bab ii nur...

28
15 BAB II KONSEP DASAR GADAI DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Gadai Istilah yang digunakan fikih untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (agunan).sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin. 1 Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan Ar-Rahnu. 2 Ar-Rahnu dalam etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Misalnya ucapkan: " راهﻦ ﻣﺎء" (air yang tenang) dan “ راهﻨﺔ ﻧﻌﻤﺔ” (kenikmatan yang kekal dan tetap). Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnu berarti; penahanan. 3 Sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT: ﻴﻨ ﹶﺴ ﹾﺲ ﹸﻞﱡ) ﺛﺮ ﺍﳌﺪ: 38 ( Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. 74: 38) 4 Yakni tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat. 1 Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 175-176 2 H. Chairuman Pasribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 2, 1996, hlm. 139. 3 Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, al-Qubra: Maktabah al-Tijariyah, tt, hlm. 286 4 DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 995.

Upload: halien

Post on 25-Jun-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KONSEP DASAR GADAI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Gadai

Istilah yang digunakan fikih untuk gadai adalah al-rahn. Ia adalah

sebuah akad utang piutang yang disertai dengan jaminan (agunan).sesuatu

yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan

jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut

murtahin.1

Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan Ar-Rahnu.2

Ar-Rahnu dalam etimologi artinya: “tetap dan kekal”. Misalnya ucapkan:

kenikmatan yang kekal) ” نعمة راهنة “ dan (air yang tenang) " ماء راهن "

dan tetap). Menurut sebagian ulama: dalam bahasa Ar-Rahnu berarti;

penahanan.3 Sebagaimana didasarkan pada firman Allah SWT:

)38: املدثر (كل نفس بما كسبت رهينة

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. 74: 38)4

Yakni tiap-tiap diri ditahan karena apa yang sudah ia perbuat.

1Ghufron A.Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2002, hlm. 175-176 2H. Chairuman Pasribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta:

Sinar Grafika, Cet. 2, 1996, hlm. 139. 3Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, al-Qubra:

Maktabah al-Tijariyah, tt, hlm. 286 4DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm.

995.

16

Dikecualikan dari barang yang ada harganya, menurut syara’, barang

najis dan yang kena najis yang tak dapat dibersihkan; maka tidak patut

dijadikan sebagai barang jaminan kepercayaan hutang. Termasuk yang tidak

ada nilainya menurut syara’, barang suci tetapi tidak dinilai harta menurut

qiyas sebagaimana keterangan bab bai’ dalam Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab

al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah 5

Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan para ulama fiqh.

Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:6

شيئ متمول يؤخذ من مالكه ثوثقابه ىف دين الزم

Artinya: Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.

Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja

harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu.

Harta yang dijadikan barang jaminan jaminan (agunan) tidak hams diserahkan

secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti

menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah

surat jaminannya (sertifikat sawah).7

Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan:

5 Abd al-Rahman al-Jaziry, loc cit. 6 Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarh ash-Shawi, Mesir: Dar al-Fkr, tt, jilid III,

hlm. 303 7 Ibid, hlm. 325

17

جعل عني هلا قيمة مالية ىف نظر الشرع وثيقة بدين حبيث ميكن ين كلها أوبعضهامن تلك العني أخذ الد

Artinya: Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.8

Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn

dengan; 9

ر وفائهجعل عني وثيقة بدين يستوىف منها عند تعذ Artinya: Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang

dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.

Definisi yang dikemukakan Syafi'iyah dan Hanabilah ini mengandung

pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu

hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana

yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu,

menurut mereka (Syafi'iyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.

Sejalan dengan keterangan di atas Sayid Sabiq memaparkan:

Menurut bahasanya (dalam bahasa Arab) rahn adalah: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-Habsu, artinya; penahanan. Seperti dikatakan: ni’matun rahinah, artinya: karunia yang tetap dan lestari. Adapun dalam pengertian syara’, gadai berarti : menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu. Demikian menurut yang didefinisikan para ulama. Apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain, ia menjadikan barang miliknya

8 Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar 'ala ad-Darr al-Muktar, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1978,

hlm. 339 9 Asy-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Kilid Beirut: Dar al-Fikr, 1978, hlm. 121

18

baik berupa barang tak bergerak atau berupa ternak berada di bawah kekuasaanya (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya. Demikian yang dimaksudkan gadai menurut syara.10 Berkaitan dengan rahn, menurut Muhammad Syafi'i Antonio, ar-rahn

adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas

pinjaman yang diterimanya.11 Menurut Masjfuk Zuhdi, gadai ialah perjanjian

(akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan

utang.12 Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini merumuskan, menurut

syara’ kalimat rahn itu artinya menjadikan harta sebagai pengukuh/penguat

sebab adanya hutang.13 Sementara Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi

berpandangan, gadai adalah menjadikan barang yang sebangsa uang sebagai

kepercayaan hutang dimana akan terbayar dari padanya jika terpaksa tidak

dapat melunasi (hutang tersebut).14 Sedangkan al-Ustad H. Idris Ahmad

dengan singkat menyatakan gadai adalah menjadikan harta benda sebagai

jaminan atas utang.15 TM. Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan Rahn ialah akad

yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh

bayaran dengan sempurna darinya.16

Bertitik tolak pada rumusan-rumusan di atas dapat penulis simpulkan

10 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 195. 11 Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia

Institute, 1999, hlm. 182 12 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, Cet. 10, 1997,

hlm.123. 13 Taqi al-Din abu Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi hall Ghayah al-

Khtishar, Semarang: Maktabah Alawiyyah, tt, hlm. 263. 14.Syehk Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-

Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tt, hlm. 32. 15 Al-Ustad H. Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya, 1969, hlm.

37. 16 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,

hlm. 86-87.

19

bahwa gadai adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga

dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.

B. Dasar Hukum Gadai

Adapun dasar hukum gadai sebagai berikut:

Di dalam al-Qur’an Allah berfirman:

)283: البقرة ...(وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). (Q.S: al-Baqarah: 283)17

Sabda Rasulullah SAW :18

قال رسول اهللا صلى اهللا عليه :عـن أىب هريرة رضي اهللا تعايل عنه قال وسـلم الظهـر يركب بنفقته اذاكان مرهوناولنب الدريشرب بنفقته

)رواه البخارى(ة اذاكان مرهونا وعلى الذي يركب ويشرب النفق Artinya: Dari Abu hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW

bersabda: punggung binatang yang ditunggangi itu dengan nafakah (pembayaran kepada pemiliknya, jika binatang itu di gadai, susu yang diminum itu dengan nafkah (pembayaran bagi pemiliknya). Jika susu itu menjadi jaminan gadai dan wajib atas orang yang menungganginya dan yang meminum susunya pembayaran biayanya. (HR. al-Bukhary)

17 DEPAG RI, Op. Cit. hlm. 71. 18Abi Abdillah Muhmmad Ibn Ismail al-Bukhary, al-Jamiu Shahih al-Bukhary, Juz 2,

Beirut: Dar al-Fiqr, 1410H/1990M, hlm. 78. Cf. al-San’ani, Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam, Juz 3, Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960 hlm. 51. Al-Hafidz Ibn, Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Bairut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tt, hlm. 175.

20

Sabda Rasulullah SAW :19

واله وسلم درعاعند رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم رهن : عن أنس قال رواه أمحد والبخاري والنسائ (لمدينة وأخذمنه شعريا ألهله يهودي باا )وابن ماجه

Artinya: Dari Annas, ia berkata, Nabi SAW pernah menggadaikan

sebuah baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan nabi mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya (HR. Ahmad, Bukhary, Nasai an Ibn Majjah)

Sabda Rasulullah SAW :20

اشترى طعاما من واله وسلمصلى اهللا عليه وسلم عائشة أن النىب وعنيهودي اىل أجل ورهنه درعامن حديد وىف لفظ توفى ودرعه مرهونة

عند يهودي بثالثني صاعا من شعري Artinya: Dan dari Aisah ra, bahwa sesunguhnya Nabi SAW pernah

membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu dan dalam satu lafal (dikatakan): Nabi SAW wafat sedang baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha’ gandum. (HR. Bukhary dan Muslim)

Dengan merujuk pada hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa

hukumnya gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan TM. Hasbi Ash Shiddieqy,

19 Al-Imam Abu abdirrahman Ahmad Ibn syuaib Ibn ‘Ali Ibn Sinan Ibn Bahr an-Nasa’i,

as-Sunanu as-Sughra Wa Hiya al-Musammatu Bil Mujtaba, Beirut: Tijariah Kubra, tt, hlm. 83. lihat juga al-Imam Alamah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad as-Syaukani, Nail al-Autar Min Asy’ari Muntaqa al-Akhbar, Mustafa al-Babi al-Halabi, tt, hlm. 618.

20 Al-Imam abul Husain Muslim Ibn al-Hajjaz al-kusairi an-Naisaburi, al-Jami’u al-Sahihu Muslim, Dar Ihya, al-Kutub al-Arabiyah, tt, hlm. 87. lihat juga, al-Imam Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani, Loc. Cit.

21

bahwa menggadai barang boleh hukumnya, baik di dalam hadlar (kampung)

maupun di dalam safar (perjalanan), hukum ini disepakati oleh umum

mujtahidin.21

Adapun landasan ijma dapat dikemukakan paparan Sayid Sabiq yang

mengatakan: para ulama telah sepakat bahwa gadai itu boleh. Mereka tidak

pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya.

Jumhur berpendapat: disyariatkan pada waktu tidak bepergian dan bepergian,

berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap orang Yahudi di

Madinah. Adapun dalam masa perjalanan, seperti dikaitkan dalam ayat

sebagaiman tersebut dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, dengan melihat

kebiasaannya, dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.22

C. Syarat dan Rukun Gadai

Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang

harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk

sahnya suatu pekerjaan,"23 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan,

petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."24

Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn],

jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dan

sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan

21 TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Yogyakarta: PT. Rosda Karya,

Cet. 2, 1990, hlm. 419. 22 Sayid Sabiq, Op.Cit. hlm. 155. 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2002, hlm. 966. 24 Ibid., hlm. 1114.

22

syarat (Arab, syarth jamaknya syara'ith) secara literal berarti pertanda,

indikasi dan memastikan. Dalam istilah para ahli hukum Islam, rukun

diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari

keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu

sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku)

berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan

yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun

syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad

Al-Khudlari Bek, ialah: "sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan

(mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri. Hikmah dari ketiadaan

syarat itu berakibat pula meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum.25

Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau

tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang

merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang

menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya

sesuatu itu."26 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya

keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang

ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."27 Perbedaan antara rukun

dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang

kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu

sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung

25 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004, hlm. 95 26 Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: Ichtiar Barn van

Hoeve, 1996, hlm. 1510 27 Ibid., hlm. 1691.

23

keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.28

Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu:

1) Aqid (orang yang melakukan akad). Ini meliputi dua arah yakni: a) Rahin,

adalah orang yang mengadaikan barang (debitur). b) murtahin adalah

orang yang berpiutang yang menerima barang gadai sebagai imbalan uang

yang dipinjamkan (kreditur).

2) Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi dua hal: a) marhun

(barang yang digadaikan/barang gadai). b) dain marhunbiih (hutang yang

karenanya diadakan gadai).

3) Shighat (akad gadai).

Ibnu Rusyd dalam kitab mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga

bagian29:

1) Orang yang menggadaikan

Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang

menggadaikan adalah ia tidak berstatus dalam pengampuan (mahjur

alaih) dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang

dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk

kepentingan orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan

tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan, pendapat ini

dikemukakan oleh Malik.

Berkata Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada

kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang

28 Ibid., hlm. 1692. 29 Al-faqih Abulwalid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, Bidayah al-

Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Bairut: Dar al-Jiil, 1990, hlm. 204.

24

berupaya memerdekakan dirinya dengan cara mencicil) dan orang

yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut Sahnun, jika seseorang

menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu tidak

boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang

sama.

Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang muflis

(bangkrut/pailit) tidak boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah

membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas

dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena

hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah

perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat Malik yang

terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia menjadi

bangkrut (muflis).

Perbedaan pendapat dalam masalah ini besumber pada, apakah

orang muflis itu berstatus di bawah pengampuan atau tidak? Ketentuan

dasarnya adalah tiap-tiap orang yang boleh menggadaikan boleh juga

menerima gadai.30

2) Akad gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa

sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang,

karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang

digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Malik memboleh

30 Ibid.

25

penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang membacanya.

Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang

yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh

tempo.

Menurut Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual,

itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak

dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka menurut Malik boleh dijual

untuk melunasi hutang yang sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian

buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua pendapat, boleh

menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah

tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid,

pendapat yang paling benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik

menggadaikan barang yang belum jelas nilainya seperti dinar dan

dirham yang sudah dicetak, itu boleh.

Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang

yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya

membolehkan barang gadaian itu berstatus pinjaman. Para fuqaha

sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar penggadaian bahwa

barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian. Kemudian

mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang

tersebut dengan cara ghashab (merampas), kemudian orang yang

dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut sebagai barang

gadaian yang ada di tangannya. Dalam ha ini Malik membolehkan

26

pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan ghashab

menjadai tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu

menganggap barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan

perampas, sebelum ia menerima barang itu. Berbeda dengan Malik,

maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu tetap berada

dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas

menerima kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun

berselish pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik

bersama (al-Musya). Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut

Malik dan Syafi’i boleh. Silang pendapat tersebut berpangkal apakah

bagian barang tertentu dan milik bersama itu dapat dikuasai atau

tidak?31

3) Barang yang digadaikan

Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat

dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat diperjual

belikan kecuali jual beli mata uang (sharf) itu harus tunai. Karena itu,

sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal salam,

meskipun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf. Sekelompok

fuqaha dzahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada

barang pesanan (musallam fih). Demikian itu karena ayat yang

berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi utang piutang barang

dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan (salam). Seolah-

31 Ibid, hlm. 205.

27

olah mereka menjadikan yang demikian itu sebagai salah satu syarat

sahnya gadai, karena pada awal ayat tersebut Allah berfirman:

وهبى فاكتمسل من إلى أجيم بدنتايدوا إذا تنآم ا الذينها أيي...

وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة }282{

)283-282: البقرة...(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan maka hendaklah kamu menuliskannya…. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)… (Q.S: al-Baqarah / 2 : 282-283)32

Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada

salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak

kriminal, pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara

sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-Ma’mumah (pelukan

yang mengenai otak) dan al-Jaifah (pelukan yang mengenai perut).

Dalam hubungan ini mengenai pembunuhan secara sengaja dan

penganiayaan yang terkena qishash ada dua pendapat tentang

kebolehan mengambil gadai pada diatnya, jika wali korban

memaafkan. Pertama, gadai yang demikian itu boleh berdasarkan

pendapat bahwa wali korban boleh memilih antara mengambil diat

atau mengambil qishash pada penganiayaan yang disengaja. Kedua,

32 DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm.

70.

28

bahwa gadai yang demikian itu tidak boleh berdasarkan pendapat yang

mengatakan bahwa wali korban hanya boleh mengambil qishash saja

jika pelaku tindak kriminal (jinayah) itu enggan membayar diat.

Pembunuhan yang tidak disengaja boleh mengambil gadai dari orang

tertentu dari keluarga pelaku pidana dalam masa satu tahun.

Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh

tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di

bawah tanggungan. Gadai juga dibolehkan pada sewa menyewa (al-

Ijarat). Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan

sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin

tetapi tidak boleh pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak

(kitabah). Dengan kata lain, gadai tidak bisa berlaku pada semua

perbuatan yang tidak dapat diadakan tanggungan terhadapnya. Dalam

hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang

digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang, karena

barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap,

karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang

menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya.

Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan

tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib

atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan

madzab Maliki.

Berkaitan dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid dalam

29

bukunya yang sangat sederhana mengatakan rukun rungguhan ada empat

yaitu:

1) Lafadz (kalimat akad) seperti “saya rungguhkan ini kepada engkau

untuk utangku yang sekian kepada engkau”. Jawab dari yang

berpiutang: “saya terima runguhan ini”.

2) Yang merungguhkan dan yang menerima rungguhan (yang berhutang

dan yang berpiutang); disyaratkan keadaan keduanya ahli tasarruf

(berhak membelanjakan hartanya).

3) Barang yang dirungguhkan; tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh

dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum

sampai janji utang harus dibayar.

4) Ada utang disyaratkan keadaan utang telah tetap.33

Apabila barang yang dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang,

tetaplah rungguhan; dan apabila telah tetap rungguhan, yang punya barang

tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalan

dijual atau diberikan, dan sebagainya, kecuali dengan ijin yang berpiutang.

Apabila rusak atau hilang barang yang dirungguhkan ditangan yang

memegangnya, ia tidak mengganti karena barang rungguhan itu adalah

barang amanat (percaya mempercayai), kecuali jika rusak atau hilangnya

disebabkan lalainya.

Adapun

Menurut al-Ustadz H. Idris Ahmad, syarat gadai menggadai yaitu:

33 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, Cet 22, 1989, hlm. 291.

30

a) Ijab kabul yaitu: “aku gadaikan barangku ini dengan harga Rp. 100”

umpamanya. Dijawabnya: aku terima gadai engkau seharga Rp. 100.

Untuk itu cukuplah dilakukan dengan cara surat-menyurat saja.

b) Jangan menyusahkan dan merugikan kepada orang yang menerima

gadai itu umpamanya oleh orang yang menggadai, tidak dibolehkan

menjual barang yang digadaikan itu setelah datang waktunya, sedang

uang bagi yang menerima gadai sangat perlu.

c) Jangan pula merugikan kepada orang yang menggadai itu,

umpamanya dengan mensyaratkan bahwa barang yang digadaikan itu

boleh dipakai, dan diambil keuntungannya oleh orang yang menerima

gadai.

d) Ada rahin (yang menggadai) dan murtahin (orang yang menerima

gadai itu) ahli, maka tidaklah boleh wali menggadaikan harta anak

kecil (umpamanya anak yatim) dan harta orang gila dan lain-lain, atau

harta orang lain yang ada di tangannya.

e) Barang yang digadaikan itu berupa benda, maka tidak boleh

menggadaikan utang, umpamanya kata si rahin: “berilah saya uang

dahulu sebanyak Rp. 100. Dan saya gadaikan piutang saya kepada

tuan sebanyak Rp. 1.500 yang sekarang ada di tangan si Badu”.

Sebab piutang itu belum tentu dapat diserahkannya pada waktu yang

tertentu.34

34 al-Ustadz H. Idris Ahmad, Fiqih Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya, 1996, hlm.

38.

31

Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya yang merupakan komparasi

empat madzhab mengetengahkan, agar akad gadai itu sah ditetapkan beberapa

syarat, antara lain:

a. Kedua belah pihak; rahin dan murtahin benar-benar sudah patut (ahli)

melakukan akad bai. Karenanya tidak sah akad rahnun dari orang gila,

anak kecil yang belum tamyiz.

b. Dan lain-lain sebagaimana yang telah dirinci dalam berbagai

madzhab.35

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi,

penggadaian adalah sah dengan adanya ijab dan qabul. Sementara syarat

masing-masing dari orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai

adalah orang yang statusnya sah (berhak) melaksanakan.36

Bagi orang yang menggadaikan barang dan orang yang menerima

gadai masing-masing disyaratkan harus orang yang mempunyai status sah atau

berhak memerintahkannya, yakni sudah dewasa (baligh), berakal dan sehat.

Penggadaian sah jika dilakukan orang si wali baik itu ayah atau kakek atau

pemegang wasiat atau pula hakim. Tidak boleh menggadaikan harta anak kecil

atau orang gila, sebagaimana tidak boleh menerima gadai atas nama mereka

berdua, kecuali bila ada hal-hal yang sifatnya darurat (terpaksa) atau ada

keuntungan yang jelas.

35 Abdul al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah

al-Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 287. 36 Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Daar Ihya

al-Qutub al-Arabiyah, tt, hlm. 32.

32

Madzhab Syafi’i berpandangan bahwa syarat gadai terbagi menjadi

dua yaitu:37

a. Syarat tetapnya gadai; yaitu diterimanya barang gadai. Apabila seseorang

menggadaikan sebuah rumah, tetapi belum diterima oleh penerima gadai,

maka belum tetap (mengikat) akad gadai tadi. karenanya orang yang

menggadaikan boleh menarik barang gadai kembali. Apabila barang yang

digadaikan sebelum akad sudah di bawah kekuasaan penerima gadai, baik

karena barang itu disewa, dipinjam, atau digashab ataupun lainnya, maka

barang itu dinyatakan telah diterima murtahin sesudah akad, bila sudah

lewat waktu yang memungkinkan barang diterima. Untuk sahnya serah

terima disyaratkan adanya izin dari orang yang menggadaikan.

b. Syarat sahnya gadai sebagai berikut:

1) Syarat yang berkaitan dengan akad, yaitu hendaknya tidak dikaitkan

dengan syarat yang tidak dikehendaki oleh akad ketika sudah tiba jatuh

tempo. Karena yang demikian ini dapat membatalkan gadai. Adapun

bila menetapkan suatu syarat yang dikehendaki orang akad seperti

syarat mendahulukan penerima gadai atas lainnya yakni para kreditur

dalam menerima barang yang digadaikan, maka tidak merugikan.

2) Syarat yang berkaitan dengan kedua belah pihak: rahin (yang

menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai). Yaitu keahlian

(kecakapan) kedua belah pihak yang berakad. Misalnya masing-

masing dari mereka sudah baligh (dewasa), berakal dan tidak mahjur

37 Abd al-Rahman al-Jaziry, Op.Cit. hlm. 294-295.

33

‘alaih. Karenanya tidak sah gadainya anak kecil, orang gila, dan orang

bodoh secara mutlak walaupun mendapat izin dari walinya. Atas

pertimbangan, wali boleh membelanjakan harta mahjur ‘alaih dengan

digadaikan dalam dua keadaan; a) dalam keadaan darurat yang sangat

menghendaki dilakukan gadai. Seperti mahjur alaih dalam keadaan

sangat membutuhkan pakaian, makanan, pendidikan dan lain

sebagainya. Tetapi dengan syarat si wali tidak mendapatkan biaya

untuk itu selain menggadaikan harta mahjur ‘alaih. b) gadai itu

mengandung kemaslahatan terhadap mahjur ‘alaih. Misalnya bila wali

mendapatkan barang yang dijual dan dalam membelinya mendapat

keuntungan bagi mahjur ‘alaih, namun tidak mendapat uang untuk

membelinya, maka wali boleh menggadaikan barang milik mahjur

‘alaih untuk dibelikan barang tersebut karena sangat mengharap

adanya keuntungan bagi mahjur ‘aliah

3) Syarat yang berkaitan dengan marhun (barang yang digadaikan) ada

beberapa perkara yaitu: a) penggadai punya hak kuasa atas barang

yang digadaikan. b) marhun berupa barang. c) barang gadai (marhun)

bukan barang yang cepat rusak, sedang hutangnya untuk jangka waktu

yang cukup lama dalam arti barang itu sudah rusak sebelum jatuh

tempo. d) barang gadai itu barang yang suci. e) barang gadai dapat

diambil manfaatnya menurut syara’, meskipun pada saat yang akan

datang.

Syarat yang berkaitan dengan marhun bih/ penyebab penggadaian

34

(hutang yang karenanya diadakan penggadai). Hal ini ada empat perkara:

a) penyebab penggadaian adalah hutang b) hutang itu sudah tetap c)

hutang itu tetap seketika atau yang akan datang d) hutang itu telah

diketahui benda, jumlah dan sifatnya. Oleh karena itu tidak sah

menggadaikan sesuatu barang atas hutang yang belum diketahui benda,

jumlah, dan sifatnya.38

D. Batalnya Akad Gadai

Menurut Sayyid Sabiq, jika barang gadai kembali ketangan rahin atau

dengan kata lain jika barang gadai berada kembali dalam kekuasaan rahin

maka ketika itu akad gadai sudah batal. Dengan demikian dalam perspektif

Sayyid Sabiq agar akad gadai tidak batal barang gadai harus dalam

penguasaan murtahin.39

Ulama lain berpendapat : gadai dipandang batal dengan beberapa

keadaan seperti membebaskan utang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain

yang akan dijelaskan di bawah ini.

1. Borg Diserahkan Kepada pemiliknya

Jumhur ulama selain Syafi’iyah manganggap gadai menjadi batal jika

murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya (rahin) sebab borg merupakan

jaminan utang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu,

dipandang batal pula akad gadai jika murtahin meminjamkan borg kepada

rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.

38 Ibid. 39 Sayid Sabiq, Figh Sunnah, Juz 3, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 153

35

2. Dipaksa Menjual Borg

Gadai batal, jika hakim memaksa rahin untuk menjual borg, atau

hakim menjualnya jika rahin menolak.

3. Rahin Melunasi Semua Hutang

4. Pembebasan Hutang

Pembebasan hutang, dalam bentuk apa saja, menandakan berakhirnya

akad gadai meskipun hutang tersebut dipindahkan kepada orang lain.40

5. Pembatalan akad gadai dari pihak Murtahin

Akad gadai dipandang batal atau berakhir jika murtahin membatalkan

rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal jika rahin

membatalkannya.

Menurut ulama Hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan

pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi, kecuali

dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak

memegang.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahn dipandang batal jika

murtahin membiarkan borg pada rahin sampai dijual.

6. Rahin Meninggal

Menurut ulama Malikiyah, rahn batal atau berakhir jika rahin

meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal

jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada rahin.

7. Borg Rusak

40 Al-Faqih Abulwalid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, Bidayah al-

Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Jiil, 1990, hlm. 204

36

8. Tasharruf dan Borg

Rahn dipandang habis apabila borg ditasharrufkan seperti dijadikan

hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.41

E. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan Barang Gadai

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang

dibutuhkan untuk pemeliharaan barang barang jaminan itu menjadi

tanggungjawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang.

Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang

dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa

menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk tindakan menyia-

nyiakan harta. Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang barang jaminan

memanfaatkan barang jaminan itu; sekalipun mendapat izin dari pemilik

barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para ulama.

Jumhur ulama fiqh,42 selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,

karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang

jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai janminan piutang yang ia

berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya,

barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi

piutangnya. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah SAW. yang

berbunyi:

41 Abd al-Rahman al-Jaziry, op.cit, hlm 289 42Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid

Wa Nihayat al Muqtasid, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, Jilid II, hlm. 272

37

قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قال رضي اهللا عن أيب هريرة رواه احلاكم (رمه غاليغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه وعليه

)ابن حبان والبيهقىو Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw. berkata

barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya karena hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggungjawabnya. (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban).

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang

jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama

Hanafiyah membolehkannya,43 karena dengan adanya izin, maka tidak ada

halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu.

Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya,44 ulama Malikiyah,45 dan

ulama Syafi'iyah46 berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya,

pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.

Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu

merupakan riba yang dilarang syara'; sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik

barang. Bahkan, menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung

dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang

akan dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba, izin dan rida tidak

43 Ibnu Abidin, Radd al-muhtar' ala ad-Durr al-mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, tth,

Jilid V, hlm. 478 44 Imam al-Kasani, al-Bada'i'u asy-Shana'i, hlm. 145 45 Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, as-Syarh al-Kabir 'ala Matn Sayyidi Khalil, Mesir: al-

Amiriyah, tt, hlm. Jilid III, hlm. 248 46 Imam Asy-Syafi'ī, al-Umm, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Jilid III, hlm. 147

38

berlaku. Hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan al-

Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban.

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah

binatang ternak. Menurut sebagian ulama Hanafiyah, al-murtahin boleh

memanfaatkan hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya.47

Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan sebagian ulama Hanafiyah berpendirian

bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya, maka

al-murtahin boleh memanfaatkannya, baik seizin pemiliknya maupun tidak,

karena, membiarkan hewan itu tersia-sia, termasuk ke dalam larangan

Rasulullah.48

Ulama Hanabilah49 berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang

jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk

mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya

pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. Hal ini sejalan

dengan sabda Rasulullah saw. yang mengatakan:

قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قالرضي اهللا أيب هريرة عن الظهر يركب بنفقته إذاكان مرهونا ولنب الدريشرب بنفقنه إذا كان

مذى رواه البخارى والتر(مرهونا وعلى الذي يركب ويشرب النفقة )وأبوداود

47 Wahbah az-Zuhaili, al-Fqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 1984,

hlm. 256 48 Fathi ad-Duraini, al-Fath al-Islami al-Muqarran Ma'a al Mazahib, Damaskus:

Mathba'ah ath-Tharriyyin, 1979, 1979, hlm. 555 49 Ibnu Qudamah, al-Mughni., jilid IV, hlm. 432-433

39

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan biayanya. (HR al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud).

Dalam hadis lain Rasulullah saw. mengatakan:

قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم :عنه قالرضي اهللا أيب هريرة عن لفها فإن استفضل من اللنب إذارن شاة شرب املرن لبنها بثدر ع

)رواه أمحد بن حنبل (شيئ بعد مثن العلىن فهو ربا

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: jika agunan itu seekor kambing, orang yang memegang barang jaminan Boleh meminum susunya, sesuai dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkun untuk kambing itu. Apabila susu yang diambil melebihi biaya pemeliharaan, maka kelebihannya itu menjadi riba (HR Ahmad ibn Hanbal).

Akan tetapi, menurut ulama Hanabilah, apabila barang jaminan itu

bukan hewan atau sesuatu yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan, seperti

tanah, maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya.50

Ulama Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan

ternak, maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh

memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang.

Sedangkan ulama Malikiyah dan Syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan

memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi

50 Ibid

40

piutang, hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh

pemiliknya.51

Di samping perbedaan pendapat di atas, para ulama fiqh juga berbeda

pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin (pemilik

barang/pemberi barangh gadai). Ulama Hanafiyah52 dan Hanabilah53

menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi

barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin (penerima gadai). Mereka

berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi

tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda

Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari

Abu Hurairah di atas. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin

memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila

barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya

bertanggungjawab membayar ganti ruginya.

Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari

pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apabila pemilik

barang itu ingin memanfaatkan al-marhun (barang jaminan), tidak perlu ada

izin dari pemegang al-marhun (barang jaminan). Alasannya, barang itu adalah

miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk

memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun (barang

jaminan) tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Oleh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan

51 Wahbah az-Zuhaili, loc.cit. 52 Imam al-Kasani, op.cit., hlm. 146 53 Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 390.

41

pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk itu. Hal ini sejalan

dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan al-Bukhari, at-Tirmizi, dan

Abu Daud dari Abu Hurairah di atas.54

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah

berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun

(barang jaminan), baik diizinkan oleh al-murtahin (pemegang gadai) maupun

tidak. Karena, barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak

pemilik secara penuh.55

Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam

menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun (barang jaminan), baik oleh rahin

(pemilik barang/pemberi gadai) maupun oleh al-murtahin (penerima gadai)

bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba.

Karena, hakikat ar-rahn (gadai) dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan

tanpa imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong. Oleh sebab

itu, para ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad

kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh

memanfaatkan al-marhun (barang gadai), maka akad ar-rahn (gadai) itu

dianggap tidak sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad

ar-rahn (gadai) itu sendiri.56

54 Asy-Syarbaini al-Khatib, Mugni al-Muhtaj, Jilid II, hlm. 131. 55 Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, as-Syarh al-Kabir 'ala Matn Sayyidi Khalil, Mesir: al-

Amiriyah, tth, hlm. Jilid III, hlm. 241 56 Fathi ad-Duraini, al-Fiqh al-Islami al-Muwaran Ma'a al-Mazahib, Damaskus:

Mathba'ah ath-Thariyyin, 1979, hlm. 571

42

Ar-rahn (gadai) yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya

bersifat pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang

memerlukan dengan seseorang yang memiliki kelebihan harta.

Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan

ekonomi, ar-rahn (gadai) tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga

antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk

mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang

jaminan yang boleh dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu. barang

jaminan ini, dalam istilah bank disebut dengan personal guarantee.

Personal guarantee ini sejalan dengan al-marhun (barang jaminan)

yang berlaku dalam akad ar-rahn (gadai) yang dibicarakan para ulama klasik.

Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan oleh

bank. Kredit di bank, biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang

yang ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu, jumlah uang yang harus dibayar

orang yang berutang akan lebih besar dari uang yang dipinjam dari bank.

Dengan demikian, menurut Mustafa az-Zarqa',57 persoalan utang

(bunga bank) yang berlaku di bank yang mewajibkan adanya personal

guarantee, terkait dengan penambahan utang. Persoalan ini, oleh para ulama

fiqh, dibahas dalam persoalan riba.

57 Mustafa Ahmad az-Zarqa', al-'Uqud al-Musamah, Damaskus: Dar al-Kitab, 1974, hlm.

65