assigment ulum terkini 2014.docx

40
1.0 PENDAHULUAN Al-quran adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Quran adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya. َ ن يِ مِ لْ سُ مْ لِ ل ىَ رْ شُ بَ وً ةَ مْ حَ رَ ى وَ دَ هَ وٍ ءْ ىَ شِ ّ لُ كِ ّ ل اً ( انَ يْ - بِ 0 تَ بَ تِ كْ ل اَ 7 كْ يَ لَ ع اَ ( يْ لَ ّ < زَ ( نَ وDan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri . (Q.S.An-Nahl 89) Mempelajari isi Al-quran akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah : َ ونُ ( نِ مْ C ُ يٍ مْ وَ قِ ّ لً ةَ مْ حَ رَ ى وً دُ هٍ مْ لِ ع ىَ لَ عُ هَ ( نْ لَ ّ صَ ( فٍ بَ تِ كِ - نْ مُ هَ ( نْ C ِ جْ دَ قَ لَ وDan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S.Al-A’raf 52) 1

Upload: masitah71

Post on 17-Nov-2015

320 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1.0PENDAHULUAN

Al-quran adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat Jibril sebagai mujizat. Al-Quran adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, muamalah dan sebagainya.

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S.An-Nahl 89)

Mempelajari isi Al-quran akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S.Al-Araf 52)

Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Kerana itu, ada anggapan bahawa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-Quran. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Quran dengan bantuan terjemahnya, sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Quran. Bahkan di antara para sahabat dan tabiin ada yang salah memahami Al-Quran kerana tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh kerana itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Quran diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsir Al-Quran. Iaitu Ulumul Quran atau Ulum at tafsir2.0Konsep Ulumul Quran dan Ulumul Hadis

2.0.1Pengertian Ulumul Quran

Secara etimologi, kata Ulumul Quran berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, iaitu ulum dan Al-Quran. Kata ulum adalah bentuk jama dari kata ilmu yang bererti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Quran telah memberikan pengertian bahawa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Quran mahupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu rasmil Quran, ilmu Ijazil Quran, ilmu asbabun nuzul dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Quran menjadi bahagian dari ulumul Quran.

Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Quran diantara lain :

i) Assuyuthi dalam kitab Itmamu al-Dirayah mengatakan :

Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Quran dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafaz-lafaznya mahupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.

ii) Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:

.

Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Quran Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemujizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang boleh menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahawa ulumul quran adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Quran, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Quran mahupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Quran.

2.0.2 Ruang Lingkup Pembahasan Al-Quran

Ulumul Quran merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Quran meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Quran, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir mahupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu Irab Al-Quran. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al-Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al-Araby yang mengatakan bahawa ulumul quran terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al-Quran dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam Al-Quran mengandung makna zahir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.

Firman Allah :

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)

Secara garis besar Ilmu Al-Quran terbahagi dua pokok bahasan iaitu :

1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qiraat, tempat turun ayat-ayat Al-Quran, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.

2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafaz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Quran itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan sahaja seperti :

i) Nuzul.Perbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Quran misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syitaiyah, shaifiyah dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.ii) Sanad.Pembahasan ini meliputi hal-hal yang berkaitan sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qiraat nabi, para periwayat dan para penghafal Al-Quran, dan cara Tahammul (penerimaan riwayat).iii) Ada al-Qiraah.Pembahasan ini berkaitan waqaf, ibtida, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.iv) Pembahasan yang menyangkut lafaz Al-Quran, iaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, istiarah, dan tasybih.v) Pembahasan makna Al-Quran yang berhubungan dengan hukum, iaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, muakhar, mamul pada waktu tertentu, dan mamul oleh seorang saja.vi) Pembahasan makna Al-Quran yang berhubungan dengan lafaz, iaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.

2.0.3 Sejarah Perkembangan Ulumul Quran

Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang, ulumul Quran tidak lahir sekaligus. Ulumul Quran menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan keperluan dan kesempatan untuk membenahi Al-Quran dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.Di masa Rasulullah SAW dan para sahabat, ulumul Quran belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW.

Di zaman Khulafau Rasyiddin sampai dinasti Umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kerisauan sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan ditakuti tentang bacaan Al-Quran yang menjadi sebuah standard bacaan mereka. Untuk menghilangkan kerisauan itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah Al-Quran yang disebut Mushaf Imam. Dari salinan inilah suatu dasar ulumul Quran yang disebut Al Rasm Al-Utsmani.

Kemudian, Ulumul Quran memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan keutamaan perhatian mereka kepada ilmu tafsir kerana fungsinya sebagai umm al ulum alQuraniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syubah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). Pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn Jarir atThabari (310 H).

Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Quran terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi Al-ulum min Mawaqi al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Quran yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 pelbagai ilmu Al-Quran. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Quran. Kerana itu, menurut sebahagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Quran paling lengkap. Namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Quran. Didalamnya dibahas 80 pelbagai ilmu-ilmu Al-Quran secara padat dan sistematik. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Hingga kini dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Quran ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Quran masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.

3.0Definisi Hadis (Sunnah)

Hadis secara harfiah bererti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan dimaksudkan adalah perkataan dari Nabi Muhammad s.a.w. Namun sering kali kata ini mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah sehingga bererti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan mahupun persetujuan dari Nabi Muhammad s.a.w. yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Hadis sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al-Quran. Ibn Hajar memberi pengertian hadis iaitu apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Menurut Ayub bin Musa al-Husaini al-Qarimi al-Kufi yang lebih dikenali sebagai Abu al-Baqa, hadis ialah suatu istilah bercerita atau mengkhabarkan atau juga memberitahu yang disandarkan perkhabaran atau penceritaan tersebut kepada Rasulullah s.a.w. dari segi perkataan, perbuatan dan juga ikrar.(Asmawi, 2003).

Dari segi bahasa al-Sunnah bererti jalan atau cara hidup sama ada ianya terpuji mahupun tercela. Dari segi istilah ulama-ulama hadis mengatakan bahawa takrifannya adalah sama seperti al-hadis. Sunnah juga berlawanan dengan bidah. Imam Syatibi berkata seseorang itu dikatakan mengikuti sunnah sekiranya dia melakukan amalan yang bertepatan dengan amalan Rasulullah s.a.w. atau amalan yang tidak wujud pada zamannya, sahabat dan salafusolah. Sunnah juga diakui oleh jumhur ahlul hadis bahawa ianya termasuk amalan para sahabat, kerana adalah maklum bahawa sahabat sentiasa beramal bertepatan dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Ini ditegaskan oleh Imam Syatibi di dalam kitabnya bahawa sunnah sahabat adalah sebahagian dari sunnah Rasulullah s.a.w. berdasarkan hadis yang bermaksud:

Hendaklah kamu berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah bersungguh-sungguh (kacip gigi geraham)

Riwayat Abu Dawud. (Ahmad Fauzan, 2007).

3.0.1Sejarah Pengumpulan Hadis

i)Zaman Rasulullah s.a.w

Hadis yang diterima pada zaman Rasulullah cepat tersebar di kalangan sahabat kerana para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperolehi hadis daripada Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Kebenaran penyataan ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri seperti Umar bin al-Khatab yang telah membahagikan tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang asal daripada Nabi. Kata Umar,sekiranya tetangganya hari ini menemui Nabi, maka pada keesokan harinya dia pergi menemui Nabi untuk memperolehi berita yang berasal atau berkenaan dengan nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada orang yang tidak bertugas. Oleh itu, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk dan tidak sempat menemui Nabi juga tetap akan memperoleh hadis dari sahabat yang sempat menjumpai Nabi.

Malik bin al-Huwayris menyatakan:

Saya( Malik bin al-Huwayris ) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi S.A.W. Kami tinggal di sisi baginda selama dua puluh malam. Baginda adalah seorang yang penyayang dan akrab. Tatkala baginda melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, baginda bersabda:

kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukanlah solat bersama mereka. Bila telah masuk waktu solat, hendaklah salah seorang daripada kalian melaungkan azan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam.( riwayat al-Bukhari dari Malik bin al-Huwayris)

Pengalaman Ibn al-Huwayris menunjukkan bahawa pada zaman Nabi Muhammad S.A.W, para sahabat sangat besar minatnya untuk menimba ilmu pengetahuan langsung dari Nabi. Pada zaman Rasulullah s.a.w juga, baginda sentiasa mengadakan majlis-majlis ilmu dengan tujuan mengajar Islam kepada para sahabat dan telah mendapat sambutan hangat dari para sahabat. Setiap daripada mereka sentiasa berusaha sedaya upaya menghadiri majlis-majlis ilmu itu meskipun mereka sibuk dengan urusan hidup sendiri. Malah kalau mereka tidak dapat hadir mereka berusaha mengisi pengajaran majlis berkenaan melalui sahabat yang hadir. Para sahabat biasanya bermuzakarah sesama sendiri tentang segala apa yang mereka dengar daripada Rasulullah s.a.w. Anas Ibn Malik menceritakan:

Sewaktu kami berada dengan Nabi s.a.w. kami mendengar hadis daripadanya. Apabila kami beralih daripadanya kami bermuzakarah sehinggalah kami menghafalnya.

Riwayat al-Khatib al-Baghdadi.

Al-Bara bin Azib al-Awsiy telah menyatakan:

( ) .

Maksudnya:Tidaklah kami semuanya (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah S.A.W( kerana di antara) kami ada yang tidak memiliki waktu atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan pendustaan (terhadap hadis Nabi) orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan ( hadis itu ) kepada orang-orang yang tidak hadir.

( Riwayat al-Ramahhurmuzi dan al-Hakim dari al-Bara bin Azib al-Awsiy )

Pernyataan al-Bara ini jelas menunjukkan bahawa terdapat juga para sahabat pada zaman Rasulullah yang tidak dapat mendengar hadis melalui perantaraannya bersama Rasulullah sendiri kerana kesibukan mereka tetapi pada masa itu juga tidak wujud masalah penyelewengan hadis kerana tidak ada para sahabat yang dapat mendengar hadis daripada Rasulullah itu sendiri berani melakukan pendustaan terhadap hadis yang mereka perolehi daripada Nabi kepada orang yang tidak mendengar hadis itu daripada Rasulullah.

Disamping itu juga, para sahabat menumpukan usaha menghafal hadis-hadis secara sepenuh masa. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah S.A.W. sendiri dan dialami oleh orang-orang Islam. Selain daripada majlis-majlis ilmiah, para sahabat memperolehi hadis-hadis Rasulullah S.A.W. melalui peristiwa-peristiwa yang melibatkan baginda sendiri. Di dalam sesetengah keadaan, jumlah mereka yang mendengar hadis begitu ramai sehingga membolehkan hadis tersebar dengan mudah. Bagi jumlah sahabat yang sedikit Rasulullah S.A.W. akan meminta sahabat-sahabat tersebut memberitahu orang ramai mengenai hadis tersebut. Apabila terjadi apa-apa peristiwa terhadap masyarakat Islam pada waktu itu mereka akan bertanya Rasulullah S.A.W. tentang hukumnya.

Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis pada zaman itu begitu menonjol disebabkan beberapa perkara seperti Allah dan RasulNya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan sebagaimana firman Allah:

Maksudnya:apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

(surah al-zumar: 9)

Ayat ini telah banyak mendorong para sahabat untuk memperoleh pengetahuan yang banyak. Pada zaman Nabi juga, sumber pengetahuan yang sangat besar daya tarikannya bagi para sahabat ialah diri Nabi sendiri. Selain itu, masyarakat pada masa itu juga lebih cenderung mengikuti perkembangan dan tingkah lakupemimpinnya, lebih-lebih lagi sekiranya pemimin tersebut seorang yang berjaya. Nabi Muhammad telah dinilai oleh masyarakat sebagai seorang pemimpin yang berjaya. Oleh itu, tidak hairanlah sekiranya tingkah-laku Nabi pada masa itu menjadi bahan cerita. Nabi Muhammad juga bukanlah sekadar seorang pemimpin mereka, tetapi baginda juga merupakan seorang utusan Allah. Keyakinan inilah yang membawa sikap ketaatan dalam diri mereka untuk mendalami ilmu pengetahuan dalam bidang hadis.

Adalah menjadi cara hidup para sahabat pada waktu itu untuk bertanya Rasulullah s.a.w. tentang apa sahaja yang mereka musykilkan untuk dijadikan panduan dalam menyelesaikannya. Perbuatan-perbuatan Rasulullah S.A.W yang disaksikan oleh para sahabat. Para sahabat sentiasa melihat sendiri bagaimana Rasulullah S.A.W. bersolat, berpuasa, menunaikan haji, bermusafir dan apa sahaja yang dilakukan di dalam kehidupan sebagai individu, pemerintah, pentadbir dan sebagainya. Pada masa hayat Rasulullah S.A.W. sunnah terpelihara dengan baiknya di kalangan para sahabat bersama Al-Quran. Mereka mengetahui sunnah yang pernah lahir dan telah menghafalnya sebaik-baiknya. Malah mereka telah mewariskan sunnah itu kepada generasi Tabiin dengan cara yang sempurna dan meyakinkan.

Di samping itu, kebijaksanaan Nabi mengutus para sahabat ke berbagai daerah , sama ada untuk tugas khusus berdakwah mahupun untuk memangku jabatan, tidak kecil juga peranannya dalam penyebaran hadis. Berbagai peperangan yang telah dimenangi oleh Nabi dan umat Islam juga turut mempercepatkan proses penyebaran hadis pada zaman itu. Seiring dengan itu, umat Islam menyebarkan hadis ke berbagai wilayah yang telah tunduk kepada kekuasaan Islam. Penyebaran umat Islam bukan sekadar untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk kepentingan dakwah. Dengan dakwah-dakwah itu, tersebar pulalah hadis Nabi.

Daripada pernyataan di atas, dapatlah kita simpulkan bahawa cara Nabi menyampaikan hadisnya tidaklah terikat dengan hanya satu cara sahaja. Untuk hadis berupa sabda, Nabi menyertakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulisnya. Pada umumnya, Nabi tidak menyertakan menyertakan perintah tersebut. Di samping itu, adakalanya hadis dalam bentuk sabda itu dikemukakan oleh Nabi kerana sebab tertentu dan pada umumnya dikemukakan kerana tidak ada sebab tertentu. Sabda Nabi adakalanya dikemukakan di hadapan orang ramai dan ada pula yang dikemukakan di hadapan beberapa orang atau seorang sahaja.

Demikian pula hadis yang berupa perbuatan, ada yang disampaikan oleh Nabi kerana sebab-sebab tertentu, ada yang tanpa didahului oleh sebab tertentu, ada yang disampaikan dihadapan orang ramai dan ada yang disampaikan di hadapan orang-orang tertentu sahaja. Hadis dalam bentuk taqrir pula terbatas penyampaiannya. Sebab kelahiran taqrir Nabi berkaitan erat dengan peristiwa tertentu yang dilakukan oleh sahabat Nabi. Hadis dalam bentuk hal ehwal Nabi sesungguhnya bukanlah merupakan aktifitas Nabi kerana Nabi dalam menyampaikannya bersikap pasif sahaja. pihak yang aktif adalah para sahabat Nabi yang boleh disifatkan sebagai perakam terhadap hal ehwal Nabi tersebut.

Segala ragam cara penyampaian hadis oleh Nabi tersebut telah membawa beberapa implikasi seperti perkembangan ilmu hadis dalam masyarakat masa itu, perbendaharaan dan pengetahuan para sahabatmengenai hadis Nabi tidak sama kerana ada sahabat yang banyak mengetahui secara langsung mengenai sesuatu hadis dan ada yang sebaliknya. Jadi, para sahabat Nabi dalam periwayatan hadis ada yang berstatus sebagai saksi primer dan ada yang berstatus saksi sekunder.

Nabi melihat bahawa minat yang besar para sahabat untuk menyebarkan hadis akan dapat menjerumuskan mereka ke arah penyampaian berita yang tidak benar. Kerana pada ghalibnya, manusia cenderung kepada sifat menokok tambah berita yang disampaikannya. Di samping itu, baginda bimbang para sahabat akan mengubah hadis tersebut tanpa mereka sedari lantas baginda bersabda dalam hadisnya:

Maksudnya:Telah cukup seseorang itu dikatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya.

(riwayatMuslim dan al-Hakim)

Hadis ini dan berbagai pernyataan sahabat Nabi yang semakna dengannya, dinyatakan oleh al- Nawawi ( wafat 676 H = 1277 H ) sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Berita yang didengar itu mungkin ada yang benar dan ada yang tidak benar. Jika semua cerita yang didengar diceritakan, bererti orang itu telah menyampaikan berita yang dusta. Dalam hal ini, al-Nawawi tidak menghubungkan maksud hadis di atas dengan hadis-hadis yang sebelumnya. Muslim dan al-Hakim telah menempatkan hadis tersebut di urutan setelah hadis-hadis yang berisi tentang ancaman siksaan api neraka terhadap orang yang sengaja membuat hadis palsu, Muslim dan al-Hakim nampaknya lebih cenderung memahami hadis di atas bukan sekadar berkaitan dengan berita pada umumnya , melainkan ada juga hubungannya dengan periwayatan hadis Nabi.

Mengikut Muhammad Yusof Musa, sebab sebenar mengapa sunnah tidak ditulis pada masa hayat Rasulullah S.A.W. ialah larangan Rasulullah s.a.w. sendiri berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al Khudri, sabda Nabi S.A.W. dengan maksudnya:

Jangan menulis apa-apa dari saya. Sesiapa yang menulis apa-apa dari saya selain daripada al-Quran hendaklah dia padamkan.

Abu Hurairah meriwayatkan yang bermaksud:

Rasulullah s.a.w. telah keluar kepada kami pada waktu kami sedang menulis hadis-hadis. Nabi s.a.w lalu bertanya Apa yang kamu semua tulis ini ?

Jawab kami:

hadis-hadis yang kami ambil dari tuan.

Sabda Nabi s.a.w:

Sebuah kitab yang lain dari kitabullah? Tahukah kamu bahawa sebab mengapa orang-orang terdahulu menjadi sesat ialah kerana mereka menulis kitab-kitab lain di samping Kitabullah taala.

Rasulullah pada ketika itu enggan membenarkan penulisan hadis kerana bimbang sekiranya terjadi percampuran antara al-Quran dan al-hadis dan umat Islam tidak dapat membezakan antara sumber kedua-dua sumber tersebut hingga menimbulkan kekeliruan di kalangan umat Islam akhir zaman untuk menentukan yang mana lebih utama. Zaid bin Thabit meriwayatkan yang dinukil oleh seorang sahabat bernama Abu Said al-Khudri, sabda Nabi s.a.w:

Janganlah kamu tulis sesuatu tentangku, barang siapa yang telah menulis tentangku selain Al-Quran, maka padamkanlah, ceritalah tentangku tidak mengapa tetapi sesiapa yang membuat pembohongan ke atas diriku dengan sengaja, maka tersedia tempatnya dalam neraka.

Memang tidak dinafikan bahawa ramai di kalangan sahabat yang tidak dapat bersama-sama dengan Rasulullah s.a.w. sepanjang waktu untuk menerima dan meneliti setiap perkataan dan perbuatannya. Bagaimanapun apa yang jelas larangan tersebut bukanlah dinyatakan secara tegas. Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan sebaliknya. Abu Hurairah berkata:

Tidak ada daripada para sahabat Nabi s.a.w. yang mempunyai lebih banyak hadis daripada saya kecuali Abdullah Ibn Amr kerana dia menulis sedangkan saya tidak.

Dalam hadis lain Rafi bin Khudaij menyebut:

Kami berkata: Wahai Rasulullah s.a.w. ! Kami telah mendengar banyak perkara daripada tuan, apakah boleh kami menulisnya?

Jawab baginda:

Tulislah, tidak mengapa.

Kemungkinan larangan itu bukan terhadap penulisan hadis secara umum, tetapi sebaliknya terhadap penulisan hadis bersama-sama dengan Al-Quran dalam sohifah yang sama. Tujuannya ialah supaya tidak bercampur baur dengan Al-Quran atau mengurangkan minat para sahabah di dalam menulis ayat-ayat Al-Quran. Apabila kedudukan Al-Quran dan sunnah telah jelas bagi orang Islam, penulisan hadis pun dibenarkan, terutama bagi mereka yang menghadapi masalah menghafal.

ii)Pengumpulan Pada Zaman Sahabat

Zaman pemerintahan Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar al- Khattab tidak menunjukkan sebarang kemajuan dalam perkembangan ilmu Hadis. Pengumpulan hadis yang dilakukan di peringkat ini iaitu pengumpulan secara hafalan sahaja. Data sejarah tentang pengumpulan hadis pada zaman khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Ini disebabkan pada masa tersebut umat Islam berhadapan dengan berbagai ancaman dan kekacauan dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan negara. Jadi, periwayatan hadis masa khalifah Abu Bakar belum menonjol di kalangan umat Islam pada masa itu. Antara sebab lain yang mendorong kepada tidak berlakunya penulisan hadis ialah sikap para sahabat sendiri bimbang ianya akan menjejaskan perhatian mereka atau perhatian orang ramai terhadap Al-Quran. Aisyah pernah meriwayatkan bahawa bapanya Abu Bakar al-Siddiq pernah membakar lima ratus hadis. Selain itu Khalifah Umar pernah menyarankan proses mengumpul hadis, tetapi setelah beliau beristikharah selama sebulan maka natijahnya, beliau menolak cadangan mengumpul hadis dalam bentuk penulisan ekoran daripada sikap ambil beratnya terhadap Sunah takut ianya bercampur aduk dengan kalam Allah. Percubaan Saidina Umar ini menunjukkan kepada kita bahawa pengumpulan hadis dari sudut hukum adalah harus dan beliau tidak berbuat demikian adalah kerana dikhuatiri sahabat pada waktu itu lebih tertumpu kepada Sunnah tidak kepada kitab Allah.

Umar pula sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini boleh dilihat ketika beliau mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubai bin Kaab. Umar bersedia untuk mendengar hadis daripada Ubai bin Kaab setelah para sahabat yang lain, di antaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar hadis Rasulullah tentang apa yang dikemukakan oleh Ubai itu.

Akhirnya Umar berkata kepada Ubai:

Demi Allah, sungguh aku tidak menuduhmu telah berdusta. Aku berbuat demikian kerana aku ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis nabi.Apa yang dialami oleh Ubai bin Kaab itu telah dialami juga oleh Abu Musa al-Asyari, al-Mughirah bin syubah, dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan sikap hati-hati Umar dalam periwayatan hadis. Di samping itu, Umar juga menekan kepada para sahabatagar tidak memperbanyak periwayatan hadis dalam masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Al-Quran.

Abu Hurairah yang dikenali sebagai salah seorang yang banyak menyampaikan riwayat hadis, terpaksa menahan diri dengan tidak banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar. Abu Hurairah menyatakan bahawa sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada zaman Umar, nescaya dia akan dicambuk oleh umar.

Daripada pernyataan di atas, dapatlah kita simpulkan bahawa periwayatan hadis pada zaman Umar lebih banyak dilakukan oleh umat Islam berbanding pada zaman Abu Bakar. Dalam masa yang sama juga para periwayat hadis masih agak terkekang dalam melakukan periwayatan hadis kerana Umar telah melakukan pemeriksaan yang cukup ketat kepada para periwayat hadis.

Secara umumnya, kebijaksanaan khalifah Uthman bin Affan tentang periwayatan hadis tidak jauh bezanya dengan apa yang telah ditempuh oleh khalifah sebelumnya. Hanya langkah uthman sahaja tidaklah setegas langkah khalifah Umar. Uthman secara peribadi tidaklah banyak meriwayatkan hadis. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahawa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uthman sekitar empat puluh hadis sahaja. itu pun banyak matan hadis yang terulang kerana perbezaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu adalahhadis mengenai cara berwuduk.

Dalam satu khutbah, uthman meminta kepada sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah dengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan ini menunjukkan pengakuan Uthman atas sikap hati-hati kedua khalifah sebelumnya. Sikap hati-hati itu juga ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.

Dari huraian tersebut, dapatlah kita simpulkan bahawa pada zaman Uthman, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadis lebih banyak jika dibandingkan dengan kegiatan periwayatan hadis pada zaman khalifah sebelumnya. Uthman menyeru umat Islam dalam khutbahnya agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadis tetapi seruan itu tidak besar pengaruhnya terhadap para periwayat tertentu yang bersifat longgar dalam periwayatan hadis. Hal itu terjadi kerana kerana sifat peribadi Uthman tidaklah sekeras sifat peribadi Umar, juga kerana wilayah Islam telah tersebar luas. Luasnya wilayah Islam menyebabkan semakin bertambah kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

Pada zaman khalifah Ali bin Abu Talib pula juga tidak jauh bezanya dengan zaman khalifah yang sebelumnya. Secara umumnya, Ali barulah bersedia menerima hadis Nabi setelah periwayat hadis yang bersangkutan mengucapkan sumpah bahawa hadis yang disampaikan itu benar-benar berasal daripada Nabi. Hanya kepada periwayat yang benar-benar telah dipercayainya, Ali tidak meminta periwayat hadis itu untuk bersumpah. Ali sendiri juga cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi . Hadis yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, dia juga meriwayatkan hadis dalam bentuk tulisan. Hadis yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda, pembebasan orang Islam yang ditawan orang kafir dan larangan hukum kisas terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahawa Ali telah meriwayatkan lebih daripada 780 hadis. Sebahagian matan daripada hadis tersebut berulang-ulang kerana perbezaan sanadnya. Ini menunjukkan bahawa Ali merupakan periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadis dalam Musnad Ahmad jika dibandingkan dengan khalifah sebelumnya.Situasi pada zaman Ali juga berbeza daripada zaman sebelumnya kerana pada zaman tersebut pertentangan politik umat Islam semakin menajam. Peperangan antara kelompok penyokong Ali dengan penyokong Muawiyah telah terjadi. Hal ini membawa kesan negatif dalam bidang periwayatan hadis dan kepentingan politik tersebut jugalah yang mendorong pihak-pihak tertentu ke arah pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidaklah seluruh periwayat hadis itu dipercayai riwayatnya.

Oleh itu, sikap ambil berat sahabat terhadap sunnah juga dapat kita perhatikan melalui usaha para sahabat mengumpul dan memastikan kesahihan hadis sehinggakan mereka sanggup bermusafir beribu batu dengan hanya menaiki unta semata-mata untuk mencari hadis sahih sebagaimana yang berlaku ke atas Jabir bin Abdullah yang bermusafir selama sebulan ke negeri Syam, mencari dengan Abdullah bin Unais al-Ansari bagi mendapatkan hadis daripada Rasulullah saw. Begitu juga sebelum berakhirnya zaman sahabat telah kedapatan Sunnah dalam bentuk pengumpulan dan pembukuan antaranya " as-Sahiifah as-Saadiqah" oleh Abdullah bin Amru, " as-Sahiifah" oleh Jabir bin Abdullah al-Ansaari, " as-Sahiifah as-Sahiihah" oleh Hamam bin Munabbih dan " sahiifah Ali" oleh Saidina Ali. Begitulah perjalanan Sunnah pada kurun pertama.

Abu Musa al-Asyari meriwayatkan, melarang anaknya daripada menulis hadis kerana takut beliau tidak menulisnya dengan tepat. Dalam riwayat lain beliau disebut sebagai berkata:

Hafallah daripada kami sebagaimana kami telah menghafalnya

Dipercayai banyak daripada tulisan-tulisan mengenai hadis dipadamkan atau dimusnahkan oleh penulisnya sendiri kerana takut ia akan terjatuh ke tangan orang yang tidak layak, tidak alim dan tidak tahu membezakan antara Al-Quran dan hadis atau perkara-perkara lain.

Walaupun begitu peranan hadis ketika itu semain menonjol apabila sahabat menghadapi masalah untuk menyelesaikan kes-kes yang tidak dinyatakan dalam Al-Quran secara khusus misalnya hak pewarisan nenek. Al-Mughirah bin Syubah meriwayatkan hadis bahawa dia pernah melihat Rasulullah s.a.w. memberikan satu perenam harta kepada seorang nenek. Dalam keadaan berhati-hati usaha di kalangan sahabat yang mengambil berat soal hadis tetap ada. Abu Ayub al-Ansari misalnya sanggup mengembara ke negeri Mesir menemui Uqbah bin Amir semata-mata kerana mahu mengesahkan sebuah hadis yang berbunyi:

Barang siapa yang menutup keaiban atau kesulitan seorang saudaranya yang muslim di dunia nescaya Allah akan menutup keaibannya pada hari kiamat.

Mengikut riwayat Nafi daripada Ibnu Umar ada terdapat selambar tulisan mengenai zakat binatang peliharaan di hulu pedang Umar Ibn Khattab. Ali juga diketahui telah menggantung di pedangnya satu catatan tentang jenayah, kehormatan bumi madinah dan hukum tidak dibunuh balas orang Islam yang membunuh orang kafir. Mengikut Ibn al-Hanafiah Muhammad Ibn Ali r.a. bapanya pernah menghantar beliau untuk membawa sepucuk surat kepada Uthman yang didalamnya mengandungi arahan-arahan Rasulullah s.a.w. tentang zakat.Sad Ibn Ubbadah r.a. juga diriwayatkan memiliki beberapa buah penulisan yang mengandungi hadis-hadis Rasulullah s.a.w. sebuah lagi penulisan iaitu yang dikenali al-sahifah al-sadiqah, iaitu nama yang diberi sendiri oleh penulisnya Abdullah ibn Amru Ibn al-As. Ia mengandungi hadis-hadis yang diterima oleh Abdullah daripada Rasulullah s.a.w. secara berdua-duaan sahaja.

Perkembangan dan pengumpulan hadis yang giat dilakukan itu masih dikategorikan sebagai pengumpulan dalam dada atau hafalan walaupun sudah terdapat segelintir sahabat yang memulakan usaha mencatat hadis dengan kebenaran khas. Perhatian khulafa al-Rasyidin dalam memelihara hadis amat disanjung tinggi. Ketegasan mereka dalam menghalang umat Islam daripada berlakunya penyelewengan dalam meriwayatkan hadis sebenarnya tidak berniat serong tetapi semata-mata kerana menjaga dan memelihara kemuliaan serta darjat hadis Nabi Muhammad s.a.w. itu sendiri. Zaman ini dapat dianggap sebagai zaman asas kepada zaman pengumpulan dan penulisan Ilmu Hadis.

iii)Pengumpulan Pada Zaman Tabiin

Peringkat ini bermula dari awal kurun ke dua hingga ke awal kurun ketiga hijrah. Pada peringkat ini boleh dikatakan ilmu hadis telah sempurna dikumpul dan dibukukan. Hal demikian memandangkan kepada beberapa faktor yang mendorong ulama supaya membukukan sunnah. Antara faktor-faktor tersebut, kurangnya daya ingatan manusia pada zaman itu tidak sebagaimana yang zaman sahabat dan taabiiin. Ianya telah diakui oleh Imam az-Zahabi dalam kitabnya "Tazkiratul Huffaz". Begitu juga telah lahirnya ajaran sesat serta kumpulan yang telah terpesong daripada ajaran Islam yang sebenar seperti Mutazilah, Khawarij dan lain-lain. Faktor tersebut telah mendorong Khalifah Umar bin Abdul Aziz selaku pelopor kepada pembukuan Sunnah ini, mengarahkan ulamak untuk mengumpul segala hadis dengan tujuan untuk menyelamatkan Sunnah daripada penyelewengan dan hadis-hadis Mauduk (hadis yang direka dan dinisbahkan kepada Rasul).

Begitu juga pada waktu itu telah timbulnya cabang ilmu hadis iaitu ilmu " al-Jarh wa at-Tadiil" bagi mengkritik periwayat hadis. Hal ini penting untuk menyelamatkan Sunnah daripada tujuan buruk mereka mencipta hadis semata-mata untuk kepentingan kumpulan-kumpulan tertentu. Ulama telah mula berhati-hati didalam mengambil hadis daripada periwayat hadis dan tidak meriwayatkan hadis daripada periwayat hadis yang tidak dikenali peribadinya. Ulamak hadis telah memberikan perhatian khusus pada isi hadis dan sanadnya.Arahan pelaksanaan membukukan hadis itu dilaksanakan oleh Ibn Syihab Az-Zuhri maka disebut bahawa beliaulah yang pertama mengumpulkan hadis secara tersusun. Pada zaman khalifah Abbasiyah muncullah pula golongan ulama seperti Ibn Juraij (150 H) yang mengumpulkan hadis di Makkah, Abu Ishaq (151 H) dan Imam Malik (179 H) yang mengumpulkan hadis di Madinah, Ar-Rabi ibn Syabih (160 H) , Hammad ibn Salamah (176 H) yang mengumpulkan hadis di Basrah dan Sufyan As-Sauri (116) di Kufah serta Al-Auzaie (156 H) yang mengumpulkan di Syam dan lain-lainnya yang nyatanya kebanyakkan mereka pernah berguru kepada Ibn Hazm dan Az-Zuhri.

Manakala selain menumpukan pada usaha menghimpunkan hadis para ulamak juga mula meneliti hadis - hadis yang sampai kepada mereka dan perawi-perawi yang meriwayatkan hadis. Mereka mula meneliti siapakah perawi hadis, keadaan dan sifat peribadinya, kaedah menerima dan menyampaikan hadisnya, tarikh lahir dan kematiannya, perawi yang meriwayatkan darinya dan yang diriwayatkan olehnya dan pelbagai lagi demi menjaga kesahihan dan kebenaran hadis itu dari kepalsuan. (Emran Ibn Ahmad, 2005). Manhaj Ahlul hadith (salafus soleh) dalam mempraktikkan sunnah dalam kehidupan memastikan kesahihan riwayat .

Metodologi yang diamalkan oleh salafus solah dalam mengamalkan sunnah ialah memastikan kesahihan riwayat. Dalam mempraktikkan sunnah kita harus memastikan kesahihan hadis dengan demikian dengan yakin kita dapat mengamalkan sunnah Rasulullah s.a.w. Ibn Taimiyah berkata:

Tidak boleh kita menyandarkan syariat agama ini pada hadis-hadis yang lemah (dhaif).

Menyampaikan sunnah dan tidak memperdebatkannya. Memperdebatkan sunnah hanya akan membawa pada pertikaian yang memberi kesan terhadap sunnah nabawiyah itu sendiri. Imam Malik berkata:

Perdebatan hanyalah akan membawa pada pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati, serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. Demikian pula Imam Ahmad menyatakan:Sampaikanlah sunnah dan jangan kalian memperdebatkannya.

Istiqamah dalam pegangan walaupun berseorangan. Mujahadah dalam menegakkan sunnah amat penting dalam kehidupan masyarakat masa kini. Masyarakat Islam, Melayu khasnya sentiasa cenderung mengikut pendapat turun temurun dari beritimad dan berpegang dengan sunnah Rasul s.a.w. Umat Islam perlu berpegang pada sunnah walaupun ianya dipandang serong oleh masyarakat umum.

4.0Faedah mempelajari ulum Al-Quran dan Ulumul Hadis

4.0.1Faedah mempelajari Ulumul Quran adalah:

i)Dapat memahami kalam Allah Aza Wajalla seiring dengan keterangan yang diambil oleh para sahabat dan para tabiin tentang interprestasi mereka terhadapAl-Quranii)Mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkanAl-Quran dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.iii)Mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Quraniv)Mengetahui ilmu-ilmu lain yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Quran. Hubungan Ulumul Quran dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal iaitu:

a.Fungsi Ulumul Quran sebagai alat untuk menafsirkan, iaitu:

1.Ulumul Quran akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir Ulumul Quran secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

2.Dengan menguasai Ulumul Quran seseorang dapat membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Quran.

3.Ulumul Quran sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Quran.

4.0.2Faedah mempelajari Ulum Hadis

Ilmu hadis merupakan salah satu ilmu syariat yang wajib dipelajari. Semua hukum- hukum syarak berpandukan hadis. Sesiapa yang tidak mempelajari ilmu hadis, dia akan terjerumus dalam kesilapan. Antara kepentingannya:

i) Bagi ulama-ulama tafsir, mereka mampu mentafsirkan ayat-ayat Al-Quranberpandukan hadis. Apa yang jelas daripada Al-Quran, umat Islam wajib beramal terus tanpa sebarang takwil. Apa yang kurang jelas, para ulama hadis akan berusaha keras mencari hadis untuk mentafsirkannya.

ii) Bukti seorang yang fakih (mendalam) ilmu pengetahuan agamanya dalambidang fikah,ialah orang yang paling banyak menghafaz hadis dan memahami selok belok ilmu hadis seperti naskah dan mansukh, jarh dan ta'dil, sahih, daif atau palsu sesebuah hadis.

iii) Bagi ulama usul pula, mereka mampu mencipta kaedah-kaedah usul bagimenetapkan sesuatu hukum. Timbullah bermacam kaedah seperti semua benda yang memabukkan haram, sesuatu yang boleh menyebabkan kebinasaan haram dan banyak lagi. Kaedah-kaedah inilah yang menjadi asas dalam pelabagai masalah agama.

iv) Dengan mengagungkan hadis daif (lemah) atau palsu menyebabkan umatIslam jauh terpesong dari landasan syarak sebenar. Dengan mempelajari ilmu hadis, akal yang waras akan menolak sebarang pemalsuan dan fakta daif yang tidak boleh dijadikan sandaran hukum.

Golongan yang mempelajari ilmu hadis sama sekali tidak akan memperkatakan tentang hukum-hakam syarak tanpa ilmu pengetahuan yang sahih. Apa yang tidak sampai kepada mereka, mereka berdiam diri. Mereka sanggup meninggalkan amalan yang bercanggah dengan hadis sahih setelah menemuinya. Malah, mereka sanggup membatalkan segala pendapat mereka sama ada ketika hidup atau selepas mati jika menyanggahi hadis sahih.

5.0Al-Quran Sumber Perundangan Islam

Al-Quran merupakan sumber utama hukum-hukum Ilahi. Al-Quran lebih diutamakan daripada sumber-sumber lain yang dirujuk guna untuk mendapatkan berbagai hukum(ahkam)syariah. Al-Quran telah dan akan tetap selain merupakan sumber komprehensif hukum-hukum Ilahi juga menjadi kriteria untuk menilai berbagai hadis.

Atas dasar inilah, sejak zaman nabi Muhammad s.a.w hingga saat ini dan untuk selamanya, Al-Quran telah menjadi sumber rujukan utama bagi para fuqaha Islam.

5.0.1Definisi Al-Quran Dan Perundangan Islam

i) Definisi Al-Quran

Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui perantaraan Jibrail a.s di dalam bahasa Arab bermula dari Surah Al-Fatihah hingga Surah An-Nas ditulis dalam mushaf yang periwayatan secara mutawwatir dan menjadi ibadah apabila membacanya.ii) Definisi Perundangan Islam

Hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t kepada manusia yang merangkumi aspek akidah, ibadah (solat, zakat, puasa, haji dan ekonomi), syariah, politik, sosial, makanan dan minuman serta akhlak yang perlu diyakini dan dipatuhi untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalil Penjelasan Al-Quran Sebagai Sumber Utama Perundangan Islam

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada "Ulil-Amri" (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya. (Surah An-Nisa,4: 59)

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., bahawa Baginda bersabda: "Aku tinggalkan dalam kalangan kamu dua perkara yang kamu tidak sekali-kali akan sesat selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, iaitu kitab Allah dan sunnah Rasulullah s.a.w. (Imam Malik)

5.0.2Asas Perundangan Islam Menurut Al-Quran

i)Hukum Iktikadiaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan keimanan.ii)Hukum Akhlakiaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku seorang mukallaf untuk menghiaskan dirinya dengan sifat-sifat terpuji dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.iii)Hukum Amaliyakni segala peraturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Aspek hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh Al-Quran dan itulah yang dikembangkan oleh ilmu usul fiqh.iv)Hukum pertama yang menjadi dasar kepada agama, manakala hukum kedua menjadi penyempurna bahagian yang pertama dan hukum amali yang juga disebut syariat adalah bahagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan mencakupi persoalan fekah.

5.0.3Sifat-Sifat Al-Quran Sebagai Sumber Perundangan Islam

i)Al-Quran tidak memberatkan Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kamu menanggung kesusahan (Surah Al-Baqarah, 2: 185)

ii)Al-Quran turun secara berperingkat-peringkat dalam perlaksanaannyaagar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Turunnya Al-Quran berdasarkan suatu kejadian tertentu akan lebih berkesan dan mempengaruhi jiwa dan hati manusia.

Peringkat Pengharaman Arak Dan Hikmahnya

i)Ayat Al-Quran pertama diturunkan ketika di Makkah di mana di dalam ayat itu Allah belum lagi menjelaskan pengharaman arak dan masih boleh diminum ketika itu.

Dan dari buah tamar (kurma) dan anggur kamu jadikan daripadanya minuman haram dan makanan serta minuman yang halal; sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat satu tanda (yang membuktikan kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mahu menggunakan akalnya. (Surah An-Nahl: 67)

ii)Ayat kedua ini menjelaskan perbezaan di antara baik dan buruk arak. Ia juga menjelaskan bahawa dosa arak adalah lebih besar daripada manfaatnya.

Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai arak dan judi . Katakanlah: "pada kedua-duanyaada dosa besar dan ada pula beberapa manfa'at bagi manusia ,tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfa'atnya " (Surah Al-Baqarah: 219)iii)Ayat ketiga ini pula melarang umat Islam ketika itu meminum arak tatkala hampir waktu untuk bersolat. Perkara ini berlaku kerana imam sembahyang ketika itu dikatakan telah tersalah membaca Surah Al-Kafirun ayat 6.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sembahyang (mengerjakannya) sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu sedar dan mengetahui akan apa yang kamu katakan (Surah An-Nisa: 43)

iv)Ayat keempat ini mengharamkan arak secara sekali gus. Jumhur fuqaha mengharamkan arak disebabkan ia adalah najis dan memabukkan. Ayat ini adalah dalil yang putus mengenai pengharaman meminum arak.

Wahai orang-orang yang beriman! Bahawa sesungguhnya arak dan judi dan pemujaan berhala dan mengundi nasib dengan batang-batang anak panah, adalah (semuanya) kotor (keji) dari perbuatan Syaitan. Oleh itu hendaklah kamu menjauhinya supaya kamu berjaya. (Surah Al-Maidah: 90)

5.0.4Kepentingan Perlaksanaan Perundangan Islam Bersumberkan Wahyu

i)Untuk usaha menjagaagama, Islam mengharamkanriddah(murtad) dan mewajibkan hukuman mati ke atas sesiapa yang murtad di samping memberi kebebasan beragama kepada non-muslim kerana tiada paksaan di dalam beragama.ii)Untuk menjaganyawa, Islam telah mengharamkan pembunuhan serta menetapkan hukuman qisas ataupundiyatatauIrsyterhadap sesiapa yang melakukan kesalahan bunuh dan yang berkaitan dengannya.iii)Untuk menjagaakal, Islam mengharamkan arak serta setiap yang memabukkan dan telah menetapkan hukuman kepada peminum arak iaitu dikenakan sebatan sebanyak 80 sebatan.iv)Untuk menjagaketurunanpula Islam mengharamkan perbuatan zina. Sesiapa yang didapati bersalah, Allah SWT telah menetapkan hukuman rejam sampai mati bagi sesiapa yang sudah berkahwin dan 100 kali sebatan kepada mereka yang masih bujang.v)Untuk menjagamaruah, Islam mengharamkanqazaf(menuduh tanpa bukti). Hukuman kepada pesalahqazafiaitu sebatan sebanyak 80 kali.vi)Untuk menjagaharta, Islam telah mengharamkan kegiatansariqah(pencurian) serta hirabah(rompakan). Kepada pencuri dipotong tangannya sebagai hukuman. Manakala hukuman kepada perompak pula hendaklah dipotong tangan dan kakinya secara bersilang (tangan kanan kaki kiri). Sekiranya rompakan itu disertai dengan pembunuhan, maka hukuman mati hendaklah dijatuhkan terhadap pesalah oleh mahkamah.

5.0.5Hikmah Hukuman Zina Menurut Saintifik

i)Bagi penzina yang belum berkahwin mereka mempunyai antibodi limfosit T4 yang kuat dan masih bertenaga.ii)Sekiranya seseorang penzina itu dihinggapi HIV selepas penzinaannya, limfosit T4nya akan diserang oleh HIV yang akan menyebabkan sel-sel tersebut musnah.iii)Berdasarkan kajian, perkara ini boleh disembuh melalui penderaan pada badannya bagi merangsang penghasilan sel-sel T4 yang baru.iv)Jika penghidap AIDS sudah berkahwin apabila dihinggapi HIV, sel-sel T4 mereka telah lemah berbanding mereka yang belum berkahwin.v)Kelemahan ini berpunca daripada sum-sum tulang yang mengalami sedikit hakisan dan kurang menghasilkan antibodi kerana lebih banyak ditumpukan ke arah menghasilkan sperma-sperma yang baru.vi)Penzina jenis ini tidak akan dapat diselamatkan daripada virus HIV dan rejam sehingga mati adalah merupakan penyelesaian terbaik bagi mengelakkan penyebaran penyakit di samping memberikan pengajaran yang menyebabkan orang takut untuk melakukan kesalahan yang sama.

vii)Dalil Al-Quran mengenai hukuman kepada penzina:

Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali sebat dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah disaksikan hukuman seksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Surah An-Nur: 2)6.0Al-Hadis Sebagai Sumber Perundangan IslamHadis merupakan sumber perundangan yang kedua selepas Al-Quran. Ia merupakan amali apa yang telah di jelaskan di dalam Al-Quran. Kadangkala ia mentafsirkan ayat, menjelaskan kekeliruan, memperincikan hukum hakam yang tidak di jelaskan di dalam mana-mana ruangan kecuali hadith. Inilah yang kita nyatakan seseorang yang mendakwa beliau hanya cukup beriman dengan Al-Quran adalah sesat. Ini kerana beliau meninggalkan sumber perundangan Islam yang kedua iaitu hadis.Peranan hadis terhadap Al-Quran boleh kita simpulkan secara ringkas seperti berikut ;

1.Menjadi Penguat Hujah Perkara Yang Telah Di Jelaskan Di Dalam Al QuranIni seperti yang kita maklum bahawa beberapa perkara yang dijelaskan oleh Al-Quran seperti solat, zakat, puasa dan haji.Contoh hadis : Islam itu di bina atas 5 dasar utama iaitu shahadah, mendirikan solat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan [Riwayat Al Bukhari]

Hadis di atas penguat ayat Al-Quran iaitu :

Dirikanlah solat dan tunaikan zakat [Surah Al Baqarah ayat 83]2.Menjelaskan Dengan Terperinci Perkara Yang Terdapat Di Dalam Al-QuranPeranan kedua ini di bahagikan kepada beberapa perkara :a)Menjelaskan perkara yang umum. Contohnya ialah Allah menyuruh hambaNya bersolat. Di dalam Al-Quran tanpa di terangkan waktu solat, rukun-rukun, rakaat dan sebagainya.Maka hadis menerangkan dengan terperinci cara perlakuan solat, rukun, hukum hakam dan sebagainya. Antaranya hadis yang menerangkan cara bersolat seperti hadis :

solatlah kamu sepertimana kamu lihat aku bersolat [Riwayat Al Bukhari]Begitulah jua di dalam tajuk zakat, haji, pernikahan, muamalat, jenayah dan sebagainya yang umum di dalam Al-Quran dan di jelaskan di dalam hadis.b)Menyelesaikan permasalahan dan kekeliruanDi dalam ayat Al-Quran ada ayat seperti :

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah petunjuk. [Surah Al An'am ayat 82]Maka, para sahabat mula bersusah hati dengan mengatakan manakah dari kalangan kami yang tidak pernah melakukan kezaliman. Maka jawab Rasulullah Bukannya begitu, tidakkah kamu mendengar nasihat Luqman iaitu:Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, semasa ia memberi nasihat kepadanya: Wahai anak kesayanganku, janganlah engkau mempersekutukan Allah (dengan sesuatu yang lain), sesungguhnya perbuatan syirik itu adalah satu kezaliman yang besar.[Luqman ayat 13]Maka fahamlah para sahabat bahawa kezaliman yang di maksudkan di dalam ayat tersebut bukan umum perkataan zalim malah membawa maksud yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai melakukan syirik kepada Allah taala.Dua jenis di atas adalah menunjukkan hadis itu penguat dan penjelas kepada Al-Quran tanpa khilaf oleh mana-mana ulama.

3.Perkara tambahan di dalam Al-QuranAda sebahagian perkara yang tidak di bincangkan di dalam Al-Quran, ada yang di haramkan oleh Al-Quran yang tidak di jelaskan dengan perinci akan keharamannya.Antaranya pengharaman berkahwin dengan mengumpulkan dalam satu masa perempuan bersama dan makciknya sebelah lelaki dan perempuan bersama makcik sebelah perempuan, pengharaman memakan binatang yang mempunyai taring dan sebagainya lagi. Perkara tersebut dijelaskan di dalam hadis. Maka, kita sebagai seorang muslim hendaklah taat kepada seruan Rasulullah kerana ia berkaitan dengan ketaatan kepada Allah jua seperti Firman Allah :Sesiapa yang taat kepada Rasulullah, maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah; dan sesiapa yang berpaling ingkar, maka (janganlah engkau berdukacita wahai Muhammad), kerana Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pengawal (yang memelihara mereka dari melakukan kesalahan). [Surah AnNisa ayat 80]

7.0KESIMPULAN

Secara kesimpulan dengan ini, jelaslah kepada kita peranan hadis terhadap Al-Quran. Logiknya, tidak mungkin kita mampu memahami Al-Quran jika kita tinggalkan hadis. Mana-mana seruan yang membawa fahaman Al-Quran (seperti golongan Quraniyyun) tanpa menggunakan hadis ternyata adalah seruan yang batil dan inilah yang menyebabkan pemahaman terdapat perkara-perkara islam tidak dapat di fahami dengan baik dan tersasar dari jalan yang benar.

Sesungguhnya ilmu sunnah yang berkembang melalui perkembangan zaman dan diwarisi oleh ulama sebelumnya kepada ulama selepasnya menjaga keaslian sunnah Rasulullah dengan berpandukan kepada ilmu isnad dan riwayat yang dikenali sebagai ilmu rijal atau jarh wal tadil yang semua ini dikumpulkan dalam ilmu yang disebut mustalahah hadis.

Demikianlah sehingga terputusnya mata rantai ilmu ini pada zaman mutakhir ini apabila para ulama sudah tidak mengenal lagi riwayat yang sahih dan dhaif dan mencampur adukkan di antara hadis yang sahih dan tidak sahih dalam penulisan-penulisan mereka lalu membuat istinbat hukum dan lahirlah fiqih yang pelbagai didasari taasub pada mazhab dengan meninggalkan hadis dan sunnah yang sahih dan berpegang kepada hadis dhaif, maudhu dan mungkar.

Sesungguhnya sunnah itu terpelihara sehingga ke hari ini dalam kitab-kitab dan tulisan ulama terdahulu salaf soleh yang sampai kepada kita melalui jalan riwayat dan dipelihara di dalam naskah-naskah maktutokh (tulisan tangan) mereka dan disimpan di muzium-muzium dan perpustakaan seluruh dunia.Sebagai panduan dan nasihat bersama kepada golongan cerdik pandai Islam hari ini yang merangkul Phd, Ma dalam ilmu sunnah dan hadis, mereka perlulah mengenepikan kedudukan dan pangkat taraf yang mereka miliki sebaliknya perlulah menyibukkan diri dalam debu kitab dan menyemak buku-buku lama tulisan ulama salaf soleh mencari rangkaian sanad dan isnad riwayat yang terputus dan menyusun kembali penulisan para ulamak terdahulu dalam susunan terkini dan mengumpulkan kembali hadis-hadis sahih yang semakin lama semakin menghilang dan memadamkan hadis dhaif dan palsu yang bercambah dalam masyarakat.

1