bab ii tinjauan teoritis 2.1 konsep difusi inovasi · difusi inovasi melalui beberapa cara, di...

15
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Difusi Inovasi Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam sub- bab ini dikutip dari Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) mendefinisikan difusi inovasi sebagai suatu proses melalui mana inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran- saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Hasil empiris menunjukkan bahwa adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Hal ini ditunjukkan oleh Soewardi (1972) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa warga petani pada lapisan atas cenderung lebih responsif terhadap inovasi Panca Usaha Pertanian dibanding mereka yang berasal dari lapisan bawah. Selanjutnya, warga lapisan atas ini menyebarkan inovasi tersebut melalui pergaulan sehari-hari kepada warga lapisan bawah. Juga dikemukakan bahwa pada kasus petani lapisan bawah tidak aktif bertanya, namun mereka meniru secara diam-diam suatu inovasi dari petani lapisan atas tersebut. Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995), proses difusi inovasi terdiri dari empat unsur yang mempengaruhinya. Unsur pertama adalah inovasi, yang diartikan sebagai suatu gagasan, praktek atau objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Terdapat sejumlah karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif (relative advantages), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity), kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati (observability). Unsur kedua adalah saluran komunikasi, yaitu cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif mengubah pengetahuan tentang inovasi. Selain itu, media massa memiliki

Upload: vohanh

Post on 08-Mar-2019

256 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Difusi Inovasi

Sejumlah konsep dan teori mengenai difusi inovasi yang dirujuk dari

Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) yang dikemukakan dalam sub-

bab ini dikutip dari Mugniesyah (2006). Rogers dan Shoemaker (1971) dan

Rogers (1995) mendefinisikan difusi inovasi sebagai suatu proses melalui mana

inovasi dikomunikasikan kepada anggota-anggota sistem sosial melalui saluran-

saluran tertentu dalam suatu periode waktu tertentu. Hasil empiris menunjukkan

bahwa adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang

bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Hal ini ditunjukkan

oleh Soewardi (1972) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa warga petani

pada lapisan atas cenderung lebih responsif terhadap inovasi Panca Usaha

Pertanian dibanding mereka yang berasal dari lapisan bawah. Selanjutnya, warga

lapisan atas ini menyebarkan inovasi tersebut melalui pergaulan sehari-hari

kepada warga lapisan bawah. Juga dikemukakan bahwa pada kasus petani lapisan

bawah tidak aktif bertanya, namun mereka meniru secara diam-diam suatu inovasi

dari petani lapisan atas tersebut.

Sebagaimana dikemukakan Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers

(1995), proses difusi inovasi terdiri dari empat unsur yang mempengaruhinya.

Unsur pertama adalah inovasi, yang diartikan sebagai suatu gagasan, praktek atau

objek yang dipandang sebagai baru oleh seorang individu. Terdapat sejumlah

karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi petani dalam pengambilan

keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, yaitu: keuntungan relatif

(relative advantages), kompatibilitas (compatibility), kompleksitas (complexity),

kemudahan untuk dicoba (trialability), dan kemudahan untuk diamati

(observability). Unsur kedua adalah saluran komunikasi, yaitu cara-cara melalui

mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber, yang dibedakan ke dalam

saluran interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih

efektif membangun dan mengubah sikap, sementara saluran media massa efektif

mengubah pengetahuan tentang inovasi. Selain itu, media massa memiliki

9

keunggulan dalam hal kecepatan dan jumlah khalayak yang bisa dijangkau. Pada

Tabel 1 disajikan perbedaan karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan

media massa.

Tabel 1 Karakteristik Saluran Komunikasi Interpersonal dan Media Massa

No. Karakteristik Saluran Interpersonal Saluran Media

Massa

1. Arus pesan Cenderung dua arah Cenderung searah

2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media

3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah

4. Kemampuan mengatasi

tingkat selektivitas *)

Tinggi Rendah

5. Kecepatan jangkauan

terhadap khalayak banyak

Relatif lambat Relatif cepat

6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan

pembentukan sikap

Perubahan

pengetahuan Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)

Keterangan:

*) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure

Unsur yang ketiga dalam difusi inovasi adalah waktu. Dalam hal waktu,

ada tiga aspek penting yang berhubungan dengan proses difusi, yakni: (1) proses

pengambilan keputusan inovasi (the innovation-decision process), (2)

keinovativan (innovativeness), dan (3) laju adopsi suatu inovasi (innovation’s rate

of adoption) dalam sistem sosial.

Proses pengambilan keputusan inovasi (selanjutnya ditulis PK Inovasi)

yang terdiri dari lima tahapan, yaitu pengenalan, persuasi, keputusan,

implementasi dan konfirmasi, melibatkan waktu karena setiap tahapannya biasa

terjadi dalam serangkaian tatanan waktu. Terdapat empat tipe proses PK Inovasi,

yaitu opsional, kolektif, otoritas, dan kontingensi, dimana keempatnya dibedakan

berdasarkan unit pengambil keputusan dan unit adopsi dalam PK Inovasi tersebut.

Pada PK Inovasi opsional, individu merupakan unit pengambil keputusan dan unit

adopsi inovasi, sedangkan pada PK Kolektif, baik unit pengambil keputusan

maupun unit adopsi inovasinya adalah kelompok atau suatu sistem sosial. Berbeda

dengan tipe sebelumnya, pada tipe otoritas, PK Inovasi dilakukan oleh seseorang

yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit

adopsinya adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada

10

tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau

lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe

lain yang mendahuluinya.

Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) keinovativan (innovativeness)

adalah derajat dimana seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya)

secara relatif lebih dini atau lebih dahulu mengadopsi sesuatu inovasi daripada

rata-rata anggota sistem sosial dimana dia menjadi anggotanya. Keinovativan

yang berbeda tersebut memungkinkan untuk melihat kategori adopter suatu

inovasi tertentu, yang dibedakan ke dalam inovator (innovator), penganut dini

(early adopter), penganut dini terbanyak (early majority), penganut lambat

terbanyak (late majority) dan penolak (laggards).

Laju adopsi adalah kecepatan relatif dimana suatu inovasi diadopsi oleh

anggota-anggota suatu sistem sosial. Laju adopsi ini biasanya diukur sebagai

jumlah penerima yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu.

Terdapat sejumlah faktor yang menentukan laju adopsi, dan masing-masing

variabel meliputi satu atau lebih unsur. Adapun hubungan beberapa variabel yang

menentukan laju adopsi (independent variables) dan laju adopsi inovasinya

(dependent variable) digambarkan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.

Unsur keempat dalam difusi inovasi adalah sistem sosial, yang diartikan

suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam

upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah.

Anggota-anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal,

organisasi, dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat

batasan di dalam mana inovasi menyebar. Itu sebabnya penting untuk memahami

pengaruh struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi

inovasi. Rogers dan Shoemaker, menyatakan bahwa struktur sosial mempengaruhi

difusi inovasi melalui beberapa cara, di antaranya peranan tokoh pemuka

pendapat dan agen perubah. Dalam konteks peranan pemuka pendapat,

dimungkinkan adanya individu yang mengembangkan struktur komunikasi

homofili dan heterofili. Homofili adalah derajat dimana dua orang atau lebih

individu yang berinteraksi memiliki kesamaan atribut atau karakteristik tertentu,

seperti kepercayaan, pendidikan, status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili

11

adalah derajat dimana pasangan individu-individu yang berinteraksi memiliki

karakteristik yang berbeda. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi

interpersonal yang homofili dapat menghambat proses difusi, karena

memungkinkan penyebaran inovasi hanya secara horizontal, baik hanya di

kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan lapisan bawah.

Variabel-variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh

Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1995) dalam Mugniesyah

(2006)

Gambar 1 Paradigma Laju Adopsi Inovasi

I. KARAKTERISTIK INOVASI

Keuntungan Relatif

Kompabilitas

Kompleksitas

Kemungkinan Dicoba

Kemungkinan Diamati Hasilnya

II. TIPE KEPUTUSAN INOVASI

Opsional

Kolektif

Otoritas

III. SALURAN KOMUNIKASI

Interpersonal

Media Massa

IV. CIRI SISTEM SOSIAL

Tradisional vs Modern

Derajat Integrasi Komunikasi

Dan lain-lain

V. UPAYA PROMOSI OLEH

AGEN PERUBAH

LAJU ADOPSI

INOVASI

12

2.2 Konsep Adopsi Berlebihan (Over Adoption)

Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa pada masa lalu

banyak peneliti yang secara implisit mengasumsikan bahwa adopsi inovasi oleh

responden mereka merupakan perilaku yang diinginkan, dan sebaliknya jika

mereka menolak menjadi perilaku yang kurang diinginkan. Pendapat ini menurut

mereka tidak selamanya benar, karena adanya gejala adopsi berlebihan (over

adoption) yaitu adanya adopsi suatu inovasi yang dilakukan oleh seorang individu

padahal menurut ahli seharusnya dia menolaknya.

Terdapat beberapa alasan mengapa terjadi adopsi yang berlebihan, di

antaranya adalah: (1) adopter memiliki pengetahuan yang kurang lengkap tentang

inovasi tersebut, (2) ketidakmampuan adopter meramalkan konsekuensi yang

terjadi, dan (3) maniak inovasi. Namun demikian, dikemukakan bahwa sulit untuk

menentukan apakah seseorang harus atau tidak harus mengadopsi inovasi, karena

kriteria rasionalitas tidak mudah diukur. Selain itu, seringkali yang menjadi dasar

para peneliti dalam membedakan hal itu cenderung didasarkan pada faktor

ekonomi, dengan alasan rasionalitasnya lebih objektif. Selanjutnya, pada Tabel 2

di bawah ini ditunjukkan hasil studi Goldstein dan Eichhorn (1961) yang

menelaah rasionalitas dan irasionalitas adopsi budidaya jagung-4 baris di kalangan

petani Indian, Amerika (Rogers dan Shoemaker 1971).

Tabel 2 Rasionalitas dan Irasionalitas dalam Adopsi dan Menolak Penanaman

Jagung-4 Baris di Kalangan Petani Indian

Keputusan Inovasi

pada Individu

Rekomendasi Ahli Bagi Individu

Adopsi Menolak

Adopsi Pengadopsi Rasional

(37%)

Pengadopsi Berlebihan

yang Irasional

(11%)

Menolak Penolak Irasional (19%) Penolak yang Rasional

(33%) Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006)

Dalam hal faktor yang menentukan rasionalitas dan irasionalitas, Goldstein

dalam Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa tipe rasional berbeda

dari yang irasional oleh karena tingkat pendidikan mereka berbeda dan mereka

tidak dipengaruhi kepercayaan tradisional. Dengan perkataan lain, tingkat

13

pendidikan menjadi salah satu faktor yang membawa individu untuk lebih rasional

dan bisa membedakan penting atau tidaknya untuk memutuskan adopsi inovasi.

2.3 Hasil-hasil Studi Penggunaan Ponsel

Terdapat sejumlah studi berkenaan penggunaan teknologi komunikasi,

khususnya ponsel. Studi Mulyandari (2006) menemukan bahwa karakteristik

personal mahasiswa, khususnya jenis kelamin, status ekonomi dan tingkat terpaan

media massa, tidak berhubungan dengan sikap mahasiswa terhadap penggunaan

ponsel, namun tujuan mahasiswa dalam penggunaan ponsel berhubungan dengan

sikapnya terhadap ponsel. Mahasiswa yang membutuhkan ponsel untuk

kepentingan yang menyangkut keluarga dan kegiatan kampus cenderung memiliki

sikap positif terhadap ponsel. Berbeda dengan Mulyandari, Lutfiyah (2007)

menemukan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan persepsi remaja terhadap

ponsel, dimana remaja laki-laki memiliki persepsi yang lebih sesuai terhadap

ponsel dibandingkan dengan remaja perempuan. Adapun hasil studi Prayifto

(2010) menunjukkan bahwa sikap remaja desa terhadap ponsel tidak berhubungan

nyata dengan perilakunya dalam menggunakan ponsel baik untuk memperoleh

informasi, berintegrasi, berinteraksi sosial dan memperoleh hiburan, karena

penggunaan ponsel oleh mereka tergantung pada faktor situasional. Selanjutnya

dikemukakan bahwa walaupun mereka memiliki sikap positif terhadap ponsel

belum tentu tingkat perilakunya dalam menggunakan ponsel menjadi tinggi.

Berbeda dari Lutfiyah yang melaporkan bahwa status ekonomi tidak

berhubungan dengan persepsi remaja terhadap ponsel, hasil studi Utaminingsih

(2006) menemukan bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh remaja berhubungan

positif dengan status ekonomi keluarga; semakin tinggi status ekonomi keluarga

semakin memungkinkan peningkatan penggunaan ponsel terutama dalam hal

penggunaan pulsa. Yang menarik, studi Utaminingsih menemukan bahwa tujuan

penggunaan ponsel (faktor internal) serta keberadaan teman dekat dan kelompok

sebaya (peer group), pengaruhnya sangat kuat terhadap penggunaan ponsel di

kalangan remaja. Temuan lainnya adalah bahwa tingkat penggunaan ponsel oleh

remaja tersebut tidak mempengaruhi interaksi sosial (tatap muka) mereka dengan

lingkungan sosialnya.

14

2.4 Kerangka Pemikiran

Penelitian yang berjudul Difusi Inovasi Ponsel di Perdesaan” ini dilandasi

sejumlah konsep dan teori difusi inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971) serta

Rogers (1995), khususnya berkenaan keinovativan dan laju adopsi. Oleh karena

itu, dalam penelitian ini, variabel Tingkat Keinovativan (Y1) dan Laju Adopsi

Inovasi Ponsel (Y2) dipandang sebagai variabel terpengaruh. Mengacu pada

paradigma laju adopsi inovasi (Gambar 1), diduga terdapat sejumlah faktor yang

mempengaruhi laju adopsi ponsel, di antaranya adalah penerimaan individu

terhadap karakteristik inovasi ponsel (yang selanjutnya disingkat menjadi

karakteristik inovasi ponsel), tipe pengambilan keputusan inovasi, saluran

komunikasi, karakteristik sistem sosial, dan promosi oleh agen promosi.

Pada faktor karakteristik inovasi ponsel terdapat lima variabel yang diduga

mempengaruhi kedua variabel terpengaruh dalam penelitian ini (Y1 dan Y2),

yaitu: Tingkat Keuntungan Relatif (X1), Tingkat Kesesuaian (X2), Tingkat

Kerumitan (X3), Tingkat Kemungkinan Dicoba (X4), dan Tingkat Kemungkinan

Diamati (X5). Oleh karena di kalangan masyarakat perdesaan dimungkinkan

adanya keragaman unit adopsi dan unit pengambilan keputusan ponsel, Tipe

Pengambilan Keputusan Inovasi (Tipe PK Inovasi) (X6) juga diduga

mempengaruhi kedua variabel terpengaruh di atas.

Dengan merujuk pada paradigma PK Inovasi dan sejumlah hasil penelitian

terdahulu variabel pada saluran komunikasi yang diduga berpengaruh adalah

Tingkat Keragaman Sumber Informasi (X7). Selanjutnya, sebagaimana diketahui,

komunikasi interpersonal merupakan bagian integral dari komunikasi masyarakat

perdesaan. Di pihak lain, para ahli tersebut di atas menyatakan bahwa salah satu

indikator pembeda sistem sosial tradisional dan modern adalah tinggi rendahnya

integrasi anggota sistem sosial yang tercermin dari keanggotaan mereka dalam

beragam kelompok/organisasi serta status mereka di dalamnya. Berdasar hal itu,

dalam penelitian ini terdapat dua variabel pada sistem sosial yang diduga

mempengaruhi difusi inovasi ponsel, yaitu Tingkat Ketaatan Individu dalam

Aktivitas Komunikasi Interpersonal –disingkat Tingkat Ketaatan Individu- (X8)

dan Tingkat Integrasi Sosial Individu (X9). Selanjutnya, oleh karena fakta di

lapangan ada para agen penjual/jasa ponsel yang juga berperan mempromosikan

15

ponsel guna mempengaruhi warga masyarakat untuk membelinya (mengadopsi

ponsel), maka Frekuensi Kunjungan/Pertemuan dengan Penjual/Jasa Ponsel

(X10) merupakan variabel pada aspek promosi oleh agen ponsel yang juga diduga

mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2).

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tingkat keinovativan diukur oleh

jumlah individu anggota suatu sistem sosial yang mengadopsi inovasi dalam

satuan waktu tertentu. Sehubungan dengan itu, karakteristik individu diduga juga

mempengaruhi difusi inovasi ponsel (Y1 dan Y2). Merujuk pada pendapat kedua

ahli di atas dan hasil beberapa penelitian terdahulu, variabel-variabel pada

karakteristik individu yang diduga mempengaruhi tingkat keinovativan adalah

Tingkat Pendidikan Formal (X11), Pola Perilaku Komunikasi (X12), Status

Sosial-ekonomi (X13), dan Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi (X14).

Adapun mengenai tujuan penelitian untuk mengetahui adanya gejala adopsi

berlebihan (over adoption), hal tersebut akan ditelaah secara kualitatif, karena

adopsi berlebihan tidak termasuk dalam unsur-unsur difusi inovasi.

Berdasar pada kerangka pemikiran tersebut di atas, hubungan antara

variabel pengaruh (independent variables) dan terpengaruh (dependent variables)

dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

16

KARAKTERISTIK INOVASI

PONSEL

X1: Tingkat Keuntungan Relatif

X2: Tingkat Kompabilitas

X3: Tingkat Kerumitan

X4: Tingkat Kemungkinan Dicoba

X5: Tingkat Kemungkinan Diamati

KARAKTERISTIK SISTEM SOSIAL

X8 : Tingkat Ketaatan Individu

X9 : Tingkat integrasi individu

X6: Tipe PK Inovasi

PROMOSI OLEH AGEN

PERUBAH

X10: Frekuensi Pertemuan dengan

Agen Penjual /Jasa Ponsel

KARAKTERISTIK INDIVIDU

X11: Tingkat Pendidikan Formal

X12: Pola Perilaku Komunikasi

X13: Tingkat Status Sosial-ekonomi

X14: Tingkat Kebutuhan Individu

Gambar 2 Hubungan antara variabel pengaruh (independent variables) dengan variabel terpengaruh (dependent variables)

dalam Difusi Inovasi Ponsel

DIFUSI INOVASI PONSEL

Y1: Tingkat Keinovativan Individu

Y2: Laju Adopsi Inovasi Ponsel

SALURAN KOMUNIKASI

X7: Tingkat Keragaman Sumber Informasi

Inovasi Ponsel

Keterangan: Hubungan Pengaruh yang Diuji

17

2.5 Hipotesis Penelitian

Terdapat sejumlah hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Semakin tinggi semua variabel pada tingkat penerimaan individu terhadap

karakteritik inovasi ponsel -kecuali pada tingkat kerumitan-, semakin

tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi ponsel.

2. Tipe pengambilan keputusan inovasi opsional berhubungan positif dengan

tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.

3. Semakin tinggi tingkat keragaman sumber informasi inovasi ponsel

semakin tinggi tingkat keinovativan individu dan laju adopsi inovasi

ponsel.

4. Semakin tinggi tingkat ketaatan individu dalam berkomunikasi secara

interpersonal, maka semakin rendah tingkat keinovativan dan laju adopsi

inovasi ponsel.

5. Semakin tinggi tingkat integrasi individu dalam kelompok/individu,

semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.

6. Semakin tinggi frekuensi pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa

ponsel, semakin tinggi tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi

ponsel.

7. Semakin tinggi semua variabel pada karakteristik individu semakin tinggi

tingkat keinovativan dan laju adopsi inovasi ponsel.

2.6 Definisi Operasional

1. Tingkat Keinovativan (Y1) adalah waktu (tahun) yang dibutuhkan individu

sejak mendengar atau mengenal inovasi ponsel sampai dengan

menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Merujuk kepada

fakta bahwa inovasi ponsel telah dikenal warga masyarakat Desa Kemang,

sejak tahun 1995 atau sekitar 15 tahun yang lalu, ketika salah seorang

warga mempunyai ponsel untuk pertama kalinya, variabel ini dibedakan ke

dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu mengadopsi inovasi ponsel

setelah lebih dari 10 tahun sejak digunakan warga Kemang (setelah tahun

2006) (2) sedang, jika individu mengadopsi inovasi ponsel setelah lebih

18

dari lima tahun sejak digunakan warga (periode tahun 2000-2005), dan (3)

tinggi, jika individu mengadopsi inovasi ponsel pada lima tahun pertama

sejak ponsel digunakan warga kemang (periode 1995-1999).

2. Laju Adopsi Inovasi Ponsel (Y2) adalah jumlah individu yang mengadopsi

inovasi ponsel dalam periode waktu (tahun), sejak masuknya ponsel

sampai dengan digunakannya oleh sebagian besar anggota sistem sosial

(kampung). Dari hasil perhitungan diperoleh laju adopsi sebesar 28 persen

dan 17 persen berturut-turut untuk di Kampung Beber dan Kampung

Cikupa. Berdasar hal tersebut, Laju Adopsi dibedakan ke dalam kategori:

(1) rendah (skor 1), untuk responden yang berasal dari Kampung Cikupa

dan (2) tinggi (skor 2), untuk responden yang berasal dari Kampung

Beber.

3. Tingkat Keuntungan Relatif Inovasi Ponsel (X1) adalah derajat dimana

inovasi ponsel dipandang memberikan keuntungan pada individu, berupa:

mengurangi biaya transportasi untuk berhubungan jarak jauh, efisiensi

waktu dalam berkomunikasi, meningkatkan prestise dalam pergaulan,

memperlancar urusan bisnis/pekerjaan, dan menghemat biaya pencarian

informasi; dibedakan dalam tiga kategori: (1) rendah, jika individu

memperoleh satu sampai dua jenis keuntungan atau tidak sama sekali, (2)

sedang, jika individu memperoleh tiga sampai empat jenis keuntungan,

dan (3) tinggi, jika individu memperoleh seluruh jenis keuntungan.

4. Tingkat Kesesuaian Inovasi Ponsel (X2) adalah derajat dimana aktivitas

komunikasi antar individu menggunakan inovasi ponsel dipandang sesuai

dengan nilai-nilai sosial budaya, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan

terhadap inovasi ponsel, yang meliputi: menjalin hubungan interpersonal

antar individu, menyampaikan pesan secara efektif, dan memenuhi

kebutuhan komunikasi. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke

dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika ada satu jenis kesesuaian atau

tidak ada sama sekali, (2) sedang, jika ada dua jenis kesesuaian, dan (3)

tinggi, jika ada tiga jenis kesesuaian.

5. Tingkat Kerumitan Inovasi Ponsel (X3) adalah derajat dimana sejumlah

fitur pada inovasi ponsel dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan

19

digunakan oleh individu. Fitur pada ponsel di antaranya: telepon, SMS,

MMS, game, MP3, kamera, video, internet. Mengacu pada jenis fitur

tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika

individu menilai sulit menggunakan satu jenis fitur atau tidak sama sekali,

(2) sedang, jika individu menilai sulit menggunakan dua jenis fitur, dan (3)

tinggi, jika individu menilai sulit dalam menggunakan tiga dan/atau lebih

jenis fitur.

6. Tingkat Kemungkinan Dicobanya Inovasi Ponsel (X4) adalah derajat

dimana inovasi ponsel dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh individu

karena tersedianya sarana pendukung: jaringan ponsel, penjual pulsa, dan

aliran listrik; dibedakan ke dalam tiga kategori: (1) rendah, jika hanya satu

sarana pendukung yang tersedia atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika

dua sarana pendukung yang tersedia, dan (3) tinggi, jika seluruh sarana

pendukung tersedia.

7. Tingkat Kemungkinan Diamatinya Inovasi Ponsel (X5) adalah derajat

dimana hasil-hasil penggunaan inovasi ponsel dapat diamati (dirasakan

manfaatnya oleh individu), yang meliputi: memperluas pergaulan, update

akan informasi, dan bergengsi. Berdasar hal ini, variabel ini dibedakan ke

dalam kategori-kategori: (1) rendah, jika hanya memperoleh satu jenis

manfaat atau tidak sama sekali, (2) sedang, jika memperoleh dua jenis

manfaat yang dapat diamati, dan (3) tinggi, jika memperoleh semua

manfaat..

8. Tipe PK Inovasi Ponsel (X6) adalah keterlibatan individu sebagai unit

pengambil keputusan dan/atau unit adopsi dalam PK Inovasi Ponsel,

dibedakan ke dalam (1) opsional, jika individu berperan sebagai unit

pengambil keputusan sekaligus unit adopsi inovasi ponsel, (2) kolektif,

jika individu bersama-sama anggota keluarganya menjadi unit pengambil

keputusan dan unit adopsi inovasi ponsel, dan (3) otoritas, jika unit

pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas

(instruksi dari pihak di luar keluarga atau atasan di tempat individu

bekerja). Berdasar kondisi tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam tiga

kategori: (1) rendah, jika tipe pengambilan keputusan otoritas, (2) sedang,

20

jika tipe pengambilan keputusan kolektif, dan (3) tinggi, jika tipe

pengambilan keputusan opsional.

9. Tingkat Keragaman Sumber Informasi Inovasi Ponsel (X7) adalah total

skor dari jumlah sumber informasi inovasi ponsel bagi individu, yang

meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Dengan

menetapkan bahwa setiap jenis sumber informasi baik dari saluran

interpersonal maupun media massa diberi skor satu; maka variabel ini

dibedakan ke dalam tiga kategori : (1) rendah, jika hanya satu jenis sumber

informasi inovasi ponsel, (2) sedang, jika ada dua jenis sumber informasi

inovasi ponsel, dan (3) tinggi, jika ada tiga jenis atau lebih sumber

informasi inovasi ponsel.

10. Tingkat Ketaatan Individu Pada Aktivitas Komunikasi Interpersonal (X8)

adalah derajat dimana setelah individu mengadopsi ponsel, dia cenderung

mempertahankan aktivitas komunikasi interpersonalnya. Berdasar batasan

tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam kategori-kategori: (1) rendah,

jika individu memutuskan hubungan komunikasi interpersonal, (2) sedang,

jika individu mengurangi hubungan komunikasi interpersonal, dan (3)

tinggi, jika individu tetap berhubungan melalui komunikasi interpersonal.

11. Tingkat Integrasi Individu (X9) adalah total skor dari jumlah kelompok

dan/atau organisasi yang aktivitasnya diikuti oleh individu dan “status”

individu dalam kelompok dan/ atau organisasi tersebut. Keikutsertaan pada

setiap kelompok diberi skor satu; sementara untuk status dalam

kelompok/organisasi pemberian skornya berturut-turut: satu jika berstatus

anggota, dua untuk pengurus namun bukan berstatus ketua dan tiga jika

berstatus ketua. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke dalam

tiga kategori: (1) rendah, jika total skor keikutsertaan dan status individu

dalam kelompok/organisasi kurang dari 3; (2) sedang, jika total skor

keikutsertaan dan status individu dalam kelompok/ organisasi antara 3-6,

dan (3) tinggi, jika total skor keikutsertaan dan status individu dalam

kelompok lebih dari 6.

12. Frekuensi Pertemuan dengan Agen Penjual/ Jasa Ponsel (X10) adalah total

pertemuan dalam sebulan yang dilakukan antara individu dengan agen

21

penjual/ jasa ponsel; dibedakan ke dalam kategori: (1) rendah, jika

pertemuan individu dengan agen penjual/ jasa ponsel sebanyak kurang

dari lima kali; (2) sedang, jika pertemuan individu dengan agen penjual/

jasa ponsel antara 5-10 kali; dan (3) tinggi, jika pertemuan individu

dengan agen penjual/jasa ponsel lebih dari 10 kali.

13. Tingkat Pendidikan Formal (X11) adalah jenjang pendidikan formal

tertinggi yang pernah diikuti individu, dibedakan ke dalam kategori: (a)

rendah, jika tamat dan/atau sedang SD/sederajat, (2) sedang, jika tamat

dan/atau sedang SLTP/sederajat, dan (3) tinggi, jika tamat dan/atau sedang

SLTA/ sederajat.

14. Pola Perilaku Komunikasi (X12) adalah akumulasi interaksi individu

dengan beragam sumber informasi baik melalui komunikasi interpersonal

lokalit, kosmopolit maupun bermedia. Pada komunikasi interpersonal

lokalit diukur dari pola interaksi dengan sumber-sumber informasi yang

berdomisili sama dengan individu dalam jenjang lingkup wilayah: RT,

RW, kampung, dusun, dan desa. Pada komunikasi interpersonal

kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan

individu-individu dari lingkungan pemerintahan dan kontak tani/tokoh

masyarakat di lima tingkatan wilayah administratif: desa, kecamatan,

kabupaten, provinsi, dan nasional. Baik bagi komunikasi interpersonal

maupun kosmopolit, pemberian skornya adalah satu sampai dengan lima

berturut-turut dari jenjang yang terendah ke tertinggi. Untuk komunikasi

bermedia dibedakan menurut jenis medianya: radio, surat kabar, telepon,

televisi, dan internet; dengan pemberian skor satu jika individu

berkomunikasi dengan pihak lain melalui salah satu jenis media atau tidak

sama sekali; skor dua jika individu berkomunikasi dengan memanfaatkan

lebih dari dua jenis media; skor 3, jika individu berkomunikasi dengan

memanfaatkan tiga dan/atau lebih jenis media. Selanjutnya, variabel ini

dibedakan ke dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor kurang dari

11, (2) sedang, jika total skor antara 11-19, dan (3) tinggi, jika total skor

lebih dari 19.

22

15. Tingkat Status Sosial Ekonomi (X14) adalah kumulatif dari faktor-faktor:

status penguasaan lahan, pemilikan media elektronik dan pemilikan

kendaraan bermotor. Merujuk pada Mugniesyah (2007), status penguasaan

lahan dibedakan ke dalam: (1) stratum I adalah golongan rumahtangga

yang tidak berlahan, (2) stratum II adalah golongan rumahtangga yang

menguasai 0,1 - 0,7 ha lahan, (3) stratum III adalah golongan rumahtangga

yang menguasai 0,7 - 1,5 ha lahan, dan (4) stratum IV adalah golongan

rumahtangga yang menguasai lebih dari 1,5 ha lahan. Adapun skor yang

diberikan berturut-turut satu sampai dengan empat untuk Stratum I, II, III,

dan IV. Skor untuk pemilikan media elektronik sebesar satu sampai

dengan empat untuk berturut-turut media radio, ponsel, TV berwarna, dan

jaringan internet. Masing-masing diberi skor 1, 2, 3, 4. Pemilikan

kendaraan bermotor dibedakan antara motor dan mobil. Skor masing-

masing adalah 1 dan 2. Berdasar hal tersebut, variabel ini dibedakan ke

dalam tiga kriteria: (1) rendah, jika total skor yang diperoleh individu

kurang dari 7, (2) sedang, jika total skor yang diperoleh individu antara 7–

10, dan (3) tinggi, jika total skor yang diperoleh individu lebih dari 10.

16. Tingkat Kebutuhan Individu terhadap Inovasi Ponsel (X16) adalah

motivasi atau alasan individu dalam konteks tujuan individu untuk

mengadopsi inovasi ponsel. Dengan merujuk pada pendapat Berlo (1960)

dan Tubs dan Moss (1983) dalam Lubis (2009), tujuan komunikasi

meliputi: memperoleh informasi, mendapatkan hiburan, menjalin

hubungan dan membantu bisnis/pekerjaan. Berdasar hal tersebut, variabel

ini dibedakan ke dalam tiga kategori, (1) rendah, jika bermotivasikan satu

tujuan komunikasi atau tidak sama sekali, 2) sedang, jika bermotivasikan

dua tujuan komunikasi, dan (3) tinggi, bermotivasikan tiga atau lebih

tujuan komunikasi.