bab iii - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang...
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
HALAL HARAM MENURUT AL-GHAZA>LI>
DI DALAM KITAB IH}YA' ULU>M AL-DI>N.
A. Biografi Imam al-Ghaza>li>
1. Riwayat Hidup Imam al-Ghaza>li>
Al-Ghaza>li> sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang Sufistik
mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalanan
hidupnya hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaan
sosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang
dimilikinya banyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi
saat al-Ghaza>li> masih hidup. Oleh karena itu, dalam bahasan berikut
perlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan
intelektualnya.
Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaza>li>,1 yang dilahirkan
pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus,2 wilayah Khurasan Iran yang
diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun
didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-
orang Kristen dan Islam Shiah.3
1 Al-Ghaza>li>, Mizan al-'Amal ( Beirut : D<ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 ), 3. 2 Thus, adalah kota di Khurasan, jaraknya dengan Naisabur sekitar 10 farsah. Kota ini dikuasai pada zaman Uthman ibn 'Affan, di kota Thus juga terdapat makam dari 'Ali bin Musa al-Ridlo dan makam Harun al-Rasyid. 3 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal ( Mesir : D<ar al-Kutub al-Hadithah, 1968 ), 1.
64
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
Ayahnya seorang yang saleh, pecinta ilmu pengetahuan yang
sangat menyenangi ulama dan sangat rajin menghadiri majelis-majelis
pengajian, bahkan sering memberikan sesuatu dari hasil jerih payahnya
kepada para ulama sebagai ungkapan rasa simpatiknya. Ayahnya
menginginkan agar putranya bisa menimba banyak ilmu pengetahuan.
Karena itu sang ayah inipun menjelang akhir hayatnya menyerahkan
kedua putranya, al-Ghaza>li> dan Ahmad kepada salah seorang sahabatnya,
seorang sufi yang hidup sangat sederhana, sehingga rumah tangga sufi ini
menjadi lingkungan kedua yang turut membentuk kesadaran al-Ghaza>li>.4
Kedua anak itu itu kemudian mendapat bimbingan dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berlangsung sampai harta
warisan dari ayah mereka tiada yang tertinggal.5 Ketika sang sufi yang
mengasuh mereka merasa tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan-
kebutuhan mereka, ia menyarankan agar mereka dimasukkan ke sekolah
untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan, juga santunan kehidupan
sebagaimana lazimnya ketika itu. Saat itulah al-Ghaza>li> mulai memasuki
pendidikan awal di daerahnya di bawah asuhan Ahmad Muhammad al-
Radzakani.6
Sesudah dirasa cukup, ia pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu
pada Imam Abu Nashr al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan, ia
kembali lagi ke Thus untuk menetap selama tiga tahun. Waktu itu ia
4 Al-Ghaza>li>, Ih}ya' Ulu>m al-Di>n ( Semarang : Thoha Putra, Tt), 8. 5 Ibid, 8. 6 Abdullah Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, ( Semarang : RaSAIL,2005 ), 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
memanfa’atkan kesempatan untuk mempelajari tasawuf dan
mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.7
Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh di Thus belum
memuaskan bagi al-Ghaza>li>, karena itu ia pergi untuk belajar ke
Naisabur8 berguru pada salah seorang teolog aliran Ash’ariyyah yang
terkenal, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini
yang bergelar Imam al-Haramain.9 Dari madrasah di Naisabur yang al-
Juwaini bertindak sebagai tenaga pengajarnya, al-Ghaza>li> memperoleh
ilmu kalam, mantik, hukum, retorika, ilmu pengetahuan alam dan
tasawuf.10
Selama di Naisabur al-Ghaza>li> tidak saja belajar dengan Imam al-
Haramain, akan tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk
menjadi pengikut sufi bersama Abu al-Fadlil bin Muhammad bin ‘Ali al-
Farmadi, seorang murid pamannya, al-Qushairi, yang ahli tasawuf.
Sesudah dari Naisabur al-Ghaza>li> lalu pergi ke al-Askar, dengan
mendapat sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizham al-
Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghaza>li> yang tinggi.
Di al-Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan
sekelompok ulama di hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu,
Perdana Menteri melihat keluasan dan kedalaman ilmu al-Ghaza>li> bila
7 Ibid, 68. 8 Naisabur, adalah suatu daerah yang banyak menghasilkan buah-buahan, kota ini dikuasai Muslimin pada zaman Khalifah 'Uthman Ibn 'Affan pada saat dipimpin oleh al-Amir Abd al-Allah bin 'Amir bin Kurais tahun 31 H. ada pendapat yang mengatakan Naisabur di kuasai Muslimin pada zaman Khalifah Umar Ibn Khattab dari al-Amir Al-Ahnaf ibn Qais. 9 Taj al-Di>n al-Subki, T}abaqatu al-Shafi>'iyah al-Kubra, ( Mesir : Ruhama, 1968), Vol III, 162-221. 10 Hadziq, Rekonsoliasi......, 68.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
dibandi>ng dengan ulama yang lain. Setelah penampilannya berhasil baik,
Perdana Menteri menaruh simpatik kepadanya, dan segera menawarinya
untuk mengajar di Universitas yang didirikan oleh Nizham al-Mulk di
Baghdad yang lebih dikenal dengan Universitas Nizhamiyah. Al-Ghaza>li>
kemudian berangkat ke Baghdad tahun 484 H untuk mengajar sebagai
dosen di Universitas tersebut.11
Di Universitas al-Nizhamiyah ia diakui dan dikagumi para
mahasiswa, ulama dan pembesar Di>nasti Saljuk, sehingga pada masa
pemerintahan Nizham al-Mulk, ia diangkat sebagai guru istana dan Mufti
Besar yang hidup di bawah lindungan penguasa-penguasa keluarga
Saljuk,12 sehingga dengan kedudukan yang sedemikian tingginya itu
menjadikan al-Ghaza>li> didekati oleh para penguasa, seperti yang
dikatakan dalam al-Munqidz “sebagai buktinya adalah kerasnya usaha
mereka untuk mendekati dan merunduk padaku, namun aku tidak peduli
pada sikap dan tutur kata mereka”.13
Sekalipun demikian besar nikmat dan sukses yang didapat al-
Ghaza>li> di bidang keduniaan, namun semuanya itu tidak mampu
mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan baginya. Dari segi agama
dan batin, ia gelisah dan menderita serta mengalami perasaan syak, lebih-
lebih setelah menguji pengetahuan atas dasar inderawi dan akal.
11 Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 69. 12 Zainal Abidin, Riwayat Hidup Imam Ghaza>li>, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975 ), 40. 13 Al-Ghaza>li>, Al-Munqi>d min al-D}alal, 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Ketika menguji pengetahuan inderawi, al-Ghaza>li> melihat bahwa
pengetahuan itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal ternyata
dapat membuktikan kesalahan-kesalahan inderawi. Bayang-bayang benda
yang dalam pandangan mata dianggap diam ternyata dengan pengamatan
dan eksperimen akal menyimpulkan bahwa bayang-bayang itu bergerak
(mutaharrik).14
Dengan demikian, kepercayaan al-Ghaza>li> kepada pengetahuan
inderawi menjadi hilang, dan selanjutnya menaruh kepercayaan pada
pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Namun kepercayaan terhadap
akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar yang membuat
akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal dipercaya, maka
dasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya
akal menjadi dasar kepercayaan terhadap indera. Ketidakjelasan adanya
dasar yang lebih tinggi dari pada akal, menurut al-Ghaza>li> tidak mesti
menunjukkan kemustahilannya. Dasar semestinya ada, sebab kalau tidak
ada maka tidak ada alasan untuk mempercayai akal. Kalau akal tidak
dipercaya, segala pengetahuan tidak dapat dipercayai lagi.
Selain di atas, ada alasan lain yang membuat kepercayaan al-
Ghaza>li> terhadap akal goncang. Ia melihat kitab-kitab para teolog (al-
Mutakallimin) yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan
ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan
14 Ibid., 77.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
(tanaqudl)15 yang sulit diselesaikan dengan akal. Dari sinilah, al-Ghaza>li>
mangalami puncak kesangsiannya. Ia tidak lagi mempunyai sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya untuk menemukan jalan keluar, sebab
ia telah menyangsikan segalanya, taqlid, indera dan akal.
Sumber pengetahuan yang lain dari itu tidak berhasil
dibuktikannya. Menurut pengakuan al-Ghaza>li> sendiri, hampir dua bulan
ia mengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan
menyelesaikannya. Namun melalui nur yang diberikan oleh Allah pada
hatinya, ia merasa sehat dan tenang, serta dapat menerima kebenaran
pengetahuan yang bersifat aksiomatis ( al-’adillah al-muharrarah ),
melainkan melalui nur yang disebut miftah al-ma’arif ( kunci ma’rifat
).16
2. Setting Sosial al-Ghaza>li>.
Sesudah menemukan ketenangan psikologis dan merasa ada
sumber pengetahuan di atas akal, yaitu nur yang dilimpahkan Allah
secara langsung ke dalam hatinya, ia mulai menempuh jalan tasawuf,
setelah ia meyakini metode falsafah, ilmu kalam dan kebatinan tidak
mampu mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia
hanya berkeyakinan bahwa jalan tasawuflah yang dapat
mengantarkannya kepada tujuan yang dimaksudkannya, yakni Allah dan
kebahagiaan akhirat, seperti yang di>nyatakan sendiri “ahli tasawuflah
15 Ibid., 29. 16 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 70.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
yang mempunyai moral yang terpuji (azka al-akhlaq) dan jalan yang lurus
(ashwab al-thuruq) untuk menuju Allah dan kebahagiaan akhirat”.17
Oleh karena itu, melalui jalan sufistik al-Ghaza>li> berusaha keras
untuk melakukan pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pembeningan
hati terus menerus hingga menjadi pribadi yang taat dan sehat secara
psikologis. Jalan pikiran al-Ghaza>li> ini dilatarbelakangi oleh setting
sosial psikologis yang melingkarinya saat itu. Al-Ghaza>li> (1058-1111 M),
dilihat dari tahun kelahiran dan masa kehidupannya merupakan salah
seorang pemikir Islam yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan
Islam yang berarti berada dalam masa kemunduran (1000-1250 M) dari
periode sejarah Islam.18
Dalam masa kemunduran tersebut, kekuatan sosial dan politik
umat Islam di bawah pimpinan kerajaan Abbasiyah sudah sangat mundur
dan lemah. Kemunduran dan kelemahan tersebut terus berlangsung di
masa al-Ghaza>li>, dan sampai pada masa kehancuran Baghdad di tangan
Hulaghu Khan tahun 1258 M.
Di samping kerajaan Abbasiyah sudah mengalami kelemahan di
bidang politik, datang pula serangan yang dilancarkan oleh golongan
Shi'ah atas Baghdad, mulai dari pemberontakan yang dilancarkan oleh
kaum Qaramit}ah sampai aksi pembunuhan terhadap para pembesar
kerajaan yang memusuhi mereka. Di antara para pembesar kerajaan yang
17 Ibid., 71. 18 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, 56-75.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
mereka bunuh di masa al-Ghaza>li> masih hidup adalah Perdana Menteri
Nizham al-Mulk dari Di>nasti Saljuk di tahun 1092 M.19
Dari fakta sejarah di atas dapat diketahui bahwa setting sosial
Islam saat al-Ghaza>li> hidup sudah berada dalam keadaan disintegrasi,
sehingga membawa akibat matinya ilmu-ilmu Islam dalam jiwa
pemeluknya. Hal ini dapat dilihat pada kasus pertentangan pendapat
yang ditimbulkan oleh para mutakallimi>n, filosof dan ahli kebatinan
dalam soal mencari kebenaran, sehingga menimbulkan ketidakpuasan
psikologis dalam masyarakat serta kebingungan dan keraguan di
kalangan orang awam.20
Demikian juga kasus pertentngan yang ditimbulkan oleh kaum
Faqih dan kaum Sufi. Di satu pihak kaum Sufi lebih banyak menekankan
aspek-aspek keakhiratan dan batiniyah dalam kehidupan, di pihak lain
kaum Faqih banyak menekankan aspek-aspek keduniaan dan lahiriyah,
sehingga masing-masing tenggelam dalam ajarannya, demikian jauh dari
saling memahami pertentangan tersebut.21 Setting sosial yang demikian
ini secara historis sulit untuk dilepaskan dari kehidupan dan pemikiran
al-Ghaza>li> hingga ia wafat, karena di manapun seorang pemikir berada,
tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah yang melingkarinya.
19 Ibid., 76-77. 20 Sebagai bukti dalam aliran Ateisme ( al-Dahriyyun ), dan Naturalisme ( al-Thabi'iyyun ) ada ajaran yang mengingkari wujud Allah ( al-Ghaza>li>, al-Munqid min Dalal, hal. 91-92 ), dan mengingkari kekekalan jiwa yang berakibat pengingkaran terhadap hari akhir, surga, neraka, lain-lain ( ibid., 97 ). 21 Kenyataan itu dapat diperhatikan pada ajaran fana', hulul, ittihad, dan wahdah al-wujud dipihak ahli tasawuf, sementara dipihak figh sama sekali tidak dapat membenarkannya, karena dianggap merusak aqidah ( Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzan, 2000), 71.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Dengan latar belakang setting sosial yang demikian, maka al-Ghaza>li>
sewaktu ‘uzlah menyusun teori-teori psikologi dalam bentuk tas}fi>yat al-
nafs dalam Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n sebagai upaya untuk membasmi
kecenderungan jahat yang ada pada jiwa/batin masyarakat saat itu.22
Hanya saja tindakan ‘uzlahnya ini memunculkan penilaian yang
beragam. Ada pendapat negatif yang menyatakan bahwa ‘uzlah al-
Ghaza>li> dari Baghdad menuju Damaskus Siria disebabkan rasa
ketakutannya terhadap gerakan aliran Bathiniyah yang waktu itu
mengadakan serentetan pembunuhan terhadap para tokoh ulama dan
penguasa, sebab dia baru saja mengeluarkan hasil karyanya yang
menghantam akidah aliran tersebut.23 Namun ada pula pandangan yang
cenderung positif menyatakan bahwa tindakan ‘uzlahnya hanya
dilatarbelakangi oleh sebuah keinginan agar lebih mendekatkan diri
kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan hidup kelak yang akan
datang.24 Pandangan ini sejalan dengan pernyataan al-Ghaza>li> sendiri:
Jelas bagiku, bahwa tidak akan tercapai kebahagiaan akhirat kecuali dengan taqwa, dan mencegah diri agar jangan larut dalam hawa nafsu. Sedang kunci untuk mencapai hal itu adalah dengan memutuskan hubungan hati dengan hal yang bersifat duniawi dan menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyesatkan untuk kembali ke tempat kekal dan dengan sepenuh hati menuju Allah.25
Lepas dari pendapat pro dan kontra tersebut, yang jelas akibat
dari ‘uzlahnya al-Ghaza>li> telah dapat mengetengahkan berbagai
22 Hanas Laggulung, Asas-asas Pendidikan Islam ( Jakarta : Pustaka al-Husna, 1987 ), 375. 23 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 73. 24 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, volume I, 9. 25 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 128-129.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
pemikiran Psikologi Sufistik, di antaranya mengenai teori tazkiyat al-
nafs (penjernihan batin). Teori ini sebagaimana dapat dilihat pada tema
asrar al-t}aharah dalam al-Ihya’ jilid I, dengan istilah tathh}ir al-qalb
(penyucian hati).26
Upaya penjernihan psikologis ini menurut al-Ghaza>li> perlu
dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama, membersihkan badan lahir
dari segala hadats, kotoran dan benda-benda yang menjijikkan. Tahap
kedua, menyucikan anggota badan dari segala perbuatan dosa dan salah.
Tahap ketiga, menyucikan hati (jiwa) dari berbagai akhlak yang tercela.
Tahap keempat: menyucikan sir dari segala sesuatu selain Allah. Tahap
ini merupakan pengembangan psikologis pada tingkatan spiritual
tertinggi yang sering dilakukan para Nabi, Rosul dan al-Shiddiqin.27
Proses penyucian jiwa dalam berbagai tahapan di atas pada
dasarnya dimaksudkan untuk penbinaan masyarakat yang lebih
mengedepankan aspek kognitif dan simbolik kearah pengembangan daya
nalar afektif atas dasar moralitas yang tinggi, sebagai upaya mewujudkan
keutamaan dan kebahagiaan pada diri mereka.28
3. Wawasan Intelektual al-Ghaza>li>
Kehausan al-Ghaza>li> akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak
kemampuan intelektualnya mulai berkembang. Ia cenderung untuk
26 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, volume I, 150. 27 Ibid., 151. 28 Thaha Abd al-Baqi, Alam Pemikiran al-Ghaza>li> ( Solo : CV.Pustaka Mantiq, 1992 ), 69.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
mengetahui mendalami dan memahami masalah-masalah yang hakiki.
Hal ini dilukiskan oleh al-Ghaza>li> sendiri seraya menyatakan:
“kehausanku untuk menggali hakikat segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semanjak aku muda. Hal itu merupakan tabiat dan fitrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena usahaku”.29 Karenanya al-Ghaza>li> terdorong belajar tasawuf kepada salah seorang tokoh sufi, Abu al-Fadlil Ibn ‘Ali Muhammad Ibn ‘Ali al-Farmadi (w 477 H) dari segi teori dan praktiknya.30
Sewaktu jadi murid Imam al-Haramain, ia menanamkan
kebiasaan skeptis terhadap persoalan dan pertentangan teologis, meski
kecenderungan skeptis tersebut harus berhadapan pengaruh gurunya.
Ketika Imam al-Haramaim meninggal dunia tahun 478 H./1085 M.
kecenderungan skeptis ini berkembang lebih lanjut semasa ia berada di
majlis seminar yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, wazir Saljuk,
pecinta ilmu dan ulama. Di Majlis ini beliau banyak berdiskusi dengan
para ulama lebih kurang enam tahun. Selama itu ilmunya semakin
mendalam, terutama di bidang kalam.
Kesan tersebut dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya di
bidang kalam, seperti Qawa’id al-‘Aqa’id yang kini termasuk salah satu
bab dari kitab Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n, kitab al-Arba’in fi Us}ul al-Di>n, kitab
al-Risalah al-Qudsiyyah,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Iljam al-A’wam ‘an
Ilm al-Kalam. Dengan reputasinya yang demikian itu, di Nizhamiyah
Baghdad kuliah-kuliah al-Ghaza>li> menjadi daya tarik tersendiri bagi para
29 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 75. 30 Ahmad al-Sharbashi, Al-Ghaza>li> wa al-Tasawuf al-Islami ( Mesir : Dar al-Hilal, Tt ), 29-31.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
ulama, karena kehebatan analisis dan ketajaman argumentasinya yang
dikemukakannya.
Di sela-sela kegiatan mengajarnya al-Ghaza>li> juga mempelajari
filsfat dan melakukan pengujian terhadap kebenaran dalam filsafat.
Sebelum melakukan pengujiannya terhadap filsafat ia menyatakan
“bahwa menentang satu aliran (filsafat) tanpa memahami dan
mengkajinya secara baik adalah bantahan yang tidak mendasar (radd fi
‘imayah)”.31 Karena itu ia bersungguh-sungguh mencari buku-buku
filsafat dan mempelajarinya secara mendalam. Dalam tempo kurang dari
dua tahun secara otodidak dia sudah dapat menguasai segala aspek
filsafat,32 dengan dibuktikan adanya sebuah karya intelektualnya yang
berjudul “Tahafut al-Falasifah”.
Di dalam buku tersebut, ia menganggap adanya inkoherensi pada
system berfikir para filosof. Inkoherensi yang terutama adalah hubungan
pandangan metafisik dengan logika dan matematika. Pandangan para
filosof yang mendudukkan pembahasan metafisik dalam ukuran logika
dan matematik, merupakan akibat cara berfikir filsafat atas dasar
kerangka ilmu riyadliyah dan mant}iqiyah yang bersifat ma’qulah.
Padahal menurut al-Ghaza>li> kemampuan akal dalam berfilsafat untuk
menangkap rahasia-rahasia metafisis sangat terbatas (qashi>r ‘an idrak
haqa>’iq al-umur al-Ilahiyah), sehingga dalam pandangan-nya, akal tidak
mungkin dijadikan sandaran bagi penentuan benar dan tidaknya
31 Al-Ghaza>li>, Tahafut al-Falasifah ( Mesir : Dar al-Ma'arif, 1966 ), 69. 32 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 90.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
persoalan metafisik, karenanya harus dikembalikan kepada berita Nabi
yang ma’s}u>m.33
Kemampuannya di bidang filsafat, al-Ghaza>li> sebagaimana
pandangan Sulaiman Dunya, berhak menyandang gelar filosof, meskipun
pemikiran filsafatnya berprestasi untuk menghacur-kan reputasi para
filosof di mata ummat, karena adanya kerancuan pemikiran mereka
sehingga bertentangan dengan akidah yang benar.34
Ini menimbulkan kesan bahwa ia mempelajari filsafat tidak secara
jujur mengujinya sebagai cara untuk menemukan kebenaran, tetapi untuk
mencari kelemahan dan menghancurkan-nya. Pernyataan tersebut tidak
mesti dipahami sebagai ketidakjujurannya terhadap filsafat, sebab
pernyataan yang menggambarkan pengalamannya ini ditulisnya di dalam
al-Munqidz beberapa tahun sebelumia meninggal dunia. Dengan
demikian, sudut pandang yang digunakan al-Ghaza>li> dalam menilai
pengalaman masa lalunya itu adalah sudut pandang tasawuf.35
Selain bidang filsafat al-Ghaza>li> juga mengkaji doktrin-doktrin
Bathiniyah yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karyanya yang
berjudul Fadla’ih al-Bathiniyyah wa Fadla’il Mustazhhiriyyah,
(kejelekan paham Bathiniyyah dan keutamaan paham
Mustazhhiriyyah).36 Terhadap paham Bathiniyyah, kritik al-Ghaza>li> yang
paling pokok adalah mengenai otoritas imam yang ma’shum sebagai
33 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 76. 34 Sulaiman Dunya (ed), Tahafut alpFalasifah ( Mesir : Dar al-Ma'arif, 1966 ) 43. 35 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 143. 36 Ibid, 35.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghaza>li> sependapat dengan
mereka bahwa pemberi informasi (al-mu’allim) itu perlu bersifat
ma’shum, tetapi hanya sebatas pada tingkat Nabi, sesudah Nabi orang
tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Tuhan melalui kitab
suci telah memberi kepada manusia ukuran (mizan) dan alat untuk
mengetahui kebenaran, yang oleh al-Ghaza>li> disebutnya sebagai al-
qisthas al-mustaqi>m.
Selanjutnya dalam kontek wawasan intelektual, al-Ghaza>li> juga
mendalami bidang fiqh dan kalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui
karya tulisnya yang berjudul Al-Wajiz (ringkasan), al-Wasith
(pertengahan) dan al-Basith (sederhana) dalam bidang fiqh, dan al-
Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah) di bidang kalam. Dengan
demikian al-Ghaza>li> dapat dianggap sebagai sosok intelektual yang
berhasil mencapai puncak karier intelektualnya, sebagaimana harapan
pada umumnya intelektual waktu itu. 37
Sesudah itu al-Ghaza>li> menuju ke jalan tasawuf, karena diyakini
bahwa metode berfikir filsafat, ilmu kalam dan bathiniyyah tidak mampu
mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia hanya
berkeyakinan bahwa tasawuf adalah jalan terbaik yang pantas dilalui
manusia, sebagaimana pernyataannya:
“saya ketahui pasti bahwa para Sufi yang berjalan di jalan Allah, hidup mereka adalah hidup yang terbaik, cara mereka adalah cara yang paling benar dan moral mereka adalah pekerti yang paling bersih.38
37 Abdullah Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 77. 38 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 132.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
Atas dasar keyakinan tersebut, maka ia dengan tekun menelaah
karya para sufi, sehingga ia mengerti sepenuhnya tentang aspek disiplin
ilmu ini dan menyadarinya, bahwa sesuatu yang khas dalam ilmu
tersebut tidak dipahami dengan penyelidikan akal, tetapi hanya lewat
pengalaman langsung (dzauq), dengan jalan ekstase atau perubahan
moral. Usaha untuk mewujudkan kondisi ini menurutnya harus dilakukan
dua tahap. Yang pertama adalah mengosongkan jiwa dari selain Allah,
dan yang kedua adalah mengisi jiwa dengan ingatan yang penuh kepada
Allah.39
Untuk mengetahui indikasi keberhasilan amaliah dan perilaku
tasawuf, sebagaimana yang dikehendaki al-Ghaza>li>, dapat diperhatikan
melalui dua hal,40 pertama “al-shidq ma’a Allah” (jujur dengan Allah),
dan yang kedua “husn al-mu’amalah ma’a al-Nas” (berperilaku baik
dengan sesama manusia).
Selanjutnya dari sisi wawasan intelektualnya di bidang tasawuf,
dapat dilacak melalui karya ilmiahnya yang monumental, Ihya’ ‘Ulu>m al-
Di>n. Karya intelektualnya ini terdiri dari empat jilid dan satu
supplement. Dalam jilid pertama diuraikan tentang ilmu dasar-dasar
aqidah, rahasia thaharah, rahasia s}alat, rahasia zakat, rahasia puasa,
rahasia haji, etika membaca al-Qur’a>n dan adzkar.
Dalam jilid kedua dibahas panjang lebar tentang pelaksanaan
mu’amalah yang meliputi etika makan, etika nikah, etika berekonomi,
39 Ibid., 133. 40 Al-Ghaza>li>, Khulasah al-Thasanif fi al-Tasawuf, (Mesir : D<ar al-Ma'arif, 1966 ), 174.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
halal-haram, etika persaudaraan, etika ‘uzlah, etika bepergian, etika amar
ma’ruf nahi munkar, kehidupan dan akhlak Nabi. Dalam jilid ketiga baru
mulai dibahas tentang keajaiban hati, latihan pengembangan jiwa,
pengendalian syahwat, bahaya lisan, kejelekan hasud-dengki, dan
beberapa penyakit psikologis beserta cara penyembuhannya. Sementara
dalam jilid yang keempat diuraikan tentang ajaran sufistik yang
menyangkut taubat, s}abar, shukr, khauf, raja’, zuhd, mahabbah, ikhlash,
muhasabah, muraqabah, dan hal-hal lain yang bersifat metafisik.
Sedang dalam supplement, dimuat tentang kelebihan-kelebihan
Ihya’, berbagai problematika dalam Ihya’, dan seputar uraian tentang
tasawuf, akhlak tasawuf, serta keutamaan-keutamaan ibadah yang
bercorak sufistik. Ihya’ al-‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li> tersebut,
berdasrkan catatan sejarah pribadi>nya, diulis setelah ia selesai mengkaji
falsafah, ilmu kalam, tasawuf dan aliran kebatinan yang berkembang saat
itu. Sementara dari sisi waktu dan tempat kitab tersebut ditulis di
Baghdad setelah habis masa ‘uzlahnya,41 meski ada pendapat lain yang
menyebutkan bahwa Ihya’ ditulis pada masa ‘uzlahnya42 yang
diperkirakan tahun 1095-1107 M.
41 Philip K Hitti, History of The Arabs, ( London : The Macmillan Press, 1974 ), 342. 42 Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj al-Falsafi Bain al-Ghaza>li> wa Dikart, Terj. Ahmad Rafi' Uthman, Al-Ghaza>li> Sang Sufi Sang Filosof , (Bandung : Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1987 ), 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
Kitab al-Ihya’ yang telah memuat konsep rekonsiliatif antara
pengalaman sufisme dan shari>’at,43 sebagaimana harapan Imam al-
Qusyairi, selain mendapat penghargaan dari Muhammad Abduh yang
dilansir oleh Jamal al-Di>n al-Qasimi, dan Musa al-Maimun dari teolog
Yahudi juga mendapat kritikan karena dianggapnya tidak orisinal.44
Sekalipun mendapatkan penghargaan karena Ihya’nya, bukan
berarti karya intelektual al-Ghaza>li> tersebut bebas dari pengaruh
eksternal. Menurut pengakuan al-Ghaza>li> sendiri, khusunya menyangkut
pembahasan di bidang tasawuf telah dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran sufistik sebelumnya, antara lain Qut al-Qulub karangan Abu
Thalib al-Makki dan pemikiran tas}awwuf al-H}ari>th al-Muh}a>sibi>, Al-
Junaydi dan Abu Yazid al-Bust}ami>.45 Tetapi, ungkapan dan uraian dalam
Ihya’ menurut al-Ghaza>li> jauh berbeda dibanding buku-buku tasawuf
mereka.
Perbedaan tersebut menurutnya terdapat dalam lima hal berikut :
pertama, Ihya’ menjelaskan apa yang ditulis mereka secara singkat dan
umum, kedua, Ihya’ menyusun dan mengatur apa yang ditulis mereka
berserakan dan tidak sistematis, ketiga, Ihya’ meringkas dan menguatkan
apa yang ditulis mereka secara panjang, keempat, Ihya’ membuang apa
yang mereka tulis secara berulang-ulang, kelima, Ihya’ memberikan
43 Simut, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), 167. 44 Kautsar Azhari Noer, Mengkaji Ulang Posisi al-Ghaza>li> dalam Sejarah Tasawuf "Majalah Pesantren " dalam Jurnal Paradikma. Vol. I, ( Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1999), 185. 45 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 126.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
kepastian terhadap hal-hal yang meragukan yang membawa kepada
kesalah pahaman, di mana hal ini tidak pernah disinggung dalam tulisan-
tulisan mereka.46
Pembelaannya terhadap Ihya’di atas secara akademis,
menunjukkan kelebihan metodologi yang digunakan Ihya’ dibanding
dengan buku-buku tasawuf sebelumnya. Meski demikian, ada juga yang
mengritiknya sebagai seorang ulama yang tidak memiliki ilmu athar, dan
tidak banyak mempunyai al-sunnah al-nabawiyah yang sah. Kelemahan
ini oleh al-Ghaza>li> diakui sendiri dengan pernyataannya, bahwa
“kapasitas ilmu h}adi>thku sangat terbatas”.47
4. Konsep Hukum al-Ghaza>li>
Pemikiran al-Ghaza>li> dalam bidang fikih meliputi banyak aspek,
seperti politik (fikih siyasi), ibadah dan us}ul fikih.
Dalam aspek politik, al-Ghaza>li> berpendapat bahwa kewajiban
mengangkat kepala negara didasarkan atas keharusan agama. Sebagai
alasan, ia menyatakan bahwa tujuan manusia dalam bermasyarakat dan
bernegara tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan materil dan duniawi
yang tidak mungkin dapat dipenuhinya sendirian, tetapi, lebih dari itu,
untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang bahagia di akhirat.
Persiapan itu harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan
ajaran agama secara benar. Sementara pengamalan dan penghayatan itu
46 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din. Vol. I, 11. 47 Rasyad Salim, Muqa>ranah Bain al-Ghaza>li> wa Ibn Taymiyyah, ( Riyadl : D<ar al-Salafiyyah, 1975 ), 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
baru mungkin dapat dilakukan apabila dunia dalam keadaan tertib, aman,
dan tenteram. Maka untuk menciptakan suasana seperti ini, diperlukan
pimpinan atau kepala negara yang ditaati.
Al-Ghaza>li> selanjutnya berpendapat, bahwa kerajaan merupakan
anugerah Allah yang diberikan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Ini berarti bahwa kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat,
tetapi dari Allah. Karenanya kekuasaan kepala negara suci, rakyat wajib
mentaatinya dan melaksanakan perintahnya secara mutlak. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam surat an-Nisa’ (4: 59). Meskipun
mentaati kepala Negara merupakan keharusan, al-Ghaza>li> untuk
menghindari absolutisme kekuasaan mengemukakan syarat-syarat bagi
seorang kepala Negara.48
Dalam hal ibadah, sebagai seorang sufi yang memperhatikan aspek
batin, al-Ghaza>li> tidak berhenti pada menyebutkan hukum-hukum syara’
sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas fuqaha>‘. Pengkajiannya
terhadap masalah ibadah dilakukan dengan membahas segi-segi spiritual,
serta mendalami berbagai rahasia dan hikmahnya.
Dalam masalah ‘t}aharah’ misalnya, menurut al-Ghaza>li> bukan
sekedar bersuci dari h}adath (yang secara hukum dipandang kotor oleh
shara’) dan khabis (yang secara materil dipandang kotor oleh shara’).
Menurutnya t}aharah yang demikian merupakan tingkatan yang pertama.
Masih ada tingkatan-tingkatan lain di atasnya, yaitu tingkatan kedua,
48 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2 ( Desember, 2005 ), 799.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
penyucian diri dari dosa dan kesalahan, ketiga, penyucian hati dan akhlaq
yang tercela, dan keempat, penyucian ‘sirr’ (harfiyah: rahasia atau situasi
hati paling dalam) dari selain Allah SWT.49
Adapun konsepsi al-Ghaza>li> tentang Us}ul Fikih terungkap secara
sistematis dalam kitabnya “Al-Mustasfa”.50 Dari kitab ini kita akan
mendapatkan informasi tentang keberatan al-Ghaza>li> terhadap “Shar’u
man Qablana, Qaul Sah}abi, Istihsan, Istislah, dll” sebagai sumber hukum
sekunder. Bagi al-Ghaza>li>, sumber hukum itu cukup empat, yaitu al-
Kitab, al-Sunnah, Ijma' dan akal pikiran. Adapun selebihnya Qiyas,
Istih}san dan lain-lain. Sehingga inheren pada sumber yang terakhir, yaitu
akal. Keterusterangan al-Ghaza>li> mengedepankan akal sebagai sumber
hukum yang keempat-menurut hemat penulis-merupakan pengaruh dari
filsafat 51. Untuk lebih jelasnya di uraikan hal-hal berikut ini:
a. Hakikat Hukum
Bagi al-Ghaza>li>, hukum itu merupakan uraian mengenai
kitab al-Shar’i (obyek hukum yang ditentukan oleh shari’at yang
berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf ). Jadi, seandainya
tidak ada kitab dari shara’ maka hukum itu tidak akan pernah ada.
Oleh karena itu, tegas al-Ghaza>li>, akal pikiran manusia tidak punya
tempat untuk menentukan baik-buruknya suatu perbuatan, dan (juga)
49 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, vol I , 125. 50 Kitab ini di karang al-Ghaza>li> sebelum wafatnya, berarti waktu ia mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupan sufi, ( al-Ghaza>li>, al-Mustasfa, 3-4 ) 51 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2 ( Desember, 2005 ), 800.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
tidak berhak mewajibkan manusia untuk menshukuri nikmat yang
telah diperolehnya. Tegasnya, tidak ada hukum apapun bagi segala
perbuatan manusia sebelum syari’at itu datang.52
b. Metode Penggalian Hukum
Metode penggalian hukum ini merupakan pembahasan
utama Us}ul fikih, karena di sinilah usaha para mujtahid dalam
menggali, kemudian mengeluarkan berbagai hukum dari sumbernya
dan mengembangkan berbagai hukum tersebut pada cabang-
cabangnya. Menurutnya, metode penggalian hukum terdiri dari
metode penggalian hukum dengan pendekatan semantic, kontekstual,
dan tekstual. Dari pendekatan semantic, al-Ghaza>li> membaginya ke
dalam empat bagian, yaitu : Mujmal-Mubayyan, Zahir-Muawwal,
Amr-Nahi, dan ‘Am-Khas. Dari pendekatan kontekstual
pembahasannya kepada masalah Iqtida, Isyarah Lafadz, memahami
hukum berdasarkan illatnya, mamahami arti di balik kata-kata yang
diucapkan, dan mafhum. Adapun pendekatan tekstual membahas
masalah qiyas.
Dari metode penggalian hukum ini menjadi jelas bahwa
sumber hukum itu ada empat yaitu: al-kitab, al-sunnah, al-ijma' dan
akal pikiran, sedang yang lainnya bukan termasuk dalil-dalil pokok
(Us}ul al-Adillah). 53
52 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, I., 55. 53Ibid, 245.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
c. Konsep Ijtihad
Dalam upaya melaksanakan penggalian hukum, al-Ghaza>li>
menyerahkan kepada tiga kelompok pelaksana, yaitu mujtahid,
muqallid dan marajjih. Al-Ghaza>li> serius mendukung pemasharakatan
ijtihad. Hal ini terlihat pada metode ijtihatnya yang memberikan
peluang sebesar-besarnya bagi umat Islam untuk menjadi mujtahid.
Baginya, mujtahid tidak terbatas pada mujtahid mutlak (yang
memerlukan syarat-syarat ketat), tetapi juga mujtahid muqayyad
(terbatas pada hal-hal tertentu), dan seorang mujtahid tidak harus
berfatwa dalam seluruh persoalan shara’. Boleh jadi seseorang hanya
menguasai metode qiyas, maka ia dibenarkan memberikan fatwa
hukum. Khusus mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan
qiyas, meskipun ia tidak mahir dalam bidang ilmu H}adi>th. Artinya,
untuk bisa menjadi seorang mujtahid tidak harus hafal ayat-ayat atau
H}adi>th-H}adi>th hukum, tetapi cukup mengetahui sebatas ayat-ayat
yang berkaitan dengan masalah yang sedang dicarikan hukumnya
(kurang lebih 500 ayat) dan dapat dengan cepat-cepat
menunjukkannya ketika diperlukan.54
d. Independensi Pemikiran al-Ghaza>li>
Al-Ghaza>li> yang notabene Syafi’iyah tidak serta merta
mengikuti pendapat imam madzhabnya. Sebagai bukti indepedensi
54 Ibid, 351-355.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
pemikirannya, al-Ghaza>li> berani untuk menempatkan akal sebagai
sumber hukum keempat.
Dalam kitabnya Ihya' Ulu>m Al-Di>n’, al-Ghaza>li> membahas
keutamaan akal dalam bab tersendiri, yaitu bab “al-‘Aql wa
sharafuhu”, akal merupakan sumber, tempat muncul dan landasan
bagi ilmu pengetahuan. Namun akal bukan berarti dapat berbuat
sesuka hati dalam menentukkan hukum. Akal selalu berada di bawah
kontrol nash al-kitab dan as-sunnah.55 Al-Ghaza>li> mengakui bahwa
hukum-hukum yang didasarkan atas wahyu tidak mungkin dapat
dijangkau akal. Hanya saja akal mampu menunjukkan adanya beban
tanggungan dari kewajiban-kewajiban yang membebani mukallaf,
tapi akal tidak bisa menunjukkan adanya kewajiban karena itu
wewenang wahyu. Misalnya, akal hanya mampu menunjukkan bahwa
tidak ada kewajiban puasa bagi mukallaf di bulan Shawal. Namun
wahyulah yang mewajibkan puasa Ramadan. Ketika ada perintah
s}alat lima waktu, maka s}alat yang keenam dengan sendirinya tidak
wajib. Akal dapat langsung memahami hal itu, walaupun tanpa
penjelasan dari Nabi akan ketidak-wajibannya.
Disamping itu al-Ghaza>li> mencoba melakukan kritik
terhadap pendapat imam-imam madzhab, seperti terhadap konsep
Syar’u man Qablana, Qaul Sahabi, Istishab, istislah dan Istihsan.
55 Ibid, 140.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Keberatan al-Ghaza>li> pada Shar’u man Qablana sebagai dalil
pokok berdasarkan pada kenyataan bahwa, Nabi Muhammad SAW.
tidak pernah melaksanakan ibadah dengan menggunakan shari’at para
Rasul sebelumnya. Begitu juga terhadap Qaul Sahabi, tidak bisa
dijadikan dalil pokok yang harus selalu diikuti, karena para sahabat
bukan manusia yang ma’sum dan terhindar dari perbedaan pendapat.
Dan pada kenyataannya mereka terbiasa dengan perbedaan yang ada,
bagaimana mungkin mesti diikuti pendapatnya? Kaitannya dengan
ini, ia menegaskan bahwa Istishab tidak dapat dijadikan hujjah,
kecuali jika terdapat dalil yang mengukuhkannya.
Sementara sikapnya terhadap masalah, ia berpendapat bahwa
masalah yang mendapat legimitasi dari shara’ dapat dijadikan hujjah.
Namun, hasil akhirnya harus dikembalikan pada qiyas. Jadi masalah
tidak dapat berdiri sendiri sebagai sumber hukum alternative setelah
dalam al-Qur’a>n dan H}adi>th tidak ditemukan dalilnya.
Adapun sanggahannya terhadap Istihsan dimulai dengan
menukil perkataan Asy-Shafi’i: “man istahsana faqad shara’a,”
56dengan argumentasi
1) Sesuatu yang dianggap baik istihsan oleh mujtahid atas
pertimbangan akal belaka, akan membawa pengertian bahwa kita
akan menjumpai ibadah yang didasarkan pada akal, padahal ibadah
tidak mungkin diketahui kecuali melalui nash.
56 Muhammad Ibn Idris al-Shafi'I, 'Al-Um, vol. VII, ( Beirut : D<ar al-Fikr, 1978 ), 277.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
2) Kita tahu pasti bahwa ahli hukum tidak layak menentukan sesuatu
hukum atas dasar hawa nafsunya, tanpa terlebih dahulu
memperhatikan nash yang ada. Tanpa nash, sama artinya hukum
itu didasarkan pada hawa nafsu.57
Jika konsep Us}ul fikihnya ini tidak jauh berbeda dengan
Imam Hanafi dan Imam Shafi’i (dalam penggunaan akal), tetapi
mengapa justru pemikirannya tidak dikenal (baca: aplikasinya) secara
luas di kalangan umat Islam? Jika melihat data sejarah, maka
jawaban atas pertanyaan itu adalah :
1) Karena al-Ghaza>li> menempatkan akal sebagai sumber hukum
keempat (biasanya ditempati Qiyas atau Ijtihad)
2) Penggunaan (perioritas) akal pada masa al-Ghaza>li> dan masa
sesudahnya dianggap identik dengan aliran Mu’tazilah, yang pada
umumnya tidak mendapat respon dari kalangan Sunni. Sementara
pemikiran usul fikih yang berkembang sampai saat ini adalah
pemikiran usul fikih versi Sunni.58
B. Konsep Halal dan Haram menurut Imam al-Ghaza>li>.
Dalam penelitian tentang halal dan haram, Imam al-Ghaza>li> dalam
kitab Ihya' Ulu>m al-Di>n membagi dalam tujuh bab, yaitu :
57 Al-Ghaza>li>, Al-Mustasfa, 275-276. 58 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2, 804.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
Bab I : Tentang keutamaan barang halal dan ketercelaan barang haram,
serta tinkatan-tingkatan halal dan haram.
Bab II : Tentang tingkatan-tingkatan syubhat dan perbedaanya dari
halal dan haram.
Bab III : Tentang penyediaan, pertanyaan, serangan, melalaikan, dan
dugaan tentang halal fdan haram
Bab IV : Tentang cara keluarnya orang yang taubat dari kez}aliman-
kez}aliman harta.
Bab V : Tentang pemberian dan hadiah sultan-sultan, apa yang halal
dan haram padanya.
Bab VI : Masuk pada sultan dan berhubungan dengannya.
Bab VII : Masalah-masalah yang beraneka ragam.
Dalam penelitian ini penulis tidak menyebutkan semua bab di atas
akan tetapi hanya bebrapa hal di bawah ini, yaitu : pertama, fad}ilah halal dan
ketercelaan haram. Kedua, macam-macam halal dan tingkatannya. Ketiga,
macam-macam haram dan tingkatannya.
1. Fad}ilah halal dan ketercelaan haram.
Dalam menyebutkan keutamaan halal dan ketercelaan haram,
Imam al-Ghaza>li> mengambil dalil dari al-Qur’a>n dan al-H}adi>th sebagai
berikut ;
a. Al-Qur’a>n surat al-Mu'minu>n ayat 51 :
يا أيـها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صاحلا إين مبا تـعملون عليم
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
"Hai Rasu>l-Rasu>l, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Allah memerintahkan untuk makan dari yang baik-baik
sebelum beramal. Dan ada yang mengatakan bahwa yang di maksud
adalah sesuatu yang halal.59
b. Al-Qur’a>n surat al-Baqarah ayat 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
c. H}adi>th Nabi SAW yang riwayatkan oleh Abu Na'im :
قلبه وأجرى ينابيع احلكمة من قلبهأكل احلالل أربعني يوما نور اهللامن "Barang siapa makan halal empat puluh hari, maka Allah menerangi hatinya dan Ia lakukan sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lidahnya "
d. Al-Qur’a>n Surat al-Nisa' ayat 10
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
59 Hal 90.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
1) Macam-Macam Halal
Dalam kitab Ihya' al-Ghaza>li> tidak menjelaskan dengan detil
tentang macam-macam halal, beliau hanya menganjurkan untuk
menela'ah macam-macam halal dalam kitab-kitab fikih.
Adapun orang yang ingin mengkonsumsi dari berbagai segi,
maka ia membutuhkan kepada teori halal dan haram seluruhnya
sebagaimana rincian di dalam kitab fikih.
2) Macam-Macam Haram
Al-Ghaza>li> menunjuk kepada garis-garis besar mengenai
rangkaian pembagian, yaitu harta itu haram adakalanya karena
makan dalam ‘ain (zatnya ) atau karena beberapa cacat dalam segi
usahanya.
2.1. Sesuatu Haram Karena Sifat dalam Zatnya
Haram itu karena sifat dalam bendanya seperti khamer,
babi dan lainnya.
Perinciannya bahwa benda-benda yang dimakan di
permukaan bumi itu tidak melampaui tiga bagian, yaitu:
a) Adakalanya terdiri dari tambang seperti garam, tanah liat
dan lainnya.
b) Atau dari tumbuh-tumbuhan.
c) Atau dari hewan-hewan.
Adapun benda tambang yaitu bagian-bagian bumi dan
seluruh apa yang keluar dari padanya, maka tidak haram
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
memakannya kecuali dari segi makan itu memadlaratkan orang
yang memakannya. Dan sebagiannya ada sesuatu yang berjalan
seperti jalannya bisa roti, seandainya memadlaratkan niscaya
haram memakannya. Tanah liat yang bisa dimakan itu tidak
haram kecuali memadharatkan.
Faidah perkataanal-Ghaza>li> bahwa hal itu tidak haram
padahal sesuatu itu tidak dimakan adalah seandainya sesuatu itu
jatuh di dalam kuah atau makanan yang cair maka, makanan itu
tidak menjadi haram.
Adapun tumbuh-tumbuhan tidak haram kecuali sesuatu
yang menghilangkan akal atau menghilangkan kehidupan atau
kesehatan. Sesuatu yang menghilangkan akal diantaranya
adalah ganja, khamr dan sesuatu yang memabukkan. Sesuatu
yang menghilangkan hidup seperti bisa ( racun ), dan Sesutu
yang menghilangkan kesehatan adalah obat-obatan yang salah
pakai.
Himpunan ini adalah kembali kepada kemadlaratan
kecuali khamar dan apa-apa yang memabukkan. Dan orang yang
tidak mabuk juga haram memakannya walaupun sedikit ‘ain dan
sifatnya. Sedangkan bisa (racun), apabila keluar dari
keadaannya memadharatkan karena sedikitnya atau teraduk
dengan lainnya, maka tidak haram.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
Adapun binatang maka terbagi kepada sesuatu yang di
makan dan tidak boleh dimakan. Dan perinciannya di jelaskan
dalam kitab al-At'imah.
Melihat mengenai perinciannya itu panjang lebih-lebih
mengenai burung-burung yang asing, binatang-binatang daratan
dan lautan. Binatang yang tidak dimakan itu tidak hanya
menjadi halal apabila disembelih dengan sembelih syara’ yang
memenuhi syarat-syarat penyembelih, alat dan binatang yang di
sembelih. Dan hak ini oleh al-Ghaza>li> disebut dalam kitab al-
Said dan kitab al-Dlahaya.
Binatang yang tidak disembelih dengan sembelihan
syara’ atau mati maka binatang itu haram. Dan tidak halal
kecuali bangkai, yaitu ikan dan belalang dan binatang yang
semakna dengan kedua binatang itu adalah binatang yang
bertempat di makanan-makanan seperti ulat apel, cuka dan susu
asam, karena menjaga diri dari binatang tidak mungkin.
Adapun apabila binatang itu disendirikan dan dimakan
maka hukumnya seperti hukum lalat, kumbang, kalajengkin dan
setiap binatang yang tidak mempunyai darah maka tidak ada
sebab dalam mengharamkannya kecuali jijik. Dan seandainya
kejijikan itu tidak ada, maka tidak dimakruhkan.
Jika terdapat seseorang yang tidak merasa jijik maka
tidak ditolak kepada kekhususan nalurinya. Sesutu itu tidak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
disamakan dengan hal-hal yang buruk itu karena umumnya jijik
sehingga makruh memakannya. Dan kemakruhan itu bukan
karena najisnya karena, yang benar binatang-binatang itu tidak
najis karena, akan tetapi karena RAsulullah SAW.
memerintahkan untuk memasukkan lalat di dalam makanan,
apabila lalat itu terjatuh padanya, barangkali makanan itu panas
dan menjadikan sebab kematianya.
Seandainya semut atau lalat jatuh di dalam periuk maka
tidak wajib mengalirkanya karena yang dipandang menjijikkan
bendanya apabila ia masih mempunyai benda, dan benda itu
tidak najis sehingga benda itu haram karena najis. Dan ini
menunjukkan bahwa haramnya itu karena dipandang
menjijikkan.
Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan:
“Seandainya jatuh satu bagian anak Adam (manusia) di dalam periuk walaupun, timbangan (seberat) satu daniq (1/6 dirham) maka haramlah seluruhnya, bukan karena najisnya, karena yang benar, anak adam (manusia) itu tidak najis karena mati, akan tetapi memakannya itu haram karena dimuliakan, bukam karena dipandang menjijikkan.
Adapun binatang-binatang yang boleh dimakan apabila
disembelih dengan sharat shara’ maka tidak seluruh bagian-
bagianya itu halal. Tetapi darah, kotoran dan setiap apa yang
diputuskan najis padanya itu diharamkan. Bahkan memakan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
najis seluruhnya itu haram. Tetapi tidak ada sesuatu yang
diharamkan itu najis kecuali dari binatang-binatang.
Sedangkan dari tumbuh-tumbuhan dianggap haram
adalah hanya tumbuhan yang memabukkan saja, bukan sesuatu
yang menghilangkan akal, dan memabukkan seperti ganja.
Sesungguhnya najisnya sesutu yang memabukkan itu
menunjukkan beratnya larangan mengkosumsinya, karena hal itu
mengandung dugaan bisa menyebabkan ketertarikan pada suatu
yang memabukkan.
Manakala setetes najis atau bagian dari najis yang beku
itu jatuh di dalam kuah, makanan atau minyak, haram memakan
seluruhnya. Namun tidak haram pengambilan manfa’at untuk
selain yang dimakan, shg boleh memakai lampu dengan minyak
najis. Demikian pula mengecat (mengoles) perahu, kulit binatang
dan lainnya.
2.2. Sesuatu yang Haram Karena Cacat dalam Arah Penetapan
Tangan Atasnya.
Di dalam hukum haram ini, pembahasannya sangat luas.
Al-Ghaza>li> menyebutkan bahwa mengambil harta, adakalanya
dengan ikhtiar (usaha) pemilik atau usaha orang lain. Sesuatu
yang diambil karena usaha orang lain seperti warisan.
Sesuatu yang ada dengan ikhtiarnya sendiri adakalanya
tidak dari pemilik seperti memperoleh tambang, atau dari
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
pemilik. Sesutu yang diambil dari pemilik adakalanya diambil
dengan paksa dan adakalanya diambil dengan kerelaan.
Adapaun sesuatu yang diambil secara paksa adakalanya
karena gugurnya keterpeliharaan pemilik seperti rampasan
perang atau karena haknya pengambilan serperti zakat orang-
orang yang mencegah zakat dan nafkah-nafkah yang wajib bagi
mereka. Dan sesutu yang diambil dengan kerelaan adakalanya
diambil dengan ganti seperti jual beli, maskawin dan ongkos.
Juga adakalanya diambil tanpa ganti seperti hibbah (pemberian)
dan wasiat.
Dari pembahasan macam-macam haram diatas dapat
disimpulkan ada enam bagian, yaitu:
a) Sesuatu yang diambil tanpa pemilik seperti memperoleh
harta tambang, menghidupkan tanah mati, berburu, mencari
kayu bakar, mencari air dari sungai dan merumput. Hal ini
halal dengan sharat apa yang diambil itu tidak khusus pada
orang yang memiliki kehormatan. Apabila sesuatu itu lepas
dari kekhususan-kekhususan, maka pemiliknya adalah orang
yang mengambilnya. Perinciannya tersebut di bahas dalam
kitab Ihya' al- mawat (menghidupkan tanah mati).
b) Sesuatu yang diambil dengan paksa dari orang yang tidak
mempunyai kehormatan yaitu harta fai’ (harta yang diambil
dari orang kafir tanpa perang), rampasan perang dan seluruh
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
harta orang-orang kafir dan harta orang-orang yang memusui
Islam. Harta itu halal bagi kaum Muslimin apabila, mereka
mengeluarkan seperlimanya dan membaginya diantara
orang-orang yang berhak dengan adil. Dan mereka, tidak
mengambilnya dari orang-orang kafir yang mempunyai
kehormatan, keamanan dan janji.
c) Sesuatu yang diambil secara paksa dengan adanya hak ketika
orang yang wajib itu mencegahnya, maka sesuatu itu bias
diambil tanpa keridlaannya. Dan itu halal apabila sempurna
sebab-sebab pengambilan hak dan sempurna sifat
mustahiknya. serta ia mengambil hanya sebatas haknya, dan
ia memenuhinya dari orang yang memiliki hak pemenuhan
itu, yaitu hakim, penguasa atau orang yang berhak. Hal ini
dijelaskan al-Ghaza>li> dalam kitab tafriq al-S}adaqah , kitab al-
Waqfi dan kitab al-Nafaqah.
d) Sesuatu yang diambil atas kerelaan dengan adanya
pergantian. Dan itu halal apabila dipelihara sharat-sharat
pertukaran, sharat kedua belah pihak orang yang beraqad dan
syarat dua lafal yaitu ijab dan qabul serta sesuatu yang
dipandang ibadah menurut shara’, dan menjahui syarat-syarat
yang merusakkan. Hal ini dijelaskan al-Ghaza>li> dalam bab
jual beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan lain-lain.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
e) Sesuatu yang diambil dengan kerelaan tanpa ganti, apabila
padanya dipelihara syarat barang yang diaqad, dan syarat dua
orang yang beraqad, syarat aqad, dan tidak menyampaikan
madharat kepada ahli waris atau lainnya. Hal ini disebutkan
dalam kitab al-Hibbah (pemberian), wasiat (pesan) dan
sedekah.
f) Sesuatu yang diperoleh tanpa ikhtiar seperti warisan itu
halal, apabila harta yang diwaris itu diusahakan dari
sebagaian arah yang lima dengan segi yang halal. Setelah itu
penunaian hutang, pelaksanaan wasiyat, mengadilkan
pembagian antara ahli waris, mengeluarkan zakat, haji dan
kaffarat (denda pelanggaran sumpah).Itu tersebut di dalam
kitab Wasiyat dan pembagian waris.
3) Tingkatan Halal dan Haram
Ketahuilah bahwa haram seluruhnya itu buruk tetapi
sebagianya lebih buruk dari pada sebagian yang lain. Dan halal itu
seluruhnya baik tetapi sebagiannya lebih baik dari pada sebagian
yang lain. Sebagaimana dokter menghukumi dengan panas (kalori)
terhadap setiap yang manis. Tetapi sebagianya panas (kalori) dalam
tingkatan pertama seperti gula, sebagiannya panas (kalori) dalam
tingkatan kedua seperti manisan, sebagiannya panas (kalori) dalam
tingkatan ketiga seperti fuits (jenis manisan). Dan sebagiannya panas
(kalori) dalam tingkatan keempat seperti madu.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
Haram juga mempunyai tingkatan seperti halal, sebagiannya
buruk dalam tingkatan pertama, sebagianya dalam tingkatan kedua,
ketiga atau keempat.
Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan wara’ terhadap
haram itu ada empat tingkat,60 yaitu:
3.1. Wara’ orang sangat adil, dan itulah yangmewajibkan kefasikan
dengan melanggarnya, dan gugurlah keadilan karenanya dan
tetap (sah) lah nama durhaka dan menyebabkan masuk neraka.
Yaitu wara’ dari setiap apa yang diharamkan oleh fatwa fuqaha>‘.
3.2. Wara’ orang yang shalih, yaitu mencegah dari sesuatu yang
menyampaikan kepada penaggungan haram, tetapi mufti (ahli
fatwa) memberi keringanan dalam mengambilnya karena
berdasarkan atas d{ahir,61 karena itu termasuk tempat-tempat
shubhat secara global, maka hendaklah kita memberi nama
penyempitan terhadap hal itu sebagai wara’ orang-orang yag
shalih,.
3.3. Sesuatu yang tidak diharamkan oleh fatwa dan tidak ada shubhat
mengenai kehalalannya. Tetapi dikhawatirkan dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang diharamkan. Yaitu
meninggalkan sesuatu yang tidak menyebabkan dosa.
60 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, 95. 61 Dahir yang dimaksud di sini adalah dahir lawan kata dari sara'ir ( hal-hal yang dinilai hanya oleh Allah). ( Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ittihaf Tasat al-Muttaqin Sharh Ihya' Ulum al-Din, Vol 6), (Beirut : Dar al-Fikr, Tentu), 22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
Ini adalah wara’ orang-orang yang bertakwa , Nabi SAW
bersabda:
٦٢اليبلغ العبد درجة املتقني جىت يدع ماالبأس به خمافة مابه بأس
“Seorang hamba tidak sampai kepada derajad muttaqin (orang-orang yang bertakwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tida apa-apa karena takut kepada sesuatu yang apa-apa (dosa)".
3.4. Sesuatu yang sama sekali tidak apa-apa dan tidak dikhawatirkan
untuk menyampaikan kepada sesuatu yang apa-apa (berdosa),
sesuatu itu memperoleh kepada selai Allah dan atas niat selain
taqwa dalam beribadah kepada Allah atau menyampaikan
kepada sebab-sebabnya yang memudahkan baginya baik makruh
atau ma’siat. Mencegah diri dari hal ini adalah wara’ orang-
orang yang siddiqin (orang yang sangat membenarkan agama).
Adapun haram yang kami sebutkan pada tingkat pertama
menjadi persyaratan dalam keadilan dan terlepasnya sifat
kefasikan itu ada beberapa tingkat juga dalam keburukan.
Diantaranya adalah sesuatu yang diambil dengan aqad yang fa>s}id
itu haram, tetapi tidak setingkat dengan benda yang di ghasab,
dan meninggalkan jalan ibadah dengan mu'athah itu lebih ringan
daripada meninggalkan ibadah dengan riba.63
62 H}adi>th ini diriwayatkan oleh Ibn Majjah, al-Tirmizi dan al-Hakim dari h}adi>th 'Atiyah bin Urwah. 63 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulu>m al-Di>n, 95.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
4) Tingkatan Shubhat, Motifator Shubhat dan Perbedaan Halal dan
Haram.
Mengenai shubhat ini, Rasulullah SAW bersabda:
عت رسول اهللا صلى اهللا عليه عت النـعمان بن بشري يـقول : مس عن عامر قال : مسنـهما مشبـهات ال يـعلمها وبـيـ واحلرام بـني كثري من الناس وسلم يـقول : احلالل بـني
رأ لدينه وعرضه ، ومن وقع يف الشبـهات كراع يـرعى حول فمن اتـقى المشبـهات استبـمه أال احلمى يوشك أن يـواقعه أال وإن لكل ملك محى أال إن محى اهللا يف أرضه حمار
وإن يف اجلسد مضغة إذا صلحت صلح اجلسد كله ، وإذا فسدت فسد اجلسد كله أال وهي القلب
Dari Amir berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda : “halal itu jelas, haram itu jelas dan antara keduanya terdapat hal-hal yang shubhat (samar), dimana banyak dari manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa memelihara dari syubhat maka ia telah membersihkan bagi kehormatannya dan agamanya. Dan barang siap jatuh di dalam syubhat maka ia jatuh di adalam haram seperti pengembala di sekitar tanah larangan maka hampir ia jatuh di dalamnya. Ketahuilah ! setiap pemilik mempunyai larangan, ketahuilah bahwa larangan Allah di buminya adalah hal yang diharamkannya, ketahuilah ! di setiap jasad ada darah, apabila darah itu baik maka seluruh jasad ikut baik dan apabila darah itu buruk, maka seluruh jasad ikut buruk pula, darah itu adalah al-qalb ( hati )”.64
H}adi>th ini ada nash mengenai penetapan tiga bagian
(pembagian) itu. Yang sulit dari ini adalah bagian pertengahan yang
tidak diketahui oleh manusia, yaitu shubhat maka wajib
menjelaskannya. Karena sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak
manusia itu kadang-kadang diketahui oleh sedikit orang.
Al-Ghaza>li> berkata “halal mutlak adalah sesuatu yang pada
dzatnya tidak ada sifat-sifat yang mewajibkan untuk haram pada
64 Al-Imam al-Hafid Ahmad bin Hajar al-Asyqalany, Fath al-Ba>ri> , Juz I, 20.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
‘ainnya, dan terlepaslah sebab-sebab yang menyampaikan kepada
haram atau makruh. Contohnya adalah air yang diambil dari hujan
sebelum air itu jatuh dan menjadi milik sesorang. Dan ia berdiri
ketika mengumpulkan dan mengambilnya dari udara dengan benda
miliknya atau jatuh pada tanah milik umum (muba>h{ah).65
Haram yang murni adalah sesuatu yang terdapat sifat yang
diharamkan dengan tidak diragukan seperti keharaman murni yang
menyenangkan di dalam khamar dan kenajisan di dalam air kencing
atau perolehan dengan sebab yang dilarang secara pasti seperti orang
yang memperoleh dengan dhalim dan riba, serta apapun yang setara
dengan hal ini.
Menurut al-Ghaza>li> shubhat adalah sesuatu hal yang masih
samar dan menunjukkan dua keyakinan yang keluar dari dua sebab
yang berlawanan. 66
Adapun motifator shubhat itu ada empat, yaitu :
4.1. Keraguan mengenai sebab yang menghalalkan dan yang
mengaharamkan.67
Hal ini adakalanya seimbang atau salah satu dari dua
kemungkinan. Jika dua kemungkinan itu seimbang maka,
hukumnya adalah bagi apa yang diketahui sebelumnya sehingga
hukum itu disamakan dan tidak ditinggalkan dengan keraguan.
65 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, 99. 66 Ibid., 99. 67 Ibid., 100.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
Jika memang salah satu dari dua kemungkanan keluar dalil
yang mu’tabar maka hukum itu bagi yang menang. Hal ini tidak
jelas kecuali dengan contoh-contoh dan bukti-bukti.
Oleh al-Ghaza>li> hal ini bagi menjadi empat bagian, yaitu:
i) Keharaman itu diketahui sebelumnya, kemudian terjadi
keraguan mengenai sesuatu yang menghalalkan. Ini adalah
shubhat yang wajib dijahui dan mengikutinya adalah haram.
Contohnya adalah sesorang melempar binatang buruan dan ia
melukainya kemudian binatang itu jatuh di dalam air lalu ia
menemukannya dalam keadaan mati. Ia tidak tahu, apakah
buruan itu mati karena tenggelam atau karena luka. Maka
buruan ini haram karean asalnya haram kecuali apabila
binatang itu mati dengan jalan tertentu. Pada contoh ini terjadi
keraguan karena yakin itu tidak ditinggalkan dengan keraguan
sebagaimana mengenai H}adi>th-H}adi>th, najis-najis, raka’at-
raka’at s}alat dan lainnya.
Atas dasar ini datanglah Nabi saw bersabda kepada
'Adi bin H}atim.
كلبكالتأكله فلعله قتله غري “Janganlah kamu memakannya, karena barangkali binatang itu dibunuh oleh selain angjingmu”
ii) Seseorang mengetahui yang halal dan ia ragu mengenai haram.
Asalnya halal dan hukumnya halal sebagaimana apabila dua
orang laki-laki menikah dua orang wanita, dan seekor burung
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
terbang. Lalu salah satu dari keduanya berkata “jika (burung )
ini burung gagak maka istriku tertalak” dan urusan burung itu
samar maka tidak diputuskan dengan haram pada seorang
wanita dari keduanya dan tidak wajib untuk menjahui
keduanya. Tetapi menurut wara’ adalah menjahui dan
mentalaq keduanya sehingga keduanya halal bagi seluruh
suami, menurut makhul hal ini harus di jauhi, tetapi kalau
menurut al-Sha'bi harus menjauhi dua orang laki-laki yang
berselisih.
iii) Keadaan asal adalah pengharaman, tetapi datang sesuatu yang
mewajibkan menghalalkannya dengan dugaan yang kuat. Maka
hal ini dipandang. Jika kuatnya dugaan itu disandarkan kepada
sebab yang mu’tabarah menurut syara’ maka sesuatu itu halal
sedangkan menjahui termasuk wara’.
Contohnya adalah seseorang melempar binatang buruan. Lalu
binatang buruan itu pergi kemudian ia menjumpainya dalam
keadaan mati, dan tidak ada bekas selain anak panahnya.
Tetapi mengandung kemungkinan bahwa binatang itu mati
karena jatuh sebab yang lain.
Dalam hal ini 'Aisyah berkata:
ان رجال اتى النيب صلى اهللا عليه وسلم بارنب فقال رمييت عرفت فيها سهمي فقال اصميت او امنيت فقال بل امنيت قال ان الليل خلق من خلق
اهللا اليقدر اال الذي خلقه فلعله اعان على قتله شيء
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
“ada seorang laki-laki membawa kelinci kepada Nabi saw. Lalu ia berkata “hasil panahanku, saya tau anak panahku ada padanya” maka beliau bersabda “bintang itu mati seketika atau setelah pergi” beliau bersabda sesungguhnya malam itu salah satu makhluk allah , tidak dapat melampaui qodarnya binatang mati kecuali sesuatu yang dia ciptakan. Barangkali ada sesuatu yang membantu atas pembunuhannya”
iv) Halal itu diketahui, tetapi kuat menurut dugaan datangnya
sesuatu yang mengharamkan karena sebab yang dianggap
menurut syara’ maka hilanglah istish-hab dan diputuskan
dengan haram. Karena jelas bagi kami bahwa ishtish-hab itu
lemah, dan tidak memepunyai hukum lagi bersama kuatnya
dugaan.
Misalnya ia menunaikan ijtihadnya kepada najisnya salah satu
dari kedua bejana dengan berpegang atas tanda yang tertentu
yang mewajibkan kuatnya dugaan maka mewajibkan haram
meminumnya sebagaimana mewajibkan larangan wudlu
denganya
Demikian juga jika ia berkata “jika zaid membunuh
binatang buruan sendirian maka istriku tertalak”. Lalu ia
melukainya dan binatang itu pergi darinya, dan ia
mendapatkannya mati maka istrinya haram. Karena menurut
lahirnya, ia membunuhnya sendirian.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
4.2. Shubhat yang mempunyai keraguan yang munculnya dari
percampuran68
Hal ini karena haram itu bercampur dengan halal, dan
urusan itu menjadi samar (shubhat) dan tidak dapat dibedakan.
Sedangkan percampuran itu ada, adakalanya terjadi
dengan jumlah yang tidak terhitung dari dua sisi atau dari salah
satu dari keduanya. Atau ada kalanya jumlah yang terhitung.
Jika bercampur dengan sesuatu yang terbatas, maka
adakalanya percampuran senyawa sekira tidak dapat
dibedakan dengan isyarat seperti percampuran barang-barang
cair atau percampuran samar yang dapat dibedakan benda-
bendanya seperti percampuran hamba sahaya, rumah dan
kuda. Sesuatu yang bercampur dengan samar, maka adakalnya
percampuran itu termasuk sesuatu yang dimaksud ‘ain (dzat)
nya seperti barang-barang dagangan atau tidak dimaksud ‘ain
(dzat) nya seperti uang.
Dari pembagian ini menimbulkan munculnya tiga bagian,
yaitu:
a) Bagian pertama adalah, ‘ain (dzat) nya disamarkan dengan
bilangan yang terbatas sebagaimana bangkai bercampur
dengan seekor binatang yang disembelih atau dengan sepuluh
ekor binatang yang disembelih atau seorang wanita tukang
68 Ibid., 103.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
menyusui bercampur dengan sepuluh orang wanita atau ia
mengawini salah satu dari orang wanita yang bersaudara
kemudian ragu. Ini adalah shubhat yang wajib di jauhi
dengan ijma’ karena hal itu bukan lapangan ijtihad.
Apabila yang syubhat itu bercampur dengan yang
mahsur (terbatas) maka shubhat itu seperti satu benda. Dalam
hal ini tidak berlawanan yakin haram dan yakin halal. Dan ini
tidak ada perbedaan antara teguhnya halal lalu datang
percampuran dengan sesuatu yang mengharamkan
sebagaimana seandainya seseorang menjatuhkan talak
terhadap salah seorang dari dua orang istrid alam masalah
burung, atau benda itu bercampur sebelum dipandang halal,
sebagaimana seorang wanita tukang menyusui bercampur
dengan wanita lain lalu ia ingin menghalalkan seorang wanita.
b) Haram yang terbatas dengan halal yang tidak terbatas
sebagaimana seorang wanita atau sepuluh wanita menyusuai
bercampur dengan wanita-wanita negeri yang besar maka
dengan ini tidak lazim untuk menjahui menikahi wanita-
wanita penduduk negri itu. Tetapi ia berhak untuk menikahi
wanita yang dikehendaki dari pada mereka.
Dan ini tidak boleh untuk dibuat alasan dengan
banyaknya halal karena lazim untuk membolehkan nikah
apabila seorang wanita haram percampur dengan sembilan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
108
orang wanita halal, dan tidak ada orang yang memberitahu
padanya, tetapi alasan yang kuat dan ada hajat. Karena
setiap orang yang kehilangan wanita yang menyusui atau
kerabat atau mahram karena persamaan atau salah satu dari
beberapa sebab maka tidak mungkin untuk ditutup pintu
nikah.
Demikian juga orang mengetahui bahwa harta dunia
dicampuri oleh barang haram secara pasti maka tidak lazim
(tidak wajib) baginya untuk meninggalkan pembelian dan
makan, karena hal itu menyempitkan. Padahal di dalam
agama itu tidak ada kesempitan.
Hal ini diketahui bahwasannya ketika pada masa
Rasulullah saw dicuri sebuah perisai dan seorang laki-laki
mengambil dengan khianat sebuah baju dari luar ghanimah ,
maka seseorang tidaklah dilarang untuk membeli perisai dan
baju di khalayak umum.
c) Barang haram yang tidak terbatas bercampur dengan barang
halal yang tidak terbatas seperti hukum harta benda di masa
kini. Orang yang mengambil hukum-hukum dari bentuk-
bentuknya kadang-kadang ia menduga bahwa nisbat yang
tidak terbatas kepada apa yang tidak terbatas seperti
menisbatkan sesuatu yang terbatas kepada sesuatu yang
tidak terbatas. Dalam masalah ini al-Ghaza>li> telah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
109
menghukumi dengan haram. Pendapat yang kami pilih adalah
berbeda dengan itu, yaitu dengan percampuran ini tidak
haram untuk memperoleh sesuatu dengan ‘ain (dzat)nya.
Mengandung kemungkinan hal itu haram dan halal kecuali
‘ain (dzat) nya itu bersamaan dengan tanda yang
menunjukkan bahwa hal itu haram. Jika pada ‘ain (dzat) itu
tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa hal itu haram
maka meninggalkannya itu wara’. Dan mengambilnya itu
halal, sedang orang yang memakannya tidak fasik.69
Al-Ghaza>li> menyampaikan bahwa seandainya haram
itu rata di dunia sehingga ia mengetahui dengan yakin bahwa
di dunia tidak tertinggal barang halal, maka Al-Ghaza>li>
berkata
“Kita mulai permulaan syarat-syarat dari sejak waktu kita dan kita maafkan sesuatu yang telah trdahulu dan kita berkata”
Sesuatu yang melampau batas adalah kebalikan
kepada lawannya. Manakala seluruhnya haram maka
seluruhnya menjadi halal.
Apabila hal ini terjadi kemungkinannya ada lima
macam,70 yaitu:
69 Ibid., 104. 70 Ibid., 107.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
110
(1) Bahwa dikatakan “manusia meninggalkan makan
sehingga mereka meninggal dunia sampai yang terakhir
dari mereka.
(2) Mereka membatasi diri dari haram menurut kadar
dharurat dan menutup sisa hidup.
(3) Bahwa dikatakan “ mereka memperoleh menurut kadar
kebutuhan dengan cara yang mereka inginkan, mencuri,
ghasab dan saling rela tanpa membedakan antara sesuatu
harta dengan harta yang lain, antara suatu sisi degan sisi
yang lain.
(4) Bahwa mereka mengikuti syarat-syarat syara’ dan
mereka mulai dengan ketentuan-ketentuannya tanpa
membatasi menurut kadar kebutuhan.
(5) Bahwa mereka membatasi diri bersama syarat-syarat
menurut kadar kebutuhan.
Kemungkinan yang pertama jelas kebatalannya,
kemungkinan kedua juga batal sebab bila seseorang hanya
membatasi dengan sisa hidup akan menjadikan habisnya
manusia di dunia ini sehingga agama juga sirna.
Kemungkinan yang ketiga oleh al-Ghaza>li> dianggap haram
sebab dapat menjadikan bermacam-macam kedlaliman yang
tidak mungkin dicegah. Kemingkinan keempat adalah yang
paling baik sebab bias terjaganya hukum shara' dan ada
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
111
kerelaan yang menjadikan maslahah. Dan kemungkinan yang
kelima adalah jalan yang paling baik karena termasuk dalam
kategori wara'.
4.3. Shubhat bertemu dengan maksiat yang berhubungan dengan
sebab yang menghalalkan71
Hal ini adakalanya di dalam indikasinya, adakalanya di
dalam hal-hal yang mengikutinya dan adakalnya di dalam
pendahulu-pendahulunya atau pergantiannya. Dan itu termasuk
maksiat-maksiat yang tidak mewajibkan rusaknya aqad dan di
batalkannya sebab yang menghalalkan.
Contoh maksiayat di dalam indikasinya adalah jual beli
pada hari jum’at waktu adzan, menyembelih dengan pisau hasi
ghasab, menjual barang yang sudah di beli orang lain dan
menawarkan barang yang sudah ditawarkan pada orang lain.
Semua itu adalah larangan yang datang dari dalam aqad dan
tidak menunjukkan rusaknya aqad, dan mencegah dari
seluruhnya itu adalah wara’ meskipun yang di ketahui cara-cara
ini tidak di hukumi haram.72
Maka kemakruhan dalam berburu dengan anjing yang di
ghashab adalah lebih kuat dari pada binatang sembelihan dengan
pisau yang di ghashab, atau binatang yang buru dengan anak
71 Ibid., 110. 72 Ibid., 111.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
112
panah yang di ghashab. Karena anjing itu mempunyai pilihan.
Pada hal telah diperselisihkanmengenai hasilnya itu bagi pemilik
anjing atau bagi orang yang berburu.
Kalau contoh shubhat dari hal-hal yang mengikutinya
adalah setiap tasarruf yang yang bias mendatangkan maksiat.
Yang paling tinggi adalah menjual anggur pada tukang khamer
dan menjual senjata pada penjahat/perampok.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sahnya aqad ini
dan halalnya harga yang diambil. Akan tetapi yang mendekati
qiyas adalah tasarruf tersebut benar dan uangnya halal tetapi ia
durhaka dengan aqadnya sebagaimana ia maksiat atas
penyembelihan dengan pisau hasil ghas}ab.
Adapun shubhat dalam muqaddimahnya (pendahulunya)
di bagi menjadi tiga tingkatan :
Tingkatan yang tertinggi adalah hal-hal yang sangat
makruh, seperti makan daging kambing yang diberi makan dari
rumput hasil ghasab.
(a) Tingkatan yang mencegah, seperti contoh air dari sungai
yang digali oleh orang zalim.
(b) Tingkatan yang mendekati was-was, seperti mencegah
barang halal yang dibawa oleh orang yang durhaka pada
Allah.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
113
4.4. Perbedaan pendapat mengenai dalil-dalil
Sebab perbedaan para ulama adalah perbedaan dalam
masalah tersendiri atau dalam cabang dari dasar yang jelas.73
Sesungguhnya hal itu adalah seperti perbedaan pendapat
mengenai sebab, karena sebab itu adalah sebab bagi hukum
halal dan haram. Sedangkan dalil adalah sebab untuk mengetahui
halal dan haram. Hal ini adalah sebab mengenai benarnya ilmu
pengetahuan.
Sesuauatu yang tidak sah dalam mengetahui lainnya
maka tidak ada faidahnya untuk keabsahannya pada dirinya
meskipun sebabnya itu berlaku pada ilmu Allah. Adakalanya hal
itu terjadi karena berlawanannya dalil-dalil syara’ atau
berlawanannya tanda-tanda yang menunjukkan atau
berlawanannya keserupaan.74
73 Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ittihaf sadat al-Muttaqi>n Sharh Ihya' Ulu>m al-Di>n, Vol 6, 64. 74 Ibid., 114.