bab 1 pendahuluan - copy

71
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya lahan suatu daerah aliran sungai (DAS) cenderung mendapat tekanan seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Menurut Malingreau (1987), Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap lahan, sehingga aktivitas bercocok tanam berkembang luas pada lahan hutan di daerah pegunungan. Penggunaan lahan haruslah memenuhi persyaratan yang diperlukan agar lahan tersebut dapat berproduksi serta tidak mengalami kerusakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 1995). Kerusakan tersebut disebabkan karena kesalahan penggunan lahan yang mengakibatkan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Pengelolaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan agar tidak menimbulkan kerusakan lahan dan menurunkan produktivitas lahan. Proses evaluasi lahan dan perencanaan tataguna lahan perlu dilakukan karena menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan tentang penggunaan lahan sehingga kita dapat merencanakan dan mengembangan sumber daya lahan

Upload: firman-tomk

Post on 14-Jul-2016

38 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1 Pendahuluan - Copy

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumberdaya lahan suatu daerah aliran sungai (DAS) cenderung

mendapat tekanan seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk.

Menurut Malingreau (1987), Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan

meningkatnya tekanan terhadap lahan, sehingga aktivitas bercocok tanam

berkembang luas pada lahan hutan di daerah pegunungan.

Penggunaan lahan haruslah memenuhi persyaratan yang diperlukan

agar lahan tersebut dapat berproduksi serta tidak mengalami kerusakan

untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 1995). Kerusakan tersebut

disebabkan karena kesalahan penggunan lahan yang mengakibatkan

meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam

menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi

dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada

musim kemarau.

Pengelolaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan agar tidak

menimbulkan kerusakan lahan dan menurunkan produktivitas lahan. Proses

evaluasi lahan dan perencanaan tataguna lahan perlu dilakukan karena

menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan tentang penggunaan lahan

sehingga kita dapat merencanakan dan mengembangan sumber daya lahan

Page 2: BAB 1 Pendahuluan - Copy

2

yang menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya lahan masa kini dan

masa yang akan datang.

Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto

merupakan salah satu desa yang terletak di DAS Kelara Bagian Hulu.

Berdasarkan hasil observasi lapangan, Kondisi lahan pada Desa Jenetallasa

telah mengalami degradasi akibat terjadinya penggunaan lahan yang

tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Keadaan ini

diperparah oleh bentuk topografi yang terjal dan memiliki ketinggian lebih

besar dibanding daerah sekitarnya dengan kelerengan yang curam dan

bergunung yaitu > 45% dengan intensitas curah hujan yang besar serta

pertumbuhan penduduk dan perubahan penggunaan lahan yang sangat

pesat yang mempengaruhi kondisi Sub DAS Kelara Bagian Hulu sehingga

perlu pengelolaan yang tepat.

Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan yang

terjadi di Desa Jenetallasa merupakan suatu permasalahan lingkungan dan

merusak ekosistem. Berdasarkan uraian tersebut, maka dipandang perlu

melakukan suatu penelitian tentang sebaran pola penggunaan lahan pada

berbagai kelas kemampuan lahan di Sub DAS Bagian Hulu pada Desa

Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto.

Page 3: BAB 1 Pendahuluan - Copy

3

B. Rumusan Masalah

Permasalahan - permasalahan yang akan diidentifikasi di Desa

Jenetallasa antara lain adalah :

1. Bagaimana klasifikasi kemampuan lahan yang ada di Desa Jenetallasa ?

2. Bagaimana kesesuaian antara kemampuan lahan dengan pola

penggunaan lahan yang diterapkan oleh masyarakat di Desa

Jenetallasa?

3. Bagaimana arahan penggunaan lahan dan perencanaan peningkatan

perbaikan lahan yang sesuai di Desa Jenetallasa sehingga dapat

meminimalisir terjadinya degradasi lahan?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi klasifikasi kemampuan lahan yang ada di Desa

Jenetallasa.

2. Mengevaluasi bagaimana kesesuaian antara kemampuan lahan dengan

penggunaan lahan yang sudah diterapkan oleh masyarakat di Desa

Jenetallasa.

3. Menentukan arahan penggunaan lahan dan merencanakan peningkatan

perbaikan lahan yang sesuai di Desa Jenetallasa sehingga dapat

meminimalisir terjadinya degradasi lahan.

Page 4: BAB 1 Pendahuluan - Copy

4

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

sebaran pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Jenetallasa dalam

hubungannnya dengan kelas kemampuan lahan dan meningkatkan

pengetahuan masyarakat dalam rangka penerapan pola penggunaan lahan

yang sesuai untuk meningkatkan sejehteraan hidupnya secara lestari dan

berkesinambungan. Selain itu, memberi informasi dan bahan pertimbangan

bagi Pemerintah dan instansi terkait, Khususnya Dinas Kehutanan dalam

rangka penyusunan kebijakan, dalam penerapan pola-pola penggunaan

lahan berdasarkan kelas kemampuan lahan.

.

Page 5: BAB 1 Pendahuluan - Copy

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Daerah Aliran Sungai (DAS)

1. Pengertian Daerah Aliran Sungai

Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya

dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan

minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang

dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu

wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-

anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan

air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang

batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai

dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas darata.

(Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2010).

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah atau wilayah

dengan kemiringan lereng yang bervariasi yang dibatasi oleh punggung-

punggung bukit atau yang dapat menampung seluru curah hujan sepanjang

tahun, menuju sungai utama yang kemudian dialirkan terus sampai ke laut

sehingga merupakan kesatuan ekosistem wilayah tata air (Sarief, 1986).

Page 6: BAB 1 Pendahuluan - Copy

6

DAS merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi

suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, nonbiotik dan manusia.

Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya,

proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi

berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen

masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan

keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen (Suripin, 2001)

DAS mempunyai karasteristik sendiri-sendiri yang

mempengaruhi proses pengaliran air hujan atau siklus air. Karaseristik DAS

terutama ditentukan oleh faktor lahan (topografi, tanah,geologi, geomorfologi

) dan faktor vegetasi. Faktor tata guna lahan atau penggunaan lahan itulah

yang akan mempengaruhi debit sungai dan kandungan lumpur pada daerah

aliran sungai (Depertemen Kehutanan, 2000).

2. Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Ekosistem adalah sistem ekologi yang terdiri atas komponen-

komponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk satu kesatuan.

Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu tergantung pada jumlah dan jenis

komponen yang menyusunya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung

pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah

aliran sungai dapatlah dianggap sebagai ekosistem (Asdak, 1995).

Page 7: BAB 1 Pendahuluan - Copy

7

Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling

berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam

suatu ekosistem tidak ada satu komponenpn yang berdiri sendiri, melainkan

ia mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak

langsung, besar atau kecil. Aktifitas suatu komponen ekosistem selalu

member pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah

salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang penting.

Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya

seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan,

dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.

Selama hubungan timbale balik antar komponen ekosistem dalam keadaan

seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil .

sebaliknya, bila hubungan timbal balik antar komponen-komponen

lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.

Gangguan ekologis ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi ,

energy dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang

(Asdak 1995).

Dalam mempelajari ekosistem DAS maka DAS biasanya dibagi

menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal

sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan

drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng

Page 8: BAB 1 Pendahuluan - Copy

8

besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan

pemakaian air ditentuan oleh pola drainase. Sedangkan menurut (Arsyad,

2010) Daerah hilir DAS dicirikan oleh hala-hal sebagai berikut: merupakan

daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil sampai dengan sangat

kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir

(genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Das

bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang

berbeda tersebut di atas.

Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena

mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS. Pelindungan ini

antara lain, dari segi tata air. Sistem ekologi DAS bagian hulu pada

umumnya dapat dipandang sebagai suatu ekosistem pedesaan (

Soemarwoto, 1982). Ekosistem terdiri dari empat komponen utama yaitu

desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Komponen-komponen yang

menyusun dari satu DAS ke DAS lainnya itu berbeda tergantung pada

keadaan daerah setempat. Keempat komponen ini memiliki hubungan timbal

balik, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen

lingkungan, maka ia akan mempengaruhi komponen-komponen lain.

Perubahan komponen-komponen tersebut pada gilirannya dapat

mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi didaerah tersebut. Sebagai

contoh, masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini

Page 9: BAB 1 Pendahuluan - Copy

9

berpangkal pada komponen desa. Pertumbuhan manusia yang cepat

menyebabkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan lahan

pertanian yang tidak tidak seimbang. Hal ini telah menyebabkan pemilikan

lahan pertanian menjadi semakin sempit. Keterbatasan lapangan kerja dan

kendala keterampilan yang terbatas telah menyebabkan kecilnya

pendapatan petani. Keadaan tersebut diatas seringkali mendorong

sebahagian petani untuk merambah hutan dan lahan yang tidak produktif

lainnya sebagai lahan pertanian. Lahan yang kebanyakan marjinal apabila

diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi

tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor.

Meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah tangkapan air pada

gilirannya akan meningkatkan muatan sedimen di sungai bagian hilir.

Demikian juga, perambahan hutan untuk kegiatan pertanian telah

meningkatkan koefisien air larian, yaitu meningkatnya jumlah air hujan yang

menjadi air larian, dan dengan demikian, meningkatnya debit sungai.

Perambahan hujan juga menyebabkan hilangnya serasah dan humus yang

dapat menyerap air hujan. Dalam skala besar, dampak kejadian tersebut

diatas adalah terjadi gangguan perilaku aliran sungai, pada musim hujan

debit air sungai meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air

sangat rendah. Dengan demikian , resiko banjir pada musim hujan dan

kekeringan pada musim kemarau meningkat.

Page 10: BAB 1 Pendahuluan - Copy

10

B. Penggunaan Lahan

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan

dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan

(land use) juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan)

manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik

material dan spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua

golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan

bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas

penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas

jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut.

Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan seperti tegalan (pertanian

lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi,

kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-

alang, dan sebagainya (Arsyad, 2010).

Adapun persyaratan penggunaan lahan yang ditetapkan: penggunaan

lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan

penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian

berigrigasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan

lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara

kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance). Tipe penggunaan lahan

(land utilization type) atau penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe

penggunaan lahan yang terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk

Page 11: BAB 1 Pendahuluan - Copy

11

suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Penggunaan

lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan ) dapat terdri dari : (1) hanya

1 jenis tanaman, dan (2) lebih dari satu jenis tanaman. Tipe penggunaan

lahan yang kedua ini dibedakan lagi menjadi : (a) tipe penggunaan lahan

ganda (multiple land utilizaton type), dan (b) tipe penggunaan lahan majemuk

(compound land utilizaton type).

Tipe penggunaan lahan ganda adalah penggunaan lahan dengan lebih

dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input,

syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, daerah

hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi.

Tipe penggunaan lahan majemuk adalah penggunaan lahan dengan

lebih dari satu jenis, tetapi untuk tujuan evaluasi dianggap sebagai satu

satuan. Penggunaan lahan yang berbeda mungkin dilakukan dalam waktu

yang berbeda (misalnya dalam rotasi tanaman) atau dalam waktu yang sama

tetapi di tempat yang berbeda dalam satuan lahan yang sama (misalnya

sistem pertanian tumpang sari – mixed farming) (Widiatmaka, 2007).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Indonesia nomor

24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang tertulis : pemanfaatan ruang

meliputi kawasaan perdesaan, kawasan perkotaaan, kawasan lindung serta

kawasan budidaya. Kawaan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan

fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup

sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya

Page 12: BAB 1 Pendahuluan - Copy

12

merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,

sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan menurut Sandy

(1997) diantaranya jenis- jenis bahan induk yang menentukan tingkat

kesuburan lahan dan selanjutnya menentukan pola penggunaan lahan dan

pemusatan penduduk. Faktor lereng dan ketinggian tempat juga memiliki

peranan penting. Selain itu yang erat pula hubungannnya dengan bahan

induk dan lereng faktor kedalaman efektif tanah. Selain itu jumlah penduduk,

penyebaran penduduk dan profesi terbesar dari penduduknya, dan tingkat

penggunaan lahan juga ikut menentukan pola penggunaan lahan dan

pemusatan penduduk.

C. Kemampuan Lahan

Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi

potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum

tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun

tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk

mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land)

berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara

berkesinambungan. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan sistem

klasifikasi yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele pada tahun

1943 yang kemudian dimodifikasi oleh Klingebel dan Montgomery (1961;

Page 13: BAB 1 Pendahuluan - Copy

13

2002), seperti yang tertuang dalam Agriculture Handbook No. 210. Dalam

sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas,

subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan (Widiatmaka,

2007).

Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik

lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan

iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya.

Kombinasi karakter sifat fisik statis dan dinamik dipakai untuk menentukan

kelas kemampuan lahan, yang dibagi menjadi 8 kelas. Kelas I mempunyai

pilihan penggunaan yang banyak karena dapat diperuntukan untuk berbagai

penggunaan, mulai untuk budidaya intensif hingga tidak intensif, sedangkan

kelas VIII, pilihan peruntukannya sangat terbatas, yang dalam hal ini

cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung atau sejenisnya (Rustiadi et

al., 2010).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dalam tingkat kelas,

kemampuan lahan menunjukkan kesamaan dari besarnya faktor-faktor

penghambat. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk,

berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan

pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas.

1. Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan ke

dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan

Page 14: BAB 1 Pendahuluan - Copy

14

intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara

terus menerus (Soil Conservation Society of America, 1982 dalam Sitorus,

1995). Dengan pendekatan lain klasifikasi ini akan menetapkan jenis

penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat

digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Sitorus, 1995).

Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponen-

komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam

beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan

penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad S, 2010). Iklim,

tanah, batuan, bentuk lahan, panjang, kemiringan lereng serta proses

penggunaan lahan merupakan faktor-faktor pembatas lahan yang sangat

berpengaruh terhadap kualitas dan produktifitas suatu lahan.

Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi interpretasi yang

didasarkan pada pengaruh bersama antara berbagai unsur lahan seperti

iklim, dan sifat-sifat tanah yang permanen seperti ancaman kerusakan tanah,

faktor pembatasan penggunaan, kemampuan produksi dan syarat-syarat

pengelolaan tanah (Arsyad, 1989).

Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah

sistem Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Sistem ini mengenali

tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas, dan unit. Penggolongan ke dalam kelas,

sub kelas, dan unit berdasar atas kemampuan lahan tersebut untuk

Page 15: BAB 1 Pendahuluan - Copy

15

berproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam

jangka panjang (Departemen Kehutanan, 2006).

Dalam sistem USDA, berdasarkan faktor pembatas yang ada, lahan

digolongkan menjadi kelas, kemudian subkelas, dan akhirnya satuan

pengelolaan. Pembagian kedalam devisi didasarkan pada dapat tidaknya

suatu lahan diusahakan untuk usaha pertanian. Jadi divisi (1) adalah lahan

yang dapat diusahakan untuk usaha pertnian, an devisi (2) lahan yang tidak

dapat diusahakan untuk usaha pertanian (Utomo, 1989).

Sistem USDA ini membagi lahan ke dalam sejumlah kecil kategori

yang diurut menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, dari kategori yang tertinggi ke

kategori yang terendah (kelas, sub kelas, dan satuan pengelolaan). Kelas

kemampuan berkisar dari kelas I di mana tanah tidak mempunyai

penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai kelas VIII di mana

tanah telah mempunyai penghambat-penghambat yang sangat berat

sehingga tidak memungkinkan penggunaannya untuk produksi tanaman-

tanaman komersial (Sitorus, 1995).

Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai

dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau

hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, seperti

terlihat pada Gambar 1 (Arsyad, 2010).

Page 16: BAB 1 Pendahuluan - Copy

16

Gambar 1. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan

Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan.

Pada tingkat sub-kelas dikenal 4 macam faktor penghambat yaitu :

bahaya erosi (e), kelembaban atau watness (w), penghambat tanah di dalam

daerah perakaran (s) dan iklim (c). Sub-kelas ditandai dengan penambahan

huruf kecil yang ditempatkan setelah nomor kelas seperti IIe, IV w, dan

sebagainya.Kelas I tidak mempunyai sub-kelas (Sitorus, 1995).

2. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan

Lahan digolongkan kedalam 3 (tiga ) kategori utama yaitu kelas, sub-

kelas dan satuan kemampuan lahan. Struktur klasifikasi kemampuan lahan

berdasarkan pada faktor penghambat seperti ditunjukkan pada Tabel

dibawah ini :

Page 17: BAB 1 Pendahuluan - Copy

17

Tabel 1. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kelas Kemampuan Sub-kelas Kemampuan

Satuan Pengelolaan

Satuan Peta Tanah

I II III IV V VI VII VIII

IIc, iklim IIe, erosi IIw, kelembaban IIs, tanah IIes Dll

IIe – 1 IIe – 2 IIe – 3 Dst

Seri X Seri Y Seri Z

Sumber : Sitorus (1995).

Pengelolaan tanah kedalam satuan pengelolaan, Sub kelas dan kelas

kemampuan dilakukan terutama berdasarkan kemampuan lahan tersebut

untuk menghasilkan produksi tanaman umum dan tanaman makanan ternak (

pasture plants) tanpa kerusakan tanah dalam periode waktu yang lama.

Secara singkat, kemampuan pertanian didefenisikan dalam kaitan antara sifat

lahan dan persyaratan untuk penggunaan tertentu dengan tujuan untuk

memaksimumkan hasil tanaman secara lestari (Sitorus,1995).

Arsyad (2010), mengklasifikasikan kemampuan lahan dalam beberapa

kelas yaitu:

Kelas kemampuan I

Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit hambatan yang

membatasi penggunaanya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan

Page 18: BAB 1 Pendahuluan - Copy

18

pertanian, mulai dari tanaman semusim (tanaman pertanian pada umumnya),

tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi dan cagar alam. Tanah-

tanah di kelas I mempunyai salah satu kombinasi sifat dan kualitas sebagai

berikut: 1) Terletak pada topografi datar (kemiringan lereng ≤ 3%), 2)

Kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, 3) Tidak mengalami erosi, 4)

Mempunyai kedalaman efektif yang dalam, 5) Umumnya berdrainase baik, 6)

Mudah diolah, 7) Kapasitas menahan air baik, 8) Subur atau responsif

terhadap pemupukan, 9) Tidak Terancam banjir, dan 10) Di bawah iklim

setempat yang sesuai bagi tanaman umumnya.

Kelas kemampuan II

Hambatan pada kelas II sedikit dan tindakan yang diperlukan mudah

diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim,

tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, dan cagar alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu atau

kombinasi dari faktor berikut : 1) Lereng yang landai atau berombak (>3% -

8%), 2) Kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, 3) Kedalaman efektif

sedang, 4) Struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, 5) Salinitas sedikit

sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan

tetapi besar kemungkinan timbul kembali, 6) Kadang-kadang terkena banjir

yang merusak, 7) Kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi

ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, 8) Keadaan iklim agak

kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan.

Page 19: BAB 1 Pendahuluan - Copy

19

Kelas kemampuan III

Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat

yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi

khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman

semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman

rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka

margasatwa.

Hambatan atau ancaman kerusakan kerusakan mungkin disebabkan

oleh salah satu beberapa hal berikut : 1) Lereng yang agak miring atau

bergelombang (> 8 % - 15 %), 2) Kepekaan terhadap erosi agak tinggi

sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, 3) Selama satu bulan

setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, 4) Lapisan bawah

tanah yang berpermeabilitas agak cepat, 5) Kedalamannya dangkal terhadap

batuan, lapisan padat keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau

lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas

simpanan air, 6) Terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase,

7) Kapasitas menahan air rendah, 8) Salinitas atau kandungan natrium

sedang, 9) Kerikil atau batuan dipermukaan tanah sedang, atau 10)

Hambatan iklim yang agak besar.

Kelas kemampuan IV

Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan

kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan

Page 20: BAB 1 Pendahuluan - Copy

20

tanaman juga lebih tebatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim

diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih

sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi dan

dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara

kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat

dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada

umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang pengembalaan, hutan

lindung atau cagar alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV

disebabkan oleh salah satu kombinasi faktor-faktor berikut : 1) Lereng yang

miring atau berbukit(> 15% - 30%), 2) Kepekaan erosi yang sangat tinggi, 3)

Pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, 4) Tanahnya dangkal, 5)

Kapasitas menahan air yang rendah, 6) Selama 2 sampai 5 bulan dalam

setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, 7) Kelebihan air

bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah

didrainase(drainase buruk), 8) Terdapat banyak kerikil atau batuan

dipermukan tanah, 9) Salinitas atau kandungan natrium yang tinggi

(pengaruhnya hebat), 10) Keadaan iklim yang kurang menguntungkan.

Kelas kemampuan V

Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi

mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan yang

membatasi pilihan penggunaanya, sehingga hanya sesuai untuk tanaman

Page 21: BAB 1 Pendahuluan - Copy

21

rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan

cagar alam. Tanah-tanah didalam kelas V mempunyai hambatan yang

membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat

pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada

topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu

(lebih dari 90% permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan , atau iklim yang

kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.

Kelas kemampuan VI

Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang

menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian.

Penggunaanya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan,

hutan produksi, hutan lindung, cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI

mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat

dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : 1)

Terletak pada lereng agak curam (> 30% - 45%), 2) Telah tererosi berat, 3)

Kedalaman tanah sangat dangkal, 4) Mengandung garam larut atau natrium

(berpengaruh hebat), 5) Daerah perakaran sangat dangkal, 7) Iklim yang

tidak sesuai.

Kelas kemampuan VII

Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika

dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan

dengan usaha pencegahan erosi yang berat.Tanah-tanah dalam lahan kelas

Page 22: BAB 1 Pendahuluan - Copy

22

VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan untuk tanaman pertanian

harus di buat teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk

konservasi tanah, di samping tindakan pemupukkan. Tanah-tanah kelas VII

mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang berat dan

tidak dapat dihilangkan seperti : 1) Terletak pada lereng yang curam (45% -

65%), dan atau 2) Telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit

diperbaiki.

Kelas kemampuan VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih

sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat

sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau

ancaman kerusakan pada kelas VIII dapat berupa : 1) Terletak pada lereng

yang sangat curam (> 65%), atau 2) Berbatu atau kerikil (lebih dari 90%

volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan

tanah tertutup batuan), atau 3) Kapasitas menahan air sangat rendah.

Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap,

dan pantai pasir.

Satuan kemampuan memberikan kemampuan yang lebih spesifik dan

rinci untuk setiap bidang lahan dari pada subkelas. Satuan kemampuan

adalah pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya

bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan

tanggapan (response) yang sama terhadap masukan pengelolaan atau

Page 23: BAB 1 Pendahuluan - Copy

23

perlakuan yang diberikan. Tanahnya mungkin saja tergolong dalam seri

tanah yang berbeda. Tanah-tanah yang dikelompokkan di dalam satuan

kemampuan yang sama harus cukup seragam dalam sifat-sifat tanah dan

lingkungan yang mempengaruhi kualitas lahan sehingga mempunyai potensi

dan hambatan yang sama. Dengan demikian, maka lahan didalam suatu

satuan kemapuan harus cukup seragam dalam (a) produksi tanaman

pertanian atau rumput dibawa tindakan pengelolaan yang sama , (b)

kebutuhan akan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama dibawah

vegetasi penutup yang sama, dan (c) mempunyai produktivitas potensial

yang setara (Arsyad, 2010).

3. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Tanah dan komponen lahan lainnya seperti bentuk lahan, hidrologi,

dan iklim dalam hubungannya dengan penggunaan lahan, pengelolaan dan

produktivitas lahan adalah dasar dalam pengelompokan kelas kemampuan.

Kelas kemampuan didasarkan atas derajat atau intensitas dan jumlah faktor

pembatas atau penghambat atau ancaman kerusakan yang mempengaruhi

jenis penggunaan lahan, resiko kerusakan tanah jika salah kelola, keperluan

pengelolaan tanah, dan resiko kegagalan tanaman. Untuk membantu

klasifikasi diperlukan kriteria yang jelas yang memungkinkan pengelompokan

tanah pada setiap kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan.

Karena pengaruh sifat-sifat dan kualitas lahan berbeda dengan sangat luas

Page 24: BAB 1 Pendahuluan - Copy

24

menurut iklim, maka kriteria yang disusun dengan anggapan meliputi

berbagai tanah untuk iklim yang sama (Arsyad, 1989).

Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas

kemampuan lahan Menurut Arsyad (2010) yaitu :

1) Iklim

2) Lereng, ancaman erosi (KE) dan erosi yang telah terjadi (e)

3) Kedalaman tanah (k)

4) Tekstur tanah (t)

5) Permeabilitas (p)

6) Drainase (d)

7) Faktor-faktor khusus, seperti batuan dan kerikil (b), ancaman

banjir (O) dan salinitas (g).

Page 25: BAB 1 Pendahuluan - Copy

25

Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

Faktor Penghambat/ Penghambat

Kelas Kemampuan Lahan

I II III IV V VI VII VIII

1. Lereng permukaan

A B C D A E F G

2. Kepekaan erosi

KE1,KE2

KE3 KE4,KE5

KE6 (1) (1) (1) (1)

3. Tingkat erosi e0 e1 e2 e3 (2) e4 e5 (1)

4. Kedalaman Tanah

k0 k1 k2 k3 (1) (1) (1) (1)

5. Tekstur lapisan atas

t1,t2,t3 t1,t2,t3

t1,t2,t3,t

4 t1,t2,t3

,t4 (1) t1,t2,t3

,t4 t1,t2,t3

,t4 t5

6. Tekstur lapisan bawah

Sda sda Sda Sda (1) sda Sda Sda

7. Permeabilitas P2,P3 P2,P

3 P2,P3 P2,P3 P1 (1) (1) P5

8. Drainase d1 d2 d3 d4 d5 (2) (2) d0

9. Kerikil/batuan b0 b0 b1 b2 b3 (1) (1) b4

10. Ancaman banjir

O0 O1 O2 O3 O4 (2) (2) (1)

11. Garam/salinitas(3)

g0 g1 g2 g3 (2) g3 (1) (1)

Sumber : Arsyad (2010).

Catatan :

(1) = dapat mempunyai sembarang sifat

(2) = tidak berlaku

(3) = umumnya berada pada daerah beriklim kering

E. Kerangka Pikir Penelitian

Peningkatan jumlah dan keragaman aktivitas penduduk terkait erat

dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Masalah tersebut dapat

menyebabkan terjadinya konversi penggunaan lahan yang tidak sesuai

Page 26: BAB 1 Pendahuluan - Copy

26

dengan kemampuan lahan khususnya didaerah pedesaan sehingga

berdampak pada perubahan ekologis yang mengarah ke degradasi

lingkungan. Untuk itu diharapkan pola penggunaan lahan yang sesuai

dengan kelas kemampuan lahan agar tidak menimbulkan kerusakan lahan

dan menurunkan produktifitas lahan sehingga dapat meminimalisir terjadinya

degradasi lahan.

Adanya pengetahuan seperti ini sangat penting untuk diketahui agar

tidak menimbulkan lahan yang menjadi kritis serta bencana yang dapat

menimbulkan kerugian besar bagi manusia. Dengan mengarahkan ke

penggunaan lahan dan perencanaan perbaikan lahan yang tepat diharapkan

dapat mencegah dampak negative tersebut. Kriteria-kriteria dalam

pengklasifikasian kemampuan lahan dapat dijadikan sebagai parameter

dalam menentukan kelas dan sub-kelas pada daerah penelitian. Berdasarkan

uraian tersebut, lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka pemikiran

Gambar 2.

Page 27: BAB 1 Pendahuluan - Copy

27

Gambar 2 . Kerangka Pikir Penelitian

LAHAN

Berpotensi

Kritis

Kriteria Kemampuan Lahan

1. Iklim

2. Kemiringan lereng

permukaan (L)

3. Kepekaan erosi (KE)

4. Erosi yang telah terjadi (e )

5. Kedalaman tanah ( k)

6. Tekstur tanah ( t )

7. Permeabilitas (p)

8. Drainase (d )

9. Faktor-faktor khusus seperti

Batuan dan kerikil ( b),

Ancaman banjir ( o ) dan

Salinitas (g )

Kelas Kemampuan

Lahan

Penggunaan

Lahan Aktual

Tidak Sesuai Sesuai

Arahan

Penggunaan Lahan Perencanaan Peningkatan

Perbaikan Lahan

Page 28: BAB 1 Pendahuluan - Copy

28

F. Konsep Operasional

Konsep Oparasional adalah ruang lingkup atau batasan istilah yang

akan digunakan dalam penelitian ini, untuk menghindari perbedaan persepsi.

Beberapa istilah dengan batasan pengertiannya dituliskan sebagai berikut :

1. Penggunaan lahan (Land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi

(campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual.

2. Klasifikasi kemampuan lahan, yaitu penilaian lahan secara sistematik dan

pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-

sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya

secara lestari.

3. Lereng permukaan, yaitu bentuk permukaan lahan/tanah dengan

kemiringan tertentu.

4. Kepekaan erosi, yaitu perbedaan kepekaan untuk tererosi pada berbagai

jenis tanah yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami

erosi.

5. Kedalaman tanah, yaitu lapisan tanah yang masih bisa ditembus oleh

akar tanaman.

6. Tekstur tanah, ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer

tanah yang akan membentuk tipe tanah tertentu.

7. Permeabilitas, yaitu kecepatan bergeraknya suatu cairan pada pori tanah

dalam keadaan jenuh.

Page 29: BAB 1 Pendahuluan - Copy

29

8. Lahan kritis merupakan lahan dalam dalam kawasan hutan maupun

diluar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga

kehilangan fungsinya sampai saat batas yang ditentukan atau

diharapkan (Kementerian Kehutanan RI, 2010 ).

9. Perbaikan lahan (land improvement) adalah kegiatan-kegiatan yang

dapat mengakibatkan perubahan yang menguntungkan terhadap kualitas

lahan.

10. Konservasi tanah dan air merupakan usaha–usaha yang dilakukan untuk

menjaga dan meningkatkan produktifitas tanah, kuantitas dan kualitas air

.

Page 30: BAB 1 Pendahuluan - Copy

30

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Kegiatan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran pola

penggunaan lahan dan kesesuian antara pola penggunaan lahan yang

diterapkan oleh masyarakat di Desa Jenetallasa dengan kelas

kemampuan lahan. Kriteria-kriteria ini digunakan untuk menentukan

karakteristik lahan, kemudian digunakan sebagai acuan untuk

mengklasifikasi kemampuan lahan, menyusun arahan penggunaan lahan dan

merencanakan bagaimana peningkatan penggunaan lahan pada setiap

penggunaan lahan. Penelitian ini dibagi menjadi: 1). Observasi lapangan

untuk mengetahui pola penggunaan lahan yang ada dilapangan. 2)

Pengumpulan data biofisik dan sosial ekonomi, 3). Analisis data dan

penyajian hasil penelitian.

B. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu

kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium. Tahapan-tahapan tersebut

akan dilaksanakan pada Bulan Mei 2013 . Kegiatan lapangan dilakukan di

Desa Jenetallasa Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan dan kegiatan

laboratorium dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan,

Universitas Hasanuddin.

Page 31: BAB 1 Pendahuluan - Copy

31

C. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tali rapiah,

Meteran roll, Bor tanah, Mistar, Palu, Papan, Cangkul, Linggis, Avnilevel

(super slant) GPS (Global Positioning System), Kamera digital, Kantong

plastik dan ring sampel. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitin

ini adalah bahan-bahan kimia yang digunakan dilaboratorium untuk

kebutuhan analisis fisik dan kimia tanah, serta beberapa data penunjang

lainnya.

D. Metode Pengumpulan Data

Guna memperoleh data, informasi, dan keterangan untuk penelitian,

maka dikumpulkan dua jenis data yaitu:

1. Data primer

Data Primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan dan

pengukuran langsung dilapangan dan hasil analisis laboratorium, dan

wawancara aktivitas sosial ekonomi masyarakat.

a. Penetapan pola penggunaan lahan

Penetapan ini dilakukan dengan cara observasi awal. Pengambilan

titik koordinat, luas dan kelerengan akan diukur saat penelitian. Adapun

informasi yang diperoleh sebagai berikut :

Page 32: BAB 1 Pendahuluan - Copy

32

Tabel 3. Pola Penggunaan lahan Desa Jenetallasa No Pola Penggunaan Lahan Jenis Tanaman

1. Hutan Lindung Pinus (Pinus mercusii)

Tristania(Tristania merguensis Griff) Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L)

Suren (Toona sureni )

Akasia (Acacia auriculiformis)

2. Pengembalaan Rumput (Eleusine indica)

3. Pemukiman Tanaman Hias Anggrek (Orcidaceae) Alpukat (Persea americana) Sirsak (Annona muricata) Pepaya (Carica papaya)

Labu siam (Sechium edule)

Markisa(Passiflora quadrangularis L

Mangga ( Mangifera indica) Bambu (Bambussa sp) Dadap (Erythrina cristagally)

4. Kebun Campuran Kopi (Coffea robusta) Kakao (Theobroma cacao) Cengkeh (Syzygium Armaticum) Nangka (Arthocarpus integra) Jati (Tectona Grandis) Mangga ( Mangifera indica) Pisang (Musa paradisiaca) Suren (Toona sureni)

Mahoni (Swietenia mahagoni)

Kemiri ( Aleurites moluccana)

Bambu (Bambussa sp) Dadap (Erythrina cristagally)

5. Kebun Sayur Kol ( Brassica oleracea) Wortel (Ducus Carota) Kentang (Solanum tuberosum) Lombok( Capsicum frutescens) Ubi Jalar (Ipomoe Batatas) Daun bawang(Alium fistulosum) Seledri (Apium graviolens) Markisa(Passiflora quadrangularis L

Page 33: BAB 1 Pendahuluan - Copy

33

Mangga ( Mangifera indica) Nangka (Arthocarpus integra) Suren (Toona sureni)

6. Semak Belukar Rumput (Eleusine indica)

Alang-alang (Imperata cylindrica) Graminiae

Sumber : Hasil Observasi Lapangan

b. Pengamatan pada Setiap Kriteria dalam Pengklasifikasian

kemampuan lahan.

Pengamatan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

a). Kemiringan lereng diperoleh dengan cara pengamatan langsung di

lapangan dengan menggunakan Avnilevel.

b). Kepekaan erosi tanah (nilai K), diperoleh dari data lapangan

berupa sampel tanah dari unit lahan yang kemudian akan

dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan data tekstur (%pasir,

pasir halus, debu, dan liat), permeabilitas dan kandungan bahan

organik tanah. Berdasarkan data lapangan dan hasil analisis

laboratorium, nilai K dapat dihitung dengan menggunakan

nomograf.

Page 34: BAB 1 Pendahuluan - Copy

34

Gambar 3. Nomograf erodibilitas tanah (K), (Wischmeier, 1978 ).

Adapun langkah-langkah penggunaan nomograf adalah

sebagai berikut:

o Persentase debu dan pasir sangat halus ditetapkan pada titik

yang bersesuaian pada sumbu tegak sebelah kiri dari nomograf

o Ditarik garis horizontal hingga memotong garis yang

menunjukkan persentase pasir

o Dari titik perpotongan ini di tarik garis vertikal hingga memotong

persentase bahan organic

o Dari titik perpotongan ini di tarik garis horizontal ke kanan

hingga memotong kelas struktur tanah

Page 35: BAB 1 Pendahuluan - Copy

35

o Dari titik perpotongan ini di tarik garis vertikal hingga memotong

kelas permeabilitas tanah

o Dari titik perpotongan ini di tarik garis horizontal ke kiri hingga

memotong skala indeks erodibilitas (K)

c). Tingkat erosi, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat

keadaan lapisan atas dan lapisan bawah pada lahan. Apabila lapisan

bawah belum ada yang terlihat maka pertimbangannya tidak ada

erosi atau erosinya ringan. Apabila lapisan bawah telah terlihat

ataupun telah terkikis maka dapat dipertimbangkan pada tingkat erosi

sedang, agak berat, ataupun berat, sedangkan apabila telah

terbentuk erosi parit dapat dikatakan sangat berat.

d). Kedalaman tanah, diperoleh dengan menggunakan alat bor tanah.

Kedalaman tanah ini dapat ditentukan apabila ditemukan lapisan

padas yang menghalangi bor tanah.

e). Tekstur lapisan atas, diperoleh dari hasil analisis laboratorium pada

setiap sampel tanah lapisan atas di per unit lahan.

f). Tekstur lapisan bawah, diperoleh dari hasil analisis laboratorium dari

sampel tanah lapisan bawah per unit lahan.

g). Permeabilitas, dapat diperoleh dari hasil analisis laboratorium pada

setiap sampel tanah per unit lahan.

h). Drainase, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat

struktur dan warna tanah.

Page 36: BAB 1 Pendahuluan - Copy

36

i). Kerikil/batuan, diperoleh dari hasil pengamatan langsung melalui

pembuatan plot berjaring di lapangan. Plot yang digunakan berukuran

100 cm x 100 cm yang terbagi ke dalam 100 kotak seukuran 10 cm x

10 cm setiap kotak. Pengamatan dilakukan dengan melihat bahan

kasar berupa batu-batuan atau kerikil yang berada di permukaan

tanah pada plot berjaring yang telah dibuat.

j). Ancaman banjir, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat

kondisi lahan (topografi) , apakah termasuk daerah genangan,

ataupun dengan bertanya langsung kepada masyarakat setempat

tentang ancaman banjir pada lokasi penelitian.

c. Analisis di laboratorium

a). Menentukan tekstur tanah :

1) Menyiapkan 25 gram sampel tanah dan memasukkannya ke dalam

botol plastik.

2) Menambahkan 10 ml larutan Calgon 5% dan 100 ml aquadest.

3) Memasukkan dalam mesin pengocok dan kocok selama 30 menit.

Jika tidak ada, dapat dikocok secara manual selama 30 menit.

4) Memindahkan hasil kocokan ke dalam wadah dan mengocok lagi

dengan mixer selama 10 menit.

5) Menyaring hasil kocokan ke dalam wadah, begitu pula dengan

pasir yang tersisa pada penyaring.

6) Memindahkan suspense ke dalam gelas ukur 500 ml.

Page 37: BAB 1 Pendahuluan - Copy

37

7) Mengocok suspense selama 8 detik dan mengukur dengan

hydrometer (H1) dan thermometer (T1) setelah 40 detik.

8) Melanjutkan pada pengamatan setelah 20 menit (H2 & T2) dan 6

jam (H3 & T3).

9) Memanaskan pasir yang telah ditampung hingga kering dan

menimbang berat pasir.

10) Menghitung perbandingan antara debu, pasir dan liat.

b). Untuk menentukan permeabilitas :

1) Menyiapkan sampel tanah utuh yang diambil dengan ring sampel.

2) Melapisi permukaan bawah dengan kain kasa dan permukaan atas

dipasang pipa karet (bagian sambungannya dilapisi selotip).

3) Menyiapkan sumber air.

4) Menampung air yang menetes dari sampel tanah yang ada di

dalam ring sampel.

5) Mengukur volume air dalam jangka waktu tertentu.

6) Menambahkan volume air dalam tabung jika berkurang dan

mencatat volume tambahannya.

7) Membuat grafik hubungan antara volume tetesan dan waktu

pengamatan.

8) Menghitung permeabilitas dengan menggunakan persamaan :

Permeabilitas = 𝑥

1/4πd²

Page 38: BAB 1 Pendahuluan - Copy

38

Keterangan : 𝑥 =vol.tiap lapisan

0,25 d = diameter ring sampel

𝜋 = 3

c). Menentukan kandungan C-Organik :

1) Memasukkan sampel tanah sebanyak 2 gram ke dalam

Erlenmeyer.

2) Menambahkan 10 ml larutan K2Cr2O7 1N dengan pipet dan

reaksikan dengan asam sulfat pekat (H2SO4) dan membiarkan

reaksi berlangsung selama 1 jam.

3) Menambahkan aquadest kira-kira 100 ml.

4) Menambahkan asam fosfat 10 ml.

5) Meneteskan 1 ml indikator dan segera titrasi dengan larutan Fe++

titran yang telah distandarisasi.

6) Bila perubahan warna agak sulit terjadi akibat warna contoh tanah,

maka digunakan cairan jenuh saja yang dipindahkan ke

Erlenmeyer lainnya.

7) Titik akhir titrasi pada saat terjadi perubahan dari warna biru

kehitaman menjadi hijau.

8) Mencatat volume dan normalitas Fe++ yang digunakan.

9) Membuat blangko.

Page 39: BAB 1 Pendahuluan - Copy

39

d). Penetapan kepekaan erosi dibutuhkan data % tekstur tanah, % bahan

organik, struktur tanah, dan permeabilitas. Berdasarkan data-data

tersebut, nilai K dapat dihitung dengan menggunakan nomograf.

d. Wawancara dengan responden

Teknik pengumpulan data dari wawancara diperoleh langsung dari

reponden. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dengan

mengambil 30 responden dari masyarakat yang berada di Desa

Jenetallasa. Data tersebut terdiri atas nama, umur, jenis kelamin,

tempat tinggal, tingkat pendidikan, mata pencaharian,status

penguasaan lahan, luas lahan, sumber pendapatan utama,

pengalaman usaha bertan, sumber modal, hambatan usaha tani,

pemahaman tentang erosi dan tindakan konservasi tanah, intensitas

pengelolaan tanah, pemupukan, pengendalian hama, komoditi yang

diusahakan, pola tanam, komponen pendapatan meliputi jumlah

produksi dan harga, komponen biaya produksi meliputi biaya bibit/

benih petani, peralatan, pupuk pestisida, upah tenaga kerja dan biaya

lainnya.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung

yang menyangkut lokasi umum penelitian. Data tersebut diperoleh dari

instansi, lembaga atau pihak-pihak yang terkait, dan dokumen-dokumen

yang dapat menunjang penelitian ini. Data tersebut antara lain : Kondisi

Page 40: BAB 1 Pendahuluan - Copy

40

fisik wilayah (luas, letak wilayah dan geografis, iklim, keadaan topografi

dan jenis penggunaan lahan), Keadaaan sosial ekonomi (jumlah

penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan sarana/prasarana),

serta data-data lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara menilai kriteria-kriteria lahan pada

setiap penggunaan lahan dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan.

Adapun tahapan dalam analisa data, yaitu:

1. Pengelompokan kriteria-kriteria lahan pada setiap unit lahan yang telah

diperoleh melalui pengamatan di lapangan dan di laboratorium dengan

menggunakan pengelompokan oleh Arsyad (2010). Pengelompokan

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut:

A = 0 sampai ≤ 3% (datar)

B = > 3 sampai 8% (landai atau berombak)

C = > 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang)

D = >15 sampai 30% (miring atau berbukit)

E = > 30 sampai 45% (agak curam atau bergunung)

F = > 45 sampai 65% (curam)

G = > 65% (sangat curam)

b. Kepekaan erosi (KE) tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut:

KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah)

Page 41: BAB 1 Pendahuluan - Copy

41

KE2 = 0,11 sampai 0,20 (rendah)

KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang)

KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinngi)

KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi)

KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi)

c. Erosi yang telah terjadi (e) dikelompokkan sebagai berikut:

e0 = tidak ada erosi

e1 = ringan kurang dari 25% lapisan atas hilang

e2 = sedang 25 sampai 75% lapisan atas hilang

e3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari

25% lapisan bawah hilang

e4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang

e5 = sangat berat : erosi parit

d. Kedalaman tanah (k) dikelompokkan sebagai berikut:

k0 = lebih dari 90 cm (dalam)

k1 = 90 sampai 50 cm (sedang)

k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)

k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal)

e. Tekstur tanah (t), terdiri dari tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan

lapisan bawah tanah (30-60 cm) dikelompokkan sebagai berikut:

t1 = tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat

berdebu, dan liat.

Page 42: BAB 1 Pendahuluan - Copy

42

t2 = tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat

berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu.

t3 = tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung

berdebu, dan debu

t4 = tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung

berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir

sangat halus.

t5 = tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan

pasir.

f. Permeabilitas (p) dikelompokkan sebagai berikut:

P1 = lambat : kurang 0,5 cm/jam

P2 = agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam

P3 = sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam

P4 = agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam

P5 = cepat : lebih dari 12,5 cm/jam

g. Drainase (d) diklasifikasikan sebagai berikut:

d0 = berlebihan (excessively drained): air lebih segera keluar dari

tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah

sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air.

d1 = baik : tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil

tanah dari atas sampai bawah (150 cm) berwarna terang

Page 43: BAB 1 Pendahuluan - Copy

43

yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning

coklat, atau kelabu.

d2 = agak baik : tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah

perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning,

coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas

lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan

tanah).

d3 = agak buruk : lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara

baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat

atau kelabu. Bercak-bercak ditemukan pada seluruh lapisan

bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah).

d4 = buruk : bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan)

terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat

dan kekuningan.

d5 = sangat buruk : seluruh lapisan sampai permukaan tanah

berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu

atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau

terdapat air yang menggenang dipermukaan tanah dalam

waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan

tanaman.

h. Faktor-faktor khusus, seperti:

Page 44: BAB 1 Pendahuluan - Copy

44

1) Batuan/kerikil (bahan kasar) dibedakan atas kerikil, batuan kecil,

batuan lepas dan batuan tersingkap. Klasifikasi yang digunakan

adalah klasifikasi kerikil sebagai berikut:

b0 = tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah.

b1 = sedang 15% sampai 50% volume tanah.

b2 = banyak 50% sampai 90% volume tanah.

b3 = sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah.

2) Ancaman banjir (O) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

O0 = tidak pernah : dalam periode satu tahun tanah tidak pernah

tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam.

O1 = kadang-kadang : banjir yang menutupi tanah lebih dari 24

jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu

bulan.

O2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara

teratur tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam.

O3 = selama waktu 2 sampai 5 bulan dalam setahun, secara

teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24

jam.

O4 = selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda

banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam.

3) Salinitas (g) dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Page 45: BAB 1 Pendahuluan - Copy

45

g0 = bebas = 0 sampai 0,15% garam larut; 0 sampai 4 (EC x

103) mmhos cm-1 pada suhu 25oC.

g1 = terpengaruh sedikit = 0,15 sampai 0,35% garam larut; 4

sampai 8 (EC x 103) mmhos cm-1 pada suhu 25oC.

g2 = terpengaruh sedang = 0,35 sampai 0,65% garam larut; 8

sampai 15 (EC x 103) mmhos cm-1 pada suhu 25oC.

g3 = terpengaruh hebat = lebih dari 0,65% garam larut; lebih

dari 15 (EC x 103) mmhos cm-1 pada suhu 25oC.

2. Menentukan kelas kemampuan lahan dan sub-kelas setiap penggunaan

lahan berdasarkan hasil pengelompokan kriteria-kriteria lahan atau faktor

penghambat dengan merujuk pada tabel Kriteria Klasifikasi Kemampuan

Lahan.

Adapun langkah-langkah dalam menentukan kelas kemampuan lahan

serta sub-kelas pada setiap penggunaan lahan:

a. Mengumpulkan data kriteria klasifikasi dari hasil pengamatan untuk

setiap penggunaan lahan yang diteliti.

b. Kemudian mengelompokkan data berdasarkan pengelompokan yang

telah diuraikan di atas.

c. Data yang telah dikelompokkan kemudian di masukkan kedalam tabel

klasifikasi kemampuan lahan yang selanjutnya ditentukan kelas dan

sub-kelasnya. Apabila hasil pengelompokan kriteria pada suatu unit

lahan cenderung pada kelas kemampuan lahan III tetapi terdapat satu

Page 46: BAB 1 Pendahuluan - Copy

46

kriteria yang berada pada kelas kemampuan lahan IV, maka unit

lahan tersebut masuk kedalam kelas kemampuan lahan IV dimana

sub kelasnya adalah kriteria yang berada di kelas kemampuan lahan

IV tersebut.

3. Menyesuaikan kelas kemampuan lahan dan sub-kelas pada pola

penggunaan lahan yang telah diterapkan oleh masyarakat.

4. Analisis Usahatani ini dilakukan pada kondisi pola tanam dengan

pendekatan agroteknologi aktual dan pola tanam dengan pendekatan

agoteknologi alternatif. Dalam analisis usaha tani ini yang dikaji tiga

variabel penting yaitu penerimaan, biaya dan pendapatan sebagaimana

dikemukakan oleh Soekartawi (2002) bahwa, Penerimaan usaha tani,

merupakan nilai produksi yang dapat dihasilkan dari usaha tani per

musim tanam yang dinilai dengan mata uang, dihitung dengan

persamaan :

TR = Y.Py

Dimana:

TR = Total penerimaan (Rp) Y = Produksi (kg) Py = Harga Y (Rp)

Dalam suatu usaha tani biasanya ditemukan lebih dari satu komoditas

yang dikembangkan sehingga total penerimaan dihitung dengan

menggunakan persamaan :

Page 47: BAB 1 Pendahuluan - Copy

47

𝑇𝐶 = ∑ Xi Pxi

𝑛

𝑖=1

Keterangan :

TC = Total Biaya

Xi = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya

Pxi = Harga input

n = Macam Input

Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan

semua biaya.

Pd = TR - TC

Dimana :

Pd = Pendapatan usahatani (Rp)

TR = Total Penerimaan (Rp)

TC = Total Biaya (Rp)

Berdasarkan hasil perhitungan pendapatan, dapat dilakukan

penentuan kriteria kemiskinan. Kriteria kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 4.

Sehingga dapat digunakan sebagai bahan penunjang dalam penentuan

arahan penggunaan lahan.

Tabel 4.Macam - macam Kriteria Kemiskinan

Pendapatan Masyarakat Kriteria Kemiskinan Keterangan (Rp/ Bulan)

≥ 350.610.- Tidak Miskin

280.488.- – 350.610.- Hampir Tidak miskin

233.740.- – 280.488.- Hampir Miskin

≤ 233.740,- Miskin

Sumber badan statistik (BPS)

Page 48: BAB 1 Pendahuluan - Copy

48

5. Menentukan arahan penggunaan lahan yang tidak sesuai antara kelas

kemampuan lahannya dengan pola penggunaan lahannya dan

merencanakan peningkatan pemanfaatan perbaikan lahan (land

improvemen) dengan cara :

a. Melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan

perubahan yang menguntungkan terhadap kualitas lahan.

Perbaikan besar (major land improvement) merupakan perbaikan

yang besar dan permanen. Perbaikan kecil (minor land

improvement) adalah perbaikan yang relatif mempunyai efek kecil

atau yang tidak permanen.

b. Melakukan tindakan konservasi tanah dan air dengan cara

(Arsyad 2010) :

- Metode Vegetatif yaitu penggunaan tanaman atau tumbuhan

dan serasahnya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh,

serta jumlah dan daya rusak aliran permukaan/erosi. Dalam

metode ini antara lain dilakukan penanaman tanaman penutup

tanah secara terus menerus. Penanaman dalam bentuk strip.

Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau, sistem

wanatani dan lain sebagainya.

- Metode Mekanik ini meliputi semua perlakuan fisik mekanik

yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk

mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan

Page 49: BAB 1 Pendahuluan - Copy

49

kemampuan dan penggunaan tanah. Metode ini antara lain

meliputi pembuatan teras sederhana ( Batu, bambu, ranting),

guludan, rorak, tanggul dan teras.

Page 50: BAB 1 Pendahuluan - Copy

50

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

A. Kondisi Geografis

1. Letak

Lokasi penelitian berada di Desa Jenetallasa yang terletak disebelah

Utara Ibukota Kecamatan Rumbia dengan jarak ± 17 Km2 dari Kota

Kecamatan dan dengan jarak 34 km dari Ibukota Kabupaten yang merupakan

salah satu Desa yang terletak di Wilayah Kecamatan Rumbia, Kabupaten

Jeneponto dengan luas wilayah ± 7.50 Km2 . Adapun batas - batas

wilayah Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia adalah sebelah Utara

berbatasan dengan Desa Ujung Bulu, Sebelah Selatan berbatasan dengan

Desa Loka, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. Secara

administrasi Desa Jenetallasa terdiri dari lima (5) Dusun yaitu Dusun

Bontomasugi, Panakkukang, Kacicci, Pattallasaang dan Parangtallasa.

2. Topografi Desa

Wilayah Desa Jenetallasa berada pada ketinggian dari permukaan laut ±

700 - 1000 Mdpl. Dari ketinggian tersebut dapat disimpulkan bahwa Desa

Jenetallasa merupakan Desa yang terletak di Daerah pegunungan. Kondisi

landskap Desa Jenetallasa bergunung dan berlembah dengan kemiringan

yang bervariasi dimasing-masing titik karena perbedaan kemiringan yang

bervariasi tersebut berupa Dusun terkesan terisolasir dengan dusun lain.

Selain itu, Kondisi daerah pegunungan juga memberikan dampak terhadap

Page 51: BAB 1 Pendahuluan - Copy

51

penggunaan lahan di Desa Jenetallasa. Kawasan pemukiman mengikuti pola

jalur jalan raya. Kawasan pertanian terutama sayur mayur sangat cocok

tumbuh di Desa Jenetallasa dan merupakan penghasil dan pemasok

kebutuhan sayur mayur di Makassar.

3. Iklim Dan Curah Hujan

Desa Jenetallasa memiliki dua macam musim yaitu musim hujan dan

musim kemarau. Pada musim hujan terjadi antara bulan November sampai

bulan April, sedangkan pada musim kemarau terjadi antara Bulan Mei sampai

dengan bulan Oktober.

Desa Jenetallasa beriklim tropis dengan tipe iklim C2 yaitu tipe iklim

yang memiliki bulan basah 5 – 6 Bulan dan bulan lembab 2 – 4 bulan

dikarenakan Desa Jenetallasa berada diketinggian 800 – 1830 Meter.

Jumlah rata – rata curah hujan Desa Jenetallasa selama beberapa Tahun ini

mencapai 1.545 mm dengan rata – rata jumlah hari hujan 100 hari curah

hujan tertinggi jatuh pada bulan Januari dan Pebruari sedang curah hujan

terendah yakni pada Bulan Juli, Agustus dan September.

4. Tata kelola air

Wilayah Desa Jenetallasa yang berada di Dataran tinggi dan dikelilingi

pegunungan menjadikan Desa Jenetallasa memiliki potensi sumber mata air

yang banyak, hampir setiap lahan terdapat mata air didalamnya. Hal inilah

yang memudahkan warga Desa dalam bertani. Para petani yang ingin

Page 52: BAB 1 Pendahuluan - Copy

52

menanam holtikultura dan sayuran dengan muda menjangkau sumber air

karena memakai pipa atau selang plastik yang langsung masuk ke kebun.

Berbeda dengan Desa Jeneponto lainnya sumber air baik dari segi kualitas

maupun kuantitas mencukupi untuk keperluan konsumsi rumah tangga.

Namun saat ini hanya ada 12 titik dari pegunungan yang dijadikan

sebagai sumber pemunuhan air bersih masyarakat, dalam rumah tangga, itu

hanya air yang telah terbendung dan terdapat perpipahan yang pernah

dikerjakan pada Tahun 2007 dan sampe sekarang tidak pernah ada

perbaikan/rehab bendungan dan perpipahan oleh Pemdes dan Instansi-

instansi lain. Air bersih seharusnya tidak membuat warga terkendala dalam

mengakses namun hal ini masih dialami oleh beberapa warga karena

kurangnya sarana pendukung seperti Bak penampung air disetiap wilayah/

Dusun sehingga masih ada yang mengakses air bersih dengan cara

mengangkat kerumah menggunakan ember dan jerigen.

5. Tanah dan Geologi

Berdasarkan Peta jenis tanah dan geologi dari Dinas Kehutanan

Kabupaten Jeneponto, jenis tanah yang ada di wilayah penelitian adalah

Andosol. Jenis tanah andosol umumnya berwarna gelap/hitam, abu-abu,

coklat tua hingga kekuningan sedangkan batuan yang terdapat di wilayah

penelitian yaitu Andesit, Basalt, Tephra berbutir halus, Tefra berbutir kasar,

Batu lumpur dan Batu pasir.

Page 53: BAB 1 Pendahuluan - Copy

53

6. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada Sub-Sub DAS Manapa secara umum terdiri

atas hutan, pengembalaan, kebun campuran, kebun sayur, pemukiman dan

semak belukar seluas 676 Ha.

7. Vegetasi

Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian diantaranya adalah

Tristania(Tristania merguensis Griff), Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L),

Suren (Toona sureni ), Akasia (Acacia auriculiformis) Kopi (Coffea robusta),

Kakao (Theobroma cacao), Cengkeh (Syzygium Armaticum), Nangka

(Arthocarpus integra), Jati (Tectona Grandis), Mangga ( Mangifera indica),

Pisang (Musa paradisiaca), Suren (Toona sureni), Mahoni

(Swieteniamahagoni),Kemiri (Aleurites moluccana),Bambu (Bambussa sp),

Dadap (Erythrina cristagally)

B. Keadaan Sosial Ekonomi

1. Penduduk

Hasil sensus pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Desa Jenetallasa

masih kurang padat karena dilihat dari jumlah penduduk yang hanya 1798

jiwa yang terbagi atas 868 jiwa laki-laki jiwa dan perempuan 930 jiwa dengan

jumlah Kepala Keluarga (KK) 540. Adapun jumlah penduduk dari setiap

Dusun di Desa Jenetallasa berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

Tabel 5.

Page 54: BAB 1 Pendahuluan - Copy

54

Tabel 5. Jumlah Penduduk di Wilayah Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto.

Lingkungan Jumlah KK Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah

Jiwa Lingkungan Jumlah KK

Laki-laki Perempuan Jumlah

Jiwa Bt. Masugi 102 189 201 390

Panakkukang 36 75 62 137

Kacicci 113 194 215 409

Pattallassang 119 200 201 421

Parangtallasa 120 210 231 441

Jumlah 540 868 930 1.789

Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010

2. Mata Pencaharian

Mata pencaharian Penduduk dalam wilayah Desa Jenetallasa adalah

mayoritas Petani/Pekebun. Petani kebun seperti hortikultura dan palawija

adalah sumber penghidupan warga. Adapun Petani pedagang artinya

seluruh hasil produksi tanamannya dijual sendiri ke Pasar dan sebahagian

bermata pencaharian sebagai Supir, Pedagang, Wiraswasta dan hanya

sebahagian kecil Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pekerjaan bertani ini dilakukan

terus menerus sepanjang musim artinya tidak ada waktu luang yang tidak

dimanfaatkan karena sumber mata air sangat mendukung terutam dalam hal

penanaman tanaman seperti sayuran dan buah-buahan. Namun sekalipun

demikian para petani masih memiliki kendala antara lain, pengetahuan dan

keterampilan dalam mengelola budidaya palawijaya begitu juga keterbatasan

sarana dan alat-alat pertanian seperti Handtractor dan lain-lain.

Page 55: BAB 1 Pendahuluan - Copy

55

Selain sebagai Petani, terdapat pula beberapa keluarga yang keluar

daerah (Makassar, Kalimantan sampai ke Malaysia) mencari sumber

penghasilan tambahan sebagai penjual di Pasar dan buruh tani. Khususnya

dari kalangan keluarga miskin dan sangat miskin . Berikut rincian mata

pencaharian penduduk disajikan pada Tabel berikut :

Tabel 6. Rincian mata pencaharian di Desa Jenetallasa

Mata Pencaharian Jumlah Orang

Supir 1

Buruh tani 5

Ibu Rumah Tangga 20

Pedagang 3

Pedagang Dan petani 13

Kepala Desa 1

Perantau Tahunan 18

PNS 1

Petani dan Supir 15

Petani 275

Jumlah 352

Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010.

3. Pendidikan

Satu faktor penunjang peningkatan pendapatan masyarakat adalah

pendidikan. Namun, berdasarkan hasil sesus Jenetallasa, maka kita dapat

melihat bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat masih sangat

Page 56: BAB 1 Pendahuluan - Copy

56

rendah disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan.

Berikut tingkat pendidikan penduduk di Desa Jenetallasa.

Tabel 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Jenetallasa

Pendidikan Terakhir Total

S1 2

D2 1

SMP 12

SMU 6

SD 85

Tidak Pernah Sekolah 240

Jumlah 346

Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010.

Page 57: BAB 1 Pendahuluan - Copy

57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Klasifikasi Kemampuan Lahan Di Desa Jenetallasa

Berdasarkan dari hasil pengamatan langsung dilapangan maka

diperoleh 6 penggunaan lahan yaitu Hutan lindung, Pengembalaan,

Pemukiman, Kebun campuran, kebun sayur dan semak belukar.

Pengelompokan berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan Berdasarkan penggunaan Lahan.

No Penggunaan Lahan Kelerengan Kelas

1 Hutan Lindung 100% VIIe

2 Pengembalaan 40 % VIe

3 Pemukiman 5% IIs

4 Kebun campuran 57% VIIe

5 Kebun Sayur 50% VIIe

6 Semak belukar 100% VIIe

Berdasarkan Tabel 8. Dapat dilihat bahwa kelas kemampuan lahan

Desa Jenetallasa bervariasi mulai dari kelas kemampuan II sampai VII.

Klasifikasi kelas kemampuan lahan tersebut diperoleh dari hasil sampel pola

pengunaan lahan yang telah dianalisis di laboratorium, dimana hasil

pengamatan dan pengukuran kriteria faktor penghambat dari klasifikasi

kemampuan lahan serta analisis laboratorium disajikan sebagai berikut :

Page 58: BAB 1 Pendahuluan - Copy

58

a. Penggunaan Lahan I ( Hutan Lindung )

Penggunaan lahan I diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

VII dengan Sub kelas erosi (VIIe). Lahan ini termasuk dalam kelas

kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan

yang curam yaitu >45%. Hasil dilapangan menunjukkan penggunaan

lahan pada hutan lindung memiliki kemiringan lereng 100%. Meskipun

memiliki faktor penghambat seperti kedalaman tanah yang sangat

dangkal dan batuan yang banyak yaitu 100%, namun vegetasi yang ada

didalamnya didominasi oleh pohon Pinus(Pinus mercusii) Tristania

(Tristania merguensis Griff), Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L), Suren

(Toona sureni ), Akasia (Acacia auriculiformis) sehingga lahan tersebut

sesuai dengan kemampuan lahan yang vegetasi penutupan tanahnya

didominasi oleh pepohonan

b. Penggunaan Lahan 2 (Pengembalaan)

Penggunaan lahan 2 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

VI dengan faktor pembatas lereng (e) sehingga masuk dalam sub kelas

Erosi (VIe). Faktor penyebab lahan ini masuk dalam kelas kemampuan

lahan VIe karena memiliki kelerengan yang agak curam atau bergunung

yaitu > 30 %. Berdasarkan informasi dari masyarakat dan survey

lapangan, lahan ini awalnya digunakan masyarakat sebagai kebun

sayur, tapi karena sayur tidak dapat tumbuh dengan baik, maka

masyarakat menggunakan lahan ini menjadi pengembalaan

Page 59: BAB 1 Pendahuluan - Copy

59

hewan ternaknya seperti Ayam (Gallus domesticus), Sapi (Bos

primigenius), Kuda (Equus caballus) Kambing (Capra aegagrus hircus).

c. Penggunaan Lahan 3 (Pemukiman)

Penggunaan lahan 3 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

II dengan Sub kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (IIs).

Lahan ini termasuk dalam kelas kemampuan lahan II dengan faktor

pembatasnya berupa Kedalaman tanah yang dangkal yaitu 30 cm (k2)

dan Batuan atau kerikil sebanyak 100%. Pemukiman di Desa tersebut

ditempati oleh masyarakat secara turun temurun.

d. Penggunaan Lahan 4 (Kebun Campuran)

Penggunaan lahan 4 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

VII dengan Sub kelas erosi (VIIe) Seluas 000 ha. Lahan ini termasuk

dalam kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa

kelerengan yang curam yaitu >45%. Kemiringan >45% sebaiknya

bervegetasi hutan dan tidak diganggu. Menurut Gunawan (2007),

Jumlah dan kerapatan vegetasi tumbuh tersebar merata dan menutup

permukaan tanah dengan baik, dapat memenuhi fungsinya sebagai

penutup tanah.

e. Penggunaan Lahan 5 (Kebun Sayur)

Penggunaan lahan 5 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

VII dengan Sub kelas erosi (VIIe). Lahan ini termasuk dalam kelas

Page 60: BAB 1 Pendahuluan - Copy

60

kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan

yang curam yaitu >45%. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan,

berbagai jenis sayur-sayuran ditanam oleh masyarakat meskipun

dengan kemiringan yang curam. seperti, Kol ( Brassica oleracea),

Wortel (Ducus Carota), Kentang (Solanum tuberosum), Lombok(

Capsicum frutescens), Ubi Jalar (Ipomoe Batatas), Daun bawang(Alium

fistulosum), Seledri (Apium graviolens) dan Markisa(Passiflora

quadrangularis L)

f. Penggunaan Lahan 6 (Semak Belukar)

Penggunaan lahan 6 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan

VII dengan Sub kelas erosi (VIIe). Lahan ini termasuk dalam kelas

kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan

yang curam yaitu >45%. Hasil penelitian dilapangan menunjukkan

bahwa pada lahan ini memiliki semak belukar yang tinggi sehingga

permukaan tanah terbuka dengan kedalaman tanah yang dangkal.

Hasil pengelompokan faktor penghambat dan penentuan kelas

kemampuan lahan serta sub-kelasnya dapat dilihat pada Tabel 9

sedangkan hasil pengamatan dan pengukuran faktor penghambat

klasifikasi kemampuam lahan dilapangan dan laboratorium dapat dilihat

pada lampiran 5.

Page 61: BAB 1 Pendahuluan - Copy

1

Page 62: BAB 1 Pendahuluan - Copy

2

Tabel 9. Hasil pengelompokan Faktor Penghambat dan Penentu Kelas Kemampuan Lahan serta Sub - Kelasnya

No Faktor

penghambat

Sampel Pengamatan

Hutan lindung

(Andosol, 16-45%)

Pengembalaan (Andosol, >

45%)

Pemukiman (Andosol,

>45%)

Kebun campuran

(Andosol, 0-15%)

Kebun sayur

(Andosol, 16-30%)

Semak Belukar

(Andosol,16-30%)

1 Lereng Permukaan

F E A F F F

2 Kepekaan Erosi

KE3 KE3 KE2 KE3 KE3 KE3

3 Tingkat Erosi e1 e2 e0 e4 e4 e1

4 Kedalam Tanah

k3 k2 k2 k2 k1 k2

5 Tekstur Lapisan Atas

t3 t3 t1 t3 t3 t4

6 Permeabilitas P3 P3 P3 P3 P3 P3

7 Drainase d3 d2 d4 d1 d1 d4

8 Krikil/Batuan b2 b2 b2 b2 b2 b2

9 Ancaman Banjir

Oo Oo Oo Oo Oo Oo

Faktor Pembatas Lereng Lereng

Kedalaman tanah dan

Batuan Lereng Lereng Lereng

Kelas Kemampuan Lahan

VIIe VIe IIs VIIe VIIe VIIe

SubKelas Erosi (e) Erosi (e) Erosi (e) Erosi (e) Erosi (e) Erosi (e)

Page 63: BAB 1 Pendahuluan - Copy

62

Pada Tabel 9 faktor penghambat tekstur lapisan bawah dan

garam/salinitas tidak diamati. Pada tekstur lapisan bawah yakni pada

kedalaman tanah di atas 60 cm tidak terlalu berpengaruh pada klasifikasi

kemampuam lahan karena pada Tabel pengklasifikasian Arsyad, S (2010),

faktor penghambat ini dapat memiliki sembarang data, sedangkan garam

/salinitas tidak diamati karena pada lokasi penelitian berada pada daerah

yang cukup tinggi di atas permukaan laut sehingga faktor penghambat

tersebut tidak berpengaruh.

Hasil pengamatan dan pengukuran menunjukkan bahwa Desa

Jenetallasa memiliki kelerengan yang agak curam sampai curam, kedalaman

tanah dangkal dan permeabilitas yang sedang sehingga mengakibatkan

tanahnya sangat mudah untuk tererosi yang akan mengakibatkan rawan

longsor.

2. Kesesuaian Pola Pengguna Lahan Dengan Kemampuan Lahan

Penentuan kesesuaian antara pengguna lahan dengan kemampuan

lahannya bisa didapat setelah memperoleh data dari lapangan tentang

karakteristik setiap pengguna lahan. Karekteristik setiap pengguna lahan

meliputi lereng permukaan (kemiringan lereng), kepekaan erosi, tingkat erosi,

kedalaman tanah, tekstur lapisan atas, permeabilitas, drainase, krikil atau

batuan dan ancaman banjir. Hasil analisis kesesuaian pengguna lahan

dengan kemampuan lahan tertera pada Tabel 10.

Page 64: BAB 1 Pendahuluan - Copy

63

Tabel 10. Kesesuaian Pola Penggunaan Lahan di Sub-Sub DAS Manapa

No Sampel

pengamatan Kelas kemampuan

lahan

Kesesuaian pola penggunaan

lahan

1 Hutan Lindung (Andosol,> 45 %)

VIIe Sesuai

2 Pengembalaan (Andosol,30 - 45%)

VIe sesuai

3 Pemukiman (Andosol, 0 - 3%)

IIs Sesuai

4 Kebun Campuran (Andosol, >45%)

VIIe Tidak sesuai

5 Kebun Sayur (Andosol, >45%)

VIIe Tidak sesuai

6 Semak Belukar (Andosol, >45%)

VIIe Tidak sesuai

Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa ada tiga pola penggunaan

lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan yaitu Hutan lindung

Pengembalaan dan Pemukiman. Selebihnya ketiga pola penggunaan lahan

lainnya yaitu Kebun campuran, Kebun sayur dan Semak belukar tidak sesuai

dengan kelas kemampuan lahan. Hal ini bisa diketahui dengan merujuk pada

Tabel 9.

3. Arahan Penggunaan Lahan

Penentuan arahan penggunaan lahan yang tepat, juga membutuhkan

informasi pendapatan usahatani. Kriteria kemiskinan dan kelas kemampuan

lahan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan

arahan penggunaan lahan berbasis pengelolaan DAS. Seperti yang disajikan

pada Tabel 11.

Page 65: BAB 1 Pendahuluan - Copy

64

Page 66: BAB 1 Pendahuluan - Copy

Tabel 11. Arahan Penggunaan Lahan

Sampel Pengamatan

Klasifikasi Kemampuan

Lahan

Pendapatan Masy.

(Rp/bln)

Kriteria Kemiskinan

Masy.

Kesesuaian Penggunaan Lahan

Arahan penggunaan dan pengelolaan Lahan

Hutan Lindung VIIe - - Sesuai 1. Pemeliharaan Vegetasi Penutupan tanah sebagai penahan erosi

2. Kawasan Jalur hijau sepanjang sempadan sungai

3. Hutan primer minimal 30% luasan DAS untuk perlindungan mata air dan daerah rawan bencana longsor (Hutan Lindung)

Pengembalaan VIe 232.625 Hampir miskin

Sesuai 1. Pemeliharaan padang rumput untuk pengembalaan ternak.

Pemukiman IIs - - Sesuai 1. Setiap Pembangunan prasarana fisik diharapkan adanya pembuatan kebun pekarangan (Tanaman hias dan obat-obatan)

Kebun campuran VIIe 338583,3 Hampir tidak miskin

Tdk Sesuai 1. Pemeliharaan Vegetasi Penutupan Lahan

2. Kebun campuran tanaman tahunan dan semusim

3. Menerapkan teknik konservasi tanah seperti membuat teras

Kebun Sayur VIIe 628333,3 Tidak miskin Tdk Sesuai 1. Pemanfaatan sistem agroforestry dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu

2. Menerapkan teknik konservasi tanah seperti membuat teras

Semak Belukar VIIe - - Tdk Sesuai 1. Rehabilitasi dan reboisasi lahan sesuai dengan jenis tanah pada lahan

2. Menerapkan teknik konservasi tanah baik secara vegetatif maupun secara mekanik

Page 67: BAB 1 Pendahuluan - Copy

Berdasarkan Tabel 11. Terdapat enam sampel pengamatan yaitu hutan

lindung, penggembalaan, pemukiman, kebun campuran, kebun kayur, dan

semak belukar. Dari keenam sampel tersebut ada tiga sampel yang memiliki

kesesuaian penggunaan lahan yaitu hutan lindung pengembalaan dan

pemukiman. Wilayah yang didominasi oleh semak belukar, kebun campuran,

dan kebun sayur setelah dianalisis memiliki ketidaksesuaian arahan

penggunahan lahan.

Tabel di atas juga memberikan informasi mengenai analisis

pendapataan masyarakat. Berdasarkan analisis tersebut didapatkan bahwa

hanya kegiatan berkebun sayur yang mampu memberikan tingkat

kesejahteraan yang baik (tidak miskin) bagi masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa arahan

penggunaan lahan bagi lahan yang telah sesuai arahan penggunaan

lahannya adalah proses pemeliharaan vegetasi penutupan lahan. Sehingga

arahan fungsi kawasan hutan dapat terjaga. Sedangkan untuk penggunaan

lahan yang tidak sesuai, direkomendasikan untuk melaksanakan kegiatan

rehabilitasi lahan pada lahan-lahan masyarakat. Proses rehabilitasi lahan

masyarakat ini dilakukan dengan cara tidak merusak pola aktifitas

masyarakat sebelumnya. Arahan penggunaan lahan tersebut memerlukan

model pengelolaan lahan yang mampu mengkombinasikan secara efektif

antara tanaman kayu-kayuan dengan aktifitas masyarakat sebelumnya.

Page 68: BAB 1 Pendahuluan - Copy

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Desa Jenetallasa memiliki enam Pola Pengunaan lahan yaitu

Pemukiman dengan kelas kemampuan lahan IIs, dan Pengembalaan

dengan kelas kemampuan lahan VIe dan Hutan lindung, Kebun

campuran, Kebun sayur dan Semak belukar dengan kelas kemampuan

VIIe.

2. Penggunaan lahan yang sesuai pada kelas kemampuan lahan adalah

Hutan, Pengembalaan dan Pemukiman sedangkan penggunaan lahan

yang tidak sesuai pada kelas kemampuan lahan adalah Kebun

Campuran, Kebun sayur, dan Semak belukar.

3. Penggunaan lahan yang tidak sesuai, direkomendasikan untuk

melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan pada lahan-lahan

masyarakat. Proses rehabilitasi lahan masyarakat ini dilakukan dengan

cara tidak merusak pola aktifitas masyarakat sebelumnya. Arahan

penggunaan lahan tersebut memerlukan model pengelolaan lahan yang

mampu mengkombinasikan secara efektif antara tanaman kayu-kayuan

dengan aktifitas masyarakat sebelumnya.

B. Saran

Diperlukan suatu kebijakan dari Pemerintah untuk merehabilitasi dan

memonitoring lahan pada Sub DAS Kelara, Demi keberlanjutan DAS

Page 69: BAB 1 Pendahuluan - Copy

Kedepannya mengingat Jenetallasa merupakan Desa Bagian Hulu DAS

Kelara (catchment area ), sehingga pemerintah dan masyarakat dapat

mengantisipasi kerusakan lahan yang akan berdampak pada kualitas DAS

tersebut.

Page 70: BAB 1 Pendahuluan - Copy
Page 71: BAB 1 Pendahuluan - Copy