bab ii kajian pustaka a. tinjauan pustaka · menurut herry lisbijanto (2003:10-12) ada 3 jenis...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini dipilih beberapa tulisan yang berkaitan dengan
pembahasan Batik Magetan seperti penelitian-penelitian terdahulu dalam bentuk
skripsi.
Anita Dewi Setyaningrum (2011) Skripsi berjudul Batik Pring Desa
Sidomukti ( Studi Nilai Budaya dan Perkembangan Kerajinan Batik di Kabupaten
Magetan). Pada penelitian ini menjelaskan tentang perkembangan batik pring
sidomukti dan bagaimana usaha PEMDA Magetan dalam mempertahankan
eksistensi batik pring.
Joharlian Wahyunanda (2013) Skripsi berjudul Kepemimpinan Kepala
Desa Dalam Meningkatkan Potensi Batik Masyarakat Desa (Studi: Di Desa Sentra
Batik Sidomukti Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan). Hasil dari penelitian
tersebut adalah peran Kepala Desa dalam meningkatkan potensi batik ditunjukkan
dengan visi misi, motivasi, tujuan dan harapan serta keinginan. Adanya kekuasaan
ketrampilan untuk merealisasikan visi yang ditunjukan dengan mengembalikan
ekstitensi batik dan menstimulasi dan mentransformasi dengan memberikan
fasilitas pelatihan, pencarian modal hingga hak paten. Gaya kepemimpinan kepala
desa yaitu kepemimpinan partisipatif dan demokratif. Inovasi dan capaian yg
dihasilkan kepala desa selama menjabat hingga memunculkan motif batik pring
sedapur sebagai icon khas Kabupaten Magetan.
9
Astri Wulan Herdiana (2013) Skripsi berjudul Perkembangan Ragam Hias
Batik Pring Sedapur Tahun 2002 - 2012 Di Dusun Papringan Desa Sidomukti
Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan. Penelitian tersebut membahas kajian
pada ragam hias batik pring sedapur, perkembangan, warna, potensi daerah.
Perkembangan batik Pring Sedapur dipengaruhi oleh potensi yang ada di
Kabupaten Magetan. Warna yang digunakan untuk dasaran banyak menggunakan
warna gelap pada awalnya yang berkembang menjadi variasi.
Ayu Handayani (2014) Skripsi berjudul Perkembangan Jenis Motif,
Visualisasi dan Fungsi Batik Berpola “Pring” pada Kelompok Pengrajin Batik
Mukti Rahayu Desa Sidomukti Kabupaten Magetan. Dalam kajian ini fokus pada
pada jenis motif, visualisasi dan fungsi batik di kelompok pengrajin Mukti Rahayu.
Dalam pengkajian ini pembuatan motif mulai dari 2002-2012 dibagi menjadi 2
periode. Periode pertama tahun 2002-2006 dan periode kedua tahun 2007-2012.
Batik tersebut mengalami perkembangan pada ornamen motif, warna, bentuk
stilasinya, dan juga kesan berdasarkan keseimbangan dan prinsip lainnya. Warna
yang ditampilkan cerah dan termasuk ke dalam batik pesisir. Selain aspek
keindahannya peneliti juga menganalisa fungsi dari batik tersebut. Batik ini
berfungsi untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari mulai dari seragam, pakaian,
taplak meja, gorden, dan souvenir.
Berdasarkan penelitian diatas telah dijelaskan beberapa kajian tentang batik
pring yang ada di Desa Sidomukti, maka kebaruan penelitian ini adalah pada kajian
tentang Batik Magetan dimana tidak hanya membahas batik yang ada di Desa
Sidomukti namun juga di daerah lain di Magetan seperti di Desa Pragak Kecamatan
Parang Kabupaten Magetan. Dalam tulisan ini akan membahas latar belakang pola
10
batik Magetan, perkembangan pola batik Magetan dan visualisasi pola Batik
Magetan.
Dalam kajian ini dipilih beberapa literatur yang berkaitan dengan
pembahasan Batik Magetan seperti mengenai pengertian batik, faktor – faktor yang
mempengaruhi pembentukan ragam hias batik, penyusunan motif batik dan
mengenai susunan raport motif batik.
1. Batik
Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional
dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional, beragam pola batik tertentu,
yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin
batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut
batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang yang menggunakan
lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik. (Doellah,
2002 : 10).
Secara etimologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti
lebar, luas, kain dan “titik” yang berarti titik atau matik yang kemudian berkembang
dengan istilah “batik” yang berarti menghubungkan titik – titik menjadi gambar
pada kain yang luas atau lebar. Dalam bahasa Jawa, “batik” ditulis dengan “bathik”,
mengacu pada huruf Jawa “tha” yang menunjukkan bahwa batik adalah rangkaian
dari titik – titik yang membentuk gambaran. Batik identik dengan suatu teknik
(proses) dari mulai penggambaran hingga pada pelorodan. Salah sau ciri khas batik
adalah cara penggambaran pada kain menggunakan proses pemalaman yaitu
menggoreskan malam (lilin) dengan menggunakan canting, (Wulandari, 2011 : 4).
11
Menurut Herry Lisbijanto (2003:10-12) ada 3 jenis batik menurut cara
pembuatannya, dimana masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda.
Jenis batik tersebut adalah:
a. Batik Tulis
Kain batik yang cara membuatnya, khususnya dalam membuat motif atau
pola batik dengan menggunkan tangan dan alat bantu berupa canting. Setiap lembar
kain batik dibuat dengan teknik ini secara telaten sehingga memerlukan waktu yang
lama untuk menyelesaikannya. Kain batik tulis umumnya mempunyai ciri kas tidak
sama persis bentuk motifnya, karena dibuat secara manual. Sehingga membuat
harga kain batik tulis sangat mahal.
b. Batik Cap
Kain yang cara pembuatan pola dan motifnya dengan menggunakan cap
atau semacam stempel yang terbuat dari tembaga. Cap tersebut menggantikan
fungsi canting dalam membatik, dengan cap ini maka satu helai kain batik cap ini
kurang mempunyai nilai seni. Harga kain cap lebih murah karena cara pembuatanya
bisa dilakukan secara masal.
c. Batik Lukis
Kain batik yang proses pembuatanya dengan cara dilukis pada kain putih,
dalam melukis juga menggunakan bahan malam yang kemudian diberi warna sesuai
dengan kehendak seniman tersebut. Motif dan pola batik lukis ini tidak terpaku pada
pakem motif batik yang ada tetapi sesuai dengan keinginan pelukis tersebut. Batik
lukis ini sebenarnya merupakan pengembangan motif batik diluar batik tulis dan
12
batik cap. Harga batik lukis ini cukup mahal karena dibuat dalam jumlah yang
terbatas dan mempunyai ciri ekslusif.
Menurut perkembangan, batik di klasifikasikan menjadi dua yaitu batik
klasik dan batik kontemporer.
1. Batik Klasik
Batik klasik adalah batik yang memiliki pakem atau batasan-batasan
tertentu pada ornamen maupun warnanya (Kusrianto, 2013 : 311). Keunikan batik
klasik antara lain:
a. Motif – motifnya merupakan suatu lambang yang mengarah pada tujuan
yang baik.
b. Motif – motifnya mengandung pesan ajaran hidup, doa, keselamatan dan
penolak bala. Pencipta selalu memasukkan nilai-nilai spriritual dalam
penciptaan pola.
c. Pola tersebut diberi nama oleh penciptanya dengan nama yang penuh arti.
2. Batik Kontemporer
Batik kontemporer adalah batik yang sudah mengalami pengembangan dan
inovasi baru. Desain dan warna tidak terikat pada pakem tertentu menyebabkan
pengerjaannya relatif mudah dan dapat di kerjakan dalam waktu singkat. Motif
tidak serumit batik klasik, (Musman, Ambar, 2011 : 52).
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Pembentukan Ragam Hias Batik
13
Ragam hias batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan
lingkungan penciptanya. Ragam hias dapat merupakan imajinasi perorangan
maupun kelompok, sehingga menggambarkan cita-cita seseorang atau kelompok.
Seperti halnya kebudayaan, ragam hias dapat mengalami perubahan. Perubahan ini
dipengaruhi oleh lingkungan dan norma-norma yang berkembang, (Anas, 1997 : 5).
Ragam-ragam hias batik teramat banyak jumlahnya dan hadir dalam ungkapan seni
rupa yang sangat beragam baik dalam variasi bentuk maupun warna. Hal ini terjadi
oleh karna perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti
letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat
serta lingkungan alam setempat, (Anas, 1997 : 41 – 42).
Djoemana (1986:1), ragam hias batik biasanya dipengaruhi oleh faktor-foktor
sebagai berikut:
a. Letak geografis daerah pembuat batik bersangkutan.
b. Sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan.
c. Kepercayaan dan adat istiadat yang ada didaerah daerah bersangkutan.
d. Keadaan alam sekitar, termasuk flora dan fauna.
e. Adanya kontak hubungan antar daerah pembatikan.
(Djoemana, 1986 : 1) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak
geografis kepulauan Indonesia di jalur perdagangan di Utara ke Selatan dan dari
Barat ke Timur terurama di pesisir Pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi
kapal-kapal asing. Datangnya orang-orang asing tersebut yang memicu kegiatan
tukar menukar berbagai barang dari luar dengan hasil bumi Indonesia. Kebudayaan
dan kesenian dari luar kemudian diserap dan disaring oleh masyarakat bumi
14
Indonesia, kemudian dipadukan dengan kebudayaan yang ada sehingga melahirkan
karya-karya baru dengan keunikan, keindahan dan kepribadian sendiri.
Faktor kedua dan ketiga adalah sifat tata kehidupan daerah pembatikan dan
kepercayaan serta adat istiadat dari wilayah pembatikan. Seni kerajinan batik di
Indonesia berkaitan erat dengan seni tradisi sosial yang berlaku di dalam suatu
lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari penyajian polanya. Oleh karena
itu perkembangan batik senantiasa sejalan dengan nilai tradisi dan dinamika
masyarakat pendukung. Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari
kehidupan keagamaan dan kebudayaan bangsa, sehingga sampai saat ini batik
dirasakan sebagai kebanggaan bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung.
Faktor ke empat yang mempengaruhi adalah keadaan alam sekitar termasuk
flora fauna. Keadaan alam ini mencakup kondisi yang ada disekitar wilayah
pembatikan seperti kondisi alam yang mendukung mata pencaharian, ataupun fauna
yang menjadi ciri khas di setiap wilayah pembatikan. Faktor terakhir adalah faktor
adanya kontak atau hubungan daerah sekitar, salah satu contohnya adanya kontak
tersebut misalnya di daerah pesisir Madura yang masyarakatnya terkenal sebagai
pelaut yang menyinggahi pelabuhan Lasem, Indramayu, dan sebagainya.
Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab seringkali dijumpai persamaan
dalam ragam hias atau warna pada batik antar daerah pembatikan, ( Djoemena, 1986
: 40).
3. Penyusunan Pola Batik
Motif batik merupakan suatu dasar atau pokok dari suatu pola gambar yang
merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan gambar, sehingga makna dari tanda,
15
simbol atau lambang dibalik motif batik dapat diungkap. Motif menjadi pangkalan
atau pokok dari suatu pola. Motif mengalami proses penyusunan dan diterapkan
secara berulang – ulang sehingga diperoleh sebuah pola. Pola itulah yang nanti akan
diterapkan pada benda lain yang nantinya menjadi sebuah ornamen, (Wulandari,
2011 : 113). Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara
keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik, (Susanto, 1980 :
212). Pattern atau pola dalam kamus mempunyai arti sebagai susunan gambar dan
warna.
Penciptaan pola batik tidak hanya terpancang pada keindahan visual saja
namun perlu mengedepankan jiwa dari pola yang di ciptakan. Jiwa dari pola adalah
arti- makna dari pola tersebut secara keseluruhan. Jiwa atau simbol yang
terkandung dalam suatu pola sesuai dengan motif, sesuai dengan visualnya dan
harus menggambarkan keindahan serta bersifat luhur, (Susanto, 1980 : 283).
Menurut unsur-unsurnya, maka motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian
utama, yaitu: ornamen motif batik dan isen motif batik.
Ornamen motif batik dibagi menjadi dua, yaitu: Ornamen utama,
merupakan suatu bentuk ragam hias yang menentukan dari pada pola tersebut.
umumnya ornamen utama masing-masing mempunyai arti sehingga susunan
ornamen tersebut dalam suatu motif membuat jiwa atau arti dari motif itu sendiri.
Ornamen pengisi bidang atau tambahan yang umumnya tidak mempunyai arti
dalam pembentukan motif dan berfungsi sebagai pengisi bidang. Isen motif adalah
berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis yang memiliki fungsi mengisi
16
ornamen-ornamen dari motif atau mengisi bidang diantara ornamen-ornamen
tersebut. (Susanto, 1980 : 212)
Berdasar pada pembagian bidang letak susunan motif, maka motif batik
dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, motif-motif yang dapat dibagi menurut bidang - bidang
geometris, ini disebut golongan geometris. Motif batik yang tergolong geometris
ini, terdapat didalamnya susunan dari ragam hias geometris. Suatu ciri dari pada
ragam hias geometri ini adalah motif yang mudah dibagi-bagi menjadi bagian-
bagian motif yang disebut satu “Raport”. Golongan geometris ini pada dasarnya
digolongkan menjadi dua macam, yaitu pertama yang rapornya berbentuk seperti
ilmu ukur biasa seperti bentuk-bentuk segi empat, segi empat panjang atau
lingkaran, sedang yang kedua tersusun dalam garis miring, sehingga raportnya
berbentuk belah ketupat.
b. Golongan kedua adalah golongan non geometris, yaitu motif-motif yang
tidak dapat dimasukkan geometris. Motif-motif golongan non-geometris yaitu
motif semen, dan buketan - terang bulan. Motif-motif golongan non-geometris
adalah tersusun dari ornamen-ornamen tumbuhan, meru, pohon hayat, binatang,
burung, garuda, ular atau naga, dalam susunan tidak teratur menurut bidang
geometris, meskipun dalam bidang luas akan terjadi berulang kembali susunan
motif tersebut, (Susanto, 1980 : 215).
4. Susunan Raport Motif Batik
17
Penggambaran dalam penciptaan ragam hias batik perlu suatu panduan
dalam mendesain pola sehingga dapat meminimalisasi keraguan dan kekeliruan
dalam penyusunan pola batik. Panduan dasar tersebut adalah susunan raport motif.
Raport motif merupakan bentuk laporan yang menginformasikan tentang
pembagian susunan motif dalam sebuah ragam hias, dimana penyusunan raport
motif dibagi menjadi empat, yaitu:
a. ABCD = Repeat satu langkah ke semua arah
Repeat satu langkah kesemua arah artinya bahwa raport ABCD harus
disusun ke arah horisontal dan vertikal dan bergeser satu langkah. Sistim ini
disebut sistim “Tubruk”.
Gambar 1. Sistem raport ABCD atau 1 langkah ke semua arah
Sumber : Susanto, 1980
b. KLMN = Repeat ½ langkah kiri – kanan, 1 langkah ke depan dan ke belakang.
Artinya raport KLMN harus disusun ke arah horisontal (ke kiri- ke kanan)
dan bergeser satu langkah ke arah vertikal (ke depan – ke belakang) bergeser
setengah langkah. Sistim ini disebut “onda-ende”.
18
Gambar 2. Sistem raport KLMN atau Repeat ½ langkah
Sumber : Susanto, 1980
c. OPQR = Repeat satu langkah miring
Repeat dengan sitem raport OPQR harus disusun ke arah miring ke kanan
saja atau ke kiri saja dengan sistem geser 1 langkah. Sistim in disebut sistim
“Parang” atau sistim miring.
Gambar 3. Sistem raport OPQR (miring) 1 langkah
Sumber : Susanto, 1980
d. WXYZ = Repeat satu langkah
Artinya raport WXYZ harus disusun ke arah garis miring ke kanan maupun
ke arah kiri bergeser satu langkah. Sistim ini disebut sistim “Tubruk” miring,
(Susanto, 1980:217 - 218).
19
Gambar 4. Sistem raport WXYZ perulangan miring 1 langkah.
Sumber : Susanto, 1980
B. Kajian Teori dan Kerangka Pikir
Landasan dalam menganalisis pola yang berkembang dalam Batik Magetan
ini menggunakan azas-azas desain menurut pendapat Dharsono Sony Kartika.
Berikut ini azas- azas desain menurut pendapat Dharsono:
1. Kesatuan (Unity)
Kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan, yang
merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam
suatu susunan atau komposisi diantara hubungan unsur pendukung karya, sehingga
secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh. Berhasil tidaknya
pencapaian bentuk estetik suatu karya ditandai oleh menyatunya unsur - unsur
estetik, yang ditentukan oleh kemampuan memadukan keseluruhan. Dapat
dikatakan bahwa tidak ada komposisi yang tidak utuh (Dharsono, 2004: 59).
20
2. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan menurut Dharsono (2004: 59) adalah keadaan atau
kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan
seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Keseimbangan adalah
stabilitas atau kesan adanya daya tarik yang sama antara bagian yang satu dengan
yang lain tanpa meniadakan aksentuasi/klimaks atau yang menjadi pusat perhatian
pada susunan karya seni (Nursantara, 2007: 75). Balance adalah seimbang atau
tidak berat sebelah. Keseimbangan bisa didapat dengan menggerombolkan atau
mengelompokkan bentuk-bentuk dan warna-warna disekitar pusat sedemikian rupa
sehingga akan terdapat suatu daya perhatian yang sama pada tiap-tiap sisi dan pusat
tersebut (Purnomo, 2004: 55). Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna,
tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangkan dan memperhatikan
keseimbangan. Ada dua macam keseimbangan yang diperhatikan dalam
penyusunan bentuk, yaitu:
a. Keseimbangan Formal (Formal Balance)
Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari
satu poros. Keseimbangan formal kebanyakan simetris secara eksak atau ulangan
berbalik pada sebelah menyebelah.
b. Keseimbangan Informal (Informal Balance)
Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari
susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan
selalu asimetris. Keseimbangan ini mempunyai keunikan yang didasarkan atas
21
perhitungan kesan bobot visual dari unsur-unsur yang dihadirkan ataupun ukuran
bentuk yang dominan. Jadi dapat disimpulkan bahwa keseimbangan yaitu
persamaan bobot dari unsur-unsur karya. Secara wujud dan jumlahnya mungkin tak
sama, tapi nilainya dapat seimbang.
3. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan dalam desain pada dasarnya adalah kesederhanaan selektif
dan kecermatan pengelompokan unsur-unsur artistik dalam desain. Adapun
kesederhanaan ini tercakup beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut:
kesederhanaan unsur artinya unsur-unsur dalam desain atau komposisi hendaklah
sederhana, sebab unsur yang terlalu rumit sering menjadi bentuk yang mencolok
dan penyendiri, asing atau terlepas sehingga sulit diikat dalam kesatuan
keseluruhan. Kesederhanaan struktur artinya suatu komposisi yang baik dapat
dicapai melalui penerapan terstruktur yang sederhana, dalam artinya sesuai dengan
pola, fungsi atau efek yang dikehendaki. Kesederhanaan teknik artinya suatu
komposisi jika mungkin dapat dicapai dengan teknik yang sederhana. Kalaupun
memerlukan perangkat bantu, diupayakan untuk menggunakan perangkat apa saja,
bagaimanapun nilai estetik dan ekspresi sebuah komposisi, tidak ditentukan oleh
kecanggihan penerapan perangkat bantu teknis yang sangat kompleks kerjanya
(Ahmad Sjafi‟I dalam Dharsono, 2004: 63).
4. Aksentuasi (Emphasis)
Desain yang baik mempunyai titik berat untuk menarik perhatian (center of
interest). Ada berbagai cara untuk menarik perhatian kepada titik berat tersebut,
yang dapat dicapai dengan melalui perulangan ukuran serta kontras antara tekstur,
22
nada warna, garis, ruang, bentuk, atau motif. Susunan beberapa unsur visual atau
penggunaan ruang dan cahaya bisa menghasilkan titik perhatian pada fokus
tertentu. Berbagai macam cara untuk menarik perhatian kepada titik berat suatu
ruang, yaitu dengan beberapa cara. Aksentuasi melalui perulangan, misalnya kain
bermotif dengan beberapa warna hijau, dan biru, didekatkan pada kain polos
berwarna hijau, maka warna hijau dalam kain bermotif akan nampak lebih
menonjol, dan begitupun sebaliknya pada warna biru (Dharsono, 2004: 63). Dengan
demikian bahwa perulangan unsur desain dan perulangan warna dapat memberikan
penekanan pada aksentuasi.
23
Kerangka Pikir
Gambar 5. Bagan Kerangka Pikir
Keberadaan batik Magetan dipengaruhi tokoh masyarakat yang
mempunyai gagasan menjadikan bambu sebagai icon pada pola batik di Magetan.
Batik Magetan tidak dapat dilepaskan dari sosok Tikno yang saat itu menjabat
sebagai Kepala Desa Sidomukti. Inovasi baru yang di lakukan Tikno untuk
memajukan batik yang ada di Magetan adalah dengan membuat ciri khas yaitu
bambu sebagai ide pembuatan setiap pola batiknya yang berbeda dengan batik
didaerah lainnya. Ide dasar bambu ini merujuk pada kondisi wilayah Magetan yang
banyak di tumbuhi tanaman bambu.
Perkembangan Pola Batik Magetan tahun
2014 sampai sekarang Magetan
Tata Susun Pola
Kesatuan Keseimbangan Kesederhanaan Aksentuasi
Pola
Batik Magetan
Tokoh
Masyarakat
Batik
Magetan
24
Perkembangan pola batik Magetan semakin tampak pada tahun 2014
dengan berdirinya beberapa lokasi pembatikan baru yang secara otomatis
mempengaruhi semakin berkembangnya pola batik Magetan. Perkembangan itu
tampak pada bertambahnnya teknik batik yang digunakan, berkembangnya teknik
pewarnaan maupun dalam penggayaan pembuatan polanya.
Pola batik Magetan tersusun dari motif - motif yang merujuk pada
kondisi geografis. Pola Batik Magetan kemudian akan dikaji berdasarkan azas -azas
desain menurut pendapat Dharsono Sony Kartika yaitu kesatuan, keseimbangan,
kesederhanaan dan aksentuasi. Kesatuan yang dimaksudkan melalui kesatuan
warna, keseimbangan dalam komposisi pola, kesederhanaan unsur maupun
komposisi dalam penggayaan dan aksentuasi atau pusat perhatian dari keseluruhan
pola.