bab ii tinjauan pustaka 2.1 deskripsi tanaman cabai besar ... ii.pdf · ... disajikan pada gambar...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Besar (Capsicum annuum L.)
Tanaman cabai merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan
batang berkayu dan bercabang banyak. Tinggi tanaman cabai bisa mencapai 120
cm dengan lebar tajuk tanaman sampai 90 cm (Cahyono, 2003). Daun cabai pada
umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap, tergantung pada varietasnya.
Daun cabai yang ditopang oleh tangkai daun mempunyai pertulangan daun
menyirip. Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung
meruncing, tergantung pada jenis dan varietasnya. Foto tanaman cabai besar
(Capsicum annuum L.) disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.)
(Sumber : Koleksi pribadi, 2013)
8
Menurut Tjitrosoepomo (2010) cabai besar termasuk dalam Famili
Solanaceae, dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Sub Class : Asteridae
Ordo : Solanales
Family : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annuum L.
Selain sebagai penyedap makanan, cabai juga banyak digunakan untuk
terapi kesehatan. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat
membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan, dan alergi.
Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung. Selain
itu, cabai dapat digunakan untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat
rematik dan encok karena bersifat analgesik. Khasiat cabai yang begitu banyak
disebabkan oleh adanya senyawa kapsaikin (C18H27NO3) yang terkandung di
dalam buah cabai. Kapsaikin merupakan unsur aktif yang berkhasiat obat terdiri
dari lima komponen kapsaikinoid, yaitu nordihidro kapsaikin, kapsaikin, dihidro
kapsaikin, homo kapsaikin, dan homo dihidro kapsaikin (Cahyono, 2003).
Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai
nasional sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari
16.000 ton per tahun (DJBPH, 2013). Rataan produksi cabai nasional baru
mencapai 6,19 ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai 10
9
ton/ha. Kendala biologis yang diakibatkan oleh serangan patogen pada cabai
masih merupakan penyebab utama kegagalan panen, maka usaha untuk mengatasi
penyakit pada tanaman cabai akibat hama dan penyakit sangat perlu mendapat
perhatian (Suryaningsih et al.,1996).
Cabai ditanam secara luas di Bali untuk memenuhi kebutuhan lokal dan
nasional. Kultivar cabai yang banyak ditanam di Bali adalah cabai besar
(Capsicum annum L) dan cabai rawit (Capsicum frutescens L). Sebagian besar
cabai ditanam pada lahan tanpa irigasi sehingga menyebabkan penurunan
produksi selama musim kemarau mencapai 50%. Selain akibat penanaman tanpa
irigasi penurunan produksi lebih banyak disebabkan oleh penyakit, terutama
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum spp. (Duriat,
1990; Sulandari, 2004).
2.2 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Besar
Salah satu jenis penyakit pada tanaman cabai besar adalah penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum spp. Adanya serangan
jamur Colletotrichum spp. pada tanaman cabai besar mempunyai arti ekonomi
yang sangat penting, karena dapat menurunkan hasil produksi cabai dan
merugikan para petani sampai 50% (Semangun, 2007). Menurut Suhardi (1989)
penyakit antraknosa di Kabupaten Demak menyebabkan kerugian sebesar 50-
65%. Penyakit antraknosa tersebar luas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok
(Duriat, 1990).
10
2.2.1 Penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar
Penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar disebabkan oleh jamur
Colletotrichum spp. Hannden and Black (1989) menyebutkan jenis jamur
Colletotrichum yang umum menyebabkan penyakit antraknosa pada buah cabai
terdiri atas empat spesies yaitu : C. gloeosporioides, C. capsici, C. acutatum, dan
C. coccodes. Menurut Kim et al. (1999) penyakit antraknosa pada tanaman cabai
disebabkan oleh jamur Colletotrichum terdiri atas lima spesies yaitu :
C. gloeosporioides, C. capsici, C. acutatum, C. dematium, dan C. coccodes.
Menurut hasil penelitian Sudiarta dan Sumiartha (2012) penyakit antraknosa pada
tanaman cabai di Bali kebanyakan disebabkan oleh jamur Colletotrichum
acutatum.
Menurut Alexopoulos et al. (1996) jamur Genus Colletotrichum termasuk
dalam Family Melanconiaceae, Class Deuteromycetes dengan klasifikasi sebagai
berikut :
Kingdom : Fungi
Phylum : Deuteromycota
Class : Deuteromycetes
Subclass : Coelomycetidae
Ordo : Melanconiales
Family : Melanconiaceae
Genus : Colletotrichum
Species : Colletotrichum spp.
11
Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo
Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus (struktur
aseksual pada jamur parasit, Gambar 2.2). Jamur dari Genus Colletotrichum
termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan bentuk anamorfik (bentuk
aseksual), dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik (bentuk seksual) masuk
dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam Genus Glomerella
(Alexopoulos et al., 1996). Struktur aservulus jamur Colletotrichum spp. disajikan
pada Gambar 2.2.
Struk
(A
(S
Ciri-ciri umum
bersekat dan menghasilk
membulat atau merunci
Massa dari konidia ber
1993).
Jamur Colletotri
ujung spora tumpul, uku
tur aservu
= setae, B
umber : B
jamur da
an konidi
ng panjan
warna hit
chum gloe
ran spora
A
Gambar 2.2lus jamur Colletotr
= konidia, C = ko
arnett and Hunter,
ri Genus Colletot
a yang transparan d
gnya antara 10-16
am dan hifanya b
osporioides memp
16,1 x 5,6 m de
B
ichum spp.
nidiofor)
1998)
richum yaitu memiliki hifa
an memanjang dengan ujung
µm dan lebarnya 5-7 µm.
erwarna abu-abu (Dickman,
unyai bentuk spora silendris,
ngan kecepatan tumbuh 12,5
C
12
mm per hari. Jamur Colletotrichum acutatum mempunyai bentuk spora silendris,
ujung spora meruncing, ukuran spora 16,1 x 5,3 m dengan kecepatan tumbuh 6,8
mm per hari. Jamur Colletotrichum coccodes mempunyai bentuk spora silendris,
ujung spora runcing, ukuran spora 14,9 x 4,2 m dengan kecepatan tumbuh 8,4
mm per hari. Sedangkan jamur Colletotrichum capsici mempunyai bentuk spora
seperti bulan sabit, ujung spora runcing, ukuran spora 24,3 x 4,4 m dengan
kecepatan tumbuh 9,8 mm per hari (AVRDC, 2010). Bentuk spora beberapa jenis
jamur Colletorichum spp. tersaji dalam Gambar 2.3.
C. gloeosporioides C. acutatum C. cocodes C. capsici
Gambar 2.3
Bentuk spora beberapa jenis jamur Colletotrichum spp.
(Sumber : AVRDC, 2010)
2.2.2 Gejala penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar
Jamur Colletotrichum dapat menginfeksi cabang, ranting, daun dan buah
cabai. Infeksi pada buah cabai besar terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan
sesudah tua. Gejala diawali dengan adanya bintik-bintik kecil berwarna kehitam-
hitaman dan sedikit melekuk pada permukaan buah. Gejala lebih lanjut buah
13
mengkerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dan Zulpadli, 1997). Bercak
berbentuk bundar atau cekung dan berkembang pada buah yang belum
dewasa/matang dari berbagai ukuran. Biasanya bentuk bercak beragam pada satu
buah cabai dan ketika penyakit semakin parah, bercak akan bersatu. Gejala pada
buah cabai yang sudah menua tampak seperti pada Gambar 2.4. Spora terbentuk
dan memencar secara cepat pada buah cabai, sehingga mengakibatkan kehilangan
hasil sampai 100%. Penyakit dapat menginfeksi sampai ke tangkai buah cabai
dan menimbulkan bercak seperti bintik yang tidak beraturan berwarna merah tua
(Damm et al., 2010).
Gambar 2.4Buah cabai besar terserang penyakit antraknosa dengan gejala berat (A)
(Sumber : Koleksi pribadi, 2013)
Menurut Kim et al. (1984) gejala penyakit antraknosa pada buah cabai
besar dimulai dengan kulit buah akan tampak mengkilap, diikuti dengan
pelunakan jaringan, kemudian permukaan buah akan menjadi cekung dan
berwarna kecoklatan, sehingga terlihat adanya seperti luka atau lebih dikenal
dengan sebutan lesio. Lesio muncul sedikit demi sedikit kemudian pada akhirnya
A
14
dapat menutupi sebagian besar permukaan buah. Permukaan buah cabai yang
terserang penyakit antraknosa akan berair dan aservulus jamur Colletotrichum
spp. terlihat seperti bercak kehitaman yang kemudian meluas dan membusuk.
Pada buah cabai dengan gejala penyakit antraknosa berat buah mengering dan
keriput, sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti
jerami.
2.2.3 Mekanisme terjadinya penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar
Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa
pada buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur
patogen lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. diawali dengan
adanya inokulasi jamur Colletotrichum spp. pada buah cabai, kemudian diikuti
dengan proses penetrasi, infeksi, kolonisasi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan
proses deposisi atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang.
Proses penetrasi yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang.
Kemudian setelah organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka
akan terjadi proses perkecambahan spora (Sinaga, 2006).
Proses perkecambahan spora pada tubuh inang dapat digambarkan sebagai
berikut : pada mulanya spora patogen membentuk tabung kecambah (germ tube).
Bagian spora yang memproduksi germ tube bertambah panjang dan menembus
dinding sel inang. Kemudian germ tube akan termodifikasi menjadi apresorium
yang berfungsi untuk melekat dengan kuat pada permukaan jaringan inang
(Yudiarti, 2007). Proses infeksi terjadi setelah proses penetrasi yaitu patogen
sudah berada pada jaringan inang dan memproleh makanan dari inangnya.
15
Kolonisasi merupakan proses kelanjutan dari infeksi yaitu patogen melanjutkan
pertumbuhan dan perluasan aktivitas patogen melalui jaringan inang. Proses
kolonisasi tersebut akan merusak seluruh jaringan pada tubuh inang (Wharton dan
Uribeondo, 2004). Periode inkubasi merupakan waktu yang dibutuhkan patogen
sejak mulai inokulasi sampai timbul gejala penyakit. Bila gejala penyakit telah
timbul berarti patogen telah melakukan reproduksi inokulum sekunder.
Sedangkan proses diseminasi merupakan proses penyebaran inokulum sekunder
yang dihasilkan oleh patogen melalui agen penyebar seperti angin, air dan
serangga (Sinaga, 2006).
Terdapat tiga jalan atau cara yang digunakan oleh patogen dalam
melakukan penetrasi yaitu, luka, lubang alami, dan penetrasi langsung. Luka yang
ada pada tanaman dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air
hujan, atau serangan dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen
untuk masuk ke dalam tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan
lenti sel. Sedangkan untuk cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen
antara lain dengan memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang
berfungsi untuk mendegradasi dinding sel dan atau merubah permeabilitas
membran sel tanaman. Keadaan cuaca yang lembab sangat cocok untuk
pembentukan spora dan terjadinya infeksi sehingga diameter lesio akan cepat
membesar (Martinez et al., 2009).
2.2.4 Siklus hidup jamur Colletotrichum spp.
Spora jamur Colletotrichum spp. dapat disebarkan oleh angin dan percikan
air hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman,
16
1993). Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum spp. membentuk koloni miselium
yang berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian
perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus.
Aservulus berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan
massa konidia (Rusli dan Zulpadli, 1997). Tahap awal infeksi Colletotrichum
umumnya dimulai dari perkecambahan spora pada permukaan jaringan tanaman,
menghasilkan tabung kecambah. Setelah penetrasi maka akan terbentuk jaringan
hifa, hifa intra dan interseluler menyebar melalui jaringan tanaman (Yudiarti,
2007). Siklus penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh
jamur Colletotrichum spp. disajikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5Siklus penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan
oleh jamur Colletotrichum spp.
(Sumber, Agrios 2005)
17
Infeksi terjadi setelah apresorium dihasilkan, apresorium mempenetrasi
kutikula dan tumbuh dibawah dinding kutikula dan dinding periklinal dari sel
epidermis. Kemudian, hifa tumbuh dan menghancurkan dinding sel utama. Hal ini
terjadi karena matinya sel yang berdampingan secara meluas. Ketika jaringan
membusuk, hifa masuk ke pembuluh sklerenkim dan langsung tumbuh menembus
dinding sklerenkim (Pring et al., 1995).
2.2.5 Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar
Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang sering
dilakukan oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida, karena sampai saat
ini belum ada tanaman cabai merah yang tahan terhadap penyakit antraknosa.
Prinsip penggunaan fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap
tanaman. Cara lainnya yang digunakan untuk mengendalikan penyakit yaitu
penggunaan bahan kimia sintetik yang mampu memicu ketahanan tanaman
(Suhendro et al., 2000).
Bila patogen sudah menginfeksi jaringan tanaman, umumnya fungisida
tidak efektif dalam pengendalian penyakit. Dalam banyak kasus, informasi
spesifik tentang siklus penyakit sangat dibutuhkan dalam aplikasi fungisida yang
tepat untuk melindungi tanaman. Dalam label fungisida memberikan petunjuk
pengaplikasian, biasanya dengan jarak interval 7-14 hari. Jika kelembaban tinggi
atau pertumbuhan tanaman cepat, maka interval terendah antar aplikasi yang
sering digunakan, dan jika kelembaban rendah maka digunakan interval tertinggi
(Suryaningsih dan Suhardi, 1993).
18
Cara aplikasi dan jenis fungisida berpengaruh nyata terhadap masa
inkubasi dan intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai selama di
penyimpanan. Fungisida dari kelompok sistemik menunjukkan yang terbaik
dibandingkan dengan fungisida kontak. Tetapi tidak ada interaksi antara waktu
aplikasi dan fungisida dalam mempertahankan masa inkubasi dan menekan
intensitas penyakit tersebut (Sudarmo, 2005). Jenis fungisida yang digunakan
seperti Dithane M-45 80 WP merupakan jenis fungisida bersifat sistemik karena
cara kerjanya ditranslokasikan ke dalam jaringan tanaman dan fungisida Dakonil
500 F merupakan jenis fungisida kontak atau non sistemik (Semangun, 2007).
2.3 Identifikasi Spesies Colletotrichum spp. dengan Gen 18S rRNA
Mikroorganisme Eukaryota memiliki 3 jenis DNA ribosomal yaitu 5.8S
rDNA, 18S rDNA dan 28S rDNA. Diantara ketiganya, ribosomal 18S rDNA yang
paling sering digunakan dalam identifikasi suatu spesies jamur. Analisis gen
penyandi 18S rDNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler dengan fungsi
yang identik pada seluruh organisme yang sejenis. Pendekatan secara molekular
dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR) dengan menggunakan gen 18S
rDNA berkembang secara cepat dan akurat. Pada penelitian ini digunakan primer
Internal Transcript Spacer (ITS) yaitu ITS 1 dan ITS 4 yang digunakan untuk
mendeteksi gen 18S DNA dari DNA gen komplek ribosom dari jamur
Colletotrichum spp. sehingga dapat digunakan untuk proses identifikasi secara
tepat sampai ke tingkat spesies (Nishizawa et al., 2010).
19
2.4 Deskripsi Tumbuhan Awar-Awar (Ficus septica Burm.f)
Awar-awar (Ficus septica Burm.f.) berhabitus perdu dari Family
Moraceae dengan tinggi tanaman dapat mencapai ± 6 meter. Awar-awar
merupakan tumbuhan liar yang tumbuh pada lahan kosong, semak-semak dan
hutan. Tumbuhan ini dapat hidup pada ketinggian dari 0-1.800 meter dari
permukaan laut. Batangnya berkayu, berongga, bergetah, bulat, bercabang
berwarna coklat muda. Daunya tunggal, berseling atau berhadapan, bulat telur,
ujung runcing, pangkal membulat, tepi rata, panjang 10-30 cm, lebar 6-16 cm,
permukaan daun mengkilat, pertulangan menyirip, tangkai panjangnya 2-5 cm,
berwarna hijau keputih-putihan. Bunganya majemuk, pada batang dan ranting,
kelopak dan mahkota kecil, berwarna hijau keputih-pulihan. Buahnya berupa buah
buni, bulat, tangkai pendek, diameter ± 2 cm, masih muda berwarna hijau setelah
tua berwarna hitam. Bijinya kecil, keras, berwarna coklat. Akarnya berupa akar
tunggang, berwarna putih kecoklatan (de Padua et al., 1999). Foto tumbuhan
awar-awar (Ficus septica Burm.f.) disajikan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6
Tumbuhan awar-awar (Ficus septica Burm.f.)
(Sumber : Koleksi pribadi, 2013)
20
Tumbuhan awar-awar (Ficus septica Burm.f.) jarang dimanfaatkan secara
ekonomis, buah awar-awar sering dimakan sebagai makanan burung dan
kelelawar. Penyebarannya oleh burung atau kelelawar melalui feses yang dibuang
yang didalamnya terdapat biji tumbuhan awar-awar, sehingga distribusi tumbuhan
ini mempunyai kisaran yang sangat luas dari ketinggian 0 – 1.800 di atas
permukaan laut.
2.4.1 Kandungan kimia tumbuhan awar-awar
Sukadana (2010) melaporkan bahwa ekstrak kulit akar awar-awar (Ficus
septica Burm.f.) mengandung senyawa flavonoid dari golongan flavanon dan
senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholera dan
Escherichea coli. sedangkan Damu et al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak
batang awar-awar mengandung senyawa dari golongan alkaloid phenanthro-
indolizidine yang terdiri atas ficuseptines B-D (1-3), 10R,13aR-tylophorine N-
oxide (4), 10R,13aR-ylocrebrine N-oxide (5), 10S,13aR-tylocrebrine N-oxide (6),
10S,13aR-isotylocrebrine N-oxide (7), dan 10S,13aS-isotylocrebrine N-oxide (8).
Senyawa golongan alkaloid tersebut bersifat sitotoksik. Menurut Nugroho et al.
(2011) hasil fraksinasi etanol dan heksan dari ekstrak daun awar-awar berpotensi
sebagai senyawa antikanker. Disamping itu daun dan akar awar-awar
mengandung saponin dan flavonoid, buahnya mengandung alkaloid dan tanin
sedangkan akarnya mengandung polifenol (de Padua et al., 1999).
21
2.4.2 Pemanfaatan tumbuhan awar-awar
Sampai saat ini awar-awar belum dimanfaatkan secara ekonomi oleh
masyarakat. Pemanfaatan awar-awar hanya terbatas untuk pengobatan tradisional
yaitu daun awar-awar biasanya digunakan sebagai obat bisul, luka, borok dan
sebagai penawar racun binatang berbisa, sedangkan akarnya biasanya digunakan
untuk obat sesak nafas. Pemanfaatan daun awar-awar sebagai obat bisul, borok
dan luka yaitu dengan cara diambil sebanyak 5 gram daun awar-awar segar,
ditumbuk sampai halus kemudian ditempelkan pada bagian tubuh yang luka, bisul
ataupun borok (Asgar.or.id, 2013).
Buah awar-awar yang sudah masak biasanya akan dimakan oleh burung
dan kelelawar, sehingga penyebaran atau distribusi tumbuhan awar-awar dibantu
oleh burung dan kelelawar melalui biji yang terdapat di dalam feces burung
ataupun kelelawar yang memanfaatakan buah awar-awar sebagai makanannya
(Asgar.or.id, 2013).
2.5 Pestisida Nabati
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berupa tumbuhan.
Penggunaan pestisida nabati telah berlangsung dari sejak tahun 1690 oleh para
petani di Perancis dengan menggunakan perasan daun tembakau untuk
mengendalikan hama kepik pada tanaman buah persik. Penggunaan pestisida
nabati selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan harganya relatif lebih
murah apabila dibandingkan dengan pestisida kimia (Sudarmo, 2005).
Menurut Kardinan (2002), pestisida nabati mudah terurai di alam karena
terbuat dari bahan alami. Pada saat diaplikasikan pestisida nabati akan dapat
22
mengendalikan hama dan penyakit secara spesifik dan kemudian dengan cepat
akan terurai oleh lingkungan sehingga tidak ada residu pada tanaman dan tanaman
aman untuk dikonsumsi. Cara kerja pestisida nabati sangat spesifik yaitu :
merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat pergantian kulit
serangga, menyebabkan serangga menolak makan, menghambat reproduksi
serangga betina, mengurangi nafsu makan pada serangga, mengusir serangga dan
menghambat perkembangan patogen.
Tumbuhan pada dasarnya mengandung banyak senyawa kimia yang
merupakan hasil dari metabolit sekunder yang dimanfaatkan oleh tumbuhan
sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Metabolit sekunder yang dihasilkan dan digunakan oleh tumbuhan sebagai
senyawa pertahanan tersebut terdiri atas senyawa golongan terpenoid, alkaloid
dan fenol. Senyawa-senyawa tersebut berpotensi digunakan sebagai pestisida
nabati untuk mengendalikan OPT, sehingga akan dapat membantu masyarakat
petani untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman secara ramah
lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada disekitarnya (Kardinan,
2002).
Menurut Dixit et al. (1995), dari 30 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang
berpotensi digunakan sebagai fungisida nabati diuji aktivitas antijamurnya
terhadap pertumbuhan jamur Penicilium italicum penyebab penyakit busuk
kapang biru (blue mold ) pada jeruk Mandarin. Ekstrak Ageratum conyzoides
menunjukkan toksisitas tertinggi dalam menghambat pertumbuhan miselia jamur
yang diuji. Perendaman buah dengan minyak atsiri dan melalui fumigasi berhasil
23
mengendalikan blue mold (kapang biru) pada jeruk mandarin dan tidak
menimbulkan bahaya pada buah.
Tripathi et al. (2008) melaporkan bahwa dari 26 jenis tanaman yang diuji
aktivitas antijamurnya terhadap jamur Botrytis cinerea penyebab penyakit kapang
biru (blue mold ) pada tanaman anggur, ditemukan 10 jenis tanaman yang mampu
menghambat pertumbuhan jamur uji. Kesepuluh jenis tanaman tersebut
diantaranya Chenopodium ambrosioides, Eucalyptus citriodora, Eupatorium
cannabinum, Lawsonia inermis, Ocinum canum, Ocinum gratissimum, Ocinum
sanctum, Prunus persica, Zingiber cassumunar dan Zingiber officinale. Nilai
minimum inhibitory concentration (MIC) dari minyak atsiri Ocinum sanctum,
Prunus persica dan Zingiber officinale masing-masing 200, 150 dan 100 ppm
(mg/l). Sifat minyak atsiri ini stabil terhadap panas dan menunjukkan aktivitas
antijamur terhadap 15 jamur lainnya. Potensi antijamurnya bahkan lebih besar
dari fungisida sintetis. Buah anggur yang diberi perlakuan minyak atsiri Ocinum
sanctum dan Prunus persica daya simpannya dapat diperpanjang sampai 5 dan 4
hari, sementara yang diberi perlakuan minyak atsiri Zingiber officinale daya
simpannya bisa diperpanjang sampai 6 hari. Minyak atsiri yang diuji ini tidak
menimbulkan kerusakan pada kulit buah anggur.
Minyak atsiri yang diisolasi dari 5 jenis tanaman yang tumbuh di Iran
yaitu Urtica dioica, Thymus vulgaris, Eucalyptus spp., Ruta graveolens dan
Achillea millefolium diuji aktivitas antijamurnya terhadap jamur patogen
Alternaria alternata yang menyebabkan penyakit pasca panen pada tomat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri dari Urtica dioica dan Thymus
24
vulgaris menunjukkan aktivitas antijamur terhadap jamur Alternaria alternate.
Minyak atsiri dari Thymus vulgaris menunjukkan daya hambat terhadap
perkecambahan spora sebesar masing-masing 68,5% dan 74,8% pada konsentrasi
1500 dan 2000 ppm. Minyak atsiri dari Urtica dioica pada konsentrasi 1500 ppm
secara signifikan menghambat perkecambahan dan elongasi dari tabung kecambah
dan mampu melindungi kerusakan buah tomat pasca panen, baik melalui
inokulasi buatan maupun infeksi alamiah (Hadizadeh et al., 2009).
Cassia alata dan Dennetia tripetala diekstrak daunnya dan diuji sifatnya
sebagai antijamur terhadap jamur Sclerotium rolfsii, penyebab penyakit busuk
pada Cocoyam selama penyimpanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tepung daun dan ekstrak daun dari Cassia alata dan Dennetia tripelata secara
nyata mengurangi pertumbuhan koloni jamur secara in vitro dan perkembangan
penyakit pada umbi Cocoyam secara in vivo. Tepun daun ditemukan lebih efektif
dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen baik in vitro maupun in vivo
dibandingkan dengan ekstrak daun. Tepung daun dan ekstrak daun lebih efektif
diberikan sebagai bioprotektan pada umbi Cocoyam (Nwachukwu dan Osuji,
2008).
Bobbarala et al. (2009) meneliti 49 jenis tumbuhan yang digunakan dalam
obat tradisional di India diuji aktivitas antijamurnya terhadap jamur Aspergillus
niger. Jamur ini merupakan saprofit di dalam tanah menyebabkan busuk hitam
pada bawang merah dan bawang putih serta menyebabkan beberapa jenis penyakit
pada beberapa jenis tanaman seperti pada kapas, kacang tanah, dan buah vanili.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 49 jenis tumbuhan yang diuji, 86%
25
menunjukkan aktivitas antijamaur terhadap Aspergillus niger sementara 14%
tidak menunjukkan aktivitas antijamur. Ekstrak Grewia arborea menunjukkan
aktivitas antijamur yang tertinggi.
Satish et al. (2007), melakukan penelitian pada 52 jenis tumbuhan yang
tumbuh di India dari berbagai famili diuji potensi aktivitas antijamurnya terhadap
8 spesies Aspergillus yaitu Aspergillus candidus, A. columnaris, A. flavipes,
A. flavus, A. fumigatus, A. niger, A. pchraceus dan A. tamari yang diisolasi dari
biji sorghum, jagung dan padi. Kedelapan jenis jamur ini sering dijumpai sebagai
patogen pada biji selama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
52 jenis tumbuhan yang diuji, sebanyak 12 jenis tumbuhan menunjukkan aktivitas
antijamur terhadap Aspergillus. Tanaman tersebut adalah : Acacia nilotica, Achras
zapota, Datura stramonium, Emblica officinalis, Eucalyptus globules, Lawsonia
inermis, Mimusops elengi, Peltophorum pterocarpum, Polyalthia longifolia,
Prosopis juliflora, Punica granatum dan Sygigium cumini. Aspergillus flavus
ditemukan paling peka terhadap ekstrak. Diantara solven yang diuji, ekstrak
metanol memberikan hasil yang lebih baik dari etanol, kloroform, petroleum ether
dan benzene, kecuali untuk Polyathia longifolia, dimana petrolium ether
memberikaan hasil yang terbaik di antara solven yang diuji.
Ekstrak tumbuhan Mimusops elengi (Family Sapotaceae) diuji aktivitas
antijamurnya terhadap beberapa jenis jamur patogen tanaman yang bersifat
sebagai tular benih (seed borne). Jamur yang diuji adalah Alternaria alternata,
Drechslera (2 spesies), Fusarium (8 spesies), Aspergillus (10 spesies) dan
Penicillium (3 spesies). Semua jenis jamur ini sering berasosiasi dengan benih
26
tanaman sorghum (Sorghum bicolor), jagung (Zea mays) dan padi (Oryza sativa).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air, ekstrak metanol dan ekstrak
etanol memiliki daya hambat yang nyata terhadap semua jenis jamur yang diuji.
Senyawa alkaloid yang terdapat di dalam ekstrak tumbuhan ini secara nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan Dithane M-45 dan fungisida yang lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian tumbuhan Mimusops elengi dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen yang bersifat
tular benih dan mencegah kerusakan biji-bijian (grain) dari kerusakan oleh jamur
serta mencegah terbentuknya mikotoksin selama penyimpanan (Satish et al.,
2008).
Suprapta et al. (2008), melaporkan bahwa dari 45 jenis tumbuhan yang
diuji aktivitas antijamurnya terhadap jamur Phytophthora palmivora penyebab
penyakit bercak hitam (black pod) pada tanaman cacao, ditemukan 5 jenis
tumbuhan yang mampu menghambat pertumbuhan jamur uji yaitu Eugenia
aromatica, Piper betle, Pometia pinata, Alpinia galanga dan Sphaeranthus
indicus. Diantara kelima jenis tumbuhan tersebut E. aromatica dan P. betle
memiliki aktivitas antijamur yang kuat terhadap jamur P. palmivora pada
konsentrasi 0,05% dan 0,1%. Sementara itu pemanfaatan kombinasi ekstrak daun
sirih (Piper betle) dan rimpang lengkuas (Alpinia galanga) mampu meningkatkan
ketahanan benih tanaman pisang sampai 90-93% dari serangan jamur Fusarium
oxysporum dan atau Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu pada
tanaman pisang. Sedangkan pada kontrol dan perlakuan fungisida sintetik
27
(cholothalonil) kemampuan tumbuh sehat benih pisang berkisar antara 11-18%
dan 77-81% (Suprapta et al., 2005).
2.5.1 Keunggulan dan kelemahan pestisida nabati
Upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia sintetik akhir-akhir
ini banyak mendapat perhatian dunia dan sering kali dibicarakan di dalam seminar
dan ditulis dalam naskah jurnal, khususnya yang berkaitan dengan penyakit
tanaman. Adanya kekhawatiran masyarakat dengan penggunaan pestisida kimia
sintetis, dan didukung oleh permintaan produk pertanian yang sehat dan aman
bagi konsumen, maka diperlukan cara untuk mengendalikan penyakit tanaman
yang lebih aman (Soesanto, 2008).
Menurut Sudarmo (2005), keunggulan pestisida nabati adalah murah dan
mudah dibuat oleh petani, relatif aman terhadap lingkungan, tidak menyebabkan
resistensi hama, tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, tidak meninggalkan
residu pada tanaman. Sedangkan beberapa kelemahannya adalah daya kerja relatif
lambat, tidak membunuh organisme target secara langsung, tidak tahan terhadap
sinar matahari, dan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama.
Penggunaan pestisida nabati mengalami beberapa kendala diantaranya
adalah penggunaan pestisida sintetis (kimia) tetap lebih disukai dengan beberapa
alasan mudah didapat, praktis dalam aplikasinya, hasilnya relatif lebih cepat
terlihat, tersedia dalam jumlah banyak, Disamping itu tidak tersedianya bahan
tanaman secara berkesinambungan dalam jumlah yang memadai saat diperlukan
dan sulitnya registrasi pestisida nabati di komisi pestisida karena bahan aktif tidak
mudah untuk dideteksi. Tetapi dengan dikembangkannya sistem pertanian organik
28
maka penggunaan pestisida nabati lebih meningkat dan semakin berpotensi untuk
dikembangkan (Kardinan, 2002).
Menurut Suprapta (2014) pestisida nabati memiliki beberapa kelebihan
dan kekurangan, kelebihan pestisida nabati diantaranya pestisida nabati
mengandung senyawa fenol, alkaloid, saponin, quinon, xanthone yang mudah
terurai di alam sehingga tidak mengandung bahaya residu yang besar baik hasil
pertanian maupun pada lingkungan; pestisida nabati tidak berbahaya bagi
organisme bukan target karena pestisida nabati bersifat spesifik terhadap hama
dan patogen tertentu; persistensi pestisida nabati relatif singkat sehingga dapat
digunakan beberapa saat menjelang panen; pestisida nabati mengandung senyawa
aktif dan senyawa kurang aktif sering keberadaannya bersifat sinergis dan patogen
tidak mudah menjadi resisten terhadap pestisida nabati karena pestisida nabati
bersifat komplek. Sedangkan beberapa kekurangan pestisida nabati diantaranya
persistensi pestisida nabati umumnya sangat singkat sehingga harus diaplikasikan
secara berulang-ulang; biaya produksi yang tinggi sehingga tidak dapat bersaing
dengan pestisida sintetis dan kosistensi pestisida nabati umumnya kurang
dibandingkan dengan pestisida sintetis karena bahan aktif pestisida nabati dari
ekstrak tumbuhan sangat bervariasi menurut musim dan tempat tumbuh.
Pestisida nabati tidak dapat berlaku secara umum dan bersifat spesifik,
karena satu jenis tanaman yang ditanaman pada tempat dengan lingkungan yang
berbeda kemungkinan besar akan mengandung bahan aktif yang berbeda pula,
akibatnya dosis dan konsentrasi dan efektifitas pestisida nabati akan berbeda
bergantung pada lokasi setempat. Disamping itu aplikasi pestisida nabati sangat
29
dipengaruhi oleh lingkungan setempat, pestisida nabati yang digunakan pada
daerah tertentu belum tentu cocok untuk daerah yang lain walaupun digunakan
untuk mengendalikan penyakit yang sama pada tanaman yang sama. Hal ini dapat
disebabkan oleh kondisi lingkungan pada masing-masing tempat atau daerah
berbeda seperti kondisi pH, kelembaban, suhu, dan musim pada masing-masing
tempat atau daerah belum tentu sama (Kardinan, 2002).
2.5.2 Prospek pengembangan pestisida nabati
Terjadinya keracunan pada hewan dan manusia, pencemaran air, tanah,
udara, terjadinya resistensi hama, terjadinya resurgensi merupakan beberapa
kelemahan dari penggunaan pestisida sintetis, sehingga peluang untuk
mengembangkan pestisida nabati semakin meningkat. Peluang pengembangan
pestisida nabati semakin meningkat dengan meningkatnya pendidikan masyarakat
disertai dengan kebutuhan hidup sehat. Dalam lingkungan yang sehat
menyebabkan peranan pestisida nabati dalam pertanian semakin meningkat,
karena tidak mungkin pertanian bisa berlangsung dan berproduksi dengan baik
tanpa pestisida (Suprapta, 2014).
Berkembangnya sistem pertanian organik akan dapat meningkatkan
kebutuhan terhadap pestisida alami termasuk pestisida nabati karena sistem
pertanian organik, masalah hama dan penyakit selalu muncul dan menjadi kendala
produksi utama terutama pada tahap awal pengembangan sistem pertanian
organik. Karena sistem pertanian organik hanya menggunakan bahan organik
alam untuk proses produksi, dan tidak menggunakan senyawa kimia sintetis
seperti pupuk kimia sintetis dan pestisida kimia sintetis. Menurut Suprapta ( 2014)
30
saat ini sharing pasar pestisida alam masih sangat kecil yaitu kurang dari 2%,
sedangkan pertumbuhan pasar pestisida alam meningkat cukup besar yaitu sekitar
10-15% setiap tahun. Sehingga pertumbuhan permintaan yang cukup besar
merupakan peluang yang cukup besar dalam pengembangan pestisida nabati
untuk masa yang akan datang.