara tentang

perubahan moral dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq, yang menunjukkan

bahwa ia melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang

etika.7

b. Latar Belakang Pemikiran

Ibn Miskawaih hidup pada masa puing-puing Dinasti

Abbasiyah di bawah kepemimpinan Bani Buwaihi. Semenjak

berdirinya sampai masa kemunduran terjadi kemajuan di berbagai

bidang, termasuk ilmu pengetahuan. Saat itu budaya Yunani menjadi

pijakan dan bahan yang menarik untuk dikaji oleh para ilmuan muslim.

Sehingga berimbas kepada pemikiran, termasuk pemikiran Ibn

Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para filosuf Yunani dan muslim

5 Ibid. 6 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, Cet. 1, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1991), hlm. 54. 7 M. M. Syarif (ed), op. cit., hlm. 85.

69

yang terpengaruh oleh para filusuf Yunani sendiri. Ibn Miskawaih

banyak menulis sejumlah topik yang luas sebagaimana dilakukan oleh

para penulis sezamannya. Klaim yang perlu diperhatikan terletak pada

sistem etikanya yang tersusun dengan baik.8

Hal ini terlihat dalam karya monumentalnya, Tahzib al-Akhlaq

banyak merujuk karya-karya para filusuf Yunani, seperti Aristoteles,

Zeno, Galen, dan filosuf-filosuf lain yang menulis tentang etika.9

Literatur etika ini bercorak filosofis dan praktis yang

bersumberkan konsep dan metode pembahasannya dari karya-karya

Yunani yang dikenal oleh para pakar muslim. Yang pertama

diantaranya adalah karya-karya Plato dan Aristoteles, selanjutnya

perujukan atau peminjaman istilah dari Bryson, Galen, Porphyry,

Themistius, kaum naturalis, Stoic, atau secara umum para komentator

karya-karya Aristoteles dan para penganutnya.10

Tahdzib al-Akhlaq merupakan uraian suatu aliran akhlak yang

materi-materinya ada yang berasal dari konsep-konsep akhlak Plato

dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta

diperkaya dengan pengalaman hidup dan situasi zamannya. Kitab ini

ditujukan untuk memberikan bimbingan bagi generasi muda dan

menuntun mereka kepada kehidupan yang berpijak pada nilai-nilai

akhlak yang luhur serta menghimbau mereka untuk selalu melakukan

perbuatan yang bermanpaat agar mereka tidak tersesat dan umur

mereka tidak disia-siakan. Olah karena itu, aliran akhlak Ibn

Miskawaih merupakan paduan kajian filsafat teoritis dan tuntunan

praktis, terutama segi pendidikan dan pengajaran amat menonjol.11

Secara spesifik, dari bab pertama sampai bab kelima dalam

karyanya ini, pemikiran Ibn Miskawaih diwarnai oleh pendapat para

8 Sayyed Hussein Nasr (eds.), History of Islamic Philosophy, (London and New York,

Routledge, 1996), hlm. 196. 9 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan,

1994) hlm. 25-26. 10 Ibid., hlm. 21. 11 Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, op. cit., hlm. iii.

70

pendahulunya dari para filosuf Yunani dan muslim. Seperti Plato,

Aristoteles, Galen, Kaum Stoa, al-Kindi, al-Farabi dan lainnya.

Sedangkan dua bab terakhir, secara lebih banya dipengaruhi oleh Abu

Bakr Zakaria al-Razi tatkala membicarakan dawa’ al-ruhani

(pengobatan jiwa). Sedangkan Al-Razi lebih senang menggunakan

istilah al-tibb al-ruhani yang dijadikan sebuah buku, akan tetapi Ibn

Miskawaih tidak menyebutkan namanya. Dikarenakan ada perbedaan

mencolok di antara keduanya, al-Razi dalam mengambil kesimpulan-

kesimpulan dan metode penyebuhan sangat berani, rasional, dan

filosofis. Walaupun tanpa mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau hadits

Nabi, akan tetapi keyakinannya kuat bahwa pemikiran filsafat tidak

akan bertentangan dengan agama. Sementara Ibn Miskawaih,

walaupun terpengaruh oleh pemikiran para filosuf Yunani dan muslim,

akan tetapi dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya serimg

mengutip ayat-ayat al-Qur’an, hadits, ucapan Imam Ali, dan Hasan

Basri serta puisi-puisi Arab.12

Buku Ibn Miskawaih al-Fauz al-Asghar merupakan sebuah

risalah umum yang mempunyai konsep mirip dengan bagian pertama

al-Farabi Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Buku ini terbagi atas tiga

bagian, pertama berkaitan dengan pembuktian akan adanya Tuhan,

kedua tentang ruh dan raganya, dan ketiga tantang kenabian. Mengenai

filsafat-filsafatnya, Ibn Miskawaih banyak berhutang kepada al-Farabi

terutama dalam mempertemukan ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, dan

Plotinus.13

Kembali dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, Ibn Miskawaih

menolak sebagian pemikiran Yunani yang menyatakan bahwa akhlak

tidak dapat berubah, karena ia berasal dari watak dan pembawaan.

Baginya akhlak dapat selalu berubah dengan kebiasaan dan latihan

12 Ibid., hlm. iii-iv. Lihat juga M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 87 dan Harun Nasution,

Loc. cit. Bisa dijadikan pembenaran bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang religius sejati. 13 M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 86.

71

serta pelajaran yang baik,14 sebab kebanyakan anak-anak yang hidup

dan dididik dengan suatu cara tertentu dalam masyarakat ternyata

mereka berbeda mencolok dalam menerima nilai-nilai akhlak yang

luhur. Karena itu, manusia dapat diperbaiki akhlaknya dengan

mengosongkan diri dari segala sifat tercela dan menghiasinya dengan

sifat-sifat terpuji dan luhur. Ini juga merupakan tujuan pokok agama,

maka ketika akhlak manusia tidak bisa diubah apalah artinya Tuhan

menurunkan agama hanya sia-sia belaka. Dapat juga dipahami, agama

dan filsafat akhlak memiliki kaitan erat. Keduanya berfungsi

memperbaiki tingkah laku manusia sebagai mahluk sosial untuk

mencapai kebahagiaan.

c. Karya-karya

Ibn Miskawaih termasuk penulis produktif, dapat dilihat dari

karya-karyanya cukup banyak untuk ukuran saat itu. Menurut para

penulis masa lalu, karyanya sebanyak 18 judul yang kebanyakan

berbicara tentang jiwa dan etika.15

M. M. Syarif berhasil mengumpulkan karya-karya Ibn

Miskawaih yang dikutip dari Yaqut dan al-Qifti, meliputi:

1. Al-Fauz al-Akbar

2. Al-Fauz al-Asghar

3. Targhib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir yang ditulis pada

tahun 369 H./979 M.)

4. Uns al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata

mutiara)

5. Targhib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)

6. Al-Musthafa (syair-syair pilihan)

7. Jawidan Kirad (kumpulan ungkapan bijak)

8. Al-Jami’

9. Al-Siyar (tentang aturan hidup)

14 Yunasril Ali, op. cit., hlm. 55. 15 Taufik Abdullah (eds.), op. cit., hlm. 197.

72

10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)

11. Tentang komposisi bajat (mengenai komposisi memasak)

12. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman)

13. Tahdzib al-Akhlak (mengenai akhlak)

14. Risalah fi al-Lazazat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Naskah di

Istambul, Ragib Majmu’ah no. 1463, lembar 57a-59a)

15. Ajwiban wa As’ilah fi al-Nafs wa al-Aql (dalam Majmu’ah di atas,

dalam Raghib di Istambul)

16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (Naskah di Teheran, Fihrist

maktabah al-Majlis, II, no. 634 (31))

17. Risalah fi al-Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-

Shufi fi Haqiqah al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I, no. 43

(137))

18. Thaharah al-Nafs (naskah di Koprulu, Istambul, no. 767)16

2. Abdullah Nashih Ulwan

a. Sketsa Biografi dan Pemikiran

Abdullah Nashih Ulwan seorang ulama dan tokoh pendidikan

kontemporer, beliau dilahirkan di kota Halab, Syuriah, pada tahun

1928 M. karir pendidikannya kebanyakan ditempuh di kotanya sendiri.

Tercatat dari mulai tingkat dasar sampai sekolah atas jurusan Syariah

diselesaikannya pada tahun 1949 M. selanjutnya menyelesaikan kuliah

di fakultas Ushuluddin universitas al-Azhar Mesir pada tahun 1952 M,

serta menerima ijazah spesialisasi pendidikan setara dengan Master of

Arts (MA) pada tahun 1954 M.17

Ulwan hidup pada masa terjadinya propaganda modernisasi

pemikiran Islam, manakala terjadi dialog antara Barat dan Islam. Hal

ini terekam jelas dari jejak-jejak yang ditinggalkannya melalui

16 M. M. Syarif (ed.), op. cit., hlm. 84-85. Dari urutan karya di atas no. 1-9 disebutkan

oleh Yaqut, demikian pula al-Qifti dari no. 1-4 ditambah dari no. 10-13. 17 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Salam,

1983), hlm. 1119.

73

munculnya tokoh-tokoh modern seperti Muhammmad Abduh, Rasyid

Ridha, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain.

Akan tetapi, Ulwan bukanlah orang yang mudah terpengaruh

oleh hal-hal yang baru. Ulwan melihat buah pemikiran dalam Islam

adalah untuk umat Islam sendiri, maka dalam Islam sendiri terdapat

pokok-pokok pengetahuan yang orsinil perlu digali dan dikemukan

oleh umat Islam sendiri.

Seakan Ulwan tidak mengikuti jejak pendahulunya dalam

modernisasi, pengakuan al-Albani, Ulwan adalah seorang penulis

pendidikan anak yang ditinjau dari sudut pandang secara panjang

lebar, luas, dan jujur. Memperbanyak bukti-bukti Islam yang terdapat

dalam al-Qur’an, al-Sunnah, dan peninggalan intelektual pendahulu

yang saleh untuk menetapkan hukum, wasiat dan adab. Beliau juga

merupakan penulis mandiri di dalam pembahasan-pembahasan

pendidikan yang terpenting ini dengan referensi pada tulisan-tulisan

kaum muslimin secara murni, tanpa mengambil referensi kepada

pendapat-pendapat pemikir dari Barat kecuali dalam keadaan yang

sangat terpaksa untuk maksud tertentu. Karena beliau menulis untuk

kepentingan kaum muslim dan untuk mengarahkan mereka, sehingga

beliau membatasi metodenya kepada Islam, dan lagi pula karena beliau

memiliki budaya dan kultur yang berlandaskan Islam serta berbagai

pengalaman kaum muslimin terdahulu dan dewasa ini. Maka

membuatnya tidak memerlukan pendapat orang lain.18

Sejatinya, Ulwan adalah pemikir Islam orisinal, gambaran ini

diilustrasikan dalam karya besarnya, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam.

Seringkali Ulwan mengutip al-Qur’an dan Hadits dalam mendukung

pemikiran-pemikirannya. Dalam memandang media audio-visual

18 Wahbi Sulaiman al-Ghawajj al-Albani, “Sebuah Pengantar”, dalam Abdullah Nashih

Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. xxx-xxxi. Lihat juga Raharjo, “Dr. Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 53-54.

74

(terutama televisi), yang banyak disoroti adalah efek negatifnya yang

merupakan ciri khas kaum saleh muslim (terutama kaum asketis)

terdahulu.

Dalam hal ini ada kemiripan dengan Ibn Miskawaih, akan

tetapi ada pemisah yang mencolok antara keduanya. Ibn Miskawaih

merupakan tokoh Islam yang akrab dengan pemikir-pemikir Yunani

yang dipropagandakan sebagai akar pemikiran Barat, sedangkan

Ulwan adalah pemikir Islam orisinal.

b. Karya-karya

Sama dengan Ibn Miskawaih, Ulwan juga seorang penulis

produktif, banyak sekali karya-karya terkenal yang telah ditulisnya.

Secara garis besar karya-karyanya dapat dibagi dalam empat kelompok

besar, yaitu:19

1. Bidang pendidikan dan pengajaran

Ila Waratsati al-Anbiya’i

Hatta Ya’lama al-Syabab

Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam

Hukum al-Islam fi al-Tilfiziyyun

2. Bidang fiqh dan muammalah

Fadhail al-Shiyam wa Ahkamuh

Ahkam al-Zakat

Adab al-Khithabah wa al-Zifaf wa Huquq al-Zaujain

Aqabat al-Zawaj wa al-Thuruq Mu’alajatiha ‘ala Dawai al-

Islam

Nihzam al-Rizq fi al-Islam

Hukm al-Islam fi Wasail al-‘Ilam

Al-Islam Syariah al-Zaman wa al-Makan

3. Bidang akidah

Syubuhat wa Rudud Haula al-Aqidah wa Ashl al-Irtsan

19 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 543. Lihat juga Raharjo, op. cit., hlm. 54.

75

Huriyah al-‘Itiqad fi al-Syari’ah

4. Bidang umum

Al-Takaful al-Ijtima’i fi al-Islam

Shalahuddin al-Ayyubi

Ahkam al-Ta’min

Takwin al-Syahsyiyah al-Insaniyah fi Nazhair al-Islam

Al-Qaumiyah fi Mizan al-Islam

B. KONSEP REWARD DAN PUNISHMENT MENURUT IBN

MISKAWAIH DAN ABDULLAH NASHIH ULWAN

1. Ibn Miskawaih

Secara definitif, akhlak menurut Ibn Miskawaih adalah hal,

keadaan jiwa yang mendorong terhadap perbuatan tanpa proses berpikir

dan pertimbangan. Keadaan tersebut dapat dibagi dua, yang berasal dari

naluri, tabiat pembawaan, dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan

pada awalnya terjadi karena pertimbangan dan pikiran, lalu melalui praktik

yang terus menerus menjadi malakah, karakter.20

Berangkat dari pemetaan ini, maka akhlak dapat diubah,

dikembangkan melalui sebuah usaha yang tidak lain adalah pendidikan.

Terma pendidikan yang diilustrasikan oleh al-Qur’an seperti tarbiyah,

ta’lim, ta’dib, dan tahdzib, walaupun keempat istilah ini memiliki

spesifikasi masing-masing, akan tetapi pada dasarnya memiliki kesamaan

yaitu dalam rangka mewujudkan tatanan moral kemanusiaan.

Terma pendidikan yang diusung oleh Ibn Miskawaih berkaitan

dalam rangka perbaikan akhlak adalah tahdzib yang terlihat dalam

karyanya dengan judul besar Tahdzib al-Akhlak. Menurutnya tahdzib

tercermin dalam usaha-usaha yang berupa al-mau’izhah (nasehat), ta’dib

20 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Cet. 1, (Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, 1329

H.), hlm. 25.

76

(pendidikan), dan al-siyasiyah al-Jayyidah al-fadilah (metode-metode lain

yang baik dan mulia).21

Hans Wehr mengartikan lafal tahdzib dalam 10 macam arti. (1) expurgation, penghilangan yang jelek; (2) emendation, perbaikan; (3) corerrection atau recrectification, pembetulan; (4) revision, perbaikan; (5) trainning, pelatihan; (6) intruction, perintah; (7) education, pendidikan; (8) upbringing, penumbuhan; (9) culture, kebudayaan; dan (10) refinement, perbaikan.22

Berangkat dari arti di atas, tahdzib merupakan segala upaya

membentuk manusia untuk meningkatkan kualitas supaya moral atau

akhlaknya menjadi lebih baik. Sedangkan mau’izhah, nasehat, menurut

Ulwan memiliki efek yang besar dalam rangka membuka kesadaran akan

hakikat sesuatu, mendorong menuju harkat dan martabat yang luhur,

menghiasi dengan akhlak yang mulia, serta membekali dengan prinsip-

prinsip Islam.23

Mengenai ketiga yang disebutkan terakhir, al-siyasiyah al-

Jayyidah al-fadilah, tergambarkan dalam beberapa uraian. Menurut Ibn

Miskawaih syariat agama memiliki peran penting dalam meluruskan

akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan

yang baik, sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima

kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui

berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki kewajiban untuk

mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat

dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau

perlu, al-taubikh (dihardik), diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir

(diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman). Ketika mereka telah terbiasa

dengan perilaku ini dalam kurun waktu yang relatif lama, maka mereka

akan melihat hasil dari perilaku mereka itu, dan akan mengetahui jalan

21 Ibid., hlm. 27. 22 Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Ismail SM.

(eds.), Paradigma Pendidikan Islam, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 63. 23 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Salam,

1983), hlm. 675.

77

kebaikan dan sampailah mereka pada tujuan.24 Dengan kata lain, syariat

agama memiliki peranan penting dalam membentuk akhlak yang baik dan

mengubah akhlak yang tercela.

Ary Ginanjar Agustian menemukan repetitive magic power, sebuah

rahasia di balik kekuatan pengulangan dalam membentuk karakter

seseorang. Semisal dalam syariat Islam ada shalat, tersirat di dalamnya

unsur kedisiplinan berupa waktu pelaksanaan dan selalu diiming-imingi

pahala dan siksa. Apabila hal ini terus-menerus berlangsung, apalagi jika

dibiasakan sejak kecil, maka tidak mustahil akan menjadi karakter yang

tertanam dalam diri.25

Agama dijadikan sebagai aspek sekaligus prinsip dan dasar dalam

mendidik moral anak didik. Dengan demikian Ibn Miskawaih cenderung

mengedepankan nalar sepiritualnya di samping kemampuan berpikir

filosofisnya. Terkadang agama mengalahkan kekuatan-kekuatan di luar

kemampuan akal manusia.

Sebagaiman telah diuraikan sebelumnya, Ibn Miskawaih selama

berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri kepada kalangan istana Bani

Buwaihi. Kehidupan yang dilewatinya bersama orang-orang yang

bergelimang dengan kemewahan, cinta akan emas dan harta yang kadang

bias menyilaukan pandangan mata terhadap kewajiban menjalankan

agama. Sehingga dari pengalamannya ini, usaha-usaha mendidik anak

diarahkan untuk ketaatan dalam menjalankan ajaran agama.

Selain itu, agama sangat Islam sangat memperhatikan segala gerak-

gerik kelakuan manusia. Islam memperhatikan kehidupan manusia dari

yang bersifat mikro hingga mikro. Maka ketika seseorang melaksanakan

kewajiban agama, secara tidak langsung ia telah meletakan dasar

bagaimana bertingkah laku dengan baik.

Selain itu, Ibn Miskawaih juga menganjurkan agar memberikan

tahmid, pujian langsung ketika anak didik mnunjukkan perilaku yang baik.

24 Ibid., hlm. 29. 25 Lebih lanjut lihat Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power:

Sebuah Inner Journey Melalui al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2003), hlm. 270-277.

78

Sebaliknya membuat agar dia merasa risih terhadap sesuatu tercela yang

muncul darinya.26

Tahmid (memuji) dan ikram (menghormati), diberikan ketika anak

didik menunjukkan moral dan perilaku yang baik. Adapun ketika dia

melakukan perbuatan tercela, maka pertama-tama yang dilakukan tidak

langsung mencerca (taubikh) dan tidak mengatakan terus terang padanya

bahwa dia telah melakukan perbuatan buruk. Akan tetapi, berpura-pura

tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tidak sengaja melakukan hal itu,

atau bahkan dengan mengatakan sebenarnya hal itu bukan kehendaknya.

Ini khususnya diperlukan bila anak menutup-nutupinya, atau bersikeras

menyembunyikan dari mata umum apa yang telah dilakukannya itu. Kalau

kemudian dia melakukan lagi, maka secara diam-diam mencelanya,

menunjukkan betapa fatal apa yang telah dia lakukan itu, dan

memperingatinya agar tidak mengulanginya lagi. Karena kalau dibiasakan

mencela dan membeberkan kesalahanya secara terang-terangan, maka

secara tidak langsung telah menyeretnya ke dalam keburukan. Tanpa

sengaja perbuatan itu telah mendesaknya untuk mengulangi kembali

perbuatan buruk yang telah dilakukan. Akibatnya, dia tidak mau lagi

mengindahkan nasehat dan cercaan.27 Hal ini mengisyaratkan Ibn

Miskawaih sangat memperhatikan perkembangan anak didik.

Kalau ditelusuri lebih lanjut, mendiktekan ancaman kepada anak

terkesan seolah-olah merupakan anjuran bagi anak untuk mengulangi

suatu perbutan yang dilarang. Hal ini disebabkan segala bentuk ancaman

atau peringatan dirasakan sebagai suatu tantangan dan pukulan terhadap

otonomi dan pribadi anak. Sehingga jika ia memiliki harga diri, ia akan

terus melanggarnya bahwa ia bukan boneka yang segalanya diatur dan

dipermainkan orang.28

26 Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, op. cit. hlm. 48. 27 Ibid., hlm. 49. Ibn Miskawaih juga mengutip sebuah syair yang berbunyi: “biasakanlah

aku dengan nasehatmu ketika aku sendirian, dan jauhkanlah aku dari nasehat di depan umum, karena sesungguhnya nasehat di depan umum itu bagian dari cerca yang tak sudi kuminum”.

28 Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan Perkembangan Jiwa anak, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 9-10.

79

Bukan tidak mungkin anak akan melakukan kesalahan-kesalahan

lain, bisa jadi itu karena ketidaksenangan atas tindakan yang telah

dilakukan kepadanya. Karena kesalahan orang tua terlalu membiasakan

cercaan kepada anaknya.

Jika dia dipukul oleh gurunya, dia tidak boleh mengaduh atau

mengeluh, dan tidak boleh minta perlindungan orang lain, karena tindakan

seperti itu cuma pantas dilakukan para budak, hamba sahaya, serta orang-

orang lemah. hendaknya tidak sering menakut-nakuti anak kecil, tetapi

membiasakan memberikan semangat. Memberikan al-ribh (hadiah) kalau

mereka berbuat baik, agar anak tidak meminta-minta pada temannya.29

Bentuk-bentuk dari dari istilah al-siyasiyah al-Jayyidah al-fadilah

yang telah dikemukakan oleh Ibn Miskawaih, kalau diformulasikan ke

dalam pendidikan modern, kesemuanya merupakan bentuk-bentuk dari

istilah reward dan punishment. Secara tegas Ibn Miskawaih tidak

mengeluarkan istilah yang sepadan dengan konsep reward dan

punishment. Akan tetapi, uraian yang telah dikemukakan olehnya tertera

istilah ‘uqub atau iqab, dan targhib30. Kedua Istilah ini selaras dengan

reward dan punishment, walaupun sebenarnya dalam al-Qur’an pasangan

dari iqab biasanya bergandengan dengan ajr, dan targhib dengan tarhib.

Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang

terhadap sesuatu yang maslahat, kenikmatan atau kesenangan kemudian

diteruskan dengan perbuatan baik. Sedangkan tarhib adalah ancaman

dengan hukuman sebagai akaibat melakukan dosa, perbuatan yang salah,

atau akibat lalai dalam menjalankan kewajiban, perbuatan baik. 31

Tujuan yang terkandung dalam bentuk-bentuk reward dan

punishment di atas, merupakan suatu cara atau jalan yang dilakukan oleh

orang tua atau pendidik dalam rangka supaya anak didik menjalankan

syariat agama dan menumbuhkan kesadaran untuk berbuat baik. Dengan

29 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, op. cit., 52. 30 Ibid., hlm. 50. 31 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan dalam Islam, Alih

Bahasa Herry Noer Ali, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 412.

80

demikian yang ingin dicapai sebagai tujuan dari reward dan punishment

adalah untuk menanamkan perilaku yang baik dan menetralisasi perbuatan

jelek.

Dalam memperbaiki perilaku yang tidak baik dengan hukuman,

menurut Ibn Miskawaih sebaiknya pendidik memposisikan sebagai

seorang tabib (dokter).32 Seorang dokter yang berpengalaman tidaklah

langsung saja mengobati suatu penyakit sebelum diketahuinya sebab-

sebab maka sampai penyakit itu menimpa si penderita. Setelah

diketahuinya panas dan dinginnya, barulah dia memberikan ramuan obat

(resep) yang bertujuan menangkis serangan penyakit dan selanjutnya

membalas serangan dengan serangan pula. Dimulainya dengan penjagaan

obat-obat yang lunak, sampai kemudiannya dengan meminumkan obat-

obat yang lebih keras dan pahit. Kadang-kadang kalau dipandangnya kalau

dipandangnya sangat perlu diadakannya pemotongan (operasi).33

Pendapat ini mengisyaratkan bahwa suatu hukuman diberikan ialah

untuk memperbaiki moral yang dimanifestasikan melalui bentuk yang

nyata yaitu perbuatan. Suatu hukaman tidak langsung diberikan begitu

saja, apalagi langsung memberikan suatu hukuman yang paling represif.

Hukuman merupakan tindakan yang tegas, sekaligus terakhir diberikan

ketika cara lain sudah tidak dapat lagi.

Langkah pertama yang dilakukan yaitu mengetahui sebab-

sebabnya, karena bias jadi itu terjadi karena tidak sengaja, ketidaktahuan,

atau kelalaian. Jika perbuatan jelek tersebut tanpa alasan yang dapat

dimaafkan, dimaklumi, maka hukuman dijatuhkan secara bertahap, dari

32 Sudah menjadi keharusan menjadi seorang dokter muslim untuk berakhlak Qur’an dan

mengikuti petunjuk Nabi saw., penyebar rahmat, bersifat penyayang, dan penuh murah hati mengusap penderitaan orang lain dengan tangannya dan meringankan derita mereka. Oleh karena itu, seorang dokter seharusnya menghadapi pasien dengan balai kasih yang mengandung belas kasih, cinta kasih. Dia harus bisa melupakan kesalahan dan keteledoran si pasien. Dia juga harus mau mendengar ucapan sang pasien dengan baik dan selalu berbuat sesuatu yang baik pula. Dia juga harus merendahkan suaranya kepada si pasien, tidak berbicara kasar atau membentak. Yang termasuk perilaku rahmat perilaku kasih sayang ialah berwajah ceria, murah senyum, mudah menghadapi segala persoalan dan tidak mempersulit orang lain. Lihat Zuhair Ahmad Assiba’i, Dokter-dokter Bagaimana Akhlakmu, (Jakarta: Gema Insani, 1985), hlm. 94 dan 97.

33 Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pamjimas, 1982), hlm. 22.

81

yang lunak terlebih dahulu. Selanjutnya ketika perilaku anak didik belum

menunjukkan perubahan, diberikan hukuman setingkat agak keras dari

yang pertama, hingga seterusnya sampai hukuman yang paling keras.

2. Abdullah Nashih Ulwan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Ulwan merupakan tokoh

ulama Islam orisinal, beliau jarang mengutip pendapat orang-orang di luar

Islam. Ulwan mengutip sebuah hadits dari Aisyah, ketika menjawab

pertanyaan tentang akhlak Nabi saw. Jawaban Aisyah akhlak Nabi adalah

al-Quran. Menurut Ulwan, jawaban tersebut sangat mendalam, singkat dan

universal, karena menghimpun metode al-Qur’an secara universal dan

prinsip-prinsip budi pekerti yang utama. Dengan demikian Nabi saw.

merupakan penterjemah hidup keutamaan-keutamaan al-Qur’an, gambaran

yang bergerak dari petunjuk al-Quran yang abadi.34 Sehingga segala

sesuatu yang telah dicontohkan dan dipraktikan oleh Nabi saw. harus

direfleksikan oleh umat Islam sendiri.

Sebagaiman petunjukkan al-Qur’an menyebutkan:

مواليو و اللهجركان ي نة لمنسة حوول الله أسسفي ر كان لكم لقد )21:األحزاب(لله كثريا الآخر وذكر ا

“Sesungguh bagi kamu sekalian dalam diri Rasulullah terdapat sauritauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan hari akhir, dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab: 21)

عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله فخذوه وما نهاكموما آتاكم الرسول )7:احلشر(شديد العقاب

“Dan segala apa yang telah dikerjakan oleh Rasul maka ambillah, segala apa yang dilarang olehnya maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Ia Maha dasyat siksaan-nya.” (al-Hasyr: 7)

34 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 635.

82

Melihat melalui kaca mata pendidikan, Nabi saw. dianggap oleh

para sahabat sebagai guru riil, an actual teacher, yang bisa dilihat sehari-

hari dengan mata kepala sendiri. Umat yang sekarang memandang Nabi

sebagai guru imajiner, tetapi efektif. Yakni guru yang belum pernah

bertatap muka, tapi kedekatan umat Islam dengannya dan ajaran-ajarannya

mengalahkan dimensi ruang dan waktu.35

Sehingga pendidikan yang diajukan oleh ulwan adalah hasil dari

interpretasi dan modifikasinya terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.

Dengan demikian, seorang pendidik harus mampu merefleksikan perilaku

pendidikan yang telah dilakukan oleh Nabi yang sangat menomersatukan

perhatianya terhadap umat.

Ketika pendidik mendapatkan anak didiknya mengerjakan

perbuatan munkar atau dosa, seperti mencuri atau mengeluarkan kata-kata

kotor, pendeknya melakukan pelanggaran dan menyalahi ketentuan dari

akhlak, perlu adanya tahdzir, peringatan dan penjelasan bahwa perbuatan

tersebut munkar, keji, busuk dan hukumnya haram. Sebaliknya, ketika

anak didik mengerjakan kebaikan atau perbuatan ma’ruf seperti sadaqah

atau memberikan pertolongan, pendidik memberikan targhib, dorongan

atau dukungan, untuk terus mengerjakan serta menjelaskan bahwa

perbuatan tersebut baik dan halal.36

Menurut Ulwan, dalam rangka rangka menghasilkan dan memilki

peran yang sangat besar dalam membentuk moral, dan membiasakan anak

didik berakhlak mulia yaitu diantaranya dengan cara targhib (pemberian

stimulus berupa pujian dan sesuatu yang menyenangkan) dan tarhib

(pemberian stimulus berupa peringatan atau sesuatu yang ditakuti). Atau

bahkan pendidik pada kondisi tertentu terpaksa memberikan ‘uqubah,

hukuman, jika dipandang terdapat kemaslahatan dalam proses taqwim al-

inhiraf wa al-‘iwijaj, meluruskan penyimpangan dan penyelewengan.37

35 Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi

28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 28. 36 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 681. 37 Ibid., hlm. 682-683.

83

Uraian tersebut menegaskan bahwa Ulwan memiliki Istilah yang

selaras dengan konsep reward dan punishment. Tahdzir lebih mengarah

kepada peringatan, bentuk verbal, sehingga dijadikan konsep umum untuk

istilah punishment dalam pendidikan modern kurang terwakili. Lebih

tepatnya tahdzir berkedudukan sebagai bagian dari bentuk punishment

sendiri. Berbeda dengan targhib dan tarhib, keduanya memiliki makana

yang lebih luas bisa berbentuk fisik maupun nonfisik, atau verbal non-

verbal.38

Uqub atau iqab, lebih mengarah kepada hukuman fisik dan keras,

berbeda dengan tarhib yang lebih lunak. Demikian bahasa Arab memang

kaya dengan padanan kata yang memiliki kesamaan arti, namun

sebenarnya masing-masing kata memiliki spesifikasi makna tertentu.

Mengenai bentuk-bentuk dari targhib dan tarhib dapat berupa

peringatan melalui daftar verbal ketika anak didik melakukan sesuatu yang

munkar. Memberikan pujian, rasa hormat, dan dorongan ketika ia

melakukan sesuatu yang baik agar senantiasa mengulangi perbuatan

tersebut.39

Menurut Ulwan syariat Islam yang lurus dan adil serta prinsip-

prinsipnya yang universal, sesungguhnya memiliki peran dalam

melindungi kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak bisa dilepaskan dari

kehidupan manusia. Selanjutnya kebutuhan primer tersebut terkenal

dengan sebutan al-dharuriyyat al-khams, yaitu menjaga agama, menjaga

jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal dan menjaga harta benda. Dalam

rangka memelihara masalah tersebut, syariat telah meletakan berbagai

‘uqubah (hukuman) yang mencegah, bahkan bagi setiap pelanggar dan

perusak kehormatannya akan merasakan kepedihan. ‘Uqubah atau iqab

(hukuman) ini dikenal dengan sebutan hudud dan ta’zir.40

38 Muhammad Thalib, Pendidikan dengan Metode 30 T, (Bandung: Irsyad Baitus Salam,

1996), hlm. 156-157. 39 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 729. 40 Ibid., hlm. 753.

84

Dengan demikian, Ulwan kembali mendasarkan gagasan-

gagasannya mengenai hukuman atas hukuman-hukuman yang telah

digariskan dalam syariat Islam. Oleh karena itu al-Qur’an dan Hadits

menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukuman.

Hukum Islam memang keras dan tegas, terlihat yang paling

populer yaitu mengenai hukum potong tangan. Sebenarnya, potong tangan

tidak serta merta langsung diterapkan. Hakim perlu menyelidiki akar

permasalahat dari sebab pencurian. Akar penyebab itulah yang kakekatnya

harus dipotong. Potong tangan dalam konteks ini bias berarti riil dengan

memotong tangan pencurinya, tetapi sekaligus bermakna kias memotong

alasan penyebab pencurian. Jika penyebabnya akibat hobi dan kemalasan,

maka tangan pencuri benar-benar dipotong. Jika penyebabnya karena

kelaparan, atau berobat tidak punya uang (dan sebab-sebab lainnya yang

dapat dijadikan alasan yang tepat), maka penyebab sebenarnya adalah

kemiskinan. Kemiskinan itulah yang mesti dipotong, dengan memberikan

pekerjaan atau tunjangan kesejahteraan. itulah substansi agung hukum

Islam, yang keras, tegas, namun tanpa mengabaikan nilai-nilai

kemanusiaan.41 Karena tujuannya bukan kekerasan itu sendiri, tetapi

sebagai langkah preventif untuk mencegas terjadinya segala bentuk

kriminalitas.

Ulwan mengumpulkan beberapa hukuman yang telah diuraian oleh

al-Qur’an dan Hadits, diantaranya:

1. had bagi yang keluar dari Islam (murtad) adalah dibunuh. Hukuman

ini berdasarkan hadits Nabi.

2. had bagi pembunuh adalah dibunuh, jika atas unsur kesengajaan,

berdasarkan surat al-Baqarah ayat 178.

3. had bagi pencuri adalah dipotong tangannya dari pergelangan, jika

mencuri bukan karena kebutuhan yang mendesak. Hukuman ini

berdsarkan surat al-Maidah ayat 38.

41 Dhurorudin Mashad, Kisah dan Hikmah 3, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 29-30.

85

4. had menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf) adalah dicambuk

sebanyak delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya.

Berdasarkan surat al-Nur ayat 4.

5. had zina dicambuk sebanyak seratus kali, jika ia belum kawin, dan

dirajam hingga mati jika ia sudah kawin. Hukuman ini berdasarkan

surat al-Nur ayat 2. Adapun dirajam hingga mati adalah seperti

tercantum dalam hadits Maiz Ibn Malik, dan perempuan dari Ghamidi.

Rasulullah saw. menyuruh untuk dirajam, karena orang tersebut telah

menikah.

6. had membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib,

atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan.

Hukuman ini berdasrkan surat al-Maidah ayat 33.

7. had meminum minuman yang memabukkan adalah dicambuk antara

empat puluh hingga delapan puluh kali. Hukuman ini berdasarkan

hadits Rasulullah dan pendapat sahabat.42

Selain mengutip al-Qur’an dan hadits, Ulwan juga sering

mengilustrasikan pendapat-pendapat para sahabat dan ulama, terutama

ulama empat madzhab yang terkenal.

Sedangkan ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah

untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak terdapat had atau

kafarat. Karena hukumannya tidak ditentukan, maka pemimpin hendaknya

memperkirakan hukuman yang sesuai dengan pendapatnya, baik kecaman,

pukulan, penjara, atau dengan merampas haknya. Menurut Ulwan, Islam

mensyariatkan hudud dan ta’zir adalah dalam rangka merealisasikan

kehidupan yang tenang, penuh kedamaian, keamanan, dan ketenteraman.

‘Uqubah bagaimanapun bentuknya, baik hukuman qishash maupun ta’zir,

semuanya itu adalah cara yang tegas dan tepat untuk memperbaiki umat

dan mengokohkan pilar-pilar keamanan serta ketenteraman umat

manusia.43

42 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 753-755. 43 Ibid., hlm. 756-757.

86

Hal ini selaras dengan firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah

ayat 179, yang berbunyi:

)١٧٩: لبقرةا (ولكم في القصاص حياة ياأولي الألباب لعلكم تتقون“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu sekalian bertakwa”. (al-Baqarah: 179)

Ulwan mengatakan, jika hukuman itu termasuk kelompok ta’zir,

maka hukuman harus dilaksanakan, tidak boleh tidak. Ukurannya

diserahkan kepada pemimpin (hakim) sesuai dengan kemaslahatan. Yaitu

berkisar antara peringatan, kecaman, pukulan, kurungan, dan rampasan.

Karena hukuman ta’zir berbeda-beda, sesuai dengan usia, kultur, dan

kedudukannya. Demikian pula hukuman yang diterapkan para pendidik di

rumah atau di sekolah berbeda-beda dari segi jumlah dan tata caranya,

tidak sama dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang umum.44

Dalam menjatuhkan hukuman, Ulwan mengilustrasikan beberapa

hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Lemah lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak.

Memberikan hukuman dengan cara yang ramah tamah, lemah lembut

bermanis muka, di samping itu juga menanamkan bahwa pendidik

memberikan hukuman hanya untuk mendidik dan memperbaikinya.

Sehingga feed back, respon yang ditampilkan oleh anak didik berupa

penerimaan, menyadari akan kekeliruan, tidak minder dan merasa

terhina.

2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman.

Adakalanya menghukum cukup dengan menampilkan muka cemberut

dalam melarang dan memperbaiki perilaku anak. Apabila hal itu tidak

berpengaruh, meningkat dengan kecaman, atau pendidik menggunakan

tongkat untuk membuat jera. Variasi hukuman ini disesuaikan dengan

perkembangan anak didik.

44 Ibid., hlm. 759.

87

3. Dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap dari

yang paling ringan hingga yang paling keras.

Jika pendidik tidak menemukan hasil yang diharapkan dari pemberian

hukuman yang telah diberikan, maka selanjutnya beralih secara

bertahap kepada hukuman yang lebih keras, semisal dengan kecaman.

Apabila kecaman tidak berefek, maka dengan pukulan yang tidak

membahayakan, demikian selanjutnya hingga hukuman yang paling

keras.45

Ulwan juga mengilustrasikan metode-metode hukuman yang

diberikan oleh Rasulullah, yaitu menunjukkan kesalahan dengan

pengarahan, menunjukkan kesalahan dengan ramah tamah, menunjukkan

dengan memberikan isyarat, menunjukkan kesalahan dengan kecaman,

menunjukkan dengan memutuskan hubungan (memboikot), menunjukkan

kesalahan dengan memukul, dan menunjukkan kesalahan dengan

memberikan hukuman yang membuat jera.46

Bertumpu pada metode dan tata cara yang telah digariskan oleh

Rasulullah, menurut Ulwan pendidik dapat memilih metode yang paling

sesuai untuk mendidik anak, yang dapat memperbaiki penyimpangannya.

Terkadang perbaikan cukup dengan memberikan nasehat yang jelas dan

tegas, dengan pandangan sekilas, keramahtamahan yang lembut, dengan

memberikan isyarat, atau dengan melontarkan kata-kata yang menjerakan.

Pada dasarnya hukuman diberikan secara bertahap dari yang paling lunak

hingga jika belum terjadi perubahan, dapat meningkat sampai pada

hukuman yang lebih keras dan tegas.47

Menjatuhkan hukuman yang berbentuk pukulan, Ulwan

memberikan batasan dan persyaratan, agar tidak keluar dari maksud

pendidikan yaitu untuk memperbaiki dan menbuat jera. Adapun

persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

45 Ibid., hlm. 760-762. 46 Ibid., hlm. 763-766. 47 Ibid., hlm. 767.

88

1. Pendidik tidak terburu-buru menggunakan metode pukulan, kecuali

setelah menggunakan semua metode lembut yang mendidik dan

membuat jera.

2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah, karena

dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak.

3. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka,

seperti kepala, muka, dada, dan perut.

4. Pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak

menyakiti pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak

besar.

5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun.

6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi

kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang telah dilakukan,

memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk

didekati orang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi

mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahan itu.

7. Pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri, dan

tidak menyerahkan kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya.

Sehingga tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka.

8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan pendidik melihat bahwa

pukulan sepuluh kali tidak juga membuat jera, maka ia boleh

menambah dan mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.48

Uraian di atas, dalam menerapkan punishment Ulwan lebih

menekankan hukuman yang lembut, penuh kasih sayang, jauh dari

kekerasan, di samping juga menyetujui hukuman berupa pukulan. Akan

tetapi ia memberikan persyaratan yang ketat, sehingga tidak keluar dari

tujuan luhur yaitu dalam meperbaiki kesalahan yang telah dilakukan anak

didik.

48 Ibid., hlm. 769-770.

89

Hukuman sebagai upaya terakhir harus dilakukan secara mendidik.

Hukuman yang mendidik merupakan suatu hal yang niscaya. Ironisnya,

kadang-kadang masih banyak orang tua yang dalam mendidik anaknya

terpaksa melakukan hukuman yang tidak mendidik. Ini tentu bertentangan

dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Hukuman yang tidak tidak

mendidik misalnya saja hukuman fisik. Bahkan dalam beberapa kasus,

hukuman fisik ini dilakukan secara kasar dan menyakitkan anak didik. Hal

ini tentu saja bukan perbuatan “mendidik” akan tetapi “menindas”.

Hukuman yang bersifat fisik berakibat negatif terhadap perkembangan

psikologi dan kejiwaan anak misalnya anak menjadi rendah diri, minder,

penakut, dan tidak percaya diri. Akibatnya, anak tidak mekar eksistensinya

dan tidak merdeka, akan tetapi sebaliknya justru menjadi “kerdil”

pribadinya dan serba tunduk.49

Sebagaimana perkataan Kamil Badr, yang juga dikutip oleh Ulwan,

yaitu:

#حمی رهلد فی شرع ان املرىبا بر بمرعيه ال عاتي الخلق

#ی ير وهو لقطعان األذی ابسوط يدمي في نفسه ضيغما قد صال فيغسق

# رعاة الجل عند كم ياأطفالنا ی النزقلد حطمودعة ال دمي

Sesungguhnya pendidik dalam syariat Islam yang lurus adalah manusia penuh kasih sayang, bukannya yang sombong berbangga diri. Sekumpulan gembala bercucuran darah dilucuti cemeti keangkuhan. Ia melihat dirinya singa yang telah menyerang dalam kegelapan malam

49 M. Arief Hakim, Mendidik Anak Secara Bijak: Panduan Keluarga Muslim Modern,

Cet. 1, (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 26.

90

Anak-anak kita. Wahai para penggembala, Adalah titipan di pundak kalian bukannya boneka yang dibuat dengan tergesa.50

Perasaan mulia yang diberikan Allah kepada hati orang tua ialah

perasaan mengasihi, menyayangi dan berbuat lembut kepada anak. Hal ini

merupakan perasaan mulia orang tua dalam mendidik, menyiapkan, dan

membentuk anak dengan hasil utama dan pengaruh yang besar. Hati yang

tidak memiliki kasih sayang membuat seseorang sewenang-wenang, kasar,

hina, dan keras. Sifat-sifat negatif ini kemungkinan besar dapat

menggelincirkan dan mencebloskan anak ke dalam kerikil dan perbuatan

jahat, kebodohan dan penderitaan.51

Pendidik sebagai refleksi dari orang tua bukanlah seorang hakim

yang hanya bisa memutuskan benar atau salah. Akan tetapi pendidik

adalah seorang yang pemaaf, menahan diri, kemarahan, lapang hati, sabar,

dan tidak pemarah terhadap hal-hal kecil. Seorang pendidik harus pendai

menyembunyikan kemarahannya, menampakkan kesabaran, hormat,

lemah lembut, kasih sayang, dan tabah dalam mencapai sesuatu

keinginan.52 Dengan demikian dalam memandang kesalahan anak, seorang

pendidik tidak langsung menyimaknya hanya sebagai kesalahan semata.

Akan tetapi, harus senantiasa melihat apa sebab yang melatar belakangi

kesalahan tersebut. Bisa jadi karena unsur ketidaktahuan, keteledoran, atau

kemungkinan-kemungkinan lain, mengingat anak didik bukanlah seperti

pendidik sendiri, bukan orang dewasa.

50 Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Jilid II, op. cit., hlm. 771. 51 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan

Jiwa Anak, dalam Tjun Surjaman (eds.), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 20 52 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),

hlm. 74.