angio fibroma

Upload: shinta-lisseva

Post on 06-Mar-2016

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring juvenille adalah tumor jinak pembuluh darah dinasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karenamempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, sepertike sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulitdihentikan. Angiofibroma nasofaring juvenille merupakan tumor jinak nasofaring terbanyakdan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Frekuensinya 1 : 5.000 1 : 60.000 daripasien THT.1,2,3 Angiofibroma terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja, umumnyapada dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun.1,2,3Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbulrinorea kronis. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) danberulang (recurrent). Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Dengan gejala seperti ini lah sering di diagnosa banding dengan polip hidung dan karsinoma sel skuamosa.4,5Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang seperti rinoskopi posterior dan CT scan. Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan,radiasi,terapi hormonal,embolisasi dan injeksi agen sklerosing. Pembedahan merupakan terapi pilihan utama meskipun sering mengalami kesulitan, karena sulitnya mencapai daerah nasofaring, perdarahan yang hebat, sertasifat tumor yang mengekspansif ke ruang-ruang di sekitar nasofaring serta seringnyaterjadi residif. Pengobatan lain seperti pemberian sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan durante operasi.5BAB IIANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi atas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.6 Gambar 1: Anatomi Nasofaring1,2

Dinding depan (anterior), dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadangkadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius.7,8Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada. 2,3Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial 1

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFINISIAngiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak dan secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. 1,2,3Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai dengan komponen vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan kaliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas. Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi perdarahan. 1,8

3.2. ETIOLOGIPenyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Padadasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asaldan teori ketidakseimbangan hormonal. Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karenapertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerahoksipitalis os sfenoidalis.9Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki.9

3.3. EPIDEMIOLOGIAngiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria berusia antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang ada di kepala dan leher. Istilah juvenile nasopharyngeal angiofibroma ini adalah istilah yang kurang tepat karena tumor juga dapat ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun, usia yang lebih tua, wanita dan ibu hamil. Insiden pada usia dewasa sangat jarang ditemukan. Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring sedangkan jumlah kasus di RS M.Djamil Padangbagian THT-KL, Juli 2008 Desember 2010 berjumlah 9 orang dengan usia antara 13-21 tahun. 1,5

3.4. PATOFISIOLOGITumor nasofaring pertama kali tumbuh dibawah mukosa secara perlahan-lahan dari tahun ke tahun ditepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum kesisi kontralateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fissura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan dipipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor ltelah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah yang disebut muka kodok. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infretemporal dan pterigomaksila masuk kefossa serbri media. 8 Skema: Perjalanan penyebaran angiofibroma nasofaring8

3.5. HISTOPATOLOGIMakroskopisAngiofibroma nasofaring tampak sebagai massa yang tidak teratur, warna kemerah-merahan, permukaan licin. Ia berbentuk nodular, kokoh, tidak memiliki kapsuldengan dasar yang biasanya bertangkai. 1,7

MikroskopisAngiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stromayang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelialtunggal yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahanyang massif. Pembuluh darah dalam bias memiliki suatu lapisan muscular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki cirri-ciri jaringan ikatberbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung surutseiring dengan waktu. Karena karakteristik histologist internal dapat dilihat, maka biopsy permukaan bisa menimbulkan salah penafsiran. 1,7

Gambar : Gambaran histopatologis tampak komponen vaskuler diantara stroma jaringan ikat1,7

3.6. GEJALA KLINISObstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakangejala yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksihidung oleh tumor memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbulrinorea kronis.6,7Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidung (blood-tinged nasal discharge). Ini berkisar 45-60% , biasanya satu sisi (unilateral) danberulang (recurrent).7Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgiahebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intrakranialPembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.7 Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tubaeustachius.7,8 Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosimenuju ke rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik. 8Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibatpenimbunan sekret saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius padasepertiga atas septum nasi. Recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain).8Nyeri telinga (otalgia) Pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate). Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke lateral. 7,8

3.7. DIAGNOSISDiagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan klinis,nasofaringoskopi optic dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan fisik dengan mengunakan rinoskopi anterior dapat dilakukan untuk mengkoreksi tumor dari luar. Pada pemeriksaan iniakan dapat massa tumor,warna yang bervariasi mulai dari abu abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna ke unguan dan meluas keluar nasofaring berwarna putih abu abu. Pada usia muda warna nya merah muda,pada usia lebih tua warnanya kebiruan. Hal ini di karnakan komponen fibroma yang terkandung di dalamnya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang di temukan ulserasi. Dignosis pasti di buat berdasarkan histopatologi jaringan tumor pasca bedah. Biopsi pre operasi tidak di anjurkan pada setiap kasus mengingat bahaya pendarahan yang terjadi akibat biopsi. Bila memungkinkan dapat di lakukan arteriografi untuk menentukan vaskularisasi massa tumor feeding vessel) perluasan tumor ke daerah sekitarnya dapat di tentukan dengan pemeriksaan CT Scan. 8,9Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis,penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam menjunjukan perluasan tumor primer,khususnya dalam nilai,invasi sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan,sebuah gambaran yang jelas menunjukan asal dari angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan foto polos,CT scan,MRI, dan arteriografi. 12

3.8. DIAGNOSIS BANDINGDiagnosa banding dari angiofibroma nasofaring ialah polip hidung, polip antrokoanal,teratoma, ensefalokel,dermoid, inverted papilloma, rhabdomyosarkoma, karsinoma sel skuamosa. 8

3.9. STADIUMUntuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. 8Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut : 0. Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring 0. Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal. 0. Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila. 0. Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita. 0. Stage IIIA: Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal. 0. Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus. Klasifikasi menurut Fisch : 81. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang. 1. Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. 1. Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus. 1. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.

3.10. KOMPLIKASIKomplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative. 5,7,8Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson. 7,8

3.11. PROGNOSISPembedahan untuk tumor yang masih berada di ekstra cranial memberikan hasil yang lebih oprimal di bandingkan untuk tumor yang telah berada di intrakranial,angka kesembuhan turun 30%.9

BAB IVPENATALAKSANAAN

Terapi yang dapat dilakukan meliputi pembedahan, radiasi, krioterapi, elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing. Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor.8Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat masuk ke pembuluh darah di dalam 9 tumor, yang paling baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol. Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 60- 70% perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi. 1,8 Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan maksilaris interna. Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah refluks ke arteri karotis interna. Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri juga dapat mengakibatkan refluks ke trunkus arteri proksimal dan bisa terjadi embolisasi intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24 jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid. Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi atropin.1,8Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid).Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi.Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelumoperasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.Tindakan bedah merupakan gold standart dalam penatalaksanaan juvenille angiofibroma. Keputusan mengenai tindakan pembedahan dibuat setelah penilaian yang mendalam terhadap hasil radiologi. Dimana dinilai tumor, suplai pembuluh darah tumor dan atau tidaknya perluasan intrakranial.

BAB VKESIMPULAN

13