bab i pendahuluan 1.1. latar belakangscholar.unand.ac.id/41232/2/bab i.pdf · bentukan pbb...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Protokol Kyoto adalah salah satu rezim perubahan iklim internasional bentukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang berlaku mengikat bagi setiap peserta pada protokol tersebut. Rezim ini berlaku dari tahun 2005 hingga tahun 2020. Saat rezim tersebut akan segera berakhir di tahun 2020, dunia kemudian berupaya membentuk kembali suatu rezim perubahan iklim internasional yang berlaku mengikat. 1 Upaya tersebut kemudian terlihat saat COP-17 (Conference on Parties) UNFCCC yang berlangsung di Durban. Hasil keputusan konferensi tersebut menyatakan bahwa dunia perlu secepatnya mengadopsi rezim perubahan iklim internasional baru yang berlaku mengikat, sebelum tahun 2015 berakhir. 2 Saat COP-21 di Paris, keputusan tersebut diwujudkan dalam “Perjanjian Paris 2015. Secara umum, menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, terdapat 6 poin utama dari perjanjian ini: 3 1. tujuan pembatasan kenaikan temperatur global di bawah 2°C di atas masa pra industri serta upaya membatasinya di bawah 1,5°C; 1 Fiona Harvey, “The Kyoto protocol is not quite dead, The Guardian, https://www.theguardian.com/environment/2012/nov/26/kyoto-protocol-not-dead (Diakses pada 30 September 2018). 2 United Nations, “Durban Climate Conference-November/Decemver 2011, United Nations Framework Convention on Climate Change, http://unfccc.int/meetings/durban_nov_2011/meeting/6425.php (Diakses pada 5 Desember 2017). 3 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Perubahan Iklim”, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Perubahan- Iklim.aspx (Diakses pada 7 November 2017).

Upload: nguyenduong

Post on 20-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Protokol Kyoto adalah salah satu rezim perubahan iklim internasional

bentukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di bawah UNFCCC (United Nations

Framework Convention on Climate Change) yang berlaku mengikat bagi setiap

peserta pada protokol tersebut. Rezim ini berlaku dari tahun 2005 hingga tahun

2020. Saat rezim tersebut akan segera berakhir di tahun 2020, dunia kemudian

berupaya membentuk kembali suatu rezim perubahan iklim internasional yang

berlaku mengikat.1

Upaya tersebut kemudian terlihat saat COP-17 (Conference on Parties)

UNFCCC yang berlangsung di Durban. Hasil keputusan konferensi tersebut

menyatakan bahwa dunia perlu secepatnya mengadopsi rezim perubahan iklim

internasional baru yang berlaku mengikat, sebelum tahun 2015 berakhir.2

Saat COP-21 di Paris, keputusan tersebut diwujudkan dalam “Perjanjian

Paris 2015”. Secara umum, menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,

terdapat 6 poin utama dari perjanjian ini:3

1. tujuan pembatasan kenaikan temperatur global di bawah 2°C di atas

masa pra industri serta upaya membatasinya di bawah 1,5°C;

1 Fiona Harvey, “The Kyoto protocol is not quite dead”, The Guardian,

https://www.theguardian.com/environment/2012/nov/26/kyoto-protocol-not-dead (Diakses pada

30 September 2018). 2 United Nations, “Durban Climate Conference-November/Decemver 2011”, United Nations

Framework Convention on Climate Change,

http://unfccc.int/meetings/durban_nov_2011/meeting/6425.php (Diakses pada 5 Desember 2017). 3 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Perubahan Iklim”, Kementerian Luar Negeri

Republik Indonesia, https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Perubahan-

Iklim.aspx (Diakses pada 7 November 2017).

2

2. Annex I4 memimpin penurunan emisi dan penyediaan pendanaan,

sementara Non-Annex I5 diberikan fleksibilitas;

3. semua negara menyampaikan INDC (Intended Nationally Determined

Contribution)6 setiap lima tahun, dengan peningkatan dari waktu ke

waktu;

4. mengakui pentingnya adaptasi serta loss and damage, khususnya bagi

negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim;

5. global stocktake7 setiap 5 tahun mulai tahun 2023. Mekanisme

transparansi yang lebih kuat dari yang telah ada dengan fleksibilitas bagi

negara berkembang;

6. Annex I menyediakan dan memimpin dalam mobilisasi dana dari

berbagai sumber. Non Annex I dapat berkontribusi sukarela.

Dari keenam poin utama tersebut, terlihat jelas bahwa yang ditekankan

adalah peran Annex I dalam Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, peran Non-Annex

I bersifat fleksibel. Hal ini sesuai dengan Pembukaan Perjanjian Paris 2015, “also

recognizing that sustainable lifestyles and sustainable patterns of consumption and

production, with developed country Parties taking the lead, play an important role

in addressing climate change.”.8

4 Negara industri maju yang bertanggungjawab dalam perubahan iklim. 5 Negara berkembang yang tidak bertanggungjawab dalam perubahan iklim 6 Target penurunan emisi negara-negara peserta yang setiap 5 tahun harus terus meningkat. 7 Penilaian komprehensif terhadap kemajuan aksi perubahan iklim setiap 5 tahun. 8 United Nations, “Paris Agreement” (2015): 2.

3

Tercatat 170 dari 195 negara peserta UNFCCC sudah menerima norma

perubahan iklim dalam Perjanjian Paris 2015 dengan meratifikasi perjanjian

tersebut.9 Tidak seperti Protokol Kyoto di mana terdapat beberapa negara Annex I

yang tidak meratifikasi, di Perjanjian Paris 2015, negara-negara tersebut justru

melakukan ratifikasi. Negara-negara itu adalah Amerika Serikat10 dan Kanada.11

Tak hanya itu, Amerika Serikat dan penghasil emisi terbesar di dunia, Tiongkok,

juga mengeluarkan pernyataan resmi bersama kepada dunia bahwa kedua negara

tersebut akan meratifikasi Perjanjian Paris 2015.12

Indonesia sebagai Non-Annex I13 juga telah menerima norma Perjanjian

Paris 2015 dengan mengadopsi, menandatangani, hingga meratifikasi perjanjian

tersebut. Indonesia setuju untuk mengadopsi perjanjian tersebut pada tanggal 12

Desember 2015.14 Indonesia kemudian menandatangani perjanjian ini pada tanggal

22 April 2016.15 Tak hanya itu, Indonesia lalu meratifikasi Perjanjian Paris 2015

pada tangal 31 Oktober 2016 melalui UU (Undang-Undang) Nomor 16 Tahun 2016

9 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention

on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November

2017). 10 Goverment of Canada, “The Paris Agreement”, https://www.canada.ca/en/environment-climate-

change/services/climate-change/paris-agreement.html (Diakses pada 30 September 2018). 11 Office of the Press Secretary, “Statement by the President on the Paris Climate Agreement”, The

White House, https://obamawhitehouse.archives.gov/the-press-office/2015/12/12/statement-

president-paris-climate-agreement (Diakses pada 30 September 2018). 12 The New York Times, “Rare Harmony as China and U.S. Commit to Climate Deal”,

https://www.nytimes.com/2016/09/04/world/asia/obama-xi-jinping-china-climate-accord.html

(Diakses pada 12 September 2018). 13 UNFCCC Sites and Platform, “Parties and Observer”, United Nations Framework Convention

on Climate Change. http://unfccc.int/parties_and_observers/items/2704/php (Diakses pada 4

November 2017). 14 Ditjen PPI, “Kesepakatan COP21 / Paris”, KLHK,

http://ditjenppi.menlhk.go.id/program/liputan-khusus-cop-21-2015/kesepakatan-cop21-paris.html

(Diakses pada 12 November 2018). 15 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention

on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November

2017).

4

tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention

on Climate Change16 dan UU ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2016.17

Posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim sangatlah penting dikarenakan

Menurut Kementerian Kehutanan pada Apriwan dan Sinulingga, Indonesia

memiliki hutan hujan tropis terbesar ke-3 di dunia yang sangat berperan dalam

penanganan perubahan iklim.18 Namun di saat yang bersamaan, menurut FAO

(Food and Agriculture Organization) yang dikutip detikNews, angka deforestasi

dan degradasi hutan menempatkan Indonesia di peringkat pertama dunia.19

Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2015 meski selama ini terdapat

tindakan yang tidak sesuai dengan INDC Perjanjian Paris 2015. Indonesia

merupakan negara dengan tingkat emisi yang terus meninggi dari tahun ke tahun.

Di tahun 2011, tingkat emisi Indonesia sebesar 511 juta ton CO2e dan 679 juta ton

CO2e di tahun 2015.20 Meningginya tingkat emisi tersebut diakibatkan oleh

penggundulan hutan tropis dengan angka sumbangsih sebesar 65% dari total

emisi.21

16 PPID, “UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement 2015 to the UN...”,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia,

http://ppid.menlhk.go.id/berita_klhk/browse/250 (Diakses pada 5 November 2017). 17 UNFCCC Sites and Platform, “Status of Ratification”, United Nations Framework Convention

on Climate Change, http://unfccc.int/paris_agreement/items/944.php (Diakses pada 6 November

2017). 18 Apriwan dan Anita Afriani S., “Local readiness towards REDD+ UNFCCC scheme (Study in

Province of West Sumatera Indonesia”, Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 650. 19 detikNews, “Terus Berkurang Drastis, Hutan Indonesia Jadi Sorotan Dunia”,

https://news.detik.com/berita/2865541/terus-berkurang-drastis-hutan-indonesia-jadi-sorotan-dunia

(Diakses pada 9 November 2017). 20 World Resources Institute, “project Potico”, http://www.wri.org/ourwork/project/forests-and-

landscapes-indonesia (Diakses pada 22 Februari 2018). 21 IEA Statistics, “Fossil Fuel Energy Consumption (%)”, The World Bank (2014),

https://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.COMM.FOZS?end=2014&locations=ID&s

tart=1971&view=chart (Diakses pada 22 Februari 2018).

5

Kemudian, Ditjen PPI (Direktorat Jenderal Perubahan Iklim) yang

berwenang mengurusi segala permasalahan terkait perubahan iklim di Indonesia

merilis “Kerangka Pendanaan Pengendalian Perubahan Iklim”. Kerangka tersebut

memperlihatkan bahwa besaran anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk

isu perubahan iklim sangatlah minim. Pemerintah hanya mengalokasikan dana

sebesar 5,29% dari jumlah dana yang dibutuhkan untuk Program Adaptasi

Perubahan Iklim, 74,19% untuk Program Mitigasi Perubahan Iklim, 52,93% untuk

Program Inventarisasi Gas Rumah Kaca serta Monitoring, Pelaporan dan

Verifikasi, 37,60% untuk Program Mobilisasi Sumber Data untuk Perubahan Iklim,

89,93% untuk Program Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, serta 26,12%

untuk Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanan Tugas Teknis Lainnya.

Secara keseluruhan, dari keenam program tersebut, pemerintah hanya

mengalokasikan dana rata-rata sebesar 40,75% dari total dana yang dibutuhkan.

Dari persentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengalokasikan dana

yang minim untuk perubahan iklim, seperti yang tertera pada tabel berikut:22

Tabel 1.1. Kerangka Pendanaan Program Pengendalian Perubahan Iklim

Tahun 2015-2019

Program Jumlah

(juta rupiah)

Alokasi Rencana

Strategis

(juta rupiah)

Gap

(juta rupiah)

Adaptasi Perubahan

Iklim

1.055.452 55.880 -999.572

Mitigasi Perubahan

Iklim

90.229 66.940 -23.289

Inventarisasi Gas

Rumah Kaca serta

Monitoring,

Pelaporan dan

Verifikasi

75.030 39.710 -35.230

Mobilisasi Sumber

Data untuk

Perubahan Iklim

139.006 52.270 -87.736

22 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, “Rencana Strategis Tahun 20152019”,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia: 50-53.

6

Pengendalian

Kebakaran Hutan

dan Lahan

726.455 653.320 -73.135

Dukungan

Manajemen dan

Pelaksanaan Tugas

Teknis Lainnya

144.970 37.870 -107.100

Total 2.223.327 905.990 -1.317.337

Sumber: Ditjen PPI, 2015.

Berangkat dari pentingnya posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim dan

adanya tindakan Indonesia yang meratifikasi Perjanjian Paris 2015 meski Indonesia

berstatus sebagai Non-Annex I, adanya praktik selama ini yang tidak sesuai dengan

INDC perjanjian tersebut, serta minimmnya anggaran perubahan iklim, oleh

karenanya, tulisan ini kemudian menganalisis kebijakan Indonesia dalam

meratifikasi perjanjian tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Posisi Indonesia dalam perubahan iklim sangatlah penting dikarenakan

hutan hujan Indonesia merupakan hutan hujan terbesar ke-3 di dunia. Namun di saat

yang bersamaan, laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia adalah yang

terbesar di dunia. Untuk menangani perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi

Perjanjian Paris 2015 meski Indonesia berstatus sebagai Non-Annex I. Indonesia

juga tetap meratifikasi perjanjian tersebut meski terdapat praktik yang selama ini

tidak sesuai dengan INDC Perjanjian Paris 2015. INDC perjanjian tersebut

menyatakan bahwa setiap negara peserta harus memasang target penurunan emisi.

Target tersebut harus meningkat setiap 5 tahun. Namun nyatanya, tingkat emisi

Indonesia selama ini justru terus meningkat akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Tak hanya itu, pemerintah hanya mengalokasikan 40,75% anggaran Kerangka

Pendanaan Program Pengendalian Perubahan Iklim Tahun 2015-2019 dari total

7

dana yang dibutuhkan. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis penyebab Indonesia

meratifikasi Perjanjian Paris 2015.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah, “Mengapa Indonesia meratifikasi

Perjanjian Paris 2015?”

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kebijakan Indonesia dalam

meratifikasi Perjanjian Paris 2015.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai rekomendasi bagi organisasi

internasional selaku pembuat rezim internasional dalam mengkonstruksi kondisi-

kondisi yang memungkinkan bagi suatu negara untuk menerima norma rezim

tersebut.

1.6. Tinjauan Pustaka

Untuk menganalisis judul yang diangkat, penelitian memaparkan acuan

pada beberapa tinjauan pustaka yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

Penelitian sebelumnya menjadi tolak ukur dan landasan bagi penulis dalam

mengembangkan ruang lingkup penelitian, yaitu penelitian yang menganalisis

kondisi-kondisi yang mempengaruhi Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris

2015.

8

Tinjauan pustaka pertama, berjudul “Efektifitas Mekanisme REDD

(Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) sebagai

Kebijakan yang dihasilkan oleh Rezim Perubahan Iklim UNFCCC.” Penelitian ini

mengukur efektivitas REDD di Indonesia sebagai suatu mekanisme yang dihasilkan

oleh rezim perubahan iklim UNFCCC. Untuk mengukur rezim internasional

tersebut, penelitian menggunakan pendekatan rezim internasional, teori efektifitas

rezim serta konsep implementasi dan kepatuhan. Menurut Rizqie, peforma REDD

cenderung lambat dikarenakan rezim internasional ini berada pada kategori “mixed-

performance regimes”. Hal ini ditandai dengan adanya kapabilitas penyelesaian

masalah dalam rezim internasional yang kompeten yang ditandai dengan hadirnya

badan akademis yang berwenang menyediakan informasi perubahan iklim terbaru

dan badan lainnya yang beperan dalam pengawasan. Namun, dalam rezim

internasional ini, masih terdapat adanya kompleksitas masalah yang dihadapi akibat

munculnya konflik kepentingan saat COP.23

Tinjauan pustaka kedua, “Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme

Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-UNFCCC): Perspektif Indonesia”,

penelitian ini mendeskripsikan hubungan antara aspek internasional dan lokal

dalam mekanisme REDD-UNFCCC. Di dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa

UNFCCC telah menghasilkan kesepakatan berupa mekanisme REDD yang tidak

hanya menitik beratkan peran level nasional, namun juga level lokal (provinsi-

kabupaten) untuk menangani perubahan iklim. Temuan penelitian yang

menggunakan model Two Level Game milik Putnam ini berupa REDD (aspek

23 Debby Rizqie, “Efektivitas Mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and

Forest Degradation) sebagai Kebijakan yang dihasilkan oleh Rezim Perubahan Iklim UNFCCC,”

AJIS 2, no.1 (Mei, 2013): 75-95.

9

internasional) yang merupakan suatu produk seharusnya juga memperhatikan

kondisi nyata dan kebutuhan (aspek lokal) yang merupakan pengguna dari produk

tersebut. Menurut Apriwan, agar hal tersebut terjadi, seharusnya proses diplomasi

dan negosiasi pada tahap perancangan REDD mengkomunikasikan kondisi

internasional ke dalam konteks domestik dan sebaliknya, memperjuangkan

kepentingan domestik ke konteks internasional. Hal ini diperlukan agar terjadi

sinergisitas antara konteks internasional dengan lokal sehingga REDD akan lebih

populer di level lokal dan dapat diiplementasikan dengan baik.24

Tinjauan pustaka ketiga, berjudul “Challanges for REDD+ in Indonesia: a

case study of three project sites,”. Penelitian ini berusaha mencari penyebab

gagalnya mekanisme REDD+ yang dihasilkan dari rezim perubahan iklim

UNFCCC dalam meminimalisir deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia

dengan menggunakan 5 indikator. Kelima indikator tersebut berupa keuangan,

komunitas, boundary enforcement, pengawasan, serta hasil dari upaya penyerapan

karbon dan pelestarian keanekaragaman hayati. Menurut Enrici dan Hubacek,

gagalnya REDD+ disebabkan adanya tantangan yang ditemui dalam 4 indikator

tersebut. Pertama, indikator keuangan, terdapat adanya kekurangan sumber-sumber

pendanaan. Kedua, indikator komunitas, kurangnya perencanaan matang yang

melibatkan berbagai komunitas. Ketiga, indikator boundary enforcement,

terjadinya korupsi. Keempat, indikator pengawasan, terdapat kurangnya

pengawasan. Enrici dan Hubacek kemudian menyarankan Pemerintah Indonesia

24 Apriwan, “Tinjauan Intermestik dalam Mekanisme Kebijakan Perubahan Iklim Global (REDD-

UNFCCC): Perspektif Indonesia”, Jurnal Hubungan Internasional 3, no.1 (April, 2014): 25-31.

10

untuk merubah regulasi yang berkaitan dengan 4 indikator tersebut agar REDD+

dapat efektif.25

Tinjauan pustaka keempat, “Indonesia’s Policy on Climate Change

Mitigation: Constraints and Solutions”, Penelitian ini menganalisis implementasi

kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu perubahan iklim. Analisis tersebut

kemudian tidak hanya menemukan hambatan-hambatan dalam implementasi

kebijakan Indonesia, namun juga menghasilkan berbagai solusi. Menurut

Wicaksana, dari segi hambatan, khususnya di level internasional, hambatan yang

terjadi berupa adanya kontestasi power antara Amerika Serikat dengan Tiongkok

yang cenderung mempengaruhi komitmen Indonesia dalam isu perubahan iklim. Di

level nasional, hambatan berupa adanya kompleksitas sosial, ekonomi dan budaya

yang sering menimbulkan resistensi sosial, konflik kepentingan antarinstansi

pemerintah serta kerentanan budaya. Kemudian, penelitian menyarankan beberapa

solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Untuk mengatasi hambatan di

level internasional, Indonesia harus membentuk kemitraan strategis dengan arah

yang jelas dalam isu perubahan iklim. Di level nasional, solusi yang diberikan

berupa mempromosikan kepada masyarakat domestik bahwa kebijakan-kebijakan

luar negeri dalam isu perubahan iklim sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Tak hanya itu, untuk mengatasi hambatan di level nasional, penelitian juga

menyarankan perlunya pengembangan teknologi yang sangat diperlukan oleh

masyarakat domestik untuk mitigasi bencana alam akibat perubahan iklim.26

25 Ashley M. Enrici dan Klaus Hubacek, “Challanges for REDD+ in Indonesia: a case study of

three project sites”, Ecology and Society 23, no. 2: 1-14. 26 I Gede Wahyu Wicaksana. “Indonesia’s Policy on Climate Change Mitigation: Constraints and

Solutions”, Advanced Science Letters 21, no. 2 (Februari 2015): 216-218.

11

Tinjauan pustaka kelima, berjudul, “Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian

Paris 2015: Antara Komitmen dan Realitas.” Penelitian ini membahas komitmen

Indonesia, implikasi dan kendala-kendala yang dapat menghambat Indonesia dalam

mencapai target Perjanjian Paris 2015. Menurut Zuhir, et.al., komitmen Indonesia

dalam Perjanjian Paris 2015 tercermin dengan turut andilnya Indonesia sebagai

peserta perjanjian tersebut. Akibatnya, implikasi yang ditimbulkan yaitu Indonesia

berkewajiban untuk memenuhi target INDC. Sementara itu, penelitian ini

menemukan bahwa regulasi yang ada di Indonesia saat ini dapat menjadi

penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan dalam Perjanjian Paris 2015. Hal ini

dikarenakan regulasi Indonesia bersifat lemah dalam penegakan hukum di bidang

kehutanan dan bersifat kontradiktif di bidang energi. Akibat kedua hal tersebut,

Indonesia diperkirakan tidak akan mampu memenuhi INDC.27

Dari kelima tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa tinjauan

pustaka pertama mengukur efektivitas REDD di Indonesia sebagai suatu

mekanisme yang dihasilkan oleh rezim perubahan iklim UNFCCC, tinjauan

pustaka kedua mendeskripsikan hubungan antara aspek internasional dan lokal

dalam mekanisme REDD-UNFCCC, tinjauan pustaka ketiga mencari penyebab

gagalnya mekanisme REDD+ yang dihasilkan dari rezim perubahan iklim

UNFCCC dalam meminimalisir deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia

dengan menggunakan 5 indikator, tinjauan pustaka keempat menganalisis

implementasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu perubahan iklim, dan

tinjauan pustaka kelima membahas komitmen Indonesia, implikasi dan kendala-

kendala yang dapat menghambat Indonesia dalam mencapai target Perjanjian Paris

27 Mada Apriandi Zuhir, et.al., “Indonesia Pasca Ratifikasi Perjanjian Paris 2015: Antara

Komitmen dan Realitas”, Bina Hukum Lingkungan 1, no.2 (2017): 231-246.

12

2015. Berangkat dari kelima tinjauan pustaka tersebut, terlihat jelas bahwa ruang

lingkup penelitian dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Indonesia

meratifikasi Perjanjian Paris 2015 belum pernah dilakukan.

1.7. Kerangka Teori dan Konseptual

1.7.1. Rezim Internasional dalam Perspektif Konstruktivisme

Krasner pada Brahm mendefinisikan rezim internasional sebagai prinsip,

norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan baik implisit atau eksplisit

yang mengandung ekspektasi para pelaku dalam suatu bidang hubungan

internasional. Rezim adalah pengaturan yang lebih khusus yang berkaitan dengan

kegiatan, sumber daya atau wilayah geografis yang terdefinisi dengan baik dan

sering hanya melibatkan beberapa bagian dari anggota masyarakat internasional.

Rezim akan semakin bersifat signifikan jika bidang isu, lingkup geografis dan

keanggotaan semakin khusus.28

Krasner pada Hennida menyatakan bahwa rezim memuat prinsip, norma,

aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang begitu mengikat negara karena

adanya degree of institusionalism pada masing-masingnya. Menurut Keeley pada

Hennida, prinsip dalam rezim internasional dilihat berdasarkan fakta yang ada dan

selanjutnya prinsip itu menjadi patokan dan pegangan setiap saat yang harus ada

dalam setiap perilaku aktor. Norma juga berkaitan dengan hak dan kewajiban setiap

aktor yang terlibat di dalam rezim internasional tersebut. Maksudnya, setiap aktor

yang terlibat di dalam sebuah rezim internasional terikat pada norma yang berlaku.

Peraturan berfungsi sebagai pedoman bagi negara-negara untuk bertindak sesuai

28 Eric Brahm, “International Regimes”, Beyond Intractability,

https://www.beyondintractability.org/essay/international_regimes (Diakses pada 17 Mei 2018).

13

dengan apa yang diharapkan atau menjadi tujuan sebuah rezim internasional.

Peraturan memiliki kekuatan yang mengikat bagi negara. Kemudian, prosedur

pembuatan keputusan didefinisikan sebagai praktik dari pembuatan dan

implementasi apa yang dianggap sebagai kebaikan bersama. Aspek ini lebih

menekankan pada konsensus dan didasarkan pada bekal kognitif yang dimiliki oleh

negara dalam mengambil keputusan. Masing-masing negara anggota dianggap

telah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup, sehingga terjadi sebuah

keberagaman pemikiran yang menjadi landasan selanjutnya untuk mengambil

keputusan yang dinilai terbaik.29

Konstruktivis beranggapan bahwa politik domestik dan politik global saling

terintegrasi dan sama pentingnya. Pendekatan konstruktivis menghargai cara-cara

bagaimana suatu agen menciptakan pemaham normatif intersubjektif. Finnemore

dan Legro pada Hennida menyatakan bahwa suatu agen dapat memainkan peran

penting dalam penyebaran belief dan norma. Subjektivitas negara kemudian

berpengaruh erat dalam mempengaruhi jalan pikir untuk membuat, merencanakan

maupun memutuskan suatu hal terkait dengan kebijakan ataupun hal lainnya.

Subjektivitas tersebut mencakup nilai-nilai fundamental, ideologi yang dianut,

norma yang dipakai hingga agama yang dianut.30

Schaber dan Ulbert pada Hennida menyatakan proses yang mempengaruhi

keterlibatan negara dalam suatu rezim internasional dipengaruhi oleh keyakinan

normatif dan kepercayaan para pembuat kebijakan. Oleh karena itu, ketika terjadi

perubahan dalam sistem kepercayaan maka akan terjadi perubahan dalam

29 Citra Hennida, Rezim dan Organisasi Internasional: Interaksi Negara, Kedaulatan dan Institusi

Multilateral (2015), 113-114. 30 Citra Hennida, 112.

14

kebijakan. Konstruktivis juga percaya bahwa diskursus normatif adalah aspek

penting dalam kehidupan institusi dimana norma diperdebatkan, dibentuk dan

disebarkan oleh institusi internasional. Konstruktivis juga berpandangan bahwa

negara sebagai suatu entitas sosial dipengaruhi oleh pemahaman intersubjektifitas

tersebut. Pengaruh tersebut muncul lebih banyak pada tataran internasional. Aktor

dalam level sistem adalah proaktif dimana identifikasi dan definisi pilihan

kebijakan dipengaruhi oleh aktor di tingkat internasional. Negara mengadopsi

kebijakan bukan sebagai respon karakter individualistis negara, namun sebagai

respon terhadap konstruksi norma sosial yang ada di level internasional.31

1.7.2. Norma

Menurut Finnemore dan Sikkink, norma adalah sebuah standar tindakan

bagi aktor-aktor dengan identitas yang diberikan. Terdapat beberapa kategori

norma. Kategori pertama, terdapat norma regulatif, yang dapat menata dan

mengikat aktor; dan norma konstitutif, yang dapat membentuk aktor, kepentingan

dan jenis tindakan baru. Kategori kedua, terdapat norma evaluatif atau perskreptif

yang jarang digunakan dalam analisis.

Finnemore dan Sikkink menyatakan berpengaruh atau tidaknya norma

sehingga suatu negara dapat menerima norma tersebut ditentukan oleh 3 kondisi:32

1. Legitimasi. Finnemore dan Sikkink menyatakan bahwa suatu negara

secara domestik menerima norma internasional tertentu disebabkan oleh

motif legitimasi internasional. Menurut Ikkenberry dan Kupchan, motif

legitimasi internasional tersebut dapat muncul akibat adanya opini publik

31 Citra Hennida, 111-116. 32 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink “International Norm Dynamics and Political Change”,

International Organization 52, no. 4 (Musim Gugur, 1998): 905-907.

15

yang mengancam reputasi elit. Akibat adanya opini publik tersebut,

negara kemudian akan menerima suatu norma demi menyelamatkan

reputasi elit-elit tersebut. Selain itu, ada potensi perpecahan dalam partai

politik koalisi pendukung pemerintah akibat suatu isu juga dapat

menyebabkan negara menerima norma yang terkait dengan isu tersebut;33

2. Keunggulan. Menurut Florini pada penelitian Finnemore dan Sikkink,

norma dapat diterima oleh suatu negara jika ada norm entrepreneurs

yang berkualitas tinggi mempromosikan norma tersebut. Norm

entrepreneurs adalah suatu agen yang berusaha meyakinkan massa

dalam jumlah yang banyak untuk menerima norma baru. Norm

entrepreneurs yang berkualitas tinggi menurut Ikenberry dan Kupchan

pada Elster di dalam tulisan Finnemore dan Sikkink berupa negara

hegemon. Ketika negara hegemon menjadi norm entrepreneurs, maka

negara tersebut akan menggunakan insentif material mau pun hukuman

untuk menarik negara target terlibat dalam suatu rezim internasional.

Bagi negara target, adanya insentif material dan hukuman tersebut yang

membuat mereka kemudian mau menerima suatu norma;

3. Kualitas Intrinsik Norma. Finnemore dan Sikkink juga menyatakan

bahwa kualitas intrinsik norma menentukan besarnya pengaruh norma itu

sendiri. Norma yang memiliki kualitas intrinsik tinggi dapat dianalisis

melalui; (a) Formulasi Norma. Menurut Legro, norma yang spesifik dan

tidak ambigu (bersifat khusus), telah ada sejak lama yang melewati

berbagai tantangan (daya tahan), serta besarnya peneriman secara

33 G. J. Ikenberry dan C.A. Kupchan, “Socialization and hegemonic power”, International

Organization 44, no. 03 (1990): 284-291.

16

internasional (konkordansi) akan lebih mudah diterima oleh suatu

negara. Norma yang bersifat khusus akan membuat suatu negara paham

akan larangan-larangan sehingga negara tersebut akan terhindar dari

sanksi yang ada. Kemudian, norma yang memiliki daya tahan yang tinggi

akan dipandang oleh negara sebagai suatu norma yang dapat eksis dalam

jangka waktu yang lama, jika negara tersebut menerima norma.

Sementara itu, jika suatu norma yang tergolong baru dan memiliki

konkordansi yang tinggi, maka norma tersebut akan dipandang oleh suatu

negara sebagai norma yang memiliki prospek eksistensi yang tinggi;34

(b) Isi Norma. Menurut Ahli Institusionalisme Sosiologi, norma yang

mengandung kapitalisme dan liberalisme akan lebih berpengaruh.

Kapitalisme dan liberalisme yang dimaksud menurut Boli dan Thomas

pada Finnemore dan Sikkink yaitu norma yang mengandung prinsip

universalisme, individualisme, rational voluntaristic authority,

rationalizing human progress (human purpose), dan world citizenship.

Menurut Boli dan Thomas pada Wiseman dan Davidson, universalisme

terkait dengan isi norma apakah membahas isu yang global atau tidak.

Norma yang memuat isu global dapat membuat suatu negara dapat

dengan cepat eksis di kancah internasional. Sementara itu,

individualisme berkaitan dengan demokratis atau tidaknya suatu norma,

yakni apakah dalam proses pembuatan norma setiap negara anggota

memiliki satu hak suara atau tidak. Ketika suatu negara memiliki jumlah

hak suara yang sama dengan negara-negara lainnya, maka menurut

34 Jeffrey W. Legro, “Which Norms Matter? Revisiting the “Failure” of Internationalism”,

International Organization 51, no. 1 (Musim Dingin, 1997): 34-35.

17

Robertson dan White, negara mau menerima norma tersebut karena

kepentingan nasional negara tersebut juga dapat diperjuangkan dalam

proses pembuatan norma.35 Kemudian, rational voluntaristic authority

berkaitan apakah suatu norma dalam proses pembuatannya tidak

memerlukan kehadiran pihak eksternal sebagai syarat legitimasi suatu

negara. Dengan tidak adanya hal tersebut, suatu negara atas kewenangan

negara itu sendiri dapat melakukan rasionalisasi apakah norma tersebut

bersifat adil, sesuai proporsi, dan efisien sehingga suatu negara akan

secara sukarela menerima norma. Lalu, rationalizing human progress

(human purpose), terkait dengan apakah permasalahan yang melatar

belakangi dibentuknya norma tersebut juga dapat dirasakan secara

domestik oleh negara-negara yang akan menerima norma tersebut.

Sehingga, dengan menerima norma, permasalahan-permasalahan

domestik tersebut dapat diselesaikan. Terakhir, world citizenship yang

bermakna apakah norma membuat setiap anggota memiliki hak dan

kewajiban yang sama (egaliter). Dengan hak dan kewajiban yang setara

tersebut, negara kemudian akan menerima norma karena perbedaan

kapabilitas antarnegara tetap dihargai dalam mencapai tujuan dari norma

tersebut.36

35 Roland Robertson dan Katheelen E. White, eds., Globalization: Critical Concepts in Sociology

(London: Routledge, 2003), 30. 36 Alexander W. Wiseman dan Petrina M. Davidson, eds., Cross-nationally Comparative,

Evidence-based Educational Policymaking and Reform: International Perspectives on Education

and Society (Emerald Group Publishing, 2018), 108-109.

18

1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain

penelitian eksplanatif. Menurut Ritchie dan Lewis, metode penelitian kualitatif

adalah jenis penelitian yang menekankan pada kedalaman data, bukan keluasan

data. Metode ini menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai

dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari

kuantifikasi/pengukuran.37 Sementara itu, desain penelitian eksplanatif menurut

Suryana adalah desain penelitian yang menyoroti hubungan antar variabel dengan

menggunakan kerangka pemikiran terlebih dahulu.38

Dalam penelitian ini, kedalaman data yang dianalisis adalah kebijakan

Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, hubungan

antarvariabel yang disoroti adalah hubungan antara pengaruh norma Perjanjian

Paris 2015 dengan kebijakan Indonesia yang meratifikasi perjanjian tersebut.

1.8.1. Batasan Penelitian

Agar objek penelitian jelas dan tidak terjadi penyimpangan, penelitian

dibatasi dari tahun 2011 hingga tahun 2016. Tahun 2011 merupakan tahun

berlangsungnya COP-17, yakni saat mulai diinisiasi kembali pembentukan suatu

rezim perubahan iklim internasional yang bersifat mengikat sebelum tahun 2015

berakhir. Sementara itu, tahun 2016 merupakan tahun Indonesia meratifikasi

Perjanjian Paris 2015.

37 Jane Ritchie dan Jane Lewis, Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science

Students and Researchers (London: Sage Publication, 2003), 3. 38 Suryana, METODOLOGI PENELITIAN: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif

(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia), 9.

19

1.8.2. Unit dan Tingkat Analisis

Unit analisis merupakan objek kajian yang perilakunya dijelaskan.

Sementara itu, unit eksplanasi merupakan unit yang dapat mempengaruhi perilaku

unit analisis. Selanjutnya, level analisis atau tingkat analisis merupakan posisi dari

unit yang dijelaskan. Level analisis akan membantu peneliti dalam menjelaskan

area yang dijelaskan.39

Dalam penelitian ini, unit analisis berupa kebijakan Indonesia dalam

meratifikasi Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, unit eksplanasi berupa pengaruh

norma perjanjian tersebut. Terakhir, level analisis berada pada level sistem

internasional.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data

sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya.40 Dalam penelitian ini, data-data sekunder yang diperoleh berasal dari

dokumen-dokumen resmi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

dan Kementerian PPN/Bappenas, serta buku, artikel pada jurnal ilmiah, surat kabar,

situs, maupun laporan penelitian yang terkait dengan Indonesia dan Perjanjian Paris

2015.

39 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi (Yogyakarta: Pusat

Antar Universitas-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1990), 35-286. 40 Harnovinsah, Metodologi Penelitian: Modul 3 (Universitas Mercu Buana), 1.

20

1.8.4. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman, terdapat 3 tahap dalam teknik analisis data.

Pertama, reduksi data, yaitu, suatu teknik analisis data dengan mengorganisasi dan

mengkategorisasi data berdasarkan konsep yang disusun secara sistematis. Kedua,

penyajian data, yakni proses menghubungkan data dengan kerangka konsep.

Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi.41

Di dalam penelitian ini, tahap reduksi data dilakukan dengan

mengorganisasi dan mengkategorisasi data berdasarkan kata-kata kucni yang

relevan seperti “Perjanjian Paris 2015” dan “Indonesia Perjanjian Paris 2015”. Pada

tahap penyajian data, seluruh data yang diperoleh kemudian diurutkan dan

dihubungkan berdasarkan 3 kondisi, yaitu Legitimasi Indonesia terhadap Perjanjian

Paris 2015, Keunggulan Perjanjian Paris 2015 dan Karakteristik Intrinsik Norma

Perjanjian Paris 2015. Di tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi, ditarik suatu

generalisasi apakah kondisi legitimasi, keunggulan atau karakteristik instrinsik

norma yang mempengaruhi Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Paris 2015.

Generalisasi tersebut kemudian dievaluasi apakah dengan menganalisis

menggunakan 3 kondisi tersebut mampu menjawab pertanyan penelitian yaitu

terkait penyebab Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2015.

41 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative Data Analysis (Sage Publication,

1994), 18.

21

1.9. Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi signifikansi penelitian dan bagaimana teknik mengelola

penelitan tersebut yang dibagi ke dalam latar belakang, rumusan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi pustaka,

kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: PERJANJIAN PARIS 2015 SEBAGAI REZIM

PERUBAHAN IKLIM INTERNASIONAL

Bab ini berisi latar belakang dan dinamika pembentukan Perjanjian Paris

2015. Bagian ini menjelaskan berakhirnya masa berlaku Protokol Kyoto sehingga

diperlukan rezim perubahan iklim internasional baru yang dibentuk dari COP-17

hingga COP-20. Bab ini juga berisi penjelasan Perjanjian Paris 2015 sebagai Rezim

Perubahan Iklim Internasional. Di bagian ini, dijelaskan penerimaan norma

perjanjian tersebut yang ditandai dengan pengadopsian, penandatanganan,

peratifikasian. Selain itu, hak dan kewajiban negara-negara peserta juga dijelaskan.

BAB III: INDONESIA DALAM ISU PERUBAHAN IKLIM DAN

KEBIJAKAN INDONESIA MERATIFIKASI

PERJANJIAN PARIS 2015

Bab ini berisi posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim. Pada bagian ini,

dipaparkan tingkat emisi Indonesia dan tingkat kerentanan Indonesia terhadap

perubahan iklim. Selain itu, bab ini juga berisi penjelasan mengenai Indonesia

dalam penerimaan Perjanjian Paris 2015. Di bagian ini, keterlibatan Indonesia dari

COP-17 hingga COP-21 dalam pembentukan perjanjian tersebut dan langkah-

22

langkah yang diambil oleh Indonesia sebagai tanda penerimaan Perjanjian Paris

2015 juga dijelaskan.

BAB IV: ANALISIS KEBIJAKAN INDONESIA DALAM

MERATIFIKASI PERJANJIAN PARIS 2015

Bab ini berisi analisis kebijakan Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris

2015 dengan menggunakan Konsep Pengaruh Norma. Melalui konsep ini, analisis

dilakukan terhadap kondisi legitimasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris 2015,

keunggulan Perjanjian Paris 2015, dan kualitas intrinsik norma Perjanjian Paris

2015.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan penelitian terkait kondisi-kondisi apa yang

mempengaruhi Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan meratifikasi Perjanjian

Paris 2015. Selain itu, saran penelitian juga dipaparkan.