bab 1 + bab 2

27
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit atopi selain dermatitis dan alergi makanan, yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma termasuk salah satu dari penyakit kronis yang diestimasikan menjangkit hampir 300 juta jiwa di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini (GINA, 2012). Sedangkan WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sebesar 180.000 orang setiap tahun. Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 5-7% (Sudoyo et al. 2009:404). Hal ini sesuai dalam KEPMENKES (2008) yang menunjukkan prevalensi di beberapa kota di Indonesia, antara lain, kota Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar menunjukkan prevalensi asma pada anak SD berkisar 3,7%- 6,4% serta terjadi peningkatan sekitar 8% dari tahun 1995-2003. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2012). Insidensi tertinggi biasanya mengenai anak-anak (7-10%) yaitu umur 5-14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma

Upload: sabila-fajrin

Post on 25-Nov-2015

29 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

17

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangAsma merupakan salah satu penyakit atopi selain dermatitis dan alergi makanan, yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma termasuk salah satu dari penyakit kronis yang diestimasikan menjangkit hampir 300 juta jiwa di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini (GINA, 2012). Sedangkan WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sebesar 180.000 orang setiap tahun. Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 5-7% (Sudoyo et al. 2009:404). Hal ini sesuai dalam KEPMENKES (2008) yang menunjukkan prevalensi di beberapa kota di Indonesia, antara lain, kota Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar menunjukkan prevalensi asma pada anak SD berkisar 3,7%-6,4% serta terjadi peningkatan sekitar 8% dari tahun 1995-2003. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2012). Insidensi tertinggi biasanya mengenai anak-anak (7-10%) yaitu umur 5-14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma relatif lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010).Prevalensi asma dipengaruhi oleh beberapa faktor selain status atopi dan usia. Faktor lain yang juga mempengaruhi prevalensi asma antara lain, jenis kelamin, faktor keturunan, serta faktor lingkungan (Sudoyo et al. 2009:404). Faktor lingkungan seperti nutrisi pada bayi berperan penting bagi perkembangan atopi selanjutnya. Intervensi nutrisi dini dapat dilakukan semenjak di dalam kandungan atau setelah lahir. Hal ini membuka peluang untuk mencegah atau menunda munculnya alergi pada bayi (Greer et al. 2008:185).WHO pada tahun 2001 merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan yang dilanjutkan dengan pemberian makanan padat. Rekomendasi ini bertujuan untuk mengurangi angka kematian bayi di negara berkembang, karena salah satu manfaat pemberian asi ekslusif sampai usia 4-6 bulan menurunkan terjadinya infeksi pada saluran pencernaan. Rekomendasi WHO disusul oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/SK/MENKES/VIII/2004 yaitu penetapan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.Definisi ASI eksklusif yang dipakai adalah definisi dari WHO, yakni pemberian 100% ASI saja tanpa cairan atau makanan padat kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan (Fikawati dan Syafiq, 2010:18). Sehingga sewajarnya bayi dalam rentan usia 0-6 bulan tidak mendapat makanan padat apapun karena beberapa peneliti menyebutkan bahwa pemberian makanan padat awal pada rentan usia 0-6 bulan dapat meningkatkan sensitisasi dalam tubuh bayi yang nantinya akan berdampak pada insidensi penyakit atopi, salah satunya asma (Barlianto et al. 2009:111). Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menelaah lebih lanjut mengenai dampak penundaan pemberian makanan padat pada bayi rentang usia 0-6 bulan terhadap risiko timbulnya kejadian asma.

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah karya tulis ilmiah ini adalah bagaimana dampak penundaan pemberian makanan padat pada bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI terhadap risiko timbulnya kejadian asma?

1.3Tujuan dan ManfaatTujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui dampak pemberian penundaan makanan padat pada bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI terhadap risiko timbulnya kejadian asma.

Sedangkan manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini sebagai berikut.a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun peraturan pelaksana lebih lanjut terkait dengan program ASI Eksklusif 6 bulan dan upaya promosi program ASI Eksklusif 6 bulan.b. Sebagai referensi bagi masyarakat dalam pemahaman mengenai pentingnya ASI Ekslusif dan upaya menghindari mitos mengenai pemberian makanan padat sebelum usia 6 bulan.c. Sebagai acuan bagi ibu menyusui pasca-partus dalam meningkatkan rasa percaya diri dalam hal pemberian ASI Ekslusif.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASI Eksklusif 2.1.1 DefinisiASI (Air Susu Ibu) adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya. Definisi dari WHO, yakni pemberian 100% ASI saja tanpa cairan atau makanan padat kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan (Fikawati dan Syafiq, 2010:18). Dalam Bab I pasal 1 ayat 2 PP Nomor 33 tahun 2012, pengertian ASI eksklusif yakni ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu minimal 4 bulan dan akan lebih baik lagi apabila diberikan sampai bayi berusia 6 bulan. Setelah bayi berusia 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, dan pemberian ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun (Roesli, 2000:3).

2.1.2 KandunganMenurut Yuliarti (2010:7), banyak sekali zat gizi yang ada dalam ASI sehingga makanan tersebut tidak boleh dilewatkan. Kandungan yang terdapat di dalam ASI, antara lain:a. ASI mengandung 88,1% air sehingga ASI yang diminum bayi selama pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi dan sesuai dengan kesehatan bayi, bayi baru lahir hanya mendapat sedikit ASI pertama (kolostrum-cairan kental kekuningan) tidak memerlukan tambahan cairan karena bayi dilahirkan dengan cukup cairan di dalam tubuhnya. ASI dengan kandungan air yang lebih tinggi biasanya akan keluar pada hari ketiga atau keempat;b. ASI mengandung bahan larut yang rendah. Bahan larut tersebut terdiri dari 3,8% lemak, 0,9% protein, 7% laktosa, dan 0,2% bahan-bahan lain. Salah satu fungsi utama air adalah untuk menguras kelebihan bahan-bahan larut melalui air seni. Zat-zat yang dapat larut (misalnya, sodium, potassium, nitrogen, dan klorida) disebut sebagai bahan-bahan larut. Ginjal bayi yang pertumbuhannya belum sempurna hingga usia 3 bulan mampu mengeluarkan kelebihan bahan larut lewat air seni untuk menjaga keseimbangan kimiawi di dalam tubuhnya. Karena ASI mengandung sedikit bahan larut, maka bayi tidak membutuhkan banyak air seperti layaknya anak-anak atau orang dewasa.ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan faktor pertumbuhan, antialergi, serta antiinflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan. Unsur ini mencakup hidrat arang, lemak, protein, vitamin, dan mineral dalam jumlah yang proporsional. Kandungan hormon ASI jumlahnya sedikit, tetapi sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan sistem metabolisme, antara lain hormon GKF, GnRH, kalsitonin, insulin, neurotensin, oksitosin, steroid ovarium, prolaktin, relaksin, somatostamin, triiodotironin, tiroksin, TRJ, TSH, steroid adrenal, dan faktor pertumbuhan (epidermal growth factor, human milk growth factors I, II, III, mammary derived growth factor I, nerve growth factor, transforming growth factor, colony stimulating factor, dan, bifidus growth factor). Faktor kekebalan nonspesifik dalam ASI mencakup laktobasilus, bifidus, laktoferin, lisozamin, dan laktoperoksida, sedangkan yang spesifik mencakup sistem komplemen dan imonoglobulin seluler. Hidrat arang yang merupakan nutrisi vital untuk pertumbuhan sel saraf otak dan pemberi kalori untuk kerja sel-sel saraf, memudahkan penyerapan kalsium, mempertahankan faktor bifidus di dalam usus, dan mempercepat pengeluaran kolostrum sebagai antibodi (Purwanti, 2004:5-6).

2.1.3 ManfaatPemberian ASI secara mutlak penting dilakukan, mengingat manfaat yang akan diperoleh si bayi. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) hal ini untuk menghindari alergi dan menjamin kesehatan bayi secara optimal. Karena di usia ini, bayi belum memiliki enzim pencernaan sempurna untuk mencerna makanan atau minuman lain. Meski begitu, kebutuhan si buah hati akan zat gizi akan terpenuhi jika mengonsumi ASI.Hasil penelitian dari Oxford University dan Institute for Social and Economic Research sebagaimana dilansir Daily Mail, menyebutkan bahwa anak bayi yang mendapat ASI Eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang lebih pintar dalam membaca, menulis, dan matematika. ASI sebagai makanan bayi mempunyai kebaikan/sifat sebagai berikut.a. ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk bayi, praktis, ekonomis, mudah dicerna untuk memiliki komposisi, zat gizi yang ideal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi.b. ASI mengandung laktosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu buatan. Di dalam usus laktosa akan difermentasi menjadi asam laktat yang bermanfaat untuk: 1) menghambat pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen, 2) merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menghasilkan asam organik dan mensintesis beberapa jenis vitamin, 3) memudahkan terjadinya pengendapan calsium-cassienat, dan 4) memudahkan penyerahan berbagai jenis mineral, seperti calsium dan magnesium.c. ASI mengandung zat pelindung (antibodi) yang dapat melindungi bayi selama 5-6 bulan pertama, seperti immunoglobin, lysozyme, complemenC3 dan C4, antistapiloccocus, lactobacillus, bifidus, dan lactoferrin.d. ASI tidak mengandung beta-lactoglobulin yang dapat menyebabkan alergi pada bayi.e. Proses pemberian ASI dapat menjalin hubungan psikologis antara ibu dan bayi.Penelitian tentang manfaat pemberian ASI bagi bayi telah banyak dilakukan, manfaat tersebut antara lain:a. sebagai nutrisi terbaik dan sumber kekebalan tubuh. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang karena disesuaikan dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhannya. ASI adalah makanan yang paling sempurna, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan melaksanakan tata laksana menyusui yang tepat dan benar, produksi ASI seorang ibu akan cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal sampai dengan usia 6 bulan. Secara alamiah, bayi yang baru lahir mendapat zat kekebalan atau daya tahan tubuh dari ibunya melalui plasenta. Akan tetapi, kadar zat tersebut akan cepat menurun setelah kelahirannya. Adapun kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat, maka selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI sebab ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh;b. melindungi bayi dari infeksi. ASI mengandung berbagai antibodi terhadap penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur, dan parasit yang menyerang manusia;c. mudah dicerna. Kandungan enzim pencerna pada ASI memudahkan bayi mencerna makanan pertamanya. Sementara itu, susu sapi sulit dicerna karena tidak mengandung enzim ini, padahal sistem pencernaan bayi belum terbentuk seecara sempurna; d. menghindarkan bayi dari alergi. Bayi yang diberi susu sapi terlalu dini dapat menderita lebih banyak masalah, misalnya asma dan alergi (Roesli, 2001:31).

2.1.4 Hubungan ASI Eksklusif dengan Sistem ImunASI selain sebagai sumber nutrisi dapat memberi perlindungan kepada bayi melalui berbagai komponen zat kekebalan yang dikandungnya. Berbagai telaah ilmiah telah dilakukan oleh para ahli terhadap komposisi ASI dan pengaruhnya terhadap kesehatan bayi. Pesan yang dapat disampaikan adalah ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi walaupun ibu dalam kondisi kurang gizi sekalipun dan mampu mengatasi infeksi melalui komponen sel fagosit (pemusnah) dan imunoglobulin (antibodi). Komponen ASI lain yang juga mempunyai efek perlindungan, antara lain sitokin, laktoferin, lisozim, dan musin.Di dalam ASI terdapat banyak sel, terutama pada minggu-minggu pertama menyusui. Kolostrum dan ASI dini mengandung 1-3 juta sel darah putih (leukosit) per ml. Pada ASI matur, yaitu ASI setelah 2-3 bulan menyusui, jumlah sel ini menurun menjadi 1000 sel per ml yang terdiri dari monosit/makrofag (59-63%), sel neutrofil (18-23%), dan sel limfosit (7-13%). ASI juga mengandung faktor pelindung (protektif) yang larut dalam ASI seperti enzim lisozim, laktoferin (sebagai pengikat zat besi), sitokin (zat yang dihasilkan oleh sel kekebalan untuk mempengaruhi fungsi sel lain), dan protein yang dapat mengikat vitamin B12, faktor bifidus, enzim-enzim, dan antioksidan. Mukosa saluran cerna bayi menunjukkan kemampuan serap yang tinggi terhadap makromolekul seperti protein utuh, misalnya protein susu sapi. Pada bayi yang memiliki risiko tinggi alergi, maka masuknya makromolekul ini menjadi proses pengenalan pertama dari alergen (molekul penyebab reaksi alergi). Paparan molekul yang sama selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gejala penyakit alergi seperti gejala saluran cerna, eksema, dan asma.Pada beberapa penelitian memperlihatkan pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan berhubungan dengan rendahnya kejadian penyakit alergi. Penelitian yang dilakukan di Australia pada 2187 anak selama 6 tahun menyimpulkan bahwa risiko terjadinya asma berkurang pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Penelitian lain menunjukkan adanya antibodi terhadap protein susu sapi pada bayi yang mengalami diare akut (IDAI, 2013).

2.2 Pemberian Makanan PadatSebagian besar ikatan dokter anak di seluruh dunia merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sampai dengan enam bulan. Banyak tenaga kesehatan yang menyarankan pemberian makanan padat sejak usia empat bulan, banyak juga yang sekarang mengatakan jangan memberikan makanan padat sebelum usia enam bulan. Dari sejumlah penelitian medis terakhir menyarankan bahwa makanan padat sebaiknya dikenalkan pada bayi saat ia berusia 6 bulan. Karena di usia tersebut, sistem pencernaan dan sistem kekebalan tubuh anak relatif sudah sempurna dan siap untuk menerima makanan padat. Hal ini akan mengurangi kemungkinan resiko terkena alergi makanan (Newman, 2009). Setelah usia 6 bulan, ASI hanya memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan gizi bayi. Sehingga bayi mulai membutuhkan makanan tambahan berupa makanan padat. Pemberian makanan padat pertama ini harus memperhatikan kesiapan bayi, antara lain keterampilan motorik, keterampilan mengecap, dan mengunyah serta penerimaan terhadap rasa dan bau. Untuk itu pemberiaan makanan padat pertama perlu dilakukan secara bertahap. Misalnya untuk melatih indera pengecapnya, berikan bubur susu satu rasa dahulu baru kemudian dicoba dengan yang multi rasa. Seiring dengan pertumbuhan anak antara 6-24 bulan, maka harus disesuaikan tekstur, frekuensi, dan porsi makanan sesuai usia anak. Tidak dianjurkan untuk memperkenalkan makanan padat pada bayi berusia 4-6 bulan karena sistem pencernaan mereka belum siap menerima makanan. Masalah yang mungkin terjadi jika bayi mengkonsumsi makanan padat terlalu awal mulai dari tersedak sampai alergi makanan. Kondisi ini, secara psikologis bisa menyebabkan bayi menjadi stress (Seafast Center IPB, 2010).Makanan padat pertama yang diberikan kepada anak haruslah mudah dicerna dan bukanlah makanan yang mempunyai resiko alergi yang tinggi. Memberikan makanan padat adalah waktu yang sangat tepat untuk mengetahui dengan betul makanan mana yang tidak dapat ditolerir oleh bayi anda. Namun jika mencampur aduk makanannya (antara karbohidrat, sayur, dan lauk pauknya), maka sangatlah sulit untuk mencari pencetusnya jika terjadi alergi. Di hari-hari pertama pemberian makanan padat, bayi biasanya hanya memerlukan sedikit makanan padat. Misalnya, 2-3 sendok kecil penuh. Dimulai dari 1 kali pemberian per hari. Misalkan saat makan siang. Kemudian dapat ditingkatkan menjadi 3 kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam). Alangkah bijaksana menghindari makanan yang sangat berbumbu atau sering menimbulkan alergi (misalnya putih telur dan stroberi) pada awal pemberian. Selalu pastikan suhu makanan tidak terlalu panas lalu biarkan ia memegangnya. Tidak ada urutan tertentu dan tidak perlu memberikan hanya satu jenis makanan untuk jangka waktu tertentu. Beberapa bayi ASI eksklusif usia 6 bulan atau lebih tidak menyukai makanan padat instan.

2.3Asma2.3.1DefinisiAsma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah. Global Initiative for Asthma (2012) menyatakan asma sebagai kelainan inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan hiperaktif yakni terjadi obstruksi dan pembatasan aliran udara ketika saluran pernapasan terpajan oleh faktor risiko. Pada asma terdapat beberapa peran dari sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Mereka yang terpajan faktor risiko asma dan rentan inflamasi dapat menyebabkan gejalan mengi episodic, sesak napas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.Nelson (1996) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk dengan karakteristik episodic dan atau kronik, cenderung pada malam hari atau dini hari, dan musiman. Beberapa faktor pencetus yang mengakibatkan asma antara lain aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada keluarga, sedangkan sebab-sebab yang lain sudah disingkirkan.Secara praktis para ahli berpendapat bahwa asma adalah penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (Sudoyo et al. 2009:404).. Penyempitan saluran napas pasa asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernapas yang akut.Prinsip yang mendasari asma menurut definisi di atas bahwa pada asma bronchial terjadi penyempitan bronkus yang bersifat reversibel yang terjadi karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi atau terpajan dengan antigen. Asma bronchial ditandai dengan sindrom sesak napas atau dispnea dan wheezing akibat penyempitan menyeluruh saluran napas intrapulmonal.

2.3.2PrevalensiGINA (2012) menyebutkan bahwa angka estimasi penderita asma di seluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dengan peningkatan setiap tahunnya terutama pada anak-anak. Sudoyo et al (2009) mengemukakan prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 5-7% dan angka kejadiannya terus meningkat tiap tahun. Terdapat perbedaan angka persentase prevalensi dibeberapa kota terutama setelah usia 10 tahun. Hal ini menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan angka kejadian asma pada anak.Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa anak-anak ditemukan prevalensi anak laki-laki:anak perempuan adalah 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-lak (Sudoyo et al. 2009:404). Salah satu gaktor yang termasuk dalam faktor lingkungan adalah nutrisi. Nutrisi pada bayi usia 0-6 bulan sesuai rekomendasi WHO dan keputusan Menteri Kesehatan tahun 2004 adalah ASI eksklusif tanpa tambahan makanan padat apapun. Asi direkomendasikan karena memiliki manfaat yang lebih unggul daripada makanan padat jenis apapun dan bersifat sebagai pembentuk antibody dalam tubuh.

2.3.3 KlasifikasiUntuk mengklasifikasikan asma tidaklah mudah. Dari tahun ke tahun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, klasifikasi asma pun ikut berkembang dan diperbaharui berdasarkan gejala dan tanda yang ditimbulkan. Dulu asma dibedakan menjadi alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (instrinsik). Asma alergik terutama muncul pada waktu anak-anak mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap makanan. Sedangkan asma intrinsic adalah kejadian asma yang tidak diawali dengan adanya faktor pencetus seperti pada alergik. Namun penderita asma pada umumnya memiliki gejala dan tanda yang mencangkupi keduanya maka dimunculkan klasifikasi asma campuran (intrinsik-ekstrinsik) (Price & Wilson,2006). Mc Connel dan Holgate dalam Sudoyo et al (2009:404) membagi asma menjadi tiga yaitu; asma ekstrinsik, asma intrinsic dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik. Selanjutnya GINA (2012) mengajukan klasifikasi asma intermitten, persisten ringan, sedang dan berat. Namun berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi, GINA membagi asma menjadi asma terkontrol, asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.

2.3.4Faktor RisikoFaktor risiko kejadian asma menurut PDPI (2003) meliputi faktor pejamu dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi predisposisi genetic, atopi, hiperesponsif jalan napas, jenis kelamin, rasa tau etnik. Sedangkan faktor lingkungan meliputi alergen di dalam atau luar ruangan, bahan di lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, parasit, status sosio-ekonomi, diet, obat, obesitas, perubahan cuaca, dan iritan. Sedangkan Barlianto et al. (2009) menyatakan salah satu faktor risiko kejadian asma pada anak adalah pemberian makanan padat terlalu dini saat usia kurang dari 6 bulan.

2.3.5PatogenesisMekanisme utama timbul gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus dan proses inflamasi kronis. Hipereaktivitas bronkus pada asma menjelaskan pengobatan utama adalah mengatasi bronkospasma. Proses inflamasi kronik yang khas pada asma melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkata reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.Inflamasi pada asma seperti yang disebutkan di atas selain menampilkan 5 tanda inflamasi yakni, rubor, kalor, tumor, dolor dan functio laesa, juga disertai infiltrasi sel radang. Hal ini terjadi baik pada alergik atau non-alergik. Sudoyo et al (2009:405) menjelaskan paling tidak terdapat 2 jalur untuk mencapai keadaan hiperreaktivitas dan inflamasi pada kejadian asma alergik maupun non-alergik. Kedua jalur tersebut adalah jalur imunologis yang diperantarai oleh IgE dan jalur saraf autonom.Jalur imunologis pada asma merupakan patogenesis asma yang paling sering dibicarakan. Jalur imunologis yang terjadi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis yang diperantarai oleh IgE (Robbins, 2007:123). Pada jalur IgE, alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells). Selanjutnya alergen tersebut akan merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1 karena sitokin yang disekresikan, terutama IL-4 dan IL-5, menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B. IgE yang diproduksi oleh sel B bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Selanjutnya antibody IgE akan berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil. Pajanan ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. (Robbins, 2007:124; Sudoyo et al. 2009:405).Beberapa mediator yang dilepaskan pada kaskade sinyal intrasel akibat pajanan ulang meliputi mediator primer atau praformasi dan mediator sekunder. Mediator primer yang awalnya berada di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe. Mediator praformasi yang dilepaskan sebagai berikut.a. Histamin, berperan sebagai mediator praformasi terpenting, menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan peningkatan sekresi mukus.b. Adenosine menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit.c. Heparin dan protease netral. Protease netral menghasilkan kini dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan lainnya.d. Faktor kemotaksis neutrofil dan eosinofil.Mediator sekunder mencakup mediator lipid dan sitokin yang nantinya menimbulkan reaksi fase lambat. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2 yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Asam arakhidonat berperan sebagai cikal bakal sintesis leukotrien dan prostaglandin. Mediator sekunder yang dilepaskan sebagai berikut.a. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang lebih aktif daripada histamine dalam meningkatkan permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos bronkus.b. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenase dalam sel mast yang menyebabkan bronkospasme serta meningkatkan sekresi mukus.c. Faktor pengaktivasi trombosit.d. Sitokin yang diproduksi sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, IL-6) dan kemokin berperan penting karena memiliki kemampuan merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang.

Gambar 2.1 Aktivasi sel mast pada hipersensitivitas tipe 1 dan pelepasan mediatornya (Sumber: Robbins, 2007)Selain reaksi inflamasi, pada penderita asma juga ditemukan hipereaktivitas saluran napas. Hipereaktivitas saluran napas adalah penyempitan saluran napas akibat rangsangan spesifik atau nonspesifik pada orang-orang yang sensitive dengan manifestasi klinik berupa batuk, sesak atau mengi akibat rangsangan berupa bahan kimia, SO2, asap rokok, perubahan suhu, beban kerja, debu dan perangsang lainnya. Keadaan ini terjadi akibat interaksi berbagai faktor yaitu peran inflamasi, mediator inflamasi, kerusakan epitel, kebocoran mikrovaskular dan peranan saraf sensoris. (Wisnuwardhani, 2013).Mekanisme dasar hipereaktivitas saluran napas diawali oleh adanya komponen endogen dan/atau komponen eksogen yang mendasari. Kelainan yang mendasari timbulnya konstriksi otot polos saluran napas pada hipereaktivitas saluran napas dapat dibagi atas perubahan otot polos dan pengaturan saraf autonom. Perubahan pada otot polos terjadi karena hyperplasia dan hipertrofi menyebabkan tegangan lebih besar sehingga saluran napas akan semakin sempit dan menambah hipereaktivitas saluran napas. Persarafan autonom saluran napas meliputi reseptor kolinergik, adrenergic dan nonadrenergik. Pemberian obat perangsang saraf kolinergik atau parasimpatis, alfa adrenergic, dan agonis muskarinik dapat menyebabkan kontraksi otot polos (Wisnuwardhani, 2013).Proses inflamasi pada asma berperan penting pada hipereaktivitas saluran napas. Sel mast berperan pada respon awal terhadap alergen sedangkan eosinofil dan makrofag pada respon tipe lambat. Pelepasan Major Basic Protein (MBO) oleh sel eosinofil pada fase lambat mengakibatkan kerusakan epitel karena zat ini memiliki efek toksik terhadap sel epitel sementara IL-5 yang dilepas limfosit berperan terhadap inflamasi. Sel alveolar melepas mediator tromboksan, prostaglandin dan Platelet Activating Faktor (PAF). Mediator histamine, prostaglandin dan leukotrien menimbulkan kontraksis otot polos saluran napas, kebocoran mikrovaskuler, menarik dan mengaktifkan sel inflamasi serta melepas mediator sekunder. Mediator PAF meningkatkan hipereaktivitas saluran napas dan menyebabkan bronkokonstriksi. PAF juga dihasilkan oleh sel inflamasi, makrofag, eosinofil dan neutrofil sehingga meningkatkan bronkokonstriksi (Wisnuwardhani, 2013).Selain akibat proses inflamasi, hipereaktivitas juga dapat disebabkan oleh gangguan pengendalian saraf autonom. Gangguan tersebut mengakibatkan aktivasi neuropeptida yang merugikan saluran napas yaitu, neuropeptida substansi P, neurokinin A dan Calcitonin Gene Reaktane Peptide (CGRP). Neuropeptida tersebut semakin meningkatkan respon inflamasi saluran napas dan kebocoran mikrovaskuler. Kebocoran mikrovaskuler bermanifestasi pada edema saluran napas, penebalan submukosa, peningkatan resistensi saluran napas, dan kontraksi oto polos saluran napas sehingga semakin memberatkan hipereaktivitas (Wisnuwardhani, 2013).

2.3.5 PatofisiologiObstruksi saluran napas pada asma disebabkan oleh bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan kerusakan sel epitel serta sel radang (Price, 2005). Rangsangan alergi dan nonspesifik meliputi allergen yang dihirup, protein sayuran, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan, udara dingin dan olahraga. Rangsangan ini akan mengakibatkan respon bronkokonstriksi dan radang.Obstruksi saluran napas yang didasari oleh inflamasi dan hipereaktivitas bertambah berat selama ekspirasi mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volum residu, kapasitas residu fungsional dan penderita akan bernapas pada volum tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer (Sudoyoo et al. 2009:405).Bronkokonstriksi atau penyempitan jalan napas bermanifestasi sebagai mengi, batuk dan sesak napas. Penyempitan ini ternyata tidak merata di sleuruh bagian paru, terdapat beberapa daerah yang kurang mendapat ventilasi udara sehingga mengalami hipoksemia. Keadaan ini bermanifestasi pada penurunan PaO2 sehingga tubuh berkompensasi dengan hiperventilasi. Tetapi akibat pengeluaran CO2 berlebihan sehingga PaCO2 menurun sehingga menimbulkan alkalosis respiratorik (Sudoyo et al. 2009:405). Jika mukus yang dihasilkan berlebihan menyebabkan pertukaran gas semakin sedikit, organ respirasi akan mengalami hipoksemia dan kerja otot pernapasan semakin berat. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi CO2 disertai penurunan ventilasi alveolus yang menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnea) dan asidosis respiratorik.