bab ii landasan teori tentang subjek hukum, badan hukum...

23
17 BAB II LANDASAN TEORI TENTANG SUBJEK HUKUM, BADAN HUKUM YAYASAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2004 A. Pengertian Subjek Hukum Dalam dunia hukum perkataan orang (person), berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang biasa disebut sebagai subjek hukum. 1 Menurut Soebekti, bahwa subjek hukum (subject van een recht) adalah orang yang mempunyai hak, manusia peibadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum, yakni berupa tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan seperti perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing pihak. Dalam kerangka hukum nasional, subjek hukum dapat secara individual ataupun negara. 2 1 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117. 2 Sudarsono, Pengantaar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 275.

Upload: dangngoc

Post on 16-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG SUBJEK HUKUM, BADAN HUKUM

YAYASAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2001 JO

UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2004

A. Pengertian Subjek Hukum

Dalam dunia hukum perkataan orang (person), berarti pembawa hak,

yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang biasa disebut sebagai

subjek hukum.1

Menurut Soebekti, bahwa subjek hukum (subject van een recht) adalah

orang yang mempunyai hak, manusia peibadi atau badan hukum yang berhak,

berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah

perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai

subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan

sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat

hukum, yakni berupa tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum

yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari

hubungan seperti perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang oleh

karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

pada masing-masing pihak. Dalam kerangka hukum nasional, subjek hukum

dapat secara individual ataupun negara.2

1CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117.

2Sudarsono, Pengantaar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 275.

18

B. Macam-macam Subjek Hukum

Subjek hukum hukum pada dasarnya adalah orang yang mempunyai

hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau

melakukan perbuatan hukum. Badan hukum juga meliputi perkumpulan atau

organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya

dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan

perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah tindakan seseorang

berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan

hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum, seperti perkawinan

antara laki-laki dan perempuan, sehingga memberikan dan membebankan bagi

keduanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban.3

Dalam konteks hukum internasional, subjek hukum dapat secara

individual atau negara. Subjek hukum individual adalah pemegang hak dan

kewajiban internasional, sedangkan negara subjek hukum negara adalah

peraturan-peraturan hukum internasional yang menyangkut aturan-aturan yang

yang harus ditaati oleh negara-negara. Dengan kata lain, hukum internasional

lebih mengatur haal-hal yang berkenaan dengan haak-hakm kewajiban-

kewajiban dan kepentingan-kepentingan negara-negara.4

3Sujono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

hlm. 128-129. 4J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Indonesia, Aksara Persada, 2000), hlm.

53.

19

Secara garis besar, para pakar hukum membagi subjek hukum menjadi

dua, yaitu sebagai berikut:

1. Manusia

Sekarang boleh dikatakan, bahwa tiap manusia, baik warga negara

ataupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya

adalah subjek hukum. Subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia

mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu

tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah,

membuat wasiat dan lain sebagainya.

Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia

dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, bahkan seorang anak

yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa

hak (dianggap telah lahir) jika kepentingannya memerlukannya (untuk

menjadi ahli waris). Walaupun menurut hukum, setiap orang tiada

terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidaklah

semua orang diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-

haknya itu.

Dalam term hukum Islam (ushul al-fiqh) manusia adalah orang

mukallaf,5 di mana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah

dan firman-Nya. Misalnya Firman Allah SWT. “dirikanlah shalat”, maka

perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan

5Abdul Wahaf Khalaf mendefinisikan mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu

yang dibebankan kepadanya. Pengertian “ahli” menurut bahasa ialah kelayakan atau layak, sedangkan menurut ulama ushul “ahli” (layak) itu terbagi menjadi dua, yaitu ahli wajib dan ahli melaksanakan. Lihat, Abdul Wahaf Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tholcah Mansoer, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 217.

20

shalat, dan bukan ditujuakan kepada anak-anak atau orang yang sedang

gila.6 Hal ini didasarkan Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 4 sebagai

berikut:

وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم فيضل الله من يشاء كيمالح زيزالع وهاء وشي ندي مهي4: هيمابرا (و(

Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ibrahim: 4)7

Ayat di atas menunjukkan, bahwa Allah SWT. tidak membebani

seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Oleh karena sahnya

memberikan beban kepada mukallaf dalam syara’ ada dua macam.

Pertama, ia harus mampu memahami dalil pentaklifan, sebagaimana ia

mampu untuk memahami berbagai nash al-Qur’an dan Sunah, baik dengan

sendirinya atau dengan perantaraan. Oleh karena itu, orang yang tidak

sanggup memahami dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin dapat

melaksanakan sesuatu yang ditaklifan kepadanya dan tidak bisa

mengarahkan maksud kepadanya. Kedua, mukallaf layak (ahliyyah)

dikenai taklif, baik berupa ahliyyah wujub (kelayakan seseorang untuk

ditetapkan padanya hak dan kewajiban) maupun ahliyyah ada’ yaitu

kelayakan mukallaf yang didasarkan pada ucapan dan perbuatannya

6A. Hanafi, Usul Fiqh, (Jakarta: Wijaya, 1997), hlm. 25. 7Soenarjo dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.

21

menurut syara’, sehingga jika ia keluar dari hal itu, maka harus ada sanki

baginya.8

Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka ada beberapa

golongan yang oleh hukum telah dinyatakan “tidak cakap” (mampu) atau

“kurang cakap” (tidak mampu) untuk bertindak sendiri dalam melakukan

perbuatan-perbuatan hukum (mereka disebut handelingonbekwaam),

sehingga mereka harus mewakili atau dibantu orang lain.9

Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk

melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:

a. Orang yang masih di bawah umur (belum mencapai usia 21 tahun atau

belum dewasa)

b. Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros,

yakni mereka yang ditaruh di bawah curatele (pengampunan) .

c. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).10

2. Badan hukum

Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, maka terdapat

pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status

person yang mempunyai hal dan kewajiban seperti manusia, yang disebut

sebagai badan hukum.

8Abdul Wahaf Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qorib, (Semarang:

Dina Utama Semarang, 1994), hlm. 202-204. 9CST. Kansil, op. cit., hlm. 118. 10 Ibid.

22

Kriteria badan hukum sebagai subjek hukum meliputi dua hal.

Pertama, setiap persekutuan manusia yang bertindak dalam pergaulan

hukum seolah-olah ia adalah purusa yang tunggal. Kedua, tiap-tiap harta

dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tidak ada empunya, dan dalam

pergaulan hukum dianggap seolah-olah purasa, misalnya yayasan.11

Badan hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat

melakukan sebagai hak manusia misalnya dapat melakukan persetujuan-

persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan

anggota-anggotanya .

Bedanya dengan manusia, maka badan hukum itu tak dapat

melakukan perkawinan, tidak dapat dihukum penjara, kecuali hukuman

denda.

C. Pembagian Badan Hukum

Menurut E. Utrecht membagi badan-badan hokum di Indonesia

menjadi tiga bagian:

1. Badan hukum menurut Eropa (Barat)

2. Badan hukum menurut Eropa yang tertulis, yaitu sekarang badan hukum

menurut badan hukum Indonesia.

3. Badan hukum adat dan badan hukum Islam.12

Berkaitan dengan macam badan hukum, dalam Pasal 1653 tentang

Perkumpulan dijelaskan sebagai berikut:

11Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 279. 12Ibid., hlm. 282.

23

Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan aatau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah diizinkan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik13

Berdasarkan bunyi Pasal 1653 di atas, secara tidak langsung badan

hukum dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya

Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, Bank-bank yang didirkan

oleh Negara dan sebagainya.

2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya

perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan

sebagainya.

3. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak

bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti PT,

perkumpulan, asuransi, perkapalan dan lain sebagainya.14

Dilihat dari segi wujudnya, maka badan hukum dapat dibedakan

menjadi dua macam:

1. Kooperasi (corpratie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang

dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek

hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang

beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban

sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para

13R. Soebekti dan R. Rjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 433-434.

14Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 57.

24

anggotanya. Misalnya: PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan,

koperasi, Indonesische Maatschappij opaandelen (IMA) dan sebagainya.

2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk

tujuan tertentu. Jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah

pengurusnya.15

Batas antara korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul

beberapa ajaran untuk membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai

berikut:

1. Pada korporasi para anggotanya bersama-sama mempunyai kekayaan dan

bermacam-macam kepentingan yang berwujud dalam badan hukum itu,

sedangkan pada yayasan kepentingan yayasan tidak terlekat pada

anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.

2. Dalam korporasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang

memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan dalam yayasan yang

memgang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.

3. Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya adalah para

anggotanya; sedangkan dalam yayasan yang menentukan maksud dan

tujuannya ditetapkan oleh orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya

berdiri di luar badan tersebut.

15Ibid.

25

4. Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan

pada yayasan titik berat pada suatu kekayaan yang ditujukan untuk

mencapai maksud tertentu.16

Badan hukum dapat pula dibedakan menjadi dua jenis yakni sebagai

berikut:

1. Badan hukum publik, yaitu negara, Daerah Swatantra Tingkat I dan II,

Kotamadya, Kotapraja dan Desa.

2. Badan hukum perdata, badan hukum ini dibagi menjadi dua:

a. Badan hukum (perdata) Eropah, seperti Perseroan Terbatas, Yayasan,

Lembaga, Koperasi, Gereja.

b. Badan hukum Indonesia, seperti Gereja Indonesia, Masjid, wakaf,

koperasi Indonesia.17

Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan

hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada

2 macam:

1. Berdasarkan terjadinya, yakni “Badan hukum privat” didirikan oleh

perseorangan, sedangkan “badan hukum publik” didirikan oleh

pemerintah/negara.

2. Berdasarkan apangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu

untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk

kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum

16Ibid., hlm. 58-59. 17CST. Kansil, loc. cit.

26

publik, kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan

maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.18

Badan hukum publik misalnya:

1. Negara RI

2. Daerah Tingkat I

3. Daerah Tingkat II/Kotamadya

4. Bank-bank Negara (seperti Bank Indonesia)

Badan hukum privat misalnya:

1. Perseroan Terbatas (PT)

2. Koperasi

3. Perkapalan

4. Yayasan

5. dan lain-lain.19

D. Yayasan Sebagai Subjek Hukum

1. Pendirian dan Tujuan Yayasan

Yayasan adalah tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan

kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu.

Dalam pergaulan hukum, yayasan bertindak sebagai pendukung hak dan

kewajiban tersendiri, seperti yayasan yang menjadi dasar keuangan swasta.

Yayasan dalam hukum Islam dan hukum adat dikenal di bawah nama-

18Riduan Syahrani, op. cit., hlm.59. 19Ibid., hlm. 60.

27

nama wakaf dan didirikan untuk mengatur keuangan, milik dan

sebagainya, tanah, masjid dan objek-objek lainnya.20

Pada umumnya yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat

juga oleh seorang saja, dengan melakukan suatu perbuatan hukum yang

dituangkan dalam akta notaries dengan memisahkan suatu harta dari

seorang atau beberapa orang pendirinya, dengan tujuan idiil/social yang

tidak mencari keuntungan, mempunyai pengurus yang diwajibkan

mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan

kelangsungan hidup yayasan. 21

Yayasan tidak mempunyai anggota dan hal ini ditentukan secara

tegas. Hal ini sejalan dengan tujuan yayasan yang selalu bersifat idiil.

Pemisahaan harta oleh para pendiri menunjukkan, bahwa tidak ada lagi

hubungan secara pribadi antara orang yang memisahkan harta tersebut

dengan yayasan, sebab semenjak dipisahkannya harta tersebut secara

otomatis putuslah hubungan hukum antara harta tersebut dengan yang

menyerahkan, dan kalaupun dia ikut aktif dalam pengelolaan yayasan itu

bukan karena kedudukannya sebagai orang yang telah memisahkan

hartanya, akan tetapi hanya bertindak sebagai pengurus.22

Berkaitan dengan hal di atas, maka menurut Rochmat Soemitro,

bahwa syarat pendirian yayasan sebagaimana adalah sebagai berikut:

a. Harus didirikan dengan akta notaris

20Sudarsono, op. cit., hlm. 282. 21Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung:

Eresco, 1993), hlm. 166. 22 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar

Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 103.

28

b. Harus ada Anggaran Dasar yang memuat

c. Akta disusun dalam Bahasa Belanda

d. Yayasan didirikan dengan suatu perbuatan hukum, dengan pemisahan

harta yang memungkinkan dicapainya tujuannya

e. Yayasan tidak mempunyai anggota

f. Yayasan harus didaftarkan di Register yang diadakan di Kamervan

Koophandel (di Indonesia KADIN) beserta nama-nama dan tempat

tinggal para pengurusnya, yang berwenang, mewakili yayasan di

dalam maupun di luar pengadilan. Apabila kepada seorang diberi

kuasa, harus ditegaskan apakah hak mewakilinya itu harus bersama-

sama dengan orang lain atau tidak dan kewenangannya harus

dinyatakan secara tegas.

g. Pengurus bertanggung jawab renteng untuk pendaftaran yayasan

h. Untuk setiap pendaftaran di Kamer van Koophandel tentang suatu

jumlah yang ditentukan dalam Algemene Maatregel van Bestuur.

i. Salinan akte pendirikan harus diletakkan di Kantor Kamer dan

Koophandel agar sewaktu-waktu dapat dilihat oleh orang yang

berkepentingan.23

Jika yayasan tidak didirikan sesuai dengan ketentuan undang-

undang, maka atas permintaan orang yang berkepentingan yayasan dapat

dibatalkan oleh Hakim Pengadilan dan juga dapat dibatalkan atas

ketentuan kejaksaan.

23Ibid., hlm. 166-167.

29

2. Keuangan Yayasan

Salah satu hal yang paling peka pada yayasan adalah soal dana.

Dana (keuangan) menurut Quraisy Shihab biasa diartikan “harta, kekayaan

dan nilai tukar bagi sesuatu”. Harta atau keuangan oleh Allah SWT.

merupakan qiyaman, yaitu sarana pokok kehidupan. Sehingga suatu hal

yang wajar, Islam memerintahkan menggunakan uang pada tempatnya

dan secara baik serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkannya

untuk menjaga dan memeliharanya.24 Hal ini secara tegas dijelaskan dalam

surat al-Nisa’ ayat 5 sebagai berikut:

)5: النساء... (ولا تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan …” (QS. Al-Nisa’: 5) 25

Berkaitan dengan ayat di atas, maka dana (keuangan) merupakan

kunci dari melakukan usaha. Oleh karena itu agar yayasan dapat

melakukan fungsinya untuk mencapai tujuannya, sedangkan biasanya

yayasan tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap dan pasti, lain

kalau sebuah yayasan sudah mempunyai uang yang didepositokan dalam

bank sehingga usahanya dapat dibiayai dengan bunga yang diperoleh dari

deposito itu, seperti Yayasan Darmais yang diketuai oleh Bapak Presiden

Suharto sendiri, yang memberi bantuan kepada yayasan-yayasan yang

24Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.

403. 25Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 221.

30

bergerak dalam bidang sosial. Biasanya uang yayasan berasal dari usaha

sendiri dan atau berasal dari sokongan dan sumbangan.

Kalau Yayasan melakukan usaha dengan tujuan untuk

mendapatkan keuntungan yang kemudian akan digunakan untuk

membiayai usahanya guna mencapai tujuannya hal ini sebenarnya tidak

sesuai dengan tujuan yayasan. Memang dalam hal ini terdapat suatu

kontroversi yang harus dipecahkan, dan hal inilah yang menjadi beban

ketua yayasan atau pengurus yayasan, yang dipandang amat berat.26

Ketentuan dalam Anggaran Dasar hanya dapat diubah oleh alat-

alatnya jika hal ini dimunginkan oleh ketentuan dalam anggaran dasarnya

sendiri. Jika ketentuan demikian tidak ada maka hanya pengadilan yang

dapat mengadakan perubahan AD. Perubahan ini harus dilakukan dengan

akta notaries (Pasal 293 NBW) dengan ancaman batal demi hukum jika

tidak demikian. Para pengurus berkewajiban meletakkan suatu copy dari

perubahan itu di Kamtor Kamer van Koophandel.

Jika Anggara Dasar tidak memuat kemungkinan perubahan AD,

maka pengadilan atas permohonan pendiri atau atas permohonan pengurus

atau atas tuntutan kejaksaan, dapat mengubah ketentuan Anggaran Dasar

berdasarkan alasan bahwa kelangsungan Anggaran Dasar tanpa perubahan

akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan pada waktu pendirian.27

26Ibid., hlm. 164. 27Ibid.

31

Dalam mengadakan perubahan, pengadilan seberapa bnoleh tidak

jauh menyimpang dari Anggaran Dasar aslinya, dengan ketentuan bahwa

tujuan yayasan tidak dapat diubah, sepanjang Anggaran Dasar tidak

memungkinkan hal itu.

Pengadilan, sesuai dengan ketentuan di atas, dapat mengubah

Anggaran Dasar untuk menghindarikan pembubaran Yayasan berdasarkan

putusan pengadilan, apabila tujuan yayasan bertentangan dengan ketentuan

yang dimuat dalam UU, yaitu bahwa yayasan tidak boleh memberikan

pembayaran-pembayaran kepada para pendirinya, atau apabila kekayaan

yayasan tidak cukup untuk emncapai tujuannya dan tidak ada

kemungkinan dalam waktu dekat untuk menambah keuangannya, atau

apabila tujuan yayasan sudah tercapai.28

3. Wewenang Pengurus Yayasan

1. Pengurus diberi wewenang untuk membina yayasan sesuai dengan

pembatasan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar

2. Pengurus Yayasan tidak berwenang mengadakan pengikatan harta

kekayaan yayasan, mengadakan pembelian, membuat hutang,

mengikatkan yayasan sebagai mitra debitur (medeschuldenaar) kecuali

jika hal ini dimungkinkan oleh Anggaran Dasaar.

3. Pengurus mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan kecuali

Undang-undang menentukan lain.

28Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 168.

32

4. Pembatasan wewenang pengurus yang tidak timbul karena undang-

undang tidak dapat dipaksakan oleh pihak ketiga atau terhadap pihak

lain.

4. Tinjauan dari Segi Hukum

Perundang-undangan sama sekali tidak mengatur badan hukum

Yayasan. Hanya dalam beebrapa undang –undang disebut adanya yayasan,

sepereti pasal 889,900,1680 dan pasal 365 K.U.H.Sipil, kemudian dalam

pasal 6 ayat (3) dan pasal 236 Rv.

Dalam pasal –pasal tersebut sama sekali tidak memberi rumusan

tenang pengertian yayasan. Untuk dapat mengetahgui apakah Yayasan itu,

baiklah kita telaah pendapat seorang ahli hukum terkenal.

Scolten mengatakan :

“Yayasan adalah suatu badan hukum, yang dinyakan oleh suatu pernyatan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu. Dengan penunjukan, bagaiman kekayaan itu harus digunakan”29

Dengan demikian, Yayasan atau badan hukum yan mempunyai

unsur- unsur:

b. Mempunyai harta kekayaan sndiri, yan berasal dari suatu perbuatan

pemisahan.

c. Mempunyai tujuan sendiri (tertentu).

d. Mempunyai alat peerlengkapan (organisasi).

29Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,

Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni,), hlm. 106.

33

Sehubungan dengan kedudukan badan hukum yayasan itu, perlu

dinyatakan terlebih dulu, apakah menurut hukum kita yang berlaku dapat

didirikan suatu yayasan ? Dalam pasal 365 , 899,900,1680 K.U.H.perdata

dan pasal 6 ayat (30, 236 Rv yang sudah disebut diatas tidak dapat kita

temukan dasar hukumnya, apakah mungkin dapat didirikan suatu Yayasan.

Oleh karena itu, kita harus mencari ditempat lain. Dari keputusan- kepusan

pengadilan selalu diputuskan, bahwa pendiriuan suatu Yayassan itu

mungkin, baik dai hoge raad maupun dari pengadilan- pengadilan yang

lebih rendah (30 Juni 1882, W. 4800;11 Dec. 1914,N.J. 1915,238,W.

9755; W.P.N.R.2360).

Memang yurispendensi dan kebiasaanlah bersama- sama yang

menetapkan aturan mengenai yayasan. Lagi pula perlu diperhatikan, tidak

dari suatu campur tangan dari penguasa.

Dalam pasal 7 Armenwet 1954 (sudah tidak berlak lagi), adanya

keharusan untuk mendaftarkan kepada kota- praja dalam jangka waktu

yang berbeda- beda bagi yayasan (instellingen) yan sudah ada dan yang

baru didirikan, dengan ancaman akan kehilangan wewenangnya untuk

melakukan perbuatan- perbuatan hukum.30

Yayasan, dalam bahasa Belanda disebut stichting, dalam

Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Indonesia (IBW) tidak terdapat

pengaturannya. Hanya beberapa tempat IBW menyebutkan Stichting yaitu

dalam pasal 365 (mengenai perwalian = voogdij) dan pasal 899, Wet op de

30 Ibid., hlm. 107.

34

Rectsvoerdering pasal 236, dan dalam Faillissements Verordening pasal 2

ayat 7 dan pasal 102. ternyata tidak terdapat suatu peraturan khusus yang

mengatur tentang status dan kedudukan hukum yayasan, tentang syarat-

syarat pendirian yayasan, serta pelaksanaannya, seperti terdapat di

Nederland dalam Wet op Stichtingen (Wet tgl. 31 Mei 1956, Stb

Nederland 327). Kemudian dalam tahun 1977 ketentuan ini dijelmakan

dalam Burgerlijk Wetboek Nederland Buku 2 titel 5.

Di Indonesia tidak ada ketentuan yang tegas, apakah yayasan itu

merupakan suatu rechtspersoon atau badan hukum.

Dalam masa penjajahan hukum yang berlaku di Indonesia adalah

konkordan dengan hukum yang berlaku di Nederland, akan tetapi

mengenai yayasan hal ini tidak nampak sama sekali adanya suatu

ketentuan, sehingga tidak terdapat suatu peraturanpun yang mengatur

tentang yayasan. Tidak pula dijumpai ketentuan di Indonesia bahwa

yayasan itu harus didirikan dengan suatu akte Notaris dan bahw ayayasan

itu merupakan badan hukum.

Dalam praktek memang yayasan didirikan dengan akta Notaris

dengan memisahkan suatu harta kekayaan oleh si pendiri, yang kemudian

tidak boleh dikuasai lagi oleh si pendiri. Akta notaris memuat anggaran

dasar yayasan, sehingga ketentuan yang terdapat dalam Anggaran Dasar

itu merupakan ketentuan yang mengikat yayasan serta pengurusnya dan

bila ada juga memuat ketentuan tentang orang-orang yang mendapat

manfaat dari harta yayasan. Juga jurisprudensi membantu membentuk

35

hukum kebiasaan tentang yayasan. Dengan sebenarnya yang berlaku di

Indonesia adalah seperangkat ketentuan yang terjadi dengan sendirinya

yang menjelma menjadi hak, kebiasaan atau yang diatur dalam Anggaran

Dasar dari yayasan dan juga, bila ada, putusan hakim yang kemudian jika

terjadi berulang-ulang menjadi jurisprudensi sehingga menjadi hukum

yang dianut oleh semua orang.

Dalam BW baru di Nederland yang mulai berlaku dalam tahun

1977 yayasan diatur secara khusus bersama-sama dengan Rechspersoonen

dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 285. Dengan demikian, dalam pasal-pasal itu

diatur secara sistematis ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat

pendiriannya, kedudukannya, erernang pengurusnya, perubahan anggaran

dasar, pembubarannya dan sebagainya.

E. Undang-undang No. 16 Tahun 2001 Jo Undang-undang No. 28 Tahun

2004 tentang Yayasan

1. Pengertian Yayasan

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang

dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang

sosial keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.31

31 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Yayasan: Undang-undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001, Fokusmedia, Bandung, 2004., hlm. 25.

36

2. Pendirian Yayasan

a. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan

sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal

b. Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

dengan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan

dengan peraturan pemerintah.

c. Yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat

d. Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

ditetapkan dengan peraturan pemerintah

e. Dalam hal yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan

oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan

tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan peraturan

pemerintah.32

3. Status Hukum Yayasan

a. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian

yayasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) memperoleh

pengesahan dari menteri

b. Untuk memperoleh pengesahansebagaimana dimaksud pada ayat (1),

pendirian atau kuasanya mengajukan permohonan kepada menteri

melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan tersebut.

32 Ibid., hlm. 3.

37

c. Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan

permohonan pengesahaan kepada menteri dalam jangka waktu paling

lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan

ditangdatangani33

d. Dalam memberikan pengesahan akta pendirian yayasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) menteri dapat meminta pertimbangan dari

instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

e. Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib

menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat

belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima.

f. Permohonan pengesahan akta pendirian yayasan dikenakan biaya yang

besarnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah.

4. Kekayaan Yayasan

1. Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain

yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini dilarang

dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik

dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium, atau bentuk lain yang

dapat dinilai dengan uang kepada pembina pengurus dan pengawas.

33 Ibid.

38

2. Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dapat ditentukan dalam anggaran dasar yayasan, bahwa Pengurus

menerima gaji, upah atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan

3. Penentuan mengenai gaji, upah atau honorarium sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan

kemampuan, kekayaan Yayasan.

4. Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

ditetapkan dengan peraturan pemerintah

5. Dalam hal yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan

oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan

tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan peraturan

pemerintah.

6. Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan

dalam bentuk uang atau barang

7. Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan

yayasan dapat diperoleh dari:

1) Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat

2) Wakaf

3) Hibah

4) Hibah wasiat

5) Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar

Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku

39

8. Dalam hal kekayaan yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku

ketentuan hukum perwakafan

9. Kekayaan yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.34

5. Pembubaran Yayasan

Yayasan berakhir karena:

a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Berakhir

b. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai

atau tidak tercapai

c. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

berdasarkan alasan:

1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

2) Tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit; atau

3) Harta kekayaan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah

pernyataan pailit dicabut.35

34Ibid., hlm. 29. 35 Ibid., hlm. 42.