bab 1-2-3-4 anastesi

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala adalah keadaan gangguan non degeneratif dan non kongenital terhadap kepala dari serangan mekanikal eksternal, dan dapat menyebabkan gangguan kognitif baik temporer maupun permanen, gangguan fisik, dan fungsi psikososial dan berhubungan dengan berkurang dan adanya gangguan kesadaran. 1 Trauma kepala merupakan penyebab kematian keempat di Negara Amerika Serikat dan penyebab kematian pertama pada orang berusia 1-44 tahun. Insidensi trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 180-220 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat dengan populasi hampir 300 juta orang, terjadi 600.000 kasus trauma kepala baru yang terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 10% dari trauma ini berakibat fatal, dan menyebabkan 550.000 orang dirawat di rumah sakit. 1,2 Trauma tajam pada kepala atau trauma penetrasi merupakan trauma yang disebabkan oleh benda-benda yang melukai kepala atau sampai menyebabkan cedera pada otak. Trauma penetrasi contohnya disebabkan oleh peluru, luka tusuk, dan trauma benda lainnya (paku, obeng). 1,2 Penanganan pasien trauma kepala pada keadaan darurat adalah jalan nafas, nafas, sirkulasi, disabilitas. Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan trauma lainnya tetapi pada trauma kepala juga 1

Upload: feliciadewi

Post on 01-Jul-2015

1.037 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1-2-3-4 Anastesi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kepala adalah keadaan gangguan non degeneratif dan non kongenital terhadap

kepala dari serangan mekanikal eksternal, dan dapat menyebabkan gangguan kognitif

baik temporer maupun permanen, gangguan fisik, dan fungsi psikososial dan

berhubungan dengan berkurang dan adanya gangguan kesadaran.1

Trauma kepala merupakan penyebab kematian keempat di Negara Amerika

Serikat dan penyebab kematian pertama pada orang berusia 1-44 tahun. Insidensi

trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 180-220 kasus per 100.000

populasi. Di Amerika Serikat dengan populasi hampir 300 juta orang, terjadi 600.000

kasus trauma kepala baru yang terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 10% dari trauma ini

berakibat fatal, dan menyebabkan 550.000 orang dirawat di rumah sakit.1,2

Trauma tajam pada kepala atau trauma penetrasi merupakan trauma yang

disebabkan oleh benda-benda yang melukai kepala atau sampai menyebabkan cedera

pada otak. Trauma penetrasi contohnya disebabkan oleh peluru, luka tusuk, dan

trauma benda lainnya (paku, obeng). 1,2

Penanganan pasien trauma kepala pada keadaan darurat adalah jalan nafas,

nafas, sirkulasi, disabilitas. Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan

trauma lainnya tetapi pada trauma kepala juga perlu diperhatikan peninggian tekanan

intrakranial. Penatalaksanaan tekanan intrakranial sangat penting karena tekanan

intrakranial yang tinggi dapat memperburuk prognosis. Kemudian setelah keadaan

stabil pasien baru dievaluasi lebih lanjut dan diberikan terapi defenitif yaitu perlu atau

tidaknya tindakan bedah. Adanya trauma tajam pada kepala merupakan keadaan

kegawatdaruratan dan harus segera dilakukan operasi. Pasien biasa datang dengan

adanya penurunan kesadaran, atau gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial

seperti muntah, kejang, dan pingsan. Tindakan operatif yang segera ini harus

diperhatikan untuk melakukan tindakan anestesia. Berbeda tindakan anestesia pada

pasien emergensi dengan pasien elektif yang sudah melakukan persiapan operasi

berupa pre-operatif dan pre-medikasi. Sehingga perlu perhatian khusus pada teknik

anestesi yang akan dilakukan.1,3

1

Page 2: BAB 1-2-3-4 Anastesi

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah guna melengkapi tugas

penulisan laporan kasus pada Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Anestesiologi

dan Reanimasi dan agar pembaca mampu memahami tentang trauma tajam kepala,

penanganannya dan tindakan anestesi pada pasien trauma tajam pada kepala.

2

Page 3: BAB 1-2-3-4 Anastesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury) merupakan salah

satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada korban trauma. Trauma

tajam kepala adalah trauma pada kepala yang menembus tengkorak secara proyektil

namun tidak menembus keluar tempurung kepala.

Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan

secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada

intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder. Akibat

sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat memberikan

komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan. 4

2.2 Klasifikasi Trauma Kepala

Trauma kepala dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme trauma4:

1. Trauma kepala dengan penetrasi

Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya

2. Trauma kepala tumpul

Dibagi menjadi: askelerasi (kecepatan tinggi) dan deskelerasi (kecepatan

rendah)

Trauma kepala berdasarkan morfologi dibagi atas 4,5:

1. Skull Frakture

Dibagi lagi atas: vault fracture (linear/satellite, depressed/non-depressed,

open/close) dan basilar (dengan atau tanpa perembesan cairan serebrospinal,

dengan atau tanpa paralisis nervus VII)

2. Lesi Intrakranial

Dibagi lagi atas: fokal (epidural hematoma, subdural hematoma dan

intrakranial hematoma) dan difus (kontusi ringan, kontusi klasik dan diffuse

axonal injury)

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal anatara lain:

1. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat

3

Page 4: BAB 1-2-3-4 Anastesi

2. Benda tumpul: Trauma benda tumpul dapat menyebabkan cedera secara

menyeluruh akibat dari energi/kekuatan yang diteruskan kepada otak

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada:

a. lokasi

b. kekuatan

c. fraktur infeksi / kompresi

d. rotasi

e. delarasi dan deselarasi

Trauma kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder. Klasifikasi

ini bermanfaat dalam merencanakn penanganan selanjutnya.4,5

1. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan mekanis

langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai kranium dan jaringan

otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial

kemudian dibagi menjadi dua tipe: cedera difus dan cedera fokal

a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori

i. Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung <6 jam

ii. Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung >6 jam

b. Cedera otak fokal dibagi menjadi:

i. Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah berlawanan dari

asal tubrukan

ii. Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dan

laserasi dari arteri meningea media

iii. Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging veins

antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural dikatakan

mempunyai angka mortalitas yang tinggi.

iv. Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan temporal dan

dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan. Jaringan otak yang

rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat diselamatkan. Karena itu,

hasil fungsional meningkat dengan dilakukan intervensi bedah dan terapi

medis.

2. Cedera sekunder terjadi dalam hitungan menit, jam, ataupun hari sejak terjadi

cedera awal yang menyebabkan cedera otak yang lebih lanjut. Cedera

4

Page 5: BAB 1-2-3-4 Anastesi

sekunder yang umum berupa hipoksia serebral dan iskemia. Cedera sekunder

dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia)

b. Instabilitas kardiovaskular (hipotension cardiac output yang rendah)

c. Peningkatan tekanan intrakranial

d. Gangguan biokimia

2.3 Patofisiologi Trauma Kepala

1. Efek sistemik trauma kepala5

a. Respon kardiovaskular terhadap trauma kepala biasanya terlihat pada fase

awal. Hal ini berupa hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output.

Pasien dengan trauma kepala berat dan yang mendapat cedera sistemik difus

dengan perdarahan yang cukup banyak, dapat berkembang menjadi hipotensi

dan penurunan cardiac output.

b. Respon respirasi terhadap trauma kepala meliputi apnoe dan pola pernafasan

abnormal. Insufisiensi respirasi dan hiperventilasi spontan sering terjadi.

c. Pengaturan temperatur dapat terganggu, dan hipertermia, bila terjadi, dapat

menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.

2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral. Pada cedera otak fokal, cerebral

blood flow (CBF) dan laju metabolisme serebral terhadap oksigen menurun pada

pusat dari daerah cedera dan di penumbra, suatu area dimana jaringan mendapat

perfusi yang kurang yang mengelilingi jaringan yang rusak. Ketika TIK

meningkat, hipometabolisme dan hipoperfusi difus dapat terjadi.

Pada cedera otak difus, hiperemia dapat terjadi. Pada kebanyakan kasus, CBF

menurun dalam hitungan beberapa jam setelah terjadi trauma kepala.

Kombinasi hipotensi dan terganggunya autoregulasi menyebabkan iskemia

serebral. Regulasi metabolik-kimiawi dari CBF dapat juga terganggu.

Kombinasi dari respon patofisiologi ini menimbulkan skenario penanganan

yang rumit.4

2.4 Penanganan Kegawatdaruratan

1. Penilaian awal kondisi pasien

Penilaian neurologis: biasanya hanya terdapat sedikit waktu untuk menilai

kondisi neurologis pasien secara keseluruhan. Namun, penilaian neurologis

5

Page 6: BAB 1-2-3-4 Anastesi

yang cepat dapat dilakukan sambil menstabilkan kondisi pasien untuk

mencapai ventilasi yang adekuat dan stabilisasi hemodinamik.5

o Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan

diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status

neurologis pasien dengan trauma kepala.

1. Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat

2. Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang

3. Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan

o Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas

harus secepatnya dinilai.

Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang berasal dari

cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk

menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika

perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan

segera.5

2. Jalan nafas dan ventilasi

1. Intubasi trakea. Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan

jalan nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua

pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga

mendapat trauma servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line

terhadap tulang servikal dilakukan selama digunakan laringoskop dan

intubasi.6

2. Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita fraktur basis

kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak. Fraktur basis kranii

diduga ktika terjadi perdarahan dari kavum timpani, otorrhea, petekiae pada

prosesus mastoideus (Battles’s sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda

sign).6

3. Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi

4. Ventilasi mekanik. Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non

depolarisasi diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.

Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali

herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki

secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus dapat dilakukan.6

6

Page 7: BAB 1-2-3-4 Anastesi

3. Stabilisasi kardiovaskular.6

Hipotensi sistemik merupakan salah satu kontributor mayor terhadap jeleknya

prognosa pada pasien trauma kepala.

Resusitasi cairan. Hipovolemia sering tertutup oleh tekanan darah yang

relatif stabil sekunder akibat hiperaktivitas simpatis atau respon refleks

terhadap peningkatan TIK. Karena itu, resusitasi cairan harus dilakukan

tidak hanya berdasarkan tekanan darah namun juga oleh urine output dan

CVP.

o Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik dan

larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume intravaskular

yang adekuat.

o Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit

yang rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan oxygen

delivery. Hematokrit idealnya dipertahankan diatas 30%.

o Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang

mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia

dihubungkan dengan perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya

digunakan hanya untuk menangani hipoglikemia. Kadar plasma

sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma diatas 200

mg/dL

Inotropik dan vasopresor. Jika tekanan darah dan cardiac output tidak

dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan

vasopresor secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau

dopamin direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure

diatas 60 mmHg.

4. Penanganan terhadap peningkatan TIK.6,7

Hiperventilasi. Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada

pasien dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2

sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif

menurunkan TIK.

Terapi diuretik. Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam

10 menit pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas

serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.

7

Page 8: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Posisi. Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan

menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan

dimana tekanan darah sistemik menurun.

Kortikosteroid. Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai

manfaat dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada

pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir

menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi kortikosteroid.

Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam penanganan trauma kepala

meskipun bermanfaat pada trauma spinal.

2.5 Manajemen anestesi

Tujuan utama dari manajemen anestesi yaitu untuk (a) mengoptimalkan perfusi dan

oksigenasi serebral, (b) menghindari kerusakan sekunder, (c) membuat kondisi bedah

yang baik untuk operator neurosurgery. Anestesi general di rekomendasikan untuk

memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi. Induksi obat anestesi. Banyak

pasien dengan cedera kepala yang parah sudah dipasang endotrakeal tube oleh triase

selama di bagian gawat darurat untuk pemeriksaan CT. Pasien yang datang ke

ruangan opreasi tanpa adanya endotrakeal tube di terapi dengan pemberian segera

oksigen dan mengamankan jalan nafas. Seorang anestesiologis harus waspada bahwa

pasien ini datang dengan keadaan perut yang penuh, volume intra vaskular yang

menurun, dan potensial cedera pada servikal.6

Monitoring tekanan arteri secara langsung dilakukan dengan memasukkan

kateter sebelum induksi anestesia dilakukan. Beberapa teknik induksi diperlukan.

Keadaan pasien dan stabilnya hemodinamik menentukan pilihan yang diambil.

Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan hemodinamik sabil, walaupun

prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan

intra kranial. Selama pemberian 100% oksigen, dan dosis induksi dari tiopental, 3-4

mg/kg, atau propofol, 1-2 mg/kg, dan succinylcholine 1,5 mg/kg, diberikan dan trakea

sudah terintubasi. Etomidate, 0,2-0,3 mg/kg, dapat diberikan pada pasien dengan

stetus sirkulasi yang menghawatirkan. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,

dosis induksi dari obat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Bagaimanapun,

depresi kardiovaskular selalu menjadi perhatian, terutama pada pasien dengan

hipovolemi.6,8

8

Page 9: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Succinylcholine dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Pemberian muscle

relaxan nondepolarisasi dosis kecil mungkin dapat menghindari peninggian tekanan

ini, tetapi tidak dapat diramalkan. Succinylchoil merupakan pilihan yang baik untuk

memfasilitasi masuknya laringoskop dan mengamankan jalan nafas. Roccuronium

0.6-1 mg/kg merupakan alternaif yang baik karena onsetnya yang cepat dan sedikit

efeknya terhadap peningkatan tekanan intra kranial.Induksi intravena. Saat pasien

stabil dan tidak dengan keadaan perut penuh, anestesi dapat diinduksi dengan

mentitrasi dosis dari tiopental ataupun propofol unutk meminimalkan ketidakstabilan

sirkulasi. Dosis intubasi dari muscle relaxan nondepolarisasi diberikan dengan

ataupun tidak dengan priming untuk memfasilitasi intubasi dengan waktu yang

pendek. Sebagai contoh, rocuronium, 0,6-1mg/kg, memberikan kondisi intubasi yang

memuaskanselama 60-90 detik.6,8

Fentanyl, 1-4 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik

saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik

sebelum laringoskopi, dapat membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intra

kranial. Gastrik tube ukuran besar dimasukkan setelah intubasi, dan isi lambung di

aspirasi dan kemudian secara pasiv di kosongkan selama operasi. Penggunaan NGT

dihindari karena adanya kemungkinan fraktur basis kranii. Mempertahankan

anestesia. Obat yang ideal dalam mempertahankan anestesia sebaiknya yang

mengurangi tekanan intra kranial, menjaga oksigen suplai yang adekuat ke jaringan

otak, dan melindungi otak dari metabolik-iskemik yang menganggu. Tidak ada obat

anestesi gold standart yang memenuhi syarat ini pada cedera kepala. Pemilihan obat

anestesi berdasarkan pertimbangan dari patologi intrakranial sama seperti kondisi

sistemik seperti pada gangguan kardiopulmoner dan adanya trauma multisistem.6,8

Obat anestesi

1. Anestesi intravena3,4

a. Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak (CBF),

volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP). Mengurangi ICP

dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV dengan depresi metabolik.

Tiopental dan fenobarbital melindungi iskemi otak fokal pada percobaan

binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan sekuele yang umum.

b. Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF, dan ICP.

Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan enggunaan

9

Page 10: BAB 1-2-3-4 Anastesi

barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate dapat menekan

respon adrenokortikal terhadap stress.

c. Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan penggunaan

propofol menyerupai obat barbiturat.

d. Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna baink

untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini memiliki

minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat diberikan

untuk menginduksi anestesia dan dapat diulangi jika perlu, sampai batas 0,3-

0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan untuk induksi dan dapat

diulangi bila perlu.

e. Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan yang

minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan secara adekuat,

narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek

meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan dan

depat memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi yang

lebih sedikit

2. Anestesi inhalasi6,7

a. isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit efek

pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan. Karena

isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin memiliki efek

melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari

minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan

peningkatan substansial pada ICP.

b. Sevoflurane. Pada model kelinci “cryogenic brain injury”, peningkatan ICP

muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan

penggunaan halotan. Pada studi klinis, walaupun efek pada hemodinamik

serbral sevoflurane mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan

pada sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun pada konsenterasi

yang tinggi.

c. Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat meningkatkan ICP.

d. Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena itu dapat

meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial sebaiknya tidak

menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada pneumochepalus atau

pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga udara lebih cepat

10

Page 11: BAB 1-2-3-4 Anastesi

dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan volume di

dalam rongga udara.

3. Anestesi lokal. Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau

tidak dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin head

holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial terhadap

rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu dari anestesi

dalam.7

4. Muscle relaxant. Muscle relaxan yang adekuat memfasilitasi mekanikal ventilasi

dan mengurangi ICP. Batuk dan peregangan dihindari karena keduanya dapat

mengakibatkan meningkatnya pengisisan vena serebral.6,8

a. Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP, tekanan darah,

atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan trauma kepala. Obat ini

memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg diikuti pemberian infus 1-1,7

mcg/kg/menit

b. Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat menimbulkan

hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya, oleh karena itu dapat

meningkatkan resiko pada pasien.

c. Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang cepat dan

durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan pemberian

melalui infus 4-10mcg/kg/menit diberikan dengan monitoring dari

neuromuskular blok.

d. Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan sedikit efek

pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat dengan durasi lebih lama

dibutuhkan.

2.6 Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif

a. Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2

sekitar 35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk

menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi,

atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure

(PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan

sebiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat

menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.6,7

11

Page 12: BAB 1-2-3-4 Anastesi

b. Penanganan sirkulasi. CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika

hipotensi bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan

pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic

atau vasopresor.6,7

c. Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat

merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari

peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).8

2.7 Penanganan peningkatan TIK intraoperatif4,6

a. Posisi pasien. Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin

tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara

substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan leher,

ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.

b. Ventilasi. Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi

dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.

c. Sirkulasi. Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan

sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.

d. Diuretik. Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK.

Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga

pada pasien dengan penurunan fungsi jantung.

e. Drainase CSF. Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan

cara yang efektif dalam menurunkan TIK.

2.8 Monitoring6,8

a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran

noninvasif tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu badan,

urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA, hematokrit, elektrolit,

glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara periodik.

b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan

menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah yang

mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.

c. Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb oxygen

saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan Transcranial Doppler

(TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat digunakan.

12

Page 13: BAB 1-2-3-4 Anastesi

2.9 Proteksi Serebral

Hipotermi. Penurunan suhu tubuh hingga 33-35 oC dapat merubah proteksi serebral.

Mekanisme protektif termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas,

pembentukan radikal mbebas, dan pembentukan edema. Pada hewan model iskemia,

hipotermia ringan menjadi sekitar 34-36 oC terlihat dapat mengurangi resiko

terjadinya cedera akibat iskemia jaringan.5,7

Ketika induksi hipotermia dilakukan, pengawasan yang ketat harus dilakukan

untuk mencegah terjadinya hipotensi, aritmia jantung, koagulopati, dan infeksi.

P;enghangatan kembali harus dilakukan secara perlahan. Monitoring suhu badan

sebaiknya dilakukan di dua tempat atau lebih antara lain pada membran timpani, area

nasofaringeal, esofagus dan darah.6

2.10 Penanganan post operatif

Perawatan Pascabedah10:

1. Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau

ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.

2. Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35

mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.

3. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang

dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg.

4. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid. Hematokrit

pertahankan 33%.

5. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan

serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.

6. Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan

kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan

diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2 menit.

Rangkaian persiapan untuk membangunkan pasien:

Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi nafas

pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle atau long

acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat menjahit kulit,

13

Page 14: BAB 1-2-3-4 Anastesi

blok neuromuskuler di TOF 2, bila digunakan obat pelumpuh otot berikan antidote

pelumpuh otot sebelum ekstubasi. Naikkan PaCO2 ke arah normoventilasi.10

Tabel 1. Kondisi sistemik dan serebral yang menyebabkan pasien lambat bangun10

Sistemik Serebral

Hipotermi ( <35,5° C) Perubahan kesadaran prabedah

Hipertensi (tekanan sistolik > 150

mmHg)

Reseksi tumor besar dengan midline shift

Hipotensi-hipovolemia Operasi > 6 jam

Hematokrit < 25% Ada pembengkakan otak selama operasi

Hipoksia atau hiperkapnia Cedera pada saraf IX, X, XII

Nafas spontan tidak efektif Kejang saat bangun dari anastesi

Hipoosmolar < 280 mOsm/kg)

Gannguan koagulasi

Ada residu obat pelumpuh otot

Hindari rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera

mungkin, ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien

betul-betul bangun. Terapi lonjakan tekanan darah, sasarannya MAP < 120 mmHg

dengan lidokain 1,5 mg/kg, dexmedetomidine, atau beta bloker.Saat transfer ke

PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG, tekanan darah, SpO2 terus

dilakukan.10

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan minimum 70 mmHg. Tekanan

perfusi otak yang didefinisikan sebagai MAP-tekanan intrakranial, sangat erat

berhubungan dengan terjadinya iskemia serebral. Tekanan perfusi otak yang rendah

mungkin membahayakan otak dengan preexisting iskemi dan memperbesar tekanan

hidrostatik intravaskuler dengan meningkatkan tekanan perfusi otak dapat

memprebaiki prefusi serebral. Karena itu, mempertahankan tekanan perfusi otak > 70

mmHg adalah suatu opsi terapi yang dapat menurunkan mortalitas dan memperbaiki

kualitas pasien yang hidup dan memperbesar perfusi pada region iskemik setelah

cedera otak berat.10

Hiperventilasi dapat menurunkan tekanan intracranial dengan jalan

vasokonstriksi dan selanjutnya terjadi penurunan aliran darah ke otak. Dari penelitian

–penilitian yang lalu secara jelas telah menunjukkan bahwa aliran darah otak selama

14

Page 15: BAB 1-2-3-4 Anastesi

24 jam setelah cedera kepala kurang dari setengahnya dan ada resiko terjadi iskemia

serebral bila dilakukan hiperventilasi agresif. Jadi pembatasan penggunaan

hiperventilasi pada pasien cedera kepala berat akan memperbaiki pemulihan

neurologis setelah cedera kepala. Hiperventilasi dilakukan hanya bila ada tanda-tanda

herniasi otak dan memburuknya neurologis dengan cepat. Tanda –tanda herniasi otak

adalah adanya dilatasi pupil unilateral atau bilateral, reaktivitas pupil asimetris, motor

posturing atau bukti memburuknya neurologis.10

Terapi hiperventilasi pertama kali untuk mencapai PaCO2 30 – 35 mmHg,

tetapi bila tekanan intracranial masih tinggi, hiperventilasi dapat diperdalam untuk

mencapai PaCO2 < 30 mmHg, tetapi harus dilakukan pemantauan SJO2 atau AVDO2

untuk melihat adanya komplikasi iskemia otak.10

Posisi:

Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head-up 15-30o

dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan memperbaiki drainase

vena serebral. Kepala fleksi atau rotasi dapat menimbulkan obstruksi drainase vena

serebral, memyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Penurunan posisi kepala

menyebabkan gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat meningkatkan

barin bulk dan tekanan intrakranial.10

Metode Proteksi Otak

Proteksi otak dapat dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu:

1. Basic Methods

2. Farmakologi

3. Hipotermi

4. Kombinasi Hipotermi dan Farmakologi

Basic Methods:

Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang adekuat,

cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia , hiperventilasi hanya bila ada herniasi

otot dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus dipasang alat pantau SJO2), pengendalian

tekanan darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan

intraklanial (terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat

terjadi pada tekanan intraklanial < 20 – 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi

15

Page 16: BAB 1-2-3-4 Anastesi

otak (tekanan peruse otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini

yang harus dilakukan pertama kali dalam melakukan proteksi otak.10

Farmakologi:

Obat yang menimbulkan vasokonstriksi serebral:

Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat secara

cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-jenisnya adalah

1) Pentotal: menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan

aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan

intrakranial.

2) Pentobarbital: digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara

terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan

dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma.

3) Barbiturat: memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme

otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan arteri rerata,

yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak.

Mekanisme barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan

influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi

aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui barrier darah otak.

Rasisonalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi adalah

mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel.10

Hipotermi:

Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan intrakranial

pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolism otak,

memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion,

menurunkan excitatory neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan

sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral,

pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di

dalam OK suhu pertahankan 34-35 pascabedah di ICU 36 C.10

BAB III

16

Page 17: BAB 1-2-3-4 Anastesi

LAPORAN KASUS

ANAMNESA PRIBADI

Nama : Tn. MN

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 15 tahun

Alamat : Dusun Setia Makmur Kabupaten Aceh Timur

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar

Status : Belum Kawin

Tanggal masuk : 25/02/2011

NO MR : 46.34.64

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama : Luka tusuk di kepala

Telaah : Hal ini telah dialami os sejak 7 jam SMRS. Luka tusuk diakibatkan

lemparan gunting oleh kawan os ke arah kepala os. Riwayat pingsan

(-), mual (-), muntah (-). Riwayat demam (-). Setelah kejadian os

dibawa ke rs umum di Aceh Timur dan mendapatkan perawatan

selama 1 jam, luka tusuk (+) di daerah belakang kanan dan gunting

masih tertancap kemudian dibawa ke RS HAM karena keterbatasan

alat diagnostic CT scan

RPT : -

RPO : IVFD RL, cefotaxim 1 gr, ketorolac 30 mg, ranitidine, ATS 3000 IU

17

Page 18: BAB 1-2-3-4 Anastesi

PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey (25/02/2011 Pukul 21.45 WIB)

A (Airway) : Clear, gurgling (-), snoring(-), crowing (-), c-spine stabil,

maxillofacial injury (-)

B (Breathing) : Spontan, RR 20x/menit, SP: vesikuler, ka=ki, ST: -/- , pernafasan

cuping hidung (-), hematopneumothorax (-), jejas pada thorax (-), flail

chest (-)

C(Circulation): Akral: H/M/K, TD: 120/60 mmHg. Nadi: 74x/menit, t/v: kuat/cukup,

reguler

D (Disability) : Alert, GCS: 15 (E4 V5 M6), Pupil: isokor, diameter 3 mm/3mm,

RC +/+, pingsan (-), kejang (-), brill hematoma (-), RH (-), BS (-),

OH (-)

E (Exposure) : Luka tusuk regio kepala bagian belakang kanan,tertancap gunting

kedalaman sekitar 1,5 cm

Pemeriksaan Fisik (25/02/2011 Jam 22.30 WIB)

B1 : Airway clear, RR : 18 x/i, SP: ves/ves, ST: -/-, MLP: I, JMH > 6 cm, GL

bebas, snoring (-) / gargling (-) / crowing (-), riwayat asma (-) / batuk (-) /

sesak (-)

B2 : Akral : H/M/K, TD : 120/60 mmHg, HR : 74 x/i, t/v: kuat/cukup, reguler,

anemia (-), tem : 37,0 0 mata cekung (-), turgor kembali cepat.

B3 : Sens : Compos Mentis, RC : +/+, Pupil : isokor, Ø kanan/kiri: 3mm/3mm,

Riwayat kejang (-) / pingsan (-) / muntah (-)

B4 : UOP : Kateter belum terpasang, volume cukup

B5 : Abdomen : soepel , nyeri tekan (-), peristaltik (+) N, mual (-), muntah (-),

NGT belum terpasang, MMT pukul 10.00 WIB tanggal 25 Februari 2011.

B6 : Luka tusuk regio kepala bagian belakang kanan,tertancap gunting kedalaman

sekitar 1,5 cm

Penatalaksanaan di IGD pukul 22.45 WIB tgl 25-02-2011

Pertahankan jalan nafas

Pemberian oksigen nasal canul 2l/menit

Pasang iv line dengan bor besar (iv cath no 18 G) à pastikan IV line lancar

Beri antibiotik broadspektrum à inj. Cefotaxim 1 gr /8jam/iv à skin test

18

Page 19: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Pemberian analgetik à ketorolac ??

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 25/02/2011

Darah rutin: Hb 13.6g/dl, Ht 41.7 %, Leukosit 13.600/mm3, Trombosit 259.000/mm3

KGD adrandom: 78 mg/dl

RFT: Ureum 16 mg/dL, Kreatinin 0.91 mg/dL

LFT: SGOT 17 IU/L, SGPT 12 IU/L

Elektrolit: Na/ K / Cl : 139 / 3,9 /101

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Head CT SCAN (pukul 23.15 WIB tanggal 25-02-2011)

19

Page 20: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Kesan dari hasil Head CT SCAN: Dijumpai adanya fraktur depresi pada temporal

parietal bone disetai dengan pneumoencephali pada regio temporo-parietal, EDH (-),

ICH (-), Midline shift (-) dan cysterna basalis terbuka.

Pemeriksaan Fisik (25/02/2011 Jam 23.30 WIB)

B1 : Airway clear, RR : 18 x/i, SP: ves/ves, ST: -/-, MLP: I, JMH > 6 cm, GL

bebas, snoring (-) / gargling (-) / crowing (-), riwayat asma (-) / batuk (-) /

sesak (-)

B2 : Akral : H/M/K, TD : 120/60 mmHg, HR : 74 x/i, t/v: kuat/cukup, reguler,

anemia (-), tem : 37,0 0 mata cekung (-), turgor kembali cepat.

B3 : Sens : Compos Mentis, RC : +/+, Pupil : isokor, Ø kanan/kiri: 3mm/3mm,

Riwayat kejang (-) / pingsan (-) / muntah (-)

B4 : UOP : Kateter belum terpasang, volume cukup

B5 : Abdomen : soepel , nyeri tekan (-), peristaltik (+) N, mual (-), muntah (-).

Flatus (+), NGT belum terpasang, BAB (+), MMT jam 15.00 WIB tanggal 25

Februari 2011.

B6 : Oedem pretibial (-) Luka tusuk regio kepala bagian belakang kanan,tertancap

gunting kedalaman sekitar 1,5 cm

20

Page 21: BAB 1-2-3-4 Anastesi

DIAGNOSA

Vulnus Punctum (gunting) o/t (R) temporoparietal + opened fracture depressed o/t

teporoparietal

OPERASI

Jenis pembedahan : Craniectomy

PS ASA : 2E

Anestesi : GA - ETT

Posisi : Supine

Pemeriksaan Fisik di COT (pukul 24.00 tanggal 26/02/2011)

B1 : Airway : Clear, terintubasi, Bagging Ambu Bag, TV 400ml, Frek. 14 x/i,

SpO2 100%, SP : Vesikuler, ST : (-)

B2 : Akral : H/M/K, TD : 128/85 mmHg, HR : 92 x/i, Reguler T/V kuat/cukup

B3 : Sens : DPO, pupil isokor, ka=ki, Ø : 3 mm/3 mm, RC +/+ melemah

B4 : UOP (+), vol : 200 cc/jam , warna kuning jernih

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+)

B6 : Oedem (-), Luka tusuk regio kepala bagian belakang kanan,gunting sudah

tercabut

21

Page 22: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Tekhnik Anestesi

Posisi head up 30

Pre medikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 ug secara perlahan-lahan

Oksigenasi dengan sungkup 8 l/i

Induksi dengan propofol 100 mg

Inj. Lidokain 50 mg à intubasi dengan ETT no. 7,5 cuff (+), SP ka=ki, kemudian

dilakukan fiksasi

Pemberian anastesi inhalasi dengan isofluran 1%, O2 2l/i, air 2l/I

Maintenance dengan Rokuronium 10 mg/ 15-20 mnt

Durante OP

TD : 95-125/85-60 mmHg

HR : 65-115 x/mnt

SpO2 : 98-100 %

Perdarahan : ± 50 cc

Penguapan + Maintenance : 600 cc

Cairan :PO → RL : 800 cc

DO → RL : 500 cc

22

Page 23: BAB 1-2-3-4 Anastesi

FOLLOW UP di Pasca Bedah Post Op

B1 : Airway: clear, RR : 20 x/i, SP: ves/ves, ST: -/-, SpO2 100%

B2 : Akral :H/P/K, TD : 112/65 mmHg, HR : 78 x/i, reguler, t/v kuat/cukup

B3 : Sens : CM, pupil isokor, Ø 3mm/3 mm. RC +/+,

B4 : BAK (+), vol : 100 cc/jam, warna : kuning jernih

B5 : Abd soepel, peristaltik (-), mual (-), muntah (-)

B6 : Oedem (-), luka operasi tertutup verban

Terapi Post Operasi

Bed Rest head up 30 0

O2 nasal canul 2l/i

IVFD R-Sol 40 gtt/i

MSS

Inj. Tramadol 100 mg/ 8 jam/ iv

Inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam/ iv

Cek AGDA, darah rutin, KGD ad random post operasi

BAB IV

23

Page 24: BAB 1-2-3-4 Anastesi

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa diketahui bahwa pasien ini mengalami trauma kepala tajam

(penetrating head injuries) karena lemparan gunting dan gunting masih tetap

menancap di daerah temporoparietal saat tiba di rumah sakit. Riwayat adanya

pingsan, muntah dan mual tidak dijumpai. Pada kasus luka tusuk benda tajam

biasanya cedera vaskular neuronal ataupun fraktur hanya terbatas pada daerah luka,

kecuali bila dijumpai adanya hematoma ataupun infark. Keadaan klinis pasien sangat

bergantung pada mekanisme tusukan, lokasi tusukan, dan cedera lainnya yang

ditimbulkan. Pasien ini merupakan pasien rujukan yang telah mendapatkan perawatan

selama 1 jam di rumah sakit luar dan mendapatkan cairan ringer laktat yang bersifat

hipoosmolar yang dapat meningkatkan air otak / oedema otak (dengan berdifusi ke

interstisial dan interseluler) sehingga sebaiknya dihindari dan diganti dengan

pemberian carian isoosmolar seperti NaCl 0,9% yang bebas gula.

Evaluasi awal secara cepat dengan manajemen ABCD “airway, breathing dan

circulation, disability”, dengan melihat secara keseluruhan mulai dari kepala ke kaki,

depan dan belakang, dengan melakukan mobilisasi in-line. Pemeriksaan Glasgow

Coma Scale (GCS), dapat menjadi parameter untuk evaluasi penting terhadap

kemajuan klinis. Pada pasien ini telah dilakukan evaluasi awal dan penanganan secara

cepat dimana pada pasien ini jalan nafasnya bebas (clear), untuk sirkulasi dipasang iv

line 18G serta dilakukan pemeriksaan GCS dengan nilai 15 (E4 V5 M6) dan

dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.

Pasien dengan cedera kepala sering mengalami hipoksia dan hiperkapni, hal

ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang dapat memperburuk cedera kepala

pasien ini, untuk itu diperlukan terapi oksigen yang adekuat. Pada pasien ini

diberikan oksigen nasal canule 2L/menit. Pernafasan pada pasien ini baik dengan

respiratory rate : 20x/menit, suara pernafasan vesikuler, kanan sama dengan kiri dan

tidak dijumpai suara tambahan.

Pada perdarahan intrakranial atau luka pada scalp terutama pada anak sering

menyebabkan hipotensi dan hipovolemi. Untuk itu harus diberikan cairan yang

adekuat untuk resusitasi perdarahannya dan mempertahankan perfusi ke otak

minimum 70 mmHg. Pada kasus ini, kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan

operasi dalam keadaan hemodinamik stabil dengan akral hangat, merah dan kering,

tekanan darah 120/60 mmHg, nadi 74x/menit, t/v kuat/cukup, regular.

24

Page 25: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Peningkatan tekanan darah merupakan respon kompensasi untuk

mempertahankan perfusi serebral. Untuk itu, hipertensi yang moderat sebaiknya tidak

perlu diterapi. MAP > 130 mmHg harus segera diterapi, karena meningkatkan TIK

secara tajam. Obat yang bisa dipakai, beta bloker esmolol (500 mcgr/kg iv dosis

terbagi), dan propanolol (0,5-1,0 mg bolus iv), golongan alfa bloker (pentholamine),

alfa dan beta bloker yaitu labetalol (5-10 mg bolus iv). Pada pasien ini tidak diberikan

obat-obatan antihipertensi karena MAP tidak lebih dari 130 mmHg.

Pasien ini telah melewati masa golden period untuk itu kita harus mencegah

secondary brain injury dengan mengambil langkah-langkah pertahankan

normovolemik, mencegah hipoksia, mencegah nyeri, mencegah infeksi, dan lakukan

observasi terhadap vital sign dan GCS. Pada pasien ini telah dilakukan pencabutan

gunting di IGD dengan anastesi lokal. Seharusnya hal ini dihindari karena pencabutan

gunting dapat merusak jaringan sekitarnya.

Pasien ini dari awal hingga pasca operasi dilakukan head up 30o sebab posisi

kepala head-up 10-30o dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan

jalan memperbaiki drainase vena serebral. Posisi kepala yang tidak netral akan

mengganggu aliran darah serebral, sehingga TIK dapat meningkat. Yang perlu

diperhatikan adalah pasien dengan hipotensi, hipovolemia, dapat menurunkan MAP,

CPP dan terjadinya iskemia.

Pasien ini di diagnosa dengan vulnus punctum (gunting) pada bagian temporo

parietal dengan fraktur depresi. Untuk itu jenis pembedahan yang dilakukan untuk

pasien ini adalah Craniectomy. Hal ini dilakukan untuk evakuasi serpihan fraktur dan

mencegah infeksi. Pemilihan tehnik anastesi menggunakan GA-ETT dengan posisi

supine. GA-ETT dipilih karena pasien akan dilakukan craniectomy yang lama

operasi tidak dapat diperkirakan. Pemilihan GA-ETT juga dengan alasan penggunaan

muscle relaxan yang dapat mempermudah operator bedah. Teknik anestesi adalah

dengan memposisikan pasien dalam posisi supine dengan head up 30o, pre medikasi

dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 ug secara perlahan-lahan dalam waktu satu

menit, kemudian preoksigenasi dengan sungkup 8 l/i, selanjutnya injeksi lidokain 50

mg dan dilanjutkan induksi dengan propofol 100 mg à intubasi dengan ETT no. 7,5

cuff (+), SP ka=ki, kemudian dilakukan fiksasi dengan plester lalu pemberian anestesi

inhalasi dengan isofluran 1%, O2 2l/i, air 2l/I dan maintenance dengan Rokuronium

10 mg/ 15-20 mnt

25

Page 26: BAB 1-2-3-4 Anastesi

Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan untuk

menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular yang stabil.

Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan pilihan adalah cairan

kristaloid yang hiperosmolar dibanding dengan osmolaritas tubuh. Pada pasien ini

diberikan RSol yaitu cairan kristaloid yang hyperosmolar, untuk mencukupi

kebutuhan perhari dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil dengan

memantau nadi dan tekanan darah serta MAP dalam kisaran 75mmHg.

Pasien cedera otak membutuhkan nutrisi tinggi (dalam 24 jam) tujuannya

mengganti 140 % dari REE (resting energy expenditure) dengan 15 % protein selama

7 hari paska trauma. Enteral nutrisi berhubungan dengan rendahnya insiden

hiperglikemia serta proteksi terjadinya ulkus gaster. Waktu pengosongan lambung

akan memanjang maka perlu diberikan obat-obatan prokinetik. Penggunaan parenteral

nutrisi disarankan bersama dengan propilaksis ulkus gaster (H2 antagonis atau

sukralfate), kontrol gula darah dan CO2 yang merupakan hasil metabolism

karbohidrat. Hal ini sesuai dengan yang diberikan pada pasien yaitu 7,5 gram protein

yaitu 15% dari total kalori serta pemberian ranitidine untuk mencegah terjadinya

ulkus gaster.

Awal masuk rumah sakit, pasien ini mengalami leukositosis dengan hitung

jenis sel darah putih hingga 13.600 gr/dL sehingga dicurigai adanya infeksi akibat

luka tusuk. Oleh sebab itu pasien diberikan antibiotik spektrum luas secara intravena

yaitu injeksi ceftriaxone. Namun seharusnya dilakukan kultur pada pasien ini terlebih

dahulu sebelum pemberian antibiotik spektrum luas sehingga apabila pemberian

antibiotik spektrum luas dapat diganti dengan antibiotik yang spesifik untuk bakteri

tersebut tanpa harus membuang waktu untuk menunggu kultur dan menunggu

hasilnya lagi.

Pada pasien ini digunakan analgetik tramadol yang merupakan analgesik kuat

yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospsifik pada

reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon

terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmiter dari

saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri

terhambat. Pada pasien ini diberikan tramadol 100 mg/8jam.

DAFTAR PUSTAKA

26

Page 27: BAB 1-2-3-4 Anastesi

1. Stoelting RK, Miller RD. Basics of ANESTESIA. Fifth edition .Kalamas AG,

Chapter 23. Fluid Management. Churchill Livingstone, Elsevier.Philadelphia ;

2007: 347-52

2. Yao FS, Malhotra MD, Fontes ML. Anesthesiology : Problem Oriented

Patient Management. Sixth Edition. Section III. Lippincot Williams &

Wilkins. Philadelphia ; 2008 :471-514

3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. Fifth edition.

Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2006 :1054-60

4. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In:

Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston

Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.

5. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford

Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000

6. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.

Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.

7. Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of

Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury. Acta

Neurochir, 2005; 95: 13-16.

8. Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical

Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical

Strategies Publishing, USA. 2004.

9. Meier U, Grawe A, Konig A. The Importance of Major Extracranial Injuries

by the Decompressive Craniectomy in Severe Head Injuries. Acta Neurochir,

2005; 95: 55-57.

27

Page 28: BAB 1-2-3-4 Anastesi

10. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008

28