anna amartya dharma - magisterseniusu.com · diharapkan untuk di kemukakan adal ah “apa yang...
TRANSCRIPT
Anna Amartya DharmaD. Kumarasamy (D.K)
Biografi
Yayasan Sai GaneshaJl. Pinang Baris Gg. Sai Ganesha No.5E
Medan, Indonesia
Tlp. 061-80031879
Penulis
Saifuddin Mahyuddin
Anna Amartya DharmaD. Kumarasamy (D.K)Biografi
Penulis Saifuddin Mahyuddin
Tim Penulisan Biografi D. Kumarasamy
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Bidang Studi Sejarah:
1. Drs. Saifuddin Mahyuddin, S.U.
2. Drs. Hendra Mulia
3. Drs. Gustanto, M.Hum.
4. Drs. Selwa Kumar
Penyelaras Bahasa, Perancang Isi dan Desain Sampul:
Nafas Pustaka Editor & Design, Yogyakarta
PERPUSTAKAAN NASIONALKatalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-8384-81-0
15.5 x 24 cm, xxviii + 184 halaman
© Yayasan Sai Ganesha, Medan
Cetakan Kedua April 2014
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memper-
banyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
ii iii
BIOGRAFI
Samugha Vallelar
Maha Upasaka Maha Pandita
Ashok Dharma Surya
Duraysami Kumarasamy
(DK)
Pengantar Penerbit
Beberapa hal yang sedang dibutuhkan oleh bangsa ini untuk
melanjutkan pertumbuhannya menjadi bangsa yang lebih dewasa
adalah peningkatan kemampuan dalam mengelola perbedaan dan
adanya teladan kepemimpinan. Buku "Anna Amartya Dharma D.
Kumarasamy (D.K)" ini adalah salah satu buku yang menjawab
kebutuhan tersebut.
Dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, kiranya
buku ini dapat memberi banyak wawasan tentang sejarah, perjuangan
hidup seorang pemimpin yang bersedia bekerja dengan tulus dan
penuh dedikasi bagi kemajuan masyarakat dan pengenalan lebih rinci
tentang salah satu elemen yang membentuk bangsa ini.
Buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya,
memberi informasi yang sangat umum tentang masyarakat yang
hidup di Nusantara, yang kemudian menjadi bangsa Indonesia. Buku
ini memberi sumbangan yang memperkaya, memberi informasi
tentang "proses menjadi Indonesia" dari sudut pandang kelompok
masyarakat yang datang ke wilayah Nusantara pada abad 19, dengan
berbagai konteks hidup dan adaptasi yang mereka lakukan.
Sebagai sebuah biografi, buku ini sangat inspiratif bagi generasi
muda dan sangat penting untuk dibaca oleh siapa pun yang tengah
mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan Indonesia yang lebih
damai.
Medan, 1 Maret 2014
iv v
Sekapur Sirih
Kehadiran setiap manusia di muka bumi membawa peran sebagai
pelaku sejarah. Seberapa besar perubahan-perubahan yang telah
ditoreh melalui berbagai aktivitasnya menunjukkan seberapa besar
makna kehadirannya dalam sejarah suatu masyarakat.
Makna yang dibutuhkan dari suatu perubahan dalam kehidupan,
bermuara pada nilai–nilai yang meninggikan martabat kemanusiaan.
Seorang tokoh, mungkin dapat berperan melakukan perubahan–
perubahan politik, ideologi, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
Tetapi perubahan–perubahan tadi akan menjadi kabur maknanya, bila
tanpa diiringi peningkatan harkat kehidupan masyarakatnya. Inilah
yang menjadi bagian dari kriteria untuk menuliskan peran seorang
tokoh dalam perjalanan sejarah kehidupannya atau biografinya.
Dalam mengangkat kehidupan seorang tokoh, ada tiga unsur
yang penting untuk digali, yaitu latar belakang kehidupan pribadi
sang tokoh, konteks sosial budaya yang melingkupinya dan
perkembangan intelektualnya. Dari ketiga unsur yang berhasil digali
ini, akan membantu kita lebih dapat memahami alur hidup dan
arah perjuangan berdasarkan ide atau gagasan, sikap dasar, pilihan-
pilihan tindakan maupun keteguhannya dalam memperjuangkan
gagasan-gagasannya untuk kebaikan masyarakatnya. Oleh karena itu,
dalam penulisan Biografi D. Kumarasamy ini, tim penulis mencoba
meneliti dan memaparkan bagaimana latar belakang historisnya,
situasi lingkungan dan tempat tinggal, maupun proses perkembangan
pendidikan dan intelektualnya. Kemudian sebagai puncak yang
diharapkan untuk di kemukakan adalah “apa yang telah dilakukannya
sebagai dharma baktinya itu dan bagaimana pula respon yang
vi vii
diberikan masyarakat Tamil di sekitarnya terhadap beliau”. Dari hasil
penelitian yang dipaparkan ini kita dapat melihat sampai sejauh mana
efek atau perubahan yang terjadi sebagai buah hasil perjuangan D.
Kumarasamy di tengah masyarakatnya.
Tim penulis juga menyadari, betapa pun besarnya upaya untuk
merekonstruksi peristiwa dan perjalanan sejarah seorang tokoh,
pasti tidak akan seutuh kenyataan yang ada. Demikian pula untuk
memberikan interprestasi terhadap data-data atau jejak-jajak sejarah
yang di tinggalkan oleh D. Kumarasamy, tidaklah akan seakurat atau
persis seperti yang ada dalam pikiran pelaku. Namun demikian,
sebagai tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tim
penulis mempergunakan metodologi yang khusus dan sesuai dengan
kebutuhan pokok–pokok bahasan yang ada.
Berbagai sumber referensi atau bahan kepustakaan dari berbagai
disiplin ilmu telah dipergunakan untuk mendukung penulisan ini.
Diantaranya adalah buku atau referensi antropologi dan sejarah yang
berkaitan dengan proses kedatangan dan perkembangan masyarakat
etnis Tamil yang ada di Indonesia, terutama yang ada di Sumatera
Timur. Diharapkan semuaya dapat menjadi dukungan agar penulisan
buku ii dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Dan last but not least, tim penulisan telah menyiapkan
seperangkat daftar questioner yang ditujukan kepada nara sumber /
informan. Kami berupaya semaksimal mungkin untuk mewawancarai
narasumber yang merupakan saksi hidup atau sezaman dengan D.
Kumarasamy. Di antaranya adalah orang-orang yang mempunyai
pertalian keluarga secara langsung seperti istri, anak-anak, menantu,
dan cucu-cucu beliau yang pernah yang bersinggungan langsung
dengan D. Kumarasamy. Demikian pula para tokoh yang pernah
menjadi sahabat dan murid-murid beliau, baik yang sealiran maupun
tidak dengan paham yang dianutnya. Kesemuanya telah memberikan
konstribusi yang sangat berharga dalam keberhasilan penulisan ini.
Penulis tetap berupaya agar dapat “menyelami” dan memahami
sumber-sumber yang diungkapkan oleh para nara sumber, baik
yang bernada kontra maupun pro terhadap subjek / pelaku dalam
biografi ini. Ada kalanya peulis harus “menempatkan” diri sebagai
orang luar yang tidak berkepentingan atau tidak terkait dengan jalan
pikiran mereka (termasuk nara sumber dan pelaku dalam penulisan
ini). Walaupun demikian, penulis juga sadar, upaya kami ini tidak
selamanya akan memenuhi keinginan semua pihak. Karena itu
dengan segala kerendahan hati kami memohon maaf atas keterbatasan
kami untuk menyerap aspirasi dari berbagai narasumber. Kami juga
memohon maaf bila subyektivitas kami dianggap terlalu menonjol
dalam melakukan interprestasi dan menganalisis data. Kami telah
berusaha semaksimal mungkin agar tulisan ini benar-benar dapat
menjadi salah satu sumbangan kami dalam bidang penulisan ilmiah
yang objektif.
Akhirnya yang menjadi harapan kita bersama adalah, buku
ini tidak hanya akan bermanfaat bagi kelompok tertentu yang terkait,
mengingat dharma bakti yang telah diperjuangkan D. Kumarasamy
di dalam kehidupannya dapat memberikan sumbangan inspirasi yang
luar biasa dan sangat berguna dalam menata kehidupan masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk ini. Buku ini diharapkan juga
memberikan manfaat bagi lingkungan akademis, khususnya dalam
kajian-kajian tentang sejarah dan multikulturalisme di Indoensia.
Salam dan hormat kami.
Tim Penulisan Biografi D. Kumarasamy
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Bidang Studi Sejarah.
1. Drs. Saifuddin Mahyuddin, S.U.
2. Drs. Hendra Mulia
3. Drs. Gustanto, M.Hum.
4. Drs. Selwa Kumar
viii ix
D. K. – The Jewel of the Medan TamilsMessage from Professor A Veeramani,
Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
In 1976 (May to June), I stayed in Medan to pursue
a study of Medan Tamils. All the Tamils that I met
with directed me to meet with Mr. D. Kumaraswamy,
referred by all as DK for short and by his ardent
admirers as ‘Anna’. I had the unusual opportunity
of interviewing him twice. Both his admirers and
adversaries admired him as the intellectual jewel of the Medan Tamil
community if not the whole of North Sumatra. By the time I returned
again for an extended fieldwork in 1982, DK had passed into history
as the greatest intellectual, social worker and lover of the Tamil
community and humanity. Since then, I have continued to write about
him in all my writings on Indians in Indonesia. The photograph that
DK had given me was published in one of my books and later copied
by many when they wrote about Indians in Indonesia.
I still remember the first time I met him on an afternoon in
his home library. He gave me an extended overview of the history
of Tamils in Medan, their struggles, their challenges and his role in
helping them become respected people in North Sumatra. His gift
of the oldest publication on Deli Hindu Sabai and the Maraimman
temple has been deposited at the Institute of Southeast Asian studies
in Singapore, where they have joined the list of rare books on Indians
in Southeast Asia.
DK was an unusual man in the history of North Sumatra. His
parents had migrated from the French colony of Pondicherry. Born in
1906, he was almost seventy years old when I met him. He had a deep
knowledge of Latin, English, Malay and Tamil. He was one of the most
x xi
widely read person in North Sumatra. As an employee of Harrison &
Crossfield he was uninterested in community affairs until 1923. It was
the Theosophical Society of Medan that inspired him to understand
the Tamils. As a concerned scholar, he wrote much on the practice of
Hinduism in North Sumatra. From 1929 to 1954 he contributed much
to the flowering of Tamil Hinduism as well reform in the practices
of Hindus. From the 1950s he dedicated himself to improvement of
the poorest Tamils by propagating Buddhism and its ideas of human
rights and self-respect. Though a few understood him, he pursued a
life that was well spent in the awakening of the inner soul among the
Tamils in North Sumatra. His path of love for humanity has created
the largest number of Tamils following Buddhism in Indonesia as well
as the world.
As a social scientist following the development of the Tamils in
North Sumatra for the four decades, I see that DK’s have lived beyond
his life-time. Tamil Hinduism has been reformed and transformed
in North Sumatra. The marriage practices that he advocated are still
followed. For the most oppressed among the Tamils in early North
Sumatra, DK brought dignity and respect to about five thousand
Tamils. Buddhism itself has seen a revival in North Sumatra due to
the contributions of DK.
I am extremely happy that a commemoration of DK is taking
place in Medan. He is truly the jewel of the Tamils in North Sumatra
and Indonesia. May the contributions of DK to North Sumatra be
cherished forever by all future generations.
Rendah Hati dan Berpandangan Spiritual Mendalam
Merupakan kebanggaan dan kebahagian tersendiri,
mendapat kesempatan untuk menulis Sepatah Kata
Pengantar untuk buku biografi Samuga Valelar, Maha
Upasaka, Maha Pandita Ashok Dharma Surya D.
Kumarasamy, yang lebih dikenal oleh masyarakat Medan
dengan panggilan akrab “Bapak DK”.
Saya kenal beliau pada awal tahun 1960, karena kita
bekerja pada Perusahaan Perkebunan yang sama yaitu Harrisons & Crosfield
LTD. Beliau sebagai manager Estates Departement dan saya sebagai Visiting
Engineer di Consulting & Visting Engineer’s Office.
Pertemuan kami seakan – akan terjadi secara “kebetulan “. Kami berdua
bertemu dekat lift, karena lift-nya penuh kita menunggu, dan sebagai pegawai
baru ( yang muda ) saya memperkenalkan diri sambil bicara hal – hal ringan
sehari–hari, sambutan beliau sangat ramah dan bersahabat. Melihat wataknya
yang ramah ini saya jadi berani bertanya tentang sebuah hal yang sudah lama
saya cari yaitu : “Medan Lodge”.
Dalam “keheningan meditasi“ di bulan Desember 1959, saya mendengar
suara yang menyarankan agar saya mencari Medan Lodge, saya tidak
mengerti Medan Lodge itu apa, jadi secara iseng saya bertanya kepada beliau
apakah Bapak tahu di Medan ada yang namanya Medan Lodge? Beliau jawab
tahu, dan balik bertanya, anda ada keperluan apa bertanya seperti itu pada
saya. Saya jawab, saya ingin tahu dan ingin berkenalan dengan ketua-nya.
Beliau dengan tersenyum menjawab. “Ketuanya saya”!
Saya sungguh kaget mendegar jawaban tersebut. Saya tidak pernah
menyangka bahwa amanat untuk mencari Medan Lodge tersebut begitu
mudah saya dapatkan. Setelah itu saya jadi “dekat” dengan Bapak DK. Dan
xii xiii
banyak belajar dari beliau tentang ajaran Theosofi dan ajaran – ajaran spiritual
lainnya.
Pada suatu malam di tahun 1960, saya di ajak untuk menemui seorang
bhikkhu muda yang baru datang dari Burma namanya Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita. Saya berkata kepada Bapak DK bahwa saya sudah pernah
bertemu beliau di Vihara Watu Gong Semarang tahun 1954. Bapak D. K.
sangat senang mendengarnya dan menambahkan bahwa bhikkhu Ashin
Jinarakkhita adalah bhikkhu Indonesia yang pertama setelah jatuhnya
Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Kami bertiga berjumpa di Vihara Po The Cing Shia di jl Asia. Melihat
dan mendengarkan pembicaraan mereka berdua, saya jadi mengerti bahwa
hubungan mereka berdua sangat akrab dan mendalam. Sebagai anak muda
yang mempunyai bakat spiritual, saya sangat mendapat perhatian dan
bimbingan beliau berdua. Setelah lebih lama saya mengenal Bapak D.K.
saya semakin mengagumi watak beliau yang “humble” (rendah – hati) dan
pandangan – pandangan spritualnya yang mendalam.
Pada waktu mengikuti Upacara Waisak di awal Mei Tahun 1978, beliau
berkata kepada saya, bahwa “bintang-kehidupannya“ sangat gelap. ( beliau
adalah seorang Astroloog yang berbakat ) kemudian beliau meneruskan bahwa
“kegelapan” ini dapat menyebabkan kematian jasmani-nya. Mendengar itu
saya jadi kaget dan sedih, untuk menentramkan hati saya beliau meneruskan
dengan berkata : jagan khawatir, kalau saya dapat melewati akhir bulan Mei
ini saya akan hidup dalam badan ini untuk beberapa tahun lagi.
Tetapi ternayata beliau tidak dapat melewati bulan Mei tahun 1978 ! DK
adalah “JIWA BESAR” yang datang untuk membimbing masyarakat Tamil,
baik yang beragama Hindu ataupun Buddha, kesemuanya beliau bina kearah
kehidupan spiritual dan material yang lebih baik.
Buku ini patut dibaca oleh kalangan muda Tamil, Tionghoa dan etnis
manapun untuk mengenang dan mengetahui pengabdian beliau kepada
masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Tamil khususnya.
Sadhu, Sadhu, Sadhu
Maitricittena,
M.U. Phoa Krishnaputra
Pembaharu dan Pembawa KemajuanMasyarakat Tamil Indonesia
Segala puji syukur kita persembahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya Kasih Tuhan yang
sangat penting bagi manusia adalah ilmu dan amal
serta hikmah yang kita peroleh dari karsa yang mulia.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa
kebanyakan warga negara Indonesia keturunan India
yang berada di Sumatera Utara adalah keturunan
Tamil. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa masyarakat keturunan Tamil
di Sumatera Utara telah melangsungkan kehidupannya lebih dari tujuh
keturunan atau tujuh generasi di bumi persada Indonesia.
Berdiam di benua atau negeri manapun warga Tamil tidak
akan menanggalkan kebudayaannya, ia akan berupaya melestarikan
kebudayaannya, dengan berpegang teguh pada payung agamanya. Dan
juga tidak luput selalu berupaya untuk menyuguhkan kebudayaannya
kepada masyarakat yang berada di sekelilingnya, untuk dapat hidup
rukun dan damai bersama di manapun ia berada.
Pada awalnya para leluhur warga Tamil yang datang ke Sumatera
Utara dan sekitarnya, pertama-tama mereka mendirikan rumah ibadah.
Melalui rumah ibadah mereka mengadakan upacara, dan membangun
budaya yang berlandaskan agama. Bila kita mengamati lebih dalam,
di kalangan warga Tamil, agama dan kebudayaan telah menyatu padu,
hingga sulit dapat terpisahkan satu dengan lainnya.
Dalam perjalanan kehidupan masyarakat Tamil di Sumatera Utara,
Bapak D.K. lahir di pertengahan kehidupan generasi ketiga. Setelah Beliau
merenungkan dan mengerti secara mendalam perihal perkembangan
kemajuan masyarakat Tamil pada saat itu, dibandingkan dengan
xiv xv
masyarakat lain di sekitarnya, dalam usia remajanya Beliau mengambil
bagian dalam pelayanan kepada masyarakat, untuk mengadakan
berbagai perubahan dalam perkembangan masyarakat Tamil dengan
mengedepankan Pendidikan, Kebudayaan dan Spiritual.
Setelah memperhatikan dan menyadari kehidupan masyarakat
Tamil pada saat itu, bahwa masyarakat Tamil masih jauh tertinggal dari
yang diharapkan, terutama dalam bidang Pendidikan, Kebudayaan dan
Spiritual, pada Tahun 1931, Beliau berupaya penuh untuk menggalang
menyatukan masyarakat Tamil, dengan menyiapkan suatu wadah
pemersatu dengan nama “DELI HINDU SABAH”, dan melalui wadah
inilah Beliau mulai mengadakan pelayanan dan pengabdian kepada
masyarakat.
Pertama-tama Beliau mendirikan tiga unit sekolah di sekitar kota
Medan, dan membuka jalan untuk menyuguhkan atau memberikan
pelayanan pendidikan kepada siswa dan siswi yang berada di sekitarnya.
Sebagai contoh dalam hal upacara pernikahan, penyelenggaraan
ritual pernikahan yang cukup rumit pada saat itu, Beliau mengadakan
perubahan dan penyederhanaan tata cara pernikahan, Beliau menciptakan
sebuah ikrar pengambilan sumpah akad nikah untuk kedua mempelai,
baik dalam upacara pertunangan maupun pernikahan selaras dengan
kidung mantra yang dipergunakan dalam upacara ritual pernikahan. Ikrar
pengambilan sumpah akad nikah yang diselenggarakan pada saat itu, dan
masih dipergunakan sampai sekarang dalam kalangan masyarakat Tamil.
Penyelenggaraan upacara kematian dalam rumah duka pada saat itu,
belum tertata dengan baik, karena kurangnya pengertian dharma secara
luas. Setelah mengamati hal ini, Beliau mengadakan perubahan mengenai
tata cara pemakaman, dengan memberikan penyuluhan mengenai
kematian, supaya semua masyarakat mengerti akan hakikat kematian.
Untuk itu Beliau menciptakan sebuah Vasana Penghormatan Terakhir,
yang dapat dipergunakan oleh masyarakat Tamil pada saat itu, dan
sampai saat ini Vasana Penghormatan Terakhir ini masih dipergunakan
masyarakat enis Tamil.
Pemahaman spiritual yang dimiliki oleh masyarakat Tamil, mengenai
Ketuhanan, Tempat Ibadah dan Arca serta penyelenggaraan tata upacara
pemujaan di tempat ibadah, dan mereka mengganggap berserah diri
sepenuhnya kehadirat Tuhan dengan menyakiti badan fisik mereka,
dengan membayar kaul merupakan pemahaman spiritual yang cukup
memprihatinkan. Perihal ini ditemukan di dalam pelaksanaan ibadah
dalam kalangan masyarakat Tamil.
Setelah Beliau melihat keterbelakangan masyarakat Tamil di
dalam pemahaman spiritualnya, karena terjebak dalam kulit luarnya
saja, sehingga melupakan hal tersirat di dalam kebesarannya. Untuk
menjelaskan hal ini Beliau menggalang pertemuan, mengadakan
penyuluhan Dharma Spiritual, dengan menyelenggarakan pertemuan
tiga kali dalam seminggu, untuk menjelaskan mengenai kebesaran Tuhan
yang tersurat dan tersirat dalam pelaksanaan upacara keagamaan.
Beliau menjelaskan hakekat Spiritual merupakan sesuatu di luar
hukum “Sebab dan Akibat” serta bersifat abstrak, dan Tuhan tidak
berwujud. Dalam penjelasannya bahwa penghayatan akan ketuhanan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan manusia.
Dengan bantuan ketuhananlah, kehidupan manusia akan memperoleh
pencerahan spiritual mencapai kesempurnaan. Kami di antara yang telah
mengikuti penyuluhan dharma spiritual pada waktu itu, menyadari,
mengerti dan memperoleh kepuasan bathin.
Berdasarkan pelayanan dan pengabdian bernuansa spiritual yang
dilakukan oleh Bapak D.K., kepada masyarakat, kita dapat menyaksikan
kemajuan yang dialami oleh masyarakat Tamil dan sekitarnya. Generasi
saat ini maupun generasi berikutnya perlu mengetahui pengabdian
yang dilakukan oleh Bapak D.K. untuk mendapatka inspirasi bagi
perkembangan dan kemajuan masyarakat Tamil dan sekitarnya. Oleh
karena itu saya merasa bahagia atas diluncurkan buku Biografi Bapak
D.K. pada HUT nya yang ke 108 Tahun, sebagai sarana untuk mengenang
dan menghormati jasa-jasa Beliau yang luar biasa.
Medan, 15 Februari 2014
M.U. S. Kanapathy
xvi xvii
Nominee Nullum par Eulogium
Saya merasa sangat bahagia diminta menulis kata pengantar
untuk buku Biografi Bapak D. Kumarasamy, yang oleh pengagumnya
disapa dengan singkatan DK (baca : di ki )
Beliau bertubuh tinggi dan besar, olahragawan (angkat besi)
dan memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ucapannya sangat
berwibawa, senantiasa menarik perhatian dan meyakinkan.
Perkenalan saya dengan beliau bermula pada awal 1954. Pada
waktu itu beliau adalah Ketua Perhimpunan Shri Mariamman
Kuil. Ketika itu saya baru saja lulus ujian Senior Cambridge Social
Certificate Khalsa English School. Melalui dua orang utusan yang
beliau tugaskan, yaitu Bapak G. Krishnaswamy dan Bapak P. Khrisna,
meminta kesedian saya untuk memimpin Bharati English School yang
baru didirikan oleh Shri Mariamman Kuil di atas pekarangan bagian
belakang kuil tersebut.
Nama sekolah Bharathi diambil dari nama seseorang pujangga
Subramaniam Bharatiar. Subramaniam Bharatiar adalah pujangga
besar di Tamil Nadu pada masa perjuangan Kemerdekaan India.
Selanjutnya, untuk menyatakan kesediaan saya sebagai kepala sekolah,
saya bertemu untuk pertama kali dengan Bapak DK di Gedung
Theosophical Society ( Sekarang Vihara Borobudur ) di jalan Imam
Bonjol, Medan. Formalitas pengangkatan saya secara lisan berjalan
singkat setelah saya menegaskan kesediaan dan kesanggupan saya.
Kemudian, menjawab keingintahuan saya tentang hal-hal
spiritual, beliau menjelaskan mengenai Theosofy, serta ajarannya serta
pendiri dan ketua–ketuanya, yaitu Madam Blavatsky, Dr Annie Besant
dan Coloniel Olcotf. mendapat pengertian mendalam mengenai
xviii xix
Theosaphy, Hinduism dan Buddhism. D.K. juga bercerita mengenai
Swami Vivekananda dan juga mengenai Yoga (Hatha Yoga, Raja Yoga,
dan Prema Yoga). D.K. juga bercerita mengenai Sir Matthew Arnold (“
The Light Of Asia” ) dan Kahlil Gibran ( “ The Prophet ” ).
Beberapa bulan kemudian, pada Sabtu petang, saya berkunjung
ke rumah. Beliau adalah orang Asia yang pertama diangkat sebagai
staff di Harrisons & Crosfield LTD. Setelah makan malam kami bicara
sampai Minggu. Saya bertanya, termasuk hal–hal yang sangat pribadi
dan beliau menjawab secara terbuka, jujur dan meyakinkan.
Bapak D.K. adalah sosok yang saya hormati dan kagumi, sampai
sekarang saya mencari sosok Beliau. Sebagai salah satu Guru Besar
Saya. D.K. telah menerima banyak gelar Kehormatan Spiritual. Saya
ingin menyatakan sbb : (anto) Nominee Nullum Par Eulogium “ (Untuk
Manusia yang demikian agung tidak ada pujian yang cukup besar).
Semoga buku biografi D.K. ini di baca dan dijadikan warisan
untuk generasi muda untuk membangun peradaban bangsa dan
Negara Indonesia. Hasrat perjuangan D.K. dapat dilanjutkan untuk
kemajuan bangsa dan Negara tercinta.
Medan, 15 Februari 2013
M.Yahya Rowter, MA
Mendidik Karakter Melalui Keteladanan
Puji Syukur saya persembahkan kepada
Baghavan Sri Sathya Sai Baba, oleh karena berkat dan
rahmat-Nya saya selaku putra dari Ayahanda saya
Bapak D.Kumarasamy akhirnya dapat memprakarsai
dan mengadakan penghargaan serta sekaligus
kenangan atas jasa-jasa Ayahanda saya yang telah
dirangkumkan serta dijilid ke dalam sebuah buku
yang dapat menjadi tanda kenangan serta sebagai motivator dan juga
sebagai suatu informasi yang secara aktual dan fakta mengenai jasa-
jasa serta sejarah kehidupan Ayahanda saya.
Saya sangat bersyukur dan bahagia atas terbitnya buku Biografi
dari Ayahanda tercinta saya, Bapak D. Kumarasamy.
Saya mengucapkan rasa terima kasih saya yang sedalam dalamnya
kepada para penulis, informan dan pembuat kata pengantar yang
telah bersedia mengorbankan waktunya sejenak dan mengambil masa
untuk menuliskan sejarah dan memberikan keterangan yang sangat
berguna di dalam penulisan sejarah daripada Ayahanda tercinta kami.
Saya berharap semoga buku ini sangat berguna dan bermanfaat
bagi kesemua generasi muda Indonesia dan kepada semua yang
membaca buku ini kedepannya.
Buku ini menyuratkan dengan seksama mengenai perihal
bagaimana D.K. berjuang dengan penuh semangat dan bergigih
menghadapi tantangan-tantangan yang datang silih berganti dalam
membangun dan membawa masyarakat Tamil kepada suatu tata cara
penghidupan yang berbudaya luhur.
Seorang D.K. telah memberikan kontribusi yang besar dan berharga
xx xxi
di masa kemerdekaan Indonesia yakni dengan membuka sekolah
yang tergolong indipenden pada masa tersebut. Tujuan Beliau adalah
untuk membangun karakter yang baik dan benar dalam kehidupan
bermasyarakat melalui pendidikan akhlak yang berkualitas. Beliau
selalu memberikan ceramah yang berkenaan dengan spritual dan
secara theosofi kepada masyarakat. Seorang D.K. telah mempelopori
dan membangun moral dan etika dalam berkehidupan masyarakat
dengan keteladanannya. Agama merupakan suatu sumber ilmu
pengetahuan dan jalan kehidupan Beliau dan merupakan penuntun
kehidupan Beliau.
Beliau berjuang dengan sangat tulus dan ikhlas serta dengan
tingkat konsisten yang sangat tinggi. Ayahanda kami membangun
humanisme di tengah-tengah masyarakat yang multikultural dengan
penuh rasa cinta kasih. Beliau sangat menghormati dan menghargai
perbedaan serta selalu menjalin persatuan di dalam perbedaan
tersebut.
Ayahanda kami selalu menghadapi semua cobaan dan masalah
dengan penuh sabar dan tabah dan selalu mencari solusi yang
terbaik dan yang tidak merugikan orang lain, dari semua persoalan
yang dihadapi Beliau di dalam kehidupannya. Hal ini dapat menjadi
sebuah panutan bagi kita semua termasuk saya sendiri dalam
menghadapi persoalan hidup ini. Seperti pesan Beliau yang sangat
berguna serta yang selalu bergema di telinga saya adalah “IT WILL
PASS” yang dimana memiliki makna yang sangat mendalam yaitu
semua persoalan dan permasalahan baik atau tidak baik maupun yang
senang atau tidak senang – hal ini semua akan berlalu dan tidak kekal
dalam kehidupan kita.
Sekian dan Terima Kasih
Mohan Leo
Sang Pemimpin Pembaharu dan Pemersatu Agama-agama
Amartya (artinya abadi atau Illahi, lih. www.spokensanskrit.de),
menggambarkan sosok warga negara Indonesia keturunan India,
Bapak D. Kumarasamy Pillay melalui perjalanan waktu dan ruang,
yang kebetulan berkisar di antara Medan dan wilayah sekitarnya
sampai ke negeri jiran dan anak benua India.
Buku ini membawa kita ke masa-masa nostalgia keteraturan
zaman perekonomian perkebunan maupun romantika transisi dari
zaman penjajahan Belanda, kemerdekaan, demokrasi terpimpin
sampai Orde Baru.
Melalui perjalanan waktu tersebut Bapak Kumarasamy
memberikan gambaran individu yang ulet, berbakat, terampil, disiplin
dan berprestasi–atau dalam bahasa sekarang professional tulen--,
sangat aktif dalam masyarakatnya, kreatif dalam berkarya, peminat
dan penggalak kehidupan yang bermoral dan spiritual, kepala rumah
tangga yang bertanggung-jawab serta pengasih–termasuk juga kepada
anggota masyarakat sekitarnya yang memiliki masalah atau kurang
beruntung.
Dalam membaca buku ini, terlintas di depan kita, sosok yang
santun, correct dan berprinsip, penuh drive dan inisiatif dan berdisiplin
–berbusana putih-putih dikanji dan diseterika licin mengendarai
sepedanya yang tak kalah mengkilapnya--, stereotip administrator
perusahaan ataupun pemerintahan yang kompeten, zakelijk
(businesslike), disegani di kantor dan masyarakat, yang menjadi tulang
punggung lancarnya perekonomian perkebunan maupun provinsi
di masa itu. Sosok-sosok ini ada di kota-kota yang menjadi pusat-
pusat perekonomian zaman Belanda maupun peralihan. Kehadiran
xxii xxiii
mereka secara tak terasa memberikan rasa kepastian, keamanan,
kesinambungan akan kesejahteraan, ketenteraman dan juga tak
jarang–pula sebagai suar moralitas bagi masyarakatnya – seperti yang
ditemukan pada diri Bapak D. Kumarasamy. Dalam kepemimpinan
pemerintahan Republik, sosok ini mungkin terwakili dengan baik
oleh Wakil Presiden yang pertama Bapak Mohammad Hatta.
Stereotip-stereotip seperti ini belakangan tergeser oleh stereotip-
stereotip administrator yang mengejar target politik, projek maupun
pemasaran seiring berjalannya waktu yang semakin didominiasi
oleh ekonomi-politik di mana politk ataupun laba menjadi panglima
dengan seringkali atau bahkan semakin kerap mengkompromikan
nilai-nilai moral.
Oleh karena itu kehadiran buku Anna Amartya Dharma mengenai
kehidupan sosok D. Kumarasamy Pillay ini dapat menjadi sebagai
kilas-balik, penyegar atau penawar atas kehilangan atau kerinduan kita
pada stereotip-stereotip panutan kita–yang satu nafas dan semangat
dengan Anna (Abang) Kumarasamy–yang pernah hadir dari Sabang
hingga Merauke pada masa peralihan tersebut namun kebanyakan
telah tiada itu.
Akan tetapi satu hal yang melegakan tentang Bapak D. Kumarasami
Pillay adalah bahwa selain meninggalkan warisan-warisan andil
partisipasi pada pendirian lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan
keagamaan (a.l kuil Sri Mariamman, Vihara Asoka untuk menyebut
beberapa), Beliau juga meninggalkan karya-karya tulis di antaranya
Ashok Gatha dan Mahapuja. Menurut kami buku yang disebut terakhir
sangat dalam makna dan penghayatannya akan Budhisme, sehingga
patut diperbanyak dan disebar-luaskan juga ke kalangan di luar
masyarakat Budha karena keindahan-keindahan syair-syairnya – yang
diiakui oleh pemimpin Budhis Nusantara seperti mendiang Mahathera
Jinnarakita dan Girirakito. Apalagi Mahapuja ini dilahirkan di
Nusantara, dengan demikian sumbangan putra Nusantara keturunan
India kepada salah satu agama besar dunia: Buddha. Padahal Beliau
juga adalah sosok yang aktif dalam kegiatan dan organisasi umat
Hindu. Hal ini bukanlah hal aneh, malah mewujudkan kesatuan yang
saling melengkapi seperti diabadikan dalam kitab Kakawin Sutasoma
karya Mpu Tantular yang terkenal dengan ucapannya Bhineka
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangriwa – yang menjadi motto dari
falsafah Republik Indonesia. Jadi Bapak Kumarasamy benar-benar
telah mengejawantahkan kesatuan agama– sedikitnya antara Hindu
dan Buddha. Ini tidak mengherankan karenaalam hidup Bapak
Kumarasamy Beliau pada masa remajanya sudah berkenalan dengan
komunitas para Theosof – yang keterlibatannya dilanjutkan sampai
akhir hayatnya.
Oleh karena itu, kami, dari Yayasan Bali Canti Sena pengelola
Gedong Gandhi Ashram dan Bali Vidyapith, amat menyambut dan
turut berbangga atas kehadiran buku tentang Bapak Kumarasamy
ini yang dapat menjadi kesaksian tentang berlanjutnya perjuangan
ketauladanan moral Hindu-Budha, atau Siwa-Budha seperti yang
diterapkan dan dianut di Bali. Mudah—mudahan buku ini dapat pula
menjadi awal dari persatuan dan kebangkitann besar kesatuan Hindu-
Budha di Nusantara yang terkenal telah meninggalkan warisan budaya
dunia seperti kompleks terpadu Candi-Prambanan (Hindu), Sewu,
Plaosan, Ratu Boko (yang ketiga-tiganya Budhis) di dekat Yogyakarta.
Astungkara. Om Shantih, Shantih, Shantih
Harimurthy Bagus Oka
(Penasehat Yayasan Bali Canti Sena,
Gedong Gandhi Ashram, Bali Vidyapith)
xxiv xxv
Daftar Isi
Pengantar Penerbit ............................................................................v
Pengantar Sahabat dan Keluarga ....................................................vii
Daftar Isi ........................................................................................ xxvi
Bab 1. Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur................................1
Bab 2. Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy..13
Bab 3. Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan......................23
Bab 4. Deli Hindu Sabha.....................................................................33
Bab 5. Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha....................49
Bab 6. Peran D. Kumarasamy sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta
Ashok Dharma Surya (1952-1956)........................................73
Bab 7. D. Kumarasamy sebagai Peletak Dasar Kebangkitan
Etnis Tamil Kota Medan..........................................................95
Bab 8. D. Kumarasamy sebagai Samugha Vallelar..........................121
Bab 9. Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia.......................................137
Bab 10. Penutup ...............................................................................145
Epilog.................................................................................................167
Daftar Pustaka & Lampiran
xxvi xxvii
1Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur
Sejarah Bangsa Indiadi Sumatera Timur
1
Hubungan antara masyarakat di kawasan Nusantara atau
Indonesia dengan masyarakat India yang berperadaban Hindu-
Budha, telah terjalin sejak sebelum abad Masehi. Jalinan hubungan
yang berlangsung lama ini sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat di kawasan Nusantara. Besarnya pengaruh ini ditandai
oleh berbagai peninggalan berupa artefak maupun kebudayaan
dalam pengertian luas. Kelompok masyarakat penganut agama Hindu
dan Budha juga masih eksis di Indonesia hingga saat ini. Besarnya
pengaruh peradaban ini, disematkan menjadi periodesasi penulisan
sejarah Indonesia dengan istilah “Zaman Hindu-Budha”. 1
Kedatangan bangsa India ke kawasan Nusantara bervariasi
motivasi dan waktunya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang
melatarbelakangi. Ada yang datang sebagai pedagang untuk jual-beli
komoditas tertentu dan ada yang datang ke wilayah Nusantara untuk
melakukan penyebaran agama beserta peradabannya. Di samping itu
ada pula gelombang kedatangan bangsa India yang ingin melebarkan
sayap kekuasaan politiknya di luar India.
Motivasi dagang dalam hubungan India dan Nusantara sebagai
motivasi yang menonjol telah dikemukakan oleh beberapa peneliti,
di antaranya adalah J.C. Van Leur dalam buku Indonesian Trade and
Society (1955: 90) dan O.W. Wolters dalam bukunya Early Indonesian
Commerce (1967: 31). Mereka menyatakan hubungan antara kedua
kawasan ini sudah terjalin sejak zaman prasejarah.
Hubungan dagang kedua bangsa ini lebih awal dan lebih aktif
dibandingkan dengan hubungan antara bangsa India dan bangsa
1 Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Volume 3, Gramedia, Jakarta, 1996.
2 3Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur
China, mengingat letak geografis kepulauan Nusantara yang lebih
mudah dijangkau menggunakan armada pelayaran. Perdagangan dari
Nusantara, tidak berjalan searah atau menunggu kedatangan mereka
yang dari India, tetapi juga aktif membawa komoditas dari wilayah
Nusantara ke kawasan India.
Proses perkembangan agama dan peradaban Hindu di kawasan
Nusantara berjalan beriringan dalam periode yang sama. Namun
umumnya masyarakat pembaca sejarah selalu menyebutkan sebagai
era kedatangan pengaruh Hindu. Hal ini mungkin karena kedua
agama tersebut berasal dari wilayah dan kebudayaan yang sama, yaitu
India.
Ada kemungkinan, sejak awal periode masuk agama Hindu dan
Budha ke Nusatara ini, sudah terjadi sinkretisasi. Demikian pula
penduduk kawasan Nusantara yang menerimanya telah melakukan
akulturasi dan inkulturasi. Maka dapat dipahami bila selanjutnya
penduduk di kawasan Nusantara ikut memperkuat jalinan sinkretisasi
kedua agama tadi.
Tentang golongan mana di antara masyarakat India, baik yang
beragama Hindu maupun Budha yang menyebarkannya ke Nusantara,
terdapat perbedaan pendapat di antara para peneliti sejarah. Ada yang
berpendapat bahwa mereka berasal dari golongan Kesatria, misalnya
dikemukakan oleh F.D.K Bosch, dalam buku The Problem of Hindia
Colonisation of Indonesia. Pendapat lain mengatakan bahwa yang
berperan adalah golongan Waisya yang disampaikan oleh N.J. Kron,
dalam buku Hindoe-Javanesch Geschiedenis, (1931: 90). Kemudian
ada pula yang berpendapat, golongan yang paling berperan adalah
para Brahmana, sesuai dengan profesi golongan tersebut, misalnya
disampaikan oleh Van Leur (1955: 89-110).
Penulisan ini tidak bermaksud mengupas hipotesis-hipotesis
dari ahli-ahli tersebut tentang golongan mana yang paling berperan
dalam penyebaran agama. Bagian tulisan ini hanya ingin menjelaskan
bahwa pengaruh Hindu maupun Budha yang dibawa oleh pendatang-
pendatang dari India sudah cukup lama mewarnai kehidupan
masyarakat di kawasan Nusantara.
Hampir seluruh bentuk kerajaan tertua yang dijumpai di kawasan
Nusantara, sangat dipengaruhi oleh kedua agama ini. Bahkan kerajaan
Sriwijaya atau disebut juga negeri Foshih, pernah menjadi salah satu
pusat pengkajian dan penyebaran ajaran agama Budha, terutama bagi
pendeta-pendeta Budha yang berasal dari Cina dan Tibet sebelum
melanjutkan ke India.
Di kawasan Sumatera Utara, kedatangan bangsa India yang
memberi pengaruh pada masyarakat Nusantara terus berlanjut.
Kedatangan etnis Tamil yang merupakan salah satu etnis yang ada di
anak benua India, cukup menonjol di daerah ini. Hal ini dapat kita
lihat dari pendapat K.A. Bilakanta Sastri dengan tulisan yang berjudul
“A Tamil Merchant Guild in Sumatra, (1932)” yang dimuat dalam
TBG 72: 314-327, antara lain menyatakan, "...di pantai Barat Sumatera
Utara, banyak ditemukan prasasti-prasasti bersegi enam yang berasal
dari pedagang-pedagang Tamil (Ainnurruvar Serikat Dagang 500)".
Kemudian di Lobu Tua, tak jauh dari Barus, masih pantai Barat
Sumatera dijumpai pula prasasti yang bertarikh 1088 M, bertanda
Raja Chola yang ke-9 yang bernama Kulit Tungga2. Prasasti itu
juga berbahasa Tamil. Sebelumnya terdapat pula informasi yang
menyatakan bahwa Rajendra Chola I yang memerintah pada 1012-
1042 M pernah meluaskan wilayahnya dengan menyerang kerajaan
Sriwijaya dan kerajaan Panai. Keterangan tentang hal ini dapat dilihat
pada prasasti Tanjore berpenanggalan 1030 M3.
Posisi geografis yang strategis mengakibatkan kawasan Sumatera
Utara menjadi pintu gerbang hubungan pelayaran antara India dan
Tiongkok. Oleh karena itu Sumatera Utara kemungkinan besar
menerima pengaruh yang lebih dominan dibandingkan kawasan lain
di Nusantara, terutama dari etnis Tamil yang datang dan menetap di
kawasan ini. Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam artikel
MC Kinnon dengan judul New Light on the Societies of North Sumatra,
(1987:81-110). Dia antara lain menyatakan bahwa dalam bahasa
Batak/Karo telah ditemukan 175 istilah yang berasal dari bahasa
Tamil, di antaranya adalah: Colia, Pandia, Meliala, Depari, Muham,
Pelawi, Tukham, Brahmana.
Demikianlah interaksi yang terjadi antara India dan kawasan
Nusantara, termasuk kawasan yang ada di Sumatera Utara. Ada yang
melalui perdagangan, keagamaan, maupun kolonisasi, semuanya
memberikan pengaruh atau konstribusi bagi kebudayaan yang ada
2 Artikel H. Bashir, Ak, dengan judul Pengaruh Bangsa Tamil di Sumut sejak 11 M dalam Surat Kabar Analisa 27 Februari 1977.
3 Lihat H.H Dodwell, 1934, The Cambridge Shorter History Of India, Cambridge, h.294.
4 5Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur
di Nusantara. Alasan inilah yang menyebabkan Richardson-Logan,
seorang bangsa Inggris yang pernah berdomisili di Semenanjung
Malaysia pada tahun 1830-1834 menyebut kawasan Nusantara
sebagai “Indusnesas” atau kepulauan yang banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan India. Istilah itulah yang kemudian berkembang menjadi
sebutan Indonesia dan menjadi identitas bangsa dan negara kawasan
Nusantara.
Dengan dibukanya perkebunan asing di Sumatera Timur
atau Ooatkust van Sumatra yang meliputi kawasan pantai Timur
Sumatera Utara dan Riau sekarang, yang dipelopori oleh Jacobus
Nienhuys (1863) dari asosiasi/perkumpulan Pedagang Rotherdam
yang perusahaannya bernama Pieter van den Arend & Consortium,
kemudian diikuti oleh pengusaha-pengusaha perkebunan lainnya,
seperti pengusaha onder neming dari Swiss seperti Mots dan Breker
(1865 dan 1866), kemudian onder neming dari Jerman B. Van Mach
(1866), dan lain-lain, kedatangan etnis Tamil ke kawasan Sumatera
Utara terus berlanjut.
Dari berbagai jenis perkebunan, yang menonjol dan sangat
menguntungkan pada periode awal adalah perkebunan tembakau.
Tanaman tembakau menjadi primadona perdagangan Internasional
di sekitar abad ke 19 karena masyarakat Eropa yang sedang gemar
mengisap rokok cerutu lebih cenderung mempergunakan daun
tembakau dari Tanah Deli. Oleh karenanya, “tembakau Deli”
merupakan komoditas yang digemari dan sangat menguntungkan
ketika itu. Untuk pertama kalinya di kawasan ini, perusahaan bersifat
Perseroan Terbatas atau Naamloze Vernootschap (NV) didirikan
dengan nama Deli Maatschapping/Maskapai–Deli pada tahun 1869.
Tahun 1888 merupakan puncak pertumbuhan luas areal dan jumlah
perkebunan di kawasan Sumatera Timur.4 Tahun 1872 sampai dengan
tahun 1888 merupakan masa kejayaan perkebunan tembakau di
kawasan Sumatera Timur. Setiap tahunnya, muncul perkebunan
tembakau yang baru milik swasta asing.
Untuk meningkatkan produktivitasnya, para pengusaha
perkebunan antara lain melakukan perluasan areal perkebunan dan
mendatangkan tenaga kerja atau buruh dari luar Sumatera. Penduduk
4 Karl J. Pilzer 1985, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria,Sinar Harapan, Jakarta 1985, hlm.73 yang didasarkan atas buku E.C.J. Mohr, TheSoilsaf Eq Natural Regions and Special Referrence to Netherlands East Indies, hlm.174
pribumi setempat tampaknya tak berminat untuk bekerja sebagai
buruh, karena itulah didatangkan buruh dari luar, yaitu etnis Cina
dan etnis Sikh (India). Pada mulanya kedua etnis ini didatangkan dari
Penang Malaysia melalui broker atau perantara/komisioner. Seiring
dengan perkembangan perkebunan di tanah Deli, kebutuhan jumlah
buruh juga bertambah besar, harga setiap buruh yang didatangkan
melalui broker ini juga meningkat. Untuk mengatasi hal ini, pihak
perkebunan berupaya mendatangkan buruh dari daerah asalnya yaitu
langsung dari India dan Cina atau memanfaatkan tenaga buruh dari
Jawa melalui program transmigrasi yang dilaksanakan Pemerintah
Kolonial Belanda. Sejak itulah tenaga-tenaga buruh berasal dari
berbagai etnis, yaitu etnis Cina, Tamil/India, dan suku Jawa.5
Perkembangan jumlah buruh perkebunan di kawasan Sumatera
Timur dan komposisi etnisnya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:
Etnis Kuli Tahun 1874 Tahun 1890 Tahun 1900
Cina 4. 476 Jiwa 53.806 Jiwa 58.516 Jiwa
Tamil 459 Jiwa 2.460 Jiwa 3.270 Jiwa
Suku Jawa 316 Jiwa 14.847 Jiwa 25.224 Jiwa
5 Peristiwa pemindahan penduduk pulau Jawa ke daerah-daerah di luar pulau Jawa terkait juga dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk politk etis, yaitu guna meningkatkan taraf hidup masyarakat maka diadakan kebijakan berupa: pendidikan untuk masyarakat, irigasi pada areal pertanian di Jawa yang terkenal sebagai tanah yang paling subur di Nusantara serta transmigrasi sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk di pulau Jawa. Lihat dalam Ricklef, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Gadjahmada Press, Yogyakarta.
Para buruh dari berbagai etnis di perkebunan tembakau Deli
6 7Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur
Agar tidak terjadi persaingan yang kurang sehat antara sesama
pihak pengelolah perkebunan, mereka mengambil inisiatif untuk
mendirikan lembaga yang disebut “Deli Planters Verenigings
(DPV).6 Tujuannya adalah agar sesama pegusaha perkebua dapat
menyelesaikan permasalahan di bidang administrasi, perburuhan,
pertanahan, dan keamanan. Namun sebenarnya, tujuan dasar dari
perkumpulan ini adalah agar pihak perkebunan dapat mengatasi dan
menekan tuntutan buruh serta dapat menekan pergolakan karena
tuntutan hak kepemilikan atau penggunaan tanah dari pihak penduduk
setempat. Bahkan, agar dapat menguasai para buruh di perkebunan,
perkumpulan para pemilik perkebunan ini juga membuat undang-
undang yang disetujui pemerintah kolonial berupa “Koeli Kontrak”
dan “Poenale-Sanktie”. Namun pemerintah Inggris yang menguasai
India ketika itu, berupaya melindungi para buruh yang berasal dari
India agar tidak diperlakukan semena-mena oleh majikan dengan
membentuk suatu badan yang bernama “British Protector of Indian
Labour”.
Kemasyuran tanah Deli sebagai kawasan yang sangat banyak
menghasilkan devisa, telah tersiar ke daerah-daerah lain kawasan
Nusantara maupun luar negeri. Tanah Deli kemudian menjadi lebih
populer dengan julukan “Het Dollar Land” atau tanah yang banyak
menghasilkan uang. Kondisi ini telah menarik pendatang dari daerah-
daerah lainnya, baik yang berasal dari kawasan Sumatera Utara
maupun dari kawasan lainnya. Di antara pendatang dari luar daerah,
yang paling menonjol adalah dari Tapanuli Selatan (Mandailing dan
Sipirok), Sumatera Barat (Minangkabau), Banjar, Sunda, Banten,
Jawa, Boyan, dan lain-lain. Imigran dari luar wilayah Nusantara pun
berupaya mengadu untung ke tanah Deli. Di antara pendatang bangsa
luar yang masuk wilayah Sumatera pada periode ini adalah Cina, Arab,
India, dan lain-lain. Sedangkan yang disebut sebagai penduduk asli
adalah mereka yang beretnis Melayu atau juga selalu disebut sebagai
“Orang Deli”.7
Berbagai aktivitas yang menyertai perkembangan perkebunan
ikut mempengaruhi pertumbuhan kota Medan dan kota-kota lain
6 T. Lukcman Sinar, dalam Surat Kabar Waspada," Sejarah Medan Dalam Eurkriyo Sebagai Pusat Pemerintahan", .
7 Untuk gambaran penderitaan kaum buruh di perkebunan Sumatera Timur, lihat Aditya Modan,1992, Di Bawah Bayang-bayang Tanah Dolar: Kehidupan Kaum Buruh di Perkebunan Sumatera Timur, Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
yang berada dalam kawasan perkebunan. Di antaranya adalah kota
Binjai (di kawasan Langkat), Tebing Tinggi (kawasan Deli Serdang),
Pematang Siantar (Simalungun), Rantau Perapat (Labuhan Batu), dan
lain-lain. Makin banyaknya pendatang menyebabkan masyarakat di
kota-kota ini menjadi lebih heterogen, terdiri dari berbagai bangsa
dan etnis.
Salah satu kota yang menarik disinggung lebih dalam bagian ini
adalah kota Binjai. Kota ini berada di sebelah barat dan berjarak lebih
kurang 23 km dari kota Medan. Pada tahun 1870, kota Binjai dan
sekitarnya berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Langkat yang
sebagian besar daerahnya merupakan kawasan perkebunan tembakau
yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha dari Rotherdam Belanda.
Seiring perkembangan perkebunan di sekitar wilayah kota Binjai
dan Langkat, jumlah penduduknya juga mengalami peningkatan
signifikan. Sebelum perkebunan dibuka, jumlah penduduk Binjai
hanya sekitar 50 kepala keluarga atau sekitar 250 jiwa. Pada awal abad
ke-20 tepatnya tahun 1930, jumlahnya telah mencapai 9000 jiwa.8
Pertumbuhan kependudukan yang didorong oleh perkembangan
perkebunan ini menjadikan kota Binjai dikukuhkan sebagai kotapraja
atau yang disebut Gemeente, berdasarkan ordonansi tanggal 27 Juni
1917 dan tercantum dalam Gab 1917 No. 283.
Penataan administrasi daerah melalui penetapan Binjai sebagai
kotapraja atau Gemeente, menjadikan daerah Binjai dan sekitarnya
makin menarik pendatang. Imigran-imigran dari India dan Tiongkok,
terus bertambah di tanah Deli. Demikian pula etnis-etnis dari daerah
lain di kawasan Indonesia sendiri.9 Bagi pendatang yang mempunyai
keahlian, tentunya tidak akan berprofesi sebagai buruh kasar di
perkebunan. Mereka bisa menjadi petani, pegawai perkebunan asing,
pegawai kantor pemerintahan kolonial Belanda atau bekerja sebagai
pegawai kesultanan yang merupakan penguasa tradisional saat itu.10
Para pendatang dari India didominasi oleh etnis Tamil dari
8 Lihat Karl J. Pilzer, op. cit., hlm.869 Lihat T. Luckman Sinar, Ibid.10 Beberpa keahlian tradisional yang menghasilkan kelompok pekerja berdasarkan etnis, misalnya
berdasarkan etnis ini misalnya tukang pembuat tepas (atap), sebagai pandai boyan, centeng-centeng berasal dari kalangan pendatang dari Banten Jawa Barat. Etnis China terkenal sebagai orang yang ahli menanam dan merawat tembakau. Orang Tamil sebagai ahli sarana jalan dan transportasi (kereta lembu) dan orang Sikh terkenal dengan keahliannya memelihara sapi dan memerah susu. Sedangkan untuk klerk di perkebunan biasanya orang Padang dan Mandailing.
8 9Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur
daerah India Selatan atau Semenanjung India.11 Pendatang etnis
Tamil jumlahnya paling banyak. Pada umunya, warna kulit mereka
agak lebih hitam daripada etnis India lainnya. Pekerjaan yang banyak
mereka lakukan pada periode ini lebih banyak mengurusi sarana jalan
dan transportasi. Bila bekerja di perkebunan, mereka selalu disuruh
untuk membuat jalan-jalan yang menghubungkan lokasi perkebunan
dengan lokasi-lokasi lainnya, seperti tempat pemukiman penduduk
atau pusat-pusat kegiatan lainnya.
Selain etnis Tamil, kelompok etnis India lainnya yang banyak
bermigrasi ke kawasan Sumatera Timur adalah etnis dari Benggala,
Bombay, dan Punjabi. Namun, kelompok-kelompok etnis India ini
mempunyai kecenderungan pada pekerjaan yang berbeda dengan
etnis Tamil. Mereka lebih banyak berprofesi sebagai pedagang. Etnis
Bombay banyak yang berdagang tekstil, sedangkan etnis Benggala
banyak yang berjualan minuman dan makanan. Sedangkan etnis
Punjabi yang beragama Sikh di Sumatera Timur banyak berprofesi
sebagai peternak sapi untuk memproduksi susu.
Etnis Tamil telah mulai datang ke wilayah Sumatera sejak jaman
kerajaan Kalingga yang waktu itu telah berhubungan erat dengan
kerajaan Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Kerajaan
Kalingga terletak di kawasaan pantai Coromand di sebelah utara kota
Madras, yang sekarang masuk dalam wilayah Negara Bagian Tamil
Nadu India. Kerajaan ini sering disebut dalam sejarah Indonesia pada
periode Hindu-Buddha Benggala. Mereka yang sebagian berkulit
hitam juga disebut sebagai “Orang Benggali".12
Bagi pendatang-pendatang dari India yang berkulit agak putih,
oleh masyarakat di wilayah Sumatera sering dianggap sebagai orang
Bombay. Sebaliknya untuk menyebut mereka yang berasal dari
Punjabi dan yang beragama Sikh, penduduk pribumi di kawasan ini
menyebutnya sebagai “orang Benggali” yang berasal dari kata “orang
Benggala”. Sebutan ini tentunya tidak tepat karena mereka yang berasal
dari kawasan Benggala yang sekarang termasuk wilayah Pakistan
Timur itu pada umumnya beragama Islam. Salah kaprah penyebutan
11 Para pedagang dari Bombay ini ahli sebagai pedagang kain Pelekat. Pelekat sendiri berasal dari bahasa Tamil yaitu kata Puli yang berarti harimau dan Kat yang berarti hutan. Pada awalnya kain pelekat adalah kain yang motifnya lurik-lurik seperti bulu harimau (wawancara dengan Sinivasan Marimutu).
12 Lihat Hassan Shadily dkk., 1986, Ensiklopedi Indonesia Jilid 3 yang diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, hlm.1633.
istilah “Orang Benggali” untuk orang Punjabi yang beragama Sikh
yang memakai sorban penutup rambut (ubel-ubel) dalam masyarakat
Sumatera saat ini sudah jarang terjadi.
Kembali pada etnis Tamil yang berada di kawasan Sumatera
Timur, yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang dan
buruh perkebunan bagian transportasi, pada masa pemerintahan
kolonial Belanda, mereka ini berada dalam kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah. Sesuai dengan tingkat pendapatannya itu,
kelompok ini pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang
rendah dan kurang memperhatikan soal pendidikan. Mereka yang
dapat menduduki posisi sebagai tandil atau mandor cukup beruntung.
Para tandil memperoleh hak yang lebih istimewa dibandingkan
mereka yang berkedudukan sebagai buruh. Sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab untuk memimpin kelompok buruh, mereka juga
memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Setelah mereka keluar atau memutuskan hubungan kerja
dengan pihak perusahaan perkebunan, para pendatang etnis Tamil
ini memulai kembali mencari penghidupan pada lapangan kerja di
tingkat bawah pula. Ada yang meneruskan pekerjaan-pekerjaan
sebagai buruh perusahaan lain dan tak sedikit di antara mereka yang
berprofesi sebagai penarik pedati atau kereta lembu secara lepas atau
mandiri di kota-kota besar yang ada di kawasan Sumatera Timur.
Pada waktu itu, masih di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-
20, profesi sebagai penarik pedati merupakan pekerjaan yang jauh
lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan pekerjaan buruh
atau pedagang kecil, mengingat sarana angkutan umum atau barang-
barang masih sangat terbatas.
Di antara mereka yang ingin menjadi pedagang atau memilih
profesi lain, juga memulai dari tingkat yang rendah atau modal yang
sangat minim. Sebagai pedagang makanan, mereka selalu mengawali
dengan cara menjajakannya dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Makanan yang dijajakannya itu antara lain adalah pergedel jagung,
putu mayom yang terbuat dari tepung beras atau arum manis. Ada
juga di antara mereka, terutama yang beragama Islam yang berjualan
makanan di kedai-kedai kopi di tengah kota. Makanan yang mereka
jual itu di antaranya roti cane, martabak, kari kambing, mie rebus,
dan nasi briani. Makanan-makanan yang mereka jual ini, merupakan
makanan spesifik khas mereka dan sangat digemari oleh masyarakat
10 11Sejarah Bangsa India di Sumatera TimurSejarah Bangsa India di Sumatera Timur
pribumi lainnya. Selain itu ada yang menjual minuman khas yang
disebut bandrek. Minuman bandrek ini dibumbui gula merah dan
rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, merica, dan lain-lain.
Mereka menjajakannya dalam keadaan tetap panas. Di bawah tempat
bandrek itu mereka bawa pula dapur anglo yang bara apinya tetap
menyala. Sebagai pasangan minuman bandrek, mereka jual roti kelapa
yang dibuat sendiri. Ciri-ciri penjual bandrek ini selalu menggunakan
pakaian khas, yaitu berpeci putih, kemeja putih berkerah bulat dan
panjang sampai ke lutut dan sarung putih.
Di antara pendatang etnis Tamil yang berada di tanah Deli ada
juga yang berhasil dan hidup dengan mapan. Keberhasilan ini menarik
minat masyarakat di negeri asal mereka untuk mencoba merantau ke
tanah Deli. Bahkan di antara pendatang baru dari etnis Tamil ini, ada
pula yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keterampilan
yang cukup memadai. Sesampai di daerah rantau, tentunya mereka
tidak berprofesi sebagai buruh-buruh yang bekerja di perkebunan.
Mereka dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sebagai pegawai
atau yang pada waktu itu lebih populer dengan istilah kerani pada
kantor-kantor perkebunan. Ada juga di antara mereka yang bekerja
sebagai pegawai atau tukang masak istana-istana Sultan yang ada di
kawasan Sumatera Timur.
Betapa pun berhasilnya seseorang di daerah rantau, tetap tidak
mampu memupus kerinduan pada kampung halaman mereka. Hal
ini sesuai dengan ungkapan “hujan emas di negeri orang, hujan batu
di negeri sendiri, tetap akan lebih baik di negeri sendiri. Begitulah
kenyataan yang ada pada sebagian etnis Tamil yang pernah menetap
di Sumatera Timur. Ada di antara mereka yang kembali lagi ke negeri
asal mereka di India. Terlebih-lebih mereka yang telah melepaskan diri
dari ikatan kerja dengan pihak perkebunan walaupun sesungguhnya
mereka sudah mendapatkan penghidupan yang lumayan baik. Namun
tidak sedikit pula mereka yang pulang ke negeri asal, dan kembali lagi
ke Sumatera sambil membawa kerabat atau famili karena tanah rantau
ini memberikan harapan dan keberhasilan hidup yang lebih baik.
Pedati sebagai sarana angkutan umum pada masa itu
13Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy12 Sejarah Bangsa India di Sumatera Timur
Di antara sekian banyak orang yang datang dari India ke
Sumatera Timur, ada seorang pemuda etnis Tamil yang bernama
Duraisamy Pillay. Ia berasal dari klan Wallear. Dalam usia yang masih
muda, bersama teman dan kerabat-kerabatnya ia sampai di kawasan
Sumatera Timur pada penghujung abad ke-19.
Berbeda dengan pendatang etnis Tamil lainnya, Duraisamy
Pillay mempunyai bekal ilmu dan keterampilan yang cukup baik.
Ia mempunyai latar belakang pendidikan di bidang administrasi
perkantoran dan ekonomi. Karena itu ia memperoleh pekerjaan di
sebuah perusahaan bernama “De Geding Compagnie” yaitu badan
usaha yang menyalurkan barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Kantor pusat badan usaha ini berada di kota Medan dan membuka
cabang-cabang usaha di kota-kota lainnya di Sumatera Timur. Salah
satu cabang usaha itu berada di kota Binjai dan di situlah pemuda
Duraisamy Pillay ditempatkan.
Transportasi dari kota Medan ke Binjai cukup lancar dan jaraknya
pun tidak begitu jauh. Bagi Duraisamy Pillay, keberadaannya di kota
Binjai tidak memberatkan, karena tempat itu tidak sulit dijangkau.
Transportasi umum yang menghubungkan kota Medan dan Binjai
ada dua macam, yaitu oto bus dan kereta api yang beroperasi di
bawah perusahaan yang bernama Deli Spoorweq Matschappy (DSM)
yang telah berdiri di kawasan Sumatera Timur sejak tahun 1884.
Perusahaan DSM ini menitikberatkan usahanya untuk mengangkut
hasil perkebunan yang ada di kawasan ini menuju Medan sebagai
ibukota Karesidenan sejak 1 Maret 1887, kemudian menuju kota
Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
2
14 15Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
pelabuhan Belawan.13
Masih di penghujung abad ke-19, kota Binjai merupakan ibu kota
atau land raad untuk daerah di bawah karesidenan Sumatera Timur
atau lebih kurang setingkat dengan kabupaten pada jaman sekarang.
Pada tahun 1887, karesidenan Sumatera Timur yang berpusat di
Medan terdiri dari 4 land raad yang wilayahnya meliputi Deli Serdang,
Bengkalis, Asahan, dan Binjai/Langkat. Karena itu kota Binjai
memperoleh imbas perkembangan yang cukup pesat. Kendaraan
umum di dalam kota yang populer ialah sado atau bendi dan kereta
lembu atau pedati.
Penduduk yang mendiami wilayah Binjai dan sekitarnya cukup
heterogen. Selain penduduk asal daerah setempat yang beretnis
Melayu, etnis lainnya adalah Jawa, Minangkabau, dan Karo. Penduduk
yang datang dari luar wilayah nusantara adalah bangsa China dan
India khususnya etnis Tamil.14
Sesuai dengan kecenderungan manusia, penduduk Binjai
umumnya memilih untuk hidup berdampingan atau berkumpul di
dalam lingkungan kelompok yang “searah” dengannya. Pengertian
searah di sini dapat berdasarkan etnis, ideologi, kultural, kelas sosial,
dan lain-lain. Pertimbangan yang “searah” ini tentunya sebagai upaya
proses adaptasi, keamanan, maupun untuk menghindari konflik
diantara mereka. Demikianlah halnya etnis Tamil yang ada di kota
Binjai. Pusat pemukiman mereka pada era ini berada di pusat kota
atau sekitar jalan Sudirman yang ada sekarang. Di sinilah Duraisamy
Pillay bersama para kerabat dan keluarganya tinggal.
Sebagaimana layaknya suatu kelompok masyarakat pendatang,
mereka masih terikat dengan agama maupun kebudayaan negeri
asalnya. Demikian pula masyarakat Tamil yang berdiam di kawasan
kota Binjai dan tempat-tempat lainnya.
Di kota Binjai mereka juga mendirikan kuil yang mereka namakan
kuil Sri Mariamman, sebagai tempat melakukan upacara keagamaan
bersama-sama. Keberadaan kuil itu bagi mereka tidak semata-mata
sebagai tempat pemujaan menurut kepercayaan yang mereka anut,
akan tetapi kuil itu juga menjadi sarana bagi mereka berkumpul dan
melakukan komunikasi antara sesamanya pendatang. Oleh karena
13 Lihat Indra Afkar,1995, Perkembangan Kereta Api di Sumatera Timur , Tesis S-2, Universitas Indonesia, Jakarta..
14 Usman Pelly, 1994, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta.
itu keberadaan kuil itu sangat penting, karena dapat memberikan
apa yang mereka dibutuhkan. Sebagaimana pepatah yang ada dalam
komunitas etnis Tamil yang mengatakan “Jangan kamu tinggal atau
menetap di kawasan yang tidak ada kuilnya".
Membangun sebuah kuil menjadi langkah penting bagi para
pendatang enis Tamil kala itu. Mereka yang seagama, bergotong
royong baik dalam pembiayaan maupun pengerjaanya. Pengalaman
sebagai tandil di perkebunan yang dimiliki oleh sebagian dari mereka
sangat berguna dalam mengkoordinir warga untuk pembangunan
kuil. Karena itu mereka yang memiliki pengalaman sebagai tandil dan
terbiasa bertugas mengawasi dan memandori para buruh di kawasan
perkebunan, mendapat kepercayaan sebagai kordinator dalam kerja
bersama itu.
Hampir di setiap pusat pemukiman etnis Tamil yang ada di
Sumatera Timur, terdapat bangunan kuil-kuil yang bercorak Hindu.
Di kota Medan, sejak tahun 1884 telah berdiri kuil Sri Mariamman.
Di tempat lain seperti di Lubuk Pakam, Bekala, Binjai, Tebing Tinggi,
Pematang Siantar dan lain-lain juga telah terbangun Kuil. Setiap hari
Jum’at mereka selalu mengadakan upacara keagamaan secara rutin,
di samping hari-hari besar lainnya seperti Deepawali, Ponggal, dan
Thaipusam. Ada kalanya dalam upacara itu mereka pautkan dengan
tradisi dan nilai-nilai budaya asal lainnya. Tradisi yang sangat tidak
biasa di tanah rantau ini misalnya acara membayar kaul (melaksanakan
niat/janji bila telah memperoleh sesuatu yang dikehendaki) dengan
cara memundak arca-arca sambil berjalan di atas api, menusuk badan
dengan mata kail, atau menusuk lidah, bibir, dan pipi dengan kawat-
kawat tembaga.15
Walaupun agama Hindu menjadi agama yang dipeluk mayoritas
etnis Tamil, ada juga di antara mereka yang beragama Buddha diurutan
kedua kemudian Islam dan Kristen Katolik. Jumlah penganut agama
Buddha tidak seberapa bila dibandingkan dengan beragama Hindu
yang pada umumnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonominya
rendah. Oleh karena itu pendatang etnis Tamil yang beragama Budha
belum terkoordinir secara baik dan belum ada yang membangun vihara
atau pusat peribadatan agama Budha secara khusus. Namun dalam
15 Upacara membayar kaul seperti selalu dilakukan pada hari Thaipusan. Khususnya di kawasan Sumatera Utara baru dihapuskan pada awal tahun 1970-an. Pada waktu sebelumnya upacara yang seperti ini selalu dilakukan di kuil yang ada di kampung Bekala, 11 km dari kota Medan menuju arah Brastagi (Karo).
16 17Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
kehidupan di luar keagamaan, mereka tetap hidup berdampingan
dengan etnis Tamil penganut agama Hindu lainnya. Antara kedua
kelompok agama satu etnis ini tetap terikat oleh solidaritas etnis, ras
dan budaya leluhur yang sama.
Sebagai seorang pemuda yang semakin mapan dengan
penghidupan sebagai pegawai perusahaan, Duraisamy Pillay menjadi
lebih betah tinggal di kawasan kota Binjai. Sebagai seorang yang terus
bertambah dewasa, ia membutuhkan seorang istri, seorang wanita
yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Pertimbangan ideal dalam mencari seorang istri adalah
dengan mencari persamaan-persamaan yang dapat mempermudah
menyatukan persepsi untuk menjalani kehidupan bersama sebagai
sepasang suami istri. Persamaan-persamaan yang dimaksud
diantaranya adalah persamaan religius, budaya atau etnis, kelas sosial
dan tingkat intelektual.
Bagi orang seperti Duraisamy Pillay, mencari seorang seperti
yang diinginannya tentu tidak sulit. Sebagai seorang pemuda Wellalar
yang bermoral baik, ditambah dengan latar belakang pendidikan yang
cukup serta kehidupan ekonomi yang telah mapan, seorang ayah
ataupun ibu mana pun, kiranya tidak merasa keberatan memberikan
anak gadisnya untuk dipersunting Duraisamy Pillay.
Atas inisiatif para kerabat dekatnya, Duraisamy Pillay
dipertemukan dengan seorang gadis yang bernama Parwathi, gadis
dari klan Nayudu (Kawa-rai) yang masih dalam lingkungan etnis
Tamil dari kawasan India Selatan untuk menjadi calon pasanganya.
Gadis Parwathi sendiri dilahirkan di Sumatera Timur, kedua orang
tuanya menetap di Medan berprofesi sebagai pedagang.
Sebagaimana layaknya pada era itu, perkawinan antara
seorang pemuda dengan seorang gadis, lebih banyak ditentukan
oleh pertimbangan para kerabat dekat kedua belah pihak. Kalau
para kerabat dari kedua pihak ini sudah bersepakat dengan dasar-
dasar pertimbangan mereka, maka kedua calon pengantin selalu
mematuhinya. Demikian halnya antara Duraisamy Pillay dan Parwathi
yang keduanya berasal dari etnis Tamil dan beragama Hindu. Pada
sekitar tahun 1902 dilangsungkan upacara perkawinan mereka di kota
Binjai.
Perkawinan menurut tradisi agama Hindu merupakan ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan seorang gadis untuk membentuk
persekutuan keluarga yang baru. Seorang istri secara mutlak harus
tunduk dan mengabdi kepada suaminya. Di dalam rumah tangga,
seorang suamilah yang menjadi “Dewa pelindungnya”. Bagi seorang
istri, tak ada lagi orang di dalam hidupnya untuk “didampingi” kecuali
suaminya. Karena tradisi yang berdasarkan pada konsep hubungan
suami istri seperti ini, dulu di dalam salah satu sekte agama Hindu
yang ada di India terdapat ritual shati, yaitu ritual yang dilakukan
dalam upacara pembakaran mayat seorang suami, sang istri yang
masih hidup ikut terjun ke dalam api unggun yang sedang membakar
jasad suaminya. Ritual seperti ini dilakukan untuk menunjukkan
kesetiaan istri yang telah berikrar hidup bersama “sehidup semati”
dengan sang suami. Ritual shati kemudian dianggap tidak menghargai
nilai hidup seorang wanita dan dianggap sangat ekstrem. Karena itu
sejak pemerintahan Inggris berkuasa di India, ritual tersebut dilarang
untuk dilakukan.
Walaupun perkawinan antara Duraisamy Pillay dengan
Parwathi kala itu diadakan di daerah rantau, tetapi tetap dilangsungkan
menurut tradisi Hindu. Setelah kedua calon pengantin diantar ke
kuil dengan disaksikan oleh kedua pihak keluarga, seorang pendeta
memimpin upacara. Kedua pengantin diikat dengan selendang
panjang. Pengantin pria berada di depan sedangkan pengantin
Kuil Mariamman tahun 1880. Foto Reza Nasution (tembakaudeli.blogspot.com)
18 19Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
wanita berada di belakangnya. Selendang tadi merupakan simbol tali
perkawinan antara sepasang pengantin. Keberadaan pengantin pria
di depan menunjukkan dialah yang akan bertindak sebagai kepala
rumah tangga, sedangkan istri yang berada di belakangnya sebagai
simbol orang yang akan mematuhi suaminya. Kemudian sang pendeta
meminta kedua pengantin tersebut untuk mengelilingi sebuah Arca
sebagai titik pusat lingkaran. Inilah simbol lingkaran kehidupan yang
akan diharungi kedua pengantin. Asap stanggi yang keluar dari Arca
semerbak wangi baunya menyelimuti ruangan upacara tersebut.
Suara puja dari pendeta terus mengumandang menyampaikan syair-
syair perkawinan yang indah. Sementara itu lonceng tembaga yang
ada di tangan pendeta terus berdenting mengiringi syair puja yang
berkumandang syahdu. Suasana perkawinan itu terasa sangat hikmat.
Kedua pengantin dengan wajah tunduk dan khusuk terus berjalan
perlahan mengelilingi Arca. Tanpa beralas apapun, telapak-telapak
kaki mereka melangkah di atas permukaan yang ditaburi bunga-
bunga. Aroma bunga mewangi berpadu dengan asap stanggi.16
Sejak saat itu, resmilah Duraisamy Pillay menjadi suami dari wanita
yang bernama Parwathi. Ia berhak membuka tabir yang menutupi
wajah wanita yang telah diperistrinya. Mereka memulai kehidupan
barunya di kota Binjai. Hari-demi hari, inai yang ada di telapak tangan
dan kaki Parwathi semakin pudar dan larut dalam tugasnya sebagai
seorang istri. Waktu terus berjalan dan tugas hidup mereka terus
bertambah. Bagi mereka kota Binjai mempunyai kenangan sejarah
tersendiri, terutama sebagai tempat awal perjuangan sebagai sepasang
suami-istri yang kemudian menjadi seorang ayah dan ibu.
Parwathi bukanlah wanita atau istri yang biasa sebagaimana
wanita Tamil yang ada di tanah Deli kala itu, yang pada umumnya buta
huruf. Parwathi wanita cendekia yang pandai membaca dan menulis.
Ia bahkan mempunyai koleksi buku-buku berbahasa dan beraksara
Tamil, terutama yang berkaitan dengan agama Hindu. Kenyataan ini
menjadikan Parwathi wanitia yang cukup istimewa kala itu. Apalagi
bahasa dan aksara Tamil itu cukup tua dan banyak dipergunakan oleh
sebagian besar penduduk India bagian Selatan. Bahasa ini merupakan
salah satu bahasa yang strukturnya boleh dikatakan tidak berubah dan
bertahan selama lebih kurang 20 abad hingga dewasa ini. Demikian
16 T. Luckman Sinar Basyarsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, Forkala, Medan, h. 18-22.
pula tulisan atau aksaranya adalah yang telah diperbaharui dan
dibakukan sejak abad ke-XI.17
Demikian pula dengan Duraisamy Pillay, sang seorang suami,
ia bukan saja mampu membaca dan menulis aksara Tamil, tetapi
juga mampu menggunakan dengan baik aksara latin termasuk
berbahasa Inggris. Kemampuan ini membuat ia terus mendapatkan
kepercayaan untuk bekerja pada perusahaan De Geding Compagnij
hingga memasuki masa pensiun. Sesuai dengan bidang pekerjaan
itu, ia banyak berhubungan dengan masyarakat di luar kelompoknya
sendiri. Hal ini secara tak langsung telah menambah wawasan ilmu
pengetahuannya terutama yang bersifat duniawi. Jadi dapat dikatakan
suami istri ini merupakan pasangan yang serasi dan seimbang. Bila
sang ibu memiliki kelebihan di bidang kerohanian, maka sang ayah
lebih kuat dalam bidang keduniawian.
Dari buah perkawinan mereka itu, lahirlah tiga orang putra dan
putri. Anak yang pertama adalah seorang putri, namun usianya tak
panjang, lebih kurang dua bulan, anak pertama ini meninggal dunia.
Kiranya Tuhan belum berkenankan untuk berusia lanjut. Hanya
Tuhan yang tahu hikmah yang terkandung dalam musibah itu, betapa
pun kedua suami-istri itu sangat menyayanginya. Anak yang kedua
seorang pria, mereka namakan Kumarasamy. Kurang lebih 2 tahun
kemudian lahirlah anak ketiga yang dinamakan Krishnasamy.
Setiap pemberian nama anak dalam keluarga etnis Tamil,
nama ayah selalu di tulis di depan nama anak. Misalnya Duraisamy
Kumarasamy disingkat D.K. Ketika kecil Kumarasamy dipanggil
Kumara saja. Bagi suami-istri ini, kelahiran putra dan putri
mereka selanjutnya merupakan anugerah Tuhan dan sebagai
proses penyempurnaan perkawinan. Yang jelas, salah satu tujuan
dilangsungkannya perkawinan, yaitu ada generasi penerus umat atau
keluarga telah mereka peroleh.
Kedua putra mereka tumbuh dengan baik dan sehat,
memperlihatkan bakat dan kecerdasan yang sangat mengembirakan.
Betapapun keduanya berasal dari ibu dan bapak yang sama, terdapat
perbedaan diantara keduanya. Kedua anak memperlihatkan sikap dan
perilaku yang sangat istimewa dalam kehidupan keluarga. Namun
17 Lihat Hassan Shadily dkk., 1986, Ensiklopedia Indonesia Jilid 6. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, h. 3436.
20 21Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. KumarasamyLatar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
Kumarasamy, sejak bayi mempunyai keistimewaan tersendiri. Reaksi
naluriah dari bayi ini terlihat sangat peka terhadap lingkungannya
dan pertumbuhannya pun memperlihatkan tanda-tanda yang
mengagumkan.
Keistimewaan Kumarasamy semakin terlihat pada usia
pertumbuhannya menjadi anak-anak. Rasa ingin tahunya sangat
besar untuk memahami sesuatu dan tingkah lakunya bagaikan sudah
terlembaga tanpa diajari menjadi anak yang berbudi. Kadang-kadang,
apa yang diketahui atau diperbuatnya seakan-akan melampaui tingkat
usianya. Kumarasamy bagaikan salah seorang hasil proses inkranasi
menuju keabadian manusia yang sempurna.
Proses reinkarnasi yang berasal dari istilah latin incarnatio, di
dalam agama Hindu mengandung makna yang lebih khusus. Proses
itu bukan hanya merupakan penjelmaan dewa kepada manusia,
tetapi sebagai suatu proses kelahiran kembali dalam sebuah lingkaran
kehidupan atau samsara yang harus dijalani setiap manusia sesuai
dengan karmanya masing-masing. Akhirnya kesempurnaan hidup
seorang manusia akan menuju keabadian atau yang disebut moksa
atau terbebas dari samsara.
Pada usia 3 tahun, Kumarasamy telah belajar membaca dan
menulis aksara Tamil. Sang ibulah yang sangat berperan mengajarinya.
Bahkan ibunya juga mengajari D. Kumarasamy untuk membaca
kisah Ramayana dan Mahabarata. Kedua kisah itu bukan sekedar
cerita para dewa, tetapi dari kisah-kisah yang ada di dalamya, banyak
pelajaran tentang nilai-nilai dan filsafah hidup yang harus diteladani
manusia, melalui kisah peperangan antara ankara yang digambarkan
dalam sosok-sosok Kurawa dan keluhuran budi dalam diri keluarga
Pandawa. Dari kisah itu juga diperlihatkan bagaimana seharusnya
sikap seorang kesatria sejati yang selalu rendah hati.
Usia 6 tahun, Kumara telah mampu membaca sendiri syair-syair
dalam sastra religius India dengan lancar. Lebih dari itu Kumara
juga mampu membacanya dalam alunan nada puja, sebagaimana
layaknya syair puja yang dilantunkan dalam ritual keagamaan. Yang
lebih menarik lagi Kumarasamy kecil mempunyai vokal suara yang
unik, sehingga syair-syair yang dibacakannya terdengar lebih syahdu.
Di usia yang masih 6 tahun itu, Kumarasamy selalu tampil di kuil
Mariamman Binjai atau di depan khalayak ramai membacakan
syair-syair kisah Ramayana, Mahabrata dan kisah-kisah dari kitab
keagamaan lainnya. Oleh sebab itu meskipun masih dalam usia anak-
anak ia sudah dikenal luas, terutama di kalangan masyarakat etnis
Tamil kota Binjai dan kota-kota lainnya.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Kumara juga senang
bermain dengan teman-teman seusianya. Permainan yang bersifat
olah raga sangat diminatinya. Barangkali hal itu merupakan respon
dari pertumbuhan fisiknya yang memang sangat pesat. Dibanding
dengan anak-anak yang sebaya dengannya, pertumbuhannya jauh
lebih baik.
Keistimewaan lain yang dikenang banyak orang dalam proses
pertumbuhan Kumara dalam bersosialisasi adalah ia sangat
menyayangi teman-teman yang seusia atau yang ada di bawahnya dan
selalu menghormati mereka yang lebih tua. Oleh karena itu teman-
temannya sangat senang bermain dengannya. Kumara juga selalu
memberikan perhatian terhadap teman-teman atau orang-orang
yang dijumpainya yang kesusahan. Kehadirannya di tengah-tengah
temannya selalu memberikan “setawar-sedingin” yang menyejukkan.
Demikian pula keberadaan Kumarasamy dalam keluarga bersama
ayah, ibu dan adiknya.
Pengaruh dari ibunya memang lebih dominan. Hal ini
dimungkinkan karena seorang ibu selalu lebih banyak mendampingi
anak-anaknya daripada ayah. Lagi pula, dalam kehidupan di rumah,
Kumarasamy lebih banyak menerima pelajaran dari ibunya, terutama
yang bersifat kerohanian. Ayahnya, Duraisamy Pillay cukup sibuk
sepanjang hari bekerja di De geding Compaqnij. Walaupun demikian
sang Ayah tetap berupaya memberikan perhatian dan pendidikan
untuk anak-anaknya, meski porsi yang dapat diberikannya tidak
sebesar yang diberikan sang ibu.
Sesuai dengan latar belakang pendidikan kedua orang tuanya ini
dapat dikatakan bahwa Kumarasamy telah memperoleh pengetahuan
budaya Tamil dari ibunya, sedangkan pengetahuan umum atau
pengetahuan modern seperti bahasa Inggris dari sang ayah. Tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa kedua sumber dan corak pengetahuan
telah terpadu dalam diri dan kehidupan D. Kumarasamy sejak kecil,
yang menjadi bekal penting untuk kehidupan selanjutnya.
23Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan22 Latar Belakang dan Lingkungan Keluarga D. Kumarasamy
Pada tahun 1913 di usia kurang lebih 7 tahun, Kumara memasuki
usia sekolah. Ia tidak mengenyam pendidikan formalnya di kota
Binjai, karena kedua orang tuanya menginginkan anak-anaknya
dapat melanjutkan sekolah yang menekankan kemampuan yang baik
dalam berbahasa Inggris. Di kota Binjai ketika itu sekolah seperti yang
diinginkan oleh orang tua Kumarasamy belum ada, yang ada hanya di
kota Medan.
Semangat orang tua Kumara yang sangat tinggi untuk
memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putranya sangat berbeda
dengan umumnya masyarakat etnis Tamil yang ada di kota Binjai
pada saat itu, yang kurang memberikan perhatian pada pendidikan
anak-anak mereka. Barangkali karena umumnya mereka mempunyai
latar belakang yang kurang dalam bidang pendidikan. Apalagi dengan
tingkat kesejahteraan yang masih rendah.
Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, akhirnya orang
tua memutuskan Kumarasamy dan Krishnasamy di bawa ke kota
Medan. Sebagai seorang staf perusahaan De Geding Compaqnij, sang
ayah tidak dapat meninggalkan pos pekerjaannya di kota Binjai.
Karena itu mereka memutuskan sang ibulah yang akan mendampingi
kedua anak mereka di Medan. Lagi pula, hingga saat itu keluarga sang
ibu memang menetap di kota Medan, tepatnya beralamat di Nagapatan
atau lingkungan kelurahan Madras Hulu sekarang.
Kakek Kumarasamy dari pihak ibu adalah seorang imigran dari
India Selatan. Sesampainya di kawasan Sumatera Timur beliau bekerja
sebagai salah seorang pegawai atau opas di kerajaan Sultan Deli. Pada
waktu itu kerajaaan-kerajaan yang ada di kawasan Sumatera Timur
Kota Binjai tahun 1890
Masa Kanak-kanak D. Kumarasamydi Medan
3
24 25Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan
memang sangat terbuka menerima pegawai-pegawai kerajaan dari
etnis atau bangsa mana pun. Mereka dapat saja diterima sesuai dengan
keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Setelah para pegawai
kesultanan dari berbagai bangsa ini berhenti, banyak di antara mereka
yang menetap di Medan untuk berwirausaha. Di antaranya adalah
kakek atau ayah dari ibu Kumarasamy. Oleh karena mereka tinggal di
kawasan pusat kota yang cukup ramai, maka terbukalah kesempatan
untuk memanfaatkannya. Selain sebagai tempat tinggal, mereka
membuka toko barang untuk kebutuhan sehari-hari di rumahnya.
Pada awal abad 20, kota Medan adalah kota yang banyak
memberikan harapan. Kota ini telah tertata dengan baik sebagai
kota yang terus berkembang. Sejak 1 Maret 1887 kota Medan
sudah menjadi ibu kota Residen Sumatera Timur dan 1 April 1909
kota Medan diresmikan sebagai pusat pemerintahan kotapraja atau
Gemeente. Peresmian kota Medan dikukuhkan oleh Ordonansi yang
dimuat dalam Staatblad 1909 No. 179 dan No. 180. Walikota atau
Burqemeester Medan yang pertama adalah D. Baron Mackay.
Penduduk kota Medan berkembang cukup pesat baik dalam
jumlah maupun heterogenitasnya. Jalan-jalan di tengah kota tertata
dengan rapi dan pada umumnya dihiasi dengan pohon-pohon
lindung yang indah dan beragam jenisnya. Di antara jenis-jenis pohon
itu adalah Mahoni, Meranti, Raintree, Asam Jawa, Mangga Udang,
Tanjung, dan lain-lain. Di kiri kanan jalan-jalan tersebut dibuat parit-
parit atau riul-riul untuk menyalurkan air limbah rumah tangga dan
air hujan. Tebing-tebing parit selalu ditumbuhi rumput sehingga tak
pernah longsor. Dan di sebelah dasarnya ada riul yang terbuka, setiap
hari dibersihkan oleh tenaga buruh dari dinas kebersihan kota.
Kebersihan kota terjaga sangat baik. Di tengah kota atau sudut yang
strategis selalu ada taman-taman yang membuat suasana bertambah
sejuk. Bangunan perkantoran yang ada di pusat kota, masing-masing
mempunyai “kaki lima” di depannya dan saling berhubungan satu
dengan lainnya. Bagi calon pembeli yang berjalan kaki di “kaki lima”
tidak akan terganggu oleh panas ataupun hujan, karena ruangan
tingkat yang ada di atas toko masing-masing menutupinya. Kemudian
lebih ke depan lagi dari toko-toko itu, ada trotoar tempat pejalan kaki
limanya. Trotoar ini dibuat dengan batu-batu yang disusun sisi tepinya
menghadap ke atas.
Sejak tahun 1908 sebuah menara air sebagai induk pompa air
bersih milik perusahaan swasta (Air Bersih Matschappij) untuk
melayani kepentingan penduduk berdiri megah di persimpangan jalan
Raja dengan jalan Kapten (jalan Pandu dan jalan Sisingamangaraja
sekarang). Tujuh tahun sebelumnya (1899) perusahaan listrik yang
bernama OGEM (Oost Genootschap Electrisch Matschappij) telah pula
beroperasi melayani kepentingan penduduk kota Medan.
Pada era itu, kota Medan memang pantas mendapat julukan
sebagai “Parijs van Sumatra”. Gedung-gedung milik swasta dan
pemerintah telah berdiri megah dengan corak arsitektur yang menarik
dan bermotif paduan Timur dan Barat. Di persimpangan jalan Suka
Mulia dan Imam Bonjol sekarang, telah berdiri bangunan kediaman
resmi Residen Sumatera Timur. Saat ini menjadi salah satu bangunan
antik Hotel Danau Toba. Secara resmi kota Medan menjadi Ibu Kota
Residen Sumatera Timur sejak 1 Maret 1887.
Sebagai penghormatan terhadap penguasa tradisional yaitu
Sultan Deli yang ketika itu berada di tangan Sultan Makmon Al
Rasyid, pemerintah kolonial Belanda ikut membantu mendirikan
istana Maimoon dan selesai untuk ditempati pada tanggal 18 Mei
1899. Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 1906,
lebih kurang 500 meter di depan istana dengan megahnya selesai
pula bangunan Masjid Raya Al Mansum. Dan di seberang mesjid
tersebut di bangun pula taman beserta kolam yang sangat indah. Di
antara masjid dan taman itulah sebuah jalan membentang lurus dari
timur ke barat menuju gerbang istana Maimoon. Di kiri kanan jalan
itu berjejer pula pohon palm pinang raja berdiri tegak bagai barisan
pegawai berpayung.
Di pusat kota Medan, tepatnya di depan Balai Kota, sebuah
lapangan yang bernama Esplanade terhampar luas dikelilingi pohon
raintree yang rindang. Di sebelah timur lapangan itu telah dibangun
stasiun pusat kereta api DSM, yang menghubungkan kota-kota dan
daerah yang ada di Sumatera Timur. Pada saat itu, kereta api inilah
yang menjadi transportasi umum yang paling berperan baik sebagai
pengangkutan barang maupun penumpang. Saat kereta api tiba atau
akan berangkat dari stasiun ini, pengangkutan kota seperti sado atau
delman dan trisau atau kereta yang dihela manusia banyak memadati
area sekitar stasiun untuk mencari atau mengantar penumpang.
Di depan stasiun pusat itu, tepatnya di seberang jalan raya
yang memisahkan stasiun dan lapangan Esplanade oleh pemerintah
26 27Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan
kotapraja (Gemeente) Medan disediakan tiang-tiang besi tuangan
berhias klasik tempat parkir sado-sado yang menanti penumpang.
Setiap tiang besi itu disediakan kran air dan kolam kecil khusus minum
kuda-kuda penarik sado. Para sais sado sangat betah parkir di situ,
terlebih-lebih di tempat itu suasananya cukup teduh karena dinaungi
rindangnya pohon-pohon raintree. Sais sado yang ada ketika itu dari
berbagai etnis baik penduduk pribumi maupun pendatang etnis Jawa,
Melayu, Mandailing, dan lain-lain. Akan tetapi ada pula di antaranya
berasal dari etnis Sikhs (India).
Walaupun bangsa Cina cukup banyak berdiam di kota Medan,
mereka tak ada yang menjadi sais sado, mereka yang tubuhnya masih
kuat dan belum memperoleh mata pencaharian yang lain, umumnya
menjadi penarik trisau, sebuah kereta yang beroda dua. Lingkaran
roda trisau itu cukup besar yang ukurannya bergaris tengah 130 cm.
Di antara kedua roda itulah tempat duduk penumpang diletakkan
dengan kapasitas maksimal dua orang. Di belakang tempat duduk
ini ada tenda berbingkai bambu yang sewaktu-waktu dapat dilipat
atau dipasangkan sesuai dengan kebutuhan penumpangnya. Penarik
trisau berada di depan seperti posisi lembu atau kuda yang menarik
keretanya, dihubungkan oleh dua bilah kayu penyangga antara
penghela dan tempat tumpangannya.
Para penghela trisau yang terdiri dari bangsa Cina ini biasanya
memakai topi caping bambu yang lebar sebagaimana biasanya dipakai
para petani. Baju dan celananya dibuat dari bahan atau kain blacu
berwarna hitam dan kedua telapak kakinya selalu beralas capal atau
alas kaki yang terbuat dari lapisan karet yang diikat dengan tali-tali
pada punggung dan pergelangan enkel kaki masing-masing. Jadi,
bentuk capal ini seperti sepatu yang tidak berpenutup di sebelah
atasnya dan dibuat oleh penarik trisau itu masing-masing.
Mobil pengangkutan dalam kota ketika itu belum ada. Demikian
pula trem-trem yang dijalankan dengan tenaga listrik. Mobil-mobil
yang ada ketika itu hanyalah yang bersifat pengangkutan pribadi.
Biasanya hanya dimiliki pegawai tinggi pemerintahan, tuan-tuan
(pemilik) perkebunan dan pembesar-pembesar atau anggota keluarga
kesultanan yang ada di kawasan Sumatera Timur.
Kesultanan yang ada pada ketika itu masih merupakan kelompok
yang sangat elit di kalangan masyarakat setempat. Selain memperoleh
kompensasi dari konsesi tanah-tanah mereka mendapatkan “Zelf
Bestuur Gebeid” (kawasan pemerintahan sendiri). Dalam kawasan
kota Medan sendiri, ada kawasan yang berada dalam pengawasan
Sultan Deli, ada yang berada dalam kawasan Gemeente. Masing-
masing masyarakat yang ada di kawasan itu terutama dalam masalah
perdata diatur oleh peraturan atau hukum tersendiri, sesuai dengan
kebijakan kepala pemerintahan yang ada.
Pemerintah kolonial Belanda dalam melaksanakan peraturan-
peraturan hukumnya membagi masyarakat menjadi 3 golongan
sesuai dengan latar belakang budaya dan asal bangsa yang mendiami
kawasan Indonesia. Golongan-golongan itu adalah, Eropa, Timur
Asing, dan Pribumi. Penduduk yang masuk dalam golongan Eropa
adalah mereka yang berasal dari kawasan Eropa termasuk bangsa
Belanda sendiri. Golongan Timur Asing adalah pendatang-pendatang
yang berasal dari Benua Asia, seperti Tiongkok, Arab, India, dan lain-
lain. Dan sebagai golongan Pribumi adalah pendatang-pendatang
atau penduduk yang berasal dari kawasan Nusantara (Indonesia).
Pada waktu itu yang didianggap penduduk asli Sumatera Timur
adalah mereka yang sudah lama atau memang berasal dari daerah
ini dan dalam kehidupannya memakai adat-istiadat budaya Melayu.
Seseorang atau suatu kelompok dianggap sebagai bagian dari etnis
atau suku bangsa Melayu bila menganut agama Islam. Jadi ketika
itu cakupan pengertian tentang etnisitas Melayu bukan sekedar
berdasarkan asal-usul, daerah, dan budaya saja. Namun kemudian
mereka yang sudah menetap dan beradaptasi dengan budaya di daerah
ini dapat dikatakan menjadi Melayu sebelum menganut agama Islam.
Naiknya pamor kota Medan, sebagai kotapraja maupun ibukota
keresidenan Sumatera Timur, mendorong pertumbuhan penduduknya
yang makin pesat. Untuk melihat perkembangan jumlah penduduk
itu dapat dilihat dari data di bawah ini18 :
Tahun Jumlah Penduduk
1905 14.000 jiwa
1910 17.750 jiwa
1918 43.826 jiwa
1920 45.250 jiwa
18 Berdasarkan buku “61 Tahun Kotamadya Medan, 1 April 1909-1970” diterbitkan oleh Panitia Ulang Tahun ke-61 Kotamadya Medan, 1970 : 55
28 29Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan
Dari perkembangan penduduk itu kita dapat pula melihat
bagaimana heterogenitas komposisi penduduk yang ada berdasarkan
etnisitasnya sebagai berikut :
Tahun Bumi Putera Eropa China Timur Asing Jumlah
1918 35.009 409 7.269 1.139 43.826
1920 23.823 3.128 15.916 2.381 45.248
Khususnya untuk kelompok Bumiputera, terdiri dari berbagai
etnis. Etnis yang paling dominan adalah Melayu sebagai etnis host
population dan Jawa yang umumnya terdiri atas buruh-buruh
perkebunan. Etnis lainnya adalah suku bangsa Tapanuli (Mandailing
Sipirok), Minangkabau, Banjar, Banten, Sunda, dan lain-lain. Dan dari
kelompok Timur Asing dari tabel di atas adalah bangsa India, Arab
dan lain-lain. Sebenarnya dalam status hukumnya, Cina yang ada di
kawasan ini termasuk dalam kelompok Timur Asing. Namun karena
populasi mereka cukup menonjol maka dalam tabel tersebut bangsa
Cina dipisahkan dengan bangsa-bangsa dari Asia lainnya.
Dari kelompok Timur Asing ini, bangsa dari India yang paling
besar jumlahnya. Mereka masih terbagi-bagi atas berbagai etnis, yaitu
Tamil, Telugu, Punjabi, Benggala, Bombay/Hindustan, dan lain-lain19.
Sejalan dengan kecenderungan masing-masing etnis atau bangsa
ini yang ingin bertempat tinggal dalam kelompoknya masing-masing,
pemukiman mereka di kota Medan berkelompok dalam kawasan-
kawasan tertentu :
1. Orang Eropa, bermukim di kawasan Polonia sekarang.
2. Orang Cina (para pedagangnya) di kawasan pusat kota atau
pertokoan yang ada di sekitar jalan Asia (Pasar Rame), jalan Kapten
(Pandu), jalan Sun Yat Sen, jalan Swatow (jalan Bagan), jalan Canton
(jalan Surabaya), jalan Cong Yong Hian (jalan Semarang), jalan Peking
(jalan Cerebon), dan lain-lain. Orang Cina yang miskin tinggal di
kawasan Lo A Yok (di sekitar persimpangan ujung jalan Asia dengan
jalan Kapten Djumhana sampai jalan Aksara).
3. Bangsa Arab, banyak menetap di sekitar Kampung Pandahulu
19 Tengku Luckman Sinar Basarsyah, 1991, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan (Tanpa Nama Penerbit) h. 70.
(antara jalan Wahidin dan jalan Serdang) dan kemudian di sekitar
kelurahan Sei Rengas yang ada sekarang.
4. Orang India, terpusat di kawasan kelurahan Madras sekarang
atau sekitar jalan Zainul Arifin sampai ke jalan Gajah Mada sekarang.
Di samping itu terutama etnis Tamil banyak pula berdiam di kawasan
kelurahan atau Kampung Anggrung, Ujung jalan Multatuli sampai
ke jalan W. Mongonsidi sekarang, kawasan jalan Padang Bulan atau
sekitar S. Parman sekarang dan di jalan Mangkubumi sekarang dan
Sukaraja sekarang.
5. Etnis Mandailing terpusat di kawasan Petisah atau sekitar jalan
H. Adam Malik/Glugur dengan jalan Sei Deli, sekitar jalan S. Parman/
sepanjang sungai Babura, kawasan sungai Mati (jalan Brigjend
Katamso), Kampung Baru arah ke Deli Tua dan sekitar jalan Serdang
/jalan Prof. Moh. Yamin. SH sekarang sekitar Masjid Perjuangan.
6. Etnis Minangkabau, pada era ini bermukim di sekitar Kampung/
kelurahan Aur sampai Pantai Burung atau sepanjang sungai Deli
yang mengalir di belakang Istana Maimoon sampai jembatan yang
menghubungkan jalan Brigjend Suprapto dengan jalan Jenderal
Sudirman.
7. Sebuah kawasan lainnya yang berada di bahagian Timur
kota Medan ada sebuah daerah perkampungan yang bernama Kota
Matsum. Kawasan ini walaupun berada di dalam kota Medan, tetapi
termasuk dalam wialayah kekuasaan Sultan (Sultan Ground) atau
di luar wilayah Gemeente. Penduduk di kawasan ini pada awalnya
hanya terdiri dari berbagai etnis pribumi di antaranya Melayu, Banjar,
Jawa, Minang dan lain-lain yang kesemuanya beragama Islam. Bagi
pendatang-pendatang etnis pribumi yang ingin bertempat tinggal
di kawasan ini biasanya dapat menyewa atau membeli tanah pada
penduduk Melayu setempat dan tunduk di bawah hukum “kerapatan”
(hukum/pengadilan di bawah kekuasaan penguasa Sultan.)
8. Etnis Jawa yang telah keluar dari ikatan kerja dengan pihak
perkebunan dan tinggal di kota Medan, pada umumnya berada di
pinggir sebelah Timur kota Medan dan langsung berbatasan dengan
areal perkebunan. Selain menjadi buruh di perusahaan-perusahaan
yang ada di kota, mereka juga masih berladang di kawasan pinggiran
kota Medan, terutama di kawasan Jalan Denai Ujung arah Sungai
Denai dan Kampung Tembung.
Pengelompokan tempat tinggal berdasarkan etnis atau bangsa ini
30 31Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di MedanMasa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan
bagi pemerintah kolonial Belanda sangat menguntungkan, baik dari
sudut penataan kependudukan di tengah kota maupun dari sudut
politis. Dari sudut penataan kependudukan, pemerintah kota lebih
muda menyerap aspirasi penduduk kawasan setempat dan kemudian
mengatur atau memberikan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan
ataupun latar belakang budayanya. Dari sudut kepentingan politik,
pemerintah Kolonial lebih mudah mengontrol masyarakat dalam
kondisi yang “terkotak-kotak”. Kondisi yang seperti itu tentunya akan
menghambat proses integrasi dan solidaritas antarkelompok etnis
dalam masyarakat yang dikuasainya.
Pada masing-masing kelompok masyarakat yang berdasarkan
kelompok etnis ini, pemerintahan kolonial Belanda mengangkat salah
seorang di antara mereka sebagai koordinator yang disebut sebagai
Mayor atau Kapitan. Merekalah yang bertindak sebagai pemimpin
dalam kelompoknya masing-masing untuk mengatur 'urusan ke dalam'
maupun 'ke luar'. Yang dimaksud dengan 'urusan ke luar' adalah untuk
menyampaikan aspirasi atau kepentingan mereka kepada pemerintah.
Dengan kata lain, Mayor ini dapat di katakan sebagai perpanjangan
tangan untuk mengatur kelompok-kelompok ini.
Biasanya pengangkatan Mayor dan Kapitan ini disesuaikan pada
status dan kualitas oknum yang akan diangkat di tengah kelompoknya,
atau dapat juga disebut sebagai 'primus inter pares', yang terbaik dari
yang ada di tengah kelompoknya menurut kaca mata kepentingan
Pemerintah Kolonial. Jadi pada era itu, muncullah tokoh-tokoh
dengan sebutan Mayor Cina, Kapitan India, Letnan Arab.
Jika melihat perkembangan penduduk pribumi yang ada di kota
Medan dari tahun 1918 hingga tahun 1920 mengalami penurunan
jumlah, dari jumlah 35.009 jiwa menjadi 23.823 jiwa. Penurunan
jumlah ini disebabkan penduduk pribumi di tengah kota terdesak
jumlahnya oleh perkembangan penduduk bangsa Cina yang semula
berjumlah 8.269 pada tahun 1918 menjadi 15.916 pada tahun 1920.
Bangsa Cina terus marak ke tengah kota baik yang berasal dari eks
kuli perkebunan maupun mereka secara langsung dari negeri asal.
Sebaliknya penduduk pribumi yang kurang mampu mengimbangi
aktivitas perdagangan bangsa Cina lebih suka 'minggir' atau memilih
mata pencaharian di luar perdagangan terutama di bidang pertanian.
Di antara kelompok bangsa Cina yang marantau ke kota Medan
ini ada juga yang tidak berprofesi sebagai pedagang menetap di tengah
kota. Masih ada di antara mereka yang hidup miskin dengan mata
pencaharian seadanya seperti penarik trisau atau angkong, tukang
binatu atau dobi, tukang kayu, jual-beli “goni botot” atau goni dan
botol bekas dengan cara membawa keranjang pikulan keluar masuk
kampung, dan bertani atau berladang.
Etnis China yang berladang, mereka sering membeli atau
menyewa lahan-lahan di pinggir-pinggir kota dengan areal yang
tidak terlalu luas. Mereka mengelola ladang dengan cara yang sangat
intensif, terutama dengan memakai pupuk kandang atau pupuk yang
berasal dari kotoran manusia. Biasanya di kawasan perladangan itu,
mereka juga beternak babi, ayam, dan itik. Selain memanen hasil
ternaknya, kotoran-kotorannya mereka pergunakan untuk pupuk
tanaman ladangnya. Untuk mengambil kotoran manusia, tanpa segan-
segan mereka kumpulkan dari kawasan penduduk Cina yang berdiam
di tengah kota. Tengah malam atau dini hari, mereka mengambilnya
dari kaleng-kaleng penampungan yang sudah disediakan di bawah
jamban atau kloset perumahan penduduk tersebut.
Jenis-jenis tanaman yang mereka usahakan dalam kehidupan
bertani itu di antaranya adalah, bayam, sawi, gambas, bengkuang,
bawang-bawangan, lobak dan lain-lain. Boleh dikatakan, merekalah
yang memperkenalkan jenis sayur-sayuran tersebut pada masyarakat
Medan dan sekitarnya. Di samping itu mereka juga menanam kacang
kedelai dan mengolahnya menjadi tahu, kecap, dan tauco. Jenis
makanan ini pun mereka yang memperkenalkan di daerah ini, di
samping mie dan mie tiau yang diolah dari tepung gandum dan beras.
Bangsa lainnya yang termasuk kelompok Timur Asing, terutama
India, mengalami perkembangan jumlah yang pesat dari 139 orang
pada tahun 1918 menjadi 2.381 orang pada tahun 1920. Walaupun
sebahagian besar bangsa India itu tidak berdagang, namun mata
pencaharian mereka pada umumnya erat kaitannya dengan kehidupan
kota, seperti menjadi buruh pabrik, buruh pembangunan jalan,
penarik kereta lembu, sopir, penjaga malam, penjual makanan, dan
lain-lain. Selebihnya, mereka yang memiliki modal berdagang tekstil
dan rempah-rempah.
Bangsa Arab yang mendiami kawasan kota Medan juga banyak
yang berprofesi sebagai pedagang tekstil. Selain bertoko, di antara
mereka menjajakan dagangannya ke kampung-kampung. Kehadiran
mereka di tengah masyarakat pribumi yang umumnya beragama
33Deli Hindu Sabha32 Masa Kanak-kanak D. Kumarasamy di Medan
Islam mempunyai nilai tersendiri. Hal ini tidak terlepas dari anggapan
masyarakat bahwa kelompok merekalah yang mengembangkan
agama Islam yang pertama di kawasan ini bahkan di Indonesia pada
umumnya. Oleh karena itu penduduk pribumi sangat menghormati
mereka. Bahkan ada yang sangat berlebih-lebihan karena mereka juga
dianggap sebagai keturunan nabi-nabi.
Pada tanggal 1 Juli 1913, secara resmi berdiri perkumpulan Deli
Hindu Shaba DHS yang disyahkan oleh Gubernur Sumatera Timur20.
Dari nama perkumpulan ini dapat diketahui bahwa lembaga ini tidak
hanya khusus untuk kalangan etnis Tamil saja. Tekanannya adalah
sebagai wadah organisasi bagi mereka yang beragama Hindu, baik
dari etnis Tamil maupun etnis-etnis lainnya terutama yang berasal
dari kawasan India.
Sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia
Belanda yang berkuasa pada waktu itu, izin pertama yang diberikan
kepada Deli Hindu Shaba dibatasi dalam jangka waktu selama 29
tahun. Untuk seterusnya akan ditentukan lagi sesuai dengan aktivitas
organisasi ini. Pemerintah Belanda pada waktu itu sangat berhati-hati
terhadap berdirinya sebuah organisasi karena khawatir organisasi itu
disusupi oleh gerakan yang bersifat politik.
Tokoh-tokoh pertama yang mendirikan Deli Hindu Shaba di
antaranya adalah :
1. Ramasamy Sarma 7. Ponesamy Pillay
2. Sedhu Ramasamy 8. Supiaya
3. Ayyer 9. Sene Muthu
4. Inder Singh 10. Krishna
5. O Welly Samy (OW) 11. Delip Sing
6. Manggaya 12. Dan lain-lain
20 Lihat T. Luckman Sinar Baharsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, (edisi bahas Indonesia dan Inggris), Forkala, Medan, h.24.
Deli Hindu Sabha 4
34 35Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
Pada periode pertama, susunan pengurusnya adalah sebagai
berikut :
Ketua : Ponesamy Pillay
Sekretaris : Manggaya
Bendahara : Krisna
Alamat sekretariatnya berada di jalan Darat – Medan.
Selain bergerak di bidang keagamaan, keberadaan Deli Hindu
Shaba juga mengupayakan agar masyarakat Hindu yang ada di
kawasan Medan dan Sumatera pada umumnya dapat meningkatkan
kehidupan mereka di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan
kebudayaan. Butir- butir gagasan ini tentunya tidak terlepas dari
fenomena kehidupan masyarakat etnis Tamil itu sendiri.
Walaupun wadah berupa Deli Hindu Shaba sudah berdiri di kota
Medan, aktivitasnya masih dirasakan terlalu lambat. Hal ini tidak
terlepas dari kurangnya tokoh pemimpin dalam kelompok tersebut.
Pertemuan-pertemuan memang selalu diselenggarakan. Akan
tetapi, gerakannya tidak dirasakan oleh komunitas etnis Tamil dan
masyarakat pada umumnya.
Telah disadari bahwa sebuah gagasan membutuhkan seorang
leader dan manager yang baik yang memiliki metode perjuangan yang
jitu agar dapat meraih keberhasilan. Sayang pada masa awal pendirian
perkumpulan Deli Hindu Shaba, justru inilah yang tampaknya
menjadi kekurangan dalam kelompok masyarakat etnis Tamil
Yang tercatat, pada tahun 1914, untuk pertama kalinya organisasi
ini menyelenggarakan pertunjukan tonil (sandiwara /drama) dengan
judul “Samerasan”. Para pemain semuanya laki-laki termasuk untuk
memerankan tokoh wanita. Pada waktu itu belum memungkinkan
bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk bergabung dalam suatu
atraksi pertunjukan secara bersama.
Dalam bidang keagamaan masih belum ada yang mencoba untuk
mengadakan pembaharuan. Apa yang berlaku hingga waktu itu
dianggap sudah merupakan yang baku dan sakral. Para pendeta masih
melakukan kegiatan sebagai rutinitas. Kalaupun banyak di antara
mereka yang memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, mereka
umumnya sangat kurang di bidang pengetahuan yang bersifat sosial
atau duniawi. Sulit diharapkan dari mereka ini untuk mengeluarkan
gagasan pembaharuan.
Demikian pula di bidang ekonomi. Di antara etnis Tamil ini ada
yang sudah mapan selama menjadi penduduk kota Medan. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mengangkat kehidupan
masyarakat beragama Hindu atau etnis Tamil yang lainnya. Maksimal
mereka hanya mampu memberikan sumbangan yang lebih banyak
dari pada anggota yang lainnya. Mereka tidak mempunyai gagasan
yang memberi solusi bagaimana caranya mengelola dana yang ada
agar lebih bermanfaat dan berkesinambungan untuk kepentingan
anggota perkumpulan.
Pada periode awal berdiri perkumpulan Deli Hindu Shaba
anggotanya terdiri dari mereka yang sudah tua-tua. Para pemudanya
merasa kurang terpanggil untuk terlibat dalam wadah kegiatan Deli
Hindu Shaba. Ceramah-ceramah kerohanian seakan-akan hanya
menjadi milik mereka yang sudah tua dan tak berdaya. Terhadap
yang muda seakan masih terdapat penyekat untuk menekuni ajaran
keagamaan. Mereka merasa belum perlu untuk mengadukan dirinya
kepada “Sang Penguasa Kehidupan Manusia”. Upacara-upacara
keagamaan, khususnya yang muda-muda hanyalah sekedar untuk
melaksanakan ritual di tempat-tempat dan situasi tertentu saja. Hal
ini terus berlanjut sampai pada tahun 1930.
Situasi dan kondisi seperti inilah yang dihadapi dan digeluti
D. Kumarasamy (D.K.) ketika memasuki kota Medan sekitar tahun
1913. Kumara sangat beruntung karena lingkungan keluarga
yang mengasuhnya mempunyai latar belakang yang lebih baik
bila di bandingkan dengan keluarga etnis Tamil pada umumnya.
Para pemain sandiwara/tonil "Samerasen" tahun 1914
36 37Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
Sebuah keluarga yang sangat memperhatikan pendidikan di bidang
keruhaniahan maupun keduniawian.
Walaupun kedua orang tua ibu Kumarasamy bukanlah termasuk
keluarga yang kaya, tetapi mereka mempunyai pandangan yang 'jauh
ke depan' untuk anak dan cucu mereka. Demikian pula kedua orang tua
Kumarasamy atau ayah dan ibunya. Mereka bertekad menyekolahkan
Kumarasamy kecil ke Methodist Boys School Medan. Pada waktu
itu sekolah ini merupakan sekolah yang sangat elit, baik dari segi
mutu maupun pembiayaannya. Karena itu murid-muridnya berasal
dari keluarga yang mampu secara finansial. Untuk menopang biaya
sekolah Kumarasamy ini, selain dari ayahnya yang tetap berada di kota
Binjai, nenek dan ibu Kumarasamy ikut membantunya menambah
penghasilan dengan berjualan kue-kue penganan di depan rumahnya
yang terletak di jalan Nagapatan Medan.
Kumarasamy kecil memang anak yang beruntung. Asal-
usulnya dan lingkungan keluarga yang memperhatikan pendidikan
menjadikannya tumbuh dengan sehat secara lahir dan batin. Dalam
tempo 7 tahun, Kumara berhasil menyelesaikan pendidikannya
dengan baik. Sekolah tempatnya belajar memang hanya sampai kelas
VII. Setelah itu para siswa yang telah tamat akan mencari sendiri
tempat melanjutkan studinya.
Bagi Kumarasamy yang saat itu telah menginjak usia14 tahun
pada tahun 1920, cukup sulit untuk mencari sarana pendidikan
formal yang sesuai. Pada waktu itu memang ada sekolah menengah
(MULO / setingkat SMP sekarang) yang dikelola oleh pemerintah
Hindia Belanda. Akan tetapi sekolah yang seperti itu pada waktu
itu membutuhkan persyaratan yang cukup sulit bagi keluarga
Kumarasamy. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan latar belakang
corak pendidikan Kumarasamy sebelumnya.
Namun Kumarasamy yang sejak masa kanak-kanaknya terlihat
bagai orang yang kehausan ilmu pengetahuan, semangat belajarnya
tetap tumbuh dan tak pernah padam. Oleh karena itu Kumara terus
berikhtiar untuk menambah ilmu pengetahuan secara informal. Cara-
cara yang ditempuhnya antara lain adalah mengikuti kursus tertulis
bahasa Inggris dengan salah satu lembaga pendidikan dari India dan
membeli buku-buku keterampilan dan pengetahuan umum lainnya.
Pada tahun 1922, ketika usianya 16 tahun Kumarasamy berhasil
mengirim artikel-artikel karangannya ke majalah berbahasa Tamil
yang diterbitkan di India. Pada umumnya artikel yang dikirimkan itu
memperoleh sambutan dan diterbitkan di majalah-majalah tersebut.
Artikel-artikel yang dibuatnya selalu bertema tentang kehidupan
masyarakat Tamil, baik dalam kehidupan keagamaan dan dalam
aspek-aspek lainnya. Pada dasarnya sudah terlihat dari karangan-
karangannya suatu keinginan untuk meningkatkan pemberdayaan
dan eksistensi masyarakat etnis Tamil di mana pun Kumarasamy
berada. Inspirasin karangan-karangannya muncul dari kehidupan
yang diarunginya sendiri.
Kemampuannya untuk mengetik artikel-artikel itu didapat
melalui proses yang cukup unik. Pada waktu itu orang-orang yang
memiliki mesin tik masih sangat terbatas dan barang ini masih
dianggap barang mahal. Untuk mempelajarinya pun harus melalui
kursus tersendiri. Kumarasamy memang sudah mengenal mesin tik,
Ibunda D. Kumarasamy
38 39Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
tetapi keluarganya belum mampu membelikannya dan juga untuk
memberikan dana untuk kursus mengetik. D. Kumarasamy tidak mau
menyerah dengan kondisi yang seperti ini. D.K. cukup membeli buku
teori mengetik lalu melatihnya (to touch type) melalui selembar karton
yang telah diberi gambar keyboard (susunan aksara) seperti mesin
tik. Dia berlatih sendiri dengan tekun. Ketika mengetik artikelnya
melalui mesin tik pinjaman, Kumara seperti orang yang sudah
mahir mempergunakannya. Kendala fasilitas tidak menjadi masalah
baginya. Hal ini memang sesuai dengan keyakinannya bahwa setiap
ada kemauan, pasti ada jalan keluar.
Selain berbakat menulis dan berhasil menjadi seorang kolumnis
muda, Kumarasamy juga belajar menulis tulisan steno. Baginya dengan
modal minat dan ketekunan yang besar kemampuan itu dalam tempo
yang relatif cepat pasti dapat dikuasainya. Kemahirannya dalam
stenografi memang sangat berguna. Layaknya seorang jurnalis, dengan
mudah Kumarasamy dapat membuat catatan-catatan penting dengan
sangat cepat, terutama untuk membuat transkripsi pembicaraan lisan
seseorang ke dalam bentuk tulisan.
Rasa ingin tahunya semakin berkembang sejalan dengan
perkembangan usia dan fisiknya. Keingin tahuanya itu tidak terbatas
pada bidang-bidang tertentu saja. Pengetahuan apa saja yang mungkin
dapat dipelajarinya terutama melalui buku-buku, selalu dipelajarinya
secara serius. karena keterbatasan dirinya dari segi finansial, maka
Kumarasamy selalu belajar secara autodidak. Cara seperti ini ada
kalanya cukup menyulitkan karena harus mencari berbagai keteragan
sendiri tanpa guru pembimbing. Tapi ternyata cara yang demikian
telah melatih dirinya untuk lebih aktif merenungkan permasalahan
atau persoalan sehingga dapat mencari jawabannya sendiri. Kebiasaan
yang seperti ini tanpa disadari telah meningkatkan inisiatif sekaligus
rasa percaya dirinya.
Pada tahun 1925 ketika telah memasuki usia yang ke-19,
Kumarasamy juga belajar tata dagang, khususnya dalam bidang
pembukuan (book keeping). Kemampuan bidang ini melengkapi
kemahirannya dalam berbahasa Inggris dan stenografi, yang sangat
menopang penghidupan selanjutnya. Dengan berbagai kemampuan
itu tidak sulit baginya untuk mencari pekerjaan sebagai kerani di
perusahaan-perusahaan asing. Kumarasamy pun akhirnya diterima
bekerja di sebuah perusahaan Inggris yang bernama Harrison yang
berkantor di jalan Hindu Medan.
D. Kumarasamy tumbuh sebagai seorang pemuda yang sehat
dan tampak tidak mau berhenti mencari sesuatu yang berguna
untuk mengembangkan semua potensi diri maupun kemaslahatan
masyarakat di sekelilingnya. Pemuda yang sangat santun dan pandai
bergaul ini pun sangat diterima oleh lingkungan di mana pun ia
berada, hingga mendapat sebutan "Anna' yang dalam bahasa Medan
berarti abang, sebagai sebutan yang menunjukkan keakraban, rasa
sayang sekaligus hormat.
Sebagai seorang pemuda yang energetik secara fisik dan mental,
Kumarasamy juga sangat suka dengan kegiatan olahraga. Banyak
cabang-cabang olahraga yang diminatinya, diantaranya adalah
badminton, hockey, bola kaki, dan lain-lain. Belum cukup dengan
olah raga dalam kelompok, ia juga melakukan olahraga body building
di rumahnya. Kemana pun Anna Kumarasamy pergi, ia selalu
menggunakan sepedanya yang berukuran lebih besar dari pada
sepeda yang umumnya digunakan masyarakat, terutama bila masih
dalam wilayah kota Medan. Sepeda besar ini dipilih menyesuaikan
tubuhnya yang gagah dengan tinggi 180 cm.
Pemuda jangkung dan bersepeda tinggi ini terus bergerak mencari
berbagai pengalaman, pengetahuan dan membangun pergaulan yang
luas dalam kehidupannya. Perhatiannya terhadap masyarakat Tamil
pun bertambah besar. Hal ini bukan saja karena latar belakang etnis
yang ada padanya, tetapi lebih banyak karena dorongan empatinya
melihat kenyataan kehidupan etnis Tamil yang ada di kota Medan.
D. Kumarasamy melihat pemuda-pemuda Tamil yang sebaya
dengannya banyak yang tidak pernah mengecap pendidikan sekolah.
Bahkan banyak di antaranya yang tak mampu membaca dan menulis
aksara Tamil. Memang pada masa itu hingga tahun 1935 belum ada
sekolah khusus bagi masyarakat Tamil. Demikian pula di bidang
ekonomi, kelompok etnis Tamil yang ada di kawasan ini pada
umumnya masih memprihatinkan. Kedua faktor ini, yaitu aspek
pendidikan dan ekonomi, memang sangat erat kaitannya dan saling
mempengaruhi.
D. Kumarasamy juga sangat prihatin dengan moralitas beberapa
orang muda di kalangan etnis Tamil. Ia memahami bahwa tingkat
pendidikan dan ekonomi yang rendah ikut mempengaruhi
moralitas dalam perilaku masyarakat, khusunya dalam semangat
40 41Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
memperjuangkan hidup, tata krama serta etika dalam pergaulan satu
sama lain. Situasinya menjadi makin buruk ketika pemuda-pemuda
itu jadi 'pantat botol' atau pemabuk, mereka kehilangan orentasi
hidup, mudah emosi serta mudah putus asa. Sementara itu ritualitas
keagamaan seperti tak mampu menyentuh prilaku para penganutnya,
khususnya kalangan muda ini. Situasi ini selalu mengusik pikiran dan
nurani Kumarasamy sejak masih muda. Walaupun ia terus mencari
jalan pemecahannya, tetapi belum dapat berbuat nyata, terutama
belum menemukan wadah dan metode yang paling tepat.
Pada tanggal 15 September 1927, ketika Kumarasamy benar-
benar menjadi pria dewasa di usia 21 tahun ia ikut menjadi anggota
Medan Ladge of the Theosophical Society, sebuah perkumpulan yang
membahas tentang dasar-dasar atau filsafah ketuhanan. Inti dari
ajaran Theosphy ini adalah mencari hakikat ilahiah atau kebenaran
baik hakiki melalui pengalaman batin maupun dari norma-norma
keagamaan. Secara historis dasar-dasar ajaran Theosophy ini berasal
dari perpaduan Brahmanisme, Budhisme, Neoplatonisme dan
Kekristenan. Kemudian dalam perkembangannya, Theosophy modern
tidak membatasi diri pada pandangan agama-agama tertentu. Tokoh-
tokoh pengembang Theosophy modern di antaranya adalah Anni
Besant C.W. Leadbeater yang telah membuat penjabaran Theosophy
modern menjadi lebih universal dan rasional.
Dalam perkumpulan Theosophy ini Kumarasamy banyak
berkenalan dengan tokoh-tokoh rohaniawan lainnya dari berbagai
agama dan bangsa ataupun etnis. Di antara tokoh yang selalu terlibat
diskusi dan banyak memberikan masukan bagi Kumarasamy adalah
Mr. Gerard Jansen, Miss Rahder, dan Mrs. Haisma. Banyak di antara
anggota ataupun pengurus perkumpulan ini yang mempunyai latar
belakang intelektual atau pendidikan yang tinggi. Oleh karena itu di
tempat ini Kumarasamy bagaikan memperoleh kawan diskusi yang
sangat baik dalam perkembangan pribadinya.
Dalam lingkungan ini Kumarasamy juga pernah berdiskusi
secara langsung dengan tokoh Theosophy C.W. Leadbeater. Dalam
perbincangannya dengan Maha Nyani 21C.W. Leadbeater itu
Kumarasamy menjadi sagat terpengaruh, karena secara langsung
21 Hassan Shadily dkk., 1980, Ensiklopedia Indonesia, Ictiar Baru-van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, 3506-3507.
tokoh itu berkata kepadanya, “Apakah Saudara pernah menyadari
atau masih ingat bahwa saudara pernah lahir sebagai pelukis Greek
(Yunani) di kelahiran masa lampau? Kumarasamy hanya tercengang
karena walaupun ia percaya adanya proses inkarnasi, namun ia sendiri
belum menyadari atau merasakannya.
Sejak Kumarasamy mengikuti perkumpulan Theosophy
ini wawasannya terhadap agama dan kehidupan semakin luas.
Rasa fanatismenya terhadap salah satu agama tidak lagi 'sempit'.
Kumarasamy pun memahami, pada dasarnya semua agama
mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyemai kebajikan sehingga
dapat memperoleh kebahagiaan yang abadi. Perbedaan hanya terletak
pada cara mencapai tujuan. Dan perbuatan kebajikan tidak harus
diberikan kepada kelompoknya saja tetapi juga bagi masyarakat
lainnya. Begitulah pandangan Kumarasamy yang tetap pemeluk
agama Hindu dengan baik.
Usia Kumarasamy terus beranjak dewasa bersama waktu yang
dilaluinya. Walaupun perhatiannya lebih besar kepada kelompok
masyarakat etnis Tamil, bukanlah berarti pandangannya sangat
Perkumpulan Theosofi Medan
42 43Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
etno-sentris, terpusat pada etnis atau kelompok primordialnya
sendiri. Perhatian yang sangat besar pada masyarakat etnis Tamil
di daerah Medan karena pada saat itu, kelompok inilah yang sangat
memprihatinkan kehidupannya dan membutuhkan perhatian.
Kumarasamy pun mulai mencoba mendekati kelompok masyarakat
sekitarnya, terutama para pemuda etnis Tamil, sebagai salah satu
cara untuk mewujudkan gagasannya. Pendekatan ini dilakukan
untuk memahami lebih jelas apa yang dibutuhkan oleh kalangan
ini. Kumarasamy menyadari, upaya perbaikan keadaan tak mungkin
dilkukan tanpa mengetahui apa yang telah rusak dalam masyarakat
itu.
Hal yang dipikirkan kemudian oleh Kumarasamy adalah
pentingnya jiwa kepemimpinan untuk mengajak dan menggerakkan
suatu kelompok masyarakat menuju suatu perubahan atau
perbaikan. Baginya, yang dibutuhkan dari seorang pemimpin bukan
sekedar mampu memberikan gagasan atau perintah, tidak pula
sekedar mampu mengorganisir pengikutnya. Akan tetapi seorang
pemimpin harus mampu memberikan keteladanan, yang dengan
itulah orang mendapatkan contoh nyata sehingga mematuhi dan
menjadi pengikutnya. Seorang pemimpin akan berbicara melalui
keteladanannya dan kunci keteladanan yang mengundang sikap patuh
pengikutnya adalah keteladanan yang bersumber dari keikhlasan hati.
Ciri-ciri kepemipinan ini terlihat jelas pada diri Kumarasamy yang
selalu dipanggil 'Anna' dalam lingkungan pergaulannya.
Tidak semua orang yang berproses dalam berbagai pengalaman
hidupnya dengan sendirinya menjadi seorang pemimpin. Seorang
tokoh akan menjadi lebih matang untuk menjadi pemimpin bila
mengalami proses pengenalan dan berupaya mengemukakan banyak
inisiatif dalam kerja-kerja sosial yang penuh dedikasi.
Sebuah ungkapan yang menyatakan, “seorang tokoh pemimpin
bukan diciptakan, tetapi dilahirkan” tampaknya layak direnungkan.
Apakah berarti ketika dalam proses terciptanya embrio atau cikal
bakal bayi dalam kandungan seseorang telah digariskan untuk lahir
sebagai tokoh pemimpin? Ternyata tidak juga. Tidak semua bayi
yang berasal dari kandungan keluarga tokoh pemimpin kemudian
dengan sendirinya terlahir menjadi tokoh-tokoh pemimpin. Sulit
untuk mencari jawaban yang rasional. Dalam perenungan tentang
bagaimana asal mula seseorang dapat hadir sebagai pemimpin di
tengah masyarakat, tidak menutup kemungkinan penelusuran itu
akan terdampar pada pertimbangan 'supernatural' dan muncullah
istilah Reinkarnasi, sebuah titisan atau penjelmaan kembali dari suatu
proses menuju kesempurnaan atau keabadian.
Pada tahun 1928, Kumarasamy makin matang diusianya yang
memasuki usia 22 tahun. Di tengah-tengah kelompoknya, pemuda
Kumarasamy ini bersikap sangat luwes, baik terhadap mereka yang
lebih muda, sebaya atau pada mereka yang lebih tua dari dirinya. Pada
siapa saja yang bersua atau berpapasan dengannya, sangat ringan
hatinya untuk mendahului memberikan sapaan. Terlebih-lebih bagi
mereka yang lebih tua dari usianya. Sapaan dalam bahasa Tamil
dengan ucapan “Nemeste” atau “Wanakkam” yang artinya kira-kira
salam sejahtera bagi anda”, selalu diucapkan saat berjumpa dengan
masyarakat Tamil. Sikap dan prilakunya terhadap semua kalangan
ini dalam pergaulannya itu makin menimbulkan rasa simpati. Bagi
kalangan usia yang di bawahnya Kumarasamy makin menjadi 'Anna'
yang dihormati. Mereka yang sebaya makin segan dan yang lebih tua
daripadanya, makin sayang.
Kumarasamy yang bertubuh tinggi, tegap dan rapi senang
berpakaian berwarna putih, baik kemeja maupun celananya.
Rambutnya yang agak ikal selalu tersisir rapi dan wajahnya tercukur
bersih klimis. Adakalanya ia terkesan sebagai pemuda yang pendiam,
karena Kumarasamy memang selalu menghemat kata-kata bila
tak ada manfaatnya. Sebaliknya ia juga cukup humoris, terutama
ketika ia ingin menumbuhkan suasana akrab dan terbuka dalam
berkomunikasi. Ia selalu melayani pembicaraan siapa saja, terutama
mereka yang membutuhkan buah pikirannya. Wajah dan sorot matanya
yang bening menatap siapa saja yang dihadapinya mencerminkan ia
seorang pemuda yang tenang dan rendah hati.
Telah lama D. Kumarasamy terlibat sebagai salah seorang
anggota Deli Hindu Shaba. Namun sebagai anggota biasa belum
dapat berbuat banyak, meski sangat intens bergaul dengan kalangan
muda. Ia masih sulit mewujudkan gagasan-gagasannya tanpa sarana
yang terlembaga dalam sebuah oraganisasi. Kumarasamy menyadari
untuk mewujudkan gagasan sebagai program juga dibutuhkan suatu
kewenangan atau mandat yag memberiya legetimasi.
Hingga tahun 1928, satu-satunya lembaga yang diharapkan dapat
menopang gagasannya yaitu Deli Hindu Shaba, itu pun belum dapat
44 45Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
membantunya. Deli Hindu Shaba sendiri masih terus 'mengambang'
perannya di tengah masyarakat. Bila diteliti ada beberapa faktor
mendasar yang menyebabkan organisasi ini menjadi mandeg
atau stagnan, di antaranya adalah : pertama sebagian masyarakat
pendukungnya sangat terikat memegang tradisi kolot sehingga sulit
menerima perubahan-perubahan. Kedua, kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat pada umumnya masih sangat memprihatinkan,
sehingga mereka masih sibuk dengan diri mereka sendiri. Ketiga,
pimpinan atau pengurus Deli Hindu Shaba, sangat minim
pengetahuannya di bidang organisasi dan keempat sedikitya tokoh
pemimpin dalam Deli Hindu Shaba yang ada di tengah masyarakat
dan dapat memberikan keteladanan dan jadi panutan.
Banyak yang menaruh perhatian kepada Kumarasamy, baik dari
para pemudanya maupun di kalangan orang-orang tua. Dalam diri
Kumarasamy sudah terlihat tanda-tanda yang memberikan harapan
bagi mereka. Bahkan, di antara orang-orang tua yang telah mengenal
prilaku dan sikap Kumarasamy banyak yang ingin menjadikannya
sebagai menantu. Tetapi saat itu pemuda jangkung ini belum dapat
menggerakkan Deli Hindu Shaba, walaupun pada waktu itu ia sudah
menjadi 'pusat perhatian' masyarakat Tamil yang ada di kota Medan.
Pada tahun 1928 diusia 22 tahun itu, Kumarasamy benar-benar
telah menunjukan dirinya sebagai seorang pemuda yang dewasa,
baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Ia membutuhkan sosialisasi
yang lebih luas, tidak saja sebagai seorang pemuda tetapi juga
sebagai seorang kepala keluarga. Betapa pun eksisnya dia, sebagai
seorang pemuda Kumarasamy akan tetap dianggap berada dalam
batasan sebagai salah seorang anggota keluarga yang belum pantas
berbicara masalah “pembinaan rumah tangga”. Padahal ia menyadari
sepenuhnya bahwa berbicara tentang pembinaan masyarakat harus
berbasis pada pembinaan keluarga di dalam lingkaran rumah tangga.
Dengan kata lain akan sulit baginya untuk berada di tengah-tengah
lingkaran “orang-orang tua” atau orang yang sudah berumah tangga,
apalagi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, bila ia sendiri
belum berumah tangga.
Di samping itu sebagai seorang pemuda yang dewasa, Kumarasamy
juga membutuhkan seorang pendamping atau istri. Baginya, seorang
istri bukanlah sekedar sebagai pendamping naluri biologis atau yang
akan mengurus kepentingan jasmaniah. Akan tetapi bagi masyarakat
Tamil dan peradaban Timur pada umumnya, seorang wanita baik
sebagai istri maupun sebagai seorang ibu adalah juga sebagai seorang
“dewi” yang akan memberikan cahaya kehidupan di dalam keluarganya.
Sebaliknya seorang laki-laki, atau suami, atau seorang anak, dapat
“menjelma” menjadi seorang “dewa” yang akan memberikan naungan
atau perlindungan di tengah keluarganya. Sementara bagi setiap orang
tua yang mempunyai anak laki-laki atau perempuan, mengantarkan
anak-anaknya ke pintu mahligai perkawinan merupakan puncak
kewajiban yang utama. Hal itu bukan saja sebagai suatu peralihan
tanggung jawab ketika anak-anaknya dianggap telah cukup mandiri,
tetapi juga sebagai puncak kebahagiaan untuk melanjutkan generasi.
Oleh karena itulah kedua orang tua Kumarasamy sangat antusias untuk
memberikan dorongan dan restu agar anak tertuanya mempersunting
seorang gadis Tamil.
Sebagaimana layaknya kondisi kehidupan sosial dan tradisi yang
berlaku pada waktu itu, peranan keluarga dan kerabat cukup besar
dalam menentukan jodoh bagi anggota keluarga yang sudah saatnya
memasuki jenjang pernikahan. Demikian pula bagi seorang anak
laki-laki maupun perempuan, pilihan keluarga dalam menentukan
jodoh untuk pasangan dalam perkawinannya diyakini merupakan
sesuatu yang baik untuk kehidupannya, bukan sebagai sesuatu yang
melangkahi hak azasinya. Masing-masing pihak umumnya setuju
dengan pilihan keluarganya. Dalam menentukan pilihan untuk
pasangan bagi anggota keluarga yang sudah saatnya menikah,
selalu menggunakan pertimbangan yang bijaksana agar anak dan
menantunya kelak akan menjadi pasangan yang bahagia.
Pada tahun 1928 itu Kumarasamy telah dijodohkan dengan
seorang gadis Tamil yang bertempat tinggal di kota Medan. Calon
mertua laki-laki Kumarasamy bernama Ponesamy Pillay, seorag tokoh
Deli Hindu Shaba, dan istrinya (ibu mertua) bernama Aciammal
sedangkan anak gadisnya yang akan dijodohkan kepada Kumarasamy
adalah Anemal. Gadis ini berasal dari keluarga pedagang. Orang
tuanya membuka usaha dengan membuka toko kaca yang beralamat
di jalan Perdana Medan (sekarang kelurahan Kesawan).
Kedua orang tua gadis ini datang ke Indonesia dari Sri Langka
(Ceylon). Latar belakang kedatangan mereka bukan sebagai buruh-
buruh perkebunan sebagai mana kebanyakan etnis Tamil lainnya.
Akan tetapi mereka datang ke Indonesia di daerah Sumatera Timur
46 47Deli Hindu SabhaDeli Hindu Sabha
untuk berdagang.
Secara resmi perkawinan Kumarasamy dengan Anemal
diresmikan di kuil Sri Mariamman. Demikian pula perhelatannya
juga diselenggarakan pada sebuah ruangan yang terletak di samping
kuil tersebut. Perhelatan atau acara resepsi perkawinan berlangsung
dengan sangat meriah. Sambutan masyarakat atas perkawinannya
lebih banyak bersifat spontan yang tak mungkin dicegah. Mereka
yang mengenal Kumarasamy datang memberikan restu walaupun
tak sempat diundang secara resmi. Sebagai ungkapan rasa simpati
mereka berupaya memeriahkan suasana perkawinan Kumarasamy,
terutama para pemuda yang tidak hanya menganggapnya sebagai
seorang sahabat tetapi lebih dari itu juga sebagai seorang saudara,
bahkan ada yang menganggapnya sebagai seorang guru walaupun
usianya sebaya. Demikian pula dari kalangan orang-orang tua atau
kaum kerabat. Mereka seakan-akan ingin menunjukkan rasa kasih
sayang kepada Kumarasamy dalam acara pesta perkawinan itu.
Oleh karena itulah, tak bisa lagi dihindari maka pesta perkawinan
D. Kumarasamy berlangsung 3 hari 3 malam. Segala bentuk atraksi
yang merupakan sumbangan dari para simpatisan D. Kumarasamy
berlangsung dalam acara tersebut. Syair-syair puja disenandungkan
secara merdu, demikian pula nyanyian musik maupun tarian ikut
mengisi pesta perkawinan Kumarasamy. D.Kumarasamy tak dapat
mencegah kemeriahan pernikahannya.Kemeriahan pesta perkawinan
itu bagaikan manifestasi yang ingin mengantarkan Kumarasamy ke
“dunianya yang baru”.
Dalam usianya yang relatif masih muda itu D. Kumarasamy telah
mendapat tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Sebagai seorang
kepala keluarga atau suami, ia telah pantas memasuki lingkungan
barunya yaitu masuk dalam gologa orang-orang yang dituakan
dalam komunitas, namun ia masih dapat melakukan kegiatan di
bidang kepemudaan. Demikian pula kewajiban rumah tangga lainnya
sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Itulah salah satu harapan
Kumarasamy atau Anna dalam perkawinannya dengan Anemal.
Setelah menikah, semangat pengabdiannya di lingkungan etnis
Tamil semakin besar. D.Kumarasamy ingin tidak hanya berbuat
di lingkungan pemuda, tetapi juga dilingkungan kelompok usia
lainnya. Pernikahannya telah membuatnya tidak hanya pantas untuk
memberikan saran atau pun nasehat kepada para pemuda, tetapi juga
pantas bagi mereka yang telah berkeluarga. Sejak saat itu ia mulai
menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi dan luas dengan
tatangan yang beragam.
D. Kumarasamy bersama M.U. Phoa Krishnaputra
49Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha48 Deli Hindu Sabha
Setelah berumah tangga, Kumarasamy tetap terus aktif dalam
kegiatan pemuda di lingkungannya. Panggilan 'Anna' yang melekat
pada dirinya menjadikannya akrab dengan umumnya orang-orang
lebih muda dari padanya, yang sangat menghormatinya. Anna
memang merasa sangat berkepentingan menjaga hubungan dengan
para pemuda ia sangat menyadari bahwa kunci pembinaan suatu
kelompok masyarakat dimulai dari para pemuda.
Para pemuda adalah kelompok usia yang sangat potensial untuk
melakukan perubahan-perubahan. Sesuai dengan usianya kelompok
ini selalu bersikap lebih terbuka dan penuh energi untuk melakukan
aktivitas. Para pemuda inilah yang pada saatnya akan segera
mengambil alih peran dalam mewarnai dan menentukan tertib sosial
yang akan datang. Dapat dikatakan bagaimana masa depan sebuah
komunitas dapat dilihat dari kondisi para pemuda yang ada sekarang.
Itulah salah satu pertimbangan D. Kumarasamy untuk berada dalam
lingkungan pemuda.
D.Kumarasamy bukan sekedar mempunyai gagasan, tetapi ia juga
mempunyai metode atau cara untuk merangkul para pemuda dan
menggerakkan ke arah gagasan yang dipikirkannya. Inilah kemampuan
yang ada pada dirinya. Dia tahu apa yang disukai oleh kalangan remaja
atau pemuda. Kalau tahu apa yang disukai oleh orang lain, tentunya
kita tak perlu bersusah payah untuk menghimpun mereka. Hal yang
dilakukan oleh Kumarasamy adalah membuat berbagai perkumpulan
yang berbasis pada minat yang ada di kalangan anak-anak muda.
Pada tahun 1929, setahun setelah Anna berumah tangga Anna
membuat 'English Literary Club' (perkumpulan yang bergerak di
Peran D. Kumarasamydalam Deli Hindu Sabha
5
50 51Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
dikoordinirnya yang bernaung di bawah Deli Hindu Shaba. Dengan
berbagai aktifitas ini menyebabkan D. Kumarasamy semakin menjadi
pusat perhatian masyarakat etnis Tamil dan warga masyarakat India
yang ada di kota medan. Kumarasamy memang pantas menerimanya,
karena ia telah berbuat banyak di tengah masyarakatnya.
Ketika D. Kumarasamy telah berusia 25 tahun pada tahun 1931, ia
resmi diangkat menjadi Ketua Deli Hindu Shaba. Pemilihannya sebagai
ketua, merupakan keputusan yang sangat tepat bagi perkumpulan itu
dan komunitas etnis Tamil umumnya. Kalaupun selama ini Anna juga
tercatat sebagai anggota, namun kedudukan itu tidak memberikannya
mandat yang penuh untuk melakukan segala bentuk kegiatan yang
memajukan perkumpulan atau membawa perubahan.
Hingga saat sebelum ia menjadi ketua, kegiatan Deli Hindu Shaba
terasa tidak bergairah, karena tidak ada tokoh yang benar-benar dapat
mengantisipasi perkembangan dan perubahan zamannya. Denga
mandat yang diterima, D. Kumarasamy mempunyai kesempatan
untuk berbuat lebih banyak melalui Deli Hindu Shaba (DHS),
karena ia mempunyai wewenang sebagai pemimpin dan mempunyai
wadah organisasi sebagai sarana mewujudkan pembaharuan yang
digagasnyanya.
D. Kumarasamy benar-benar tahu apa yang harus dibuatnya.
Wewenang dan wadah organisasi itu kini berada di tangannya.
Tantangan yang tengah dihadapi adalah seberapa jauh ia mampu
menggerakkan anggotanya sesuai gagasan pembaharuannya
itu. Pertama-tama yang dilakukan oleh D. Kumarasamy adalah
membenahi organisasi Deli Hindu Shaba sebagai organisasi yang
modern. Anna membuat anggaran dasar dan aturan-aturan lainnya
agar dapat menjadi pedoman kerja bagi pengurus maupun anggota-
anggota pendukungnya. Kemudia Anna menyusun program-program
kerja dan menyiapkan mekanisme administrasi sesuai kebutuhan.
Programnya itu meliputi bidang-bidang pendidikan, keagamaan,
sosial, budaya, dan ekonomi. Dari semua program yang direncanakan,
kalangan pemuda dan remaja amerupakan sasaran yang paling
diutamakan.
Pada tahun pertama D. Kumarasamy menjadi pengurus Deli
Hindu Shaba, ia membangun sistem pengorganisasian pemuda
dengan membuat seksi-seksi sesuai dengan kegiatan-kegiatan yang
mereka rencanakan. Di antara kegiatan yang dibentuknya itu adalah,
bidang kesusastraan Inggris), perkumpulan sepakbola dan seni drama
yang pada waktu itu lebih populer disebut 'Perkumpulan Tonil', dan
cabang-cabang kesenian lainnya. Perkumpulan-perkumpulan ini
tidak hanya terbatas diikuti kaum pria saja, tetapi juga terbuka pada
kaum wanita.
Berbagai bidang kegiatan dalam perkumpulan-perkumpulan
yang dibentuknya untuk pertama kali dalam komunitas etnis Tamil
semua memperoleh sambutan yang sangat antusias. Tidak saja oleh
kaum remaja dan pemuda, tetapi juga oleh kelompok orang tua. Bagi
orang tua yang memiliki anak-anak remaja tentunya percaya bahwa
dengan memasuki perkumpulan itu mereka merasa terbantu untuk
mendidik anak-anaknya. Mereka sudah mengenal D. Kumarasamy
sebagai seorang tokoh yang baik dan akan mengarahkan para pemuda
dan remaja ke arah yang baik.
Bagi D. Kumarasamy, untuk menggerakkan perkumpulan-
perkumpulan ini bukanlah hal yang sulit. Ia mempunyai modal
kemampuan disetiap cabang perkumpulan yang dibentuknya, baik
di bidang ilmu pengetahuan kesusastraan, bidang olahraga, maupun
di bidang kesenian. Oleh karena itu dalam memberikan pengarahan
kepada anggota perkumpulannya, ia tidak hanya memberikan teori-
teori, tetapi juga mempraktekkannya secara nyata. Anna mampu
membuat syair-syair, mampu memainkan instrumen musik, dan ia
juga mampu bermain bola dengan baik. Sejak masa kanak-kanak
ia telah terbiasa membaca syair kesusastraan seperti Thirukural,
Ramayana dan Mahabarata untuk syair keagamaan, dan juga literatur
kesusastraan Inggris sehingga ia pun mampu mengubah lirik-
lirik kesusastraan lainnya. Kemampuannya memainkan alat musik
harmonium, menyebabkan Anna mudah memahami alat-alat musik
lainnya dan kemudian membuat aransemen secara terpadu dan
harmonis. Demikian pula pada bidang lainnya bakat dan kemampuan
Kumarasamy cukup memadai untuk mengembangkan kesenian.
Masih pada tahun yag sama, kelompok sandiwara mereka telah
mementaskan sebuah naskah yang ditulisnya sendiri dengan judul
'Shakuntala'. Melalui pementasan itu Anna mencoba menyampaikan
pesan-pesan moralnya.
Untuk membangkitkan rasa harga diri etnis Tamil dan warga India
yang ada di kota Medan pada umumnya, organisasi kepemudaan yang
dikoordinirnya mengguakan identitas India. Banyak pula kegiatan yang
52 53Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
seksi olahraga dalam cabang bulu tangkis, tenis meja, hockey, dan
sarana body building. Dalam seksi kesenian terdapat cabang drama
atau tonil dan musik. Menurut D. Kumarasamy, cabang-cabang
olahraga dalam kesenian inilah yang paling menimbulkan minat para
pemuda untuk ikut dalam organisasi Deli Hindu Shaba. Tetapi ia juga
mengharapkan setelah para pemuda tertarik pada bidang olahraga
dan seni, mereka juga mempunyai perhatian di bidang keagamaan.
Harapan ini dimungkinkan dapat dicapai karena naskah-naskah
drama yang ia buat diambil dari kisah-kisah keagamaan.
Untuk merekrut para remaja putri terlibat dalam Deli Hindu
Shaba ia juga membentuk Seksi Keputrian yang bernama “Mother
Paguthi”. Kalau pada waktu sebelumnya para remaja putri Tamil
maupun para ibu mereka lebih banyak hanya berada di rumah dan
bersikap pasif, melalui organisasi ini mereka diharapkan berperan
lebih aktif di tengah masyarakatnya. Kepercayaan diri para wanita di
tengah keluarga dan masyarakatnya sangat penting bagi pembangunan
generasi penerus dan masyarakat pada umumnya, sebagaimana yang
pernah dialami D. Kumarasamy dalam kehidupannya.
Masih dalam tahun pertama Anna memimpin Deli Hindu Shaba,
kantor sekretariat organisasi dipindahkan dari tempat yang lama di
jalan Darat (Achterweq) ke tempat yang baru di jalan Calcuta. Sarana
perlengkapan di kantor yang baru ini memang lebih baik keadaanya.
Dana dan fasilitas kantor ini diperoleh tak terlepas dari bantuan dan
kepercayaan teman-teman D. Kumarasamy, di antaranya adalah dua
bersaudara yang bernama Delip Singh dan Inder Singh yang taraf
ekonominya cukup baik.
Menurut D. Kumarasamy fondasi utama untuk membangun suatu
kelompok masyarakat, adalah membina intelektual dan moralnya.
Oleh karena itu pada tahap awal menjadi pimpinan Deli Hindu Shaba,
kegiatan-kegiatan dalam bidang pendidikan dijalankannya dengan
lebih serius.
Sesuai dengan kondisi yang ada pada waktu itu, lembaga Deli
Hindu Shaba menyelenggarakan pendidikan tingkat anak-anak secara
berkala yaitu pada setiap hari Minggu, pagi jam 9.00 sampai dengan
jam 11.00 siang. Tekanan yang utama dalam pengajaran yang diberikan
adalah tentang budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk ini
D. Kumarasamy bertindak langsung untuk menjadi gurunya. Untuk
mereka yang telah dewasa, juga diberikan pendidikan secara berkala
yaitu setiap sore hari Selasa dan Kamis atau dua kali seminggu, dengan
pengajaran yang diberikan adalah masalah keagamaan atau aspek-
aspek ketuhanan. D. Kumarasamy sebagai tenaga pengajar untuk
aktifitas pendidikan di kalangan dewasa.
Dalam penyelenggaraan pendidikan ini, bahasa pengantar yang
dipergunakan adalah bahasa Tamil. Memang sasaran yang utama
dari pendidikan ini adalah kalangan etnis Tamil. Pada waktu itu pada
masyarakat etnis Tamil yang ekonominya rendah masih sangat sulit
untuk dapat mengecap pendidikan di sekolah-sekolah umum, baik
yang ditangani pemerintah maupun swasta. Hanya beberapa orang
saja yang dapat memperoleh kesempatan memasuki sekolah-sekolah
tersebut.Karena itulah, perhatian D. Kumarasamy melalui Deli Hindu
Shaba lebih tertuju pada masyarakat etnis Tamil.
Dalam aktivitas belajar yang diselenggarakan di Deli Hindhu
Shaba itu pula, di samping bahasa Tamil yang dipergunakan sebagai
bahasa pengantar, D. Kumarasamy juga memberikan pengajaran
membaca dan menulis dalam bahasa ini. Masih sangat banyak di antara
orang Tamil yang tidak mampu membaca maupun menulis dalam
bahasa dan aksara Tamil. D. Kumarasamy mempunyai pertimbangan,
dengan kemampuan membaca dan menulis bahasa Tamil, akan lebih
mudah baginya mengembangkan pendidikan. Bila kemampuan itu
sudah dimiliki oleh sebahagian besar masyarakat etnis Tamil, maka
ia dapat menerbitkan brosur-brosur atau majalah-majalah yang
memuat pesan-pesan. Dan lebih jauh lagi diharapkan pada akhirnya
masyarakat etnis Tamil ini dapat belajar sendiri melalui kitab-kitab
keagamaan maupun buku-buku lainnya.
Pada tahun1932, atau pada tahun ke-2 Kumarasamy duduk
sebagai pimpinan Deli Hindu Shaba, ia menerbitkan sebuah buku yang
berjudul Mathubana Wilakkam. Isi buku itu menguraikan bagaimana
jahatnya pengaruh minuman keras baik secara fisik maupun mental.
Hal yang lebih mengenaskan lagi, akibat buruk yang di timbulkan
dari minuman keras itu, tidak saja terhadap pribadi si peminum,
tetapi juga bagi keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Dalam buku
tersebut D. Kumarasamy mencoba menjelaskan minuman keras baik
dari sudut pandangan ilmiah maupun dari sudut keagamaan. Ide
penulisan tentunya tidak terlepas dari kenyataan yang ada, terutama
di kalangan masyarakat etnis Tamil yang masih banyak diantara
pemudanya yang menjadi 'peminum'.
54 55Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
Foto kegiatan seksi kesenian
Kehadiran D. Kumarasamy sebagai pemimpin Deli Hindu Shaba,
telah mendorongnya untuk lebih banyak berbuat. Kalau sebelumnya
ia hanya lebih banyak merenungkan dan prihatin pada kenyataan
lingkungan kehidupan masyarakat etnis Tamil saat itu, maka dengan
mandat yang ada padanya sekarang ia mempunyai banyak kesempatan
untuk mulai merintis berbagai perubahan. Dengan berbuat sesuai
dengan gagasan dan keyakinannya itu, ia percaya dengan demikian
mulai menyemaikan bibit-bibit kebajikan yang kelak akan dituai
oleh masyarakat itu sendiri. Tahun demi tahun, D. Kumarasamy
menerapkan berbagai langkah mewujudkan program-programnya.
D. Kumarasamy selalu berpandangan bahwa “kunci utama” untuk
membangun suatu kelompok masyarakat yang terletak pada sikap
dan mental masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, sudah menjadi
aksioma baginya, bahwa pendidikan merupakan alat yang paling
mujarab untuk membangunkan masyarakat etnis Tamil yang ada di
kawasan ini. Karena rendahnya tingkat pendidikan mereka selama
ini, menyebabkan kesengsaraan dan rendahnya moral. Hal ini tentu
tak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Untuk membina pendidikan suatu masyarakat, tidak bisa hanya
membutuhkan pengajaran melalui pidato-pidato. Mengubah pola
kehidupan membutuhkan suatu proses dan tindakan konkrit yang
mendukung dalam suasana yang mendidik. Oleh karena itu, dalam
upaya membangun pendidikan di kalangan etnis Tamil, perlu
dibangun sekolah-sekolah.
Tahun 1932, D. Kumarasamy melalui lembaga Deli Hindu Shaba
yang dimpimpinnya mulai mendirikan sekolah-sekolah di kawasan
kota Medan dan Binjai. Sekolah-sekolah yang didirikannya ini
memang di khususkan untuk masyarakat etnis Tamil yang kondisi
pada waktu itu sangat membutuhkan tetapi mereka pada umumnya
masih sulit untuk memasuki sekolah yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta.
Selain bahasa Tamil, yang menjadi tekanan kurikulum dalam
sekolah tersebut adalah bahasa Inggris. D. Kumarasamy sudah dapat
melihat dan meramalkan betapa besarnya peranan bahasa Inggris
dalam menopang kehidupan pada masa yang akan datang, baik
dalam lapangan pekerjaan maupun dalam mengembangkan wawasan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Mau tidak mau, beliau berpikir untuk
menjawab situasi yang akan datang itu, pendidikan untuk masyarakat
56 57Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
etnis Tamil harus siap membekali dan membenahi diri untuk
menjawab kebutuhan masa depan.
Sekolah-sekolah yang didirikan dalam tingkat Sekolah Dasar
yang dalam bahasa Tamil disebut 'Padasalai'. Pada tahap awal,
sekolah-sekolah itu berdiri berdampingan atau terletak di halaman
kuil Sri Mariamman, baik yang ada di kota Medan maupun yang di
kota Binjai.
Dalam menopang aktivitas pendidikan yang dirintis utuk
meningkatkan minat baca, wawasan dan pengetahuan masyarakat
etnis Tamil, perpustakaan merupakan sarana yang sangat penting.
Perpustakaan menyediakan berbagai informasi dan materi-materi
terkait kurikulum pendidikan maupun informasi pendukung
yang memperkaya wawasan para penggunanya. Oleh karena itu
penyelenggara sekolah juga mendorong warga sekolah untuk
memanfaatkan fasilitas tersebut, supaya kemahiran membaca makin
meningkat yang selanjutnya dapat memupuk rasa ingin tahu yang
dapat mengembangkan daya nalar dan tingkat intelektualitas warga
sekolah.
D. Kumarasamy berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi
kebutuhan akan sarana-prasarana pendidika formal berupa sekolah-
sekolah atau Padasasalai di pusat-pusat komunitas masyarakat etnis
Tamil.
Pada tahun 1935, telah berdiri Padasalai I yang terletak Achurweq
(jalan Iskandar Muda sekarang). Kemudian pada tahun 1937, berdiri
pula Padasalai lainnya di daerah-daerah pemukiman etnis Tamil
yang ada di kota Medan, di antaranya Padasalai di jalan Yuliana Straat
(jalan Asia sekarang). Padasalai di jalan Colombo dan Padasalai di
kawasan Kampung Sukaraja Medan (dekat Istana Sultan Maimoon).
Para guru atau tenaga pengajar Padasalai-padasalai ini diangkat
dari mereka yang telah mengenyam pendidikan. Para guru dan
penyelenggara sekolah yang diangkat pada umumnya memiliki
solidaritas sosial yang tinggi dan mereka bekerja bukan karena
mengharap honor atau materi. Oleh karena itu para siswa dari keluarga
yang kurang mampu dibebaskan dari kewajiban membayar uang
sekolah. Para guru yang pendapatannya berkecukupan dari sektor
yang lain, mereka ihlas tidak menerima gaji atau honor mengajar. D.
Kumarasamy sendiri selalu terjun mengajar di sekolah-sekolah itu
tanpa imbalan.
D. Kumarasamy juga berusaha mencari jalan keluar bagi warga
etnis Tamil yang telah dewasa namun belum dapat menulis dan
membaca aksara Tamil. Mengingat tingkat usia dan kesibukan mereka
tentu tidak mungkin bagi mereka untuk sekolah. Untuk mengatasi hal
hambatan itu D. Kumarasamy menerbitkan sebuah buku yang berisi
bagaimana metode belajar bahasa Tamil baik menurut aksara Tamil
maupun Latin. Buku tersebut berjudul Romanais Tamil diterbitkan
pada tahun 1937.
Kegiatan penting yang dirintis D. Kumarasamy dalaDi samping
itu, masih dalam kaitan bidang pendidikan melalui Deli Hindu Shaba
pada tahun 1937 membentuk “Indian Boys Scout” atau pramuka yang
kita kenal sekarang. Melalui wadah pramuka ini D.Kumarasamy
ingin mengajak para remaja bangsa India termasuk etnis Tamil agar
dapat lebih akrab dan terampil di tengah masyarakat. Beliau juga ikut
sebagai pembina Pramuka.
Dalam kegiatan kepramukaan itu sangat banyak unsur pendidikan
yang dapat ditanamkan kepada para pesertanya. Antara lain adalah:
disiplin, keterampilan, penanaman nilai-nilai kemanusiaan, dan yang
paling penting adalah rasa kepercayaan diri. Yang lebih mengasyikkan
bagi para remaja dalam mengikuti kegiatan pramuka itu adalah semua
pelajaran dalam latihan diperoleh lebih banyak melalui kegiatan yang
58 59Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
bersifat permainan, maka menjadi anggota Indian Boys Scout benar-
benar menjadi dambaan dan kebanggaan para remaja.
Bagi D. Kumarasamy kelompok usia remaja dan Pemuda
merupakan kelompok usia yang sangat penting untuk dibina ,
karena merekalah yang paling menentukan masa depan masyarakat.
Bagaimana memberi arahan sesuai dengan potensi mereka
merupakan sesuai yang sangat penting. Oleh karena itulah di dalam
aktivitas di bidang kepemudaan D. Kumarasamy menyiapkan
berbagai pendekatan dan variasi kegiatan. Selain itu berbagai sarana
penunjangn diupayakan terseida dengan menggalang dukungan
dari kalangan masyarakat yang mampu. Semua itu dilakukan untuk
menyiapkan kader intelektual dan pemimpin masa depan, khususnya
dari kelompok masyarakat terdekatnya.
Pada tahun 1933, D. Kumarasamy mengadakan perombakan
tradisi berkenaan dengan kedudukan seorang janda dalam
masyarakat etnis Tamil yang beragama Hindu. Dalam tradisi Hindu
yang berlangsung selama ini, seorang istri atau janda yang ditinggal
mati suaminya, tidak dibenarkan untuk mengikat tali perkawinan
yang baru secara resmi. Dengan kata lainnya, wanita janda itu tidak
berhak meresmikan perkawinan dengan pria lain. Bila mereka
masih ingin melakukannya, pernikahan kedua itu hanya diikat oleh
“perjanjian di bawah tangan” antara mereka berdua tanpa ikatan-
ikatan lainnya. Dalam ikatan pernikahan seperti ini posisi wanita
menjadi lemah, karena suaminya yang baru dapat saja melepaskan
atau menceraikannya lagi tanpa adanya sanksi-sanksi atau tanggung
jawab lainnya. Agar hal ini tidak terjadi lagi dan martabat wanita tetap
terjaga dan dihormati, maka D. Kumarasamy mengubah tradisi itu.
Secara resmi ia membolehkan seorang janda menikah lagi dengan
pria lainnya melalui upacara yang resmi.
Di samping memperbaharui status perkawinan janda. D.
Kumarasamy juga mengadakan pembenahan dalam bidang
keagamaan lainnya. Ia mengupayakan agar upacara perkawinan dapat
terselenggara lebih praktis dan efektif. Dari segi praktisnya, Anna tidak
ingin suatu keluarga atau pihak yang menyelenggarakan perkawinan
memaksa diri sampai harus berhutang agar pesta perkawinan terlihat
meriah dan mewah. Menurutnya, hal yang paling penting dalam
sebuah upacara pernikahan adalah bagaimana agar kedua pengantin
yang baru diikat dengan tali perkawinan, dapat membina rumah
tangganya dengan langgeng dan dapat melanjutkan kehidupan secara
lebih baik. Apalah artinya kemeriahan dalam suatu pesta perkawinan
bila sesudahnya kelurga penyelegara akan ditimpa beban menanggung
hutang. D. Kumarasamy bahkan bertindak sebagai pendeta untuk
melaksanakan upacara perkawinan M Siniwasen yang dilaksanakan
secara modern.
Kalau pada waktu sebelumnya, setiap penyumbang dana di
dalam perkawinan harus diumumkan nama dan jumlah dana yang
disumbangkan di depan umum, maka hal itu pun dihapuskan oleh
D. Kumarasamy. Menurut D. Kumarasamy cara tersebut tidak saja
merangsang jumlah sumbangan bagi mereka yang berkemampuan
tetapi sebaliknya dapat menjatuhkan harga diri mereka yang kurang
mampu untuk memberikan sumbangan yang lebih. D. Kumarasamy
mengharapkan agar bentuk sumbangan-sumbangan itu dapat
direalisasikan secara lebih spontan dan ikhlas, tanpa didorong oleh
oleh pamrih membangun pecitraan sebagai orang yang berberharta.
Demikian pula dalam penyelenggaraan upacara perkawinan baik
yang bersifat ritual dan tradisional. D. Kumarasamy menekankan
agar setiap ritual upacara perkawinan hendaknya tidak dilaksanakan
sekedar sebagai rutinitas, tanpa menghayati makna yang terkandung
dalam upacara tersebut. Sebuah perkawinan bukan hanya harus
dibekali doa-doa seorang pendeta. Akan tetapi tentu akan lebih baik
bila para pendeta atau yang memimpin ritual tersebut menjelaskan
kepada pengantin dan pengunjung lainnya, apa arti sebuah perkawinan,
bagaimana agar dapat membangun keluarga, dan tujuan kehidupan
melalui sebuah perkawinan. Dalam upacara yang tradisional, masalah
ini hanya mengendap dalam bentuk simbol-simbol. Karena hanya
disikapi sebagai rutinitas itu, mereka yang terlibat di dalamnya tidak
menyadari apa arti simbol yang ada. Bagi D. Kumarasamy, simbol-
simbol itu perlu dijelaskan maknanya walaupun harus mengubah
pola tradisioal yang berlaku.
D. Kumarasamy juga melihat bahwa di dalam upacara kematian
pun banyak hal yang sesungguhnya tidak praktis. Misalnya ketika
mengantarkan mayat ke tempat kremasi. Sudah menjadi tradisi ketika
itu, mayat diusung beramai-ramai dengan berjalan kaki walaupun
harus menempuh jarak yang jauh. Melalui mandat dan kelembagaan
yang dipimpinnya, ia memberikan cara yang lebih praktis, yaitu
membuat kereta-kereta yang ditarik oleh kuda. Kereta mayat itu
60 61Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
dibuat sedemikian rupa dengan ukiran-ukiran ornamen Hindu dan
di atasnya diberi penutup sehingga terlihat lebih mengesankan. Di
sisi kiri dan kanannya terpasang lingkaran roda yang memudahkan
kuda untuk menghelanya. Para pengantar berjalan dengan mudah di
belakang kereta tersebut. Kereta itu menjadi barang inventaris Deli
Hindu Shaba dan dapat dipakai oleh siapa saja yang memerlukannya.
Upacara-upacara lainnya seperti kenduri untuk mendoakan arwah
orang yang telah meniggal juga disederhanakan oleh D. Kumarasamy.
Bagi pihak keluarga yang meyelenggarakan acara, dianjurkan untuk
tidak melakukannya secara berlebih-lebihan atau berulang-ulang
sehingga terlihat bagai memaksakan diri dan mengeluarkan terlalu
banyak biaya.
Bagi mereka yang selama ini merasa mapan dengan kehidupan
tradisi yang lama, apa yang dilakukan oleh D. Kumarasamy
merupakan sesuatu yang tidak mudah diterima. Apalagi bagi mereka
yang berpandanagan bahwa tradisi sudah merupakan bagian tatanan
kehidupan yang disakralkan, maka perombakan tradisi dianggap
dapat menimbulkan konflik. Namun bagi mereka yang telah berhasil
mengembangkan intelektualnya akan semakin mampu mengambil
jarak dan berfikir rasional atas pelaksanaan tradisi tersebut. Bersama
perkembangan intelektualnya itu wawasan kehidupannya juga
bertambah luas dan peka terhadap hal-hal yang lebih esensial yang
lebih penting dari pada yang bersifat instrumental. Oleh karena itu,
sesuai dengan proses perkembangan intelektual etnis Tamil yang ada,
gagasan-gagasan D. Kumarasamy semakin mudah diterima di tengah
masyarakat. Misi dan gagasan D. Kumarasamy terus berjalan melalui
langkah-langkah pembaharuan yang ditempuhnya.
Untuk menopang sarana pendidikan yang telah dibangunnya,
pada tahun 1934, D. Kumarasamy mendirikan perpustakaan di kantor
Deli Hindu Shaba. Buku-buku yang ada di perpustakaan itu bukan
hanya yang bersifat keagamaan tetapi juga yang bersifat pengetahuan
umum lainnya, baik yang ditulis dalam bahasa Tamil maupun Inggris.
Perpustakaan itu diharapkan dapat dimanfaatkan bukan hanya bagi
mereka yang sedang melakukan pendidikan formal tetapi juga bagi
mereka yang mau belajar sendiri (autodidak).
Sejalan dengan perkembangan minat membaca dari masyarakat
etnis Tamil yang ada, D. Kumarasamy mulai aktif melakukan
koresponden ke lembaga-lembaga yang ada terutama dari kawasan
62 63Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
Semenanjung Malaya (Malaysia) dan India agar dapat memperoleh
sumbangan buku-buku. Sebagai seorang kerani di perusahaan asing
Harrison Medan yang bergaji lumayan baik, ia pun tak segan-segan
membeli buku dan menyumbangkannya ke perpustakaan. Bahkan
untuk memperkaya khasanah bacaan di perpustakaan itu ia juga
menerbitkan buletin dan buku-buku karyanya sendiri.
Di antara buku-buku dan buletin yang ditulisnya dan yang
diterbitkan pada tahun 1936 adalah berjudul Walkai Wilakam
(pedoman hidup) yang ditulis dalam bahasa Tamil. Melalui buku
tersebut D. Kumarasamy ingin menyampaikan betapa kosongnya
kehidupan seseorang bila tidak diiringi falsafah kehidupan.
Kehadiran seseorang di dalam hidup harus diberi arti agar orang lain
atau makhluk lainnya dapat merasakan manfaat kehadiranya dalam
kehidupan. Untuk itu D. Kumarasamy juga mengajarkan bagaimana
seseorang berprilaku agar sesuai dengan pedoman hidupan. Hidup
dan kehidupan adalah sebuah proses reinkarnasi untuk menuju
tempat yang abadi.
Masih pada tahun 1936, D. Kumarasamy juga menerbitkan buku
yang ditulisnya dengan judul “Di kaki Guru Sejati (Guru Upadhesam)”
dalam bahasa Tamil. Dalam bukunya ini D. Kumarasamy juga
menyampaikan, betapa sesungguhnya setiap orang membutuhkan
seorang pembimbing dalam proses kehidupannya. Betapa pun pandai
dan brilliannya seseorang, ia tak mampu mencari sendiri tanpa melalui
pembimbing pengalaman. Guru sejati ada di dalam pengalaman, baik
pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Untuk menjadi
seorang guru, seseorang bukan hanya dituntut mampu memberikan
wejangan, yang paling penting pada diri seorang guru ia harus mampu
memberikan keteladanan melalui prilaku kehidupannya sehari-hari.
'Di kaki guru yang sejati' inilah para murid dan pengikutnya patut
bersimpuh.
Agar seseorang di dalam kehidupan tidak terjebak pada hal yang
sia-sia, maka seseorang harus melakukan pantangan-pantangan yang
akan menjagai jiwa dan raganya. Di antara pantangan yang sangat
fatal itu adalah alkohol. Oleh karena itu lembaga yang dibinanya
juga menerbitkan buku yang berjudul Madhubana Wilakam
(Pemberantasan alkohol) pada tahun1936 dalam bahasa Tamil.
Dalam buku ini secara mendetail D. Kumarasamy mengupas
bagaimana zat yang ada dalam alkohol atau minuman-minuman
keras lainnya yang mengalir ke dalam pembuluh-pembuluh darah
mempengaruhi kerja syaraf. Jaringan syaraf yang terpengaruh alkohol
membuat si pelaku kurang dapat menguasai diri, berbuat apa saja tanpa
rasa takut dan malu. Orang yang mabuk akibat minum-minuman
keras mudah tersulut emosi untuk berkelahi dan melakukan tindakan
kriminal lainnya. Hal ini tentu saja akan mendatangkan petaka, tidak
saja terhadap dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Diuraikan
pula dalam buku tersebut bagaimana alkohol yang diminum terus-
menerus selain merusak mental, juga akan menggerogoti fisik si
peminum. Kerusakan fisik akibat mengkonsumsi alkohol dapat berupa
kelemahan pada jaringan syaraf, organ lambung serta organ hati yang
membengkak dan dapat pula terjadi peradangan. Dapat disimpulkan
bahwa akibat memimum alkohol, tidak saja akan membunuh si
peminumnya sendiri tetapi juga membuat petaka di tengah keluarga
dan lingkungannya.
Masih pada tahun 1937, D.Kumarasamy mendirikan perkumpulan
olahraga dalam wadah Deli Hindu Shaba. Cabang olahraga yang
dibinanya lebih banyak bersifat permainan yang dilakukan secara
berkelompok. Di antara perkumpulan olah raga yang paling menojol
“Tamilian Hockey Team”.22 Masih banyak cabang-cabang olahraga
lainnya yang dibentuk oleh D. Kumarasamy sebagai bahagian dari
kegiatan Deli Hindu Shaba. Melalui perkumpulan-perkumpulan
olahraga tersebut D. Kumarasamy telah berhasil membina rasa
persatuan dan kesatuan etnis Tamil di tengah-tengah kelompok
masyarakat lainnya yang ada di kota Medan.
Banyak lagi bentuk kegiatan yang dibuat D. Kumarasamy selama
ia menjadi pemimpin Deli Hindu Shaba. Selain kegiata yang bertujuan
membagun mentalitas, manusia juga membutuhkan penguatan
dalam hal material untuk bekasl kehidupannya. Kedua aspek itu harus
berjalan seiring, tetapi keberhasilan harus didahului oleh persiapan
mental.
Di bidang sosial dan ekonomi ia juga berupaya melakukan
berbagai terubosan. Salah satu bentuk upaya yang dilakukannya
adalah pada tahun 1937 ia mendirikan Serikat Koperasi dan Serikat
Tolong Menolong pada tahun yang sama. Bentuk koperasi itu
22 Sampai tahun 1997 Group Hockey Sumatera Utara, masih didominasi oleh pemain-pemain yang berasal dari etnis Tamil.
64 65Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
merupakan salah satu upaya menghimpun dana yang ada pada
angotanya untuk dikembangkan secara bersama-sama agar dapat
bersaing di tengah pasar bebas perdagangan saat itu. Secara pribadi-
pribadi pada umumnya masyarakat etnis tamil belum mampu untuk
bersaing secara bebas dalam perdagangan. Satu-satunya cara untuk
mengawali kepemilikan etnis Tamil adalah secara koperasi.
Dari keuntungan dana koperasi yang terkumpul ini kemudian
disalurkan atau dikembangkan lagi melalui Serikat Tolong Menolong
(STM). Kegiatan STM ini bukan hanya untuk memberikan pertolongan
bagi mereka yang mendapat musibah, tetapi juga dapat diberikan
kepada mereka yang memerlukan modal usaha. Inilah satu bentuk
kegiatan ekonomi dan sosial yang sangat strategis yang dilakukan D.
Kumarasamy untuk mengangkat kehidupan masyarakat etnis Tamil
yang ada di kota Medan dan sekitarnya.
Lembaga Deli Hindu Shaba yang dipimpin oleh D. Kumarasamy
sejak tahun 1931 memang berdasarkan keagamaan Hindu. Akan
tetapi di sepak terjangnya telah melampaui batasan satu kelompok
saja. Ia sangat memperhatikan kehidupan masyarakat etnis Tamil
dan juga etnis dari India lainnya, baik yang beragama Hindu maupun
Indian Boys Scout tahun 1957 di Medan
Buddha. Rupanya D. Kumarasamay selalu lebih memperhatikan
kelompok yang hidupnya lebih susah dari yang lain, khsususnya di
kalangan etnis Tamil. D. Kumarasamy tidak membedakan antara
mereka yang beragama Hindu dan Budha. Yang terpenting baginya
adalah bagaimana kelompok yang sengsara ini dapat terangkat taraf
kehidupannya menjadi lebih baik. Mereka tidak selamanya menjadi
objek dalam kehidupan ini, tetapi mereka juga harus menjadi subjek
di dalam mengharungi kehidupannya.
Perhatian D. Kumarasamy pun tercurah pada mereka yang
beragama Budha. Oleh katena itu kelompok etnis Tamil yang
beragama Budha juga merasakan arti keberadaanya. Mereka selalu
mendapat bimbingan-bimbingan. Mereka yang datang kepada D.
Kumarasamy, atau sebaliknya D. Kumarasamy sendiri menemui
mereka. Perhatiannya yang besar terhadap masyarakat etnis Tamil
lebih banyak disebabkan karena kelompok inilah yang sangat
menderita dan membutuhkannya.
D. Kumarasamy yang sejak awal dididik dalam Hinduisme, dalam
proses pencarian tentang makna kehidupan dan kebenaran hakiki,
telah bertemu dengan Theosophisme yang di dalamnya membicarakan
hakikat keagamaan tanpa dibatasi oleh atribut dan simbol-simbol
agama. Nalar Theosophynya telah menuntunnya menembus sekat-
sekat pengelompokan keagamaan, demikian pula pengabdiannya.
Masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan kota Medan dan
sekitarnya benar-benar merasakan arti kehadiran D. Kumarasamy.
Ia telah memberikan inspirasi dan semangat bagi mereka dengan
berbagai cara dan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu pada
tahun 1938, masyarakat etnis Tamil pada umumnya yang ada di
kawasan ini telah memberikan penghargaan kepada D. Kumarasamy
dalam suatu upacara yang khusus. Upacara itu dilakukan di kantor
Deli Hindu Shaba yang ketika itu beralamat di jalan Darat Medan.
Inisiatif pemberian penghargaan itu bukan saja berasal dari
kelompok pemudanya, tetapi juga dari tokoh-tokoh kaum tuanya
dengan penuh kesadaran, karena mereka benar-benar melihat dan
merasakan hasil yang telah dibuat D. Kumarasamy selama ini. Setelah
dilakukan berbagai bentuk acara yang bersifat protokoler, mereka
melanjutkan acara dengan foto bersama tokoh-tokoh yang hadir
untuk mengabadikan peristiwa itu. Ini salah satu puncak kenangan
bagi mereka yang memuliakan D. Kumarasamy di tengah-tengah
66 67Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
kehidupan mereka.
Apa yang dilakukan D. Kumarasamy sejak ia menerima
penghargaan itu? Kalaupun ia merasa puas bukanlah berarti karena
merasa telah banyak berbuat atau merasa telah berhasil. Akan tetapi
ia merasa puas karena telah berhasil membuka mata hati dan pikiran
masyarakat etnis Tamil sehingga mereka merespon perjuangannya.
Sebaliknya D. Kumarasamy sendiri berpikir bahwa apa yang telah
diperbuatnya hingga hari itu merupakan tahap awal dari perjuangan
dan pengabdiannya. Ia yang selalu dipanggil Anna merasa akan
menghadapi tantangan yang lebih besar dengan adanya penghargaan
itu. Baginya penghargaan adalah suatu kepercayaan yang diberikan
tidak lain merupakan amanah yang harus dipikulnya.
Pada saat itu D. Kumarasamy telah berusia 32 tahun, dan sebagai
seorang kepala keluarga di rumah tangganya ia telah mempunyai dua
orang anak, seorang putri yang bernama Sakuntala, dan seorang putra
yang bernama Nyana Perkas.
Di tengah-tengah keluarganya, ia harus bertanggung jawab,
tidak saja sebagai seorang suami, tetapi juga sebagai seorang ayah.
Di samping itu, sebagai seorang pemimpin di tengah kelompoknya
ia juga harus bertanggung jawab. Tanggung jawab itu bukan saja
membutuhkan kekuatan semangat dalam dirinya, tetapi juga
membutuhkan dukungan dari lingkungannya.
Lingkungannya yang terdekat adalah keluarga dan seorang istrilah
yang berperan untuk mendampinginya dalam keluh dan kesah maupun
dalam suka dan duka. Dorongan seorang istri terhadap suami bukanlah
berarti ia harus mampu memberikan ide dan gagasan bagi suaminya,
akan tetapi tidak kalah pentingnya adalah memberikan peluang dan
kenyamanan pada suami untuk dapat mewujudkan gagasan-gagasan
yang cemerlang. Seorang suami sangatlah membutuhkan respon dari
istri agar ia dapat lebih bersemangat untuk berbuat.
Resiko sebagai seorang pemimpin di tengah kelompoknya,
Anna bukan saja sebagai 'milik' keluarga, tetapi ia juga sebagai milik
masyarakat yang dipimpinnya. Terlebih-lebih bila Anna menjadi
pimpinan organisasi yang bersifat sosial, harus bersedia memberikan
pengorbanan. Pengorbanan itu bukan saja dari dirinya sendiri, tetapi
juga dari keluarganya baik yang bersifat material maupun moril. Hal
inilah yang tampakya kurang disadari oleh istri D. Kumarasamy dalam
kehidupannya sebagai istri.
A U M
Yth. ANNA D. Kumarasamy
Ketua Deli Hindu Sabha (D.H.S) Medan
“Berkah Tuhan, berlimpah di mana–mana. Pada HUT
ke XXV D.H.S. ini, kami persembahkan piagam penghargaan,
atas nama anggota–anggota & pengurus-pengurus Anna yang
mulia serta berbudi luhur, takwa kepada Tuhan yang maha
esa, cinta kasih, berbudi pekerti, rendah hati, kasih sayang,
sopan santun, toleransi, persaudaraan, tuturan kata–kata
yang lembut, sifat–sifat terbaik ini membuktikan di kalbu anda
dalam usia muda ini. Teristimewa kami dan Ibu/Bapak anda,
serta masyarakat Tamil yang berdomisili di Sumatra dan di
Indonesia pada umumnya merasa bangga atas prestasi anda.
“TAMPILLAH DENGAN WAJAH KEBIJAKSANAAN”
Demikianlah berkah yang anda peroleh, sesuai dengan
sabda Waluvur (seorang rohaniawan) “wahai putra idaman,
dimuliakan para cendikiawan, sangguplah kamu berkarya di
manapun”.
Anda lahir di negara Indonesia ini, umpama pepatah
“hasil panen dinilai dari daya tumbuh bibitnya,” kecerdasan,
penampilan, kewibawaan, tindak tanduk, kesederhanaan
menjadi contoh tauladan bagi siswa siswi dalam masyarakat.
Anda berpendidikan dan menguasai bahasa Inggris dan juga
bahasa Tamil dengan penuh keindahan dan mendidik pada
yang membutuhkan serta menjiwai kesenian dan sebagainya
adalah suatu anugrah dari Tuhan Yang Esa untuk anda, wahai
putra idaman. Demikianlah para cendikiawan menilai anda.
Di mana aktivitas Deli Hindu Sabha Medan hampir–hampir
tidak ada lagi di tahun 1933, di saat itu Anda tampil sebagai
pemimpin. Ibarat cahaya pelita kegelapan, membangkitkan
semangat baru sejak saat itu sampai hari ini. Dengan luapan
kasih sayang kami pada Mu, sebagai ketua, atas kepemimpinan
serta karya bakti anda kami persembahkan pengharggan/
68 69Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
Sebagai manusia biasa Anemal mempunyai kelebihan dan
kekurangannya. Ia telah memberikan segala yang dapat diberikannya
kepada suaminya. Namun ia bukanlah seorang dewi yang dapat
memberikan apa yang dibutuhkan oleh D. Kumarasamy terutama
penghormatan kami.
“PEMBINA CERDAS TAK KENAL LELAH”
Demi kehidupan dan kejayaan kebudayaan kita, berbagai
aktivitas diterapkan, seperti kelompok-kelompok sandiwara
(drama) dan kesenian dan kebathinan untuk mendalami
Dharma. Juga untuk kemajuan kaum wanita, persatuan
wanita diorganisir dan lain sebagainya, tanpa mengenal lelah,
sesuai dengan makna puisi tersebut, di atas. Anda bekerja
keras serta menghidupi SILA DHARMA dan demi kepentingan
masyarakat dengan menyampingkan kepentingan pribadi,
orang yang demikian dimuliakan di kalangan masyarakat,
ibarat pepatah Barathiyar ”jangan gentar walau dilanda
kesulitan dan penghinaan”.
Anda telah menjayakan Deli Hindu Sabha sesuai dengan
keinginan masyarakat dan mencetuskan suasana HUT ke
XXV D.H.S. Seperti pepatah tersebut di atas, kami hanya dapat
mengucapkan terima kasih dan berusaha untuk menghidupi
pedoman–pedoman yang anda berikan.
”Pembina Yang Kami Kasihi“
Dengan luapan cinta kasih terhadap anda, lukisan anda
kami rias di tengah–tengah ruangan ini.
“Saudara yang diliputi kasih bahagia”
Sambil memanjatkan DOA ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, agar anda panjang umur, sehat wal afiat dan dilimpahkan
segala kebahagiaan. Demikianlah salam cinta kasih kami,
wakil-wakil masyarakat D.H.S. Medan.
Medan,15 April 1938
dalam peranan suami itu sebagai pimpinan dalam masyarakat.
Sebagai seorang suami, D. Kumarasamy sendiri bukan tipe
seorang yang senang mencari-cari kelemahan istrinya. Namun sebagai
seorang tokoh pemimpin ia membutuhkan seorang pendamping
hidup yang lain agar dapat menjalankan misi kehudupannya. Oleh
karena itulah pada tahun 1938 Anna menikah lagi dengan seorang
wanita yang berasal dari keturunan India Utara. Wanita itu bernama
Pramesywari yang berasal dari keluarga pedagang dan beragama
Hindu. Sebagai keluarga pedagang mereka pernah tinggal di Calcutta
kemudian akhirnya menetap di semenanjung Malaya (Malaysia).
Sejak menikah dengan D. Kumarasamy ia pindah dan menetap di
kota Medan. Sebagai istri, Pramesywari bukanlah seorang dewi, tetapi
telah dapat mengisi apa yang dibutuhkan oleh D. Kumarasamy sebagai
suaminya dan sebagai tokoh pimpinan masyarakat. Dengan kata lain,
kehadiran Pramesywari sebagai istri D. Kumarasamy yang kedua,
telah melengkapi pendamping D. Kumarasamy di dalam aktivitasnya.
Sejak menjadi seorang suami dari dua orang wanita yang menjadi
istrinya, D. Kumarasamy tetap berupaya menjadi seorang ayah atau
suami yang bertanggung jawab, baik secara moral maupun material.
Ia tetap berupaya menjadi seorang kepala keluarga dan pimpinan
yang adil dan bijaksana di tengah keluarganya.
Memang, apa yang dilakukan oleh D. Kumarasamy dengan
beristri dua (poligami), masih merupakan suatu kejanggalan dalam
tradisi Tamil maupun Hindu. Akibatnya terjadi sikap pro dan
kontra di kalangan kelompok masyarakatnya. Akan tetapi hal itu
tidak ditanggapi oleh D. Kumarasamy dan ia tidak mau bersikap
konfrontatif dan tidak juga membela diri. Bagi D.Kumarasamy yang
perlu adalah bagaimana caranya agar ia tetap menjaga keutuhan
keluarga dan rumah tangganya. Sebagai seorang ayah dan suami di
tengah keluarganya ia akan membuktikan peranan dan eksistensinya
tetap utuh. Demikian pula dalam melaksanakan perjuangan di tengah
masyarakatnya.
Dari istri yang kedua, D. Kumarasamy memperoleh tiga orang
anak. Yang pertama seorang putri bernama Indra Kunari, yang kedua,
seorang putra yang diberi nama Kartigas dan yang ketiga seorang
putra yang dinamakannya Mohandas. Namun Kartigas usianya tidak
panjang, pada usia 13 tahun ia meninggal. Sejak itu D. Kumarasamy
menjadi ayah dari empat orang anak dari dua orang istri. Ia tetap
70 71Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu SabhaPeran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
menjaga keseimbangan dan memperhatikan perkembangan anak-
anaknya.
Bagaimanakah D. Kumarasamy menjaga keseimbangan untuk
menjadi seorang suami dari dua orang istrinya yang berlainan tempat
tinggal? Inilah hal yang paling sensetif dan menimbulkan sikap skeptis
sebagian orang. Ternyata hal itu dapat di atasi oleh D. Kumarasamy
sebagai seorang tokoh pemimpin. Hal yang patut mendapat
penghargaan adalah sikap dari kedua istrinya yang penuh kesabaran
menerima kenyataan itu. Mereka berdua tetap menunjukkan sikap
dan rasa hormat antara sesamanya dan membuang rasa kecemburuan
yang selalu menggoda. Saling menghargai adalah salah satu kunci
menumbuhkan sikap hormat. Inilah yang dilakukan oleh kedua istri
D. Kumarasamy. Dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu saling
kunjung-mengunjungi, bahkan mereka saling memperlakukan anak-
anak tirinya sebagai anak-anak kandung mereka sendiri.
Hubungan yang harmonis itu tercermin dari sikap anak-anak
mereka yang cukup manja terhadap ibu tirinya masing-masing.
Adakalanya salah seorang anak mereka bertingkah meminta dinina
bobokan oleh ibu tirinya atau di lain kesempatan salah seorang di
antara mereka hanya mau makan di rumah ibu tirinya bahkan sampai
minta disuapi. Inilah yang terjadi di kehidupan rumah tangga D.
Kumarasamy23. Kenyataan itu telah menutup peluang timbulnya sikap
skeptis dari sebagian di antara komunitas etnis Tamil yang sebelumnya
tidak setuju dengan perkawinan D. Kumarasamy yang kedua.
Yang lebih menarik lagi adalah, sikap mertua D. Kumarasamy
dari isteri yang pertama, yang tidak pernah menunjukkan sikap yang
apriori. Karena itu kharisma D. Kumarasamy sebagai tokoh pemimpin
di tengah kelompok masyarakat masih tetap eksis. D. Kumarasamy
terus melanjutkan perjuangannya terutama dalam upaya membangun
kehidupan etnis Tamil.
Pengembangan kepribadian haruslah mencakup fisik dan mental.
Salah satu bentuk cara dalam upaya tersebut, sejak tahun 1938 D.
Kumarasamy menjadi seorang vegetarian atau orang yang berpantang,
tidak memakan makanan yang berasal dari hewan-hewan yang
berdarah. Sikap ini lebih banyak didorong oleh kesadaran dan rasa
23 Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap anak-anak istri pertama dan kedua.
belas kasihan terhadap mahkluk lainnya, demi keseimbangan tatanan
kehidupan (ekosistem).
Dari sudut pandangan keseimbangan tubuh, penganut vegetarian
menyadari bahwa inti dari zat yang dibutuhkan oleh tubuh berasal
dari sari tanah yang disalurkan melalui tumbuh-tumbuhan. Oleh
karena itu dengan mengkonsumsi makanan dari tumbuh-tumbuhan
saja, kebutuhan tubuh sudah terpenuhi. Selain itu zat-zat dalam
makanan yang berasal dari tumbuhan akan bersifat lebih 'dingin'
dibandingakan dengan makanan yang berasal dari daging atau darah.
Sifat zat makanan yang seperti itu secara tidak langsung berpengaruh
pada mental dan watak orang yang mengkonsumsinya. Inilah satu
alasan mengapa D. Kumarasamy menjadi vegetarian.
Sampai tahun 1940, D. Kumarasamy masih terus memimpim
Deli Hindu Shaba. Ia terus berupaya mencari metode-metode baru
dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan karakter kelompok
masyarakatnya. Salah satu bentuk gagasannya ialah pada tahun itu
atas nama lembaga Deli Hindu Shaba ia menerbitkan buletin bulanan
dalam bahasa Tamil yang berjudul “Thinegaren” yang artinya "Matahari
Terbit” atau Fajar. Melalui penerbitan berkala ini ia ingin menambah
minat baca dan menambah wawasan pengetahuan kelompok
masyarakatnya. Dalam buletin juga dilegkapi berita kejadian-kejadian
penting. Ia sangat mengharapkan agar para pembacanya secara
perlahan-lahan cukup peduli dengan masalah-masalah yang aktual
dan yang terjadi disekelilingnya.
Kemana pun ia pergi, buletin Thinagaren selalu dibawanya. Bila ia
bertemu dengan seorang Tamil baik yang sudah atau baru dikenalnya,
ia selalu bertanya, “Apakah anda pandai membaca?”. Kalau pertanyaan
itu mendapatkan jawaban ya, maka pertanyaan selanjutnya adalah,
“Apakah anda sudah baca buletin Thinagaren ini?” katanya sambil
menyodorkan buletin tersebut. Dan kalau perlu ia meminjamkan
buletin itu kepada rekan yang baru dikenalnya itu untuk beberapa
hari. Ketika buletin itu sudah dibaca dan dikembalikan kepadanya,
ia selalu berdiskusi. Masalah yang didiskusikan adalah masalah isi
buletin itu sendiri. Begitulah satu metode D. Kumarasamy dalam
upaya memasyarakatkan buletin Thinagaren dan sekaligus sebagai
upaya membina kelompoknya24.
24 Dialog ini berasal dari hasil wawancara peneliti dengan seorang nara sumber yang bernama Taoweslinggam yang tinggal di Jl. Gaharu, wawancara pada tanggal 5 Juli 1997.
73Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)72 Peran D. Kumarasamy dalam Deli Hindu Sabha
Penerbitan buletin Thinagaran terus berlanjut secara berkala
hingga tahun 1941. Namun ketika pasukan Militer Jepang pada bulan
Maret tahun 1941 memasuki kawasan Sumatera Timur termasuk
kota Medan, terjadi perubahan yang sangat drastis. Perubahan yang
terjadi bukanlah sekedar di bidang kekuasaan politik di Indonesia
pada umumnya. Akan terus berakibat secara drastis dalam aspek-
aspek kehidupan lainnya seperti di bidang ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan, dan lain-lain. Perubaha ini jelas telah meghambat upaya-
upaya yang dilakuka oleh D. Kumarasamy dalam memperjuagkan
perubahan dalam masyarakat etnis Tamil di Sumatera.
Dalam tempo yang relatif singkat, Tentara Pendudukan
Jepang telah menguasai sebagian besar kawasan Indonesia. Tanpa
perlawanan yang berarti, Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan
kekuasaannya kepada Tentara Pendudukan Jepang. Dengan
demikian kawasan Sumatera Timur, termasuk kota Medan di mana
D. Kumarasamy melakukan aktivitas kehidupannya selama ini, jatuh
dalam penguasaan Tentara Jepang.
Pada mulanya, sebagian masyarakat yang ada di Indonesia,
berharap kedatangan Tentara Pendudukan Jepang akan melepaskan
Indonesia dari belenggu penjajahan. Memang ada benarnya, sejak itu
bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa Belanda. Namun
yang terjadi hanyalah peralihan kekuasaan dari Pemerintah Hindia-
Belanda kepada Tentara Pendudukan Jepang. Bangsa Indonesia tetap
menjadi objek jajahan. Dan lebih tragis lagi, sistem pemerintahan
yang sebelumnya bercorak pemerintahan sipil bertukar kepada
pemerintahan yang militeristik oleh Tentara Jepang. Meski sesama
bangsa-bangsa Asia ternyata tidak dapat memuluskan harapan untuk
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Corak pemerintahan militer yang dijalankan oleh Tentara
Pendudukan Jepang di Indonesia telah memaksa bangsa Indonesia
menghadapi penderitaan yang lebih mengenaskan. Rakyat yaag sudaha
menderita dikerahka untuk diperas tenaganya untuk membangun
pertahanan pasukan Jepang dalam menghadapi pasukan Sekutu pada
Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta
Ashok Dharma Surya (1942-1956)
6
74 75Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
Perang Pasifik. Dalam pergaula internasional, masyarakat Indonesia
menjadi terisolir dari dunia luar terutama dari bangsa-bangsa Eropa.
Aktifitas perdagangan ekspor dan impor menjadi macet. Kawasan
Indonesia sebagai kawasan agraris, yang penghasilan utamanya
bersumber dari pertanian dan perkebunan mengalami stagnasi.
Bahkan hasil pertanian untuk kebutuhan dalam negeri pun telah
dialihkan untuk menopang perbekalan Tentara Pendudukan Jepang.
Hal ini tentunya makin melengkapi penderiataan bangsa Indonesia
pada umumnya.
Tanpa adanya kekuasaan politik yang mandiri dan ditambah
rusaknya aktivitas ekonomi masyarakat, seluruh aspek kehidupan
menjadi makin memprihatinkan. Demi mengokohkan kekuasaan,
Tentara Pendudukan Jepang juga bertindak sangat represif terhadap
perkembangan organisasi-organisasi sosial yang telah ada dalam
masyarakat Indonesia termasuk kepada lembaga pendidikan yang
ada. Sebaliknya lembaga-lembaga pendidikan telah berubah menjadi
sarana Japanisasi. Walaupun secara formal lembaga-lembaga
pendidikan itu masih berjalan, namun tidak sesuai yang diharapkan.
Para pelajar dan pemuda diarahkan untuk lebih mengenal budaya
Jepang dan kegiatan-kegiatan kemiliteran.
Kondisi ini telah menggoyahkan seluruh sendi kehidupan
masyarakat. Tentara Pendudukan Jepang tidak perduli dengan nilai-
nilai dan tatanan kehidupan masyarakat yang dikuasainya. Semangat
militerisme yang ditanamkan dalam masyarakat yang dikuasai sebagai
upaya memenangkan peperangan telah menjadikan mereka bertindak
penuh kekerasan dan tidak manusiawi, demi mencapai tujuan.
Demikianlah yang terjadi di kawasan kota Medan dan daerah
sekitarnya, yang waktu itu disebut sebagai kawasan Residen Sumatera
Timur, kawasan yang sebelumnya dikenal memiliki perkebunan yang
terluas di Indonesia. Buruh-buruhnya secara langsung mengalami
penderitaan akibat dari kondisi yang terjadi pada masa pendudukan
Tentara Jepang.
Etnis Tamil sebagai salah satu etnis yang masih banyak
menggantungkan penghidupannya sebagai buruh perkebunan,
penderitaan yang mereka alami tentu lebih buruk. Demikian juga
mereka yang berada di kota Medan yang selama ini sebahagian
besar menggantungkan dirinya sebagai buruh-buruh pekerja di kota.
Kehidupan mereka yang berada di antara masyarakat bawah menjadi
lebih sulit menghadapi situasi pendudukan Tentara Jepang. Hampir
tak ada kegiatan yang dapat membeli jasa dan tenaga mereka.
D. Kumarasamy di makin merasa prihatin di tengah kelompok
etnis Tamil yang ada di kawasan kota Medan dan sekitarnya. Ia merasa
harus tetap berada di tenagh masyarakatnya dan harus melakukan
sesuatu dengan segala daya dan upaya yang memungkinkan ia dapat
melakukan sesuatu.
Pada usia yang ke-35 di tahun 1941, D.Kumarasamy telah
memiliki semangat tinggi dan memiliki banyak potensi untuk
melakukan berbagai hal. Akan tetapi, kenyataan hidup saat itu sangat
sulit, segalanya harus dipertimbangkan dengan rasional. Sikap otoriter
yang dilakukan Tentara Pendudukan Jepang, tak mungkin dihadapi
dengan perlawanan menggunakan kekerasan. “Biarkan kekerasan itu
akhirnya akan menjadi patah akibat dari kerasnya sendiri”, begitulah
pandangan D. Kumarasamy terhadap penguasa yang berkulit kuning
itu.
Pengalamannya dalam kajian Theosophy, telah mempertajam
nuraninya menentang penindasan yang dilakukan oleh sesama
manusia, apalagi penindasan yang didasari kepentingan politik
bangsa yang berbeda. Dalam pandangan Theosophy yang dikajinya
menekankan bahwa perbedaan agama tidak menjadikan orang
untuk saling bermusuhan. Setiap manusia harus dihormati dengan
segala perbedaan pandang dan keyakinannya. Yang penting adalah
bagaimana hidup seseorang dapat memberi sumbangan untuk berbuat
kebajikan antara sesama atau dengan alam sekitarnya.
Kehidupan D. Kumarasamy sendiri di masa Pemerintahan Jepang
ini menjadi cukup memprihatinkan. Perusahaan tempatnya bekerja
(Harrison & Crossfield Company) tak berdaya untuk memenuhi
kesejahteraan pegawainya. Pada waktu sebelumnya, D. Kumarasamy
masih dapat menyisakan gajinya untuk kegiatan-kegiatan sosial,
seperti untuk mendanai penerbitan brosur-brosur dan kegiatan-
kegiatan lainnya. Situasi sulit ini membuat Deli Hindu Shaba yang
pernah dipimpinnya juga tidak dapat melakukan aktivitasnya untuk
pembinaan masyarakat etnis Tamil. Demikian pula lembaga-lembaga
pendidikan lainnya di lingkungan komunitas masyarakat Tamil dan
lembaga di seluruh Indonesia pada umumnya hingga tahun 1945.
Tentara Pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengawasi
kegiatan-kegiatan sosial yang ada di tengah masyarakat. Mereka
76 77Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
sangat khawatir, kalau-kalau kegiatan lembaga-lembaga sosial yang
ada ditumpangi kegiatan politik yang menentang kekuasaaan Tentara
Pendudukan Jepang. Saat itu tidak ada lagi pendanaan dari masyarakat
sendiri untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan lembaga sosial
mereka. Masing-masing berupaya untuk memperjuangkan kebutuhan
keluargnya sendiri. D. Kumarasamy tak mau mandeg (berhenti-Jawa)
melaksanakan misi kehidupannya di tengah situasi itu.
Keadaan telah memaksa D. Kumarasamy untuk mengubah
metode perjuangannya agar di tengah kelompoknya dapat berbuat
sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang membutuhkannya.
Melaksanakan pendidikan di sekolah-sekolah sudah tak memadai,
karena penguasa Jepang selalu mengarahkan pendidikan kepada
kepentingan mereka. Penerbitan brosur-brosur pun sudah tak
terbiayai lagi. Satu-satunya jalan bagi D. Kumarasamy dalam
upayanya membantu masyarakat Tamil adalah dengan mengunjungi
mereka dari rumah ke rumah agar lebih akrab dan berbincang dari
hati ke hati. Tanpa mengenal secara mendalam kawan yang akan
diajak bicara atau yang akan diberi pengajaran, tidak akan diketahui
secara tepat pelajaran apa yang dapat diberikan kepada seseorang itu.
Ia harus mengenal seseorang itu dengan baik sehingga memahami
takaran-takaran atau porsi pelajaran yang akan dapat dicerna
seseorang tersebut. Itulah salah satu metode D. Kumarasamy dalam
melaksanakan misinya.
D. Kumarasamy juga dikenal orang sebagai tokoh yang menguasai
Astrologi, ilmu yang mempelajari peredaran bintang-bintang dan
planet-planet yang mempengaruhi kehidupan makhluk yang ada di
muka bumi. Perubahan iklim, panas dingin, permukaan laut, angin,
semuanya tidak terlepas dari pergerakan benda-benda angkasa yang
ada. Semuanya berpengaruh dalam kehidupan makhluk yang ada
di bumi dalam kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya
bagaikan sebuah simponi yang menyatu. Begitulah pelajaran dari
kehidupan manusia. Adakalanya 'angin' yang sejuk menyelimuti
kesehatan dan kebahagiaan, dan ada kalanya pula 'angin yang panas'
membakarnya dalam penyakit dan kenestapaan.
Bagi D. Kumarasamy, kemampuannya itu bukanlah merupakan
kemampuan yang bersifat tahyul. Setiap manusia mempunyai 'retak
tangan' gelombang (ritme) kehidupan yang berbeda satu sama lainnya.
Dan masing-masing akan mengalami proses yang beraneka ragam,
sakit, sehat, susah, senang, miskin dan kaya adalah sesuatu yang harus
dilalui manusia, baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah.
Keberadaan manusia dalam kehidupannya merupakan paduan unsur
jasmani dan rohani. Bila salah satu unsur itu sakit, maka sakit pula
unsur yang lainnya.
Oleh karena kemampuan di bidang astrologi ini D. Kumarasamy
juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mampu membantu
penyembuhan sakit yang diderita seseorang. Dan melalui diagnosis
astrologinya itu ia dapat memberitahukan kekurangan-kekurangan
yang ada pada seseorang. Ia memberikan 'obat' yang dibutuhkan oleh
orang yang menderita, baik yang bersifat rohaniah maupun yang
bersifat fisik. Dengan kemampuan ini D. Kumarasamy tetap dapat
membantu meringankan penderitaan orang lain dalam situasi resesi
pada periode Pendudukan Tentara Jepang.
Untuk membantu penyembuhan masayarakat yang sakit,
adakalanya mereka yang sakit mendatanginya, tetapi tak jarang pula
D. Kumarasamy yang mendatangi mereka, diminta atau tidak diminta.
Mereka yang sudah mengenalnya atau akrab dengannya tidak heran
lagi bila tiba-tiba D. Kumarasamy datang mengunjunginya, seakan-
akan D. Kumarasamy sudah tahu sebelumnya kalau sahabatnya itu
sedang sakit. Seolah-olah D. Kumarasamy setiap saat mendengarkan
keluhan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan mengendarai
sepedanya yang terawat baik ia datang mengunjungi orang yang
membutuhkannya. Ia menyapa mereka yang merindukannya, dengan
senyum yang menyiratkan rasa kasih sayang, dan segelas air putih
diberikannya pada mereka yang dahaga25.
Pada saat usianya mencapai 40 tahun, D. Kumarasamy tetap
mengayuh sepedanya menjelajahi kota Medan. Sorot matanya yang
selalu memancarkan persahabatan telah menjadi penangkal mara
bahaya yang ada di sekitarnya. Tubuhnya yang semampai dan sehat,
membuat langkahnya selalu menyiratkan keyakinan dan kepercayaan
diri. Tak ada ketakutan dalam dirinya, sehingga keraguan tak pernah
menghampiri. Beliau tetap berkeyakinan, duka dan senang silih
25 Segelas air putih yang sejuk diberikannya kepada mereka yang merasa sakit. Doanya yang mengalir ke dalam tubuh si sakit, selalu mendatangkan kesembuhan. Memang di dalam air, selalu banyak mengandung mineral-mineral yang dapat menimbulkan manfaat dalam tubuh manusia. Dan keyakinan mereka terhadap potensi D. Kumarasamy, telah ikut menimbulkan semangat menuju kesembuhan.
78 79Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
berganti. Duka akan berakhir dan berganti suka, sesuai dengan
perputaran alam yang dikehendaki Sang-Pencipta. Dan benarlah,
kenyataan itu tidak dapat ditunda, kekuasaan Tentara Pendudukan
Jepang di Indonesia pada bulan Agustus 1945 telah berakhir menyusul
kekalahannya dalam Perang Pasifik melawan Tentara Sekutu.
Bersama dengan runtuhnya kekuasaan Tentara Pendudukan
Jepang di Indonesia, bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi bangsa Belanda
yang didukung Pasukan-Sekutu (NICA) ingin memanfaatkan
momentum itu. Mereka yang pernah menjajah Indonesia sebelum
Jepang menginginkan kembali menjajah Indonesia, sehingga
melahirkan konflik. Inilah yang terjadi bagi bangsa Indonesia sejak
tahun 1945 hingga akhir tahun 1949.
D. Kumarasamy bukanlah seorang politikus, bila pengertian
politik adalah upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan untuk
kepentingan kelompok tertentu atau kelompoknya saja. Akan tetapi
sesuai dengan latar belakang keagamaan dan Theosophynya, ia adalah
seorang tokoh yang menentang secara tegas segala bentuk penindasan
atau penjajahan dari pihak manapun terhadap kelompok manapun.
Oleh karena itu dalam setiap wejangannya, ia selalu mengajarkan
pembebasan dari segala bentuk dan sifat menindas, termasuk dalam
kehidupan keagamaan. Fokus perhatiannya yang tertuju pada
kelompok masyarakat etnis Tamil, adalah karena kelompok ini yang
terdekat dalam kehidupannya dan kelompok ini pula yang hidupnya
sering tertindas dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. Karena
keberpihakkannya pada kaum yang tertindas ini pula, beberapa
pihak terutama dari pihak penguasa, memandang lembaga atau
perkumpulan Theosophy sebagai perkumpulan yang berbau politis.
Perhatiannya terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan sangat besar. Pada masa perjuangan
kemerdekaan R.I D. Kumarasamy membantu membuat kata–kata
untuk poster- poster dan slogan– slogan dalam bahasa Inggris untuk
perjuangan R.I. Ia menyadari hubungannya dengan Indonesia tak
dapat dipisahkan. Ia lahir dan di besarkan di Indonesia, begitu pula
warga etnis Tamil dan etnis-etnis dari India lainnya. D. Kumarasamy
merasa bangga, kalau di antara etnis-etnis yang berasal dari India ada
yang ikut menjadi laskar Indonesia yang melawan Tentara Sekutu
ataupun Tentara Belanda26.
Rasa simpatinya ini selaras pula dengan pandangan negara India
yang memproklamirkan diri pada tanggal 15 Agustus 1947. Negara
India di bawah pimpinan Jawaharlal Nehru adalah negara pertama
di Asia yang memberikan pengakuannya terhadap keberadaan
negara Indonesia. Pengakuan ini menjadi dasar negara India
menempatkan Duta Besarnya untuk negara Indonesia dan sekaligus
akan menempatkan konsulat perwakilan negaranya di daerah-daerah
(propinsi) Indonesia27.
Untuk itu D. Kumarasamy bersama tokoh-tokoh etnis yang
berasal dari India dan yang berdomisili di daerah Sumatera Timur
mempersiapkan perwakilan Konsulat India di Medan. Dialah
yang terpilih menjadi ketua badan persiapan atau disebut India
Consultative Committee. Di samping itu ia juga merupakan ketua
perkumpulan lembaga yang ada sebelumnya, yang didirikan pada
tahun 1946 dengan nama Panitia Perwakilan Bangsa India (All
Indian Representative Committee). Ketika Konsulat Jenderal Pertama
India telah di kirimkan ke Jakarta yaitu Mr. N. Ragawan, beliau
langsung menunjuk D. Kumarasamy sebagai Konsul India wilayah
Sumatera yang sementara berkedudukan di Medan. Jabatan tersebut
dipegang D. Kumarasamy hingga tahun 1949, atau setelah seorang
Konsul definitif yang dikirimkan langsung dari India datang. Boleh
dikatakan, D. Kumarasamy telah melaksanakan tugasnya sebagai
perwakilan negara India untuk wilayah Sumatera atau di kota
Medan, ketika bangsa Indonesia sedang bergolak mempertahankan
kemerdekaannya. Dalam situasi yang sulit, D. Kumarasamy telah
melaksanakan perannya dengan baik, terutama dalam upaya
mengakui dan mengokohkan eksistensi Negara Republik Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari salinan dan terjemahan surat dikirimkan N.
26 Banyak tentara Inggris bangsa India yang tergabung dalam pasukan Sekutu yang menyeberang ke pihak Indonesia dengan membawa senjata mereka. Beberapa hal yang menyebabkan tentanra Ingris bangsa India desersi, karena upaya pihak Indonesia antara lain membujuk langsung agar desersi dan melancarkan issu dan surat kabar berpropaganda " serangan kamu terhadap kemerdekaan kam" ...lihat T. Luckman Basarsyah, 2008, Orang India di Sumatera Utara, Forkala, Medan .h.15.
27 Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Sumatera menjadi 1 Propinsi yang disebut sebagai Propinsi Sumatera (1945-1948) Gubernurnya yang pertama adalah Mr. T. M. Hasan.
80 81Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
Ragawan sebagai Konsulat Jenderal India ketika beliau akan kembali
ke India, yang isinya sebagai berikut :
Batavia, 25 September 1948
Tuan D. Kumarasamy
Konsul India untuk Wilayah Sumatera
Berkedudukan di
Medan.
Tuan D. Kumarasamy Yth.
Saya akan segera tinggalkan Indonesia, oleh sebab itu mengenang
toleransi masyarakat India dan teristimewa jasa-jasa dan kebaikan
tuan dengan membantu melaksanakan tugas-tugas saya, dengan ini
menjadi suatu kenang-kenangan indah dan tak terlupakan dan sangat
mengesankan bagi saya, maka berkewajiban untuk mengucapkan
terima kasih kepada Tuan.
Hidup India!
Hormat saya :
(N. Ragawan)
(Duta Besar India)
Sejak terbentuknya Konsulat India di Medan, perkumpulan-
perkumpulan yang ada sebelumnya yang mengatasnamakan
masyarakat India yang ada di daerah Sumatera, (termasuk panitia
persiapan konsul India) dibubarkan dan berubah menjadi “Sumatera
India Union”. Kegiatannya ditekankan kepada urusan masyarakat
India yang ada di wilayah ini. D. Kumarasamy masih dipercayakan
sebagai ketuanya. Sebagai tokoh dan pimpinan masyarakat India,
beliau bagaikan tak pernah mengenal lelah.
D.Kumarasamy bukan saja sebagai tokoh etnis Tamil, tetapi juga
bagi etnis India lainnya yang ada di Sumatera. Banyak tokoh yang
dekat dengannya, seperti dari Punjabi, Benggala dan lain-lainnya. Di
antaranya adalah dua orang Sikh yang bernama Dalip Singh dan Inder
Singh. Kedua orang yang berlainan agama dengan D. Kumarasamy
ini bukan saja sebagai sahabat, tetapi banyak menyumbangkan
dana untuk kepentingan sarana keagamaan Hindu. Seorang wanita
Muslim yang bernama Komariah juga pernah bersahabat dengan
D. Kumarasamy dan selalu berdiskusi tentang Theosophy. Demikian
pula hubungannya cukup baik dengan “Kepten Tamil” (pimpinan
masyarakat Tamil di Kota Medan) yang pada tahun1947 dipegang
oleh Mohammad Kasim, seorang Tamil Muslim yang berasal dari
Madras. Tokoh lain yang selalu dekat dan sangat dihormatinya adalah
Paterisamy Pillay, Sharma Dan Ayer. Ketiga tokoh ini juga merupakan
guru bagi D. Kumarasamy, karena sangat banyak memberikan
pendidikan kerohanian, terutama pada periode awal D. Kumarasamy
mengikuti bidang keagamaan, termasuk belajar bidang astrologi.
Banyak lagi orang yang menjadi sahabat D. Kumarasamy.
Perbedaan agama, etnis, profesi maupun usia tidak membatasinya
untuk bersahabat. Begitulah Anna D. Kumarasamy, senyum dan tutur
sapanya selalu memancarkan persahabatan, sehingga orang yang
berbicara atau berhadapan dengannya merasa hormat dan betah.
Dalam perjalanan hidupnya, ia selalu memberikan perhatian yang
lebih terhadap mereka yang dirundung kemelaratan. Di kalangan
etnis Tamil khususnya, D. Kumarasamy melihat kelompok yang
beragama Budha lebih banyak dianut oleh mereka yang kehidupannya
miskin, atau umumnya berasal dari kelas sosial yang rendah. Mata
hati “Kumaranya” (yaitu sifat kasih sayang ketuhanannya) tak
tega membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Mereka, etnis Tamil
yang beragama Budha ini bagaikan kehilangan gantungan, tak ada
pimpinan yang memberikan pengarahan kepada mereka. Tanpa
seorang pengarah, maka kemelaratan yang menghinggapi mereka
ikut merongrong disiplin hidupnya, tak ada wadah untuk mereka
mengembangkan diri dan tak ada guru yang mendidik kerohanian
mereka.
D. Kumarasamy sangat prihatin melihat kenyataan ketertinggalan
kelompok Budhis dalam etnis Tamil ini. Umat Budha Tamil
memerlukan seorang 'Anna' yang dapat membangunkan mereka dari
kehilangan kepercayaan diri. D. Kumarasamy ingat apa yang tertera
dalam ayat suci Weda yang berbunyi :
82 83Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
“Jalan manapun ditempuh manusia kearahku, semuanya
kuterima. Dari mana mereka semua menuju jalanku“ (Pancamawa
Weda IV.II).
Oleh karena itu D. Kumarasamy mengambil keputusan, ia harus
berada di tengah kelompok etnis Tamil Budhis dan sekaligus akan
memimpinnya.
Orang dapat menafsirkan bahwa sejak tahun 1954, D. Kumarasamy
telah beralih menjadi penganut agama Budha. Akan tetapi bagi D.
Kumarasamy sendiri, hal itu bukanlah berarti ia beralih agama atau
kepercayaan. Baginya kedua agama itu, antara Hindu dan Budha,
hanyalah perbedaan jalan menuju 'tempat yang sama'. Ajaran Budha
memberikan salah satu filosofi bagaimana seorang manusia melalui
berbagai tahapan proses hidup sehingga dapat mencapai tingkat
makhluk yang ideal atau apa yang disebut sebagai Budha. Begitulah
inti pemahaman D. Kumarasamy. Ia juga selalu disapa dengan sebutan
Anna di kalangan kelompok penganut Budhis yang lebih muda
darinya. Yang jelas ia tetap konsisten dan commit untuk memerangi
kebodohan dan kemelaratan, terutama di kalangan etnis Tamil.
Bagi mereka yang tidak mengerti sikap D. Kumarasamy ini,
mungkin akan menjadi skeptis, sebuah sikap yang tidak sekedar
didasari pikiran atau pandangan yang negatif. Namun bagi mereka
yang wawasannya cukup luas dapat memahami sikap D. Kumarasamy
ini, mungkin rasa hormatnya jusru makin dalam. Sebaliknya D.
Kumarasamy tetap menghormati mereka yang ada dalam kelompok
penganut agama Hindu, dan menyayangi mereka.
Di tengah keluarganya sendiri D. Kumarasamy tak pernah
mengarahkan atau memaksakan anggota keluarganya untuk beralih
agama atau menjadi seorang Budhis. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan bila istri-istrinya sendiri pun tetap sebagai penganut
Hindu. Demikian pula sikap istri-istrinya terhadap anak-anak mereka,
tidak pernah memaksakan apa yang menjadi pilihan agama mereka
masing-masing. Mereka konsisten dengan ajarannya (bhaktinya)
sehingga mereka dapat menemukan jati dirinya.
Sebagai penganut agama Buddha, bukan pula berarti
mengeyampingkan ajaran-ajaran yang ada dalam Weda. Demikian
hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial dan agama Hindu
yang ada di daerah ini. Dalam perilakunya sehari-hari Anna bagaikan
seorang yang tetap teguh dengan salah satu ayat yang tertera dalam
kitab Weda, yang berbunyi :
“Semoga semua makhluk memandangku dengan mata bersahabat,
semoga aku memandang semua makhluk dengan mata bersahabat, dan
semoga satu sama lain memandang dengan mata bersahabat" (Yayar
Weda 26.2).
Itulah satu amalan D. Kumarasamy dalam menjalani hidupannya.
Sebagaimana yang pernah dilakukannya di kalangan etnis Tamil
Hindu yang ada di Sumatera Timur, D. Kumarasamy mengadakan
reformasi (penataan kembali) dalam kehidupan dan keagamaan
masyarakat Tamil yang memeluk agama Budha. Tepatnya pada
tanggal 13 Mei tahun 1946, ketika usia ia mencapai 40 tahun, D.
Kumarasamy mendirikan perkumpulan Indian Budhist Society.
Sebagai upaya memasyarakatkan pikiran-pikiran pembaharuannya
di kalangan kelompok ini, beliau menerbitkan booklets dengan judul
“An Outline of The Basic Principles of Buddhism” dan “The Disciplinary
Life" (Dalam bahasa Tamil, buku tersebut lebih populer dengan nama
“OZUKAM”).
Untuk lebih memudahkan para penganut Budha di kalangan
etnis Tamil memahami ajaran Sang Budha, D. Kumarasamy juga
menulis tentang riwayat hidup Sang Budha (Sidharta Gautama)
dalam bahasa Tamil dengan judul “Jagaj Jjhothy Butthar”. Di buku
tersebut dilengkapi dengan syair-syair pujaan kepada Budha yang
diciptakan oleh D. Kumarasamy sendiri. Melalui syair-syair tersebut,
D. Kumarasamy percaya akan menimbulkan getaran hati dan batin
para penganutnya bersama alunan gema yang menyusup dalam
Dhyana-Samadhi (pembinaan pikiran dengan menggunakan sifat-
sifat Sang Buddha).
Pada periode yang sama D. Kumarasamy tetap terus menekuni
Theosophy, secara tidak langsung. Wawasan Theosophy ini ia
masukkan pula dalam kelompok penganut Budha dan Hindu. Melalui
pengenalan Theosophy ia berharap kedua kelompok keagamaan dapat
menarik persamaan-persamaan yang ada, bukan mempertajam
perbedaan. Itulah harapan D. Kumarasamy agar jarak kedua kelompok
itu semakin dekat dan dapat saling mengisi.
Tahun 1947, akhirnya muncul Perhimpunan Theosophy Cabang
84 85Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
Vasanta dan berada dalam lembaga Deli Hindu Sabha. D. Kumarasamy
aktif memberikan ceramahnya di perkumpulan yang baru ini. Di
samping itu ia tetap menjadi anggota dari perkumpulan Theosophy
yang ada di kota Medan di Lodge yang terletak di jalan Imam Bonjol
kota Medan. Dalam perkumpulan ini mereka (pengurus dan anggota)
selalu membahas tentang filosofi ketuhanan dipandang dari berbagai
sudut agama atau lembaga kepercayaan, oleh karena itu perkumpulan
ini diikuti oleh anggota dari berbagai agama yang berbeda.
Pada tahun 1949, untuk pertama kalinya D.Kumarasamy
memperoleh kesempatan berkunjung ke India. Kesempatan ini benar-
benar dimanfaatkan oleh D. Kumarasamy untuk memperdalam
pengetahuannya tentang agama Hindu, Budha dan juga Theosophy.
D. Kumarasamy tahu, munculnya agama-agama tersebut berasal
dari negeri ini. Demikian pula pusat kegiatan maupun perkumpulan
Theosophy juga di sini.
Walaupun cikal bakal D. Kumarasamy berasal dari anak benua
ini, saat itulah pertama kalinya ia melihat dari dekat. Ia melihat
masyarakat yang ada di India lebih kompleks dan heterogen dari pada
masyarakat yang ada di kepulauan Indonesia baik dari sudut bahasa,
agama, maupun kebudayaannya. Tetapi, kondisi kehidupan ekonomi
masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di
kawasan Negara Bagian Tamil Nadu yang ada di bagian India Selatan,
sebagian besar penduduknya berada dalam kondisi perekonomian
yang memprihatinkan. Ke sanalah D. Kumarasamy memusatkan
perhatiannya.
Dalam suatu perjalanannya di kawasan Tamil Nadu, tepatnya di
desa Kammar Phutha-Ur28, ia bertemu dengan seorang rohaniawan
yang bernama Mauna Samy. Ketika berbincang-bincang dengan D.
Kumarasamy, rohaniawan ini menyampaikan maksudnya untuk
mendirikan sekolah di desa tersebut. Akan tetapi niatnya itu selalu
mendapat tantangan dari sebagian masyarakat di situ. Dengan kata
lain, gagasan rohaniawan itu sulit memperoleh kesepakatan. Ternyata
di daerah India Selatan masih ada di antara kelompok masyarakat
yang memandang skeptis atas keberadaan lembaga pendidikan formal
atau lembaga pendidikan modern. Mereka beranggapan bahwa
28 Desa Kannar Phutha-Ur, merupakan sebuah desa tempat bermukimnya para rohaniawan (Arrya) atau disebut dengan Mauna Suwamyar.
lembaga pendidikan yang seperti itu akan melahirkan nilai-nilai baru
dan dapat merusak tatanan kehidupan yang sudah ada sebelumnya.
Mendengar keluhan rohaniawan, D. Kumarasamy mengusulkan
agar diadakan rapat umum yang dihadiri oleh sebahagian besar
kelompok masyarakat yang ada. Rapat umum ini dilaksanakan secara
terbuka, siapa saja yang hadir boleh memberikan tanggapannya.
Pada mulanya para rohaniawan kurang sependapat, bagaimana D.
Kumarasamy dapat menghadapi peserta yang sedemikian banyak itu.
Akan tetapi D. Kumarasamy tetap memberikan keyakinan kepadanya,
bahkan ia sendirilah yang memimpin rapat itu dan menyampaikan
gagasan rohaniawan tersebut.
Apa yang terjadi dalam rapat umum yang diadakan sungguh
mengherankan bagi rohaniawan setempat. D. Kumarasamy dengan
tenang dan suaranya yang lantang penuh sugesti, bagaikan dapat
menghipnotis massa yang hadir, padahal D. Kumarasamy bukanlah
seorang tukang sihir yang dapat membungkam pikiran orang lain.
Pelajaran yang sangat rasional dan disampaikan secara ikhlas dari
lubuk hati yang terdalam oleh D. Kumarasamy telah membuat hati
dan pikiran para pendengar menerimanya. Tak ada lagi penolakan
masyarakat, karena memang argumentasi yang disampaikan jelas dan
positif bagi kepentingan bersama. D. Kumarasamy mampu membaca
pikiran mereka dan mampu mendengarkan denyut jantung hasrat
mereka. Kemampuan tersebut membuat D. Kumarasamy sanggup
merumuskan apa yang dikehendaki mereka, sehingga terjalin
persatuan hasrat.
D. Kumarasamy tidak menyia-nyiakan kesempatan seperti
itu. Ia langsung membentuk panitia pembangunan sekolah yang
direncanakan akan didirikan di desa tersebut. Tokoh-tokoh
masyarakat yang ada semuanya dilibatkan, sehingga mereka pun puas
karena masing-masing diberi peran. D. Kumarasamy sangat paham
bahwa seseorang akan merasa sangat dihargai bila seseorang itu
dipercayakan untuk memberikan peran sertanya. Akhirnya rapat dan
pembentukan kepanitiaan berjalan dengan mulus. Keberhasilan ini,
bukanlah karena D. Kumarasamy seorang Dewa ataupun Sang Budha,
akan tetapi tidak lepas dari penghayatan beliau atas sifat-sifat atau
ajaran para Dewa ataupun Sang Budha.
Setelah lebih kurang satu tahun di India, D. Kumarasamy
kembali ke Indonesia. Ia sadar, di Indonesia masih sangat banyak
86 87Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
orang yang membutuhkannya. Tugasnya di sini belum selesai dan
harus dirampungkannya, terutama membina kelompok etnis Tamil
Budhis yang di kota Medan dan sekitarnya. Beliau cukup puas dengan
lawatannya ke India, karena perjalanan itu semakin memperdalam
kesadaran dirinya bahwa tugas kemanusiaan bersifat universal, tidak
harus dibatasi oleh ruang dan waktu. Di samping itu melalui lawatan
itu, ia berhasil melakukan napak-tilas atau ziarah menelusuri asal-
usul leluhurnya. Dan melalui napak-tilas itulah seseorang akan lebih
mengenal dirinya, bagaikan sebuah perjalanan proses karma, hingga
seseorang menjadi lebih arif dan bijaksana.
D. Kumarasamy menjadi panutan bagi etnis Tamil yang ada
di kota Medan dan sekitarnya. Apapun agamanya, mereka tetap
menganggapnya sebagai pimpinanya. Pada kelompok Hindu, D.
Kumarasamy telah meletakkan dasar-dasar pedomannya, baik dalam
bidang keagamaan maupun di bidang sosial, kini perhatiannya tertuju
kepada kelompok yang beragama Budha.
Dalam kenyataannya pada waktu itu, D. Kumarasamy menyadari
kelompok ini membutuhkan pedoman yang permanen untuk
melaksanakan ajaran keagamaan Buddha. Karena itulah ia menyusun
buku-buku yang dapat menjadi pedoman hidup dan keagamaan
kelompok ini, seperti yang telah disebutkan bahwa pada tahun 1949
ia memprakarsai penulisan buku yang bertujuan mengangkat moral
penganut agama Budha.
Meski berkedudukan sebagai penasehat dari kelompok umat
Budha, D.Kumarasamy juga masih menjadi seorang sesepuh dalam
Deli Hindu Shaba maupun kuil Sri Maryaman. Demikian pula dalam
lembaga Theosophy yang ada di kota Medan.
Sejak pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia pada Desember
1949, segala lembaga serta yayasan yang memakai istilah-istilah
Belanda (Nederlandseh Indie) diubah dengan istilah Indonesia. Hal
ini juga berlaku pada lembaga Theosophy yang ada di Medan. Kalau
sebelumnya lembaga tersebut bernama “De Nederlandseh Indische
Theosofisihe Vereneging”, maka secara resmi pada tahun 1951 berubah
namanya menjadi “Perhimpunan Theosophy Tjabang Indonesia
(PTTI).
Tak ada waktu yang disia-siakan oleh D. Kumarasamy. Baginya
semasa hayatnya haruslah berbuat untuk orang banyak. Berbuat
demi pengabdian dan didasari oleh pikiran-pikiran yang jernih. Pada
waktu senggangnya selalu diisi dengan berkarya, termasuk berkreasi
dalam bidang seni suara ataupun melukis. Karya-karya lukisannya
mencapai puncak pada tahun 1950, walaupun lukisan ini sebagai
koleksi pribadinya. Salah satu lukisan yang sangat disukainya adalah
lukisan tokoh Maha Nyani C.W.Heatbeater, yaitu seorang tokoh yang
mengenalkan D. Kumarasamy kepada Theosophy pada tahun 1926.
Sebagai penasehat kelompok etnis Tamil Budhis, D. Kumarasamy
tetap berupaya mempelajari dan memperdalam pengetahuannya di
bidang keagamaan tersebut. Ia sangat prihatin belum ada buku-buku
yang mengatur peribadatan agama Budha, termasuk tata kramanya.
Apa yang dilakukan kelompok umat ini di dalam pertemuan atau
peribadatannya, hanyalah dengan cara mengutip kata-kata mutiara
yang mengandung filsafat kehidupan. Kutipan-kutipan itu diambil
tanpa mempedulikan asal sumbernya atau dari agama mana pun.
Hal ini tentunya kurang memuaskan mereka dan mereka ingin agar
ada suatu “puja” yang baku dan disusun untuk menjadi pedoman
peribadatan. Beberapa kali mereka menghadap D. Kumarasamy untuk
membicarakan hal ini.
Kenyataan ini tentunya menjadi tantangan bagi D. Kumarasamy.
Ia sangat memahami, bagaimana pun sebuah agama membutuhkan
peribadatan atau upacara peribadatan. Suatu peribadatan keagamaan
sangat dibutuhkan dalam upaya pembinaan kesatuan umatnya.
Dengan kata lain, upacara ibadat itu dapat mengikat mereka dalam
kesatuan identitas yang jelas. Lagi pula melalui upacara itulah dapat
meletakkan dasar-dasar disiplin moral. Dan melalui “puja” (syair-syair
penghormatan terhadap Sang Hyang Adi Buddhaya) lebih mudah
menyentuh hati agar tetap tunduk kepada yang dipujanya.
D. Kumarasamy juga menyusun suatu aturan peribadatan
kelompok etnis Tamil Budha. Agar tercipta suatu harmoni dalam
melaksanakan dan mengumandangkan syair puja itu nantinya, maka
D. Kumarasamy juga melatih beberapa di antara mereka yang berminat,
baik laki-laki maupun wanitanya. D. Kumarasamy menyadari bahwa
apa yang dilakukannya itu bukanlah suatu yang bertentangan dengan
keagamaan Budha, khususnya yang berada dalam aliran mahayana
(yang umumnya banyak dianut oleh agama Budha yang berada di
kawasan Tibet, Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara). Agar lebih
jelas, perlu dikemukakan kutipan pendapat D. Kumarasamy yang
menyatakan sebagai berikut :
88 89Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
"Ceremoni, tidak dapat membebaskan seseorang dari “samsara”
(keduniawian), tetapi sudah tentu dapat menolong seseorang untuk
berbhakti dengan pengertian (bukan sebagai tahyul). Maka itu ceremoni
dapat digunakan sebagai rakit untuk menyeberangi sebuah sungai, dan
ketika tiba di pantai seberang kita tinggalkan rakit tadi, demikian juga
kita tinggalkan ceremoni apabila kita sudah maju".29
Inilah argumentasi D. Kumarasamy yang telah berinisiatif
menyusun “puja” untuk pertama kalinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1952 dan pada jam 06.00 pagi, di sebuah
gedung Lodge Medan yang berada dalam kota Medan, bertepatan
pula ketika negara R.I memperingati hari Kemerdekaannya yang
ke-7, sebanyak 15 orang pemuda-pemudi etnis Tamil Budha
mengumandangkan syair puja dalam sebuah pertemuan peribadatan
agama Budha. Inilah untuk pertama kalinya kidung puja yang disusun
oleh D. Kumarasamy bergema dan berkumandang di planet bumi ini.
Walaupun syair-syairnya masih dalam bahasa Tamil, namun iramanya
cukup menyentuh batin siapa pun yang mendengarkannya. Asap dupa
yang menebarkan aroma yang wangi, memenuhi seluruh ruangan dan
terus mengambang ke angkasa bersama gema suara yang syahdu.
Dalam buku “Maha Puja” yang disusun D. Kumarasamy itu
juga berisi aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam melakukan
puja30. Ada tata cara khusus yang dilaksanakan, agar setiap peserta
benar-benar siap menghadapkan dirinya kepada Sang Hyang Adi
Budha. Tata cara dan benda-benda tertentu yang dipersiapkan sebagai
simbol-simbol yang mengandung makna kebersihan jasmani dan
ruhani.
Kegiatan melaksanakan upacara ibadat yang berpedoman pada
buku Maha Puja terus dilaksanakan secara rutin dan langsung
dipimpin oleh D. Kumarasamy. Dalam prosesi puja yang diadakan
melalui nyanyian-nyanyian, pembacaan paritta-paritta (kisah
kehidupan Sidharta Gautama), persembahan-persembahan, khotbah
dan meditasi, seluruh peserta upacara ini bagaikan menerima tetesan
29 Petikan pendapat D. Kumarasamy ini diambil dari “kata pembukaan buku Kebaktian Maha Puja” yang disusunnya dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I Medan 1974.
30 Pada mulanya yang disusun oleh D. Kumarasamy tersebut diberi nama “Sarwa Maha Puja”Dikemudian hari tepatnya pada tahun 1955, berubah menjadi Maha Puja, dan masih tetap dalam bahasa Tamil.
embun yang menyejukkan. Tetesan yang senantiasa membasuh
kalbu mereka dan akhirnya melahirkan sikap yang lebih tertib dalam
kehidupannya.
Walaupun buku Maha Puja itu merupakan kreasi D. Kumarasamy
dan bertolak dari berbagai sumber-sumber agama lain dan filsafat
Theosophy yang pernah dipelajarinya, namun telah menimbulkan
inspirasi moral yang sangat berharga bagi umat Budha yang
menekuninya. Beberapa di antara tokoh agama Budha yang datang
dari luar, ketika melihat dan mendengarkan upacara peribadatan ini
merasa terharu dan kagum menyaksikannya. Tak ada bantahan untuk
menyatakan Maha Puja telah menyimpang dari ajaran Budha. Apa
yang telah diperbuat D. Kumarasamy bagaikan ilham yang selaras
dengan kehendak Sang Hyang Adi Budha.
Dengan adanya peranan dan aktivitas D. Kumarasamy dalam
kehidupan keagamaan bersama umat Budha ini, bukanlah berarti
ia telah melepaskan keikutsertaannya dalam kelompok keagamaan
Hindu dan Theosophy. Beliau tetap menjadi tokoh dalam kedua
kelompok lainnya itu. Beliau sendiri pun tak pernah menyatakan
bahwa dirinya bukan beragama Hindu lagi. Hal itu terbukti karena
beliau masih selalu memimpin upacara-upacara maupun memberikan
ceramah dalam kedua kelompok keagamaan itu. Beliau tetap menjadi
Presiden of the Medan Lodge of the Theosophical Society yang dijabatnya
sejak tahun 1950. Dan sejak tahun 1950 inilah Wasenda Lodge yang
sebelumnya berada di Deli Hindu Shaba digabungkan dengan Medan
Lodge (yang sekarang berada di gedung vihara Borobudur jalan Imam
Bonjol Medan).
Setelah beberapa tahun mengabdikan diri untuk kepentingan
kelompok Budhis etnis Tamil di daerah ini, pada tahun 1954 para
pengikutnya memberika gelar kepada D. Kumarasamy sebagai "Maha
Pandita'. Melalui gelar tersebut, kini ia dinyatakan sebagai penganut
Budha. Beliau sendiri tidak menolak dan mengakui sebagai Budhis.
Sebaliknya ia tidak menyatakan lepas dari kelompok Hindu.
Masyarakat etnis Tamil, baik yang beragama Hindu maupun
Budha dapat memahami sikap D. Kumarasamy, bahwa kedua bentuk
agama bukanlah “dua macam”. Perbedaannya hanyalah dalam metode
pendekatan diri kepada Tuhan, dua cara yang bermuara ke tempat
yang sama. Dengan gelar Maha Pandita dari komunitas Budha, pada
tahun yang sama (sejak tahun1947 - 1954 dan tahun 1954 - 1958) D.
90 91Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
Kumarasamy tetap memangku jabatan sebagai Ketua Sri Maryaman
kuil dan Sri Kaliaman kuil yang keduanya berada di Medan.
Pengabdian D. Kumarasamy lainnya dalam keagamaan Budha di
kawasan Medan sejak menjadi Maha Pandita, adalah memprakarsai
pendirian Vihara. Pada tanggal 21 Oktober 1955, para pengikutnya
meminta D. Kumarasamy untuk menjadi peletak batu pertama tanda
dimulainya pembangunan vihara. Persisnya, vihara itu terletak di jalan
Monginsidi, kelurahan Anggrung yang ada sekarang. Vihara tersebut
diberi nama Vihara Ashoka. Inilah vihara Budha pertama bagi etnis
Tamil yang menganut agama Budha di kota Medan.
Waktu terus berjalan bersama usia D. Kumarasamy yang semakin
panjang menjalani garis kehidupannya. Proses pendewasaan dalam
usia yang makin bertambah mendatangkan kearifan. Terlebih bila
seseorang itu dapat merenungkan eksistensi dan lingkungannya.
Perenungan hidup selalu menyadarkan seseorang tentang bagaimana
hubungannya dengan Yang Maha Pencipta dan apa yang harus
dilakukan sebagai pengabdian kepada Yang Maha Agung. Itulah yang
dilakukan D. Kumarasamy sebagai tokoh spiritual.
Ada yang berpendapat bahwa D. Kumarasamy, bukanlah seorang
tokoh organisator, walaupun dalam pelaksanaan misinya ia telah
mengorganisir massa secara modern. Pendapat demikian memang
ada benarnya karena melihat tujuan akhirnya adalah pembangunan
spiritual. Pembangunan spiritual merupakan kunci dari tegaknya
masyarakat yang berperadaban maju. Demikian pula, pembangunan
moral akhirnya akan melahirkan tatanan sosial yang tertib bertata
krama. Tata krama suatu masyarakat harus berkembang sesuai
dengan perjalanan zamannya. Jadi bagaimana pun, sebagai tokoh
spiritual, D. Kumarasamy telah membuktikan diri menjadi seorang
tokoh pimpinan yang berwawasan luas dalam berbagai aspek dan
dapat mengatur serta memimpin kelompoknya secara modern.
Pada tahun 1954, D. Kumarasamy mendirikan dan mempimpin
sebuah lembaga pendidikan bernama Bharathi English School31.
Lembaga pendidikan ini terbuka untuk umum, akan tetapi sasaran
31 Sebenarnya, sebelum Bharathi English School berdiri di Medan sudah ada lembaga pendidikan lainnya untuk etnis-etnis India yang bernama Khalsa English School yang diprakarsai oleh etnis
lembaga ini. Oleh karena itu, khususnya di kalangan etnis Tamil muncul upaya mendirikan lembaga pendidikan yang baru yang dinamakan Bharathi English School.
yang utama adalah kelompok etnis Tamil (tanpa membedakan
latar belakang agamanya), karena kelompok inilah yang tingkat
pendidikannya masih tertinggal dibandingkan dengan kelompok
lainnya.
Pada ulang tahunnya yang ke-50, D. Kumarasamy memperkenalkan
sebuah karya barunya yang berisi tata cara menulis huruf-huruf
bahasa Tamil ke dalam bentuk bunyi huruf lain. Melalui buku
tersebut, mereka yang belum mengenal huruf atau alphabet Tamil,
tetapi mengenal huruf latin dapat mempelajari bahasa Tamil. Menurut
D. Kumarasamy, setiap kelompok masyarakat harus mengenal jati
dirinya, dan salah satu caranya adalah dengan mempelajari atau
menguasai bahasanya sendiri.
92 93Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
D. Kumarasamy memimpin upacara Maha Puja di Vihara Ashoka
D. Kumarasamy bersama Y.A. Bhikku Girirakkhito
95D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan94 Pengabdian D. Kumarasamy Sebagai Maha Upasaka Maha Pendeta Ashok Dharma Surya (1942-1956)
Setengah abad sudah usia Anna D. Kumarasamy. Dalam usianya
yang demikian, ia telah mencapai puncak kedewasaan dan dapat pula
dikatakan sebagai orang yang memasuki usia tua. Secara fisik, usia
yang demikian kecenderungan mengalami menurun, akan tetapi
dari sudut psikis atau kerohanian, usia sedemikian masih dapat
berkembang. Yang jelas bagi seseorang yang jiwanya selalu diasah
dengan meditasi (renungan yang mencari hakikat kehidupan) akan
melahirkan kearifan dalam prilaku dan tindakannya.
Bagi anak-anak dan istrinya, D. Kumarasamy tidak hanya menjadi
bapak atau suami, tetapi juga dapat menjadi teman berdiskusi.
Dalam setiap diskusi ia bukan hanya sebagai pembicara yang harus
didengarkan, tetapi juga mau mendengarkan dan menghormati
pendapat pihak lain. Dalam setiap saran atau sanggahannya beliau
selalu memberikan argumentasi yang jelas. Inilah salah satu proses
pendidikan D. Kumarasamy yang diterapkan di tengah keluarganya.
Sebenarnya, sejak tahun 1952, D. Kumarasamy lebih banyak
menetap di sebuah rumah yang berada di jalan Lobak kelurahan
Medan Baru yang ada sekarang. Tapak perumahan dibelinya dari
pendapatannya selama bekerja di Hoorison. Sedangkan rumah di jalan
D. Kumarasamy sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
7
96 97D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
Calkota ( Zainul Arifin ) adalah hadiah dari salah seorang sahabatnya
yang bernama Deliph Singh, seorang India yang berasal dari Punjab.
Rumahnya yang semula berada di jl. K.H. Zainul Arifin kelurahan
Madras Medan yang sekarang ditempati oleh keluarga pihak istri
pertama. Kemudian setelah anak pertamanya yang bernama Sakuntala
berumah tangga, rumah itu ditempati oleh anaknya tersebut. Istri
pertama D. Kumarasamy pindah ke kawasan jalan Binjai atau di jalan
Pasundan yang ada sekarang.
Keempat orang anak dari kedua istrinya sudah mulai beranjak
dewasa. Beliau berupaya memperlakukan mereka dengan bijaksana
dan seadil mungkin. Demikian pula terhadap kedua istrinya.
Adakalanya di waktu-waktu tertentu, salah seorang anak dari istri
pertama lebih dapat bermanja kepada ibu tirinya atau kepada istri yang
kedua. Demikian pula sebaliknya. Kedua istrinya tinggal di rumah
yang berbeda, namum mereka selalu saling berkunjung. Tak jarang
pula, di antara anak-anaknya tidur di rumah ibu tirinya. Keempat
orang anaknya itu adalah : Sakuntala dan Nyana dari istri pertama,
dan Indra Kumari dan Mohandas dari istri yang kedua32.
Sebagai seorang bapak, D. Kumarasamy tidak pernah memaksakan
kehendaknya untuk mengarahkan anak-anaknya agar berprofesi atau
menekuni bidang studi tertentu. Yang paling penting baginya, anak-
anaknya harus mempunyai bakat ilmu pengetahuan dan dasar moral
yang baik. Bahkan ia tidak mau kalau di antara anak-anaknya harus
berprofesi sebagaimana dirinya. Baginya, profesi dalam kehidupan
bukan sesuatu yang harus diwariskan. Akan tetapi yang harus
diwariskan kepada anak-anak atau cucu-cucunya dikemudian hari
adalah keluhuran pribadi yang berpijak pada moral.
Pernah salah seorang anaknya, yaitu Mohan menyatakan
keinginannya kepada D. Kumarasamy agar ia dapat menekuni bidang
kerohanian seperti yang dilakukan ayahnya. Akan tetapi Sang ayah
dengan bijaksana menasehati agar anaknya menundanya dulu.
D. Kumarasamy menganjurkan agar anaknya itu menyelesaikan
pendidikannya semaksimal mungkin. Nanti bila sang anak sudah
cukup berilmu dan wawasannya sudah matang, barulah memutuskan
sendiri apakah akan menjadi seorang rohaniawan atau profesi lainnya.
32 Dua orang dari istri pertama dan tiga orang dari istri kedua. Akan tetapi salah seorang anak (anak kedua dari istri ke kedua) dan yang bernama Kartigas meninggal pada usia 13 tahun.
Menurut D. Kumarasamy, idealnya seorang rohaniawan harus
mempunyai wawasan ilmu pengetahuan yang memadai agar dapat
menjawab tantangan zamannya. Tanpa memperbekal ilmu yang
demikian, maka seorang rohaniawan hanya dapat 'berbicara di dalam
biara' saja.
Sebagai seorang ayah, D. Kumarasamy berupaya untuk mendidik
anak-anaknya dalam pola hidup yang sederhana. Walaupun
sebenarnya sebagai salah satu staf pegawai yang bekerja di perusahaan
perkebunan Harrison & Crass Field pendapatannya cukup memadai.
Kalau ia mau tentunya mampu untuk menikmati kehidupan yang
lebih mewah. Justru dalam keadaan yang 'berkemampuan' itulah ia
harus dapat membuktikan bahwa ia dapat menahan diri dan hidup
secara sederhana.
Pada tahun 1950an, walaupun usianya telah melampaui setengah
abad D. Kumarasamy tetap mengayuh sepedanya saat bepergian.
Kelebihan gajinya dari sisa biaya hidup keluarganya sehari-hari selalu
dihabiskan untuk kepentingan sosial, terutama untuk mendanai
penerbitan-penerbitan bulletin yang dikhususkan untuk membuka
mata intelektual kelompok etnis Tamil. Kedua istrinya sudah maklum
akan hal itu, oleh karena itu, apa yang dilakukan D. Kumarasamy
dalam mendistribusikan pendapatan atau gajinya tak pernah menjadi
persoalan dalam keluarga.
Sejak tahun 1955, pengabdian Anna dalam aktivitas keagaamaan
Budha memang lebih menonjol. Baginya hal ini tidak terlepas
dari situasi dan kondisi pemeluk agama Budha yang memang
lebih membutuhkan kehadirannya. Paling tidak, secara kualitas
makna kehadirannya sudah dapat dilihat dari aktifitas keagamaan
umatnya maupun kehidupan kelembagaannya. Karena aktivitasnya
yang menonjol dalam kehidupan keagamaan umat Buddha ini, D.
Kumarasamy terpilih menjadi salah seorang peserta yang mewakili
Indonesia untuk menghadiri Konfrensi Budhis Internasional yang
diselenggarakan di Bangkok -Thailand pada tahun 1956.
Sebenarnya di daerah-daerah lain di Indonesia, penganut agama
Budha cukup banyak. Baik dari kalangan pribumi sendiri (terutama di
pulau Jawa), maupun dari etnis-etnis pendatang yang telah menetap
di Indonesia, terutama India dan Cina. Namun secara keseluruhan,
mereka yang ada di Indonesia belum diikat secara kelembagaan.
Indian Budhist Society di Medan masih merupakan lembaga umat
98 99D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
Budha yang berdiri sendiri, belum mempunyai ikatan kelembagaan
dengan umat Budha lainnya.
Barulah pada tahun 1957 tepatnya pada tanggal 12 Februari
terbentuk suatu organisasi “Perhimpunan Budhis Indonesia” yang
disingkat PERBUDI dan berpusat di kota Jakarta. Untuk wilayah
Sumatera dibentuk Dewan Pimpinan Cabang yang berpusat di
kota Medan dan D. Kumarasamy menjadi ketuanya. Pada tahun
itu juga, D.Kumarasamy diutus sebagai perwakilan umat Budha
Indonesia untuk menghadiri Konfrensi Budhis Internasional yang
diselenggarakan di India di kota Benares.
Meski banyak aktivitas sebagai tokoh Budhis, namun ia tidak
melepaskan diri dari kegiatan lainnya. Aktivitasnya di bidang
pendidikan, khususnya pada sekolah Baratha English School masih
dijabatnya hingga sekitar tahun 1960. Sebagai pimpinan, ia banyak
merekrut tenaga-tenaga pengajar dari kalangan intelektual India yang
berada di daerah ini. D. Kumarasamy mampunyai argumentasi yang
sangat meyakinkan dan menyentuh perasaan sehingga banyak di antara
tenaga pengajar itu yang lebih mengutamakan “rasa pengabdiannya”
di sekolah tersebut dari pada pertimbangan honornya.
Salah seorang tenaga intelektual yang direkrut D. Kumarasamy
untuk terlibat dalam perjuangan meningkatkan kualitas pendidikan
masyarakat adalah Yahya Rowter. Beliau adalah seorang keturunan
etnis Tamil yang beragama Islam yang kala itu baru saja lulus
ujian Senior Cambridge Social Certificate Khalsa English School,
untuk terlibat dalam sekolah Baratha English School. Misi untuk
meningkatkan taraf hidup etnis Tamil melalui lembaga pendidikan,
sangat menggugah Yahya Rewter. Misi ini sesuai dengan keyakinan
agama Islam yang dianutnya (menurut pandangan ajaran agama
Islam, orang Islam harus mampu memberikan rahmat atau kebaikan
bagi seluruh alam, rahmatan lil alamin. Dan beliaulah yang kemudian
menjadi salah seorang sahabat dekat D. Kumarasamy. Sejak hadirnya
tokoh-tokoh intelektual ini D. Kumarasamy bagaikan memperoleh
sparing-partner untuk berdiskusi. Secara tak langsung hal itu telah
mengurangi kesepian hidupnya yang ada selama ini, terutama di
bidang ilmu pengetahuan.
Sejak awal tahun 1960-an, masyarakat etnis Tamil yang ada di
daerah ini mulai menunjukkan eksistensinya terutama dibidang
perdagangan. Pada waktu sebelumnya bidang perdagangan banyak
Foto atas dan bawah:
D. Kumarasamy bersama para peserta Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1956
100 101D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
D. Kumarasamy menjadi salah satu pimpinan sidang dalam Konferensi Buddhis Internasional tahun 1957
D. Kumarasamy menandatangani hasil Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957
D. Kumarasamy menyampaikan pidato sebagai perwakilan pimpinan agama Buddha Indonesia
dalam Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957
D. Kumarasamy bersama peserta Konferensi Buddhis Internasional di Bangkok tahun 1957
102 103D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
didominasi etnis India lainnya seperti dari Bombai dan Punjabi. Di
luar etnis-etnis dari India, bidang perdagangan di kota Medan banyak
dikuasai oleh etnis Cina, Arab dan dari kelompok pribumi yang terdiri
dari etnis Minangkabau dan Mandailing. Dari keseluruhan pedagang
di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya, etnis yang berasal dari
Cinalah yang paling dominan.
Peluang etnis Tamil sebagai pedagang pada era ini merupakan
kesempatan yang penting bagi mereka. Selain berdagang di sekitar
tempat tinggal mereka di kawasan kelurahan Madras, mereka juga
memasuki pusat-pusat perdagangan yang ada di kawasan Pasar Ikan
Lama kelurahan Kesawan Medan. Kawasan ini merupakan tempat
perdagangan grossier (partai besar) dari jenis tekstil. Sebahagian besar
dari pedagang-pedagang ini mengambil barang-barangnya dari pulau
Jawa. Dari Medan mereka menjual kembali ke berbagai daerah yang
ada di kawasan Sumatera. Akan tetapi ada juga di antara pedagang
pajak (pasar) Ikan Lama ini yang membeli tekstil di semenanjung
Malaya (Malaysia) dan India, khususnya tekstil halus dan pelekat dari
Madras. Di antara pedagang-pedagang itu yang dekat hubungannya
dengan D. Kumarasamy adalah G. Krishnasamy, Rengga Samy, dan S.
Marimuthu.
Pada era 1960-an kehidupan masyarakat etnis Tamil di kota
Medan dan sekitarnya sudah mulai berubah. Mata pencaharian
mereka sangat bervarisi. Wanita-wanita tengah baya etnis Tamil yang
menjajakan putu mayong, apom manis, cenel, atau pregedel jagung
di pagi hari hampir tak pernah kelihatan lagi. Biasannya, pada waktu
sebelumnya, dari lorong ke lorong selalu terdengar sayup-sayup suara
wanita etnis Tamil ini menjajakan jualannya. Demikian pula kereta
lembu sudah tidak lagi didominasi oleh etnis Tamil. Sebaliknya, sejak
saat itu tukang kereta lembu sudah diambil alih etnis Jawa. Buruh-
buruh yang membangun sarana lalu-lintas atau tukang aspal jalan,
juga tidak lagi dilakukan oleh etnis Tamil. Kalaupun ada, mereka
sudah berperan sebagai mandor atau pemborongnya. Inilah di antara
contoh pergeseran penghidupan etnis Tamil yang ada di kota Medan
dan sekitarnya.
Di antara mereka yang sempat mengecap pendidikan, sudah
ada pula yang menjadi pegawai negeri atau swasta. Misalnya sebagai
pegawai Kantor Pos, Bea-Cukai, Bank, dan Perusahaan-perusahaan
lainnya. Khususnya etnis yang berasal dari Punjabi (Sikh), mata
pencaharian mereka di kota Medan, lebih banyak sebagai peternak
sapi dan menjual susu. Oleh masyarakat pribumi, etnis Punjabi yang
selalu memakai serban dan berjanggut lebat ini disebut sebagai "Orang
Benggali”33.
Yang lebih menggembirakan lagi, bagi mereka yang mampu,
atau ekonominya memadai ada yang menyekolahkan anak-anaknya
ke luar negeri seperti India ataupun Eropa. Sekembalinya mereka ke
Indonesia, banyak yang bekerja di perusahaan swasta atau menjadi
guru di sekolah-sekolah yang dikelola yayasan etnis-etnis India atau
mengembankan wirausahanya (interpreunership).
Di bidang olahraga, peranan etnis-etnis dari India yang ada di
Sumatera Utara ini sangat besar. Pertama di cabang Hokky, sebagian
besar pemain yang mewakili daerah TK I Sumatera Utara terdiri dari
etnis-etnis Tamil dan Punjabi. Tim hokky ini selalu menjadi juara
di tingkat nasional dan mereka juga selalu mewakili Tim Nasional
Indonesia dalam pertandingan-pertandingan di tingkat internasional.
Salah seorang tokoh legendaris pelari marathon yang pernah menjuarai
even internasional dalam Asian Games, tak bisa dilupakan adalah
Gurnam Singh34. Sumbangan etnis Tamil dan etnis-etnis dari India
umumnya di bidang olah raga pada era awal tahun enam puluhan
menjadi catatan yang cukup penting. Peran mereka dalam kehidupan
sehari-hari hampir tidak dapat dipisahkan dalam masyarakat yang
lebih luas baik dalam lingkup daerah maupun nasional.
Perubahan kehidupan masyarakt etnis Tamil ini tidak lepas dari
perkembangan tingkat pendidikan, wawasan atau kapasitas intelektual
mereka. Mereka semakin terbuka bahwa mereka bukan sekedar
anggota komunitas masyarakat Tamil atau India, tetapi dengan
berdomisili di Indonesia secara turun-temurun, mereka juga menjadi
bagian masyarakat Indonesia. Persinggungan budaya dan sejarah
33 Pada umumnya etnis Punjabi menganut agama Sikh yang menganjurkan pemeluk prianya memakai sorban (penutup kepala) dan membiarkan rambut dan janggutnya tumbuh lebat (tak boleh dipotong). Istilah Benggali merupakan sebutan yang salah kaprah. Menurut sebahagian sumber informasi, kesalahan sebutan itu karena mereka dulunya datang ke Indonesia melalui Teluk Benggala (Bangla, Deli sekarang). Mereka selalu dinyatakan sebagai pendatang dari Benggala.
34 Pada waktu sebelumnya, seorang tokoh lainnya yang berasal dari India dan menetap di Kota Medan adalah Yong Sattar. Beliau pernah menjadi petinju legendaris yang menjuarai wilayah Sumatera dan Nasional di sekitar tahun lima puluhan. Dan lebih menarik lagi kalau Yong Sattar ini pernah memimpin kesatuan laskar Indonesia yang menentang Belanda pada era agresi I (1947) dan agresi II (1948) di Front Medan Area.
104 105D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
serta persamaan tingkat sosial yang ada dengan masyarakat pribumi
umumnya, menjadikan interaksi sosial mereka dengan masyarakat
pribumi menjadi lebih mudah.
Dalam era yang sama, kehidupan politik di Indonesia semakin
kompleks. Hal ini tentunya akan membawa pengaruh dalam kehidupan
sosial pada masyarakat luas termasuk aktivitas masyarakat etnis Tamil
yang ada di kota Medan. Saat itu kepentingan politik sudah menjadi
'panglima'. Maksudnya, aktivitas sosial seperti diharuskan berorientasi
kepada arah politik pemerintah. Semboyan untuk berdikari (Berdiri
Di atas Kaki Sendiri) dan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme-
Imperialisme) dalam kebijakan ekonomi-politik presiden Soekarno
berdampak pada menjauhnya hubungan negara Indonesia dari dunia
internasional, terutama negara-negara Eropa yang berpaham liberal.
Negara tetangga terdekat seperti Malaysia saat itu dianggap sebagai
'antek Nekolim' dan dalam kebijakan politik ini dianggap musuh
bagi bangsa Indonesia. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu,
walaupun secara normatif 'bebas aktif ' namun pada prakteknya pada
periode itu cenderung ke blok sosialis, sehingga muncul istilah 'poros
Jakarta-Peking-Pnom Phen'.
Akibat situasi politik ini, sejak tahun 1963, Perhimpunan
Theosophy Tjabang Indonesia (PTTI) diubah namanya menjadi
Persatuan Warga Theosophy Indonesia (PERWATIN) yang tetap
beralamat di Medan Lodge jalan Imam Bonjol yang ada sekarang.
Para anggota yang tergabung dalam lembaga ini tetap bersifat terbuka,
tanpa melihat etnis, bahasa, kebangsaan, idiologi politik maupun
agama yang dianutnya masing-masing. Keterbukaan lembaga ini
menyebabkan 'orang-orang asing' yang ikut menjadi anggota, selalu
membuka hubungan ke luar negeri atau ke cabang-cabang lainnya
yang ada di luar Indonesia. Pandangan yang sedemikian ini tentunya
tidak serasi dengan perkembangan politik negara Indonesia ketika
itu. Maka demi keberlangsungan lembaga Theosophy sendiri, tempat
pertemuan yang ada di Medan Lodge dijadikan vihara Borobudur,
tempat peribadatan umat Buddha secara umum tanpa membedakan
asal etnisnya. Sedangkan kegiatan Theosophy (PERWATIN) tetap
dilaksanakan di salah satu ruangan yang ada di belakang gedung itu.
D. Kumarasamy aktif memimpin peribadatan umat Buddha di kedua
tempat ini.
Suatu hal yang lebih menarik lagi bahwa sejak tahun 1962,
atas saran A.Wellu salah seorang tokoh Budhis Tamil yang ada di
daerah ini, Maha Puja yang pada mulanya ditulis dalam bahasa
Tamil, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian,
tuntunan Maha Puja yang disusun oleh D. Kumarasamy sudah dapat
dipakai sebagai pedoman Puja bagi etnis-etnis lainnya. Sejak itu pula
Maha Puja versi bahasa Indonesia selalu digunakan di vihara Ashoka
dan vihara Borobudur, sehingga etnis lain pun dapat melakukan
upacara peribadatan di kedua vihara ini35.
Pimpinan Sangha Agung Indonesia, yang bernama Ashin
Jinarakkhita, MNS, setelah beberapa kali menyaksikan upacara Puja
ini merasa sangat terkesan dan kagum atas upaya D. Kumarasamy
untuk meningkatkan penghayatan umat pada ajaran agama Budha.
Pada waktu sebelumnya, belum ada buku tuntunan yang selengkap
karya D. Kumarasamy ini untuk pedoman peribadatan umat Budha
Indonesia. Oleh karena itu beliau sangat setuju bila buku karya
D. Kumarasamy tersebut dijadikan salah satu buku pedoman bagi
umat Buddha yang ada di Indonesia. Demikian pula Y.A. Bhikku
35 Buku Kebaktian Maha Puja karya Maha Pandita Ashoka Dharna Surya D. Kumarasamy, akhirnya secara resmi diterbitkan oleh Sangha Agung Indonesia Rayon I pada tahun 1974, dan cetakan II pada tahun 1983.
D. Kumarasamy memimpin upacara puja di vihara Ashoka
106 107D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
Girirakkhito yang pernah menyaksikan dan mempelajari buku
Maha Puja menyatakan persetujuannya. Atas upaya besarnya ini
D. Kumarasamy mendapat gelar-gelar keagamaan Budha sebagai
“Maha Upasaka, Maha Pandita Ashok Dharma Surya”36. Beliau juga
mendapat jabatan sebagai Pandita Dharma Duta, yang dapat menjadi
pandita bagi umat Budha di kawasan lainnya.
Sebagaimana telah dilakukan D. Kumarasamy di kalangan umat
Hindu etnis Tamil, ia juga mengadakan pembaharuan-pembaharuan
di kalangan umat Budha etnis Tamil. Kebiasaan-kebiasaan yang
mubazir (sia-sia) mulai diubahnya. Sebagai contoh di tempat keluarga
yang ditimpa musibah, misalnya salah satu anggota keluarganya
meninggal. Pada waktu sebelumnya, biasanya para kerabat dan jiran
tetangga ngobrol semalam suntuk tanpa arah pembicaraan yang jelas
atau tidak berkaitan dengan kemalangan ataupun aktifitas keagamaan.
Demikian pula para wanita dari anggota keluarga yang meninggal,
hanya menangis meratapi mayat yang terhantar (sebelum dikramasi).
D. Kumarasamy mengubah kebiasaan ini dengan mengisi kesempatan
tersebut untuk membacakan parita yang terhimpun dalam buku yang
disusunnya dengan judul “Ashok Gatha”. Buku parita ini terdiri dari
334 bait untaian kalimat yang mengandung pesan-pesan suci dari Sang
Budha. Dengan membaca parita-parita tersebut dapat diharapkan
agar para keluarga yang yang mendapat musibah maupun para pelayat
yang hadir dapat lebih tabah menghayati makna kehidupan sebelum
dan sesudah meninggal.
Pada tahun 1964 ketika usia D. Kumarasamy telah mencapai
58 tahun, beliau berhenti bekerja dari Perusahaan Harrison &
Craosfield. Sudah hampir 40 dari tahun 1925 hingga 1964 ia bekerja
di perusahaan ini, sudah sepantasnyalah ia menerima pensiun dari
perusahaan tersebut. Baginya, berhenti dari perusahaan itu bukanlah
akan menjadi masalah untuk kehidupannya, apalagi anak-anaknya
sudah dapat mandiri, tidak memerlukan pembiayaan lagi. Bahkan
tiga orang di antaranya telah berumah tangga. Dua orang di antara
anaknya tetap beragama Hindu, dan D. Kumarasamy sebagai ayah,
tetap merestuinya. Dua orang lainnya, yaitu dari istri kedua, mengikuti
jejaknya menganut agama Budha.
36 Gelar-gelar itu mengandung arti sebagai berikut : Maha Upasaka artinya Ketua dari semua upasaka / upasaki, Maha Pandita artinya Ketua dari semua Pandita, Ashok Dharma Surya sebagai gelar kehormatan untuk dirinya.
D. Kumarasamy bersama pimpinan Sangha Agung Indonesia, Ashin Jinarakkhita, MNS
108 109D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
Selain meninggalkan profesinya sebagai pegawai perusahaan, D.
Kumarasamy merasa lebih bebas melaksanakan aktivitasnya sebagai
rohaniawan. Ia tetap mengayuh sepeda mengunjungi mereka yang
memerlukannya, tanpa melihat dan membedakan agama atau aliran
politiknya. Kelompok etnis Tamil yang ada di daerah ini tetap menjadi
prioritas perhatian dan binaannya.
Sesuai dengan kondisi politik yang ada pada waktu itu, banyak
orang dari etnis Tamil di Sumatera Utara menjadi anggota organisasi
partai politik. Menurut Anna “Partai politik yang ada hanya berorientasi
untuk memperjuangkan kepentingan kelompok. Seharusnya mereka
bercita-cita untuk kepentingan bangsa dan negaranya”. Namun Anna
sendiri tidak melarang mereka yang ingin berpolitik atau menjadi
anggota salah satu partai. Hanya saja, beliau selalu memberi 'aba-aba',
agar etnis Tamil jangan sampai memasuki partai yang menyandang
paham materialisme dan atheisme. Hal ini tentunya sejalan dengan
pandangan atau filsafat hidupnya. Beliau selalu menganjurkan agar
etnis Tamil dan keturunan India lainnya yang telah menetap atau lahir
di Indonesia agar secara resmi menjadi Warga Negara Indonesia.
Pada tahun 1965 setelah setahun D. Kumarasamy pensiun dari
Perusahaan Harrison Craosfield, situasi politik di Indonesia semakin
panas. Sebagai seorang yang menguasai astrologi ia bagaikan merasa
ada sesuatu yang akan tejadi, khususnya yang berkaitan dengan
masalah politik. Mungkin beliau sendiri sudah tahu, tetapi ia secara
terus-terang tak pernah memberitahukan apa yang akan terjadi. Di
dalam pertemuan-pertemuan, ia selalu memberikan isyarat-syarat
agar berhati-hati. Teman-temannya selalu melihatnya sebagai orang
yang murung, atau sebagai seseorang yang sedang berpikir keras, tetapi
tidak menemukan jalan keluarnya. Seorang sahabatnya, yaitu Yahya
Rowter, sangat memperhatikan perubahan sikap D. Kumarasamy ini.
Yahya pernah bertanya langsung kepada D. Kumarasamy, namun
tidak memperoleh jawaban yang tegas. Sebagai sahabat yang dekat
dengan D. Kumarasamy, ia menyarankan agar D. Kumarasamy
jangan terlalu memaksakan diri karena “setiap manusia mempunyai
keterbatasan dan hanya mampu mengemban amanah dari Tuhan
sesuai kemampuan yang ada padanya”.
Anna D. Kumarasamy sangat menghargai perhatian dari
sahabatnya ini. Walaupun Yahya Rowter jauh lebih muda darinya
dan beragama Islam, namun di dalam persahabatannya dengan
D. Kumarasamy, selalu menunjukkan perhatian atau rasa simpati
yang luar biasa. Satu hal lagi yang menimbulkan rasa hormat D.
Kumarasamy kepadanya, sahabatnya ini mau memberikan kritik
secara terbuka kepadanya.
Memang dalam kehidupan D. Kumarasamy sehari-hari, beliau
adalah seorang tokoh yang selalu menghormati dan menghargai orang
yang mau memberikan kritik kepadanya. D.Kumarasamy bukanlah
seorang yang hanya pandai memberikan kritik kepada seseorang
atau lembaga tertentu, tetapi juga siap menerima kritikan terhadap
dirinya. Akan tetapi, yang paling tidak disukainya adalah seseorang
yang memberikan kritik secara tidak langsung, atau orang yang hanya
pandai mengkritik di belakang, bukan di hadapannya. Baginya, kritik
seperti itu tidak pada tempatnya, sehingga ia tidak dapat memberikan
pembelaan diri, dan dapat menimbulkan fitnah.
Masih dalam tahun itu juga, dalam pergulatan pikiran dan
batinnya menghadapi situasi dan kondisi yang ada, D. Kumarasamy
sekeluarga memutuskan melakukan lawatan ziarah ke India. Baginya
perjalanan ziarah adalah sebuah perenungan diri dari mana asalnya
dan ke mana tujuan perjalanan hidupnya. Ziarah menjadi suatu
kontemplasi dari proses reinkarnasi dirinya, sehingga ia menemukan
jati dirinya. Keputusan itu sudah bulat, ia akan melakukan ziarah ke
India, agar dapat mengarahkan kehidupannya yang akan datang pada
nilai-nilai yang lebih abadi. Kepada kelompok atau lembaga-lembaga
yang ditinggalkan, ia berpesan agar jangan sampai terlibat dalam
kegiatan partai politk manapun. D.Kumarasamy juga berjanji, bahwa
ia akan kembali lagi, terutama karena ia sendiri merasa tugasnya
belum selesai.
Akhirnya perjalanan ziarah itu pun dimulainya, didampingi
anak-anak menantu dan istrinya. D. Kumarasamy juga merasa anak-
anaknya harus ikut agar tidak kehilangan “benang-merah” yang
mempertautkan garis keturunan dan cikal bakal keluarganya. Desa-
desa tempat kelahiran orang tua dan kakek-neneknya tak luput dari
kunjungannya. Mereka sekaligus merekonstruksi kembali perjalanan
hidup asal-usul kelurga mereka. Tak kalah pentingnya mereka juga
mengunjungi tempat-tempat suci bagi agama Hindu dan Budha yang
ada di India, di antaranya adalah Benares dan Ayodya. Kedua tempat
ini merupakan tempat suci dan mengandung nilai sejarah bagi dua
agama besar ini. Benares merupakan tempat yang paling bersejarah
110 111D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
dalam perjalanan Sidharta Gautama. Tempat itu juga disebut
sebagai Taman Menjangan. Di tempat inilah Sang Sakyamuni Budha
mengajarkan kepada para pengikutnya, bagaimana caranya atau
proses seseorang untuk melepaskan diri dari Karma dan Samsara dan
akhirnya dapat mencapai Nirwana. Kesemuanya itu harus melalui
suatu proses perenungan Dharma Cakra, yaitu suatu perjalanan
atau lingkaran proses sebab-akibat. Ajaran ini mengandung makna
bahwa kehidupan yang bersifat duniawi tanpa perenungan adalah
penderitaan, penderitaan ada sebab-sebabnya dan sebab-sebab
penderitaan dapat dilenyapkan karena ada jalan untuk melenyapkan
penderitaan itu.
Di samping ziarah ke tempat-tempat suci agama Hindu dan
Budha, D. Kumarasamy sekeluarga juga berkunjung ke Adyar,
(kawasan Tamil Nadu di India-Selatan) sebagai tempat yang menjadi
Pusat Perhimpunan Theosophy sedunia. Bagi D. Kumarasamy,
sebagai salah seorang anggota yang tergabung dalam organisasi ini,
merupakan hal yang cukup penting untuk berdiskusi dan mengamati
perkembangannya.
D. Kumarasamy bertemu dengan N. Sri Ram yang menjadi
Presiden Perhimpunan Theosophy sedunia tersebut. Mereka banyak
membahas kaitan Nyana (bersifat kebaktian/Spiritual) dan Winyana
(bersifat material/jasmaniah). Mereka sependapat bahwa kedua unsur
itu saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya,
dan setiap manusia mempunyai kemampuan untuk mempergunakan
kedua unsur itu bila dilakukan dengan penuh konsentrasi dan berlatih
yang tekun.
Salah seorang wanita bangsa Amerika, yang bernama Mrs. Petarin
G. Perkins yang bertugas di bagian Pelayanan Theosophy (The Theosopical
Order Of service) meminta agar D. Kumarasamy membantunya untuk
membenahi organisasi yang dipimpinnya. Sebagai salah seorang
anggota, D. Kumarasamy bersedia membantunya. Bagaimanapun
secara organisasi maupun moral D.Kumarasamy merasa harus ikut
bertanggung jawab atas jalannya organisasi ini. Dari laporan yang
diterimanya, badan yang dipimpin Mrs. Perkins ini tidak berjalan
sebagaiamana mestinya. D. Kumarasamy menyatakan kesediaannya
untuk membenahi dan untuk sementara beliau diberi mandat penuh
sebagai sekretaris badan organisasi ini.
Ketika D. Kumarasamy dan keluarga berziarah ke India,
masyarakat Tamil di Medan merayakan ulang tahunnya yang ke 60 di
kuil Shri Tendayuthabani, Jalan Kejaksaan Medan tahun1966.
Sebagai sekretaris, D. Kumarasamy bukan saja memperbaiki
sistem kerja yang ada selama ini di badan organisasi tersebut. D.
Kumarasamy juga mengoreksi anggaran dasar organisasi yang
telah ada sebelumnya. Ia berprinsip, setiap organisasi harus dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu,
hal-hal yang tidak sesuai harus diubah dan diganti dengan yang baru
yang relevan dengan perkembangan yang ada. Selama lebih kurang
dua tahun, ia dengan tekun melaksanakan tugasnya membenahi
organisasi dan bertindak sebagai sekretaris. Apa yang dilakukannya
memberikan hasil yang nyata. Pusat kebaktian dan pelayanan badan
organisasi ini menjadi lebih aktif di tengah masyarakat. Dan D.
Kumarasamy juga mengusulkan agar di saat yang tepat nantinya pusat
kegiatan badan Theosophy ini dapat dipindahkan ke kawasan lainnya,
yaitu India bagian Barat.
Akhirnya tahun 1967, setelah 2 tahun D. Kumarasamy berada di
badan lembaga Theosophy ini ia sekeluarga mohon diri untuk pulang
ke Indonesia. Ia merasa tugasnya di India sudah selesai, namun di
Indonesia masih banyak pekerjaan yang harus dilaksanakannya. Mrs.
Perkins yang menjadi pengurus di badan lembaga disebut tak dapat
menolak, karena apa yang diharapkannya dari D. Kumarasamy telah
diperolehnya. Mereka yang menjadi pengurus di badan lembaga ini
merasa sangat tertolong dan terkesan dengan cara D. Kumarasamy
membenahi lembaga ini. Hal ini terungkap dalam surat Penghargaan
atau ucapan terimakasih mereka, yang diterjemahkan isinya sebagai
berikut :
The Theosophical Order of Service
Madras City, Adyar Madras 20, India
20 June 1967
Tuan D. Kumarasamy,
Adyar, Madras 20, India
Yth. Tuan D. Kumarasamy,
Sejak tuan tinggal di Adyar, telah bekerja sama dengan saya untuk
kepentingan masyarakat etnis melalui The Theosophiscal Order of
Service, Cabang Madras denga usaha dan kesetiaan, maka saya merasa
112 113D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
bangga dan gembira, Tuan telah membantu saya untuk melanjutkan
tugas-tugas saya sebagai ketua dalam pelaksanaan tugas kebaktian.
Kemampuan Tuan di bidang administrasi dan dibarengi pergaualan
dengan masyarakat, telah menciptakan suasana yang harmonis dalam
kelancaran karya-karya kebatinan, dan senantiasa tekun serta gembira
dalam melaksanakan semua usaha-usaha. Saya telah memperoleh
manfaatnya dalam kebijaksanaan Tuan.
Kehadiran Tuan akan berlalu dari Adyar, Tuan serta keluarga
dengan bahagia akan kembali ke Indonesia, selanjutnya saya dan
Mr.Perkin (Suami) menyampaikan terima kasih serta ucapan selamat.
Demikianlah kami nyatakan dengan perantaraan surat ini.
Salam Cinta Kasih
Dari Petarin G. Perkins
Jem s. Perkins
Bagi D. Kumarasamy sekeluarga, kembalinya mereka ke kota
Medan merupakan kembali ke kampung halaman. Yang pasti bagi
mereka perjalanan ziarah ke India selama lebih kurang dua tahun
telah menimbulkan kesegaran yang baru, baik secara lahiriah
maupun batiniah. Mengenang masa lalu sambil melakukan empati
yang mendalam tentunya akan melahirkan kebeningan-kebeningan
pikiran yang menyejukan. Terlebih-lebih dalam perjalanan itu
selalu disuguhkan panorama-panorama bersahaja kehidupan
Peradaban Timur. Kesehajaan yang ada selalu mendorong hasrat
persahabatan manusia dengan alam. Seluruh aktivitas yang ada
bersama lingkungan alam yang belum tercemar, memperlihatkan
betapa indah dan harmonisnya irama kehidupan yang diciptakan
oleh Tuhan. Berpulang kepada manusialah, sebagai makhluk yang
berakal, apakah ia akan tetap mempertahankan harmoni itu atau ia
akan merusaknya demi kepentingan-kepentingan sesaat. Renungan
inilah yang telah mengantarkan D. Kumarasamy sekeluarga pulang ke
kampung halamannya di kota Medan. Kekusutan pikiran bagai telah
terurai kembali dan tugas kehidupannya selanjutnya telah menanti.
Pertengahan tahun 1967, mereka sekeluarga telah tiba kembali
di kota Medan. Secara fisik, kota Medan tidak mengalami perubahan
dibanding ketika di tinggalkannya pada tahun 1965. Akan tetapi secara
politis terjadi perubahan orde kekuasaan yang cukup drastis. Rezim
pemerintahan Soekarno yang memerintah dari tahun1945 hingga
1966 telah digantikan dengan orde pemerintahan yang dipimpin oleh
Suharto yang militeristik.
Sebagaimana pada era pemerintahan Soekarno, konstitusi yang
menjadi landasan hukum bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
masih tetapUUD 1945. Sistem pemerintahan yang digunakan juga
masih dengan istilah demokrasi. Namun dalam prakteknya, bila
demokrasi pada era orde Soekarno, disebut dengan “Demokrasi
Terpimpin” maka pada pemerintahan Soeharto disebut dengan
“Demokrasi Pancasila”. Yang paling nyata perbedaannya pada masa
pemerintahan Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak
dibenarkan hidup dalam negara Indonesia, dengan alasan bahwa
partai ini dituduh sebagai dalang petaka peristiwa Gestapu (G30S)dan
azas partai Komunis bertentangan dengan azas atau falsafah bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila37.
Bagi D. Kumarasamy, perubahan politik yang ada tidak menjadi
kendala dalam melaksanakan misi kehidupannya. Ia pun tidak
merasa kaget dengan perubahan tersebut, karena perubahan itu
sudah ia perkirakan akan terjadi di Indonesia, selain memang tidak
bisa disangkal bahwa tak ada yang abadi dalam alam ini kecuali
perubahan-perubahan itu sendiri.
Demikian pula yang terjadi dalam kondisi fisik D. Kumarasamy.
Pada saat itu 1967 usianya telah mencapai 60 tahun lebih. Betapa pun
rajin ia menjaga kesehatan tubuhnya antara lain dengan olah raga,
yoga dan meditasi, proses penuaan yang mengikuti hukum alam tak
tetap tidak dapat dihambat. Sejak saat itu, ia merasa tenaganya tak
cukup lagi untuk mengayuh sepeda dalam menjalankan aktivitasnya.
Sementara D. Kumarasamy, sang Anna, bukanlah tokoh yang merasa
perlu untuk dikunjungi, sebaliknya dia seorang tokoh yang lebih
suka banyak mengunjungi orang yang memerlukannya. Oleh karena
itu atas saran keluarga dengan mempertimbsngkan tenaga yang ada
pada dirinya, D. Kumarasamy membeli sepeda motor (bromfits)
merk Cyrus. Menurut tingkat kehidupan pada masa itu, kendaraan
37 Menurut beberapa ahli sejarah tentang Indonesia, peritiswa G30S ini sangat terkait dengan situasi Perang Dingin antara blok Komunis dan blok negara-negara Kapitalis di mana Indonesia
internal di dalam negeri untuk memenangkan blok yang mereka bela dan memberi keuntungan kekuasaan politik maupun ekonomi. Lihat Benedict R. Anderson dan Ruth Mc. Vey dalam makalah yang berjudul ", A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, atau dikenal dengan istilah Cornel Paper.
114 115D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
sepeda motor yang dimiliki D. Kumarasamy itu masih dalam ukuran
sederhana, tidak mewah. Akan tetapi bagi D. Kumarasamy, fasilitas
kendaraan yang seperti itu ia anggap lebih dai memadai untuk
kelancaran pelaksanaan misi kehidupannya.
Sejak D. Kumarasamy menjalani pensiunnya dari pekerjaannya
di Harrison Craossfield (yang kemudian bernama P.T. London
Sumatra), ia membuka usaha kecil-kecilan yaitu toko kebutuhan
sehari-hari di rumah. Di samping itu ia juga mengajar bahasa Inggris
dari rumah-ke rumah (privat-less). Hasilnya cukup lumayan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terlebih-lebih mereka yang
mengharapkan tenaga darinya sebagai guru les privat, umumnya
terdiri dari mereka yang kehidupannya cukup mapan dan dapat
memberinya honor yang sangat memadai.
Sementara itu anak-anaknya dari istri pertama maupun dari
istri kedua, boleh dikatakan sudah hidup secara layak dan mandiri.
Kedua anak dari istri yaitu pertama yang perempuan yaitu Sakuntala
dan anak laki-laki Nyana Pergas tetap beragama Hindu. Sakuntala
akhirnya menetap di Malaysia, sedangkan Nyana Pergas yang kawin
dengan seorang wanita pribumi menetap di Medan.
Bagi anak-anaknya yang ingin melaksanakan upacara perkawinan
menurut agama di luar Budha, D. Kumarasamy tetap memberikan
restunya dan tetap ikut membantu pembiayaannya. Sebagai ayah pun
memberikan kata sambutan atau nasehat dalam upacara perkawinan
itu, walaupun untuk upacara keagamaannya Anna tidak ikut campur.
Hanya pada anaknya Indra Kumarilah, D. Kumarasamy memimpin
upacaranya langsung yang diadakan di Medan Loge pada tahun
1959. Menantu menantu dari anaknya yang beragama Budha itu juga
seorang penganut agama Hindu, dan bernama Kanapathi .
Begitulah sikap dan tindakan D. Kumarasamy di tengah
keluarganya. Sementara itu, di tengah kelompoknya terutama di
kalangan etnis Tamil yang ada di kawasan Sumatera Utara, pada usia
yang tergolong lanjut, ia tidak pernah kehilangan komitmennya. Sang
Anna tetap aktif di tengah kelompok Theosophy, kalangan umat Budha
dan kelompok etnis Tamil Hindu. Semangatnya dalam menghidupi
PERWATIN (Persatuan Warga Theosophy Indonesia) yang menjadi
lembaga resmi dan diakui pemerintah sejak 30 Juli 1963, menjadikan
perkumpulan ini tetap eksis dalam berbagai situasi. Pada tanggal
17 Februari 1968, ditetapkan sebagai hari jadi PERWATIN Sanggar
Medan.
Pembenahan di kalangan umat Budha dalam kehidupan
keagamaan sangat terasa saat itu di Medan. Buku Maha Puja
yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, semakin
memperoleh pengakuan dan telah memberikan imbas yang sangat
luas ke kawasan Indonesia lainnya. Perkembangan selanjutnya, agar
lembaga keagamaan Budhis ini semakin terkordinir, tahun 1968,
Persatuan Upasaka-Upasaki Indonesia (PUUI) dan Perhimpunan
Budhis Indonesia (PERBUDI) dilebur menjadi satu wadah dengan
nama Majelis Ulama Agama Budha Indonesia (MUABI).
Aktivitas D.Kumarasamy di bidang keagamaan Budha semakin
menonjol dalam perjalanan usianya yang makin senja. Pada tanggal 3
Agustus 1971, ketika usianya sudah mencapai 65 tahun, beliau terpilih
kembali untuk menghadiri Ulang Tahun ke-75 Buddhis Temple yang
ada di Kuala Lumpur Malaysia. Acara ini bersamaan pula dengan
acara pembukaan “Internasional Buddhis Pagoda” di kota tersebut.
Beliau mendapatkan kehormatan untuk memberikan kata sambutan
di Brick Field Kuala Lumpur, di hadapan perwakilan umat Budhis
sedunia yang hadir.
Dari hasil pertemuan tersebut D. Kumarasamy memperoleh
hikmah yang luar biasa. Setidak-tidaknya antara umat Budha
dari berbagai negara dan asal budaya, dapat berkomunikasi satu
dengan yang lain, termasuk membicarakan berbagai konsep-konsep
keagamaan maupun tata cara peribadatannya. Dari petemuan besar
D. Kumarasamy dalam pernikahan putrinya, Indra Kumari, di lodge Medan
116 117D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
ini, erbentuklah Dharma Institut dan Buddhis Missionary Institution.
Pada waktu ditetapkan yang menjadi presidennya adalah Ven Nayaka
Thera.
Dalam rangkaa peningkatan penghayatan keagamaan, diputuskan
pula disetiap Pagoda (vihara) akan disediakan ruang khusus untuk
melakukan meditasi. Bagi D. Kumarasamy sendiri, tata ruang yang
demikian sangat ideal, karena aktivitas meditasi merupakan metode
yang sangat efektif untuk menjernihkan fikiran melalui kesegaran
udara. Kesegaran udara yang dihirup akan menjalar ke seluruh pori-
pori, seluruh tubuh dan ke pusat syaraf sehingga mampu melahirkan
paduan jasmaniah dan rohaniah yang sehat dan bersih.
Berikut ini adalah kata sambutan dari Maha Upasaka Maha
Pendeta Ashok Dharma Surya (D. Kumarasamy) di Brick Fields,
Kuala Lumpur–Malaysia, pada tangaal 03 Agustus 1971:
"Pada perayaan HUT ke 75 Buddhis Temple dan peresmian
pembukaan International Budhist Pagoda di Kuala Lumpur– Malaysia,
saya merasa memperoleh penghargaan yang sangat bernilai karena
berkesempatan untuk menyampaikan ucapan selamat dan sentosa yang
diliputi kegembiraan dari hati nurani kami atas nama saya pribadi dan
masyarakat Budhis di Sumatera Utara.
Mengingat pada sejarah singkat dari Budhis Temple ini, saya
terkenang pada kata–kata yang telah diucapkan oleh Albert Camus,
“Cita–cita luhur yang dicetuskan, suatu saat menjadi kenyataan, tampil
di dunia laksana merpati, kemudian jika kita cermati dengan dengan
sungguh–sungguh akan terdengar suara–suara gelepar sayap–sayapnya
yang lemah berharapan hidup–leluasa”
Demikianlah, kenyataan dari cita–cita untuk membangun sebuah
Buddhis Temple di Kuala Lumpur, dicetuskan pada tahun 1894 bersama
dengan pembentukkan Yayasan 'Sasana Abhiwurdhi Wardhana', yang
dilanjutkan dengan pembangunan dan meng giatkan aktivitas Yayasan
sehingga tidak ada terhambatan atau mengalami kelesuan, tetapi
senantiasa dinamis dan sportif.
Pada tahun-tahun 1961 dan 1962 cita-cita tersebut makin menjadi
kenyataan dengan terbentuknya 'Dharma Institut' dan Yayasan 'Budhis
Missionary', berikut dengan penerbitan majalah“ The Voice of Budism”
yang tercatat kira–kira 3000 pelanggan tersebar di seluruh Dunia pada
masa kini.
Seseorang berkata, “Jika tidak dapat melihat maka orang menderita”
dan di sini kita melihat suatu makna pandangan tanpa kepentingan
pribadi, suatu idea luhur bagai bibit yang sangat kecil jatuh ke dalam
beberapa kalbu dan pikiran–pikiran luhur. Kita tidak berkhayal, tapi
memandang pada perkembangan cita–cita luhur tersebut, dengan
harapan kita dapat berbangga dan merindukannya.
Pada HUT ke-75th ini, cita- cita dari generasi lama dilanjutkan oleh
generasi penerus yang terlibat dalam Buddhis Temple beserta aktivitas–
aktivitas lainnya. Saya merasa yakin dan berterima kasih dengan penuh
bhakti pada pendiri–pendiri terdahulu dan juga pada pengabdi yang
dengan sukarela telah lebih dahulu memperjuangkan kemajuan dengan
tabah dan tekun. Sebuah pengabdian demi perkembangan seluruh
karya organisasi yang telah menebarkan cahaya Dharma hingga dapat
menyinari permukaan bumi yang diliputi penderitaan ini. Suatu karya
selama tujuh puluh lima tahun terus-menerus di dunia yang penuh
pergolakan. Oh! Sungguh merupakan sesuatu yang menakjubkan.
Yang Mulia Maha Nayaka K. Sri Dhammanand Thera, dengan hati
yang tulus serta penuh kebijaksanaan, pertimbangan–pertimbangan
yang mengesankan, kaya imajinasi dan tanpa kenal lelah, telah
berbakti bersama-sama dengan pembantu–pembantunya yang setia
melaksanakan karya–karya yang maha berguna. Demikian pula
dengan menerbitkan pamflet–pamflet yang sangat banyak serta buku–
buku mengenai Buddha Dharma yang sangat penting dalam kebaktian–
kebaktian. Yang Mulia juga memberikan khotbah–khotbah Dharma
dalam pertemuan–pertemuan dan seminar– seminar keagamaan baik
dalam negeri maupun di luar negeri.
Yang Mulia Maha Nayaka Thera bukanlah seorang pemimpin
umat Budha yang berpandangan sempit, tetapi beliau adalah seorang
yang berpengetahuan luas dalam Budha Dharma, Hindu Dharma,
juga Theosofi dan berbagai aliran agama–agama. Beliau aktif dalam
penyelenggaraan seminar–seminar kebatinan yang menghasilakan
saling kenal - mengenal serta saling menghormati antar umat beragama
dan memberi banyak ulasan mengenai amanat Sang Budha (Buddha
Dharma) untuk dunia yang menderita akibat ulah penghuninya.
Di negeri yang indah seperti Malaysia, di mana hadir berbagai ras
yang penganut berbagai agama besar dan aliran kepercayaan, terjalin
keakraban di antara mereka, saling bahu-membahu dalam membina
kehidupan beragama serta toleransi dengan penuh pengertian dalam
118 119D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota MedanD. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
karya–karya batiniah. Tidaklah berlebihan jika disebutkan bahwa
perhatian dunia ditujukan pada Malaysia. Dunia kagum melihat
keindahan kerja sama yang lazim di antara berbagai kelompok cerdik
cendikiawan, di bawah naungan pemimpin–pemimpin pemerintahan
yang bijaksana, dalam menghadapi perkembangan keagamaan
serta melindungi dan membina persatuan sesuai dengan keinginan
setiap orang. Selain itu pembangunan akhlak sangat berguna, dalam
melengkali upaya membangun hidup rukun dan damai.
Saya tidak meragukan bahwa Yayasan Buddhis Missionary yang
dipimpin Ven. Maha Nayaka Thera beserta kolega–koleganya akan
berbuat banyak melalui karya–karya yang sangat bernilai sesuai tujuan
ini, suatu rintisan untuk membina persaudaraan universal tanpa
membeda-bedakan martabat, kepercayaan, ras berwarna atau agama.
Tidaklah berlebihan, jika disebut bahwa Buddha Dharma adalah
suatu aliran yang mengutamakan moralitas (akhlak) dan tanpa moral
bukanlah Buddha Dharma.
Pada masa ini kita melihat generasi muda di mana saja di dunia
ini tidak memiliki tuntunan, untuk tidak mengatakan mudah beralih
pada jalan yang menyesatkan dan masa depan mereka mungkin akan
menyeramkan. Generasi muda tidak mau menerima suatu gagasan
hanya berdasarkan kepercayaan, mereka menghendaki fakta–fakta
daripada ide–ide sesuai dengan cara pikiran sehat yang dapat diterima
akal. Mereka menolak segala sesuatu yang ditanamkan pada mereka
dengan paksa atau kekerasan. Apakah yang harus kita perbuat untuk
mengatasi situasi ini? Yayasan ini tidak berniat untuk menganjurkan
pada siapa pun untuk mengubah seseorang menjadi pemeluk Buddha
Dharma, tetapi berhasrat dengan teguh untuk menuntun umat manusia
kearah kebijaksanaan, kebenaran, moralitas dan mencintai alam
semesta, serta memberikan kesempatan untuk mencoba kebolehan
mereka untuk menghidupi moralitas dan membangun negaranya. Para
pemimpin dari Yayasan ini, niscaya akan memberikan bimbingan dan
buah pikiran mereka untuk menjawab apa yang dibutuhkan.
Selanjutnya, dengan membangun Internasional Buddhis Pagoda,
saya ikut bergembira karena bersamaan dengan pembangunan pagoda
tersebut telah dibangun ruangan untuk meditasi. Hal ini merupakan
batu loncatan untuk perkembangan lebih lanjut dalam sejarah Yayasan.
Di kota–kota besar maupun kota kecil di mana saja terjadi
perluasan daerah, semua orang menjadi sibuk tanpa berkesudahan
dan bersamaan dengan itu terjadi peningkatan lalulintas kendaraan
dan sebagainya, yang menimbulkan kebisingan–kebisingan dahsyat,
sehingga sangat sulit untuk memperoleh tempat di mana seseorang
dapat duduk dan menikmati udara segar di alam sekitarnya dan bisa
menenangkan pikiran. Oleh sebab itu sangat di butuhkan suatu tempat
yang sunyi sepi dalam admosfir yang sesuai untuk menenangkan
pikiran dan menikmati udara nyaman bagi jasmani dan rohani. Saya
berkeyakinan dengan bimbingan Ven. Maha Nayaka Thera di ruangan
meditasi tersebut umat dan masyarakat dapat bermeditasi, yang dengan
demikian akan mencurahkan berkah untuk Kuala Lumpur dan juga
bermanfaat bagi umat Buddha dan umat lain.
Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada pengabdi–pengabdi
Dharma dalam naungan yayasan Missionary dan hendaknya mereka
dapat menerima segala berkah dari Sang Tri Ratna untuk seluruh
karya–karya mereka yang dapat membawa perdamaian, kesejahteraan
serta kebahagiaan untuk Malaysia, Asia Tenggara dan seluruh Dunia.
Saya berharap dalam pelaksanaannya nanti makin meluas jangkauan
pengaruhnya, tumbuh dan berkembang seperti pohon Boddhi".
121D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar120 D. Kumarasamy Sebagai Peletak Dasar Kebangkitan Etnis Tamil Kota Medan
'Namaste', adalah ucapan salam di kalangan etnis Tamil ketika
mereka saling bertemu, sembari menyusun kesepuluh jari tangan
dan meletakkan setentang jantungnya masing-masing diiringi wajah
takzim saling menghormati dari kedua belah pihak. Dalam memberi
maupun menerima salam, kedua belah pihak mengucapkan kata yang
sama, masing-masing berupaya mendahului sebagai manivestasi
kerendahan hati. Kata 'namaste', bukan sekedar sebagai teguran sapa
'selamat pagi', tetapi mempunyai makna yang lebih dalam, sebagai
ucapan doa bagi kesejahteraan mereka. Keangkuhan dan kesombongan
manakah yang tidak akan runtuh bila seseorang menerima sapaan
yang bermakna demikian? Dan nurani mana yang tidak luluh bila
ditegur demikian sehingga merasa berkewajiban untuk membalasnya
dengan setimpal.
Kata hati itu dalam ucapan 'namaste' terbukti mempererat
hubungan antara sesamanya. Memang benar kata pribahasa, “bahasa
menunjukkan bangsa” tercakup di dalamnya martabat dari mereka
yang mempergunakan bahasa tersebut. Tutur kata yang indah, pasti
dapat mencairkan kekerasan hati. Inilah satu contoh yang ditanamkan
D. Kumarasamy dalam pergaulan sesama kelompok etnis Tamil, baik
yang beragama Hindu maupun Buddha. yang jelas, sterio-type (cap-
cap buruk tentang mereka yang berbeda) antara kedua kelompok ini
semakin menipis dan pada akhirnya menumbukan hubungan yang
egaliter. Seorang pandhita sekalipun takkan mampu memalingkan
wajah, dan dia akan memberikan salam yang sama sekalipun dari
D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
8
122 123D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
seorang yang berasal dari kelas sosial rendah.
Mungkin masih ada sebagian orang yang masih memandang
skeptis kepada D. Kumarasamy, sebagai seorang tokoh yang tidak
konsisten, dengan dasar beberapa hal berikut : Di antara anaknya ada
yang beragama Hindu, tetapi mereka menyelenggarakan upacara di
vihara Borobudur. Sebaliknya anaknya yang beragama Buddha ada
yang dikawinkan di kuil Hindu. Ada juga di antara anaknya yang
peresmian perkawinannya di gedung Theosophy. Namun justru
di sinilah D. Kumarasamy ingin memperlihatkan pendalaman
Theosofynya, bahwa agama adalah sebuah metode (cara) menuju
tempat yang sama. Bagi mereka yang mengenal D. Kumarasamy
secara lebih mendalam dan mempunyai wawasan yang lebih luas,
keputusan-keputusan D. Kumarasamy seperti ini makin meninggikan
rasa hormat orang terhadapnya. Tidaklah mengherankan bila
akhirnya, oleh masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan Sumatera
Utara, beliau di anugerahi gelar kehormatan SAMUGHA VALLELAR
yang artinya “Yang Mulia Bapak Pembina Masyarakat”.
Bahkan ada di antara sahabat-sahabatnya baik dari kalangan
penganut Hindu maupun Budha yang mengundang D. Kumarasamy
untuk menghadiri upacara perkawinan di hotel-hotel berbintang
yang ada di kota Medan. D. Kumarasamy selalu menghadirinya
sekaligus memberikan kata sambutan dan memberikan pemberkatan,
selama tidak halangan. Yang jelas beliau siap memberikan apa yang
dapat diberikannya bagi mereka yang membutuhkannya. Mereka
yang dianggap kaya ataupun miskin selalu merasa ada kekurangan,
D. Kumarasamy siap memberikan bantuannya. Ada saja pihak yang
skeptis pada keterbukaan dan sikap egalitarianya.
D. Kumarasamy sangat memahami, kehidupan manusia,
sesuai dari kemampuan dan kodrat Tuhan selalu mempunyai
tingkat yang bervariasi. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Kedua
kondisi akan saling membutuhkan. Mereka yang kebetulan kaya
tak dapat melayani kebutuhannya tanpa adanya peran orang yang
miskin. Demikian sebaliknya mereka yang miskin tak mungkin
memperoleh rezeki tanpa melalui kucuran mereka yang berlebihan.
Kehidupan senantiasa membutuhkan keseimbangan. Oleh karena
itulah D. Kumarasamy tidak saja akan memperhatikan atau berpihak
kepada mereka yang miskin, tetapi juga menjalin persahabatan
dengan tokoh-tokoh etnis Tamil serta etnis dari India lainnya agar
dapat memprakarsai hubungan yang harmonis antara mereka yang
kaya dengan yang miskin. Sekali lagi perlu diketahui kedekatan D.
Kumarasamy dengan tokoh-tokoh yang kaya pada hakikatnya agar
mereka juga dapat berbuat dan memperhatikan kemiskinan. Dalam
kenyataannya D. Kumarasamy telah berhasil menyatukan masyarakat
etnis Tamil dalam kawasan daerah ini, tanpa harus ada pertentangan
yang disebabkan perbedaan agama maupun tingkat sosial mereka.
Hampir tidak ada yang mengetahui, termasuk keluarganya
sendiri, bahwa dalam kesederhanaan hidupnya, D. Kumarasamy
masih sempat memberikan modal pada tukang-tukang becak. Melalui
sisa-sisa uangnya yang ada, Anna membayarkan harga becak yang
selama ini disewa oleh tukang becak yang menjadi langganannya.
Dengan cara demikian si tukang becak tak perlu lagi membayar
setoran dari pemiliknya karena becak itu telah menjadi milik penarik
becak itu. Ada beberapa orang tukang becak yang memperoleh modal
pinjaman dari D. Kumarasamy, sehingga hasil pencahariannya dapat
sepenuhnya dinikmati atau ditabungnya sendiri untuk membayar
pinjaman kepada D. Kumarasamy. Tukang-tukang becak tadi, pada
umumnya mangkal di sekitar kediaman D. Kumarasamy. Orang
mungkin akan heran, kalau D. Kumarasamy akan bepergian dengan
berkendaraaan becak, maka becak-becak yang mangkal di dekat
rumahnya akan segera menyongsong D. Kumarasamy. Dan beliau bila
sampai ke tempat tujuannya, selalu ditunggui oleh tukang becak itu.
Tukang-tukang becak itu dengan wajah ceria akan selalu membawa
D. Kumarasamy kemanapun tanpa mengharapkan bayaran. Mungkin
dengan cara inilah mereka membalas budi atau “mengangsur”
kebaikan D. Kumarasamy.
Menjelang usianya yang mencapai 70 tahun D. Kumarasamy
terus menebarkan senyum dan kasih sayang kepada orang lain.
Satu hal yang tidak pernah diucapkan dan menjadi tekadnya adalah
seorang pimpinan harus tahu bila saatnya ia harus mewariskan
kepemimpinannya kepada generasi berikut. Ia juga harus
mempersiapkan seorang pemimpin sebelum ia mengalihkannya
kepada orang lain. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu
mencetak kader yang harus meneruskan misi perjuangannya.
Maha Puja yang berkumandang dua kali dalam satu bulan terus
bergemah di vihara Bakti Sala Borobudur. Satu kali dalam bahasa Tamil
dan yang berikutnya dalam bahasa Nasional (Indonesia). Di bawah
124 125D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
pengawasan D. Kumarasamy, A. Willu selalu memimpin pelaksanaan
upacara itu. Dan semenjak tanggal 22 Maret 1962, pelaksanaan Maha
Puja Ashok Tilagha Raja Gopal. Bentuk upacara ini juga dilakukan
di vihara Ashoka kampung Anggrung Medan. Di samping itu gema
dan kidung Paritta yang tersusun dalam Ashok Gatta terus merambat
mengisi pori-pori kesadaran nurani para penganutnya. Tiga ratus tiga
puluh empat paritta terus berkumandang. Dengan ketulusan batin
dan pikirannya D.Kumarasamy telah menyusunnya. dengan tujuan
utama untuk memperkokoh kesadaran manusia sebagai makhluk
fana dapat mencapai tempat yang abadi.
Dalam paritta itu dijelaskan secara gamblang bagaimana seorang
hamba meminta tolong sambil merendahkan diri kepada Yang Maha
Agung. Untuk melakukannya tentunya harus mengambil petunjuk
dari yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha Gautama Sakyamuni.
Sesuai dengan tingkat kesadaran para pemeluknya maka dikisahkan
pula dalam bahagian paritta lainnya, bagaimana mereka yang
memegang ajaran maupun yang konsisten dengan ajarannya juga
tentang kehidupan di alam gaib bagi mereka yang harus melaluinya
sesudah mati.
Ungkapan membangun kesadaran itu dapat dilihat dari beberapa
petikan yang tertera dalam kitab Maha Puja :
Aum Namo Buddhaya Saranang
Aum Bodhi satwa Mahasatwa Saranang
Saranang Saranang Sakyamuni
Pada kakimu kami mengabdi
Kami berkunjung pada Mu
Menyanyikan Pujaan di kaki-Mu
O lambang cinta kasih
Maha Duli Sangha lindungan kami
Semoga subur jalan nan Mulia
Agar manusia renungkan SUNYA
Untuk mengabdi di kaki Mu
Kami sembahkan hati pada Mu
Semoga kata hati dan tindakan
Sadar semua kesatuan
Aum Namo Buddhaya kami sujudkan
Segala karya kebaikan
Sebagaimana yang diungkapkan pada awal bab ini, Anna D.
Kumarasamy (M.P. Ashok Dharma Surya D.K), adalah seorang
SAMUGHA VALLELAR atau bapak pembina masyarakat, terutama
di kalangan etnis Tamil yang ada di kota Medan dan sekitarnya.
Dasar pemberian gelar ini tentu dari apa yang telah disumbangkan
bagi semua komunitas yang ia dampingi. Perbedaan agama, ras dan
keyakinan tidak pernah dapat menghalanginya untuk terus mengabdi
bagi perbaikan hidup secara jasmani maupun ruhani. Dalam upaya
perbaikan itu berbagai reformasi diusahakan, baik dalam komunitas
D. Kumarasamy dalam pembacaan Maha Puja
126 127D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
agama Hindu maupun Budha. Semua reformasi bertujuan agar
keberagamaan yang dihayati dan dijalankan oleh pemeluknya tidak
jauh dari tujuan yang hakiki, karena pada dasarnya, setiap gerakan
reformasi, dalam bidang apapun pada hakikatnya adalah gerakan
penataan kembali agar gerakan itu benar-benar menuju sasarannya.38
Sejak D. Kumarasamy penjadi pemimpin umat ke Budha, beliau
pun sudah melihat munculnya pimpinan yang baru di kalangan umat
Hindu yang akan memimpin umat sesuai dengan irama zaman yang
dihadapinya. D. Kumarasamy mengetahui benar, seorang tokoh yang
bernama S. Marimuthu memang pantas menjadi pimpinan di kalangan
etnis Tamil, terutama yang beragama Hindu. Bila sebelumnya D.
Kumarasamy menekankan pembangunan yang dilandasi moral,
maka kini tiba saatnya untuk membangun prasarana ataupun sarana
untuk mencapai perbaikan situasi hidup yang diidam-idamkan. Yang
terpenting bagi D. Kumarasamy, walaupun ada perbedaan dalam
bidang keagamaan di dalam kelompok etnis Tamil, mereka tidak akan
terpecah. Hal ini selalu diingatkannya di tengah masyarakat etnis
Tamil dengan ungkapan sebagai berikut :
“Apabila kita bersatu, maka kita dapat memperoleh kehidupan
sesuai dengan yang kita idam-idamkan, dan jika kita bercerai-cerai
maka kehancuranlah yang akan menimpa kita semua”.39
Semangat persatuan ini dibuktikannya, ketika D. Kumarasamy
menjadi seorang Budhis tetapi ia juga memimpin Sri Mariamman Kuil
di Medan (1947-1954 s.d. 1954-1958). Pada periode berikutnya, sesuai
dengan perjalanan usianya Sang Anna semakin membatasi perannya
sembari memberikan jalan agar muncul tokoh-tokoh pengganti.
Hal yang tak pernah berubah dalam diri D.Kumarasamy adalah
komitmennya terhadap etnis Tamil Hindu maupun Budha. Beliau
tetap merasa berada di tengah mereka, demikian pula sebaliknya
penganut kedua kelompok agama itu tetap mengangapnya sebagai
pemimpin mereka. Barangkali benarlah apa yang pernah diungkapkan
38 Ungkapan ini diperoleh dari M. Shri Ramlu selaku Ketua “Parisada Hindu Dharma Indonesia,Propinsi Tk. I Sumatera utara
39 Dikutip dari makalah yang diterbitkan oleh “Parisada Dharma Indonesia Propinsi Sumatera Utara dalam sidang musyawarah antar umat beragama se Sumatera Utara pada tanggal 2 s.d. 5 Desember 1977.
oleh Empu Tantular dalam cerita Sutasoma, lebih kurang 600 tahun
yang lalu.
“Rwaneka Dhatu winuwus wara Buddhawiswa Bhika Rakwa,
Noikapan Yeki Parwanasen Mangkang Jinatwa Iswan Siwatattwa
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Yang artinya, lebih kurang sebagai berikut :
“Disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Agung dan universal
berwujud dua dan berbeda kapan dia (yang Tunggal itu) dapat dibagi.
Oleh karena itu pada hakekatnya Tuhan yang berwujud Adi Buddha
dan berwujud Siwa mahadewa adalah tunggal. Walaupun berbeda
cara yang ditempuh oleh setiap agama, namun tiada agama (Dharma)
yang memuja dua Tuhan"
Inilah dasar pandangan dari aktivitas D. Kumarasamy, terlebih-
lebih bila melihat dasar pendalamannya di bidang Theosophy. Dengan
dasar ini pulal akhirnya Dirjen Bimas Hindu dan Budha, Departeman
Agama menunjuk dan mengangkatnya untuk menduduki jabatan yang
memberinya kewenangan memimpin upacara-upacara pernikahan
di kalangan penganut agama Hindu dan Buddha. Dan karena itulah
dalam sisa-sisa usianya beliau selalu hadir di tempat-tempat mereka
yang membutuhkannya.
Sementara di kalangan umat Hindu etnis Tamil yang ada di
kawasan ini juga mengalami perubahan-perubahan dalam upaya
menyesuaikan diri dengan zaman yang dihadapinya sendiri, bahwa
basis dari pembinaan masyarakat harus berpijak kepada pendidikan.
Sedangkan hasil pendidikan yang ideal haruslah dengan melakukan
pembinaan moral yang berazaskan agama. Dengan kata lain, moral
tidak hanya lahir dari hasil nalar manusia. Akan tetapi moral harus
muncul dari perkembangan penghayatan nilai-nilai agama. Oleh
karena itu lembaga-lembaga umat Hindu yang ada selama ini seperti
Deli Hindu Sabha, maupun lembaga pendidikan Bharathi English
School harus tetap berada dalam wadah lembaga dalam Sri Maryaman
Kuil yang ada di jalan K.H.Z. Arifin (kelurahan Madras) Kota Medan.
Pada tahun 1970, Deli Hindu Sabha dibubarkan dan seluruh
inventarisnya diserahkan kepada Sri Maryaman kuil. Dan sejak itu
128 129D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
pulal Sri Maryaman Kuil membangun lembaga baru, masih dalam
naungannya, yang bernama Satrem. Lembaga ini sejenis dengan panti-
jompo yang ada sekarang untuk mengurus orang-orang tua (jompo)
dari keluarga yang kurang mampu.
Untuk membenahi lembaga-lembaga yang diambil alih oleh
Sri Maryaman kuil maka gedung ibadah ini pun dibenahi sesuai
dengan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Tentu saja pembenahan ini
memerlukan biaya. Tokoh S. Marimuthu, yang mempunyai kelebihan
kekayaan, tak segan-segan menyumbangkan sebagian hartanya untuk
itu. Beliau sadar, anugrah Tuhan sudah selayaknya disalurkan kepada
masyarakat yang membutuhkannya. Dengan segala keikhlasannya
ia secara pribadi menyumbangkan satu unit mobil jenazah,
untuk melayani keluarga-keluarga yang ditimpa musibah, tanpa
membedakan agama yang dianutnya. Beliau juga tidak ragu-ragu
dengan biaya sendiri untuk mendatangkan rohaniawan-rohaniawan
dari luar negeri, seperti dari India maupun Sri Langka, agar masyarakat
etnis Tamil baik yang memeluk agama Hindu maupun Budha dapat
memperdalam pegetahua dan penghayatan keagamaannya.
Pada tahun 1974, telah diadakan rapat umum menentukan
pengurus baru yang memimpin Sri Maryaman Kuil se-Sumatera Utara.
D. Kumarasamy sebagai Pandita Loka Palasraya menikahkan anak angkatnya
Mereka yang hadir dalam rapat, selalu melihat integritas, komitmen
dan berbagai tindakan yang telah dilakukan oleh para calon pimpinan
yang dipilihnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila peserta
rapat pembentukan pengurus yang baru itu, dengan suara yang bulat
(aklamasi), memilih S. Marimuthu untuk diangkat sebagai Ketua
Umum yang baru. Beliau pun tidak dapat menolak, terlebih-lebih
beliau pun merasakan perlunya pembenahan di kalangan masyarakat
Tamil di daerah ini.
Ketika Sri Maryamman kuil selesai dipugar pada tahun 1976,
dan bertepatan usia D. Kumarasamy yang memasuki tahun ke -70,
SAMUGHA VALLELAR D. Kumarasamy diminta untuk meresmikan
penggunaan kembali gedung Sri Maryaman Kuil. D. Kumarasamy
benar-benar merasa berbahagia, karena di usianya yang senja,
telah datang seorang tokoh yang ingin mengabdikan dirinya untuk
masyarakat etnis Tamil Hindu.
Sementara itu Bharathi English School yang berada dalam
naungan Sri Maryaman Kuil, juga mengalami perubahan. Pada tahun
1976 itu juga, sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan di masa Orde Baru, maka seluruh lembaga pendidikan
yang “bercorak asing” harus di nasionalisasikan. Oleh karena itu
Bharathi English School berubah nama menjadi 'Perguruan Dharma
Putra'. Namun oleh S. Marimuthu, perubahan dilakukannya bukan
hanya sebatas nama. Sekolah itu dikembangkan, tidak hanya mengelola
di tingkat dasar dan SMP tetapi dilanjutkan sampai ke tingkat SMA.
Gedung-gedung sekolah yang diperbaiki dengan bangunan yang lebih
permanen dan dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang yang dipusatkan
di jalan Darat, kelurahan Medan Baru. Dari lembaga pendidikan yang
dikelola dan dikembangkan sepenuh hati ini, telah melahirkan banyak
lulusan yang di antara dapat melanjutkan di Perguruan Tinggi Negeri.
Dalam usia yang telah mencapai 70 aktivitas D.Kumarasamy
semakin terbatas, mengingat kondisi fisiknya semakin melemah.
Meski demikian, dalam sisa usianya, beliau masih tetap berbuat,
terutama untuk melayani masyarakat yang membutuhkannya. Beliau
selalu menyadari, seorang pemimpin adalah seorang yang bertugas
melayani masyarakat, meski Sang Anna tahu perkembangan populasi
masyarakat etnis Tamil yang ada di kawasan daerah Sumatera
Utara ini makin membesar. Tantangan pun semakin besar bersama
perubahan zaman. Interaksi manusia juga semakin pesat yang dunia
130 131D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
Kiri ke kanan: Mohan Leo (anak), D. Kumarasamy, Wigneshwar (cucu), Pramesywari, Arun Moli (menantu)
saat ulang tahun D. Kumarasamy ke 70
D. Kumarasamy, Wigneshwar memberikan ceramah di Sekolah Kebudayaan
yang makin terseret arus globalisasi. Akan tetapi Anna juga makin
menyadari keterbatasan keampuan fisiknya untuk melayani. Sang
Anna telah menunjukkan kesadarannya, kapan ia harus “pergi” dan
kapan harus “kembali”. D. Kumarasamy cukup merasa bahagia karena
telah berbuat sesuai dengan keyakinan dan pandangan hidupnya.
Di usianya yang senja, bait-bait Maha Puja-nya senantiasa
menggema.
O Bodhisatwa : Anugrahilah kami, semoga kami mencurahkan
Cinta-Kasih kepada semua hidup.
Dimana saja, bilamana saja dan taraf manapun juga kami ingin
memuji keindahan Mu.
Anugrahilah kami dengan cahaya Mu agar dapat memasuki
Nirwana nan Suci
Ampunilah kami atas segala kesalahan dan kami mengharapkan
keadaan yang tak terpisah dari Mu.
O Maha Satwa : Anugrahilah kami semoga kami tak dihinggapi
sedikitpun oleh kemarahan dan jeratan nafsu.
Semoga dunia yang gelap ini batas dari segala kejahatan. Dalam
kehadiran para Alim Ulama, kami agungkan.
Segala kegelapan mesti lenyap agar semua yang berhubungan
dengan kami hendaknya menemui kegembiraan dan semuanya
berbahagia.
O, Vaj rasatwa ! Yang berjiwa kesucian, inginlah kami tenggelam
di dalam DIRIMU dan cair di dalam MU dan semoga menjadi satulah
kami dengan MU !
D. Kumarasamy tahu kapan saatnya ia harus “pergi”. Sebagai
seorang pengikut Budhis, dengan segala daya yang ada pandangan
ia telah melaksanakan “Cattari Ariya Saccani” (Empat kenyataan
Ariya).40 Dan inilah yang akan memahkotai perjuangan hidupnya.
Sebagai zat manusia biasa, tubuh D. Kumarasamy pun mengalami
proses alamiah. Pada awal bulan Mei 1978, ketika ia berusaha
melakukan suatu kegiatan di rumahnya, ia terjatuh. Beliau tetap
sadar, namun secara fisik benar-benar tak berdaya. Sejak itu Sang
Anna harus duduk atau terbaring di rumahnya. Kenyataannya ini
40 Empat tahap / proses agar seorang penganut Buddhis dapat menumpahkan dirinya pada nilai hakiki kemuliaan / kebenaran hidupnya. Ariya = Kebangsawanan, Kesunyataan = Kebenaran.
132 133D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
tetap wajar meski bagi seorang pencipta karya Maha Puja, karena
dengan segala apa yang dicapainya, ia juga layaknya seorang hamba
lainnya yang mengalami hal-hal yang bersifat alamiah. Sebaliknya,
bagi mereka yang akan ditinggalkan oleh “kepergian D. Kumarasamy”
yang dihanyutkan oleh perasan hormat dan kasih sayangnya, seakan
akan belum merelakannya.
Seluruh keluarga sudah mendesak D. Kumarasamy agar mau
dirawat di rumah sakit. Namun beliau sudah mengisyaratkan bahwa
upaya tersebut akan sia-sia. Sang Anna benar-benar sudah tahu,
saatnya hampir datang untuk menuju “keabadian”. Akan tetapi ketika
kerabat dan para sahabatnya datang menjenguknya dan meminta D.
Kumarasamy agar mau dibawa dan diopname ke rumah sakit, beliau
pun tak mampu menolak dan meneteskan air mata. D. Kumarasamy
tahu benar bahwa permintaan para kerabat dan sahabatnya itu sebagai
manifestasi kasih sayang mereka kepadanya.
Demi menghargai dan menghormati harapan dari kerabatnya
dan sahabat- sahabatnya itu Anna bersedia diopname ke rumah sakit
Methodist yang berada di jalan Husni Thamrin Kota Medan. Silih
berganti kerabat dan para sahabatnya datang menjenguknya untuk
menyatakan simpati dan memberikan semangat kepadanya agar
ia dapat sembuh kembali, baik dari mereka yang beragama Budha
maupun Islam. D. Kumarasamy senantiasa menyambutnya dengan
senyum dan sangat menghargai kunjungan-kunjungan para kerabat
dan sahabat-sahabatnya tersebut, sambil berupaya membalasnya
dengan salam susunan sepuluh jari yang diangkat di atas dada.
Pada hari ke 7 (28 Mei 1978) setelah Anna menjalani opname
di rumah sakit, bertepatan dengan jatuhnya hari Purnama Siddhi
(Waisak). Amrita Buddha datang menjemputnya. Anna memasuki
alam yang tanpa batas, dan melalui proses perjuangan kehidupannya
menebus penderitaan mereka yang mengalami kesengsaraan. Itulah
salah satu perjanjian Bodhisatwa yang pernah diikrarkannya. Sahabat
dan kerabat yang ketika itu tidak berada bersama D. Kumarasamy,
merasa tersentak karena sebenarnya mereka memperoleh firasat
kepergian “Anna D. Kumarasamy”. Ada di antara kerabat ataupun
sahabat D. Kumarasamy yang berada di luar kota merasa dikunjungi
D. Kumarasamy dalam mimpinya. Begitu bangun dari tidurnya, ia
langsung ke Medan, memastikan bahwa D. Kumarasamy telah pergi.41
41 Hal ini dikisahkan oleh salah seorang nara sumber bernama Shokolinggam (Pengurus
Para sahabat menjenguk D. Kumarasamy saat sakit di Rumah Ssakit
134 135D. Kumarasamy Sebagai Samugha VallelarD. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
Bagi anggota keluarga yang menunggui D. Kumarasamy di rumah
sakit, mereka tidak terkejut. Mereka maklum dan tahu akan bahwa
'saatnya' hampir tiba. Meski demikian, sebagai anggota keluarga
yang selalu disentuh kasih sayang dan menjadi pribadi-pribadi yang
tertempa oleh kehalusan perasaan, mereka tetap tak mampu menahan
air mata. Mereka hanya mampu memberikan “namaste” terakhir
kepada suami, ayahanda atau kakeknya yang meninggalkan mereka,
tetapi susunan jari sepuluh ini bukan sebatas dada. Secara bersamaan
mereka meletakkan susunan jari kedua telapak tangannya di atas
keningnya, sebagai salam takzim mereka kepada tokoh yang menjadi
junjungan mereka.
Pada hari itu juga jenazah Anna D. Kumarasamy atau Maha
Pandita Ashok dharma Surya D.K., atau Samugha Vallelar, dibawa ke
rumah duka (rumah keluarga) yang berada di jalan Lobak Medan.
Suara genta yang berdenting nyaring dan gema suara “AUM”
menghadirkan harmonisasi suara dan irama yang shahdu yang
menimbulkan efek mistis. Gema suara itu merambat secara perlahan-
lahan ke lubuk hati yang hadir dalam keheningan penuh haru. Suara-
suara itu terus menerawang dalam sawang yang tanpa batas seakan
ikut mengantarkan arwah D.Kumarasamy dalam perjalanan menuju
Nirwana.
Sementara itu, jasad D. Kumarasamy masih terbaring berselimut
sejenis kain sutra berwarna putih. Di sekitar tubuhnya bertabur aneka-
warna bunga yang beraroma lembut. Aroma bunga-bunga ini berbaur
pula dengan wewangian asap dupa makin menambah kesegaran
atmosfer yang ada disekitar ruangan tampat jasad D. Kumarasamy
terbaring. Dan tanpa disadari aroma ini telah membangkitkan rasa
cinta-kasih dan bakti kepada jenazah yang terbujur di situ.
Para Bhiksu dan Pendeta, tak henti bergantian memimpin
pembacaan Maha Puja dan Ashok Gatha sambil mendentingkan
lonceng kecil yang ada di tangannya, kemudian diikuti oleh gema
suara bersama secara perlahan :
“Namo Sang hyang Adi Buddaya ……………………….. 3x
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma SamBuddhasa … 3x
Aum ………. Bhuwar ………. Aum ………. Sawar …….
Mariamman Kuil di Binjai) menceritakan pengalamannya itu kepada tim penulis. Demikian pula di antara nara sumber lainnya.
Aum ………. Mahar ………. Aum ………. Jana ……….
Aum ………. Tapa ………. Aum ………. Sattyam ……
Aum Shanti, Shanti, Shanti …………………………….
Shadu – Shadu, Shadu ……………………………………
Bagi orang-orang yang hadir, inilah perpisahan dengan orang
yang selalu menjadi pembimbing mereka. Bagi anak, menantu, dan
cucunya inilah kesempatan terakhir bersama seorang yang selalu
membelai mereka, dan bagi istri, inilah perpisahan dari belahan hati
dan jiwa mereka.
Tak ada seorang pun yang hadir ketika itu, yang tak merasa
kehilangan atas kepergian D. Kumarasamy. Setelah kematiannya
kehidupan pada masa lalu itu lebih dapat dikenang dan dirasakan.
Beberapa tokoh agama dan masyarakat telah memberikan kata-
kata penghormatan dan perpisahan. Dari para tokoh Budha,
Hindu, Theosofis, maupun yang beragama Islam memberikan
penghormatannya terakhir. Bagaimana pun perbedaannya dalam hal
keagamaan dengan D. Kumarasamy, mereka sangat menghormati,
karena D. Kumarasamy telah berbuat yang terbaik menurut
keyakinannya. Berbagai ekspresi penghormatan tidak ada hentinya
ditunjukkan oleh berbagai kalangan yang mengenal D.Kumarasamy.
Ada yang meletakkan kedua tangan (namaste) setentang dengan dada,
sebagai simbol yang melambangkan satu hati, ada yang meletakkan
kedua tangannya di kedua bibir, sebagai simbol pernghormatan
terhadap seorang Guru dan ada yang meletakkan di antara kedua
mata, sebagai simbol penghormatan dan tanda kasih sayang untuk D.
Kumarasamy dalam pembaringannya (kematiannya).
Keesokannya, setelah upacara-upacara di rumah duka selesai,
jasad D. Kumarasamy dibawa ke kawasan Tanjung Morawa (lebih
kurang 10 Km dari Kota Medan) untuk diperabukan atau dikremasi.
Melalui upacara yang singkat, akhirnya tubuh D. Kumarasamy menjadi
abu bersama kepulan asap yang mengawang tinggi ke angkasa. Alam
materi tak pernah abadi mengikuti proses alam. Akan tetapi keimanan
terhadap Sang Pencipta, itulah awal perjalanan D. Kumarasamy
menuju keabadiannya. Mungkin dalam perjalanan waktu orang dapat
lupa terhadap keberadaan D. Kumarasamy. Akan tetapi sesuai dengan
sifat amal kebaikan yang pernah disemaikannya, pasti akan bertunas
sepanjang zaman.
137Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia136 D. Kumarasamy Sebagai Samugha Vallelar
Jenazah Anna D. Kumarasamy, Samugha Vallelar, atau yang juga
bergelar Maha Pandeta Ashok Dharma Surya, telah diperabukan
sebagai persembahan terakhir Sang Hyang Adhi Buddha. Inilah
sebagai bakti yang pernah disusunnya dalam bait Maha Puja yang
disusunnya :
“Aum Namo Buddhaya, kami persembahkan segala karya kebaikan
…. Engkau yang menjadi darah daging, santapan, jiwa dan raga kami,
Namo-namo! Engkau yang menggerakkan Karma pada kami, Namo-
namo! Engkau yang berada di dalam segala elemen dan lima penjuru,
Namo-namo. O Engkau yang sempurna Aum! Namo-namo! Aum
Namo Amithaba Ratnasambawa Namo-namo. Aum namo Amoga Sidhi
Vairochana-Akshobaya Namo-namo! Aum Bhu! Bhuwar!Suwar!Aum!
Semua yang ditinggalkan, sanak keluarga, murid, sahabat
dan kerabatnya telah rela atas kepergiannya. Mereka membawa
renungannya masing-masing, hikmah apa yang telah diperoleh
dari D. Kumarasamy, dan tugas apa yang harus dilanjutkan sesuai
dengan harapan D. Kumarasamy. Tugas hidup takkan pernah usai.
Permasalahan senantiasa muncul bagaikan perputaran cakra dan
setiap permasalahan memerlukan cara atau metode yang sesuai
dengan zamannya.
Pada awal tulisan buku ini, telah disinggung bagaimana hubungan
budaya India (Hindu-Budha) dengan budaya pribumi di Indonesia.
Kenyataannya ini dapat pula dilihat dari nama bangsa “Indonesia” yang
berasal dari kata-kata Hindus dan Nesas dan mengandung pengertian
“Nusantara yang dipengaruhi peradaban Hindu”. Demikian pula
nukilan-nukilan prasasti yang masih terhantar di Persada telah
menjadi saksi sejarah sekaligus hubungan yang pernah terjadi, baik
dalam bentuk fisik maupun ruhani.
Perjalanan sejarah terus berkesinambungan dalam jalinan
kausalitasnya. Ketika bangsa Belanda masih menguasai Nusantara,
salah satu kelompok masyarakat yang berasal dari India, yaitu etnis
Tamil melakukan migrasi ke kawasan Sumatera Timur atau sekitar
kota Medan. Sesuai dengan latar kehidupan yang kala itu berasal dari
kelas rendah dalam bidang ekonomi, mereka umumnya dipekerjakan
sebagai buruh-buruh kasar di kawasan perkebunan yang dikelola
bangsa Eropa. Inilah awal-awal keehidupan yang mereka jalani di
tempat tinggal yang di wilayah baru di Sumatera Utara.
Ada sebuah kebijaksanaan yang menyatakan bahwa manusia
yang tidak bangkit menghadapi tantangannya adalah manusia yang
mandeg akan terlindas oleh berbagai perubahan sosial yang cepat.
Situasi yang menjerat ini ada kalanya menjadi pemantik kesadaran
untuk berjuang atau melakukan perubahan untuk kehidupan yang
lebih baik. Namun untuk dapat bangkit melakukan perubahan,
manusia membutuhkan pencerahan yang dapat diperoleh dengan
Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia 9
138 139Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia
memperluas wawasan, memperkaya gagasan dan intelektualitas yang
diperoleh melalui berbagai aktivitas pendidikan masyarakat. Tanpa
adanya nalar perubahan, maka manusia akan tetap saja menjadi objek
di lingkungan zamannya. Beruntung bahwa dalam setiap kelompok
masyarakat atau etnis selalu lahir orang yang unggul, primus inter
pares, yang dapat menjadi pimpinan di tengah kelompoknya .
Dalam setiap upaya perubahan, pembangunan mental dan
spiritual menjadi kunci yang dari untuk dapat mengupayakan
perkembangan lebih lanjut dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang ideal, terdapat
pada perkembangan yang seimbang dan utuh mencakup jasmaniah
dan rohaniah atau material dan spiritual. Manusia yang mengabaikan
keseimbanagn hidup ini, hidupnya akan timpang. Tanpa pertimbangan
ruhani, seorang mungkin hanya akan menjadi Animal-Economic,
yaitu orang yang menjalani hidupnya hanya untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan material tanpa melihat kebutuhan ruhani
maupun keseimbangan hubungan kemasyarakatan dan alam semesta.
Pertimbangan harmoni atau keseimbangan dengan segala yang
terlibat dalam hidup manusia dalam rangka memajukan kehidupan
dapat diperoleh dengan penghayatan akan nilai-nilai kegamaan.
Inilah yang telah diupayakan D. Kumarasamy, dengan menjadikan
pendidikan moral keagamaan sebagai prioritas utama dalam
berbagai misi hidupnya. Oleh karena itu banyak tokoh banyak yang
berpendapat bahwa Anna D. Kumarasamy adalah tokoh ruhaniawan,
terutama di kalangan etnis Tamil di kawasan daerah ini. Namun dalam
menjalankan misinya ia menggunakan metode yang memanfaatkan
adminitrasi dan organisasi rasional-modern, dengan kecermatan yang
tinggi dalam menetapkan skala prioritas. Pendekatan-pendekatan
yang ia gunakan dalam misinya pun sangat bervariasi, antara lain
menggunakan pendekatan seni, budaya maupun olahraga.
Dalam berbagai upaya yang dilakukan D. Kumarasamy, ada
kalanya sebagian orang menyoroti kehidupan pribadi maupun
keluarganya. Tentu saja sebagai manusia ia mempunya keterbatasan,
namun sesungguhnya ia mempunyai argumentasi yang mendalam
atas semua keputusan dan pilihan tindakannya. Hanya saja bila itu
menyangkut perubahan atas stradisi yang bagi sementara orang sudah
telanjur merasa mapan sehingga menimbulkan rasa yang skeptis,
maka hanya waktu yang akan dapat menilai sejauh apa manfaat dari
perubahan tradisi bagi perkembangan suatu masyarakat.
Pembaharuan tradisi yang digagas oleh D. Kumarasamy adalah
bagian dari perjuangannya memperbaiki kehidupan ruhani maupun
jasmani masyarakat. Hal ini dilakukan, karena tradisi pada awalnya
merupakan tafsiran agamawan terhadap suatu ajaran yang diterapkan
dalam kehidupan masyarakat pada suatu era dalam konteks tertentu.
Sementara kehidupan manusia selalu berubah, demikian pula tatangan
yang harus dipecahkan. Untuk menjawab tantangan inilah tradisi
harus diperbaharui agar semangat awal dari suatu ajaran agama tidak
mengalami erosi dan menjadi panutan umat sepanjang masa.
Empat tahun sebelum Anna D. Kumarasamy meninggal, tepatnya
pada tahun 1974 seorang tokoh etnis Tamil yang bernama S. Marimuthu,
juga seorang yang berjuang dari bawah, dari tingkat kehidupan yang
sangat sederhana namun sempat mencicipi pendidikan yang cukup
baik. Dengan kegigihan dan kedidiplinan diri secara jasmani maupun
ruhani, ia berhasil menjadi seorang pengusaha tekstil yang cukup
diperhitungkan di kota Medan.
Keberhasilan pribadinya makin mendorong S. Marimuthu untuk
berkarya lebih banyak bagi masyarakat. Ia muncul menjadi pemimpin
Sri Mariamman Kuil di Kota Medan dan pemimpin lembaga-lembaga
kuil Hindu yang ada di kawasan Sumatera Utara.
Sebagai seorang yang pernah dekat dan menjadi sahabat Anna
D. Kumarasamy, S. Marimuthu banyak mempunyai pandangan yang
sama, termasuk soal peningkatan sumberdaya manusia melalui upaya-
upaya pendidikan. Terlebih-lebih setelah ia melihat masih banyak di
antara etnis Tamil yang ada di daerah ini yang pendidikannya masih
rendah. Dalam upaya itu, ia juga tidak membedakan antara etnis Tamil
Hindu ataupun Budha. Yang terpenting baginya, bagaimana caranya
mereka, etnis Tamil yang ada di Sumatera Utara yang populasinya
makin besar, dapat mengecap pendidikan dan sekaligus dapat
mengejar ketinggalannya dari kelompok yang. Ia pun menyisingkan
lengan bajunya untuk berbuat dan bertindak dengan segala daya yang
ada pada dirinya.
Dalam memperjuangkan masyarakat, S. Marimuthu juga bersiap
melibatkan putranya yang bernama M. Siniwasen yang dibekali
dengan pendidikan formal yang memadai maupun keahlian untuk
berdagang. Pada akhirnya justru sang putra yang mempunyai bekal
pendidikan formal maupun wawasan yang lebih luas dalam dunia
140 141Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia
dagang, yang memberikan mendorong pada sang ayah dengan
melakukan banyak terobosan. Keahlian sang putra ini mendatangkan
kemajuan yang sangat pesat, dari pedagang perantara menjadi
produsen kain pelikat yang bercap 'Lampu Ajaib' di kota Pekalongan
Jawa Tengah dan pemasaran yang utama adalah kawasan Sumatera
Utara. Industri pertama ini merupakan tonggak awal kesuksesan
keluarga S. Marimuthu. Hingga awal tahun 1980-an pelikat bercap
'Lampu Ajaib' mampu menerobos pelosok desa kawasan Sumatera
Utara dan Aceh.
Keberhasilan usaha dagang ini, oleh S. Marimuthu dijadikan
sebagai modal untuk membangun etnis Tamil. Sebagai seorang
pemimpin ia tak harus menunggu uluran tangan atau bantuan
finansial dari tokoh-tokoh lainnya. Dengan biaya yang ada padanya,
S. Marimuthu membangun Gedung Serba Guna Wisma Mariamman
yang berlantai dua di Komplek Mariyaman kuil jalan T. Umar Medan.
Di gedung itulah pertemuan-pertemuan rapat diadakan, selain dipakai
juga untuk pesta-pesta perkawinan atau peringatan hari-hari besar di
kalangan etnis Tamil yang ada di kawasan Medan dan sekitarnya.
Pada tahun 1984, Pemerintah TK. II Kota Madya Medan,
melakukan pelebaran jalan-jalan untuk memperlanjar arus lalu lintas
yang ada di pusat kota. Di antaranya adalah jl. T. Umar dan jl. K.H.
Zainul Arifin (kelurahan Madras) yang kebetulan berada di kedua sisi
kuil Mariyaman. Rencana pelebaran jalan itu menyebabkan areal kuil
tersebut harus diambil. Namun demikian pemerintah daerah akan
memberikan ganti rugi berupa areal tanah yang ada di jalan Gajah
Mada, tak jauh dari lokasi kuil Mariyaman. Demi kepentingan umum,
pihak pengelola kuil Mariyaman tidak berkeberatan.
Sebagai pimpinan S. Marimuthu memanfaatkan kompensasi
tanah yang diberikan pemerintah tersebut untuk membangun gedung
sekolah yang baru yang berlantai empat dan dinamakan Perguruan
Raksana. Perguruan ini semegah Perguruan Dharma Putra yang
telah ada di jalan Darat, yang sasaran utamanya adalah murid-murid
dari etnis Tamil, namun kedua Perguruan ini terbuka untuk umum,
bagi mereka yang berasal dari keluarga tak mampu tidak dikenakan
membayar uang sekolah. Inilah salah satu kiprah nyata S. Marimuthu
untuk membangun sumber daya manusia masyarakat etnis Tamil di
daerah Sumatera Utara.
Sebagaimana D. Kumarasamy yang mengembangkan sikap
terbuka demi kemajuan dan persatuan masyarakat, S. Marimuthu
juga melibatkan intelektual etnis Tamil Muslim, yaitu Muhammad
Yahya Rowter, MA menjadi Sekretaris Yayasan Pendidikan Raksana
yang baru dan Ketua Yayasan Beasiswa Dharma Raksana. Tokoh ini,
telah lama terlibat dalam upaya-upaya pendidikan untuk masyarakat
etnis Tamil yang dilakukan oleh D. Kumarasamy. Bagi Yahya sendiri,
keterlibatan ini merupakan perwujudan dari ajaran agama Islam,
untuk menebar rahmat bagi semesta, tanpa dibatasi oleh perbedaan
keyakinan.
Meski dari sisi pendidikan pada akhirnya masyarakat etnis
Tamil mengalami kemajuan, namun dari sisi keagamaan, terdapat
perkembangan yang dinilai oleh bebrapa kalangan tidak sesuai dengan
substansi ajaran agama Hindu. Ada beberapa kalangan masyarakat
yang mengembangkan penghayatan agama yang mengandung
tahayul dalam upacara Thaipusam, yang selalu diisi dengan atraksi-
atraksi yang tidak mengandung makna yang mendamaikan, justru
melibatkan unsur-unsur sihir. Atraksi yang dipertontonkan dalam
upacara ini antara lain adalah mengarak sambil berkeliling arca-
arca dewa, berjalan di atas bara api, berdiri di ujung pedang yang
ditegakkan, menusukkan tembaga dari pipi hingga tembus lidahnya
yang terjulur, menusukkan mata kail yang besar dan diberi pemberat
di bahagian tubuhnya dan bentuk atraksi lain yang sangat mengerikan
dan secara rasional menyakitkan. Bagi mereka yang melakukan
upacara ini tidak merasa sakit. Pada upacara Thaipusam ini dilakukan
sebagai “pembayar kaul” atau ikrar seseorang bila niat atau hasratnya
tercapai. Misalnya cita-cita yang tercapai atau kesembuhan penyakit
yang diderita oleh anggota keluarga, ia akan melakukan upacara
seperti itu.
Sebagai tokoh atau pemuka masyarakat etnis Tamil yang
beragama Hindu, bapak S. Marimuthu melihat acara tersebut sebagai
hal yang sia-sia. Acara itu tidak memiliki dasar dalam agama Hindu
maupun Budha. Samsara bukanlah berarti melakukan penyiksaan
terhadap diri, akan tetapi pada dasarnya adalah pengekangan hasrat
keduniawian (nafsu hewani) agar nilai kemanusiaan semakin tinggi
dalam menjalani kehidupannya. Mereka seakan-akan lupa bahwa
jalur untuk mencapai hal itu adalah dengan melakukan meditasi
(perenungan diri dengan pikiran dan hati yang bersih). Oleh karena
itulah, sesuai dengan mandat yang ada padanya, sejak awal tahun
142 143Kebangkitan Etnis Tamil IndonesiaKebangkitan Etnis Tamil Indonesia
1980-an ia melarang upacara-upacara seperti itu. Ia terus berupaya
agar konsentrasi kegiatan keagamaan tetap berada di dalam kuil-kuil
dan menurut garis petunjuk ajaran yang benar.
Dengan daya dan dana yang ada padanya S.Marimuthu terus
membenahi kuil-kuil yang ada di kawasan Sumatera Utara. Demikian
pula kuil Mariyaman yang ada di kota Medan sebagai kantor pusat
Parisada Hindu Dharma Indonesia atau Majelis Tertinggi Agama
Hindu untuk daerah TK. I Sumatera Utara. Pembenahan ini bukan
saja untuk alasan praktis tetapi sebagai upaya membangkitkan
kerinduan masyarakat pada aktivitas keruhanian. Bangunan-
bangunan itu terus direnovasinya seindah-indahnya dengan relief-
relief dan patung-patung yang sangat indah. Di sekeliling dinding kuil
tersebut, ada ukiran patung-patung yang menggambarkan perjuangan
para dewa untuk memenangkan kebenaran, dengan mendatangkan
tenaga ahli dari India. Sampai saat ini, bila kita melintas jalan K.H.Z
Arifin, melewati persimpangan jalan Teuku Umar, di sisi kanan jalan
sepanjang 100 meter, kuil Sri Mariyaman berdiri dengan megah dan
sangat artistik dihiasi berbagai ornamen dan patung-patung.
Bapak S. Marimuthu telah berhasil mempimpin masyarakat Tamil
di Sumatera Utara melanjutkan perjuangan D. Kumarasamy. Meski
metode-metode yang digunakan sama, namun ia berusaha untuk
mengaktualisasikannya sesuai perkembangan masyarakat, dengan
gaya kepemimpinan yang tentunya berbeda.
Tidak hanya berhasil dalam memimpin masyarakat Tamil, dalam
mendidik putranya, ia pun berhasil. Sebagaimana sebuah impian dari
masa lalu, kini seorang putra etnis Tamil yang berasal dari kota Medan
dari keluarga yang sederhana, telah menjadi seorang pengusaha besar
di tingkat nasional maupun kawasan Asia. Dia adalah M. Siniwasan,
salah seorang putra S. Marimuthu. Industri yang di bangun oleh
M. Siniwasan telah melebarkan sayap usahanya ke bidang-bidang
yang lain. Perusahaan Texmaco dan Perkasa Tex tidak sekedar
memproduksi tekstil, tetapi juga memproduksi mesin-mesin industri
yang di pasarkan ke luar negeri. Ia juga telah membangun perusahaan
mobil "Perkasa" di Indonesia. Perusahaannya di luar Indonesia
terdapat di India dan Malaysia.
Demikianlah kehidupan senantiasa berputar dalam perubahan.
Bila pada zaman kolonial dulu, etnis Tamil yang ada di Sumatera
Timur hanya mampu menjadi mandor-mandor kuli kontrak, maka
kini M. Siniwasan menjadi majikan dari orang-orang Eropa yang
bekerja dalam industrinya.
Semoga perjalanan zaman akan melahirkan tokoh-tokoh Anna D.
Kumarasamy, S. Marimuthu dan M. Siniwasan yang baru, yang tidak
hanya memikirkan keberhasilan bagi hidupnya sendiri, melainkan
senantiasa berbakti bagi kepentingan kehidupan yang lebih luas.
Metta cittena
145Penutup144 Kebangkitan Etnis Tamil Indonesia
Penutup 10
Ulasan dari Panitia HUT ke 72 ANNA D. Kumarasamy,
yaitu : 11 Maret 1978
PENGABDIAN SANG ANNA
Persembahan mengenai pengabdian Yang Mulia Maha Upasaka/
Maha Pandeta ASHOK DHARMA–SURYA SAMUGA VALLAL D.
KUMARASAMY.
“Karya baik bermanfaat melebihi Samudra”
Sekitar 65 tahun yang lampau masyarakat Tamil di Negeri ini
masih hidup dalam tata cara yang masih sangat terbelakang. Melihat
keadaan demikian, dengan hasrat membimbing dan membenahi
masyarakatnya, pemuda tampan berumur 23 tahun yang berwajah
sopan, bersahabat dan berparas persaudaraan (yang disebut sifat
tritunggal), mengambil bagian dalam pembinaan masyarakatnya.
Dialah D. Kumarasamy.
Pembinaan masyarakat tersebut diterapkan melalui pendidikan,
kesenian kebudayaan, kebathinan, dan moralitas. Pembinaan juga
dilakukan melalui pembaharuan adat istiadat, bahasa Tamil, dan
ajaran agama yang dilengkapi dengan syarat–syarat pernikahan, tata
tertib upacara kematian dan karya–karya di bidang kemasyarakatan,
yang bermanfaat untuk masyarakat dewasa ini dan di masa depan.
Semua itu merupakan tuntunan dan pedoman hidup, sekaligus
menjadi wujud pengabdian untuk masyarakat. Dengan maksud yang
mulia ini berbagai organisasi dibentuk.
Beliau telah berkarya sejauh kemampuannya. Mengingat jasa–
146 147PenutupPenutup
jasa yang maha luhur itu, sepantasnya kami memberikan penghargaan
atas pengabdiannya yang luar biasa. Kami juga melihat dan menyadari
bahwa banyak lagi yang perlu dibina dan dibimbing. Oleh sebab itu
kami mengajak muda–mudi dewasa ini untuk maju ke depan dan
berbakti kepada masyarakat kita. Dengan tujuan ini pulalah kita
dengan senang hati menerbitkan buku biografi D. Kumarasamy agar
dapat menjadi inspirasi dan dorongan bagi generasi muda.
Semoga berkah kebahagian berlimpah di mana–mana.
Panitia HARI ULANG TAHUN
Bapak : M. Lacumaiya
N. Guna Segaran
P. Subramaniam
N. Govindasamy
Ulasan almarhum Pandeta Ashok Tilagha D. Rajagobal
Negara Indonesia yang subur ini terdiri dari ribuan kepulauan,
penuh dengan kekayaan serta kebahagiaan. Leluhur kita dari India
Selatan bermukim di Indonesia dan berbaur dengan masyarakat
setempat serta mengembangkan kebudayaan, kesenian, kebathinan,
kebaktian yang diliputi dasar–dasar kasih sayang.
Raja-raja di kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit, baik
dari dinasti Syailendra, Mulawarman, Dharmawangsa, memerintah
dengan adil dan bijaksana. Perdamaian, kewibawaan ajaran–ajaran
agama secara luas dicurahkan dan dibina oleh mereka.
Jika diheningkan sejenak, nyatalah bahwa masyarakat Indonesia
dan masyarakat India Selatan telah berbaur sejak zaman purbakala.
Kegembiraan, kegirangan, dan cinta kasih meluap dalam kalbu
kita bersama. Analisa–analisa dan kehidupan kebathinan yang
dilanjutkan secara mendalam telah melahirkan monumen–monumen
seperti Mendut, Prambanan, Kalasan, Borobudur serta stupa–stupan
yang menjadi termashur. Itu merupakan karya–karya nyata yang
dibuktikan oleh sejarah.
Di antara keturunan India Selatan yang merantau ke Sumatera
Utara dan lahir pada tanggal 11 Maret 1906, yang merintis dan
membina masyarakatnya itu adalah D. Kumarasamy. Anak dari Tuan
Duraisamy Pillay, marga vallaler dan ibunya bernama Parwathimmal
marga Nayudu (Kawarai). Bayi yang mulia ini dibesarkan dalam
pelukan kasih sayang ibu/bapaknya sambil ibunya mengajarkan
bahasa Tamil dan bapaknya mengajarkan bahasa Inggris.
Setelah dewasa menjelang usia 23 tahun, ia memulai karya–karya
baktinya dengan luapan cinta-kasih. Beliau bertekad mengabdi untuk
masyarakat Tamil di negara ini.
Beliau telah berkarya sekurang–kurangnya lima puluh lima tahun.
Beliau berhasil merombak adat-istiadat orthodox, dan membenahinya
dengan cara–cara baru yang diterima oleh masyarakat, juga ajaran–
ajaran kebathinan yang benar dan jelas, yang dituangkan tanpa letih
dan lelah.
Melihat karya–karya yang mulia ini dan pribadi yang ramah serta
bersahabat ini, masyarakat India pada umumnya menjuluki beliau
dengan panggilan Anna D.K. Namun mengingat jasa–jasa beliau yang
luhur itu tidak hilang dalam samudra khayalan, maka kami berusaha
148 149PenutupPenutup
menyajikannya.
“ Setiap perjuangan mulia tak akan sia – sia bagi yang membuatnya”
Sesuai dengan sabda Sang muliawan Nayanar dalam kitab KURAL,
maka apa yang telah dibuat untuk masyarakatnya perlu dihargai
dan dihormati. Kami berusaha untuk menerbitkan buku ini sebagai
catatan untuk masa depan yang merupakan kenang–kenangan.
Anna, memiliki semangat yang tinggi, beliau telah mengubah
irama–irama kebaktian untuk Budha Dharma berikut parita–parita
dan buku–buku Budhis lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Tamil.
Anna, sepenuhnya mahir bahasanya. Hal ini dapat kami nilai
setelah kami pelajari buku–buku yang diterjemahkan ataupun yang
ditulis oleh beliau. Umpamanya buku Arrawazi (Pedoman kebenaran)
yang penerjemahannya lebih baik dan halus tutur bahasanya daripada
yang diterjemahkan oleh penulis–penulis di India Selatan (Tamil
Nadu). Kami berkeinginan Arrawazi (pedoman kebenaran) yang
diterjemahkan oleh Anna itu dicetak menjadi buku dan diberikan
kepada masyarakat, juga buku jagat Jothi Buddha yaitu : riwayat
hidup Sang Budha yang telah diterjemahkan oleh Anna ke dalam
bahasa Tamil yang halus dan baik. Bab–bab terakhir dari buku
tersebut diterjemahkan secara puitis dalam bahasa Tamil yang sangat
memberikan inspirasi kebathinan. Kami kecewa oleh sebab kami tidak
memiliki kata–kata untuk mengucapkan pujian syukur padanya.
Dalam mengarungi samudra hidup ini Anna D. Kumarasamy
juga mempelajari ilmu kebathinan secara mendalam, hingga meditasi,
Samadhi. Sangat mudah bagi Beliau untuk memejamkan manas
dalam kesatuan objek, (hal–hal seperti ini hanya dapat dipahami oleh
rohaniawan). Berjam –jam lamanya Anna dapat berceramah mengenai
kebathinan. Kesanggupan yang demikian itu hanya diperoleh oleh
rohaniawan–rohaniawan seperti Anna yang telah mendalami ilmu
kebathinan dan juga bukanlah suatu kecerdasan otak tetapi itu adalah
suatu watak intelektual (intuisi).
Sebagai pembina masyarakat Anna juga mahir dalam membangun
organisasi–organisasi dan menyusun anggaran dasar dll, yang
berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan.
Agar pembaca mengetahui betapa luas pengabdian Anna D.
Kumarasamy, kami ungkapkan beberapa peristiwa di bawah ini :
Sewaktu Anna berkunjung pertama kali ke India pada tahun
1949, di Provinsi Madras, di Desa Kammar Puthu-ur, tinggal seorang
rohaniawan bernama Maunasamy. Beliau berhasrat mendirikan
sekolah di desa tersebut. Tetapi tidak ada kesepakatan dan kerjasama di
antara penduduk setempat sehingga keinginannya itu tak terlaksana.
Rohaniawan tersebut menjumpai Anna yang kemudian mengambil
inisiatif dan menganjurkan agar mengadakan rapat umum di desa
tersebut. Pada rapat tersebut Anna D. Kumarasamy memberikan
penjelasan mengenai pendidikan. Ia mendapat sambutan hangat.
Selanjutnya sekaligus Anna membentuk panitia pembangunan
sekolah.
Pada tahun 1965 untuk kedua kalinya Anna berkunjung ke India,
yaitu ke pusat Perhimpunan Theosofi sedunia di Adyar Madras India
Selatan. Seorang wanita Amerika, yaitu Ketua Bagian Persatuan
Pelayaan Theosophi (The Theosophical order of service) meminta
tolong kepada Anna agar beliau mengaktifkan kembali bagian
Persatuan Pelayanan Theosophi yang sudah lama tak berfungsi dan
Anna ditunjuk sebagai sekretaris yang memimpin penataan kembali
organisasi. Setelah mempelajari anggaran dasar dan lain–lain,
ternyata masih ada yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Maka Anna membatalkan anggaran dasar tersebut dan menggantinya
dengan anggaran dasar yang baru dan berkarya bakti sampai berhasil.
Selanjutnya Persatuan Pelayanan Theosofi tersebut ditetapkan di India
Barat. Atas suksesnya Anna, ketua Persatuan Pelayanan Theosofi
menyampaikan terima kasihnya dengan surat sebagai berikut :
150 151PenutupPenutup
THE THEOSOPHICAL ORDER OF SERVICE
MADRAS CITY, ADYAR MADRAS 20, INDIA
10 June, 1967
Tuan D. Kumarasamy,
Adyar, Madras 20, INDIA
Yth. Tuan D. Kumarasamy,
Sejak Tuan tinggal di Adyar, telah bekerjasama dengan saya
untuk kepentingan masyarakat melalui the Theosophical Order of
Service, cabang Madras sebagai setia usaha maka saya merasa sangat
bangga dan gembira, Tuan telah membantu saya untuk melanjutkan
tugas–tugas saya sebagai ketua dalam pelaksanaan tugas–tugas
kebaktian dan kemampuan Tuan di bidang adminitrasi dan dibarengi
dengan pergaulan dengan masyarakat, menciptakan suasana harmonis
dalam kelancaran karya–karya kebathinan, Tuan senantiasa tekun
serta gembira dan ingin melaksanakan semus usaha–usaha, saya telah
memperoleh manfaatnya dalam kebijaksanaan tuan.
Kehadiran Tuan akan berlalu di Adyar, Tuan serta keluarga
dengan bahagia akan kembali ke Indonesia, selanjutnya saya dan Mr.
Perkins menyampaikan terima kasih serta ucapan selamat.
Demikian kami nyatakan dengan perantaraan surat ini.
Salam Cinta Kasih,
Dari
Petarin G. Perkins
Jems S. Perkins
THE THEOSOPHICAL ORDER OF SERVICE
MADRAS CITY, ADYAR MADRAS 20, INDIA
10 June 1967
Tuan D. Kumarasamy
Adyar, Madras 20, India
Yth, D. Kumarasamy,
Mengingat jasa–jasa Tuan sebagai sekretaris dari Persatuan
Kerjabakti Theosophi, cabang Madras, yang mana karya–karya Tuan
menunjukkan perkembangan–perkembangan yang menggembirakan
dan saya menganggap keikhlasan Tuan sangat istimewa.
Tuan akan kembali ke tempat tinggal Tuan di Indonesia,
maka saya beserta para pengurus Persatuan Pelayanan Theosophi
cabang Madras mengucapkan selamat dan terima kasih yang sebesar–
besarnya atas karyabhakti Tuan.
Salam Persaudaraan dan Cinta Kasih
Dari
Caterin G. Perkins, Ketua
152 153PenutupPenutup
KONSULAT JENDRAL INDIA UNTUK INDONESIA
Batavia, 25 September 1948
Tuan D. Kumarasamy
Konsul India untuk wilayah Sumatra
berkedudukan
di
MEDAN
Tuan D. Kumarasamy Yth:
Saya akan segera tinggalkan Indonesia oleh sebab itu
mengenangkan toleransi masyarakat India dan teristimewa jasa–jasa
dan kebaikan Tuan dengan membantu melaksanakan tugas–tugas saya
dengan ini menjadi suatu kenang–kenangan indah dan tak terlupakan
dan sangat mengharukan bagi saya, maka saya berkewajiban untuk
mengucapkan terima kasih kepada Tuan.
Hidup India
Hormat Saya,
N.Ragawan
KONSULAT INDIA MEDAN
22 JULY, 1949
SURAT PERKENALAN
Tuan D. Kumarasamy, keturunan India yang tinggal di Medan–
Sumatera Indonesia, telah berjasa dan mengabdi dengan membina
masyarakat India yang tinggal di negara ini, selama lebih dari 20 tahun.
Berbagai pergerakan telah dipimpinnya, seperti Deli Hindu Sabha,
Serikat Koperasi, Perhimpunan Theosofi cabang Vasanta, Indian
Budhist Society, Indian Boy Scout dan lain sebagainya. Beliau adalah
seorang organisator yang berpengalaman luas. Selain itu sebelum
dibuka kantor konsulat India di Medan yaitu Tuan D. Kumarasamy
sebagai pejabat konsul India untuk wilayah Sumatera, berkedudukan
di Medan. Dalam masa jabatannya telah berbakti sepenuhnya dan
setelah itu beliau juga melanjutkan pembinaan masyarakat India
sampai saat ini dan seterusnya.
Mungkin di India pun Beliau dapat mengabdi jika beliau
menginginkannya. Oleh sebab itu kami menghimbau jika ia bersedia,
segala bantuan yang dibutuhkan hendaknya diberikan padanya.
Demikianlah harapan kami,
Gopal Das Shed
konsul
154 155PenutupPenutup
KEDUTAAN INDIA DI JAKARTA – INDONESIA
Maret,13 – 1950
Yth,Tuan D.Kumarasamy
Pemerintah India, dengan perantaraan, Yth. Tuan Sri N.Ragawan,
Duta India untuk Indonesia, telah menunjuk Tuan D. Kumarasamy
sebagai konsul India untuk wilayah Sumatra yang berkedudukan di
Medan dan juga Tuan D.Kumarasamy telah memberikan bimbingan
–bimbingan dan penerangan–penerangan pada masyarakat India di
Indonesia agar mereka menyelaraskan penghidupan mereka sesuai
dengan derajat kemerdekaan. Saya berdoa agar jerih payah serta
usaha – usahanya bermanfaat.
Hormat Saya,
Sekretaris Jenderal
Kedutaan India di Indonesia
K.M.Kannan Pillay
KONSULAT INDIA DI SUMATRA, INDONESIA
Jalan Cokroaminoto No.19 Medan
4 November 1965
Yang membawa surat ini adalah Tuan D. Kumarasamy, keturunan
India, warga negara Indonesia, bersama keluarga menuju India.Tuan
D. Kumarasamy telah mengabdi lebih dari 30 tahun untuk masyarakat
India di segala bidang dan lebih dari 16 tahun terakhir ini Beliau
mengabdi di bidang kebathinan dengan mengambil perhatian khusus
demi perkembangan Budha Dharma di Medan–Sumatra. Sebelum ada
seorang kunsul dari India untuk daerah ini di masa peralihan, Tuan Sri
D. Kumarasamy ditunjuk sebagai konsul India, yang berkedudukan di
Medan. Oleh Duta India, Yth Tuan Sri D. Kumarasamy pada umumnya
adalah seorang yang dihormati dan disegani oleh masyarakat India di
Indonesia.
Selama Beliau tinggal di India bantuan–bantuan layak yang di
kehendakinya hendaknya dapat diberikan. Demikianlah himbauan
kami dengan surat perkenalan ini.
P.N.NAMBISON
Konsul India Medan
156 157PenutupPenutup
So. Shankaran selaku setia usaha Sri Mariaman–kaliyaman Kuil
di Medan pada masa itu, membentangkan mengenai riwayat hidup,
berikut kisah pengabdian ANNA D. Kumarasamy dalam Puisi-nya
serta surat penghargaan dibacakan, yaitu kira – kira sebagai berikut :
1) Dengan muka berseri – seri dan tampan, berbahasa lembut
dan sopan, penuntun terdepan.
2) Hiduplah KUMARA kita sepanjang zaman sebagai mahkota
bangsa.
3) Merintis arah, guna terhindar dari penderitaan, bagi
masyarakat yang berantakan,wahai mulia.
4) Pembaharu Deli Hindu Sabha, usaha mulia guna mengabdi,
tak ternilai adanya.
5) D. Kumara berkalbu mulia, berbakti agar jaya umat manusia.
6) Mengenang anda setiap hari, namamu harum sepanjang masa.
7) Pancaran kalbu kasihmu sambil menyelami seni budaya, dan
berbahasa sopan, hilangkan kerisauan teman.
8) Supaya maju bangsamu,memikul beban, bertekat membuat
kreasi baru.
9) Berkorban untuk keturunan kita, agar berjaya.
10) Walaupun bermukim nan jauh, wahai D. Kumarasamy,
pengabdianmu takkan kami lupakan.
Sahabat yang mengayun langkah di jalan kehidupan pada usia 60
tahun, jika tampil, tampillah dengan kejayaan, (Sabdah “ VALUWAR).
Karya–karya anda di segenap bidang menjadi suatu kenangan
indah bagi kami, kemurnianmu terpandang nyata, sehingga kami
bangga dan menghargainya.
Pengabdi masyarakat yang berjiwa sopan, selama 30 tahun lebih
membina masyarakat Tamil agar mereka keluar dari gua kegelapan
bathin, membasmi pendapat–pendapat perbedaan ras tinggi–rendah
dalam kemasyarakatan dan membina persatuan serta persaudaraan
adalah usaha yang sangat melegahkan kami.
Penggubah pri-bahasa Tamil
Tamil bahasa kita, anda secara ikhlas menghimpun untuk
mendidik bahasa Tamil. Anda telah mengarang buku-buku yang
sangat berguna dan menyajikannya. Serta kotbah–kotbah/ceramah–
ceramah dalam bahasa yang halus serta irama–irama telah digubah
dan dipersembahkan. Hal–hal tersebut telah menggugah sanubari
kami semuanya.
Pengabdi Dharma Yang Setia
Membentangkan keluhuran Hindu Dharma dan menghayati
ajaran para Brahma (Tuhan Yang Maha Esa) dan agar generasi penerus
tidak disesatkan ke paham Atheis. Mereka dituntun dan diberi ajaran
DHARMA (agama) sesuai dengan “PANCASILA” Falsafah Negara
Republik Indonesia. Karya bakti Anda sangat bernilai. Atas kebaikan
Anda, kami berdoa pada Tuhan Yang Maha Esa, agar Anda serta
keluarga hidup sepanjang masa di jagad ini dan diberkahi dengan
kebahagiaan yang berlimpah – limpah.
Salam persaudaraan persaudaraan dari :
So. Shankaren
A. Sathasiwam
G. Krisnasamy
A. Abdul Majid
158 159PenutupPenutup
Koordinator Sri Mariaman Kuil dan Sekolah Barathi Medan
Pada tahun 1947 ANNA D. Kumarasamy menggubah sebuah
irama kebaktian yang dipersembahkan untuk masyarakat Tamil
atas permohonan pengurus Sri Mariaman Kuil pada saat itu. Puisi
kebaktian tersebut diterjemahkan kira–kira sebagai berikut :
“Tanpa berkhayal kian–kemari”
“Bersinarlahlah di mana jua dalam
Keadaan ria–gembira”
“Semua hidup dalam kalbu kasihmu
berawal dari atom hingga
segala–galanya, digerakkan kesaktian ajaibMu”
“mohon di-ilhami agar sinarmu dapat”
“bersinar dalam kalbuku, terimalah
saya dalam kesucianmu,
sifat luhurMu, kasih sayang, sopan
santun, keadilan, tekad pengabdian
hendaknya tumbuh dalam jiwaku”
“saya bertekad menempuh penghidupan
suci, berilah padaku petunjuk–petunjuk agar
saya tak terpedaya oleh duniawi”
“musnahkanlah keangkuhanku berilah
kesempatan dengan membuka mata
bathinku, agar dapat melihatMu”
“dalam tubuh seisi alam semesta ini
“sinar berkahmu hendaknya menyingkirkan”
semua kegelapan maya dan dapat mengenal diriku”
“badan ini bukanlah saya,keinginan bukanlah saya”
“napsu bukanlah saya, pikiran bukanlah saya”
“cahaya cemerlang yang bersinar dalam
kalbukulah saya”
“saya adalah kamu, kamu adalah saya”,”
“dalam arus kebijaksanaan inilah, bersinar cinta kasih”
“murnimu, leburlah kami dalam kesucian-Mu”
OM SHANTI SHANTI SHANTI
Pada tahun 1954 setelah menyelesaikan bangunan sekolah
Barathi yang dibangun di belakang Sri Mariaman Kuil Medan, Anna
D. Kumarasamy diminta supaya mengkoordinir Sri Mariamman Kuil
dan sekolah Barathi yang baru saja selesai dibangun. Dari tahun 1954
selama masa 4 tahun berikutnya beliau berbakti sebagai ketua Sri
Mariaman Kuil dan sekolah Barathi Medan. Pada masa kepimpinan
itulah beliau melihat kekosongan–kekosongan dalam tata cara
administrasi. Anggaran dasar pun tidak dimiliki oleh Sri Mariaman
Kowil Medan, sejak kuil tersebut dibangun pada tahun 1884.
Setelah 70 tahun kemudian Anna. D. Kumarasamy, satu–satunya
orang dari etnis Tamil yang menyusun segala–galanya, yaitu : anggaran
dasar dan susunan administrasinya, dan yang dilanjutkan oleh para
pengurus di masa-masa berikutnya. Setelah selesai masa jabatannya
Anna. D. K. mengundurkan diri sebagai ketua Sri Mariaman Kuil
dan Sekolah Barathi Medan. Sebagai penghormatan para pengurus
menyampaikan surat penghargaan sbb :
Atas nama pengurus pelaksana Sri Mariamman Kuil dan
Kaliamman Kuil Medan.
Sejak tanggal 28 Maret 1954 sampai dengan tanggal 18 Juni
1958, karya–karya mulia telah diselenggarakan oleh saudara Sri D.
Kumarasamy selaku ketua. Jika berbakti untuk Ibu Pertiwi dengan
penuh keyakinan, lenyaplah semua penderitaan di dunia fana ini.
Saudara yang berbudi mulia, akan memperoleh kehidupan bahagia
atas berkah Tuhan Yang Maha Esa.
Bangunan Sri Mariamman Kuil merupakan wadah (tempat)
kebaktian terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi kita masyarakat
Hindu, dari tempat itu saudara telah berbakti dengan tekun dan
sungguh–sungguh menampilkan keyakinan saudara pada Dharma
dan demi cinta kasih pada masyarakat kita. Oleh karenanya walaupun
kesibukan–kesibukan bertimbun–timbun dalam tugas–tugas namun
tanpa menghiraukan, saudara tetap melaksanakan karya bakti agar
masyarakat kita menjadi manusia–manusia edukatif dan bermoral.
Dengan hasrat murni saudara mengerahkan tenaga, pikiran, material,
dan moral serta gagasan–gagasan dalam membangun perguruan
Barathi. Oleh sebab itu kami bangga mengingat akan keiklasan saudara
itu. Suatu kenyataan yang kami harus mengakui dan tak terlupakan.
160 161PenutupPenutup
Penilaian-penilaian para cendikiawan
terhadap MU/MP Ashok Dharma Surya Samugha Vallal
(D. Kumarasamy)
Seorang sastrawan K.M. Balasubramaniam B.A.B.L. pada tahun
1970 berkunjung ke Medan. Beliau mendapat kesempatan memberikan
ceramah–ceramah agama di beberapa tempat. Bertepatan dengan
hari ulang tahunnya, Beliau memberikan ceramah di Ashok Vihara
pada tgl. 15 Desember 1970. Sebagai ungkapan penghormatan atas
ulang tahun tamu istimewanya, MU.MP Ashok Dharma Surya (D.K.)
menciptakan sebuah lagu. Setelah Beliau mendengar lagu yang khusus
diciptakan sebagai hadiah ulang tahunnya, dalam ceramahnya Beliau
menjelaskan, bahwa MU.MP Ashok Dharma Surya (D.K.) adalah
seorang filosof yang berpengetahuan luas dalam kebathinan, maka dia
menganjurkan agar masyarakat mengambil kesempatan untuk belajar
sebanyak–banyaknya dari MU.MP A.D. Surya.
Selanjutnya salam perpisahan ketika K.M. Balasubramaniam
B.A.B.L. kembali ke negrinya Beliau bersujud pada MU.MP. Ashok
Dharma Surya sambil bergurau, jika terkenang pada saya, anggaplah,
bahwasanya ia seorang Budhis. Sebaliknya MU.MP A.D. Surya
berkata, jika anda terkenang padaku anggaplah saya seorang Hindu
demikianlah lontaran keakraban dari para Cendikiawan tersebut)
sesuai dengan pepatah “Adat teluk timbunan kapal adat Raja timbunan
sembah”.
Selanjutnya ide–ide serta bantuan saudara tetap kami harapkan untuk
selama–lamanya. Dan kami berdoa agar saudara selamanya diberkahi
oleh Dewi–Ambigai.
Medan, 8 Agustus 1958.
Tahun WILAMBI, bulan ADHI -5060
Hormat kami,
Atas nama pengurus, setia Usaha Umum.
162 163PenutupPenutup
Wartawan : Solai Irusan dari India
Seorang wartawan dan penggubah drama (sandiwara) yang
terkenal dari India bernama Solai Irusan, melawat ke negara–negara
Asia Tenggara. Dalam perjalanannya Beliau juga berkunjung ke
Medan pada tahun 1974. Atas prakarsa beberapa kolega beliau
diperkenalkan kepada MU/MP Ashok Dharma Surya. Pertemuan
tersebut berlangsung kurang lebih satu jam. Selesai pertemuan
wartawan tersebut mengemukakan bahwa dialog dengan rohaniawan
MU/MP Ashok Dharma Surya, adalah sangat mengesankan. Jika
saya datang di lain kesempatan, begitu turun dari pesawat saya akan
mengambil kesempatan pertama untuk bertemu Beliau.
Tahun 1975 Mohan music Band Medan melawat ke Malaysia.
Guna meningkatkan prestasi pemuda kita maka MU/MP Ashok
Dharma Surya menciptakan beberapa lagu–lagu Tamil dengan tema
persahabatan dan jalinan persaudaraan serumpun bangsa. Lagu-lagu
itu juga dilengkapi dengan beberapa lelucon yang menggembirakan.
Dengan berbekalan lagu–lagu ini, pertunjukan Mohan Musik Group
berhasil.
Setelah mengikuti acara tersebut, masyarakat Malaysia
menyambut mereka dengan riang gembira. Mereka ingin mengetahui
siapa pencipta lagu–lagu yang mengesankan itu. Dalam ramah -tamah
dengan para cendikiawan–sastrawan dan seniman Malaysia, personel
Mohan Musik Group memberitahukan bahwa yang menciptakan
lagu-lagu tersebut adalah Anna D. Kumarasamy di Medan, Indonesia.
Khalayak di Malaysia pun terkagum-kagum, bahwa di Medan pun
ada seorang yang berkemampuan seperti Kawinyar Kannadhasan di
India (Kannadhasan adalah seorang pencipta dan penggubah lagu–
lagu Tamil, pada masa itu).
MAHA UPASAKA MAHA PANDITA ASHOK DHARMA SURYA –
SAMUGHA VALLAL D. KUMARASAMY (D.K )
Dua huruf D.K. yang tertulis di atas ini adalah singkatan dari
sebuah nama yang lengkapnya berbunyi Duraisamy Kumarasamy.
D.K merupakan panggilan untuk menunjukkan keakraban oleh
kerabat, sahabat dan pengikutnya yang tidak asing bagi masyarakat
Budhis maupun Hindu. Beliau ditakdirkan hadir di dunia untuk
memenuhi panggilan tertentu. Saudara D.K. dilahirkan di Binjai,
Provinsi Sumatera Utara, pada hari Minggu tanggal 11 Maret 1906,
yang tampil ke dunia ini dalam suku Tamil.
Ayahnya bernama Duraisamy. Ia adalah seorang intelektual,
berasal dari suku Tamil dari India Selatan, yang sudah lama tinggal di
Indonesia. Ibunya yang bernama Parwathi adalah seorang spiritualis,
berasal dari suku Tamil dari India Selatan.
Dalam kehidupannya, Saudara D.K. adalah seorang pria yang luar
biasa. Semenjak kecil telah menunjukan ciri–ciri kedewasaan dalam
bidang spiritual. Semenjak kecil telah menguasai bahasa Tamil dan
dapat berbahasa Inggris secara fasih, baik dalam menulis maupun
membaca. Pendidikan bahasa Tamil dipelajari dari Ibunya sendiri dan
pendidikan bahasa Inggrisnya dari sekolah Methodist Boys School dan
setelah dewasa dilanjutkan dengan kursus tertulis dari India.
Dalam usia enam tahun, yaitu pada tahun 1912, beliau telah
mampu menguasai kitab Suci Ramayana dan Maha Barata. Dan
mampu menjabarkan kitab–kitab tersebut pada masyarakat luas,
khususnya di Shri Mariamman Kuil di Binjai.
Dalam tahun 1922, beliau berinisiatif belajar mengetik tanpa guru
dan mesin tik, hanya dengan mempergunakan selembaran karton yang
disusun huruf–huruf dan angka–angka, yang sama dengan mesin tik.
Dalam usia yang semuda ini, cipta, rasa dan karsanya sudah begitu
maju. Dan pada tahun 1925 beliau mendapat pendidikan accounting
dan stenografi, selanjutnya beliau mempelajari berbagai kitab suci
lainya.
Saudara D.K. sebagai seorang yang berperawakan tinggi, tegap,
yang sesungguhnya dalam lahirnya bersemayam jiwa yang tinggi,
budi yang luhur, watak yang halus, kemauan yang mantap dan kuat,
serta keyakinan yang tangguh. Di dalam jasad inilah bersemayam
manusia Kumarasamy yang sejati.
164 165PenutupPenutup
Di Medan Lodge, yang sekarang dikenal dengan Vihara Borobudur
Medan, untuk pertama kalinya pada tanggal 15 September 1927 D.K.
mendapat kesempatan bertemu dengan tokoh Perhimpunan Theosofi
Sedunia, Swami Charles W. LeadBeater, seorang waskitawan. Saudara
D.K. mendapat kesempatan emas, berdialog dengan Swami C.W
Leadbeater. Dalam kesempatan tersebut, Swami bertanya, "Apakah
kamu masih ingat pertemuan kita di Greek (Yunani) di kelahiran
yang lampau?" D.K. merasa takjub seketika, dan tidak dapat berkata
sesuatu apapun. Semenjak pertemuan ini terjadi perubahan secara
radikal dalam diri beliau. Revolusi ini membimbing beliau untuk
membabarkan kebijaksanaan Ilahi. Pertemuan dengan Swami C.W
Leadbeater dianggap sebagai suatu anugrah dari Tuhan yang Maha
Esa.
Dari landasan ini beliau menerobos dan memacu dirinya sehaluan
dengan tujuan sang 'Guru Jagat', guna meningkatkan kemajuan umat
manusia dan Dunia. Pada tahun 1929, beliau menjalankan misinya,
dengan terlebih dahulu merintis dan menggalang para muda–mudi,
mempersatukan mereka dalam suatu wadah Perhimpunan Deli
Hindu Sabha. Perhimpunan ini bertujuan meningkatkan kemampuan
masyarakat. Fokus kegiatan diarahkan kepada kegiatan–kegiatan
olah raga, kesenian, sandiwara serta mendirikan lembaga pendidikan
formal maupun informal yang diorganisir oleh beliau secara langsung.
Semenjak Saudara D.K. memangku jabatan sebagai Ketua
Perhimpunan Deli Hindu Sabha, banyak karya–karya beliau
tampilkan ke forum. Pada tahun 1932 beliau mendirikan sekolah–
sekolah berbahasa Tamil dan Inggris, baik di Medan maupun di
Binjai. Pada tahun 1933, beliau mengkodifikasikan beberapa upacara,
agar terlaksana lebih hikmat dan sesederhana mungkin, tanpa
menghilangkan makna dan fungsinya. Antara lain upacara–upacara
pernikahan, pemakaman maupun perabuan. Kitab Maha Puja saat ini
berkumandang di berbagai Vihara di persada tanah air Indonesia.
Setelah terlahir Maha Puja ini, perkembangan Budha Dharma di
Indonesia, khususnya di Medan mengalami kemajuan pesat. Berbagai
kegiatan dilaksanakan untuk memajukan Buddha Dharma.
Ia mendapat kesempatan berkunjung ke India dan dua tahun di
sana, di perumahan Perhimpunan Theosofi sedunia di Adyar. Pada
tahun 1968 Beliau kembali ke Indonesia dan aktif di vihara Borobudur
Medan.
Pada tahun 1971 beliau ditunjuk untuk mewakili umat Budha
Indonesia untuk menghadiri undangan peresmian International
Buddist Pagoda di Kuala Lumpur, Malaysia. Saudara D.K. adalah
seorang pelopor dalam bidang kebathinan yang menghayati Budha
Dharma.
Dalam lawatannya di India, D. K. bertemu dengan ketua Budha
Dharma di India, Maha Tera Nandhi Swara. Beliau disambut dengan
gembira dan dianugrahi gelar kebathinan Budha Dharma yaitu
Ashok Surya. Sekembalinya ke Tanah Air Indonesia, beliau disambut
dengan penuh penghargaan dan kehormatan oleh Ketua Sangha Suci
Indonesia dan Majelis Budha Indonesia, yang mulia Maha Nayaka
Stavira Ashin Jinarakita, dan dianugrahi gelar Maha Upasaka Maha
Pandita Ashok Dharma Surya D. Kumarasamy.
Selanjutnya di kalangan masyarakat Tamil di Sumatera Utara,
beliau dianugrahi gelar kehormatan yaitu, Samugha Vallal, yang
bermakna “yang mulia pembina masyarakat”. Untuk selanjutnya
di kalangan masyarakat Budhis Indonesia dan Dunia International
beliau dikenal dengan Gelar Maha Upasaka Maha Pandita Ashok
Dharma Surya–Samugha Vallal D. Kumarasamy.
Beliau meninggalkan wadahnya/jasadnya pada tanggal 29 Mei
1978, dalam usia 72 Tahun.
Dalam mengenang seorang theosof sambil menyelami diri
kita sendiri, maka kita merasa sangat kecil dan kita sadar akan
kekurangan serta kelemahan kita. Kita menyadari bahwa kewajiban
kita sebagai Ummat Budha Dharma, yakni mengamalkan Dharma
dalam kehidupan kita sehari–hari, hendaknya memperkaya hidup
kita. Dan dharma baru dapat kita amalkan dalam kehidupan kita,
manakala Dharma telah bersemayan di dalam hati dan menggema di
dalam sanubari setiap Umat Budha. Maka kita harus berusaha supaya
Dharma ada dalam hati kita, ia harus menjadi cermin hidup kita.
Marilah kita kenangkan bersama, betapa besar jasa beliau
terhadap Umat manusia dan dunia. Marilah kita mengambil tauladan
dari beliau akan ketabahan hatinya, kemauannya yang begitu
keras, keyakinannya yang begitu teguh dan keberaniannya untuk
mempertahankan pendiriannya yang telah diyakini kebenarannya.
167Epilog166 Penutup
Epilogoleh Selwa Kumar
Suatu pagi, ketika embun masih melekatkan dirinya pada kelopak
teratai yang sedang mekar penuh pesona di kolam Tirta Gangga, aku
terduduk di tangga yang menghadap desa Candi Dasa. Di antara
indahnya alunan kidung Puja dan wewangian Puspa, pikiranku
berkelana menyusuri ingatan-ingatan tentang D. Kumarasamy, orang
yang sangat inspiratif bagi kehidupan sesamanya.
Tak sengaja, ketika masih menjadi mahasiswa sastra di kampus
Universitas Sumatera Utara, aku bertemu dengan bapak Sri Ramlu
yang mengundangku untuk bertandang ke rumahnya. Ia sangat
mengenal D. Kumarasamy dan banyak bercerita tentangnya.
Bagi pak Sri Ramlu, D. Kumarasamy adalah pejuang Hak Asasi
Manusia yang berupaya mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan Tamil. Dahulu, aktivitas kaum perempuan Tamil sangat
terbatas, tidak boleh keluar rumah, dan tak diijinkan keluar dari kamar
ketika ada tamu yang datang ke rumahnya. Dalam perkumpulan Deli
Hindu Sabha, ia memulai sebuah seksi khusus bagi perempuan yang
membuka ruang luas bagi mereka untuk mengenyam pendidikan.
Kaum perempuan dapat belajar bahasa Inggris, bahasa Tamil, belajar
berorganisasi, belajar tentang kepanduan dan berbagai keterampilan
lainnya.
Dalam bidang perkawinan, D. Kumarasamy melakukan perubahan
yang sangat berarti, yakni membuat Perjanjian Perkawinan yang
lebih melindungi dan menghargai hak-hak kaum perempuan serta
para janda. Dahulu, para janda yang ditinggal mati oleh suaminya,
tidak boleh menikah lagi namun boleh hidup bersama dengan lelaki
lain tanpa ikatan. Ini adalah situasi yang membuat perempuan
168 169EpilogEpilog
berada dalam posisi sangat rentan. Ia mengubah tradisi itu dengan
mengizinkan para janda untuk menikah lagi dengan ikatan yang kuat
dan memberinya perlindungan.
Dalam tradisi sebelumnya, para istri yang diceraikan oleh
suaminya, sama sekali tak memiliki hak atas nafkah hidup dan
hartanya, serta tak memiliki hak untuk mengasuh anak-anaknya. D.
Kumarasamy memperbaharui tradisi itu dengan memberikan hak
yang sama bagi para istri untuk memiliki harta bersama, mendapatkan
nafkah hidup, dan dapat mengasuh anak-anaknya.
Ia adalah tokoh yang memperjuangkan penghapusan kasta,
membela orang-orang yang tertindas dan dizalimi oleh orang-orang
dari kelas sosial yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa semua manusia
diciptakan dalam martabat dan harkat yang sama. Hak Asasi setiap
orang wajib mendapatkan perlindungan dan tak seorangpun boleh
menginjak-injak harkat dan martabat orang lain atas dasar perbedaan
status sosial, agama, maupun warna kulitnya. Ia memperjuangkan
nasib saudara-saudarinya yang dianggap sebagai bagian dari kelas
sosial yang lebih rendah, yang seringkali mendapatkan perlakuan tak
pantas dari mereka yang menyebut diri agamawan dan menganggap
diri sebagai orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi.
Beruntunglah, aku bertemu dengan Syaifuddin Mayuddin, dosen
sejarah yang saat itu baru saja lulus pasca-sarjana dari Universitas
Gadjah Mada. Setelah kuceritakan kisah tentang D. Kumarasamy, ia
sangat berminat untuk menulis biografinya. Keinginan untuk menulis
biografi itu akhirnya kami sampaikan kepada pak Mohan Leo, putra D.
Kumarasamy. Tampaknya gayung bersambut. Pak Mohan menyambut
baik dan mendukung rencana penulisan itu.
Penulisan buku ini berlangsung selama setahun. Tahun 1998,
proses penulisan telah selesai. Namun sayang, sampai tahun 2007
ketika bang Saifuddin dipanggil Tuhan, naskah biografi ini belum
berhasil diterbitkan. 16 tahun lamanya, naskah ini tertahan. Baru
pada tahun 2013, aku mulai mengoreksi kembali naskah ini setelah
mendapatkan kabar dari pak Mohan Leo bahwa ia sangat berkehendak
untuk segera menerbitkan buku ini karena telah berhutang budi
kepada ayahandanya.
Dari kesaksian orang-orang yang mengenalnya, kuketahui bahwa
D. Kumarasamy telah dididik dan dibesarkan di kota Medan, di tengah
masyarakat yang multi-kultur, yang melahirkan banyak tokoh perintis
dan pejuang kemerdekaan. Sutan Syahrir, Tan Malaka, Amir Hamzah,
Chairil Anwar, Deliar Noor dan HB. Jassin, adalah beberapa orang
yang dapat disebutkan.
Ketika masih bersekolah, D. Kumarasamy memiliki banyak sahabat
yang berasal dari beragam bangsa, etnis, dan agama. Pergaulannya
yang luas dan pengetahuannya yang kaya telah menjadikannya
seorang pribadi yang humanis, demokratis, moderat, reformis dan
sangat menghargai perbedaan. Baginya, perbedaan adalah anugerah
dan rahmat yang pantas disyukuri dalam hidup sehari-hari.
Ia adalah orang yang membaca banyak buku. Ia sangat akrab
dengan karya-karya Swami Vivekananda, Baghawat Gita, Shakespere,
Rabindranat Tagore, Khalil Gibran, T.S. Elliot, Alberth Camus, Marah
Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Muhammad Yamin,
Abdullah bin Abdul Kadir Munzi dan Amir Hamzah.
Pada tahun 1927, ia sempat bertemu dan berdiskusi dengan
Rabindranat Tagore yang kebetulan berkunjung ke Medan dan
memberikan ceramah di perkumpulan Deli Hindu Sabha. Mereka
bertukar pendapat tentang banyak hal seperti nasionalisme, agama,
moralitas dan sastra.
Sebagai peminat sastra, D. Kumarasamy banyak membaca puisi
karya Khalil Gibran. Salah satu puisi Gibran yang disukainya adalah
ini:
Kemanusiaan adalah sungai cahaya
yang mengalir dari rumah-rumah keabadian menuju keabadian
Bila Kau bangkit sedikit saja di atas ras, agama, negara dan pribadi
kau akan menjadi seperti dewa
kebijaksanaan berhenti untuk menjadi kebijaksanaan
ketika ia menjadi terlalu bangga untuk menangis, terlalu
menderita untuk tertawa,
dan terlalu sendiri mencari diri yg lain daripada dirinya sendiri
Kelahiran dan kematian adalah dua ekspresi keberanian yang
paling hebat
Kenangan adalah sebuah pertemuan
seseorang tidak akan menemui fajar tanpa menemui malam
D. Kumarasamy adalah seniman yang menciptakan banyak kidung
dan doa Puja untuk agama Hindu maupun Budha, serta penulis cerita
171Daftar Pustaka & Lampiran170 Epilog
riwayat Budha. Ia adalah seorang pribadi yang menghormati iman,
spiritualitas dan keyakinan orang lain yang berbeda dengannya,
sebagaimana ia menghormati iman, spiritualitas dan keyakinannya
sendiri.
Sebagai pribadi yang memiliki kepekaan kemanusiaan yang tinggi,
hati nuraninya tersentak oleh ketidakberdayaan dan ketertindasan
masyarakat Tamil Budhis yang ada di sekelilingnya. Untuk itulah ia
membentuk Budha Society. Pada tahun 1954, ia memilih menjadi
pemeluk agama Budha. Ia berjuang membangun masyarakat Budhis
melalui pendidikan dan spiritualitas. Dalam konteks itu, ia pantas
disebut sebagai pembaharu masyarakat Tamil di Medan pada masa
Kolonial. Ia adalah saksi zaman yang menyampaikan suara-suara
masyarakat Tamil yang tertindas pada masa kolonial itu, baik dari sisi
kemanusiaan, agama, sosial dan politik.
Begitulah ingatan-ingatan tentang D. Kumarasamy yang dapat
kuhadirkan kembali. Semua ingatan itu kiranya dapat ditemukan
dalam buku biografi ini.
Aku mengucapkan terima kasih kepada bang Hafni Tanjung,
kak Elfi Rahmita Ginting, bang Irwansyah Harahap sang Sufi, bang
Saifuddin Edwin yang telah banyak membantu melalui diskusi-diskusi
dan buku-buku yang bagus demi memperkaya penulisan buku ini.
Mereka semua telah mendorong dan mengingatkan aku yang lalai dan
terlena agar buku ini segera terbit. Tak lupa aku ucapkan terima kasih
kepada mas Indro Suprobo dan mbak Listia di Yogyakarta. Mereka
adalah suami-istri yang dengan gigih, sabar dan tekun berusaha
memahami kepribadian, idealisme serta spiritualitas yang dihidupi
oleh D. Kumarasami, dengan harapan mereka dapat menyunting
dan mendesain buku biografinya sesuai yang dimaksud oleh keluarga
dan penyusun buku, hingga akhirnya buku ini dapat hadir di tengah
pembaca sekalian.
Semoga buku biografi D. Kumarasamy ini memberikan banyak
manfaat bagi kehidupan yang lebih luas.
Daftar Pustaka
Denys Lombard, 1996, Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia, Jakarta.F.D.K Bosch, 1961, The Problem of The Hidu Colonisation of Indonesia, dalam Selected Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhoff, KITLV Translation Series 3Hassan Shadily, dkk., 1984, Ensiklopedia Indonesia jilid 6, Ichtiar Baru Van Hoeve, JakartaH.H. Dodwell, 1934, The Cambridge Shorter History of India, Cambridge University Press, London. Indra Afkar, 1995, Perkembagan Kereta Api di Sumatera Timur, Tesis S2, Universitas Indonesia, Jakarta.J. C. Van Leur, 1955, Indonesian Trade and Society, Essays in Asian Social and Economic History, The Hague, Bandung: W. van HoeveKarl. J. Piljer, 1985, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan, Jakarta.O.W. Wolters, 1967, Early Indonesian Commerce, A Study of The Origins of Srivijaya, Cornell University Press.Riclef, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Gajahmada Press, Jogjakarta.T.Luckman Sinar Basarsyah, 2008, Orang India di Sumatera (Edisi Bahasa Indonesia dan Inggris), Forkala, Medan. Usman Pelly, 1994, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta.
Daftar Pustaka & Lampiran
172 173Daftar Pustaka & LampiranDaftar Pustaka & Lampiran
DAFTAR NAMA-NAMA INFORMAN
1. Nama : S. Kanapathy
Umur : 69 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan Kantor Pembangunan Perumahan
Alamat : Jl. Pare No. 7 Medan
2. Nama : K. Marudhe
Umur : 77 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Dolog Sumatera Utara
Alamat : Jl. Brigjen. Katamso Gg. Bakti Medan
3. Nama : K. Nyana Perkas
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Pasundan Gg. Kami No. 55 Medan
4. Nama : K. Mohan Leo
Umur : 54 Tahun
Pekerjaan : Wiraswata
Alamat : Jl. Lobak No.18 Medan
5. Nama : Marimuthu Siniwasan
Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Pengusaha (Wiraswasta)
Alamat : Jl. F. Tandean Medan
6. Nama : S. Manikam
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Jl. Merak Gg. Nirwana No. 41 Medan
7. Nama : Sri Ramlu
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Ketua Parisada Hindu Dharma
Alamat : Jl. Darat - Medan
8. Nama : Krishnaputra
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Pengurus Vihara Borobudur Medan
Alamat : Jl. Imam Bojol No. 15 C
9. Nama : Shokahinggam
Umur : 80 Tahun
Pekerjaan : Pengurus Sri Maryaman Kuil Binjai
Alamat : Jl. Ahmad Yani - Binjai
10. Nama : M. Yahya Rowter
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Socfindo Medan
Alamat : Villa Makmur Indah Jl. Makmur
Block C/27 Medan
11. Nama : Kina Kumarasamy
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Pendeta Brahma
Alamat : Jl. PWS No. Medan
12. Nama : Netty Anauda
Umur : 55Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. S. Parman Lorong Baru No. Medan
13. Nama : Parameswary Ammal
Umur : 78 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Lobak No. 18 Medan
14. Nama : S. Tauwse Lingga
Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan Perkebunan PTP
Alamat : Jl. Timur No. Medan
__________________________________________________