bab 1 daftar pustaka
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lapkas anestesi rsu cut meutiaTRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan
yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Indeks masa tubuh (IMT) dapat
ddipakai sebagai indeks sederhana untuk mengklasifikasikan kelebihan berat
badan dan obesitas. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam
kilogram dibagi kuadrat tinggi badan meter, jika IMT lebih besar atau sama
dengan 30 dapat dikategorikan sebagai obesitas (WHO, 2015). Obesitas
merupakan masalah kesehatan utama dengan konsekuensi yang jelas seperti
peningkatan risiko penyakit arteri koroner, hipertensi, displidemia, diabetes
melitus, penyakit kandung empedu, penyakit sendi degeneratif, obstructive sleep
apnea (OSA), tromboemboli, mengurangi penyembuhan luka, dan gangguan
sosial ekonomi dan psikososial (Dise, 2010). Berdasarkan laporan World Health
Organization (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2014 lebih dari 1,9 miliar
orang dewasa pada usia 18 tahun dan usia lebih tua mengalami kelebihan berat
badan, dari jumlah tersebut lebih dari 600 juta mengalami obesitas. Sebagian
besar populasi dunia tinggal di negara di mana kelebihan berat badan dan obesitas
mengalami kematian lebih banyak dibandingkan dengan orang memiliki berat
badan normal ataupun kurus (WHO, 2015). Depkes RI melaporkan bahwa
prevalensi gemuk dan obesitas penduduk usia di atas 18 tahun pada tahun 2010
menunjukkan angka yang cukup tinggi, terdapat 21,7% penduduk usia di atas 18
tahun yang masuk golongan gemuk dan obesitas. Prevalensi gemuk dan obesitas
lebih banyak diderita oleh perempuan, laki-laki memiliki prevalensi 16,3%
1

2
sedangkan perempuan memiliki prevalensi 26,9%. Sementara untuk prevalensi
kurus sebesar 12,6% dan prevalensi normal sebesar 65,8% (Depkes RI, 2011).
Pasien obesitas menyajikan banyak tantangan untuk ahli anestesi dan ahli
bedah. Setiap kali seorang pasien obesitas mengalami operasi bariatric (operasi
penurunan berat badan) atau operasi non-bariatric, perubahan fisiologis dan
mekanik pada pasien harus dipertimbangkan (Dise, 2010). Pada obesitas terjadi
perubahan anatomi yang membuat manajemen jalan napas akan berbeda dengan
mereka tanpa keadaan obesitas. Tindakan intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan
peralatan dan teknik khusus. Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan
komordibitas yang serius dari obesitas yang sering diremehkan. Hal ini terkait
dengan kesulitan ventilasi masker efektif, peristiwa hipoksemia, iskemia arteri
koroner, aritmia dan kematian mendadak, yang semuanya dapat semakin berisiko
pada obat bius. Periode pasca operasi, post ekstubasi merupakan waktu yang
paling berbahaya karena sisa anestesi dan obat nyeri mengganggu pernapasan
yang dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia, memperburuk obstruksi, dan
mengarah pada hipoventilasi (Dority, Hassan & Chau, 2011).
Ahli anastesi juga harus mempertimbangkan penanganan pada
farmakokinetik dan famarkodinamik pada penderita obesitas. Berdasarkan berat
badan total, terkadang dapat menyebabkan over dosis obat terhadap pasien.
Sebaliknya, pemberian obat harus didasarkan pada berat badan ideal seseorang
sehingga dosisnya mencapai dosis subterapetik. Selain itu, perubahan output
jantung dan perubahan komposisi tubuh mempengaruhi distribusi sejumlah obat
anestesi. Pengecualian pada antagonis neuromuskular, pengurangan skala dosis
obat kebanyakan pada obat-obat anastesi opioid dan agen anestesi induksi.

3
Meningkatnya kejadian obstruktif sleep apneu dan pengendapan lemak di dinding
faring dan dada menyebabkan terjadinya risiko pernapasan yang buruk untuk agen
anestesi, sehingga mengubah kerja dari farmakodinamik beberapa obat. Hal ini
memberi tantangan pada anestesi umum untuk menggunakan induksi agen,
opioid, inhalasi dan blocker neuromuscular secara efektif dan aman bagi pasien
obesitas yang disertai gangguan lainnya (Ingrend and Lemmens, 2010).

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi dan klasifikasi obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas dinilai
dengan mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh (IMT)
merupakan metode sederhana dan sangat baik untuk pengukuran langsung lemak
tubuh(CDC, 2010).
Berdasarkan indeks masa tubuh, obesitas didefinisikan sebagai IMT >30
kg/m2. Obesitas morbid didefinisikan sebagai body mass index (BMI) >40 kg/m2
atau >35 kg/m2 dengan adanya penyakit penyerta (komorbid) yang terkait dengan
obesitasnya (Reed, 2005). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan refleksi dari
presentase body fat mayoritas orang dewasa pada populasi besar dan universal.
Walaupun begitu, tingkat akurasi IMT menurun jika digunakan pada pengukuran
ibu hamil. Berikut ini adalah tabel klasifikasi IMT:
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan berdasarkan IMTKlasifikasi IMT
Berat badan kurang < 18,5Berat badan normal 18,5-24,9Berat badan lebih >25Pra obesitas 25-29,9Obesitas ≥30Obesitas tingkat I 30-34,9Obesitas tingkat II 35-39,9Obesitas tingkat III ≥40Sumber: WHO, 2015
4

5
Beberapa modifikasi WHO yakni IMT 35,0 lebih dengan adanya satu atau
lebih komorbiditas dimasukkan ke dalam obesitas kelas III. Untuk orang Asia,
ukuran overweight adalah antara 23-29,9, obesitas adalah IMT >30. Literatur ilmu
bedah membagi obesitas kelas III menjadi beberapa kategori (CDC, 2010):
1. IMT > 40,0 dimasukkan ke dalam kategori obesitas berat (severe)
2. IMT 40,0-49,9 dimasukkan ke dalam kategori obesitas morbid
3. IMT >50,0 dimasukkan ke dalam kategori obesitas super
Distribusi anatomi juga penting dalam menentukan risiko penyakit selain
dari jumlah lemak. Pada tipe sentral atau distibusi android yang lebih sering
terjadi pada laki-laki, lemak didistribusikan terutama di bagian tubuh atas dan
mungkin berhubungan dengan penyimpanan lemak intraabdominal atau viseral.
Tipe perifer atau ginekoid, lemak biasanya didistribusikan disekitar panggul,
bokong, dan paha serta pola ini umumnya terjadi pada perempuan. Jaringan
adiposa yang terletak disentral secara metabolik lebih aktif dibandingkan dengan
lemak yang terdistribusi di perifer dan berhubungan dengan komplikasi metabolik
seperti dislipidemia, intoleransi glukosa dan diabetes melitus, dan insiden
kematian yang lebih tinggi karena penyakit jantung koroner. Pasien obesitas
dengan tingginya proporsi lemak viseral lebih berisiko mengalami penyakit
kardiovaskular, disfungsi ventrikel kiri, dan stroke. Hal ini disebabkan oleh
jaringan adiposit dari intraabdomen secara metabolit lebih aktif yang
membebaskan asam lemak bebas ke dalam sirkulasi sirkulasi portal. Asam lemak
bebas dan radikal bebas mungkin secara langsung atau tidak langsung berperan
dalam terjadinya aterosklerosis prematur dan penyakit serebrovaskular (Patidar,
2013).

6
2.1.2 Etiologi
Penyebab obesitas dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut
(Depkes RI, 2012):
1. Faktor genetik
Faktor genetik diduga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya
peningkatan prevalensi kegemukan dan obesitas
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan terutama terjadi melalui ketidakseimbangan antara pola
makan, perilaku makan, dan aktivitas fisik. Pola makan yang mencetus terjadinya
kegemukan dan obesitas adalah mengkonsumsi makanan porsi besae (melebihi
dari kebutuhan), makanan tinggi energi, tinggi lemak, tinggi karbohidrat
sederhana dan rendah serat. Perilaku makan yang salah adalah tindakan memilih
makanan berupa junk food, makanan dalam kemasan, dan minuman ringan.
Kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktor penyebab terjadinya kegemukan
dan obesitas. Kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video game,
televisi, dan komputer menjadi penyebab seseorang malas melakukan aktivitas
fisik.
2.1.3 Perubahan fisiologi pada pasien obesitas
1. Sistem pernapasan
Berat badan dan meningkatnya BMI berhubungan dengan penurunan
volume paru-paru. Peningkatan BMI menurunakan volume ekspirasi paksa 1 detik
(FEV 1/ force expiratory volume 1 second), kapasitas fungsional residual (FRC/
fuctional residual capacity), dan volume cadangan ekspirasi (ERV/functional
residual capacity). Obesitas tipe sentral dikaitkan dengan memburuknya fungsi

7
paru-paru dan gejala pernapasan. Kelebihan berat badan pada dinding dada
anterior akibat dari obesitas dapat menurunkan compliance dinding dada dan daya
tahan otot pernapasan. Penumpukan jaringan adiposa di dinding perut anterior dan
jaringan viseral perut akan menghalangi gerakan diafragma, mengurangi ekspansi
paru selama inspirasi, hal ini akan menyebabkan kelainan ventilasi-perfusi dan
hipoksemia arteri. Perubahan ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan
prevalensi masalah pernapasan pada pasien obesitas, terutama dalam posisi
terlentang saat tidur dan perioperatif selama anestesi. Obesitas memegang peran
dalam terjadinya obstructive sleep apnoe dan sindrom hipoventilasi obesitas
(Zammit, Liddicoat, Moonsie, & Makker, 2010).
Obstructive sleep apnoe (OSA) ditandai dengan apnea obstruktif berulang
karena saluran napas atas kolaps saat tidur. Hal ini menyebabkan desaturasi
oksigen nokturnal dan mengantuk berlebihan pada siang hari. Kondisi ini dapat
diobati dengan penerapan continious positive airways pressure (CPAP) melalui
masker wajah atau hidung saat pasien tidur. Obesity hypoventilation syndrome
(OHS) merupakan kondisi kegagalan pernapasan yang berhubungan dengan
obesitas. Pasien OHS sering memiliki BMI yang lebih tinggi dan hiperkapnea
lebih parah pada siang hari dibandingkan dengan OSA. Desaturasi oksigen
nokturnal lebih besar dan sering terjadi. Hal ini menyebabkan kecenderungan
aktivasi simpatik, peningkatan stres oksidatif, dan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular. Hal ini diperparah oleh adanya sindrom metabolit. Hipoksemia
kronis pada siang hari dan hiperkapnea pada OHS dikaitkan dengan risiko tinggi
hipertensi pulmonal, gagal jantung kanan, dan kor pulmonal. Ventilasi non invasif
digunakan untuk mengobati pasien dengan gagal pernapasan hiperkapnea karena

8
OHS dan pasien yang gagal mendapat ventilasi adekuat dengan CPAP (Zammit,
Liddicoat, Moonsie, & Makker, 2010).
2. Sistem kardiovaskular
Penderita obesitas meningkatkan risiko terjadinya komplikasi
kardiovaskular dalam masa pembedahan. Peningkatan kebutuhan metabolik tubuh
berkaitan dengan kelebihan jaringan lemak sehingga menyebabkan perubahan
sistem kardiovaskular pada penderita obesitas. Hal ini menyebabkan terjadinya
polisitemia dan peningkatan aktivitas sistem renin- angiotensin yang berakibat
pada peningkatan jumlah volume total darah dan juga cardiac output yang
berlebihan (Pedotto and Alesia, 2011).
Penderita obesitas mengalami peningkatan di total berat badan dan massa
otot yang berkontribusi pada peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh, sehingga
berakibat pada total volume darah yang lebih besar. Volume darah yang
meningkat dan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik umumnya
mengakibatkan peningkatan curah jantung pada penderita obesitas. Isi sekuncup
jantung (stroke volume) ditingkatkan saat denyut jantung berubah. Tekanan
dinding ventrikel kiri pun meningkat akibat peningkatan volume sirkulasi,
sehingga menyebabkan kompensasi hipertrofi konsentris dan gangguan tekanan
diastolik dari waktu ke waktu. Hal ini juga dapat mengganggu tekanan
sistoliksehingga berakhir dengan hipertensi pulmonal. Penderita obesitas dengan
Obruktive sleep apneu juga berpotensi meningkatkan tekanan paru, kegagalan
ventrikel kanan, dan atrium disritmia (Gbr. 2.1). Untuk pasien yang diduga OSA,
skrining awal keadaan jantung-paru menggunakan elektrodiagram sangat
dianjurkan. Pemeriksaan penunjang berupa analisis gas darah, rontgen dada, dan

9
echocardiogram memberikan informasi yang lebih dalam tentang kelainan ini
sehingga pengoptimalan intervensi pra operasi dapat menurunkan risiko anestesi
perioperatif (Dority, Hassan and Chau, 2011).
Gambar 2.1 Perkembangan potensi perubahan pada pasien obesitas
Obesitas dianggap sebagai faktor risiko untuk beberapa penyakit jantung
seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung dan atrial fibrilasi. Pada beberapa
penelitian dijelaskan bahwa penyakit jantung koroner berhubungan dengan basal
mass index (BMI) yang tinggi dan lingkar pinggang yang besar, akan tetapi
perbandingan antara pinggang – pinggul dapat menggantikan BMI dan lingkar
pinggang untuk indikator yang lebih baik terhadap penyakit jantung coroner
(Mulhim, Al-Hussaini, Al-Jalal, Al-Moagal, and Al-Najjar, 2014).

10
Obesitas dikaitkan dengan berbagai komorbiditas, beberapa bahkan dapat
menyebabkan cacat atau kematian. Risiko ini semakin berkembang seiring dengan
meningkatnya BMI. Kardiolog mengevaluasi penderita dengan obesitas
severeraly yang dikonsultasikan pra bedah dengan mempertimbangkan
pernapasan teratur saat penderita tidur, dimana penderita dengan polisitemia
mengaku kebiasaan tidur mendengkur, sering terbangun dimalam hari, sering
masuk episode apneu, dan mengantuk pada siang hari. Tanda-tanda korpulmonal
harus diwaspadai pada penderita obesitas, karena dapat menyebabkan hipertensi
plmonal yang berakhir pada kegagalan ventrikel kiri, hipoksia akibat apneu
berulang, emboli paru. Aritmia jantung yang serius juga terkait (Poirier, et al.,
2009).
Volume darah, cardiac output, beban kerja ventrikel, pemasukan oksigen
dan produksi CO2 semuanya meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan hipertensi
sistemik dan hipertensi pulmonal, korpulmonal dan gagal jantung kanan.
Meskipun volume darah mutlak mengalami peningkatan, kaitannya dengan massa
tubuh sangat kecil, kira-kira mencapai 45 ml/ 21 kg. Aktivitas pada sistem renin
angiotensin dan polisitemia sekunder juga ikut meningkat karena pengaruh
volume darah yang berlebih. Darah didistribusikan terutama ke jaringan dengan
timbunan lemak yang berlebih, biasanya hal ini relatif tidak mengubah aliran
darah pada otak dan ginjal. Awalnya, terjadi peningkatan pengisian pada vetrikel
kiri dan kemudian terjadilah stroke volume. Hipertensi sistemik lazimnya 10 kali
berisiko pada penderita obesitas.Hal ini terjadi karena ventrikel kiri yang
berdilatasi menyebabkan stress pada dinding ventrikel kemudian terjadilah
hipertrofi dinding yang berakhir pada disfungsi diastolik (tekanan diastolik

11
meningkat pada saat pengisian ventrikel). Akibatnya, pada penderita obesitas akan
meningkatkan kejadian risiko gagal jantung dan cardiomiopati obesitas (disfungsi
sistolik) (Lotia & Bellami, 2008).
3. Sistem lainnya pada penderita obesitas
Beberapa komplikasi lainnya pada penderita obesitas termasuk didalamnya
diabetes, gangguan sistem endokrin dan osteoarthritis. Salah satu gangguan yang
paling umum terkait dengan obesitas adalah diabetes melitus tipe 2 yang
disebabkan oleh hiperinsulinemia dan retensi insulin. Pada hiperinsulinemia
sering terjadi retensi natrium, katekolamin yang berlebihan dan volume darah
yang meningkat. Penderita ini biasanya memiliki hipertrigliserida dan pemecahan
lipoprotein yang sedikit sehingga berisiko terjadinya sindrom metabolik yang
berakhir pada penyakit arteri coroner. Selain itu, penderita obesitas juga berisiko
terkena fibrosis, kolelitiasis dan kegagalan hati. Hal ini diakibatkan karena
perubahan lemak dalam hati dan peningkatan kolesterol tubuh sehingga
menyebabkan batu empedu terbentuk. Obesitas juga menjadi faktor risiko terberat
untuk osteoarthritis, dimana berat tubuh yang meningkat dapat menekan tulang
dan sendi. Sebuah studi juga menyatakan bahwa ada hubungan erat antara
kejadian kanker termasuk kanker esofagus, kolon, rektum, hati, prostat, payudara,
rahim, serviks, dan limfoma non Hodgkin, dimana diduga pencetusnya adalah
hormon estrogen yang berlebihan (Thompson, et al., 2011).

12
Gambar 2.2 Patologi Obesitas pada beberapa sistem tubuh
Selain itu, perubahan tekanan perut dari jaringan adiposa juga
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya hernia diafragma yang kemudian
menyebabkan aspirasi pneumonia. Sistem imun juga mengalami perubahan
berupa meningkatnya risiko peradangan yang disebabkan oleh jaringan adiposa
yang berlebihan, hal ini memicu makrofag mengeluarkan sitokin dan adipokin
seperti faktor nekrosis tumor, IL-1, IL-6 dan terjadilah mekanisme respon tubuh
(Dise, 2010).
Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor
resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien

13
obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonia aspirasi.
Adanya resiko aspirasi asam, maka ada keharusan diberikannya H2-receptor
antagonis, antasid dan prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan
tekanan pada krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh (Adams,
2000; Lotia & Bellamy, 2008). Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi
perhatian sehubungan dengan sistem gastrointestinal, diantaranya (Adams, 2000;
Lotia & Bellamy, 2008):
a. Diabetes mellitus.
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa
gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi
glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian
insulin pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah.
Kegagalan dalam menjaga konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi
pada luka operasi dan infark miokard pada periode iskemia miokard.
b. Penyakit tromboembolik.
Risiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan
karena imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen
dengan peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung
dan berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi
fibrinogen juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada
penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.

14
2.2 Anestesi Pada Pasien Obesitas
2.2.1 Preoperatif
Tampilan pasien obesitas yang akan menjalani operasi sebagian besar
relatif baik dan risiko perioperatif pada pasien hampir sama dengan pasien yang
memiliki berat badan normal. Para pasien yang memiliki risiko tinggi komplikasi
peri-operatif adalah obesitas sentral dan sindrom metabolik. Stratifikasi risiko
kematian bedah pada pasien obesitas yang dikenal dengan istilah the obesity
surgery mortality risk stratiffication score (OS-MRS) dilakukan untuk
mengindetifikasi faktor-faktor risiko yang terkait dengan kematian pasien
termasuk didalamnya sindrom metabolik dan gangguan pernapasan saat tidur.
Pasien dengan skor OS-MRS 4-5 lebih mungkin memerlukan pemantauan lebih
ketat pasca operasi. Risiko kematian pada kelas A (skor 0-1) adalah 0,2-0,3%,
kelas B (skor 2-3) adalah 1,1-1,5%, dan kelas C (skor 4-5) adalah 2,4-3%
(Nightingale et al., 2015)
Tabel 2.2 The obesity surgery mortality risk stratiffication score (OS-MRS) : Risk factor
Faktor Risiko SkorIMT> 50 kg/m2 1Laki-laki 1Usia > 45 tahun 1Hipertensi 1Faktor risiko emboli paru:
1. Riwayat tromboemboli vena2. Penggunaan penyaring vena
cava3. Hipoventilasi (gangguan
pernapasan saat tidur)4. Hipertensi pulmonal
Sumber: Nightingale et al., 2015

15
Manajemen preoperatif, persiapan, dan perencanaan merupakan kunci
keberhasilan anestesi pada pasien dengan obesitas. Penilaian secara rinci harus
dilakukan sebagai berikut:
1. Penilaian jalan napas
Pasien dengan obesitas memiliki potensi terjadinya sulit dalam
penggunaan masker ventiasi, laringoskop, dan intubasi. Pasien dengan obesistas
umumnya memiliki lidah yang besar, jaringan orofaringeal yang berlebihan,
keterbatasan sendi atlantoaksial yang disebabkan oleh bantalan lemak serviks dan
toraks, serta timbunan lemak presternal yang menghambat pergerakan laringoskop
dan meningkatkan kesulitan laringoskop direk (Doroty & Chau, 2011).
Faktor skor mallapati ≥3 dan besar lingkar leher > 40 cm dapat
meningkatkan kemungkinan sulitnya dilakukan pemasangan laringoskop. Lingkar
leher harus diukur setinggi kartilago tiroid. Diameter lingkar leher sebesar 50 cm
dapat meningkatkan risiko sulitnya intubasi sekitar 20%. Persentase ini meningkat
2 kali lipat jika diameter lingkar leher sebesar 60 cm. Jarak tiromental (TMD< 6
cm) dan pasien berjenis kelamin pria, merupakan prediktor lainnya dalam menilai
kesulitan jalan napas (Terkawi & Durieux, 2015).
Gambar 2.3 Mallapati
Sumber: Doroty & Chau, 2011

16
Setelah evaluasi jalan napas maka dapat ditarik kesimpulan salah satu
berikut akan tercapai yaitu pertama, intubasi endotrakeal kemungkinan besar
berhasil dengan laringoskopi direk sehingga jalan napas dapat diamankan setelah
induksis anestesi umum, atau kedua, intubasi endotrakeal akan sulit dengan
laringoskopi direk sehingga intubasi terjaga akan perlu dilakukan. Sebagian besar
jalan napas pasien obesitas dapat dikelola memadai setelah induksi anestesi
umum. Posisi pasien perlu dioptimalkan untuk manajemen jalan napas. Posisi
laringoskop dengan kepala ditinggikan (Head elevated laryngoscope position/
HELP) dengan menggunakan bantal untuk mengangkat tubuh bagian atas
sehingga meatus auditori eksteral dalam posisi dibidanng horizontal dengan
sternum (Doroty & Chau, 2011).
Jika menginduksi anestesi umum sebelum diintubasi, Preoksigenasi atau
denitrogenasi pasien sangat penting dalam persiapan untuk periode apnu yang tak
dapat dihindari dan potensi desaturasi oksigen sebelum mengamankan jalan
napas. Saat pasien kehilangan kesadaran, otot-otot faring dan lidah menjadi rileks
sehingga memungkinkan terjadinya oklusi jalan napas. Jalan napas melalui mulut
dan hidung sering diperlukan untuk mempertahankan jalan napas yang paten dan
utnuk memfasilitasi masker ventilasi. Pasien obesitas dengan kelebihan jaringan
lunak di wajah, penggunaan teknik 2 tangan untuk ventilasi masker lebih efektif, 1
pada tiap sisi wajah mengangkat mandibula ke arah masker sehingga menutup
dengan baik saat orang kedua melakukan bagging. Masker ventilasi akan menjaga
oksigen dan ventilasi pasien pada kasus gagal intubasi. Jika terjadi jalan napas
yang sulit dimana ventilasi dan intubasi sulit dilakukan, maka penggunaan masker

17
saluran udara laring (Laringeal mask airway) dianggap sebagai alat untuk
menyelamatkan pasien dengan ventilasi yang sulit (Doroty & Chau, 2011).
2. Penilaian Pernapasan
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas.
Pada pasien obesitas terjadi penurunan dari compliance dinding dada akibat
deposisi jaringan adiposa di dada dan perut, penurunan compliance paru yang
disebabkan oleh peningkatan aliran darah paru dan viskositas serta terjadi
hipoksemia kronis. Penurunan dari compliance paru menyebabkan penurunan
kapasitas residu fungsional (Fungtional Residual Capacity/FRC). Pada pasien
obesitas posisi tidur terlentang dapat memperburuk dari ventilasi. Selain itu, pasien
obesitas mengalami peningkatan konsumsi oksigen yang dikaitkan dengan
kebutuhan metabolit. Hasil klinis dari faktor diatas adalah desaturasi oksigen yang
cepat pada arteri dengan apnu pada induksi anestesi. Teknik yang digunakan untuk
mengoptimalkan sistem pernapasan pada pasien obesitas meliputi posisi kepala,
pemberian positive end expiratory pressure (PEEP), volume tidal yang lebih besar,
dan fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (Doroty & Chau, 2011).
Pemeriksaan harus disesuaikan dengan pasien tergantung pada
komorbiditas, jenis, dan urgensi operasi. Pemeriksaan dasar yang harus dilakukan
pada pasien adalah darah lengkap, elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hati.
Pemeriksaan analisis gas darah arteri berguna untuk pasien yang dicurigai
komorbiditas pernapasan seperti (OSA, sindrom hipoventilasi, dan penyakit paru
lainnya) (Lotia, 2008). Banyak pasien obesitas terdiagnosis sebagai OSA.
Kuesionar STOP BANG merupakan kuesioner yang sudah divalidasi pada pasien
obesitas untuk menskirining adanya gangguan napas saat tidur. Pasien dengan

18
nilai skor STOP BANG 5 atau lebih mengindikasikan kemungkinan adanya
gangguan napas saat tidur yang signifikan. Bahkan pasien dengan nilai STOP
BANG yang rendah namun terdapat riwayat sakit kepala pagi hari, dan pada
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) terdapat bukti hipertrofi atrium kanan hal
ini menunjukkan adanya gangguan napas saat tidur.
Tabel 2.3 Skor STOP BANGSnoring Apakah anda mendengkur keras (lebih
keras daripada berbicara atau terdengar melalui pintu yang tertutup?)
Tired Apakah anda sering merasa lelah atau mengantuk pada siang hari? apakah anda tertidur saat siang hari?
Observed Apakah ada yang mengamati anda ketika anda berhenti bernapas atau tersedak atau terengah-engah saat tidur?
Blood Pressure Apakah anda memiliki riwayat hipertensi atau sedang menjalani terapi untuk hipertensi?
BMI BMI> 35 kg/m2
Age Usia > 50 tahunNeck Lingkar> 43 cm pada laki-laki dan >16
cm untuk perempuanGender PriaSumber: Nightingale et al., 2015
3. Penilaian kardiovaskular
Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit sistem
kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi hingga gagal jantung. Pada pasien
obesitas yang berisiko OSA cenderung memiliki tekanan paru yang tinggi, gagl
ventrikel kanan dan disritmia atrial. Pasien yang diduga OSA pemeriksaan EKG,
riwayat serta status fungsional dari kardiopulmonal merupakan bagian dari
skrining awal (Doroty & Chau, 2011).

19
4. Penilaian gastrointestinal
Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti dengan pneumonia
aspirasi lebih tinggi pada pasien obesitas. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu peningkatan tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume
asam lambung, dan pH lambung yang rendah (Lotia, 2008). Risiko aspirasi asam
lambung dapat dicegah dengan pemberian agen prokinetik, antagonis reseptor H2,
atau proton pump inhibitor pada saat premedikasi (Doroty & Chau, 2011).
2.2.2 Intraoperatif
1. Farmakologi perioperatif
Perubahan farmakokinetik pada pasien obesitas sangat kompleks dan
penentuan dosis yang tepat untuk pasien obesitas merupakan tantangan besar
karena banyak pemahaman kita mengenai dosis dan farmakokinetik obat berasal
dari pasien yang tidak obesitas. Potensi terjadinya kesalahan dalam perhitungan
dosis meningkat diakibatkan peningkatan curah jantung, volume cairan
ekstraseluler, massa lemak, dan berat badan tanpa lemak. Cadangan lemak yang
banyak akan meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut dalam lemak.
Dosis obat seperti ini dihitung berdasarkan berat badan total, sedangkan obat-
obatan yang tidak larut dalam lemak dihitung berdasarkan berat badan tanpa
lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui jenis obat-obatan yang larut dalam lemak
dan yang larut dalam air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut dihitung
berdasarkan berat badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat badan
ideal (Cullen & Ferguson, 2012).
Tabel 2.4 Rumus perhitungan berat badanJenis berat badan Rumus perhitungan
Ideal Body Weight (IBW) 45,4 + 0,89 x (tinggi dalam cm - 152,4) untuk perempuan

20
49,9 + 0,89 x (tinggi dalam cm – 152,4) untuk laki-laki
Lean Body Weight (LBW) (1,07 x TBW) – (0,0148 x BMI x TBW) untuk perempuan(1,10 x TBW) – (0,0128 x BMI x TBW) untuk laki-lakiAtau(9.720 x TBW)/(8.780 + (244 x BMI)) untuk perempuan(9.270 x TBW)/(6.680+ (216 x BMI)) untuk laki-laki
Sumber: Cullen & Ferguson, 2012
Tabel 2.5 Skala dosis obat dengan menggunakan berat badan yang sering digunakan dalam operasi
Obat Dosis berat badanThipental sodium LBWPropofol LBW(Induction bolus)
TBW (Maintenance Infusion)Etomidate LBWSuccinylcholine TBWPancuronium IBWRocuronium IBWVecuronium IBWCisatracurium IBWFentanyl LBWAlfentanil LBWRemifentanil LBWMidazolam TBW (Bolus dose)
IBW (Infusion)Paracetamol LBWNeostigmin TBWSugammadex TBW atau IBW + 40%Enoxaparin (Venous tromboembolism profhylaxis
TBW 0.5 mg/kgbb
Sumber: Cullen & Ferguson, 2012
2. Induksi anestesi umum
Umumnya dokter anestesi memilih untuk menginduksi anestesi di meja
operasi agar masalah pengangkutan pasien obesitas yang telah dibius dapat
dihindari, selain itu dapat mengurangi desaturasi arteri dan accidental awwareness
under anaesthesia (AAGA) terkait putusnya sistem pernapasan selama

21
pemindahan. Selama induksi anestesi, pasien harus diposisikan ramping position,
posisi dimana letak tragus dari telinga sejajar dengan sternum. Hal ini akan
meningkatkan mekanika paru sehingga membantu oksigenasi dan ventilasi.
Setelah pasien diposisikan, maka perhatikan bagian-bagian tubuh yang tertekan
selama operasi untuk menghindari kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi
vena cava inferior harus dihindari dengan cara sedikit memiringkan meja operasi
ke kiri atau meletakkan sanggahan dibawah pasien. Monitoring tekanan darah
arteri invasif dilakukan pada hampir semua operasi. Jika manset non invasif yang
akan digunakan, maka harus disesuaikan ukurannya. Pulse oksimetri,
elektrokardiograf, kapnografi, dan pemantauan blok neuromuskular harus
dilakukan. Akses intra vena seringkali sulit pada pasien obesitas, akses vena
sentral dilakukan jika akses perifer tidak dapat dilakukan (Nightingale et al., 2015;
lotia, 2008; Adam & Murphy, 2000).
Gambar 2.4 Ramping position untuk pasien obesitasSumber: Nightingale et al., 2015

22
3. Regional anastesi
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak
perlunya dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada operasi
thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi
anestesi umum. Hal ini lebih bermanfaat dibandingkan hanya digunakan anestesi
umum, termasuk mengurangi penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi,
komplikasi pulmonal pascaoperasi, peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi,
dan manfaat lainnya. Secara teknik, anestesi regional pada pasien obesitas
menantang karena sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak.
Blok saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan dengan bantuan stimulator
saraf dan jarum insulasi. Anestesi spinal dan epidural lebih mudah dilakukan pada
posisi berdiri dan menggunakan jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound
dapat diidentifikasi ruang epidural dan menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang
benar. Ada beberapa dokter anestesi yang lebih menyukai kateter epidural telah
terpasang sehari sebelum operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan
memudahkan pemberian profilaksis heparin pada pagi hari waktu operasi.
Anestesi lokal yang dibutuhkan pada saat melakukan anestesi spinal atau epidural
diturunkan hingga 80% mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan meningkatnya
volume darah yang disebabkan tekanan intraabdomen menyempitkan ruang
epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan blokade yang lebih
tinggi atau menyebarnya anestesi lokal tersebut. Blokade diatas thorakal V akan
menyebabkan gangguan respirasi dan blokade otonom pada sistem
kardiovaskular. Dalam keadaan ini, dibutuhkan penggantian anestesi menjadi

23
anestesi umum dengan peralatan yang cukup dan bantuan orang lain untuk
penanganan adekuat (Ingrande, Brodsky & Lemmens, 2009).
2.2.3 Post operatif
1. Ekstubasi
Apabila pasien telah pulih dari efek depresan obat anestesi, maka
dilakukan ekstubasi. Secara ideal pasien dengan obesitas harus terbangun dalam
kondisi kepala yang dinaikkan pada posisi duduk. Riwayat OSA membutuhkan
monitoring post-operatif yang lebih untuk meyakinkan pemeliharaan patensi jalan
nafas atas dan oksigenasi serta ventilasi yang cukup. Ekstubasi hanya boleh
dilakukan ketika pasien sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery Room dengan
posisi duduk 45 derajat. Oksigen tambahan segera diberikan dan dilatih untuk
bernapas seperti biasa (Hines dan Marschall, 2013).
2. Transport
Transport pasien dilakukan ketika pasien terbangun pada posisi semi-
upright dan menerima oksigen (Hines dan Marschall, 2013).
3. Analgesia Post-operatif
NSAID sangat efektif diberikan sebagai regimen analgesia post-
operatif.Acetaminophen, opioid analgesia yang terkontrol, atau regional anestesi
juga berguna untuk analgesia post-operatif (Lotia dan Bellamy, 2008).
4. Komplikasi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan
fungsi paru preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama
pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap obat
sedatif, analgesik opioid dan anestesi meningkat. Pemberian ventilasi

24
pascaoperasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut, selain dapat
diberikan pada mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui
sebelumnya, retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi
dalam waktu lama atau mengalami pyrexia pasca operasi.
5. Risiko infeksi
Obesitas merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi infeksi
pasca operasi. Pasien dengan obesitas lebih mungkin untuk infeksi dalam aliran
darah, kulit dan jaringan lunak, infeksi luka, dehisensi luka, infeksi urinaria, dan
mungkin infeksi paru-paru. Hal ini mungkin berhubungan dengan efek gabungan
obesitas terkait disfungsi imun dengan perfusi jaringan dan dosis antimikroba
yang mungkin tidak adekuat, tetapi efek dari komorbiditas seperti diabetes tidak
boleh dilipakan. Obesitas dan inflamasi kronik yang menyertai mengubah jumlah
dan fungsi sel T dendritik epidermal yang bertanggung jawab untuk fungsi barier
kulit dan reepitalisasi luka, yang menyebabkan luka kurang efisien untuk sembuh.
Sel ini juga berperan dalam regulasi inflamasi luka. Peningkatan level FFA
menekan fungsi sel T dan mengurangi efektivitas sinyal reseptor sel T. Paparan
berkelanjutan meningkatkan level leptin pada obesitas yang mengurangi respon
sel imun untuk merangsang efek zat ini – mereka bergabung dengan jaringan dan
organ lain menjadi resisten leptin.
Agar peningkatan kerentanan terhadap infeksi menjadi terkontrol, perlu
perhatian yang seksama agar asepsis dan pemberian antimikroba preoperatif harus
diberi batas waktu hari-hati dan dosis obat harus dipertimbangkan dengan benar
untuk memastikan level plasma dan jaringan yang adekuat. Penelitian berkualitas
tinggi dibidang ini tidak ada. Kontrol gula darah harus adekuat selama periode

25
perioperatif dan rumah sakit harus memiliki protap di tempat untuk menentukan
target dan regimen pengobatan (The Association of Anaesthesists of Great Britain
and Ireland, 2007).
6. Mobilisasi
Mobilisasi dini adalah target inti program pemulihan yang ditingkatkan
dan ini harus berlaku sama untuk pasien bedah yang obesitas. Mobilisasi akan
mengurangi komplikasi pernapasan, tekanan vena tromboembolisme dan
kerusakan kulit yang terkait. Anestesi epidural tidak harus dianggap penghalang
untuk mobilisasi, meskipun pasien harus diawasi dan penilaian range blockade
motor harus dibuat jika infus anastesi local yang digunakan. Mobilisasi awal yang
agresif melibatkan banyak tenaga kerja dan sumber daya (The Association of
Anaesthesists of Great Britain and Ireland, 2007).

26
BAB 3KESIMPULAN
Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan
yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan. Indeks masa tubuh (IMT) dapat
ddipakai sebagai indeks sederhana untuk mengklasifikasikan kelebihan berat
badan dan obesitas. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam
kilogram dibagi kuadrat tinggi badan meter, jika IMT lebih besar atau sama
dengan 30 dapat dikategorikan sebagai obesitas. Obesitas memiliki risiko tinggi
utnuk operasi dan anestesi sehingga menjadi tantangan, karena pada pasien
obesitas terjadi perubahan fisiologis berupa sistem respirasi, kardiovaskular dan
sistem lainnya. Tindakan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang adekuat
adalah kunci kesuksesan suatu operasi. Pada saat preoperatif, pasien dipersiapkan
dengan baik mulai dari monitoring berat badan pasien, menilai faktor risiko dan
mortalitas dari pasien serta melakukan penilaian terhadap jalan napas, pernapasan,
kardiovaskular serta gastrointestinal pasien. Hal yang penting dilakukan pada
intraoperatif yaitu penentuan dosis yang tepat bagi pasien dan penentuan jenis
anestesi yang akan dilakukan. Post operatif juga tidak boleh dilupakan, pada
pasien obesitas perlu diperhatikan adanya komplikasi post operasi seperti risiko
komplikasi paru dan infeksi, pemberian analgesia post operasi, serta diharapkan
pasien dapat mobilisasi dini sebagai target dari program masa pemulihan serta
mengurangi risiko komplikasi pernapasan, tekanan vena thromboembolisme dan
kerusakan kulit yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, JP & Murphy, PG 2000, ” Obesity in anesthesia and intensive care”, BJA, dilihat 13 Desember 2015, http://bja.oxfordjournals.org.
Centers of Disease Control and Prevention 2010, Obesity and Consequences, dilihat 9 Desember 2015, http://www.cdc.gov/
Cullen, A & Ferguson, A 2012, “Perioperative management of the severely obese patient: a selective pathophysiological review”, Canadian journal anesthesy.
Dise, KR 2010, “Anesthetic challenges of obesity: Planning for the worst while providing the best”, JLGH, vol. 5, no. 1, dilihat 9 Desember 2015, http://www.jlgh.org.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2011, Gawat 21,7 Persen Penduduk Indonesia Alami Obesitas, dilihat 9 Desember 2015, http://gizi.depkes.go.id.
Doroty, J, Hassan, ZU, & Chau, T 2011, “Anesthetic implication of obesity in the surgical patient”, NCBI, vol. 24, no. 4, dilihat 9 Desember 2015, http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Hines, RL & Marschall, KE, 2013, Nutritional Diseases- Obesity and Malnutrition, Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease, Elsevier, Philadelphia.
Ingrande & Lemmens, 2010, “Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly obese”, BJA,dilihat 13 Desember 2015, http://bja.oxfordjournals.org
Ingrande J, Brodsky JB & Lemmens HJM 2009, “Regional Anesthesia and Obesity”, COA, dilihat 14 Desember 2015, http://www.csen.com
Lotia, S & Bellamy, MC 2008, “Anaesthesia and morbid obesity”, CEACCP, vol. 8, no. 5, dilihat 13 Desember 2015, http://ceaccp.oxfordjournals.org.
Mulhim, AS, Al-Hussaini, HA, Al-Jalal, BA, Al-Moagal, RO, & Al-Najjar, SA 2014, “Obesity disease and surgery”, International Journal of Chronic Diseases.
Nightingale, CE, Margarson, MP, Shearer, E, Redman, JW, Lucas, DN, Cousins, JM, Fox, WTA, Kennedy, NJ, Venn, PJ, Skues, M, Gabbott, D, Misra, U, Pandit, JJ, Popat, MT & Chair, RG 2015, “Perioperative management of the obese surgical patient 2015”, JAAGBI, vol.70, no. 7, dilihat 13 Desember 2015, http://onlinelibrary.wiley.com
27

28
Patidar, OP 2013, “Higher prevalence rate of CHD in apple type of obesity cases as compared to pear type obesity cases”, Indian journal of clinical practice, vol. 23, no. 12.
Pedotto & Alesia 2011, Lung Physiology and Obesity: Anesthetic Implications for Thoracic Procedures, Anesthesiology Research and Practice.
Poirier, P., Alpert, M, A., Fleisher, L, A., Thompson, P, D., et all. 2009, Circulation (American Heart Assosiation), “Cardiovascular Evaluation and Management of Severely Obese Patients Undergoing Surgery A Science Advisory From the American Heart Association”, page 86-95, Downloaded from http://circ.ahajournals.org/ by guest on December 10, 2015.
Reed, AP. 2005. Morbid Obesity. Clinical Case in Anesthesia Third Edition, Elsevier, Philadelphia.
Terkawi, AS & Durieux, ME 2015, Perioperative anesthesia care for obese patients, Applied Anesthesiologi News, dilihat 13 Desember 2015, http://anesthesiologynews.com
The Association of Anaesthesists of Great Britain and Ireland 2007, Peri-Operative Management of The Morbidly Obese Patient, London: The Association of Anaesthesists of Great Britain and Ireland.
Thompson, J,. Bordi, S,. Boytim, M,. et al, 2011. AANA Journal Course, “management for bariatric surgery”, vol. 79, No.2, April 2011, page 147-160, www.aana.com/aanajournalonline.aspx. Access on December 10, 2015
World Health Organization 2015, Obesity and Overweight, dilihat 9 Desember 2015, http://www.who.int.
Zammit, C, Liddicoat, H, Moonsie, I & Makker, H 2010, “ Obesity and respiratory disease”, IJGM, dilihat 13 Desember 2015, http://www.ncbi.nlm.nih.gov.