bab ii tinjauan umum tentang pejabat pembuat …wisuda.unud.ac.id/pdf/1292462019-3-bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
49
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
2.1 Tinjauan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
2.1.1 Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Kepala Kantor Pertanahan memiliki kewenangan untuk melaksanakan
pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan pelaksanaan pendaftaran tanah ini
Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditentukan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang bersangkutan dengan hal itu.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, PPAT
adalah Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta tanah
tertentu, yaitu akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan
hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, sebagai dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.52
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PPAT dalam kapasitasnya
sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membantu membuat akta atas
perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah. Bersama-sama dengan
pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan, PPAT dapat
melaksanakan pendaftaran tanah, pemindahan hak atas tanah dan akta lain yang
berkaitan dengan hak atas tanah.
52
Effendi Perangin, 1986, Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria, Rajawali,
Jakarta, hal. 3.
50
2.1.2 Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dasar hukum PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah
tersebut dijelaskan bahwa :
“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas
Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
PPAT sebagai pejabat umum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah disebutkan bahwa :
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak
atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Undang-undang tersebut memberikan ketegasan bahwa PPAT adalah
pejabat umum dan berwenang membuat akta otentik. Dengan demikian sesuai
dengan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang
menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditetapkan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan KUHPerdata tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa PPAT memiliki kewenangan membuat akta
otentik yang berkualitas dengan pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak
atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan atas tanah.
51
2.1.3 Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 mengatur
tugas pokok PPAT yaitu membantu pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu
yaitu perpindahan hak atas tanah atau hak milik atas tanah. Akta ini selanjutnya
dijadikan dasar bagi pendaftaran ataupun perubahan data pendaftaran tanah.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) diatas
adalah berupa Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak guna bangunan, hak pakai atas
tanah hak milik, pemberian hak tanggungan, pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan.
Melaksanakan semua tugasnya itu, PPAT diberi kewenangan untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang terletak didalam daerah kerjanya. Menurut bentuknya akta
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu: surat akta dan bukan surat akta. Surat akta
ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani. Dengan demikian maka unsur-unsur
yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti
tertulis dan penandatanganan tulisan itu.53
Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai
kewenangan PPAT, sebagai berikut :
53
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 178.
52
1. PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik terhadap semua
perbuatan hukum mengenai semua hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
2. Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta-
akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak di dalam
daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah
kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang
haknya menjadi perbuatan hukum dalam akta.
3. PPAT khsusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebut secara khsusus dalam penunjukannya dan sebagai
pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai
akta otentik.
4. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1), pada dasarnya PPAT hanya
berwenang membuat akta mengenai tanah atau satuan rumah susun
yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali kalau ditentukan lain
menurut pasal ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan
aktanya tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran
yang masing-masing bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan PPAT
meliputi kewenangan membuat akta otentik terhadap semua perbuatan hukum
mengenai semua hak atas tanah dan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam
perusahaan dan akta-akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas
tanah. Untuk PPAT khsusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebut secara khsusus dalam penunjukannya. PPAT hanya
berwenang membuat akta mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya.
2.1.4 Kewajiban dan Tanggungjawab Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)
a. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
PMA/Ka.BPN Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 45 menyebutkan bahwa
PPAT mempunyai kewajiban:
53
1) Menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai
PPAT;
3) Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
4) Menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
a) PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya
atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
b) PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara
kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada
Kepala Kantor Pertanahan;
c) PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada
PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala
Kantor Pertanahan.
5) Membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang
dibuktikan secara sah;
6) Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan
cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama
dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
7) Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
8) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh
paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor
Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala
Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT
yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan
sumpah jabatan;
9) Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah
jabatan;
10) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk
dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
11) Lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
PPAT wajib merahasiakan isi akta. Pasal 34 ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan PPAT, menegaskan sumpah jabatan bagi PPAT agar
menjaga kerahasiaan isi akta. Ditegaskan dalam sumpah jabatan tersebut …
54
”bahwa saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat di hadapan saya
dan protokol yang menjadi tanggung jawab saya, yang menurut sifatnya
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain
kewenangan, PPAT juga memiliki kewajiban. Kewajiban yang paling
penting adalah PPAT wajib merahasiakan isi akta. Kewajiban untuk
merahasiakan isi akta ditegaskan dalam sumpah jabatan bagi PPAT yang
diucapkan pada waktu pengangkatan PPAT yang bersangkutan.
b. Tanggungjawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum
itu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998.
Perbuatan-perbuatan hukum dimaksud yang aktanya dibuat oleh
PPAT menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 adalah:
1) Jual beli
2) Hibah
3) Tukar menukar
4) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
5) Pembagian hak bersama
55
6) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik
7) Pemberian Hak Tanggungan
8) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
Selain itu, ada suatu tambahan tugas dari PPAT tersebut yaitu
membuat akta pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan
sebagai catatan: Notaris juga berhak untuk membuat akta tersebut dengan
blangko yang telah dibakukan oleh Kepala Badan Pertanahan; dan
disediakan oleh Kantor Pertanahan, selain itu PPAT juga dibebankan
kewajiban untuk memeriksa dengan seksama dan cermat apakah pajak
penghasilan dan bea perolehan hak telah dibayar oleh yang bersangkutan
sebelum PPAT membuat aktanya.
Kecuali pewarisan dan pelelangan, semua macam peralihan hak
atas tanah harus dilakukan dihadapan PPAT dan dibuktikan dengan akta
yang dibuatnya.54
Pasal 101 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan:
(1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang
yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 orang saksi yang menurut ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang
memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang
ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya
perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan;
(3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang
bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud
54
Herman Hermit, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan
Tanah Pemda Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal.
221.
56
pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus
dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”.
PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT di suatu daerah
kerja. Sedangkan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan:
(1) PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di
dalam daerah kerjanya.
(2) Akta tukar-menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan, dan
akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah
dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya
terletak didalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh
PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah
atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan
hukum dalam akta”.
PPAT pada dasarnya hanya berwenang membuat akta mengenai
tanah atau satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya,
terkecuali yang dimaksud pada ayat (2) di atas tanpa perlu minta izin
terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria
(PMA) nomor 10 Tahun 1961, yang memerlukan izin untuk membuat akta-
akta tanah di luar daerah kewenangannya. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini mengakibatkan aktanya tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai
dasar pendaftaran.
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PPAT dilarang
menerbitkan akta peralihan hak bagi tanah yang belum jelas status haknya.
57
Termasuk tanah yang belum jelas statusnya meliputi bidang tanah yang
sudah terdaftar namun kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli; surat
bukti hak; surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat; salah satu pihak yang akan melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi tidak berhak atau
tidak memenuhi syarat; salah satu pihak atau para pihak bertindak atas
dasar surat kuasa mutlak; belum memperoleh izin pejabat atau instansi
yang berwenang; dan tanah yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan data yuridisnya.
2.1.5 Macam-Macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan 3 (tiga)
macam PPAT yaitu :
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang
diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas pejabat Pembuat
Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat Badan melaksanakan
tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan program atau
tugas pemerintah tertentu.
Seperti yang telah ditentukan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, maka
jabatan PPAT, PPAT Sementara dan PPAT Khusus adalah memegang peranan
sangat penting. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila seseorang yang
menjabat jabatan tersebut dianggap tahu dan tentunya harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang pendaftaran tanah dan yang berkaitan dengan itu.
58
2.1.6 Pengangkatan, Pemberhentian dan Wilayah Kerja Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
Menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja tertentu.
Dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 1998, wewenang mengangkat dan memberhentikan Camat
sebagai PPAT Sementara dilimpahkan kepala Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi.55
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, mengatur tentang
syarat-syarat pengangkatan PPAT sebagai berikut :
a. Kewarganegaraan Indonesia
b. Berusia sekurang-kurangnmya 30 (tiga puluh) tahun
c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat
oleh instansi Kepolisian setempat.
d. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
e. Sehat Jasmani dan rohani.
f. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan
khusus PPAT yang diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi.
g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/badan Pertanahan Nasional.
Sebelum melaksanakan tugas jabatannya, PPAT dan PPAT Sementara
harus dilantik dan mengucapkan sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor
55
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 678.
59
Pertanahan Kabupaten/Kota di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, Kewajiban
sumpah ini diatur dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.
Sumpah jabatan PPAT dan PPAT Sementara dituangkan dalam suatu berita
acara yang ditandatangani oleh PPAT atau PPAT Sementara yang bersangkutan,
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan para saksi. Bentuk, susunan kata-
kata berita acara pengambilan sumpah /janji diatur oleh Menteri.
Adapun mengenai pemberhentian PPAT, Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998, mengatur sebagai berikut :
Pasal 8
(4) PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena :
a. meninggal dunia ; atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun ; atau
c. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai Notaris dengan kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain
daripada daerah kerjanya sebagai PPAT ; atau
d. diberhentikan oleh Menteri.
(5) PPAT sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT
apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 5 ayat (3) hturf a dan b yaitu : PPAT Sementara berhenti
melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagai
Camat atau Kepala Desa dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan
tugas PPAT khusus apabila tidak lagi memegang jabatan sebagai
Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 9 :
PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT kerana diangkat dan
mengangkat sumpah jabatan di Kebupaten/Kota yang lainnya daripada
daerah kerjannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayai (1) huruf c
dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten /
Kota tempat kedudukannya sebagai Notaris apabila formasi PPAT untuk
daerah kerja tersebut belum penuh.
Pasal 10 :
(2) PPAT berhenti dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri ;
60
b. tidak lagi maupun menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat
yang ditunjuk ;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT ;
d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.
(3) PPAT diberhenti dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam hukuman kurungan atau penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahaun atau lebih berat berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hokum tetap.
(4) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(5) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali
menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula
apabila formasi PPAT daerah kerja tersebut belum penuh.
Pasal 11
(1) PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagaI
PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa
suatu perbuatan pidana yang diancam hukum kurungan/penjara selama-
lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sampai ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PPAT dapat berhenti
menjabatt karena meninggal dunia, telah mencapai usia 65 tahun, melaksanakan
tugas dengan kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain dan diberhentikan oleh
Menteri. PPAT berhenti dengan hormat dari jabatannya karena permintaan
sendiri, keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, melakukan pelanggaran
ringan dan diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI. PPAT diberhenti
dengan tidak hormat dari jabatannya, karena melakukan pelanggaran berat dan
dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana
61
yang diancam hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun
atau lebih berat.
Selanjutnya tentang wilayah kerja PPAT adalah dalam satu wilayah kerja
Kantor Pertanahan Kabupten/Kota. Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota
dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih, maka dalam waktu 1 tahun sejak
diundangkannya UU tentang pembentukan Kabupaten/Kota yang baru, PPAT
yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semula, harus memilih salah satu
wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa
apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 tahun
sejak diundangkannya UU pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut, daerah
kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak
kantor PPAT yang bersangkutan. Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila
untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan
wilayah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT. Daerah kerja PPAT
Sementara dan PPAT khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat
Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
2.1.7 Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Tugas Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT diatur dalam Pasal
65 dan Pasal 66 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
62
Pasal 65 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan. Pembinaan dan
pengawasan PPAT dalam pelaksanaannya oleh Kepala Badan, Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan (Pasal 65 ayat (2) Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006).
Pasal 66 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 menyebutkan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang
dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut (a) memberikan kebijakan mengenai
pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT; (b) memberikan arahan kepada semua
pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an; (c) melakukan
pembinaan dan pengawasan dan organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan
sesuai arah dan tujuannya; (d) menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap
perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya;
dan (e) melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT
sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT. Pembinaan dan
pengawasan PPAT yang dilakukan Kepala Kantor Wilayah sebagai berikut (a)
menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta
petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh kepala badan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) membantu melakukan
sosialisasi, disiminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan
dan petunjuk teknis; dan (c) secara periodik melakukan pengawasan kekantor
PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban
63
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPATan (Pasal 66
ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006).
Pasal 66 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006 menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut (a) membantu
menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta
petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh kepala badan
dan peraturan perundang-undangan; (b) memeriksa akta yang dibuat oleh PPAT
dan memberitahukan kepada PPAT secara tertulis yang bersangkutan apabila
ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar
pendaftaran haknya; dan (c) melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan
kewajiban operasional PPAT.
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan dan
pengawasan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Dalam pelaksanaannya, tugas pembinaan dan pengawasan PPAT oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional ini dibantu oleh Kepala Kantor Wilayah dan Kepala
Kantor Pertanahan dimana PPAT yang bersangkutan bertugas.
2.2 Tinjauan tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Sementara
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) Sementara
Luasnya wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat
banyak dan karena adanya tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat
64
diberbagai sektor, maka Menteri Dalam negeri atas nama Pemerintah Pusat
melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah untuk
melakukan pembinaan.
Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan
penguasa tunggal wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah
pusat dan bukan hasil pilihan rakyat melalui pemilu. Salah satu kepala wilayah
yang dimaksud disini dan tentunya merupakan pokok pembahasan tesis ini adalah
Camat. Pengertian Camat ini dapat dilihat dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, yaitu Pegawai Pamong Praja yang mengepalai Kecamatan.56
Dasar hukum camat sebagai PPAT dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, yaitu:
Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat
tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk
pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus :
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 5
ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Menteri
Agraria/Kepala BPN dapat menunjuk PPAT Sementara dalam hal ini Camat dan
PPAT Khusus (Kepala Kantor Pertanahan) yang membantu Menteri dalam
pembuatan akta tanah.
56
Poerwodharminto, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Departemen
Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, hal.181.
65
2.2.2 Hubungan Hukum Camat dengan Pendaftaran Tanah
Mengingat di dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960,
disebutkan bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 19 ayat (1) tersebut, diketahui bahwa pendaftaran tanah sangat
penting untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, oleh karena itu
pendaftaran tanah harus diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah sebagaimana yang disebutkan
diatas itu perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak tersebut harus
dibuktikan dengan suatu akta yang disebut akta tanah, yaitu akta yang
membuktikan hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Tanggungan.57
Adapun
pejabat yang diberi tugas dan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah,
dengan tempat kedudukan sampai di ibu kota kecamatan adalah Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).
Agar dapat memenuhi kebutuhan kekurangan PPAT, maka di suatu
kecamatan yang belum diangkat seorang PPAT, Camat yang ada pada kecamatan
itu karena jabatannya bisa diangkat menjadi PPAT Sementara. Sebagai PPAT
Sementara, Camat mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dengan PPAT.
Hubungan antara Camat dengan pendaftaran tanah terjadi karena perintah
dari Pasal 5 ayat (3a) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang
menyebutkan Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah
yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara.
57
Boedi Harsono, 2003, “Hakikat Jabatan Pejabat Pembuat Akta,” Makalah Hukum
Pendafaran Tanah, Fakultas Hukum Univ.Trisakti, Jakarta, hal.1.
66
Suatu wilayah belum terpenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk
Camat sebagai PPAT Sementara, malahan jika ada satu desa yang jauh sekali
letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kotamadya dapat
ditunjuk Kepala Desa sebagai PPAT Sementara.58
Dengan ketentuan ini Camat
tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari surat
pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT). Jika untuk kecamatan itu
telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi
PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari kecamatan itu. Camat
pengganti juga tidak otomatis sebagai PPAT Sementara.
2.3 Tinjauan tentang Pendaftaran Tanah
2.3.1 Cara, Manfaat dan Tujuan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah, merupakan perintah dari Pasal 19 Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Lembaga pendaftaran tanah dalam sejarah
pertanahan di Indonesia dan yang berlaku secara nasional adalah dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah
ini kemudian disempurnakan dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1997 tanggal 8 Juli 1997 dan
baru berlaku tanggal 8 Oktober 1997 (Pasal 66).
Pengertian Pendaftaran Tanah di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah :
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan
data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah
58
AP.Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
hal.184-186.
67
dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.”
Pengumpulan keterangan atau data dimaksud meliputi:59
a. Data fisik, yaitu mengenai tanahnya: lokasinya, batas-batasnya, luasnya
bangunan dan tanaman yang ada di atasnya;
b. Data Yuridis, yaitu mengenai haknya: haknya apa, siapa pemegang haknya,
ada atau tidak hak pihak lain di atasnya;
Menyangkut cara pendataran tanah dilakukan dengan dua cara yaitu :
a. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah
yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas
prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang
dan tahunan serta dilaksanakan di wilayahwilayah yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan
belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik,
pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.60
b. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau
massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan
59
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Edisi Revisi, Jakarta, hal.73. 60
Boedi Harsono, 2007, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, hal. 75.
68
pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek
pendafataran tanah yang bersangkutan dan kuasanya.
Dalam menyelenggarakan hak atas tanah dikenal dua asas, yaitu :61
1) Asas Spesialis
Asas spesialitas ini dapat kita lihat dengan adanya data fisik. Data fisik
tersebut berisi tentang luas tanah yang menjadi subyek hak, letak tanah
tersebut, dan juga penunjukkan batas-batas secara tegas.
2) Asas publisitas
Asas publisitas ini tercermin dari adanya data yuridis mengenai hak atas
tanah seperti subyek hak nama pemegang hak atas tanah, peralihan hak
atas tanah serta pembebanannya.
Tentang fungsi Pokok dari pendaftaran tanah ialah, untuk memperoleh alat
pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan hukum tertentu, pendaftaran
mempunya fungsi lain, yaitu untuk memenuhi sahnya perbuatan hukum itu.
Artinya, tanpa dilakukan pendaftaran, perbuatan hukum itu tidak terjadi dengan
sah menurut hukum.62
Manfaat dari Pendaftaran tanah yang kita lakukan antara lain:63
a. Bagi Masyarakat
1) Mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak
atas tanah mengindari adanya perselisihan perselisihan tentang masalah
pertanahan yang biasanya timbul pada masyarakat pedesaan, masalah
61
Ibid, hal. 78. 62
Irawan Soerojo, 2002, Kepastian Hukum hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka,
Surabaya, hal. 172. 63
Ibid, hal. 172.
69
batas tanah dapat juga menimbulkan pertengkaran. Dengan adanya
sertipikat yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah yang memuat
data yuridis dan data teknik mengenai hak atas tanah pertengkaran
tersebut dapat dicegah atau pun dihindari.
2) Memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang memerlukan data-data
tentang tanah yang telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional.
b. Bagi Pemerintah
1) Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, sehingga diperlukan
data-data tanah yang sudah didaftarkan pemerintah dapat diperoleh
dengan cepat.
2) Meningkatkan pendapatan Negara dari pemasukan Negara lain melalui
pendaftaran.
3) Meningkatkan pendapatan Negara dari sektor pajak ( pajak bumi dan
bangunan).
Selanjutnya tujuan pendaftaran tanah, menurut Pasal 3 PP No 24 Tahun
1997 adalah :64
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya
diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan,
termasuk Pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
64
Boedi Harsono, Op.Cit, hal.72.
70
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah juga untuk menghimpun dan menyediakani
informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dangan
dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik atau data yuridisnya belum
lengkap atau masih bersengketa, walaupun untuk tanah-tanah yang demikian
belum dikeluarkan sertipikat tanda bukti haknya.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas
tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dijelaskan juga sejauh
mana kekuatan pembuktian sertipikat yang dinyatakan sebagai alat bukti yang
kuat oleh Undang-Undang Pokok Agraria.
Kantor Pertanahan, yang menyelenggarakan pendaftaran tanah tersebut
adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional wilayah Pemerintah
Kabupaten/Pemerintah Kota atau wilayah administrasi lainnya, setingkat yang
melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran
tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah menurut Peraturan pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 yang merupakan penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 meliputi kegiatan :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b. Pembuktian hak dan pembukuannya
c. Penerbitan sertipikat
71
d. Penyajan data fisik dan data yuridis
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen
f. Hak atas tanah yang harus didaftarkan.
2.3.2 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali (initial registration). Kegiatan
pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum
terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang terdiri atas :
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;
b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan hak-haknya;
c. Penerbitan sertifikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis; dan
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Pendaftaran untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran secara
sistimatik dan pendaftaran secara sporadik. Pendaftaran sistimatik dilaksanakan
atas prakarsa, biaya dan lokasi ditentukan Badan Pertanahan Nasioanal
(pemerintah), waktu penyelesaian dan pengumuman lebih singkat serta dibentuk
panitia.
Pendaftaran secara sporadik dilaksanakan atas prakarsa, biaya dan lokasi
ditentukan oleh pemilik tanah yang bersangkutan, waktu penyelesaian dan
pengumuman lebih lama serta tidak mempunyai panitia pendaftaran. Pendaftaran
tanah secra sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal.
72
Saat di lakukan pengumpulan dan pengolahan data fisik, maka dilakukan
kegiatan dan pemetaan yang meliputi:
a. Pembuatan peta dasar pendaftaran, yang digunakan untuk pembuatan peta
pendaftaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistimatik, serta
digunakan untuk memetakan bidang-bidang tanah yang sebelumnya sudah
didaftar. Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap bidang
tanah yang didaftar dijamin letaknya secara pasti, karena dapat
direkontniksi di lapangan setiap saat;
b. Penetapan batas bidang-bidang tanah.Untuk memperoleh data fisik yang
diperiukan, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah
ditetapkan letaknya, batasbatasnya dan menurut keperluannya ditempatkan
tandatanda batasnya disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan. Dalam
penetapan batas tersebut harus melibatkan tetangga yang berbatasan
dengan tanah tersebut (deliminasi kontradiktoir);
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran. Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya
diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar pendaftaran. Apabila
belum ada kesepakatan mengenai penetapan batas-batas tersebut, maka
dibuatkan berita acara dan dalam gambar diberi catatan bahwa batas-batas
tanahnya masih mempakan batas sementara;
d. Pembuatan Daftar Tanah. Bidang-bidang yang sudah dipetakan atau
dibukukan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran, dibukukan dalam
daftar tanah yang digunakan sebagai sumber informasi lengkap mengenai
tanah tersebut:
73
e. Pembuatan Surat Ukur. Untuk keperluan pendaftaran haknya, bidang-
bidang tanah yang sudah diukur serta dipetakan dalam peta pendaftaran
dibuatkan surat ukur;
Setelah kegiatan-kegiatan tersebut, tahap berikutnya adalah dilakukan
Pembukuan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 yang selanjutnya penerbitan Sertipikat sebagai Surat Bukti
Haknya guna kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data
fisik dan data yuridis.
Penyajian data fisik dan data yuridis bagi pihak-pihak yang membutuhkan
atau berkepentingan, maka diselenggarakan tata usaha pendaftaran tanah berupa
daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran; daftar tanah; surat ukur; buku
tanah dan daftar nama. Menurut Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 daftar umum dan dokumen tersebut selanjutnya disimpan.
2.3.3 Pemeliharaan Data Objek dan Sistem Pendaftaran Tanah
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi penambahan
pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah didaftar.
Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan yang
bersangkutan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dikatakan
kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya;
74
Menurut Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Jual Beli sebagai suatu kegiatan pendaftaran yang akan
mengakibatkan terjadinya perubahan data yuridis, wajib dilakukan di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Kegiatan pendaftaran mengenai peralihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) huruf a di atas, hanya dapat dilakukan dengan Akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pasal 37 ayat (1) menyebutkan:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut
ketentuan peraturan penmdang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam Pasal 38 disebutkan:
(1) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri
oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi
syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum ini;
(2) Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta Hak Atas Tanah diatur oleh
Menteri;
Dalam Pasal 9 PP No 24 Tahun 1997 obyeknya pendaftaran tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai;
b. Tanah hak pengelolaan;
c. Tanah wakaf;
d. Hak milik atas satuan rumah susun;
75
e. Hak tanggungan;
f. Tanah negara;
Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah, pendaftarannya
dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara
dalam daftar tanah.
Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada dua macam, yaitu :65
a. Sistem Pendaftaran Hak
Sistem pendaftaran hak yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak
(registration of tittles), sebagaimana digunakan dalam peneyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Hal tersebut dapat kita lihat dengan adanya buku tanah sebagai dokumen
yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta
diterbitkannya sebagaimana surat tanda bukti hak yang didaftar.
b. Sistem Pendaftaran Akta
Sistem ini pernah dilakukan sebelum masa kemerdekaan jaman Belanda.
Pendaftaran akta (registration of deeds) yang didatarkan adalah aktanya.
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung pada
asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanahnya.
Terdapat dua macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus
yuris.66
Oleh karena itu, kegiatan pendaftaran diatur secara rinci. Kegiatan
pendaftaran tanah meliputi pendaftaran tanah untuk pertama kali dan
pemeliharaan dalam pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
65
Boedi Harsono, Op.Cit, hal.76. 66
Adrian Sutedi, 2008, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 117.
76
kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :67
1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik.
2. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya.
3. Penerbitan sertipikat.
4. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 ayat 1 memerintahkan diselenggarakan
pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.
Kepastian hukum yang dijamin itu, meliputi kepastian mengenai :
1. Letak, batas dan luas tanah.
2. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah.
3. Pemberian surat berupa sertipikat.
Selanjutnya di dalam ayat (2) menentukan bahwa pendaftaran tanah yang
dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan pemeliharaan hak-hak atas tanah
tersebut.
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Peraturan pendaftaran tanah selain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
67
Ibid, hal. 136.
77
tentang Pendaftaran Tanah Jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dimana Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961.
2.3.4 Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah
Menurut Bambang Eko HN sistem publikasi pendaftaran tanah meliputi:68
a. Sistem Publikasi Positif
Di dalam sistem publikasi positip sertipikat merupakan alat bukti mutlak,
artinya tidak bisa diganggu gugat karena sekali di daftar tidak bisa di
rubah. Buku tanah di dalam sertipikat tersebut adalah segala-galanya atau
the register is everything.
b. Sistem Publikasi Negatif
Sistem ini alat bukti sertipikat berkedudukan sebagai bukti yang kuat,
artinya selama tidak bisa dibuktikan sebaliknya oleh orang lain maka
pemegang sertipikat mendapat perlindungan hukum. Apabila orang lain
bisa membuktikan, maka orang lain tersebut yang mendapatkan
perlindungan hukum dengan sertipikat tersebut bisa dirubah dengan cara
mengajukan gugatan ke pengadilan, sehingga hasil akhir pihak ke tiga yang
benar tadi mendapat sertipikat yang sudah di rubah.
c. Sistem Publikasi Yang Dipergunakan di Indonesia
Berdasarkan UUPA jo PP 24/1997 di Indonesia cenderung menggunaka
sistem publikasi yang negatif karena berdasarkan sejarah di Indonesia
68
Bambang Eko HN, 2010, Pembakuan Pendaftaran Tanah, BPN, Jakarta, hal. 3.
78
sistem adminstrasi pertanahannya masih belum tertib administrasi. Dalam
praktek Indonesia memilih publikasi negatif tapi tidak sistem publikasi
negatif murni tetapi menganut unsur-unsur yang positif. Bukti mengandung
unsur positif :69
1) Dalam melakukan pendaftaran sebelum terbit sertipikat dilakukan
pengumuman terlebih dahulu
2) Melakukan pengecekan secara fisik di lapangan. Dalam pengecekan
akan dicocokkan dengan pemilik yang berbatasan yang di sebut cara
contradictoire de limitie, dengan demikian cara pilihan sistem publikasi
pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem Publikasi Negatif
mengandung unsur-unsur Positif. Maksudnya adalah karena selain
mengandung unsur sistem publikasi negatif (yaitu negara tidak
menjamin kebenaran data yang disajikan), juga mengandung unsur
positif yaitu adanya kewajiban bagi pejabat tanah untuk aktif dalam
proses pendaftaran tanah. Sistem Negatif yang mengandung unsur-
unsur Positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sistem publikasi yang
digunakan bukan sistem publikasi negatif murni. Sebab sistem publikasi
negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga
tidak akan ada pernyataan seperti dalam pasal-pasal Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut, bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang
kuat.
Uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa dalam sistem pendaftaran
tanah dikenal adanya sistem publikasi. yaitu sistem publikasi negatif dan sistem
69
AP. Parlindungan, Op.Cit, hal. 116.
79
publikasi positif. Sistem publikasi negatif maksudnya adalah negara tidak
menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, oleh karena itu belum
tentu seseorang yang telah tertulis namanya pada sertipikat adalah mutlak sebagai
pemilik, sedang sistem publikasi positif adalah sebaliknya. Tetapi manapun yang
digunakan sebenarnya tidak menjadi persoalan, karena baik sistem publikasi
negatif maupun sistem publikasi positif sama-sama memiliki keuntungan dan
kelemahan.
Indonesia tidak menganut secara mutlak negatif dan tidak pula positif,
mengingat tanah di Negara ini lebih banyak belum terdaftar dan tunduk pada
hukum adat yang tidak mementingkan pendaftaran tanahnya saat itu. Sistem
pendaftaran tanah di Indonesia, dikategorikan menganut sistem campuran
keduanya, yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, maksudnya Negara tidak
menjamin mutlak kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, namun selama
tidak ada orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang merasa lebih
berhak, maka data dalam sertipikat adalah tanda bukti hak yang kuat.
2.4 Sertifikat Sebagai Akta Otentik
2.4.1 Pengertian Akta Otentik PPAT
Akta otentik PPAT tidak hanya cukup dilihat dari akta yang dibuat oleh
atau dihadapan pejabat saja, tetapi harus dilihat akta tersebut dari cara
membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang atau
tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh undang-
undang, maka akta tersebut bukan akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan
80
sebagai akta dibawah tangan. Jika akta tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, maka pejabat yang berwenang disini adlah Notaris, PPAT,
Panitera, Juru Sita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, Pegawai Pencatatan Nikah dan
seterusnya.70
Dalam hal yang sama mengenai pengertian akta otentik ini yaitu suatu
keputusan Pengadilan, suatu akta kelahiran, perkawinan dan kematian yang dibuat
oleh Pegawai Catatan Sipil dan Akta Notaris.71
Kemudian secara yuridis legalitas akta otentik terdapat dalam ketentuan
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut;
“Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
Lebih jauh mengenai kekuatan pembuktian dapat ditemukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1870 yang menyatakan sebagai berikut :
Di Dalam sebuah akta haruslah memenuhi unsur-unsur :
a. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat resmi/berwenang ;
b. Sengaja dibuat untuk surat bukti;
c. Bersifat partai;
d. Atas permintaan partai;
e. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
70
Abdul Manan, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Usaha
Nasional, Surabaya, hal. 138. 71
Ali Affandi, 1983, Hukum waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH
Perdata, Bina Aksara, Jakarta, hal. 195.
81
Dalam praktek dan sistem pembuktian Hukum Acara Perdata yang berlaku
di lembaga Pengadilan Indonesia, suatu akta otentik dapat dijadikan bukti dalam
suatu perkara apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu syarat formil
dan syarat materil.72
Mengenai syarat-syarat tersebut di atas sebagai berikut :
a. Syarat formil akta otentik ;
1) Pada prinsipnya bersifat partai, maksudnya akta tersebut dibuat atas
kehendak dan kesepakatan dari sekurang-kurangnya dua pihak. Sifat
partai akta otentik itu terutama dalam bentuk hubungan hukum
perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dan
sebagainya.
2) Dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum yang berwenang
untuk itu. Yang tergolong Pejabat Umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik antara lain adalah Gubernur, Petugas catatan
sipil, Hakim, Panitera, Juru Sita dan sebagainya.
3) Memuat tanggal, hari dan tahun pembuatan
4) Ditandatangani oleh pejabat yang membuat.
b. Syarat materiil akta otentik;
1) Isi yang tersebut di dalam bagian akta otentik tersebut berhubungan
langsung dengan apa yang disengketakan di pengadilan. Jika akta yang
dikemukakan dalam persidangan tidak sesuai dengan apa yang
disengketakan oleh para pihak, maka akta tersebut dianggap tidak
relevan dengan pokok perkara.
72
Kurdianto, 1991, Sistem Pembentukan Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Usaha Nasional, Surabaya, hal. 85.
82
2) Isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama,
dan ketertiban umum. Segala sesuatu yang tersebut dalam akta otentik
jika bertentangan dengan hal tersebut berdasarkan kausa yang
diharamkan (on geroorlooft de oorzaak). Dengan demikian akta otentik
tersebut mempunyai kekuatan dan nilai pembuktian.
3) Perbuatan sengaja dibuat dipergunakan sebagai alat bukti.
Berkaitan dengan hukum pembuktian ini, Pasal 1 ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 berbunyi : Akta PPAT adalah akta yang dibuat
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
yang terdiri atas warkah yaitu dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta
pejabat Pembuat Akta Tanah”.
Uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa akta otentik merupakan akta
yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang berwenang untuk pembuatan akta yang
dimaksud dan pembuatannya harus sesuai ketentuan undang-undang.
2.4.2 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik sebagai Alat Bukti
Fungsi utama Sertipikat hak atas tanah adalah sebagai alat bukti tetapi
Sertipikat bukat satu-satunya alat bukti hak atas tanah. Hak atas tanah seseorang
dapat dibuktikan dengan alat bukti lain, misalnya saksi-saksi, akta jual beli, surat
keputusan pemberian hak. Perbedaan Sertipikat dengan alat bukti lain adalah
Sertipikat ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan sebagai alat bukti yang
kuat. Perkataan “kuat” dalam hal ini berarti selama tidak ada bukti lain yang
membuktikan kebenarannya maka keterangan yang ada dalam Sertipikat harus
83
dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan. Sedang alat bukti lain hanya
dianggap sebagai bukti permulaan, harus dikuatkan oleh alat bukti yang lain.
Pembuktian menurut kamus Besar Indonesia73
diartikan sebagai proses,
perbuatan, cara membuktikan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai
memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti atau menandakan, menyatakan
kebenaran sesuatu dengan bukti.
Pengertian pembuktian yang umum diketahui selalu dikaitkan dengan
adanya persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan seperti
beberapa pendapat antara lain, menurut Subekti,74
yang dimaksud dengan
membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan. Pembuktian ini hanya diperlukan
apabila timbul suatu perselisihan.
Arti beberapa pembuktian tersebut di atas, terlihat bahwa makna
pembuktian adalah memberikan kepastian kepada hakim, tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu. Pembuktian hak atas tanah untuk kepentingan
pendaftaran tanah berbeda dengan pembuktian adanya hak atas tanah dan siapa
pemiliknya dalam suatu sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam suatu sengketa di
Pengadilan sudah jelas siapa saja yang berebut tanah tersebut sehingga masing-
masing dipesidangan akan mengajukan semua bukti-bukti pemiliknya, dan
hakimlah yang akan memutuskan siapa diantara mereka yang sebenarnya berhak
atas tanah tersebut dengan bersandar pada hukum pembuktian yang diatur dalam
HIR maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan Sertipikat tanah
73
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988, Kamus Besar Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal.133. 74
Subekti, 1975, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 1.
84
yang diterbitkan berdasarkan alat bukti yang tersebut dalam pasal 23 dan 24 PP
No.24 tahun 1997 masih terbuka kesempatan lima tahun sejak terbitnya Sertipikat
tersebut untuk mempertahankan haknya bagi orang yang merasa lebih berhak atas
tanah tersebut dengan jalan mengajukan gugatan ke Pengadilan yang
berwenang.75
Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sertifikat hak atas tanah
itu berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas pemegangan sebidang tanah.
Kuat disini mengandung arti bahwa sertifikat hak atas tanah itu tidaklah
merupakan alat bukti yang mutlak satu-satunya, jadi sertifikat hak atas tanah
menurut sistem pendaftaran tanah yang dianut UUPA masih bisa digugurkan atau
dibatalkan sepanjang dapat dibuktikan dimuka pengadilan bahwa sertifikat tanah
itu adalah tidak benar.
2.4.3 Kekuatan Pembuktian Sertipikat sebagai Akta Otentik
Sertipikat berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,76
artinya bahwa
sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridisnya sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah yang tersedia. Sehingga, apabila selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya, maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam
surat ukur dan buku tanah, harus diterima sebagai data yang benar dan pasti.
Dengan kata lain, yang dapat dibuktikan dari sertipikat adalah:
75
Eliyana, 1997, “Penentuan Alat Bukti Pemilikan sebagai dasar Bagi Pendaftaran
Tanah,” Makalah, Seminar Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah, Yogyakarta, hal. 13-14. 76
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 80.
85
a. Data Fisik Tanah, yaitu data mengenai fisik tanah bersangkutan,
menyangkut tentang: letak tanah, batas-batas tanah dan luas tanah;
b. Data Yuridis Tanah, yaitu data mengenai yuridis tanah bersangkutan,
menyangkut tentang: haknya apa, siapa pemiliknya dan ada atau tidak hak-
hak lain yang membebaninya.
Sertifikat hak milik atas tanah sebagai bukti alas hak yang sah dan dimiliki
kekuatan pembuktian sempurna. Dengan diterbitkannya sertifikat, kepastian
hukumnya akan lebih terjamin yang meliputi :77
a. Kepastian hukum tentang subyeknya, maksudnya adalah dengan
diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara yuridis telah terjamin
bahwa orang yang namanya tersurat di dalam sertifikat sebagai pemilik atas
tanah tertentu.
b. Kepastian tentang obyeknya, maksudnya dengan diterbitkannya sertifikat
hak milik atas tanah, baik letak, luas maupun batas-batas tanah lebih
terjamin karena didalam sertifikat hal-hal yang berkenaan dengan suatu
bidang tanah termaksud gambar situasi termuat didalamnya.
Dilihat dari terciptanya atau terwujudnya kedua kepastian hukum di atas dapat
diharapkan sengketa atau konflik di bidang pertanahan lambat laun akan semakin
berkurang dan inilah sebenarnya tujuan akhir dari penerbitan sertifikat.
Fungsi sertifikat hak atas tanah adalah sebagai alat bukti, tetapi sertifikat
bukanlah satu-satunya alat bukti hak atas tanah, sebab hak atas tanah masih dapat
dibuktikan dengan alat bukti lain, misalnya kuitansi jual beli, saksi-saksi. Bedanya
77
Abdurrahman, 2005, Tentang dan Sekitar UUPA, Alumni, Bandung, hal. 120.
86
adalah bahwa sertifikat hak atas tanah ditetapkan oleh peraturan perundangan
sebagai alat bukti yang kuat, ini berarti selama tidak ada alat bukti lain yang
membuktikan ketidakbenarannya, maka sertifikat tersebut harus dianggap benar.
Sedangkan alat bukti lain hanya dianggap sebagai bukti awal dan harus dikuatkan
oleh alat bukti lain. Jadi, kepemilikan suatu tanah secara hukum dianggap tidak
kuat atau sah apabila tidak memiliki surat tanda bukti yang otentik berupa
sertifikat hak atas tanah.
Hakim akan mempertimbangkan kekuatan pembuktian sertifikat hak atas
tanah tersebut agar dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat dalam persidangan di
Pengadilan Negeri. Kekuatan pembuktian tersebut meliputi tiga segi, yaitu:78
1. Kekuatan Pembuktian Luar/Diri.
Suatu akta otentik membuktikan dirinya sendiri (acta publica probat sese
ipsa). Artinya kalau suatu akta dari lahiriah bentuknya sebagai akta otentik,
maka harus diterima sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
2. Kekuatan Pembuktian Formal.
Adalah pembuktian antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tadi atau kepastian bahwa suatu kejadian dan
fakta tersebut dalam akta betul-betul dibuat oleh PPAT atau pihak-pihak
yang menghadap.
3. Kekuatan Pembuktian Material.
Adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau
78
Subekti, 2001, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, hal. 93.
87
mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya
Kekuatan hukum suatu sertifikat tanah, di atur dalam Pasal 19 ayat (1)
UUPA untuk menjamin kepastian hukum tentang pendaftaran tanah. Ini untuk
menghindari terjadinya penerbitan sertifikat tanah bukan kepada orang yang
berhak (bukan pemilik). Oleh karena itu pendaftaran tanah di Indonesia menganut
sistem negatif. Sistem negatif disini mengandung arti bahwa segala apa yang
tercantum dalam sertifkat tanah adalah benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya
dimuka sidang Pengadilan Negeri. Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA menegaskan
bahwa surat-surat tanda bukti hak yang diberikan itu berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Dalam hubungannya dengan sistem negatif berarti tidak
mutlak, ini mengandung arti bahwa sertifikat tanah tersebut masih dapat
digugurkan sepanjang ada pembuktian sebaliknya yang menyatakan
ketidakabsahan sertifikat tanah tersebut. Dengan demikian sertifikat tanah
bukanlah satu-satunya surat bukti79
hak atas tanah dan oleh karena itu masih ada
lagi bukti-bukti lain tentang hak atas tanah antara lain segel tanah (surat bukti jual
beli tanah adat).
Mengingat uraian tersebut di atas, maka penulis berpendapat bahwa hakim
harus menerima keterangan dalam sertifikat sebagai bukti yang benar, tetapi kalau
ditunjukkan alat bukti lain, seperti akta jual beli tanah, maka diperlukan pula
bukti-bukti yang lain, misalnya saksi-saksi, kuitansi-kuitansi. Sertifikat hak atas
tanah merupakan salinan buku tanah yang berarti juga suatu akta otentik, yaitu
79
Bachtiar Effendie, 2003, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Peraturan
Pelaksananya, Alumni, Bandung, hal. 76.
88
suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana
akta dibuat. Jadi akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya. Selanjutnya penulis juga menyimpulkan bahwa
sertifikat hak atas tanah mempunyai bukti yang kuat apabila keberadaan sertifikat
tersebut harus sesuai dengan keadaan tanah, bahwa antara sertifikat dan tanah
harus ada kecocokan baik batas-batasnya, letaknya, ataupun luas tanahnya harus
tercantum dalam sertifkat tersebut. Jika sertifikat hak atas tanah dan keadaan
tanah tidak ada kesesuaian maka sewaktu-waktu akan menimbulkan sengketa hak.
Sengketa hak ini dapat dijadikan dasar atau dapat melahirkan suatu gugatan
tentang keabsahan dari sertifkat tersebut.