bab ii tinjauan pustaka a. penyesuaian diri 1 ... berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya....

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku individu untuk mampu mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi. Usaha tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan tuntutan lingkungan. Menurut Agustiani (2009) penyesuaian diri merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk menyelaraskan kebutuhan, harapan, dan tuntutan dirinya terhadap lingkungannya. Menurut Atwater (1983) terdapat tiga elemen yang saling terkait dalam penyesuaian diri, yaitu diri sendiri, orang lain dan perubahan. Secara sederhana, penyesuaian diri mencakup perubahan dalam diri sendiri dan lingkungan yang diperlukan untuk mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Kartono (2000) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha seseorang untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan lingkungannya, sehingga rasa permusuhan, depresi dan emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari respon yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat diatasi. Pada dasarnya manusia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Gerungan (2004), terdapat dua jenis penyesuaian diri, yaitu: a. Penyesuaian diri secara autoplastis

Upload: trannhi

Post on 16-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu

proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku individu untuk

mampu mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi. Usaha tersebut

bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam

diri dan tuntutan lingkungan. Menurut Agustiani (2009) penyesuaian diri

merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk menyelaraskan

kebutuhan, harapan, dan tuntutan dirinya terhadap lingkungannya. Menurut

Atwater (1983) terdapat tiga elemen yang saling terkait dalam penyesuaian diri,

yaitu diri sendiri, orang lain dan perubahan. Secara sederhana, penyesuaian diri

mencakup perubahan dalam diri sendiri dan lingkungan yang diperlukan untuk

mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

Kartono (2000) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha

seseorang untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan lingkungannya, sehingga

rasa permusuhan, depresi dan emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari respon

yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat diatasi. Pada dasarnya manusia

senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Gerungan

(2004), terdapat dua jenis penyesuaian diri, yaitu:

a. Penyesuaian diri secara autoplastis

Kemampuan individu dalam mengubah beberapa aspek dari dirinya agar sesuai

dengan keadaan lingkungan. Penyesuaian diri ini bersifat pasif karena aktivitas

yang dilakukan individu ditentukan oleh lingkungan.

b. Penyesuaian diri secara alloplastis

Kemampuan individu dalam mengubah lingkungannya agar sesuai dengan

keadaan atau keinginan diri sendiri. Penyesuaian ini bersifat aktif karena

aktivitas individu mempengaruhi lingkungannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri

adalah proses yang melibatkan kemampuan individu untuk dapat mengatasi

kebutuhan baik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan

sekitar, mengatasi ketegangan, frustrasi, serta konflik yang dihadapinya untuk

mencapai hubungan yang baik dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Menurut Haber & Runyon (1984), terdapat lima aspek penyesuaian diri,

yaitu:

a. Persepsi terhadap realitas

Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan

menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistis

sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan

tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu

mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu

menerima kegagalan yang dialami.

c. Gambaran diri yang positif

Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya

sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian

pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat

merasakan kenyamanan psikologis.

d. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik

Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu memiliki

ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik.

e. Memiliki hubungan interpersonal yang baik

Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu

sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu

yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan

dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat

Pemaparan lain yang diungkapkan oleh Schneider (1964), bahwa terdapat

tujuh aspek penyesuaian diri yang baik, yaitu :

a. Mengontrol emosi yang berlebihan

Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif

berlebihan. Adanya kontrol dan ketenangan emosi pada individu akan

memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan dapat

menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika menemui

hambatan.

b. Meminimalkan mekanisme pertahanan diri

Penyesuaian normal ditandai dengan tidak ditemukannya mekanisme

psikologis. Individu dengan penyesuaian diri yang normal bersedia mengakui

kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan. Sebaliknya, individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian

jika individu mengalami kegagalan, ia cenderung melakukan mekanisme seperti

rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi.

c. Mengurangi rasa frustrasi

Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan

tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan

berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang

menuntut penyelesaian. Individu harus mampu menghadapi masalah secara

wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.

d. Berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri

Penyesuaian normal ditandai dengan adanya kemampuan individu dalam

menghadapi masalah, konflik, dan frustrasi dengan menggunakan kemampuan

berpikir secara rasional dan mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai.

e. Kemampuan untuk belajar

Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu diperoleh dari proses belajar

yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga dari proses belajar tersebut

individu memperoleh berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi.

f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu

Kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan

hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi

masalah, individu dapat membandingkan pengalaman diri sendiri dengan

pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat

digunakan sebagai acuan yang baik dalam mengatasi permasalahan yang

dihadapi.

g. Sikap realistis dan objektif

Penyesuaian yang normal berkaitan dengan sikap yang realistis dan objektif.

Sikap realistis dan objektif berkenaan dengan orientasi individu terhadap

kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan

melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan objektif berdasarkan pada proses

belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional, dan dapat menghargai

situasi dan masalah.

Selanjutnya, Atwater (1983) menjabarkan dua aspek penyesuaian diri, yaitu

penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Kedua aspek tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Penyesuaian pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima diri sendiri

sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara diri dan lingkungan sekitar.

Individu sepenuhnya sadar akan diri, menyadari kekurangan dan kelebihan,

serta mampu berperilaku sesuai dengan kondisi diri.

b. Penyesuaian sosial

Penyesuaian sosial yaitu penyesuaian yang terjadi dalam lingkup hubungan

sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan individu lain. Hubungan

sosial mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggal,

keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas. Agar individu dapat melakukan

penyesuaian sosial, individu harus mematuhi norma-norma dan peraturan sosial

di masyarakat.

Berdasarkan penjelasan diatas, aspek penyesuaian diri yang digunakan

dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian diri dari Schneider (1964)

yang terdiri dari mengontrol emosi yang berlebihan, meminimalkan mekanisme

pertahanan diri, mengurangi rasa frustrasi, berpikir rasional dan mampu

mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa

lalu, dan sikap realistis dan objektif.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian

diri adalah:

a. Keadaan Fisik

Kondisi fisik individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan

syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Apabila terdapat kondisi

cacat fisik dan penyakit kronis akan menghambat individu dalam menyesuaikan

diri.

b. Perkembangan dan kematangan

Perbedaan bentuk penyesuaian diri antar individu dipengaruhi oleh perbedaan

tahap perkembangan yang dilalui oleh masing-masing individu. Sejalan dengan

perkembangannya, individu akan semakin matang dalam merespon lingkungan.

Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi akan

mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

c. Keadaan Psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri

yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustasi, kecemasan dan

cacat mental akan menghambat individu dalam melakukan penyesuaian diri.

Selain itu, keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk

memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan

lingkungannya. Hal yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya

adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan

pengertian, serta mampu memberikan perlindungan bagi anggota-anggotanya

merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri.

Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak

damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan

dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud

meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat

digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lainnya.

Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti,

tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan

perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat

merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu

untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang

sulit menyesuaikan diri.

4. Ciri-ciri Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus

sepanjang hidup individu. Schneider (1964) memberikan ciri-ciri individu dengan

penyesuaian diri yang baik, yaitu:

a. Mengetahui kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri

b. Objektif dalam menerima keadaan diri

c. Mengontrol perkembangan yang terjadi dalam diri

d. Memiliki tujuan yang jelas dalam bertindak

e. Memiliki rasa humor yang tinggi

f. Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi

g. Mudah beradaptasi dengan kondisi yang baru

h. Mampu bekerjasama dengan individu lain

i. Memiliki rasa optimisme yang tinggi untuk selalu beraktivitas

Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis penyesuaian

diri menurut Lazarus (1969), yaitu :

a. Penyesuaian diri yang buruk (poor adjustment) dimana seseorang menerima

kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk

mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

c. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima

keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun individu tetap

berusaha memodifikasi keterbatasan-keterbatasan tersebut seoptimal mungkin.

B. Efikasi Diri

1. Pengertian Efikasi Diri

Dasar teori efikasi diri dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh Bandura

(1997). Menurut Bandura, efikasi diri adalah keyakinan akan kemampuan diri

seseorang dalam mengorganisasikan dan melakukan serangkaian tindakan yang

sesuai untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Keyakinan tersebut merupakan

rasa percaya terhadap kemampuan diri sehingga mampu mendorong seseorang

untuk meraih segala sesuatu yang diinginkannya. Efikasi diri menentukan

bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri dan juga berperilaku. Oleh

karena itu, efikasi diri merupakan dasar utama dari suatu tindakan. Individu yang

merasa dapat menimbulkan dampak positif dari tindakan yang akan dilakukannya

akan terdorong untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Sebaliknya, individu

yang merasa dapat menimbulkan dampak negatif dari tindakan yang akan

dilakukannya, maka individu tersebut tidak akan melakukan sebuah tindakan.

Sejauhmana individu akan mengubah efikasi diri terhadap performa diri tergantung

pada beberapa faktor seperti kemampuan menilai diri sendiri, tingkat kesulitan

tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan, jumlah bantuan eksternal yang diterima,

kondisi situasional dan pola temporal terjadinya kegagalan dan keberhasilan.

Menurut Zimmerman (2000), efikasi diri merupakan penilaian pribadi

tentang kemampuan diri untuk mengatur dan melaksanakan program kerja dalam

mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Stretcher, DeVellis, Becker, & Rosenstock (1986) mengatakan bahwa

efikasi diri juga mempengaruhi pilihan seseorang dalam pengaturan perilakunya,

banyaknya usaha yang dikeluarkan untuk menyelesaikan tugas dan lamanya waktu

mereka bertahan dalam menghadapi hambatan. Efikasi diri akan mempengaruhi

reaksi emosional seseorang. Individu dengan efikasi diri rendah akan berpikir

tentang kekurangan pribadi mereka daripada berpikir tentang menyelesaikan tugas,

pada gilirannya akan menghambat kinerja keberhasilan menyelesaikan tugas.

Feltz & Lirgg (2001) mengatakan bahwa efikasi diri tidak untuk melakukan

penilaian tentang kemampuan seseorang secara objektif, melainkan suatu penilaian

tentang apa yang dapat dicapai seseorang dengan keterampilan yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa efikasi diri adalah

keyakinan akan kemampuan diri seseorang dalam mengorganisasikan dan

melakukan serangkaian tindakan dengan menggunakan keterampilan yang dimiliki

untuk mencapai hasil yang diharapkan.

2. Aspek-aspek Efikasi Diri

a. Level

Level efikasi diri berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas. Tingkat kesulitan

tugas berada dalam rentang sederhana, sedang dan sangat sulit. Rentang

kemampuan yang dirasakan oleh seseorang diukur terhadap tingkat kesulitan

tugas yang mewakili berbagai tingkat tantangan atau hambatan untuk mencapai

kinerja yang sukses. Hal ini mengacu pada keyakinan individu dalam

menyelesaikan tugas.

b. Generality

Aspek-aspek ini berhubungan luas dengan bidang tugas atau tingkah laku.

Pengalaman atas tugas atau tingkah laku ini berangsur-angsur menimbulkan

penguasaan terhadap bidang tugas atau tingkah laku yang serupa. Seseorang

akan menilai diri efektif di berbagai kegiatan atau hanya dalam kegiatan

tertentu. Generality dapat dibedakan menjadi beberapa aspek-aspek, antara lain:

tingkat kesamaan aktivitas, ekspresi kemampuan (perilaku, kognitif dan

perasaan), gambaran kualitatif suatu situasi dan karakteristik orang yang

menjadi sasaran perilaku. Penilaian terhadap bidang aktivitas yang dikaitkan

dengan konteks situasional akan menunjukkan pola dan tingkat generalisasi dari

keyakinan seseorang terhadap efikasi dirinya.

c. Strength

Hal ini berkaitan dengan kekuatan penilaian terhadap keyakinan individu

bahwa individu akan berhasil dalam menghadapi tantangan. Orang yang

memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimiliki akan lebih

gigih berusaha dan tidak mudah menyerah, meskipun menghadapi berbagai

kesulitan dan rintangan. Semakin kuat efikasi diri seseorang maka semakin

tinggi kegigihan dalam berusaha dan tidak mudah menyerah sehingga tingkat

kesuksesan menyelesaikan tugas semakin tinggi.

Berdasarkan penjelasan diatas, aspek penyesuaian diri yang digunakan

dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian diri dari Bandura (1997) yang

terdiri dari Level, Generality, dan Strenght.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri

Bandura (1997) telah mengidentifikasi empat sumber utama efikasi diri,

yaitu:

a. Mastery experience

Menurut Bandura, mastery experience merupakan sumber efikasi diri paling

penting. Keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah akan meningkatkan

efikasi diri. Seseorang yang berhasil menyelesaikan suatu tugas tertentu akan

cenderung memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas-tugas serupa di masa

mendatang. Untuk membentuk efikasi diri, seseorang harus pernah menghadapi

tantangan dalam hidupnya. Tantangan ini akan mengajarkan seseorang dalam

mengembangkan kegigihan dan usaha dalam menyelesaikan tantangan ini,

sehingga dengan kegigihan dan usaha tersebut dapat menuntun seseorang untuk

berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Hasil penelitian Schunk (1983)

menyatakan bahwa anak-anak yang percaya bahwa pengalaman kesuksesan

masa lalu mampu mengharapkan kesuksesan dan performa yang lebih tinggi di

masa depan. Apabila keberhasilan seseorang lebih banyak disebabkan oleh

faktor-faktor diluar dirinya, maka hal tersebut tidak akan membawa pengaruh

terhadap peningkatan efikasi diri. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut

disebabkan oleh faktor dari dalam dirinya atau merupakan hasil perjuangannya

sendiri, maka hal tersebut akan membawa pengaruh terhadap peningkatan

efikasi diri.

b. Vicarious experience

Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan seorang

individu dalam mengerjakan suatu tugas akan menimbulkan keyakinan individu

bahwa individu juga memiliki kemampuan untuk berhasil mengerjakan suatu

tugas yang serupa. Efikasi diri tersebut didapat melalui social models yang

biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang

kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan

modeling. Orang lain berperan sebagai model, dimana model adalah figur yang

berperan sebagai perantara dalam mempengaruhi perkembangan efikasi diri

seseorang, sedangkan individu berperan sebagai pengamat. Untuk

mempengaruhi efikasi diri, individu harus melihat model sebagai orang yang

memiliki kemiripan karakteristik personal dengan dirinya. Apabila individu

melihat model sebagai orang yang berbeda dengan dirinya, maka efikasi diri

individu tersebut tidak akan dipengaruhi oleh perilaku model tersebut (Bandura,

1994).

c. Verbal persuasion

Persuasi verbal adalah informasi yang secara sengaja diberikan kepada individu

yang ingin diubah efikasi dirinya dengan cara memberikan dorongan atau

keyakinan bahwa individu mempunyai kemampuan menyelesaikan

permasalahan. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha

lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Pemberian informasi secara

verbal dipengaruhi oleh sumber pemberi informasi. Semakin percaya seseorang

terhadap kemampuan dari sumber pemberi informasi, maka semakin kuat

pengaruh perkembangan efikasi diri seseorang.

d. Physiological and affective state

Dalam menilai kemampuan diri, individu mengandalkan sebagian informasi

somatis yang disampaikan oleh keadaan fisiologis dan suasana hati. Dalam

aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina, seseorang akan menilai

kelelahan, rasa sakit dan nyeri yang dirasakan sebagai petunjuk tentang efikasi

dirinya. Begitu juga dengan keadaan suasana hati akan mempengaruhi penilaian

seseorang terhadap efikasi diri. Dalam kaitannya dengan keadaan fisiologis dan

suasana hati, ada empat cara mengubah efikasi diri, yaitu: meningkatkan

kondisi kesehatan tubuh, menurunkan tingkat stres, merubah emosi negatif, dan

mengkoreksi kesalahan interpretasi dari kondisi tubuh (Bandura, 1997).

Menurut Bandura, seseorang yang mengharapkan untuk gagal pada beberapa

tugas atau menemukan sesuatu yang terlalu menuntut, kemungkinan akan

mengalami gejala-gejala fisiologis tertentu, seperti hati berdebar-debar, merasa

kulit memerah, telapak tangan berkeringat, sakit kepala, dan sebagainya.

Keadaan ini akan mempengaruhi evaluasi diri. Seseorang akan membuat

evaluasi diri yang positif saat suasana hati positif dan evaluasi diri yang negatif

saat suasana hati negatif. Ketika seseorang mengalami keberhasilan saat

suasana hati positif, maka efikasi diri akan meningkat, sedangkan ketika

seseorang mengalami kegagalan saat suasana hati negatif akan menurunkan

efikasi diri. Orang yang mengalami kegagalan saat suasana hati positif akan

cenderung overestimate terhadap kemampuannya, sedangkan orang yang

mengalami kesuksesan saat suasana hati negatif akan underestimate terhadap

kemampuannya.

4. Proses-proses Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) suatu keyakinan akan mempengaruhi bagaimana

seseorang berpikir, merasakan, memotivasi diri dan bertindak. Efikasi diri

mengatur fungsi manusia melalui empat proses utama, yaitu :

a. Proses kognitif

Sebagian besar tindakan manusia didasari dengan adanya tujuan. Efikasi diri

mempengaruhi pola pikir seseorang sehingga dapat mempengaruhi tindakan.

Proses kognitif dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1) Konstruksi kognitif

Pada dasarnya, sebagian besar tindakan yang dilakukan oleh manusia diawali

dari pikiran. Konstruksi kognitif yang terbentuk selanjutnya akan berperan

sebagai pemandu tindakan manusia. Penilaian seseorang terhadap efikasi

dirinya mempengaruhi bagaimana seseorang menafsirkan dan menguraikan

suatu keadaan, kemungkinan-kemungkinan antisipasi yang dapat dilakukan,

dan bayangan masa depan yang ingin dicapai. Orang yang memiliki efikasi diri

yang tinggi akan memandang situasi atau keadaan sebagai sebuah kesempatan

dan akan membayangkan panduan kegiatan dalam mencapai kesuksesan.

Efikasi diri yang tinggi membantu perkembangan konstruksi kognitif sebagai

sumber efektif dari tindakan.

2) Berpikir inferential

Fungsi lain dari pola berpikir yang terbentuk adalah menyediakan kemampuan

seseorang dalam meramalkan segala kemungkinan yang akan terjadi dan

menggagas berbagai macam cara yang dapat diterapkan untuk dapat

mengontrol hal-hal yang mempengaruhi hasil akhir.

b. Proses motivasi

Kemampuan memotivasi diri dan melakukan tindakan yang bertujuan

bersumber dari aktivitas kognitif. Seseorang memotivasi dan mengarahkan

dirinya dengan menerapkan pemikiran dan rencana yang teliti untuk mencapai

hasil yang diharapkan. Seseorang membentuk keyakinan mengenai apa yang

dapat dilakukan, kemudian mengantisipasi kemungkinan hasil positif dan

negatif, dan seseorang menentukan tujuan dan arah tindakannya untuk

merealisasikan apa yang ingin dicapainya. Keyakinan efikasi memainkan peran

penting dalam peran regulasi kognitif dan memotivasi.

c. Proses afeksi

Mekanisme efikasi diri memainkan peran penting dalam pengaturan keadaan

emosi. Tiga cara efikasi diri mempengaruhi sifat dan intensitas dari pengalaman

emosional, yaitu dengan kontrol personal melalui pikiran, tindakan, dan

perasaan. Penilaian kognitif terhadap situasi akan mempengaruhi emosi

seseorang. Stimulasi fisiologis akan dimaknai sebagai rasa marah dalam

konteks permusuhan dan euphoria dalam konteks kesenangan.

d. Proses seleksi

Manusia merupakan bagian dari produk lingkungan, dengan menseleksi

lingkungannya, manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan sendiri

arah kehidupannya. Pilihan yang dibuat dipengaruhi oleh efikasi diri. Dengan

demikian, efikasi diri dapat memainkan peran penting dalam menentukan jalan

hidup seseorang. Manusia akan menghindari aktivitas dan lingkungan yang

dirasakan melebihi batas kemampuan dirinya. Seseorang akan memilih aktivitas

dan lingkungan sosial yang dirasakan mampu ditangani. Semakin tinggi efikasi

diri seseorang, maka semakin menantang aktivitas yang dipilihnya.

C. Dukungan Sosial Teman Sebaya

1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu bentuk ikatan secara sosial yang

menggambarkan kualitas dari hubungan interpersonal. Dukungan sosial adalah

perasaan sosial yang dibutuhkan terus menerus dalam interaksi dengan orang lain

(Smet, 1994). Menurut Sarafino & Smith (2010), dukungan sosial dapat diartikan

sebagai kenyamanan, perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang

lain, dimana orang lain disini bisa berarti individu secara perseorangan ataupun

kelompok. Dukungan sosial tersebut dapat membuat individu merasa dicintai dan

diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan

sosial. Menurut Cohen, Underwood, & Gottlieb (2000) dukungan sosial adalah

persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang

dimana hal ini sangat membantu untuk mengatasi stres atau kecemasan.

Baron & Byrne (1997) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah rasa

nyaman secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga

kepada orang yang menghadapi stres. Selain itu, dukungan sosial menurut Taylor,

Peplau, & Sears (2000) adalah pertukaran antar individu dimana satu orang

memberikan bantuan kepada orang lain. Menurut Sarason, Levine, Basham, &

Sarason (1983) dukungan sosial selalu mencakup dua hal penting yaitu persepsi

bahwa ada sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu saat dirinya

membutuhkan bantuan dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima yang

berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. Menurut Cohen

& Wills (1985), yang penting bagi individu adalah persepsi akan keberadaan

(availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan. Menurut Thoits (dalam Rutter,

1993) dukungan sosial merupakan derajat dimana kebutuhan dasar individu akan

afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan diperoleh melalui interaksi dengan

orang lain.

Berdasarkan paparan pendapat dari beberapa tokoh di atas, dapat

disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang

memberikan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diperoleh melalui

interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai,

diperhatikan, dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial

Menurut Sarafino & Smith (2010) terdapat empat aspek dukungan sosial,

yaitu:

a. Emotional or esteem support

Dinyatakan dalam bentuk bantuan berupa dorongan untuk memberikan empati,

kasih sayang, perhatian, dan penghargaan positif. Dukungan ini akan

menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, serta

merasa dimiliki dan dicintai.

b. Tangible or Instrumental support

Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung seperti memberikan

pinjaman uang atau menolong dengan melakukan sesuatu pekerjaan guna

menyelesaikan tugas-tugas individu.

c. Informational support

Memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa

yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan.

d. Companionship support

Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang

menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan

aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial merupakan suatu interaksi sosial yang

positif dengan orang lain yang memungkinkan individu dapat menghabiskan

waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan.

Menurut Cameron, Vanderwoerd, & Peirson (1997) terdapat empat aspek

dukungan sosial, yaitu:

a. Concrete support

Dukungan yang berupa pemberian uang, barang, pakaian, akomodasi, dan

transportasi yang dapat membantu pelaksanaan tugas-tugas.

b. Educational support

Dukungan yang berupa pemberian informasi, pengetahuan dan keterampilan

sehingga individu mempunyai kemampuan dalam menghadapi masalah secara

efektif.

c. Emotional support

Dukungan yang berupa hubungan interpersonal yang mampu memberikan

individu rasa penerimaan, kehangatan dan pengertian.

d. Social integration

Dukungan dalam bentuk pemberian akses atau kontak positif dengan jaringan

sosial yang bermanfaat bagi orang lain.

Menurut Gottlieb (1983) dukungan sosial terbagai atas lima bentuk, yaitu:

a. Dukungan emosional (Emotional support)

b. Dukungan penghargaan (Esteem support)

c. Dukungan keterpaduan sosial (Social integration support)

d. Dukungan instrumental (Instrumental support)

e. Dukungan informasi (Informational support)

Berdasarkan paparan dukungan sosial yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli, bentuk dukungan sosial teman sebaya yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu bentuk dukungan sosial dari Sarafino & Smith (2010) yang

membagi dukungan sosial kedalam empat bentuk, yaitu emotional or esteem

support, tangible or instrumental support, informational support, dan

companionship support.

3. Faktor-faktor yang Membentuk Dukungan Sosial

Myers (dalam Hobfoll, 1986) mengemukakan sedikitnya ada tiga faktor

penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif,

diantaranya:

a. Empati

Merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan

memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan

kesejahteraan orang lain.

b. Norma dan nilai sosial

Norma dan nilai sosial berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan

kewajiban dalam kehidupan.

c. Pertukaran sosial

Hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, dan informasi.

Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal

yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik akan

membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.

4. Pengertian Teman Sebaya

Teman sebaya merupakan sumber dukungan emosional penting sepanjang

transisi masa remaja. Intensitas dan waktu yang dihabiskan bersama teman lebih

besar pada masa remaja dibandingkan waktu lain dalam rentang kehidupan

(Papalia, Old, & Feldman, 2008). Menurut Atwater (1983) hubungan dengan teman

sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti yang terlihat

dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial. Kelompok teman sebaya

tersebut dapat menyediakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan

moral, tempat bereksperimen, dan tempat untuk mendapatkan otonomi dan

interdependensi dari orangtua. Teman sebaya atau yang lebih dikenal dengan istilah

peer adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan

yang kurang lebih sama (Santrock, 2007). Sebagai lingkungan primer, hubungan

antar manusia yang paling intensif dan terjadi pada awal masa kehidupan adalah

hubungan dalam keluarga. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan remaja,

peran orangtua atau keluarga dalam komunikasi dengan remaja terbatas dalam hal-

hal tertentu seperti pendidikan, kesehatan dan keuangan sementara untuk masalah

pergaulan, remaja cenderung untuk lebih banyak bertanya kepada teman-temannya.

Soesilo (1985) menjelaskan bahwa dengan teman-teman sebaya, remaja memiliki

kesempatan banyak untuk secara intim berbicara dengan bahasa dan persoalan yang

tidak boleh diketahui oleh guru dan orangtua.

Santrock (2007) menjelaskan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang

cukup kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya baik dalam konteks

individu maupun kelompok. Ketika individu merasa diterima oleh teman sebaya

maka akan timbul perasaan senang atau sebaliknya ketika mereka individu tidak

diterima, diremehkan, atau dikeluarkan dari kelompok teman sebaya maka individu

merasa tertekan dan sangat cemas.

Menurut Zastrow & Ashman (2007), teman sebaya dapat membantu remaja

dalam melakukan transisi dari remaja yang bergantung dengan orangtua menjadi

remaja yang mandiri. Selain itu, remaja dengan teman sebaya saling memberikan

dukungan emosional dan memberikan informasi penting yang digunakan sebagai

referensi dalam membandingkan keyakinan, nilai, sikap, dan kemampuan individu

dengan remaja lainnya.

Menurut Rogacion (1996), remaja umumnya lebih senang membicarakan

masalah-masalah atau membicarakan sesuatu bersama teman-teman sebaya, bukan

bersama seseorang yang menempatkan diri pada posisi untuk menasihati atau

mengatur kehidupan individu. Banyak remaja yang berpendapat bahwa

orangtuanya cenderung menganggap bahwa masalah yang dihadapi oleh remaja

adalah masalah kecil atau kurang penting, hal itu mengakibatkan orangtua menjadi

tidak serius menanggapi pembicaraan dari para remaja itu. Akhirnya dalam

menyelesaikan masalahnya tersebut remaja lebih memilih teman sebaya untuk

saling membantu dan memberikan dukungan (Mappiare, 1982).

Berdasarkan paparan diatas, dukungan sosial teman sebaya dapat diartikan

sebagai dukungan yang diberikan kepada individu oleh kelompok sebayanya

berupa kenyamanan secara fisik dan psikologis sehingga individu tersebut merasa

dicintai, diperhatikan, dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial.

D. Peran Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap

Penyesuaian Diri Mahasiswa Tahun Pertama

Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu variabel penyesuaian diri,

variabel efikasi diri, dan variabel dukungan sosial teman sebaya. Ketiga variabel

tersebut diasumsikan memiliki keterkaitan, sehingga dari hal tersebut, akan dapat

diasumsikan adanya peran efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya terhadap

penyesuaian diri. Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

Masa transisi sekolah merupakan salah satu perubahan hidup yang dialami

oleh mahasiswa. Transisi siswa dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menuju

Perguruan Tinggi menghadapkan mahasiswa, khususnya mahasiswa tahun pertama

pada berbagai perubahan dan tuntutan dalam lingkungan perkuliahan. Perubahan

yang dialami seperti dalam hal kurikulum, disiplin, hubungan antara dosen dengan

mahasiswa, penyesuaian dalam hubungan sosial, masalah ekonomi serta pemilihan

bidang studi dan jurusan (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Tuntutan yang dihadapi oleh

mahasiswa dapat bersumber dari tuntutan eksternal seperti tugas-tugas kuliah,

beban pelajaran, tuntutan orang tua untuk berhasil di kuliahnya, dan penyesuaian

sosial lingkungan kampusnya. Tuntutan ini juga termasuk kompetensi perkuliahan

dan meningkatnya kompleksitas materi perkuliahan yang semakin lama semakin

sulit. Tuntutan secara internal dapat bersumber dari kemampuan mahasiswa dalam

mengikuti pelajaran (Heiman & Kariv, 2005). Perubahan dan tuntutan tersebut

seringkali menyebabkan goncangan psikologis pada mahasiswa. Oleh karena itu,

mahasiswa terutama mahasiswa tahun pertama diharapkan mempunyai kemampuan

penyesuaian diri yang baik. Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang

melibatkan kemampuan individu untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan

antara tuntutan diri dengan tuntutan lingkungan (Schneider, 1964). Menurut

Muharomi (2012) kemampuan menyesuaikan diri merupakan hal yang harus

dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini berguna untuk memberikan kemudahan bagi

mahasiswa dalam menjalani kehidupan yang baru, terutama di lingkungan kampus.

Kemampuan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan terutama

mahasiswa tahun pertama, yang masih dalam proses mengenali lingkungan dan

sistem belajar yang ada, cenderung terkait dengan keyakinan dan kesanggupan diri

mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang berorientasi pada hasil yang

diharapkan. Proses ini disebut dengan efikasi diri. Menurut Bandura (1997), efikasi

diri adalah keyakinan diri seseorang dalam mengorganisasikan dan melakukan

serangkaian tindakan yang sesuai untuk mencapai hasil yang diharapkan. Ketika

mahasiswa merasa mampu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan,

dan tingkah laku dalam menghadapi masalah maka hal tersebut akan membantunya

untuk lebih cermat dalam menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah.

Efikasi diri juga akan membantu individu untuk dapat bersikap lebih tenang dalam

menghadapi masalah sehingga mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai

dengan tujuan. Selain itu efikasi diri dapat membantu mahasiswa mengatasi

dampak dari perubahan dan tuntutan yang dihadapi selama tahun pertama

perkuliahan sehingga mahasiswa akan lebih mampu beradaptasi dengan kondisi

yang baru.

Tentunya hal ini tidak selamanya berjalan dengan lancar, sering terjadi

mahasiswa gagal melakukan penyesuaian diri karena keyakinan dan kemampuan

mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang sesuai untuk mengatasi masalah

masih rendah. Oleh karena itu, dukungan sosial dapat membantu individu dalam

melakukan proses penyesuaian diri. Teman sebaya merupakan salah satu sumber

dukungan sosial yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan penyesuaian

diri. Dukungan sosial teman sebaya adalah dukungan yang diberikan kepada

individu oleh kelompok sebayanya berupa kenyamanan secara fisik dan psikologis

sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dan dihargai sebagai

bagian dari kelompok sosial.

Pada saat mahasiswa tahun pertama mengalami goncangan psikologis

akibat rendahnya kemampuan dalam menghadapi perubahan dan tuntutan dalam

perkuliahan, teman sebaya dapat memberikan dukungan dengan memberikan

kenyamanan fisik seperti menemaninya disaat sedih, membantunya mengerjakan

tugas yang sulit, dan memberikan pertolongan dengan melakukan suatu pekerjaan.

Selain kenyamanan fisik, teman sebaya dapat memberikan kenyamanan psikologis

dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok

sosial. Dukungan tersebut dapat berupa empati, kasih sayang, perhatian,

penghargaan positif, dan nasihat. Kondisi seperti itu akan memberikan individu

rasa penerimaan, kehangatan dan pengertian sehingga dapat membantu individu

untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah secara efektif. Selain

itu, dukungan sosial dari teman sebaya akan membantu mahasiswa menghadapi

perubahan dan tuntutan selama tahun pertama perkuliahan serta mempermudah

mahasiswa dalam melakukan penyesuaian diri. Menurut Schneider (1964) salah

satu ciri-ciri penyesuaian diri yang baik adalah mampu bekerjasama dengan

individu lain. Apabila mahasiswa mampu saling bekerjasama dengan teman sebaya

dalam proses mengatasi berbagai hambatan yang ditemui dalam perkuliahan, maka

mahasiswa tersebut sudah melakukan penyesuaian diri yang baik.

Dengan demikian maka kesimpulan yang diperoleh peneliti adalah efikasi

diri dan dukungan sosial teman sebaya memiliki peran terhadap penyesuaian diri

seperti terlihat pada gambar 1.

E. HIPOTESIS

Hipotesis Mayor

Efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya berperan terhadap penyesuaian diri

mahasiswa tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

Hipotesis Minor

1. Efikasi diri berperan terhadap penyesuaian diri mahasiswa tahun pertama

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Dukungan sosial teman sebaya berperan terhadap penyesuaian diri mahasiswa

tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

a. Level

b. Generality

c. Strenght

Gambar 1. Diagram peran Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Tahun Pertama

Keterangan gambar:

: Variabel penelitian : Aspek dari variabel

: Garis peran : Garis aspek dari variabel

Efikasi Diri

Penyesuaian diri

Dukungan Sosial Teman

Sebaya

a. Emotional or esteem

support

b. Tangible or

instrumental support

c. Informational support

d. Companionship support

a. Mengontrol emosi yang

berlebihan

b. Meminimalkan mekanisme

pertahanan diri

c. Mengurangi rasa frustrasi

d. Berpikir rasional dan mampu

mengarahkan diri

e. Kemampuan untuk belajar

f. Memanfaatkan pengalaman

masa lalu

g. Sikap realistis dan objektif