bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1. tinjauan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria
a. Pengertian Hukum Agraria
Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris,
bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana yang kita cita-citakan. Hukum agraria yang
berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut,
ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan
penghambat akan tercapainya cita-cita tersebut.
Pengertian hukum agraria dalam UUPA dapat dilihat dalam arti
luas dan sempit, Pengertian hukum agraria secara luas dapat diliat dari
beberapa kelompok hukum hal ini dikarenakan hukum agraria bukan
hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi mengatur juga hak-
hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Secara luas pengertian hukum agraria dapat dibagi
menjadi (Boedi Harsono, 2008:8):
1) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah,
dalam arti permukaan bumi;
2) Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3) Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok
Pertambangan;
4) Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5) Hukum Penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan “space law”), mengatur hak-hak penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan
oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan secara sempit pengertian hukum agraria merupakan
hukum tanah, hukum tanah adalah hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi. Pengertian mengenai
tanah yang dimaksud sebagai permukaan bumi sendiri dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA:
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Dari pengertian yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) dapat dilihat
bahwa yang dimaksud tanah oleh pembentuk undang-undang adalah
permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar (Boedi Harsono, 2008:18).
Menurut beberapa pakar, pengertian hukum agraria adalah (Boedi
Harsono, 2008:14-15):
1) Subekti
Hukum Agraria adalah keseluruhan dari pada ketentuan-ketentuan
hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tata negara
(staatsrecht) maupun pula hukum tata usaha negara (administratif
recht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk
badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh
wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang
bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.
2) E. Utrecht
Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian dari Hukum
Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan
hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas
mereka itu.
3) Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama)
Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup
pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula
dengan, tetapi tidak melulu mengenai tanah, misalnya persoalan
tentang jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit, atau
ikatan panen, sewa-menyewa antar golongan, pemberian izin untuk
peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap dan sebagainya.
4) S.J Fockema Andreaae
Hukum agraria adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum
mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai
bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang
disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.
5) J. Valkhoff
Hukum Agraria adalah bukan semua ketentuan hukum yang
berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur
lembaga-lembaga hukum mengenai penguasaan tanah.
6) G. Aksenyonok
Agraria dirumuskan sebagai cabang hukum yang mandiri dari
Hukum Soviet Sosialis, yang mengatur seluruh hubungan hukum
yang timbul dari nasionalisasi tanah sebagai milik negara.
2. Tinjauan Umum Tentang Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dinyatakan bahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya
kemakmuran rakyat”.
Kemudian didalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA yang
berbunyi sebagai berikut:
1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 “bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk:
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut.
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum dan
antar orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA dapat disimpulkan
bahwa hak menguasai tanah oleh negara bukan berarti memiliki tetapi
mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan atas tanah
dan mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan
hukum mengenai tanah.
Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA yang secara lengkap
berbunyi sebagai berikut:
1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai orang-orang lain serta badan-badan hukum.
2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas
menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
Dari bunyi Pasal (4) ayat (1) dan ayat (2) UUPA dapat
disimpulkan bahwa:
a) Atas dasar dari hak menguasai negara ditentukan macam-
macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah;
b) Hak atas tanah adalah wewenang untuk mempergunakan tanah
termasuk tubuh bumi, air serta ruang angkasa yang ada
diatasnya sekedar diperuntukkan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-
batas yang ditentukan menurut Undang-undang.
Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya (Sudikno Mertokusumo,
4:1988). Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas
tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya
rumah, toko, hotel, kantor, pabrik. Kata “mengambil manfaat”
mengandung perngertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk
kepentingan pertanian, perikanan, perternakan, perkebunan.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 yaitu
(Sudikno Mertokusumo, 45:1988):
1) Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk
juga bumi, air, dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
2) Wewenang khusus
Wewenang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai
dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah
hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/ atau
mendirikan bangunan, wewenang pada tanah hak Guna Bangunan
adalah menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya, wewenang
pada tanah Hak Guna Usaha hanya untuk kepentingan usaha di
bidang pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Menurut Sudargo Gautama wewenang yang dimaksudkan dalam
Pasal 4 ayat (2) berisi hak dan kewajiban pada setiap orang yang
mempunyai hak atas tanah, adapun kewajiban-kewajiban yang dimaksud
adalah sebagaimana yang diatur dalam UUPA yaitu antara lain (Sudargo
Gautama, 1997:117):
1) Kewajiban yang ditetapkan dalam Pasal 6 UUPA yang menyatakan
bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial. Definisi di atas
menimbulkan (3) komponen atau unsur yang terkandung di
dalamnya, yaitu: pertama, fungsi sosial hak atas tanah berkaitan
dengan pemanfaatan tanah yaitu proses penggunaan tanah yang
dapat memberikan nilai manfaat atau keuntungan secara ekonomis
dan sosial; Kedua, keseimbangan antara kepentingan individu
pemilik hak atas tanah dengan kepentingan masyarakat, sebagai
salah tujuan dari setiap pemanfaatan hak atas tanah; Ketiga,
keseimbangan antara kepentingan untuk mengoptimalkan capaian
hasil produksi dengan kepentingan pemeliharaan sumberdaya tanah
(Nurhasan Ismail dkk, 2010:362). Dalam hal ini hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang tidak dibenarkan tanahnya itu
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Jadi kepentingan masyarakat dan
kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga
akhirnya akan tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan,
dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Kewajiban dalam Pasal 10 UUPA yakni kewajiban mengerjakan
atau mengusahakan sendiri tanah pertanian. Dalam Pasal 10 ini
menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengusahakan sendiri secara aktif dapat mencegah
cara-cara pemerasan. Yang dimaksudkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif bukan berarti segala pekerjaan
ini dilakukan sendiri tetapi yang mempunyai hak atas tanah
pertanian itu diwajibkan secara langsung turut serta dalam proses
produksi dimana tenaga buruh diperbolehkan tetapi juga harus
dicegah praktek pemasaran.
3) Kewajiban dalam Pasal 15 UUPA yakni kewajiban memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburan serta mencegah kerusakan
yang merupakan kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan dengan tanah dengan
memperhatikan pihak-pihak ekonomi lemah.
4) Kewajiban dalam Pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa hak-
hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum. Dalam hal
ini pencabutan hak dilakukan demi kepentingan umum yaitu
termasuk kepentingan bangsa dan negara, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
undang.
5) Kewajiban dalam Pasal 19 UUPA yang menyatakan pendaftaran
tanah adalah perlu demi kepastian hukum dan kepastian hak atas
tanah. Pasal 19 ini ditujukan kepada pemerintah agar seluruh
Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bertujuan menjamin
kepastian hukum.
b. Macam-Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-
batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum
lain yang lebih tinggi”
UUPA merumuskan secara tegas dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1)
bahwa yang dinamakan permukaan bumi yang dapat diberikan hak atas
tanahnya kepada subyek hukum adalah tanah. Namun selain terhadap
permukaan bumi, terdapat hak yang secara khusus diberikan oleh UUPA
melalui Pasal 4 ayat (2) bahwa kepada pemegang hak atas tanah yaitu
juga dapat mempergunakan pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa
yang ada di atasnya sekedar dipergunakan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum Agraria
Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk. Pertama hak-hak
atas tanah yang bersifat primer. Kedua hak-hak atas tanah yang bersifat
skunder. Pengertian hak-hak atas tanah primer adalah hak-hak atas tanah
yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau
badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan
kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak
atas tanah yang bersifat primer, yaitu (Supriadi, 2009:4):
1) Hak Milik atas tanah (HM);
2) Hak Guna Usaha (HGU);
3) Hak Guna Bangunan (HGB);
4) Hak Pakai (HP).
Selain hak primer atas tanah di atas, terdapat pula hak atas tanah
yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat
skunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan
bersifat sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu
terbatas, lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-
hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu (Supriadi, 2009:4):
1) Hak Gadai;
2) Hak Usaha Bagi Hasil;
3) Hak Menumpang;
4) Hak Menyewa Atas Tanah Pertanian.
Selain hak-hak primer yang disebutkan diatas, sebenarnya dalam
ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA masih ada beberapa hak lagi,
diantaranya adalah Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan juga Hak
Memungut Hasil Hutan. Namun ketiga hak tersebut tidak dikatagorikan
sebagai hak primer adalah karena pada hak sewa tanah yang dipakai dalam
hal melakukan kegiatan yang berkaitan dengan tanah adalah bukan
menggunakan tanah sendiri melainkan menggunakan tanah milik orang
lain. Sedangkan untuk hak membuka tanah dan memungut hasil hutan si
pemilik hak bukanlah orang yang secara langsung mempunyai hak milik
atas tanah yang bersangkutan hal tersebut tertera dalam ketentuan Pasal 46
ayat (2) UUPA.
Berdasarkan konsep hak atas tanah sebagaimana di atas, penulis
akan membahas lebih lanjut mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai dan Hak Guna Usaha dengan lebih menjelaskan lebih dalam
mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Milik yang dipilih penulis
sebagai objek kajian skripsi
1) Hak Milik
a) Pengertian Hak Milik
Pengertian Mengenai hak milik dalam UUPA dapat dilihat
dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan:
“Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 6”.
Penjelasan Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa sifat-sifat
daripada hak milik yang membedakannya dengan hak lainya
adalah karena ada kata-kata terkuat dan terpenuh. Jadi, sifat
khas dari hak milik ialah hak yang turun-menurun, terkuat dan
terpenuh. Hak milik mempunyai sifat turun-menurun artinya
dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah, hal ini
berarti hak milik tidak ditentukan jangka waktunya. Sifat
terkuat dari hak milik berarti hak itu tidak mudah hapus dan
mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sedangkan
arti terpenuh adalah hak milik itu memberikan wewenang yang
paling luas kepada yang mempunyai hak juka dibandingkan
dengan hak-hak yang lain, hak milik bisa merupakan induk dari
hak-hak lainnya, artinya seseorang pemilik tanah bisa
memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang
kurang dari hak milik: menyewakan, membagihasilkan,
menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain
dengan hak guna bangunan atau hak pakai (Adrian Sutedi,
2010: 60-61).
Hak Milik mempunyai ciri-ciri tertentu yaitu sebagai
berikut (Notonagaro, 1974:79):
(1) Merupakan hak atas tanah yang kuat. Bahkan, menurut
Pasal 20 UUPA adalah yang terkuat, artinya mudah hapus
dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain;
(2) Merupakan hak turun-temurun dan dapat beralih, artinya
dapat dialihkan pada ahli waris yang berhak;
(3) Dapat menjadi hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada
hak-hak atas tanah lainnya. Ini berarti bahwa hak milik
dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menampung.
(4) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hypotik
atau credietverband;
(5) Dapat dialihkan yaitu dijual, ditukar dengan benda lain,
dihibahkan dan diberikan dengan wasiat;
(6) Dapat dilepas oleh yang punya, sehingga tanahnya menjadi
milik negara;
(7) Dapat diwakafkan;
(8) Si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali
ditangan siapapun benda itu berada.
b) Subyek Hak Milik
Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Milik
sudah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 21 UUPA. Dalam
ketentuan Pasal 21 menyatakan:
(1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak
milik.
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan
setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam
jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut
atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
yang membebaninya tetap berlangsung
(4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia
tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) sudah merumuskan
secara tegas bahwa hanya Warga Negara Indonesia tunggal
yang dapat mempunyai Hak Milik, hal ini seseuai dengan asas
kebangsaan yang tersebut dalam Pasal 1. Sedangkan untuk
badan-badan hukum yang dapat memiliki tanah hanya terbatas
pada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial,
keagamaan dan ekonomi, sepanjang badan hukum tersebut
menggunakan tanah untuk usahanya dibidang sosial,
keagamaan dan ekonomi itu.
Berkaitan dengan badan-badan hukum yang dapat menjadi
subyek Hak Milik, pengaturannya terdapat dalam Peraturan
Pemerintah nomor 38 tahun 1963. Badan-badan yang ditunjuk
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas
Tanah Tahun 1963, yang terdiri dari (Kartini Muljadi, 2004:31-
32):
(1) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut
bank negara);
(2) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79
Tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 nomor 139);
(3) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
(4) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
c) Cara terjadinya Hak Milik
Terjadinya suatu hak milik pengaturannya terdapat dalam
ketentuan Pasal 22 UUPA. Pasal 22 UUPA menyatakan:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:
(a) Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
(b) Ketentuan undang-undang.
Dari ketentuan dalam Pasal 22 UUPA, dapat diketahui
bahwa ada tiga hal yang dapat merupakan atau menjadi dasar
lahirnya Hak Milik atas tanah (Kartini Muljadi, 2004:31-32)
yaitu:
(1) Menurut hukum adat, yang diatur dalam suatu Peraturan
Pemerintah. Sehubungan dengan ketentuan ini perlu
diketahui bahwa hingga saat ini, Peraturan Pemerintah yang
dimaksud belum pernah diterbitkan sama sekali.
Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat lazimnya
bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian
tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Pembukuan
hutan secara tidak teratur merugikan masyarakat dan negara
(Eddy Ruchiyat, 1999:48);
(2) Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dalam peraturan pemerintah, harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan UUPA;
(3) Karena ketentuan undang-undang. Terhadap ketentuan ini,
hingga saat ini juga belum pernah diterbitkan suatu
Undang-undang tentang Hak Milik sebagaimana juga
diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (1) UUPA.
d) Hapusnya Hak Milik
Pengaturan mengenai hapusnya hak milik dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menyatakan:
Hak milik hapus bila:
(1) Tanahnya jatuh kepada negara:
(a) Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
(b) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
(c) Karena diterlantarkan;
(d) Karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2;
(2) Tanahnya musnah.
2) Hak Guna Bangunan
a) Pengertian Hak Guna Bangunan
Pengertian hak guna bangunan dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 35 UUPA yang menyatakan:
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun.
Penjelasan yang terdapat pada Pasal 35 UUPA dapat
disimpulkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat diberikan
bukan untuk tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah
yang dikuasai oleh negara dapat pula atas tanah hak milik.
b) Jangka Waktu Hak Guna Bangunan
Jangka waktu hak guna bangunan dapat ditemukan
ketentuannya dalam Pasal 35 UUPA. Pasal 35 UUPA
menyatakan bahwa:
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30
tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat
keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka
waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun.
Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa dalam hal pemberian
hak guna bangunan dapat diberikan dalam jangka waktu
sampai dengan masimum 50 tahun lamanya dengan mengingat
kepeluan serta keadaan bangunannya.
Selain dalam UUPA pengaturan lebih lanjut mengenai
jangka waktu hak guna bangunan juga terdapat dalam Pasal 25
ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah. Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun
1996 menyatakan:
“Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan
perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan
Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama”
c) Subjek Hak Guna Bangunan
Hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia serta berkedudukan di
Indonesia yang dapat memperoleh Hak Guna Bangunan, sesuai
dengan Pasal 36 ayat (1) UUPA, yang berbunyi sebagai
berikut:
Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah:
1) Warga Negara Indonesia.
2) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Dari Pasal 36 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa hal yang
sama seperti dalam Pasal 30 ayat (1) UUPA mengenai subjek
Hak Guna Usaha, yaitu bahwa Hak Guna Bangunan dapat
dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Badan Hukum yang
tidak didirikan menurut hukum Indonesia ataupun tidak
berkedudukan di Indonesia tidak diperbolehkan memiliki Hak
Guna Bangunan, walaupun memiliki perwakilan Indonesia.
d) Terjadinya Hak Guna Bangunan
Diatur dalam Pasal 37 UUPA yang berbunyi:
Hak Guna Bangunan terjadi:
(1) Mengenai tanah yang dikuasai oleh negara: karena
penetapan pemerintah.
(2) Mengenai tanah milik, karena perjanjian yang
berbentuk autentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang bersangkutan
dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna
Bangunan tersebut.
Dari Pasal 37 UUPA dapat disimpulkan bahwa Hak Guna
Bangunan yang tanahnya dikuasai negara terjadi karena
penetapan pemerintah artinya diberikan dengan suatu surat
keputusan pemberian hak oleh instansi yang berwenang.
Sedangkan Hak Guna Bangunan mengenai tanah Hak Milik
terjadi karena perjanjian berbentuk autentik antara pemilik
tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh
hak tersebut, yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
e) Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 menentukan bahwa pemegang Hak Guna Bangunan
berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang
diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama jangka waktu
tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk
keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak
tersebut kepada pihak lain dan membebaninya
(http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan).
Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban:
1) Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara
pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
haknya.
2) Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan
perjanjian pemberiannya.
3) Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada
diatasnya, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
4) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan degan Hak
Guna Bangunan kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan, atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna
Bangunan itu hapus.
5) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah
hapus kepada kepala kantor pertanahan.
6) Memberikan jalan keluar, jalan air, atau kemudahan lain
bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh
tanah Hak Guna Bangunan tersebut. (Richard Eddy,
2010;11)
f) Hapusnya Hak Guna Bangunan
Diatur dalam Pasal 40 UUPA yang berbunyi sebagai
berikut:
Hak Guna Bangunan hapus karena:
(1) Jangka waktu berakhir.
(2) Dihentikan sebelum jangka waktu berakhir karena
sesuatu yang tidak dipenuhi.
(3) Dilepasakan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktu berakhir.
(4) Dicabut untuk kepentingan umum.
(5) Ditelantarkan.
(6) Tanahnya musnah.
(7) Ketentuan Pasal 36 ayat (2).
Dari Pasal 40 UUPA dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Hak Guna Bangunan diberikan untuk jangka waktu
tertentu, maka pada suatu ketika pasti akan berakhir.
(2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut sebelum
ada peraturan umum yang mengatur Hak Guna
Bangunan tersebut disebutkan dalam Surat Keputusan
Pemberian Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.
(3) Hak Guna Bangunan yang dilepaskan oleh pemegang
haknya memerlukan Surat Keputusan penegasan dari
Gubernur/Kepala Inspeksi Agraria
(4) Hak guna Bangunan yang dicabut untuk kepentingan
umum dengan memberi ganti rugi yang layak dan
menurut cara yang diatur oleh Undang-undang.
(5) Jika tanah dengan Hak Guna Bangunan ditelantarkan,
maka Hak Guna Bangunan tersebut dapat dibatalkan.
(6) Hak Guna Bangunan juga dapat hapus jika tanahnya
musnah.
(7) Kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (2)
adalah memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
Pasal 36 ayat (1) yaitu mengenai subjek dari Hak
Guna Bangunan yang telah disebutkan sebelumnya.
g) Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Guna Bangunan
Konsumen perumahan yang memegang Hak Guna
Bangunan dapat melakukan perbuatan hukum berkenaan
dengan hak atas tanahnya itu, seperti mejual, menghibahkan,
menukar, mewariskan, menjadikannya sebagai agunan.
Selain itu konsumen perumahan yang bersangkutan juga
dapat memohon perpanjagan dan pembaharuan haknya.
Sebagai suatu hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu
tertentu, Hak Guna Bangunan dapat hapus karena berbagai
sebab, antara lain karena jangka waktunya berakhir, tapi Hak
Guna Bangunan juga diberi kemungkinan untuk dapat
diperpanjang atau diperbaharui sebelum jangka waktunya
berakhir bila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Maria
S.W, 2001:111):
(1) Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai
keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak itu;
(2) Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik
oleh pemegang hak;
(3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai subjek
Hak Guna Bangunan.
Bagi pemegang Hak Guna Bangunan juga diberi
kemungkinan untuk meningkatkan hak atas tanahnya itu
menjadi Hak Milik sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Konsumen tak perlu ragu terhadap hak atas tanah, dalam
hal ini Hak Guna bangunan, yang dibelinya. Pemahaman yang
benar tentang macam-macam hak atas tanah dalam sistem
hukum tanah nasional sangat diperlukan agar dapat mengurangi
kesalah pahaman yang dapat meresahkan pemegang hak atas
tanah bersangkutan.
3) Hak Pakai
a) Pengertian Hak Pakai
Pengertian hak pakai dapat ditemukan dalam Pasal 41 ayat
(1) UUPA yang menyatakan:
(1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
Penggunaan Hak Pakai di dalam penjelasan Pasal 41 sering
diperuntukan untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara
Asing, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanah tersebut
masih dipergunakan sesuai dengan surat pemberian haknya.
b) Subyek Hak Pakai
Ketentuan mengenai pihak yang dapat mempunyai hak
pakai dapat kita lihat ketentuannya dalam Pasal 42 UUPA.
Pasal 42 UUPA menyatakan:
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
(1) Warga negara Indonesia;
(2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
(3) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
(4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Berdasarkan penjelasan Pasal 42 UUPA untuk gedung-
gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula
hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya
dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan-badan hukum
asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi
wewenang yang terbatas.
Pengaturan lebih lanjut menganai subyek hak pakai
terdapat dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1996 menyatakan bahwa :
Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah :
(1) Warga Negara Indonesia;
(2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia;
(3) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
(4) Badan-badan keagamaan dan sosial;
(5) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
(6) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia;
(7) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan
Internasional.
c) Jangka waktu Hak Pakai
Ketentuan mengenai jangka waktu hak pakai dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah . Pasal 45 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyatakan:
(1) Hak pakai sebagaimana dimaksud dalam pasal 42
diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh
lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Pemberian hak pakai ada yang tidak ditentukan jangka
waktunya dalam penjelasan Pasal 45 menjelaskan bahwa
mengingat penggunaan hak pakai dalam rangka yang terus
berkelanjutan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk
keperluan kantor lembaga pemerintah, untuk kantor perwakilan
negara asing dan perwakilannya dan untuk keperluan
melaksanakan fungsi badan keagamaan dan sosial.
d) Cara Terjadinya Hak Pakai
Ketentuan mengenai cara terjadinya hak pakai dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA. Pasal 41 ayat (1)
UUPA menyatakan:
(1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
Dari bunyi pasal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa
hak pakai dapat terjadi dengan surat keputusan oleh pejabat
yang berwenang atau dengan perjanjian dengan pemilik
tanahnya.
e) Hapusnya Hak Pakai
Ketentuan mengenai hapusnya hak pakai dapat diliat dalam
ketentuan Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah
nomor 40 tahun 1996 menyatakan:
(1) Hak pakai hapus karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya
atau dalam perjanjian pemberiannya;
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang
Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum
jangka waktunya berakhir karena:
1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
50, pasal 51 dan pasal 52;atau
2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian pemberian Hak Pakai antara
pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak milik
atau perjanjian penggunaan Hak
Pengelolaan;atau
3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktu berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
tahun 1961;
e. Diterlantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 40 ayat (2)
4) Hak Guna Usaha
a) Pengertian Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah salah satu hak yang keberadaannya
diakui dalam ketentuan UUPA. Pengertian Hak Guna Usaha
sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUPA yang
menyatakan:
(1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak
Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak
Guna Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia. Apabila semua persyaratan yang
ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat
dari Badan Pertanahan Republik Indonesia yang diberikan
pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak (SKPH). SKPH ini wajib di daftarkan ke kantor
pertanahan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku
tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya Hak Guna
Usaha (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah
No. 40 tahun 1996).
Pasal 8 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3
tahun 1999 menetapkan bahwa kepala kantor wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi berwenang menerbitkan SKPH
atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika luas
tanah HGU lebih dari 200 hektar, maka wewenang peneribitan
SKPHnya berdasarkan ketentuan Pasal 14 Permen
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 adalah Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Permen Agraria/Kepala BPN no. 3
tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2011 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan
Kegiatan pendaftaran tanah tertentu. Dalam Pasal 7-nya
dinyatakan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi memberikan keputusan mengenai pemberian
Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
1.000.000 m2 (satu juta meter persegi). Kalau luas tanahnya
lebih dari 1.000.000 m2, maka yang berwenang memberikan
Hak Guna Usaha adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia(Urip Santoso, 2012:102-103).
b) Subyek Hak Guna Usaha
Pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang HGU sudah
dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 30 dan Pasal 31 UUPA.
Dalam ketentuan Pasal 30 UUPA menyatakan:
(1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Rumusan Pasal 30 ayat (1) UUPA kita dapat melihat bahwa
undang-undang memperluas Subyek yang dapat dijadikan
pemegang HGU. Selain orang perorangan undang-undang juga
memungkinkan sebuah badan hukum untuk menjadi pemegang
HGU, namun Undang-Undang memberi persyaratan bahwa
badan hukum yang dapat menjadi pemegang HGU haruslah
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap badan hukum,
selama didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapatlah menjadi
pemegang HGU. Dengan ini berarti, dengan tidak
mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal
dari badan hukum tersebut, selama badan hukum tersebut
memenuhi kriteria yang ditentukan Undang-Undang maka
badan hukum tersebut dapatlah menjadi pemegang HGU.
Terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan dalam rangka
penanaman modal, baik Penanaman Modal Asing dan
Penanaman Modal Dalam Negeri, harus diperhatikan terlebih
dahulu ketentuan mengenai Izin Lokasi, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Pertanahan
Nasional Nomor 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi (Kartini
Muljadi, 2004:161-162).
Selanjutnya dalam hal pemegang HGU tersebut tidak
memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka ketentuan
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah menyatakan:
(1) Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam
jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain
yang memenuhi syarat.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau
dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah negara
c) Jangka Waktu Hak Guna Usaha
Jangka waktu pemberian HGU dapat ditemukan
ketentuannya dalam ketentuan Pasal 29 UUPA yang
menyatakan:
(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25
tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih
lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu
paling lama 35 tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat
(1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu
yang paling lama 25 tahun
Ketentuan pasal 29 UUPA kita dapat melihat bahwa
undang-undang memberikan jangka waktu HGU selama 25
sampai dengan 35 tahun, selain itu undang-undang juga masih
memberikan kemungkinan HGU tersebut dapat diperpanjang
jangka waktunya paling lama sampai dengan 25 tahun.
Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu
maksimum (selama-lamanya) enam puluh tahun, dengan
ketentuan bahwa (Kartini Mujadi, 2004:153-154.):
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan
baik oleh pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai
pemegang hak.
d) Cara terjadinya Hak Guna Usaha
Ketentuan mengenai cara terjadinya hak guna usaha dapat
diliat dalam ketentuan Pasal 31 UUPA. Pasal 31 UUPA
menyatakan:
“Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah”
e) Kewajiban Dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha
Hak dan kewajiban dari Pemegang HGU dapat ditemukan
dalam ketentuan Pasal 12 sampai Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996. Dalam Pasal 12
menyatakan:
(1) Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk:
(a) Membayar uang pemasukan kepada negara;
(b) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan,
perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntakan
dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya;
(c) Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha
dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi
teknis;
(d) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan
dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal
Hak Guna Usaha;
(e) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan
sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(f) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan Hak Guna Usaha;
(g) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan
Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna
Usaha tersebut hapus;
(h) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah
hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
(2) Pemegang Hak Guna Usaha dilarang menyerahkan
pengusahaan tanah Hak Guna Usaha kepada pihak lain,
kecuali dalam hal-hal diperbolehkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
f) Hapusnya Hak Guna Usaha
Ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur
dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Pokok Agraria yang
menyatakan:
Hak Guna Usaha hapus karena:
(1) Jangka waktu berakhir;
(2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi;
(3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir;
(4) Dicabut untuk kepentingan umum;
(5) Diterlantarkan;
(6) Tanahnya musnah;
(7) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 tahun 1996, ketentuan tersebut diperjelas kembali
dengan rumusan sebagai berikut:
(1) Hak Guna Usaha hapus karena:
(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
(b) Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang
sebelum jangka waktunya berakhir karena :
1. Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14;
2. Putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
(c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir;
(d) Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
tahun 1961;
(e) Diterlantarkan;
(f) Tanahnya musnah;
(g) Ketentuan Pasal 3 ayat (2)
(2) Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah
negara.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna
Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Keputusan Presiden.
3. Tinjauan Umum Tentang Pendaftaran Tanah
a. Pengertian Pendaftaran Tanah
Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria mengatur pendaftaran
tanah, namun tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah. Bengitu pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah, juga tidak memberikan pengertian
apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah.
Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan
pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi; pengukuran, perpetaan dan
pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta
pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat (M. Yamin
Lubis dan Abd Rahim Lubis, 18-19:2008).
Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas stuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya. Dari pengertian pendaftaran tanah
tersebut diatas dapat diuraikan unsur – unsurnya, yaitu (Urip Santoso, 13-
14:2010):
1) Adanya serangkaian kegiatan
Adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran
tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berurutan menjadi
satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang
diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
dibidang pertanahan bagi rakyat.
Kegiatan pendaftaran tanah menghasilkan dua macam data, yaitu
data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah data keterangan
mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Data yuridis adalah
keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-
beban lain yang membebaninya.
2) Dilakukan oleh pemerintah
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan
tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi kepentingan
rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di
bidang pertanahan.
Instansi pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah
adalah Badan Pertanahan Nasional, sedangkan dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
3) Secara terus-menerus, berkesinambungan
Menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimualai tidak
aka nada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus
selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan
keadaan yang terakhir.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali menghasilkan tanda
bukti hak berupa sertifikat.
4) Secara teratur
Menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan
perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan
data bukti menurut hukum, biar pun daya kekuatan pembuktiannya
tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang
menyelenggarakan pendaftaran tanah.
Peraturan yang mengatur pendaftaran tanah adalah Undang-
Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Permen Agraria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, Permen
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, Permen
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, dan sebagainya.
5) Bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun
Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan terhadap Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan,
Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak
Tanggungan, dan Tanah Negara.
6) Pemberian surat tanda bukti hak
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan
surat tanda bukti hak berupa sertifikat atas bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan sertifikat hak milik atas satuan rumah
susun. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok
Agraria.
7) Hak hak tertentu yang membebaninya
Dalam pendaftaran tanah dapat terjadi objek pendaftaran tanah
dibebani dengan hak yag lain, misalnya Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Atas Satuan Rumah
Susun, dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak tanggungan,
atau Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai.
b. Asas-Asas Pendaftaran Tanah
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dinyatakan bahwa pendaftran tanah dilaksanakan berdasarkan asas:
1) Asas Sederhana
Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun
prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
2) Asas Aman
Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran
tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga
hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan
pendaftran tanh itu sendiri.
3) Asas Terjangkau
Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang
memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah.
4) Asas Mutakhir
Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.
5) Asas Terbuka
Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau
memperoleh keterangan mengenai data fisik data yuridis yang
benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
c. Tujuan Pendaftaran Tanah
Tujuan pendaftara tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, adalah:
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan
utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh
Pasal 19 UUPA. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas
tanah, panjang dan lebar tanah ini disebut dengan kepastian
mengenai objek hak atas tanah (Bachtiar Effendi, 21:1993).
Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan
merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh
Undang-undang (Boedi Harsono, 475:2003).
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
3) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan yaitu Catur
Tertib Pertanhan, meliputi Tertib Hukum Pertanahan, Tertib
Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, dan Tertib
Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup.
d. Manfaat Pendaftaran Tanah
1) Manfaat Bagi Pemegang Hak
a) Memberikan rasa aman
b) Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya
c) Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak
d) Harga tanah menjadi lebih tinggi
e) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
f) Penetapan pajak Bumi dan Bangunan tidak mudah keliru
2) Manfaat bagi pemerintah
a) Akan terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu
program Catur Tertib Pertanahan
b) Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang berkaitan dengan
tanah dalam pembagunan
c) Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan, misalnya
sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar.
3) Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor
Bagi calon pembeli atau calon kreditor dapat dengan mudah
memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data
yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan hukum mengenai
tanah (Urip Santoso, 21:2010).
Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran
tanah adalah (Ulfia Hasanah, hal 3):
a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai;
b) Tanah hak pengelolaan;
c) Tanah wakaf;
d) Hak milik atas satuan rumah susun;
e) Hak tanggungan;
f) Tanah negara.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar I
Bagan Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur penulis dalam mengangkat,
menggambarkan, menelaah dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas
suatu permasalahan hukum yaitu Peningkatan Hak Atas Tanah Dari Hak Guna
Menjadi Hak Milik di Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dijelaskan bahwa
peraturan mengenai pertanahan sudah termuat di dalam Undang-Undang Dasar
1945 pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Kemudian agar lebih jelas terhadap
peraturan pertanahan dibuatlah peraturan khusus mengenai tanah di Indonesia dan
HAMBATAN
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
PP. No 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah
PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan, Dan Hak Pakai Atas
Tanah
PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai
Hak Milik Atas Tanah
KMNA/KBPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian hak Milik Untuk Rumah Sangat
Sederhana (RSS) dan RumahSederhana (RS) KMNA/KBPN No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah
Tinggal
PROSEDUR
PENINGKATAN HAK ATAS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK
MILIK DI KABUPATEN SUKOHARJO
lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang didalamnya
mengatur tentang hukum pertanahan di Indonesia yang disempurnakan dengan
peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang lain oleh negara.
Hak Atas tanah di Indonesia ada bermacam-macam, diantaranya ada Hak Guna
Bangunan, Hak Milik, Hak Pakai dan lain-lain. Hak atas tanah pada umumnya
dapat ditingkatkan statusnya tanahnya. Disini penulis ingin mengetahui
bagaimana Pelaknasaan Peningkatan Hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan
menjadi Hak Milik. Pelaksanaan peningkatan hak atas tanah tentunya harus
berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Peningkatan hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik di
Kabupaten Sukoharjo mengacu pada Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997. Dari
peningkatan hak atas tanah tersebut tentunya akan ditemukan hambatan.
Hambatan yang dimaksud yaitu hambatan yang menghambatan pada saat
peningkatan hak atas tanah yaitu peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak
Milik di Kabupaten Sukoharjo.