bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id · peningkatan kekayaan perorangan dan fasilitas...

27
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Hubungan keagenan didefinisikan sebagai hubungan antara satu orang atau lebih prinsipal dengan agen untuk melakukan tindakan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Teori keagenan (Agency Theory) pertama kali dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976).Teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan manajemen (agen) dan pemegang saham (prinsipal) seringkali bertentangan, sehingga berpotensi konflik di antara kedua pihak. Masalah keagenan dapat timbul jika manajer suatu perusahaan memiliki kurang dari 100 persen saham biasa perusahaan tersebut. Jika suatu perusahaan berbentuk perseorangan dan dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer-pemilik tersebut akan mengambil tindakan yang mungkin memperbaiki kesejahteraannya. Terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan fasilitas eksekutif seperti tunjangan, kantor yang mewah, fasilitas transportasi, dan sebagainya. Akan tetapi, jika manajer- pemilik tersebut mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual sebagian sahamnya kepada pihak lain (pihak luar), maka pertentangan kepentingan bisa segera muncul (Jensen dan Meckling, 1976; Suwaldiman dan Aziz, 2006). Konflik yang terjadi antara agen dan prinsipal dalam perspektif Teori Keagenan dilatarbelakangi oleh adanya asimetri informasi. Agen yang

Upload: phamdung

Post on 31-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Hubungan keagenan didefinisikan sebagai hubungan antara satu orang atau

lebih prinsipal dengan agen untuk melakukan tindakan atas nama prinsipal yang

melibatkan pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen.

Teori keagenan (Agency Theory) pertama kali dikemukakan oleh Jensen dan

Meckling (1976).Teori tersebut menjelaskan bahwa kepentingan manajemen

(agen) dan pemegang saham (prinsipal) seringkali bertentangan, sehingga

berpotensi konflik di antara kedua pihak.

Masalah keagenan dapat timbul jika manajer suatu perusahaan memiliki

kurang dari 100 persen saham biasa perusahaan tersebut. Jika suatu perusahaan

berbentuk perseorangan dan dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat

diasumsikan bahwa manajer-pemilik tersebut akan mengambil tindakan yang

mungkin memperbaiki kesejahteraannya. Terutama diukur dalam bentuk

peningkatan kekayaan perorangan dan fasilitas eksekutif seperti tunjangan, kantor

yang mewah, fasilitas transportasi, dan sebagainya. Akan tetapi, jika manajer-

pemilik tersebut mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan

dan menjual sebagian sahamnya kepada pihak lain (pihak luar), maka

pertentangan kepentingan bisa segera muncul (Jensen dan Meckling, 1976;

Suwaldiman dan Aziz, 2006).

Konflik yang terjadi antara agen dan prinsipal dalam perspektif Teori

Keagenan dilatarbelakangi oleh adanya asimetri informasi. Agen yang

13

mempunyai informasi yang lebih banyak melakukan tindakan oportunistik yang

menguntungkan dirinya sendiri.Prinsipalyang merasa memiliki informasi yang

relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pihak agen menuntut adanya kontribusi

yang tinggi. Konflik utama terjadi ketika prinsipal menerima pembayaran kas

dalam jumlah yang lebih kecil (Miller dan Rock, 1985; Fatmasari, 2011).

Tingkat asimetri informasi akan cenderung relatif tinggi pada perusahaan

dengan tingkat kesempatan investasi yang besar (Sunarto, 2004). Manajemen

mempunyai informasi privat mengenai nilai proyek di masa mendatang dan

tindakan yang mereka lakukan tidak dapat diawasi secara detail oleh pemegang

saham. Oleh karena itu, biaya keagenan antara manajemen dan pemegang saham

akan semakin meningkat pada perusahaan-perusahaan dengan kesempatan

investasi yang tinggi. Pemegang saham akan memotivasi manajer untuk

melakukan kepentingan mereka guna memperoleh insentif yang berdampak pada

pembagian dividen perusahaan.

Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen menimbulkan biaya

keagenan, yaitu berupa biaya pengawasan (monitoring cost) oleh prinsipal, biaya

penjaminan (bonding cost) oleh agen, dan kerugian residual (residual loss).

Adanya konflik tersebut, akan mengakibatkan menurunnya nilai perusahaan.

(Jensen dan Meckling, 1976). Biaya pengawasan adalah pengeluaran prinsipal

untuk mengawasi perilaku agen melalui pengetatan anggaran, kebijakan

kompensasi, serta aturan-aturan operasi. Biaya penjaminan merupakan

pengeluaran agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan melakukan tindakan

yang akan merugikan prinsipal atau untuk memastikan bahwa prinsipal akan

14

memberikan sesuatu kompensasi jika agen melakukan tindakan tertentu. Kerugian

residual merupakan nilai rupiah penurunan kesejahteraan prinsipal, karena adanya

ketidakselarasan keinginan agen dan prinsipal, sehingga agen melakukan tindakan

yang menguntungkannya dan merugikan prinsipal (Zulkarnain, 2009).

2.2 Kebijakan Dividen

Suwaldiman dan Aziz (2006) menyatakan dividen adalah bagian dari laba

bersih yang diberikan kepada pemegang saham (pemilik modal sendiri). Laba

bersih (net earnings) ini sering disebut sebagai laba yang tersedia bagi pemegang

saham biasa (earnings available to common stockholders disingkat EAC). Laba

bersih selain dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen juga ditahan

di dalam perusahaan untuk membiayai operasi selanjutnya dan disebut sebagai

laba ditahan (retained earnings). Menurut Hin (2001), pengertian dividen adalah

pembagian keuntungan kepada para pemegang saham. Besarnya dividen yang

dibagikan perusahaan ditentukan oleh rapat umum pemegang saham pada saat

berlangsungnya Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS).

Stice et al (2011) mengartikan dividen sebagai pembagian laba kepada

pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh

masing-masing pemilik. Dividen dapat berupa uang tunai maupun saham.

Terdapat tiga tanggal penting sehubungan dengan dividen, yaitu pengumuman,

pencatatan, dan pembayaran/ pembagian.Pada umumnya, dividen tunai lebih

menarik dibandingkan dividen saham bagi pemegang saham. Ikatan Akuntan

Indonesia (2012) dalam PSAK No. 23, merumuskan dividen sebagai distribusi

laba kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi mereka dari jenis modal

15

tertentu. Distribusi laba kepada pemegang saham akan mengurangi saldo laba

perusahaan sebesar nilai yang didistribusikan.

Jumlah dividen yang dibayarkan tergantung pada kebijakan dividen

masing-masing perusahaan.Mulyati (2003) menyatakan kebijakan dividen

merupakan penentuan berapa banyak laba yang diperoleh akan dibagikan kepada

pemegang saham sebagai dividen, dan berapa banyak laba yang akan ditahan

untuk reinvestasi.Rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut sebagai

Dividend Payout Ratio (DPR). Kelebihan laba bersih di atas dividen menjadi laba

ditahan, itu berarti keputusan DPR inclusive keputusan mengenai laba ditahan.

Pemegang saham akan merasa senang apabila bagian dari laba bersih yang

dibagikan sebagai dividen semakin besar. Akan tetapi, di pihak lain jika bagian

laba bersih yang dibagikan sebagai dividen semakin besar, berarti laba ditahan

semakin menciut. Padahal pendanaan dengan menggunakan laba ditahan (internal

financing) ini mempunyai cost of capital yang paling kecil dibandingkan dengan

metode pendanaan lainnya.

Menurut Zahro (2009) investor yang tidak menyukai risiko, mensyaratkan

semakin tinggi risiko suatu perusahaan semakin tinggi keuntungan yang

diinginkan. Dividen yang ada di tangan mempunyai nilai yang lebih tinggi

daripada capital gain pada masa mendatang. Dengan demikian, investor yang

menghindari risiko menuntut dividen yang tinggi. Semakin tinggi dividen yang

dibagikan kepada pemegang saham mengakibatkan pendapatan yang diperoleh

perusahaan, semakin banyak yang dialokasikan untuk dividen dibandingkan untuk

laba ditahan. Laba ditahan yang rendah mengakibatkan kesempatan investasi

16

menjadi berkurang. Perusahaan di sisi lain, dituntut untuk terus tumbuh maka

perusahaan harus dapat melaksanakan ekspansi dengan melaksanakan investasi

yang ada.

Keputusan dividen dengan demikian akan mengacu pada suatu kebijakan

dividen (dividen policy) yang optimal, terutama disesuaikan dengan konsep tujuan

memaksimumkan nilai perusahaan. Zahro (2009) menyatakan kebijakan dividen

yang optimal merupakan rasio pembayaran dividen yang ditetapkan dengan

memperhatikan kesempatan untuk menginvestasikan dana serta berbagai

preferensi yang dimiliki para investor mengenai dividen daripada capital gain.

Menurut Sumarto (2007) setiap perusahaan ingin mempertahankan dividen

perusahaan pada tingkatan yang konstan. Akan tetapi, naiknya dividen selalu

terlambat dibandingkan dengan naiknya keuntungan. Artinya, dividen baru akan

dinaikkan, jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan benar-benar mantap

dan nampak cukup stabil.

Menurut Mulyati (2003) kebijakan dividen merupakan suatu kebijakan

yang penting dan harus dipertimbangkan matang-matang oleh manajemen.

Kebijakan dividen akan melibatkan kepentingan pemegang saham dengan

dividennya dan kepentingan perusahaan dengan laba ditahannya. Faktor-faktor

yang perlu dipertimbangkan perusahaan dalam melakukan kebijakan dividen

menurut Weston dan Copeland (1995) adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang yang mengatur bahwa dividen harus dibayarkan dari

laba, baik laba tahun berjalan maupun laba tahun lalu yang ada dalam

pos laba ditahan (retained earnings) dalam neraca. Ada juga ketentuan

17

yang melindungi kreditur yaitu adanya larangan pembayaran dividen

bila perusahaan dalam keadaan pailit dan larangan pengurangan modal

untuk membayar dividen.

b. Posisi likuiditas perusahaan. Posisi kas atau likuiditas dari suatu

perusahaan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebelum

mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya dividen yang

dibayarkan kepada para pemegang saham. Bila perusahaan berada pada

posisi likuiditas yang kurang menguntungkan sebagai akibat dari laba

ditahan yang sudah diinvestasikan pada aktiva tetap dan tidak disimpan

dalam bentuk kas, maka perusahaan mungkin tidak dapat membagi

dividen kas. Perusahaan yang sedang berkembang, sebagian besar

labanya digunakan untuk reinvestasi maka dalam keadaan seperti ini

perusahaan dapat memutuskan untuk tidak membayar dividen.

c. Apabila manajemen memutuskan untuk melunasi hutang-hutangnya

yang sudah jatuh tempo, maka perusahaan perlu menahan laba yang

diperoleh dalam jumlah yang besar, dengan demikian dividen yang

dibayarkan menjadi kecil.

d. Bagi perusahaan yang mengalami perkembangan yang cepat akan

membutuhkan banyak dana untuk membiayai ekspansinya, biasanya

kebutuhan dana ini diperoleh dari sumber intern yaitu laba. Perusahaan

untuk keperluan itu akan menahan labanya daripada dibayarkan dalam

bentuk dividen. Apabila perusahaan mencari laba dari sumber ekstern,

18

maka sumbernya adalah pemegang saham itu sendiri, yang telah

mengetahui keadaan perusahaan.

e. Stabilitas laba suatu perusahaan mempengaruhi besar kecilnya dividen

yang dibayarkan. Bagi perusahaan yang mempunyai laba relatif stabil,

maka perusahaan bisa membagi dividen yang tinggi tanpa khawatir

nantinya harus menurunkan dividen, karena laba tiba-tiba merosot

cukup besar. Akan tetapi, sebaliknya perusahaan yang labanya

berfluktuasi atau relatif tidak stabil cenderung menahan sebagian besar

labanya, karena tidak yakin apakah laba yang diharapkan di tahun-tahun

yang akan datang dapat tercapai. Perusahaan semacam ini akan

membayar dividen yang rendah untuk memungkinkan membelanjai

rencana-rencana investasinya dengan dana intern.

f. Bagi perusahaan besar yang sudah mapan dan mempunyai catatan

profitabilitas yang baik dan laba yang relatif stabil, maka mempunyai

peluang yang lebih besar untuk masuk ke pasar modal dan bentuk-

bentuk pembiayaan eksternal lainnya dibandingkan dengan perusahaan

kecil dan baru membiayai investasinya dengan dana intern.

g. Bila perusahaan menerbitkan saham baru, maka pemilik saham lama

akan mempunyai proporsi kepemilikan yang semakin kecil, akibatnya

kendali terhadap perusahaan oleh pemilik saham lama akan berkurang.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan kendali perusahaan maka

pembayaran terhadap investasi dilakukan dengan dana intern sehingga

dividen yang dibayarkan kecil.

19

h. Posisi pemilik perusahaan sebagai pembayar pajak sangat

mempengaruhi kebijakan dividen yang dilakukan perusahaan. Konflik

kepentingan pada saat tertentu, terjadi antara pemegang saham yang

terkena tarif pajak tinggi dengan pemegang saham yang terkena tarif

pajak rendah. Kelompok pertama ingin pembagian dividen yang rendah

dan menahan sebagian besar laba, sedangkan kelompok kedua

menginginkan pembagian dividen yang tinggi. Oleh karena itu,

kebijakan dividen yang dapat dijalankan perusahaan adalah dengan cara

kompromi dari kedua kelompok tersebut, yaitu ratio pembayaran

menengah.

2.3 Teori Kebijakan Dividen

Faktor yang memengaruhi kebijakan dividen antara lain peluang investasi

yang tersedia bagi perusahaan, sumber-sumber modal yang ada dan preferensi

para pemegang saham untuk pendapatan saat ini jika dibandingkan pendapatan

masa mendatang (Hasnawati dan Septriana, 2008). Berikut dipaparkan beberapa

teori yang relevan mengenai kebijakan dividen yang telah teruji secara empiris,

yaitu:

a. Bird in the Hand Theory oleh Gordon (1962). Teori ini menyatakan

Bird in the Hand Theory dengan mendapatkan dividen (a bird in the

hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (a bird in the bush) karena

pada akhirnya saldo laba tersebut mungkin tidak pernah terwujud

sebagai dividen di masa depan (it can fly away). Menurut teori ini

pembayaran dividend merupakan bentuk dari kepastian yang artinya

20

mengurangi risiko ketidakpastian para investor karena dividend

diterima pada saat ini, sedangkan capital gain diterima di masa

mendatang.

b. Clientele Effect Theory yang diungkapkan Black dan Scholes (1974)

yang mengasumsikan jika perusahaan membayar dividen, investor

seharusnya mendapatkan keuntungan dari dividen tersebut untuk

menghilangkan konsekuensi negatif dari pajak. Teori ini menyatakan

bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan

memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen

perusahaan. Terdapat suatu kelompok yang menyukai dividend yang

artinya kelompok tersebut lebih senang jika perusahaan memberikan

dividend payout ratio yang tinggi. Di pihak lain, terdapat kelompok

pemegang saham yang menyukai capital gains yang artinya kelompok

tersebut lebih senang jika perusahaan menahan sebagian laba bersihnya.

c. Dividend Irrelevancy Theory dikemukakan oleh Miller dan Modigliani

(1961) yang menjelaskan bahwa kebijakan dividend perusahaan tidak

mempunyai pengaruh, baik terhadap nilai perusahaan maupun biaya

modalnya. Teori ini berpendapat bahwa dividen tidak relevan untuk

diperhitungkan karena tidak akan meningkatkan kesejahteraan

pemegang saham. Nilai perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan

dasarnya untuk menghasilkan laba serta risiko bisnisnya. Dengan

asumsi sebagai berikut:

21

a) Tidak ada pajak,

b) Tidak ada biaya emisi saham,

c) Leverage keuangan tidak mempengaruhi biaya modal,

d) Investor dan manajermemiliki informasi yang sama tentang prospek

perusahaan,

e) Biaya modal perusahaan tidak terpengaruh oleh distribusi

pendapatan di antara dividen dan laba ditahan, dan

f) Kebijakan penganggaran perusahaan terlepas dari kebijakan dividen.

d. Tax Differential Theory didasarkan pada pengenaan pajak yang berlaku

bagi setiap investor yang memperoleh capital gain dan dividen. Tax

Differential Theory dikemukakan oleh Litzenberger dan Ramaswamy

(1982), yang menjelaskan bahwa karena adanya pajak terhadap

keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih menyukai

capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak dengan alasan:

a) Capital gains dikenakan tarif pajak yang lebih rendah daripada untuk

pembagian dividen, karenanya investor yang kaya mungkin lebih

menyukai perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba di

dalam perusahaan.

b) Pajak atas capital gains tidak dibayarkan sampai saham terjual,

karena adanya nilai efek waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di

masa mendatang mempunyai biaya efektif yang lebih rendah

daripada satu dolar yang dibayarkan hari ini.

22

c) Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal,

sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang, ahli

waris dapat terhindar dari pajak capital gains.

e. Life Cycle Theory dikemukakan oleh De Angelo, et al (2006),

menyatakan bahwa dividen cenderung mengikuti pola siklus hidup (life

cycle) perusahaan tersebut. Perusahaan yang sedang berada dalam tahap

mature (dewasa) lebih cenderung untuk membayarkan dividen karena

tahap ini perusahaan memiliki kuantitatif laba yang besar. Sementara

perusahaan yang masih dalam tahap growth (pertumbuhan) lebih

cenderung untuk tidak membayarkan dividen karena pada tahap ini

perusahaan memiliki peluang investasi yang tinggi namun memiliki

pendanaan yang terbatas, sehingga laba yang diperoleh ditahan sebagai

retained earnings dan kemudian diinvestasikan kembali karena

pendanaan intenal memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan

dengan pendanaan eksternal. Dalam teori ini, keputusan dividen

dipengaruhi oleh kebutuhan perusahaan untuk mendistribusikan aliran

kasnya.

f. Residual Dividend Policy menyatakan bahwa dividen dibayar dari

modal yang sama setelah selesai mendapat keuntungan investasi

keuangan. Dividen yang dibayarkan merupakan sisa dari laba

perusahaan setelah dikurangkan dengan yang dibayarkan untuk

membiayai perencanaan modal perusahaan (Weston dan Brigham,

2001). Hal tersebut berarti, perusahaan membayarkan dividen hanya

23

jika terdapat kelebihan dana atas laba perusahaan yang digunakan untuk

membiayai proyek yang telah direncanakan. Asumsi kebijakan ini

adalah bahwa investor lebih menyukai perusahaan menahan dan

menginvestasikan kembali laba daripada membagikan sebagai dividen.

Apabila laba yang diinvestasikan kembali tersebut dapat menghasilkan

return yang lebih tinggi daripada return rata-rata yang dapat dihasilkan

investor dari investasi lain dengan risiko sebanding.

g. Teori Kontrak diungkapkan oleh Myers (1977).Dalam Rosdini (2009),

hipotesis kontrak menjelaskan bahwa IOS perusahaan merupakan call

option (hak untuk melakukan pembelian atau investasi di masa

mendatang pada tingkat harga tertentu) yang nilainya tergantung pada

kecenderungan bahwa manajemen akan melaksanakan kesempatan

tersebut. Hubungan antara kebijakan investasi dan dividen dapat

diidentifikasi melalui arus kas perusahaan. Semakin besar jumlah

investasi dalam suatu periode tertentu, akan semakin kecil dividen yang

diberikan (Smith dan Watts, 1992). Smith dan Watts juga menemukan

bahwa perusahaan yang tumbuh cenderung untuk mengikuti kebijakan

pembayaran dividen yang lebih rendah untuk menurunkan masalah-

masalah agensi yang berasosiasi dengan kebebasan aliran kas

perusahaan.

Argumentasi mengenai hipotesis kontrak bahwa new issue market

merupakan salah satu cara menurunkan biaya agensi, karena berarti hak

kontrol pemegang saham akan lebih besar sehingga pengawasan

24

terhadap manajer oleh pemegang saham juga meningkat. Perusahaan

yang mempunyai pilihan pertumbuhan yang rendah akan jarang

melakukan new issue market dan untuk mempertahankan nilai modal

saham yang ada akan membayar dividen yang lebih tinggi (Rozeff,

1982; Easterbrook: 1984).

h. Teori Pecking Order dikemukakan oleh Myers and Majluf (1984)

dalam Rosdini (2009), menyatakan bahwa perusahaan yang profitable

memiliki dorongan untuk membayar dividen yang relatif rendah dalam

rangka memiliki dana internal yang lebih banyak untuk membiayai

proyek-proyek investasinya. Bagi perusahaan bertumbuh, peningkatan

dividen bahkan dapat menjadi berita buruk (bad news) karena diduga

perusahaan telah mengurangi rencana investasinya (Kalay, 1982).

2.4 Konsep IOS

Menurut Myers (1977) IOS merupakan keputusan investasi dalam bentuk

kombinasi aktiva yang dimiliki (assets in place) dan opsi investasi di masa yang

akan datang, dimana IOS tersebut akan mempengaruhi nilai perusahaan. IOS

merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-

pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, yang pada

saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan

return yang lebih besar. Menurut Zahro (2009) pertumbuhan perusahaan dapat

diwujudkan dengan menggunakan kesempatan investasi dengan baik.Adam dan

Goyal (2007) menyatakan bahwa IOS mempunyai peranan yang penting dalam

kebijakan keuangan perusahaan.Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan

25

oleh Zulkarnain (2009) yang menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan

merupakan salah satu faktor penting Set kesempatan. Investasi merupakan faktor

kontekstual yang penting, karena perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang

tinggi berarti masih memerlukan investasi yang tinggi. Korporasi modern akan

tetap eksis dan mendominasi kehidupan ekonomi jika memiliki dua kombinasi

yaitu asset in place (tangible asset) dan investment opportunities (intangible

asset). Perusahaan yang memiliki kesempatan investasi yang tinggi akan

memanfaatkannya untuk mengembangkan perusahaan guna meningkatkan

kesejahteraan bagi pemegang saham. Pihak manajemen cenderung lebih memilih

investasi baru dari pada membayar dividen yang tinggi apabila kondisi perusahaan

dalam keadaan sangat baik. Pemanfaatan kesempatan investasi tersebut

membutuhkan sumber pendanaan yang salah satunya didapat dari laba yang

disisihkan untuk keperluan investasi. Dana yang seharusnya dapat dibayarkan

sebagai dividen tunai kepada pemegang saham akan digunakan untuk pembelian

investasi yang menguntungkan, bahkan untuk menghindari underinvestment.

Perusahaan yang mengalami pertumbuhan lambat sebaliknya, cenderung

membagikan dividen lebih tinggi untuk mengatasi masalah overinvestment

(Suharli, 2007).

IOS secara umum dapat didefinisikan sebagai luasnya peluang investasi

untuk suatu perusahaan yang sangat tergantung pada pilihan pengeluaran

perusahaan demi kepentingan di masa yang akan datang. Menurut Kallapur dan

Trombley (2001) IOS mempunyai sifat yang tidak dapat diobservasi secara

26

langsung (laten) sehingga dalam perhitungannya menggunakan proksi kemudian

dikemukakan empat tipe proksi IOS yaitu:

a. Proksi berbasis pada harga

IOS berbasis harga merupakan proksi yang menyatakan bahwa prospek

pertumbuhan perusahaan, sebagian dinyatakan dalam harga pasar.

Proksi ini didasari suatu ide yang menyatakan bahwa prospek

pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga

saham, dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang

lebih tinggi secara relatif untuk aktiva-aktiva yang dimiliki (asset in

place). IOS yang didasari atas harga akan terbentuk suatu rasio sebagai

suatu ukuran aktiva yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan. Macam

proksi IOS berbasis harga misalnya: Market to Book Value of Equity,

Market to Book Value of Assets, proksi Tobin’Q, Earning to Price

Ratio.

b. Proksi berbasis pada investasi

Ide proksi IOS berdasarkan investasi mengungkapkan bahwa suatu

kegiatan investasi yang besar berkaitan secara positif dengan nilai IOS

suatu perusahaan.Perusahaan yang memiliki IOS yang tinggi

seharusnya juga memiliki suatu tingkatan investasi yang tinggi pula

dalam bentuk aktiva yang ditempatkan atau yang diinvestasikan untuk

waktu yang lama dalam suatu perusahaan.Proksi ini berbentuk suatu

rasio yang membandingkan suatu pengukuran investasi yang telah

diinvestasikan. Macam proksi IOS berbasis investasi misalnya: The

27

Ratio of R & D to Assets, The Ratio of R & D to Sales, Investment

Intensity, Ratio of Capital Expenditure to Book Value of Assets.

c. Proksi berbasis varian

Proksi IOS berbasis varian mengungkapkan bahwa suatu opsiakan

menjadi lebih bernilai jika menggunakan variability return yang

mendasari peningkatan aktiva. Macam proksi IOS berbasis varian

misalnya: Variance Return, Assets Betas, Variance of Assets Deflated

Sales.

d. Proksi gabungan dan proksi individual

Alternatif proksi gabungan IOS dilakukan sebagai upaya untuk

mengurangi measurement error yang ada pada proksi individual,

sehingga akan menghasilkan pengukuran yang lebih baik untuk IOS.

Metode dapat dilakukan untuk menggabungkan beberapa proksi

individual menjadi satu proksi yang akan diuji lebih lanjut adalah

dengan menggunakan analisis faktor.

2.5 Umur Perusahaan

Pada dasarnya perusahaan didirikan untuk jangka waktu yang tidak

terbatas atau jangka waktu yang panjang. Umur perusahaan berkaitan erat dengan

reputasi perusahaan di masyarakat. Perusahaan yang berusia cukup lama secara

umum memiliki reputasi yang baik dalam pandangan para investor. Kristiantari

(2012) mengemukakan bahwa semakin lama perusahaan berdiri maka masyarakat

luas akan lebih mengenalnya dan investor secara khusus akan lebih percaya

terhadap perusahaan yang sudah terkenal dan lama berdiri dibandingkan dengan

28

perusahaan yang relatif masih baru. Perusahaan yang sudah lama berdiri tentunya

mempunyai strategi dan kiat-kiat yang lebih baik untuk tetap bertahan di masa

depan.

Umur perusahaan dapat diartikan sebagai lamanya perusahaan berdiri yang

dapat mencerminkan kemampuan perusahaan untuk terus melangsungkan

usahanya. Perusahaan yang telah lama berdiri membuktikan bahwa perusahaan

tersebut mampu melewati berbagai persoalan yang dihadapi.

2.6 Teori Siklus Hidup Perusahaan

Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan tentang teori siklus hidup

perusahaan yang menyatakan bahwa sebagaimanaorang-orang yang membentuk

organisasi, organisasi sendiri melalui sebuah siklus kehidupan. Organisasi yang

lahir dan membatasi terjadinya penurunan awal, pada akhirnya tumbuh dan

matang. Akan tetapi, jika penurunan tidak tertangani maka organisasi tersebut

akan mati. Senchack dan Lee (1980) yang menyatakan bahwa tahap daur hidup

perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan dividen. Perusahaan pada awal

pertumbuhan yang tinggi cenderung untuk tidak membagikan dividen. Perusahaan

yang memiliki pertumbuhan yang rendah sebaliknya akan cenderung untuk

membagikan dividen yang lebih besar.

Teori daur hidup menyatakan bahwa pengembangan strategi yang paling

pas adalah dengan memperhatikan tahapan daur hidup perusahaan (Murhadi,

2008). Besarnya dividen harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan maupun

kebutuhan para pemegang saham.Perusahaan yang berada pada tahapan growth

cenderung memiliki tingkat pembayaran dividen yang rendah, pertumbuhan

29

penjualan yang tinggi, dan umur yang relatif muda. Sedangkan perusahaan pada

tahap maturememiliki karakteristik pembayaran dividen yang lebih tinggi,

pertumbuhan penjualan yang rendah, capital expenditure yang rendah, dan umur

yang relatif tua (Anthony dan Ramesh, 1992).

Menurut konsep siklus hidup perusahaan, tahap-tahap daur hidup

perusahaan terbagi menjadi 4 tahap utama. Empat tahap utama tersebut terdiri

dari: tahap start-up atau pioneering, growth atau expansion, maturity, dan decline

(Weston dan Brigham, 2001; Pashley dan Philippatos, 1990; Black, 1998).

Menurut Weston dan Brigham (2001) siklus hidup suatu perusahaan atau suatu

industri akan cenderung digambarkan seperti bentuk kurva S (S-Shaped curve)

seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Sumber: Weston dan Brigham (2001)

Gambar 2.1

Siklus Hidup Suatu Perusahaan

Start

Growth

Mature Decline

1 2 3 4

30

Ciri-ciri perusahaan di masing-masing tahap siklus hidup dapat dilihat

pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Ciri-ciri Perusahaan pada Suatu Tahap Siklus Hidup

Tahap Start-up Growth Maturity Decline

Ciri-ciri

Volume

Penjualan

Awalnya rendah Mengalami

peningkatan

Puncak tingkat

penjualan

Permintaan

produk

rendah

Laba/Rugi Rugi akibat

start-up costs

Ada

peningkatan

Laba menurun

akibat kompetisi

harga

Rugi

Dividen Banyak

perusahaan

yang tidak

membagikan

Mulai

Membayar

Membayar

dividen yang

tinggi

Terhenti

Tingkat

Likuiditas

Rendah Meningkat Tinggi Rendah

Lain-lain Sebagian besar

dana pinjaman Rasio

ekuitas

terhadap

utang

meningkat

Diversifika

si lini

produk

Akuisisi

eksternal

merupakan cara

yang baik untuk

menginvestasikan

dana berlebih

-

Sumber : Pashley dan Philippatos (1990)

2.7 Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pada 22 November 2012, pemerintah mengesahkanUndang-undang No. 21

tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas Jasa Keuangan

merupakan suatu lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen dalam

menjalankan tugas, kedudukannya berada di luar pemerintahan serta berkewajiban

menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan

Perwakilan Rakyat. Disahkannya undang-undang tentang OJK menyebabkan

31

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) melebur ke

dalam OJK. Tugas Bapepam LK hanya sebagai pembuat regulasi, sedangkan

tugas pengawasan terhadap lembaga keuangan diambil alih oleh OJK.

Proteksi investor merupakan hal yang sangat penting karena dapat

mendorong perkembangan pasar modal. Bagi investor, disahkannya undang-

undang tentang OJK memberikan jaminan proteksi yang lebih baik Struktur

kepemilikan saham di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya terkonsentrasi

dan konflik utama yang biasa terjadi dalam kondisi kepemilikan seperti ini adalah

konflik antara pemegang saham mayoritas dan minoritas mengenai masalah

pengendalian (Nurwulandari, 2010).

2.8 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil-hasil penelitian yang mengaitkan antara IOS dan kebijakan dividen

di Indonesia secara umum masih memiliki hasil yang relatif berbeda satu sama

lain. Hal tersebut mungkin disebabkan akibat tidak dilakukannya uji normalitas

data dan pemilihan sampel yang hanya mengambil suatu sektor khusus (Sunarto,

2004). Subekti dan Kusuma (2001) menginvestigasi antara IOS dengan kebijakan

pendanaan dan dividen perusahaan, serta implikasinya pada perubahan harga

saham. Peneliti menggunakan lima variabel yang digunakan sebagai indikator

pertumbuhan yaitu book value of plant, property, dan equipment to assets ratio

(PPE/BVA); market to book of equity ratio (MVE/BE); price to earning ratio

(P/E); market to book of assets ratio (MVA/BE); dan capital addition to book of

assets ratio (CAP/BVA). Peneliti menggunakan analisis faktor terhadap 40

perusahaan yang dikategorikan bertumbuh, 40 perusahaan tidak tumbuh dari 97

32

perusahaan go public pada BEJ dikecualikan perusahaan financialdan perbankan.

Pengujian korelasi antara nilai IOS dengan realisasi perusahaan bertumbuh

digunakan Spearman rank correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat korelasi antara MVA/BVA, MVE/BE, dan CAP/BVA dengan realisasi

perusahaan bertumbuh signifikan positif. Hasil lainnya menunjukkan tidak

terdapat korelasi antara PPE/BVA dan P/E ratio dengan realisasi perusahaan

bertumbuh. Perusahaan bertumbuh memiliki keuangan yang rendah, dan dividend

policy rendah dibanding perusahaan tidak bertumbuh.

Fijrijanti dan Hartono (2001) menguji analisis korelasi pokok IOS dengan

realisasi pertumbuhan, kebijakan pendanaan dan dividen dengan tingkat IOS pada

level (t+1 sampai dengan t+5). Tiga proksi IOS yang digunakan dalam penelitian

tersebut adalah rasio empiris tunggal (market to book assets or MVABVA, market

to book equity or MVEBVE, price to earning per price or PER, dancapital

expenditure to book value of asset or CAPBVAdancapital expenditure to market

value of asset or CAPMVA), instrumental variable (VIIOS), danfactor score

(Skor). Sampel yang digunakan untuk menguji hipotesa ini adalah laporan

keuangan yang dipublikasi Bursa Efek Jakarta antara tahun 1990-1998 dengan

total sampel 68 sampel. Analisis yang digunakan dengan pooled data, pada data

cross section adalah Analisis Spearman Rank Correlation. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa rasio individual MVABVA, MVEBVE, PER, CAPBVA, dan

CAPMVA serta indek umum IOS yakni SKOR dan VIOS berkorelasi positif dan

signifikan dengan realisasi pertumbuhan pada periode setelah tahun penetapan

level IOS (tahun dasar) diterima. Signifikasi lag hanya pada rentang waktu satu

33

tahun setelah penetapan level IOS. Penelitian mendukung kontrak kompensasi

bahwa perusahaan bertumbuh memilikileverage dan kebijakan dividen yang lebih

rendah relatif dibandingkan perusahaan tidak bertumbuh, perusahaan bertumbuh

cenderung merupakan perusahaan besar, dan size memiliki korelasi positif dengan

kebijakan investasi melalui hutang.

Mahadwartha dan Hartono (2002) meneliti tentang pengaruh IOS,

kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang terhadap

dividend payout ratio pada perusahaan-perusahaan sektor manufaktur yang

tercatat di Bursa Efek Jakarta pada periode 1990-2000. Teknik analisis yang

digunakan adalah teknik analisis regresi berganda dengan mengabaikan

normalitas data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hutang, IOS,

memiliki pengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Sedangkan kepemilikan

manajerial dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap dividend

payout ratio.

Sunarto (2004) meneliti pengaruh kepemilikan manajerial, investment

opportunity set, return on asset dan debt to equity ratio terhadap dividend payout

ratio pada perusahaan LQ45 di Bursa Efek Jakarta dan menemukan bahwa

investment opportunity set berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend

payout ratio pada signifikansi 5%. Hal ini konsisten dengan temuan penelitian

Mahadwartha dan Hartono (2002) yang berargumen bahwa pengaruh investment

opportunity set terhadap dividend payout ratioyang positif dan signifikan

menunjukkan bahwa free cash flow hypothesis lebih berlaku dan tidak mendukung

signaling hypothesis. Free Cash Flow hypothesis berargumentasi bahwa growth

34

yang semakin tinggi akan menyebabkan perusahaan membayarkan dividen yang

rendah karena sebagian besar retained earnings digunakan untuk investasi. Alasan

lain ditemukannya pengaruh investment opportunity set terhadap dividend payout

ratio yang positif dan signifikan dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar

perusahaan sampel dalam penelitian ini merupakan perusahan yang telah cukup

lama beroperasi dan menjalankan bisnisnya, umur rata-rata perusahaan sampel

dalam penelitian ini adalah 34,7 tahun. Secara umum perusahaan pada umur

tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang mapan dan berada

dalam tahap dewasa (maturity) sehingga kegiatannya lebih terfokus pada upaya

menghasilkan keuntungan dan membagikannya kepada para pemegang sahamnya.

Perusahaan pada tahap maturity juga telah memiliki banyak cadangan laba untuk

diinvestasikan kembali tanpa harus mengurangi proporsi dividen bagi pemegang

saham yang sebagian besar merupakan pemegang saham pengendali (managerial

shareholder).

Darmawan (2011) melakukan pengujian terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi dividen dan arus kas bebas pada perusahaan-perusahaan

manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2008. Hasil

penelitian menemukan bukti bahwa perusahaan-perusahaan yang membayarkan

dividen adalah perusahaan-perusahaan yang mengurangifree cash flow (FCF) arus

kas bebas yang dimiliki. Hasil penelitian ini memperkuat free cash flow

hypothesis. Hasil penelitian juga menemukan bahwa karakteristik perusahaan

yang dapat mempengaruhi dividen dan FCF adalah usia perusahaan, leverage,

struktur kepemilikan saham perusahaan, investasi, dan peluang pertumbuhan.

35

Suharli (2007) menguji pengaruh profitability dan investment opportunity

set terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat

(studi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2002-2003)

dan menemukan bahwa profitabilitas dan kesempatan investasi mempengaruhi

keputusan jumlah pembagian dividen perusahaan go public di BEJ. Bedanya

adalah profitabilitas berpengaruh secara positif sedangkan kesempatan investasi

berpengaruh secara negatif.Penelitian ini juga membuktikan secara empiris bahwa

variabel likuiditas menguatkan pengaruh profitabilitas dan kesempatan investasi

terhadap kebijakan dividen.

Murhadi (2008) melakukan studi mengenai kebijakan dividen dan

dampaknya terhadap harga saham dengan menguji teori signaling dividen pada

kondisi pasar Indonesia. Penelitian ini juga melakukan pengujian teori keagenan

dan teori daur hidup dengan melihat pengaruh tahapan daur hidup perusahaan

terhadap kebijakan dividen.Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif

dengan path analysis. Sampel yang digunakan berupa perusahaan yang

membagikan dividen untuk periode 1995-2005 yang terdaftar di Bursa Efek

Jakarta. Temuan penelitian salah satunya menunjukkan bahwa set kesempatan

investasi memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen, dimana semakin

tinggi kesempatan investasi yang dimiliki perusahaan maka semakin rendah

dividen yang dibayarkan.

Inneke dan Supatmi (2008) melakukan analisis investment opportunity set

dan profitabilitas dalam memoderasi pengaruh kebijakan dividen terhadap Tingkat

leverage perusahaan. Sampel penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa

36

Efek Jakarta dari tahun 2001 sampai 2004 kecuali perbankan, keuangan, dan

asuransi. Teknik analisis yang digunakan adalah Moderated Regression Analysis

dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil penelitian memberikan bukti empiris bahwa

investment opportunity set dan profitabilitas memiliki pengaruh signifikan pada

hubungan antara kebijakan dividen dan leverage.

Herdinata (2009) meneliti perbedaan kebijakan pendanaan antara

perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi dan perusahaan yang perpotensi

tumbuh rendah serta meneliti perbedaan kebijakan dividen antara perusahaan yang

berpotensi tumbuh tinggi dan perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah pada

perusahaan publik non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode

Juli 2004 sampai dengan Juni 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan kebijakan pendanaan antara perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi

dan perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah. Hal ini berarti perusahaan yang

berpotensi tumbuh tinggi mempunyai hutang yang lebih besar daripada

perusahaan yang berpotensi tumbuh rendah, karena pada perusahaan yang

berpotensi tumbuh tinggi diduga mempunyai kesempatan investasi yang tinggi,

sehingga membutuhkan dana yang tinggi dimana tidak cukup jika hanya didanai

dari internal perusahaan. Hasil selanjutnya menunjukkan terdapat perbedaan

kebijakan dividen antara perusahaan yang berpotensi tumbuh tinggi dan

perusahaan yang perpotensi tumbuh rendah, dimana dividend yield perusahaan

yang berpotensi tumbuh tinggi lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang

berpotensi tumbuh rendah. Hal ini menjelaskan bahwa perusahaan yang

37

berpotensi tumbuh tinggi membutuhkan dana untuk membiayai investasinya

sehingga memutuskan untuk membayar dividen yang rendah.

Subramaniam et al. (2011) meneliti hubungan antara IOS dengan

kebijakan dividen dimoderasi oleh struktur kepemilikan pada perusahaan-

perusahaan yang terdaftar di Bursa Malaysia (Kuala Lumpur Stock Exchange)

periode tahun 2004 sampai 2006. Penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat

hubungan yang negatif dan signifikan antara IOS dengan kebijakan dividen yang

diproksi dividend payout dalam konteks perusahaan non pemerintah.Artinya

tingkat pertumbuhan yang tinggi menyebabkan pembayaran dividen yang rendah.

Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan negatif signifikan antara

perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga dengan dividend payout.Implikasi

penemuan ini bagi penentu kebijakan adalah bahwa perusahaan yang dikendalikan

oleh keluarga membayar dividen yang lebih rendah daripada perusahaan yang

tidak dikendalikan oleh keluarga.

Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian sebelumnya tersebut,

peneliti ingin menguji kembali pengaruh IOS pada kebijakan dividen tunai dengan

memasukkan umur perusahaan sebagai variabel pemoderasi. Peneliti ingin

meneliti dugaan bahwa variabel umur perusahaan dapat membedakan besaran

dividend payout ratio dan IOS berdasarkan hasil penelitian Sunarto (2004).

Variabel umur perusahaan diduga dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh

IOS pada kebijakan dividen tunai perusahaan.

38

Ringkasan penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai variabel IOS,

kebijakan dividen, dan yang menginvestigasi keterkaitan antara kedua variabel

tersebut disajikan dalam Lampiran 1.