bab i pendahuluan a. latar belakang masalah catharanthus...

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tapak dara atau yang dikenal dengan nama ilmiah Catharanthus roseus (L.) G. Don. merupakan tanaman semak tahunan yang banyak dibudidayakan sebagai tanaman hias dan obat. Tapak dara memiliki warna mahkota bunga ungu, merah, merah muda atau putih (Plaizier, 1981). Menurut Kumar dkk. (2013), terdapat lima variasi bunga tapak dara, yaitu putih-kuning, putih-merah, merah muda- merah, merah muda-putih, dan merah-putih. Daun tapak dara digunakan sebagai sumber penghasil alkaloid, namun hanya mengandung sekitar 0,2-1,0% alkaloid (Renault dkk., 1999). Menurut Schmelzer (2007), beberapa jenis alkaloid dalam tanaman tapak dara yaitu vinkristin dan vinblastin dapat digunakan untuk terapi leukemia dan Hodgkin’s disease. Penelitian yang dilakukan oleh Idrees dkk. (2008) di India menyatakan bahwa tapak dara dengan mahkota warna merah muda lebih superior dalam hal pertumbuhan, fisiologi dan biokimia dari pada tapak dara mahkota warna putih. Dalam penelitian tersebut tenyata jumlah alkaliod total khususnya vinkristin dan vinblastin keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Genom adalah sekumpulan instruksi yang dibutuhkan dalam pembentukan organisme. Genom berisi sekumpulan master blueprint yang akan menentukan struktur sel dan aktivitas sel selama hidup. Asam deoksiribonukleotida (DNA)

Upload: doankhanh

Post on 28-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tapak dara atau yang dikenal dengan nama ilmiah Catharanthus roseus (L.)

G. Don. merupakan tanaman semak tahunan yang banyak dibudidayakan sebagai

tanaman hias dan obat. Tapak dara memiliki warna mahkota bunga ungu, merah,

merah muda atau putih (Plaizier, 1981). Menurut Kumar dkk. (2013), terdapat

lima variasi bunga tapak dara, yaitu putih-kuning, putih-merah, merah muda-

merah, merah muda-putih, dan merah-putih. Daun tapak dara digunakan sebagai

sumber penghasil alkaloid, namun hanya mengandung sekitar 0,2-1,0% alkaloid

(Renault dkk., 1999). Menurut Schmelzer (2007), beberapa jenis alkaloid dalam

tanaman tapak dara yaitu vinkristin dan vinblastin dapat digunakan untuk terapi

leukemia dan Hodgkin’s disease.

Penelitian yang dilakukan oleh Idrees dkk. (2008) di India menyatakan

bahwa tapak dara dengan mahkota warna merah muda lebih superior dalam hal

pertumbuhan, fisiologi dan biokimia dari pada tapak dara mahkota warna putih.

Dalam penelitian tersebut tenyata jumlah alkaliod total khususnya vinkristin dan

vinblastin keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Genom adalah sekumpulan instruksi yang dibutuhkan dalam pembentukan

organisme. Genom berisi sekumpulan master blueprint yang akan menentukan

struktur sel dan aktivitas sel selama hidup. Asam deoksiribonukleotida (DNA)

3

merupakan penyusun genom yang dapat mengalami mutasi sehingga

menghasilkan satu individu mutan yang baru (Casey, 1992).

Menurut Crowder (1997), mutasi dapat terjadi secara alami ataupun buatan.

Mutasi buatan yang dilakukan secara sengaja oleh manusia bertujuan untuk

pemuliaan tanaman. Kolkisin merupakan mutagen yang umum digunakan dalam

pemuliaan tanaman. Kolkisin adalah suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman

Colchicum autumnale L. (Snustad dkk., 1997). Pemberian kolkisin di daerah titik

tumbuh suatu tunas dapat mencegah pembentukan gelendong pembelahan sel

yang akan membagi kromosom sama besar jumlahnya. Hal ini berakibat

terjadinya penggandaan jumlah kromosom (poliploid) pada tahap anafase sel-sel

yang bermitosis dan menyebabkan sel tidak menghasilkan cell plate pada tahap

telofase sel tersebut (Crowder, 1997).

Menurut Plaizier (1981), tapak dara tetraploid menghasilkan lebih banyak

alkaloid dibandingkan tapak dara diploid, tetapi tapak dara tetraploid memiliki

kemampuan fertilitas kecil. Ciri-ciri fisik tunas poliploid yang umum adalah

meningkatnya ukuran sel, laju pertumbuhan sel lambat, daun lebih tebal, bunga

lebih besar dan sedikit, buah lebih besar, serta menurunnya fertilitas pada

berbagai tingkat dibandingkan dengan tunas diploid (Griffith dkk., 1999).

Kultur sel salah satu metode yang dapat digunakan untuk mutasi sel secara

buatan. Sel-sel kalus bersifat meristemoid yang mudah termutasi oleh mutagen.

Ciri-ciri sel yang bersifat meristemoid adalah sel terus-menerus membelah,

memiliki dinding sel selulosa yang tipis, bentuk sel isodiametrik, oval, poligonal

atau rektagular, sitoplasma banyak, sel-sel tersusun rapat dengan ruang antarsel

4

sempit, vakuola tidak ada atau sangat kecil dan memiliki intisel besar (Barclay,

2002). Dengan cara ini diharapkan sel-sel kalus daun tapak dara akan lebih

banyak memproduksi alkaloid karena mengalami ploidisasi.

Sel-sel kalus tapak dara yang mengalami mutasi kolkisin dapat diamati

secara sitologi di bawah mikroskop secara langsung atau dengan pewarnaan

(Anonim, 2014). Menurut Stahl (1985), KLT merupakan metode pemisahan

komponen secara fisikokimia menggunakan fase diam sebagai penjerap dan fase

gerak sebagai pengelusi. Komponen senyawa yang terdapat dalam sel-sel kalus

dapat diamati dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan

yaitu:

1. Bagaimana pengaruh kolkisin pada sitologi sel-sel kalus daun tapak dara

dalam kultur sel?

2. Bagaimana profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ekstrak petroleum eter,

ekstrak kloroform, dan ekstrak metanol dari sel-sel kalus daun tapak dara

yang telah diinduksi kolkisin dibandingkan dengan kontrol?

C. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu cara peningkatan hasil

produksi alkaloid tapak dara.

5

2. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai model untuk produksi alkaloid tapak

dara dalam skala produksi melalui kultur sel.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh kolkisin pada sitologi sel-sel kalus tapak dara dalam

kultur sel.

2. Mengetahui profil kromatografi lapis tipis ekstrak petroleum erer, ekstrak

kloroform, dan ekstrak metanol dari sel-sel kalus tapak dara yang telah

diinduksi kolkisin dibandingkan dengan kontrol.

E. Tinjauan Pustaka

1. Catharanthus roseus (L.) G. Don.

Catharanthus roseus (L.) G. Don. memiliki nama sinonim Vinca rosea

L. nama umum di Indonesia adalah tapak dara, rutu-rutu atau kembang

serdadu, di Inggris tapak dara sering disebut sebagai Madagascar periwinkle

atau rose periwinkle, di Cina dikenal dengan nama chang chun hua.

Klasifikasi tapak dara dalam taksonomi tumbuhan sebagai berikut,

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Anak kelas : Asteridae

Bangsa : Gentianales

Suku : Apocynaceae

6

Marga : Catharanthus

Jenis : Catharanthus roseus (L.) G. Don. (Backer & Bakhuizen, 1963).

Tapak dara berasal dari Madagaskar, tetapi sekarang telah tersebar di

derah lain baik tropis maupun subtropis. Tapak dara dapat mencapai tinggi

sampai satu meter, memiliki getah berwarna putih dengan bau yang tidak

enak. Akarnya dapat mencapai panjang sampai 70 cm, batangnya bersayap

menyempit, warna hijau atau merah, berbulu dan biasanya berkayu di bagian

pangkal. Letak daun tapak dara saling berhadapan, bentuk bulat dengan ujung

yang meruncing, berwarna hijau atau hijau pucat dan ukurannya 2,5-8,5 cm x

1-4 cm. Bunga biseksual, berbilangan lima. Bunga terdiri atas lima daun

kelopak dan lima daun mahkota. Daun-daun mahkota saling berlekatan

sedemikian rupa sehingga membentuk tabung mahkota dengan panjang 2-3

cm yang di dalam tabung terdapat putik dan benang sari. Bagian ujung daun-

daun mahkota terbagi menjadi lima cuping (Schmelzer, 2007). Mahkota

bunganya ada yang berwarna putih-kuning, putih-merah, merah muda-merah,

merah muda-putih dan merah-putih (Kumar dkk., 2013).

Penelitian tentang khasiat antidiabetes dari tapak dara pada akhir tahun

1950, menemukan bahwa alkaloid tapak dara juga memiliki khasiat

antimitotik. Seratus tiga puluh substansi dari tapak dara dengan struktur indol

maupun dihidroindol telah ditemukan dengan komponen pokoknya adalah

vindolin (sampai 0,5%) dan yang lainnya adalah serpentin, katarantin,

ajmalisin, akuamin, lokhnerin, lokhnerisin, dan tetrahidoalstonin. Ajmalisin

dan serpentin banyak terdapat pada akar tanaman, sedangkan katharantin dan

7

vindolin berakumulasi di bagian tanaman yang berada di atas tanah. Bagian

ini mengandung 0,2-1% alkaloid. Alkaloid vinkristin dan vinblastin adalah

agen antimitotik yang sangat kuat yang dapat menghambat mitosis pada

metafase. Selain itu, keduanya juga memiliki aktivitas neurotoksik terutama

vinkristin yang berpengaruh pada proses neurotransmisi. Dosis terkontrol

vinkristin dan vinblastin digunakan antara lain untuk terapi leukimia, dan

Hodgkin’s disease (Schmelzer, 2007).

Gambar 1. Bunga tapak dara dengan mahkota putih-kuning (a), mahkota merah muda-merah (b) dan mahkota merah-putih (c)

2. Mitosis

Tahap mitosis adalah tahapan yang paling singkat dalam siklus sel.

Selama tahap ini, sel melalui dua tahap yaitu kariokinesis dan sitokinesis.

Kariokinesis adalah proses pembagian materi inti yang terdiri dari beberapa

tahap yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Sitokinesis adalah

a b

c

8

pembagian sitoplasma kepada kedua sel anak hasil pembelahan (Lodish dkk.,

2000).

Tahap profase ditandai dengan kondensasi sehingga terbentuk

kromosom. Sentrosom yang telah berduplikasi mulai memproduksi

mikrotubula. Mikrotubula terus diproduksi ke segala arah, sebagian

mikrotubula dari kutub yang berlawanan bertemu dan berikatan serta

mendorong sentrosom bergerak ke kutub sel. Kromosom terus mengalami

kondensasi. Membran nukleus menghilang, pecah menjadi fragmen kecil

sehingga kromosom terapung di dalam sitoplasma setelah nukleolus

menghilang. Setiap kromosom membentuk kinetokor pada setiap sisi

sentromer. Sentromer merupakan kompleks protein, tempat melekatnya

mikrotubulus pada kromosom. Kinotokor memiliki molekul motor yang

menggunakan ATP untuk menarik mikrotubula dari kutub sehingga

mikrotubula polar membentuk mitotic spindle. Mikrotubula yang menempel

pada kinetokor disebut mikrotubulus kinetokor (Lodish dkk., 2000).

Saat tahap metafase, kromosom akan berjajar di bidang pembelahan

(equatorial plane), mikrotubula kinetokor tarik-menarik. Setiap kinotokor

harus berhubungan dengan mikrotubula. Bila ada yang terlewat, kinetokor

akan memberikan sinyal sehingga proses mitosis selanjutnya tidak berlanjut

(mitotic spindle check point) (Lodish dkk., 2000).

Tahapan anafase menunjukan terjadinya peristiwa terputusnya protein

yang mengikat dua kromatid, dan mikrotubula kinetokor memendek menarik

9

kromatid ke arah kutub sel. Mikrotubular polar terus memanjang untuk

persiapan sitokinesis (Lodish dkk., 2000).

Saat tahap telofase, mikrotubula kinetokor menghilang, mikrotubula

polar terus memanjang untuk persiapan sitokinesis. Kromosom mencapai

kutub sel kemudian mulai membentuk membran inti dengan menggunakan

fragmen membran inti sel induk yang kemudian menyelubungi kromosom.

Selanjutnya muncul nukleolus dan kromosom mengalami penguraian (Lodish

dkk., 2000).

3. Kultur jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tunas

seperti protoplasma, sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam

kondisi aspetik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri

dan beregenerasi menjadi tunas lengkap (Gunawan, 1992). Prinsipnya kultur

jaringan memerlukan tiga tahap utama. Tahap pertama meliputi penjagaan

agar kultur yang ditumbuhkan dapat berkembang dengan baik dalam kondisi

aseptik. Tahap kedua adalah melakukan usaha agar dapat terjadi multiplikasi

(penggandaan) propagula dengan cepat sehingga diperoleh tunas dalam

jumlah besar. Tahap ketiga merupakan persiapan pemindahan planlet ke

media tanam dalam pot atau tanah. Perkembangan teknik perbanyakan klon

melalui kultur in vitro mengarah kepada optimasi beberapa aspek penting,

yaitu sifat eksplan awal, komposisi media, kondisi fisik media, dan

lingkungan kultur (Murashige, 1974).

10

Subkultur adalah pemindahan kultur ke media yang baru, baik yang

sama maupun berbeda komposisi kimianya. Subkultur merupakan kebutuhan

untuk memperbanyak tunas dan mempertahankan kultur (George &

Sherrington, 1984). Pierik (1987) melaporkan bahwa subkultur diperlukan

bila unsur hara dan hormon dalam media telah berkurang atau habis, untuk

merubah pola pertumbuhan dan perkembangan kultur, dan bila kultur telah

memenuhi wadah atau botol. Pertumbuhan dan perkembangan tunas secara in

vitro bergantung pada beberapa faktor yaitu genotipe tunas, nutrisi (elemen

makro dan mikro) dan faktor eksternal pertumbuhan seperti cahaya, suhu, pH,

konsentrasi O2 dan CO2 serta beberapa faktor substansi (hormon, vitamin)

(Pierik, 1987). Nutrisi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan organ tanaman. Salah satu hambatan dalam kultur jaringan

adalah kontaminasi. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil

yang masuk dalam kultur, alat tanam yang kurang steril, lingkungan kerja

yang kurang higienis, dan kecerobohan dalam pelaksanaan.

Propagasimikro adalah pembiakan secara vegetatif in vitro yang

dimulai dari bagian yang sangat kecil eksplan (sel, jaringan) untuk

mendapatkan sejumlah besar tanaman (George & Sherington, 1984). Tahap-

tahap propagasi tanaman menurut Prof. Murashige yang disempurnakan oleh

Maene dan Debergh, dikelompokkan menjadi tahap 0 (persiapan dan

pemilihan tanaman), tahap I (pembuatan kultur aseptik), tahap II

(penggandaan), tahap III (persiapan untuk tumbuh di lingkungan eksternal),

tahap IV (pemindahan ke lingkungan eksternal).

11

Kultur kalus adalah teknik budidaya kalus tanaman dalam suatu

lingkaran yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas organisme.

Kultur kalus mensyaratkan eksplan yang ditanam harus diberi perlukaan.

Tujuan dari perlukaan (wounding) adalah untuk mendeferensiasi kembali

jaringan yang telah dewasa dalam arti menjadikan jaringan yang bersifat

meristemoid lagi setelah jaringan dewasa (Santosa & Nursandi, 2002).

Kalus adalah kumpulan sel yang bersifat parenkimatis sebagai akibat

dari pembelahan sel yang tidak terkendali dan belum mengalami diferensiasi,

meskipun pada umur tertentu dari kalus akan menunjukkan diferensiasi ke

arah organ. Tujuan dari kultur kalus adalah dapat menjadi sarana bank plasma

nutfah yang efisien, dan dapat digunakan untuk tujuan memproduksi senyawa

metabolit sekunder (Santosa & Nursandi, 2002).

Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah

media Murashige-Skoog (MS). Media MS mengandung persenyawaan garam

amonium dan nitrat dalam jumlah yang tinggi, keduanya dibutuhkan dalam

proses regenerasi. Selain itu, media MS juga banyak mengandung unsur

kalium (Dixon, 1985; George, 1993).

Menurut Dixon (1985), terdapat enam kelompok komponen media yang

digunakan untuk kultur kalus, yaitu: unsur anorganik makro, unsur anorganik

mikro, sumber besi, suplemen organik (vitamin), sumber karbon, dan zat

pengatur tumbuh. Unsur anorganik makro merupakan unsur yang dibutuhkan

tanaman dalam jumlah yang banyak, antara lain: N, K, S yang merupakan

anion dan P, Ca, Mg yang merupakan kation. Sedangkan unsur anorganik

12

mikro merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur

anorganik mikro meliputi: Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo (Santosa & Nursandi,

2002). Unsur mineral anorganik terutama unsur anorganik makro sangat

dibutuhkan oleh tanaman dengan masing-masing fungsinya untuk kehidupan

tanaman tersebut. Sebagai contoh Ca (kalsium) dibutuhkan tanaman sebagai

komponen pembentuk dinding sel, N (nitrogen) merupakan komponen utama

dari asam amino, protein, asam nukleat serta vitamin dan magnesium sebagai

bagian dari molekul klorofil (Chawla, 2002). Kalium (K) dibutuhkan tanaman

dalam pengaturan potensial osmotik, fosfor (P) berperan dalam proses

transfer energi, penyusun asam nukleat, berperan dalam proses respirasi dan

fotosintesis. Sedangkan sulfur merupakan komponen dari asam amino

metionin dan sistein serta beberapa kofaktor enzim (Slater dkk., 2008).

Sebagai unsur anorganik mikro, Fe (besi) diberikan dalam bentuk sulfat.

Bentuk sitrat dari besi juga dapat digunakan. Besi sulfat yang biasanya

digunakan adalah etilendiamintetraasetat (EDTA) sebagai pembentuk

komplek. Terdapat agen pembentuk komplek selain EDTA, yaitu: EGTA

(etilenglikol-bis(2-aminoetileter)tetraasetat), EDDHA (etilendiamindi(o-

hidroksifenil)asetat, DTPA (dietilentriaminpentaasetat) dan DHPT (1,3-

diamino-2-hidroksipropantetraasetat) (George & de Klerk, 2008).

Pembentukan komplek bertujuan untuk pelepasan lambat dan

berkesinambungan dari unsur besi dalam media. Sumber besi yang tidak

dibuat dalam bentuk komplek akan megendap sebagai feri oksida (Slater

dkk., 2008). Sumber besi berperan untuk menjaga kestabilan pH dalam

13

media. Mn (Mangaan) merupakan metaloprotein yang berperan dalam proses

respirasi dan fotosintesis. Mn dibutuhkan dalam aktivitas berbagai enzim

seperti dekarboksilase, dehidrogenase, kinase dan oksigenase serta

superoksida dismutase. Mn dibutuhkan dalam pembentukan kloroplas dan

berperan penting dalam reaksi redoks. Akan tetapi Mn dalam jumlah yang

besar dapat menjadi toksik bagi tanaman (George & de Klerk, 2008).

Kekurangan seng (Zn) dalam tanaman menyebabkan penurunan aktivitas

enzim, terhambatnya pembentukan protein serta penurunan sintesis asam

nukleat dan klorofil. Pembentukan klorofil terhambat apabila terjadi

defisiensi Zn dan Mo (Molybdenum) sehingga hanya sedikit klorofil yang

disintesis. Cu atau tembaga merupakan unsur anorganik mikro yang terdapat

dalam enzim, berperan dalam pengikatan maupun reaksi dengan oksigen.

Seperti dalam sistem enzim sitokrom oksidase, Cu bertanggung jawab dalam

respirasi oksidatif dan dismutase superoksida. Cu juga berperan dalam

pembentukan warna pada tanaman. Komponen yang lainnya dari unsur

anorganik mikro adalah Bo (Boron). Boron terlibat dalam integritas membran

yang berkaitan dengan keutuhan dinding sel dan pembentukan protein

membran (George & de Klerk, 2008).

Penggunaan tiamin sebagai sumber vitamin dan myo-inositol diketahui

dapat meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Asam amino seperti glisin,

arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat dan prolin merupakan vitamin

yang dapat digunakan selain tiamin (Slater dkk., 2008). Myo-inositol yang

digunakan bersamaan dengan auksin, kinetin dan vitamin dapat mendorong

14

pertumbuhan jaringan kalus (Hendaryono & Wijayani, 1994). Jenis vitamin

lain yang dapat digunakan dalam media kultur antara lain asam

paraaminobenzoat, folat, kolin, klorid riboflavin dan asam askorbat (Santosa

& Nursandi, 2002).

Sumber karbon yang sering digunakan dalam media adalah sukrosa atau

glukosa. Sukrosa atau glukosa yang digunakan umumnya sebanyak 2-3%.

Sumber karbon yang lain yang pernah dicoba adalah laktosa, maltosa, pati

dan galaktosa. Akan tetapi hasilnya tetap dianggap tidak lebih baik daripada

sukrosa atau glukosa (Santoso & Nursandi, 2002). Zat pengatur tumbuh yang

digunakan umumnya merupakan hormon tumbuhan atau bentuk sintetiknya.

Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan sel tanaman dalam kultur jaringan tanaman sebagai zat

tambahan yang berperan sebagai hormon pertumbuhan. Zat pengatur tumbuh

dibagi menjadi lima, yaitu: auksin, sitokinin, giberelin, asam absisat, dan

etilen. Pembuatan kalus dapat digunakan zat pengatur tumbuh tunggal dengan

auksin. Auksin berperan dalam proses pembelahan dan pertumbuhan sel. IAA

merupakan bentuk auksin alami tetapi sangat jarang digunakan pada media

kultur jaringan tanaman karena sifatnya yang sangat tidak stabil terhadap

cahaya dan suhu. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam media kultur

jaringan tanaman adalah 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) (Slater dkk.,

2008). Penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 0,2-2 mg/L merupakan

konsentrasi yang paling efektif untuk menginduksi pembelahan sel dan

pembentukan kalus (Dodds & Roberts, 1982). Media padat merupakan media

15

cair yang ditambahakan bahan pemadat. Bahan pemadat yang sering

digunakan adalah agar. Keuntungan penggunaan agar dalam pembuatan

media padat antara lain:

a. Agar dapat membentuk gel dengan air yang dapat mencair pada suhu ±

100oC dan memadat pada suhu ± 45oC.

b. Stabil dalam penyimpanan.

c. Agar tidak bereaksi kuat dengan komponen-komponen lain dalam media.

d. Gel yang terbentuk tidak dapat diuraikan oleh enzim dalam eksplan yang

ditanam.

Penambahan agar dalam media secara umum dengan konsentrasi 0,5-

1,0%. Kepadatan media yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Selain itu, pH

mempengaruhi kelarutan ketersediaan dari ion-ion mineral dan juga

mempengaruhi sifat gel (kemampuan membentuk gel) dari agar (Wetherell,

1982). Sel-sel tanaman dalam budidaya kultur jaringan tanaman

membutuhkan pH yang cenderung asam dengan kisaran pH optimumnya

adalah 5,5-5,9 (Santoso & Nursandi, 2002).

4. Induksi kolkisin

Mutasi adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengubah

susunan basa nukleotida atau DNA. Berdasarkan proses terjadinya perubahan

genetik mutasi terbagi menjadi mutasi alami dan mutasi buatan. Mutasi alami

adalah perubahan materi genetik secara spontan di alam, sedangkan mutasi

buatan terjadi akibat diberi mutagen secara sengaja untuk tujuan pemuliaan

tanaman. Bahan mutagen dapat secara kimia dan fisik. Mutasi fisik bersifat

16

sebagai radiasi pengion (ionizing radiation) yang dapat melepas energi

(ionisasi), begitu melewati atau menembus materi. Mutagen fisika termasuk

diantaranya sinar-X, radiasi gama, radiasi beta, neutron, dan partikel dari

akselerator sudah umum digunakan dalam pemuliaan tanaman. Mutagen

kimia pada umumnya berasal dari senyawa alkyl misalnya seperti

etilmetansulfonat (EMS), dietilsulfat (DES), metilmetansulfonat (MMS),

hidroksilamin, sam nitrat, akridin, dan sebagainya. Beberapa mutagen kimia

penting lainnya ialah gas metan, asam nitrat, kolkisin, digitonin, hidroksil

amin, akridin, etiletansulfonat (EES), 5-bromourasil, 2-aminopurin7.

Kolkisin adalah suatu alkaloid yang dihasilkan oleh tanaman Colchicum

autumnale L. yang banyak ditanam di Eropa, India, dan Afrika Utara

(Snustad dkk., 1997). Penggunaan kolkisin bisa dengan berbagai cara

misalnya imersi biji, imersi jaringan, imersi meristem, imersi akar, penetesan,

pengolesan pasta, dan emulsi. Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada

konsentrasi 0,01-1% untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis

tanaman memiliki respon yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo,

1995). Lamanya waktu perendaman dan konsentrasi kolkisin akan

mempengaruhi terjadinya poliploidi. Poliploidi adalah keadaan suatu individu

yang memiliki lebih dari dua set kromosom (Welsh, 1991). Rumus kimia

kolkisin adalah C22H25O6N (BM 399,44) dan merupakan senyawa alkaloid

yang mudah larut dalam air dan digunakan dalam konsentrasi rendah.

Digunakan sebagai inhibitor pembentukan mikrotubula, antiinflamasi, dan

antiaktifitas fibrotik, dapat menembus blood brain barier. Kolkisin mudah

17

terdegradasi oleh cahaya, dalam penyimpanan bentuk serbuk dalam flakon

kedap cahaya dapat bertahan selama 12 bulan, sedangkan dalam bentu larutan

disimpan pada suhu -40oC dapat bertahan selama satu bulan (Anonim, 2012).

Pemberian kolkisin pada titik tumbuh dari tunas dapat mencegah

pembentukan gelendong pembelahan yang akan mengikat kromosom dan

pemisahan kromosom pada anafase dari mitosis dan menyebabkan ploidisasi

kromosom, tanpa pembentukan dinding sel. Perlakuan ini menyebabkan

penambahan jumlah kromosom per sel (Crowder, 1997).

Ciri-ciri fisik tunas poliploid yang umum adalah meningkatnya ukuran

sel, laju pertumbuhan sel lambat, daun lebih tebal, bunga lebih besar dan

sedikit, buah lebih besar, serta menurunnya fertilitas pada berbagai tingkat

dibandingkan dengan tunas diploid (Griffith dkk., 1999). Menurut Brewbaker

(1983) tanaman poliploid seringkali menunjukkan keunggulan sifat

dibandingkan diploidnya. Pada tanaman ryegrass kultivar tetraploid

menghasilkan bobot segar tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kultivar

diploid, lebih tahan terhadap penyakit, lebih banyak karbohidrat yang

terstruktur dan rendah kandungan serat kasar (Thomas, 1993).

5. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu metode pemisahan

fisikokimia dari senyawa campuran. Senyawa campuran yang akan

dipisahkan ditotolkan dalam bentuk totolan (bercak) maupun pita pada

lapisan penjerap (fase diam) yang telah diletakkan di atas pelat gelas, logam,

atau lapisan yang cocok. Larutan pengembang (fase gerak) dalam bejana

18

dibiarkan hingga jenuh dan fase diam yang telah ditotolkan dimasukkan

hingga jarak elusi yang diinginkan (Stahl, 1985).

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran

kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-

rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka

semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang

paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sedangkan

mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan absorbsi (Gandjar

& Rohman, 2007). Penjerap silika gel mekanisme sorbsinya adalah adsorpsi

dan digunakan untuk menjerap asam amino, hidrokarbon, vitamin dan

alkaloid (Kealey & Haines, 2002).

Fase gerak KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan

mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Bebrapa

petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:

a. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT

merupakan teknik yang sensitif.

b. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupaa sehingga harga Rf

terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

c. Pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,

polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang

berarti juga menentukan nilai Rf.

d. solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran

pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan

19

perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia

masing-masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan

asam.

(Gandjar & Rohman, 2007).

Deteksi senyawa yang dipisahkan dapat dilakukan secara kimia, fisika

dan biologi. Secara fisika adalah dengan pencacahan radio aktif dan

fluoresensi sinar ultraviolet. Secara kimia dilakukan dengan mereaksikan

bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak

menjadi jelas (Gandjar & Rohman, 2007).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan

dalam bentuk Rf (Retardation factor/ Retention factor). Harga Rf

didefinisikan sebagai berikut:

�� =����� ������

����� �����

Identifikasi senyawa tersebut dapat juga dilakukan dengan menghitung

harga hRf (hundred Retardation factor) yang merupakan 100 kali nilai Rf

sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada harga Rf.

Harga hRf dinyatakan dalam bentuk bulat bukan pecahan yang merupakan

bilangan utuh 1-99 (Roth & Blaschke, 1998).

Gerakan bercak dalam KLT berkaitan dengan harga Rf bercak tersebut

yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Struktur kimia senyawa yang dipisahkan.

20

b. Sifat penjerap dan derajat aktivitasnya. Perbedaan penjerap walaupun

menggunakan fase gerak yang sama dapat menghasilkan harga Rf yang

berbeda.

c. Tebal dan kerataan lapisan penjerap. Lapisan penjerap yang tidak rata

dapat menyebabkan aliran fase gerak yang tidak merata.

d. Kemurnian fase gerak. Kemurnian fase gerak merupakan faktor yang

sangat penting karena dapat mempengaruhi pergerakan bercak dan

apabila fase gerak yang digunakan merupakan campuran harus benar-

benar diperhatikan pembuatan campurannya.

e. Derajad kejenuhan dari bejana pengembang. Bejana harus berada dalam

keadaan yang terjenuhi oleh fase gerak agar pengembangan yang

dilakukan berjalan merata.

f. Metode pengembangan yang dilakukan harus diperhatikan.

g. Jumlah cuplikan dalam totolan yang terlalu banyak dapat menyebabkan

tendensi penyebaran bercak dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan

efek ketidakseimbangan lainnya yang mengakibatkan kesalahan dalam

pembacaan nilai Rf.

h. Pengembangan sebaiknya dilakukan pada suhu yang tetap untuk

mencegah terjadinya perubahan-perubahan komposisi fase gerak akibat

penguapan atau perubahan-perubahan fase.

i. Kesetimbangan bejana harus diperhatikan karena ketidaksetimbangan

dapat menyebabkan pengembangan yang melengkung (Sastrohamidjojo,

2005).

21

Analisis kuantitatif KLT dapat dilakukan dengan dua cara yaitu bercak

diukur langsung pada lempeng menggunakan ukuran luas atau dengan teknik

densitometri dan dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa

yang terdapat pada bercak tersebut dengan metode lain, misalkan dengan

spektrofotometri. Pada cara pertama tidak terjadi kesalahan yang disebabkan

pemindahan bercak atau kesalahan ekstraksi, sementara pada cara kedua

sangat mungkin terjadi kesalahan karena pengambilan atau karena ekstraksi.

Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan

KLT biasanya dilakukan dengan densitometer langsing pada lempeng KLT

atau secara in situ. Densitometer dapat bekerja secara serapan atau

fluoresensi. Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya,

monokromator untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk

memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton dan rekorder (Gandjar &

Rohman, 2007).

Pada sistem serapan dapat dilakukan dengan model pantulan atau

transmisi. Pada cara pantulan, yang diukur adalah sinar yang dipantulkan

yang dapat menggunakan sinar tampak maupun ultraviolet. Sementara itu,

cara transmisi dilakukan dengan menyinari bercak dari satu sisi dan

mengukur sinar yang diteruskan bercak pada sisi yang lainnya. Pada

kenyataannya hanya sinar tampak yang dapat digunakan untuk metode ini

(Gandjar & Rohman, 2007).

Gangguan utama pada sisitem serapan adalah fluktuasi latar belakang

yang dapat dikurangi dengan beberapa cara, misalnya dengan menggunakan

22

alat berkas ganda, sistem transmisi dan pantulan secara bersamaan, atau

dengan sistem dua panjang gelombang. Kurva dibuat untuk setiap lempeng

dan kadar senyawa dihitung seperti pada metode instrumental yang lain.

Presisi penetapan, termasuk penotolan cuplikan, pengembangan

kromatogram, dan pengukuran adalah 2-5%. Sistem fluoresensi biasanya

lebih disenangi jika senyawa itu dapat dibuat berfluoresensi. Batas deteksi

sistem ini lebih rendah dan kelinieran respon dan sensitifitasnya lebih tinggi.

Gangguan fluktuasi latar belakang lebih rendah. Bercak yang diukur dengan

sistem fluoresensi, serapan ultraviolet, dan sinar tampak dapat ditetapkan

lebih teliti daripada bercak yang di semprot dengan pereaksi warna. Faktor

keseragaman penyemprotan merupakan hal yang sangat menentukan. Semua

pekerjaan KLT jika ditujukan untuk analisis kuantitatif harus dilakukan

dengan seksama. Alat yang digunakan untuk mengambil sampel harus

terkalibrasi baik. Saat ini tersedia alat penotol sampel kapiler yang berukuran

antara 1-100 µl. Pada saat penotolan sampel, kapiler harus tegak lurus dengan

lempeng dan semua sampel harus dikeluarkan dari kapiler (Gandjar &

Rohman, 2007).

F. Landasan Teori

Kalus pada eksplan akan tumbuh ketika jumlah hormon auksin lebih banyak

dibandingkan hormon sitokinin (Gunawan, 1995). Kalus tapak dara tumbuh dalam

media Murashige-Skoog padat yang mengandung zat pengatur tumbuh 2,4-D

sebagai hormon auksin. Sel-sel kalus ini bersifat parenkimatis atau meristematis

23

sebagai akibat pertumbuhan yang tidak terkendali dan belum mengalami

diferensiasi (Santosa & Nursandi, 2002). Kalus dalam keadaan seperti ini akan

dengan mudah diinterfensi oleh mutagen karena dinding sel yang masih tipis.

Mutagen kolkisin secara umum digunakan pada tumbuhan untuk menginduksi

ploidisasi sel tumbuhan. Kolkisin akan menghambat pembentukan benang-benang

spindel mikrotubula sehingga terjadi penggandaan kromosom dan menghambat

sitokinesis sel (Crowder, 1997). Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada

konsentrasi 0,01-1% untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis tanaman

memiliki respon yang berbeda-beda (Eigsti & Dustin, 1957; Suryo, 1995).

Pengaruh kolkisin ini dapat diamati dari sitologi sel di bawah mikroskop

secara langsung dan dengan pengecatan terlebih dahulu. Pewarnaan asetokarmin

selama 1 jam akan bereaksi dengan DNA sel sehingga berwarna merah (Anonim,

2014), dan jika terjadi ploidisasi kromosom akan dapat terlihat jelas. Adanya

perbedaan sitologi sel mengartikan bahwa genom penyusun individu sudah

berbeda, protein atau enzim yang dihasilkan berbeda, maka hasil metabolit yang

dihasilkan juga akan berbeda. KLT merupakan metode pemisahan fisikokimia

dalam suatu campuran senyawa (Stahl, 1985). Perbedaan metabolit sel-sel kalus

hasil induksi kolkisin dapat diamati dengan profil KLT ekstraknya. Penggunaan

pelarut yang berbeda dalam proses ekstraksi akan melarutkan senyawa dalam sel-

sel kalus yang berbeda pula, menurut prinsip ‘like disolve like’. Dua senyawa

dinyatakan identik jika mempunyai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT

yang sama (Gandjar & Rohman, 2007). Analisis kuantitatif KLT dilakukan

dengan pengukuran densitometri.

24

G. Hipotesis

Pemberian kolkisin yang semakin lama akan mempengaruhi sitologi sel-sel

kalus tapak dara karena terjadi ploidisasi sel yang semakin banyak dan metabolit

sekunder yang dihasilkan sel tersebut juga akan semakin meningkat sehingga

berpengaruh pada profil KLT ekstrak kalusnya.