anna amartya dharma - magisterseniusu.com · diharapkan untuk di kemukakan adal ah “apa yang...

108
Anna Amartya Dharma D. Kumarasamy (D.K) Biografi Yayasan Sai Ganesha Jl. Pinang Baris Gg. Sai Ganesha No.5E Medan, Indonesia Tlp. 061-80031879 Penulis Saifuddin Mahyuddin

Upload: vuongthu

Post on 14-Mar-2019

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Anna Amartya DharmaD. Kumarasamy (D.K)

Biografi

Yayasan Sai GaneshaJl. Pinang Baris Gg. Sai Ganesha No.5E

Medan, Indonesia

Tlp. 061-80031879

Penulis

Saifuddin Mahyuddin

Anna Amartya DharmaD. Kumarasamy (D.K)Biografi

Penulis Saifuddin Mahyuddin

Tim Penulisan Biografi D. Kumarasamy

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Bidang Studi Sejarah:

1. Drs. Saifuddin Mahyuddin, S.U.

2. Drs. Hendra Mulia

3. Drs. Gustanto, M.Hum.

4. Drs. Selwa Kumar

Penyelaras Bahasa, Perancang Isi dan Desain Sampul:

Nafas Pustaka Editor & Design, Yogyakarta

PERPUSTAKAAN NASIONALKatalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN 978-602-8384-81-0

15.5 x 24 cm, xxviii + 184 halaman

© Yayasan Sai Ganesha, Medan

Cetakan Kedua April 2014

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memper-

banyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

ii iii

BIOGRAFI

Samugha Vallelar

Maha Upasaka Maha Pandita

Ashok Dharma Surya

Duraysami Kumarasamy

(DK)

Pengantar Penerbit

Beberapa hal yang sedang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk

melanjutkan pertumbuhannya menjadi bangsa yang lebih dewasa

adalah peningkatan kemampuan dalam mengelola perbedaan dan

adanya teladan kepemimpinan. Buku "Anna Amartya Dharma D.

Kumarasamy (D.K)" ini adalah salah satu buku yang menjawab

kebutuhan tersebut.

Dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, kiranya

buku ini dapat memberi banyak wawasan tentang sejarah, perjuangan

hidup seorang pemimpin yang bersedia bekerja dengan tulus dan

penuh dedikasi bagi kemajuan masyarakat dan pengenalan lebih rinci

tentang salah satu elemen yang membentuk bangsa ini.

Buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya,

memberi informasi yang sangat umum tentang masyarakat yang

hidup di Nusantara, yang kemudian menjadi bangsa Indonesia. Buku

ini memberi sumbangan yang memperkaya, memberi informasi

tentang "proses menjadi Indonesia" dari sudut pandang kelompok

masyarakat yang datang ke wilayah Nusantara pada abad 19, dengan

berbagai konteks hidup dan adaptasi yang mereka lakukan.

Sebagai sebuah biografi, buku ini sangat inspiratif bagi generasi

muda dan sangat penting untuk dibaca oleh siapa pun yang tengah

mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan Indonesia yang lebih

damai.

Medan, 1 Maret 2014

iv v

Sekapur Sirih

Kehadiran setiap manusia di muka bumi membawa peran sebagai

pelaku sejarah. Seberapa besar perubahan-perubahan yang telah

ditoreh melalui berbagai aktivitasnya menunjukkan seberapa besar

makna kehadirannya dalam sejarah suatu masyarakat.

Makna yang dibutuhkan dari suatu perubahan dalam kehidupan,

bermuara pada nilai–nilai yang meninggikan martabat kemanusiaan.

Seorang tokoh, mungkin dapat berperan melakukan perubahan–

perubahan politik, ideologi, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.

Tetapi perubahan–perubahan tadi akan menjadi kabur maknanya, bila

tanpa diiringi peningkatan harkat kehidupan masyarakatnya. Inilah

yang menjadi bagian dari kriteria untuk menuliskan peran seorang

tokoh dalam perjalanan sejarah kehidupannya atau biografinya.

Dalam mengangkat kehidupan seorang tokoh, ada tiga unsur

yang penting untuk digali, yaitu latar belakang kehidupan pribadi

sang tokoh, konteks sosial budaya yang melingkupinya dan

perkembangan intelektualnya. Dari ketiga unsur yang berhasil digali

ini, akan membantu kita lebih dapat memahami alur hidup dan

arah perjuangan berdasarkan ide atau gagasan, sikap dasar, pilihan-

pilihan tindakan maupun keteguhannya dalam memperjuangkan

gagasan-gagasannya untuk kebaikan masyarakatnya. Oleh karena itu,

dalam penulisan Biografi D. Kumarasamy ini, tim penulis mencoba

meneliti dan memaparkan bagaimana latar belakang historisnya,

situasi lingkungan dan tempat tinggal, maupun proses perkembangan

pendidikan dan intelektualnya. Kemudian sebagai puncak yang

diharapkan untuk di kemukakan adalah “apa yang telah dilakukannya

sebagai dharma baktinya itu dan bagaimana pula respon yang

vi vii

diberikan masyarakat Tamil di sekitarnya terhadap beliau”. Dari hasil

penelitian yang dipaparkan ini kita dapat melihat sampai sejauh mana

efek atau perubahan yang terjadi sebagai buah hasil perjuangan D.

Kumarasamy di tengah masyarakatnya.

Tim penulis juga menyadari, betapa pun besarnya upaya untuk

merekonstruksi peristiwa dan perjalanan sejarah seorang tokoh,

pasti tidak akan seutuh kenyataan yang ada. Demikian pula untuk

memberikan interprestasi terhadap data-data atau jejak-jajak sejarah

yang di tinggalkan oleh D. Kumarasamy, tidaklah akan seakurat atau

persis seperti yang ada dalam pikiran pelaku. Namun demikian,

sebagai tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tim

penulis mempergunakan metodologi yang khusus dan sesuai dengan

kebutuhan pokok–pokok bahasan yang ada.

Berbagai sumber referensi atau bahan kepustakaan dari berbagai

disiplin ilmu telah dipergunakan untuk mendukung penulisan ini.

Diantaranya adalah buku atau referensi antropologi dan sejarah yang

berkaitan dengan proses kedatangan dan perkembangan masyarakat

etnis Tamil yang ada di Indonesia, terutama yang ada di Sumatera

Timur. Diharapkan semuaya dapat menjadi dukungan agar penulisan

buku ii dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.

Dan last but not least, tim penulisan telah menyiapkan

seperangkat daftar questioner yang ditujukan kepada nara sumber /

informan. Kami berupaya semaksimal mungkin untuk mewawancarai

narasumber yang merupakan saksi hidup atau sezaman dengan D.

Kumarasamy. Di antaranya adalah orang-orang yang mempunyai

pertalian keluarga secara langsung seperti istri, anak-anak, menantu,

dan cucu-cucu beliau yang pernah yang bersinggungan langsung

dengan D. Kumarasamy. Demikian pula para tokoh yang pernah

menjadi sahabat dan murid-murid beliau, baik yang sealiran maupun

tidak dengan paham yang dianutnya. Kesemuanya telah memberikan

konstribusi yang sangat berharga dalam keberhasilan penulisan ini.

Penulis tetap berupaya agar dapat “menyelami” dan memahami

sumber-sumber yang diungkapkan oleh para nara sumber, baik

yang bernada kontra maupun pro terhadap subjek / pelaku dalam

biografi ini. Ada kalanya peulis harus “menempatkan” diri sebagai

orang luar yang tidak berkepentingan atau tidak terkait dengan jalan

pikiran mereka (termasuk nara sumber dan pelaku dalam penulisan

ini). Walaupun demikian, penulis juga sadar, upaya kami ini tidak

selamanya akan memenuhi keinginan semua pihak. Karena itu

dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf atas keterbatasan

kami untuk menyerap aspirasi dari berbagai narasumber. Kami juga

memohon maaf bila subyektivitas kami dianggap terlalu menonjol

dalam melakukan interprestasi dan menganalisis data. Kami telah

berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini benar-benar dapat

menjadi salah satu sumbangan kami dalam bidang penulisan ilmiah

yang objektif.

Akhirnya yang menjadi harapan kita bersama adalah, buku

ini tidak hanya akan bermanfaat bagi kelompok tertentu yang terkait,

mengingat dharma bakti yang telah diperjuangkan D. Kumarasamy

di dalam kehidupannya dapat memberikan sumbangan inspirasi yang

luar biasa dan sangat berguna dalam menata kehidupan masyarakat

Indonesia yang sangat majemuk ini. Buku ini diharapkan juga

memberikan manfaat bagi lingkungan akademis, khususnya dalam

kajian-kajian tentang sejarah dan multikulturalisme di Indoensia.

Salam dan hormat kami.

Tim Penulisan Biografi D. Kumarasamy

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Bidang Studi Sejarah.

1. Drs. Saifuddin Mahyuddin, S.U.

2. Drs. Hendra Mulia

3. Drs. Gustanto, M.Hum.

4. Drs. Selwa Kumar

viii ix

D. K. – The Jewel of the Medan TamilsMessage from Professor A Veeramani,

Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

In 1976 (May to June), I stayed in Medan to pursue

a study of Medan Tamils. All the Tamils that I met

with directed me to meet with Mr. D. Kumaraswamy,

referred by all as DK for short and by his ardent

admirers as ‘Anna’. I had the unusual opportunity

of interviewing him twice. Both his admirers and

adversaries admired him as the intellectual jewel of the Medan Tamil

community if not the whole of North Sumatra. By the time I returned

again for an extended fieldwork in 1982, DK had passed into history

as the greatest intellectual, social worker and lover of the Tamil

community and humanity. Since then, I have continued to write about

him in all my writings on Indians in Indonesia. The photograph that

DK had given me was published in one of my books and later copied

by many when they wrote about Indians in Indonesia.

I still remember the first time I met him on an afternoon in

his home library. He gave me an extended overview of the history

of Tamils in Medan, their struggles, their challenges and his role in

helping them become respected people in North Sumatra. His gift

of the oldest publication on Deli Hindu Sabai and the Maraimman

temple has been deposited at the Institute of Southeast Asian studies

in Singapore, where they have joined the list of rare books on Indians

in Southeast Asia.

DK was an unusual man in the history of North Sumatra. His

parents had migrated from the French colony of Pondicherry. Born in

1906, he was almost seventy years old when I met him. He had a deep

knowledge of Latin, English, Malay and Tamil. He was one of the most

x xi

widely read person in North Sumatra. As an employee of Harrison &

Crossfield he was uninterested in community affairs until 1923. It was

the Theosophical Society of Medan that inspired him to understand

the Tamils. As a concerned scholar, he wrote much on the practice of

Hinduism in North Sumatra. From 1929 to 1954 he contributed much

to the flowering of Tamil Hinduism as well reform in the practices

of Hindus. From the 1950s he dedicated himself to improvement of

the poorest Tamils by propagating Buddhism and its ideas of human

rights and self-respect. Though a few understood him, he pursued a

life that was well spent in the awakening of the inner soul among the

Tamils in North Sumatra. His path of love for humanity has created

the largest number of Tamils following Buddhism in Indonesia as well

as the world.

As a social scientist following the development of the Tamils in

North Sumatra for the four decades, I see that DK’s have lived beyond

his life-time. Tamil Hinduism has been reformed and transformed

in North Sumatra. The marriage practices that he advocated are still

followed. For the most oppressed among the Tamils in early North

Sumatra, DK brought dignity and respect to about five thousand

Tamils. Buddhism itself has seen a revival in North Sumatra due to

the contributions of DK.

I am extremely happy that a commemoration of DK is taking

place in Medan. He is truly the jewel of the Tamils in North Sumatra

and Indonesia. May the contributions of DK to North Sumatra be

cherished forever by all future generations.

Rendah Hati dan Berpandangan Spiritual Mendalam

Merupakan kebanggaan dan kebahagian tersendiri,

mendapat kesempatan untuk menulis Sepatah Kata

Pengantar untuk buku biografi Samuga Valelar, Maha

Upasaka, Maha Pandita Ashok Dharma Surya D.

Kumarasamy, yang lebih dikenal oleh masyarakat Medan

dengan panggilan akrab “Bapak DK”.

Saya kenal beliau pada awal tahun 1960, karena kita

bekerja pada Perusahaan Perkebunan yang sama yaitu Harrisons & Crosfield

LTD. Beliau sebagai manager Estates Departement dan saya sebagai Visiting

Engineer di Consulting & Visting Engineer’s Office.

Pertemuan kami seakan – akan terjadi secara “kebetulan “. Kami berdua

bertemu dekat lift, karena lift-nya penuh kita menunggu, dan sebagai pegawai

baru ( yang muda ) saya memperkenalkan diri sambil bicara hal – hal ringan

sehari–hari, sambutan beliau sangat ramah dan bersahabat. Melihat wataknya

yang ramah ini saya jadi berani bertanya tentang sebuah hal yang sudah lama

saya cari yaitu : “Medan Lodge”.

Dalam “keheningan meditasi“ di bulan Desember 1959, saya mendengar

suara yang menyarankan agar saya mencari Medan Lodge, saya tidak

mengerti Medan Lodge itu apa, jadi secara iseng saya bertanya kepada beliau

apakah Bapak tahu di Medan ada yang namanya Medan Lodge? Beliau jawab

tahu, dan balik bertanya, anda ada keperluan apa bertanya seperti itu pada

saya. Saya jawab, saya ingin tahu dan ingin berkenalan dengan ketua-nya.

Beliau dengan tersenyum menjawab. “Ketuanya saya”!

Saya sungguh kaget mendegar jawaban tersebut. Saya tidak pernah

menyangka bahwa amanat untuk mencari Medan Lodge tersebut begitu

mudah saya dapatkan. Setelah itu saya jadi “dekat” dengan Bapak DK. Dan

xii xiii

banyak belajar dari beliau tentang ajaran Theosofi dan ajaran – ajaran spiritual

lainnya.

Pada suatu malam di tahun 1960, saya di ajak untuk menemui seorang

bhikkhu muda yang baru datang dari Burma namanya Bhikkhu Ashin

Jinarakkhita. Saya berkata kepada Bapak DK bahwa saya sudah pernah

bertemu beliau di Vihara Watu Gong Semarang tahun 1954. Bapak D. K.

sangat senang mendengarnya dan menambahkan bahwa bhikkhu Ashin

Jinarakkhita adalah bhikkhu Indonesia yang pertama setelah jatuhnya

Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.

Kami bertiga berjumpa di Vihara Po The Cing Shia di jl Asia. Melihat

dan mendengarkan pembicaraan mereka berdua, saya jadi mengerti bahwa

hubungan mereka berdua sangat akrab dan mendalam. Sebagai anak muda

yang mempunyai bakat spiritual, saya sangat mendapat perhatian dan

bimbingan beliau berdua. Setelah lebih lama saya mengenal Bapak D.K.

saya semakin mengagumi watak beliau yang “humble” (rendah – hati) dan

pandangan – pandangan spritualnya yang mendalam.

Pada waktu mengikuti Upacara Waisak di awal Mei Tahun 1978, beliau

berkata kepada saya, bahwa “bintang-kehidupannya“ sangat gelap. ( beliau

adalah seorang Astroloog yang berbakat ) kemudian beliau meneruskan bahwa

“kegelapan” ini dapat menyebabkan kematian jasmani-nya. Mendengar itu

saya jadi kaget dan sedih, untuk menentramkan hati saya beliau meneruskan

dengan berkata : jagan khawatir, kalau saya dapat melewati akhir bulan Mei

ini saya akan hidup dalam badan ini untuk beberapa tahun lagi.

Tetapi ternayata beliau tidak dapat melewati bulan Mei tahun 1978 ! DK

adalah “JIWA BESAR” yang datang untuk membimbing masyarakat Tamil,

baik yang beragama Hindu ataupun Buddha, kesemuanya beliau bina kearah

kehidupan spiritual dan material yang lebih baik.

Buku ini patut dibaca oleh kalangan muda Tamil, Tionghoa dan etnis

manapun untuk mengenang dan mengetahui pengabdian beliau kepada

masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Tamil khususnya.

Sadhu, Sadhu, Sadhu

Maitricittena,

M.U. Phoa Krishnaputra

Pembaharu dan Pembawa KemajuanMasyarakat Tamil Indonesia

Segala puji syukur kita persembahkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya Kasih Tuhan yang

sangat penting bagi manusia adalah ilmu dan amal

serta hikmah yang kita peroleh dari karsa yang mulia.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa

kebanyakan warga negara Indonesia keturunan India

yang berada di Sumatera Utara adalah keturunan

Tamil. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa masyarakat keturunan Tamil

di Sumatera Utara telah melangsungkan kehidupannya lebih dari tujuh

keturunan atau tujuh generasi di bumi persada Indonesia.

Berdiam di benua atau negeri manapun warga Tamil tidak

akan menanggalkan kebudayaannya, ia akan berupaya melestarikan

kebudayaannya, dengan berpegang teguh pada payung agamanya. Dan

juga tidak luput selalu berupaya untuk menyuguhkan kebudayaannya

kepada masyarakat yang berada di sekelilingnya, untuk dapat hidup

rukun dan damai bersama di manapun ia berada.

Pada awalnya para leluhur warga Tamil yang datang ke Sumatera

Utara dan sekitarnya, pertama-tama mereka mendirikan rumah ibadah.

Melalui rumah ibadah mereka mengadakan upacara, dan membangun

budaya yang berlandaskan agama. Bila kita mengamati lebih dalam,

di kalangan warga Tamil, agama dan kebudayaan telah menyatu padu,

hingga sulit dapat terpisahkan satu dengan lainnya.

Dalam perjalanan kehidupan masyarakat Tamil di Sumatera Utara,

Bapak D.K. lahir di pertengahan kehidupan generasi ketiga. Setelah Beliau

merenungkan dan mengerti secara mendalam perihal perkembangan

kemajuan masyarakat Tamil pada saat itu, dibandingkan dengan

xiv xv

masyarakat lain di sekitarnya, dalam usia remajanya Beliau mengambil

bagian dalam pelayanan kepada masyarakat, untuk mengadakan

berbagai perubahan dalam perkembangan masyarakat Tamil dengan

mengedepankan Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritual.

Setelah memperhatikan dan menyadari kehidupan masyarakat

Tamil pada saat itu, bahwa masyarakat Tamil masih jauh tertinggal dari

yang diharapkan, terutama dalam bidang Pendidikan, Kebudayaan dan

Spiritual, pada Tahun 1931, Beliau berupaya penuh untuk menggalang

menyatukan masyarakat Tamil, dengan menyiapkan suatu wadah

pemersatu dengan nama “DELI HINDU SABAH”, dan melalui wadah

inilah Beliau mulai mengadakan pelayanan dan pengabdian kepada

masyarakat.

Pertama-tama Beliau mendirikan tiga unit sekolah di sekitar kota

Medan, dan membuka jalan untuk menyuguhkan atau memberikan

pelayanan pendidikan kepada siswa dan siswi yang berada di sekitarnya.

Sebagai contoh dalam hal upacara pernikahan, penyelenggaraan

ritual pernikahan yang cukup rumit pada saat itu, Beliau mengadakan

perubahan dan penyederhanaan tata cara pernikahan, Beliau menciptakan

sebuah ikrar pengambilan sumpah akad nikah untuk kedua mempelai,

baik dalam upacara pertunangan maupun pernikahan selaras dengan

kidung mantra yang dipergunakan dalam upacara ritual pernikahan. Ikrar

pengambilan sumpah akad nikah yang diselenggarakan pada saat itu, dan

masih dipergunakan sampai sekarang dalam kalangan masyarakat Tamil.

Penyelenggaraan upacara kematian dalam rumah duka pada saat itu,

belum tertata dengan baik, karena kurangnya pengertian dharma secara

luas. Setelah mengamati hal ini, Beliau mengadakan perubahan mengenai

tata cara pemakaman, dengan memberikan penyuluhan mengenai

kematian, supaya semua masyarakat mengerti akan hakikat kematian.

Untuk itu Beliau menciptakan sebuah Vasana Penghormatan Terakhir,

yang dapat dipergunakan oleh masyarakat Tamil pada saat itu, dan

sampai saat ini Vasana Penghormatan Terakhir ini masih dipergunakan

masyarakat enis Tamil.

Pemahaman spiritual yang dimiliki oleh masyarakat Tamil, mengenai

Ketuhanan, Tempat Ibadah dan Arca serta penyelenggaraan tata upacara

pemujaan di tempat ibadah, dan mereka mengganggap berserah diri

sepenuhnya kehadirat Tuhan dengan menyakiti badan fisik mereka,

dengan membayar kaul merupakan pemahaman spiritual yang cukup

memprihatinkan. Perihal ini ditemukan di dalam pelaksanaan ibadah

dalam kalangan masyarakat Tamil.

Setelah Beliau melihat keterbelakangan masyarakat Tamil di

dalam pemahaman spiritualnya, karena terjebak dalam kulit luarnya

saja, sehingga melupakan hal tersirat di dalam kebesarannya. Untuk

menjelaskan hal ini Beliau menggalang pertemuan, mengadakan

penyuluhan Dharma Spiritual, dengan menyelenggarakan pertemuan

tiga kali dalam seminggu, untuk menjelaskan mengenai kebesaran Tuhan

yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

Beliau menjelaskan hakekat Spiritual merupakan sesuatu di luar

hukum “Sebab dan Akibat” serta bersifat abstrak, dan Tuhan tidak

berwujud. Dalam penjelasannya bahwa penghayatan akan ketuhanan

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan manusia.

Dengan bantuan ketuhananlah, kehidupan manusia akan memperoleh

pencerahan spiritual mencapai kesempurnaan. Kami di antara yang telah

mengikuti penyuluhan dharma spiritual pada waktu itu, menyadari,

mengerti dan memperoleh kepuasan bathin.

Berdasarkan pelayanan dan pengabdian bernuansa spiritual yang

dilakukan oleh Bapak D.K., kepada masyarakat, kita dapat menyaksikan

kemajuan yang dialami oleh masyarakat Tamil dan sekitarnya. Generasi

saat ini maupun generasi berikutnya perlu mengetahui pengabdian

yang dilakukan oleh Bapak D.K. untuk mendapatka inspirasi bagi

perkembangan dan kemajuan masyarakat Tamil dan sekitarnya. Oleh

karena itu saya merasa bahagia atas diluncurkan buku Biografi Bapak

D.K. pada HUT nya yang ke 108 Tahun, sebagai sarana untuk mengenang

dan menghormati jasa-jasa Beliau yang luar biasa.

Medan, 15 Februari 2014

M.U. S. Kanapathy

xvi xvii

Nominee Nullum par Eulogium

Saya merasa sangat bahagia diminta menulis kata pengantar

untuk buku Biografi Bapak D. Kumarasamy, yang oleh pengagumnya

disapa dengan singkatan DK (baca : di ki )

Beliau bertubuh tinggi dan besar, olahragawan (angkat besi)

dan memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ucapannya sangat

berwibawa, senantiasa menarik perhatian dan meyakinkan.

Perkenalan saya dengan beliau bermula pada awal 1954. Pada

waktu itu beliau adalah Ketua Perhimpunan Shri Mariamman

Kuil. Ketika itu saya baru saja lulus ujian Senior Cambridge Social

Certificate Khalsa English School. Melalui dua orang utusan yang

beliau tugaskan, yaitu Bapak G. Krishnaswamy dan Bapak P. Khrisna,

meminta kesedian saya untuk memimpin Bharati English School yang

baru didirikan oleh Shri Mariamman Kuil di atas pekarangan bagian

belakang kuil tersebut.

Nama sekolah Bharathi diambil dari nama seseorang pujangga

Subramaniam Bharatiar. Subramaniam Bharatiar adalah pujangga

besar di Tamil Nadu pada masa perjuangan Kemerdekaan India.

Selanjutnya, untuk menyatakan kesediaan saya sebagai kepala sekolah,

saya bertemu untuk pertama kali dengan Bapak DK di Gedung

Theosophical Society ( Sekarang Vihara Borobudur ) di jalan Imam

Bonjol, Medan. Formalitas pengangkatan saya secara lisan berjalan

singkat setelah saya menegaskan kesediaan dan kesanggupan saya.

Kemudian, menjawab keingintahuan saya tentang hal-hal

spiritual, beliau menjelaskan mengenai Theosofy, serta ajarannya serta

pendiri dan ketua–ketuanya, yaitu Madam Blavatsky, Dr Annie Besant

dan Coloniel Olcotf. mendapat pengertian mendalam mengenai

xviii xix

Theosaphy, Hinduism dan Buddhism. D.K. juga bercerita mengenai

Swami Vivekananda dan juga mengenai Yoga (Hatha Yoga, Raja Yoga,

dan Prema Yoga). D.K. juga bercerita mengenai Sir Matthew Arnold (“

The Light Of Asia” ) dan Kahlil Gibran ( “ The Prophet ” ).

Beberapa bulan kemudian, pada Sabtu petang, saya berkunjung

ke rumah. Beliau adalah orang Asia yang pertama diangkat sebagai

staff di Harrisons & Crosfield LTD. Setelah makan malam kami bicara

sampai Minggu. Saya bertanya, termasuk hal–hal yang sangat pribadi

dan beliau menjawab secara terbuka, jujur dan meyakinkan.

Bapak D.K. adalah sosok yang saya hormati dan kagumi, sampai

sekarang saya mencari sosok Beliau. Sebagai salah satu Guru Besar

Saya. D.K. telah menerima banyak gelar Kehormatan Spiritual. Saya

ingin menyatakan sbb : (anto) Nominee Nullum Par Eulogium “ (Untuk

Manusia yang demikian agung tidak ada pujian yang cukup besar).

Semoga buku biografi D.K. ini di baca dan dijadikan warisan

untuk generasi muda untuk membangun peradaban bangsa dan

Negara Indonesia. Hasrat perjuangan D.K. dapat dilanjutkan untuk

kemajuan bangsa dan Negara tercinta.

Medan, 15 Februari 2013

M.Yahya Rowter, MA

Mendidik Karakter Melalui Keteladanan

Puji Syukur saya persembahkan kepada

Baghavan Sri Sathya Sai Baba, oleh karena berkat dan

rahmat-Nya saya selaku putra dari Ayahanda saya

Bapak D.Kumarasamy akhirnya dapat memprakarsai

dan mengadakan penghargaan serta sekaligus

kenangan atas jasa-jasa Ayahanda saya yang telah

dirangkumkan serta dijilid ke dalam sebuah buku

yang dapat menjadi tanda kenangan serta sebagai motivator dan juga

sebagai suatu informasi yang secara aktual dan fakta mengenai jasa-

jasa serta sejarah kehidupan Ayahanda saya.

Saya sangat bersyukur dan bahagia atas terbitnya buku Biografi

dari Ayahanda tercinta saya, Bapak D. Kumarasamy.

Saya mengucapkan rasa terima kasih saya yang sedalam dalamnya

kepada para penulis, informan dan pembuat kata pengantar yang

telah bersedia mengorbankan waktunya sejenak dan mengambil masa

untuk menuliskan sejarah dan memberikan keterangan yang sangat

berguna di dalam penulisan sejarah daripada Ayahanda tercinta kami.

Saya berharap semoga buku ini sangat berguna dan bermanfaat

bagi kesemua generasi muda Indonesia dan kepada semua yang

membaca buku ini kedepannya.

Buku ini menyuratkan dengan seksama mengenai perihal

bagaimana D.K. berjuang dengan penuh semangat dan bergigih

menghadapi tantangan-tantangan yang datang silih berganti dalam

membangun dan membawa masyarakat Tamil kepada suatu tata cara

penghidupan yang berbudaya luhur.

Seorang D.K. telah memberikan kontribusi yang besar dan berharga

xx xxi

di masa kemerdekaan Indonesia yakni dengan membuka sekolah

yang tergolong indipenden pada masa tersebut. Tujuan Beliau adalah

untuk membangun karakter yang baik dan benar dalam kehidupan

bermasyarakat melalui pendidikan akhlak yang berkualitas. Beliau

selalu memberikan ceramah yang berkenaan dengan spritual dan

secara theosofi kepada masyarakat. Seorang D.K. telah mempelopori

dan membangun moral dan etika dalam berkehidupan masyarakat

dengan keteladanannya. Agama merupakan suatu sumber ilmu

pengetahuan dan jalan kehidupan Beliau dan merupakan penuntun

kehidupan Beliau.

Beliau berjuang dengan sangat tulus dan ikhlas serta dengan

tingkat konsisten yang sangat tinggi. Ayahanda kami membangun

humanisme di tengah-tengah masyarakat yang multikultural dengan

penuh rasa cinta kasih. Beliau sangat menghormati dan menghargai

perbedaan serta selalu menjalin persatuan di dalam perbedaan

tersebut.

Ayahanda kami selalu menghadapi semua cobaan dan masalah

dengan penuh sabar dan tabah dan selalu mencari solusi yang

terbaik dan yang tidak merugikan orang lain, dari semua persoalan

yang dihadapi Beliau di dalam kehidupannya. Hal ini dapat menjadi

sebuah panutan bagi kita semua termasuk saya sendiri dalam

menghadapi persoalan hidup ini. Seperti pesan Beliau yang sangat

berguna serta yang selalu bergema di telinga saya adalah “IT WILL

PASS” yang dimana memiliki makna yang sangat mendalam yaitu

semua persoalan dan permasalahan baik atau tidak baik maupun yang

senang atau tidak senang – hal ini semua akan berlalu dan tidak kekal

dalam kehidupan kita.

Sekian dan Terima Kasih

Mohan Leo

Sang Pemimpin Pembaharu dan Pemersatu Agama-agama

Amartya (artinya abadi atau Illahi, lih. www.spokensanskrit.de),

menggambarkan sosok warga negara Indonesia keturunan India,

Bapak D. Kumarasamy Pillay melalui perjalanan waktu dan ruang,

yang kebetulan berkisar di antara Medan dan wilayah sekitarnya

sampai ke negeri jiran dan anak benua India.

Buku ini membawa kita ke masa-masa nostalgia keteraturan

zaman perekonomian perkebunan maupun romantika transisi dari

zaman penjajahan Belanda, kemerdekaan, demokrasi terpimpin

sampai Orde Baru.

Melalui perjalanan waktu tersebut Bapak Kumarasamy

memberikan gambaran individu yang ulet, berbakat, terampil, disiplin

dan berprestasi–atau dalam bahasa sekarang professional tulen--,

sangat aktif dalam masyarakatnya, kreatif dalam berkarya, peminat

dan penggalak kehidupan yang bermoral dan spiritual, kepala rumah

tangga yang bertanggung-jawab serta pengasih–termasuk juga kepada

anggota masyarakat sekitarnya yang memiliki masalah atau kurang

beruntung.

Dalam membaca buku ini, terlintas di depan kita, sosok yang

santun, correct dan berprinsip, penuh drive dan inisiatif dan berdisiplin

–berbusana putih-putih dikanji dan diseterika licin mengendarai

sepedanya yang tak kalah mengkilapnya--, stereotip administrator

perusahaan ataupun pemerintahan yang kompeten, zakelijk

(businesslike), disegani di kantor dan masyarakat, yang menjadi tulang

punggung lancarnya perekonomian perkebunan maupun provinsi

di masa itu. Sosok-sosok ini ada di kota-kota yang menjadi pusat-

pusat perekonomian zaman Belanda maupun peralihan. Kehadiran

xxii xxiii

mereka secara tak terasa memberikan rasa kepastian, keamanan,

kesinambungan akan kesejahteraan, ketenteraman dan juga tak

jarang–pula sebagai suar moralitas bagi masyarakatnya – seperti yang

ditemukan pada diri Bapak D. Kumarasamy. Dalam kepemimpinan

pemerintahan Republik, sosok ini mungkin terwakili dengan baik

oleh Wakil Presiden yang pertama Bapak Mohammad Hatta.

Stereotip-stereotip seperti ini belakangan tergeser oleh stereotip-

stereotip administrator yang mengejar target politik, projek maupun

pemasaran seiring berjalannya waktu yang semakin didominiasi

oleh ekonomi-politik di mana politk ataupun laba menjadi panglima

dengan seringkali atau bahkan semakin kerap mengkompromikan

nilai-nilai moral.

Oleh karena itu kehadiran buku Anna Amartya Dharma mengenai

kehidupan sosok D. Kumarasamy Pillay ini dapat menjadi sebagai

kilas-balik, penyegar atau penawar atas kehilangan atau kerinduan kita

pada stereotip-stereotip panutan kita–yang satu nafas dan semangat

dengan Anna (Abang) Kumarasamy–yang pernah hadir dari Sabang

hingga Merauke pada masa peralihan tersebut namun kebanyakan

telah tiada itu.

Akan tetapi satu hal yang melegakan tentang Bapak D. Kumarasami

Pillay adalah bahwa selain meninggalkan warisan-warisan andil

partisipasi pada pendirian lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan

keagamaan (a.l kuil Sri Mariamman, Vihara Asoka untuk menyebut

beberapa), Beliau juga meninggalkan karya-karya tulis di antaranya

Ashok Gatha dan Mahapuja. Menurut kami buku yang disebut terakhir

sangat dalam makna dan penghayatannya akan Budhisme, sehingga

patut diperbanyak dan disebar-luaskan juga ke kalangan di luar

masyarakat Budha karena keindahan-keindahan syair-syairnya – yang

diiakui oleh pemimpin Budhis Nusantara seperti mendiang Mahathera

Jinnarakita dan Girirakito. Apalagi Mahapuja ini dilahirkan di

Nusantara, dengan demikian sumbangan putra Nusantara keturunan

India kepada salah satu agama besar dunia: Buddha. Padahal Beliau

juga adalah sosok yang aktif dalam kegiatan dan organisasi umat

Hindu. Hal ini bukanlah hal aneh, malah mewujudkan kesatuan yang

saling melengkapi seperti diabadikan dalam kitab Kakawin Sutasoma

karya Mpu Tantular yang terkenal dengan ucapannya Bhineka

Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangriwa – yang menjadi motto dari

falsafah Republik Indonesia. Jadi Bapak Kumarasamy benar-benar

telah mengejawantahkan kesatuan agama– sedikitnya antara Hindu

dan Buddha. Ini tidak mengherankan karenaalam hidup Bapak

Kumarasamy Beliau pada masa remajanya sudah berkenalan dengan

komunitas para Theosof – yang keterlibatannya dilanjutkan sampai

akhir hayatnya.

Oleh karena itu, kami, dari Yayasan Bali Canti Sena pengelola

Gedong Gandhi Ashram dan Bali Vidyapith, amat menyambut dan

turut berbangga atas kehadiran buku tentang Bapak Kumarasamy

ini yang dapat menjadi kesaksian tentang berlanjutnya perjuangan

ketauladanan moral Hindu-Budha, atau Siwa-Budha seperti yang

diterapkan dan dianut di Bali. Mudah—mudahan buku ini dapat pula

menjadi awal dari persatuan dan kebangkitann besar kesatuan Hindu-

Budha di Nusantara yang terkenal telah meninggalkan warisan budaya

dunia seperti kompleks terpadu Candi-Prambanan (Hindu), Sewu,

Plaosan, Ratu Boko (yang ketiga-tiganya Budhis) di dekat Yogyakarta.

Astungkara. Om Shantih, Shantih, Shantih

Harimurthy Bagus Oka

(Penasehat Yayasan Bali Canti Sena,

Gedong Gandhi Ashram, Bali Vidyapith)

xxiv xxv

Daftar Isi

Pengantar Penerbit ............................................................................v

Pengantar Sahabat dan Keluarga ....................................................vii

Daftar Isi ........................................................................................ xxvi

Bab 1. Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur................................1

Bab 2. Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy..13

Bab 3. Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan......................23

Bab 4. Deli Hindu Sabha.....................................................................33

Bab 5. Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha....................49

Bab 6. Peran D. Kumarasamy sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta

Ashok Dharma Surya (1952-1956)........................................73

Bab 7. D. Kumarasamy sebagai Peletak Dasar Kebangkitan

Etnis Tamil Kota Medan..........................................................95

Bab 8. D. Kumarasamy sebagai Samugha Vallelar..........................121

Bab 9. Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia.......................................137

Bab 10. Penutup ...............................................................................145

Epilog.................................................................................................167

Daftar Pustaka & Lampiran

xxvi xxvii

xxviii

1Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur

Sejarah Bangsa Indiadi Sumatera Timur

1

Hubungan antara masyarakat di kawasan Nusantara atau

Indonesia dengan masyarakat India yang berperadaban Hindu-

Budha, telah terjalin sejak sebelum abad Masehi. Jalinan hubungan

yang berlangsung lama ini sangat berpengaruh dalam kehidupan

masyarakat di kawasan Nusantara. Besarnya pengaruh ini ditandai

oleh berbagai peninggalan berupa artefak maupun kebudayaan

dalam pengertian luas. Kelompok masyarakat penganut agama Hindu

dan Budha juga masih eksis di Indonesia hingga saat ini. Besarnya

pengaruh peradaban ini, disematkan menjadi periodesasi penulisan

sejarah Indonesia dengan istilah “Zaman Hindu-Budha”. 1

Kedatangan bangsa India ke kawasan Nusantara bervariasi

motivasi dan waktunya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang

melatarbelakangi. Ada yang datang sebagai pedagang untuk jual-beli

komoditas tertentu dan ada yang datang ke wilayah Nusantara untuk

melakukan penyebaran agama beserta peradabannya. Di samping itu

ada pula gelombang kedatangan bangsa India yang ingin melebarkan

sayap kekuasaan politiknya di luar India.

Motivasi dagang dalam hubungan India dan Nusantara sebagai

motivasi yang menonjol telah dikemukakan oleh beberapa peneliti,

di antaranya adalah J.C. Van Leur dalam buku Indonesian Trade and

Society (1955: 90) dan O.W. Wolters dalam bukunya Early Indonesian

Commerce (1967: 31). Mereka menyatakan hubungan antara kedua

kawasan ini sudah terjalin sejak zaman prasejarah.

Hubungan dagang kedua bangsa ini lebih awal dan lebih aktif

dibandingkan dengan hubungan antara bangsa India dan bangsa

1 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Volume 3, Gramedia, Jakarta, 1996.

2 3Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur

China, mengingat letak geografis kepulauan Nusantara yang lebih

mudah dijangkau menggunakan armada pelayaran. Perdagangan dari

Nusantara, tidak berjalan searah atau menunggu kedatangan mereka

yang dari India, tetapi juga aktif membawa komoditas dari wilayah

Nusantara ke kawasan India.

Proses perkembangan agama dan peradaban Hindu di kawasan

Nusantara berjalan beriringan dalam periode yang sama. Namun

umumnya masyarakat pembaca sejarah selalu menyebutkan sebagai

era kedatangan pengaruh Hindu. Hal ini mungkin karena kedua

agama tersebut berasal dari wilayah dan kebudayaan yang sama, yaitu

India.

Ada kemungkinan, sejak awal periode masuk agama Hindu dan

Budha ke Nusatara ini, sudah terjadi sinkretisasi. Demikian pula

penduduk kawasan Nusantara yang menerimanya telah melakukan

akulturasi dan inkulturasi. Maka dapat dipahami bila selanjutnya

penduduk di kawasan Nusantara ikut memperkuat jalinan sinkretisasi

kedua agama tadi.

Tentang golongan mana di antara masyarakat India, baik yang

beragama Hindu maupun Budha yang menyebarkannya ke Nusantara,

terdapat perbedaan pendapat di antara para peneliti sejarah. Ada yang

berpendapat bahwa mereka berasal dari golongan Kesatria, misalnya

dikemukakan oleh F.D.K Bosch, dalam buku The Problem of Hindia

Colonisation of Indonesia. Pendapat lain mengatakan bahwa yang

berperan adalah golongan Waisya yang disampaikan oleh N.J. Kron,

dalam buku Hindoe-Javanesch Geschiedenis, (1931: 90). Kemudian

ada pula yang berpendapat, golongan yang paling berperan adalah

para Brahmana, sesuai dengan profesi golongan tersebut, misalnya

disampaikan oleh Van Leur (1955: 89-110).

Penulisan ini tidak bermaksud mengupas hipotesis-hipotesis

dari ahli-ahli tersebut tentang golongan mana yang paling berperan

dalam penyebaran agama. Bagian tulisan ini hanya ingin menjelaskan

bahwa pengaruh Hindu maupun Budha yang dibawa oleh pendatang-

pendatang dari India sudah cukup lama mewarnai kehidupan

masyarakat di kawasan Nusantara.

Hampir seluruh bentuk kerajaan tertua yang dijumpai di kawasan

Nusantara, sangat dipengaruhi oleh kedua agama ini. Bahkan kerajaan

Sriwijaya atau disebut juga negeri Foshih, pernah menjadi salah satu

pusat pengkajian dan penyebaran ajaran agama Budha, terutama bagi

pendeta-pendeta Budha yang berasal dari Cina dan Tibet sebelum

melanjutkan ke India.

Di kawasan Sumatera Utara, kedatangan bangsa India yang

memberi pengaruh pada masyarakat Nusantara terus berlanjut.

Kedatangan etnis Tamil yang merupakan salah satu etnis yang ada di

anak benua India, cukup menonjol di daerah ini. Hal ini dapat kita

lihat dari pendapat K.A. Bilakanta Sastri dengan tulisan yang berjudul

“A Tamil Merchant Guild in Sumatra, (1932)” yang dimuat dalam

TBG 72: 314-327, antara lain menyatakan, "...di pantai Barat Sumatera

Utara, banyak ditemukan prasasti-prasasti bersegi enam yang berasal

dari pedagang-pedagang Tamil (Ainnurruvar Serikat Dagang 500)".

Kemudian di Lobu Tua, tak jauh dari Barus, masih pantai Barat

Sumatera dijumpai pula prasasti yang bertarikh 1088 M, bertanda

Raja Chola yang ke-9 yang bernama Kulit Tungga2. Prasasti itu

juga berbahasa Tamil. Sebelumnya terdapat pula informasi yang

menyatakan bahwa Rajendra Chola I yang memerintah pada 1012-

1042 M pernah meluaskan wilayahnya dengan menyerang kerajaan

Sriwijaya dan kerajaan Panai. Keterangan tentang hal ini dapat dilihat

pada prasasti Tanjore berpenanggalan 1030 M3.

Posisi geografis yang strategis mengakibatkan kawasan Sumatera

Utara menjadi pintu gerbang hubungan pelayaran antara India dan

Tiongkok. Oleh karena itu Sumatera Utara kemungkinan besar

menerima pengaruh yang lebih dominan dibandingkan kawasan lain

di Nusantara, terutama dari etnis Tamil yang datang dan menetap di

kawasan ini. Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam artikel

MC Kinnon dengan judul New Light on the Societies of North Sumatra,

(1987:81-110). Dia antara lain menyatakan bahwa dalam bahasa

Batak/Karo telah ditemukan 175 istilah yang berasal dari bahasa

Tamil, di antaranya adalah: Colia, Pandia, Meliala, Depari, Muham,

Pelawi, Tukham, Brahmana.

Demikianlah interaksi yang terjadi antara India dan kawasan

Nusantara, termasuk kawasan yang ada di Sumatera Utara. Ada yang

melalui perdagangan, keagamaan, maupun kolonisasi, semuanya

memberikan pengaruh atau konstribusi bagi kebudayaan yang ada

2 Artikel H. Bashir, Ak, dengan judul Pengaruh Bangsa Tamil di Sumut sejak 11 M dalam Surat Kabar Analisa 27 Februari 1977.

3 Lihat H.H Dodwell, 1934, The Cambridge Shorter History Of India, Cambridge, h.294.

4 5Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur

di Nusantara. Alasan inilah yang menyebabkan Richardson-Logan,

seorang bangsa Inggris yang pernah berdomisili di Semenanjung

Malaysia pada tahun 1830-1834 menyebut kawasan Nusantara

sebagai “Indusnesas” atau kepulauan yang banyak dipengaruhi oleh

kebudayaan India. Istilah itulah yang kemudian berkembang menjadi

sebutan Indonesia dan menjadi identitas bangsa dan negara kawasan

Nusantara.

Dengan dibukanya perkebunan asing di Sumatera Timur

atau Ooatkust van Sumatra yang meliputi kawasan pantai Timur

Sumatera Utara dan Riau sekarang, yang dipelopori oleh Jacobus

Nienhuys (1863) dari asosiasi/perkumpulan Pedagang Rotherdam

yang perusahaannya bernama Pieter van den Arend & Consortium,

kemudian diikuti oleh pengusaha-pengusaha perkebunan lainnya,

seperti pengusaha onder neming dari Swiss seperti Mots dan Breker

(1865 dan 1866), kemudian onder neming dari Jerman B. Van Mach

(1866), dan lain-lain, kedatangan etnis Tamil ke kawasan Sumatera

Utara terus berlanjut.

Dari berbagai jenis perkebunan, yang menonjol dan sangat

menguntungkan pada periode awal adalah perkebunan tembakau.

Tanaman tembakau menjadi primadona perdagangan Internasional

di sekitar abad ke 19 karena masyarakat Eropa yang sedang gemar

mengisap rokok cerutu lebih cenderung mempergunakan daun

tembakau dari Tanah Deli. Oleh karenanya, “tembakau Deli”

merupakan komoditas yang digemari dan sangat menguntungkan

ketika itu. Untuk pertama kalinya di kawasan ini, perusahaan bersifat

Perseroan Terbatas atau Naamloze Vernootschap (NV) didirikan

dengan nama Deli Maatschapping/Maskapai–Deli pada tahun 1869.

Tahun 1888 merupakan puncak pertumbuhan luas areal dan jumlah

perkebunan di kawasan Sumatera Timur.4 Tahun 1872 sampai dengan

tahun 1888 merupakan masa kejayaan perkebunan tembakau di

kawasan Sumatera Timur. Setiap tahunnya, muncul perkebunan

tembakau yang baru milik swasta asing.

Untuk meningkatkan produktivitasnya, para pengusaha

perkebunan antara lain melakukan perluasan areal perkebunan dan

mendatangkan tenaga kerja atau buruh dari luar Sumatera. Penduduk

4 Karl J. Pilzer 1985, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,Sinar Harapan, Jakarta 1985, hlm.73 yang didasarkan atas buku E.C.J. Mohr, TheSoilsaf Eq Natural Regions and Special Referrence to Netherlands East Indies, hlm.174

pribumi setempat tampaknya tak berminat untuk bekerja sebagai

buruh, karena itulah didatangkan buruh dari luar, yaitu etnis Cina

dan etnis Sikh (India). Pada mulanya kedua etnis ini didatangkan dari

Penang Malaysia melalui broker atau perantara/komisioner. Seiring

dengan perkembangan perkebunan di tanah Deli, kebutuhan jumlah

buruh juga bertambah besar, harga setiap buruh yang didatangkan

melalui broker ini juga meningkat. Untuk mengatasi hal ini, pihak

perkebunan berupaya mendatangkan buruh dari daerah asalnya yaitu

langsung dari India dan Cina atau memanfaatkan tenaga buruh dari

Jawa melalui program transmigrasi yang dilaksanakan Pemerintah

Kolonial Belanda. Sejak itulah tenaga-tenaga buruh berasal dari

berbagai etnis, yaitu etnis Cina, Tamil/India, dan suku Jawa.5

Perkembangan jumlah buruh perkebunan di kawasan Sumatera

Timur dan komposisi etnisnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:

Etnis Kuli Tahun 1874 Tahun 1890 Tahun 1900

Cina 4. 476 Jiwa 53.806 Jiwa 58.516 Jiwa

Tamil 459 Jiwa 2.460 Jiwa 3.270 Jiwa

Suku Jawa 316 Jiwa 14.847 Jiwa 25.224 Jiwa

5 Peristiwa pemindahan penduduk pulau Jawa ke daerah-daerah di luar pulau Jawa terkait juga dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk politk etis, yaitu guna meningkatkan taraf hidup masyarakat maka diadakan kebijakan berupa: pendidikan untuk masyarakat, irigasi pada areal pertanian di Jawa yang terkenal sebagai tanah yang paling subur di Nusantara serta transmigrasi sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk di pulau Jawa. Lihat dalam Ricklef, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Gadjahmada Press, Yogyakarta.

Para buruh dari berbagai etnis di perkebunan tembakau Deli

6 7Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur

Agar tidak terjadi persaingan yang kurang sehat antara sesama

pihak pengelolah perkebunan, mereka mengambil inisiatif untuk

mendirikan lembaga yang disebut “Deli Planters Verenigings

(DPV).6 Tujuannya adalah agar sesama pegusaha perkebua dapat

menyelesaikan permasalahan di bidang administrasi, perburuhan,

pertanahan, dan keamanan. Namun sebenarnya, tujuan dasar dari

perkumpulan ini adalah agar pihak perkebunan dapat mengatasi dan

menekan tuntutan buruh serta dapat menekan pergolakan karena

tuntutan hak kepemilikan atau penggunaan tanah dari pihak penduduk

setempat. Bahkan, agar dapat menguasai para buruh di perkebunan,

perkumpulan para pemilik perkebunan ini juga membuat undang-

undang yang disetujui pemerintah kolonial berupa “Koeli Kontrak”

dan “Poenale-Sanktie”. Namun pemerintah Inggris yang menguasai

India ketika itu, berupaya melindungi para buruh yang berasal dari

India agar tidak diperlakukan semena-mena oleh majikan dengan

membentuk suatu badan yang bernama “British Protector of Indian

Labour”.

Kemasyuran tanah Deli sebagai kawasan yang sangat banyak

menghasilkan devisa, telah tersiar ke daerah-daerah lain kawasan

Nusantara maupun luar negeri. Tanah Deli kemudian menjadi lebih

populer dengan julukan “Het Dollar Land” atau tanah yang banyak

menghasilkan uang. Kondisi ini telah menarik pendatang dari daerah-

daerah lainnya, baik yang berasal dari kawasan Sumatera Utara

maupun dari kawasan lainnya. Di antara pendatang dari luar daerah,

yang paling menonjol adalah dari Tapanuli Selatan (Mandailing dan

Sipirok), Sumatera Barat (Minangkabau), Banjar, Sunda, Banten,

Jawa, Boyan, dan lain-lain. Imigran dari luar wilayah Nusantara pun

berupaya mengadu untung ke tanah Deli. Di antara pendatang bangsa

luar yang masuk wilayah Sumatera pada periode ini adalah Cina, Arab,

India, dan lain-lain. Sedangkan yang disebut sebagai penduduk asli

adalah mereka yang beretnis Melayu atau juga selalu disebut sebagai

“Orang Deli”.7

Berbagai aktivitas yang menyertai perkembangan perkebunan

ikut mempengaruhi pertumbuhan kota Medan dan kota-kota lain

6 T. Lukcman Sinar, dalam Surat Kabar Waspada," Sejarah Medan Dalam Eurkriyo Sebagai Pusat Pemerintahan", .

7 Untuk gambaran penderitaan kaum buruh di perkebunan Sumatera Timur, lihat Aditya Modan,1992, Di Bawah Bayang-bayang Tanah Dolar: Kehidupan Kaum Buruh di Perkebunan Sumatera Timur, Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

yang berada dalam kawasan perkebunan. Di antaranya adalah kota

Binjai (di kawasan Langkat), Tebing Tinggi (kawasan Deli Serdang),

Pematang Siantar (Simalungun), Rantau Perapat (Labuhan Batu), dan

lain-lain. Makin banyaknya pendatang menyebabkan masyarakat di

kota-kota ini menjadi lebih heterogen, terdiri dari berbagai bangsa

dan etnis.

Salah satu kota yang menarik disinggung lebih dalam bagian ini

adalah kota Binjai. Kota ini berada di sebelah barat dan berjarak lebih

kurang 23 km dari kota Medan. Pada tahun 1870, kota Binjai dan

sekitarnya berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Langkat yang

sebagian besar daerahnya merupakan kawasan perkebunan tembakau

yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha dari Rotherdam Belanda.

Seiring perkembangan perkebunan di sekitar wilayah kota Binjai

dan Langkat, jumlah penduduknya juga mengalami peningkatan

signifikan. Sebelum perkebunan dibuka, jumlah penduduk Binjai

hanya sekitar 50 kepala keluarga atau sekitar 250 jiwa. Pada awal abad

ke-20 tepatnya tahun 1930, jumlahnya telah mencapai 9000 jiwa.8

Pertumbuhan kependudukan yang didorong oleh perkembangan

perkebunan ini menjadikan kota Binjai dikukuhkan sebagai kotapraja

atau yang disebut Gemeente, berdasarkan ordonansi tanggal 27 Juni

1917 dan tercantum dalam Gab 1917 No. 283.

Penataan administrasi daerah melalui penetapan Binjai sebagai

kotapraja atau Gemeente, menjadikan daerah Binjai dan sekitarnya

makin menarik pendatang. Imigran-imigran dari India dan Tiongkok,

terus bertambah di tanah Deli. Demikian pula etnis-etnis dari daerah

lain di kawasan Indonesia sendiri.9 Bagi pendatang yang mempunyai

keahlian, tentunya tidak akan berprofesi sebagai buruh kasar di

perkebunan. Mereka bisa menjadi petani, pegawai perkebunan asing,

pegawai kantor pemerintahan kolonial Belanda atau bekerja sebagai

pegawai kesultanan yang merupakan penguasa tradisional saat itu.10

Para pendatang dari India didominasi oleh etnis Tamil dari

8 Lihat Karl J. Pilzer, op. cit., hlm.869 Lihat T. Luckman Sinar, Ibid.10 Beberpa keahlian tradisional yang menghasilkan kelompok pekerja berdasarkan etnis, misalnya

berdasarkan etnis ini misalnya tukang pembuat tepas (atap), sebagai pandai boyan, centeng-centeng berasal dari kalangan pendatang dari Banten Jawa Barat. Etnis China terkenal sebagai orang yang ahli menanam dan merawat tembakau. Orang Tamil sebagai ahli sarana jalan dan transportasi (kereta lembu) dan orang Sikh terkenal dengan keahliannya memelihara sapi dan memerah susu. Sedangkan untuk klerk di perkebunan biasanya orang Padang dan Mandailing.

8 9Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur

daerah India Selatan atau Semenanjung India.11 Pendatang etnis

Tamil jumlahnya paling banyak. Pada umunya, warna kulit mereka

agak lebih hitam daripada etnis India lainnya. Pekerjaan yang banyak

mereka lakukan pada periode ini lebih banyak mengurusi sarana jalan

dan transportasi. Bila bekerja di perkebunan, mereka selalu disuruh

untuk membuat jalan-jalan yang menghubungkan lokasi perkebunan

dengan lokasi-lokasi lainnya, seperti tempat pemukiman penduduk

atau pusat-pusat kegiatan lainnya.

Selain etnis Tamil, kelompok etnis India lainnya yang banyak

bermigrasi ke kawasan Sumatera Timur adalah etnis dari Benggala,

Bombay, dan Punjabi. Namun, kelompok-kelompok etnis India ini

mempunyai kecenderungan pada pekerjaan yang berbeda dengan

etnis Tamil. Mereka lebih banyak berprofesi sebagai pedagang. Etnis

Bombay banyak yang berdagang tekstil, sedangkan etnis Benggala

banyak yang berjualan minuman dan makanan. Sedangkan etnis

Punjabi yang beragama Sikh di Sumatera Timur banyak berprofesi

sebagai peternak sapi untuk memproduksi susu.

Etnis Tamil telah mulai datang ke wilayah Sumatera sejak jaman

kerajaan Kalingga yang waktu itu telah berhubungan erat dengan

kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Kerajaan

Kalingga terletak di kawasaan pantai Coromand di sebelah utara kota

Madras, yang sekarang masuk dalam wilayah Negara Bagian Tamil

Nadu India. Kerajaan ini sering disebut dalam sejarah Indonesia pada

periode Hindu-Buddha Benggala. Mereka yang sebagian berkulit

hitam juga disebut sebagai “Orang Benggali".12

Bagi pendatang-pendatang dari India yang berkulit agak putih,

oleh masyarakat di wilayah Sumatera sering dianggap sebagai orang

Bombay. Sebaliknya untuk menyebut mereka yang berasal dari

Punjabi dan yang beragama Sikh, penduduk pribumi di kawasan ini

menyebutnya sebagai “orang Benggali” yang berasal dari kata “orang

Benggala”. Sebutan ini tentunya tidak tepat karena mereka yang berasal

dari kawasan Benggala yang sekarang termasuk wilayah Pakistan

Timur itu pada umumnya beragama Islam. Salah kaprah penyebutan

11 Para pedagang dari Bombay ini ahli sebagai pedagang kain Pelekat. Pelekat sendiri berasal dari bahasa Tamil yaitu kata Puli yang berarti harimau dan Kat yang berarti hutan. Pada awalnya kain pelekat adalah kain yang motifnya lurik-lurik seperti bulu harimau (wawancara dengan Sinivasan Marimutu).

12 Lihat Hassan Shadily dkk., 1986, Ensiklopedi Indonesia Jilid 3 yang diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, hlm.1633.

istilah “Orang Benggali” untuk orang Punjabi yang beragama Sikh

yang memakai sorban penutup rambut (ubel-ubel) dalam masyarakat

Sumatera saat ini sudah jarang terjadi.

Kembali pada etnis Tamil yang berada di kawasan Sumatera

Timur, yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang dan

buruh perkebunan bagian transportasi, pada masa pemerintahan

kolonial Belanda, mereka ini berada dalam kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah. Sesuai dengan tingkat pendapatannya itu,

kelompok ini pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang

rendah dan kurang memperhatikan soal pendidikan. Mereka yang

dapat menduduki posisi sebagai tandil atau mandor cukup beruntung.

Para tandil memperoleh hak yang lebih istimewa dibandingkan

mereka yang berkedudukan sebagai buruh. Sesuai dengan tugas dan

tanggung jawab untuk memimpin kelompok buruh, mereka juga

memperoleh pendapatan yang lebih besar.

Setelah mereka keluar atau memutuskan hubungan kerja

dengan pihak perusahaan perkebunan, para pendatang etnis Tamil

ini memulai kembali mencari penghidupan pada lapangan kerja di

tingkat bawah pula. Ada yang meneruskan pekerjaan-pekerjaan

sebagai buruh perusahaan lain dan tak sedikit di antara mereka yang

berprofesi sebagai penarik pedati atau kereta lembu secara lepas atau

mandiri di kota-kota besar yang ada di kawasan Sumatera Timur.

Pada waktu itu, masih di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-

20, profesi sebagai penarik pedati merupakan pekerjaan yang jauh

lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan pekerjaan buruh

atau pedagang kecil, mengingat sarana angkutan umum atau barang-

barang masih sangat terbatas.

Di antara mereka yang ingin menjadi pedagang atau memilih

profesi lain, juga memulai dari tingkat yang rendah atau modal yang

sangat minim. Sebagai pedagang makanan, mereka selalu mengawali

dengan cara menjajakannya dengan berjalan kaki atau bersepeda.

Makanan yang dijajakannya itu antara lain adalah pergedel jagung,

putu mayom yang terbuat dari tepung beras atau arum manis. Ada

juga di antara mereka, terutama yang beragama Islam yang berjualan

makanan di kedai-kedai kopi di tengah kota. Makanan yang mereka

jual itu di antaranya roti cane, martabak, kari kambing, mie rebus,

dan nasi briani. Makanan-makanan yang mereka jual ini, merupakan

makanan spesifik khas mereka dan sangat digemari oleh masyarakat

10 11Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur

pribumi lainnya. Selain itu ada yang menjual minuman khas yang

disebut bandrek. Minuman bandrek ini dibumbui gula merah dan

rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, merica, dan lain-lain.

Mereka menjajakannya dalam keadaan tetap panas. Di bawah tempat

bandrek itu mereka bawa pula dapur anglo yang bara apinya tetap

menyala. Sebagai pasangan minuman bandrek, mereka jual roti kelapa

yang dibuat sendiri. Ciri-ciri penjual bandrek ini selalu menggunakan

pakaian khas, yaitu berpeci putih, kemeja putih berkerah bulat dan

panjang sampai ke lutut dan sarung putih.

Di antara pendatang etnis Tamil yang berada di tanah Deli ada

juga yang berhasil dan hidup dengan mapan. Keberhasilan ini menarik

minat masyarakat di negeri asal mereka untuk mencoba merantau ke

tanah Deli. Bahkan di antara pendatang baru dari etnis Tamil ini, ada

pula yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keterampilan

yang cukup memadai. Sesampai di daerah rantau, tentunya mereka

tidak berprofesi sebagai buruh-buruh yang bekerja di perkebunan.

Mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sebagai pegawai

atau yang pada waktu itu lebih populer dengan istilah kerani pada

kantor-kantor perkebunan. Ada juga di antara mereka yang bekerja

sebagai pegawai atau tukang masak istana-istana Sultan yang ada di

kawasan Sumatera Timur.

Betapa pun berhasilnya seseorang di daerah rantau, tetap tidak

mampu memupus kerinduan pada kampung halaman mereka. Hal

ini sesuai dengan ungkapan “hujan emas di negeri orang, hujan batu

di negeri sendiri, tetap akan lebih baik di negeri sendiri. Begitulah

kenyataan yang ada pada sebagian etnis Tamil yang pernah menetap

di Sumatera Timur. Ada di antara mereka yang kembali lagi ke negeri

asal mereka di India. Terlebih-lebih mereka yang telah melepaskan diri

dari ikatan kerja dengan pihak perkebunan walaupun sesungguhnya

mereka sudah mendapatkan penghidupan yang lumayan baik. Namun

tidak sedikit pula mereka yang pulang ke negeri asal, dan kembali lagi

ke Sumatera sambil membawa kerabat atau famili karena tanah rantau

ini memberikan harapan dan keberhasilan hidup yang lebih baik.

Pedati sebagai sarana angkutan umum pada masa itu

13Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy12 Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur

Di antara sekian banyak orang yang datang dari India ke

Sumatera Timur, ada seorang pemuda etnis Tamil yang bernama

Duraisamy Pillay. Ia berasal dari klan Wallear. Dalam usia yang masih

muda, bersama teman dan kerabat-kerabatnya ia sampai di kawasan

Sumatera Timur pada penghujung abad ke-19.

Berbeda dengan pendatang etnis Tamil lainnya, Duraisamy

Pillay mempunyai bekal ilmu dan keterampilan yang cukup baik.

Ia mempunyai latar belakang pendidikan di bidang administrasi

perkantoran dan ekonomi. Karena itu ia memperoleh pekerjaan di

sebuah perusahaan bernama “De Geding Compagnie” yaitu badan

usaha yang menyalurkan barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Kantor pusat badan usaha ini berada di kota Medan dan membuka

cabang-cabang usaha di kota-kota lainnya di Sumatera Timur. Salah

satu cabang usaha itu berada di kota Binjai dan di situlah pemuda

Duraisamy Pillay ditempatkan.

Transportasi dari kota Medan ke Binjai cukup lancar dan jaraknya

pun tidak begitu jauh. Bagi Duraisamy Pillay, keberadaannya di kota

Binjai tidak memberatkan, karena tempat itu tidak sulit dijangkau.

Transportasi umum yang menghubungkan kota Medan dan Binjai

ada dua macam, yaitu oto bus dan kereta api yang beroperasi di

bawah perusahaan yang bernama Deli Spoorweq Matschappy (DSM)

yang telah berdiri di kawasan Sumatera Timur sejak tahun 1884.

Perusahaan DSM ini menitikberatkan usahanya untuk mengangkut

hasil perkebunan yang ada di kawasan ini menuju Medan sebagai

ibukota Karesidenan sejak 1 Maret 1887, kemudian menuju kota

Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

2

14 15Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

pelabuhan Belawan.13

Masih di penghujung abad ke-19, kota Binjai merupakan ibu kota

atau land raad untuk daerah di bawah karesidenan Sumatera Timur

atau lebih kurang setingkat dengan kabupaten pada jaman sekarang.

Pada tahun 1887, karesidenan Sumatera Timur yang berpusat di

Medan terdiri dari 4 land raad yang wilayahnya meliputi Deli Serdang,

Bengkalis, Asahan, dan Binjai/Langkat. Karena itu kota Binjai

memperoleh imbas perkembangan yang cukup pesat. Kendaraan

umum di dalam kota yang populer ialah sado atau bendi dan kereta

lembu atau pedati.

Penduduk yang mendiami wilayah Binjai dan sekitarnya cukup

heterogen. Selain penduduk asal daerah setempat yang beretnis

Melayu, etnis lainnya adalah Jawa, Minangkabau, dan Karo. Penduduk

yang datang dari luar wilayah nusantara adalah bangsa China dan

India khususnya etnis Tamil.14

Sesuai dengan kecenderungan manusia, penduduk Binjai

umumnya memilih untuk hidup berdampingan atau berkumpul di

dalam lingkungan kelompok yang “searah” dengannya. Pengertian

searah di sini dapat berdasarkan etnis, ideologi, kultural, kelas sosial,

dan lain-lain. Pertimbangan yang “searah” ini tentunya sebagai upaya

proses adaptasi, keamanan, maupun untuk menghindari konflik

diantara mereka. Demikianlah halnya etnis Tamil yang ada di kota

Binjai. Pusat pemukiman mereka pada era ini berada di pusat kota

atau sekitar jalan Sudirman yang ada sekarang. Di sinilah Duraisamy

Pillay bersama para kerabat dan keluarganya tinggal.

Sebagaimana layaknya suatu kelompok masyarakat pendatang,

mereka masih terikat dengan agama maupun kebudayaan negeri

asalnya. Demikian pula masyarakat Tamil yang berdiam di kawasan

kota Binjai dan tempat-tempat lainnya.

Di kota Binjai mereka juga mendirikan kuil yang mereka namakan

kuil Sri Mariamman, sebagai tempat melakukan upacara keagamaan

bersama-sama. Keberadaan kuil itu bagi mereka tidak semata-mata

sebagai tempat pemujaan menurut kepercayaan yang mereka anut,

akan tetapi kuil itu juga menjadi sarana bagi mereka berkumpul dan

melakukan komunikasi antara sesamanya pendatang. Oleh karena

13 Lihat Indra Afkar,1995, Perkembangan Kereta Api di Sumatera Timur , Tesis S-2, Universitas Indonesia, Jakarta..

14 Usman Pelly, 1994, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta.

itu keberadaan kuil itu sangat penting, karena dapat memberikan

apa yang mereka dibutuhkan. Sebagaimana pepatah yang ada dalam

komunitas etnis Tamil yang mengatakan “Jangan kamu tinggal atau

menetap di kawasan yang tidak ada kuilnya".

Membangun sebuah kuil menjadi langkah penting bagi para

pendatang enis Tamil kala itu. Mereka yang seagama, bergotong

royong baik dalam pembiayaan maupun pengerjaanya. Pengalaman

sebagai tandil di perkebunan yang dimiliki oleh sebagian dari mereka

sangat berguna dalam mengkoordinir warga untuk pembangunan

kuil. Karena itu mereka yang memiliki pengalaman sebagai tandil dan

terbiasa bertugas mengawasi dan memandori para buruh di kawasan

perkebunan, mendapat kepercayaan sebagai kordinator dalam kerja

bersama itu.

Hampir di setiap pusat pemukiman etnis Tamil yang ada di

Sumatera Timur, terdapat bangunan kuil-kuil yang bercorak Hindu.

Di kota Medan, sejak tahun 1884 telah berdiri kuil Sri Mariamman.

Di tempat lain seperti di Lubuk Pakam, Bekala, Binjai, Tebing Tinggi,

Pematang Siantar dan lain-lain juga telah terbangun Kuil. Setiap hari

Jum’at mereka selalu mengadakan upacara keagamaan secara rutin,

di samping hari-hari besar lainnya seperti Deepawali, Ponggal, dan

Thaipusam. Ada kalanya dalam upacara itu mereka pautkan dengan

tradisi dan nilai-nilai budaya asal lainnya. Tradisi yang sangat tidak

biasa di tanah rantau ini misalnya acara membayar kaul (melaksanakan

niat/janji bila telah memperoleh sesuatu yang dikehendaki) dengan

cara memundak arca-arca sambil berjalan di atas api, menusuk badan

dengan mata kail, atau menusuk lidah, bibir, dan pipi dengan kawat-

kawat tembaga.15

Walaupun agama Hindu menjadi agama yang dipeluk mayoritas

etnis Tamil, ada juga di antara mereka yang beragama Buddha diurutan

kedua kemudian Islam dan Kristen Katolik. Jumlah penganut agama

Buddha tidak seberapa bila dibandingkan dengan beragama Hindu

yang pada umumnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonominya

rendah. Oleh karena itu pendatang etnis Tamil yang beragama Budha

belum terkoordinir secara baik dan belum ada yang membangun vihara

atau pusat peribadatan agama Budha secara khusus. Namun dalam

15 Upacara membayar kaul seperti selalu dilakukan pada hari Thaipusan. Khususnya di kawasan Sumatera Utara baru dihapuskan pada awal tahun 1970-an. Pada waktu sebelumnya upacara yang seperti ini selalu dilakukan di kuil yang ada di kampung Bekala, 11 km dari kota Medan menuju arah Brastagi (Karo).

16 17Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

kehidupan di luar keagamaan, mereka tetap hidup berdampingan

dengan etnis Tamil penganut agama Hindu lainnya. Antara kedua

kelompok agama satu etnis ini tetap terikat oleh solidaritas etnis, ras

dan budaya leluhur yang sama.

Sebagai seorang pemuda yang semakin mapan dengan

penghidupan sebagai pegawai perusahaan, Duraisamy Pillay menjadi

lebih betah tinggal di kawasan kota Binjai. Sebagai seorang yang terus

bertambah dewasa, ia membutuhkan seorang istri, seorang wanita

yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Pertimbangan ideal dalam mencari seorang istri adalah

dengan mencari persamaan-persamaan yang dapat mempermudah

menyatukan persepsi untuk menjalani kehidupan bersama sebagai

sepasang suami istri. Persamaan-persamaan yang dimaksud

diantaranya adalah persamaan religius, budaya atau etnis, kelas sosial

dan tingkat intelektual.

Bagi orang seperti Duraisamy Pillay, mencari seorang seperti

yang diinginannya tentu tidak sulit. Sebagai seorang pemuda Wellalar

yang bermoral baik, ditambah dengan latar belakang pendidikan yang

cukup serta kehidupan ekonomi yang telah mapan, seorang ayah

ataupun ibu mana pun, kiranya tidak merasa keberatan memberikan

anak gadisnya untuk dipersunting Duraisamy Pillay.

Atas inisiatif para kerabat dekatnya, Duraisamy Pillay

dipertemukan dengan seorang gadis yang bernama Parwathi, gadis

dari klan Nayudu (Kawa-rai) yang masih dalam lingkungan etnis

Tamil dari kawasan India Selatan untuk menjadi calon pasanganya.

Gadis Parwathi sendiri dilahirkan di Sumatera Timur, kedua orang

tuanya menetap di Medan berprofesi sebagai pedagang.

Sebagaimana layaknya pada era itu, perkawinan antara

seorang pemuda dengan seorang gadis, lebih banyak ditentukan

oleh pertimbangan para kerabat dekat kedua belah pihak. Kalau

para kerabat dari kedua pihak ini sudah bersepakat dengan dasar-

dasar pertimbangan mereka, maka kedua calon pengantin selalu

mematuhinya. Demikian halnya antara Duraisamy Pillay dan Parwathi

yang keduanya berasal dari etnis Tamil dan beragama Hindu. Pada

sekitar tahun 1902 dilangsungkan upacara perkawinan mereka di kota

Binjai.

Perkawinan menurut tradisi agama Hindu merupakan ikatan lahir

dan batin antara seorang pria dan seorang gadis untuk membentuk

persekutuan keluarga yang baru. Seorang istri secara mutlak harus

tunduk dan mengabdi kepada suaminya. Di dalam rumah tangga,

seorang suamilah yang menjadi “Dewa pelindungnya”. Bagi seorang

istri, tak ada lagi orang di dalam hidupnya untuk “didampingi” kecuali

suaminya. Karena tradisi yang berdasarkan pada konsep hubungan

suami istri seperti ini, dulu di dalam salah satu sekte agama Hindu

yang ada di India terdapat ritual shati, yaitu ritual yang dilakukan

dalam upacara pembakaran mayat seorang suami, sang istri yang

masih hidup ikut terjun ke dalam api unggun yang sedang membakar

jasad suaminya. Ritual seperti ini dilakukan untuk menunjukkan

kesetiaan istri yang telah berikrar hidup bersama “sehidup semati”

dengan sang suami. Ritual shati kemudian dianggap tidak menghargai

nilai hidup seorang wanita dan dianggap sangat ekstrem. Karena itu

sejak pemerintahan Inggris berkuasa di India, ritual tersebut dilarang

untuk dilakukan.

Walaupun perkawinan antara Duraisamy Pillay dengan

Parwathi kala itu diadakan di daerah rantau, tetapi tetap dilangsungkan

menurut tradisi Hindu. Setelah kedua calon pengantin diantar ke

kuil dengan disaksikan oleh kedua pihak keluarga, seorang pendeta

memimpin upacara. Kedua pengantin diikat dengan selendang

panjang. Pengantin pria berada di depan sedangkan pengantin

Kuil Mariamman tahun 1880. Foto Reza Nasution (tembakaudeli.blogspot.com)

18 19Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

wanita berada di belakangnya. Selendang tadi merupakan simbol tali

perkawinan antara sepasang pengantin. Keberadaan pengantin pria

di depan menunjukkan dialah yang akan bertindak sebagai kepala

rumah tangga, sedangkan istri yang berada di belakangnya sebagai

simbol orang yang akan mematuhi suaminya. Kemudian sang pendeta

meminta kedua pengantin tersebut untuk mengelilingi sebuah Arca

sebagai titik pusat lingkaran. Inilah simbol lingkaran kehidupan yang

akan diharungi kedua pengantin. Asap stanggi yang keluar dari Arca

semerbak wangi baunya menyelimuti ruangan upacara tersebut.

Suara puja dari pendeta terus mengumandang menyampaikan syair-

syair perkawinan yang indah. Sementara itu lonceng tembaga yang

ada di tangan pendeta terus berdenting mengiringi syair puja yang

berkumandang syahdu. Suasana perkawinan itu terasa sangat hikmat.

Kedua pengantin dengan wajah tunduk dan khusuk terus berjalan

perlahan mengelilingi Arca. Tanpa beralas apapun, telapak-telapak

kaki mereka melangkah di atas permukaan yang ditaburi bunga-

bunga. Aroma bunga mewangi berpadu dengan asap stanggi.16

Sejak saat itu, resmilah Duraisamy Pillay menjadi suami dari wanita

yang bernama Parwathi. Ia berhak membuka tabir yang menutupi

wajah wanita yang telah diperistrinya. Mereka memulai kehidupan

barunya di kota Binjai. Hari-demi hari, inai yang ada di telapak tangan

dan kaki Parwathi semakin pudar dan larut dalam tugasnya sebagai

seorang istri. Waktu terus berjalan dan tugas hidup mereka terus

bertambah. Bagi mereka kota Binjai mempunyai kenangan sejarah

tersendiri, terutama sebagai tempat awal perjuangan sebagai sepasang

suami-istri yang kemudian menjadi seorang ayah dan ibu.

Parwathi bukanlah wanita atau istri yang biasa sebagaimana

wanita Tamil yang ada di tanah Deli kala itu, yang pada umumnya buta

huruf. Parwathi wanita cendekia yang pandai membaca dan menulis.

Ia bahkan mempunyai koleksi buku-buku berbahasa dan beraksara

Tamil, terutama yang berkaitan dengan agama Hindu. Kenyataan ini

menjadikan Parwathi wanitia yang cukup istimewa kala itu. Apalagi

bahasa dan aksara Tamil itu cukup tua dan banyak dipergunakan oleh

sebagian besar penduduk India bagian Selatan. Bahasa ini merupakan

salah satu bahasa yang strukturnya boleh dikatakan tidak berubah dan

bertahan selama lebih kurang 20 abad hingga dewasa ini. Demikian

16 T. Luckman Sinar Basyarsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, Forkala, Medan, h. 18-22.

pula tulisan atau aksaranya adalah yang telah diperbaharui dan

dibakukan sejak abad ke-XI.17

Demikian pula dengan Duraisamy Pillay, sang seorang suami,

ia bukan saja mampu membaca dan menulis aksara Tamil, tetapi

juga mampu menggunakan dengan baik aksara latin termasuk

berbahasa Inggris. Kemampuan ini membuat ia terus mendapatkan

kepercayaan untuk bekerja pada perusahaan De Geding Compagnij

hingga memasuki masa pensiun. Sesuai dengan bidang pekerjaan

itu, ia banyak berhubungan dengan masyarakat di luar kelompoknya

sendiri. Hal ini secara tak langsung telah menambah wawasan ilmu

pengetahuannya terutama yang bersifat duniawi. Jadi dapat dikatakan

suami istri ini merupakan pasangan yang serasi dan seimbang. Bila

sang ibu memiliki kelebihan di bidang kerohanian, maka sang ayah

lebih kuat dalam bidang keduniawian.

Dari buah perkawinan mereka itu, lahirlah tiga orang putra dan

putri. Anak yang pertama adalah seorang putri, namun usianya tak

panjang, lebih kurang dua bulan, anak pertama ini meninggal dunia.

Kiranya Tuhan belum berkenankan untuk berusia lanjut. Hanya

Tuhan yang tahu hikmah yang terkandung dalam musibah itu, betapa

pun kedua suami-istri itu sangat menyayanginya. Anak yang kedua

seorang pria, mereka namakan Kumarasamy. Kurang lebih 2 tahun

kemudian lahirlah anak ketiga yang dinamakan Krishnasamy.

Setiap pemberian nama anak dalam keluarga etnis Tamil,

nama ayah selalu di tulis di depan nama anak. Misalnya Duraisamy

Kumarasamy disingkat D.K. Ketika kecil Kumarasamy dipanggil

Kumara saja. Bagi suami-istri ini, kelahiran putra dan putri

mereka selanjutnya merupakan anugerah Tuhan dan sebagai

proses penyempurnaan perkawinan. Yang jelas, salah satu tujuan

dilangsungkannya perkawinan, yaitu ada generasi penerus umat atau

keluarga telah mereka peroleh.

Kedua putra mereka tumbuh dengan baik dan sehat,

memperlihatkan bakat dan kecerdasan yang sangat mengembirakan.

Betapapun keduanya berasal dari ibu dan bapak yang sama, terdapat

perbedaan diantara keduanya. Kedua anak memperlihatkan sikap dan

perilaku yang sangat istimewa dalam kehidupan keluarga. Namun

17 Lihat Hassan Shadily dkk., 1986, Ensiklopedia Indonesia Jilid 6. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, h. 3436.

20 21Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

Kumarasamy, sejak bayi mempunyai keistimewaan tersendiri. Reaksi

naluriah dari bayi ini terlihat sangat peka terhadap lingkungannya

dan pertumbuhannya pun memperlihatkan tanda-tanda yang

mengagumkan.

Keistimewaan Kumarasamy semakin terlihat pada usia

pertumbuhannya menjadi anak-anak. Rasa ingin tahunya sangat

besar untuk memahami sesuatu dan tingkah lakunya bagaikan sudah

terlembaga tanpa diajari menjadi anak yang berbudi. Kadang-kadang,

apa yang diketahui atau diperbuatnya seakan-akan melampaui tingkat

usianya. Kumarasamy bagaikan salah seorang hasil proses inkranasi

menuju keabadian manusia yang sempurna.

Proses reinkarnasi yang berasal dari istilah latin incarnatio, di

dalam agama Hindu mengandung makna yang lebih khusus. Proses

itu bukan hanya merupakan penjelmaan dewa kepada manusia,

tetapi sebagai suatu proses kelahiran kembali dalam sebuah lingkaran

kehidupan atau samsara yang harus dijalani setiap manusia sesuai

dengan karmanya masing-masing. Akhirnya kesempurnaan hidup

seorang manusia akan menuju keabadian atau yang disebut moksa

atau terbebas dari samsara.

Pada usia 3 tahun, Kumarasamy telah belajar membaca dan

menulis aksara Tamil. Sang ibulah yang sangat berperan mengajarinya.

Bahkan ibunya juga mengajari D. Kumarasamy untuk membaca

kisah Ramayana dan Mahabarata. Kedua kisah itu bukan sekedar

cerita para dewa, tetapi dari kisah-kisah yang ada di dalamya, banyak

pelajaran tentang nilai-nilai dan filsafah hidup yang harus diteladani

manusia, melalui kisah peperangan antara ankara yang digambarkan

dalam sosok-sosok Kurawa dan keluhuran budi dalam diri keluarga

Pandawa. Dari kisah itu juga diperlihatkan bagaimana seharusnya

sikap seorang kesatria sejati yang selalu rendah hati.

Usia 6 tahun, Kumara telah mampu membaca sendiri syair-syair

dalam sastra religius India dengan lancar. Lebih dari itu Kumara

juga mampu membacanya dalam alunan nada puja, sebagaimana

layaknya syair puja yang dilantunkan dalam ritual keagamaan. Yang

lebih menarik lagi Kumarasamy kecil mempunyai vokal suara yang

unik, sehingga syair-syair yang dibacakannya terdengar lebih syahdu.

Di usia yang masih 6 tahun itu, Kumarasamy selalu tampil di kuil

Mariamman Binjai atau di depan khalayak ramai membacakan

syair-syair kisah Ramayana, Mahabrata dan kisah-kisah dari kitab

keagamaan lainnya. Oleh sebab itu meskipun masih dalam usia anak-

anak ia sudah dikenal luas, terutama di kalangan masyarakat etnis

Tamil kota Binjai dan kota-kota lainnya.

Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Kumara juga senang

bermain dengan teman-teman seusianya. Permainan yang bersifat

olah raga sangat diminatinya. Barangkali hal itu merupakan respon

dari pertumbuhan fisiknya yang memang sangat pesat. Dibanding

dengan anak-anak yang sebaya dengannya, pertumbuhannya jauh

lebih baik.

Keistimewaan lain yang dikenang banyak orang dalam proses

pertumbuhan Kumara dalam bersosialisasi adalah ia sangat

menyayangi teman-teman yang seusia atau yang ada di bawahnya dan

selalu menghormati mereka yang lebih tua. Oleh karena itu teman-

temannya sangat senang bermain dengannya. Kumara juga selalu

memberikan perhatian terhadap teman-teman atau orang-orang

yang dijumpainya yang kesusahan. Kehadirannya di tengah-tengah

temannya selalu memberikan “setawar-sedingin” yang menyejukkan.

Demikian pula keberadaan Kumarasamy dalam keluarga bersama

ayah, ibu dan adiknya.

Pengaruh dari ibunya memang lebih dominan. Hal ini

dimungkinkan karena seorang ibu selalu lebih banyak mendampingi

anak-anaknya daripada ayah. Lagi pula, dalam kehidupan di rumah,

Kumarasamy lebih banyak menerima pelajaran dari ibunya, terutama

yang bersifat kerohanian. Ayahnya, Duraisamy Pillay cukup sibuk

sepanjang hari bekerja di De geding Compaqnij. Walaupun demikian

sang Ayah tetap berupaya memberikan perhatian dan pendidikan

untuk anak-anaknya, meski porsi yang dapat diberikannya tidak

sebesar yang diberikan sang ibu.

Sesuai dengan latar belakang pendidikan kedua orang tuanya ini

dapat dikatakan bahwa Kumarasamy telah memperoleh pengetahuan

budaya Tamil dari ibunya, sedangkan pengetahuan umum atau

pengetahuan modern seperti bahasa Inggris dari sang ayah. Tidaklah

berlebihan bila dikatakan bahwa kedua sumber dan corak pengetahuan

telah terpadu dalam diri dan kehidupan D. Kumarasamy sejak kecil,

yang menjadi bekal penting untuk kehidupan selanjutnya.

23Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan22 Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy

Pada tahun 1913 di usia kurang lebih 7 tahun, Kumara memasuki

usia sekolah. Ia tidak mengenyam pendidikan formalnya di kota

Binjai, karena kedua orang tuanya menginginkan anak-anaknya

dapat melanjutkan sekolah yang menekankan kemampuan yang baik

dalam berbahasa Inggris. Di kota Binjai ketika itu sekolah seperti yang

diinginkan oleh orang tua Kumarasamy belum ada, yang ada hanya di

kota Medan.

Semangat orang tua Kumara yang sangat tinggi untuk

memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putranya sangat berbeda

dengan umumnya masyarakat etnis Tamil yang ada di kota Binjai

pada saat itu, yang kurang memberikan perhatian pada pendidikan

anak-anak mereka. Barangkali karena umumnya mereka mempunyai

latar belakang yang kurang dalam bidang pendidikan. Apalagi dengan

tingkat kesejahteraan yang masih rendah.

Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, akhirnya orang

tua memutuskan Kumarasamy dan Krishnasamy di bawa ke kota

Medan. Sebagai seorang staf perusahaan De Geding Compaqnij, sang

ayah tidak dapat meninggalkan pos pekerjaannya di kota Binjai.

Karena itu mereka memutuskan sang ibulah yang akan mendampingi

kedua anak mereka di Medan. Lagi pula, hingga saat itu keluarga sang

ibu memang menetap di kota Medan, tepatnya beralamat di Nagapatan

atau lingkungan kelurahan Madras Hulu sekarang.

Kakek Kumarasamy dari pihak ibu adalah seorang imigran dari

India Selatan. Sesampainya di kawasan Sumatera Timur beliau bekerja

sebagai salah seorang pegawai atau opas di kerajaan Sultan Deli. Pada

waktu itu kerajaaan-kerajaan yang ada di kawasan Sumatera Timur

Kota Binjai tahun 1890

Masa Kanak-kanak D. Kumarasamydi Medan

3

24 25Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan

memang sangat terbuka menerima pegawai-pegawai kerajaan dari

etnis atau bangsa mana pun. Mereka dapat saja diterima sesuai dengan

keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Setelah para pegawai

kesultanan dari berbagai bangsa ini berhenti, banyak di antara mereka

yang menetap di Medan untuk berwirausaha. Di antaranya adalah

kakek atau ayah dari ibu Kumarasamy. Oleh karena mereka tinggal di

kawasan pusat kota yang cukup ramai, maka terbukalah kesempatan

untuk memanfaatkannya. Selain sebagai tempat tinggal, mereka

membuka toko barang untuk kebutuhan sehari-hari di rumahnya.

Pada awal abad 20, kota Medan adalah kota yang banyak

memberikan harapan. Kota ini telah tertata dengan baik sebagai

kota yang terus berkembang. Sejak 1 Maret 1887 kota Medan

sudah menjadi ibu kota Residen Sumatera Timur dan 1 April 1909

kota Medan diresmikan sebagai pusat pemerintahan kotapraja atau

Gemeente. Peresmian kota Medan dikukuhkan oleh Ordonansi yang

dimuat dalam Staatblad 1909 No. 179 dan No. 180. Walikota atau

Burqemeester Medan yang pertama adalah D. Baron Mackay.

Penduduk kota Medan berkembang cukup pesat baik dalam

jumlah maupun heterogenitasnya. Jalan-jalan di tengah kota tertata

dengan rapi dan pada umumnya dihiasi dengan pohon-pohon

lindung yang indah dan beragam jenisnya. Di antara jenis-jenis pohon

itu adalah Mahoni, Meranti, Raintree, Asam Jawa, Mangga Udang,

Tanjung, dan lain-lain. Di kiri kanan jalan-jalan tersebut dibuat parit-

parit atau riul-riul untuk menyalurkan air limbah rumah tangga dan

air hujan. Tebing-tebing parit selalu ditumbuhi rumput sehingga tak

pernah longsor. Dan di sebelah dasarnya ada riul yang terbuka, setiap

hari dibersihkan oleh tenaga buruh dari dinas kebersihan kota.

Kebersihan kota terjaga sangat baik. Di tengah kota atau sudut yang

strategis selalu ada taman-taman yang membuat suasana bertambah

sejuk. Bangunan perkantoran yang ada di pusat kota, masing-masing

mempunyai “kaki lima” di depannya dan saling berhubungan satu

dengan lainnya. Bagi calon pembeli yang berjalan kaki di “kaki lima”

tidak akan terganggu oleh panas ataupun hujan, karena ruangan

tingkat yang ada di atas toko masing-masing menutupinya. Kemudian

lebih ke depan lagi dari toko-toko itu, ada trotoar tempat pejalan kaki

limanya. Trotoar ini dibuat dengan batu-batu yang disusun sisi tepinya

menghadap ke atas.

Sejak tahun 1908 sebuah menara air sebagai induk pompa air

bersih milik perusahaan swasta (Air Bersih Matschappij) untuk

melayani kepentingan penduduk berdiri megah di persimpangan jalan

Raja dengan jalan Kapten (jalan Pandu dan jalan Sisingamangaraja

sekarang). Tujuh tahun sebelumnya (1899) perusahaan listrik yang

bernama OGEM (Oost Genootschap Electrisch Matschappij) telah pula

beroperasi melayani kepentingan penduduk kota Medan.

Pada era itu, kota Medan memang pantas mendapat julukan

sebagai “Parijs van Sumatra”. Gedung-gedung milik swasta dan

pemerintah telah berdiri megah dengan corak arsitektur yang menarik

dan bermotif paduan Timur dan Barat. Di persimpangan jalan Suka

Mulia dan Imam Bonjol sekarang, telah berdiri bangunan kediaman

resmi Residen Sumatera Timur. Saat ini menjadi salah satu bangunan

antik Hotel Danau Toba. Secara resmi kota Medan menjadi Ibu Kota

Residen Sumatera Timur sejak 1 Maret 1887.

Sebagai penghormatan terhadap penguasa tradisional yaitu

Sultan Deli yang ketika itu berada di tangan Sultan Makmon Al

Rasyid, pemerintah kolonial Belanda ikut membantu mendirikan

istana Maimoon dan selesai untuk ditempati pada tanggal 18 Mei

1899. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 1906,

lebih kurang 500 meter di depan istana dengan megahnya selesai

pula bangunan Masjid Raya Al Mansum. Dan di seberang mesjid

tersebut di bangun pula taman beserta kolam yang sangat indah. Di

antara masjid dan taman itulah sebuah jalan membentang lurus dari

timur ke barat menuju gerbang istana Maimoon. Di kiri kanan jalan

itu berjejer pula pohon palm pinang raja berdiri tegak bagai barisan

pegawai berpayung.

Di pusat kota Medan, tepatnya di depan Balai Kota, sebuah

lapangan yang bernama Esplanade terhampar luas dikelilingi pohon

raintree yang rindang. Di sebelah timur lapangan itu telah dibangun

stasiun pusat kereta api DSM, yang menghubungkan kota-kota dan

daerah yang ada di Sumatera Timur. Pada saat itu, kereta api inilah

yang menjadi transportasi umum yang paling berperan baik sebagai

pengangkutan barang maupun penumpang. Saat kereta api tiba atau

akan berangkat dari stasiun ini, pengangkutan kota seperti sado atau

delman dan trisau atau kereta yang dihela manusia banyak memadati

area sekitar stasiun untuk mencari atau mengantar penumpang.

Di depan stasiun pusat itu, tepatnya di seberang jalan raya

yang memisahkan stasiun dan lapangan Esplanade oleh pemerintah

26 27Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan

kotapraja (Gemeente) Medan disediakan tiang-tiang besi tuangan

berhias klasik tempat parkir sado-sado yang menanti penumpang.

Setiap tiang besi itu disediakan kran air dan kolam kecil khusus minum

kuda-kuda penarik sado. Para sais sado sangat betah parkir di situ,

terlebih-lebih di tempat itu suasananya cukup teduh karena dinaungi

rindangnya pohon-pohon raintree. Sais sado yang ada ketika itu dari

berbagai etnis baik penduduk pribumi maupun pendatang etnis Jawa,

Melayu, Mandailing, dan lain-lain. Akan tetapi ada pula di antaranya

berasal dari etnis Sikhs (India).

Walaupun bangsa Cina cukup banyak berdiam di kota Medan,

mereka tak ada yang menjadi sais sado, mereka yang tubuhnya masih

kuat dan belum memperoleh mata pencaharian yang lain, umumnya

menjadi penarik trisau, sebuah kereta yang beroda dua. Lingkaran

roda trisau itu cukup besar yang ukurannya bergaris tengah 130 cm.

Di antara kedua roda itulah tempat duduk penumpang diletakkan

dengan kapasitas maksimal dua orang. Di belakang tempat duduk

ini ada tenda berbingkai bambu yang sewaktu-waktu dapat dilipat

atau dipasangkan sesuai dengan kebutuhan penumpangnya. Penarik

trisau berada di depan seperti posisi lembu atau kuda yang menarik

keretanya, dihubungkan oleh dua bilah kayu penyangga antara

penghela dan tempat tumpangannya.

Para penghela trisau yang terdiri dari bangsa Cina ini biasanya

memakai topi caping bambu yang lebar sebagaimana biasanya dipakai

para petani. Baju dan celananya dibuat dari bahan atau kain blacu

berwarna hitam dan kedua telapak kakinya selalu beralas capal atau

alas kaki yang terbuat dari lapisan karet yang diikat dengan tali-tali

pada punggung dan pergelangan enkel kaki masing-masing. Jadi,

bentuk capal ini seperti sepatu yang tidak berpenutup di sebelah

atasnya dan dibuat oleh penarik trisau itu masing-masing.

Mobil pengangkutan dalam kota ketika itu belum ada. Demikian

pula trem-trem yang dijalankan dengan tenaga listrik. Mobil-mobil

yang ada ketika itu hanyalah yang bersifat pengangkutan pribadi.

Biasanya hanya dimiliki pegawai tinggi pemerintahan, tuan-tuan

(pemilik) perkebunan dan pembesar-pembesar atau anggota keluarga

kesultanan yang ada di kawasan Sumatera Timur.

Kesultanan yang ada pada ketika itu masih merupakan kelompok

yang sangat elit di kalangan masyarakat setempat. Selain memperoleh

kompensasi dari konsesi tanah-tanah mereka mendapatkan “Zelf

Bestuur Gebeid” (kawasan pemerintahan sendiri). Dalam kawasan

kota Medan sendiri, ada kawasan yang berada dalam pengawasan

Sultan Deli, ada yang berada dalam kawasan Gemeente. Masing-

masing masyarakat yang ada di kawasan itu terutama dalam masalah

perdata diatur oleh peraturan atau hukum tersendiri, sesuai dengan

kebijakan kepala pemerintahan yang ada.

Pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan peraturan-

peraturan hukumnya membagi masyarakat menjadi 3 golongan

sesuai dengan latar belakang budaya dan asal bangsa yang mendiami

kawasan Indonesia. Golongan-golongan itu adalah, Eropa, Timur

Asing, dan Pribumi. Penduduk yang masuk dalam golongan Eropa

adalah mereka yang berasal dari kawasan Eropa termasuk bangsa

Belanda sendiri. Golongan Timur Asing adalah pendatang-pendatang

yang berasal dari Benua Asia, seperti Tiongkok, Arab, India, dan lain-

lain. Dan sebagai golongan Pribumi adalah pendatang-pendatang

atau penduduk yang berasal dari kawasan Nusantara (Indonesia).

Pada waktu itu yang didianggap penduduk asli Sumatera Timur

adalah mereka yang sudah lama atau memang berasal dari daerah

ini dan dalam kehidupannya memakai adat-istiadat budaya Melayu.

Seseorang atau suatu kelompok dianggap sebagai bagian dari etnis

atau suku bangsa Melayu bila menganut agama Islam. Jadi ketika

itu cakupan pengertian tentang etnisitas Melayu bukan sekedar

berdasarkan asal-usul, daerah, dan budaya saja. Namun kemudian

mereka yang sudah menetap dan beradaptasi dengan budaya di daerah

ini dapat dikatakan menjadi Melayu sebelum menganut agama Islam.

Naiknya pamor kota Medan, sebagai kotapraja maupun ibukota

keresidenan Sumatera Timur, mendorong pertumbuhan penduduknya

yang makin pesat. Untuk melihat perkembangan jumlah penduduk

itu dapat dilihat dari data di bawah ini18 :

Tahun Jumlah Penduduk

1905 14.000 jiwa

1910 17.750 jiwa

1918 43.826 jiwa

1920 45.250 jiwa

18 Berdasarkan buku “61 Tahun Kotamadya Medan, 1 April 1909-1970” diterbitkan oleh Panitia Ulang Tahun ke-61 Kotamadya Medan, 1970 : 55

28 29Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan

Dari perkembangan penduduk itu kita dapat pula melihat

bagaimana heterogenitas komposisi penduduk yang ada berdasarkan

etnisitasnya sebagai berikut :

Tahun Bumi Putera Eropa China Timur Asing Jumlah

1918 35.009 409 7.269 1.139 43.826

1920 23.823 3.128 15.916 2.381 45.248

Khususnya untuk kelompok Bumiputera, terdiri dari berbagai

etnis. Etnis yang paling dominan adalah Melayu sebagai etnis host

population dan Jawa yang umumnya terdiri atas buruh-buruh

perkebunan. Etnis lainnya adalah suku bangsa Tapanuli (Mandailing

Sipirok), Minangkabau, Banjar, Banten, Sunda, dan lain-lain. Dan dari

kelompok Timur Asing dari tabel di atas adalah bangsa India, Arab

dan lain-lain. Sebenarnya dalam status hukumnya, Cina yang ada di

kawasan ini termasuk dalam kelompok Timur Asing. Namun karena

populasi mereka cukup menonjol maka dalam tabel tersebut bangsa

Cina dipisahkan dengan bangsa-bangsa dari Asia lainnya.

Dari kelompok Timur Asing ini, bangsa dari India yang paling

besar jumlahnya. Mereka masih terbagi-bagi atas berbagai etnis, yaitu

Tamil, Telugu, Punjabi, Benggala, Bombay/Hindustan, dan lain-lain19.

Sejalan dengan kecenderungan masing-masing etnis atau bangsa

ini yang ingin bertempat tinggal dalam kelompoknya masing-masing,

pemukiman mereka di kota Medan berkelompok dalam kawasan-

kawasan tertentu :

1. Orang Eropa, bermukim di kawasan Polonia sekarang.

2. Orang Cina (para pedagangnya) di kawasan pusat kota atau

pertokoan yang ada di sekitar jalan Asia (Pasar Rame), jalan Kapten

(Pandu), jalan Sun Yat Sen, jalan Swatow (jalan Bagan), jalan Canton

(jalan Surabaya), jalan Cong Yong Hian (jalan Semarang), jalan Peking

(jalan Cerebon), dan lain-lain. Orang Cina yang miskin tinggal di

kawasan Lo A Yok (di sekitar persimpangan ujung jalan Asia dengan

jalan Kapten Djumhana sampai jalan Aksara).

3. Bangsa Arab, banyak menetap di sekitar Kampung Pandahulu

19 Tengku Luckman Sinar Basarsyah, 1991, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan (Tanpa Nama Penerbit) h. 70.

(antara jalan Wahidin dan jalan Serdang) dan kemudian di sekitar

kelurahan Sei Rengas yang ada sekarang.

4. Orang India, terpusat di kawasan kelurahan Madras sekarang

atau sekitar jalan Zainul Arifin sampai ke jalan Gajah Mada sekarang.

Di samping itu terutama etnis Tamil banyak pula berdiam di kawasan

kelurahan atau Kampung Anggrung, Ujung jalan Multatuli sampai

ke jalan W. Mongonsidi sekarang, kawasan jalan Padang Bulan atau

sekitar S. Parman sekarang dan di jalan Mangkubumi sekarang dan

Sukaraja sekarang.

5. Etnis Mandailing terpusat di kawasan Petisah atau sekitar jalan

H. Adam Malik/Glugur dengan jalan Sei Deli, sekitar jalan S. Parman/

sepanjang sungai Babura, kawasan sungai Mati (jalan Brigjend

Katamso), Kampung Baru arah ke Deli Tua dan sekitar jalan Serdang

/jalan Prof. Moh. Yamin. SH sekarang sekitar Masjid Perjuangan.

6. Etnis Minangkabau, pada era ini bermukim di sekitar Kampung/

kelurahan Aur sampai Pantai Burung atau sepanjang sungai Deli

yang mengalir di belakang Istana Maimoon sampai jembatan yang

menghubungkan jalan Brigjend Suprapto dengan jalan Jenderal

Sudirman.

7. Sebuah kawasan lainnya yang berada di bahagian Timur

kota Medan ada sebuah daerah perkampungan yang bernama Kota

Matsum. Kawasan ini walaupun berada di dalam kota Medan, tetapi

termasuk dalam wialayah kekuasaan Sultan (Sultan Ground) atau

di luar wilayah Gemeente. Penduduk di kawasan ini pada awalnya

hanya terdiri dari berbagai etnis pribumi di antaranya Melayu, Banjar,

Jawa, Minang dan lain-lain yang kesemuanya beragama Islam. Bagi

pendatang-pendatang etnis pribumi yang ingin bertempat tinggal

di kawasan ini biasanya dapat menyewa atau membeli tanah pada

penduduk Melayu setempat dan tunduk di bawah hukum “kerapatan”

(hukum/pengadilan di bawah kekuasaan penguasa Sultan.)

8. Etnis Jawa yang telah keluar dari ikatan kerja dengan pihak

perkebunan dan tinggal di kota Medan, pada umumnya berada di

pinggir sebelah Timur kota Medan dan langsung berbatasan dengan

areal perkebunan. Selain menjadi buruh di perusahaan-perusahaan

yang ada di kota, mereka juga masih berladang di kawasan pinggiran

kota Medan, terutama di kawasan Jalan Denai Ujung arah Sungai

Denai dan Kampung Tembung.

Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan etnis atau bangsa ini

30 31Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan

bagi pemerintah kolonial Belanda sangat menguntungkan, baik dari

sudut penataan kependudukan di tengah kota maupun dari sudut

politis. Dari sudut penataan kependudukan, pemerintah kota lebih

muda menyerap aspirasi penduduk kawasan setempat dan kemudian

mengatur atau memberikan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan

ataupun latar belakang budayanya. Dari sudut kepentingan politik,

pemerintah Kolonial lebih mudah mengontrol masyarakat dalam

kondisi yang “terkotak-kotak”. Kondisi yang seperti itu tentunya akan

menghambat proses integrasi dan solidaritas antarkelompok etnis

dalam masyarakat yang dikuasainya.

Pada masing-masing kelompok masyarakat yang berdasarkan

kelompok etnis ini, pemerintahan kolonial Belanda mengangkat salah

seorang di antara mereka sebagai koordinator yang disebut sebagai

Mayor atau Kapitan. Merekalah yang bertindak sebagai pemimpin

dalam kelompoknya masing-masing untuk mengatur 'urusan ke dalam'

maupun 'ke luar'. Yang dimaksud dengan 'urusan ke luar' adalah untuk

menyampaikan aspirasi atau kepentingan mereka kepada pemerintah.

Dengan kata lain, Mayor ini dapat di katakan sebagai perpanjangan

tangan untuk mengatur kelompok-kelompok ini.

Biasanya pengangkatan Mayor dan Kapitan ini disesuaikan pada

status dan kualitas oknum yang akan diangkat di tengah kelompoknya,

atau dapat juga disebut sebagai 'primus inter pares', yang terbaik dari

yang ada di tengah kelompoknya menurut kaca mata kepentingan

Pemerintah Kolonial. Jadi pada era itu, muncullah tokoh-tokoh

dengan sebutan Mayor Cina, Kapitan India, Letnan Arab.

Jika melihat perkembangan penduduk pribumi yang ada di kota

Medan dari tahun 1918 hingga tahun 1920 mengalami penurunan

jumlah, dari jumlah 35.009 jiwa menjadi 23.823 jiwa. Penurunan

jumlah ini disebabkan penduduk pribumi di tengah kota terdesak

jumlahnya oleh perkembangan penduduk bangsa Cina yang semula

berjumlah 8.269 pada tahun 1918 menjadi 15.916 pada tahun 1920.

Bangsa Cina terus marak ke tengah kota baik yang berasal dari eks

kuli perkebunan maupun mereka secara langsung dari negeri asal.

Sebaliknya penduduk pribumi yang kurang mampu mengimbangi

aktivitas perdagangan bangsa Cina lebih suka 'minggir' atau memilih

mata pencaharian di luar perdagangan terutama di bidang pertanian.

Di antara kelompok bangsa Cina yang marantau ke kota Medan

ini ada juga yang tidak berprofesi sebagai pedagang menetap di tengah

kota. Masih ada di antara mereka yang hidup miskin dengan mata

pencaharian seadanya seperti penarik trisau atau angkong, tukang

binatu atau dobi, tukang kayu, jual-beli “goni botot” atau goni dan

botol bekas dengan cara membawa keranjang pikulan keluar masuk

kampung, dan bertani atau berladang.

Etnis China yang berladang, mereka sering membeli atau

menyewa lahan-lahan di pinggir-pinggir kota dengan areal yang

tidak terlalu luas. Mereka mengelola ladang dengan cara yang sangat

intensif, terutama dengan memakai pupuk kandang atau pupuk yang

berasal dari kotoran manusia. Biasanya di kawasan perladangan itu,

mereka juga beternak babi, ayam, dan itik. Selain memanen hasil

ternaknya, kotoran-kotorannya mereka pergunakan untuk pupuk

tanaman ladangnya. Untuk mengambil kotoran manusia, tanpa segan-

segan mereka kumpulkan dari kawasan penduduk Cina yang berdiam

di tengah kota. Tengah malam atau dini hari, mereka mengambilnya

dari kaleng-kaleng penampungan yang sudah disediakan di bawah

jamban atau kloset perumahan penduduk tersebut.

Jenis-jenis tanaman yang mereka usahakan dalam kehidupan

bertani itu di antaranya adalah, bayam, sawi, gambas, bengkuang,

bawang-bawangan, lobak dan lain-lain. Boleh dikatakan, merekalah

yang memperkenalkan jenis sayur-sayuran tersebut pada masyarakat

Medan dan sekitarnya. Di samping itu mereka juga menanam kacang

kedelai dan mengolahnya menjadi tahu, kecap, dan tauco. Jenis

makanan ini pun mereka yang memperkenalkan di daerah ini, di

samping mie dan mie tiau yang diolah dari tepung gandum dan beras.

Bangsa lainnya yang termasuk kelompok Timur Asing, terutama

India, mengalami perkembangan jumlah yang pesat dari 139 orang

pada tahun 1918 menjadi 2.381 orang pada tahun 1920. Walaupun

sebahagian besar bangsa India itu tidak berdagang, namun mata

pencaharian mereka pada umumnya erat kaitannya dengan kehidupan

kota, seperti menjadi buruh pabrik, buruh pembangunan jalan,

penarik kereta lembu, sopir, penjaga malam, penjual makanan, dan

lain-lain. Selebihnya, mereka yang memiliki modal berdagang tekstil

dan rempah-rempah.

Bangsa Arab yang mendiami kawasan kota Medan juga banyak

yang berprofesi sebagai pedagang tekstil. Selain bertoko, di antara

mereka menjajakan dagangannya ke kampung-kampung. Kehadiran

mereka di tengah masyarakat pribumi yang umumnya beragama

33Deli Hindu Sabha32 Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan

Islam mempunyai nilai tersendiri. Hal ini tidak terlepas dari anggapan

masyarakat bahwa kelompok merekalah yang mengembangkan

agama Islam yang pertama di kawasan ini bahkan di Indonesia pada

umumnya. Oleh karena itu penduduk pribumi sangat menghormati

mereka. Bahkan ada yang sangat berlebih-lebihan karena mereka juga

dianggap sebagai keturunan nabi-nabi.

Pada tanggal 1 Juli 1913, secara resmi berdiri perkumpulan Deli

Hindu Shaba DHS yang disyahkan oleh Gubernur Sumatera Timur20.

Dari nama perkumpulan ini dapat diketahui bahwa lembaga ini tidak

hanya khusus untuk kalangan etnis Tamil saja. Tekanannya adalah

sebagai wadah organisasi bagi mereka yang beragama Hindu, baik

dari etnis Tamil maupun etnis-etnis lainnya terutama yang berasal

dari kawasan India.

Sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia

Belanda yang berkuasa pada waktu itu, izin pertama yang diberikan

kepada Deli Hindu Shaba dibatasi dalam jangka waktu selama 29

tahun. Untuk seterusnya akan ditentukan lagi sesuai dengan aktivitas

organisasi ini. Pemerintah Belanda pada waktu itu sangat berhati-hati

terhadap berdirinya sebuah organisasi karena khawatir organisasi itu

disusupi oleh gerakan yang bersifat politik.

Tokoh-tokoh pertama yang mendirikan Deli Hindu Shaba di

antaranya adalah :

1. Ramasamy Sarma 7. Ponesamy Pillay

2. Sedhu Ramasamy 8. Supiaya

3. Ayyer 9. Sene Muthu

4. Inder Singh 10. Krishna

5. O Welly Samy (OW) 11. Delip Sing

6. Manggaya 12. Dan lain-lain

20 Lihat T. Luckman Sinar Baharsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, (edisi bahas Indonesia dan Inggris), Forkala, Medan, h.24.

Deli Hindu Sabha 4

34 35Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

Pada periode pertama, susunan pengurusnya adalah sebagai

berikut :

Ketua : Ponesamy Pillay

Sekretaris : Manggaya

Bendahara : Krisna

Alamat sekretariatnya berada di jalan Darat – Medan.

Selain bergerak di bidang keagamaan, keberadaan Deli Hindu

Shaba juga mengupayakan agar masyarakat Hindu yang ada di

kawasan Medan dan Sumatera pada umumnya dapat meningkatkan

kehidupan mereka di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan

kebudayaan. Butir- butir gagasan ini tentunya tidak terlepas dari

fenomena kehidupan masyarakat etnis Tamil itu sendiri.

Walaupun wadah berupa Deli Hindu Shaba sudah berdiri di kota

Medan, aktivitasnya masih dirasakan terlalu lambat. Hal ini tidak

terlepas dari kurangnya tokoh pemimpin dalam kelompok tersebut.

Pertemuan-pertemuan memang selalu diselenggarakan. Akan

tetapi, gerakannya tidak dirasakan oleh komunitas etnis Tamil dan

masyarakat pada umumnya.

Telah disadari bahwa sebuah gagasan membutuhkan seorang

leader dan manager yang baik yang memiliki metode perjuangan yang

jitu agar dapat meraih keberhasilan. Sayang pada masa awal pendirian

perkumpulan Deli Hindu Shaba, justru inilah yang tampaknya

menjadi kekurangan dalam kelompok masyarakat etnis Tamil

Yang tercatat, pada tahun 1914, untuk pertama kalinya organisasi

ini menyelenggarakan pertunjukan tonil (sandiwara /drama) dengan

judul “Samerasan”. Para pemain semuanya laki-laki termasuk untuk

memerankan tokoh wanita. Pada waktu itu belum memungkinkan

bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk bergabung dalam suatu

atraksi pertunjukan secara bersama.

Dalam bidang keagamaan masih belum ada yang mencoba untuk

mengadakan pembaharuan. Apa yang berlaku hingga waktu itu

dianggap sudah merupakan yang baku dan sakral. Para pendeta masih

melakukan kegiatan sebagai rutinitas. Kalaupun banyak di antara

mereka yang memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, mereka

umumnya sangat kurang di bidang pengetahuan yang bersifat sosial

atau duniawi. Sulit diharapkan dari mereka ini untuk mengeluarkan

gagasan pembaharuan.

Demikian pula di bidang ekonomi. Di antara etnis Tamil ini ada

yang sudah mapan selama menjadi penduduk kota Medan. Tetapi

mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mengangkat kehidupan

masyarakat beragama Hindu atau etnis Tamil yang lainnya. Maksimal

mereka hanya mampu memberikan sumbangan yang lebih banyak

dari pada anggota yang lainnya. Mereka tidak mempunyai gagasan

yang memberi solusi bagaimana caranya mengelola dana yang ada

agar lebih bermanfaat dan berkesinambungan untuk kepentingan

anggota perkumpulan.

Pada periode awal berdiri perkumpulan Deli Hindu Shaba

anggotanya terdiri dari mereka yang sudah tua-tua. Para pemudanya

merasa kurang terpanggil untuk terlibat dalam wadah kegiatan Deli

Hindu Shaba. Ceramah-ceramah kerohanian seakan-akan hanya

menjadi milik mereka yang sudah tua dan tak berdaya. Terhadap

yang muda seakan masih terdapat penyekat untuk menekuni ajaran

keagamaan. Mereka merasa belum perlu untuk mengadukan dirinya

kepada “Sang Penguasa Kehidupan Manusia”. Upacara-upacara

keagamaan, khususnya yang muda-muda hanyalah sekedar untuk

melaksanakan ritual di tempat-tempat dan situasi tertentu saja. Hal

ini terus berlanjut sampai pada tahun 1930.

Situasi dan kondisi seperti inilah yang dihadapi dan digeluti

D. Kumarasamy (D.K.) ketika memasuki kota Medan sekitar tahun

1913. Kumara sangat beruntung karena lingkungan keluarga

yang mengasuhnya mempunyai latar belakang yang lebih baik

bila di bandingkan dengan keluarga etnis Tamil pada umumnya.

Para pemain sandiwara/tonil "Samerasen" tahun 1914

36 37Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

Sebuah keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan di bidang

keruhaniahan maupun keduniawian.

Walaupun kedua orang tua ibu Kumarasamy bukanlah termasuk

keluarga yang kaya, tetapi mereka mempunyai pandangan yang 'jauh

ke depan' untuk anak dan cucu mereka. Demikian pula kedua orang tua

Kumarasamy atau ayah dan ibunya. Mereka bertekad menyekolahkan

Kumarasamy kecil ke Methodist Boys School Medan. Pada waktu

itu sekolah ini merupakan sekolah yang sangat elit, baik dari segi

mutu maupun pembiayaannya. Karena itu murid-muridnya berasal

dari keluarga yang mampu secara finansial. Untuk menopang biaya

sekolah Kumarasamy ini, selain dari ayahnya yang tetap berada di kota

Binjai, nenek dan ibu Kumarasamy ikut membantunya menambah

penghasilan dengan berjualan kue-kue penganan di depan rumahnya

yang terletak di jalan Nagapatan Medan.

Kumarasamy kecil memang anak yang beruntung. Asal-

usulnya dan lingkungan keluarga yang memperhatikan pendidikan

menjadikannya tumbuh dengan sehat secara lahir dan batin. Dalam

tempo 7 tahun, Kumara berhasil menyelesaikan pendidikannya

dengan baik. Sekolah tempatnya belajar memang hanya sampai kelas

VII. Setelah itu para siswa yang telah tamat akan mencari sendiri

tempat melanjutkan studinya.

Bagi Kumarasamy yang saat itu telah menginjak usia14 tahun

pada tahun 1920, cukup sulit untuk mencari sarana pendidikan

formal yang sesuai. Pada waktu itu memang ada sekolah menengah

(MULO / setingkat SMP sekarang) yang dikelola oleh pemerintah

Hindia Belanda. Akan tetapi sekolah yang seperti itu pada waktu

itu membutuhkan persyaratan yang cukup sulit bagi keluarga

Kumarasamy. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan latar belakang

corak pendidikan Kumarasamy sebelumnya.

Namun Kumarasamy yang sejak masa kanak-kanaknya terlihat

bagai orang yang kehausan ilmu pengetahuan, semangat belajarnya

tetap tumbuh dan tak pernah padam. Oleh karena itu Kumara terus

berikhtiar untuk menambah ilmu pengetahuan secara informal. Cara-

cara yang ditempuhnya antara lain adalah mengikuti kursus tertulis

bahasa Inggris dengan salah satu lembaga pendidikan dari India dan

membeli buku-buku keterampilan dan pengetahuan umum lainnya.

Pada tahun 1922, ketika usianya 16 tahun Kumarasamy berhasil

mengirim artikel-artikel karangannya ke majalah berbahasa Tamil

yang diterbitkan di India. Pada umumnya artikel yang dikirimkan itu

memperoleh sambutan dan diterbitkan di majalah-majalah tersebut.

Artikel-artikel yang dibuatnya selalu bertema tentang kehidupan

masyarakat Tamil, baik dalam kehidupan keagamaan dan dalam

aspek-aspek lainnya. Pada dasarnya sudah terlihat dari karangan-

karangannya suatu keinginan untuk meningkatkan pemberdayaan

dan eksistensi masyarakat etnis Tamil di mana pun Kumarasamy

berada. Inspirasin karangan-karangannya muncul dari kehidupan

yang diarunginya sendiri.

Kemampuannya untuk mengetik artikel-artikel itu didapat

melalui proses yang cukup unik. Pada waktu itu orang-orang yang

memiliki mesin tik masih sangat terbatas dan barang ini masih

dianggap barang mahal. Untuk mempelajarinya pun harus melalui

kursus tersendiri. Kumarasamy memang sudah mengenal mesin tik,

Ibunda D. Kumarasamy

38 39Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

tetapi keluarganya belum mampu membelikannya dan juga untuk

memberikan dana untuk kursus mengetik. D. Kumarasamy tidak mau

menyerah dengan kondisi yang seperti ini. D.K. cukup membeli buku

teori mengetik lalu melatihnya (to touch type) melalui selembar karton

yang telah diberi gambar keyboard (susunan aksara) seperti mesin

tik. Dia berlatih sendiri dengan tekun. Ketika mengetik artikelnya

melalui mesin tik pinjaman, Kumara seperti orang yang sudah

mahir mempergunakannya. Kendala fasilitas tidak menjadi masalah

baginya. Hal ini memang sesuai dengan keyakinannya bahwa setiap

ada kemauan, pasti ada jalan keluar.

Selain berbakat menulis dan berhasil menjadi seorang kolumnis

muda, Kumarasamy juga belajar menulis tulisan steno. Baginya dengan

modal minat dan ketekunan yang besar kemampuan itu dalam tempo

yang relatif cepat pasti dapat dikuasainya. Kemahirannya dalam

stenografi memang sangat berguna. Layaknya seorang jurnalis, dengan

mudah Kumarasamy dapat membuat catatan-catatan penting dengan

sangat cepat, terutama untuk membuat transkripsi pembicaraan lisan

seseorang ke dalam bentuk tulisan.

Rasa ingin tahunya semakin berkembang sejalan dengan

perkembangan usia dan fisiknya. Keingin tahuanya itu tidak terbatas

pada bidang-bidang tertentu saja. Pengetahuan apa saja yang mungkin

dapat dipelajarinya terutama melalui buku-buku, selalu dipelajarinya

secara serius. karena keterbatasan dirinya dari segi finansial, maka

Kumarasamy selalu belajar secara autodidak. Cara seperti ini ada

kalanya cukup menyulitkan karena harus mencari berbagai keteragan

sendiri tanpa guru pembimbing. Tapi ternyata cara yang demikian

telah melatih dirinya untuk lebih aktif merenungkan permasalahan

atau persoalan sehingga dapat mencari jawabannya sendiri. Kebiasaan

yang seperti ini tanpa disadari telah meningkatkan inisiatif sekaligus

rasa percaya dirinya.

Pada tahun 1925 ketika telah memasuki usia yang ke-19,

Kumarasamy juga belajar tata dagang, khususnya dalam bidang

pembukuan (book keeping). Kemampuan bidang ini melengkapi

kemahirannya dalam berbahasa Inggris dan stenografi, yang sangat

menopang penghidupan selanjutnya. Dengan berbagai kemampuan

itu tidak sulit baginya untuk mencari pekerjaan sebagai kerani di

perusahaan-perusahaan asing. Kumarasamy pun akhirnya diterima

bekerja di sebuah perusahaan Inggris yang bernama Harrison yang

berkantor di jalan Hindu Medan.

D. Kumarasamy tumbuh sebagai seorang pemuda yang sehat

dan tampak tidak mau berhenti mencari sesuatu yang berguna

untuk mengembangkan semua potensi diri maupun kemaslahatan

masyarakat di sekelilingnya. Pemuda yang sangat santun dan pandai

bergaul ini pun sangat diterima oleh lingkungan di mana pun ia

berada, hingga mendapat sebutan "Anna' yang dalam bahasa Medan

berarti abang, sebagai sebutan yang menunjukkan keakraban, rasa

sayang sekaligus hormat.

Sebagai seorang pemuda yang energetik secara fisik dan mental,

Kumarasamy juga sangat suka dengan kegiatan olahraga. Banyak

cabang-cabang olahraga yang diminatinya, diantaranya adalah

badminton, hockey, bola kaki, dan lain-lain. Belum cukup dengan

olah raga dalam kelompok, ia juga melakukan olahraga body building

di rumahnya. Kemana pun Anna Kumarasamy pergi, ia selalu

menggunakan sepedanya yang berukuran lebih besar dari pada

sepeda yang umumnya digunakan masyarakat, terutama bila masih

dalam wilayah kota Medan. Sepeda besar ini dipilih menyesuaikan

tubuhnya yang gagah dengan tinggi 180 cm.

Pemuda jangkung dan bersepeda tinggi ini terus bergerak mencari

berbagai pengalaman, pengetahuan dan membangun pergaulan yang

luas dalam kehidupannya. Perhatiannya terhadap masyarakat Tamil

pun bertambah besar. Hal ini bukan saja karena latar belakang etnis

yang ada padanya, tetapi lebih banyak karena dorongan empatinya

melihat kenyataan kehidupan etnis Tamil yang ada di kota Medan.

D. Kumarasamy melihat pemuda-pemuda Tamil yang sebaya

dengannya banyak yang tidak pernah mengecap pendidikan sekolah.

Bahkan banyak di antaranya yang tak mampu membaca dan menulis

aksara Tamil. Memang pada masa itu hingga tahun 1935 belum ada

sekolah khusus bagi masyarakat Tamil. Demikian pula di bidang

ekonomi, kelompok etnis Tamil yang ada di kawasan ini pada

umumnya masih memprihatinkan. Kedua faktor ini, yaitu aspek

pendidikan dan ekonomi, memang sangat erat kaitannya dan saling

mempengaruhi.

D. Kumarasamy juga sangat prihatin dengan moralitas beberapa

orang muda di kalangan etnis Tamil. Ia memahami bahwa tingkat

pendidikan dan ekonomi yang rendah ikut mempengaruhi

moralitas dalam perilaku masyarakat, khusunya dalam semangat

40 41Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

memperjuangkan hidup, tata krama serta etika dalam pergaulan satu

sama lain. Situasinya menjadi makin buruk ketika pemuda-pemuda

itu jadi 'pantat botol' atau pemabuk, mereka kehilangan orentasi

hidup, mudah emosi serta mudah putus asa. Sementara itu ritualitas

keagamaan seperti tak mampu menyentuh prilaku para penganutnya,

khususnya kalangan muda ini. Situasi ini selalu mengusik pikiran dan

nurani Kumarasamy sejak masih muda. Walaupun ia terus mencari

jalan pemecahannya, tetapi belum dapat berbuat nyata, terutama

belum menemukan wadah dan metode yang paling tepat.

Pada tanggal 15 September 1927, ketika Kumarasamy benar-

benar menjadi pria dewasa di usia 21 tahun ia ikut menjadi anggota

Medan Ladge of the Theosophical Society, sebuah perkumpulan yang

membahas tentang dasar-dasar atau filsafah ketuhanan. Inti dari

ajaran Theosphy ini adalah mencari hakikat ilahiah atau kebenaran

baik hakiki melalui pengalaman batin maupun dari norma-norma

keagamaan. Secara historis dasar-dasar ajaran Theosophy ini berasal

dari perpaduan Brahmanisme, Budhisme, Neoplatonisme dan

Kekristenan. Kemudian dalam perkembangannya, Theosophy modern

tidak membatasi diri pada pandangan agama-agama tertentu. Tokoh-

tokoh pengembang Theosophy modern di antaranya adalah Anni

Besant C.W. Leadbeater yang telah membuat penjabaran Theosophy

modern menjadi lebih universal dan rasional.

Dalam perkumpulan Theosophy ini Kumarasamy banyak

berkenalan dengan tokoh-tokoh rohaniawan lainnya dari berbagai

agama dan bangsa ataupun etnis. Di antara tokoh yang selalu terlibat

diskusi dan banyak memberikan masukan bagi Kumarasamy adalah

Mr. Gerard Jansen, Miss Rahder, dan Mrs. Haisma. Banyak di antara

anggota ataupun pengurus perkumpulan ini yang mempunyai latar

belakang intelektual atau pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu di

tempat ini Kumarasamy bagaikan memperoleh kawan diskusi yang

sangat baik dalam perkembangan pribadinya.

Dalam lingkungan ini Kumarasamy juga pernah berdiskusi

secara langsung dengan tokoh Theosophy C.W. Leadbeater. Dalam

perbincangannya dengan Maha Nyani 21C.W. Leadbeater itu

Kumarasamy menjadi sagat terpengaruh, karena secara langsung

21 Hassan Shadily dkk., 1980, Ensiklopedia Indonesia, Ictiar Baru-van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 3506-3507.

tokoh itu berkata kepadanya, “Apakah Saudara pernah menyadari

atau masih ingat bahwa saudara pernah lahir sebagai pelukis Greek

(Yunani) di kelahiran masa lampau? Kumarasamy hanya tercengang

karena walaupun ia percaya adanya proses inkarnasi, namun ia sendiri

belum menyadari atau merasakannya.

Sejak Kumarasamy mengikuti perkumpulan Theosophy

ini wawasannya terhadap agama dan kehidupan semakin luas.

Rasa fanatismenya terhadap salah satu agama tidak lagi 'sempit'.

Kumarasamy pun memahami, pada dasarnya semua agama

mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyemai kebajikan sehingga

dapat memperoleh kebahagiaan yang abadi. Perbedaan hanya terletak

pada cara mencapai tujuan. Dan perbuatan kebajikan tidak harus

diberikan kepada kelompoknya saja tetapi juga bagi masyarakat

lainnya. Begitulah pandangan Kumarasamy yang tetap pemeluk

agama Hindu dengan baik.

Usia Kumarasamy terus beranjak dewasa bersama waktu yang

dilaluinya. Walaupun perhatiannya lebih besar kepada kelompok

masyarakat etnis Tamil, bukanlah berarti pandangannya sangat

Perkumpulan Theosofi Medan

42 43Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

etno-sentris, terpusat pada etnis atau kelompok primordialnya

sendiri. Perhatian yang sangat besar pada masyarakat etnis Tamil

di daerah Medan karena pada saat itu, kelompok inilah yang sangat

memprihatinkan kehidupannya dan membutuhkan perhatian.

Kumarasamy pun mulai mencoba mendekati kelompok masyarakat

sekitarnya, terutama para pemuda etnis Tamil, sebagai salah satu

cara untuk mewujudkan gagasannya. Pendekatan ini dilakukan

untuk memahami lebih jelas apa yang dibutuhkan oleh kalangan

ini. Kumarasamy menyadari, upaya perbaikan keadaan tak mungkin

dilkukan tanpa mengetahui apa yang telah rusak dalam masyarakat

itu.

Hal yang dipikirkan kemudian oleh Kumarasamy adalah

pentingnya jiwa kepemimpinan untuk mengajak dan menggerakkan

suatu kelompok masyarakat menuju suatu perubahan atau

perbaikan. Baginya, yang dibutuhkan dari seorang pemimpin bukan

sekedar mampu memberikan gagasan atau perintah, tidak pula

sekedar mampu mengorganisir pengikutnya. Akan tetapi seorang

pemimpin harus mampu memberikan keteladanan, yang dengan

itulah orang mendapatkan contoh nyata sehingga mematuhi dan

menjadi pengikutnya. Seorang pemimpin akan berbicara melalui

keteladanannya dan kunci keteladanan yang mengundang sikap patuh

pengikutnya adalah keteladanan yang bersumber dari keikhlasan hati.

Ciri-ciri kepemipinan ini terlihat jelas pada diri Kumarasamy yang

selalu dipanggil 'Anna' dalam lingkungan pergaulannya.

Tidak semua orang yang berproses dalam berbagai pengalaman

hidupnya dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin. Seorang

tokoh akan menjadi lebih matang untuk menjadi pemimpin bila

mengalami proses pengenalan dan berupaya mengemukakan banyak

inisiatif dalam kerja-kerja sosial yang penuh dedikasi.

Sebuah ungkapan yang menyatakan, “seorang tokoh pemimpin

bukan diciptakan, tetapi dilahirkan” tampaknya layak direnungkan.

Apakah berarti ketika dalam proses terciptanya embrio atau cikal

bakal bayi dalam kandungan seseorang telah digariskan untuk lahir

sebagai tokoh pemimpin? Ternyata tidak juga. Tidak semua bayi

yang berasal dari kandungan keluarga tokoh pemimpin kemudian

dengan sendirinya terlahir menjadi tokoh-tokoh pemimpin. Sulit

untuk mencari jawaban yang rasional. Dalam perenungan tentang

bagaimana asal mula seseorang dapat hadir sebagai pemimpin di

tengah masyarakat, tidak menutup kemungkinan penelusuran itu

akan terdampar pada pertimbangan 'supernatural' dan muncullah

istilah Reinkarnasi, sebuah titisan atau penjelmaan kembali dari suatu

proses menuju kesempurnaan atau keabadian.

Pada tahun 1928, Kumarasamy makin matang diusianya yang

memasuki usia 22 tahun. Di tengah-tengah kelompoknya, pemuda

Kumarasamy ini bersikap sangat luwes, baik terhadap mereka yang

lebih muda, sebaya atau pada mereka yang lebih tua dari dirinya. Pada

siapa saja yang bersua atau berpapasan dengannya, sangat ringan

hatinya untuk mendahului memberikan sapaan. Terlebih-lebih bagi

mereka yang lebih tua dari usianya. Sapaan dalam bahasa Tamil

dengan ucapan “Nemeste” atau “Wanakkam” yang artinya kira-kira

salam sejahtera bagi anda”, selalu diucapkan saat berjumpa dengan

masyarakat Tamil. Sikap dan prilakunya terhadap semua kalangan

ini dalam pergaulannya itu makin menimbulkan rasa simpati. Bagi

kalangan usia yang di bawahnya Kumarasamy makin menjadi 'Anna'

yang dihormati. Mereka yang sebaya makin segan dan yang lebih tua

daripadanya, makin sayang.

Kumarasamy yang bertubuh tinggi, tegap dan rapi senang

berpakaian berwarna putih, baik kemeja maupun celananya.

Rambutnya yang agak ikal selalu tersisir rapi dan wajahnya tercukur

bersih klimis. Adakalanya ia terkesan sebagai pemuda yang pendiam,

karena Kumarasamy memang selalu menghemat kata-kata bila

tak ada manfaatnya. Sebaliknya ia juga cukup humoris, terutama

ketika ia ingin menumbuhkan suasana akrab dan terbuka dalam

berkomunikasi. Ia selalu melayani pembicaraan siapa saja, terutama

mereka yang membutuhkan buah pikirannya. Wajah dan sorot matanya

yang bening menatap siapa saja yang dihadapinya mencerminkan ia

seorang pemuda yang tenang dan rendah hati.

Telah lama D. Kumarasamy terlibat sebagai salah seorang

anggota Deli Hindu Shaba. Namun sebagai anggota biasa belum

dapat berbuat banyak, meski sangat intens bergaul dengan kalangan

muda. Ia masih sulit mewujudkan gagasan-gagasannya tanpa sarana

yang terlembaga dalam sebuah oraganisasi. Kumarasamy menyadari

untuk mewujudkan gagasan sebagai program juga dibutuhkan suatu

kewenangan atau mandat yag memberiya legetimasi.

Hingga tahun 1928, satu-satunya lembaga yang diharapkan dapat

menopang gagasannya yaitu Deli Hindu Shaba, itu pun belum dapat

44 45Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

membantunya. Deli Hindu Shaba sendiri masih terus 'mengambang'

perannya di tengah masyarakat. Bila diteliti ada beberapa faktor

mendasar yang menyebabkan organisasi ini menjadi mandeg

atau stagnan, di antaranya adalah : pertama sebagian masyarakat

pendukungnya sangat terikat memegang tradisi kolot sehingga sulit

menerima perubahan-perubahan. Kedua, kehidupan sosial dan

ekonomi masyarakat pada umumnya masih sangat memprihatinkan,

sehingga mereka masih sibuk dengan diri mereka sendiri. Ketiga,

pimpinan atau pengurus Deli Hindu Shaba, sangat minim

pengetahuannya di bidang organisasi dan keempat sedikitya tokoh

pemimpin dalam Deli Hindu Shaba yang ada di tengah masyarakat

dan dapat memberikan keteladanan dan jadi panutan.

Banyak yang menaruh perhatian kepada Kumarasamy, baik dari

para pemudanya maupun di kalangan orang-orang tua. Dalam diri

Kumarasamy sudah terlihat tanda-tanda yang memberikan harapan

bagi mereka. Bahkan, di antara orang-orang tua yang telah mengenal

prilaku dan sikap Kumarasamy banyak yang ingin menjadikannya

sebagai menantu. Tetapi saat itu pemuda jangkung ini belum dapat

menggerakkan Deli Hindu Shaba, walaupun pada waktu itu ia sudah

menjadi 'pusat perhatian' masyarakat Tamil yang ada di kota Medan.

Pada tahun 1928 diusia 22 tahun itu, Kumarasamy benar-benar

telah menunjukan dirinya sebagai seorang pemuda yang dewasa,

baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Ia membutuhkan sosialisasi

yang lebih luas, tidak saja sebagai seorang pemuda tetapi juga

sebagai seorang kepala keluarga. Betapa pun eksisnya dia, sebagai

seorang pemuda Kumarasamy akan tetap dianggap berada dalam

batasan sebagai salah seorang anggota keluarga yang belum pantas

berbicara masalah “pembinaan rumah tangga”. Padahal ia menyadari

sepenuhnya bahwa berbicara tentang pembinaan masyarakat harus

berbasis pada pembinaan keluarga di dalam lingkaran rumah tangga.

Dengan kata lain akan sulit baginya untuk berada di tengah-tengah

lingkaran “orang-orang tua” atau orang yang sudah berumah tangga,

apalagi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, bila ia sendiri

belum berumah tangga.

Di samping itu sebagai seorang pemuda yang dewasa, Kumarasamy

juga membutuhkan seorang pendamping atau istri. Baginya, seorang

istri bukanlah sekedar sebagai pendamping naluri biologis atau yang

akan mengurus kepentingan jasmaniah. Akan tetapi bagi masyarakat

Tamil dan peradaban Timur pada umumnya, seorang wanita baik

sebagai istri maupun sebagai seorang ibu adalah juga sebagai seorang

“dewi” yang akan memberikan cahaya kehidupan di dalam keluarganya.

Sebaliknya seorang laki-laki, atau suami, atau seorang anak, dapat

“menjelma” menjadi seorang “dewa” yang akan memberikan naungan

atau perlindungan di tengah keluarganya. Sementara bagi setiap orang

tua yang mempunyai anak laki-laki atau perempuan, mengantarkan

anak-anaknya ke pintu mahligai perkawinan merupakan puncak

kewajiban yang utama. Hal itu bukan saja sebagai suatu peralihan

tanggung jawab ketika anak-anaknya dianggap telah cukup mandiri,

tetapi juga sebagai puncak kebahagiaan untuk melanjutkan generasi.

Oleh karena itulah kedua orang tua Kumarasamy sangat antusias untuk

memberikan dorongan dan restu agar anak tertuanya mempersunting

seorang gadis Tamil.

Sebagaimana layaknya kondisi kehidupan sosial dan tradisi yang

berlaku pada waktu itu, peranan keluarga dan kerabat cukup besar

dalam menentukan jodoh bagi anggota keluarga yang sudah saatnya

memasuki jenjang pernikahan. Demikian pula bagi seorang anak

laki-laki maupun perempuan, pilihan keluarga dalam menentukan

jodoh untuk pasangan dalam perkawinannya diyakini merupakan

sesuatu yang baik untuk kehidupannya, bukan sebagai sesuatu yang

melangkahi hak azasinya. Masing-masing pihak umumnya setuju

dengan pilihan keluarganya. Dalam menentukan pilihan untuk

pasangan bagi anggota keluarga yang sudah saatnya menikah,

selalu menggunakan pertimbangan yang bijaksana agar anak dan

menantunya kelak akan menjadi pasangan yang bahagia.

Pada tahun 1928 itu Kumarasamy telah dijodohkan dengan

seorang gadis Tamil yang bertempat tinggal di kota Medan. Calon

mertua laki-laki Kumarasamy bernama Ponesamy Pillay, seorag tokoh

Deli Hindu Shaba, dan istrinya (ibu mertua) bernama Aciammal

sedangkan anak gadisnya yang akan dijodohkan kepada Kumarasamy

adalah Anemal. Gadis ini berasal dari keluarga pedagang. Orang

tuanya membuka usaha dengan membuka toko kaca yang beralamat

di jalan Perdana Medan (sekarang kelurahan Kesawan).

Kedua orang tua gadis ini datang ke Indonesia dari Sri Langka

(Ceylon). Latar belakang kedatangan mereka bukan sebagai buruh-

buruh perkebunan sebagai mana kebanyakan etnis Tamil lainnya.

Akan tetapi mereka datang ke Indonesia di daerah Sumatera Timur

46 47Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha

untuk berdagang.

Secara resmi perkawinan Kumarasamy dengan Anemal

diresmikan di kuil Sri Mariamman. Demikian pula perhelatannya

juga diselenggarakan pada sebuah ruangan yang terletak di samping

kuil tersebut. Perhelatan atau acara resepsi perkawinan berlangsung

dengan sangat meriah. Sambutan masyarakat atas perkawinannya

lebih banyak bersifat spontan yang tak mungkin dicegah. Mereka

yang mengenal Kumarasamy datang memberikan restu walaupun

tak sempat diundang secara resmi. Sebagai ungkapan rasa simpati

mereka berupaya memeriahkan suasana perkawinan Kumarasamy,

terutama para pemuda yang tidak hanya menganggapnya sebagai

seorang sahabat tetapi lebih dari itu juga sebagai seorang saudara,

bahkan ada yang menganggapnya sebagai seorang guru walaupun

usianya sebaya. Demikian pula dari kalangan orang-orang tua atau

kaum kerabat. Mereka seakan-akan ingin menunjukkan rasa kasih

sayang kepada Kumarasamy dalam acara pesta perkawinan itu.

Oleh karena itulah, tak bisa lagi dihindari maka pesta perkawinan

D. Kumarasamy berlangsung 3 hari 3 malam. Segala bentuk atraksi

yang merupakan sumbangan dari para simpatisan D. Kumarasamy

berlangsung dalam acara tersebut. Syair-syair puja disenandungkan

secara merdu, demikian pula nyanyian musik maupun tarian ikut

mengisi pesta perkawinan Kumarasamy. D.Kumarasamy tak dapat

mencegah kemeriahan pernikahannya.Kemeriahan pesta perkawinan

itu bagaikan manifestasi yang ingin mengantarkan Kumarasamy ke

“dunianya yang baru”.

Dalam usianya yang relatif masih muda itu D. Kumarasamy telah

mendapat tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Sebagai seorang

kepala keluarga atau suami, ia telah pantas memasuki lingkungan

barunya yaitu masuk dalam gologa orang-orang yang dituakan

dalam komunitas, namun ia masih dapat melakukan kegiatan di

bidang kepemudaan. Demikian pula kewajiban rumah tangga lainnya

sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Itulah salah satu harapan

Kumarasamy atau Anna dalam perkawinannya dengan Anemal.

Setelah menikah, semangat pengabdiannya di lingkungan etnis

Tamil semakin besar. D.Kumarasamy ingin tidak hanya berbuat

di lingkungan pemuda, tetapi juga dilingkungan kelompok usia

lainnya. Pernikahannya telah membuatnya tidak hanya pantas untuk

memberikan saran atau pun nasehat kepada para pemuda, tetapi juga

pantas bagi mereka yang telah berkeluarga. Sejak saat itu ia mulai

menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi dan luas dengan

tatangan yang beragam.

D. Kumarasamy bersama M.U. Phoa Krishnaputra

49Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha48 Deli Hindu Sabha

Setelah berumah tangga, Kumarasamy tetap terus aktif dalam

kegiatan pemuda di lingkungannya. Panggilan 'Anna' yang melekat

pada dirinya menjadikannya akrab dengan umumnya orang-orang

lebih muda dari padanya, yang sangat menghormatinya. Anna

memang merasa sangat berkepentingan menjaga hubungan dengan

para pemuda ia sangat menyadari bahwa kunci pembinaan suatu

kelompok masyarakat dimulai dari para pemuda.

Para pemuda adalah kelompok usia yang sangat potensial untuk

melakukan perubahan-perubahan. Sesuai dengan usianya kelompok

ini selalu bersikap lebih terbuka dan penuh energi untuk melakukan

aktivitas. Para pemuda inilah yang pada saatnya akan segera

mengambil alih peran dalam mewarnai dan menentukan tertib sosial

yang akan datang. Dapat dikatakan bagaimana masa depan sebuah

komunitas dapat dilihat dari kondisi para pemuda yang ada sekarang.

Itulah salah satu pertimbangan D. Kumarasamy untuk berada dalam

lingkungan pemuda.

D.Kumarasamy bukan sekedar mempunyai gagasan, tetapi ia juga

mempunyai metode atau cara untuk merangkul para pemuda dan

menggerakkan ke arah gagasan yang dipikirkannya. Inilah kemampuan

yang ada pada dirinya. Dia tahu apa yang disukai oleh kalangan remaja

atau pemuda. Kalau tahu apa yang disukai oleh orang lain, tentunya

kita tak perlu bersusah payah untuk menghimpun mereka. Hal yang

dilakukan oleh Kumarasamy adalah membuat berbagai perkumpulan

yang berbasis pada minat yang ada di kalangan anak-anak muda.

Pada tahun 1929, setahun setelah Anna berumah tangga Anna

membuat 'English Literary Club' (perkumpulan yang bergerak di

Peran D. Kumarasamydalam Deli Hindu Sabha

5

50 51Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

dikoordinirnya yang bernaung di bawah Deli Hindu Shaba. Dengan

berbagai aktifitas ini menyebabkan D. Kumarasamy semakin menjadi

pusat perhatian masyarakat etnis Tamil dan warga masyarakat India

yang ada di kota medan. Kumarasamy memang pantas menerimanya,

karena ia telah berbuat banyak di tengah masyarakatnya.

Ketika D. Kumarasamy telah berusia 25 tahun pada tahun 1931, ia

resmi diangkat menjadi Ketua Deli Hindu Shaba. Pemilihannya sebagai

ketua, merupakan keputusan yang sangat tepat bagi perkumpulan itu

dan komunitas etnis Tamil umumnya. Kalaupun selama ini Anna juga

tercatat sebagai anggota, namun kedudukan itu tidak memberikannya

mandat yang penuh untuk melakukan segala bentuk kegiatan yang

memajukan perkumpulan atau membawa perubahan.

Hingga saat sebelum ia menjadi ketua, kegiatan Deli Hindu Shaba

terasa tidak bergairah, karena tidak ada tokoh yang benar-benar dapat

mengantisipasi perkembangan dan perubahan zamannya. Denga

mandat yang diterima, D. Kumarasamy mempunyai kesempatan

untuk berbuat lebih banyak melalui Deli Hindu Shaba (DHS),

karena ia mempunyai wewenang sebagai pemimpin dan mempunyai

wadah organisasi sebagai sarana mewujudkan pembaharuan yang

digagasnyanya.

D. Kumarasamy benar-benar tahu apa yang harus dibuatnya.

Wewenang dan wadah organisasi itu kini berada di tangannya.

Tantangan yang tengah dihadapi adalah seberapa jauh ia mampu

menggerakkan anggotanya sesuai gagasan pembaharuannya

itu. Pertama-tama yang dilakukan oleh D. Kumarasamy adalah

membenahi organisasi Deli Hindu Shaba sebagai organisasi yang

modern. Anna membuat anggaran dasar dan aturan-aturan lainnya

agar dapat menjadi pedoman kerja bagi pengurus maupun anggota-

anggota pendukungnya. Kemudia Anna menyusun program-program

kerja dan menyiapkan mekanisme administrasi sesuai kebutuhan.

Programnya itu meliputi bidang-bidang pendidikan, keagamaan,

sosial, budaya, dan ekonomi. Dari semua program yang direncanakan,

kalangan pemuda dan remaja amerupakan sasaran yang paling

diutamakan.

Pada tahun pertama D. Kumarasamy menjadi pengurus Deli

Hindu Shaba, ia membangun sistem pengorganisasian pemuda

dengan membuat seksi-seksi sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang

mereka rencanakan. Di antara kegiatan yang dibentuknya itu adalah,

bidang kesusastraan Inggris), perkumpulan sepakbola dan seni drama

yang pada waktu itu lebih populer disebut 'Perkumpulan Tonil', dan

cabang-cabang kesenian lainnya. Perkumpulan-perkumpulan ini

tidak hanya terbatas diikuti kaum pria saja, tetapi juga terbuka pada

kaum wanita.

Berbagai bidang kegiatan dalam perkumpulan-perkumpulan

yang dibentuknya untuk pertama kali dalam komunitas etnis Tamil

semua memperoleh sambutan yang sangat antusias. Tidak saja oleh

kaum remaja dan pemuda, tetapi juga oleh kelompok orang tua. Bagi

orang tua yang memiliki anak-anak remaja tentunya percaya bahwa

dengan memasuki perkumpulan itu mereka merasa terbantu untuk

mendidik anak-anaknya. Mereka sudah mengenal D. Kumarasamy

sebagai seorang tokoh yang baik dan akan mengarahkan para pemuda

dan remaja ke arah yang baik.

Bagi D. Kumarasamy, untuk menggerakkan perkumpulan-

perkumpulan ini bukanlah hal yang sulit. Ia mempunyai modal

kemampuan disetiap cabang perkumpulan yang dibentuknya, baik

di bidang ilmu pengetahuan kesusastraan, bidang olahraga, maupun

di bidang kesenian. Oleh karena itu dalam memberikan pengarahan

kepada anggota perkumpulannya, ia tidak hanya memberikan teori-

teori, tetapi juga mempraktekkannya secara nyata. Anna mampu

membuat syair-syair, mampu memainkan instrumen musik, dan ia

juga mampu bermain bola dengan baik. Sejak masa kanak-kanak

ia telah terbiasa membaca syair kesusastraan seperti Thirukural,

Ramayana dan Mahabarata untuk syair keagamaan, dan juga literatur

kesusastraan Inggris sehingga ia pun mampu mengubah lirik-

lirik kesusastraan lainnya. Kemampuannya memainkan alat musik

harmonium, menyebabkan Anna mudah memahami alat-alat musik

lainnya dan kemudian membuat aransemen secara terpadu dan

harmonis. Demikian pula pada bidang lainnya bakat dan kemampuan

Kumarasamy cukup memadai untuk mengembangkan kesenian.

Masih pada tahun yag sama, kelompok sandiwara mereka telah

mementaskan sebuah naskah yang ditulisnya sendiri dengan judul

'Shakuntala'. Melalui pementasan itu Anna mencoba menyampaikan

pesan-pesan moralnya.

Untuk membangkitkan rasa harga diri etnis Tamil dan warga India

yang ada di kota Medan pada umumnya, organisasi kepemudaan yang

dikoordinirnya mengguakan identitas India. Banyak pula kegiatan yang

52 53Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

seksi olahraga dalam cabang bulu tangkis, tenis meja, hockey, dan

sarana body building. Dalam seksi kesenian terdapat cabang drama

atau tonil dan musik. Menurut D. Kumarasamy, cabang-cabang

olahraga dalam kesenian inilah yang paling menimbulkan minat para

pemuda untuk ikut dalam organisasi Deli Hindu Shaba. Tetapi ia juga

mengharapkan setelah para pemuda tertarik pada bidang olahraga

dan seni, mereka juga mempunyai perhatian di bidang keagamaan.

Harapan ini dimungkinkan dapat dicapai karena naskah-naskah

drama yang ia buat diambil dari kisah-kisah keagamaan.

Untuk merekrut para remaja putri terlibat dalam Deli Hindu

Shaba ia juga membentuk Seksi Keputrian yang bernama “Mother

Paguthi”. Kalau pada waktu sebelumnya para remaja putri Tamil

maupun para ibu mereka lebih banyak hanya berada di rumah dan

bersikap pasif, melalui organisasi ini mereka diharapkan berperan

lebih aktif di tengah masyarakatnya. Kepercayaan diri para wanita di

tengah keluarga dan masyarakatnya sangat penting bagi pembangunan

generasi penerus dan masyarakat pada umumnya, sebagaimana yang

pernah dialami D. Kumarasamy dalam kehidupannya.

Masih dalam tahun pertama Anna memimpin Deli Hindu Shaba,

kantor sekretariat organisasi dipindahkan dari tempat yang lama di

jalan Darat (Achterweq) ke tempat yang baru di jalan Calcuta. Sarana

perlengkapan di kantor yang baru ini memang lebih baik keadaanya.

Dana dan fasilitas kantor ini diperoleh tak terlepas dari bantuan dan

kepercayaan teman-teman D. Kumarasamy, di antaranya adalah dua

bersaudara yang bernama Delip Singh dan Inder Singh yang taraf

ekonominya cukup baik.

Menurut D. Kumarasamy fondasi utama untuk membangun suatu

kelompok masyarakat, adalah membina intelektual dan moralnya.

Oleh karena itu pada tahap awal menjadi pimpinan Deli Hindu Shaba,

kegiatan-kegiatan dalam bidang pendidikan dijalankannya dengan

lebih serius.

Sesuai dengan kondisi yang ada pada waktu itu, lembaga Deli

Hindu Shaba menyelenggarakan pendidikan tingkat anak-anak secara

berkala yaitu pada setiap hari Minggu, pagi jam 9.00 sampai dengan

jam 11.00 siang. Tekanan yang utama dalam pengajaran yang diberikan

adalah tentang budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk ini

D. Kumarasamy bertindak langsung untuk menjadi gurunya. Untuk

mereka yang telah dewasa, juga diberikan pendidikan secara berkala

yaitu setiap sore hari Selasa dan Kamis atau dua kali seminggu, dengan

pengajaran yang diberikan adalah masalah keagamaan atau aspek-

aspek ketuhanan. D. Kumarasamy sebagai tenaga pengajar untuk

aktifitas pendidikan di kalangan dewasa.

Dalam penyelenggaraan pendidikan ini, bahasa pengantar yang

dipergunakan adalah bahasa Tamil. Memang sasaran yang utama

dari pendidikan ini adalah kalangan etnis Tamil. Pada waktu itu pada

masyarakat etnis Tamil yang ekonominya rendah masih sangat sulit

untuk dapat mengecap pendidikan di sekolah-sekolah umum, baik

yang ditangani pemerintah maupun swasta. Hanya beberapa orang

saja yang dapat memperoleh kesempatan memasuki sekolah-sekolah

tersebut.Karena itulah, perhatian D. Kumarasamy melalui Deli Hindu

Shaba lebih tertuju pada masyarakat etnis Tamil.

Dalam aktivitas belajar yang diselenggarakan di Deli Hindhu

Shaba itu pula, di samping bahasa Tamil yang dipergunakan sebagai

bahasa pengantar, D. Kumarasamy juga memberikan pengajaran

membaca dan menulis dalam bahasa ini. Masih sangat banyak di antara

orang Tamil yang tidak mampu membaca maupun menulis dalam

bahasa dan aksara Tamil. D. Kumarasamy mempunyai pertimbangan,

dengan kemampuan membaca dan menulis bahasa Tamil, akan lebih

mudah baginya mengembangkan pendidikan. Bila kemampuan itu

sudah dimiliki oleh sebahagian besar masyarakat etnis Tamil, maka

ia dapat menerbitkan brosur-brosur atau majalah-majalah yang

memuat pesan-pesan. Dan lebih jauh lagi diharapkan pada akhirnya

masyarakat etnis Tamil ini dapat belajar sendiri melalui kitab-kitab

keagamaan maupun buku-buku lainnya.

Pada tahun1932, atau pada tahun ke-2 Kumarasamy duduk

sebagai pimpinan Deli Hindu Shaba, ia menerbitkan sebuah buku yang

berjudul Mathubana Wilakkam. Isi buku itu menguraikan bagaimana

jahatnya pengaruh minuman keras baik secara fisik maupun mental.

Hal yang lebih mengenaskan lagi, akibat buruk yang di timbulkan

dari minuman keras itu, tidak saja terhadap pribadi si peminum,

tetapi juga bagi keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Dalam buku

tersebut D. Kumarasamy mencoba menjelaskan minuman keras baik

dari sudut pandangan ilmiah maupun dari sudut keagamaan. Ide

penulisan tentunya tidak terlepas dari kenyataan yang ada, terutama

di kalangan masyarakat etnis Tamil yang masih banyak diantara

pemudanya yang menjadi 'peminum'.

54 55Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

Foto kegiatan seksi kesenian

Kehadiran D. Kumarasamy sebagai pemimpin Deli Hindu Shaba,

telah mendorongnya untuk lebih banyak berbuat. Kalau sebelumnya

ia hanya lebih banyak merenungkan dan prihatin pada kenyataan

lingkungan kehidupan masyarakat etnis Tamil saat itu, maka dengan

mandat yang ada padanya sekarang ia mempunyai banyak kesempatan

untuk mulai merintis berbagai perubahan. Dengan berbuat sesuai

dengan gagasan dan keyakinannya itu, ia percaya dengan demikian

mulai menyemaikan bibit-bibit kebajikan yang kelak akan dituai

oleh masyarakat itu sendiri. Tahun demi tahun, D. Kumarasamy

menerapkan berbagai langkah mewujudkan program-programnya.

D. Kumarasamy selalu berpandangan bahwa “kunci utama” untuk

membangun suatu kelompok masyarakat yang terletak pada sikap

dan mental masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, sudah menjadi

aksioma baginya, bahwa pendidikan merupakan alat yang paling

mujarab untuk membangunkan masyarakat etnis Tamil yang ada di

kawasan ini. Karena rendahnya tingkat pendidikan mereka selama

ini, menyebabkan kesengsaraan dan rendahnya moral. Hal ini tentu

tak bisa dibiarkan terus berlanjut.

Untuk membina pendidikan suatu masyarakat, tidak bisa hanya

membutuhkan pengajaran melalui pidato-pidato. Mengubah pola

kehidupan membutuhkan suatu proses dan tindakan konkrit yang

mendukung dalam suasana yang mendidik. Oleh karena itu, dalam

upaya membangun pendidikan di kalangan etnis Tamil, perlu

dibangun sekolah-sekolah.

Tahun 1932, D. Kumarasamy melalui lembaga Deli Hindu Shaba

yang dimpimpinnya mulai mendirikan sekolah-sekolah di kawasan

kota Medan dan Binjai. Sekolah-sekolah yang didirikannya ini

memang di khususkan untuk masyarakat etnis Tamil yang kondisi

pada waktu itu sangat membutuhkan tetapi mereka pada umumnya

masih sulit untuk memasuki sekolah yang diselenggarakan oleh

pemerintah maupun swasta.

Selain bahasa Tamil, yang menjadi tekanan kurikulum dalam

sekolah tersebut adalah bahasa Inggris. D. Kumarasamy sudah dapat

melihat dan meramalkan betapa besarnya peranan bahasa Inggris

dalam menopang kehidupan pada masa yang akan datang, baik

dalam lapangan pekerjaan maupun dalam mengembangkan wawasan

ilmu pengetahuan itu sendiri. Mau tidak mau, beliau berpikir untuk

menjawab situasi yang akan datang itu, pendidikan untuk masyarakat

56 57Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

etnis Tamil harus siap membekali dan membenahi diri untuk

menjawab kebutuhan masa depan.

Sekolah-sekolah yang didirikan dalam tingkat Sekolah Dasar

yang dalam bahasa Tamil disebut 'Padasalai'. Pada tahap awal,

sekolah-sekolah itu berdiri berdampingan atau terletak di halaman

kuil Sri Mariamman, baik yang ada di kota Medan maupun yang di

kota Binjai.

Dalam menopang aktivitas pendidikan yang dirintis utuk

meningkatkan minat baca, wawasan dan pengetahuan masyarakat

etnis Tamil, perpustakaan merupakan sarana yang sangat penting.

Perpustakaan menyediakan berbagai informasi dan materi-materi

terkait kurikulum pendidikan maupun informasi pendukung

yang memperkaya wawasan para penggunanya. Oleh karena itu

penyelenggara sekolah juga mendorong warga sekolah untuk

memanfaatkan fasilitas tersebut, supaya kemahiran membaca makin

meningkat yang selanjutnya dapat memupuk rasa ingin tahu yang

dapat mengembangkan daya nalar dan tingkat intelektualitas warga

sekolah.

D. Kumarasamy berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi

kebutuhan akan sarana-prasarana pendidika formal berupa sekolah-

sekolah atau Padasasalai di pusat-pusat komunitas masyarakat etnis

Tamil.

Pada tahun 1935, telah berdiri Padasalai I yang terletak Achurweq

(jalan Iskandar Muda sekarang). Kemudian pada tahun 1937, berdiri

pula Padasalai lainnya di daerah-daerah pemukiman etnis Tamil

yang ada di kota Medan, di antaranya Padasalai di jalan Yuliana Straat

(jalan Asia sekarang). Padasalai di jalan Colombo dan Padasalai di

kawasan Kampung Sukaraja Medan (dekat Istana Sultan Maimoon).

Para guru atau tenaga pengajar Padasalai-padasalai ini diangkat

dari mereka yang telah mengenyam pendidikan. Para guru dan

penyelenggara sekolah yang diangkat pada umumnya memiliki

solidaritas sosial yang tinggi dan mereka bekerja bukan karena

mengharap honor atau materi. Oleh karena itu para siswa dari keluarga

yang kurang mampu dibebaskan dari kewajiban membayar uang

sekolah. Para guru yang pendapatannya berkecukupan dari sektor

yang lain, mereka ihlas tidak menerima gaji atau honor mengajar. D.

Kumarasamy sendiri selalu terjun mengajar di sekolah-sekolah itu

tanpa imbalan.

D. Kumarasamy juga berusaha mencari jalan keluar bagi warga

etnis Tamil yang telah dewasa namun belum dapat menulis dan

membaca aksara Tamil. Mengingat tingkat usia dan kesibukan mereka

tentu tidak mungkin bagi mereka untuk sekolah. Untuk mengatasi hal

hambatan itu D. Kumarasamy menerbitkan sebuah buku yang berisi

bagaimana metode belajar bahasa Tamil baik menurut aksara Tamil

maupun Latin. Buku tersebut berjudul Romanais Tamil diterbitkan

pada tahun 1937.

Kegiatan penting yang dirintis D. Kumarasamy dalaDi samping

itu, masih dalam kaitan bidang pendidikan melalui Deli Hindu Shaba

pada tahun 1937 membentuk “Indian Boys Scout” atau pramuka yang

kita kenal sekarang. Melalui wadah pramuka ini D.Kumarasamy

ingin mengajak para remaja bangsa India termasuk etnis Tamil agar

dapat lebih akrab dan terampil di tengah masyarakat. Beliau juga ikut

sebagai pembina Pramuka.

Dalam kegiatan kepramukaan itu sangat banyak unsur pendidikan

yang dapat ditanamkan kepada para pesertanya. Antara lain adalah:

disiplin, keterampilan, penanaman nilai-nilai kemanusiaan, dan yang

paling penting adalah rasa kepercayaan diri. Yang lebih mengasyikkan

bagi para remaja dalam mengikuti kegiatan pramuka itu adalah semua

pelajaran dalam latihan diperoleh lebih banyak melalui kegiatan yang

58 59Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

bersifat permainan, maka menjadi anggota Indian Boys Scout benar-

benar menjadi dambaan dan kebanggaan para remaja.

Bagi D. Kumarasamy kelompok usia remaja dan Pemuda

merupakan kelompok usia yang sangat penting untuk dibina ,

karena merekalah yang paling menentukan masa depan masyarakat.

Bagaimana memberi arahan sesuai dengan potensi mereka

merupakan sesuai yang sangat penting. Oleh karena itulah di dalam

aktivitas di bidang kepemudaan D. Kumarasamy menyiapkan

berbagai pendekatan dan variasi kegiatan. Selain itu berbagai sarana

penunjangn diupayakan terseida dengan menggalang dukungan

dari kalangan masyarakat yang mampu. Semua itu dilakukan untuk

menyiapkan kader intelektual dan pemimpin masa depan, khususnya

dari kelompok masyarakat terdekatnya.

Pada tahun 1933, D. Kumarasamy mengadakan perombakan

tradisi berkenaan dengan kedudukan seorang janda dalam

masyarakat etnis Tamil yang beragama Hindu. Dalam tradisi Hindu

yang berlangsung selama ini, seorang istri atau janda yang ditinggal

mati suaminya, tidak dibenarkan untuk mengikat tali perkawinan

yang baru secara resmi. Dengan kata lainnya, wanita janda itu tidak

berhak meresmikan perkawinan dengan pria lain. Bila mereka

masih ingin melakukannya, pernikahan kedua itu hanya diikat oleh

“perjanjian di bawah tangan” antara mereka berdua tanpa ikatan-

ikatan lainnya. Dalam ikatan pernikahan seperti ini posisi wanita

menjadi lemah, karena suaminya yang baru dapat saja melepaskan

atau menceraikannya lagi tanpa adanya sanksi-sanksi atau tanggung

jawab lainnya. Agar hal ini tidak terjadi lagi dan martabat wanita tetap

terjaga dan dihormati, maka D. Kumarasamy mengubah tradisi itu.

Secara resmi ia membolehkan seorang janda menikah lagi dengan

pria lainnya melalui upacara yang resmi.

Di samping memperbaharui status perkawinan janda. D.

Kumarasamy juga mengadakan pembenahan dalam bidang

keagamaan lainnya. Ia mengupayakan agar upacara perkawinan dapat

terselenggara lebih praktis dan efektif. Dari segi praktisnya, Anna tidak

ingin suatu keluarga atau pihak yang menyelenggarakan perkawinan

memaksa diri sampai harus berhutang agar pesta perkawinan terlihat

meriah dan mewah. Menurutnya, hal yang paling penting dalam

sebuah upacara pernikahan adalah bagaimana agar kedua pengantin

yang baru diikat dengan tali perkawinan, dapat membina rumah

tangganya dengan langgeng dan dapat melanjutkan kehidupan secara

lebih baik. Apalah artinya kemeriahan dalam suatu pesta perkawinan

bila sesudahnya kelurga penyelegara akan ditimpa beban menanggung

hutang. D. Kumarasamy bahkan bertindak sebagai pendeta untuk

melaksanakan upacara perkawinan M Siniwasen yang dilaksanakan

secara modern.

Kalau pada waktu sebelumnya, setiap penyumbang dana di

dalam perkawinan harus diumumkan nama dan jumlah dana yang

disumbangkan di depan umum, maka hal itu pun dihapuskan oleh

D. Kumarasamy. Menurut D. Kumarasamy cara tersebut tidak saja

merangsang jumlah sumbangan bagi mereka yang berkemampuan

tetapi sebaliknya dapat menjatuhkan harga diri mereka yang kurang

mampu untuk memberikan sumbangan yang lebih. D. Kumarasamy

mengharapkan agar bentuk sumbangan-sumbangan itu dapat

direalisasikan secara lebih spontan dan ikhlas, tanpa didorong oleh

oleh pamrih membangun pecitraan sebagai orang yang berberharta.

Demikian pula dalam penyelenggaraan upacara perkawinan baik

yang bersifat ritual dan tradisional. D. Kumarasamy menekankan

agar setiap ritual upacara perkawinan hendaknya tidak dilaksanakan

sekedar sebagai rutinitas, tanpa menghayati makna yang terkandung

dalam upacara tersebut. Sebuah perkawinan bukan hanya harus

dibekali doa-doa seorang pendeta. Akan tetapi tentu akan lebih baik

bila para pendeta atau yang memimpin ritual tersebut menjelaskan

kepada pengantin dan pengunjung lainnya, apa arti sebuah perkawinan,

bagaimana agar dapat membangun keluarga, dan tujuan kehidupan

melalui sebuah perkawinan. Dalam upacara yang tradisional, masalah

ini hanya mengendap dalam bentuk simbol-simbol. Karena hanya

disikapi sebagai rutinitas itu, mereka yang terlibat di dalamnya tidak

menyadari apa arti simbol yang ada. Bagi D. Kumarasamy, simbol-

simbol itu perlu dijelaskan maknanya walaupun harus mengubah

pola tradisioal yang berlaku.

D. Kumarasamy juga melihat bahwa di dalam upacara kematian

pun banyak hal yang sesungguhnya tidak praktis. Misalnya ketika

mengantarkan mayat ke tempat kremasi. Sudah menjadi tradisi ketika

itu, mayat diusung beramai-ramai dengan berjalan kaki walaupun

harus menempuh jarak yang jauh. Melalui mandat dan kelembagaan

yang dipimpinnya, ia memberikan cara yang lebih praktis, yaitu

membuat kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Kereta mayat itu

60 61Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

dibuat sedemikian rupa dengan ukiran-ukiran ornamen Hindu dan

di atasnya diberi penutup sehingga terlihat lebih mengesankan. Di

sisi kiri dan kanannya terpasang lingkaran roda yang memudahkan

kuda untuk menghelanya. Para pengantar berjalan dengan mudah di

belakang kereta tersebut. Kereta itu menjadi barang inventaris Deli

Hindu Shaba dan dapat dipakai oleh siapa saja yang memerlukannya.

Upacara-upacara lainnya seperti kenduri untuk mendoakan arwah

orang yang telah meniggal juga disederhanakan oleh D. Kumarasamy.

Bagi pihak keluarga yang meyelenggarakan acara, dianjurkan untuk

tidak melakukannya secara berlebih-lebihan atau berulang-ulang

sehingga terlihat bagai memaksakan diri dan mengeluarkan terlalu

banyak biaya.

Bagi mereka yang selama ini merasa mapan dengan kehidupan

tradisi yang lama, apa yang dilakukan oleh D. Kumarasamy

merupakan sesuatu yang tidak mudah diterima. Apalagi bagi mereka

yang berpandanagan bahwa tradisi sudah merupakan bagian tatanan

kehidupan yang disakralkan, maka perombakan tradisi dianggap

dapat menimbulkan konflik. Namun bagi mereka yang telah berhasil

mengembangkan intelektualnya akan semakin mampu mengambil

jarak dan berfikir rasional atas pelaksanaan tradisi tersebut. Bersama

perkembangan intelektualnya itu wawasan kehidupannya juga

bertambah luas dan peka terhadap hal-hal yang lebih esensial yang

lebih penting dari pada yang bersifat instrumental. Oleh karena itu,

sesuai dengan proses perkembangan intelektual etnis Tamil yang ada,

gagasan-gagasan D. Kumarasamy semakin mudah diterima di tengah

masyarakat. Misi dan gagasan D. Kumarasamy terus berjalan melalui

langkah-langkah pembaharuan yang ditempuhnya.

Untuk menopang sarana pendidikan yang telah dibangunnya,

pada tahun 1934, D. Kumarasamy mendirikan perpustakaan di kantor

Deli Hindu Shaba. Buku-buku yang ada di perpustakaan itu bukan

hanya yang bersifat keagamaan tetapi juga yang bersifat pengetahuan

umum lainnya, baik yang ditulis dalam bahasa Tamil maupun Inggris.

Perpustakaan itu diharapkan dapat dimanfaatkan bukan hanya bagi

mereka yang sedang melakukan pendidikan formal tetapi juga bagi

mereka yang mau belajar sendiri (autodidak).

Sejalan dengan perkembangan minat membaca dari masyarakat

etnis Tamil yang ada, D. Kumarasamy mulai aktif melakukan

koresponden ke lembaga-lembaga yang ada terutama dari kawasan

62 63Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

Semenanjung Malaya (Malaysia) dan India agar dapat memperoleh

sumbangan buku-buku. Sebagai seorang kerani di perusahaan asing

Harrison Medan yang bergaji lumayan baik, ia pun tak segan-segan

membeli buku dan menyumbangkannya ke perpustakaan. Bahkan

untuk memperkaya khasanah bacaan di perpustakaan itu ia juga

menerbitkan buletin dan buku-buku karyanya sendiri.

Di antara buku-buku dan buletin yang ditulisnya dan yang

diterbitkan pada tahun 1936 adalah berjudul Walkai Wilakam

(pedoman hidup) yang ditulis dalam bahasa Tamil. Melalui buku

tersebut D. Kumarasamy ingin menyampaikan betapa kosongnya

kehidupan seseorang bila tidak diiringi falsafah kehidupan.

Kehadiran seseorang di dalam hidup harus diberi arti agar orang lain

atau makhluk lainnya dapat merasakan manfaat kehadiranya dalam

kehidupan. Untuk itu D. Kumarasamy juga mengajarkan bagaimana

seseorang berprilaku agar sesuai dengan pedoman hidupan. Hidup

dan kehidupan adalah sebuah proses reinkarnasi untuk menuju

tempat yang abadi.

Masih pada tahun 1936, D. Kumarasamy juga menerbitkan buku

yang ditulisnya dengan judul “Di kaki Guru Sejati (Guru Upadhesam)”

dalam bahasa Tamil. Dalam bukunya ini D. Kumarasamy juga

menyampaikan, betapa sesungguhnya setiap orang membutuhkan

seorang pembimbing dalam proses kehidupannya. Betapa pun pandai

dan brilliannya seseorang, ia tak mampu mencari sendiri tanpa melalui

pembimbing pengalaman. Guru sejati ada di dalam pengalaman, baik

pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Untuk menjadi

seorang guru, seseorang bukan hanya dituntut mampu memberikan

wejangan, yang paling penting pada diri seorang guru ia harus mampu

memberikan keteladanan melalui prilaku kehidupannya sehari-hari.

'Di kaki guru yang sejati' inilah para murid dan pengikutnya patut

bersimpuh.

Agar seseorang di dalam kehidupan tidak terjebak pada hal yang

sia-sia, maka seseorang harus melakukan pantangan-pantangan yang

akan menjagai jiwa dan raganya. Di antara pantangan yang sangat

fatal itu adalah alkohol. Oleh karena itu lembaga yang dibinanya

juga menerbitkan buku yang berjudul Madhubana Wilakam

(Pemberantasan alkohol) pada tahun1936 dalam bahasa Tamil.

Dalam buku ini secara mendetail D. Kumarasamy mengupas

bagaimana zat yang ada dalam alkohol atau minuman-minuman

keras lainnya yang mengalir ke dalam pembuluh-pembuluh darah

mempengaruhi kerja syaraf. Jaringan syaraf yang terpengaruh alkohol

membuat si pelaku kurang dapat menguasai diri, berbuat apa saja tanpa

rasa takut dan malu. Orang yang mabuk akibat minum-minuman

keras mudah tersulut emosi untuk berkelahi dan melakukan tindakan

kriminal lainnya. Hal ini tentu saja akan mendatangkan petaka, tidak

saja terhadap dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Diuraikan

pula dalam buku tersebut bagaimana alkohol yang diminum terus-

menerus selain merusak mental, juga akan menggerogoti fisik si

peminum. Kerusakan fisik akibat mengkonsumsi alkohol dapat berupa

kelemahan pada jaringan syaraf, organ lambung serta organ hati yang

membengkak dan dapat pula terjadi peradangan. Dapat disimpulkan

bahwa akibat memimum alkohol, tidak saja akan membunuh si

peminumnya sendiri tetapi juga membuat petaka di tengah keluarga

dan lingkungannya.

Masih pada tahun 1937, D.Kumarasamy mendirikan perkumpulan

olahraga dalam wadah Deli Hindu Shaba. Cabang olahraga yang

dibinanya lebih banyak bersifat permainan yang dilakukan secara

berkelompok. Di antara perkumpulan olah raga yang paling menojol

“Tamilian Hockey Team”.22 Masih banyak cabang-cabang olahraga

lainnya yang dibentuk oleh D. Kumarasamy sebagai bahagian dari

kegiatan Deli Hindu Shaba. Melalui perkumpulan-perkumpulan

olahraga tersebut D. Kumarasamy telah berhasil membina rasa

persatuan dan kesatuan etnis Tamil di tengah-tengah kelompok

masyarakat lainnya yang ada di kota Medan.

Banyak lagi bentuk kegiatan yang dibuat D. Kumarasamy selama

ia menjadi pemimpin Deli Hindu Shaba. Selain kegiata yang bertujuan

membagun mentalitas, manusia juga membutuhkan penguatan

dalam hal material untuk bekasl kehidupannya. Kedua aspek itu harus

berjalan seiring, tetapi keberhasilan harus didahului oleh persiapan

mental.

Di bidang sosial dan ekonomi ia juga berupaya melakukan

berbagai terubosan. Salah satu bentuk upaya yang dilakukannya

adalah pada tahun 1937 ia mendirikan Serikat Koperasi dan Serikat

Tolong Menolong pada tahun yang sama. Bentuk koperasi itu

22 Sampai tahun 1997 Group Hockey Sumatera Utara, masih didominasi oleh pemain-pemain yang berasal dari etnis Tamil.

64 65Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

merupakan salah satu upaya menghimpun dana yang ada pada

angotanya untuk dikembangkan secara bersama-sama agar dapat

bersaing di tengah pasar bebas perdagangan saat itu. Secara pribadi-

pribadi pada umumnya masyarakat etnis tamil belum mampu untuk

bersaing secara bebas dalam perdagangan. Satu-satunya cara untuk

mengawali kepemilikan etnis Tamil adalah secara koperasi.

Dari keuntungan dana koperasi yang terkumpul ini kemudian

disalurkan atau dikembangkan lagi melalui Serikat Tolong Menolong

(STM). Kegiatan STM ini bukan hanya untuk memberikan pertolongan

bagi mereka yang mendapat musibah, tetapi juga dapat diberikan

kepada mereka yang memerlukan modal usaha. Inilah satu bentuk

kegiatan ekonomi dan sosial yang sangat strategis yang dilakukan D.

Kumarasamy untuk mengangkat kehidupan masyarakat etnis Tamil

yang ada di kota Medan dan sekitarnya.

Lembaga Deli Hindu Shaba yang dipimpin oleh D. Kumarasamy

sejak tahun 1931 memang berdasarkan keagamaan Hindu. Akan

tetapi di sepak terjangnya telah melampaui batasan satu kelompok

saja. Ia sangat memperhatikan kehidupan masyarakat etnis Tamil

dan juga etnis dari India lainnya, baik yang beragama Hindu maupun

Indian Boys Scout tahun 1957 di Medan

Buddha. Rupanya D. Kumarasamay selalu lebih memperhatikan

kelompok yang hidupnya lebih susah dari yang lain, khsususnya di

kalangan etnis Tamil. D. Kumarasamy tidak membedakan antara

mereka yang beragama Hindu dan Budha. Yang terpenting baginya

adalah bagaimana kelompok yang sengsara ini dapat terangkat taraf

kehidupannya menjadi lebih baik. Mereka tidak selamanya menjadi

objek dalam kehidupan ini, tetapi mereka juga harus menjadi subjek

di dalam mengharungi kehidupannya.

Perhatian D. Kumarasamy pun tercurah pada mereka yang

beragama Budha. Oleh katena itu kelompok etnis Tamil yang

beragama Budha juga merasakan arti keberadaanya. Mereka selalu

mendapat bimbingan-bimbingan. Mereka yang datang kepada D.

Kumarasamy, atau sebaliknya D. Kumarasamy sendiri menemui

mereka. Perhatiannya yang besar terhadap masyarakat etnis Tamil

lebih banyak disebabkan karena kelompok inilah yang sangat

menderita dan membutuhkannya.

D. Kumarasamy yang sejak awal dididik dalam Hinduisme, dalam

proses pencarian tentang makna kehidupan dan kebenaran hakiki,

telah bertemu dengan Theosophisme yang di dalamnya membicarakan

hakikat keagamaan tanpa dibatasi oleh atribut dan simbol-simbol

agama. Nalar Theosophynya telah menuntunnya menembus sekat-

sekat pengelompokan keagamaan, demikian pula pengabdiannya.

Masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan kota Medan dan

sekitarnya benar-benar merasakan arti kehadiran D. Kumarasamy.

Ia telah memberikan inspirasi dan semangat bagi mereka dengan

berbagai cara dan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu pada

tahun 1938, masyarakat etnis Tamil pada umumnya yang ada di

kawasan ini telah memberikan penghargaan kepada D. Kumarasamy

dalam suatu upacara yang khusus. Upacara itu dilakukan di kantor

Deli Hindu Shaba yang ketika itu beralamat di jalan Darat Medan.

Inisiatif pemberian penghargaan itu bukan saja berasal dari

kelompok pemudanya, tetapi juga dari tokoh-tokoh kaum tuanya

dengan penuh kesadaran, karena mereka benar-benar melihat dan

merasakan hasil yang telah dibuat D. Kumarasamy selama ini. Setelah

dilakukan berbagai bentuk acara yang bersifat protokoler, mereka

melanjutkan acara dengan foto bersama tokoh-tokoh yang hadir

untuk mengabadikan peristiwa itu. Ini salah satu puncak kenangan

bagi mereka yang memuliakan D. Kumarasamy di tengah-tengah

66 67Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

kehidupan mereka.

Apa yang dilakukan D. Kumarasamy sejak ia menerima

penghargaan itu? Kalaupun ia merasa puas bukanlah berarti karena

merasa telah banyak berbuat atau merasa telah berhasil. Akan tetapi

ia merasa puas karena telah berhasil membuka mata hati dan pikiran

masyarakat etnis Tamil sehingga mereka merespon perjuangannya.

Sebaliknya D. Kumarasamy sendiri berpikir bahwa apa yang telah

diperbuatnya hingga hari itu merupakan tahap awal dari perjuangan

dan pengabdiannya. Ia yang selalu dipanggil Anna merasa akan

menghadapi tantangan yang lebih besar dengan adanya penghargaan

itu. Baginya penghargaan adalah suatu kepercayaan yang diberikan

tidak lain merupakan amanah yang harus dipikulnya.

Pada saat itu D. Kumarasamy telah berusia 32 tahun, dan sebagai

seorang kepala keluarga di rumah tangganya ia telah mempunyai dua

orang anak, seorang putri yang bernama Sakuntala, dan seorang putra

yang bernama Nyana Perkas.

Di tengah-tengah keluarganya, ia harus bertanggung jawab,

tidak saja sebagai seorang suami, tetapi juga sebagai seorang ayah.

Di samping itu, sebagai seorang pemimpin di tengah kelompoknya

ia juga harus bertanggung jawab. Tanggung jawab itu bukan saja

membutuhkan kekuatan semangat dalam dirinya, tetapi juga

membutuhkan dukungan dari lingkungannya.

Lingkungannya yang terdekat adalah keluarga dan seorang istrilah

yang berperan untuk mendampinginya dalam keluh dan kesah maupun

dalam suka dan duka. Dorongan seorang istri terhadap suami bukanlah

berarti ia harus mampu memberikan ide dan gagasan bagi suaminya,

akan tetapi tidak kalah pentingnya adalah memberikan peluang dan

kenyamanan pada suami untuk dapat mewujudkan gagasan-gagasan

yang cemerlang. Seorang suami sangatlah membutuhkan respon dari

istri agar ia dapat lebih bersemangat untuk berbuat.

Resiko sebagai seorang pemimpin di tengah kelompoknya,

Anna bukan saja sebagai 'milik' keluarga, tetapi ia juga sebagai milik

masyarakat yang dipimpinnya. Terlebih-lebih bila Anna menjadi

pimpinan organisasi yang bersifat sosial, harus bersedia memberikan

pengorbanan. Pengorbanan itu bukan saja dari dirinya sendiri, tetapi

juga dari keluarganya baik yang bersifat material maupun moril. Hal

inilah yang tampakya kurang disadari oleh istri D. Kumarasamy dalam

kehidupannya sebagai istri.

A U M

Yth. ANNA D. Kumarasamy

Ketua Deli Hindu Sabha (D.H.S) Medan

“Berkah Tuhan, berlimpah di mana–mana. Pada HUT

ke XXV D.H.S. ini, kami persembahkan piagam penghargaan,

atas nama anggota–anggota & pengurus-pengurus Anna yang

mulia serta berbudi luhur, takwa kepada Tuhan yang maha

esa, cinta kasih, berbudi pekerti, rendah hati, kasih sayang,

sopan santun, toleransi, persaudaraan, tuturan kata–kata

yang lembut, sifat–sifat terbaik ini membuktikan di kalbu anda

dalam usia muda ini. Teristimewa kami dan Ibu/Bapak anda,

serta masyarakat Tamil yang berdomisili di Sumatra dan di

Indonesia pada umumnya merasa bangga atas prestasi anda.

“TAMPILLAH DENGAN WAJAH KEBIJAKSANAAN”

Demikianlah berkah yang anda peroleh, sesuai dengan

sabda Waluvur (seorang rohaniawan) “wahai putra idaman,

dimuliakan para cendikiawan, sangguplah kamu berkarya di

manapun”.

Anda lahir di negara Indonesia ini, umpama pepatah

“hasil panen dinilai dari daya tumbuh bibitnya,” kecerdasan,

penampilan, kewibawaan, tindak tanduk, kesederhanaan

menjadi contoh tauladan bagi siswa siswi dalam masyarakat.

Anda berpendidikan dan menguasai bahasa Inggris dan juga

bahasa Tamil dengan penuh keindahan dan mendidik pada

yang membutuhkan serta menjiwai kesenian dan sebagainya

adalah suatu anugrah dari Tuhan Yang Esa untuk anda, wahai

putra idaman. Demikianlah para cendikiawan menilai anda.

Di mana aktivitas Deli Hindu Sabha Medan hampir–hampir

tidak ada lagi di tahun 1933, di saat itu Anda tampil sebagai

pemimpin. Ibarat cahaya pelita kegelapan, membangkitkan

semangat baru sejak saat itu sampai hari ini. Dengan luapan

kasih sayang kami pada Mu, sebagai ketua, atas kepemimpinan

serta karya bakti anda kami persembahkan pengharggan/

68 69Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

Sebagai manusia biasa Anemal mempunyai kelebihan dan

kekurangannya. Ia telah memberikan segala yang dapat diberikannya

kepada suaminya. Namun ia bukanlah seorang dewi yang dapat

memberikan apa yang dibutuhkan oleh D. Kumarasamy terutama

penghormatan kami.

“PEMBINA CERDAS TAK KENAL LELAH”

Demi kehidupan dan kejayaan kebudayaan kita, berbagai

aktivitas diterapkan, seperti kelompok-kelompok sandiwara

(drama) dan kesenian dan kebathinan untuk mendalami

Dharma. Juga untuk kemajuan kaum wanita, persatuan

wanita diorganisir dan lain sebagainya, tanpa mengenal lelah,

sesuai dengan makna puisi tersebut, di atas. Anda bekerja

keras serta menghidupi SILA DHARMA dan demi kepentingan

masyarakat dengan menyampingkan kepentingan pribadi,

orang yang demikian dimuliakan di kalangan masyarakat,

ibarat pepatah Barathiyar ”jangan gentar walau dilanda

kesulitan dan penghinaan”.

Anda telah menjayakan Deli Hindu Sabha sesuai dengan

keinginan masyarakat dan mencetuskan suasana HUT ke

XXV D.H.S. Seperti pepatah tersebut di atas, kami hanya dapat

mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk menghidupi

pedoman–pedoman yang anda berikan.

”Pembina Yang Kami Kasihi“

Dengan luapan cinta kasih terhadap anda, lukisan anda

kami rias di tengah–tengah ruangan ini.

“Saudara yang diliputi kasih bahagia”

Sambil memanjatkan DOA ke hadirat Tuhan Yang Maha

Esa, agar anda panjang umur, sehat wal afiat dan dilimpahkan

segala kebahagiaan. Demikianlah salam cinta kasih kami,

wakil-wakil masyarakat D.H.S. Medan.

Medan,15 April 1938

dalam peranan suami itu sebagai pimpinan dalam masyarakat.

Sebagai seorang suami, D. Kumarasamy sendiri bukan tipe

seorang yang senang mencari-cari kelemahan istrinya. Namun sebagai

seorang tokoh pemimpin ia membutuhkan seorang pendamping

hidup yang lain agar dapat menjalankan misi kehudupannya. Oleh

karena itulah pada tahun 1938 Anna menikah lagi dengan seorang

wanita yang berasal dari keturunan India Utara. Wanita itu bernama

Pramesywari yang berasal dari keluarga pedagang dan beragama

Hindu. Sebagai keluarga pedagang mereka pernah tinggal di Calcutta

kemudian akhirnya menetap di semenanjung Malaya (Malaysia).

Sejak menikah dengan D. Kumarasamy ia pindah dan menetap di

kota Medan. Sebagai istri, Pramesywari bukanlah seorang dewi, tetapi

telah dapat mengisi apa yang dibutuhkan oleh D. Kumarasamy sebagai

suaminya dan sebagai tokoh pimpinan masyarakat. Dengan kata lain,

kehadiran Pramesywari sebagai istri D. Kumarasamy yang kedua,

telah melengkapi pendamping D. Kumarasamy di dalam aktivitasnya.

Sejak menjadi seorang suami dari dua orang wanita yang menjadi

istrinya, D. Kumarasamy tetap berupaya menjadi seorang ayah atau

suami yang bertanggung jawab, baik secara moral maupun material.

Ia tetap berupaya menjadi seorang kepala keluarga dan pimpinan

yang adil dan bijaksana di tengah keluarganya.

Memang, apa yang dilakukan oleh D. Kumarasamy dengan

beristri dua (poligami), masih merupakan suatu kejanggalan dalam

tradisi Tamil maupun Hindu. Akibatnya terjadi sikap pro dan

kontra di kalangan kelompok masyarakatnya. Akan tetapi hal itu

tidak ditanggapi oleh D. Kumarasamy dan ia tidak mau bersikap

konfrontatif dan tidak juga membela diri. Bagi D.Kumarasamy yang

perlu adalah bagaimana caranya agar ia tetap menjaga keutuhan

keluarga dan rumah tangganya. Sebagai seorang ayah dan suami di

tengah keluarganya ia akan membuktikan peranan dan eksistensinya

tetap utuh. Demikian pula dalam melaksanakan perjuangan di tengah

masyarakatnya.

Dari istri yang kedua, D. Kumarasamy memperoleh tiga orang

anak. Yang pertama seorang putri bernama Indra Kunari, yang kedua,

seorang putra yang diberi nama Kartigas dan yang ketiga seorang

putra yang dinamakannya Mohandas. Namun Kartigas usianya tidak

panjang, pada usia 13 tahun ia meninggal. Sejak itu D. Kumarasamy

menjadi ayah dari empat orang anak dari dua orang istri. Ia tetap

70 71Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

menjaga keseimbangan dan memperhatikan perkembangan anak-

anaknya.

Bagaimanakah D. Kumarasamy menjaga keseimbangan untuk

menjadi seorang suami dari dua orang istrinya yang berlainan tempat

tinggal? Inilah hal yang paling sensetif dan menimbulkan sikap skeptis

sebagian orang. Ternyata hal itu dapat di atasi oleh D. Kumarasamy

sebagai seorang tokoh pemimpin. Hal yang patut mendapat

penghargaan adalah sikap dari kedua istrinya yang penuh kesabaran

menerima kenyataan itu. Mereka berdua tetap menunjukkan sikap

dan rasa hormat antara sesamanya dan membuang rasa kecemburuan

yang selalu menggoda. Saling menghargai adalah salah satu kunci

menumbuhkan sikap hormat. Inilah yang dilakukan oleh kedua istri

D. Kumarasamy. Dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu saling

kunjung-mengunjungi, bahkan mereka saling memperlakukan anak-

anak tirinya sebagai anak-anak kandung mereka sendiri.

Hubungan yang harmonis itu tercermin dari sikap anak-anak

mereka yang cukup manja terhadap ibu tirinya masing-masing.

Adakalanya salah seorang anak mereka bertingkah meminta dinina

bobokan oleh ibu tirinya atau di lain kesempatan salah seorang di

antara mereka hanya mau makan di rumah ibu tirinya bahkan sampai

minta disuapi. Inilah yang terjadi di kehidupan rumah tangga D.

Kumarasamy23. Kenyataan itu telah menutup peluang timbulnya sikap

skeptis dari sebagian di antara komunitas etnis Tamil yang sebelumnya

tidak setuju dengan perkawinan D. Kumarasamy yang kedua.

Yang lebih menarik lagi adalah, sikap mertua D. Kumarasamy

dari isteri yang pertama, yang tidak pernah menunjukkan sikap yang

apriori. Karena itu kharisma D. Kumarasamy sebagai tokoh pemimpin

di tengah kelompok masyarakat masih tetap eksis. D. Kumarasamy

terus melanjutkan perjuangannya terutama dalam upaya membangun

kehidupan etnis Tamil.

Pengembangan kepribadian haruslah mencakup fisik dan mental.

Salah satu bentuk cara dalam upaya tersebut, sejak tahun 1938 D.

Kumarasamy menjadi seorang vegetarian atau orang yang berpantang,

tidak memakan makanan yang berasal dari hewan-hewan yang

berdarah. Sikap ini lebih banyak didorong oleh kesadaran dan rasa

23 Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap anak-anak istri pertama dan kedua.

belas kasihan terhadap mahkluk lainnya, demi keseimbangan tatanan

kehidupan (ekosistem).

Dari sudut pandangan keseimbangan tubuh, penganut vegetarian

menyadari bahwa inti dari zat yang dibutuhkan oleh tubuh berasal

dari sari tanah yang disalurkan melalui tumbuh-tumbuhan. Oleh

karena itu dengan mengkonsumsi makanan dari tumbuh-tumbuhan

saja, kebutuhan tubuh sudah terpenuhi. Selain itu zat-zat dalam

makanan yang berasal dari tumbuhan akan bersifat lebih 'dingin'

dibandingakan dengan makanan yang berasal dari daging atau darah.

Sifat zat makanan yang seperti itu secara tidak langsung berpengaruh

pada mental dan watak orang yang mengkonsumsinya. Inilah satu

alasan mengapa D. Kumarasamy menjadi vegetarian.

Sampai tahun 1940, D. Kumarasamy masih terus memimpim

Deli Hindu Shaba. Ia terus berupaya mencari metode-metode baru

dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan karakter kelompok

masyarakatnya. Salah satu bentuk gagasannya ialah pada tahun itu

atas nama lembaga Deli Hindu Shaba ia menerbitkan buletin bulanan

dalam bahasa Tamil yang berjudul “Thinegaren” yang artinya "Matahari

Terbit” atau Fajar. Melalui penerbitan berkala ini ia ingin menambah

minat baca dan menambah wawasan pengetahuan kelompok

masyarakatnya. Dalam buletin juga dilegkapi berita kejadian-kejadian

penting. Ia sangat mengharapkan agar para pembacanya secara

perlahan-lahan cukup peduli dengan masalah-masalah yang aktual

dan yang terjadi disekelilingnya.

Kemana pun ia pergi, buletin Thinagaren selalu dibawanya. Bila ia

bertemu dengan seorang Tamil baik yang sudah atau baru dikenalnya,

ia selalu bertanya, “Apakah anda pandai membaca?”. Kalau pertanyaan

itu mendapatkan jawaban ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah,

“Apakah anda sudah baca buletin Thinagaren ini?” katanya sambil

menyodorkan buletin tersebut. Dan kalau perlu ia meminjamkan

buletin itu kepada rekan yang baru dikenalnya itu untuk beberapa

hari. Ketika buletin itu sudah dibaca dan dikembalikan kepadanya,

ia selalu berdiskusi. Masalah yang didiskusikan adalah masalah isi

buletin itu sendiri. Begitulah satu metode D. Kumarasamy dalam

upaya memasyarakatkan buletin Thinagaren dan sekaligus sebagai

upaya membina kelompoknya24.

24 Dialog ini berasal dari hasil wawancara peneliti dengan seorang nara sumber yang bernama Taoweslinggam yang tinggal di Jl. Gaharu, wawancara pada tanggal 5 Juli 1997.

73Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)72 Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha

Penerbitan buletin Thinagaran terus berlanjut secara berkala

hingga tahun 1941. Namun ketika pasukan Militer Jepang pada bulan

Maret tahun 1941 memasuki kawasan Sumatera Timur termasuk

kota Medan, terjadi perubahan yang sangat drastis. Perubahan yang

terjadi bukanlah sekedar di bidang kekuasaan politik di Indonesia

pada umumnya. Akan terus berakibat secara drastis dalam aspek-

aspek kehidupan lainnya seperti di bidang ekonomi, sosial, budaya,

pendidikan, dan lain-lain. Perubaha ini jelas telah meghambat upaya-

upaya yang dilakuka oleh D. Kumarasamy dalam memperjuagkan

perubahan dalam masyarakat etnis Tamil di Sumatera.

Dalam tempo yang relatif singkat, Tentara Pendudukan

Jepang telah menguasai sebagian besar kawasan Indonesia. Tanpa

perlawanan yang berarti, Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan

kekuasaannya kepada Tentara Pendudukan Jepang. Dengan

demikian kawasan Sumatera Timur, termasuk kota Medan di mana

D. Kumarasamy melakukan aktivitas kehidupannya selama ini, jatuh

dalam penguasaan Tentara Jepang.

Pada mulanya, sebagian masyarakat yang ada di Indonesia,

berharap kedatangan Tentara Pendudukan Jepang akan melepaskan

Indonesia dari belenggu penjajahan. Memang ada benarnya, sejak itu

bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa Belanda. Namun

yang terjadi hanyalah peralihan kekuasaan dari Pemerintah Hindia-

Belanda kepada Tentara Pendudukan Jepang. Bangsa Indonesia tetap

menjadi objek jajahan. Dan lebih tragis lagi, sistem pemerintahan

yang sebelumnya bercorak pemerintahan sipil bertukar kepada

pemerintahan yang militeristik oleh Tentara Jepang. Meski sesama

bangsa-bangsa Asia ternyata tidak dapat memuluskan harapan untuk

kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Corak pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara

Pendudukan Jepang di Indonesia telah memaksa bangsa Indonesia

menghadapi penderitaan yang lebih mengenaskan. Rakyat yaag sudaha

menderita dikerahka untuk diperas tenaganya untuk membangun

pertahanan pasukan Jepang dalam menghadapi pasukan Sekutu pada

Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta

Ashok Dharma Surya (1942-1956)

6

74 75Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

Perang Pasifik. Dalam pergaula internasional, masyarakat Indonesia

menjadi terisolir dari dunia luar terutama dari bangsa-bangsa Eropa.

Aktifitas perdagangan ekspor dan impor menjadi macet. Kawasan

Indonesia sebagai kawasan agraris, yang penghasilan utamanya

bersumber dari pertanian dan perkebunan mengalami stagnasi.

Bahkan hasil pertanian untuk kebutuhan dalam negeri pun telah

dialihkan untuk menopang perbekalan Tentara Pendudukan Jepang.

Hal ini tentunya makin melengkapi penderiataan bangsa Indonesia

pada umumnya.

Tanpa adanya kekuasaan politik yang mandiri dan ditambah

rusaknya aktivitas ekonomi masyarakat, seluruh aspek kehidupan

menjadi makin memprihatinkan. Demi mengokohkan kekuasaan,

Tentara Pendudukan Jepang juga bertindak sangat represif terhadap

perkembangan organisasi-organisasi sosial yang telah ada dalam

masyarakat Indonesia termasuk kepada lembaga pendidikan yang

ada. Sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan telah berubah menjadi

sarana Japanisasi. Walaupun secara formal lembaga-lembaga

pendidikan itu masih berjalan, namun tidak sesuai yang diharapkan.

Para pelajar dan pemuda diarahkan untuk lebih mengenal budaya

Jepang dan kegiatan-kegiatan kemiliteran.

Kondisi ini telah menggoyahkan seluruh sendi kehidupan

masyarakat. Tentara Pendudukan Jepang tidak perduli dengan nilai-

nilai dan tatanan kehidupan masyarakat yang dikuasainya. Semangat

militerisme yang ditanamkan dalam masyarakat yang dikuasai sebagai

upaya memenangkan peperangan telah menjadikan mereka bertindak

penuh kekerasan dan tidak manusiawi, demi mencapai tujuan.

Demikianlah yang terjadi di kawasan kota Medan dan daerah

sekitarnya, yang waktu itu disebut sebagai kawasan Residen Sumatera

Timur, kawasan yang sebelumnya dikenal memiliki perkebunan yang

terluas di Indonesia. Buruh-buruhnya secara langsung mengalami

penderitaan akibat dari kondisi yang terjadi pada masa pendudukan

Tentara Jepang.

Etnis Tamil sebagai salah satu etnis yang masih banyak

menggantungkan penghidupannya sebagai buruh perkebunan,

penderitaan yang mereka alami tentu lebih buruk. Demikian juga

mereka yang berada di kota Medan yang selama ini sebahagian

besar menggantungkan dirinya sebagai buruh-buruh pekerja di kota.

Kehidupan mereka yang berada di antara masyarakat bawah menjadi

lebih sulit menghadapi situasi pendudukan Tentara Jepang. Hampir

tak ada kegiatan yang dapat membeli jasa dan tenaga mereka.

D. Kumarasamy di makin merasa prihatin di tengah kelompok

etnis Tamil yang ada di kawasan kota Medan dan sekitarnya. Ia merasa

harus tetap berada di tenagh masyarakatnya dan harus melakukan

sesuatu dengan segala daya dan upaya yang memungkinkan ia dapat

melakukan sesuatu.

Pada usia yang ke-35 di tahun 1941, D.Kumarasamy telah

memiliki semangat tinggi dan memiliki banyak potensi untuk

melakukan berbagai hal. Akan tetapi, kenyataan hidup saat itu sangat

sulit, segalanya harus dipertimbangkan dengan rasional. Sikap otoriter

yang dilakukan Tentara Pendudukan Jepang, tak mungkin dihadapi

dengan perlawanan menggunakan kekerasan. “Biarkan kekerasan itu

akhirnya akan menjadi patah akibat dari kerasnya sendiri”, begitulah

pandangan D. Kumarasamy terhadap penguasa yang berkulit kuning

itu.

Pengalamannya dalam kajian Theosophy, telah mempertajam

nuraninya menentang penindasan yang dilakukan oleh sesama

manusia, apalagi penindasan yang didasari kepentingan politik

bangsa yang berbeda. Dalam pandangan Theosophy yang dikajinya

menekankan bahwa perbedaan agama tidak menjadikan orang

untuk saling bermusuhan. Setiap manusia harus dihormati dengan

segala perbedaan pandang dan keyakinannya. Yang penting adalah

bagaimana hidup seseorang dapat memberi sumbangan untuk berbuat

kebajikan antara sesama atau dengan alam sekitarnya.

Kehidupan D. Kumarasamy sendiri di masa Pemerintahan Jepang

ini menjadi cukup memprihatinkan. Perusahaan tempatnya bekerja

(Harrison & Crossfield Company) tak berdaya untuk memenuhi

kesejahteraan pegawainya. Pada waktu sebelumnya, D. Kumarasamy

masih dapat menyisakan gajinya untuk kegiatan-kegiatan sosial,

seperti untuk mendanai penerbitan brosur-brosur dan kegiatan-

kegiatan lainnya. Situasi sulit ini membuat Deli Hindu Shaba yang

pernah dipimpinnya juga tidak dapat melakukan aktivitasnya untuk

pembinaan masyarakat etnis Tamil. Demikian pula lembaga-lembaga

pendidikan lainnya di lingkungan komunitas masyarakat Tamil dan

lembaga di seluruh Indonesia pada umumnya hingga tahun 1945.

Tentara Pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengawasi

kegiatan-kegiatan sosial yang ada di tengah masyarakat. Mereka

76 77Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

sangat khawatir, kalau-kalau kegiatan lembaga-lembaga sosial yang

ada ditumpangi kegiatan politik yang menentang kekuasaaan Tentara

Pendudukan Jepang. Saat itu tidak ada lagi pendanaan dari masyarakat

sendiri untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan lembaga sosial

mereka. Masing-masing berupaya untuk memperjuangkan kebutuhan

keluargnya sendiri. D. Kumarasamy tak mau mandeg (berhenti-Jawa)

melaksanakan misi kehidupannya di tengah situasi itu.

Keadaan telah memaksa D. Kumarasamy untuk mengubah

metode perjuangannya agar di tengah kelompoknya dapat berbuat

sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang membutuhkannya.

Melaksanakan pendidikan di sekolah-sekolah sudah tak memadai,

karena penguasa Jepang selalu mengarahkan pendidikan kepada

kepentingan mereka. Penerbitan brosur-brosur pun sudah tak

terbiayai lagi. Satu-satunya jalan bagi D. Kumarasamy dalam

upayanya membantu masyarakat Tamil adalah dengan mengunjungi

mereka dari rumah ke rumah agar lebih akrab dan berbincang dari

hati ke hati. Tanpa mengenal secara mendalam kawan yang akan

diajak bicara atau yang akan diberi pengajaran, tidak akan diketahui

secara tepat pelajaran apa yang dapat diberikan kepada seseorang itu.

Ia harus mengenal seseorang itu dengan baik sehingga memahami

takaran-takaran atau porsi pelajaran yang akan dapat dicerna

seseorang tersebut. Itulah salah satu metode D. Kumarasamy dalam

melaksanakan misinya.

D. Kumarasamy juga dikenal orang sebagai tokoh yang menguasai

Astrologi, ilmu yang mempelajari peredaran bintang-bintang dan

planet-planet yang mempengaruhi kehidupan makhluk yang ada di

muka bumi. Perubahan iklim, panas dingin, permukaan laut, angin,

semuanya tidak terlepas dari pergerakan benda-benda angkasa yang

ada. Semuanya berpengaruh dalam kehidupan makhluk yang ada

di bumi dalam kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya

bagaikan sebuah simponi yang menyatu. Begitulah pelajaran dari

kehidupan manusia. Adakalanya 'angin' yang sejuk menyelimuti

kesehatan dan kebahagiaan, dan ada kalanya pula 'angin yang panas'

membakarnya dalam penyakit dan kenestapaan.

Bagi D. Kumarasamy, kemampuannya itu bukanlah merupakan

kemampuan yang bersifat tahyul. Setiap manusia mempunyai 'retak

tangan' gelombang (ritme) kehidupan yang berbeda satu sama lainnya.

Dan masing-masing akan mengalami proses yang beraneka ragam,

sakit, sehat, susah, senang, miskin dan kaya adalah sesuatu yang harus

dilalui manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah.

Keberadaan manusia dalam kehidupannya merupakan paduan unsur

jasmani dan rohani. Bila salah satu unsur itu sakit, maka sakit pula

unsur yang lainnya.

Oleh karena kemampuan di bidang astrologi ini D. Kumarasamy

juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mampu membantu

penyembuhan sakit yang diderita seseorang. Dan melalui diagnosis

astrologinya itu ia dapat memberitahukan kekurangan-kekurangan

yang ada pada seseorang. Ia memberikan 'obat' yang dibutuhkan oleh

orang yang menderita, baik yang bersifat rohaniah maupun yang

bersifat fisik. Dengan kemampuan ini D. Kumarasamy tetap dapat

membantu meringankan penderitaan orang lain dalam situasi resesi

pada periode Pendudukan Tentara Jepang.

Untuk membantu penyembuhan masayarakat yang sakit,

adakalanya mereka yang sakit mendatanginya, tetapi tak jarang pula

D. Kumarasamy yang mendatangi mereka, diminta atau tidak diminta.

Mereka yang sudah mengenalnya atau akrab dengannya tidak heran

lagi bila tiba-tiba D. Kumarasamy datang mengunjunginya, seakan-

akan D. Kumarasamy sudah tahu sebelumnya kalau sahabatnya itu

sedang sakit. Seolah-olah D. Kumarasamy setiap saat mendengarkan

keluhan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan mengendarai

sepedanya yang terawat baik ia datang mengunjungi orang yang

membutuhkannya. Ia menyapa mereka yang merindukannya, dengan

senyum yang menyiratkan rasa kasih sayang, dan segelas air putih

diberikannya pada mereka yang dahaga25.

Pada saat usianya mencapai 40 tahun, D. Kumarasamy tetap

mengayuh sepedanya menjelajahi kota Medan. Sorot matanya yang

selalu memancarkan persahabatan telah menjadi penangkal mara

bahaya yang ada di sekitarnya. Tubuhnya yang semampai dan sehat,

membuat langkahnya selalu menyiratkan keyakinan dan kepercayaan

diri. Tak ada ketakutan dalam dirinya, sehingga keraguan tak pernah

menghampiri. Beliau tetap berkeyakinan, duka dan senang silih

25 Segelas air putih yang sejuk diberikannya kepada mereka yang merasa sakit. Doanya yang mengalir ke dalam tubuh si sakit, selalu mendatangkan kesembuhan. Memang di dalam air, selalu banyak mengandung mineral-mineral yang dapat menimbulkan manfaat dalam tubuh manusia. Dan keyakinan mereka terhadap potensi D. Kumarasamy, telah ikut menimbulkan semangat menuju kesembuhan.

78 79Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

berganti. Duka akan berakhir dan berganti suka, sesuai dengan

perputaran alam yang dikehendaki Sang-Pencipta. Dan benarlah,

kenyataan itu tidak dapat ditunda, kekuasaan Tentara Pendudukan

Jepang di Indonesia pada bulan Agustus 1945 telah berakhir menyusul

kekalahannya dalam Perang Pasifik melawan Tentara Sekutu.

Bersama dengan runtuhnya kekuasaan Tentara Pendudukan

Jepang di Indonesia, bangsa Indonesia memproklamirkan

kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi bangsa Belanda

yang didukung Pasukan-Sekutu (NICA) ingin memanfaatkan

momentum itu. Mereka yang pernah menjajah Indonesia sebelum

Jepang menginginkan kembali menjajah Indonesia, sehingga

melahirkan konflik. Inilah yang terjadi bagi bangsa Indonesia sejak

tahun 1945 hingga akhir tahun 1949.

D. Kumarasamy bukanlah seorang politikus, bila pengertian

politik adalah upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan untuk

kepentingan kelompok tertentu atau kelompoknya saja. Akan tetapi

sesuai dengan latar belakang keagamaan dan Theosophynya, ia adalah

seorang tokoh yang menentang secara tegas segala bentuk penindasan

atau penjajahan dari pihak manapun terhadap kelompok manapun.

Oleh karena itu dalam setiap wejangannya, ia selalu mengajarkan

pembebasan dari segala bentuk dan sifat menindas, termasuk dalam

kehidupan keagamaan. Fokus perhatiannya yang tertuju pada

kelompok masyarakat etnis Tamil, adalah karena kelompok ini yang

terdekat dalam kehidupannya dan kelompok ini pula yang hidupnya

sering tertindas dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. Karena

keberpihakkannya pada kaum yang tertindas ini pula, beberapa

pihak terutama dari pihak penguasa, memandang lembaga atau

perkumpulan Theosophy sebagai perkumpulan yang berbau politis.

Perhatiannya terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya

mempertahankan kemerdekaan sangat besar. Pada masa perjuangan

kemerdekaan R.I D. Kumarasamy membantu membuat kata–kata

untuk poster- poster dan slogan– slogan dalam bahasa Inggris untuk

perjuangan R.I. Ia menyadari hubungannya dengan Indonesia tak

dapat dipisahkan. Ia lahir dan di besarkan di Indonesia, begitu pula

warga etnis Tamil dan etnis-etnis dari India lainnya. D. Kumarasamy

merasa bangga, kalau di antara etnis-etnis yang berasal dari India ada

yang ikut menjadi laskar Indonesia yang melawan Tentara Sekutu

ataupun Tentara Belanda26.

Rasa simpatinya ini selaras pula dengan pandangan negara India

yang memproklamirkan diri pada tanggal 15 Agustus 1947. Negara

India di bawah pimpinan Jawaharlal Nehru adalah negara pertama

di Asia yang memberikan pengakuannya terhadap keberadaan

negara Indonesia. Pengakuan ini menjadi dasar negara India

menempatkan Duta Besarnya untuk negara Indonesia dan sekaligus

akan menempatkan konsulat perwakilan negaranya di daerah-daerah

(propinsi) Indonesia27.

Untuk itu D. Kumarasamy bersama tokoh-tokoh etnis yang

berasal dari India dan yang berdomisili di daerah Sumatera Timur

mempersiapkan perwakilan Konsulat India di Medan. Dialah

yang terpilih menjadi ketua badan persiapan atau disebut India

Consultative Committee. Di samping itu ia juga merupakan ketua

perkumpulan lembaga yang ada sebelumnya, yang didirikan pada

tahun 1946 dengan nama Panitia Perwakilan Bangsa India (All

Indian Representative Committee). Ketika Konsulat Jenderal Pertama

India telah di kirimkan ke Jakarta yaitu Mr. N. Ragawan, beliau

langsung menunjuk D. Kumarasamy sebagai Konsul India wilayah

Sumatera yang sementara berkedudukan di Medan. Jabatan tersebut

dipegang D. Kumarasamy hingga tahun 1949, atau setelah seorang

Konsul definitif yang dikirimkan langsung dari India datang. Boleh

dikatakan, D. Kumarasamy telah melaksanakan tugasnya sebagai

perwakilan negara India untuk wilayah Sumatera atau di kota

Medan, ketika bangsa Indonesia sedang bergolak mempertahankan

kemerdekaannya. Dalam situasi yang sulit, D. Kumarasamy telah

melaksanakan perannya dengan baik, terutama dalam upaya

mengakui dan mengokohkan eksistensi Negara Republik Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari salinan dan terjemahan surat dikirimkan N.

26 Banyak tentara Inggris bangsa India yang tergabung dalam pasukan Sekutu yang menyeberang ke pihak Indonesia dengan membawa senjata mereka. Beberapa hal yang menyebabkan tentanra Ingris bangsa India desersi, karena upaya pihak Indonesia antara lain membujuk langsung agar desersi dan melancarkan issu dan surat kabar berpropaganda " serangan kamu terhadap kemerdekaan kam" ...lihat T. Luckman Basarsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, Forkala, Medan .h.15.

27 Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Sumatera menjadi 1 Propinsi yang disebut sebagai Propinsi Sumatera (1945-1948) Gubernurnya yang pertama adalah Mr. T. M. Hasan.

80 81Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

Ragawan sebagai Konsulat Jenderal India ketika beliau akan kembali

ke India, yang isinya sebagai berikut :

Batavia, 25 September 1948

Tuan D. Kumarasamy

Konsul India untuk Wilayah Sumatera

Berkedudukan di

Medan.

Tuan D. Kumarasamy Yth.

Saya akan segera tinggalkan Indonesia, oleh sebab itu mengenang

toleransi masyarakat India dan teristimewa jasa-jasa dan kebaikan

tuan dengan membantu melaksanakan tugas-tugas saya, dengan ini

menjadi suatu kenang-kenangan indah dan tak terlupakan dan sangat

mengesankan bagi saya, maka berkewajiban untuk mengucapkan

terima kasih kepada Tuan.

Hidup India!

Hormat saya :

(N. Ragawan)

(Duta Besar India)

Sejak terbentuknya Konsulat India di Medan, perkumpulan-

perkumpulan yang ada sebelumnya yang mengatasnamakan

masyarakat India yang ada di daerah Sumatera, (termasuk panitia

persiapan konsul India) dibubarkan dan berubah menjadi “Sumatera

India Union”. Kegiatannya ditekankan kepada urusan masyarakat

India yang ada di wilayah ini. D. Kumarasamy masih dipercayakan

sebagai ketuanya. Sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat India,

beliau bagaikan tak pernah mengenal lelah.

D.Kumarasamy bukan saja sebagai tokoh etnis Tamil, tetapi juga

bagi etnis India lainnya yang ada di Sumatera. Banyak tokoh yang

dekat dengannya, seperti dari Punjabi, Benggala dan lain-lainnya. Di

antaranya adalah dua orang Sikh yang bernama Dalip Singh dan Inder

Singh. Kedua orang yang berlainan agama dengan D. Kumarasamy

ini bukan saja sebagai sahabat, tetapi banyak menyumbangkan

dana untuk kepentingan sarana keagamaan Hindu. Seorang wanita

Muslim yang bernama Komariah juga pernah bersahabat dengan

D. Kumarasamy dan selalu berdiskusi tentang Theosophy. Demikian

pula hubungannya cukup baik dengan “Kepten Tamil” (pimpinan

masyarakat Tamil di Kota Medan) yang pada tahun1947 dipegang

oleh Mohammad Kasim, seorang Tamil Muslim yang berasal dari

Madras. Tokoh lain yang selalu dekat dan sangat dihormatinya adalah

Paterisamy Pillay, Sharma Dan Ayer. Ketiga tokoh ini juga merupakan

guru bagi D. Kumarasamy, karena sangat banyak memberikan

pendidikan kerohanian, terutama pada periode awal D. Kumarasamy

mengikuti bidang keagamaan, termasuk belajar bidang astrologi.

Banyak lagi orang yang menjadi sahabat D. Kumarasamy.

Perbedaan agama, etnis, profesi maupun usia tidak membatasinya

untuk bersahabat. Begitulah Anna D. Kumarasamy, senyum dan tutur

sapanya selalu memancarkan persahabatan, sehingga orang yang

berbicara atau berhadapan dengannya merasa hormat dan betah.

Dalam perjalanan hidupnya, ia selalu memberikan perhatian yang

lebih terhadap mereka yang dirundung kemelaratan. Di kalangan

etnis Tamil khususnya, D. Kumarasamy melihat kelompok yang

beragama Budha lebih banyak dianut oleh mereka yang kehidupannya

miskin, atau umumnya berasal dari kelas sosial yang rendah. Mata

hati “Kumaranya” (yaitu sifat kasih sayang ketuhanannya) tak

tega membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Mereka, etnis Tamil

yang beragama Budha ini bagaikan kehilangan gantungan, tak ada

pimpinan yang memberikan pengarahan kepada mereka. Tanpa

seorang pengarah, maka kemelaratan yang menghinggapi mereka

ikut merongrong disiplin hidupnya, tak ada wadah untuk mereka

mengembangkan diri dan tak ada guru yang mendidik kerohanian

mereka.

D. Kumarasamy sangat prihatin melihat kenyataan ketertinggalan

kelompok Budhis dalam etnis Tamil ini. Umat Budha Tamil

memerlukan seorang 'Anna' yang dapat membangunkan mereka dari

kehilangan kepercayaan diri. D. Kumarasamy ingat apa yang tertera

dalam ayat suci Weda yang berbunyi :

82 83Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

“Jalan manapun ditempuh manusia kearahku, semuanya

kuterima. Dari mana mereka semua menuju jalanku“ (Pancamawa

Weda IV.II).

Oleh karena itu D. Kumarasamy mengambil keputusan, ia harus

berada di tengah kelompok etnis Tamil Budhis dan sekaligus akan

memimpinnya.

Orang dapat menafsirkan bahwa sejak tahun 1954, D. Kumarasamy

telah beralih menjadi penganut agama Budha. Akan tetapi bagi D.

Kumarasamy sendiri, hal itu bukanlah berarti ia beralih agama atau

kepercayaan. Baginya kedua agama itu, antara Hindu dan Budha,

hanyalah perbedaan jalan menuju 'tempat yang sama'. Ajaran Budha

memberikan salah satu filosofi bagaimana seorang manusia melalui

berbagai tahapan proses hidup sehingga dapat mencapai tingkat

makhluk yang ideal atau apa yang disebut sebagai Budha. Begitulah

inti pemahaman D. Kumarasamy. Ia juga selalu disapa dengan sebutan

Anna di kalangan kelompok penganut Budhis yang lebih muda

darinya. Yang jelas ia tetap konsisten dan commit untuk memerangi

kebodohan dan kemelaratan, terutama di kalangan etnis Tamil.

Bagi mereka yang tidak mengerti sikap D. Kumarasamy ini,

mungkin akan menjadi skeptis, sebuah sikap yang tidak sekedar

didasari pikiran atau pandangan yang negatif. Namun bagi mereka

yang wawasannya cukup luas dapat memahami sikap D. Kumarasamy

ini, mungkin rasa hormatnya jusru makin dalam. Sebaliknya D.

Kumarasamy tetap menghormati mereka yang ada dalam kelompok

penganut agama Hindu, dan menyayangi mereka.

Di tengah keluarganya sendiri D. Kumarasamy tak pernah

mengarahkan atau memaksakan anggota keluarganya untuk beralih

agama atau menjadi seorang Budhis. Oleh karena itu tidaklah

mengherankan bila istri-istrinya sendiri pun tetap sebagai penganut

Hindu. Demikian pula sikap istri-istrinya terhadap anak-anak mereka,

tidak pernah memaksakan apa yang menjadi pilihan agama mereka

masing-masing. Mereka konsisten dengan ajarannya (bhaktinya)

sehingga mereka dapat menemukan jati dirinya.

Sebagai penganut agama Buddha, bukan pula berarti

mengeyampingkan ajaran-ajaran yang ada dalam Weda. Demikian

hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial dan agama Hindu

yang ada di daerah ini. Dalam perilakunya sehari-hari Anna bagaikan

seorang yang tetap teguh dengan salah satu ayat yang tertera dalam

kitab Weda, yang berbunyi :

“Semoga semua makhluk memandangku dengan mata bersahabat,

semoga aku memandang semua makhluk dengan mata bersahabat, dan

semoga satu sama lain memandang dengan mata bersahabat" (Yayar

Weda 26.2).

Itulah satu amalan D. Kumarasamy dalam menjalani hidupannya.

Sebagaimana yang pernah dilakukannya di kalangan etnis Tamil

Hindu yang ada di Sumatera Timur, D. Kumarasamy mengadakan

reformasi (penataan kembali) dalam kehidupan dan keagamaan

masyarakat Tamil yang memeluk agama Budha. Tepatnya pada

tanggal 13 Mei tahun 1946, ketika usia ia mencapai 40 tahun, D.

Kumarasamy mendirikan perkumpulan Indian Budhist Society.

Sebagai upaya memasyarakatkan pikiran-pikiran pembaharuannya

di kalangan kelompok ini, beliau menerbitkan booklets dengan judul

“An Outline of The Basic Principles of Buddhism” dan “The Disciplinary

Life" (Dalam bahasa Tamil, buku tersebut lebih populer dengan nama

“OZUKAM”).

Untuk lebih memudahkan para penganut Budha di kalangan

etnis Tamil memahami ajaran Sang Budha, D. Kumarasamy juga

menulis tentang riwayat hidup Sang Budha (Sidharta Gautama)

dalam bahasa Tamil dengan judul “Jagaj Jjhothy Butthar”. Di buku

tersebut dilengkapi dengan syair-syair pujaan kepada Budha yang

diciptakan oleh D. Kumarasamy sendiri. Melalui syair-syair tersebut,

D. Kumarasamy percaya akan menimbulkan getaran hati dan batin

para penganutnya bersama alunan gema yang menyusup dalam

Dhyana-Samadhi (pembinaan pikiran dengan menggunakan sifat-

sifat Sang Buddha).

Pada periode yang sama D. Kumarasamy tetap terus menekuni

Theosophy, secara tidak langsung. Wawasan Theosophy ini ia

masukkan pula dalam kelompok penganut Budha dan Hindu. Melalui

pengenalan Theosophy ia berharap kedua kelompok keagamaan dapat

menarik persamaan-persamaan yang ada, bukan mempertajam

perbedaan. Itulah harapan D. Kumarasamy agar jarak kedua kelompok

itu semakin dekat dan dapat saling mengisi.

Tahun 1947, akhirnya muncul Perhimpunan Theosophy Cabang

84 85Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

Vasanta dan berada dalam lembaga Deli Hindu Sabha. D. Kumarasamy

aktif memberikan ceramahnya di perkumpulan yang baru ini. Di

samping itu ia tetap menjadi anggota dari perkumpulan Theosophy

yang ada di kota Medan di Lodge yang terletak di jalan Imam Bonjol

kota Medan. Dalam perkumpulan ini mereka (pengurus dan anggota)

selalu membahas tentang filosofi ketuhanan dipandang dari berbagai

sudut agama atau lembaga kepercayaan, oleh karena itu perkumpulan

ini diikuti oleh anggota dari berbagai agama yang berbeda.

Pada tahun 1949, untuk pertama kalinya D.Kumarasamy

memperoleh kesempatan berkunjung ke India. Kesempatan ini benar-

benar dimanfaatkan oleh D. Kumarasamy untuk memperdalam

pengetahuannya tentang agama Hindu, Budha dan juga Theosophy.

D. Kumarasamy tahu, munculnya agama-agama tersebut berasal

dari negeri ini. Demikian pula pusat kegiatan maupun perkumpulan

Theosophy juga di sini.

Walaupun cikal bakal D. Kumarasamy berasal dari anak benua

ini, saat itulah pertama kalinya ia melihat dari dekat. Ia melihat

masyarakat yang ada di India lebih kompleks dan heterogen dari pada

masyarakat yang ada di kepulauan Indonesia baik dari sudut bahasa,

agama, maupun kebudayaannya. Tetapi, kondisi kehidupan ekonomi

masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di

kawasan Negara Bagian Tamil Nadu yang ada di bagian India Selatan,

sebagian besar penduduknya berada dalam kondisi perekonomian

yang memprihatinkan. Ke sanalah D. Kumarasamy memusatkan

perhatiannya.

Dalam suatu perjalanannya di kawasan Tamil Nadu, tepatnya di

desa Kammar Phutha-Ur28, ia bertemu dengan seorang rohaniawan

yang bernama Mauna Samy. Ketika berbincang-bincang dengan D.

Kumarasamy, rohaniawan ini menyampaikan maksudnya untuk

mendirikan sekolah di desa tersebut. Akan tetapi niatnya itu selalu

mendapat tantangan dari sebagian masyarakat di situ. Dengan kata

lain, gagasan rohaniawan itu sulit memperoleh kesepakatan. Ternyata

di daerah India Selatan masih ada di antara kelompok masyarakat

yang memandang skeptis atas keberadaan lembaga pendidikan formal

atau lembaga pendidikan modern. Mereka beranggapan bahwa

28 Desa Kannar Phutha-Ur, merupakan sebuah desa tempat bermukimnya para rohaniawan (Arrya) atau disebut dengan Mauna Suwamyar.

lembaga pendidikan yang seperti itu akan melahirkan nilai-nilai baru

dan dapat merusak tatanan kehidupan yang sudah ada sebelumnya.

Mendengar keluhan rohaniawan, D. Kumarasamy mengusulkan

agar diadakan rapat umum yang dihadiri oleh sebahagian besar

kelompok masyarakat yang ada. Rapat umum ini dilaksanakan secara

terbuka, siapa saja yang hadir boleh memberikan tanggapannya.

Pada mulanya para rohaniawan kurang sependapat, bagaimana D.

Kumarasamy dapat menghadapi peserta yang sedemikian banyak itu.

Akan tetapi D. Kumarasamy tetap memberikan keyakinan kepadanya,

bahkan ia sendirilah yang memimpin rapat itu dan menyampaikan

gagasan rohaniawan tersebut.

Apa yang terjadi dalam rapat umum yang diadakan sungguh

mengherankan bagi rohaniawan setempat. D. Kumarasamy dengan

tenang dan suaranya yang lantang penuh sugesti, bagaikan dapat

menghipnotis massa yang hadir, padahal D. Kumarasamy bukanlah

seorang tukang sihir yang dapat membungkam pikiran orang lain.

Pelajaran yang sangat rasional dan disampaikan secara ikhlas dari

lubuk hati yang terdalam oleh D. Kumarasamy telah membuat hati

dan pikiran para pendengar menerimanya. Tak ada lagi penolakan

masyarakat, karena memang argumentasi yang disampaikan jelas dan

positif bagi kepentingan bersama. D. Kumarasamy mampu membaca

pikiran mereka dan mampu mendengarkan denyut jantung hasrat

mereka. Kemampuan tersebut membuat D. Kumarasamy sanggup

merumuskan apa yang dikehendaki mereka, sehingga terjalin

persatuan hasrat.

D. Kumarasamy tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti

itu. Ia langsung membentuk panitia pembangunan sekolah yang

direncanakan akan didirikan di desa tersebut. Tokoh-tokoh

masyarakat yang ada semuanya dilibatkan, sehingga mereka pun puas

karena masing-masing diberi peran. D. Kumarasamy sangat paham

bahwa seseorang akan merasa sangat dihargai bila seseorang itu

dipercayakan untuk memberikan peran sertanya. Akhirnya rapat dan

pembentukan kepanitiaan berjalan dengan mulus. Keberhasilan ini,

bukanlah karena D. Kumarasamy seorang Dewa ataupun Sang Budha,

akan tetapi tidak lepas dari penghayatan beliau atas sifat-sifat atau

ajaran para Dewa ataupun Sang Budha.

Setelah lebih kurang satu tahun di India, D. Kumarasamy

kembali ke Indonesia. Ia sadar, di Indonesia masih sangat banyak

86 87Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

orang yang membutuhkannya. Tugasnya di sini belum selesai dan

harus dirampungkannya, terutama membina kelompok etnis Tamil

Budhis yang di kota Medan dan sekitarnya. Beliau cukup puas dengan

lawatannya ke India, karena perjalanan itu semakin memperdalam

kesadaran dirinya bahwa tugas kemanusiaan bersifat universal, tidak

harus dibatasi oleh ruang dan waktu. Di samping itu melalui lawatan

itu, ia berhasil melakukan napak-tilas atau ziarah menelusuri asal-

usul leluhurnya. Dan melalui napak-tilas itulah seseorang akan lebih

mengenal dirinya, bagaikan sebuah perjalanan proses karma, hingga

seseorang menjadi lebih arif dan bijaksana.

D. Kumarasamy menjadi panutan bagi etnis Tamil yang ada

di kota Medan dan sekitarnya. Apapun agamanya, mereka tetap

menganggapnya sebagai pimpinanya. Pada kelompok Hindu, D.

Kumarasamy telah meletakkan dasar-dasar pedomannya, baik dalam

bidang keagamaan maupun di bidang sosial, kini perhatiannya tertuju

kepada kelompok yang beragama Budha.

Dalam kenyataannya pada waktu itu, D. Kumarasamy menyadari

kelompok ini membutuhkan pedoman yang permanen untuk

melaksanakan ajaran keagamaan Buddha. Karena itulah ia menyusun

buku-buku yang dapat menjadi pedoman hidup dan keagamaan

kelompok ini, seperti yang telah disebutkan bahwa pada tahun 1949

ia memprakarsai penulisan buku yang bertujuan mengangkat moral

penganut agama Budha.

Meski berkedudukan sebagai penasehat dari kelompok umat

Budha, D.Kumarasamy juga masih menjadi seorang sesepuh dalam

Deli Hindu Shaba maupun kuil Sri Maryaman. Demikian pula dalam

lembaga Theosophy yang ada di kota Medan.

Sejak pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia pada Desember

1949, segala lembaga serta yayasan yang memakai istilah-istilah

Belanda (Nederlandseh Indie) diubah dengan istilah Indonesia. Hal

ini juga berlaku pada lembaga Theosophy yang ada di Medan. Kalau

sebelumnya lembaga tersebut bernama “De Nederlandseh Indische

Theosofisihe Vereneging”, maka secara resmi pada tahun 1951 berubah

namanya menjadi “Perhimpunan Theosophy Tjabang Indonesia

(PTTI).

Tak ada waktu yang disia-siakan oleh D. Kumarasamy. Baginya

semasa hayatnya haruslah berbuat untuk orang banyak. Berbuat

demi pengabdian dan didasari oleh pikiran-pikiran yang jernih. Pada

waktu senggangnya selalu diisi dengan berkarya, termasuk berkreasi

dalam bidang seni suara ataupun melukis. Karya-karya lukisannya

mencapai puncak pada tahun 1950, walaupun lukisan ini sebagai

koleksi pribadinya. Salah satu lukisan yang sangat disukainya adalah

lukisan tokoh Maha Nyani C.W.Heatbeater, yaitu seorang tokoh yang

mengenalkan D. Kumarasamy kepada Theosophy pada tahun 1926.

Sebagai penasehat kelompok etnis Tamil Budhis, D. Kumarasamy

tetap berupaya mempelajari dan memperdalam pengetahuannya di

bidang keagamaan tersebut. Ia sangat prihatin belum ada buku-buku

yang mengatur peribadatan agama Budha, termasuk tata kramanya.

Apa yang dilakukan kelompok umat ini di dalam pertemuan atau

peribadatannya, hanyalah dengan cara mengutip kata-kata mutiara

yang mengandung filsafat kehidupan. Kutipan-kutipan itu diambil

tanpa mempedulikan asal sumbernya atau dari agama mana pun.

Hal ini tentunya kurang memuaskan mereka dan mereka ingin agar

ada suatu “puja” yang baku dan disusun untuk menjadi pedoman

peribadatan. Beberapa kali mereka menghadap D. Kumarasamy untuk

membicarakan hal ini.

Kenyataan ini tentunya menjadi tantangan bagi D. Kumarasamy.

Ia sangat memahami, bagaimana pun sebuah agama membutuhkan

peribadatan atau upacara peribadatan. Suatu peribadatan keagamaan

sangat dibutuhkan dalam upaya pembinaan kesatuan umatnya.

Dengan kata lain, upacara ibadat itu dapat mengikat mereka dalam

kesatuan identitas yang jelas. Lagi pula melalui upacara itulah dapat

meletakkan dasar-dasar disiplin moral. Dan melalui “puja” (syair-syair

penghormatan terhadap Sang Hyang Adi Buddhaya) lebih mudah

menyentuh hati agar tetap tunduk kepada yang dipujanya.

D. Kumarasamy juga menyusun suatu aturan peribadatan

kelompok etnis Tamil Budha. Agar tercipta suatu harmoni dalam

melaksanakan dan mengumandangkan syair puja itu nantinya, maka

D. Kumarasamy juga melatih beberapa di antara mereka yang berminat,

baik laki-laki maupun wanitanya. D. Kumarasamy menyadari bahwa

apa yang dilakukannya itu bukanlah suatu yang bertentangan dengan

keagamaan Budha, khususnya yang berada dalam aliran mahayana

(yang umumnya banyak dianut oleh agama Budha yang berada di

kawasan Tibet, Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara). Agar lebih

jelas, perlu dikemukakan kutipan pendapat D. Kumarasamy yang

menyatakan sebagai berikut :

88 89Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

"Ceremoni, tidak dapat membebaskan seseorang dari “samsara”

(keduniawian), tetapi sudah tentu dapat menolong seseorang untuk

berbhakti dengan pengertian (bukan sebagai tahyul). Maka itu ceremoni

dapat digunakan sebagai rakit untuk menyeberangi sebuah sungai, dan

ketika tiba di pantai seberang kita tinggalkan rakit tadi, demikian juga

kita tinggalkan ceremoni apabila kita sudah maju".29

Inilah argumentasi D. Kumarasamy yang telah berinisiatif

menyusun “puja” untuk pertama kalinya.

Pada tanggal 17 Agustus 1952 dan pada jam 06.00 pagi, di sebuah

gedung Lodge Medan yang berada dalam kota Medan, bertepatan

pula ketika negara R.I memperingati hari Kemerdekaannya yang

ke-7, sebanyak 15 orang pemuda-pemudi etnis Tamil Budha

mengumandangkan syair puja dalam sebuah pertemuan peribadatan

agama Budha. Inilah untuk pertama kalinya kidung puja yang disusun

oleh D. Kumarasamy bergema dan berkumandang di planet bumi ini.

Walaupun syair-syairnya masih dalam bahasa Tamil, namun iramanya

cukup menyentuh batin siapa pun yang mendengarkannya. Asap dupa

yang menebarkan aroma yang wangi, memenuhi seluruh ruangan dan

terus mengambang ke angkasa bersama gema suara yang syahdu.

Dalam buku “Maha Puja” yang disusun D. Kumarasamy itu

juga berisi aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam melakukan

puja30. Ada tata cara khusus yang dilaksanakan, agar setiap peserta

benar-benar siap menghadapkan dirinya kepada Sang Hyang Adi

Budha. Tata cara dan benda-benda tertentu yang dipersiapkan sebagai

simbol-simbol yang mengandung makna kebersihan jasmani dan

ruhani.

Kegiatan melaksanakan upacara ibadat yang berpedoman pada

buku Maha Puja terus dilaksanakan secara rutin dan langsung

dipimpin oleh D. Kumarasamy. Dalam prosesi puja yang diadakan

melalui nyanyian-nyanyian, pembacaan paritta-paritta (kisah

kehidupan Sidharta Gautama), persembahan-persembahan, khotbah

dan meditasi, seluruh peserta upacara ini bagaikan menerima tetesan

29 Petikan pendapat D. Kumarasamy ini diambil dari “kata pembukaan buku Kebaktian Maha Puja” yang disusunnya dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I Medan 1974.

30 Pada mulanya yang disusun oleh D. Kumarasamy tersebut diberi nama “Sarwa Maha Puja”Dikemudian hari tepatnya pada tahun 1955, berubah menjadi Maha Puja, dan masih tetap dalam bahasa Tamil.

embun yang menyejukkan. Tetesan yang senantiasa membasuh

kalbu mereka dan akhirnya melahirkan sikap yang lebih tertib dalam

kehidupannya.

Walaupun buku Maha Puja itu merupakan kreasi D. Kumarasamy

dan bertolak dari berbagai sumber-sumber agama lain dan filsafat

Theosophy yang pernah dipelajarinya, namun telah menimbulkan

inspirasi moral yang sangat berharga bagi umat Budha yang

menekuninya. Beberapa di antara tokoh agama Budha yang datang

dari luar, ketika melihat dan mendengarkan upacara peribadatan ini

merasa terharu dan kagum menyaksikannya. Tak ada bantahan untuk

menyatakan Maha Puja telah menyimpang dari ajaran Budha. Apa

yang telah diperbuat D. Kumarasamy bagaikan ilham yang selaras

dengan kehendak Sang Hyang Adi Budha.

Dengan adanya peranan dan aktivitas D. Kumarasamy dalam

kehidupan keagamaan bersama umat Budha ini, bukanlah berarti

ia telah melepaskan keikutsertaannya dalam kelompok keagamaan

Hindu dan Theosophy. Beliau tetap menjadi tokoh dalam kedua

kelompok lainnya itu. Beliau sendiri pun tak pernah menyatakan

bahwa dirinya bukan beragama Hindu lagi. Hal itu terbukti karena

beliau masih selalu memimpin upacara-upacara maupun memberikan

ceramah dalam kedua kelompok keagamaan itu. Beliau tetap menjadi

Presiden of the Medan Lodge of the Theosophical Society yang dijabatnya

sejak tahun 1950. Dan sejak tahun 1950 inilah Wasenda Lodge yang

sebelumnya berada di Deli Hindu Shaba digabungkan dengan Medan

Lodge (yang sekarang berada di gedung vihara Borobudur jalan Imam

Bonjol Medan).

Setelah beberapa tahun mengabdikan diri untuk kepentingan

kelompok Budhis etnis Tamil di daerah ini, pada tahun 1954 para

pengikutnya memberika gelar kepada D. Kumarasamy sebagai "Maha

Pandita'. Melalui gelar tersebut, kini ia dinyatakan sebagai penganut

Budha. Beliau sendiri tidak menolak dan mengakui sebagai Budhis.

Sebaliknya ia tidak menyatakan lepas dari kelompok Hindu.

Masyarakat etnis Tamil, baik yang beragama Hindu maupun

Budha dapat memahami sikap D. Kumarasamy, bahwa kedua bentuk

agama bukanlah “dua macam”. Perbedaannya hanyalah dalam metode

pendekatan diri kepada Tuhan, dua cara yang bermuara ke tempat

yang sama. Dengan gelar Maha Pandita dari komunitas Budha, pada

tahun yang sama (sejak tahun1947 - 1954 dan tahun 1954 - 1958) D.

90 91Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

Kumarasamy tetap memangku jabatan sebagai Ketua Sri Maryaman

kuil dan Sri Kaliaman kuil yang keduanya berada di Medan.

Pengabdian D. Kumarasamy lainnya dalam keagamaan Budha di

kawasan Medan sejak menjadi Maha Pandita, adalah memprakarsai

pendirian Vihara. Pada tanggal 21 Oktober 1955, para pengikutnya

meminta D. Kumarasamy untuk menjadi peletak batu pertama tanda

dimulainya pembangunan vihara. Persisnya, vihara itu terletak di jalan

Monginsidi, kelurahan Anggrung yang ada sekarang. Vihara tersebut

diberi nama Vihara Ashoka. Inilah vihara Budha pertama bagi etnis

Tamil yang menganut agama Budha di kota Medan.

Waktu terus berjalan bersama usia D. Kumarasamy yang semakin

panjang menjalani garis kehidupannya. Proses pendewasaan dalam

usia yang makin bertambah mendatangkan kearifan. Terlebih bila

seseorang itu dapat merenungkan eksistensi dan lingkungannya.

Perenungan hidup selalu menyadarkan seseorang tentang bagaimana

hubungannya dengan Yang Maha Pencipta dan apa yang harus

dilakukan sebagai pengabdian kepada Yang Maha Agung. Itulah yang

dilakukan D. Kumarasamy sebagai tokoh spiritual.

Ada yang berpendapat bahwa D. Kumarasamy, bukanlah seorang

tokoh organisator, walaupun dalam pelaksanaan misinya ia telah

mengorganisir massa secara modern. Pendapat demikian memang

ada benarnya karena melihat tujuan akhirnya adalah pembangunan

spiritual. Pembangunan spiritual merupakan kunci dari tegaknya

masyarakat yang berperadaban maju. Demikian pula, pembangunan

moral akhirnya akan melahirkan tatanan sosial yang tertib bertata

krama. Tata krama suatu masyarakat harus berkembang sesuai

dengan perjalanan zamannya. Jadi bagaimana pun, sebagai tokoh

spiritual, D. Kumarasamy telah membuktikan diri menjadi seorang

tokoh pimpinan yang berwawasan luas dalam berbagai aspek dan

dapat mengatur serta memimpin kelompoknya secara modern.

Pada tahun 1954, D. Kumarasamy mendirikan dan mempimpin

sebuah lembaga pendidikan bernama Bharathi English School31.

Lembaga pendidikan ini terbuka untuk umum, akan tetapi sasaran

31 Sebenarnya, sebelum Bharathi English School berdiri di Medan sudah ada lembaga pendidikan lainnya untuk etnis-etnis India yang bernama Khalsa English School yang diprakarsai oleh etnis

lembaga ini. Oleh karena itu, khususnya di kalangan etnis Tamil muncul upaya mendirikan lembaga pendidikan yang baru yang dinamakan Bharathi English School.

yang utama adalah kelompok etnis Tamil (tanpa membedakan

latar belakang agamanya), karena kelompok inilah yang tingkat

pendidikannya masih tertinggal dibandingkan dengan kelompok

lainnya.

Pada ulang tahunnya yang ke-50, D. Kumarasamy memperkenalkan

sebuah karya barunya yang berisi tata cara menulis huruf-huruf

bahasa Tamil ke dalam bentuk bunyi huruf lain. Melalui buku

tersebut, mereka yang belum mengenal huruf atau alphabet Tamil,

tetapi mengenal huruf latin dapat mempelajari bahasa Tamil. Menurut

D. Kumarasamy, setiap kelompok masyarakat harus mengenal jati

dirinya, dan salah satu caranya adalah dengan mempelajari atau

menguasai bahasanya sendiri.

92 93Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

D. Kumarasamy memimpin upacara Maha Puja di Vihara Ashoka

D. Kumarasamy bersama Y.A. Bhikku Girirakkhito

95D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan94 Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)

Setengah abad sudah usia Anna D. Kumarasamy. Dalam usianya

yang demikian, ia telah mencapai puncak kedewasaan dan dapat pula

dikatakan sebagai orang yang memasuki usia tua. Secara fisik, usia

yang demikian kecenderungan mengalami menurun, akan tetapi

dari sudut psikis atau kerohanian, usia sedemikian masih dapat

berkembang. Yang jelas bagi seseorang yang jiwanya selalu diasah

dengan meditasi (renungan yang mencari hakikat kehidupan) akan

melahirkan kearifan dalam prilaku dan tindakannya.

Bagi anak-anak dan istrinya, D. Kumarasamy tidak hanya menjadi

bapak atau suami, tetapi juga dapat menjadi teman berdiskusi.

Dalam setiap diskusi ia bukan hanya sebagai pembicara yang harus

didengarkan, tetapi juga mau mendengarkan dan menghormati

pendapat pihak lain. Dalam setiap saran atau sanggahannya beliau

selalu memberikan argumentasi yang jelas. Inilah salah satu proses

pendidikan D. Kumarasamy yang diterapkan di tengah keluarganya.

Sebenarnya, sejak tahun 1952, D. Kumarasamy lebih banyak

menetap di sebuah rumah yang berada di jalan Lobak kelurahan

Medan Baru yang ada sekarang. Tapak perumahan dibelinya dari

pendapatannya selama bekerja di Hoorison. Sedangkan rumah di jalan

D. Kumarasamy sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

7

96 97D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

Calkota ( Zainul Arifin ) adalah hadiah dari salah seorang sahabatnya

yang bernama Deliph Singh, seorang India yang berasal dari Punjab.

Rumahnya yang semula berada di jl. K.H. Zainul Arifin kelurahan

Madras Medan yang sekarang ditempati oleh keluarga pihak istri

pertama. Kemudian setelah anak pertamanya yang bernama Sakuntala

berumah tangga, rumah itu ditempati oleh anaknya tersebut. Istri

pertama D. Kumarasamy pindah ke kawasan jalan Binjai atau di jalan

Pasundan yang ada sekarang.

Keempat orang anak dari kedua istrinya sudah mulai beranjak

dewasa. Beliau berupaya memperlakukan mereka dengan bijaksana

dan seadil mungkin. Demikian pula terhadap kedua istrinya.

Adakalanya di waktu-waktu tertentu, salah seorang anak dari istri

pertama lebih dapat bermanja kepada ibu tirinya atau kepada istri yang

kedua. Demikian pula sebaliknya. Kedua istrinya tinggal di rumah

yang berbeda, namum mereka selalu saling berkunjung. Tak jarang

pula, di antara anak-anaknya tidur di rumah ibu tirinya. Keempat

orang anaknya itu adalah : Sakuntala dan Nyana dari istri pertama,

dan Indra Kumari dan Mohandas dari istri yang kedua32.

Sebagai seorang bapak, D. Kumarasamy tidak pernah memaksakan

kehendaknya untuk mengarahkan anak-anaknya agar berprofesi atau

menekuni bidang studi tertentu. Yang paling penting baginya, anak-

anaknya harus mempunyai bakat ilmu pengetahuan dan dasar moral

yang baik. Bahkan ia tidak mau kalau di antara anak-anaknya harus

berprofesi sebagaimana dirinya. Baginya, profesi dalam kehidupan

bukan sesuatu yang harus diwariskan. Akan tetapi yang harus

diwariskan kepada anak-anak atau cucu-cucunya dikemudian hari

adalah keluhuran pribadi yang berpijak pada moral.

Pernah salah seorang anaknya, yaitu Mohan menyatakan

keinginannya kepada D. Kumarasamy agar ia dapat menekuni bidang

kerohanian seperti yang dilakukan ayahnya. Akan tetapi Sang ayah

dengan bijaksana menasehati agar anaknya menundanya dulu.

D. Kumarasamy menganjurkan agar anaknya itu menyelesaikan

pendidikannya semaksimal mungkin. Nanti bila sang anak sudah

cukup berilmu dan wawasannya sudah matang, barulah memutuskan

sendiri apakah akan menjadi seorang rohaniawan atau profesi lainnya.

32 Dua orang dari istri pertama dan tiga orang dari istri kedua. Akan tetapi salah seorang anak (anak kedua dari istri ke kedua) dan yang bernama Kartigas meninggal pada usia 13 tahun.

Menurut D. Kumarasamy, idealnya seorang rohaniawan harus

mempunyai wawasan ilmu pengetahuan yang memadai agar dapat

menjawab tantangan zamannya. Tanpa memperbekal ilmu yang

demikian, maka seorang rohaniawan hanya dapat 'berbicara di dalam

biara' saja.

Sebagai seorang ayah, D. Kumarasamy berupaya untuk mendidik

anak-anaknya dalam pola hidup yang sederhana. Walaupun

sebenarnya sebagai salah satu staf pegawai yang bekerja di perusahaan

perkebunan Harrison & Crass Field pendapatannya cukup memadai.

Kalau ia mau tentunya mampu untuk menikmati kehidupan yang

lebih mewah. Justru dalam keadaan yang 'berkemampuan' itulah ia

harus dapat membuktikan bahwa ia dapat menahan diri dan hidup

secara sederhana.

Pada tahun 1950an, walaupun usianya telah melampaui setengah

abad D. Kumarasamy tetap mengayuh sepedanya saat bepergian.

Kelebihan gajinya dari sisa biaya hidup keluarganya sehari-hari selalu

dihabiskan untuk kepentingan sosial, terutama untuk mendanai

penerbitan-penerbitan bulletin yang dikhususkan untuk membuka

mata intelektual kelompok etnis Tamil. Kedua istrinya sudah maklum

akan hal itu, oleh karena itu, apa yang dilakukan D. Kumarasamy

dalam mendistribusikan pendapatan atau gajinya tak pernah menjadi

persoalan dalam keluarga.

Sejak tahun 1955, pengabdian Anna dalam aktivitas keagaamaan

Budha memang lebih menonjol. Baginya hal ini tidak terlepas

dari situasi dan kondisi pemeluk agama Budha yang memang

lebih membutuhkan kehadirannya. Paling tidak, secara kualitas

makna kehadirannya sudah dapat dilihat dari aktifitas keagamaan

umatnya maupun kehidupan kelembagaannya. Karena aktivitasnya

yang menonjol dalam kehidupan keagamaan umat Buddha ini, D.

Kumarasamy terpilih menjadi salah seorang peserta yang mewakili

Indonesia untuk menghadiri Konfrensi Budhis Internasional yang

diselenggarakan di Bangkok -Thailand pada tahun 1956.

Sebenarnya di daerah-daerah lain di Indonesia, penganut agama

Budha cukup banyak. Baik dari kalangan pribumi sendiri (terutama di

pulau Jawa), maupun dari etnis-etnis pendatang yang telah menetap

di Indonesia, terutama India dan Cina. Namun secara keseluruhan,

mereka yang ada di Indonesia belum diikat secara kelembagaan.

Indian Budhist Society di Medan masih merupakan lembaga umat

98 99D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

Budha yang berdiri sendiri, belum mempunyai ikatan kelembagaan

dengan umat Budha lainnya.

Barulah pada tahun 1957 tepatnya pada tanggal 12 Februari

terbentuk suatu organisasi “Perhimpunan Budhis Indonesia” yang

disingkat PERBUDI dan berpusat di kota Jakarta. Untuk wilayah

Sumatera dibentuk Dewan Pimpinan Cabang yang berpusat di

kota Medan dan D. Kumarasamy menjadi ketuanya. Pada tahun

itu juga, D.Kumarasamy diutus sebagai perwakilan umat Budha

Indonesia untuk menghadiri Konfrensi Budhis Internasional yang

diselenggarakan di India di kota Benares.

Meski banyak aktivitas sebagai tokoh Budhis, namun ia tidak

melepaskan diri dari kegiatan lainnya. Aktivitasnya di bidang

pendidikan, khususnya pada sekolah Baratha English School masih

dijabatnya hingga sekitar tahun 1960. Sebagai pimpinan, ia banyak

merekrut tenaga-tenaga pengajar dari kalangan intelektual India yang

berada di daerah ini. D. Kumarasamy mampunyai argumentasi yang

sangat meyakinkan dan menyentuh perasaan sehingga banyak di antara

tenaga pengajar itu yang lebih mengutamakan “rasa pengabdiannya”

di sekolah tersebut dari pada pertimbangan honornya.

Salah seorang tenaga intelektual yang direkrut D. Kumarasamy

untuk terlibat dalam perjuangan meningkatkan kualitas pendidikan

masyarakat adalah Yahya Rowter. Beliau adalah seorang keturunan

etnis Tamil yang beragama Islam yang kala itu baru saja lulus

ujian Senior Cambridge Social Certificate Khalsa English School,

untuk terlibat dalam sekolah Baratha English School. Misi untuk

meningkatkan taraf hidup etnis Tamil melalui lembaga pendidikan,

sangat menggugah Yahya Rewter. Misi ini sesuai dengan keyakinan

agama Islam yang dianutnya (menurut pandangan ajaran agama

Islam, orang Islam harus mampu memberikan rahmat atau kebaikan

bagi seluruh alam, rahmatan lil alamin. Dan beliaulah yang kemudian

menjadi salah seorang sahabat dekat D. Kumarasamy. Sejak hadirnya

tokoh-tokoh intelektual ini D. Kumarasamy bagaikan memperoleh

sparing-partner untuk berdiskusi. Secara tak langsung hal itu telah

mengurangi kesepian hidupnya yang ada selama ini, terutama di

bidang ilmu pengetahuan.

Sejak awal tahun 1960-an, masyarakat etnis Tamil yang ada di

daerah ini mulai menunjukkan eksistensinya terutama dibidang

perdagangan. Pada waktu sebelumnya bidang perdagangan banyak

Foto atas dan bawah:

D. Kumarasamy bersama para peserta Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1956

100 101D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

D. Kumarasamy menjadi salah satu pimpinan sidang dalam Konferensi Buddhis Internasional tahun 1957

D. Kumarasamy menandatangani hasil Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957

D. Kumarasamy menyampaikan pidato sebagai perwakilan pimpinan agama Buddha Indonesia

dalam Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957

D. Kumarasamy bersama peserta Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957

102 103D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

didominasi etnis India lainnya seperti dari Bombai dan Punjabi. Di

luar etnis-etnis dari India, bidang perdagangan di kota Medan banyak

dikuasai oleh etnis Cina, Arab dan dari kelompok pribumi yang terdiri

dari etnis Minangkabau dan Mandailing. Dari keseluruhan pedagang

di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya, etnis yang berasal dari

Cinalah yang paling dominan.

Peluang etnis Tamil sebagai pedagang pada era ini merupakan

kesempatan yang penting bagi mereka. Selain berdagang di sekitar

tempat tinggal mereka di kawasan kelurahan Madras, mereka juga

memasuki pusat-pusat perdagangan yang ada di kawasan Pasar Ikan

Lama kelurahan Kesawan Medan. Kawasan ini merupakan tempat

perdagangan grossier (partai besar) dari jenis tekstil. Sebahagian besar

dari pedagang-pedagang ini mengambil barang-barangnya dari pulau

Jawa. Dari Medan mereka menjual kembali ke berbagai daerah yang

ada di kawasan Sumatera. Akan tetapi ada juga di antara pedagang

pajak (pasar) Ikan Lama ini yang membeli tekstil di semenanjung

Malaya (Malaysia) dan India, khususnya tekstil halus dan pelekat dari

Madras. Di antara pedagang-pedagang itu yang dekat hubungannya

dengan D. Kumarasamy adalah G. Krishnasamy, Rengga Samy, dan S.

Marimuthu.

Pada era 1960-an kehidupan masyarakat etnis Tamil di kota

Medan dan sekitarnya sudah mulai berubah. Mata pencaharian

mereka sangat bervarisi. Wanita-wanita tengah baya etnis Tamil yang

menjajakan putu mayong, apom manis, cenel, atau pregedel jagung

di pagi hari hampir tak pernah kelihatan lagi. Biasannya, pada waktu

sebelumnya, dari lorong ke lorong selalu terdengar sayup-sayup suara

wanita etnis Tamil ini menjajakan jualannya. Demikian pula kereta

lembu sudah tidak lagi didominasi oleh etnis Tamil. Sebaliknya, sejak

saat itu tukang kereta lembu sudah diambil alih etnis Jawa. Buruh-

buruh yang membangun sarana lalu-lintas atau tukang aspal jalan,

juga tidak lagi dilakukan oleh etnis Tamil. Kalaupun ada, mereka

sudah berperan sebagai mandor atau pemborongnya. Inilah di antara

contoh pergeseran penghidupan etnis Tamil yang ada di kota Medan

dan sekitarnya.

Di antara mereka yang sempat mengecap pendidikan, sudah

ada pula yang menjadi pegawai negeri atau swasta. Misalnya sebagai

pegawai Kantor Pos, Bea-Cukai, Bank, dan Perusahaan-perusahaan

lainnya. Khususnya etnis yang berasal dari Punjabi (Sikh), mata

pencaharian mereka di kota Medan, lebih banyak sebagai peternak

sapi dan menjual susu. Oleh masyarakat pribumi, etnis Punjabi yang

selalu memakai serban dan berjanggut lebat ini disebut sebagai "Orang

Benggali”33.

Yang lebih menggembirakan lagi, bagi mereka yang mampu,

atau ekonominya memadai ada yang menyekolahkan anak-anaknya

ke luar negeri seperti India ataupun Eropa. Sekembalinya mereka ke

Indonesia, banyak yang bekerja di perusahaan swasta atau menjadi

guru di sekolah-sekolah yang dikelola yayasan etnis-etnis India atau

mengembankan wirausahanya (interpreunership).

Di bidang olahraga, peranan etnis-etnis dari India yang ada di

Sumatera Utara ini sangat besar. Pertama di cabang Hokky, sebagian

besar pemain yang mewakili daerah TK I Sumatera Utara terdiri dari

etnis-etnis Tamil dan Punjabi. Tim hokky ini selalu menjadi juara

di tingkat nasional dan mereka juga selalu mewakili Tim Nasional

Indonesia dalam pertandingan-pertandingan di tingkat internasional.

Salah seorang tokoh legendaris pelari marathon yang pernah menjuarai

even internasional dalam Asian Games, tak bisa dilupakan adalah

Gurnam Singh34. Sumbangan etnis Tamil dan etnis-etnis dari India

umumnya di bidang olah raga pada era awal tahun enam puluhan

menjadi catatan yang cukup penting. Peran mereka dalam kehidupan

sehari-hari hampir tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat yang

lebih luas baik dalam lingkup daerah maupun nasional.

Perubahan kehidupan masyarakt etnis Tamil ini tidak lepas dari

perkembangan tingkat pendidikan, wawasan atau kapasitas intelektual

mereka. Mereka semakin terbuka bahwa mereka bukan sekedar

anggota komunitas masyarakat Tamil atau India, tetapi dengan

berdomisili di Indonesia secara turun-temurun, mereka juga menjadi

bagian masyarakat Indonesia. Persinggungan budaya dan sejarah

33 Pada umumnya etnis Punjabi menganut agama Sikh yang menganjurkan pemeluk prianya memakai sorban (penutup kepala) dan membiarkan rambut dan janggutnya tumbuh lebat (tak boleh dipotong). Istilah Benggali merupakan sebutan yang salah kaprah. Menurut sebahagian sumber informasi, kesalahan sebutan itu karena mereka dulunya datang ke Indonesia melalui Teluk Benggala (Bangla, Deli sekarang). Mereka selalu dinyatakan sebagai pendatang dari Benggala.

34 Pada waktu sebelumnya, seorang tokoh lainnya yang berasal dari India dan menetap di Kota Medan adalah Yong Sattar. Beliau pernah menjadi petinju legendaris yang menjuarai wilayah Sumatera dan Nasional di sekitar tahun lima puluhan. Dan lebih menarik lagi kalau Yong Sattar ini pernah memimpin kesatuan laskar Indonesia yang menentang Belanda pada era agresi I (1947) dan agresi II (1948) di Front Medan Area.

104 105D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

serta persamaan tingkat sosial yang ada dengan masyarakat pribumi

umumnya, menjadikan interaksi sosial mereka dengan masyarakat

pribumi menjadi lebih mudah.

Dalam era yang sama, kehidupan politik di Indonesia semakin

kompleks. Hal ini tentunya akan membawa pengaruh dalam kehidupan

sosial pada masyarakat luas termasuk aktivitas masyarakat etnis Tamil

yang ada di kota Medan. Saat itu kepentingan politik sudah menjadi

'panglima'. Maksudnya, aktivitas sosial seperti diharuskan berorientasi

kepada arah politik pemerintah. Semboyan untuk berdikari (Berdiri

Di atas Kaki Sendiri) dan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme-

Imperialisme) dalam kebijakan ekonomi-politik presiden Soekarno

berdampak pada menjauhnya hubungan negara Indonesia dari dunia

internasional, terutama negara-negara Eropa yang berpaham liberal.

Negara tetangga terdekat seperti Malaysia saat itu dianggap sebagai

'antek Nekolim' dan dalam kebijakan politik ini dianggap musuh

bagi bangsa Indonesia. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu,

walaupun secara normatif 'bebas aktif ' namun pada prakteknya pada

periode itu cenderung ke blok sosialis, sehingga muncul istilah 'poros

Jakarta-Peking-Pnom Phen'.

Akibat situasi politik ini, sejak tahun 1963, Perhimpunan

Theosophy Tjabang Indonesia (PTTI) diubah namanya menjadi

Persatuan Warga Theosophy Indonesia (PERWATIN) yang tetap

beralamat di Medan Lodge jalan Imam Bonjol yang ada sekarang.

Para anggota yang tergabung dalam lembaga ini tetap bersifat terbuka,

tanpa melihat etnis, bahasa, kebangsaan, idiologi politik maupun

agama yang dianutnya masing-masing. Keterbukaan lembaga ini

menyebabkan 'orang-orang asing' yang ikut menjadi anggota, selalu

membuka hubungan ke luar negeri atau ke cabang-cabang lainnya

yang ada di luar Indonesia. Pandangan yang sedemikian ini tentunya

tidak serasi dengan perkembangan politik negara Indonesia ketika

itu. Maka demi keberlangsungan lembaga Theosophy sendiri, tempat

pertemuan yang ada di Medan Lodge dijadikan vihara Borobudur,

tempat peribadatan umat Buddha secara umum tanpa membedakan

asal etnisnya. Sedangkan kegiatan Theosophy (PERWATIN) tetap

dilaksanakan di salah satu ruangan yang ada di belakang gedung itu.

D. Kumarasamy aktif memimpin peribadatan umat Buddha di kedua

tempat ini.

Suatu hal yang lebih menarik lagi bahwa sejak tahun 1962,

atas saran A.Wellu salah seorang tokoh Budhis Tamil yang ada di

daerah ini, Maha Puja yang pada mulanya ditulis dalam bahasa

Tamil, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian,

tuntunan Maha Puja yang disusun oleh D. Kumarasamy sudah dapat

dipakai sebagai pedoman Puja bagi etnis-etnis lainnya. Sejak itu pula

Maha Puja versi bahasa Indonesia selalu digunakan di vihara Ashoka

dan vihara Borobudur, sehingga etnis lain pun dapat melakukan

upacara peribadatan di kedua vihara ini35.

Pimpinan Sangha Agung Indonesia, yang bernama Ashin

Jinarakkhita, MNS, setelah beberapa kali menyaksikan upacara Puja

ini merasa sangat terkesan dan kagum atas upaya D. Kumarasamy

untuk meningkatkan penghayatan umat pada ajaran agama Budha.

Pada waktu sebelumnya, belum ada buku tuntunan yang selengkap

karya D. Kumarasamy ini untuk pedoman peribadatan umat Budha

Indonesia. Oleh karena itu beliau sangat setuju bila buku karya

D. Kumarasamy tersebut dijadikan salah satu buku pedoman bagi

umat Buddha yang ada di Indonesia. Demikian pula Y.A. Bhikku

35 Buku Kebaktian Maha Puja karya Maha Pandita Ashoka Dharna Surya D. Kumarasamy, akhirnya secara resmi diterbitkan oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I pada tahun 1974, dan cetakan II pada tahun 1983.

D. Kumarasamy memimpin upacara puja di vihara Ashoka

106 107D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

Girirakkhito yang pernah menyaksikan dan mempelajari buku

Maha Puja menyatakan persetujuannya. Atas upaya besarnya ini

D. Kumarasamy mendapat gelar-gelar keagamaan Budha sebagai

“Maha Upasaka, Maha Pandita Ashok Dharma Surya”36. Beliau juga

mendapat jabatan sebagai Pandita Dharma Duta, yang dapat menjadi

pandita bagi umat Budha di kawasan lainnya.

Sebagaimana telah dilakukan D. Kumarasamy di kalangan umat

Hindu etnis Tamil, ia juga mengadakan pembaharuan-pembaharuan

di kalangan umat Budha etnis Tamil. Kebiasaan-kebiasaan yang

mubazir (sia-sia) mulai diubahnya. Sebagai contoh di tempat keluarga

yang ditimpa musibah, misalnya salah satu anggota keluarganya

meninggal. Pada waktu sebelumnya, biasanya para kerabat dan jiran

tetangga ngobrol semalam suntuk tanpa arah pembicaraan yang jelas

atau tidak berkaitan dengan kemalangan ataupun aktifitas keagamaan.

Demikian pula para wanita dari anggota keluarga yang meninggal,

hanya menangis meratapi mayat yang terhantar (sebelum dikramasi).

D. Kumarasamy mengubah kebiasaan ini dengan mengisi kesempatan

tersebut untuk membacakan parita yang terhimpun dalam buku yang

disusunnya dengan judul “Ashok Gatha”. Buku parita ini terdiri dari

334 bait untaian kalimat yang mengandung pesan-pesan suci dari Sang

Budha. Dengan membaca parita-parita tersebut dapat diharapkan

agar para keluarga yang yang mendapat musibah maupun para pelayat

yang hadir dapat lebih tabah menghayati makna kehidupan sebelum

dan sesudah meninggal.

Pada tahun 1964 ketika usia D. Kumarasamy telah mencapai

58 tahun, beliau berhenti bekerja dari Perusahaan Harrison &

Craosfield. Sudah hampir 40 dari tahun 1925 hingga 1964 ia bekerja

di perusahaan ini, sudah sepantasnyalah ia menerima pensiun dari

perusahaan tersebut. Baginya, berhenti dari perusahaan itu bukanlah

akan menjadi masalah untuk kehidupannya, apalagi anak-anaknya

sudah dapat mandiri, tidak memerlukan pembiayaan lagi. Bahkan

tiga orang di antaranya telah berumah tangga. Dua orang di antara

anaknya tetap beragama Hindu, dan D. Kumarasamy sebagai ayah,

tetap merestuinya. Dua orang lainnya, yaitu dari istri kedua, mengikuti

jejaknya menganut agama Budha.

36 Gelar-gelar itu mengandung arti sebagai berikut : Maha Upasaka artinya Ketua dari semua upasaka / upasaki, Maha Pandita artinya Ketua dari semua Pandita, Ashok Dharma Surya sebagai gelar kehormatan untuk dirinya.

D. Kumarasamy bersama pimpinan Sangha Agung Indonesia, Ashin Jinarakkhita, MNS

108 109D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

Selain meninggalkan profesinya sebagai pegawai perusahaan, D.

Kumarasamy merasa lebih bebas melaksanakan aktivitasnya sebagai

rohaniawan. Ia tetap mengayuh sepeda mengunjungi mereka yang

memerlukannya, tanpa melihat dan membedakan agama atau aliran

politiknya. Kelompok etnis Tamil yang ada di daerah ini tetap menjadi

prioritas perhatian dan binaannya.

Sesuai dengan kondisi politik yang ada pada waktu itu, banyak

orang dari etnis Tamil di Sumatera Utara menjadi anggota organisasi

partai politik. Menurut Anna “Partai politik yang ada hanya berorientasi

untuk memperjuangkan kepentingan kelompok. Seharusnya mereka

bercita-cita untuk kepentingan bangsa dan negaranya”. Namun Anna

sendiri tidak melarang mereka yang ingin berpolitik atau menjadi

anggota salah satu partai. Hanya saja, beliau selalu memberi 'aba-aba',

agar etnis Tamil jangan sampai memasuki partai yang menyandang

paham materialisme dan atheisme. Hal ini tentunya sejalan dengan

pandangan atau filsafat hidupnya. Beliau selalu menganjurkan agar

etnis Tamil dan keturunan India lainnya yang telah menetap atau lahir

di Indonesia agar secara resmi menjadi Warga Negara Indonesia.

Pada tahun 1965 setelah setahun D. Kumarasamy pensiun dari

Perusahaan Harrison Craosfield, situasi politik di Indonesia semakin

panas. Sebagai seorang yang menguasai astrologi ia bagaikan merasa

ada sesuatu yang akan tejadi, khususnya yang berkaitan dengan

masalah politik. Mungkin beliau sendiri sudah tahu, tetapi ia secara

terus-terang tak pernah memberitahukan apa yang akan terjadi. Di

dalam pertemuan-pertemuan, ia selalu memberikan isyarat-syarat

agar berhati-hati. Teman-temannya selalu melihatnya sebagai orang

yang murung, atau sebagai seseorang yang sedang berpikir keras, tetapi

tidak menemukan jalan keluarnya. Seorang sahabatnya, yaitu Yahya

Rowter, sangat memperhatikan perubahan sikap D. Kumarasamy ini.

Yahya pernah bertanya langsung kepada D. Kumarasamy, namun

tidak memperoleh jawaban yang tegas. Sebagai sahabat yang dekat

dengan D. Kumarasamy, ia menyarankan agar D. Kumarasamy

jangan terlalu memaksakan diri karena “setiap manusia mempunyai

keterbatasan dan hanya mampu mengemban amanah dari Tuhan

sesuai kemampuan yang ada padanya”.

Anna D. Kumarasamy sangat menghargai perhatian dari

sahabatnya ini. Walaupun Yahya Rowter jauh lebih muda darinya

dan beragama Islam, namun di dalam persahabatannya dengan

D. Kumarasamy, selalu menunjukkan perhatian atau rasa simpati

yang luar biasa. Satu hal lagi yang menimbulkan rasa hormat D.

Kumarasamy kepadanya, sahabatnya ini mau memberikan kritik

secara terbuka kepadanya.

Memang dalam kehidupan D. Kumarasamy sehari-hari, beliau

adalah seorang tokoh yang selalu menghormati dan menghargai orang

yang mau memberikan kritik kepadanya. D.Kumarasamy bukanlah

seorang yang hanya pandai memberikan kritik kepada seseorang

atau lembaga tertentu, tetapi juga siap menerima kritikan terhadap

dirinya. Akan tetapi, yang paling tidak disukainya adalah seseorang

yang memberikan kritik secara tidak langsung, atau orang yang hanya

pandai mengkritik di belakang, bukan di hadapannya. Baginya, kritik

seperti itu tidak pada tempatnya, sehingga ia tidak dapat memberikan

pembelaan diri, dan dapat menimbulkan fitnah.

Masih dalam tahun itu juga, dalam pergulatan pikiran dan

batinnya menghadapi situasi dan kondisi yang ada, D. Kumarasamy

sekeluarga memutuskan melakukan lawatan ziarah ke India. Baginya

perjalanan ziarah adalah sebuah perenungan diri dari mana asalnya

dan ke mana tujuan perjalanan hidupnya. Ziarah menjadi suatu

kontemplasi dari proses reinkarnasi dirinya, sehingga ia menemukan

jati dirinya. Keputusan itu sudah bulat, ia akan melakukan ziarah ke

India, agar dapat mengarahkan kehidupannya yang akan datang pada

nilai-nilai yang lebih abadi. Kepada kelompok atau lembaga-lembaga

yang ditinggalkan, ia berpesan agar jangan sampai terlibat dalam

kegiatan partai politk manapun. D.Kumarasamy juga berjanji, bahwa

ia akan kembali lagi, terutama karena ia sendiri merasa tugasnya

belum selesai.

Akhirnya perjalanan ziarah itu pun dimulainya, didampingi

anak-anak menantu dan istrinya. D. Kumarasamy juga merasa anak-

anaknya harus ikut agar tidak kehilangan “benang-merah” yang

mempertautkan garis keturunan dan cikal bakal keluarganya. Desa-

desa tempat kelahiran orang tua dan kakek-neneknya tak luput dari

kunjungannya. Mereka sekaligus merekonstruksi kembali perjalanan

hidup asal-usul kelurga mereka. Tak kalah pentingnya mereka juga

mengunjungi tempat-tempat suci bagi agama Hindu dan Budha yang

ada di India, di antaranya adalah Benares dan Ayodya. Kedua tempat

ini merupakan tempat suci dan mengandung nilai sejarah bagi dua

agama besar ini. Benares merupakan tempat yang paling bersejarah

110 111D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

dalam perjalanan Sidharta Gautama. Tempat itu juga disebut

sebagai Taman Menjangan. Di tempat inilah Sang Sakyamuni Budha

mengajarkan kepada para pengikutnya, bagaimana caranya atau

proses seseorang untuk melepaskan diri dari Karma dan Samsara dan

akhirnya dapat mencapai Nirwana. Kesemuanya itu harus melalui

suatu proses perenungan Dharma Cakra, yaitu suatu perjalanan

atau lingkaran proses sebab-akibat. Ajaran ini mengandung makna

bahwa kehidupan yang bersifat duniawi tanpa perenungan adalah

penderitaan, penderitaan ada sebab-sebabnya dan sebab-sebab

penderitaan dapat dilenyapkan karena ada jalan untuk melenyapkan

penderitaan itu.

Di samping ziarah ke tempat-tempat suci agama Hindu dan

Budha, D. Kumarasamy sekeluarga juga berkunjung ke Adyar,

(kawasan Tamil Nadu di India-Selatan) sebagai tempat yang menjadi

Pusat Perhimpunan Theosophy sedunia. Bagi D. Kumarasamy,

sebagai salah seorang anggota yang tergabung dalam organisasi ini,

merupakan hal yang cukup penting untuk berdiskusi dan mengamati

perkembangannya.

D. Kumarasamy bertemu dengan N. Sri Ram yang menjadi

Presiden Perhimpunan Theosophy sedunia tersebut. Mereka banyak

membahas kaitan Nyana (bersifat kebaktian/Spiritual) dan Winyana

(bersifat material/jasmaniah). Mereka sependapat bahwa kedua unsur

itu saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya,

dan setiap manusia mempunyai kemampuan untuk mempergunakan

kedua unsur itu bila dilakukan dengan penuh konsentrasi dan berlatih

yang tekun.

Salah seorang wanita bangsa Amerika, yang bernama Mrs. Petarin

G. Perkins yang bertugas di bagian Pelayanan Theosophy (The Theosopical

Order Of service) meminta agar D. Kumarasamy membantunya untuk

membenahi organisasi yang dipimpinnya. Sebagai salah seorang

anggota, D. Kumarasamy bersedia membantunya. Bagaimanapun

secara organisasi maupun moral D.Kumarasamy merasa harus ikut

bertanggung jawab atas jalannya organisasi ini. Dari laporan yang

diterimanya, badan yang dipimpin Mrs. Perkins ini tidak berjalan

sebagaiamana mestinya. D. Kumarasamy menyatakan kesediaannya

untuk membenahi dan untuk sementara beliau diberi mandat penuh

sebagai sekretaris badan organisasi ini.

Ketika D. Kumarasamy dan keluarga berziarah ke India,

masyarakat Tamil di Medan merayakan ulang tahunnya yang ke 60 di

kuil Shri Tendayuthabani, Jalan Kejaksaan Medan tahun1966.

Sebagai sekretaris, D. Kumarasamy bukan saja memperbaiki

sistem kerja yang ada selama ini di badan organisasi tersebut. D.

Kumarasamy juga mengoreksi anggaran dasar organisasi yang

telah ada sebelumnya. Ia berprinsip, setiap organisasi harus dapat

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu,

hal-hal yang tidak sesuai harus diubah dan diganti dengan yang baru

yang relevan dengan perkembangan yang ada. Selama lebih kurang

dua tahun, ia dengan tekun melaksanakan tugasnya membenahi

organisasi dan bertindak sebagai sekretaris. Apa yang dilakukannya

memberikan hasil yang nyata. Pusat kebaktian dan pelayanan badan

organisasi ini menjadi lebih aktif di tengah masyarakat. Dan D.

Kumarasamy juga mengusulkan agar di saat yang tepat nantinya pusat

kegiatan badan Theosophy ini dapat dipindahkan ke kawasan lainnya,

yaitu India bagian Barat.

Akhirnya tahun 1967, setelah 2 tahun D. Kumarasamy berada di

badan lembaga Theosophy ini ia sekeluarga mohon diri untuk pulang

ke Indonesia. Ia merasa tugasnya di India sudah selesai, namun di

Indonesia masih banyak pekerjaan yang harus dilaksanakannya. Mrs.

Perkins yang menjadi pengurus di badan lembaga disebut tak dapat

menolak, karena apa yang diharapkannya dari D. Kumarasamy telah

diperolehnya. Mereka yang menjadi pengurus di badan lembaga ini

merasa sangat tertolong dan terkesan dengan cara D. Kumarasamy

membenahi lembaga ini. Hal ini terungkap dalam surat Penghargaan

atau ucapan terimakasih mereka, yang diterjemahkan isinya sebagai

berikut :

The Theosophical Order of Service

Madras City, Adyar Madras 20, India

20 June 1967

Tuan D. Kumarasamy,

Adyar, Madras 20, India

Yth. Tuan D. Kumarasamy,

Sejak tuan tinggal di Adyar, telah bekerja sama dengan saya untuk

kepentingan masyarakat etnis melalui The Theosophiscal Order of

Service, Cabang Madras denga usaha dan kesetiaan, maka saya merasa

112 113D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

bangga dan gembira, Tuan telah membantu saya untuk melanjutkan

tugas-tugas saya sebagai ketua dalam pelaksanaan tugas kebaktian.

Kemampuan Tuan di bidang administrasi dan dibarengi pergaualan

dengan masyarakat, telah menciptakan suasana yang harmonis dalam

kelancaran karya-karya kebatinan, dan senantiasa tekun serta gembira

dalam melaksanakan semua usaha-usaha. Saya telah memperoleh

manfaatnya dalam kebijaksanaan Tuan.

Kehadiran Tuan akan berlalu dari Adyar, Tuan serta keluarga

dengan bahagia akan kembali ke Indonesia, selanjutnya saya dan

Mr.Perkin (Suami) menyampaikan terima kasih serta ucapan selamat.

Demikianlah kami nyatakan dengan perantaraan surat ini.

Salam Cinta Kasih

Dari Petarin G. Perkins

Jem s. Perkins

Bagi D. Kumarasamy sekeluarga, kembalinya mereka ke kota

Medan merupakan kembali ke kampung halaman. Yang pasti bagi

mereka perjalanan ziarah ke India selama lebih kurang dua tahun

telah menimbulkan kesegaran yang baru, baik secara lahiriah

maupun batiniah. Mengenang masa lalu sambil melakukan empati

yang mendalam tentunya akan melahirkan kebeningan-kebeningan

pikiran yang menyejukan. Terlebih-lebih dalam perjalanan itu

selalu disuguhkan panorama-panorama bersahaja kehidupan

Peradaban Timur. Kesehajaan yang ada selalu mendorong hasrat

persahabatan manusia dengan alam. Seluruh aktivitas yang ada

bersama lingkungan alam yang belum tercemar, memperlihatkan

betapa indah dan harmonisnya irama kehidupan yang diciptakan

oleh Tuhan. Berpulang kepada manusialah, sebagai makhluk yang

berakal, apakah ia akan tetap mempertahankan harmoni itu atau ia

akan merusaknya demi kepentingan-kepentingan sesaat. Renungan

inilah yang telah mengantarkan D. Kumarasamy sekeluarga pulang ke

kampung halamannya di kota Medan. Kekusutan pikiran bagai telah

terurai kembali dan tugas kehidupannya selanjutnya telah menanti.

Pertengahan tahun 1967, mereka sekeluarga telah tiba kembali

di kota Medan. Secara fisik, kota Medan tidak mengalami perubahan

dibanding ketika di tinggalkannya pada tahun 1965. Akan tetapi secara

politis terjadi perubahan orde kekuasaan yang cukup drastis. Rezim

pemerintahan Soekarno yang memerintah dari tahun1945 hingga

1966 telah digantikan dengan orde pemerintahan yang dipimpin oleh

Suharto yang militeristik.

Sebagaimana pada era pemerintahan Soekarno, konstitusi yang

menjadi landasan hukum bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,

masih tetapUUD 1945. Sistem pemerintahan yang digunakan juga

masih dengan istilah demokrasi. Namun dalam prakteknya, bila

demokrasi pada era orde Soekarno, disebut dengan “Demokrasi

Terpimpin” maka pada pemerintahan Soeharto disebut dengan

“Demokrasi Pancasila”. Yang paling nyata perbedaannya pada masa

pemerintahan Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak

dibenarkan hidup dalam negara Indonesia, dengan alasan bahwa

partai ini dituduh sebagai dalang petaka peristiwa Gestapu (G30S)dan

azas partai Komunis bertentangan dengan azas atau falsafah bangsa

Indonesia, yaitu Pancasila37.

Bagi D. Kumarasamy, perubahan politik yang ada tidak menjadi

kendala dalam melaksanakan misi kehidupannya. Ia pun tidak

merasa kaget dengan perubahan tersebut, karena perubahan itu

sudah ia perkirakan akan terjadi di Indonesia, selain memang tidak

bisa disangkal bahwa tak ada yang abadi dalam alam ini kecuali

perubahan-perubahan itu sendiri.

Demikian pula yang terjadi dalam kondisi fisik D. Kumarasamy.

Pada saat itu 1967 usianya telah mencapai 60 tahun lebih. Betapa pun

rajin ia menjaga kesehatan tubuhnya antara lain dengan olah raga,

yoga dan meditasi, proses penuaan yang mengikuti hukum alam tak

tetap tidak dapat dihambat. Sejak saat itu, ia merasa tenaganya tak

cukup lagi untuk mengayuh sepeda dalam menjalankan aktivitasnya.

Sementara D. Kumarasamy, sang Anna, bukanlah tokoh yang merasa

perlu untuk dikunjungi, sebaliknya dia seorang tokoh yang lebih

suka banyak mengunjungi orang yang memerlukannya. Oleh karena

itu atas saran keluarga dengan mempertimbsngkan tenaga yang ada

pada dirinya, D. Kumarasamy membeli sepeda motor (bromfits)

merk Cyrus. Menurut tingkat kehidupan pada masa itu, kendaraan

37 Menurut beberapa ahli sejarah tentang Indonesia, peritiswa G30S ini sangat terkait dengan situasi Perang Dingin antara blok Komunis dan blok negara-negara Kapitalis di mana Indonesia

internal di dalam negeri untuk memenangkan blok yang mereka bela dan memberi keuntungan kekuasaan politik maupun ekonomi. Lihat Benedict R. Anderson dan Ruth Mc. Vey dalam makalah yang berjudul ", A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, atau dikenal dengan istilah Cornel Paper.

114 115D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

sepeda motor yang dimiliki D. Kumarasamy itu masih dalam ukuran

sederhana, tidak mewah. Akan tetapi bagi D. Kumarasamy, fasilitas

kendaraan yang seperti itu ia anggap lebih dai memadai untuk

kelancaran pelaksanaan misi kehidupannya.

Sejak D. Kumarasamy menjalani pensiunnya dari pekerjaannya

di Harrison Craossfield (yang kemudian bernama P.T. London

Sumatra), ia membuka usaha kecil-kecilan yaitu toko kebutuhan

sehari-hari di rumah. Di samping itu ia juga mengajar bahasa Inggris

dari rumah-ke rumah (privat-less). Hasilnya cukup lumayan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terlebih-lebih mereka yang

mengharapkan tenaga darinya sebagai guru les privat, umumnya

terdiri dari mereka yang kehidupannya cukup mapan dan dapat

memberinya honor yang sangat memadai.

Sementara itu anak-anaknya dari istri pertama maupun dari

istri kedua, boleh dikatakan sudah hidup secara layak dan mandiri.

Kedua anak dari istri yaitu pertama yang perempuan yaitu Sakuntala

dan anak laki-laki Nyana Pergas tetap beragama Hindu. Sakuntala

akhirnya menetap di Malaysia, sedangkan Nyana Pergas yang kawin

dengan seorang wanita pribumi menetap di Medan.

Bagi anak-anaknya yang ingin melaksanakan upacara perkawinan

menurut agama di luar Budha, D. Kumarasamy tetap memberikan

restunya dan tetap ikut membantu pembiayaannya. Sebagai ayah pun

memberikan kata sambutan atau nasehat dalam upacara perkawinan

itu, walaupun untuk upacara keagamaannya Anna tidak ikut campur.

Hanya pada anaknya Indra Kumarilah, D. Kumarasamy memimpin

upacaranya langsung yang diadakan di Medan Loge pada tahun

1959. Menantu menantu dari anaknya yang beragama Budha itu juga

seorang penganut agama Hindu, dan bernama Kanapathi .

Begitulah sikap dan tindakan D. Kumarasamy di tengah

keluarganya. Sementara itu, di tengah kelompoknya terutama di

kalangan etnis Tamil yang ada di kawasan Sumatera Utara, pada usia

yang tergolong lanjut, ia tidak pernah kehilangan komitmennya. Sang

Anna tetap aktif di tengah kelompok Theosophy, kalangan umat Budha

dan kelompok etnis Tamil Hindu. Semangatnya dalam menghidupi

PERWATIN (Persatuan Warga Theosophy Indonesia) yang menjadi

lembaga resmi dan diakui pemerintah sejak 30 Juli 1963, menjadikan

perkumpulan ini tetap eksis dalam berbagai situasi. Pada tanggal

17 Februari 1968, ditetapkan sebagai hari jadi PERWATIN Sanggar

Medan.

Pembenahan di kalangan umat Budha dalam kehidupan

keagamaan sangat terasa saat itu di Medan. Buku Maha Puja

yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, semakin

memperoleh pengakuan dan telah memberikan imbas yang sangat

luas ke kawasan Indonesia lainnya. Perkembangan selanjutnya, agar

lembaga keagamaan Budhis ini semakin terkordinir, tahun 1968,

Persatuan Upasaka-Upasaki Indonesia (PUUI) dan Perhimpunan

Budhis Indonesia (PERBUDI) dilebur menjadi satu wadah dengan

nama Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI).

Aktivitas D.Kumarasamy di bidang keagamaan Budha semakin

menonjol dalam perjalanan usianya yang makin senja. Pada tanggal 3

Agustus 1971, ketika usianya sudah mencapai 65 tahun, beliau terpilih

kembali untuk menghadiri Ulang Tahun ke-75 Buddhis Temple yang

ada di Kuala Lumpur Malaysia. Acara ini bersamaan pula dengan

acara pembukaan “Internasional Buddhis Pagoda” di kota tersebut.

Beliau mendapatkan kehormatan untuk memberikan kata sambutan

di Brick Field Kuala Lumpur, di hadapan perwakilan umat Budhis

sedunia yang hadir.

Dari hasil pertemuan tersebut D. Kumarasamy memperoleh

hikmah yang luar biasa. Setidak-tidaknya antara umat Budha

dari berbagai negara dan asal budaya, dapat berkomunikasi satu

dengan yang lain, termasuk membicarakan berbagai konsep-konsep

keagamaan maupun tata cara peribadatannya. Dari petemuan besar

D. Kumarasamy dalam pernikahan putrinya, Indra Kumari, di lodge Medan

116 117D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

ini, erbentuklah Dharma Institut dan Buddhis Missionary Institution.

Pada waktu ditetapkan yang menjadi presidennya adalah Ven Nayaka

Thera.

Dalam rangkaa peningkatan penghayatan keagamaan, diputuskan

pula disetiap Pagoda (vihara) akan disediakan ruang khusus untuk

melakukan meditasi. Bagi D. Kumarasamy sendiri, tata ruang yang

demikian sangat ideal, karena aktivitas meditasi merupakan metode

yang sangat efektif untuk menjernihkan fikiran melalui kesegaran

udara. Kesegaran udara yang dihirup akan menjalar ke seluruh pori-

pori, seluruh tubuh dan ke pusat syaraf sehingga mampu melahirkan

paduan jasmaniah dan rohaniah yang sehat dan bersih.

Berikut ini adalah kata sambutan dari Maha Upasaka Maha

Pendeta Ashok Dharma Surya (D. Kumarasamy) di Brick Fields,

Kuala Lumpur–Malaysia, pada tangaal 03 Agustus 1971:

"Pada perayaan HUT ke 75 Buddhis Temple dan peresmian

pembukaan International Budhist Pagoda di Kuala Lumpur– Malaysia,

saya merasa memperoleh penghargaan yang sangat bernilai karena

berkesempatan untuk menyampaikan ucapan selamat dan sentosa yang

diliputi kegembiraan dari hati nurani kami atas nama saya pribadi dan

masyarakat Budhis di Sumatera Utara.

Mengingat pada sejarah singkat dari Budhis Temple ini, saya

terkenang pada kata–kata yang telah diucapkan oleh Albert Camus,

“Cita–cita luhur yang dicetuskan, suatu saat menjadi kenyataan, tampil

di dunia laksana merpati, kemudian jika kita cermati dengan dengan

sungguh–sungguh akan terdengar suara–suara gelepar sayap–sayapnya

yang lemah berharapan hidup–leluasa”

Demikianlah, kenyataan dari cita–cita untuk membangun sebuah

Buddhis Temple di Kuala Lumpur, dicetuskan pada tahun 1894 bersama

dengan pembentukkan Yayasan 'Sasana Abhiwurdhi Wardhana', yang

dilanjutkan dengan pembangunan dan meng giatkan aktivitas Yayasan

sehingga tidak ada terhambatan atau mengalami kelesuan, tetapi

senantiasa dinamis dan sportif.

Pada tahun-tahun 1961 dan 1962 cita-cita tersebut makin menjadi

kenyataan dengan terbentuknya 'Dharma Institut' dan Yayasan 'Budhis

Missionary', berikut dengan penerbitan majalah“ The Voice of Budism”

yang tercatat kira–kira 3000 pelanggan tersebar di seluruh Dunia pada

masa kini.

Seseorang berkata, “Jika tidak dapat melihat maka orang menderita”

dan di sini kita melihat suatu makna pandangan tanpa kepentingan

pribadi, suatu idea luhur bagai bibit yang sangat kecil jatuh ke dalam

beberapa kalbu dan pikiran–pikiran luhur. Kita tidak berkhayal, tapi

memandang pada perkembangan cita–cita luhur tersebut, dengan

harapan kita dapat berbangga dan merindukannya.

Pada HUT ke-75th ini, cita- cita dari generasi lama dilanjutkan oleh

generasi penerus yang terlibat dalam Buddhis Temple beserta aktivitas–

aktivitas lainnya. Saya merasa yakin dan berterima kasih dengan penuh

bhakti pada pendiri–pendiri terdahulu dan juga pada pengabdi yang

dengan sukarela telah lebih dahulu memperjuangkan kemajuan dengan

tabah dan tekun. Sebuah pengabdian demi perkembangan seluruh

karya organisasi yang telah menebarkan cahaya Dharma hingga dapat

menyinari permukaan bumi yang diliputi penderitaan ini. Suatu karya

selama tujuh puluh lima tahun terus-menerus di dunia yang penuh

pergolakan. Oh! Sungguh merupakan sesuatu yang menakjubkan.

Yang Mulia Maha Nayaka K. Sri Dhammanand Thera, dengan hati

yang tulus serta penuh kebijaksanaan, pertimbangan–pertimbangan

yang mengesankan, kaya imajinasi dan tanpa kenal lelah, telah

berbakti bersama-sama dengan pembantu–pembantunya yang setia

melaksanakan karya–karya yang maha berguna. Demikian pula

dengan menerbitkan pamflet–pamflet yang sangat banyak serta buku–

buku mengenai Buddha Dharma yang sangat penting dalam kebaktian–

kebaktian. Yang Mulia juga memberikan khotbah–khotbah Dharma

dalam pertemuan–pertemuan dan seminar– seminar keagamaan baik

dalam negeri maupun di luar negeri.

Yang Mulia Maha Nayaka Thera bukanlah seorang pemimpin

umat Budha yang berpandangan sempit, tetapi beliau adalah seorang

yang berpengetahuan luas dalam Budha Dharma, Hindu Dharma,

juga Theosofi dan berbagai aliran agama–agama. Beliau aktif dalam

penyelenggaraan seminar–seminar kebatinan yang menghasilakan

saling kenal - mengenal serta saling menghormati antar umat beragama

dan memberi banyak ulasan mengenai amanat Sang Budha (Buddha

Dharma) untuk dunia yang menderita akibat ulah penghuninya.

Di negeri yang indah seperti Malaysia, di mana hadir berbagai ras

yang penganut berbagai agama besar dan aliran kepercayaan, terjalin

keakraban di antara mereka, saling bahu-membahu dalam membina

kehidupan beragama serta toleransi dengan penuh pengertian dalam

118 119D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

karya–karya batiniah. Tidaklah berlebihan jika disebutkan bahwa

perhatian dunia ditujukan pada Malaysia. Dunia kagum melihat

keindahan kerja sama yang lazim di antara berbagai kelompok cerdik

cendikiawan, di bawah naungan pemimpin–pemimpin pemerintahan

yang bijaksana, dalam menghadapi perkembangan keagamaan

serta melindungi dan membina persatuan sesuai dengan keinginan

setiap orang. Selain itu pembangunan akhlak sangat berguna, dalam

melengkali upaya membangun hidup rukun dan damai.

Saya tidak meragukan bahwa Yayasan Buddhis Missionary yang

dipimpin Ven. Maha Nayaka Thera beserta kolega–koleganya akan

berbuat banyak melalui karya–karya yang sangat bernilai sesuai tujuan

ini, suatu rintisan untuk membina persaudaraan universal tanpa

membeda-bedakan martabat, kepercayaan, ras berwarna atau agama.

Tidaklah berlebihan, jika disebut bahwa Buddha Dharma adalah

suatu aliran yang mengutamakan moralitas (akhlak) dan tanpa moral

bukanlah Buddha Dharma.

Pada masa ini kita melihat generasi muda di mana saja di dunia

ini tidak memiliki tuntunan, untuk tidak mengatakan mudah beralih

pada jalan yang menyesatkan dan masa depan mereka mungkin akan

menyeramkan. Generasi muda tidak mau menerima suatu gagasan

hanya berdasarkan kepercayaan, mereka menghendaki fakta–fakta

daripada ide–ide sesuai dengan cara pikiran sehat yang dapat diterima

akal. Mereka menolak segala sesuatu yang ditanamkan pada mereka

dengan paksa atau kekerasan. Apakah yang harus kita perbuat untuk

mengatasi situasi ini? Yayasan ini tidak berniat untuk menganjurkan

pada siapa pun untuk mengubah seseorang menjadi pemeluk Buddha

Dharma, tetapi berhasrat dengan teguh untuk menuntun umat manusia

kearah kebijaksanaan, kebenaran, moralitas dan mencintai alam

semesta, serta memberikan kesempatan untuk mencoba kebolehan

mereka untuk menghidupi moralitas dan membangun negaranya. Para

pemimpin dari Yayasan ini, niscaya akan memberikan bimbingan dan

buah pikiran mereka untuk menjawab apa yang dibutuhkan.

Selanjutnya, dengan membangun Internasional Buddhis Pagoda,

saya ikut bergembira karena bersamaan dengan pembangunan pagoda

tersebut telah dibangun ruangan untuk meditasi. Hal ini merupakan

batu loncatan untuk perkembangan lebih lanjut dalam sejarah Yayasan.

Di kota–kota besar maupun kota kecil di mana saja terjadi

perluasan daerah, semua orang menjadi sibuk tanpa berkesudahan

dan bersamaan dengan itu terjadi peningkatan lalulintas kendaraan

dan sebagainya, yang menimbulkan kebisingan–kebisingan dahsyat,

sehingga sangat sulit untuk memperoleh tempat di mana seseorang

dapat duduk dan menikmati udara segar di alam sekitarnya dan bisa

menenangkan pikiran. Oleh sebab itu sangat di butuhkan suatu tempat

yang sunyi sepi dalam admosfir yang sesuai untuk menenangkan

pikiran dan menikmati udara nyaman bagi jasmani dan rohani. Saya

berkeyakinan dengan bimbingan Ven. Maha Nayaka Thera di ruangan

meditasi tersebut umat dan masyarakat dapat bermeditasi, yang dengan

demikian akan mencurahkan berkah untuk Kuala Lumpur dan juga

bermanfaat bagi umat Buddha dan umat lain.

Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada pengabdi–pengabdi

Dharma dalam naungan yayasan Missionary dan hendaknya mereka

dapat menerima segala berkah dari Sang Tri Ratna untuk seluruh

karya–karya mereka yang dapat membawa perdamaian, kesejahteraan

serta kebahagiaan untuk Malaysia, Asia Tenggara dan seluruh Dunia.

Saya berharap dalam pelaksanaannya nanti makin meluas jangkauan

pengaruhnya, tumbuh dan berkembang seperti pohon Boddhi".

121D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar120 D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan

'Namaste', adalah ucapan salam di kalangan etnis Tamil ketika

mereka saling bertemu, sembari menyusun kesepuluh jari tangan

dan meletakkan setentang jantungnya masing-masing diiringi wajah

takzim saling menghormati dari kedua belah pihak. Dalam memberi

maupun menerima salam, kedua belah pihak mengucapkan kata yang

sama, masing-masing berupaya mendahului sebagai manivestasi

kerendahan hati. Kata 'namaste', bukan sekedar sebagai teguran sapa

'selamat pagi', tetapi mempunyai makna yang lebih dalam, sebagai

ucapan doa bagi kesejahteraan mereka. Keangkuhan dan kesombongan

manakah yang tidak akan runtuh bila seseorang menerima sapaan

yang bermakna demikian? Dan nurani mana yang tidak luluh bila

ditegur demikian sehingga merasa berkewajiban untuk membalasnya

dengan setimpal.

Kata hati itu dalam ucapan 'namaste' terbukti mempererat

hubungan antara sesamanya. Memang benar kata pribahasa, “bahasa

menunjukkan bangsa” tercakup di dalamnya martabat dari mereka

yang mempergunakan bahasa tersebut. Tutur kata yang indah, pasti

dapat mencairkan kekerasan hati. Inilah satu contoh yang ditanamkan

D. Kumarasamy dalam pergaulan sesama kelompok etnis Tamil, baik

yang beragama Hindu maupun Buddha. yang jelas, sterio-type (cap-

cap buruk tentang mereka yang berbeda) antara kedua kelompok ini

semakin menipis dan pada akhirnya menumbukan hubungan yang

egaliter. Seorang pandhita sekalipun takkan mampu memalingkan

wajah, dan dia akan memberikan salam yang sama sekalipun dari

D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

8

122 123D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

seorang yang berasal dari kelas sosial rendah.

Mungkin masih ada sebagian orang yang masih memandang

skeptis kepada D. Kumarasamy, sebagai seorang tokoh yang tidak

konsisten, dengan dasar beberapa hal berikut : Di antara anaknya ada

yang beragama Hindu, tetapi mereka menyelenggarakan upacara di

vihara Borobudur. Sebaliknya anaknya yang beragama Buddha ada

yang dikawinkan di kuil Hindu. Ada juga di antara anaknya yang

peresmian perkawinannya di gedung Theosophy. Namun justru

di sinilah D. Kumarasamy ingin memperlihatkan pendalaman

Theosofynya, bahwa agama adalah sebuah metode (cara) menuju

tempat yang sama. Bagi mereka yang mengenal D. Kumarasamy

secara lebih mendalam dan mempunyai wawasan yang lebih luas,

keputusan-keputusan D. Kumarasamy seperti ini makin meninggikan

rasa hormat orang terhadapnya. Tidaklah mengherankan bila

akhirnya, oleh masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan Sumatera

Utara, beliau di anugerahi gelar kehormatan SAMUGHA VALLELAR

yang artinya “Yang Mulia Bapak Pembina Masyarakat”.

Bahkan ada di antara sahabat-sahabatnya baik dari kalangan

penganut Hindu maupun Budha yang mengundang D. Kumarasamy

untuk menghadiri upacara perkawinan di hotel-hotel berbintang

yang ada di kota Medan. D. Kumarasamy selalu menghadirinya

sekaligus memberikan kata sambutan dan memberikan pemberkatan,

selama tidak halangan. Yang jelas beliau siap memberikan apa yang

dapat diberikannya bagi mereka yang membutuhkannya. Mereka

yang dianggap kaya ataupun miskin selalu merasa ada kekurangan,

D. Kumarasamy siap memberikan bantuannya. Ada saja pihak yang

skeptis pada keterbukaan dan sikap egalitarianya.

D. Kumarasamy sangat memahami, kehidupan manusia,

sesuai dari kemampuan dan kodrat Tuhan selalu mempunyai

tingkat yang bervariasi. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Kedua

kondisi akan saling membutuhkan. Mereka yang kebetulan kaya

tak dapat melayani kebutuhannya tanpa adanya peran orang yang

miskin. Demikian sebaliknya mereka yang miskin tak mungkin

memperoleh rezeki tanpa melalui kucuran mereka yang berlebihan.

Kehidupan senantiasa membutuhkan keseimbangan. Oleh karena

itulah D. Kumarasamy tidak saja akan memperhatikan atau berpihak

kepada mereka yang miskin, tetapi juga menjalin persahabatan

dengan tokoh-tokoh etnis Tamil serta etnis dari India lainnya agar

dapat memprakarsai hubungan yang harmonis antara mereka yang

kaya dengan yang miskin. Sekali lagi perlu diketahui kedekatan D.

Kumarasamy dengan tokoh-tokoh yang kaya pada hakikatnya agar

mereka juga dapat berbuat dan memperhatikan kemiskinan. Dalam

kenyataannya D. Kumarasamy telah berhasil menyatukan masyarakat

etnis Tamil dalam kawasan daerah ini, tanpa harus ada pertentangan

yang disebabkan perbedaan agama maupun tingkat sosial mereka.

Hampir tidak ada yang mengetahui, termasuk keluarganya

sendiri, bahwa dalam kesederhanaan hidupnya, D. Kumarasamy

masih sempat memberikan modal pada tukang-tukang becak. Melalui

sisa-sisa uangnya yang ada, Anna membayarkan harga becak yang

selama ini disewa oleh tukang becak yang menjadi langganannya.

Dengan cara demikian si tukang becak tak perlu lagi membayar

setoran dari pemiliknya karena becak itu telah menjadi milik penarik

becak itu. Ada beberapa orang tukang becak yang memperoleh modal

pinjaman dari D. Kumarasamy, sehingga hasil pencahariannya dapat

sepenuhnya dinikmati atau ditabungnya sendiri untuk membayar

pinjaman kepada D. Kumarasamy. Tukang-tukang becak tadi, pada

umumnya mangkal di sekitar kediaman D. Kumarasamy. Orang

mungkin akan heran, kalau D. Kumarasamy akan bepergian dengan

berkendaraaan becak, maka becak-becak yang mangkal di dekat

rumahnya akan segera menyongsong D. Kumarasamy. Dan beliau bila

sampai ke tempat tujuannya, selalu ditunggui oleh tukang becak itu.

Tukang-tukang becak itu dengan wajah ceria akan selalu membawa

D. Kumarasamy kemanapun tanpa mengharapkan bayaran. Mungkin

dengan cara inilah mereka membalas budi atau “mengangsur”

kebaikan D. Kumarasamy.

Menjelang usianya yang mencapai 70 tahun D. Kumarasamy

terus menebarkan senyum dan kasih sayang kepada orang lain.

Satu hal yang tidak pernah diucapkan dan menjadi tekadnya adalah

seorang pimpinan harus tahu bila saatnya ia harus mewariskan

kepemimpinannya kepada generasi berikut. Ia juga harus

mempersiapkan seorang pemimpin sebelum ia mengalihkannya

kepada orang lain. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu

mencetak kader yang harus meneruskan misi perjuangannya.

Maha Puja yang berkumandang dua kali dalam satu bulan terus

bergemah di vihara Bakti Sala Borobudur. Satu kali dalam bahasa Tamil

dan yang berikutnya dalam bahasa Nasional (Indonesia). Di bawah

124 125D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

pengawasan D. Kumarasamy, A. Willu selalu memimpin pelaksanaan

upacara itu. Dan semenjak tanggal 22 Maret 1962, pelaksanaan Maha

Puja Ashok Tilagha Raja Gopal. Bentuk upacara ini juga dilakukan

di vihara Ashoka kampung Anggrung Medan. Di samping itu gema

dan kidung Paritta yang tersusun dalam Ashok Gatta terus merambat

mengisi pori-pori kesadaran nurani para penganutnya. Tiga ratus tiga

puluh empat paritta terus berkumandang. Dengan ketulusan batin

dan pikirannya D.Kumarasamy telah menyusunnya. dengan tujuan

utama untuk memperkokoh kesadaran manusia sebagai makhluk

fana dapat mencapai tempat yang abadi.

Dalam paritta itu dijelaskan secara gamblang bagaimana seorang

hamba meminta tolong sambil merendahkan diri kepada Yang Maha

Agung. Untuk melakukannya tentunya harus mengambil petunjuk

dari yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha Gautama Sakyamuni.

Sesuai dengan tingkat kesadaran para pemeluknya maka dikisahkan

pula dalam bahagian paritta lainnya, bagaimana mereka yang

memegang ajaran maupun yang konsisten dengan ajarannya juga

tentang kehidupan di alam gaib bagi mereka yang harus melaluinya

sesudah mati.

Ungkapan membangun kesadaran itu dapat dilihat dari beberapa

petikan yang tertera dalam kitab Maha Puja :

Aum Namo Buddhaya Saranang

Aum Bodhi satwa Mahasatwa Saranang

Saranang Saranang Sakyamuni

Pada kakimu kami mengabdi

Kami berkunjung pada Mu

Menyanyikan Pujaan di kaki-Mu

O lambang cinta kasih

Maha Duli Sangha lindungan kami

Semoga subur jalan nan Mulia

Agar manusia renungkan SUNYA

Untuk mengabdi di kaki Mu

Kami sembahkan hati pada Mu

Semoga kata hati dan tindakan

Sadar semua kesatuan

Aum Namo Buddhaya kami sujudkan

Segala karya kebaikan

Sebagaimana yang diungkapkan pada awal bab ini, Anna D.

Kumarasamy (M.P. Ashok Dharma Surya D.K), adalah seorang

SAMUGHA VALLELAR atau bapak pembina masyarakat, terutama

di kalangan etnis Tamil yang ada di kota Medan dan sekitarnya.

Dasar pemberian gelar ini tentu dari apa yang telah disumbangkan

bagi semua komunitas yang ia dampingi. Perbedaan agama, ras dan

keyakinan tidak pernah dapat menghalanginya untuk terus mengabdi

bagi perbaikan hidup secara jasmani maupun ruhani. Dalam upaya

perbaikan itu berbagai reformasi diusahakan, baik dalam komunitas

D. Kumarasamy dalam pembacaan Maha Puja

126 127D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

agama Hindu maupun Budha. Semua reformasi bertujuan agar

keberagamaan yang dihayati dan dijalankan oleh pemeluknya tidak

jauh dari tujuan yang hakiki, karena pada dasarnya, setiap gerakan

reformasi, dalam bidang apapun pada hakikatnya adalah gerakan

penataan kembali agar gerakan itu benar-benar menuju sasarannya.38

Sejak D. Kumarasamy penjadi pemimpin umat ke Budha, beliau

pun sudah melihat munculnya pimpinan yang baru di kalangan umat

Hindu yang akan memimpin umat sesuai dengan irama zaman yang

dihadapinya. D. Kumarasamy mengetahui benar, seorang tokoh yang

bernama S. Marimuthu memang pantas menjadi pimpinan di kalangan

etnis Tamil, terutama yang beragama Hindu. Bila sebelumnya D.

Kumarasamy menekankan pembangunan yang dilandasi moral,

maka kini tiba saatnya untuk membangun prasarana ataupun sarana

untuk mencapai perbaikan situasi hidup yang diidam-idamkan. Yang

terpenting bagi D. Kumarasamy, walaupun ada perbedaan dalam

bidang keagamaan di dalam kelompok etnis Tamil, mereka tidak akan

terpecah. Hal ini selalu diingatkannya di tengah masyarakat etnis

Tamil dengan ungkapan sebagai berikut :

“Apabila kita bersatu, maka kita dapat memperoleh kehidupan

sesuai dengan yang kita idam-idamkan, dan jika kita bercerai-cerai

maka kehancuranlah yang akan menimpa kita semua”.39

Semangat persatuan ini dibuktikannya, ketika D. Kumarasamy

menjadi seorang Budhis tetapi ia juga memimpin Sri Mariamman Kuil

di Medan (1947-1954 s.d. 1954-1958). Pada periode berikutnya, sesuai

dengan perjalanan usianya Sang Anna semakin membatasi perannya

sembari memberikan jalan agar muncul tokoh-tokoh pengganti.

Hal yang tak pernah berubah dalam diri D.Kumarasamy adalah

komitmennya terhadap etnis Tamil Hindu maupun Budha. Beliau

tetap merasa berada di tengah mereka, demikian pula sebaliknya

penganut kedua kelompok agama itu tetap mengangapnya sebagai

pemimpin mereka. Barangkali benarlah apa yang pernah diungkapkan

38 Ungkapan ini diperoleh dari M. Shri Ramlu selaku Ketua “Parisada Hindu Dharma Indonesia,Propinsi Tk. I Sumatera utara

39 Dikutip dari makalah yang diterbitkan oleh “Parisada Dharma Indonesia Propinsi Sumatera Utara dalam sidang musyawarah antar umat beragama se Sumatera Utara pada tanggal 2 s.d. 5 Desember 1977.

oleh Empu Tantular dalam cerita Sutasoma, lebih kurang 600 tahun

yang lalu.

“Rwaneka Dhatu winuwus wara Buddhawiswa Bhika Rakwa,

Noikapan Yeki Parwanasen Mangkang Jinatwa Iswan Siwatattwa

Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.

Yang artinya, lebih kurang sebagai berikut :

“Disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Agung dan universal

berwujud dua dan berbeda kapan dia (yang Tunggal itu) dapat dibagi.

Oleh karena itu pada hakekatnya Tuhan yang berwujud Adi Buddha

dan berwujud Siwa mahadewa adalah tunggal. Walaupun berbeda

cara yang ditempuh oleh setiap agama, namun tiada agama (Dharma)

yang memuja dua Tuhan"

Inilah dasar pandangan dari aktivitas D. Kumarasamy, terlebih-

lebih bila melihat dasar pendalamannya di bidang Theosophy. Dengan

dasar ini pulal akhirnya Dirjen Bimas Hindu dan Budha, Departeman

Agama menunjuk dan mengangkatnya untuk menduduki jabatan yang

memberinya kewenangan memimpin upacara-upacara pernikahan

di kalangan penganut agama Hindu dan Buddha. Dan karena itulah

dalam sisa-sisa usianya beliau selalu hadir di tempat-tempat mereka

yang membutuhkannya.

Sementara di kalangan umat Hindu etnis Tamil yang ada di

kawasan ini juga mengalami perubahan-perubahan dalam upaya

menyesuaikan diri dengan zaman yang dihadapinya sendiri, bahwa

basis dari pembinaan masyarakat harus berpijak kepada pendidikan.

Sedangkan hasil pendidikan yang ideal haruslah dengan melakukan

pembinaan moral yang berazaskan agama. Dengan kata lain, moral

tidak hanya lahir dari hasil nalar manusia. Akan tetapi moral harus

muncul dari perkembangan penghayatan nilai-nilai agama. Oleh

karena itu lembaga-lembaga umat Hindu yang ada selama ini seperti

Deli Hindu Sabha, maupun lembaga pendidikan Bharathi English

School harus tetap berada dalam wadah lembaga dalam Sri Maryaman

Kuil yang ada di jalan K.H.Z. Arifin (kelurahan Madras) Kota Medan.

Pada tahun 1970, Deli Hindu Sabha dibubarkan dan seluruh

inventarisnya diserahkan kepada Sri Maryaman kuil. Dan sejak itu

128 129D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

pulal Sri Maryaman Kuil membangun lembaga baru, masih dalam

naungannya, yang bernama Satrem. Lembaga ini sejenis dengan panti-

jompo yang ada sekarang untuk mengurus orang-orang tua (jompo)

dari keluarga yang kurang mampu.

Untuk membenahi lembaga-lembaga yang diambil alih oleh

Sri Maryaman kuil maka gedung ibadah ini pun dibenahi sesuai

dengan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Tentu saja pembenahan ini

memerlukan biaya. Tokoh S. Marimuthu, yang mempunyai kelebihan

kekayaan, tak segan-segan menyumbangkan sebagian hartanya untuk

itu. Beliau sadar, anugrah Tuhan sudah selayaknya disalurkan kepada

masyarakat yang membutuhkannya. Dengan segala keikhlasannya

ia secara pribadi menyumbangkan satu unit mobil jenazah,

untuk melayani keluarga-keluarga yang ditimpa musibah, tanpa

membedakan agama yang dianutnya. Beliau juga tidak ragu-ragu

dengan biaya sendiri untuk mendatangkan rohaniawan-rohaniawan

dari luar negeri, seperti dari India maupun Sri Langka, agar masyarakat

etnis Tamil baik yang memeluk agama Hindu maupun Budha dapat

memperdalam pegetahua dan penghayatan keagamaannya.

Pada tahun 1974, telah diadakan rapat umum menentukan

pengurus baru yang memimpin Sri Maryaman Kuil se-Sumatera Utara.

D. Kumarasamy sebagai Pandita Loka Palasraya menikahkan anak angkatnya

Mereka yang hadir dalam rapat, selalu melihat integritas, komitmen

dan berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh para calon pimpinan

yang dipilihnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila peserta

rapat pembentukan pengurus yang baru itu, dengan suara yang bulat

(aklamasi), memilih S. Marimuthu untuk diangkat sebagai Ketua

Umum yang baru. Beliau pun tidak dapat menolak, terlebih-lebih

beliau pun merasakan perlunya pembenahan di kalangan masyarakat

Tamil di daerah ini.

Ketika Sri Maryamman kuil selesai dipugar pada tahun 1976,

dan bertepatan usia D. Kumarasamy yang memasuki tahun ke -70,

SAMUGHA VALLELAR D. Kumarasamy diminta untuk meresmikan

penggunaan kembali gedung Sri Maryaman Kuil. D. Kumarasamy

benar-benar merasa berbahagia, karena di usianya yang senja,

telah datang seorang tokoh yang ingin mengabdikan dirinya untuk

masyarakat etnis Tamil Hindu.

Sementara itu Bharathi English School yang berada dalam

naungan Sri Maryaman Kuil, juga mengalami perubahan. Pada tahun

1976 itu juga, sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan di masa Orde Baru, maka seluruh lembaga pendidikan

yang “bercorak asing” harus di nasionalisasikan. Oleh karena itu

Bharathi English School berubah nama menjadi 'Perguruan Dharma

Putra'. Namun oleh S. Marimuthu, perubahan dilakukannya bukan

hanya sebatas nama. Sekolah itu dikembangkan, tidak hanya mengelola

di tingkat dasar dan SMP tetapi dilanjutkan sampai ke tingkat SMA.

Gedung-gedung sekolah yang diperbaiki dengan bangunan yang lebih

permanen dan dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang yang dipusatkan

di jalan Darat, kelurahan Medan Baru. Dari lembaga pendidikan yang

dikelola dan dikembangkan sepenuh hati ini, telah melahirkan banyak

lulusan yang di antara dapat melanjutkan di Perguruan Tinggi Negeri.

Dalam usia yang telah mencapai 70 aktivitas D.Kumarasamy

semakin terbatas, mengingat kondisi fisiknya semakin melemah.

Meski demikian, dalam sisa usianya, beliau masih tetap berbuat,

terutama untuk melayani masyarakat yang membutuhkannya. Beliau

selalu menyadari, seorang pemimpin adalah seorang yang bertugas

melayani masyarakat, meski Sang Anna tahu perkembangan populasi

masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan daerah Sumatera

Utara ini makin membesar. Tantangan pun semakin besar bersama

perubahan zaman. Interaksi manusia juga semakin pesat yang dunia

130 131D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

Kiri ke kanan: Mohan Leo (anak), D. Kumarasamy, Wigneshwar (cucu), Pramesywari, Arun Moli (menantu)

saat ulang tahun D. Kumarasamy ke 70

D. Kumarasamy, Wigneshwar memberikan ceramah di Sekolah Kebudayaan

yang makin terseret arus globalisasi. Akan tetapi Anna juga makin

menyadari keterbatasan keampuan fisiknya untuk melayani. Sang

Anna telah menunjukkan kesadarannya, kapan ia harus “pergi” dan

kapan harus “kembali”. D. Kumarasamy cukup merasa bahagia karena

telah berbuat sesuai dengan keyakinan dan pandangan hidupnya.

Di usianya yang senja, bait-bait Maha Puja-nya senantiasa

menggema.

O Bodhisatwa : Anugrahilah kami, semoga kami mencurahkan

Cinta-Kasih kepada semua hidup.

Dimana saja, bilamana saja dan taraf manapun juga kami ingin

memuji keindahan Mu.

Anugrahilah kami dengan cahaya Mu agar dapat memasuki

Nirwana nan Suci

Ampunilah kami atas segala kesalahan dan kami mengharapkan

keadaan yang tak terpisah dari Mu.

O Maha Satwa : Anugrahilah kami semoga kami tak dihinggapi

sedikitpun oleh kemarahan dan jeratan nafsu.

Semoga dunia yang gelap ini batas dari segala kejahatan. Dalam

kehadiran para Alim Ulama, kami agungkan.

Segala kegelapan mesti lenyap agar semua yang berhubungan

dengan kami hendaknya menemui kegembiraan dan semuanya

berbahagia.

O, Vaj rasatwa ! Yang berjiwa kesucian, inginlah kami tenggelam

di dalam DIRIMU dan cair di dalam MU dan semoga menjadi satulah

kami dengan MU !

D. Kumarasamy tahu kapan saatnya ia harus “pergi”. Sebagai

seorang pengikut Budhis, dengan segala daya yang ada pandangan

ia telah melaksanakan “Cattari Ariya Saccani” (Empat kenyataan

Ariya).40 Dan inilah yang akan memahkotai perjuangan hidupnya.

Sebagai zat manusia biasa, tubuh D. Kumarasamy pun mengalami

proses alamiah. Pada awal bulan Mei 1978, ketika ia berusaha

melakukan suatu kegiatan di rumahnya, ia terjatuh. Beliau tetap

sadar, namun secara fisik benar-benar tak berdaya. Sejak itu Sang

Anna harus duduk atau terbaring di rumahnya. Kenyataannya ini

40 Empat tahap / proses agar seorang penganut Buddhis dapat menumpahkan dirinya pada nilai hakiki kemuliaan / kebenaran hidupnya. Ariya = Kebangsawanan, Kesunyataan = Kebenaran.

132 133D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

tetap wajar meski bagi seorang pencipta karya Maha Puja, karena

dengan segala apa yang dicapainya, ia juga layaknya seorang hamba

lainnya yang mengalami hal-hal yang bersifat alamiah. Sebaliknya,

bagi mereka yang akan ditinggalkan oleh “kepergian D. Kumarasamy”

yang dihanyutkan oleh perasan hormat dan kasih sayangnya, seakan

akan belum merelakannya.

Seluruh keluarga sudah mendesak D. Kumarasamy agar mau

dirawat di rumah sakit. Namun beliau sudah mengisyaratkan bahwa

upaya tersebut akan sia-sia. Sang Anna benar-benar sudah tahu,

saatnya hampir datang untuk menuju “keabadian”. Akan tetapi ketika

kerabat dan para sahabatnya datang menjenguknya dan meminta D.

Kumarasamy agar mau dibawa dan diopname ke rumah sakit, beliau

pun tak mampu menolak dan meneteskan air mata. D. Kumarasamy

tahu benar bahwa permintaan para kerabat dan sahabatnya itu sebagai

manifestasi kasih sayang mereka kepadanya.

Demi menghargai dan menghormati harapan dari kerabatnya

dan sahabat- sahabatnya itu Anna bersedia diopname ke rumah sakit

Methodist yang berada di jalan Husni Thamrin Kota Medan. Silih

berganti kerabat dan para sahabatnya datang menjenguknya untuk

menyatakan simpati dan memberikan semangat kepadanya agar

ia dapat sembuh kembali, baik dari mereka yang beragama Budha

maupun Islam. D. Kumarasamy senantiasa menyambutnya dengan

senyum dan sangat menghargai kunjungan-kunjungan para kerabat

dan sahabat-sahabatnya tersebut, sambil berupaya membalasnya

dengan salam susunan sepuluh jari yang diangkat di atas dada.

Pada hari ke 7 (28 Mei 1978) setelah Anna menjalani opname

di rumah sakit, bertepatan dengan jatuhnya hari Purnama Siddhi

(Waisak). Amrita Buddha datang menjemputnya. Anna memasuki

alam yang tanpa batas, dan melalui proses perjuangan kehidupannya

menebus penderitaan mereka yang mengalami kesengsaraan. Itulah

salah satu perjanjian Bodhisatwa yang pernah diikrarkannya. Sahabat

dan kerabat yang ketika itu tidak berada bersama D. Kumarasamy,

merasa tersentak karena sebenarnya mereka memperoleh firasat

kepergian “Anna D. Kumarasamy”. Ada di antara kerabat ataupun

sahabat D. Kumarasamy yang berada di luar kota merasa dikunjungi

D. Kumarasamy dalam mimpinya. Begitu bangun dari tidurnya, ia

langsung ke Medan, memastikan bahwa D. Kumarasamy telah pergi.41

41 Hal ini dikisahkan oleh salah seorang nara sumber bernama Shokolinggam (Pengurus

Para sahabat menjenguk D. Kumarasamy saat sakit di Rumah Ssakit

134 135D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

Bagi anggota keluarga yang menunggui D. Kumarasamy di rumah

sakit, mereka tidak terkejut. Mereka maklum dan tahu akan bahwa

'saatnya' hampir tiba. Meski demikian, sebagai anggota keluarga

yang selalu disentuh kasih sayang dan menjadi pribadi-pribadi yang

tertempa oleh kehalusan perasaan, mereka tetap tak mampu menahan

air mata. Mereka hanya mampu memberikan “namaste” terakhir

kepada suami, ayahanda atau kakeknya yang meninggalkan mereka,

tetapi susunan jari sepuluh ini bukan sebatas dada. Secara bersamaan

mereka meletakkan susunan jari kedua telapak tangannya di atas

keningnya, sebagai salam takzim mereka kepada tokoh yang menjadi

junjungan mereka.

Pada hari itu juga jenazah Anna D. Kumarasamy atau Maha

Pandita Ashok dharma Surya D.K., atau Samugha Vallelar, dibawa ke

rumah duka (rumah keluarga) yang berada di jalan Lobak Medan.

Suara genta yang berdenting nyaring dan gema suara “AUM”

menghadirkan harmonisasi suara dan irama yang shahdu yang

menimbulkan efek mistis. Gema suara itu merambat secara perlahan-

lahan ke lubuk hati yang hadir dalam keheningan penuh haru. Suara-

suara itu terus menerawang dalam sawang yang tanpa batas seakan

ikut mengantarkan arwah D.Kumarasamy dalam perjalanan menuju

Nirwana.

Sementara itu, jasad D. Kumarasamy masih terbaring berselimut

sejenis kain sutra berwarna putih. Di sekitar tubuhnya bertabur aneka-

warna bunga yang beraroma lembut. Aroma bunga-bunga ini berbaur

pula dengan wewangian asap dupa makin menambah kesegaran

atmosfer yang ada disekitar ruangan tampat jasad D. Kumarasamy

terbaring. Dan tanpa disadari aroma ini telah membangkitkan rasa

cinta-kasih dan bakti kepada jenazah yang terbujur di situ.

Para Bhiksu dan Pendeta, tak henti bergantian memimpin

pembacaan Maha Puja dan Ashok Gatha sambil mendentingkan

lonceng kecil yang ada di tangannya, kemudian diikuti oleh gema

suara bersama secara perlahan :

“Namo Sang hyang Adi Buddaya ……………………….. 3x

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma SamBuddhasa … 3x

Aum ………. Bhuwar ………. Aum ………. Sawar …….

Mariamman Kuil di Binjai) menceritakan pengalamannya itu kepada tim penulis. Demikian pula di antara nara sumber lainnya.

Aum ………. Mahar ………. Aum ………. Jana ……….

Aum ………. Tapa ………. Aum ………. Sattyam ……

Aum Shanti, Shanti, Shanti …………………………….

Shadu – Shadu, Shadu ……………………………………

Bagi orang-orang yang hadir, inilah perpisahan dengan orang

yang selalu menjadi pembimbing mereka. Bagi anak, menantu, dan

cucunya inilah kesempatan terakhir bersama seorang yang selalu

membelai mereka, dan bagi istri, inilah perpisahan dari belahan hati

dan jiwa mereka.

Tak ada seorang pun yang hadir ketika itu, yang tak merasa

kehilangan atas kepergian D. Kumarasamy. Setelah kematiannya

kehidupan pada masa lalu itu lebih dapat dikenang dan dirasakan.

Beberapa tokoh agama dan masyarakat telah memberikan kata-

kata penghormatan dan perpisahan. Dari para tokoh Budha,

Hindu, Theosofis, maupun yang beragama Islam memberikan

penghormatannya terakhir. Bagaimana pun perbedaannya dalam hal

keagamaan dengan D. Kumarasamy, mereka sangat menghormati,

karena D. Kumarasamy telah berbuat yang terbaik menurut

keyakinannya. Berbagai ekspresi penghormatan tidak ada hentinya

ditunjukkan oleh berbagai kalangan yang mengenal D.Kumarasamy.

Ada yang meletakkan kedua tangan (namaste) setentang dengan dada,

sebagai simbol yang melambangkan satu hati, ada yang meletakkan

kedua tangannya di kedua bibir, sebagai simbol pernghormatan

terhadap seorang Guru dan ada yang meletakkan di antara kedua

mata, sebagai simbol penghormatan dan tanda kasih sayang untuk D.

Kumarasamy dalam pembaringannya (kematiannya).

Keesokannya, setelah upacara-upacara di rumah duka selesai,

jasad D. Kumarasamy dibawa ke kawasan Tanjung Morawa (lebih

kurang 10 Km dari Kota Medan) untuk diperabukan atau dikremasi.

Melalui upacara yang singkat, akhirnya tubuh D. Kumarasamy menjadi

abu bersama kepulan asap yang mengawang tinggi ke angkasa. Alam

materi tak pernah abadi mengikuti proses alam. Akan tetapi keimanan

terhadap Sang Pencipta, itulah awal perjalanan D. Kumarasamy

menuju keabadiannya. Mungkin dalam perjalanan waktu orang dapat

lupa terhadap keberadaan D. Kumarasamy. Akan tetapi sesuai dengan

sifat amal kebaikan yang pernah disemaikannya, pasti akan bertunas

sepanjang zaman.

137Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia136 D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar

Jenazah Anna D. Kumarasamy, Samugha Vallelar, atau yang juga

bergelar Maha Pandeta Ashok Dharma Surya, telah diperabukan

sebagai persembahan terakhir Sang Hyang Adhi Buddha. Inilah

sebagai bakti yang pernah disusunnya dalam bait Maha Puja yang

disusunnya :

“Aum Namo Buddhaya, kami persembahkan segala karya kebaikan

…. Engkau yang menjadi darah daging, santapan, jiwa dan raga kami,

Namo-namo! Engkau yang menggerakkan Karma pada kami, Namo-

namo! Engkau yang berada di dalam segala elemen dan lima penjuru,

Namo-namo. O Engkau yang sempurna Aum! Namo-namo! Aum

Namo Amithaba Ratnasambawa Namo-namo. Aum namo Amoga Sidhi

Vairochana-Akshobaya Namo-namo! Aum Bhu! Bhuwar!Suwar!Aum!

Semua yang ditinggalkan, sanak keluarga, murid, sahabat

dan kerabatnya telah rela atas kepergiannya. Mereka membawa

renungannya masing-masing, hikmah apa yang telah diperoleh

dari D. Kumarasamy, dan tugas apa yang harus dilanjutkan sesuai

dengan harapan D. Kumarasamy. Tugas hidup takkan pernah usai.

Permasalahan senantiasa muncul bagaikan perputaran cakra dan

setiap permasalahan memerlukan cara atau metode yang sesuai

dengan zamannya.

Pada awal tulisan buku ini, telah disinggung bagaimana hubungan

budaya India (Hindu-Budha) dengan budaya pribumi di Indonesia.

Kenyataannya ini dapat pula dilihat dari nama bangsa “Indonesia” yang

berasal dari kata-kata Hindus dan Nesas dan mengandung pengertian

“Nusantara yang dipengaruhi peradaban Hindu”. Demikian pula

nukilan-nukilan prasasti yang masih terhantar di Persada telah

menjadi saksi sejarah sekaligus hubungan yang pernah terjadi, baik

dalam bentuk fisik maupun ruhani.

Perjalanan sejarah terus berkesinambungan dalam jalinan

kausalitasnya. Ketika bangsa Belanda masih menguasai Nusantara,

salah satu kelompok masyarakat yang berasal dari India, yaitu etnis

Tamil melakukan migrasi ke kawasan Sumatera Timur atau sekitar

kota Medan. Sesuai dengan latar kehidupan yang kala itu berasal dari

kelas rendah dalam bidang ekonomi, mereka umumnya dipekerjakan

sebagai buruh-buruh kasar di kawasan perkebunan yang dikelola

bangsa Eropa. Inilah awal-awal keehidupan yang mereka jalani di

tempat tinggal yang di wilayah baru di Sumatera Utara.

Ada sebuah kebijaksanaan yang menyatakan bahwa manusia

yang tidak bangkit menghadapi tantangannya adalah manusia yang

mandeg akan terlindas oleh berbagai perubahan sosial yang cepat.

Situasi yang menjerat ini ada kalanya menjadi pemantik kesadaran

untuk berjuang atau melakukan perubahan untuk kehidupan yang

lebih baik. Namun untuk dapat bangkit melakukan perubahan,

manusia membutuhkan pencerahan yang dapat diperoleh dengan

Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia 9

138 139Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia

memperluas wawasan, memperkaya gagasan dan intelektualitas yang

diperoleh melalui berbagai aktivitas pendidikan masyarakat. Tanpa

adanya nalar perubahan, maka manusia akan tetap saja menjadi objek

di lingkungan zamannya. Beruntung bahwa dalam setiap kelompok

masyarakat atau etnis selalu lahir orang yang unggul, primus inter

pares, yang dapat menjadi pimpinan di tengah kelompoknya .

Dalam setiap upaya perubahan, pembangunan mental dan

spiritual menjadi kunci yang dari untuk dapat mengupayakan

perkembangan lebih lanjut dalam meningkatkan kualitas sumber

daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang ideal, terdapat

pada perkembangan yang seimbang dan utuh mencakup jasmaniah

dan rohaniah atau material dan spiritual. Manusia yang mengabaikan

keseimbanagn hidup ini, hidupnya akan timpang. Tanpa pertimbangan

ruhani, seorang mungkin hanya akan menjadi Animal-Economic,

yaitu orang yang menjalani hidupnya hanya untuk mendapatkan

keuntungan-keuntungan material tanpa melihat kebutuhan ruhani

maupun keseimbangan hubungan kemasyarakatan dan alam semesta.

Pertimbangan harmoni atau keseimbangan dengan segala yang

terlibat dalam hidup manusia dalam rangka memajukan kehidupan

dapat diperoleh dengan penghayatan akan nilai-nilai kegamaan.

Inilah yang telah diupayakan D. Kumarasamy, dengan menjadikan

pendidikan moral keagamaan sebagai prioritas utama dalam

berbagai misi hidupnya. Oleh karena itu banyak tokoh banyak yang

berpendapat bahwa Anna D. Kumarasamy adalah tokoh ruhaniawan,

terutama di kalangan etnis Tamil di kawasan daerah ini. Namun dalam

menjalankan misinya ia menggunakan metode yang memanfaatkan

adminitrasi dan organisasi rasional-modern, dengan kecermatan yang

tinggi dalam menetapkan skala prioritas. Pendekatan-pendekatan

yang ia gunakan dalam misinya pun sangat bervariasi, antara lain

menggunakan pendekatan seni, budaya maupun olahraga.

Dalam berbagai upaya yang dilakukan D. Kumarasamy, ada

kalanya sebagian orang menyoroti kehidupan pribadi maupun

keluarganya. Tentu saja sebagai manusia ia mempunya keterbatasan,

namun sesungguhnya ia mempunyai argumentasi yang mendalam

atas semua keputusan dan pilihan tindakannya. Hanya saja bila itu

menyangkut perubahan atas stradisi yang bagi sementara orang sudah

telanjur merasa mapan sehingga menimbulkan rasa yang skeptis,

maka hanya waktu yang akan dapat menilai sejauh apa manfaat dari

perubahan tradisi bagi perkembangan suatu masyarakat.

Pembaharuan tradisi yang digagas oleh D. Kumarasamy adalah

bagian dari perjuangannya memperbaiki kehidupan ruhani maupun

jasmani masyarakat. Hal ini dilakukan, karena tradisi pada awalnya

merupakan tafsiran agamawan terhadap suatu ajaran yang diterapkan

dalam kehidupan masyarakat pada suatu era dalam konteks tertentu.

Sementara kehidupan manusia selalu berubah, demikian pula tatangan

yang harus dipecahkan. Untuk menjawab tantangan inilah tradisi

harus diperbaharui agar semangat awal dari suatu ajaran agama tidak

mengalami erosi dan menjadi panutan umat sepanjang masa.

Empat tahun sebelum Anna D. Kumarasamy meninggal, tepatnya

pada tahun 1974 seorang tokoh etnis Tamil yang bernama S. Marimuthu,

juga seorang yang berjuang dari bawah, dari tingkat kehidupan yang

sangat sederhana namun sempat mencicipi pendidikan yang cukup

baik. Dengan kegigihan dan kedidiplinan diri secara jasmani maupun

ruhani, ia berhasil menjadi seorang pengusaha tekstil yang cukup

diperhitungkan di kota Medan.

Keberhasilan pribadinya makin mendorong S. Marimuthu untuk

berkarya lebih banyak bagi masyarakat. Ia muncul menjadi pemimpin

Sri Mariamman Kuil di Kota Medan dan pemimpin lembaga-lembaga

kuil Hindu yang ada di kawasan Sumatera Utara.

Sebagai seorang yang pernah dekat dan menjadi sahabat Anna

D. Kumarasamy, S. Marimuthu banyak mempunyai pandangan yang

sama, termasuk soal peningkatan sumberdaya manusia melalui upaya-

upaya pendidikan. Terlebih-lebih setelah ia melihat masih banyak di

antara etnis Tamil yang ada di daerah ini yang pendidikannya masih

rendah. Dalam upaya itu, ia juga tidak membedakan antara etnis Tamil

Hindu ataupun Budha. Yang terpenting baginya, bagaimana caranya

mereka, etnis Tamil yang ada di Sumatera Utara yang populasinya

makin besar, dapat mengecap pendidikan dan sekaligus dapat

mengejar ketinggalannya dari kelompok yang. Ia pun menyisingkan

lengan bajunya untuk berbuat dan bertindak dengan segala daya yang

ada pada dirinya.

Dalam memperjuangkan masyarakat, S. Marimuthu juga bersiap

melibatkan putranya yang bernama M. Siniwasen yang dibekali

dengan pendidikan formal yang memadai maupun keahlian untuk

berdagang. Pada akhirnya justru sang putra yang mempunyai bekal

pendidikan formal maupun wawasan yang lebih luas dalam dunia

140 141Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia

dagang, yang memberikan mendorong pada sang ayah dengan

melakukan banyak terobosan. Keahlian sang putra ini mendatangkan

kemajuan yang sangat pesat, dari pedagang perantara menjadi

produsen kain pelikat yang bercap 'Lampu Ajaib' di kota Pekalongan

Jawa Tengah dan pemasaran yang utama adalah kawasan Sumatera

Utara. Industri pertama ini merupakan tonggak awal kesuksesan

keluarga S. Marimuthu. Hingga awal tahun 1980-an pelikat bercap

'Lampu Ajaib' mampu menerobos pelosok desa kawasan Sumatera

Utara dan Aceh.

Keberhasilan usaha dagang ini, oleh S. Marimuthu dijadikan

sebagai modal untuk membangun etnis Tamil. Sebagai seorang

pemimpin ia tak harus menunggu uluran tangan atau bantuan

finansial dari tokoh-tokoh lainnya. Dengan biaya yang ada padanya,

S. Marimuthu membangun Gedung Serba Guna Wisma Mariamman

yang berlantai dua di Komplek Mariyaman kuil jalan T. Umar Medan.

Di gedung itulah pertemuan-pertemuan rapat diadakan, selain dipakai

juga untuk pesta-pesta perkawinan atau peringatan hari-hari besar di

kalangan etnis Tamil yang ada di kawasan Medan dan sekitarnya.

Pada tahun 1984, Pemerintah TK. II Kota Madya Medan,

melakukan pelebaran jalan-jalan untuk memperlanjar arus lalu lintas

yang ada di pusat kota. Di antaranya adalah jl. T. Umar dan jl. K.H.

Zainul Arifin (kelurahan Madras) yang kebetulan berada di kedua sisi

kuil Mariyaman. Rencana pelebaran jalan itu menyebabkan areal kuil

tersebut harus diambil. Namun demikian pemerintah daerah akan

memberikan ganti rugi berupa areal tanah yang ada di jalan Gajah

Mada, tak jauh dari lokasi kuil Mariyaman. Demi kepentingan umum,

pihak pengelola kuil Mariyaman tidak berkeberatan.

Sebagai pimpinan S. Marimuthu memanfaatkan kompensasi

tanah yang diberikan pemerintah tersebut untuk membangun gedung

sekolah yang baru yang berlantai empat dan dinamakan Perguruan

Raksana. Perguruan ini semegah Perguruan Dharma Putra yang

telah ada di jalan Darat, yang sasaran utamanya adalah murid-murid

dari etnis Tamil, namun kedua Perguruan ini terbuka untuk umum,

bagi mereka yang berasal dari keluarga tak mampu tidak dikenakan

membayar uang sekolah. Inilah salah satu kiprah nyata S. Marimuthu

untuk membangun sumber daya manusia masyarakat etnis Tamil di

daerah Sumatera Utara.

Sebagaimana D. Kumarasamy yang mengembangkan sikap

terbuka demi kemajuan dan persatuan masyarakat, S. Marimuthu

juga melibatkan intelektual etnis Tamil Muslim, yaitu Muhammad

Yahya Rowter, MA menjadi Sekretaris Yayasan Pendidikan Raksana

yang baru dan Ketua Yayasan Beasiswa Dharma Raksana. Tokoh ini,

telah lama terlibat dalam upaya-upaya pendidikan untuk masyarakat

etnis Tamil yang dilakukan oleh D. Kumarasamy. Bagi Yahya sendiri,

keterlibatan ini merupakan perwujudan dari ajaran agama Islam,

untuk menebar rahmat bagi semesta, tanpa dibatasi oleh perbedaan

keyakinan.

Meski dari sisi pendidikan pada akhirnya masyarakat etnis

Tamil mengalami kemajuan, namun dari sisi keagamaan, terdapat

perkembangan yang dinilai oleh bebrapa kalangan tidak sesuai dengan

substansi ajaran agama Hindu. Ada beberapa kalangan masyarakat

yang mengembangkan penghayatan agama yang mengandung

tahayul dalam upacara Thaipusam, yang selalu diisi dengan atraksi-

atraksi yang tidak mengandung makna yang mendamaikan, justru

melibatkan unsur-unsur sihir. Atraksi yang dipertontonkan dalam

upacara ini antara lain adalah mengarak sambil berkeliling arca-

arca dewa, berjalan di atas bara api, berdiri di ujung pedang yang

ditegakkan, menusukkan tembaga dari pipi hingga tembus lidahnya

yang terjulur, menusukkan mata kail yang besar dan diberi pemberat

di bahagian tubuhnya dan bentuk atraksi lain yang sangat mengerikan

dan secara rasional menyakitkan. Bagi mereka yang melakukan

upacara ini tidak merasa sakit. Pada upacara Thaipusam ini dilakukan

sebagai “pembayar kaul” atau ikrar seseorang bila niat atau hasratnya

tercapai. Misalnya cita-cita yang tercapai atau kesembuhan penyakit

yang diderita oleh anggota keluarga, ia akan melakukan upacara

seperti itu.

Sebagai tokoh atau pemuka masyarakat etnis Tamil yang

beragama Hindu, bapak S. Marimuthu melihat acara tersebut sebagai

hal yang sia-sia. Acara itu tidak memiliki dasar dalam agama Hindu

maupun Budha. Samsara bukanlah berarti melakukan penyiksaan

terhadap diri, akan tetapi pada dasarnya adalah pengekangan hasrat

keduniawian (nafsu hewani) agar nilai kemanusiaan semakin tinggi

dalam menjalani kehidupannya. Mereka seakan-akan lupa bahwa

jalur untuk mencapai hal itu adalah dengan melakukan meditasi

(perenungan diri dengan pikiran dan hati yang bersih). Oleh karena

itulah, sesuai dengan mandat yang ada padanya, sejak awal tahun

142 143Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia

1980-an ia melarang upacara-upacara seperti itu. Ia terus berupaya

agar konsentrasi kegiatan keagamaan tetap berada di dalam kuil-kuil

dan menurut garis petunjuk ajaran yang benar.

Dengan daya dan dana yang ada padanya S.Marimuthu terus

membenahi kuil-kuil yang ada di kawasan Sumatera Utara. Demikian

pula kuil Mariyaman yang ada di kota Medan sebagai kantor pusat

Parisada Hindu Dharma Indonesia atau Majelis Tertinggi Agama

Hindu untuk daerah TK. I Sumatera Utara. Pembenahan ini bukan

saja untuk alasan praktis tetapi sebagai upaya membangkitkan

kerinduan masyarakat pada aktivitas keruhanian. Bangunan-

bangunan itu terus direnovasinya seindah-indahnya dengan relief-

relief dan patung-patung yang sangat indah. Di sekeliling dinding kuil

tersebut, ada ukiran patung-patung yang menggambarkan perjuangan

para dewa untuk memenangkan kebenaran, dengan mendatangkan

tenaga ahli dari India. Sampai saat ini, bila kita melintas jalan K.H.Z

Arifin, melewati persimpangan jalan Teuku Umar, di sisi kanan jalan

sepanjang 100 meter, kuil Sri Mariyaman berdiri dengan megah dan

sangat artistik dihiasi berbagai ornamen dan patung-patung.

Bapak S. Marimuthu telah berhasil mempimpin masyarakat Tamil

di Sumatera Utara melanjutkan perjuangan D. Kumarasamy. Meski

metode-metode yang digunakan sama, namun ia berusaha untuk

mengaktualisasikannya sesuai perkembangan masyarakat, dengan

gaya kepemimpinan yang tentunya berbeda.

Tidak hanya berhasil dalam memimpin masyarakat Tamil, dalam

mendidik putranya, ia pun berhasil. Sebagaimana sebuah impian dari

masa lalu, kini seorang putra etnis Tamil yang berasal dari kota Medan

dari keluarga yang sederhana, telah menjadi seorang pengusaha besar

di tingkat nasional maupun kawasan Asia. Dia adalah M. Siniwasan,

salah seorang putra S. Marimuthu. Industri yang di bangun oleh

M. Siniwasan telah melebarkan sayap usahanya ke bidang-bidang

yang lain. Perusahaan Texmaco dan Perkasa Tex tidak sekedar

memproduksi tekstil, tetapi juga memproduksi mesin-mesin industri

yang di pasarkan ke luar negeri. Ia juga telah membangun perusahaan

mobil "Perkasa" di Indonesia. Perusahaannya di luar Indonesia

terdapat di India dan Malaysia.

Demikianlah kehidupan senantiasa berputar dalam perubahan.

Bila pada zaman kolonial dulu, etnis Tamil yang ada di Sumatera

Timur hanya mampu menjadi mandor-mandor kuli kontrak, maka

kini M. Siniwasan menjadi majikan dari orang-orang Eropa yang

bekerja dalam industrinya.

Semoga perjalanan zaman akan melahirkan tokoh-tokoh Anna D.

Kumarasamy, S. Marimuthu dan M. Siniwasan yang baru, yang tidak

hanya memikirkan keberhasilan bagi hidupnya sendiri, melainkan

senantiasa berbakti bagi kepentingan kehidupan yang lebih luas.

Metta cittena

145Penutup144 Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia

Penutup 10

Ulasan dari Panitia HUT ke 72 ANNA D. Kumarasamy,

yaitu : 11 Maret 1978

PENGABDIAN SANG ANNA

Persembahan mengenai pengabdian Yang Mulia Maha Upasaka/

Maha Pandeta ASHOK DHARMA–SURYA SAMUGA VALLAL D.

KUMARASAMY.

“Karya baik bermanfaat melebihi Samudra”

Sekitar 65 tahun yang lampau masyarakat Tamil di Negeri ini

masih hidup dalam tata cara yang masih sangat terbelakang. Melihat

keadaan demikian, dengan hasrat membimbing dan membenahi

masyarakatnya, pemuda tampan berumur 23 tahun yang berwajah

sopan, bersahabat dan berparas persaudaraan (yang disebut sifat

tritunggal), mengambil bagian dalam pembinaan masyarakatnya.

Dialah D. Kumarasamy.

Pembinaan masyarakat tersebut diterapkan melalui pendidikan,

kesenian kebudayaan, kebathinan, dan moralitas. Pembinaan juga

dilakukan melalui pembaharuan adat istiadat, bahasa Tamil, dan

ajaran agama yang dilengkapi dengan syarat–syarat pernikahan, tata

tertib upacara kematian dan karya–karya di bidang kemasyarakatan,

yang bermanfaat untuk masyarakat dewasa ini dan di masa depan.

Semua itu merupakan tuntunan dan pedoman hidup, sekaligus

menjadi wujud pengabdian untuk masyarakat. Dengan maksud yang

mulia ini berbagai organisasi dibentuk.

Beliau telah berkarya sejauh kemampuannya. Mengingat jasa–

146 147PenutupPenutup

jasa yang maha luhur itu, sepantasnya kami memberikan penghargaan

atas pengabdiannya yang luar biasa. Kami juga melihat dan menyadari

bahwa banyak lagi yang perlu dibina dan dibimbing. Oleh sebab itu

kami mengajak muda–mudi dewasa ini untuk maju ke depan dan

berbakti kepada masyarakat kita. Dengan tujuan ini pulalah kita

dengan senang hati menerbitkan buku biografi D. Kumarasamy agar

dapat menjadi inspirasi dan dorongan bagi generasi muda.

Semoga berkah kebahagian berlimpah di mana–mana.

Panitia HARI ULANG TAHUN

Bapak : M. Lacumaiya

N. Guna Segaran

P. Subramaniam

N. Govindasamy

Ulasan almarhum Pandeta Ashok Tilagha D. Rajagobal

Negara Indonesia yang subur ini terdiri dari ribuan kepulauan,

penuh dengan kekayaan serta kebahagiaan. Leluhur kita dari India

Selatan bermukim di Indonesia dan berbaur dengan masyarakat

setempat serta mengembangkan kebudayaan, kesenian, kebathinan,

kebaktian yang diliputi dasar–dasar kasih sayang.

Raja-raja di kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit, baik

dari dinasti Syailendra, Mulawarman, Dharmawangsa, memerintah

dengan adil dan bijaksana. Perdamaian, kewibawaan ajaran–ajaran

agama secara luas dicurahkan dan dibina oleh mereka.

Jika diheningkan sejenak, nyatalah bahwa masyarakat Indonesia

dan masyarakat India Selatan telah berbaur sejak zaman purbakala.

Kegembiraan, kegirangan, dan cinta kasih meluap dalam kalbu

kita bersama. Analisa–analisa dan kehidupan kebathinan yang

dilanjutkan secara mendalam telah melahirkan monumen–monumen

seperti Mendut, Prambanan, Kalasan, Borobudur serta stupa–stupan

yang menjadi termashur. Itu merupakan karya–karya nyata yang

dibuktikan oleh sejarah.

Di antara keturunan India Selatan yang merantau ke Sumatera

Utara dan lahir pada tanggal 11 Maret 1906, yang merintis dan

membina masyarakatnya itu adalah D. Kumarasamy. Anak dari Tuan

Duraisamy Pillay, marga vallaler dan ibunya bernama Parwathimmal

marga Nayudu (Kawarai). Bayi yang mulia ini dibesarkan dalam

pelukan kasih sayang ibu/bapaknya sambil ibunya mengajarkan

bahasa Tamil dan bapaknya mengajarkan bahasa Inggris.

Setelah dewasa menjelang usia 23 tahun, ia memulai karya–karya

baktinya dengan luapan cinta-kasih. Beliau bertekad mengabdi untuk

masyarakat Tamil di negara ini.

Beliau telah berkarya sekurang–kurangnya lima puluh lima tahun.

Beliau berhasil merombak adat-istiadat orthodox, dan membenahinya

dengan cara–cara baru yang diterima oleh masyarakat, juga ajaran–

ajaran kebathinan yang benar dan jelas, yang dituangkan tanpa letih

dan lelah.

Melihat karya–karya yang mulia ini dan pribadi yang ramah serta

bersahabat ini, masyarakat India pada umumnya menjuluki beliau

dengan panggilan Anna D.K. Namun mengingat jasa–jasa beliau yang

luhur itu tidak hilang dalam samudra khayalan, maka kami berusaha

148 149PenutupPenutup

menyajikannya.

“ Setiap perjuangan mulia tak akan sia – sia bagi yang membuatnya”

Sesuai dengan sabda Sang muliawan Nayanar dalam kitab KURAL,

maka apa yang telah dibuat untuk masyarakatnya perlu dihargai

dan dihormati. Kami berusaha untuk menerbitkan buku ini sebagai

catatan untuk masa depan yang merupakan kenang–kenangan.

Anna, memiliki semangat yang tinggi, beliau telah mengubah

irama–irama kebaktian untuk Budha Dharma berikut parita–parita

dan buku–buku Budhis lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Tamil.

Anna, sepenuhnya mahir bahasanya. Hal ini dapat kami nilai

setelah kami pelajari buku–buku yang diterjemahkan ataupun yang

ditulis oleh beliau. Umpamanya buku Arrawazi (Pedoman kebenaran)

yang penerjemahannya lebih baik dan halus tutur bahasanya daripada

yang diterjemahkan oleh penulis–penulis di India Selatan (Tamil

Nadu). Kami berkeinginan Arrawazi (pedoman kebenaran) yang

diterjemahkan oleh Anna itu dicetak menjadi buku dan diberikan

kepada masyarakat, juga buku jagat Jothi Buddha yaitu : riwayat

hidup Sang Budha yang telah diterjemahkan oleh Anna ke dalam

bahasa Tamil yang halus dan baik. Bab–bab terakhir dari buku

tersebut diterjemahkan secara puitis dalam bahasa Tamil yang sangat

memberikan inspirasi kebathinan. Kami kecewa oleh sebab kami tidak

memiliki kata–kata untuk mengucapkan pujian syukur padanya.

Dalam mengarungi samudra hidup ini Anna D. Kumarasamy

juga mempelajari ilmu kebathinan secara mendalam, hingga meditasi,

Samadhi. Sangat mudah bagi Beliau untuk memejamkan manas

dalam kesatuan objek, (hal–hal seperti ini hanya dapat dipahami oleh

rohaniawan). Berjam –jam lamanya Anna dapat berceramah mengenai

kebathinan. Kesanggupan yang demikian itu hanya diperoleh oleh

rohaniawan–rohaniawan seperti Anna yang telah mendalami ilmu

kebathinan dan juga bukanlah suatu kecerdasan otak tetapi itu adalah

suatu watak intelektual (intuisi).

Sebagai pembina masyarakat Anna juga mahir dalam membangun

organisasi–organisasi dan menyusun anggaran dasar dll, yang

berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan.

Agar pembaca mengetahui betapa luas pengabdian Anna D.

Kumarasamy, kami ungkapkan beberapa peristiwa di bawah ini :

Sewaktu Anna berkunjung pertama kali ke India pada tahun

1949, di Provinsi Madras, di Desa Kammar Puthu-ur, tinggal seorang

rohaniawan bernama Maunasamy. Beliau berhasrat mendirikan

sekolah di desa tersebut. Tetapi tidak ada kesepakatan dan kerjasama di

antara penduduk setempat sehingga keinginannya itu tak terlaksana.

Rohaniawan tersebut menjumpai Anna yang kemudian mengambil

inisiatif dan menganjurkan agar mengadakan rapat umum di desa

tersebut. Pada rapat tersebut Anna D. Kumarasamy memberikan

penjelasan mengenai pendidikan. Ia mendapat sambutan hangat.

Selanjutnya sekaligus Anna membentuk panitia pembangunan

sekolah.

Pada tahun 1965 untuk kedua kalinya Anna berkunjung ke India,

yaitu ke pusat Perhimpunan Theosofi sedunia di Adyar Madras India

Selatan. Seorang wanita Amerika, yaitu Ketua Bagian Persatuan

Pelayaan Theosophi (The Theosophical order of service) meminta

tolong kepada Anna agar beliau mengaktifkan kembali bagian

Persatuan Pelayanan Theosophi yang sudah lama tak berfungsi dan

Anna ditunjuk sebagai sekretaris yang memimpin penataan kembali

organisasi. Setelah mempelajari anggaran dasar dan lain–lain,

ternyata masih ada yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Maka Anna membatalkan anggaran dasar tersebut dan menggantinya

dengan anggaran dasar yang baru dan berkarya bakti sampai berhasil.

Selanjutnya Persatuan Pelayanan Theosofi tersebut ditetapkan di India

Barat. Atas suksesnya Anna, ketua Persatuan Pelayanan Theosofi

menyampaikan terima kasihnya dengan surat sebagai berikut :

150 151PenutupPenutup

THE THEOSOPHICAL ORDER OF SERVICE

MADRAS CITY, ADYAR MADRAS 20, INDIA

10 June, 1967

Tuan D. Kumarasamy,

Adyar, Madras 20, INDIA

Yth. Tuan D. Kumarasamy,

Sejak Tuan tinggal di Adyar, telah bekerjasama dengan saya

untuk kepentingan masyarakat melalui the Theosophical Order of

Service, cabang Madras sebagai setia usaha maka saya merasa sangat

bangga dan gembira, Tuan telah membantu saya untuk melanjutkan

tugas–tugas saya sebagai ketua dalam pelaksanaan tugas–tugas

kebaktian dan kemampuan Tuan di bidang adminitrasi dan dibarengi

dengan pergaulan dengan masyarakat, menciptakan suasana harmonis

dalam kelancaran karya–karya kebathinan, Tuan senantiasa tekun

serta gembira dan ingin melaksanakan semus usaha–usaha, saya telah

memperoleh manfaatnya dalam kebijaksanaan tuan.

Kehadiran Tuan akan berlalu di Adyar, Tuan serta keluarga

dengan bahagia akan kembali ke Indonesia, selanjutnya saya dan Mr.

Perkins menyampaikan terima kasih serta ucapan selamat.

Demikian kami nyatakan dengan perantaraan surat ini.

Salam Cinta Kasih,

Dari

Petarin G. Perkins

Jems S. Perkins

THE THEOSOPHICAL ORDER OF SERVICE

MADRAS CITY, ADYAR MADRAS 20, INDIA

10 June 1967

Tuan D. Kumarasamy

Adyar, Madras 20, India

Yth, D. Kumarasamy,

Mengingat jasa–jasa Tuan sebagai sekretaris dari Persatuan

Kerjabakti Theosophi, cabang Madras, yang mana karya–karya Tuan

menunjukkan perkembangan–perkembangan yang menggembirakan

dan saya menganggap keikhlasan Tuan sangat istimewa.

Tuan akan kembali ke tempat tinggal Tuan di Indonesia,

maka saya beserta para pengurus Persatuan Pelayanan Theosophi

cabang Madras mengucapkan selamat dan terima kasih yang sebesar–

besarnya atas karyabhakti Tuan.

Salam Persaudaraan dan Cinta Kasih

Dari

Caterin G. Perkins, Ketua

152 153PenutupPenutup

KONSULAT JENDRAL INDIA UNTUK INDONESIA

Batavia, 25 September 1948

Tuan D. Kumarasamy

Konsul India untuk wilayah Sumatra

berkedudukan

di

MEDAN

Tuan D. Kumarasamy Yth:

Saya akan segera tinggalkan Indonesia oleh sebab itu

mengenangkan toleransi masyarakat India dan teristimewa jasa–jasa

dan kebaikan Tuan dengan membantu melaksanakan tugas–tugas saya

dengan ini menjadi suatu kenang–kenangan indah dan tak terlupakan

dan sangat mengharukan bagi saya, maka saya berkewajiban untuk

mengucapkan terima kasih kepada Tuan.

Hidup India

Hormat Saya,

N.Ragawan

KONSULAT INDIA MEDAN

22 JULY, 1949

SURAT PERKENALAN

Tuan D. Kumarasamy, keturunan India yang tinggal di Medan–

Sumatera Indonesia, telah berjasa dan mengabdi dengan membina

masyarakat India yang tinggal di negara ini, selama lebih dari 20 tahun.

Berbagai pergerakan telah dipimpinnya, seperti Deli Hindu Sabha,

Serikat Koperasi, Perhimpunan Theosofi cabang Vasanta, Indian

Budhist Society, Indian Boy Scout dan lain sebagainya. Beliau adalah

seorang organisator yang berpengalaman luas. Selain itu sebelum

dibuka kantor konsulat India di Medan yaitu Tuan D. Kumarasamy

sebagai pejabat konsul India untuk wilayah Sumatera, berkedudukan

di Medan. Dalam masa jabatannya telah berbakti sepenuhnya dan

setelah itu beliau juga melanjutkan pembinaan masyarakat India

sampai saat ini dan seterusnya.

Mungkin di India pun Beliau dapat mengabdi jika beliau

menginginkannya. Oleh sebab itu kami menghimbau jika ia bersedia,

segala bantuan yang dibutuhkan hendaknya diberikan padanya.

Demikianlah harapan kami,

Gopal Das Shed

konsul

154 155PenutupPenutup

KEDUTAAN INDIA DI JAKARTA – INDONESIA

Maret,13 – 1950

Yth,Tuan D.Kumarasamy

Pemerintah India, dengan perantaraan, Yth. Tuan Sri N.Ragawan,

Duta India untuk Indonesia, telah menunjuk Tuan D. Kumarasamy

sebagai konsul India untuk wilayah Sumatra yang berkedudukan di

Medan dan juga Tuan D.Kumarasamy telah memberikan bimbingan

–bimbingan dan penerangan–penerangan pada masyarakat India di

Indonesia agar mereka menyelaraskan penghidupan mereka sesuai

dengan derajat kemerdekaan. Saya berdoa agar jerih payah serta

usaha – usahanya bermanfaat.

Hormat Saya,

Sekretaris Jenderal

Kedutaan India di Indonesia

K.M.Kannan Pillay

KONSULAT INDIA DI SUMATRA, INDONESIA

Jalan Cokroaminoto No.19 Medan

4 November 1965

Yang membawa surat ini adalah Tuan D. Kumarasamy, keturunan

India, warga negara Indonesia, bersama keluarga menuju India.Tuan

D. Kumarasamy telah mengabdi lebih dari 30 tahun untuk masyarakat

India di segala bidang dan lebih dari 16 tahun terakhir ini Beliau

mengabdi di bidang kebathinan dengan mengambil perhatian khusus

demi perkembangan Budha Dharma di Medan–Sumatra. Sebelum ada

seorang kunsul dari India untuk daerah ini di masa peralihan, Tuan Sri

D. Kumarasamy ditunjuk sebagai konsul India, yang berkedudukan di

Medan. Oleh Duta India, Yth Tuan Sri D. Kumarasamy pada umumnya

adalah seorang yang dihormati dan disegani oleh masyarakat India di

Indonesia.

Selama Beliau tinggal di India bantuan–bantuan layak yang di

kehendakinya hendaknya dapat diberikan. Demikianlah himbauan

kami dengan surat perkenalan ini.

P.N.NAMBISON

Konsul India Medan

156 157PenutupPenutup

So. Shankaran selaku setia usaha Sri Mariaman–kaliyaman Kuil

di Medan pada masa itu, membentangkan mengenai riwayat hidup,

berikut kisah pengabdian ANNA D. Kumarasamy dalam Puisi-nya

serta surat penghargaan dibacakan, yaitu kira – kira sebagai berikut :

1) Dengan muka berseri – seri dan tampan, berbahasa lembut

dan sopan, penuntun terdepan.

2) Hiduplah KUMARA kita sepanjang zaman sebagai mahkota

bangsa.

3) Merintis arah, guna terhindar dari penderitaan, bagi

masyarakat yang berantakan,wahai mulia.

4) Pembaharu Deli Hindu Sabha, usaha mulia guna mengabdi,

tak ternilai adanya.

5) D. Kumara berkalbu mulia, berbakti agar jaya umat manusia.

6) Mengenang anda setiap hari, namamu harum sepanjang masa.

7) Pancaran kalbu kasihmu sambil menyelami seni budaya, dan

berbahasa sopan, hilangkan kerisauan teman.

8) Supaya maju bangsamu,memikul beban, bertekat membuat

kreasi baru.

9) Berkorban untuk keturunan kita, agar berjaya.

10) Walaupun bermukim nan jauh, wahai D. Kumarasamy,

pengabdianmu takkan kami lupakan.

Sahabat yang mengayun langkah di jalan kehidupan pada usia 60

tahun, jika tampil, tampillah dengan kejayaan, (Sabdah “ VALUWAR).

Karya–karya anda di segenap bidang menjadi suatu kenangan

indah bagi kami, kemurnianmu terpandang nyata, sehingga kami

bangga dan menghargainya.

Pengabdi masyarakat yang berjiwa sopan, selama 30 tahun lebih

membina masyarakat Tamil agar mereka keluar dari gua kegelapan

bathin, membasmi pendapat–pendapat perbedaan ras tinggi–rendah

dalam kemasyarakatan dan membina persatuan serta persaudaraan

adalah usaha yang sangat melegahkan kami.

Penggubah pri-bahasa Tamil

Tamil bahasa kita, anda secara ikhlas menghimpun untuk

mendidik bahasa Tamil. Anda telah mengarang buku-buku yang

sangat berguna dan menyajikannya. Serta kotbah–kotbah/ceramah–

ceramah dalam bahasa yang halus serta irama–irama telah digubah

dan dipersembahkan. Hal–hal tersebut telah menggugah sanubari

kami semuanya.

Pengabdi Dharma Yang Setia

Membentangkan keluhuran Hindu Dharma dan menghayati

ajaran para Brahma (Tuhan Yang Maha Esa) dan agar generasi penerus

tidak disesatkan ke paham Atheis. Mereka dituntun dan diberi ajaran

DHARMA (agama) sesuai dengan “PANCASILA” Falsafah Negara

Republik Indonesia. Karya bakti Anda sangat bernilai. Atas kebaikan

Anda, kami berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa, agar Anda serta

keluarga hidup sepanjang masa di jagad ini dan diberkahi dengan

kebahagiaan yang berlimpah – limpah.

Salam persaudaraan persaudaraan dari :

So. Shankaren

A. Sathasiwam

G. Krisnasamy

A. Abdul Majid

158 159PenutupPenutup

Koordinator Sri Mariaman Kuil dan Sekolah Barathi Medan

Pada tahun 1947 ANNA D. Kumarasamy menggubah sebuah

irama kebaktian yang dipersembahkan untuk masyarakat Tamil

atas permohonan pengurus Sri Mariaman Kuil pada saat itu. Puisi

kebaktian tersebut diterjemahkan kira–kira sebagai berikut :

“Tanpa berkhayal kian–kemari”

“Bersinarlahlah di mana jua dalam

Keadaan ria–gembira”

“Semua hidup dalam kalbu kasihmu

berawal dari atom hingga

segala–galanya, digerakkan kesaktian ajaibMu”

“mohon di-ilhami agar sinarmu dapat”

“bersinar dalam kalbuku, terimalah

saya dalam kesucianmu,

sifat luhurMu, kasih sayang, sopan

santun, keadilan, tekad pengabdian

hendaknya tumbuh dalam jiwaku”

“saya bertekad menempuh penghidupan

suci, berilah padaku petunjuk–petunjuk agar

saya tak terpedaya oleh duniawi”

“musnahkanlah keangkuhanku berilah

kesempatan dengan membuka mata

bathinku, agar dapat melihatMu”

“dalam tubuh seisi alam semesta ini

“sinar berkahmu hendaknya menyingkirkan”

semua kegelapan maya dan dapat mengenal diriku”

“badan ini bukanlah saya,keinginan bukanlah saya”

“napsu bukanlah saya, pikiran bukanlah saya”

“cahaya cemerlang yang bersinar dalam

kalbukulah saya”

“saya adalah kamu, kamu adalah saya”,”

“dalam arus kebijaksanaan inilah, bersinar cinta kasih”

“murnimu, leburlah kami dalam kesucian-Mu”

OM SHANTI SHANTI SHANTI

Pada tahun 1954 setelah menyelesaikan bangunan sekolah

Barathi yang dibangun di belakang Sri Mariaman Kuil Medan, Anna

D. Kumarasamy diminta supaya mengkoordinir Sri Mariamman Kuil

dan sekolah Barathi yang baru saja selesai dibangun. Dari tahun 1954

selama masa 4 tahun berikutnya beliau berbakti sebagai ketua Sri

Mariaman Kuil dan sekolah Barathi Medan. Pada masa kepimpinan

itulah beliau melihat kekosongan–kekosongan dalam tata cara

administrasi. Anggaran dasar pun tidak dimiliki oleh Sri Mariaman

Kowil Medan, sejak kuil tersebut dibangun pada tahun 1884.

Setelah 70 tahun kemudian Anna. D. Kumarasamy, satu–satunya

orang dari etnis Tamil yang menyusun segala–galanya, yaitu : anggaran

dasar dan susunan administrasinya, dan yang dilanjutkan oleh para

pengurus di masa-masa berikutnya. Setelah selesai masa jabatannya

Anna. D. K. mengundurkan diri sebagai ketua Sri Mariaman Kuil

dan Sekolah Barathi Medan. Sebagai penghormatan para pengurus

menyampaikan surat penghargaan sbb :

Atas nama pengurus pelaksana Sri Mariamman Kuil dan

Kaliamman Kuil Medan.

Sejak tanggal 28 Maret 1954 sampai dengan tanggal 18 Juni

1958, karya–karya mulia telah diselenggarakan oleh saudara Sri D.

Kumarasamy selaku ketua. Jika berbakti untuk Ibu Pertiwi dengan

penuh keyakinan, lenyaplah semua penderitaan di dunia fana ini.

Saudara yang berbudi mulia, akan memperoleh kehidupan bahagia

atas berkah Tuhan Yang Maha Esa.

Bangunan Sri Mariamman Kuil merupakan wadah (tempat)

kebaktian terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi kita masyarakat

Hindu, dari tempat itu saudara telah berbakti dengan tekun dan

sungguh–sungguh menampilkan keyakinan saudara pada Dharma

dan demi cinta kasih pada masyarakat kita. Oleh karenanya walaupun

kesibukan–kesibukan bertimbun–timbun dalam tugas–tugas namun

tanpa menghiraukan, saudara tetap melaksanakan karya bakti agar

masyarakat kita menjadi manusia–manusia edukatif dan bermoral.

Dengan hasrat murni saudara mengerahkan tenaga, pikiran, material,

dan moral serta gagasan–gagasan dalam membangun perguruan

Barathi. Oleh sebab itu kami bangga mengingat akan keiklasan saudara

itu. Suatu kenyataan yang kami harus mengakui dan tak terlupakan.

160 161PenutupPenutup

Penilaian-penilaian para cendikiawan

terhadap MU/MP Ashok Dharma Surya Samugha Vallal

(D. Kumarasamy)

Seorang sastrawan K.M. Balasubramaniam B.A.B.L. pada tahun

1970 berkunjung ke Medan. Beliau mendapat kesempatan memberikan

ceramah–ceramah agama di beberapa tempat. Bertepatan dengan

hari ulang tahunnya, Beliau memberikan ceramah di Ashok Vihara

pada tgl. 15 Desember 1970. Sebagai ungkapan penghormatan atas

ulang tahun tamu istimewanya, MU.MP Ashok Dharma Surya (D.K.)

menciptakan sebuah lagu. Setelah Beliau mendengar lagu yang khusus

diciptakan sebagai hadiah ulang tahunnya, dalam ceramahnya Beliau

menjelaskan, bahwa MU.MP Ashok Dharma Surya (D.K.) adalah

seorang filosof yang berpengetahuan luas dalam kebathinan, maka dia

menganjurkan agar masyarakat mengambil kesempatan untuk belajar

sebanyak–banyaknya dari MU.MP A.D. Surya.

Selanjutnya salam perpisahan ketika K.M. Balasubramaniam

B.A.B.L. kembali ke negrinya Beliau bersujud pada MU.MP. Ashok

Dharma Surya sambil bergurau, jika terkenang pada saya, anggaplah,

bahwasanya ia seorang Budhis. Sebaliknya MU.MP A.D. Surya

berkata, jika anda terkenang padaku anggaplah saya seorang Hindu

demikianlah lontaran keakraban dari para Cendikiawan tersebut)

sesuai dengan pepatah “Adat teluk timbunan kapal adat Raja timbunan

sembah”.

Selanjutnya ide–ide serta bantuan saudara tetap kami harapkan untuk

selama–lamanya. Dan kami berdoa agar saudara selamanya diberkahi

oleh Dewi–Ambigai.

Medan, 8 Agustus 1958.

Tahun WILAMBI, bulan ADHI -5060

Hormat kami,

Atas nama pengurus, setia Usaha Umum.

162 163PenutupPenutup

Wartawan : Solai Irusan dari India

Seorang wartawan dan penggubah drama (sandiwara) yang

terkenal dari India bernama Solai Irusan, melawat ke negara–negara

Asia Tenggara. Dalam perjalanannya Beliau juga berkunjung ke

Medan pada tahun 1974. Atas prakarsa beberapa kolega beliau

diperkenalkan kepada MU/MP Ashok Dharma Surya. Pertemuan

tersebut berlangsung kurang lebih satu jam. Selesai pertemuan

wartawan tersebut mengemukakan bahwa dialog dengan rohaniawan

MU/MP Ashok Dharma Surya, adalah sangat mengesankan. Jika

saya datang di lain kesempatan, begitu turun dari pesawat saya akan

mengambil kesempatan pertama untuk bertemu Beliau.

Tahun 1975 Mohan music Band Medan melawat ke Malaysia.

Guna meningkatkan prestasi pemuda kita maka MU/MP Ashok

Dharma Surya menciptakan beberapa lagu–lagu Tamil dengan tema

persahabatan dan jalinan persaudaraan serumpun bangsa. Lagu-lagu

itu juga dilengkapi dengan beberapa lelucon yang menggembirakan.

Dengan berbekalan lagu–lagu ini, pertunjukan Mohan Musik Group

berhasil.

Setelah mengikuti acara tersebut, masyarakat Malaysia

menyambut mereka dengan riang gembira. Mereka ingin mengetahui

siapa pencipta lagu–lagu yang mengesankan itu. Dalam ramah -tamah

dengan para cendikiawan–sastrawan dan seniman Malaysia, personel

Mohan Musik Group memberitahukan bahwa yang menciptakan

lagu-lagu tersebut adalah Anna D. Kumarasamy di Medan, Indonesia.

Khalayak di Malaysia pun terkagum-kagum, bahwa di Medan pun

ada seorang yang berkemampuan seperti Kawinyar Kannadhasan di

India (Kannadhasan adalah seorang pencipta dan penggubah lagu–

lagu Tamil, pada masa itu).

MAHA UPASAKA MAHA PANDITA ASHOK DHARMA SURYA –

SAMUGHA VALLAL D. KUMARASAMY (D.K )

Dua huruf D.K. yang tertulis di atas ini adalah singkatan dari

sebuah nama yang lengkapnya berbunyi Duraisamy Kumarasamy.

D.K merupakan panggilan untuk menunjukkan keakraban oleh

kerabat, sahabat dan pengikutnya yang tidak asing bagi masyarakat

Budhis maupun Hindu. Beliau ditakdirkan hadir di dunia untuk

memenuhi panggilan tertentu. Saudara D.K. dilahirkan di Binjai,

Provinsi Sumatera Utara, pada hari Minggu tanggal 11 Maret 1906,

yang tampil ke dunia ini dalam suku Tamil.

Ayahnya bernama Duraisamy. Ia adalah seorang intelektual,

berasal dari suku Tamil dari India Selatan, yang sudah lama tinggal di

Indonesia. Ibunya yang bernama Parwathi adalah seorang spiritualis,

berasal dari suku Tamil dari India Selatan.

Dalam kehidupannya, Saudara D.K. adalah seorang pria yang luar

biasa. Semenjak kecil telah menunjukan ciri–ciri kedewasaan dalam

bidang spiritual. Semenjak kecil telah menguasai bahasa Tamil dan

dapat berbahasa Inggris secara fasih, baik dalam menulis maupun

membaca. Pendidikan bahasa Tamil dipelajari dari Ibunya sendiri dan

pendidikan bahasa Inggrisnya dari sekolah Methodist Boys School dan

setelah dewasa dilanjutkan dengan kursus tertulis dari India.

Dalam usia enam tahun, yaitu pada tahun 1912, beliau telah

mampu menguasai kitab Suci Ramayana dan Maha Barata. Dan

mampu menjabarkan kitab–kitab tersebut pada masyarakat luas,

khususnya di Shri Mariamman Kuil di Binjai.

Dalam tahun 1922, beliau berinisiatif belajar mengetik tanpa guru

dan mesin tik, hanya dengan mempergunakan selembaran karton yang

disusun huruf–huruf dan angka–angka, yang sama dengan mesin tik.

Dalam usia yang semuda ini, cipta, rasa dan karsanya sudah begitu

maju. Dan pada tahun 1925 beliau mendapat pendidikan accounting

dan stenografi, selanjutnya beliau mempelajari berbagai kitab suci

lainya.

Saudara D.K. sebagai seorang yang berperawakan tinggi, tegap,

yang sesungguhnya dalam lahirnya bersemayam jiwa yang tinggi,

budi yang luhur, watak yang halus, kemauan yang mantap dan kuat,

serta keyakinan yang tangguh. Di dalam jasad inilah bersemayam

manusia Kumarasamy yang sejati.

164 165PenutupPenutup

Di Medan Lodge, yang sekarang dikenal dengan Vihara Borobudur

Medan, untuk pertama kalinya pada tanggal 15 September 1927 D.K.

mendapat kesempatan bertemu dengan tokoh Perhimpunan Theosofi

Sedunia, Swami Charles W. LeadBeater, seorang waskitawan. Saudara

D.K. mendapat kesempatan emas, berdialog dengan Swami C.W

Leadbeater. Dalam kesempatan tersebut, Swami bertanya, "Apakah

kamu masih ingat pertemuan kita di Greek (Yunani) di kelahiran

yang lampau?" D.K. merasa takjub seketika, dan tidak dapat berkata

sesuatu apapun. Semenjak pertemuan ini terjadi perubahan secara

radikal dalam diri beliau. Revolusi ini membimbing beliau untuk

membabarkan kebijaksanaan Ilahi. Pertemuan dengan Swami C.W

Leadbeater dianggap sebagai suatu anugrah dari Tuhan yang Maha

Esa.

Dari landasan ini beliau menerobos dan memacu dirinya sehaluan

dengan tujuan sang 'Guru Jagat', guna meningkatkan kemajuan umat

manusia dan Dunia. Pada tahun 1929, beliau menjalankan misinya,

dengan terlebih dahulu merintis dan menggalang para muda–mudi,

mempersatukan mereka dalam suatu wadah Perhimpunan Deli

Hindu Sabha. Perhimpunan ini bertujuan meningkatkan kemampuan

masyarakat. Fokus kegiatan diarahkan kepada kegiatan–kegiatan

olah raga, kesenian, sandiwara serta mendirikan lembaga pendidikan

formal maupun informal yang diorganisir oleh beliau secara langsung.

Semenjak Saudara D.K. memangku jabatan sebagai Ketua

Perhimpunan Deli Hindu Sabha, banyak karya–karya beliau

tampilkan ke forum. Pada tahun 1932 beliau mendirikan sekolah–

sekolah berbahasa Tamil dan Inggris, baik di Medan maupun di

Binjai. Pada tahun 1933, beliau mengkodifikasikan beberapa upacara,

agar terlaksana lebih hikmat dan sesederhana mungkin, tanpa

menghilangkan makna dan fungsinya. Antara lain upacara–upacara

pernikahan, pemakaman maupun perabuan. Kitab Maha Puja saat ini

berkumandang di berbagai Vihara di persada tanah air Indonesia.

Setelah terlahir Maha Puja ini, perkembangan Budha Dharma di

Indonesia, khususnya di Medan mengalami kemajuan pesat. Berbagai

kegiatan dilaksanakan untuk memajukan Buddha Dharma.

Ia mendapat kesempatan berkunjung ke India dan dua tahun di

sana, di perumahan Perhimpunan Theosofi sedunia di Adyar. Pada

tahun 1968 Beliau kembali ke Indonesia dan aktif di vihara Borobudur

Medan.

Pada tahun 1971 beliau ditunjuk untuk mewakili umat Budha

Indonesia untuk menghadiri undangan peresmian International

Buddist Pagoda di Kuala Lumpur, Malaysia. Saudara D.K. adalah

seorang pelopor dalam bidang kebathinan yang menghayati Budha

Dharma.

Dalam lawatannya di India, D. K. bertemu dengan ketua Budha

Dharma di India, Maha Tera Nandhi Swara. Beliau disambut dengan

gembira dan dianugrahi gelar kebathinan Budha Dharma yaitu

Ashok Surya. Sekembalinya ke Tanah Air Indonesia, beliau disambut

dengan penuh penghargaan dan kehormatan oleh Ketua Sangha Suci

Indonesia dan Majelis Budha Indonesia, yang mulia Maha Nayaka

Stavira Ashin Jinarakita, dan dianugrahi gelar Maha Upasaka Maha

Pandita Ashok Dharma Surya D. Kumarasamy.

Selanjutnya di kalangan masyarakat Tamil di Sumatera Utara,

beliau dianugrahi gelar kehormatan yaitu, Samugha Vallal, yang

bermakna “yang mulia pembina masyarakat”. Untuk selanjutnya

di kalangan masyarakat Budhis Indonesia dan Dunia International

beliau dikenal dengan Gelar Maha Upasaka Maha Pandita Ashok

Dharma Surya–Samugha Vallal D. Kumarasamy.

Beliau meninggalkan wadahnya/jasadnya pada tanggal 29 Mei

1978, dalam usia 72 Tahun.

Dalam mengenang seorang theosof sambil menyelami diri

kita sendiri, maka kita merasa sangat kecil dan kita sadar akan

kekurangan serta kelemahan kita. Kita menyadari bahwa kewajiban

kita sebagai Ummat Budha Dharma, yakni mengamalkan Dharma

dalam kehidupan kita sehari–hari, hendaknya memperkaya hidup

kita. Dan dharma baru dapat kita amalkan dalam kehidupan kita,

manakala Dharma telah bersemayan di dalam hati dan menggema di

dalam sanubari setiap Umat Budha. Maka kita harus berusaha supaya

Dharma ada dalam hati kita, ia harus menjadi cermin hidup kita.

Marilah kita kenangkan bersama, betapa besar jasa beliau

terhadap Umat manusia dan dunia. Marilah kita mengambil tauladan

dari beliau akan ketabahan hatinya, kemauannya yang begitu

keras, keyakinannya yang begitu teguh dan keberaniannya untuk

mempertahankan pendiriannya yang telah diyakini kebenarannya.

167Epilog166 Penutup

Epilogoleh Selwa Kumar

Suatu pagi, ketika embun masih melekatkan dirinya pada kelopak

teratai yang sedang mekar penuh pesona di kolam Tirta Gangga, aku

terduduk di tangga yang menghadap desa Candi Dasa. Di antara

indahnya alunan kidung Puja dan wewangian Puspa, pikiranku

berkelana menyusuri ingatan-ingatan tentang D. Kumarasamy, orang

yang sangat inspiratif bagi kehidupan sesamanya.

Tak sengaja, ketika masih menjadi mahasiswa sastra di kampus

Universitas Sumatera Utara, aku bertemu dengan bapak Sri Ramlu

yang mengundangku untuk bertandang ke rumahnya. Ia sangat

mengenal D. Kumarasamy dan banyak bercerita tentangnya.

Bagi pak Sri Ramlu, D. Kumarasamy adalah pejuang Hak Asasi

Manusia yang berupaya mengangkat harkat dan martabat kaum

perempuan Tamil. Dahulu, aktivitas kaum perempuan Tamil sangat

terbatas, tidak boleh keluar rumah, dan tak diijinkan keluar dari kamar

ketika ada tamu yang datang ke rumahnya. Dalam perkumpulan Deli

Hindu Sabha, ia memulai sebuah seksi khusus bagi perempuan yang

membuka ruang luas bagi mereka untuk mengenyam pendidikan.

Kaum perempuan dapat belajar bahasa Inggris, bahasa Tamil, belajar

berorganisasi, belajar tentang kepanduan dan berbagai keterampilan

lainnya.

Dalam bidang perkawinan, D. Kumarasamy melakukan perubahan

yang sangat berarti, yakni membuat Perjanjian Perkawinan yang

lebih melindungi dan menghargai hak-hak kaum perempuan serta

para janda. Dahulu, para janda yang ditinggal mati oleh suaminya,

tidak boleh menikah lagi namun boleh hidup bersama dengan lelaki

lain tanpa ikatan. Ini adalah situasi yang membuat perempuan

168 169EpilogEpilog

berada dalam posisi sangat rentan. Ia mengubah tradisi itu dengan

mengizinkan para janda untuk menikah lagi dengan ikatan yang kuat

dan memberinya perlindungan.

Dalam tradisi sebelumnya, para istri yang diceraikan oleh

suaminya, sama sekali tak memiliki hak atas nafkah hidup dan

hartanya, serta tak memiliki hak untuk mengasuh anak-anaknya. D.

Kumarasamy memperbaharui tradisi itu dengan memberikan hak

yang sama bagi para istri untuk memiliki harta bersama, mendapatkan

nafkah hidup, dan dapat mengasuh anak-anaknya.

Ia adalah tokoh yang memperjuangkan penghapusan kasta,

membela orang-orang yang tertindas dan dizalimi oleh orang-orang

dari kelas sosial yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa semua manusia

diciptakan dalam martabat dan harkat yang sama. Hak Asasi setiap

orang wajib mendapatkan perlindungan dan tak seorangpun boleh

menginjak-injak harkat dan martabat orang lain atas dasar perbedaan

status sosial, agama, maupun warna kulitnya. Ia memperjuangkan

nasib saudara-saudarinya yang dianggap sebagai bagian dari kelas

sosial yang lebih rendah, yang seringkali mendapatkan perlakuan tak

pantas dari mereka yang menyebut diri agamawan dan menganggap

diri sebagai orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi.

Beruntunglah, aku bertemu dengan Syaifuddin Mayuddin, dosen

sejarah yang saat itu baru saja lulus pasca-sarjana dari Universitas

Gadjah Mada. Setelah kuceritakan kisah tentang D. Kumarasamy, ia

sangat berminat untuk menulis biografinya. Keinginan untuk menulis

biografi itu akhirnya kami sampaikan kepada pak Mohan Leo, putra D.

Kumarasamy. Tampaknya gayung bersambut. Pak Mohan menyambut

baik dan mendukung rencana penulisan itu.

Penulisan buku ini berlangsung selama setahun. Tahun 1998,

proses penulisan telah selesai. Namun sayang, sampai tahun 2007

ketika bang Saifuddin dipanggil Tuhan, naskah biografi ini belum

berhasil diterbitkan. 16 tahun lamanya, naskah ini tertahan. Baru

pada tahun 2013, aku mulai mengoreksi kembali naskah ini setelah

mendapatkan kabar dari pak Mohan Leo bahwa ia sangat berkehendak

untuk segera menerbitkan buku ini karena telah berhutang budi

kepada ayahandanya.

Dari kesaksian orang-orang yang mengenalnya, kuketahui bahwa

D. Kumarasamy telah dididik dan dibesarkan di kota Medan, di tengah

masyarakat yang multi-kultur, yang melahirkan banyak tokoh perintis

dan pejuang kemerdekaan. Sutan Syahrir, Tan Malaka, Amir Hamzah,

Chairil Anwar, Deliar Noor dan HB. Jassin, adalah beberapa orang

yang dapat disebutkan.

Ketika masih bersekolah, D. Kumarasamy memiliki banyak sahabat

yang berasal dari beragam bangsa, etnis, dan agama. Pergaulannya

yang luas dan pengetahuannya yang kaya telah menjadikannya

seorang pribadi yang humanis, demokratis, moderat, reformis dan

sangat menghargai perbedaan. Baginya, perbedaan adalah anugerah

dan rahmat yang pantas disyukuri dalam hidup sehari-hari.

Ia adalah orang yang membaca banyak buku. Ia sangat akrab

dengan karya-karya Swami Vivekananda, Baghawat Gita, Shakespere,

Rabindranat Tagore, Khalil Gibran, T.S. Elliot, Alberth Camus, Marah

Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Muhammad Yamin,

Abdullah bin Abdul Kadir Munzi dan Amir Hamzah.

Pada tahun 1927, ia sempat bertemu dan berdiskusi dengan

Rabindranat Tagore yang kebetulan berkunjung ke Medan dan

memberikan ceramah di perkumpulan Deli Hindu Sabha. Mereka

bertukar pendapat tentang banyak hal seperti nasionalisme, agama,

moralitas dan sastra.

Sebagai peminat sastra, D. Kumarasamy banyak membaca puisi

karya Khalil Gibran. Salah satu puisi Gibran yang disukainya adalah

ini:

Kemanusiaan adalah sungai cahaya

yang mengalir dari rumah-rumah keabadian menuju keabadian

Bila Kau bangkit sedikit saja di atas ras, agama, negara dan pribadi

kau akan menjadi seperti dewa

kebijaksanaan berhenti untuk menjadi kebijaksanaan

ketika ia menjadi terlalu bangga untuk menangis, terlalu

menderita untuk tertawa,

dan terlalu sendiri mencari diri yg lain daripada dirinya sendiri

Kelahiran dan kematian adalah dua ekspresi keberanian yang

paling hebat

Kenangan adalah sebuah pertemuan

seseorang tidak akan menemui fajar tanpa menemui malam

D. Kumarasamy adalah seniman yang menciptakan banyak kidung

dan doa Puja untuk agama Hindu maupun Budha, serta penulis cerita

171Daftar Pustaka & Lampiran170 Epilog

riwayat Budha. Ia adalah seorang pribadi yang menghormati iman,

spiritualitas dan keyakinan orang lain yang berbeda dengannya,

sebagaimana ia menghormati iman, spiritualitas dan keyakinannya

sendiri.

Sebagai pribadi yang memiliki kepekaan kemanusiaan yang tinggi,

hati nuraninya tersentak oleh ketidakberdayaan dan ketertindasan

masyarakat Tamil Budhis yang ada di sekelilingnya. Untuk itulah ia

membentuk Budha Society. Pada tahun 1954, ia memilih menjadi

pemeluk agama Budha. Ia berjuang membangun masyarakat Budhis

melalui pendidikan dan spiritualitas. Dalam konteks itu, ia pantas

disebut sebagai pembaharu masyarakat Tamil di Medan pada masa

Kolonial. Ia adalah saksi zaman yang menyampaikan suara-suara

masyarakat Tamil yang tertindas pada masa kolonial itu, baik dari sisi

kemanusiaan, agama, sosial dan politik.

Begitulah ingatan-ingatan tentang D. Kumarasamy yang dapat

kuhadirkan kembali. Semua ingatan itu kiranya dapat ditemukan

dalam buku biografi ini.

Aku mengucapkan terima kasih kepada bang Hafni Tanjung,

kak Elfi Rahmita Ginting, bang Irwansyah Harahap sang Sufi, bang

Saifuddin Edwin yang telah banyak membantu melalui diskusi-diskusi

dan buku-buku yang bagus demi memperkaya penulisan buku ini.

Mereka semua telah mendorong dan mengingatkan aku yang lalai dan

terlena agar buku ini segera terbit. Tak lupa aku ucapkan terima kasih

kepada mas Indro Suprobo dan mbak Listia di Yogyakarta. Mereka

adalah suami-istri yang dengan gigih, sabar dan tekun berusaha

memahami kepribadian, idealisme serta spiritualitas yang dihidupi

oleh D. Kumarasami, dengan harapan mereka dapat menyunting

dan mendesain buku biografinya sesuai yang dimaksud oleh keluarga

dan penyusun buku, hingga akhirnya buku ini dapat hadir di tengah

pembaca sekalian.

Semoga buku biografi D. Kumarasamy ini memberikan banyak

manfaat bagi kehidupan yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Denys Lombard, 1996, Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia, Jakarta.F.D.K Bosch, 1961, The Problem of The Hidu Colonisation of Indonesia, dalam Selected Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff, KITLV Translation Series 3Hassan Shadily, dkk., 1984, Ensiklopedia Indonesia jilid 6, Ichtiar Baru Van Hoeve, JakartaH.H. Dodwell, 1934, The Cambridge Shorter History of India, Cambridge University Press, London. Indra Afkar, 1995, Perkembagan Kereta Api di Sumatera Timur, Tesis S2, Universitas Indonesia, Jakarta.J. C. Van Leur, 1955, Indonesian Trade and Society, Essays in Asian Social and Economic History, The Hague, Bandung: W. van HoeveKarl. J. Piljer, 1985, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan, Jakarta.O.W. Wolters, 1967, Early Indonesian Commerce, A Study of The Origins of Srivijaya, Cornell University Press.Riclef, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Gajahmada Press, Jogjakarta.T.Luckman Sinar Basarsyah, 2008, Orang India di Sumatera (Edisi Bahasa Indonesia dan Inggris), Forkala, Medan. Usman Pelly, 1994, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya

Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta.

Daftar Pustaka & Lampiran

172 173Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

DAFTAR NAMA-NAMA INFORMAN

1. Nama : S. Kanapathy

Umur : 69 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan Kantor Pembangunan Perumahan

Alamat : Jl. Pare No. 7 Medan

2. Nama : K. Marudhe

Umur : 77 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Dolog Sumatera Utara

Alamat : Jl. Brigjen. Katamso Gg. Bakti Medan

3. Nama : K. Nyana Perkas

Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Pasundan Gg. Kami No. 55 Medan

4. Nama : K. Mohan Leo

Umur : 54 Tahun

Pekerjaan : Wiraswata

Alamat : Jl. Lobak No.18 Medan

5. Nama : Marimuthu Siniwasan

Umur : 61 Tahun

Pekerjaan : Pengusaha (Wiraswasta)

Alamat : Jl. F. Tandean Medan

6. Nama : S. Manikam

Umur : 74 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Jl. Merak Gg. Nirwana No. 41 Medan

7. Nama : Sri Ramlu

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Ketua Parisada Hindu Dharma

Alamat : Jl. Darat - Medan

8. Nama : Krishnaputra

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Pengurus Vihara Borobudur Medan

Alamat : Jl. Imam Bojol No. 15 C

9. Nama : Shokahinggam

Umur : 80 Tahun

Pekerjaan : Pengurus Sri Maryaman Kuil Binjai

Alamat : Jl. Ahmad Yani - Binjai

10. Nama : M. Yahya Rowter

Umur : 74 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Socfindo Medan

Alamat : Villa Makmur Indah Jl. Makmur

Block C/27 Medan

11. Nama : Kina Kumarasamy

Umur : 74 Tahun

Pekerjaan : Pendeta Brahma

Alamat : Jl. PWS No. Medan

12. Nama : Netty Anauda

Umur : 55Tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. S. Parman Lorong Baru No. Medan

13. Nama : Parameswary Ammal

Umur : 78 Tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Lobak No. 18 Medan

14. Nama : S. Tauwse Lingga

Umur : 70 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan Perkebunan PTP

Alamat : Jl. Timur No. Medan

__________________________________________________

174 175Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

176 177Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

178 179Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

180 181Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

182 183Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran

184 Daftar Pustaka & Lampiran