annisa -laporan akhir hibah riset pascasarjana.pdf

36
LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA HUBUNGAN ANTARA KUALITAS HIDUP DENGAN TINGKAT KORTISOL SALIVA ANAK PADA KONDISI KARIES Dr. Eva Fauziah, drg, Sp.KGA Dr. Sarworini B. Budiardjo, drg, Sp.KGA(K) Drg. Annisa Khairani UNIVERSITAS INDONESIA Desember 2015

Upload: annisa

Post on 26-Jan-2016

269 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

SISTEMATIKA LAPORAN KEMAJUAN

HIBAH RISET UI TAHUN 2010

1. Tujuan dan Manfaat Riset

2. Metode Riset

3. Perkembangan Riset (Sementara)

4. Hambatan dalam Pelaksanaan

5. Laporan Penggunaan Dana (Sementara)

sesuai dengan RAB yang disetujui

Lampiran

a. Buku Catatan Harian Riset (BCHR) setiap periset (utama dan

anggota)

b. Foto kopi bukti keuangan

LAPORAN AKHIR

HIBAH RISET PASCASARJANA

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS HIDUP DENGAN TINGKAT

KORTISOL SALIVA ANAK PADA KONDISI KARIES

Dr. Eva Fauziah, drg, Sp.KGA

Dr. Sarworini B. Budiardjo, drg, Sp.KGA(K)

Drg. Annisa Khairani

UNIVERSITAS INDONESIA Desember 2015

Page 2: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

2

Page 3: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

3

RINGKASAN

Karies merupakan salah satu penyakit yang memiliki dampak pada kualitas

hidup.1 Ketidaknyamanan pada kondisi gigi dan mulut anak akibat karies yang

terjadi terus menerus menyebabkan anak sulit untuk makan. Sehingga jika

dibiarkan kondisi karies terus berlanjut tidak dirawat menyebabkan penurunan

kesehatan pada anak. Kesehatan secara umum merupakan salah faktor yang

mempengaruhi status kualitas hidup anak, selain aspek psikologis, sosial dan

lingkungan. Anak dengan rasa sakit yang ditimbulkan dari infeksi karies

menimbulkan mencetuskan stimulasi stress pada anak. Hormon kortisol merupakan

salah satu biomarker stress pada anak yang bersifat kronis. Kortisol sering

digunakan sebagai sampel penelitian untuk melihat kadar stress kronis pada anak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas hidup dengan tingkat

kortisol saliva pada anak dengan karies. Parameter kualitas hidup dilihat dari survey

yang diisi oleh orangtua dan pasien, sedangkan kondisi stress melalui tingkat

kortisol saliva diukur menggunakan coat a count cortisol Kit. Dari hasil penelitian

ini diharapkan menciptakan suatu teori hubungan baru melalui nilai persamaan

antara variabel kualitas hidup dengan tingkat kortisol saliva, sehingga dapat

menjadi informsi bagi praktisi, pasien maupun masyarakat mengenai kebutuhan

perawatan gigi terhadap kualitas hidup anak.

Page 4: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

4

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, karena atas karunia dan

rahmat-Nya penulis memperoleh kesempatan untuk melakukan penelitian yang

berjudul “Hubungan Kualitas Hidup dengan Tingkat Kortisol Saliva Anak Pada

Kondisi Karies”. Penulisan laporan ini ditujukan untuk melaporakan hasil

penelitian yang dilakukan oleh penulis kepada Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

penelitian ini tidak dapat terealisasikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas

Indonesia yang telah memberikan dukungan serta dana hibah riset pascasarjana

kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih banyak memiliki

kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata,

penulis berharap Allah swt akan memberkati dan membalas segala kebaikan bagi

semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi

pembacanya.

Jakarta, 30 Desember

2015

Penulis

Page 5: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

5

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ 2

RINGKASAN ......................................................................................................... 3

PRAKATA ............................................................................................................. 4

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 5

DAFTAR TABEL .................................................................................................. 6

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. 7

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... 8

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ......................................... 20

BAB 4. METODE PENELITIAN ....................................................................... 21

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI ....................................................................... 26

BAB 6. PEMBAHASAN ...................................................................................... 30

BAB 7. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .............................................. 32

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ................................................................................................ 33

Saran ........................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

Page 6: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

6

DAFTAR TABEL

2.1 Nilai kisaran normal kortisol dalam plasma darah

2.2 Nilai kisaran normal kortisol dalam saliva

5.1 Distribusi data demografik

5.2 Distribusi rerata nilai kortisol saliva dan skor DMFT

5.3 Uji normalitas kualitas hidup terhadap skor DMFT

5.4 Hubungan kualitas hidup terhadap skor DMFT

5.5 Uji normalitas kortisol saliva terhadap DMFT

5.6 Hubungan antara kortisol saliva dengan skor DMFT

5.7 Hubungan antara tingkat kortisol saliva dengan kualitas hidup

Page 7: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

7

DAFTAR GAMBAR

2.1 Model konsep kualitas hidup Wilson dan Cleary

3.1 Ilustrasi 96-well untuk standard, kontrol, blank, dan sampel

Page 8: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

8

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data nilai kortisol saliva

Lampiran 2 Output hasil penghitungan uji kortisol saliva dengan ELISA

Lampiran 3 Data nilai kortisol saliva, kualitas hidup dan skor DMFT

Lampiran 4 Output hasil penghitungan data menggunakan SPSS

Page 9: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karies merupakan salah satu penyakit yang memiliki dampak pada

kualitas hidup.1 Anak merupakan kelompok usia dengan resiko karies yang

tinggi dengan proses karies yang bersifat cepat dan meluas.2 3 Kondisi demikian

menyebabkan hampir seluruh gigi sulung terkena karies sehingga menimbulkan

keluhan pada anak.4 Ketidaknyamanan pada kondisi gigi dan mulut anak yang

terjadi terus menerus menyebabkan anak sulit untuk makan. Sehingga jika

dibiarkan kondisi karies terus berlanjut tidak dirawat menyebabkan penurunan

kesehatan pada anak. Kesehatan secara umum merupakan salah faktor yang

mempengaruhi status kualitas hidup anak, selain aspek psikologis, sosial dan

lingkungan.

Anak dengan rasa sakit yang ditimbulkan dari infeksi karies

menimbulkan mencetuskan stimulasi stress pada anak. Hormon kortisol

merupakan salah satu biomarker stress pada anak yang bersifat kronis. Kortisol

sering digunakan sebagai sampel penelitian untuk melihat kadar stress kronis

pada anak. Kortisol dapat merespon kondisi stress psikologis maupun biologis

yang terjadi secara kronis melalui sistem kerja HPA axis. Kortisol dapat

ditemukan di darah dan saliva. Penggunaan kortisol saliva sebagai penelitian

untuk biomarker stress umumnya lebih banyak digunakan karena menunjukkan

level kortisol di dalam sirkulasi manusia pad saat yang bersamaan, selain itu

pengambilan sampel yang tidak invasif dibandingkan darah.

Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara

kondisi karies gigi dengan kualitas hidup anak, hal ini berhubungan dengan rasa

sakit akibat kondisi karies. kualitas hidup yang dinilai melalui format kuesioner

untuk anak dan untuk orangtua. Tujuannya adalah untuk mendapatkan persepsi

mengenai kesehatan gigi dan mulut anak yang berdampak pada kesehariannya.

Sedangkan penilaian tingkat kortisol saliva pada anak dengan kondisi karies

untuk mengetahui kondisi stress yang dialami anak.

Page 10: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

10

Karies menjadi salah satu penyebab penurunan kualitas hidup pada anak.

Rasa sakit yang dirasakan terus menerus menyebabkan anak menjadi stress. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan adanya

korelasi pada peningkatan level kortisol saliva pada anak dengan karies, yang

merupakan respon stress kronik dari anak terhadap kondisi kariesnya. Namun

belum ada yang melihat hubungan mengenai kualitas hidup dengan tingkat

kortisol saliva pada anak dengan karies.

Page 11: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Hidup

Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang posisinya dalam

kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan

berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya,

yang merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik

maupun psikologis pengobatan.5 6

Model konsep kualitas hidup dari Wilson dan Cleary dapat dilihat pada

bagan 2.1. di bawah ini.7

Gb. 2.1. Model konsep kulitas hidup menurut Wilson dan Cleary (1995).7

Pada tahun 1995, Wilson dan Cleary menggambarkan model alur variasi-

variasi penyebab yang mempengaruhi kualitas hidup. Tujuan dari model alur

tersebut adalah untuk menghubungkan penilaian objektif dengan persepsi

subjektif.

Kualitas hidup dalam ilmu kesehatan dipakai untuk menilai rasa

nyaman/sehat (well-being) pasien dengan penyakit kronik atau menganalisis

biaya/manfaat (costbenefit) intervensi medis, meliputi kerangka individu,

Page 12: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

12

kelompok dan sosial, model umum kualitas hidup dan bidang-bidang

kehidupan yang mempengaruhi.8 Kualitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan (health-related quality of life/HRQOL) menggambarkan pandangan

individu atau keluarganya tentang tingkat kesehatan individu tersebut setelah

mengalami suatu penyakit dan mendapatkan suatu bentuk pengelolaan.9

Health-related quality of life menggambarkan komponen sehat dan fungsional

multidimensi seperti fisik, emosi, mental, sosial dan perilaku yang

dipersepsikan oleh pasien atau orang lain di sekitar pasien (orang tua atau

pengasuh).10

Pengukuran kualitas hidup mempunyai manfaat yaitu sebagai

perbandingan beberapa alternatif pengelolaan, data penelitian klinis, penilaian

manfaat suatu intervensi klinis, uji tapis dalam mengindentifikasikasi anak-

anak dengan kesulitan tertentu dan membutuhkan tindakan perbaikan secara

medis ataupun bantuan konseling, juga dapat dipakai untuk pengenalan dini

sehingga dapat diberikan intervensi tambahan (non medis yang diperlukan),

maupun prediktor untuk memperkirakan biaya perawatan kesehatan.11

Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor8, yaitu

kondisi global, meliputi lingkungan makro yang berupa kebijakan pemerintah

dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan perlindungan anak; kondisi

eksternal, meliputi lingkungan tempat tinggal (cuaca, musim, polusi, kepadatan

penduduk), status sosial ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang

tua; kondisi interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga (orangtua,

saudara kandung, saudara lain serumah dan teman sebaya); kondisi personal,

meliputi dimensi fisik, mental dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu

genetik, umur, kelamin, ras, gizi, hormonal, stress, motivasi belajar dan

pendidikan anak serta pengajaran agama.

Pemilihan instrumen pengukur kualitas hidup pada anak berdasarkan atas

konsep, keandalan, kesahihan dan kepraktisan instrumen tersebut. Pada tahun

2003 Sara L. melakukan studi kualitas hidup anak dan perspektif orangtua pada

anak dengan early childhood caries, dengan melihat skala multidimensional

dalam melihat kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan. Instrumen

pengukuran kualitas hidup yang digunakan adalah Michigan Oral Health-

Page 13: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

13

related Quality of Life Scales-Version C (child), yang mengukur tingkat

kualitas hidup anak yang berhubungan dengan kesehatan, mencakup aspek

fungsional dan rasa sakit atau tidak nyaman, termasuk aspek psikologis dan

sosial.12

2.1.1 Parameter Kualitas Hidup

Aspek biopsikososial anak memiliki dampak besar pada tingkat

kualitas hidup anak. Sehingga banyak instrumen yang dikembangkan

untuk melihat kualitas hidup anak dari berbagai aspek. Seperti

hubungan antara aspek fisik dan psikologis anak yang dilihat untuk

mengukur kualitas hidup anak. Ukuran kualitas hidup anak menjadi

nilai yang potensial untuk membandingkan hasil observasi klinis.

Beberapa aspek yang mempengaruhi konsep kualitas hidup, yaitu

perspektif individu terhadap kualitas hidup, hal ini tergantung dari gaya

hidup, pengalaman, hrapan, cita-cita dan ambisi individu. Aspek

berikutnya yaitu kesehatan, kualitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan merupakan konsep multidimensi yang ssaling berhubungan.

Hal ini sesuai dengan definisi dari World Health Organisation, bahwa

kualitas hidup sebagai status dari keseluruhan fisik, mental dan

kesejahteraan sosial individu, tidak hanya status ada atau tidaknya

penyakit atau disabilitas. Aspek ketiga yaitu kualitas hidup dapat

mencakup perspektif subjektif dan objektif pada masing-masing aspek.

Penilaian objektif kualitas hidup fokus pada kemampuan individu, dan

derajat kesehatannya. Sedangkan penilaian subjektif kualitas hidup

mencakup perspektif dan penilaian individu terhadap status kesehatan

berdasarkan pengalaman.

Anak merupakan kelompok usia yang tidak dapat dipercaya

penilaiannya. Oleh karena itu, telah banyak dilakukan usaha untuk

mengukur kualitas hidup anak berdasarkan data yang didapatkan dari

orangtuanya. Namun demikian, anak dan orangtua memiliki pandangan

yang berbeda mengenai dampak suatu penyakit sehingga tetap

dibutuhkan keterlibatan anak secara langsung dalam penentuan

perawatan anak. Sehingga, dibutuhkan berbagai evaluasi pada

Page 14: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

14

pengukuran kualitas hidup anak untuk mempertimbangkan perspektif

anak dalam menilai kualitas hidupnya sendiri.

Penilaian kualitas hidup anak memiliki keterbatasan tertentu.

Anak tidak berbagi dengan orang dewasa mengenai penyebab, etiologi

dan perawatan penyakit. Anak menginterpretasikan pertanyaan secara

berbeda, dan mengadopsi perspektif waktu berdasarkan perjalan

penyakit secara berbeda. Selain itu, kemampuan anak dalam

menggunakan skala penilaian, pemahaman bahasa dan tipe kuesioner

yang digunakan tergantung dari perkembangan kognitif dan usia.

Salah satu instrumen yang digunakan untuk menilai kualitas

hidup anak yang berhubungan dengan kesehatan adalah skala Michigan

Oral Health-related Quality of Life (MOHRQoL). Skala ini terdiri dari

14 jenis pertanyaan, dengan pilihan jawaban memiliki skala 5 poin.

Skala 1 mengindikasikan tidak setuju sama sekali, dan skala 5

mengindikasikan sangat setuju. Pembuat skala ini mengasumsikan

bahwa kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan memiliki

empat aspek yang berbeda. Pernyataan di dalam kuesioner didesain

untuk mencakup penilaian mengenai keterbatasan fungsi, rasa sakit

atau tidak nyaman, psikologis berhubungan dengan kesehatan gigi dan

mulutnya.

Penilaian masing-masing aspek berdasarkan akumulasi dari

beberapa item pertanyaan kuesioner, dengan total pertanyaan secara

keseluruhan adalah 14 pertanyaan. Kriteria penilaian kualitas hidup

berdasarkan rata-rata dari jumlah item pertanyaan dari masing-masing

aspek, dengan penilaian yang dikatakan kualitas hidup rendah adalah

diatas 3 dan kualitas hidup baik dibawah 3.

Pada tahun 2003 Sara L. melakukan penelitian mengenai kualitas

hidup anak dan perspektif orangtua yang memiliki early childhood

caries (ECC). Pada penelitian tersebut, digunakan skala MOHRQoL

versi anak. Skala ini dibuat untuk mengukur kualitas hidup yang

berhubungan dengan kesehatan oral anak usia lebih dari sama dengan 4

tahun. Skala kuesioner awalnya terdiri dari 7 pertanyaan yang

Page 15: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

15

mencakup 3 aspek, yaitu rasa sakit atau tidak nyaman (apakah giginya

terasa sakit saat ini? Apakah giginya pernah terasa sakit sebelumnya?

Apakah giginya terasa sakit atau tidak nyaman ketika makan sesuatu

yang panas atau dingin?), keterbatasan fungsi (apakah sulit untuk

digunakan saat mengunyah? Apakah sulit untuk digunakan untuk

mengigit?), aspek psikologis (apakah anda menyukai gigi anda?

Apakah anda menyukai senyum anda?), dan aspek sosial (apakah gigi

yang terasa sakit mengurangi aktivitas bermain? Apakah teman-teman

anda mengejek gigi anda? Apakah gigi yang terasa sakit menyebabkan

anda terbangun saat tidur malam hari?).

Pada skala MOHRQoL versi orangtua, merupakan ukuran

perwakilan dari orangtua mengena kualitas hidup anaknya

berhubungan dengan kesehatan berdasarkan 3 pertimbangan. Pertama,

oragtua harus mempertimbangkan aspek keseimbangan hidup anak

ketika mengevaluasi kualitas hidup yang berhubungan dengan

kesehatan. Oleh karena itu, pertanyaan kueioner yang diberikan pada

orangtua harus sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pada anak.

Pertimbangan kedua yaitu latar belakang kognitif orangtua memiliki

karakteristik jawaban yang berbeda dengan anak-anak. Skala penilaian

jawaban dari 1 sampai 5 digunakan pada format kuesioner orangtua,

dibandingkan format ya atau tidak yang digunakan pada format

kuesioner anak. Interval skala ini memungkinkan metode analisis yang

lebih baik. Pertimbangan terakhir pada versi kuesioner orangtua yaitu

pemahaman pertanyaan kuesioner, karena mempertimbangkan latar

belakang sosio-ekonomi pada orangtua yang berbeda-beda.

2.2 Kortisol

Kortisol adalah hormon steroid yang diproduksi oleh kelenjar adrenal di

zona fasciculata. Produksi hormon kortisol diatur oleh hipotalamus, melalui

sekresi corticotropin-releasing hormone (CRH). Hormon CRH memicu sel

anterior pituitari untuk mensekresikan hormon adrenocorticotropic hormone

(ACTH) ke dalam pembuluh darah, dan melalui darah mencapai korteks

Page 16: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

16

adrenal yang terpicu untuk mensekresikan hormon kortisol, glukokortikoid,

mineralkortikoid dan didehyropianodrestone (DHEA). Hormon kortisol

dilepaskan sebagai respon terhadap stress dan pada kondisi glukosa darah

rendah. Fungsi hormon ini adalah untuk meningkatkan kadar gula darah

melalui proses glukoneogenesis, menurunkan sistem imun, dan membantu

metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat.13 Selain itu, kortisol juga

mengurangi proses pembentukan tulang.14

Pada kondisi puasa, kortisol akan menstimulasi proses glukoneogenesis

dan mengaktivasi jalur anti-stress dan anti-inflamasi.15 Jalur ini menghambat

produksi interleukin (IL)-12, interferon (IFN)-gamma, IFN-alpha dan tumor

necrosis factor (TNF)-alpha melalui perantara antigen presenting cell (APC)

dan sel T helper (Th)1, meningkatkan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 melalui

perantara sel Th2. Sehingga kondisi tersebut tidak akan menyebabkan

immunosupresi secara umum melainkan respon imun yang diperantarai oleh

Th2. Stimulus yang mencetus kondisi stress selama proses infeksi merupakan

mekanisme proteksi yang mencegah terjadinya aktivasi berlebihan dari sel-sel

inflamasi.16

Kortisol mencegah pelepasan beberapa mediator inflamasi yang

menyebabkan proses inflamasi terjadi. Hormon ini digunakan untuk menjaga

kondisi aktivitas berlebihan dari respon antibodi humoral, seperti kondisi

alergi.

Kortisol berperan penting dalam glikogenolisis, yaitu pemecahan glikogen

menjadi glukosa-1-fosfat dan glukosa di dalam liver dan jaringan.

Glikogenolisis distimulasi oleh epinfrin dan norepinefrin. Kortisol membantu

aktivasi glikogen fosforilase yang membantu kerja epinefrin dalam proses

glikogenolisis.17

Peningkatan hormon kortisol dalam jangka waktu panjang dapat memicu

terjadinya proteolisis (pecahnya protein) dan pembuangan otot.18 Beberapa

penelitian melaporkan adanya lipolitik pada efek kortisol walaupun pada

kondisi tertentu kortisol dapat menekan proses lipolisis.19 Fungsi lain dari

kortisol dalam tubuh yaitu menurunkan tingkat pembentukan tulang.14

Page 17: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

17

2.2.1 Nilai Kortisol Normal

Nilai normal dari kadar kortisol antar individu bervariasi. Nilai

kortisol yang diukur dan variasi refrensi nilai kortisol tergantung dari

metode analitik yang digunakan dan faktor seperti usia dan gender.

Oleh karena itu, hasil pengukuran harus diinterpretasikan menggunakan

nilai kisaran dari laboratorium yang mengukur. Peningkatan nilai

kortisol merupakan salah satu dampak dari patogenesis gangguan

psikologis seperti depresi atau stress kronis.20

Pada hasil beberapa penelitian sebelumnya, nilai kortisol

menunjukkan ritme sirkadian.21 22. Nilai kortisol yang terendah berada

diantara pukul 20.00 dan 02.00, dan terjadi peningkatan sampai dengan

nilai tertinggi pada saat segera setelah bangun tidur, kemudian akan

berkurang seiring dengan waktu jika tidak ada stimuli eksternal yang

memicu peningkatan nilai kortisol kembali.23 24

Nilai kortisol telah banyak digunakan sebagai nilai ukur

berbasis ritme sirkadian yang dapat dengan mudah disekresikan setiap

harinya.25 Ritme sirkadian kortisol bergantung pada faktor eksogen

seperti cahaya, musim dan faktor sosial.26 Ritme sirkadian kortisol

seperti halnya ritme sirkadian melatonin, siklus bangun-tidur, dan ritme

suhu tubuh, terjadi karena adanya penyesuaian fungsi biologis temporal

terhadap suatu perubahan periodik lingkungan.27

Tabel 2.1 Nilai kisaran normal kortisol dalam plasma darah

Waktu

Pengukuran

Batas

bawah

Batas

atas Satuan

09:00 am 140 700 nmol/L

5 25 μg/dL

00:00 am 80 350 nmol/L

2.9 13 μg/dL

Page 18: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

18

2.2.2 Kortisol Saliva

Pada beberapa hasil penelitian sebelumnya memiliki nilai yang

bervariasi, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya metode

pengukuran, besar sampel dan jenis sampel yang digunakan berbeda

pada tiap penelitian.28 Oleh karena pengukuran nilai kortisol plasma

darah terhambat dengan jumlah sampel yang relatif sedikit, maka pada

penelitian yang menggunakan kortisol dalam darah sebagai sampel

penelitian memiliki hasil yang bervariasi dan tidak konsisten.28 Seiring

dengan perkembangan teknik pengukuran kortisol di dalam saliva yang

menggambarkan nilai kortisol bebas di dalam plasma darah, penelitian

menggunakan sampel kortisol sebagai nilai ukur lebih banyak

digunakan melalui saliva.29 Selain representatif dengan nilai kortisol

bebas di dalam plasma darah, pengambilan sampel saliva juga bersifat

non invasif dibandingkan dengan darah, sehingga dapat dilakukan

pengambilan berulang sesuai dengan kebutuhan penelitian dalam

jumlah sampel yang lebih besar.28,29

Tabel 2.2 Nilai kisaran normal kortisol dalam saliva

Pagi 0.25 - 0.6 mcg/dL (30 menit setelah bangun)

Siang 0.08 -0.20 mcg/dL (sebelum makan siang)

Sore 0.04 - 0.13 mcg/dL (sebelum makan malam)

Malam 0.02 - 0.07 mcg/dL (sebelum tidur)

2.3 Karies

Karies gigi adalah suatu penyakit dari jaringan kapur (kalsium) gigi,

ditandai dengan kerusakan jaringan gigi, yang dimulai pada permukaan gigi

dalam area predileksinya yaitu pit, fisur, kontak proksimal dan secara progresif

menyerang ke arah pulpa. Kerusakan gigi termasuk di dalamnya dekalsifikasi

Page 19: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

19

dari bahan-bahan anorganik dan desintegrasi dari bahan-bahan anorganik dari

jaringan gigi.3

Karies merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering dialami oleh

anak-anak.30 Karakteristik karies yang sering ditemukan pada anak khas

berbeda dengan karies pada dewasa. Proses kerusakan karies dapat

menyebabkan respon inflamasi pada jaringan pulpa sehingga menimbulkan

rasa sakit. Rasa sakit yang dialami oleh anak menyebabkan anak menjadi sulit

atau tidak mau makan sehingga terjadi penurunan kualitas dan kuantitas nutrisi

dari asupan makan anak. Hal tersebut akan berdampak pada status kesehatan

anak secara umum. Episode sakit yang dialami anak, baik itu bersumber dari

rongga mulut ataupun sistemisnya mempengaruhi kualitas hidup anak. Kondisi

infeksi kronis dari karies gigi yang tidak dirawat juga memicu terjadinya rasa

tidak nyaman atau sakit yang berlangsung lama dan terus menerus, hal ini akan

berdampak pada kondisi psikologis anak seperti stress.

Page 20: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

20

BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini akan melihat hubungan antara status kualitas hidup dengan

tingkat stress kronik anak dengan kondisi karies yang dilihat melalui nilai

kortisol saliva, kemudian dibandingkan dengan anak tanpa karies.

3.2 Manfaat Penelitian

Suatu rumus persamaan antara kualitas hidup dengan tingkat kortisol saliva

yang didapat dari hasil penelitian ini, menjadi acuan dan data dasar untuk

penelitian lanjutan yang dikembangkan. Secara klinis, hasil penelitian dapat

menjadi landasan teori para tenaga medis khsususnya dokter gigi anak untuk

penyuluhan dan edukasi ke orangtua dan masyarakat mengenai pentingnya

menjaga dan merawat kesehatan gigi pada kualitas hidup anak

Page 21: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

21

BAB 4

METODOLOGI RISET

KERANGKA TEORI :

KERANGKA KONSEP :

Keterangan:

: Garis hubungan yang sudah diketahu i secara teoritis dan

penelitian sebelumnya

: Garis hubungan yang belum diketahui secara teoritis, belum ada

Penelitian sebelumnya dan yang akan diteliti

Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah cross-sectional laboratoric study dengan dua

kelompok penelitian, yaitu kelompok pertama sebagai kelompok kontrol dan

kelompok kedua yang diberikan perlakuan.

Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah saliva dari pasien dengan kondisi karies dan bebas

karies yang datang ke klinik kedokteran gigi anak RSGMP FKG UI.

Karies Sumber

infeksi

Kadar

kortisol

Kualitas

hidup

Kondisi

biopsikososial

Stress kronis

Karies Kualitas

Hidup

Karies Kortisol

Saliva

Page 22: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

22

Kriteria Inklusi:

1. Murid SD Madina Islamic School

2. Anak usia 8 - 10 tahun

3. Kondisi umum baik

4. Nilai DMFT/dmft = 0 dan ≥ 1

5. Anak yang telah mendapatkan persetujuan dari orang tua untuk dijadikan subjek

penelitian (informed consent)

6. Anak dapat berkomunikasi

Kriteria Eksklusi:

1. Anak dengan kebutuhan khusus

2. Anak yang tidak dapat dilakukan pengambilan sampel saliva

3. Anak dengan kondisi kompromis medis

4. Anak yang sedang dalam perawatan medis atau mengonsumsi obat

Jumlah Sampel

Besar subjek penelitian ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

n1 = n2 = 2[(𝑍𝛼+𝑍𝛽)𝑆

𝑋1−𝑋2]2

n1 = n2 = besar sampel

Zα = deviat baku alfa yang juga merupakan kesalahan

tipe I, ditentukan dari besarnya kesalahan dan

jenis hipotesis

Zβ = deviat baku beta yang juga merupakan kesalahan

tipe II, ditentukan dari besarnya kesalahan dan

jenis hipotesis

S = simpang baku dari selisih nilai antar kelompok

(dari penelitian sebelumnya atau literatur)

X1 – X2= selisih minimal rerata yang dianggap bermakna (dari nilai

mean kelompok pada penelitian sebelumnya)

Page 23: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

23

Pada penelitian ini akan digunakan besar kesalahan tipe I dan II adalah 5% dengan

jenis hipotesis positif dua arah (two tailed), sehingga nilai Zα dan Zβ adalah 1,96,.

Selisih minimal yang dianggap bermakna (X1 – X2) adalah 0,3.31 Besar simpang

baku yang digunakan adalah 1.32

Dengan memasukkan angka-angka tersebut ke dalam rumus, akan diperoleh:

n1 = n2 = 2[(𝑍𝛼+𝑍𝛽)𝑆

𝑋1−𝑋2]

= 2 [(1,96+1,96)1

(0,3)]

= 2[(3,92)1

(0,3)]

= 7,84

0,3 = 26.1

Berdasarkan penghitungan besar sampel, maka jumlah sampel minimal

adalah 26 subjek.

Cara Kerja

1. menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

ekslusi

2. mendapatkan informed consent dari subjek penelitian dengan menjelaskan

kepada subjek mengenai maksud penelitian, prosedur penelitian dan hasil

yang didapatkan dari penelitian.

3. Subjek mengisi kuesioner michigan oral health-related quality of life untuk

menilai tingkat kualitas hidup subjek penelitian.

4. pengambilan sampel saliva dengan cara menginstruksikan ke pasien untuk

sedikit mencondongkan kepalanya kedepan agar saliva terkumpul di dasar

mulut kemudian saliva akan mengalir dan ditampung ke dalam tube.

5. tube berisi sampel saiva diberi penamaan, tanggal dan waktu pengambilan

6. simpan sampel saliva di dalam cooler box berisi es batu

7. penyimpanan sampel saliva kemudian dipindahkan ke dalam refrigerator

kulkas dengan suhu -20oC

8. sebelum pengolahan sampel saliva, dilakukan persiapan reagent dengan

menyiapkan reagent minimal 1,5 jam sebelum digunakan di dalam suhu

kamar

Page 24: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

24

9. microtiter plate dipersiapkan dalam suhu kamar, foil kit tetap dalam keadaan

tertutup sampai dengan suhu kamar.

10. persiapan konsentrat buffer yang diencerkan dengan cara mencampurkan

aqua bides sebanyak 900 ml dengan konsentrat buffer sebanyak 100 ml,

maka akan didapatkan 1 Lt konsentrat buffer dengan 10x pengenceran.

11. persiapkan 96-well dengan penanda di masing-masing well

Gb.3.1 ilustrasi 96-well dengan standard, kontrol, blank, dan sampel

12. sampel yang telah beku dari pendingin diencerkan terlebih dahulu kemudian

setelah sama dengan suhu kamar, divortex dan disentrifugasi pada 3000 rpm

selama 15 menit

13. ambil 24ml diluent assay ke tube

14. ambil 25 µl masing-masing standard, kontrol, dan sampel ke well,

15. ambil 25 µl diluent assay ke 2 well sebagai blank

16. ambil 25 µl diluent assay ke NSB well

17. encerkan enzim 1:1600 dengan cara ditambahkan 15 µl enzim ke 24 ml

tube berisi diluent assay, kemudian disentrifugasi selama beberapa menit

agar liquid berada pada dasar tube

18. segera campurkan enzim yang sudah diencerkan ke masing-masing well

sebanyak 200 µl

19. proses pencampuran dilakukan diatas plate rotator pada 500 rpm selama 5

menit, dan diinkubasi dalam suhu ruangan selama 1 jam

Page 25: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

25

20. cuci plate well sebanyak 4 kali dengan satu kali menggunakan wash buffer.

Pencucian dengan cara mengambil 300 µl wash buffer ke dalam tiap well

kemudian buang cairan yang berada di dalam well. Setelah itu microwell

plate diletakkan terbalik di atas kain atau kertas tisu.

21. tambahkan 200 µl larutan substrat TMB pada tiap well dengan mulitchanel

pipet

22. pengadukan dengan plat rotator selama 5 menit pada 500 rpm, kemudian

diinkubasi di dalam ruangan gelap bersuhu kamar selama 25 menit.

23. tambahkan 50 µl stop solution dengan multichanel pipet, kemudian

letakkan kembali di atas plat rotator selama 3 menit pada 500 rpm. Jika

terdapat perubahan warna menjadi hijau, maka proses dilanjutkan sampai

proses pencampuran selesai dengan perubahan warna menjadi kuning pada

seluruh well

24. bersihkan dan keringkan dasar plate dengan kain lembab bebas serat

25. baca hasil penilaian di dalam plate reader pada panjang gelombang 450 nm.

Pembacaan hasil segera atau dalam 10 menit setelah penambahan stop

solution.

26. hasil nilai kortisol yang lebih dari 3,0 µg/dl (82,77 nmol/L) harus

diencerkan kembali dengan assay diluent dan diulang kembali prosesnya

untuk mendapatkan hasil yang akurat. Hasil yang didapatkan kemudian

dikalikan dengan banyaknya pengenceran yang digunakan.

Page 26: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

26

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan November 2015 sampai dengan Desember

2015 di Laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Indonesia. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengisian kuesioner,

pemeriksaan indeks DMFT dan pengambilan sampel saliva. Hasil penelitian ini

dianalisis secara univariat, bivariate dan multivariate. Jumlah subjek yang diperiksa

sebanyak 37 subjek dengan data lengkap, namun pada saat penelitian berlangsung,

data saliva pada dua subjek tidak mencukupi sehingga tidak dapat dimasukkan ke

dalam analisis hasil.

Distribusi data subjek penelitian sebanyak 40 siswa dengan 3 siswa tidak

hadir pada saat pengambilan data, dan merupakan anak kelas 3 SD Islam Madina,

tebet. Berikut distribusi data demografi subjek penelitian dan nilai persentase

berdasarkan jenis kelamin.

Table 5.1 Distribusi data demografi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin,

kualitas hidup dan tingkat kortisol saliva.

Variabel N Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 21 60

Perempuan 14 40

Total 35 100

Kualitas Hidup Baik 28 80

Buruk 7 20

Total 35 100

Kortisol saliva Rendah 8 22,8

Sedang 24 68,5

Tinggi 3 8,5

Total 35 100

Pada tabel 5.1 terlihat bahwa subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

didominasi oleh laki-laki (n=21) sebesar 60%. Pada tabel kualitas hidup, didapatkan

bahwa pada kelompok subjek penelitian memiliki kualitas hidup baik sebesar 80%

(n=28) dan buruk 20% (n=7).

Page 27: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

27

Pada distribusi rerata nilai kortisol saliva dan skor dmft didapat data sebagai

berikut:

Tabel 5.2 Distribusi rerata dan standard deviasi nilai kortisol saliva dan skor DMFT.

Variable N Min-max rerata±SD

Kortisol saliva (µg/ml) 35 0,55-0.60 0,56±0,008

Skor DMFT 35 0,00-0,33 0,065±0,10

Pada tabel 5.2 terlihat bahwa rerata nilai kortisol saliva 0,56 ± 0.008, dengan

rentang nilai terendah yaitu 0,55 µg/ml dan nilai tertinggi 0.60 µg/ml. Pada data

didapatkan bahwa sebaran data untuk DMFT seluruhnya baik (< 1,1), sehingga

tidak akan dilakukan analisis hubungan nilai kortisol saliva dan kualitas hidup

dilihat dari skor DMFT.

Pada hubungan antara kualitas hidup dan tingkat kortisol saliva dengan skor

DMFT dilakukan lebih dulu uji normalitas.

Tabel 5.3 Uji Normalitas Kualitas Hidup terhadap skor DMFT

Kualitas Hidup

Shapiro-Wilk

Data p

Skor DMFT

Baik 0,56 0.00

Buruk 0,78 0,02

Pada uji normalitas menggunaka uji Shapiro-Wilk karena jumlah data

kurang dari sama dengan 50. Pada nilai signifikansi p<0,05 untuk kedua kategori

kualitas hidup terhadap skor DMFT, yang artinya bahwa sebaran data tidak normal,

sehingga untuk melihat perbandingan kualitas hidup terhadap skor DMFT

dilakukan uji Mann-Whitney.

Tabel 5.4 Hubungan kualitas hidup terhadap skor DMFT

Kualitas hidup N Median

(minimum-maksimum) Rerata ± SD p

Page 28: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

28

Skor DMFT

Baik 28 0,00 (0,00 - 0,33) 0,04 ± 0,08 0,054

Buruk 7 0,17 (0,00 – 0,30) 0,15 ± 0,14

Pada tabel 5.4 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor DMFT antara

anak dengan kualitas hidup yang baik dan buruk (p>0,05).

Pada hubungan antara tingkat kortisol saliva anak terhadap skor DMFT

didapat hasil sebagai berikut.

Tabel 5.5 Uji Normalitas kortisol saliva terhadap DMFT

DMFT Shapiro-Wilk

Kortisol

saliva Sangat rendah

Data p

0,77 0,00

Pada tabel 5.5 menunjukkan nilai p<0,05, yang artinya sebaran data tidak

normal, oleh karena itu untuk melihat hubungan tingkat kortisol saliva terhadap

DMFT, dilakukan dengan uji Gamma.

Tabel 5.6 Nilai hubungan kortisol saliva dengan skor DMFT

Kortisol saliva

Skor DMFT

r p

0,14 0,42

Pada tabel 5.6 diperoleh nilai kemaknaan 0,42 yang menunjukkan bahwa

hubungan antara kortisol saliva dengan skor DMFT tidak bermakna. Nilai korelasi

Gamma sebesar 0,14 menujukkan kekuatan hubungan sangat lemah.

Hubungan antara kortisol saliva dengan kualitas hidup, dapat dilihat

menggunakan uji korelasi Gamma dan Somersed karena data yang dimiliki

termasuk kategorik. Nilai kortisol memiliki diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu

rendah (minimum – 0,559), sedang (0,56 – 0,57), dan tinggi (>0,58).

Page 29: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

29

Tabel 5.7 Hubungan antara tingkat kortisol saliva dengan kualitas hidup

anak

Kortisol Total r p

Kualitas

Hidup

Baik Rendah sedang tinggi

6 19 3 28 -0,33 0,42

Buruk 2 5 0 7

Total 8 24 3 35

Pada tabel uji Gamma, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

kortisol saliva dengan kualitas hidup, namun hubungan tersebut tidak bermakna (p

= 0,42), dengan kekuatan hubungan antara kedua variable tersebut lemah dan arah

yang berlawanan. Hal ini ditunjukkan dari nilai r yang negatif. Sehingga semakin

tinggi tingkat kortisol saliva anak, maka semakin rendah status kualitas hidup anak.

Namun kekuatan hubungan ini lemah (r = -0,33).

Page 30: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

30

BAB 6

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menggambarkan hubungan antara nilai kortisol saliva

dan tingkat kualitas hidup anak. Pada kondisi kualitas hidup dan skor DMFT

memiliki nilai yang hampir sama pada seluruh subjek. Hal ini mempengaruhi nilai

kortisol saliva pada subjek peneliti. Kortisol saliva sangat dipengaruhi oleh kondisi

biopsikososial pasien. Dalam hal ini, subjek penelitian memiliki kondisi kesehatan

umum dan rongga mulut yang identik satu dengan yang lain, yaitu kebersihan mulut

yang bersih dan skor DMFT dibawah 1,1 yang artinya skor DMFT sangat rendah.

Skor DMFT rendah menggambarkan aktivitas karies, sehingga aktivitas karies yang

rendah tidak menyebabkan keluhan sakit gigi atau tidak nyaman pada kondisi

rongga mulut pasien. Rasa sakit yang mengganggu aktivitas, tidak nyaman dan

kepuasan pada kondisi gigi geligi mempengaruhi psikologis pasien seperti rasa

cemas, sedih dan stress. Kondisi tersebut jika berlangsung dalam waktu yang lama

akan memicu pelepasan hormon kortisol. Kortisol dapat disekresikan di saliva, dan

nilai kortisol saliva telah banyak diteliti hubungannya dengan nilai kortisol dalam

plasma darah. Hasilnya kortisol saliva dapat merepresentasikan nilai kortisol dalam

plasma darah. Oleh karena itu, pengukuran nilai kortisol pada individu saat ini lebih

banyak dilakukan melalui saliva, dengan alasan minimal intervensi.

Pada penelitian ini, kondisi tingkat sosio-ekonomi subjek penelitian

disamakan untuk mencegah terjadinya bias dari faktor lain yang tidak dinilai dalam

penelitian. Hasil penelitian, terlihat bahwa variasi kondisi kesehatan rongga mulut

dan status kualitas hidup terkait kesehatan rongga mulut pasien identik. Hal ini

sesuai dengan teori yang telah ada bahwa karies merupakan penyakit infeksi kronis

yang dipengaruhi oleh multifactorial, salah satunya yaitu gaya hidup dan diet. Oleh

karena itu, sebaran distribusi data tidak normal dan tidak dapat dilihat hubungan

kemaknaan antara kondisi kesehatan rongga mulut subjek dengan tingkat kortisol

dan kualitas hidupnya. Selain itu, nilai korelasi yang didapat juga sangat lemah, hal

ini dapat dipengaruhi oleh variasi data.

Page 31: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

31

Hasil penelitian ini dapat dijadikan data tambahan untuk dilakukan

penelitian lanjutan pada kelompok sosio-ekonomi menengah ke bawah, sehingga

didapatkan perbandingan antar kelompok subjek penelitian.

Page 32: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

32

BAB 7

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Hasil penelitian ini akan dilakukan publikasi ke international journal

preventif pediatric dentistry dan berpartisipasi dalam acara seminar ilmiah

internasional Pediatric Dentistry Association of Asia pada poster ilmiah. Penelitian

telah selesai dilakukan sesuai dengan tujuan dan target. Status naskah masih dalam

tahap pembuatan draft artikel ilmiah sebelum dikirimkan ke jurnal dan acara ilmiah

yang dituju.

Kelanjutan penelitian diharapkan dapat dilakukan penelitian pada kelompok

subjek penelitian lainnya sesuai dengan saran penelitian, dan melihat status kualitas

hidup dari berbagai instrumentasi kualitas hidup terkait kesehatan rongga mulut.

Page 33: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

33

BAB 8

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Terdapat hubungan antara nilai kortisol saliva dengan skor DMFT

yang tidak bermakna. Terdapat hubungan antara kualitas hidup dengan skor

DMFT yang tidak bermakna. Terdapat hubungan antara kualitas hidup

dengan kortisol saliva anak yang tidak bermakna, dengan kekuatan

hubungan yang lemah dan berbanding terbalik. Hal ini menjelaskan bahwa

semakin tinggi status kualitas hidup anak, maka semakin rendah nilai

kortisol saliva. Hasil analisis data, dipengaruhi oleh variasi data dari subjek

penelitian, sehingga pada uji normalitas sebaran data tidak normal. Subjek

penelitian ini merupakan sosio-ekonomi menengah ke atas. Sehingga

analisa yang ada tidak cukup mewakili untuk seluruh kategori.

8.2 Saran

Saran untuk dilakukan penelitian lanjutan pada kelompok subjek

penelitian dengan sosio-ekonomi menengah ke bawah, dan kondisi

kesehatan rongga mulut yang sedang dan buruk. Sehingga didapatkan

distribusi data yang normal dan analisis hubungan antara nilai kortisol saliva

dengan kualitas hidup yang menggambarkan kondisi di lapangan.

Page 34: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Low W TS, Schwartz S. The Effect of Severe Caries on The Quality of

Life in Young Children. Pediatric Dentistry. 1999;21:325-326.

2. Shwart ANL. Early childhood dental disease--what's in a name? Journal of

the canadian dental association. 2007;73(10):929-930.

3. R. Harris ADN, P. M. Adair, C. M. Pine. Risk factors for dental caires in

young children: a systematic review of the literature. Community of Dental

Health. 2004;21(1):71-85.

4. Angela A. Peran Berbagai Faktor Risiko Karies Terhadap Kejadian

Karies Pada Anak Usia 4-5 Tahun. Jakarta: Ilmu Kedokteran Gigi Anak,

Universitas Indonesia; 2008.

5. Eiser C MR. A review of measure of quality of life for children with

chronic illness Arch Dis child. 2001(84):204-211.

6. Gill TM FA. A critical appraisal of the quality of life measurement. JAMA.

1994(272):619-626.

7. Wilson IB CP. Linking clinical variables with health-related quality of life.

1995. 1995;273(59).

8. B. L. Social Paediatrics. In: Lindstrom B SN, ed. Measuring and

improving quality of life for children. Oxford: Oxford University Press;

1995.

9. Aji FD. Kualitas Hidup Anak Pasca Sindrom Syok Dengue. Semarang:

Fakultas Kedokteran Spesialis Anak, Universitas Diponegoro; 2004.

10. Ridley S YD. Intensive care after care. In: Griffiths RD JC, ed.

Classification and measurement problems of outcomes after intensive

care. Oxford Butterworth-Heinemann; 2002:142-145.

11. Varni JW SM, Kurtin PS. Pediatric health-related quality of life

measurement technology : A Guide for Health Care Decision Makers.

JCOM 1999;6:33-40.

12. Sara L. Filstrup. Dan Briskie MdF. Early Childhood Caries and Quality of

Life: Child and Parent Perspectives. Pediatric Dentistry. April 6, 2003

2002;25(5):431-444.

Page 35: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

35

13. Hoehn K M. Human Anatomy & Physiology San Fransisco: Benjamin

Cummings; 2010.

14. Chyun YS KB, Raisz LG. Cortisol decrease bone formation by inhibiting

periosteal cell proliferation. Endocrinology. 1984;114(2):477-480.

15. Hormones-cortisol. Home Better Health Channel 2013;

http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Hormones

_cortisone. Accessed January 21, 2015, 2015.

16. IJ E. Glucocorticoids and the Th1/Th2 Balance. Annals of the New York

Academy of Sciences. 2014;1024(1):138-146.

17. Coderre L SA, Chiasson JL. Role of Glucocorticoid in The Regulation of

Glycogen metabolism in Skeletal Muscle. Am J. Physiol.

1991;260(6):927-932.

18. Simmons PS MJ, Gerich JE, Haymond MW. Increased proteolysis. An

Effect of Increases in Plasma Cortisol within The Physiologic Range. J.

Clin. Invest. 1984;73(2):412-420.

19. Djurhuus CB GC, Nielsen S, Mengel A, Christiansen JS, Schmitz OE

Effects of cortisol on lipolysis and regional interstitial glycerol levels in

humans. Am J. Physiol Endocrinol Metab. 2002;283(1):172-177.

20. Keller J, Flores, B., Gomez, R.G., Solvason, H.B., Kenna, H.,Williams,

G.H., Schatzberg, A.F. Cortisol circadian rhythmalterations in psychotic

major depression. Biol. Psychiatry. 2006;60(3):275—281.

21. Onishi S, Miyazawa, G., Nishimura, Y., Sugiyama, S., Yamakawa,T.,

Inagaki, H., Katoh, T., Itoh, S., Isobe, K.,. Post-nataldevelopment of

ciracadian rhythm in serum cortisol levels inchildren. Pediatrics.

1983;72:399—404.

22. Price DA, Close, G.C., Fielding, B.A.,. Age of appearance ofcircadian

rhythm in salivary cortisol values in infancy. Arch. Dis.Child.

1983;58(6):454-456.

23. Weitzman ED, Fukushima, D., Nogeire, C., Roffwarg, H., Gall-agher,

T.F., Hellman, L.,. Twenty-four hour pattern ofthe episodic secretion of

cortisol in normal subjects. J. Clin.Endocrinol. Metab. 1971;33:14—22.

24. Pruessner JC, Wolf, O.T., Hellhammer, D.H., Buske-Kirschbaum,A., von-

Auer, K., Jobst, S., Kaspers, F., Kirschbaum, C.,. Free cortisol levels after

Page 36: ANNISA -LAPORAN AKHIR HIBAH RISET PASCASARJANA.pdf

36

awakening: a reliable biological markerfor the assessment of

adrenocortical activity. Life Sci. 1997;61:2539—2549.

25. Selmaoui B, Touitou, Y.,. Repoducibility of the circadianrhythms of serum

cortisol and melatonin in healthy subjects study of three different 24-h

cycles over six weeks. Life Sci. 2003;73(26):3339—3349.

26. Moore-Ede MC, Sulzman, F.M., Fuller, C.A.,. The Clocks thatTime Us.

Cambridge, MA.: Harvard University Press; 1982.

27. Pevet P, Challet, E.,. Melatonin: both master clock output andinternal

time-giver in the circadian clocks network. J. Physiol. 2011;105 (4-

6):170—182.

28. Tordjman S, Anderson, M, George., Kermarreca, Solenn., Bonnot,

Olivier.,. Altered circadian patterns of salivarycortisol in low-functioning

children andadolescents with autism. Psychoneuroendocrinology.

2014;50:227—245.

29. Putnam SK, Lopata, C., Fox, J.D., Thomeer, M.L., Rodgers, J.D.,Volker,

M.A., Lee, G.K., Neilans, E.G., Werth, J.,. Compari-son of saliva

collection methods in children with high-functioningautism spectrum

disorders: acceptability and recovery of cortisol. . Child Psychiatry Hum.

Dev. 2012;43(4):560—573.

30. easton JA LJ, Casamasimo PS, et al. Evaluation of generic quality of life

instrument for early childhood caries-related pain. Comm. Dent Oral

Epidemiol. 2008;36(5):434 - 440.

31. TS Barbosa PC, MS Leme, MBD Gaviao. Associations Between Oral

Health-Related Quality of Life and Emotional Statuses in Children and

Preadolescents. Oral Diseases. 2012;18:639-647.

32. G. Mura GC. Quality of Life, Cortisol Blood Levels and Exercise in Older

Adult: Results of Randomized Controlled Trial. Clinical Practice &

Epidemiology in Mental Health. 2014;10:67-72.