bab i pendahuluan 1.1. latar belakangscholar.unand.ac.id/41232/2/bab i.pdf · bentukan pbb...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Protokol Kyoto adalah salah satu rezim perubahan iklim internasional
bentukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di bawah UNFCCC (United Nations
Framework Convention on Climate Change) yang berlaku mengikat bagi setiap
peserta pada protokol tersebut. Rezim ini berlaku dari tahun 2005 hingga tahun
2020. Saat rezim tersebut akan segera berakhir di tahun 2020, dunia kemudian
berupaya membentuk kembali suatu rezim perubahan iklim internasional yang
berlaku mengikat.1
Upaya tersebut kemudian terlihat saat COP-17 (Conference on Parties)
UNFCCC yang berlangsung di Durban. Hasil keputusan konferensi tersebut
menyatakan bahwa dunia perlu secepatnya mengadopsi rezim perubahan iklim
internasional baru yang berlaku mengikat, sebelum tahun 2015 berakhir.2
Saat COP-21 di Paris, keputusan tersebut diwujudkan dalam “Perjanjian
Paris 2015”. Secara umum, menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
terdapat 6 poin utama dari perjanjian ini:3
1. tujuan pembatasan kenaikan temperatur global di bawah 2°C di atas
masa pra industri serta upaya membatasinya di bawah 1,5°C;
1 Fiona Harvey, “The Kyoto protocol is not quite dead”, The Guardian,
https://www.theguardian.com/environment/2012/nov/26/kyoto-protocol-not-dead (Diakses pada
30 September 2018). 2 United Nations, “Durban Climate Conference-November/Decemver 2011”, United Nations
Framework Convention on Climate Change,
http://unfccc.int/meetings/durban_nov_2011/meeting/6425.php (Diakses pada 5 Desember 2017). 3 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Perubahan Iklim”, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Perubahan-
Iklim.aspx (Diakses pada 7 November 2017).
2
2. Annex I4 memimpin penurunan emisi dan penyediaan pendanaan,
sementara Non-Annex I5 diberikan fleksibilitas;
3. semua negara menyampaikan INDC (Intended Nationally Determined
Contribution)6 setiap lima tahun, dengan peningkatan dari waktu ke
waktu;
4. mengakui pentingnya adaptasi serta loss and damage, khususnya bagi
negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim;
5. global stocktake7 setiap 5 tahun mulai tahun 2023. Mekanisme
transparansi yang lebih kuat dari yang telah ada dengan fleksibilitas bagi
negara berkembang;
6. Annex I menyediakan dan memimpin dalam mobilisasi dana dari
berbagai sumber. Non Annex I dapat berkontribusi sukarela.
Dari keenam poin utama tersebut, terlihat jelas bahwa yang ditekankan
adalah peran Annex I dalam Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, peran Non-Annex
I bersifat fleksibel. Hal ini sesuai dengan Pembukaan Perjanjian Paris 2015, “also
recognizing that sustainable lifestyles and sustainable patterns of consumption and
production, with developed country Parties taking the lead, play an important role
in addressing climate change.”.8
4 Negara industri maju yang bertanggungjawab dalam perubahan iklim. 5 Negara berkembang yang tidak bertanggungjawab dalam perubahan iklim 6 Target penurunan emisi negara-negara peserta yang setiap 5 tahun harus terus meningkat. 7 Penilaian komprehensif terhadap kemajuan aksi perubahan iklim setiap 5 tahun. 8 United Nations, “Paris Agreement” (2015): 2.
3
Tercatat 170 dari 195 negara peserta UNFCCC sudah menerima norma
perubahan iklim dalam Perjanjian Paris 2015 dengan meratifikasi perjanjian
tersebut.9 Tidak seperti Protokol Kyoto di mana terdapat beberapa negara Annex I
yang tidak meratifikasi, di Perjanjian Paris 2015, negara-negara tersebut justru
melakukan ratifikasi. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat10 dan Kanada.11
Tak hanya itu, Amerika Serikat dan penghasil emisi terbesar di dunia, Tiongkok,
juga mengeluarkan pernyataan resmi bersama kepada dunia bahwa kedua negara
tersebut akan meratifikasi Perjanjian Paris 2015.12
Indonesia sebagai Non-Annex I13 juga telah menerima norma Perjanjian
Paris 2015 dengan mengadopsi, menandatangani, hingga meratifikasi perjanjian
tersebut. Indonesia setuju untuk mengadopsi perjanjian tersebut pada tanggal 12
Desember 2015.14 Indonesia kemudian menandatangani perjanjian ini pada tanggal
22 April 2016.15 Tak hanya itu, Indonesia lalu meratifikasi Perjanjian Paris 2015
pada tangal 31 Oktober 2016 melalui UU (Undang-Undang) Nomor 16 Tahun 2016
9 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention
on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November
2017). 10 Goverment of Canada, “The Paris Agreement”, https://www.canada.ca/en/environment-climate-
change/services/climate-change/paris-agreement.html (Diakses pada 30 September 2018). 11 Office of the Press Secretary, “Statement by the President on the Paris Climate Agreement”, The
White House, https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2015/12/12/statement-
president-paris-climate-agreement (Diakses pada 30 September 2018). 12 The New York Times, “Rare Harmony as China and U.S. Commit to Climate Deal”,
https://www.nytimes.com/2016/09/04/world/asia/obama-xi-jinping-china-climate-accord.html
(Diakses pada 12 September 2018). 13 UNFCCC Sites and Platform, “Parties and Observer”, United Nations Framework Convention
on Climate Change. http://unfccc.int/parties_and_observers/items/2704/php (Diakses pada 4
November 2017). 14 Ditjen PPI, “Kesepakatan COP21 / Paris”, KLHK,
http://ditjenppi.menlhk.go.id/program/liputan-khusus-cop-21-2015/kesepakatan-cop21-paris.html
(Diakses pada 12 November 2018). 15 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention
on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November
2017).
4
tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention
on Climate Change16 dan UU ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2016.17
Posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim sangatlah penting dikarenakan
Menurut Kementerian Kehutanan pada Apriwan dan Sinulingga, Indonesia
memiliki hutan hujan tropis terbesar ke-3 di dunia yang sangat berperan dalam
penanganan perubahan iklim.18 Namun di saat yang bersamaan, menurut FAO
(Food and Agriculture Organization) yang dikutip detikNews, angka deforestasi
dan degradasi hutan menempatkan Indonesia di peringkat pertama dunia.19
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2015 meski selama ini terdapat
tindakan yang tidak sesuai dengan INDC Perjanjian Paris 2015. Indonesia
merupakan negara dengan tingkat emisi yang terus meninggi dari tahun ke tahun.
Di tahun 2011, tingkat emisi Indonesia sebesar 511 juta ton CO2e dan 679 juta ton
CO2e di tahun 2015.20 Meningginya tingkat emisi tersebut diakibatkan oleh
penggundulan hutan tropis dengan angka sumbangsih sebesar 65% dari total
emisi.21
16 PPID, “UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement 2015 to the UN...”,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia,
http://ppid.menlhk.go.id/berita_klhk/browse/250 (Diakses pada 5 November 2017). 17 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention
on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November
2017). 18 Apriwan dan Anita Afriani S., “Local readiness towards REDD+ UNFCCC scheme (Study in
Province of West Sumatera Indonesia”, Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 650. 19 detikNews, “Terus Berkurang Drastis, Hutan Indonesia Jadi Sorotan Dunia”,
https://news.detik.com/berita/2865541/terus-berkurang-drastis-hutan-indonesia-jadi-sorotan-dunia
(Diakses pada 9 November 2017). 20 World Resources Institute, “project Potico”, http://www.wri.org/ourwork/project/forests-and-
landscapes-indonesia (Diakses pada 22 Februari 2018). 21 IEA Statistics, “Fossil Fuel Energy Consumption (%)”, The World Bank (2014),
https://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.COMM.FOZS?end=2014&locations=ID&s
tart=1971&view=chart (Diakses pada 22 Februari 2018).
5
Kemudian, Ditjen PPI (Direktorat Jenderal Perubahan Iklim) yang
berwenang mengurusi segala permasalahan terkait perubahan iklim di Indonesia
merilis “Kerangka Pendanaan Pengendalian Perubahan Iklim”. Kerangka tersebut
memperlihatkan bahwa besaran anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk
isu perubahan iklim sangatlah minim. Pemerintah hanya mengalokasikan dana
sebesar 5,29% dari jumlah dana yang dibutuhkan untuk Program Adaptasi
Perubahan Iklim, 74,19% untuk Program Mitigasi Perubahan Iklim, 52,93% untuk
Program Inventarisasi Gas Rumah Kaca serta Monitoring, Pelaporan dan
Verifikasi, 37,60% untuk Program Mobilisasi Sumber Data untuk Perubahan Iklim,
89,93% untuk Program Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta 26,12%
untuk Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanan Tugas Teknis Lainnya.
Secara keseluruhan, dari keenam program tersebut, pemerintah hanya
mengalokasikan dana rata-rata sebesar 40,75% dari total dana yang dibutuhkan.
Dari persentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengalokasikan dana
yang minim untuk perubahan iklim, seperti yang tertera pada tabel berikut:22
Tabel 1.1. Kerangka Pendanaan Program Pengendalian Perubahan Iklim
Tahun 2015-2019
Program Jumlah
(juta rupiah)
Alokasi Rencana
Strategis
(juta rupiah)
Gap
(juta rupiah)
Adaptasi Perubahan
Iklim
1.055.452 55.880 -999.572
Mitigasi Perubahan
Iklim
90.229 66.940 -23.289
Inventarisasi Gas
Rumah Kaca serta
Monitoring,
Pelaporan dan
Verifikasi
75.030 39.710 -35.230
Mobilisasi Sumber
Data untuk
Perubahan Iklim
139.006 52.270 -87.736
22 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, “Rencana Strategis Tahun 20152019”,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia: 50-53.
6
Pengendalian
Kebakaran Hutan
dan Lahan
726.455 653.320 -73.135
Dukungan
Manajemen dan
Pelaksanaan Tugas
Teknis Lainnya
144.970 37.870 -107.100
Total 2.223.327 905.990 -1.317.337
Sumber: Ditjen PPI, 2015.
Berangkat dari pentingnya posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan
adanya tindakan Indonesia yang meratifikasi Perjanjian Paris 2015 meski Indonesia
berstatus sebagai Non-Annex I, adanya praktik selama ini yang tidak sesuai dengan
INDC perjanjian tersebut, serta minimmnya anggaran perubahan iklim, oleh
karenanya, tulisan ini kemudian menganalisis kebijakan Indonesia dalam
meratifikasi perjanjian tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Posisi Indonesia dalam perubahan iklim sangatlah penting dikarenakan
hutan hujan Indonesia merupakan hutan hujan terbesar ke-3 di dunia. Namun di saat
yang bersamaan, laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia adalah yang
terbesar di dunia. Untuk menangani perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi
Perjanjian Paris 2015 meski Indonesia berstatus sebagai Non-Annex I. Indonesia
juga tetap meratifikasi perjanjian tersebut meski terdapat praktik yang selama ini
tidak sesuai dengan INDC Perjanjian Paris 2015. INDC perjanjian tersebut
menyatakan bahwa setiap negara peserta harus memasang target penurunan emisi.
Target tersebut harus meningkat setiap 5 tahun. Namun nyatanya, tingkat emisi
Indonesia selama ini justru terus meningkat akibat deforestasi dan degradasi hutan.
Tak hanya itu, pemerintah hanya mengalokasikan 40,75% anggaran Kerangka
Pendanaan Program Pengendalian Perubahan Iklim Tahun 2015-2019 dari total
7
dana yang dibutuhkan. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis penyebab Indonesia
meratifikasi Perjanjian Paris 2015.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah, “Mengapa Indonesia meratifikasi
Perjanjian Paris 2015?”
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Indonesia dalam
meratifikasi Perjanjian Paris 2015.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai rekomendasi bagi organisasi
internasional selaku pembuat rezim internasional dalam mengkonstruksi kondisi-
kondisi yang memungkinkan bagi suatu negara untuk menerima norma rezim
tersebut.
1.6. Tinjauan Pustaka
Untuk menganalisis judul yang diangkat, penelitian memaparkan acuan
pada beberapa tinjauan pustaka yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
Penelitian sebelumnya menjadi tolak ukur dan landasan bagi penulis dalam
mengembangkan ruang lingkup penelitian, yaitu penelitian yang menganalisis
kondisi-kondisi yang mempengaruhi Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris
2015.
8
Tinjauan pustaka pertama, berjudul “Efektifitas Mekanisme REDD
(Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) sebagai
Kebijakan yang dihasilkan oleh Rezim Perubahan Iklim UNFCCC.” Penelitian ini
mengukur efektivitas REDD di Indonesia sebagai suatu mekanisme yang dihasilkan
oleh rezim perubahan iklim UNFCCC. Untuk mengukur rezim internasional
tersebut, penelitian menggunakan pendekatan rezim internasional, teori efektifitas
rezim serta konsep implementasi dan kepatuhan. Menurut Rizqie, peforma REDD
cenderung lambat dikarenakan rezim internasional ini berada pada kategori “mixed-
performance regimes”. Hal ini ditandai dengan adanya kapabilitas penyelesaian
masalah dalam rezim internasional yang kompeten yang ditandai dengan hadirnya
badan akademis yang berwenang menyediakan informasi perubahan iklim terbaru
dan badan lainnya yang beperan dalam pengawasan. Namun, dalam rezim
internasional ini, masih terdapat adanya kompleksitas masalah yang dihadapi akibat
munculnya konflik kepentingan saat COP.23
Tinjauan pustaka kedua, “Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme
Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Perspektif Indonesia”,
penelitian ini mendeskripsikan hubungan antara aspek internasional dan lokal
dalam mekanisme REDD-UNFCCC. Di dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa
UNFCCC telah menghasilkan kesepakatan berupa mekanisme REDD yang tidak
hanya menitik beratkan peran level nasional, namun juga level lokal (provinsi-
kabupaten) untuk menangani perubahan iklim. Temuan penelitian yang
menggunakan model Two Level Game milik Putnam ini berupa REDD (aspek
23 Debby Rizqie, “Efektivitas Mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation) sebagai Kebijakan yang dihasilkan oleh Rezim Perubahan Iklim UNFCCC,”
AJIS 2, no.1 (Mei, 2013): 75-95.
9
internasional) yang merupakan suatu produk seharusnya juga memperhatikan
kondisi nyata dan kebutuhan (aspek lokal) yang merupakan pengguna dari produk
tersebut. Menurut Apriwan, agar hal tersebut terjadi, seharusnya proses diplomasi
dan negosiasi pada tahap perancangan REDD mengkomunikasikan kondisi
internasional ke dalam konteks domestik dan sebaliknya, memperjuangkan
kepentingan domestik ke konteks internasional. Hal ini diperlukan agar terjadi
sinergisitas antara konteks internasional dengan lokal sehingga REDD akan lebih
populer di level lokal dan dapat diiplementasikan dengan baik.24
Tinjauan pustaka ketiga, berjudul “Challanges for REDD+ in Indonesia: a
case study of three project sites,”. Penelitian ini berusaha mencari penyebab
gagalnya mekanisme REDD+ yang dihasilkan dari rezim perubahan iklim
UNFCCC dalam meminimalisir deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia
dengan menggunakan 5 indikator. Kelima indikator tersebut berupa keuangan,
komunitas, boundary enforcement, pengawasan, serta hasil dari upaya penyerapan
karbon dan pelestarian keanekaragaman hayati. Menurut Enrici dan Hubacek,
gagalnya REDD+ disebabkan adanya tantangan yang ditemui dalam 4 indikator
tersebut. Pertama, indikator keuangan, terdapat adanya kekurangan sumber-sumber
pendanaan. Kedua, indikator komunitas, kurangnya perencanaan matang yang
melibatkan berbagai komunitas. Ketiga, indikator boundary enforcement,
terjadinya korupsi. Keempat, indikator pengawasan, terdapat kurangnya
pengawasan. Enrici dan Hubacek kemudian menyarankan Pemerintah Indonesia
24 Apriwan, “Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-
UNFCCC): Perspektif Indonesia”, Jurnal Hubungan Internasional 3, no.1 (April, 2014): 25-31.
10
untuk merubah regulasi yang berkaitan dengan 4 indikator tersebut agar REDD+
dapat efektif.25
Tinjauan pustaka keempat, “Indonesia’s Policy on Climate Change
Mitigation: Constraints and Solutions”, Penelitian ini menganalisis implementasi
kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu perubahan iklim. Analisis tersebut
kemudian tidak hanya menemukan hambatan-hambatan dalam implementasi
kebijakan Indonesia, namun juga menghasilkan berbagai solusi. Menurut
Wicaksana, dari segi hambatan, khususnya di level internasional, hambatan yang
terjadi berupa adanya kontestasi power antara Amerika Serikat dengan Tiongkok
yang cenderung mempengaruhi komitmen Indonesia dalam isu perubahan iklim. Di
level nasional, hambatan berupa adanya kompleksitas sosial, ekonomi dan budaya
yang sering menimbulkan resistensi sosial, konflik kepentingan antarinstansi
pemerintah serta kerentanan budaya. Kemudian, penelitian menyarankan beberapa
solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Untuk mengatasi hambatan di
level internasional, Indonesia harus membentuk kemitraan strategis dengan arah
yang jelas dalam isu perubahan iklim. Di level nasional, solusi yang diberikan
berupa mempromosikan kepada masyarakat domestik bahwa kebijakan-kebijakan
luar negeri dalam isu perubahan iklim sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Tak hanya itu, untuk mengatasi hambatan di level nasional, penelitian juga
menyarankan perlunya pengembangan teknologi yang sangat diperlukan oleh
masyarakat domestik untuk mitigasi bencana alam akibat perubahan iklim.26
25 Ashley M. Enrici dan Klaus Hubacek, “Challanges for REDD+ in Indonesia: a case study of
three project sites”, Ecology and Society 23, no. 2: 1-14. 26 I Gede Wahyu Wicaksana. “Indonesia’s Policy on Climate Change Mitigation: Constraints and
Solutions”, Advanced Science Letters 21, no. 2 (Februari 2015): 216-218.
11
Tinjauan pustaka kelima, berjudul, “Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian
Paris 2015: Antara Komitmen dan Realitas.” Penelitian ini membahas komitmen
Indonesia, implikasi dan kendala-kendala yang dapat menghambat Indonesia dalam
mencapai target Perjanjian Paris 2015. Menurut Zuhir, et.al., komitmen Indonesia
dalam Perjanjian Paris 2015 tercermin dengan turut andilnya Indonesia sebagai
peserta perjanjian tersebut. Akibatnya, implikasi yang ditimbulkan yaitu Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi target INDC. Sementara itu, penelitian ini
menemukan bahwa regulasi yang ada di Indonesia saat ini dapat menjadi
penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan dalam Perjanjian Paris 2015. Hal ini
dikarenakan regulasi Indonesia bersifat lemah dalam penegakan hukum di bidang
kehutanan dan bersifat kontradiktif di bidang energi. Akibat kedua hal tersebut,
Indonesia diperkirakan tidak akan mampu memenuhi INDC.27
Dari kelima tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan
pustaka pertama mengukur efektivitas REDD di Indonesia sebagai suatu
mekanisme yang dihasilkan oleh rezim perubahan iklim UNFCCC, tinjauan
pustaka kedua mendeskripsikan hubungan antara aspek internasional dan lokal
dalam mekanisme REDD-UNFCCC, tinjauan pustaka ketiga mencari penyebab
gagalnya mekanisme REDD+ yang dihasilkan dari rezim perubahan iklim
UNFCCC dalam meminimalisir deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia
dengan menggunakan 5 indikator, tinjauan pustaka keempat menganalisis
implementasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu perubahan iklim, dan
tinjauan pustaka kelima membahas komitmen Indonesia, implikasi dan kendala-
kendala yang dapat menghambat Indonesia dalam mencapai target Perjanjian Paris
27 Mada Apriandi Zuhir, et.al., “Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian Paris 2015: Antara
Komitmen dan Realitas”, Bina Hukum Lingkungan 1, no.2 (2017): 231-246.
12
2015. Berangkat dari kelima tinjauan pustaka tersebut, terlihat jelas bahwa ruang
lingkup penelitian dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia
meratifikasi Perjanjian Paris 2015 belum pernah dilakukan.
1.7. Kerangka Teori dan Konseptual
1.7.1. Rezim Internasional dalam Perspektif Konstruktivisme
Krasner pada Brahm mendefinisikan rezim internasional sebagai prinsip,
norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan baik implisit atau eksplisit
yang mengandung ekspektasi para pelaku dalam suatu bidang hubungan
internasional. Rezim adalah pengaturan yang lebih khusus yang berkaitan dengan
kegiatan, sumber daya atau wilayah geografis yang terdefinisi dengan baik dan
sering hanya melibatkan beberapa bagian dari anggota masyarakat internasional.
Rezim akan semakin bersifat signifikan jika bidang isu, lingkup geografis dan
keanggotaan semakin khusus.28
Krasner pada Hennida menyatakan bahwa rezim memuat prinsip, norma,
aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang begitu mengikat negara karena
adanya degree of institusionalism pada masing-masingnya. Menurut Keeley pada
Hennida, prinsip dalam rezim internasional dilihat berdasarkan fakta yang ada dan
selanjutnya prinsip itu menjadi patokan dan pegangan setiap saat yang harus ada
dalam setiap perilaku aktor. Norma juga berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap
aktor yang terlibat di dalam rezim internasional tersebut. Maksudnya, setiap aktor
yang terlibat di dalam sebuah rezim internasional terikat pada norma yang berlaku.
Peraturan berfungsi sebagai pedoman bagi negara-negara untuk bertindak sesuai
28 Eric Brahm, “International Regimes”, Beyond Intractability,
https://www.beyondintractability.org/essay/international_regimes (Diakses pada 17 Mei 2018).
13
dengan apa yang diharapkan atau menjadi tujuan sebuah rezim internasional.
Peraturan memiliki kekuatan yang mengikat bagi negara. Kemudian, prosedur
pembuatan keputusan didefinisikan sebagai praktik dari pembuatan dan
implementasi apa yang dianggap sebagai kebaikan bersama. Aspek ini lebih
menekankan pada konsensus dan didasarkan pada bekal kognitif yang dimiliki oleh
negara dalam mengambil keputusan. Masing-masing negara anggota dianggap
telah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup, sehingga terjadi sebuah
keberagaman pemikiran yang menjadi landasan selanjutnya untuk mengambil
keputusan yang dinilai terbaik.29
Konstruktivis beranggapan bahwa politik domestik dan politik global saling
terintegrasi dan sama pentingnya. Pendekatan konstruktivis menghargai cara-cara
bagaimana suatu agen menciptakan pemaham normatif intersubjektif. Finnemore
dan Legro pada Hennida menyatakan bahwa suatu agen dapat memainkan peran
penting dalam penyebaran belief dan norma. Subjektivitas negara kemudian
berpengaruh erat dalam mempengaruhi jalan pikir untuk membuat, merencanakan
maupun memutuskan suatu hal terkait dengan kebijakan ataupun hal lainnya.
Subjektivitas tersebut mencakup nilai-nilai fundamental, ideologi yang dianut,
norma yang dipakai hingga agama yang dianut.30
Schaber dan Ulbert pada Hennida menyatakan proses yang mempengaruhi
keterlibatan negara dalam suatu rezim internasional dipengaruhi oleh keyakinan
normatif dan kepercayaan para pembuat kebijakan. Oleh karena itu, ketika terjadi
perubahan dalam sistem kepercayaan maka akan terjadi perubahan dalam
29 Citra Hennida, Rezim dan Organisasi Internasional: Interaksi Negara, Kedaulatan dan Institusi
Multilateral (2015), 113-114. 30 Citra Hennida, 112.
14
kebijakan. Konstruktivis juga percaya bahwa diskursus normatif adalah aspek
penting dalam kehidupan institusi dimana norma diperdebatkan, dibentuk dan
disebarkan oleh institusi internasional. Konstruktivis juga berpandangan bahwa
negara sebagai suatu entitas sosial dipengaruhi oleh pemahaman intersubjektifitas
tersebut. Pengaruh tersebut muncul lebih banyak pada tataran internasional. Aktor
dalam level sistem adalah proaktif dimana identifikasi dan definisi pilihan
kebijakan dipengaruhi oleh aktor di tingkat internasional. Negara mengadopsi
kebijakan bukan sebagai respon karakter individualistis negara, namun sebagai
respon terhadap konstruksi norma sosial yang ada di level internasional.31
1.7.2. Norma
Menurut Finnemore dan Sikkink, norma adalah sebuah standar tindakan
bagi aktor-aktor dengan identitas yang diberikan. Terdapat beberapa kategori
norma. Kategori pertama, terdapat norma regulatif, yang dapat menata dan
mengikat aktor; dan norma konstitutif, yang dapat membentuk aktor, kepentingan
dan jenis tindakan baru. Kategori kedua, terdapat norma evaluatif atau perskreptif
yang jarang digunakan dalam analisis.
Finnemore dan Sikkink menyatakan berpengaruh atau tidaknya norma
sehingga suatu negara dapat menerima norma tersebut ditentukan oleh 3 kondisi:32
1. Legitimasi. Finnemore dan Sikkink menyatakan bahwa suatu negara
secara domestik menerima norma internasional tertentu disebabkan oleh
motif legitimasi internasional. Menurut Ikkenberry dan Kupchan, motif
legitimasi internasional tersebut dapat muncul akibat adanya opini publik
31 Citra Hennida, 111-116. 32 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink “International Norm Dynamics and Political Change”,
International Organization 52, no. 4 (Musim Gugur, 1998): 905-907.
15
yang mengancam reputasi elit. Akibat adanya opini publik tersebut,
negara kemudian akan menerima suatu norma demi menyelamatkan
reputasi elit-elit tersebut. Selain itu, ada potensi perpecahan dalam partai
politik koalisi pendukung pemerintah akibat suatu isu juga dapat
menyebabkan negara menerima norma yang terkait dengan isu tersebut;33
2. Keunggulan. Menurut Florini pada penelitian Finnemore dan Sikkink,
norma dapat diterima oleh suatu negara jika ada norm entrepreneurs
yang berkualitas tinggi mempromosikan norma tersebut. Norm
entrepreneurs adalah suatu agen yang berusaha meyakinkan massa
dalam jumlah yang banyak untuk menerima norma baru. Norm
entrepreneurs yang berkualitas tinggi menurut Ikenberry dan Kupchan
pada Elster di dalam tulisan Finnemore dan Sikkink berupa negara
hegemon. Ketika negara hegemon menjadi norm entrepreneurs, maka
negara tersebut akan menggunakan insentif material mau pun hukuman
untuk menarik negara target terlibat dalam suatu rezim internasional.
Bagi negara target, adanya insentif material dan hukuman tersebut yang
membuat mereka kemudian mau menerima suatu norma;
3. Kualitas Intrinsik Norma. Finnemore dan Sikkink juga menyatakan
bahwa kualitas intrinsik norma menentukan besarnya pengaruh norma itu
sendiri. Norma yang memiliki kualitas intrinsik tinggi dapat dianalisis
melalui; (a) Formulasi Norma. Menurut Legro, norma yang spesifik dan
tidak ambigu (bersifat khusus), telah ada sejak lama yang melewati
berbagai tantangan (daya tahan), serta besarnya peneriman secara
33 G. J. Ikenberry dan C.A. Kupchan, “Socialization and hegemonic power”, International
Organization 44, no. 03 (1990): 284-291.
16
internasional (konkordansi) akan lebih mudah diterima oleh suatu
negara. Norma yang bersifat khusus akan membuat suatu negara paham
akan larangan-larangan sehingga negara tersebut akan terhindar dari
sanksi yang ada. Kemudian, norma yang memiliki daya tahan yang tinggi
akan dipandang oleh negara sebagai suatu norma yang dapat eksis dalam
jangka waktu yang lama, jika negara tersebut menerima norma.
Sementara itu, jika suatu norma yang tergolong baru dan memiliki
konkordansi yang tinggi, maka norma tersebut akan dipandang oleh suatu
negara sebagai norma yang memiliki prospek eksistensi yang tinggi;34
(b) Isi Norma. Menurut Ahli Institusionalisme Sosiologi, norma yang
mengandung kapitalisme dan liberalisme akan lebih berpengaruh.
Kapitalisme dan liberalisme yang dimaksud menurut Boli dan Thomas
pada Finnemore dan Sikkink yaitu norma yang mengandung prinsip
universalisme, individualisme, rational voluntaristic authority,
rationalizing human progress (human purpose), dan world citizenship.
Menurut Boli dan Thomas pada Wiseman dan Davidson, universalisme
terkait dengan isi norma apakah membahas isu yang global atau tidak.
Norma yang memuat isu global dapat membuat suatu negara dapat
dengan cepat eksis di kancah internasional. Sementara itu,
individualisme berkaitan dengan demokratis atau tidaknya suatu norma,
yakni apakah dalam proses pembuatan norma setiap negara anggota
memiliki satu hak suara atau tidak. Ketika suatu negara memiliki jumlah
hak suara yang sama dengan negara-negara lainnya, maka menurut
34 Jeffrey W. Legro, “Which Norms Matter? Revisiting the “Failure” of Internationalism”,
International Organization 51, no. 1 (Musim Dingin, 1997): 34-35.
17
Robertson dan White, negara mau menerima norma tersebut karena
kepentingan nasional negara tersebut juga dapat diperjuangkan dalam
proses pembuatan norma.35 Kemudian, rational voluntaristic authority
berkaitan apakah suatu norma dalam proses pembuatannya tidak
memerlukan kehadiran pihak eksternal sebagai syarat legitimasi suatu
negara. Dengan tidak adanya hal tersebut, suatu negara atas kewenangan
negara itu sendiri dapat melakukan rasionalisasi apakah norma tersebut
bersifat adil, sesuai proporsi, dan efisien sehingga suatu negara akan
secara sukarela menerima norma. Lalu, rationalizing human progress
(human purpose), terkait dengan apakah permasalahan yang melatar
belakangi dibentuknya norma tersebut juga dapat dirasakan secara
domestik oleh negara-negara yang akan menerima norma tersebut.
Sehingga, dengan menerima norma, permasalahan-permasalahan
domestik tersebut dapat diselesaikan. Terakhir, world citizenship yang
bermakna apakah norma membuat setiap anggota memiliki hak dan
kewajiban yang sama (egaliter). Dengan hak dan kewajiban yang setara
tersebut, negara kemudian akan menerima norma karena perbedaan
kapabilitas antarnegara tetap dihargai dalam mencapai tujuan dari norma
tersebut.36
35 Roland Robertson dan Katheelen E. White, eds., Globalization: Critical Concepts in Sociology
(London: Routledge, 2003), 30. 36 Alexander W. Wiseman dan Petrina M. Davidson, eds., Cross-nationally Comparative,
Evidence-based Educational Policymaking and Reform: International Perspectives on Education
and Society (Emerald Group Publishing, 2018), 108-109.
18
1.8. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain
penelitian eksplanatif. Menurut Ritchie dan Lewis, metode penelitian kualitatif
adalah jenis penelitian yang menekankan pada kedalaman data, bukan keluasan
data. Metode ini menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari
kuantifikasi/pengukuran.37 Sementara itu, desain penelitian eksplanatif menurut
Suryana adalah desain penelitian yang menyoroti hubungan antar variabel dengan
menggunakan kerangka pemikiran terlebih dahulu.38
Dalam penelitian ini, kedalaman data yang dianalisis adalah kebijakan
Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, hubungan
antarvariabel yang disoroti adalah hubungan antara pengaruh norma Perjanjian
Paris 2015 dengan kebijakan Indonesia yang meratifikasi perjanjian tersebut.
1.8.1. Batasan Penelitian
Agar objek penelitian jelas dan tidak terjadi penyimpangan, penelitian
dibatasi dari tahun 2011 hingga tahun 2016. Tahun 2011 merupakan tahun
berlangsungnya COP-17, yakni saat mulai diinisiasi kembali pembentukan suatu
rezim perubahan iklim internasional yang bersifat mengikat sebelum tahun 2015
berakhir. Sementara itu, tahun 2016 merupakan tahun Indonesia meratifikasi
Perjanjian Paris 2015.
37 Jane Ritchie dan Jane Lewis, Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science
Students and Researchers (London: Sage Publication, 2003), 3. 38 Suryana, METODOLOGI PENELITIAN: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia), 9.
19
1.8.2. Unit dan Tingkat Analisis
Unit analisis merupakan objek kajian yang perilakunya dijelaskan.
Sementara itu, unit eksplanasi merupakan unit yang dapat mempengaruhi perilaku
unit analisis. Selanjutnya, level analisis atau tingkat analisis merupakan posisi dari
unit yang dijelaskan. Level analisis akan membantu peneliti dalam menjelaskan
area yang dijelaskan.39
Dalam penelitian ini, unit analisis berupa kebijakan Indonesia dalam
meratifikasi Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, unit eksplanasi berupa pengaruh
norma perjanjian tersebut. Terakhir, level analisis berada pada level sistem
internasional.
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.40 Dalam penelitian ini, data-data sekunder yang diperoleh berasal dari
dokumen-dokumen resmi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
dan Kementerian PPN/Bappenas, serta buku, artikel pada jurnal ilmiah, surat kabar,
situs, maupun laporan penelitian yang terkait dengan Indonesia dan Perjanjian Paris
2015.
39 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi (Yogyakarta: Pusat
Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1990), 35-286. 40 Harnovinsah, Metodologi Penelitian: Modul 3 (Universitas Mercu Buana), 1.
20
1.8.4. Teknik Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman, terdapat 3 tahap dalam teknik analisis data.
Pertama, reduksi data, yaitu, suatu teknik analisis data dengan mengorganisasi dan
mengkategorisasi data berdasarkan konsep yang disusun secara sistematis. Kedua,
penyajian data, yakni proses menghubungkan data dengan kerangka konsep.
Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi.41
Di dalam penelitian ini, tahap reduksi data dilakukan dengan
mengorganisasi dan mengkategorisasi data berdasarkan kata-kata kucni yang
relevan seperti “Perjanjian Paris 2015” dan “Indonesia Perjanjian Paris 2015”. Pada
tahap penyajian data, seluruh data yang diperoleh kemudian diurutkan dan
dihubungkan berdasarkan 3 kondisi, yaitu Legitimasi Indonesia terhadap Perjanjian
Paris 2015, Keunggulan Perjanjian Paris 2015 dan Karakteristik Intrinsik Norma
Perjanjian Paris 2015. Di tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi, ditarik suatu
generalisasi apakah kondisi legitimasi, keunggulan atau karakteristik instrinsik
norma yang mempengaruhi Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris 2015.
Generalisasi tersebut kemudian dievaluasi apakah dengan menganalisis
menggunakan 3 kondisi tersebut mampu menjawab pertanyan penelitian yaitu
terkait penyebab Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2015.
41 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis (Sage Publication,
1994), 18.
21
1.9. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisi signifikansi penelitian dan bagaimana teknik mengelola
penelitan tersebut yang dibagi ke dalam latar belakang, rumusan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi pustaka,
kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: PERJANJIAN PARIS 2015 SEBAGAI REZIM
PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL
Bab ini berisi latar belakang dan dinamika pembentukan Perjanjian Paris
2015. Bagian ini menjelaskan berakhirnya masa berlaku Protokol Kyoto sehingga
diperlukan rezim perubahan iklim internasional baru yang dibentuk dari COP-17
hingga COP-20. Bab ini juga berisi penjelasan Perjanjian Paris 2015 sebagai Rezim
Perubahan Iklim Internasional. Di bagian ini, dijelaskan penerimaan norma
perjanjian tersebut yang ditandai dengan pengadopsian, penandatanganan,
peratifikasian. Selain itu, hak dan kewajiban negara-negara peserta juga dijelaskan.
BAB III: INDONESIA DALAM ISU PERUBAHAN IKLIM DAN
KEBIJAKAN INDONESIA MERATIFIKASI
PERJANJIAN PARIS 2015
Bab ini berisi posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim. Pada bagian ini,
dipaparkan tingkat emisi Indonesia dan tingkat kerentanan Indonesia terhadap
perubahan iklim. Selain itu, bab ini juga berisi penjelasan mengenai Indonesia
dalam penerimaan Perjanjian Paris 2015. Di bagian ini, keterlibatan Indonesia dari
COP-17 hingga COP-21 dalam pembentukan perjanjian tersebut dan langkah-
22
langkah yang diambil oleh Indonesia sebagai tanda penerimaan Perjanjian Paris
2015 juga dijelaskan.
BAB IV: ANALISIS KEBIJAKAN INDONESIA DALAM
MERATIFIKASI PERJANJIAN PARIS 2015
Bab ini berisi analisis kebijakan Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris
2015 dengan menggunakan Konsep Pengaruh Norma. Melalui konsep ini, analisis
dilakukan terhadap kondisi legitimasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris 2015,
keunggulan Perjanjian Paris 2015, dan kualitas intrinsik norma Perjanjian Paris
2015.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan penelitian terkait kondisi-kondisi apa yang
mempengaruhi Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan meratifikasi Perjanjian
Paris 2015. Selain itu, saran penelitian juga dipaparkan.