bab iii - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang...

50
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB III HALAL HARAM MENURUT AL-GHAZA> LI> DI DALAM KITAB IH} YA' ULU> M AL-DI> N. A. Biografi Imam al-Ghaza> li> 1. Riwayat Hidup Imam al-Ghaza> li> Al-Ghaza> li> sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang Sufistik mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalanan hidupnya hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaan sosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang dimilikinya banyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi saat al-Ghaza> li> masih hidup. Oleh karena itu, dalam bahasan berikut perlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza> li> , lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaza> li> , 1 yang dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus, 2 wilayah Khurasan Iran yang diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang- orang Kristen dan Islam Shiah. 3 1 Al-Ghaza> li> , Mizan al-'Amal ( Beirut : D< ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 ), 3. 2 Thus, adalah kota di Khurasan, jaraknya dengan Naisabur sekitar 10 farsah. Kota ini dikuasai pada zaman Uthman ibn 'Affan, di kota Thus juga terdapat makam dari 'Ali bin Musa al-Ridlo dan makam Harun al-Rasyid. 3 Al-Ghaza> li> , Al-Munqid min al-Dlalal ( Mesir : D< ar al-Kutub al-Hadithah, 1968 ), 1. 64

Upload: vancong

Post on 16-Aug-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

HALAL HARAM MENURUT AL-GHAZA>LI>

DI DALAM KITAB IH}YA' ULU>M AL-DI>N.

A. Biografi Imam al-Ghaza>li>

1. Riwayat Hidup Imam al-Ghaza>li>

Al-Ghaza>li> sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang Sufistik

mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalanan

hidupnya hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaan

sosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang

dimilikinya banyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi

saat al-Ghaza>li> masih hidup. Oleh karena itu, dalam bahasan berikut

perlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan

intelektualnya.

Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaza>li>,1 yang dilahirkan

pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus,2 wilayah Khurasan Iran yang

diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun

didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-

orang Kristen dan Islam Shiah.3

1 Al-Ghaza>li>, Mizan al-'Amal ( Beirut : D<ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 ), 3. 2 Thus, adalah kota di Khurasan, jaraknya dengan Naisabur sekitar 10 farsah. Kota ini dikuasai pada zaman Uthman ibn 'Affan, di kota Thus juga terdapat makam dari 'Ali bin Musa al-Ridlo dan makam Harun al-Rasyid. 3 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal ( Mesir : D<ar al-Kutub al-Hadithah, 1968 ), 1.

64

Page 2: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

65

Ayahnya seorang yang saleh, pecinta ilmu pengetahuan yang

sangat menyenangi ulama dan sangat rajin menghadiri majelis-majelis

pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya

kepada para ulama sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Ayahnya

menginginkan agar putranya bisa menimba banyak ilmu pengetahuan.

Karena itu sang ayah inipun menjelang akhir hayatnya menyerahkan

kedua putranya, al-Ghaza>li> dan Ahmad kepada salah seorang sahabatnya,

seorang sufi yang hidup sangat sederhana, sehingga rumah tangga sufi ini

menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran al-Ghaza>li>.4

Kedua anak itu itu kemudian mendapat bimbingan dalam

berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berlangsung sampai harta

warisan dari ayah mereka tiada yang tertinggal.5 Ketika sang sufi yang

mengasuh mereka merasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-

kebutuhan mereka, ia menyarankan agar mereka dimasukkan ke sekolah

untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan, juga santunan kehidupan

sebagaimana lazimnya ketika itu. Saat itulah al-Ghaza>li> mulai memasuki

pendidikan awal di daerahnya di bawah asuhan Ahmad Muhammad al-

Radzakani.6

Sesudah dirasa cukup, ia pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu

pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan, ia

kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga tahun. Waktu itu ia

4 Al-Ghaza>li>, Ih}ya' Ulu>m al-Di>n ( Semarang : Thoha Putra, Tt), 8. 5 Ibid, 8. 6 Abdullah Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, ( Semarang : RaSAIL,2005 ), 68.

Page 3: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

66

memanfa’atkan kesempatan untuk mempelajari tasawuf dan

mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.7

Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh di Thus belum

memuaskan bagi al-Ghaza>li>, karena itu ia pergi untuk belajar ke

Naisabur8 berguru pada salah seorang teolog aliran Ash’ariyyah yang

terkenal, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini

yang bergelar Imam al-Haramain.9 Dari madrasah di Naisabur yang al-

Juwaini bertindak sebagai tenaga pengajarnya, al-Ghaza>li> memperoleh

ilmu kalam, mantik, hukum, retorika, ilmu pengetahuan alam dan

tasawuf.10

Selama di Naisabur al-Ghaza>li> tidak saja belajar dengan Imam al-

Haramain, akan tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk

menjadi pengikut sufi bersama Abu al-Fadlil bin Muhammad bin ‘Ali al-

Farmadi, seorang murid pamannya, al-Qushairi, yang ahli tasawuf.

Sesudah dari Naisabur al-Ghaza>li> lalu pergi ke al-Askar, dengan

mendapat sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizham al-

Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghaza>li> yang tinggi.

Di al-Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan

sekelompok ulama di hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu,

Perdana Menteri melihat keluasan dan kedalaman ilmu al-Ghaza>li> bila

7 Ibid, 68. 8 Naisabur, adalah suatu daerah yang banyak menghasilkan buah-buahan, kota ini dikuasai Muslimin pada zaman Khalifah 'Uthman Ibn 'Affan pada saat dipimpin oleh al-Amir Abd al-Allah bin 'Amir bin Kurais tahun 31 H. ada pendapat yang mengatakan Naisabur di kuasai Muslimin pada zaman Khalifah Umar Ibn Khattab dari al-Amir Al-Ahnaf ibn Qais. 9 Taj al-Di>n al-Subki, T}abaqatu al-Shafi>'iyah al-Kubra, ( Mesir : Ruhama, 1968), Vol III, 162-221. 10 Hadziq, Rekonsoliasi......, 68.

Page 4: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

67

dibandi>ng dengan ulama yang lain. Setelah penampilannya berhasil baik,

Perdana Menteri menaruh simpatik kepadanya, dan segera menawarinya

untuk mengajar di Universitas yang didirikan oleh Nizham al-Mulk di

Baghdad yang lebih dikenal dengan Universitas Nizhamiyah. Al-Ghaza>li>

kemudian berangkat ke Baghdad tahun 484 H untuk mengajar sebagai

dosen di Universitas tersebut.11

Di Universitas al-Nizhamiyah ia diakui dan dikagumi para

mahasiswa, ulama dan pembesar Di>nasti Saljuk, sehingga pada masa

pemerintahan Nizham al-Mulk, ia diangkat sebagai guru istana dan Mufti

Besar yang hidup di bawah lindungan penguasa-penguasa keluarga

Saljuk,12 sehingga dengan kedudukan yang sedemikian tingginya itu

menjadikan al-Ghaza>li> didekati oleh para penguasa, seperti yang

dikatakan dalam al-Munqidz “sebagai buktinya adalah kerasnya usaha

mereka untuk mendekati dan merunduk padaku, namun aku tidak peduli

pada sikap dan tutur kata mereka”.13

Sekalipun demikian besar nikmat dan sukses yang didapat al-

Ghaza>li> di bidang keduniaan, namun semuanya itu tidak mampu

mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Dari segi agama

dan batin, ia gelisah dan menderita serta mengalami perasaan syak, lebih-

lebih setelah menguji pengetahuan atas dasar inderawi dan akal.

11 Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 69. 12 Zainal Abidin, Riwayat Hidup Imam Ghaza>li>, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975 ), 40. 13 Al-Ghaza>li>, Al-Munqi>d min al-D}alal, 11.

Page 5: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

68

Ketika menguji pengetahuan inderawi, al-Ghaza>li> melihat bahwa

pengetahuan itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal ternyata

dapat membuktikan kesalahan-kesalahan inderawi. Bayang-bayang benda

yang dalam pandangan mata dianggap diam ternyata dengan pengamatan

dan eksperimen akal menyimpulkan bahwa bayang-bayang itu bergerak

(mutaharrik).14

Dengan demikian, kepercayaan al-Ghaza>li> kepada pengetahuan

inderawi menjadi hilang, dan selanjutnya menaruh kepercayaan pada

pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Namun kepercayaan terhadap

akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar yang membuat

akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal dipercaya, maka

dasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya

akal menjadi dasar kepercayaan terhadap indera. Ketidakjelasan adanya

dasar yang lebih tinggi dari pada akal, menurut al-Ghaza>li> tidak mesti

menunjukkan kemustahilannya. Dasar semestinya ada, sebab kalau tidak

ada maka tidak ada alasan untuk mempercayai akal. Kalau akal tidak

dipercaya, segala pengetahuan tidak dapat dipercayai lagi.

Selain di atas, ada alasan lain yang membuat kepercayaan al-

Ghaza>li> terhadap akal goncang. Ia melihat kitab-kitab para teolog (al-

Mutakallimin) yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan

ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan

14 Ibid., 77.

Page 6: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

69

(tanaqudl)15 yang sulit diselesaikan dengan akal. Dari sinilah, al-Ghaza>li>

mangalami puncak kesangsiannya. Ia tidak lagi mempunyai sumber

pengetahuan yang dapat dipercaya untuk menemukan jalan keluar, sebab

ia telah menyangsikan segalanya, taqlid, indera dan akal.

Sumber pengetahuan yang lain dari itu tidak berhasil

dibuktikannya. Menurut pengakuan al-Ghaza>li> sendiri, hampir dua bulan

ia mengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan

menyelesaikannya. Namun melalui nur yang diberikan oleh Allah pada

hatinya, ia merasa sehat dan tenang, serta dapat menerima kebenaran

pengetahuan yang bersifat aksiomatis ( al-’adillah al-muharrarah ),

melainkan melalui nur yang disebut miftah al-ma’arif ( kunci ma’rifat

).16

2. Setting Sosial al-Ghaza>li>.

Sesudah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada

sumber pengetahuan di atas akal, yaitu nur yang dilimpahkan Allah

secara langsung ke dalam hatinya, ia mulai menempuh jalan tasawuf,

setelah ia meyakini metode falsafah, ilmu kalam dan kebatinan tidak

mampu mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia

hanya berkeyakinan bahwa jalan tasawuflah yang dapat

mengantarkannya kepada tujuan yang dimaksudkannya, yakni Allah dan

kebahagiaan akhirat, seperti yang di>nyatakan sendiri “ahli tasawuflah

15 Ibid., 29. 16 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 70.

Page 7: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

70

yang mempunyai moral yang terpuji (azka al-akhlaq) dan jalan yang lurus

(ashwab al-thuruq) untuk menuju Allah dan kebahagiaan akhirat”.17

Oleh karena itu, melalui jalan sufistik al-Ghaza>li> berusaha keras

untuk melakukan pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pembeningan

hati terus menerus hingga menjadi pribadi yang taat dan sehat secara

psikologis. Jalan pikiran al-Ghaza>li> ini dilatarbelakangi oleh setting

sosial psikologis yang melingkarinya saat itu. Al-Ghaza>li> (1058-1111 M),

dilihat dari tahun kelahiran dan masa kehidupannya merupakan salah

seorang pemikir Islam yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan

Islam yang berarti berada dalam masa kemunduran (1000-1250 M) dari

periode sejarah Islam.18

Dalam masa kemunduran tersebut, kekuatan sosial dan politik

umat Islam di bawah pimpinan kerajaan Abbasiyah sudah sangat mundur

dan lemah. Kemunduran dan kelemahan tersebut terus berlangsung di

masa al-Ghaza>li>, dan sampai pada masa kehancuran Baghdad di tangan

Hulaghu Khan tahun 1258 M.

Di samping kerajaan Abbasiyah sudah mengalami kelemahan di

bidang politik, datang pula serangan yang dilancarkan oleh golongan

Shi'ah atas Baghdad, mulai dari pemberontakan yang dilancarkan oleh

kaum Qaramit}ah sampai aksi pembunuhan terhadap para pembesar

kerajaan yang memusuhi mereka. Di antara para pembesar kerajaan yang

17 Ibid., 71. 18 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, 56-75.

Page 8: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

71

mereka bunuh di masa al-Ghaza>li> masih hidup adalah Perdana Menteri

Nizham al-Mulk dari Di>nasti Saljuk di tahun 1092 M.19

Dari fakta sejarah di atas dapat diketahui bahwa setting sosial

Islam saat al-Ghaza>li> hidup sudah berada dalam keadaan disintegrasi,

sehingga membawa akibat matinya ilmu-ilmu Islam dalam jiwa

pemeluknya. Hal ini dapat dilihat pada kasus pertentangan pendapat

yang ditimbulkan oleh para mutakallimi>n, filosof dan ahli kebatinan

dalam soal mencari kebenaran, sehingga menimbulkan ketidakpuasan

psikologis dalam masyarakat serta kebingungan dan keraguan di

kalangan orang awam.20

Demikian juga kasus pertentngan yang ditimbulkan oleh kaum

Faqih dan kaum Sufi. Di satu pihak kaum Sufi lebih banyak menekankan

aspek-aspek keakhiratan dan batiniyah dalam kehidupan, di pihak lain

kaum Faqih banyak menekankan aspek-aspek keduniaan dan lahiriyah,

sehingga masing-masing tenggelam dalam ajarannya, demikian jauh dari

saling memahami pertentangan tersebut.21 Setting sosial yang demikian

ini secara historis sulit untuk dilepaskan dari kehidupan dan pemikiran

al-Ghaza>li> hingga ia wafat, karena di manapun seorang pemikir berada,

tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah yang melingkarinya.

19 Ibid., 76-77. 20 Sebagai bukti dalam aliran Ateisme ( al-Dahriyyun ), dan Naturalisme ( al-Thabi'iyyun ) ada ajaran yang mengingkari wujud Allah ( al-Ghaza>li>, al-Munqid min Dalal, hal. 91-92 ), dan mengingkari kekekalan jiwa yang berakibat pengingkaran terhadap hari akhir, surga, neraka, lain-lain ( ibid., 97 ). 21 Kenyataan itu dapat diperhatikan pada ajaran fana', hulul, ittihad, dan wahdah al-wujud dipihak ahli tasawuf, sementara dipihak figh sama sekali tidak dapat membenarkannya, karena dianggap merusak aqidah ( Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzan, 2000), 71.

Page 9: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

72

Dengan latar belakang setting sosial yang demikian, maka al-Ghaza>li>

sewaktu ‘uzlah menyusun teori-teori psikologi dalam bentuk tas}fi>yat al-

nafs dalam Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n sebagai upaya untuk membasmi

kecenderungan jahat yang ada pada jiwa/batin masyarakat saat itu.22

Hanya saja tindakan ‘uzlahnya ini memunculkan penilaian yang

beragam. Ada pendapat negatif yang menyatakan bahwa ‘uzlah al-

Ghaza>li> dari Baghdad menuju Damaskus Siria disebabkan rasa

ketakutannya terhadap gerakan aliran Bathiniyah yang waktu itu

mengadakan serentetan pembunuhan terhadap para tokoh ulama dan

penguasa, sebab dia baru saja mengeluarkan hasil karyanya yang

menghantam akidah aliran tersebut.23 Namun ada pula pandangan yang

cenderung positif menyatakan bahwa tindakan ‘uzlahnya hanya

dilatarbelakangi oleh sebuah keinginan agar lebih mendekatkan diri

kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan hidup kelak yang akan

datang.24 Pandangan ini sejalan dengan pernyataan al-Ghaza>li> sendiri:

Jelas bagiku, bahwa tidak akan tercapai kebahagiaan akhirat kecuali dengan taqwa, dan mencegah diri agar jangan larut dalam hawa nafsu. Sedang kunci untuk mencapai hal itu adalah dengan memutuskan hubungan hati dengan hal yang bersifat duniawi dan menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyesatkan untuk kembali ke tempat kekal dan dengan sepenuh hati menuju Allah.25

Lepas dari pendapat pro dan kontra tersebut, yang jelas akibat

dari ‘uzlahnya al-Ghaza>li> telah dapat mengetengahkan berbagai

22 Hanas Laggulung, Asas-asas Pendidikan Islam ( Jakarta : Pustaka al-Husna, 1987 ), 375. 23 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 73. 24 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, volume I, 9. 25 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 128-129.

Page 10: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

73

pemikiran Psikologi Sufistik, di antaranya mengenai teori tazkiyat al-

nafs (penjernihan batin). Teori ini sebagaimana dapat dilihat pada tema

asrar al-t}aharah dalam al-Ihya’ jilid I, dengan istilah tathh}ir al-qalb

(penyucian hati).26

Upaya penjernihan psikologis ini menurut al-Ghaza>li> perlu

dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama, membersihkan badan lahir

dari segala hadats, kotoran dan benda-benda yang menjijikkan. Tahap

kedua, menyucikan anggota badan dari segala perbuatan dosa dan salah.

Tahap ketiga, menyucikan hati (jiwa) dari berbagai akhlak yang tercela.

Tahap keempat: menyucikan sir dari segala sesuatu selain Allah. Tahap

ini merupakan pengembangan psikologis pada tingkatan spiritual

tertinggi yang sering dilakukan para Nabi, Rosul dan al-Shiddiqin.27

Proses penyucian jiwa dalam berbagai tahapan di atas pada

dasarnya dimaksudkan untuk penbinaan masyarakat yang lebih

mengedepankan aspek kognitif dan simbolik kearah pengembangan daya

nalar afektif atas dasar moralitas yang tinggi, sebagai upaya mewujudkan

keutamaan dan kebahagiaan pada diri mereka.28

3. Wawasan Intelektual al-Ghaza>li>

Kehausan al-Ghaza>li> akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak

kemampuan intelektualnya mulai berkembang. Ia cenderung untuk

26 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, volume I, 150. 27 Ibid., 151. 28 Thaha Abd al-Baqi, Alam Pemikiran al-Ghaza>li> ( Solo : CV.Pustaka Mantiq, 1992 ), 69.

Page 11: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

74

mengetahui mendalami dan memahami masalah-masalah yang hakiki.

Hal ini dilukiskan oleh al-Ghaza>li> sendiri seraya menyatakan:

“kehausanku untuk menggali hakikat segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semanjak aku muda. Hal itu merupakan tabiat dan fitrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena usahaku”.29 Karenanya al-Ghaza>li> terdorong belajar tasawuf kepada salah seorang tokoh sufi, Abu al-Fadlil Ibn ‘Ali Muhammad Ibn ‘Ali al-Farmadi (w 477 H) dari segi teori dan praktiknya.30

Sewaktu jadi murid Imam al-Haramain, ia menanamkan

kebiasaan skeptis terhadap persoalan dan pertentangan teologis, meski

kecenderungan skeptis tersebut harus berhadapan pengaruh gurunya.

Ketika Imam al-Haramaim meninggal dunia tahun 478 H./1085 M.

kecenderungan skeptis ini berkembang lebih lanjut semasa ia berada di

majlis seminar yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, wazir Saljuk,

pecinta ilmu dan ulama. Di Majlis ini beliau banyak berdiskusi dengan

para ulama lebih kurang enam tahun. Selama itu ilmunya semakin

mendalam, terutama di bidang kalam.

Kesan tersebut dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya di

bidang kalam, seperti Qawa’id al-‘Aqa’id yang kini termasuk salah satu

bab dari kitab Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n, kitab al-Arba’in fi Us}ul al-Di>n, kitab

al-Risalah al-Qudsiyyah,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Iljam al-A’wam ‘an

Ilm al-Kalam. Dengan reputasinya yang demikian itu, di Nizhamiyah

Baghdad kuliah-kuliah al-Ghaza>li> menjadi daya tarik tersendiri bagi para

29 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 75. 30 Ahmad al-Sharbashi, Al-Ghaza>li> wa al-Tasawuf al-Islami ( Mesir : Dar al-Hilal, Tt ), 29-31.

Page 12: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

75

ulama, karena kehebatan analisis dan ketajaman argumentasinya yang

dikemukakannya.

Di sela-sela kegiatan mengajarnya al-Ghaza>li> juga mempelajari

filsfat dan melakukan pengujian terhadap kebenaran dalam filsafat.

Sebelum melakukan pengujiannya terhadap filsafat ia menyatakan

“bahwa menentang satu aliran (filsafat) tanpa memahami dan

mengkajinya secara baik adalah bantahan yang tidak mendasar (radd fi

‘imayah)”.31 Karena itu ia bersungguh-sungguh mencari buku-buku

filsafat dan mempelajarinya secara mendalam. Dalam tempo kurang dari

dua tahun secara otodidak dia sudah dapat menguasai segala aspek

filsafat,32 dengan dibuktikan adanya sebuah karya intelektualnya yang

berjudul “Tahafut al-Falasifah”.

Di dalam buku tersebut, ia menganggap adanya inkoherensi pada

system berfikir para filosof. Inkoherensi yang terutama adalah hubungan

pandangan metafisik dengan logika dan matematika. Pandangan para

filosof yang mendudukkan pembahasan metafisik dalam ukuran logika

dan matematik, merupakan akibat cara berfikir filsafat atas dasar

kerangka ilmu riyadliyah dan mant}iqiyah yang bersifat ma’qulah.

Padahal menurut al-Ghaza>li> kemampuan akal dalam berfilsafat untuk

menangkap rahasia-rahasia metafisis sangat terbatas (qashi>r ‘an idrak

haqa>’iq al-umur al-Ilahiyah), sehingga dalam pandangan-nya, akal tidak

mungkin dijadikan sandaran bagi penentuan benar dan tidaknya

31 Al-Ghaza>li>, Tahafut al-Falasifah ( Mesir : Dar al-Ma'arif, 1966 ), 69. 32 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 90.

Page 13: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

76

persoalan metafisik, karenanya harus dikembalikan kepada berita Nabi

yang ma’s}u>m.33

Kemampuannya di bidang filsafat, al-Ghaza>li> sebagaimana

pandangan Sulaiman Dunya, berhak menyandang gelar filosof, meskipun

pemikiran filsafatnya berprestasi untuk menghacur-kan reputasi para

filosof di mata ummat, karena adanya kerancuan pemikiran mereka

sehingga bertentangan dengan akidah yang benar.34

Ini menimbulkan kesan bahwa ia mempelajari filsafat tidak secara

jujur mengujinya sebagai cara untuk menemukan kebenaran, tetapi untuk

mencari kelemahan dan menghancurkan-nya. Pernyataan tersebut tidak

mesti dipahami sebagai ketidakjujurannya terhadap filsafat, sebab

pernyataan yang menggambarkan pengalamannya ini ditulisnya di dalam

al-Munqidz beberapa tahun sebelumia meninggal dunia. Dengan

demikian, sudut pandang yang digunakan al-Ghaza>li> dalam menilai

pengalaman masa lalunya itu adalah sudut pandang tasawuf.35

Selain bidang filsafat al-Ghaza>li> juga mengkaji doktrin-doktrin

Bathiniyah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karyanya yang

berjudul Fadla’ih al-Bathiniyyah wa Fadla’il Mustazhhiriyyah,

(kejelekan paham Bathiniyyah dan keutamaan paham

Mustazhhiriyyah).36 Terhadap paham Bathiniyyah, kritik al-Ghaza>li> yang

paling pokok adalah mengenai otoritas imam yang ma’shum sebagai

33 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 76. 34 Sulaiman Dunya (ed), Tahafut alpFalasifah ( Mesir : Dar al-Ma'arif, 1966 ) 43. 35 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 143. 36 Ibid, 35.

Page 14: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

77

sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghaza>li> sependapat dengan

mereka bahwa pemberi informasi (al-mu’allim) itu perlu bersifat

ma’shum, tetapi hanya sebatas pada tingkat Nabi, sesudah Nabi orang

tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Tuhan melalui kitab

suci telah memberi kepada manusia ukuran (mizan) dan alat untuk

mengetahui kebenaran, yang oleh al-Ghaza>li> disebutnya sebagai al-

qisthas al-mustaqi>m.

Selanjutnya dalam kontek wawasan intelektual, al-Ghaza>li> juga

mendalami bidang fiqh dan kalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui

karya tulisnya yang berjudul Al-Wajiz (ringkasan), al-Wasith

(pertengahan) dan al-Basith (sederhana) dalam bidang fiqh, dan al-

Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah) di bidang kalam. Dengan

demikian al-Ghaza>li> dapat dianggap sebagai sosok intelektual yang

berhasil mencapai puncak karier intelektualnya, sebagaimana harapan

pada umumnya intelektual waktu itu. 37

Sesudah itu al-Ghaza>li> menuju ke jalan tasawuf, karena diyakini

bahwa metode berfikir filsafat, ilmu kalam dan bathiniyyah tidak mampu

mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia hanya

berkeyakinan bahwa tasawuf adalah jalan terbaik yang pantas dilalui

manusia, sebagaimana pernyataannya:

“saya ketahui pasti bahwa para Sufi yang berjalan di jalan Allah, hidup mereka adalah hidup yang terbaik, cara mereka adalah cara yang paling benar dan moral mereka adalah pekerti yang paling bersih.38

37 Abdullah Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 77. 38 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 132.

Page 15: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

Atas dasar keyakinan tersebut, maka ia dengan tekun menelaah

karya para sufi, sehingga ia mengerti sepenuhnya tentang aspek disiplin

ilmu ini dan menyadarinya, bahwa sesuatu yang khas dalam ilmu

tersebut tidak dipahami dengan penyelidikan akal, tetapi hanya lewat

pengalaman langsung (dzauq), dengan jalan ekstase atau perubahan

moral. Usaha untuk mewujudkan kondisi ini menurutnya harus dilakukan

dua tahap. Yang pertama adalah mengosongkan jiwa dari selain Allah,

dan yang kedua adalah mengisi jiwa dengan ingatan yang penuh kepada

Allah.39

Untuk mengetahui indikasi keberhasilan amaliah dan perilaku

tasawuf, sebagaimana yang dikehendaki al-Ghaza>li>, dapat diperhatikan

melalui dua hal,40 pertama “al-shidq ma’a Allah” (jujur dengan Allah),

dan yang kedua “husn al-mu’amalah ma’a al-Nas” (berperilaku baik

dengan sesama manusia).

Selanjutnya dari sisi wawasan intelektualnya di bidang tasawuf,

dapat dilacak melalui karya ilmiahnya yang monumental, Ihya’ ‘Ulu>m al-

Di>n. Karya intelektualnya ini terdiri dari empat jilid dan satu

supplement. Dalam jilid pertama diuraikan tentang ilmu dasar-dasar

aqidah, rahasia thaharah, rahasia s}alat, rahasia zakat, rahasia puasa,

rahasia haji, etika membaca al-Qur’a>n dan adzkar.

Dalam jilid kedua dibahas panjang lebar tentang pelaksanaan

mu’amalah yang meliputi etika makan, etika nikah, etika berekonomi,

39 Ibid., 133. 40 Al-Ghaza>li>, Khulasah al-Thasanif fi al-Tasawuf, (Mesir : D<ar al-Ma'arif, 1966 ), 174.

Page 16: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

79

halal-haram, etika persaudaraan, etika ‘uzlah, etika bepergian, etika amar

ma’ruf nahi munkar, kehidupan dan akhlak Nabi. Dalam jilid ketiga baru

mulai dibahas tentang keajaiban hati, latihan pengembangan jiwa,

pengendalian syahwat, bahaya lisan, kejelekan hasud-dengki, dan

beberapa penyakit psikologis beserta cara penyembuhannya. Sementara

dalam jilid yang keempat diuraikan tentang ajaran sufistik yang

menyangkut taubat, s}abar, shukr, khauf, raja’, zuhd, mahabbah, ikhlash,

muhasabah, muraqabah, dan hal-hal lain yang bersifat metafisik.

Sedang dalam supplement, dimuat tentang kelebihan-kelebihan

Ihya’, berbagai problematika dalam Ihya’, dan seputar uraian tentang

tasawuf, akhlak tasawuf, serta keutamaan-keutamaan ibadah yang

bercorak sufistik. Ihya’ al-‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li> tersebut,

berdasrkan catatan sejarah pribadi>nya, diulis setelah ia selesai mengkaji

falsafah, ilmu kalam, tasawuf dan aliran kebatinan yang berkembang saat

itu. Sementara dari sisi waktu dan tempat kitab tersebut ditulis di

Baghdad setelah habis masa ‘uzlahnya,41 meski ada pendapat lain yang

menyebutkan bahwa Ihya’ ditulis pada masa ‘uzlahnya42 yang

diperkirakan tahun 1095-1107 M.

41 Philip K Hitti, History of The Arabs, ( London : The Macmillan Press, 1974 ), 342. 42 Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj al-Falsafi Bain al-Ghaza>li> wa Dikart, Terj. Ahmad Rafi' Uthman, Al-Ghaza>li> Sang Sufi Sang Filosof , (Bandung : Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1987 ), 4.

Page 17: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

80

Kitab al-Ihya’ yang telah memuat konsep rekonsiliatif antara

pengalaman sufisme dan shari>’at,43 sebagaimana harapan Imam al-

Qusyairi, selain mendapat penghargaan dari Muhammad Abduh yang

dilansir oleh Jamal al-Di>n al-Qasimi, dan Musa al-Maimun dari teolog

Yahudi juga mendapat kritikan karena dianggapnya tidak orisinal.44

Sekalipun mendapatkan penghargaan karena Ihya’nya, bukan

berarti karya intelektual al-Ghaza>li> tersebut bebas dari pengaruh

eksternal. Menurut pengakuan al-Ghaza>li> sendiri, khusunya menyangkut

pembahasan di bidang tasawuf telah dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran sufistik sebelumnya, antara lain Qut al-Qulub karangan Abu

Thalib al-Makki dan pemikiran tas}awwuf al-H}ari>th al-Muh}a>sibi>, Al-

Junaydi dan Abu Yazid al-Bust}ami>.45 Tetapi, ungkapan dan uraian dalam

Ihya’ menurut al-Ghaza>li> jauh berbeda dibanding buku-buku tasawuf

mereka.

Perbedaan tersebut menurutnya terdapat dalam lima hal berikut :

pertama, Ihya’ menjelaskan apa yang ditulis mereka secara singkat dan

umum, kedua, Ihya’ menyusun dan mengatur apa yang ditulis mereka

berserakan dan tidak sistematis, ketiga, Ihya’ meringkas dan menguatkan

apa yang ditulis mereka secara panjang, keempat, Ihya’ membuang apa

yang mereka tulis secara berulang-ulang, kelima, Ihya’ memberikan

43 Simut, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), 167. 44 Kautsar Azhari Noer, Mengkaji Ulang Posisi al-Ghaza>li> dalam Sejarah Tasawuf "Majalah Pesantren " dalam Jurnal Paradikma. Vol. I, ( Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1999), 185. 45 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 126.

Page 18: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

81

kepastian terhadap hal-hal yang meragukan yang membawa kepada

kesalah pahaman, di mana hal ini tidak pernah disinggung dalam tulisan-

tulisan mereka.46

Pembelaannya terhadap Ihya’di atas secara akademis,

menunjukkan kelebihan metodologi yang digunakan Ihya’ dibanding

dengan buku-buku tasawuf sebelumnya. Meski demikian, ada juga yang

mengritiknya sebagai seorang ulama yang tidak memiliki ilmu athar, dan

tidak banyak mempunyai al-sunnah al-nabawiyah yang sah. Kelemahan

ini oleh al-Ghaza>li> diakui sendiri dengan pernyataannya, bahwa

“kapasitas ilmu h}adi>thku sangat terbatas”.47

4. Konsep Hukum al-Ghaza>li>

Pemikiran al-Ghaza>li> dalam bidang fikih meliputi banyak aspek,

seperti politik (fikih siyasi), ibadah dan us}ul fikih.

Dalam aspek politik, al-Ghaza>li> berpendapat bahwa kewajiban

mengangkat kepala negara didasarkan atas keharusan agama. Sebagai

alasan, ia menyatakan bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan

bernegara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materil dan duniawi

yang tidak mungkin dapat dipenuhinya sendirian, tetapi, lebih dari itu,

untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang bahagia di akhirat.

Persiapan itu harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan

ajaran agama secara benar. Sementara pengamalan dan penghayatan itu

46 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din. Vol. I, 11. 47 Rasyad Salim, Muqa>ranah Bain al-Ghaza>li> wa Ibn Taymiyyah, ( Riyadl : D<ar al-Salafiyyah, 1975 ), 3.

Page 19: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

82

baru mungkin dapat dilakukan apabila dunia dalam keadaan tertib, aman,

dan tenteram. Maka untuk menciptakan suasana seperti ini, diperlukan

pimpinan atau kepala negara yang ditaati.

Al-Ghaza>li> selanjutnya berpendapat, bahwa kerajaan merupakan

anugerah Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Ini berarti bahwa kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,

tetapi dari Allah. Karenanya kekuasaan kepala negara suci, rakyat wajib

mentaatinya dan melaksanakan perintahnya secara mutlak. Hal ini sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam surat an-Nisa’ (4: 59). Meskipun

mentaati kepala Negara merupakan keharusan, al-Ghaza>li> untuk

menghindari absolutisme kekuasaan mengemukakan syarat-syarat bagi

seorang kepala Negara.48

Dalam hal ibadah, sebagai seorang sufi yang memperhatikan aspek

batin, al-Ghaza>li> tidak berhenti pada menyebutkan hukum-hukum syara’

sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas fuqaha>‘. Pengkajiannya

terhadap masalah ibadah dilakukan dengan membahas segi-segi spiritual,

serta mendalami berbagai rahasia dan hikmahnya.

Dalam masalah ‘t}aharah’ misalnya, menurut al-Ghaza>li> bukan

sekedar bersuci dari h}adath (yang secara hukum dipandang kotor oleh

shara’) dan khabis (yang secara materil dipandang kotor oleh shara’).

Menurutnya t}aharah yang demikian merupakan tingkatan yang pertama.

Masih ada tingkatan-tingkatan lain di atasnya, yaitu tingkatan kedua,

48 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2 ( Desember, 2005 ), 799.

Page 20: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

83

penyucian diri dari dosa dan kesalahan, ketiga, penyucian hati dan akhlaq

yang tercela, dan keempat, penyucian ‘sirr’ (harfiyah: rahasia atau situasi

hati paling dalam) dari selain Allah SWT.49

Adapun konsepsi al-Ghaza>li> tentang Us}ul Fikih terungkap secara

sistematis dalam kitabnya “Al-Mustasfa”.50 Dari kitab ini kita akan

mendapatkan informasi tentang keberatan al-Ghaza>li> terhadap “Shar’u

man Qablana, Qaul Sah}abi, Istihsan, Istislah, dll” sebagai sumber hukum

sekunder. Bagi al-Ghaza>li>, sumber hukum itu cukup empat, yaitu al-

Kitab, al-Sunnah, Ijma' dan akal pikiran. Adapun selebihnya Qiyas,

Istih}san dan lain-lain. Sehingga inheren pada sumber yang terakhir, yaitu

akal. Keterusterangan al-Ghaza>li> mengedepankan akal sebagai sumber

hukum yang keempat-menurut hemat penulis-merupakan pengaruh dari

filsafat 51. Untuk lebih jelasnya di uraikan hal-hal berikut ini:

a. Hakikat Hukum

Bagi al-Ghaza>li>, hukum itu merupakan uraian mengenai

kitab al-Shar’i (obyek hukum yang ditentukan oleh shari’at yang

berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf ). Jadi, seandainya

tidak ada kitab dari shara’ maka hukum itu tidak akan pernah ada.

Oleh karena itu, tegas al-Ghaza>li>, akal pikiran manusia tidak punya

tempat untuk menentukan baik-buruknya suatu perbuatan, dan (juga)

49 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, vol I , 125. 50 Kitab ini di karang al-Ghaza>li> sebelum wafatnya, berarti waktu ia mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupan sufi, ( al-Ghaza>li>, al-Mustasfa, 3-4 ) 51 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2 ( Desember, 2005 ), 800.

Page 21: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

84

tidak berhak mewajibkan manusia untuk menshukuri nikmat yang

telah diperolehnya. Tegasnya, tidak ada hukum apapun bagi segala

perbuatan manusia sebelum syari’at itu datang.52

b. Metode Penggalian Hukum

Metode penggalian hukum ini merupakan pembahasan

utama Us}ul fikih, karena di sinilah usaha para mujtahid dalam

menggali, kemudian mengeluarkan berbagai hukum dari sumbernya

dan mengembangkan berbagai hukum tersebut pada cabang-

cabangnya. Menurutnya, metode penggalian hukum terdiri dari

metode penggalian hukum dengan pendekatan semantic, kontekstual,

dan tekstual. Dari pendekatan semantic, al-Ghaza>li> membaginya ke

dalam empat bagian, yaitu : Mujmal-Mubayyan, Zahir-Muawwal,

Amr-Nahi, dan ‘Am-Khas. Dari pendekatan kontekstual

pembahasannya kepada masalah Iqtida, Isyarah Lafadz, memahami

hukum berdasarkan illatnya, mamahami arti di balik kata-kata yang

diucapkan, dan mafhum. Adapun pendekatan tekstual membahas

masalah qiyas.

Dari metode penggalian hukum ini menjadi jelas bahwa

sumber hukum itu ada empat yaitu: al-kitab, al-sunnah, al-ijma' dan

akal pikiran, sedang yang lainnya bukan termasuk dalil-dalil pokok

(Us}ul al-Adillah). 53

52 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, I., 55. 53Ibid, 245.

Page 22: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

85

c. Konsep Ijtihad

Dalam upaya melaksanakan penggalian hukum, al-Ghaza>li>

menyerahkan kepada tiga kelompok pelaksana, yaitu mujtahid,

muqallid dan marajjih. Al-Ghaza>li> serius mendukung pemasharakatan

ijtihad. Hal ini terlihat pada metode ijtihatnya yang memberikan

peluang sebesar-besarnya bagi umat Islam untuk menjadi mujtahid.

Baginya, mujtahid tidak terbatas pada mujtahid mutlak (yang

memerlukan syarat-syarat ketat), tetapi juga mujtahid muqayyad

(terbatas pada hal-hal tertentu), dan seorang mujtahid tidak harus

berfatwa dalam seluruh persoalan shara’. Boleh jadi seseorang hanya

menguasai metode qiyas, maka ia dibenarkan memberikan fatwa

hukum. Khusus mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan

qiyas, meskipun ia tidak mahir dalam bidang ilmu H}adi>th. Artinya,

untuk bisa menjadi seorang mujtahid tidak harus hafal ayat-ayat atau

H}adi>th-H}adi>th hukum, tetapi cukup mengetahui sebatas ayat-ayat

yang berkaitan dengan masalah yang sedang dicarikan hukumnya

(kurang lebih 500 ayat) dan dapat dengan cepat-cepat

menunjukkannya ketika diperlukan.54

d. Independensi Pemikiran al-Ghaza>li>

Al-Ghaza>li> yang notabene Syafi’iyah tidak serta merta

mengikuti pendapat imam madzhabnya. Sebagai bukti indepedensi

54 Ibid, 351-355.

Page 23: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

86

pemikirannya, al-Ghaza>li> berani untuk menempatkan akal sebagai

sumber hukum keempat.

Dalam kitabnya Ihya' Ulu>m Al-Di>n’, al-Ghaza>li> membahas

keutamaan akal dalam bab tersendiri, yaitu bab “al-‘Aql wa

sharafuhu”, akal merupakan sumber, tempat muncul dan landasan

bagi ilmu pengetahuan. Namun akal bukan berarti dapat berbuat

sesuka hati dalam menentukkan hukum. Akal selalu berada di bawah

kontrol nash al-kitab dan as-sunnah.55 Al-Ghaza>li> mengakui bahwa

hukum-hukum yang didasarkan atas wahyu tidak mungkin dapat

dijangkau akal. Hanya saja akal mampu menunjukkan adanya beban

tanggungan dari kewajiban-kewajiban yang membebani mukallaf,

tapi akal tidak bisa menunjukkan adanya kewajiban karena itu

wewenang wahyu. Misalnya, akal hanya mampu menunjukkan bahwa

tidak ada kewajiban puasa bagi mukallaf di bulan Shawal. Namun

wahyulah yang mewajibkan puasa Ramadan. Ketika ada perintah

s}alat lima waktu, maka s}alat yang keenam dengan sendirinya tidak

wajib. Akal dapat langsung memahami hal itu, walaupun tanpa

penjelasan dari Nabi akan ketidak-wajibannya.

Disamping itu al-Ghaza>li> mencoba melakukan kritik

terhadap pendapat imam-imam madzhab, seperti terhadap konsep

Syar’u man Qablana, Qaul Sahabi, Istishab, istislah dan Istihsan.

55 Ibid, 140.

Page 24: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

87

Keberatan al-Ghaza>li> pada Shar’u man Qablana sebagai dalil

pokok berdasarkan pada kenyataan bahwa, Nabi Muhammad SAW.

tidak pernah melaksanakan ibadah dengan menggunakan shari’at para

Rasul sebelumnya. Begitu juga terhadap Qaul Sahabi, tidak bisa

dijadikan dalil pokok yang harus selalu diikuti, karena para sahabat

bukan manusia yang ma’sum dan terhindar dari perbedaan pendapat.

Dan pada kenyataannya mereka terbiasa dengan perbedaan yang ada,

bagaimana mungkin mesti diikuti pendapatnya? Kaitannya dengan

ini, ia menegaskan bahwa Istishab tidak dapat dijadikan hujjah,

kecuali jika terdapat dalil yang mengukuhkannya.

Sementara sikapnya terhadap masalah, ia berpendapat bahwa

masalah yang mendapat legimitasi dari shara’ dapat dijadikan hujjah.

Namun, hasil akhirnya harus dikembalikan pada qiyas. Jadi masalah

tidak dapat berdiri sendiri sebagai sumber hukum alternative setelah

dalam al-Qur’a>n dan H}adi>th tidak ditemukan dalilnya.

Adapun sanggahannya terhadap Istihsan dimulai dengan

menukil perkataan Asy-Shafi’i: “man istahsana faqad shara’a,”

56dengan argumentasi

1) Sesuatu yang dianggap baik istihsan oleh mujtahid atas

pertimbangan akal belaka, akan membawa pengertian bahwa kita

akan menjumpai ibadah yang didasarkan pada akal, padahal ibadah

tidak mungkin diketahui kecuali melalui nash.

56 Muhammad Ibn Idris al-Shafi'I, 'Al-Um, vol. VII, ( Beirut : D<ar al-Fikr, 1978 ), 277.

Page 25: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

88

2) Kita tahu pasti bahwa ahli hukum tidak layak menentukan sesuatu

hukum atas dasar hawa nafsunya, tanpa terlebih dahulu

memperhatikan nash yang ada. Tanpa nash, sama artinya hukum

itu didasarkan pada hawa nafsu.57

Jika konsep Us}ul fikihnya ini tidak jauh berbeda dengan

Imam Hanafi dan Imam Shafi’i (dalam penggunaan akal), tetapi

mengapa justru pemikirannya tidak dikenal (baca: aplikasinya) secara

luas di kalangan umat Islam? Jika melihat data sejarah, maka

jawaban atas pertanyaan itu adalah :

1) Karena al-Ghaza>li> menempatkan akal sebagai sumber hukum

keempat (biasanya ditempati Qiyas atau Ijtihad)

2) Penggunaan (perioritas) akal pada masa al-Ghaza>li> dan masa

sesudahnya dianggap identik dengan aliran Mu’tazilah, yang pada

umumnya tidak mendapat respon dari kalangan Sunni. Sementara

pemikiran usul fikih yang berkembang sampai saat ini adalah

pemikiran usul fikih versi Sunni.58

B. Konsep Halal dan Haram menurut Imam al-Ghaza>li>.

Dalam penelitian tentang halal dan haram, Imam al-Ghaza>li> dalam

kitab Ihya' Ulu>m al-Di>n membagi dalam tujuh bab, yaitu :

57 Al-Ghaza>li>, Al-Mustasfa, 275-276. 58 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2, 804.

Page 26: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

89

Bab I : Tentang keutamaan barang halal dan ketercelaan barang haram,

serta tinkatan-tingkatan halal dan haram.

Bab II : Tentang tingkatan-tingkatan syubhat dan perbedaanya dari

halal dan haram.

Bab III : Tentang penyediaan, pertanyaan, serangan, melalaikan, dan

dugaan tentang halal fdan haram

Bab IV : Tentang cara keluarnya orang yang taubat dari kez}aliman-

kez}aliman harta.

Bab V : Tentang pemberian dan hadiah sultan-sultan, apa yang halal

dan haram padanya.

Bab VI : Masuk pada sultan dan berhubungan dengannya.

Bab VII : Masalah-masalah yang beraneka ragam.

Dalam penelitian ini penulis tidak menyebutkan semua bab di atas

akan tetapi hanya bebrapa hal di bawah ini, yaitu : pertama, fad}ilah halal dan

ketercelaan haram. Kedua, macam-macam halal dan tingkatannya. Ketiga,

macam-macam haram dan tingkatannya.

1. Fad}ilah halal dan ketercelaan haram.

Dalam menyebutkan keutamaan halal dan ketercelaan haram,

Imam al-Ghaza>li> mengambil dalil dari al-Qur’a>n dan al-H}adi>th sebagai

berikut ;

a. Al-Qur’a>n surat al-Mu'minu>n ayat 51 :

يا أيـها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صاحلا إين مبا تـعملون عليم

Page 27: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

90

"Hai Rasu>l-Rasu>l, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

Allah memerintahkan untuk makan dari yang baik-baik

sebelum beramal. Dan ada yang mengatakan bahwa yang di maksud

adalah sesuatu yang halal.59

b. Al-Qur’a>n surat al-Baqarah ayat 188

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

c. H}adi>th Nabi SAW yang riwayatkan oleh Abu Na'im :

قلبه وأجرى ينابيع احلكمة من قلبهأكل احلالل أربعني يوما نور اهللامن "Barang siapa makan halal empat puluh hari, maka Allah menerangi hatinya dan Ia lakukan sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lidahnya "

d. Al-Qur’a>n Surat al-Nisa' ayat 10

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

59 Hal 90.

Page 28: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

91

1) Macam-Macam Halal

Dalam kitab Ihya' al-Ghaza>li> tidak menjelaskan dengan detil

tentang macam-macam halal, beliau hanya menganjurkan untuk

menela'ah macam-macam halal dalam kitab-kitab fikih.

Adapun orang yang ingin mengkonsumsi dari berbagai segi,

maka ia membutuhkan kepada teori halal dan haram seluruhnya

sebagaimana rincian di dalam kitab fikih.

2) Macam-Macam Haram

Al-Ghaza>li> menunjuk kepada garis-garis besar mengenai

rangkaian pembagian, yaitu harta itu haram adakalanya karena

makan dalam ‘ain (zatnya ) atau karena beberapa cacat dalam segi

usahanya.

2.1. Sesuatu Haram Karena Sifat dalam Zatnya

Haram itu karena sifat dalam bendanya seperti khamer,

babi dan lainnya.

Perinciannya bahwa benda-benda yang dimakan di

permukaan bumi itu tidak melampaui tiga bagian, yaitu:

a) Adakalanya terdiri dari tambang seperti garam, tanah liat

dan lainnya.

b) Atau dari tumbuh-tumbuhan.

c) Atau dari hewan-hewan.

Adapun benda tambang yaitu bagian-bagian bumi dan

seluruh apa yang keluar dari padanya, maka tidak haram

Page 29: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

92

memakannya kecuali dari segi makan itu memadlaratkan orang

yang memakannya. Dan sebagiannya ada sesuatu yang berjalan

seperti jalannya bisa roti, seandainya memadlaratkan niscaya

haram memakannya. Tanah liat yang bisa dimakan itu tidak

haram kecuali memadharatkan.

Faidah perkataanal-Ghaza>li> bahwa hal itu tidak haram

padahal sesuatu itu tidak dimakan adalah seandainya sesuatu itu

jatuh di dalam kuah atau makanan yang cair maka, makanan itu

tidak menjadi haram.

Adapun tumbuh-tumbuhan tidak haram kecuali sesuatu

yang menghilangkan akal atau menghilangkan kehidupan atau

kesehatan. Sesuatu yang menghilangkan akal diantaranya

adalah ganja, khamr dan sesuatu yang memabukkan. Sesuatu

yang menghilangkan hidup seperti bisa ( racun ), dan Sesutu

yang menghilangkan kesehatan adalah obat-obatan yang salah

pakai.

Himpunan ini adalah kembali kepada kemadlaratan

kecuali khamar dan apa-apa yang memabukkan. Dan orang yang

tidak mabuk juga haram memakannya walaupun sedikit ‘ain dan

sifatnya. Sedangkan bisa (racun), apabila keluar dari

keadaannya memadharatkan karena sedikitnya atau teraduk

dengan lainnya, maka tidak haram.

Page 30: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

93

Adapun binatang maka terbagi kepada sesuatu yang di

makan dan tidak boleh dimakan. Dan perinciannya di jelaskan

dalam kitab al-At'imah.

Melihat mengenai perinciannya itu panjang lebih-lebih

mengenai burung-burung yang asing, binatang-binatang daratan

dan lautan. Binatang yang tidak dimakan itu tidak hanya

menjadi halal apabila disembelih dengan sembelih syara’ yang

memenuhi syarat-syarat penyembelih, alat dan binatang yang di

sembelih. Dan hak ini oleh al-Ghaza>li> disebut dalam kitab al-

Said dan kitab al-Dlahaya.

Binatang yang tidak disembelih dengan sembelihan

syara’ atau mati maka binatang itu haram. Dan tidak halal

kecuali bangkai, yaitu ikan dan belalang dan binatang yang

semakna dengan kedua binatang itu adalah binatang yang

bertempat di makanan-makanan seperti ulat apel, cuka dan susu

asam, karena menjaga diri dari binatang tidak mungkin.

Adapun apabila binatang itu disendirikan dan dimakan

maka hukumnya seperti hukum lalat, kumbang, kalajengkin dan

setiap binatang yang tidak mempunyai darah maka tidak ada

sebab dalam mengharamkannya kecuali jijik. Dan seandainya

kejijikan itu tidak ada, maka tidak dimakruhkan.

Jika terdapat seseorang yang tidak merasa jijik maka

tidak ditolak kepada kekhususan nalurinya. Sesutu itu tidak

Page 31: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

94

disamakan dengan hal-hal yang buruk itu karena umumnya jijik

sehingga makruh memakannya. Dan kemakruhan itu bukan

karena najisnya karena, yang benar binatang-binatang itu tidak

najis karena, akan tetapi karena RAsulullah SAW.

memerintahkan untuk memasukkan lalat di dalam makanan,

apabila lalat itu terjatuh padanya, barangkali makanan itu panas

dan menjadikan sebab kematianya.

Seandainya semut atau lalat jatuh di dalam periuk maka

tidak wajib mengalirkanya karena yang dipandang menjijikkan

bendanya apabila ia masih mempunyai benda, dan benda itu

tidak najis sehingga benda itu haram karena najis. Dan ini

menunjukkan bahwa haramnya itu karena dipandang

menjijikkan.

Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan:

“Seandainya jatuh satu bagian anak Adam (manusia) di dalam periuk walaupun, timbangan (seberat) satu daniq (1/6 dirham) maka haramlah seluruhnya, bukan karena najisnya, karena yang benar, anak adam (manusia) itu tidak najis karena mati, akan tetapi memakannya itu haram karena dimuliakan, bukam karena dipandang menjijikkan.

Adapun binatang-binatang yang boleh dimakan apabila

disembelih dengan sharat shara’ maka tidak seluruh bagian-

bagianya itu halal. Tetapi darah, kotoran dan setiap apa yang

diputuskan najis padanya itu diharamkan. Bahkan memakan

Page 32: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

95

najis seluruhnya itu haram. Tetapi tidak ada sesuatu yang

diharamkan itu najis kecuali dari binatang-binatang.

Sedangkan dari tumbuh-tumbuhan dianggap haram

adalah hanya tumbuhan yang memabukkan saja, bukan sesuatu

yang menghilangkan akal, dan memabukkan seperti ganja.

Sesungguhnya najisnya sesutu yang memabukkan itu

menunjukkan beratnya larangan mengkosumsinya, karena hal itu

mengandung dugaan bisa menyebabkan ketertarikan pada suatu

yang memabukkan.

Manakala setetes najis atau bagian dari najis yang beku

itu jatuh di dalam kuah, makanan atau minyak, haram memakan

seluruhnya. Namun tidak haram pengambilan manfa’at untuk

selain yang dimakan, shg boleh memakai lampu dengan minyak

najis. Demikian pula mengecat (mengoles) perahu, kulit binatang

dan lainnya.

2.2. Sesuatu yang Haram Karena Cacat dalam Arah Penetapan

Tangan Atasnya.

Di dalam hukum haram ini, pembahasannya sangat luas.

Al-Ghaza>li> menyebutkan bahwa mengambil harta, adakalanya

dengan ikhtiar (usaha) pemilik atau usaha orang lain. Sesuatu

yang diambil karena usaha orang lain seperti warisan.

Sesuatu yang ada dengan ikhtiarnya sendiri adakalanya

tidak dari pemilik seperti memperoleh tambang, atau dari

Page 33: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

96

pemilik. Sesutu yang diambil dari pemilik adakalanya diambil

dengan paksa dan adakalanya diambil dengan kerelaan.

Adapaun sesuatu yang diambil secara paksa adakalanya

karena gugurnya keterpeliharaan pemilik seperti rampasan

perang atau karena haknya pengambilan serperti zakat orang-

orang yang mencegah zakat dan nafkah-nafkah yang wajib bagi

mereka. Dan sesutu yang diambil dengan kerelaan adakalanya

diambil dengan ganti seperti jual beli, maskawin dan ongkos.

Juga adakalanya diambil tanpa ganti seperti hibbah (pemberian)

dan wasiat.

Dari pembahasan macam-macam haram diatas dapat

disimpulkan ada enam bagian, yaitu:

a) Sesuatu yang diambil tanpa pemilik seperti memperoleh

harta tambang, menghidupkan tanah mati, berburu, mencari

kayu bakar, mencari air dari sungai dan merumput. Hal ini

halal dengan sharat apa yang diambil itu tidak khusus pada

orang yang memiliki kehormatan. Apabila sesuatu itu lepas

dari kekhususan-kekhususan, maka pemiliknya adalah orang

yang mengambilnya. Perinciannya tersebut di bahas dalam

kitab Ihya' al- mawat (menghidupkan tanah mati).

b) Sesuatu yang diambil dengan paksa dari orang yang tidak

mempunyai kehormatan yaitu harta fai’ (harta yang diambil

dari orang kafir tanpa perang), rampasan perang dan seluruh

Page 34: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

97

harta orang-orang kafir dan harta orang-orang yang memusui

Islam. Harta itu halal bagi kaum Muslimin apabila, mereka

mengeluarkan seperlimanya dan membaginya diantara

orang-orang yang berhak dengan adil. Dan mereka, tidak

mengambilnya dari orang-orang kafir yang mempunyai

kehormatan, keamanan dan janji.

c) Sesuatu yang diambil secara paksa dengan adanya hak ketika

orang yang wajib itu mencegahnya, maka sesuatu itu bias

diambil tanpa keridlaannya. Dan itu halal apabila sempurna

sebab-sebab pengambilan hak dan sempurna sifat

mustahiknya. serta ia mengambil hanya sebatas haknya, dan

ia memenuhinya dari orang yang memiliki hak pemenuhan

itu, yaitu hakim, penguasa atau orang yang berhak. Hal ini

dijelaskan al-Ghaza>li> dalam kitab tafriq al-S}adaqah , kitab al-

Waqfi dan kitab al-Nafaqah.

d) Sesuatu yang diambil atas kerelaan dengan adanya

pergantian. Dan itu halal apabila dipelihara sharat-sharat

pertukaran, sharat kedua belah pihak orang yang beraqad dan

syarat dua lafal yaitu ijab dan qabul serta sesuatu yang

dipandang ibadah menurut shara’, dan menjahui syarat-syarat

yang merusakkan. Hal ini dijelaskan al-Ghaza>li> dalam bab

jual beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan lain-lain.

Page 35: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

98

e) Sesuatu yang diambil dengan kerelaan tanpa ganti, apabila

padanya dipelihara syarat barang yang diaqad, dan syarat dua

orang yang beraqad, syarat aqad, dan tidak menyampaikan

madharat kepada ahli waris atau lainnya. Hal ini disebutkan

dalam kitab al-Hibbah (pemberian), wasiat (pesan) dan

sedekah.

f) Sesuatu yang diperoleh tanpa ikhtiar seperti warisan itu

halal, apabila harta yang diwaris itu diusahakan dari

sebagaian arah yang lima dengan segi yang halal. Setelah itu

penunaian hutang, pelaksanaan wasiyat, mengadilkan

pembagian antara ahli waris, mengeluarkan zakat, haji dan

kaffarat (denda pelanggaran sumpah).Itu tersebut di dalam

kitab Wasiyat dan pembagian waris.

3) Tingkatan Halal dan Haram

Ketahuilah bahwa haram seluruhnya itu buruk tetapi

sebagianya lebih buruk dari pada sebagian yang lain. Dan halal itu

seluruhnya baik tetapi sebagiannya lebih baik dari pada sebagian

yang lain. Sebagaimana dokter menghukumi dengan panas (kalori)

terhadap setiap yang manis. Tetapi sebagianya panas (kalori) dalam

tingkatan pertama seperti gula, sebagiannya panas (kalori) dalam

tingkatan kedua seperti manisan, sebagiannya panas (kalori) dalam

tingkatan ketiga seperti fuits (jenis manisan). Dan sebagiannya panas

(kalori) dalam tingkatan keempat seperti madu.

Page 36: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

99

Haram juga mempunyai tingkatan seperti halal, sebagiannya

buruk dalam tingkatan pertama, sebagianya dalam tingkatan kedua,

ketiga atau keempat.

Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan wara’ terhadap

haram itu ada empat tingkat,60 yaitu:

3.1. Wara’ orang sangat adil, dan itulah yangmewajibkan kefasikan

dengan melanggarnya, dan gugurlah keadilan karenanya dan

tetap (sah) lah nama durhaka dan menyebabkan masuk neraka.

Yaitu wara’ dari setiap apa yang diharamkan oleh fatwa fuqaha>‘.

3.2. Wara’ orang yang shalih, yaitu mencegah dari sesuatu yang

menyampaikan kepada penaggungan haram, tetapi mufti (ahli

fatwa) memberi keringanan dalam mengambilnya karena

berdasarkan atas d{ahir,61 karena itu termasuk tempat-tempat

shubhat secara global, maka hendaklah kita memberi nama

penyempitan terhadap hal itu sebagai wara’ orang-orang yag

shalih,.

3.3. Sesuatu yang tidak diharamkan oleh fatwa dan tidak ada shubhat

mengenai kehalalannya. Tetapi dikhawatirkan dapat

menyampaikan kepada sesuatu yang diharamkan. Yaitu

meninggalkan sesuatu yang tidak menyebabkan dosa.

60 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, 95. 61 Dahir yang dimaksud di sini adalah dahir lawan kata dari sara'ir ( hal-hal yang dinilai hanya oleh Allah). ( Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ittihaf Tasat al-Muttaqin Sharh Ihya' Ulum al-Din, Vol 6), (Beirut : Dar al-Fikr, Tentu), 22.

Page 37: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

100

Ini adalah wara’ orang-orang yang bertakwa , Nabi SAW

bersabda:

٦٢اليبلغ العبد درجة املتقني جىت يدع ماالبأس به خمافة مابه بأس

“Seorang hamba tidak sampai kepada derajad muttaqin (orang-orang yang bertakwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tida apa-apa karena takut kepada sesuatu yang apa-apa (dosa)".

3.4. Sesuatu yang sama sekali tidak apa-apa dan tidak dikhawatirkan

untuk menyampaikan kepada sesuatu yang apa-apa (berdosa),

sesuatu itu memperoleh kepada selai Allah dan atas niat selain

taqwa dalam beribadah kepada Allah atau menyampaikan

kepada sebab-sebabnya yang memudahkan baginya baik makruh

atau ma’siat. Mencegah diri dari hal ini adalah wara’ orang-

orang yang siddiqin (orang yang sangat membenarkan agama).

Adapun haram yang kami sebutkan pada tingkat pertama

menjadi persyaratan dalam keadilan dan terlepasnya sifat

kefasikan itu ada beberapa tingkat juga dalam keburukan.

Diantaranya adalah sesuatu yang diambil dengan aqad yang fa>s}id

itu haram, tetapi tidak setingkat dengan benda yang di ghasab,

dan meninggalkan jalan ibadah dengan mu'athah itu lebih ringan

daripada meninggalkan ibadah dengan riba.63

62 H}adi>th ini diriwayatkan oleh Ibn Majjah, al-Tirmizi dan al-Hakim dari h}adi>th 'Atiyah bin Urwah. 63 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulu>m al-Di>n, 95.

Page 38: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

101

4) Tingkatan Shubhat, Motifator Shubhat dan Perbedaan Halal dan

Haram.

Mengenai shubhat ini, Rasulullah SAW bersabda:

عت رسول اهللا صلى اهللا عليه عت النـعمان بن بشري يـقول : مس عن عامر قال : مسنـهما مشبـهات ال يـعلمها وبـيـ واحلرام بـني كثري من الناس وسلم يـقول : احلالل بـني

رأ لدينه وعرضه ، ومن وقع يف الشبـهات كراع يـرعى حول فمن اتـقى المشبـهات استبـمه أال احلمى يوشك أن يـواقعه أال وإن لكل ملك محى أال إن محى اهللا يف أرضه حمار

وإن يف اجلسد مضغة إذا صلحت صلح اجلسد كله ، وإذا فسدت فسد اجلسد كله أال وهي القلب

Dari Amir berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda : “halal itu jelas, haram itu jelas dan antara keduanya terdapat hal-hal yang shubhat (samar), dimana banyak dari manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa memelihara dari syubhat maka ia telah membersihkan bagi kehormatannya dan agamanya. Dan barang siap jatuh di dalam syubhat maka ia jatuh di adalam haram seperti pengembala di sekitar tanah larangan maka hampir ia jatuh di dalamnya. Ketahuilah ! setiap pemilik mempunyai larangan, ketahuilah bahwa larangan Allah di buminya adalah hal yang diharamkannya, ketahuilah ! di setiap jasad ada darah, apabila darah itu baik maka seluruh jasad ikut baik dan apabila darah itu buruk, maka seluruh jasad ikut buruk pula, darah itu adalah al-qalb ( hati )”.64

H}adi>th ini ada nash mengenai penetapan tiga bagian

(pembagian) itu. Yang sulit dari ini adalah bagian pertengahan yang

tidak diketahui oleh manusia, yaitu shubhat maka wajib

menjelaskannya. Karena sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak

manusia itu kadang-kadang diketahui oleh sedikit orang.

Al-Ghaza>li> berkata “halal mutlak adalah sesuatu yang pada

dzatnya tidak ada sifat-sifat yang mewajibkan untuk haram pada

64 Al-Imam al-Hafid Ahmad bin Hajar al-Asyqalany, Fath al-Ba>ri> , Juz I, 20.

Page 39: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

102

‘ainnya, dan terlepaslah sebab-sebab yang menyampaikan kepada

haram atau makruh. Contohnya adalah air yang diambil dari hujan

sebelum air itu jatuh dan menjadi milik sesorang. Dan ia berdiri

ketika mengumpulkan dan mengambilnya dari udara dengan benda

miliknya atau jatuh pada tanah milik umum (muba>h{ah).65

Haram yang murni adalah sesuatu yang terdapat sifat yang

diharamkan dengan tidak diragukan seperti keharaman murni yang

menyenangkan di dalam khamar dan kenajisan di dalam air kencing

atau perolehan dengan sebab yang dilarang secara pasti seperti orang

yang memperoleh dengan dhalim dan riba, serta apapun yang setara

dengan hal ini.

Menurut al-Ghaza>li> shubhat adalah sesuatu hal yang masih

samar dan menunjukkan dua keyakinan yang keluar dari dua sebab

yang berlawanan. 66

Adapun motifator shubhat itu ada empat, yaitu :

4.1. Keraguan mengenai sebab yang menghalalkan dan yang

mengaharamkan.67

Hal ini adakalanya seimbang atau salah satu dari dua

kemungkinan. Jika dua kemungkinan itu seimbang maka,

hukumnya adalah bagi apa yang diketahui sebelumnya sehingga

hukum itu disamakan dan tidak ditinggalkan dengan keraguan.

65 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, 99. 66 Ibid., 99. 67 Ibid., 100.

Page 40: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

103

Jika memang salah satu dari dua kemungkanan keluar dalil

yang mu’tabar maka hukum itu bagi yang menang. Hal ini tidak

jelas kecuali dengan contoh-contoh dan bukti-bukti.

Oleh al-Ghaza>li> hal ini bagi menjadi empat bagian, yaitu:

i) Keharaman itu diketahui sebelumnya, kemudian terjadi

keraguan mengenai sesuatu yang menghalalkan. Ini adalah

shubhat yang wajib dijahui dan mengikutinya adalah haram.

Contohnya adalah sesorang melempar binatang buruan dan ia

melukainya kemudian binatang itu jatuh di dalam air lalu ia

menemukannya dalam keadaan mati. Ia tidak tahu, apakah

buruan itu mati karena tenggelam atau karena luka. Maka

buruan ini haram karean asalnya haram kecuali apabila

binatang itu mati dengan jalan tertentu. Pada contoh ini terjadi

keraguan karena yakin itu tidak ditinggalkan dengan keraguan

sebagaimana mengenai H}adi>th-H}adi>th, najis-najis, raka’at-

raka’at s}alat dan lainnya.

Atas dasar ini datanglah Nabi saw bersabda kepada

'Adi bin H}atim.

كلبكالتأكله فلعله قتله غري “Janganlah kamu memakannya, karena barangkali binatang itu dibunuh oleh selain angjingmu”

ii) Seseorang mengetahui yang halal dan ia ragu mengenai haram.

Asalnya halal dan hukumnya halal sebagaimana apabila dua

orang laki-laki menikah dua orang wanita, dan seekor burung

Page 41: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

104

terbang. Lalu salah satu dari keduanya berkata “jika (burung )

ini burung gagak maka istriku tertalak” dan urusan burung itu

samar maka tidak diputuskan dengan haram pada seorang

wanita dari keduanya dan tidak wajib untuk menjahui

keduanya. Tetapi menurut wara’ adalah menjahui dan

mentalaq keduanya sehingga keduanya halal bagi seluruh

suami, menurut makhul hal ini harus di jauhi, tetapi kalau

menurut al-Sha'bi harus menjauhi dua orang laki-laki yang

berselisih.

iii) Keadaan asal adalah pengharaman, tetapi datang sesuatu yang

mewajibkan menghalalkannya dengan dugaan yang kuat. Maka

hal ini dipandang. Jika kuatnya dugaan itu disandarkan kepada

sebab yang mu’tabarah menurut syara’ maka sesuatu itu halal

sedangkan menjahui termasuk wara’.

Contohnya adalah seseorang melempar binatang buruan. Lalu

binatang buruan itu pergi kemudian ia menjumpainya dalam

keadaan mati, dan tidak ada bekas selain anak panahnya.

Tetapi mengandung kemungkinan bahwa binatang itu mati

karena jatuh sebab yang lain.

Dalam hal ini 'Aisyah berkata:

ان رجال اتى النيب صلى اهللا عليه وسلم بارنب فقال رمييت عرفت فيها سهمي فقال اصميت او امنيت فقال بل امنيت قال ان الليل خلق من خلق

اهللا اليقدر اال الذي خلقه فلعله اعان على قتله شيء

Page 42: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

105

“ada seorang laki-laki membawa kelinci kepada Nabi saw. Lalu ia berkata “hasil panahanku, saya tau anak panahku ada padanya” maka beliau bersabda “bintang itu mati seketika atau setelah pergi” beliau bersabda sesungguhnya malam itu salah satu makhluk allah , tidak dapat melampaui qodarnya binatang mati kecuali sesuatu yang dia ciptakan. Barangkali ada sesuatu yang membantu atas pembunuhannya”

iv) Halal itu diketahui, tetapi kuat menurut dugaan datangnya

sesuatu yang mengharamkan karena sebab yang dianggap

menurut syara’ maka hilanglah istish-hab dan diputuskan

dengan haram. Karena jelas bagi kami bahwa ishtish-hab itu

lemah, dan tidak memepunyai hukum lagi bersama kuatnya

dugaan.

Misalnya ia menunaikan ijtihadnya kepada najisnya salah satu

dari kedua bejana dengan berpegang atas tanda yang tertentu

yang mewajibkan kuatnya dugaan maka mewajibkan haram

meminumnya sebagaimana mewajibkan larangan wudlu

denganya

Demikian juga jika ia berkata “jika zaid membunuh

binatang buruan sendirian maka istriku tertalak”. Lalu ia

melukainya dan binatang itu pergi darinya, dan ia

mendapatkannya mati maka istrinya haram. Karena menurut

lahirnya, ia membunuhnya sendirian.

Page 43: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

106

4.2. Shubhat yang mempunyai keraguan yang munculnya dari

percampuran68

Hal ini karena haram itu bercampur dengan halal, dan

urusan itu menjadi samar (shubhat) dan tidak dapat dibedakan.

Sedangkan percampuran itu ada, adakalanya terjadi

dengan jumlah yang tidak terhitung dari dua sisi atau dari salah

satu dari keduanya. Atau ada kalanya jumlah yang terhitung.

Jika bercampur dengan sesuatu yang terbatas, maka

adakalanya percampuran senyawa sekira tidak dapat

dibedakan dengan isyarat seperti percampuran barang-barang

cair atau percampuran samar yang dapat dibedakan benda-

bendanya seperti percampuran hamba sahaya, rumah dan

kuda. Sesuatu yang bercampur dengan samar, maka adakalnya

percampuran itu termasuk sesuatu yang dimaksud ‘ain (dzat)

nya seperti barang-barang dagangan atau tidak dimaksud ‘ain

(dzat) nya seperti uang.

Dari pembagian ini menimbulkan munculnya tiga bagian,

yaitu:

a) Bagian pertama adalah, ‘ain (dzat) nya disamarkan dengan

bilangan yang terbatas sebagaimana bangkai bercampur

dengan seekor binatang yang disembelih atau dengan sepuluh

ekor binatang yang disembelih atau seorang wanita tukang

68 Ibid., 103.

Page 44: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

107

menyusui bercampur dengan sepuluh orang wanita atau ia

mengawini salah satu dari orang wanita yang bersaudara

kemudian ragu. Ini adalah shubhat yang wajib di jauhi

dengan ijma’ karena hal itu bukan lapangan ijtihad.

Apabila yang syubhat itu bercampur dengan yang

mahsur (terbatas) maka shubhat itu seperti satu benda. Dalam

hal ini tidak berlawanan yakin haram dan yakin halal. Dan ini

tidak ada perbedaan antara teguhnya halal lalu datang

percampuran dengan sesuatu yang mengharamkan

sebagaimana seandainya seseorang menjatuhkan talak

terhadap salah seorang dari dua orang istrid alam masalah

burung, atau benda itu bercampur sebelum dipandang halal,

sebagaimana seorang wanita tukang menyusui bercampur

dengan wanita lain lalu ia ingin menghalalkan seorang wanita.

b) Haram yang terbatas dengan halal yang tidak terbatas

sebagaimana seorang wanita atau sepuluh wanita menyusuai

bercampur dengan wanita-wanita negeri yang besar maka

dengan ini tidak lazim untuk menjahui menikahi wanita-

wanita penduduk negri itu. Tetapi ia berhak untuk menikahi

wanita yang dikehendaki dari pada mereka.

Dan ini tidak boleh untuk dibuat alasan dengan

banyaknya halal karena lazim untuk membolehkan nikah

apabila seorang wanita haram percampur dengan sembilan

Page 45: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

108

orang wanita halal, dan tidak ada orang yang memberitahu

padanya, tetapi alasan yang kuat dan ada hajat. Karena

setiap orang yang kehilangan wanita yang menyusui atau

kerabat atau mahram karena persamaan atau salah satu dari

beberapa sebab maka tidak mungkin untuk ditutup pintu

nikah.

Demikian juga orang mengetahui bahwa harta dunia

dicampuri oleh barang haram secara pasti maka tidak lazim

(tidak wajib) baginya untuk meninggalkan pembelian dan

makan, karena hal itu menyempitkan. Padahal di dalam

agama itu tidak ada kesempitan.

Hal ini diketahui bahwasannya ketika pada masa

Rasulullah saw dicuri sebuah perisai dan seorang laki-laki

mengambil dengan khianat sebuah baju dari luar ghanimah ,

maka seseorang tidaklah dilarang untuk membeli perisai dan

baju di khalayak umum.

c) Barang haram yang tidak terbatas bercampur dengan barang

halal yang tidak terbatas seperti hukum harta benda di masa

kini. Orang yang mengambil hukum-hukum dari bentuk-

bentuknya kadang-kadang ia menduga bahwa nisbat yang

tidak terbatas kepada apa yang tidak terbatas seperti

menisbatkan sesuatu yang terbatas kepada sesuatu yang

tidak terbatas. Dalam masalah ini al-Ghaza>li> telah

Page 46: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

109

menghukumi dengan haram. Pendapat yang kami pilih adalah

berbeda dengan itu, yaitu dengan percampuran ini tidak

haram untuk memperoleh sesuatu dengan ‘ain (dzat)nya.

Mengandung kemungkinan hal itu haram dan halal kecuali

‘ain (dzat) nya itu bersamaan dengan tanda yang

menunjukkan bahwa hal itu haram. Jika pada ‘ain (dzat) itu

tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa hal itu haram

maka meninggalkannya itu wara’. Dan mengambilnya itu

halal, sedang orang yang memakannya tidak fasik.69

Al-Ghaza>li> menyampaikan bahwa seandainya haram

itu rata di dunia sehingga ia mengetahui dengan yakin bahwa

di dunia tidak tertinggal barang halal, maka Al-Ghaza>li>

berkata

“Kita mulai permulaan syarat-syarat dari sejak waktu kita dan kita maafkan sesuatu yang telah trdahulu dan kita berkata”

Sesuatu yang melampau batas adalah kebalikan

kepada lawannya. Manakala seluruhnya haram maka

seluruhnya menjadi halal.

Apabila hal ini terjadi kemungkinannya ada lima

macam,70 yaitu:

69 Ibid., 104. 70 Ibid., 107.

Page 47: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

110

(1) Bahwa dikatakan “manusia meninggalkan makan

sehingga mereka meninggal dunia sampai yang terakhir

dari mereka.

(2) Mereka membatasi diri dari haram menurut kadar

dharurat dan menutup sisa hidup.

(3) Bahwa dikatakan “ mereka memperoleh menurut kadar

kebutuhan dengan cara yang mereka inginkan, mencuri,

ghasab dan saling rela tanpa membedakan antara sesuatu

harta dengan harta yang lain, antara suatu sisi degan sisi

yang lain.

(4) Bahwa mereka mengikuti syarat-syarat syara’ dan

mereka mulai dengan ketentuan-ketentuannya tanpa

membatasi menurut kadar kebutuhan.

(5) Bahwa mereka membatasi diri bersama syarat-syarat

menurut kadar kebutuhan.

Kemungkinan yang pertama jelas kebatalannya,

kemungkinan kedua juga batal sebab bila seseorang hanya

membatasi dengan sisa hidup akan menjadikan habisnya

manusia di dunia ini sehingga agama juga sirna.

Kemungkinan yang ketiga oleh al-Ghaza>li> dianggap haram

sebab dapat menjadikan bermacam-macam kedlaliman yang

tidak mungkin dicegah. Kemingkinan keempat adalah yang

paling baik sebab bias terjaganya hukum shara' dan ada

Page 48: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

111

kerelaan yang menjadikan maslahah. Dan kemungkinan yang

kelima adalah jalan yang paling baik karena termasuk dalam

kategori wara'.

4.3. Shubhat bertemu dengan maksiat yang berhubungan dengan

sebab yang menghalalkan71

Hal ini adakalanya di dalam indikasinya, adakalanya di

dalam hal-hal yang mengikutinya dan adakalnya di dalam

pendahulu-pendahulunya atau pergantiannya. Dan itu termasuk

maksiat-maksiat yang tidak mewajibkan rusaknya aqad dan di

batalkannya sebab yang menghalalkan.

Contoh maksiayat di dalam indikasinya adalah jual beli

pada hari jum’at waktu adzan, menyembelih dengan pisau hasi

ghasab, menjual barang yang sudah di beli orang lain dan

menawarkan barang yang sudah ditawarkan pada orang lain.

Semua itu adalah larangan yang datang dari dalam aqad dan

tidak menunjukkan rusaknya aqad, dan mencegah dari

seluruhnya itu adalah wara’ meskipun yang di ketahui cara-cara

ini tidak di hukumi haram.72

Maka kemakruhan dalam berburu dengan anjing yang di

ghashab adalah lebih kuat dari pada binatang sembelihan dengan

pisau yang di ghashab, atau binatang yang buru dengan anak

71 Ibid., 110. 72 Ibid., 111.

Page 49: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

112

panah yang di ghashab. Karena anjing itu mempunyai pilihan.

Pada hal telah diperselisihkanmengenai hasilnya itu bagi pemilik

anjing atau bagi orang yang berburu.

Kalau contoh shubhat dari hal-hal yang mengikutinya

adalah setiap tasarruf yang yang bias mendatangkan maksiat.

Yang paling tinggi adalah menjual anggur pada tukang khamer

dan menjual senjata pada penjahat/perampok.

Para ulama berbeda pendapat mengenai sahnya aqad ini

dan halalnya harga yang diambil. Akan tetapi yang mendekati

qiyas adalah tasarruf tersebut benar dan uangnya halal tetapi ia

durhaka dengan aqadnya sebagaimana ia maksiat atas

penyembelihan dengan pisau hasil ghas}ab.

Adapun shubhat dalam muqaddimahnya (pendahulunya)

di bagi menjadi tiga tingkatan :

Tingkatan yang tertinggi adalah hal-hal yang sangat

makruh, seperti makan daging kambing yang diberi makan dari

rumput hasil ghasab.

(a) Tingkatan yang mencegah, seperti contoh air dari sungai

yang digali oleh orang zalim.

(b) Tingkatan yang mendekati was-was, seperti mencegah

barang halal yang dibawa oleh orang yang durhaka pada

Allah.

Page 50: BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

113

4.4. Perbedaan pendapat mengenai dalil-dalil

Sebab perbedaan para ulama adalah perbedaan dalam

masalah tersendiri atau dalam cabang dari dasar yang jelas.73

Sesungguhnya hal itu adalah seperti perbedaan pendapat

mengenai sebab, karena sebab itu adalah sebab bagi hukum

halal dan haram. Sedangkan dalil adalah sebab untuk mengetahui

halal dan haram. Hal ini adalah sebab mengenai benarnya ilmu

pengetahuan.

Sesuauatu yang tidak sah dalam mengetahui lainnya

maka tidak ada faidahnya untuk keabsahannya pada dirinya

meskipun sebabnya itu berlaku pada ilmu Allah. Adakalanya hal

itu terjadi karena berlawanannya dalil-dalil syara’ atau

berlawanannya tanda-tanda yang menunjukkan atau

berlawanannya keserupaan.74

73 Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ittihaf sadat al-Muttaqi>n Sharh Ihya' Ulu>m al-Di>n, Vol 6, 64. 74 Ibid., 114.