bab ii tinjauan umum pengaturan perizinan … · ahli bersuha memberikan pengertian terhadap...

22
31 BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERIZINAN PENGGARAPAN TANAH NEGARA 2.1 Pengertian Tentang Perizinan 2.1.1 Izin Semula istilah izin merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Para ahli bersuha memberikan pengertian terhadap istilah itu. Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau als opheffing van een algemene verdobsregel in het concentare geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa konkrit). Lebih lanjut, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh. 43 Izin (vergunning) sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin juga dapat diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan. 44 Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perizinan dapat berbentuk penaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan 43 Juniarso Ridwan, Op. Cit., h. 52. 44 Adrian Sutedi, Op. Ci.t, h. 167

Upload: phamdung

Post on 25-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

31

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERIZINAN PENGGARAPAN

TANAH NEGARA

2.1 Pengertian Tentang Perizinan

2.1.1 Izin

Semula istilah izin merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Para

ahli bersuha memberikan pengertian terhadap istilah itu. Ateng Syafrudin

mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang

dilarang menjadi boleh, atau als opheffing van een algemene verdobsregel in het

concentare geval (sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam peristiwa

konkrit). Lebih lanjut, Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan

berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh.43

Izin (vergunning) sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan

undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.

Izin juga dapat diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu

larangan.44

Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi

pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap

kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perizinan dapat berbentuk

penaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan

43

Juniarso Ridwan, Op. Cit., h. 52. 44

Adrian Sutedi, Op. Ci.t, h. 167

32

sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi

perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu

kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang

yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya

dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya

pengawasan.45

Bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan tetapi

masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk

masing-masing hal konkrit, keputusan administrasi negara yang memperkenankan

perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).46

Izin dalam arti luas berarti

persetujuan dari penguasa berdasarkan perundang-undangan untuk

memperbolehkan tindakan atau perbuatan yang secara umum dilarang.47

Pendapat lain menyatakan bahwa izin adalah perbuatan hukum

administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal

konkrit berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan”.48

Izin adalah suatu persetujuan dari

penguasa berdasarkan undangundangan atas peraturan pemerintah untuk dalam

keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan menyimpang dari ketentuan-

ketentuan larangan perundangan. Dengan memberikan izin, penguasa

memperkenankan orang yang dalam memohonnya untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu, ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi

45

Ibid., h. 168. 46

E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet VI, PT.

Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta. h. 187 47

Ridwan HR, Op. Cit. h. 207 48

Ibid

33

kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya Izin merupakan

salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi.

Pemerintah menggunakan.49

Izin adalah instrumen pemerintah yang bersifat

yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk

mengendalikan perilaku masyarakat. 50

Dalam perkembangannya, istilah izin diberikan pengertian melalui

peraturan perundang-undangan. Perkembangan pengaturan perizinan dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara menunjukkan bahwa istilah izin

merupakan istilah yang perlu diberi pengertian secara hukum, untuk mencegah

dan menghindarkan berbagai pandangan yang saling berbeda yang mengakibatkan

kekaburan pengertian izin dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) mendefinisikan

izin sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan

peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas,

menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan

usaha atau kegiatan tertentu. Sedangkan, perizinan adalah pemberian legalitas

kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin

maupun tanda daftar usaha. Perizinan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan

dari pengaturan yang bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah

terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, dan izin untuk

melakukan suatu tindakan atau kegiatan usaha yang biasanya harus dimiliki atau

49

Philipus M. Hadjon, Op. Cit., h. 2 50

Juniarso Ridwan, Op. Cit., h. 92

34

diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan

dapat melakukan suatu kegiatan atau usaha.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan (selanjutnya UUAP) mendefinisikan izin sebagai

berikut:

Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai

wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang ini, istilah izin dibedakan dengan istilah konsesi

dan dispensasi. Pasal 1 angka 20 UUAP mengartikan konsesi sebagai berikut:

Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai

wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

dengan selain Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan

fasilitas umum dan/atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka 21 UUAP mengartikan dispendasi sebagai berikut:

Dispensasi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang

sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat yang

merupakan pengecualian terhadap suatu larangan atau perintah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka perbedaan izin dengan konsesi dan

dispensasi terletak pada penamaan keputusan pejabarat pemerintahan berdasarkan

materi permohonan warga masyarakat kepada pejabat pemerintahan yang

berwenang menetapkan keputusan. Materi permohonan warga masyarakat dalam

permohonan izin adalah permohonan warga masyarakat secara umum. Sedangkan

konsesi adalah permohonan pengelolaan fasilitas umum dan dispensasi adalah

permohonan pengecualian atas suatu larangan.

35

Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya Perpres PTSP) tidak memberikan

pengertian tentang izin. Perpres ini memperkenalkan dua istilah lain yang

berkaitan dengan izin, yaitu istilah perizinan dan non-perizinan. Pasal 1 angka 5

Perpres PTSP mendefisisikan perizinan sebagai berikut:

Perizinan adalah segala bentuk persetujuan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka 6 Perpres PTSP mengartikan non-perizinan sebagai berikut:

Nonperizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal,

dan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wujud persetujuan pemerintah yang disebut perizinan adalah izin,

sedangkan non-perizinan misalnya rekomendasi yang diterbitkan oleh pemerintah

provinsi dalam rangka penerbitan izin oleh pemerintah kabupaten yang

mensyaratkan penerbitan izin oleh pemerintah kabupaten wajib didasarkan

rekomendasi dari pemerintah provinsi.

Mekanisme penerbitan izin yang diterbitkan untuk pengendalian dan

pengawasan administratif bisa dipergunakan sebagai alat untuk mengevaluasi

keadaan dan tahapan perkembangan yang ingin dicapai, di samping untuk

mengendalikan arah perubahan dan mengevaluasi keadaan, potensi, serta kendala.

Tinjauan dari perizinan itu sendiri adalah untuk mengatur tindakan-tindakan yang

oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap salah.

Jadi, rizin sebagai instrumen usaha implementasi program pemerintah

daerah yang menjadi bagian integral dari penyelenggaraan pemerintahan, maka

pemerintah daerah bisa lebih leluasa untuk menggunakannya sesuai dengan rambu

36

peraturan perundangan yang berlaku dengan tetap menjunjung tinggi azas umum

pemerintahan yang layak.

Dari pemaparan pendapat diatas ada beberapa unsur dalam izin, yaitu

sebagai berikut :

1. Instrumen Yuridis

2. Peraturan Perundang-undangan

3. Organ Pemerintah

4. Peristiwa Konkret

5. Prosedur dan Persyaratan 51

Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah, oleh

karena itu, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai

pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan.

Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil

dan makmur itu terwujud.52

Adapun mengenai tujuan perizinan secara umum dapat disebutkan sebagai

berikut:

1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas

tertentu (misalnya izin bangunan).

2. Izin mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

3. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin

membongkar pada monumen-monumen).

4. Izin hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah

padat penduduk).

51

Ibid., h. 210 52

Ibid., h. 217

37

5. Izin memberikan pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan

aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”), dimana

pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu).53

Secara umum, terdapat dua kategori utama dalam perizinan publik, yaitu

perizinan untuk warga perorangan dan perizinan untuk organisasi/lembaga

komersial. Hal-hal yang termasuk dalam kategori perizinan untuk warga

perorangan misalnya surat-surat catatan sipil dan IMB untuk rumah

tinggal.Sedangkan perizinan publik dalam ketegori kedua, dapat dibagi menjadi

empat kelompok, yaitu: fasilitas dan peralatan komersial, kendaraan umum, izin

usaha, dan izin industri54

.

2.1.2 Izin Penggarap Tanah Negara

Bupati Kepala Daerah Kabupaten atau Walikota Kepala Daerah Kota atas

nama Gubernur Kepala Daerah Provinsi memberikan ijin mengerjakan/

menggarap tanah negara berdasarkan UUPA (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1960 Nomor 104), Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2043) yo Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965

tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan

Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya, tertanggal 6 Desember

1965.

Ijn menggarap tanah negara ini diberikan kepada penggarap tanah negara

dalam bentuk Surat Ijin Mengerjakan (Menggarap) Tanah. Surat ijin menggarap

53

Ibid., h. 218 54

Samudra Wibawa Op. Cit, h. 41-42

38

ini menggunakan kepala surat (Kop Surat) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Surat ijin menggarap tanah negara ini diberikan nomor dan tahun sesuai dengan

nomor dan tahun diberikannya ijin menggarap tanah negara tersebut kepada

Penggarap Tanah Negara.

Ijin menggarap tanah negara ini menunjuk kepada orang yang diberikan

ijin menggarap tanah negara tersebut dengan identitas yang jelas seperti nama

lengkap, umur, pekerjaan dan alamat yang jelas dan lengkap dan juga

menyebutkan peruntukan ijin menggarap tanah negara itu diberikan seperti Persil,

Klas tanah, luas tanah yang diberikan untuk digarap, letak tanah yan akan digarap

yang meliputi di Subak, Pesedahan, dan Kecamatan letak tanah garapan yang akan

diberikan ijin untuk digarap oleh Penggarap Tanah Negara.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh Penggarap Tanah Negara juga

dicantumkan dalam Ijin yang diberikan kepada Penggarap Tanah Negara.

Persyaratan tersebut meliputi kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang Ijin,

antara lain: Membayar sewa penggarapan tanah negara yang besarnya sudah

ditentukan; Bertanggung jawab atas pengamanan tanggul-tanggul pengaman dan

mengerjakan tanah tersebut sebaik-baiknya; Mengosongkan dan menyerahkan

sebagian atau seluruhnya tanah garapannya apabila Pemberi ijin (Pemerintah)

memerlukan tanah tersebut untuk menunjang kelancaran pembangunan.

Selain kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pemegang Ijin untuk

menggarap tanah negara, Pemegang ijin dilarang memindahkan ijin menggarap

tanah negara yang telah diterimanya kepada pihak lain tanpa seijin dari Pemberi

Ijin Menggarap Tanah Negara dalam hal ini Gubernur Kepala Daerah Provinsi.

39

Ijin Menggarap Tanah Negara ini diberikan dengan batas waktu sebagai

mana tercantum dalam Surat Ijin Menggarap Tanah Negara, yang biasanya

berlaku dalam jangka waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang.

Surat Ijin Menggarap Tanah Negara ini ditandatangani oleh

Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota atas nama Gubernur Kepala

Daerah Provinsi.

2.2 Pengertian Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Tanah Negara

2.2.1 Pengertian Tanah Negara

Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas

Tanah.55

Menurut Ali Chomzah Tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai

oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu Hak atas tanah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.56

Sebelum keluarnya UUPA, Tanah Negara

dikenal dengan asas Domein Verklaring (Pernyataan Milik), asas tersebut

menyatakan : semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah

itu hak eigondomnya, adalah Domein/Milik Negara.

Sebelum keluarnya UUPA, Tanah Negara dikenal dengan asas Domein

Verklaring (Pernyataan Milik), asas tersebut menyatakan : semua tanah yang

pihak lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu hak eigondomnya, adalah

Domein/Milik Negara.

Karena tanah tersebut milik negara maka terhadap hak atas tanah yang

paling kuatpun menurut hukum adat, seperti hak milik (adat) seolah-olah tidak

55

Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya, Kompas, Jakarta, h. 144 56

Ali Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan Seri I dan Seri II, Prestasi Pustaka, Jakarta, h.

1

40

diakui sama dengan hak eigendom. Hal demikian tidak dimengerti dan merugikan

kepada rakyat. Oleh karena itu dalam UUPA dinyatakan : pernyataan domein

bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas dari negara

merdeka dan modern. Dalam perkembangannya,penguasaan tanah-tanah negara

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953. Dalam PP ini yang

dimaksud dengan tanah negara (dalam hal ini negara bebas /vrij landsdomein

adalah tanahtanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh negara yang meliputi

semua tanah yang sama sekali bebas dari hak-hak seseorang, baik yang

berdasarkan hukum adat maupun hukum barat.57

Untuk menyeragamkan peraturan pertanahan secara nasional, selanjutnya

pemerintah menerbitkan UUPA. Setelah berlakunya UUPA asas domein

verklaring tidak dipergunakan lagi dalam Hukum Agraria Nasional, karena UUPA

berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 :bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Maka pengertian “tanah negara” mempunyai ruang lingkup yang lebih

sempit dari pada pengertian land domein dahulu, karena hanya meliputi tanah

tanah yang tidak dikuasai oleh sesuatu pihak.58

Berbeda dengan konsep Domein

Negara, maka UUPA menganut sistem negara “menguasai” dan bukan “memiliki”

dalam hubungan tanah dengan negara.Negara sebagai personifikasi dari seluruh

rakyat mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan

57

Maria SW. Sumardjono, Op. Cit., h.60 58

Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, h. 162

41

peruntukan ,penggunaan,penyediaan,,dan penyelenggaraan bumi,air,dan ruang

angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum

yang berkenaan dengan bumi,air,dan ruang angkasa.59

Menurut Boedi Harsono Hak Menguasai dari Negara adalah sebutan yang

diberikan oleh UUPA kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret

antara Negara dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2

ayat (2) dan (3) UUPA.60

Adapun ruang lingkup pengaturannya, Hak Menguasai

dari Negara berlaku atas semua tanah yang ada di Indonesia, baik itu tanah yang

belum dihaki, juga tanah yang telah dihaki oleh perseorangan. Terhadap tanah

yang belum dihaki perseorangan, Hak Menguasai dari Negara melahirkan istilah

“tanah yang dikuasai langsung oleh negara,” atau kemudian disebut secara singkat

sebagai “tanah negara”61

Walaupun Hak menguasai dari negara itu meliputi semua bumi,air dan

ruang angkasa,namun disamping adanya tanah negara,dikenal pula adanya tanah-

tanah hak, baik yang dipunyai perseorangan maupun badan hukum.

Sedangkan yang dimaksud dengan tanah hak adalah tanah yang dilekati

dengan sesuatu hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Diantara

berbagai hak atas tanah yang pada umumnya dikenal oleh masyarakat adalah Hak

Milik,Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.62

Memperhatikan tentang pengertian dari tanah negara perlu kiranya

mengemukakan jenis-jenis dari tanah negara tersebut.Mengenai jenisjenis tanah

59

Maria SW. Sumardjono, Op.Cit, h.61. 60

Boedi Harsono, Op. Cit, h. 268 61

Sunarjati Hartono, 1986, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni, Bandung, h.

62-63 62

Maria S.W. Sumardjono.Op. Cit, h. 60

42

negara dapat ditentukan dengan melihat asal mula tanah negara itu. A. Ridwan

Halim mengatakan bahwa tanah negara itu pada dasarnya dapat kita bagi atas 3

macam ,yaitu:63

1. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara (tanpa adanya hak ulayat

diatasnya).

2. Tanah yang dikuasai negara dengan hak ulayat yang ada diatasnya.

3. Tanah yang berasal dari tanah yang haknya telah dibebaskan atau

dilepaskan oleh pemegangnya secara sukarela.

Menurut Boedi Harsono dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional

lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA disebut tanah-tanah yang

dikuasai langsung oleh negara,yang semula disingkat dengan sebutan tanah-tanah

negara itu,mengalami juga perkembangan. Semula pengertiannya mencakup

semua tanah yang dikuasai oleh negara,diluar apa yang disebut tanah-tanah hak.

Sekarang ini ditinjau dari segi kewenangan penguasaannya, ada

kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah-tanah yang semula tercakup

dalam pengertian tanah-tanah negara itu, menjadi:64

1. Tanah-tanah Wakaf, yaitu tanah-tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan;

2. Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan

Pengelolaan,yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian

kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya;

3. Tanah-tanah Hak Ulayat ,yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh

masyarakat-masyarakat hukum adat teritorial dengan Hak Ulayat;

63

A. Ridwan Halim, 1983, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,

Jakarta, h. 96 64

Boedi Harsono, Op. Cit, h. 272

43

4. Tanah-tanah kaum, yaitu tanah bersama masyrakat hukum adat genealogis

5. Tanah-tanah Kawasan Hutan ,yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan,

Hak Pengusaan ini pada hakikatnya juga merupakan pelimpahan sebagian

kewenangan Hak Menguasai dari Negara;

6. Tanah-tanah sisanya, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara,yang

bukan tanah-tanah Hak, bukan tanah Wakaf,bukan tanah pengelolaan

,bukan tanah-tanah Hak Ulayat,bukan tanah-tanah Kaum,dan bukan pula

tanah-tanah Kawasan Hutan. Tanah-tanah ini benar-benar langsung

dikuasai oleh negara .Kiranya untuk singkatnya dapat disebut Tanah

Negara.Penguasaannya dilakukan oleh Badan Pertanahan

Nasional.Dengan demikian kita jumpai pengertian tanahtanah Negara

dalam arti luas dan tanah-tanah Negara dalam arti sempit.

Tanah (kuasa) negara, bukan dalam pengertian tanah milik negara,

mengingat negara secara filosofis tidak mempunyai hak milik atas tanah.

Demikian yang ditegaskan oleh UUPA yang bersifat anti domeinverklaring

(pernyataan mengenai tanah milik negara). Hukum tanah nasional ini mengganti

pernyataan state-domain itu dengan prinsip Hak Menguasai Negara. Di sini

negara sebagai “organisasi kekuasaan seluruh rakyat” diberi mandat dan

kewenangan untuk mengelola (beheersdaad), merumuskan kebijakan (beleid),

mengatur (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), dan melakukan

pengawasan (toezichthoudendaad) dalam hubungan sumber daya agraria dengan

individu atau badan hukum (Pasal 2 ayat (2)). Terhadap tanah (kuasa) negara

bebas dapat berlaku „pemberian hak‟ kepada orang (individu atau bersama) dan

44

badan hukum, berupa hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai,

hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan, dan hak-hak lain yang

tidak termasuk dalam hak-hak tersebut (Pasal 16 ayat (1)). Selain pemberian hak

berlaku pula pengakuan hak, tergantung pada riwayat status tanah dan subyek

penerimanya.

Adapun tanah negara sendiri didefinisikan sebagai tanah yang dikuasai

penuh oleh negara (Pasal 1 ayat (a) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953).

Pengertian lain menyebutkan tanah negara adalah tanah yang tidak sedang

diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak lain, atau tidak dilekati dengan suatu

hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, tanah hak

pengelolaan, tanah ulayat dan tanah wakaf65

. Istilah tanah negara itu sendiri

muncul dalam praktek administrasi pertanahan, dimana penguasaannya dilakukan

oleh otoritas pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional66

. Maka tidak dengan

sendirinya instansi pemerintah mengklaim dan menguasai tanah negara tanpa

kejelasan pemberian hak terlebih dahulu dari negara yang dalam hal ini adalah

BPN RI sebagai otoritas yang diberi mandat. Lembaga pemerintah dapat

menggunakannya misalnya dengan hak pakai yang diberikan oleh negara melalui

BPN RI.

Kemudian, tanah negara dibedakan dalam dua jenis yaitu “tanah negara

bebas” (vrij lands/staatsdomein) dan “tanah negara tidak bebas” (onvrij

lands/staatsdomein). Tanah negara bebas adalah tanah-tanah yang belum dimiliki

atau diusahakan oleh orang atau badan hukum apapun, juga tanah-tanah yang

65

Maria SW. Sumardjono, 2008. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan

Implementasi, Kompas, Jakarta, h. 25 66

Ibid, h. 26

45

tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat. Tanah ini secara umum

dinyatakan sebagai tanah di luar kawasan desa. Tanah ini lazim disebut sebagai

tanah Government Groud (GG). Adapun tanah negara tidak bebas adalah tanah-

tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan dimanfaatkan

secara nyata oleh rakyat. Rakyat dapat mengajukan permohonan atas tanah

tersebut kepada negara, pun pengajuan hak milik. Ini sejalan dengan prinsip

kewenangan yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut adalah

untuk digunakan mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3)).

2.2.2 Pengertian Hak Pengelolaan Tanah Negara

UUPA yang merupakan dasar dari hukum agraria di Indonesia tidak

mengatur mengenai hak pengelolaan meksipun demikian UUPA telah

mengandung cikal bakal hak pengelolaan yang dapat kita temukan dalam

penjelasan umum angka II. Penjelasan umum angka II menyatakan:

“Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguadan (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.

Menurut A.P Perlindungan, istilah hak pengelolaan berasal dari istilah

Belanda, beheersrecht yang diterjemahkan menjadi hak penguasaan.67

Istilah hak

penguasaan sebenarnya telah digunakan sebelum UUPA berlaku. Istilah hak

penguasaan terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang

Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Hak penguasaan kemudian dikonversi menjadi

hak pengelolana melalui pemberlakuan peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun

67

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihak Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, h.

113

46

1965 tentang pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan

Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (PerMen Agraria

9/1965).

PerMen Agraria 9/1965 mengatur mengenai konversi hak penguasaan atas

tanah negara sebagai berikut :

1. Hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-

departemen direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra yang hanya

dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri dikonversi menjadi

hak pakai

2. Apabila tanah negara yang diberikan kepada departemen-departemen,

direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra tersebut dipergunakan

untuk kepentingan instansi itu sendiri juga dimaksudkan untuk dapat

diberikan kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan tersebut dikonversi

menjadi hak pengelolaan.

Peraturan Menteri Agraria 9/1965 tidak memberikan pengertian hak

pengelolaan. Pengertianhak pengelolaan untuk pertama kalinya diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996). Menurut ketentuan Pasal 1

angka 2 hak pengelolaan adalah hak menguasai dan negara yang kewenangan

pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Pengertian tersebut

dipandang belum lengkap. Pengertian hak pengelolaan yang dipandang lengkap

dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (UU BPHTB).68

Pengertian hak

68

Ibid, h. 116

47

pengolaan menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf UU BPHTB adalah sebagai

berikut:

Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak pengelolaan dapat ditemukan dalam

Perarturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah

Negara dan Hak Pengelolaan (Perkaban 9/1999).

Hak pengelolaan dapat terjadi karena dua hal yaitu karena konversi dan

pemberian hak atas tanah.69

Hak pengelolaan yang terjadi karena konversi berasal

dari konversi hak penguasaan atau hak beheer sebagaimana dimaksud dalam

PerMen Agraria 9/1965. Sedangkan hak pengelolaan yang terjadi karena

pemberian hak atas tanah berasal dari negara yang diberikan melalui permohonan

prosedur permohonan hak pengelolaan diatur dalam Perkaban 9/1999.70

2.3 Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat dalam Pemberian Izin Penggarap

Tanah Negara

2.3.1 Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Pemberian Izin

Penggarapan Tanah Negara

Tanggung jawab dalam arti liability adalah tanggung jawab hukum

menurut hukum perdata atau sering disebut tanggung gugat. Kewajiban untuk

membayar ganti kerugian atas kerugian atau penderitaan yang diderita oleh

69

Ibid, h. 125-126 70

Ibid

48

korban akibat perbuatan pelaku. Korban dapat menuntut di depan pengadilan

perdata untuk membayar kerugian kepada pelaku baik orang atau badan hukum

yang menimbulkan kerugian itu.

Pengertian tanggung jawab dalam arti liability ini diartikan sebagai

tanggung gugat sebagai terjemahan dari liability/aansprakelijkheid merupakan

bentuk spesifik dari tanggung jawab. Pengertian tanggung gugat merujuk kepada

posisi seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk

kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum.

Ia, misalnya harus membayar ganti kerugian kepada orang atau badan hukum lain

karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)

sehingga menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum tersebut. Istilah

tanggung gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat. Pendapat tersebut lebih

menekankan bahwa tanggung gugat itu disebabkan karena perbuatan melanggar

hukum yang dilakukan oleh seseorang sehingga menimbulkan kerugian bagi

orang lain.

Pemerintah Daerah sebagai pemberi ijin menggarap tanah negara

bertanggung gugat ketika Pemerintah Daerah menghentikan ijin menggarap yang

telah diberikan kepada Petani Penggarap kemudian memberikan tanah garapan

tersebut kepada pihak ketiga yang selanjutnya memanfaatkan tanah garapan

tersebut untuk kepentingan Pihak Ketiga itu sendiri tanpa memperhatikan hak-hak

yang dimiliki oleh Petani Penggarap, sehingga menimbulkan kerugian bagi Petani

Penggarap tersebut.

49

2.3.2 Tanggung Gugat Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin

Penggarapan Tanah negara

Dalam referensi hukum, kata tanggung gugat sangat jarang ditemukan,

istilah yang sering digunakan adalah tanggung jawab. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, tanggung jawab diartikan sebagai keadaan wajib menanggung

segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan,

diperkarakan, dan sebagainya).

Menurut Martono, tanggung jawab secara umum dapat berarti tiga macam,

masing-masing accountability, responsibility dan liability. Tanggung jawab dalam

arti accountability adalah tanggung jawab yang ada kaitannya dengan keuangan

atau kepercayaan, misalnya akuntan harus mempertanggungjawabkan laporan

pembukuannya. Tanggung jawab dalam arti responsibility adalah tanggung jawab

dalam arti hukum publik. Pelaku dapat dituntut di depan pengadilan pidana

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik pidana

pelanggaran maupun kejahatan atau dikenai sanksi administrasi oleh atasannya

apabila orang tersebut tidak melakukan tugasnya sebagaimana dicantumkan dalam

surat keputusan pengangkatannya. Sedangkan tanggung jawab dalam arti liability

adalah tanggung jawab hukum menurut hukum perdata atau sering disebut

tanggung gugat. Kewajiban untuk membayar ganti kerugian atas kerugian atau

penderitaan yang diderita oleh korban akibat perbuatan pelaku. Korban dapat

menuntut di depan pengadilan perdata untuk membayar kerugian kepada pelaku

baik orang atau badan hukum yang menimbulkan kerugian itu.

Pengertian tanggung jawab dalam arti liability ini menurut Peter Mahmud

Marzuki diartikan sebagai tanggung gugat sebagai terjemahan dari

50

liability/aansprakelijkheid merupakan bentuk spesifik dari tanggung jawab.

Menurut Peter Mahmud, pengertian tanggung gugat merujuk kepada posisi

seseorang atau badan hukum yang dipandang harus membayar suatu bentuk

kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hukum atau tindakan hukum.

Ia, misalnya harus membayar ganti kerugian kepada orang atau badan hukum lain

karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)

sehingga menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum tersebut. Istilah

tanggung gugat berada dalam ruang lingkup hukum privat.

Pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut, lebih menekankan bahwa

tanggung gugat itu disebabkan karena perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan oleh seseorang sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Pendapat Peter Mahmud Marzuki ini tidak jauh berbeda dengan pendapat para

ahli hukum perdata di awal abad ke-20 seperti J.H. Nieuwenhuis.

Menurut J.H. Nieuwenhuis, bahwa tanggung gugat merupakan kewajiban

untuk menanggung ganti kerugian sebagai akibat pelanggaran norma. Perbuatan

melanggar norma tersebut dapat terjadi disebabkan karena (1) perbuatan melawan

hukum; dan (2) wanprestasi.

Lebih jauh Nieuwenhuis menguraikan bahwa tanggung gugat ini bertumpu

pada dua tiang yaitu pelanggaran hukum dan kesalahan. Orang yang menimbulkan

kerugian pada orang lain bertanggung gugat, sejauh kerugian itu merupakan

akibat pelanggaran suatu norma (perbuatan melanggar hukum) dan pelakunya

dapat disesali karena telah melanggar norma tersebut (kesalahan). Di luar ini,

maka pelaku yang bersangkutan dinyatakan bebas; ini dinamakan tanggung gugat

51

kesalahan (schuldaansprakelijkheid); di sini kesalahan diberi makna yang luas

yang juga mencakup sifat melanggar hukum perbuatan.

Mengacu kepada pendapat Nieuwenhuis tersebut, maka dapat ditarik satu

pemahaman bahwa tanggung gugat itu dapat terjadi karena:

1. Kesalahan yang terjadi disebabkan perjanjian antara para pihak yang

merugikan salah satu pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata (perbuatan melanggar hukum). Tanggung gugat semacam ini

dikenal dengan tanggung gugat berdasarkan unsur kesalahan dan dalam

perkembangannya juga karena pembuktian menjadi tanggung gugat atas

dasar praduga bersalah;

2. Undang-undang; maksudnya seseorang/pihak tertentu itu dinyatakan

bertanggung gugat bukan karena kesalahan yang dilakukannya, tetapi ia

bertanggung gugat karena ketentuan undang-undang. Tanggung gugat

semacam ini dinamakan tanggung gugat resiko.

Mengenai tanggung gugat resiko ini, Nieuwenhuis memberikan contoh

ketentuan Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata, majikan bertanggung gugat atas

kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum oleh bawahannya

yang dilakukan dalam lingkup tugasnya.

Tanggung gugat resiko yang terdapat dalam Pasal 1367 ayat (3) KUH

Perdata ini Nieuwenhuis menguraikan sebagai berikut:

1. Tanggung gugat dalam Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata berlandaskan

pada hubungan bawahan dan atasan. Yang menentukan di sini adalah

kewenangan memberikan perintah (instruksi) kepada yang lain.

52

Kewenangan ini dapat timbul dari perjanjian kerja, tetapi juga dapat dari

hukum publik seperti hubungan penguasa dengan pegawai negeri.

2. Tanggung gugat tersebut bergantung pada keadaan bahwa perbuatan

melanggar hukum itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas oleh bawahan.

3. Untuk tanggung gugat Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata disyaratkan

adanya perbuatan melanggar hukum dan kesalahan pihak bawahan.

4. Tanggung gugat tidak bergantung pada suatu pelanggaran norma atau

kesalahan oleh majikan. Pihak yang dirugikan cukup berpegangan pada

bukti perbuatan melanggar hukum oleh bawahan, adanya hubungan

atasan-bawahan, dan fakta bahwa tugas bawahan menciptakan kesempatan

untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Tangkisan bahwa ia

pribadi tidak dapat disesali, sama sekali tidak akan menolong majikan

(tanggung gugat resiko).